Ceritasilat Novel Online

Pedang Naga Kemala 24


Pedang Naga Kemala Karya Kho Ping Hoo Bagian 24




"Suamiku ditangkap? Kurang ajar! Siapa yang menangkapnya? Kapten, apa artinya semua ini!" bentak Sheila dengan mata terbelalak lebar dan marah sekali. Kapten itu memegang lengan wanita itu.

"Tenang dan bersabarlah, nona Sheila. Yang menangkap adalah perwira Koan, kepala dari pasukan Harimau Terbang. Memang dia bertugas menjaga keamanan dan melakukan pembersihan terhadap penjahat-penjahat dan pemberontakpemberontak dan agaknya dia mengenal suamimu sebagai seorang di antara pemberontak, maka lalu ditangkapnya."

"Akan tetapi, suamiku hanya melawan pemerintah Mancu! Dia bukan penjahat dan harus diingat pula bahwa dia datang untuk mengantar aku. Dia seorang tamu yang harus dihormati, bukan ditangkap! Kapten, aku protes! Suamiku harus dibebaskan sekarang juga!"

"Tenanglah, tenanglah. Aku yang menanggung bahwa kalau memang suamimu tidak bersalah, dia akan segera dibebaskan. Sekarang, biarlah dia mengalami pemeriksaan dari komandan Koan. Dia tidak akan diapa-apakan, hanya ditanyai tentang penjahat-penjahat yang sudah banyak membunuh orang-orang kita, dan yang sudah banyak membajak kapal-kapal kita pula. Tidak patutkah dia ditanyai kalau memang dia dicurigai?"
"Tapi dia suamiku!"

"Benar, akan tetapi dalam urusan ini tidak dipandang siapa saja, nona Hellway. Bahkan aku sendiri, kalau mencurigakan, bisa saja ditangkap dan diinterogasi. Sabarlah dan tinggallah di sini selama satu dua hari sampai selesai pemeriksaan terhadap Gan Seng Bu."

Karena dibujuk dan tidak berdaya membantah lagi, terpaksa Sheila bersabar dan menanti, walaupun hatinya tidak karuan rasanya. Tak seorangpun di antara mereka itu berani mengganggunya atau kurang ajar kepadanya. Akan tetapi hatinya penuh kekhawatiran terhadap suaminya. Ia sama sekali tidak tahu bahwa semua itu adalah hasil siasat yang sudah diatur sebelumnya oleh Koan Jit. Koan Jit tidak berani menyerbu ke dusun di mana Seng Bu tinggal karena maklum betapa kuatnya dusun yang penuh dengan para patriot itu. Dia menghendaki Seng Bu, sutenya itu yang tahu akan Giok-liong-kiam dan tahu pula akan pengkhianatannya terhadap Thian-tok, guru mereka. Dia harus mampu menundukkan Seng Bu, kalau mungkin harus dibujuk atau dipaksa untuk membantunya agar kedudukannya menjadi semakin kuat.

Akan tetapi kalau tidak mau dan pemuda itu berkeras, dia akan membunuhnya! Dan ternyata siasatnya itu berjalan sesuai dengan rencananya. Sheila dan Seng Bu datang seperti dua ekor kambing yang dituntun ke dalam rumah jagal! Tentu saja siasatnya ini tidak diketahui pula oleh Kapten Charles Elliot. Kapten itu menganggap bahwa usul Koan Jit untuk mengundang Sheila untuk membicarakan tentang pemakaman kembali keluarga Hellway itu sebagai hal yang sudah sepatutnya. Dia sama sekali tidak mengira bahwa di balik usul yang kelihatan baik sekali itu tersembunyi pamrih demi kepentingan pribadi Koan Jit. Kapten Charles Elliot merasa serba salah setelah mendengar tentang ditawannya Seng Bu oleh Koan Jit. Dia lalu memanggil Koan Jit dan diajak bicara empat mata dalam kabinnya. Setelah Koan Jit menghadap, dia segera bertanya apa sebabnya Koan Jit menangkap Gan Seng Bu.

"Dia itu, bagaimana juga, adalah suami yang syah dari nona Sheila Hellway, dan dia datang untuk mengantarkan isterinya memenuhi panggilan kami. Kenapa engkau menangkapnya begitu saja? Kami menjadi merasa sangat tidak enak terhadap nona Hellway," kata Kapten Charles Elliot. Koan Jit tersenyum menyeringai. Dia tidak pernah benar-benar menaruh hormat kepada atasan ini, karena di lubuk hatinya, dia tidak suka kepada orang- orang bule, hanya mempergunakan mereka untuk mencapai cita-citanya saja.

"Kapten, maafkan kalau aku menangkapnya tanpa lebih dulu melaporkan kepada kapten. Akan tetapi, Gan Seng Bu itu berbahaya bukan main. Dia lihai dan kalau tidak didahului ditangkap, aku khawatir dia akan menimbulkan bencana. Bencana besar sekali di sini."

"Bencana apa misalnya...?"

"Apa saja mungkin dia lakukan. Membunuh kapten misalnya, atau melakukan hal hebat lainnya."

"Kau gila!" Kapten itu berseru marah dan tidak percaya.

"Tidak, kapten. Dia itu lihai bukan main, memiliki ilmu kepandaian silat yang amat tinggi, dan hanya aku seoranglah yang dapat mengatasinya. Dia seorang pemberontak besar, dengan kawan-kawannya dia membuat persekutuan untuk memberontak terhadap pemerintah dan tentu saja kadangkadang juga melakukan gerilya terhadap pasukan-pasukan kita. Beberapa pekan yang lalu, ketika anak buahku menyerbu ke dusunnya karena salah kira, mengira isterinya itu nona Diana, anak buahku dihajarnya habis-habisan. Bukankah berbahaya sekali orang seperti itu? Aku ingin meriksanya dan melihat sampai dimana keterlibatannya dengan para penjahat yang Suka mengacau di pelabuhan."

"Tapi... tapi" dia suami nona Sheila Hellway. Mau kau apakan dia? Jangan kau membunuhnya."

"Tidak dan belum lagi, kapten. Aku hendak menguras keterangan dari dia, dan kalau mungkin, hendak membujuknya agar dia membantu kita. Bukankah dengan demikian jauh lebih baik, bagi dia dan bagi nona Hellway. Coba kapten bayangkan. Nona Hellway sebagai isterinya, tinggal di antara pemberontak dan pembunuh-pembunuh itu. Kalau Gan Seng Bu mau bekerja sama dengan kita, bukankah tepat sekali." Kapten Charles Elliot sudah percaya penuh kepada Koan Jit yang lihai dan cerdik, dan dia memang melihat kebenaran ucapan itu. Dia menganggukangguk.

"Akan tetapi jangan kau berbuat yang bukan-bukan. Jangan membunuhnya. Kalau nona Hellway marah dan memprotes ke atasan, aku sendiri bisa celaka."

"Aku tidak sebodoh itu, kapten. Dia akan kuperiksa dan kupaksa memberi keterangan dimana kita bisa menemukan nona Diana Mitchell." Kembali kapten itu mengangguk-angguk.

"Hemm" kalau begitu baiklah. Asal engkau tahu batas dan jangan siksa dia. Dan bagaimana engkau begitu yakin bahwa Gan Seng Bu itu orang yang memiliki kepandaian hebat sekali? Kulihat dia orang biasa saja." Koan Jit tersenyum cerdik.

"Akulah orang yang paling tahu, kapten" karena dia itu adalah adik seperguruanku sendiri."

"Ahhh...!!" Koan Jit tersenyum melihat betapa kapten itu terkejut dan kini kapten itu tidak membatah lagi. Kalau orang yang ditawan itu adik seperguruan Koan Jit, tentu lihai bukan main dan kalau begitu, urusan itu lebih bersifat intern kekeluargaan antara saudara-saudara seperguruan.

"Baiklah, aku memberi waktu sampai besok sore. Harus selesai dan dia harus dapat dibebaskan, karena aku sudah berjanji kepada nona Sheila Hellway."

"Baik, kapten."

Koan Jit begitu yakin akan hasil baik siasatnya. Akan tetapi di dunia ini, harapan lebih banyak menelurkan kekecewaan daripada kepuasan. Dia menghadapi watak yang keras seperti baja dan semangat yang pantang mundur dalam diri Gan Seng Bu, sutenya itu. Dia memang belum pernah berkenalan dengan Seng Bu dan tidak tahu bahwa watak dari murid gurunya yang satu ini berbeda dengan yang lain. Seng Bu yang baru satu kali dijumpainya memiliki watak yang sama sekali tidak pantas menjadi murid seorang datuk sesat seperti Thian-tok! Seperti lajimnya pada tokoh-tokoh sesat atau semua anggauta golongan hitam, kehidupan mereka hanya menjadi hamba dari pada nafsu-nafsu mereka.

Hidup mereka hanya untuk bersenang-senang, mengejar kesenangan dan memenuhi semua keinginan dan kepentingan diri sendiri, tanpa memperdulikan orang lain, bahkan kalau perlu menghancurkan orang-orang lain yang dianggap sebagai penghalang dari tujuannya untuk menyenangkan diri. Karena itulah, mereka itu suka melakukan segala macam pelanggaran, tanpa memperdulikan kesopanan, kesusilaan, kehormatan, perikemanusiaan ataupun dalam mengejar segala macam hal yang dikehendakinya. Dan karena ini, mereka banyak melakukan kejahatan-kejahatan dan disebut golongan hitam atau kau m sesat. Thian-tok sendiri adalah seorang di antara Empat Racun. Tentu saja dapat dibayangkan betapa kejam dan jahatnya, betapa besar ambisi hidupnya dan entah berapa banyak perbuatan keji yang pernah dilakukannya.

Tentu saja murid-muridnya juga demikian, termasuk Koan Jit, yang merasa paling tepat menjadi murid Si Racun Langit itu. Dan tadinya dia mengira bahwa sebagai murid Thian-tok, tentu Gan Seng Bu juga sama saja. Tentu mudah diajak berunding dan bersekutu kalau dipameri kedudukan yang baik dan keuntungan besar bagi dirinya. Akan tetapi, kiranya Koan Jit sama sekali salah terka! Gan Seng Bu begitu keras dan kuat dalam pendiriannya, membela kebenaran dan keadilan, menentang penjajahan bukan untuk mencari kedudukan, melainkan bangkit dari rasa patriotnya. Dan juga tidak sudi bersekutu dengan orang kulit putih yang dianggap meracuni bangsanya. Bermacam akal dipergunakan Koan Jit untuk membujuk, namun sia-sia belaka!

"Gan Seng Bu," katanya kehabisan akal.

"Bukankah engkau ini murid suhu Thian-tok? Dengan demikian, bukankah engkau ini seorang suteku sendiri? Kenapa seorang sute tidak mau menurut kata-kata seorang toa-suheng?" Seng Bu yang dibelenggu pada sebuah pilar itu diikat lehernya, tubuhnya, kaki dan tanggannya, sehingga dia tidak mampu bergerak, mencibirkan bibirnya.

"Koan Jit, engkau sendiri menyerang suhu dengan curang, mencuri Giok-liong-kiam dan pernah menyerang aku dan suheng Ong Siu Coan, hampir membunuh kami. Apa anehnya kalau sekarang aku melawanmu?"

"Goblok! Kalau engkau mau membantuku, engkau akan hidup mulia. Kelak mungkin aku akan menjadi kaisar, tahukah kau ? Dan engkau kelak dapat menjadi menteri! Giok-liong-kiam berada di tanganku. Kalau kau membantuku menghadapi mereka yang hendak merampasnya, dan kelak kita memperoleh hasilnya, bukankah kita akan hidup makmur? Kenapa kau begini tolol dan pura-pura bersikap seperti seorang pendekar sejati? Engkau hanya murid Thian-tok, seorang di antara Empat Racun Dunia. Jangan Sok aksi dan berlagak menjadi pendekar!"

"Sudahlah, Koan jit. Bebaskan aku, atau kalau memang engkau gagah, mari kita bertanding secara gagah. Aku tidak takut kepadamu! Jangan kau menggunakan kedudukanmu di sini menjadi anjing penjilat orang kulit putih, untuk berbuat curang!"

"Plakkk"!" Koan Jit menampar muka Seng Bu, akan tetapi yang ditampar sama sekali tidak berkedip walaupun tamparan itu membuat pipinya menjadi merah. Pada Saat itu, pintu kamar itu diketuk orang dari luar, Koan Jit menyumpah dan membuka daun pintu. Kiranya seorang serdadu kulit putih yang muncul. Dia memberi hormat secara militer kepada Koan Jit dan melaporkan bahwa nona Sheila Hellway datang hendak bicara dengan dia. Wajah keruh Koan Kit seketika menjadi berseri.

"Ah, ia datang ? Baik, baik, silahkan ia masuk ke sini." Serdadu itu melirik ke arah Seng Bu yang terbelenggu, lalu memberi hormat dan membalikkan tubuhnya. Tak lama kemudian dia datang lagi mengiringkan Sheila yang wajahnya agak pucat dan sinar matanya menunjukkan kekhawatiran dan juga kemarahan. Sheila nampak cantik sekali pagi hari itu. Rambatnya tersisir rapi, mukanya diberi bedak tipis dan kedua matanya seperti bintang pagi. Gaunnya juga baru dan terbuka di kedua pundaknya, memperlihatkan lekuk buah dadanya yang menggembung karena ia berada dalam keadaan mengandung. Cantik dan segar berseri, membuat Koan Jit diam-diam menelan ludahnya.

"Ah, nona Hellway. Silahkan masuk, silahkan""

Koan Jit menyambut dengan sikap hormat dan ramah sekali. Akan tetapi karena memang dia tidak memiliki wajah yang ramah ketika dia tersenyum, senyum itu nampak dingin dan menyeringai aneh. Akan tetapi Sheila tidak memperhatikan dan tidak memperdulikan sikap aneh itu, karena matanya sudah mencari-cari ketika kakinya melangkah masuk. Iapun tidak sadar betapa daun pintu sudah ditutup kembali oleh Koan Jit tanpa memperdulikan serdadu bule yang tadi mengantar Sheila. Serdadu itu mengerutkan alisnya dan tetap berdiri di luar pintu kamar itu. Begitu memasuki ruangan yang agak luas itu dan melihat suaminya berdiri dan terbelenggu di pilar, Sheila mengeluarkan jerit tertahan dan cepat ia lari menghampiri Suaminya, lalu membalikkan tubuhnya dan memandang kepada Koan Jit dengan mata terbelalak penuh kemarahan.

"Kenapa suamiku dibelenggu seperti ini? Hayo lepaskan belenggunya!" bentaknya marah sekali. Koan Jit memperlebar senyumnya dan dengan sikap kurang ajar sekali dia mengangkat kaki kanannya di atas kursi, menunjang dagu dan memandang kepada wanita itu dengan sinar mata cabul.

"Kalau kau dapat, lepaskan sendiri, nona manis." Baru ucapan itu saja sudah mengandung kekurangajaran, dan hal ini dirasakan oleh Seng Bu. Pemuda ini dapat membayangkan bagaimana jahatnya watak seorang seperti Koan Jit, maka diapun membentak.

"Koan Jit! Urusan antara kita jangan kau libatkan dengan isteriku! Kalau memang kau jantan, biarpun engkau masih kakak seperguruanku sendiri, lepaskan aku dan mari kita bertanding sampai seribu jurus. Jangan bersikap curang, menangkap aku dengan bantuan serdadu Inggeris, kemudian hendak melibatkan isteriku. Sheila, kau keluarlah dan jangan mencampuri urusan ini!" Seng Bu sengaja bicara panjang lebar untuk memberi tahu isterinya akan duduknya perkara mengapa dia sampai terbelenggu di tempat itu.

"Tidak!" Sheila berteriak dan marah sekali, maju menghampiri Koan Jit.

"Aku sudah mendengar tentang penjahat yang bernama Koan Jit ini! Engkau murid durhaka, mengkhianati guru sendiri dan sekarang engkau dengan curang menangkap adik seperguruanmu sendiri. Hayo bebaskan dia atau aku akan melaporkan kepada Kapten Elliot!"

"Ha-ha-ha, mau lapor? Laporlah, nona manis, karena diapun sudah tahu bahwa aku menangkap, suamimu."

"Bohong! Dia tidak akan menangkap suamiku! Koan Jit, hayo cepat bebaskan dia. Tidak ada alasan bagimu untuk menangkapnya!"

"Tidak ada alasan? Dia pemberontak, dia memimpin kawan-kawannya untuk menentang dan memusuhi orang kulit putih. Nona Sheila Hellway, engkau sungguh tidak tahu malu. Engkau telah mengkhianati bangsamu sendiri dengan menjadi isteri seorang musuh bangsamu. Seharusnya engkau bersyukur bahwa engkau telah bebas dari orang ini dan berterima kasih kepadaku!"

"Tutup mulutmu yang busuk!" Sheila membentak, semakin marah mendengar ucapan orang yang semakin kurang ajar itu. Bagaimana ada seorang bawahan Kapten Elliot berani berkata itu kepada dirinya.

"Lekas bebaskan suamiku. Dia tidak berdosa, dia adalah seorang pendekar besar, penentang penjajah."

"Heh-heh, murid guru kami Thian-tok, seorang datuk kau m sesat, mana bisa menjadi pendekar? Dia tawananku, akan kubunuh, kusiksa atau kuapakan saja adalah hakku. Engkau tidak bisa memaksaku membebaskannya, nona." Wajah Sheila menjadi semakin pucat. Ia lari menghampiri suaminya dan berusaha melepaskan belenggu-belenggu itu, akan tetapi mana mungkin tangannya yang lemah itu dapat melepaskan belenggu yang demikian kuatnya? Apalagi kedua tangan dan kaki itu dipasangi belenggu besi. Setelah usahanya sia-sia belaka, Sheila lalu lari menghampiri Koan Jit seperti seekor Singa betina yang marah karena anaknya diganggu.

"Jahanam! Bebaskan dia! Bebaskan suamiku!" Dicobanya untuk memukuli dada dan muka Koan Jit.

Akan tetapi laki-laki ini hanya tersenyum saja, membiarkan dadanya dipukuli. Merasakan kehangatan dan kelembutan tangan wanita itu, melihat betapa dada yang nampak menonjol bersar itu naik turun, mencium kehangatan yang harum, tiba-tiba saja timbul nafsu berahi Koan Jit. Kenapa tidak? Dia benci sekali kepada Seng Bu. Kalau Seng Bu tidak mau membantunya, dia tentu akan membunuhmsute itu, dan sebelum dibunuh, apa salahnya kalau disiksa dulu, disuruh menyaksikan isterinya yang hamil tiga bulan itu dia perkosa di depan, matanya? Membayangkan kejahatan yang istimewa ini, sepasang mata Koan Jit bersinar-sinar penuh kegirangan. Akan tetapi, dia masih ingat akan keuntungan yang lebih besar lagi, maka ditangkapnya kedua tangan wanita itu dengan tangan kanannya, ditelikungnya ke belakang sambil tersenyum.

"Lepaskan aku! Jahanam busuk, lepaskan aku!" Sheila meronta-ronta, tanpa hasil dalam cengkeraman tangan kanan Koan Jit yang kuat.

"Koan Jit, lepaskan isteriku, jangan ganggu dia! Demi Tuhan, akan kubunuh kau kalau kau mengganggunya!" Seng Bu juga berteriak dan meronta-ronta, akan tetapi betapapun lihainya, dia tidak dapat melepaskan belenggu besi pada pergelangan kedua tangan yang ditelikung ke belakang dan kedua pergelangan kakinya.

"Sute, sekarang kau pertimbangkan baik-baik. Engkau menerima usulku agar membantuku, atau aku akan memperkosa isterimu di depan matamu." Bukan main hebatnya ancaman ini bagi Seng Bu. Isterinya akan diperkosa di depan matanya! Isterinya yang mengandung tiga bulan!

"Koan Jit" kau keparat jahanam...!!" Dia terengah-engah memaki dan keringatnya keluar satu-satu, matanya terbelalak melotot seolah-olah hendak ditelannya bulat-bulat orang yang dibencinya itu. Sheila sendiri juga kaget setengah mati mendengar ancaman itu.

"Apa... usul bantuan apa itu...?" tanyanya gagap karena panik mendengar dirinya akan diperkosa. Koan Jit tersenyum dan mendekatkan mukanya dengan wajah yang cantik itu. Muak rasanya perut Sheila mencium bau mulut yang busuk dari Koan Jit, agaknya keluar dari giginya yang rusak.

"Nona, suamimu kuminta untuk membantu pemerintah Ceng dan juga menentang para pemberontak dan membantu bangsamu, juga membebaskanmu. Dia akan memperoleh kedudukan tinggi, dihormati, apalagi dia sudah menikah denganmu. Bukankah usul itu baik sekali? Bujuklah agar dia mau, dan aku akan membebaskan suamimu dan membebaskanmu."

Hebat benar penekanan batin dari Koan Jit itu. Agaknya tidak ada pilihan lain bagi Sheila dan suaminya kecuali menurut. Sheila memandang suaminya, akan tetapi melihat wajah suaminya yang gagah perkasa dan membayangkan semangat perjuangan yang meluap-luap, hati Sheila menjadi kuncup dan ia tidak berani membujuk suaminya untuk menerima usul itu. Ia sendiri tidak setuju kalau suaminya harus menjadi kaki tangan bangsanya yang jelas-jelas mempunyai niat kotor terhadap Bangsa Cina itu, akan tetapi melihat betapa mereka berdua terancam bahaya yang lebih hebat dari pada maut, ia diperkosa di depan suaminya kemudian suaminya disiksa dan dibunuh, rasanya mau ia berkorban dan menerima usul Koan Jit.

"Koan Jit, manusia berwatak iblis! Kalau memang kau gagah perkasa, jangan mengganggu wanita. Lepaskan aku dan mari kita bertanding sampai seorang di antara kita mati tak bernyawa lagi. Dengan begitu barulah engkau seorang gagah, bukan seorang pengecut hina yang namanya akan dikutuk selama hidup." Seng Bu kembali memaki dengan marah.

"Benar, kami takkan menyerah. Bunuhlah kami, kami adalah orang-orang gagah yang tidak takut mati, tidak seperti engkau ini, berjiwa tikus yang curang!" Sheila juga memaki, terbawa semangatnya oleh sikap suaminya yang gagah perkasa. Koan Jit bukan orang bodoh. Tadi dia melihat keraguan di wajah Sheila, tanda bahwa wanita itu sudah mau tunduk dan menurut demi menyelamatkan nyawa suaminya dan menyelamatkan diri sendiri. Mungkin gertakannya kurang meyakinkan, pikirnya. Harus mereka ini diberi bukti bahwa ancamannya bukan main main, dan pula melihat mulut yang bibirnya merah basah dan lidahnya yang nampak ketika bicara tadi demikian merah, juga rongga mulut yang segar dengan gigi yang putih seperti mutiara, sudah timbul berahinya.

"Seng Bu, bagaimana kalau isterimu yang cantik ini kucium? Aku ingin sekali menciumnya!" Berkata demikian, Koan Jit menundukkan mukanya. Sheila terbelalak dan berusaha mengelak dengan membuang mukanya ke kanan kiri, akan tetapi akhirnya mulut Koan Jit dapat menangkap mulutnya dalam sebuah ciuman yang penuh nafsu berahi. Seng Bu mengerahkan tenaga untuk melepaskan belenggu, sampai pergelangan tangan dan kakinya berdarah karena kulitnya terluka, namun hasilnya sia-sia. Sampai lama Koan Jit mencium dan ketika dia melepaskan ciumannya sambil tersenyum, Sheila terengah-engah dengan muka pucat.

"Bngsat kau , keparat jahanam terkutuk kau ...!" ia memaki-maki dan meronta-ronta.

"Bagaimana, Seng Bu, engkau masih tidak mau menyerah dan ingin aku memperkosanya di depan matamu?" Koan Jit mengancam lagi. Sebelum Seng Bu sempat menjawab, tiba-tiba pintu depan terbuka dan serdadu kulit putih yang tadi mengantar Sheila melangkah masuk. Dari luar dia mendengar suara ribut-ribut dan mendengar pula teriakan Sheila. Ketika dia masuk dan melihat betapa Sheila ditelikung kedua tangannya ke belakang dan dipeluk oleh Koan jit, serdadu itu menjadi marah bukan main. Dia tahu bahwa Koan Jit adalah orang yang sudah dipercaya oleh Kapten Elliot, bahkan memperoleh pangkat perwira. Akan tetapi melihati seorang wanita kulit putih dihina oleh Koan Jit, kemarahannya memuncak. Dengan geram, dia melangkah menghampiri Koan Jit dan membentak.

"Lepaskan nona Hellway!" Dan diapun menggunakan tangannya untuk menarik lengan Koan Jit yang merangkul pinggang Sheila.

Akan tetapi, sambil terkekeh, Koan Jit menggerakkan kakinya menendang dan serdadu itupun terpelanting roboh! Dalam keadaan marah dan penasaran karena Seng Bu belum juga mau tunduk, Koan Jit menjadi pemarah dan dia tidak perduli lagi bahwa yang menentangnya itu adalah seorang kulit putih. Serdadu itupun semakin marah dan diapun meloncat bangun, lalu menerjang dan menerkam Koan Jit. Koan Jit masih merangkul Sheila sambil mencengkeram kedua pergelangan tangan wanita itu dengan tangan kanan. Akan tetapi untuk menghadapi serdadu itu, dia cukup menggunakan tangan kirinya dan kedua kakinya. Kini tangan kirinya menyambar ke depan ketika serdadu itu menubruk dan sekali mencengkeram, dia telah merobek baju seragam si serdadu itu.

"Bretttt!" Baju itu robek dari leher sampai ke perut. Serdadu itu masih terus memukul, akan tetapi kembali dia terpelanting karena tangan Koan Jit sudah menamparnya. Berkali-kali serdadu yang masih penasaran itu menyerang dengan nekat, akan tetapi hasilnya hanyalah tubuhnya jatuh bangun dan pakaiannya robek-robek, babak belur dan benjot-benjol.

Ketika dia masih menyerang lagi, sebuah tendangan membuat dia knocked-out! Dia roboh pingsan tak mampu bangkit kembali. Kalau Koan Jit menghendaki, tadipun dengan sekali pukul dia sudah akan mampu merobohkan serdadu itu untuk tidak dapat bangkit lagi. Akan tetapi dia tidak bodoh dan tidak mau membunuh seorang serdadu kulit putih, karena hal itu berarti dia mengundang bencana atas dirinya sendiri. Akan tetapi keributan itu memancing perhatian para serdadu lain dan cepat Kapten Charles Elliot diberitahu. Kapten itu terkejut dan marah, cepat berlari memasuki kamar itu dan mencabut pistolnya ketika dia melihat seorang serdadu kulit putih roboh pingsan dan Koan Jit masih mencengkeram Sheila.

"Koan Ciangkun" bebaskan nona Hellway!" Kapten Charles Elliot membentak dengan marah sambil menodongkan pistolnya ke arah dada Koan Jit. Tentu saja dengan kepandaiannya yang tinggi, Koan Jit tidak gentar menghadapi ancaman pistol itu. Akan tetapi dia tidak bodoh, tidak mau melawan atasannya. Maka sambil menyeringai dengan senyum mengejek, dia mendorong tubuh Sheila sehingga wanita itu terhuyung ke belakang. Sheila lalu berlari menghampiri suaminya dan merangkul suaminya yang masih dibelenggu sambil menangis.

"Kapten," kata Koan Jit membela diri.

"Kenapa kapten menghalangi aku yang sedang memeriksa tawanan?"

"Perwira Koan! Engkau memeriksa tawanan tentu saja boleh, akan tetapi mengapa engkau memukuli seorang perajurit dan engkau menghina nona Hellway?" bentak komandan itu dengan alis berkerut dan pistolnya masih berada di tangannya, walaupun kini tidak lagi ditodongkan ke arah Koan Jit.

"Kapten, aku sedang memeriksa Seng Bu ketika nona ini datang, dan aku sengaja menangkapnya untuk memaksa Seng Bu agar dia suka membantu dan memperkuat kedudukan kita. Akan tetapi mereka ini malah mengeluarkan kata-kata menghina. Dan sebelum aku selesai dengan pemeriksaanku, datang pula prajurit ini yang menyerangku. Terpaksa aku merobohkannya tanpa melukai berat atau membunuhnya. Harap kapten ketahui bahwa aku melakukan semua ini demi keuntungan kita.

"Bobong!" Tiba-tiba Sheila menjerit dalam Bahasa lnggeris kepada kapten itu.

"Dia hendak membunuh suamiku dan hendak memperkosa aku!" Mendengar teriakan Sheila ini, kapten itu terkejut. Kalau begini, urusannya menjadi repot dan gawat. Koan Jit merupakan tenaga yang amat baik, dan Gan Seng Bu memang perlu diperiksa. Dia sudah mendengar bahwa suami Sheila itu adalah seorang pemberontak dan pejuang. Akan tetapi sama sekali dia tidak suka mendengar bahwa untuk memaksa tawanannya, Koan Jit sampai mengancam hendak memperkosa Sheila, seorang wanita kulit putih! Kapten Charles Elliot lalu menghampiri Seng Bu dan bertanya.

"Orang muda, bukankah perwira Koan mengajukan usul yang amat baik padamu? Engkau membantu kami di sini dan hidup bahagia bersama isterimu di sini. Kenapa menolak?"

"Maaf, kapten. Aku datang hanya mengantar isteriku saja, dan aku mempunyai pendirian sendiri tentang perjuangan. Akan tetapi Koan Jit menangkapku secara curang sekali."

Kapten Elliot lalu teringat akan satu cara untuk menyelesaikan urusan itu.

"Kalau dia tidak menangkap secara curang, akan tetapi kalian bertanding satu lawan satu, bagaimana?" tanya kapten itu.

"Baik sekali! Aku akan menghadapinya, kapten. Bagi seorang gagah, mati di dalam suatu perkelahian adalah suatu kehormatan! Aku akan melawannya dan biarlah antara kami menentukan siapa yang akan mati dan siapa yang akan hidup."

"Seng Bu!" Sheila merangkul suaminya dan menangis. Wanita ini sudah banyak mendengar dari suaminya tentang kelihaian Koan Jit dan tentang kecurangannya, maka tentu saja ia sangat khawatir sekali mendengar bahwa suaminya akan diadu dengan manusia iblis itu.

"Sheila, jangan khawatir. Engkau tahu bahwa suamimu ini hidup di dekat bahaya selalu, setiap saat bisa saja tewas dalam pertempuran. Akan tetapi mati dalam perkelahian bagiku merupakan suatu hal yang menggembirakan. Biarlah aku akan berusaha membalas penghinaan atas dirimu tadi, isteriku. Dan andaikata aku kalah dan tewas, engkau sudah tahu apa yang harus kau lakukan, bukan? Kita sudah seririg bicara tentang kemungkinan itu."

Sheila menahan kesedihan hatinya. Memang, ia tahu hahwa ia telah menikah dengan seorang pejuang yang setiap saat bisa saja menjadi korban perjuangan dan gugur. Dan mereka sudah seringkali bicara di waktu tidur mengenai kemungkinan ini. Kalau suaminya gugur, ia akan merawat kandungannya sampai terlahir, dan mereka sudah sepakat bahwa anak yang akan terlahir itu tidak akan dibawa ke inggeris. Bahkan andaikata ia terpaksa pulang ke inggeris, anak itu akan ditinggalkan di tanah airnya, di negeri Cina dan akan diserahkan kepada kawan-kawan seperjuangan untuk mengasuhnya. Suatu keputusan yang amat berat baginya, namun ia sudah berjanji akan mentaati permintaan suaminya itu. Sementara itu, Kapten Charles Elliot lalu berpaling kepada Koan Jit.

"Bagaimana, perwira Koan? Maukah engkau bertanding melawan dia? Dari pada ribut-ribut memperebutkan kebenaran, lebih baik diselesaikan melalui kepalan, bukan? Kurasa demikian pendirian para orang gagah di sini."

Kapten itu memang sudah mengambil keputusan tetap. Koan Jit merupakan seorang tenaga yang amat penting. Sebaliknya, Seng Bu, biarpun seorarig pejuang, adalah suami yang syah dan Sheila Hellway yang bahkan sudah mengandung. Jadi, seorang di antara mereka harus lenyap kalau keduanya tidak dapat bekerja sama. Koan Jit terkekeh dengan nada suara yang merendahkan sekali. Manusia ini memang amat sombong dan terlalu percaya diri sendiri, apalagi dia memang memiliki keyakinan bahwa bagaimanapun juga, tingkat ilmu kepandaiannya masih lebih tinggi dibandingkan Ong Siu Coan atau Gan Seng Bu. Dengan aksinya, dia lalu memberi hormat secara militer dengan mengangkat tangan kanannya ke tepi topi batoknya, hal yang tentu saja lucu karena topinya bukan topi tentara.

"Siap, kapten. Dengan segala senang hati, aku akan menghajar tikus ini sampai mampus!"

"Baik, kita adakan pertandingan ini dengan seadil-adilnya dan disaksikan oleh pasukan. Diadakan di darat. Pengawal, lepaskan belenggu dan tubuh Gan Seng Bu itu," perintah Kapten Charles Elliot. Sheila lari menghampini kapten itu dan membujuk agar suaminya dibebaskan saja dan tidak perlu disuruh berkelahi. Akan tetapi kapten itu menggeleng kepala dan berkata dengan alis berkerut.

"Nona Hellway, engkau tahu sendiri bahwa suamimu dijatuhi tuduhan yang amat berat. Selain menjadi pemberontak pemerintah, juga dia dan kawan-kawannya dituduh menentang bangsa kita. Kalau tidak melihat engkau yang menjadi isterinya, tentu aku tidak perduli lagi dan menyerahkan dia kepada perwira Koan. Akan tetapi mengingat bahwa engkau adalah isterinya, maka aku memberi kesempatan dan kehormatan kepadanya untuk membela diri. Bukankah lebih baik begitu?" Dengan air mata berlinang, Sheila berkata,

"Suamiku adalah seorang patriot, mati baginya bukan, apa-apa kalau hal itu terjadi di waktu dia membela bangsa dan tanah air. Akan tetapi, kalau dia mati... aku" aku"" Kapten itu dengan simpatik memegang tangan wanita itu.

"Tenanglah. Mati hidup di tangan Tuhan, bukan? Dan kalau memang suamimu sudah menghendaki demikian, ada pilihan apa lagi?" Sheila merasa tiada gunanya mohon kepada kapten itu, maka iapun lalu menghampiri suaminya yang kini sudah dibebaskan dan belenggu. Mereka saling rangkul dan saling berciuman, seolah-olah hal itu terjadi untuk terakhir kali dan mereka seperti tidak mau saling melepaskan. Melihat adegan ini, Koan Jit menjadi ini dan mendongkol.

"Hel, Gan Seng Bu, engkau ini jantan ataukah banci? Mau bertanding ataukah mau bermain cinta saja? Kalau memang berani, hayo keluar!" Setelah berkata demikian, dengan langkah lebar, Koan Jit menuruni tangga kapal dan memasuki sebuah perahu kecil yang membawanya ke daratan.

Mendengar seruan itu, Seng Bu menggandeng tangan isterinya dan juga menuruni tangga kapal, menuju ke sekoci dimana telah menanti selosin orang perajurit bule dengan senapan di tangan. Dia dikawal ke daratan, lalu disusul oleh Kapten Charles Elliot. Ternyata berita tentang perkelahian itu sudah tersiar sejak tadi. Di daratan sudah berkumpul para serdadu bule juga para pasukan Harimau Terbang yang sudah membuat lingkaran luas, dan tempat itu dikepung oleh pasukan yang juga menjadi penonton. Bahkan kuli-kuli pelabuhan juga berhenti bekerja untuk menonton perkelahian itu. Di antara mereka ada yaag sudah mengenal Gan Seng Bu sebagai seorang pejuang yang gagah perkasa, maka mereka megharapkan agar pendekar ini akan mampu merobohkan Koan Jit yang mereka benci.

"Nona Hellway, apakah tidak lebih baik kalau engkau tinggal saja di kamar dan tidak menyaksikan pertandingan ini?" Kapten Charles Elliot yang merasa kasihan kepada wanita itu berkata lirih. Akan tetapi Sheila mempererat pegangan tangannya pada lengan suaminya.

"Tidak! Kalah atau menang, aku harus menjadi saksi. Aku ingin melihat suamiku berjuang sebagai seorang pendekar yang gagah perkasa!" katanya dengan nada suara bangga.

"Tenangkan hatimu, Sheila" dan ingat semua perjanjian kita," kata Seng Bu dan diapun mencium bibir isterinya untuk yang terakhir kali.

"Tuhan menyertaimu, suamiku."

Bisik Sheila dengan air mata berlinang. Akan tetapi dengan tabah wanita ini lalu duduk di atas kursi yang disediakan untuknya, di pinggir dan berusaha menekan jantungnya yang berdebar karena tegang. Apalagi ia sebagai isteri orang yang hendak berjuang mati-matian, bahkan di dalam dada semua orang yang nonton pertandingan itupun diliputi ketegangan. Mereka semua sudah tahu betapa lihai dan kejamnya Koan Jit, dan tahu bahwa di dalam perkelahian ini, tentu salah seorang di antara keduanya akan tewas! Kapten Charles Elliot hendak bertindak adil dalam perkelahian itu, maka melihat betapa Gan Seng Bu sama sekali tidak bersenjata, sebaliknya tadi Koan Jit mengenakan pedang pangkatnya di pinggangnya, diapun berkata.

"Komandan Koan, harap tanggalkan pedangmu itu, karena lawanmu juga tidak membawa pedang." Koan Jit tersenyum.

"Kapten, aku memakai pedang ini bukan untuk melawannya, melainkan hanya sebagai tanda pangkat saja. Untuk memukul seekor anjing kecil perlu apa menggunakan pedang?"

Setelah berkata demikian, tangannya bergerak cepat dan tahu-tahu pedang yang tadi bergantung di pinggang, bersama sarungnya telah terlempar ke udara, berputaran seperti terbang kemudian meluncur ke bawah dan menancap bersama bersama sarungnya sampai amblas dalam sekali di pinggiran tempat lingkaran yang menjadi arena perkelahian itu. Melihat demonstrasi kelihaian yang seperti permainan sulap saja ini, beberapa orang bertepuk tangan memuji, tentu saja terutama sekali para anggauta Harimau Terbang yang semua berpihak kepada Koan Jit, komandan mereka. Koan Jit lalu melangkah maju memasuki lingkaran orang-orang yang duduk di sekeliling tempat itu, dan kembali munculnya ini disambut tempik sorak oleh para anggauta Harimau Terbang.

"Semoga damai dan bahagia selalu menyertaimu, isteriku." Bisik Seng Bu.

"Semoga Tuhan melindungimu, suamiku," bisik Sheila ketika Gan Seng Bu minta diri, dan orang muda inipun lalu memasuki lingkaran. Ternyata banyak pula yang menyambutnya dengan sorakan. Bukan hanya dari para kuli pelabuhan yang semua berpihak kepadanya, akan tetapi juga ada beberapa perajurit bule yang berpihak kepadanya,

Mungkin karena pendekar ini adalah suami Sheila, atau mungkin karena mereka memang merasa tidak suka kepada Koan Jit. Kemunculan Seng Bu sama sekali tidak mengesankan, seorang pemuda bertubuh tegap yang amat sederhana, seperti seorang petani saja, berbeda dengan Koan Jit yang berpakaian indah. Dua orang jagoan itu kini saling berhadapan. Lingkaran itu cukup luas, garis tengahnya tidak kurang dan limabelas meter, cukup untuk suatu perkelahian yang bagaimana dasyatpun. Karena maklum bahwa lawannya adalah seorang ahli silat dan satu sumber, maka diapun tahu bahwa ilmu-ilmu silat yang dipelajaninya dari Thian-tok, tentu semua dikenal baik oleh Koan Jit, bahkan mungkin dia masih kalah matang dalam latihan, mengingat bahwa usia Koan jit dua kali usianya.

Akan tetapi dia memiliki ilmu silat andalan yang dilatihnya dengan baik dan gurunya, yaitu Ilmu Silat Ngo-heng Lian-hoan Kunhoat. Ilmu silat yang berdasarkan Ngo-heng (Lima Unsur) ini memang lihai sekali dan memiliki banyak sekali perubahan-perubahan sesuai dengan kedudukan lima unsur. Bisa panas dasyat seperti api, bisa juga lunak dan dalam seperti air, bisa pula keras dan kuat seperti logam, atau bisa lentur seperti kayu, juga dapat cepat dan halus seperti angin. Karena maklum akan kelihaian lawan, maka Seng Bu segera memasang kuda-kuda dengan kedua kaki berdiri tegak, tangan kiri ke atas dan tangan kanan ke kawah, lutut agak ditekuk. Kuda-kuda ini mengandung dua unsur Angin dan Logam, dapat bergerak cepat sekali dan juga dapat melancarkan pukulan dahsyat dan bawah.

Tentu saja dalam pemasangan kuda-kuda ini, dia sudah mengumpulkan tenaga sinkang di seluruh tubuh, terutama di kedua lengannya. Melihat pemasangan kuda-kuda ini, Koan Jit yang sombong tersenyum mengejek. Dia dapat menduga bahwa tentu lawannya memainkan ilmu yang baru dan suhunya yang belum sempat dipelajarinya, akan tetapi karena sejak kecil dia murid Thian-tok, tentu saja dia mengenal sumbernya yang khas dari Thian-tok. Dia sendiri, selain ilmu-ilmu dan Thian-tok, juga sudah mempelajari banyak sekali ilmu silat yang aneh-aneh, yang membuatnya menjadi lihai bukan main, terutama sekali dia amat hebat dalam ginkang (ilmu meringankan tubuh) yang membuat tubuhnya seperti dapat terbang saja. Maka, diapun ingin merobohkan lawan mengandalkan ginkangnya.

"Hyaaaattt!" Tiba-tiba Koan Jit mengeluarkan seruan melengking nyaring. Inilah semacam Sin-houw Ho-kang (Auman Harimau Sakti). Getaran suara ini membuat banyak orang menjadi pening dan cepat menutupi telinga dengan tangan. Akan tatapi karena gerengan itu ditujukan kepada Seng Bu, tentu saja yang paling merasakan daya serangannya adalah orang muda ini. Akan tetapi, diapun sudah mempelajari Sin-houw Ho-kang ini dari Thian-tok,

Maka dengan pengerahan sinkang, dia mampu menahan diri dan menolak getaran yang mengguncang jantung memekakkan telinga itu. Tubuh Koan Jit sudah berkelebat lenyap dan tahu-tahu tubuh itu sudah meloncat tinggi ke atas seperti seekor burung garuda dan menyambar turun menyerang ke arah Seng Bu dengan kedua tangan membentuk cakar yang mencengkeram ke arah ubun-ubun kepala Seng Bu. Akan tetapi Seng Bu sudah siap siaga dengan kuda-kudanya tadi. Dengan gerakan kaki melangkah, ke belakang lalu memutar tubuh, dia mampu menghindarkan diri dan serangan kilat itu. Selagi tubuh lawan turun ke atas tanah, dia sudah membalas dengan serangan Hut-ciang-liap-bhok (Tangan Api Mengejar Kayu). Kedua tangannya itu dengan beruntun menghantam dengan telapak tangan terbuka, bertubi-tubi, dan kedua telapak tangannya itu keluar hawa panas yang dahsyat!

"Hemmm"!" Koan Jit meloncat ke samping untuk menghindar sambil menangkis dari samping. Seruannya itu terdengar seperti orang mencemoohkan, akan tetapi sebenarnya seruan itu adalah seruan kaget. Tak disangkanya ilmu baru dari sutenya itu sedemikian lihainya.

"Dukk-dukk!" Dua lengan bertemu dua kali dan akibatnya, tubuh Seng Bu terdororig ke belakang akan tetapi kedudukan kaki Koan Jit juga tergoyah yang membuat tubuhnya bergoyang-goyang. Hal ini saja menunjukkan bahwa tenaga Seng Bu hanya kalah sedikit dibandingkan toa-suhengnya itu.

Koan Jit menjadi marah dan dengan seruan-seruan nyaring dia menyerang terus, menggunakan berbagai ilmu yang tidak dipelajarinya dari Thian-tok agar membingungkan sutenya. Akan tetapi, dia tidak tahu bahwa sutenya itu bukanlah Seng Bu beberapa waktu yang lalu! Selama ini, Seng Bu banyak bergaul dengan pendekar-pendekar patriot, dan dia saling bertukar pandangan tentang ilmu silat dengan teman-temannya. Tentu saja hal ini menambah matang kepandaiannya, dan diapun banyak mengenal ilmu-ilmu silat dari para pendekar. Maka, serangan bertubi-tubi dari Koan Jit itu bukan hanya dapat dielakkan atau ditangkis, bahkan dapat pula dia membalas serangan serangan itu dengan tak kalah hebatnya. Perkelahian itu berlangsung sampai lima puluh jurus lebih dan amat menegangkan, mengaburkan pandang mata mereka yang kurang ahli saking cepatnya gerakan mereka.

Sheila sendiri memandang dengan muka pucat dan mata hampir tak pernah berkedip walaupun ia juga merasa pening dan kabur saking cepatnya dua orang itu bergerak. Ia malah tidak dapat lagi membedakan mana suaminya dan mana lawan, kecuali kalau nampak bayangan hitam yang tentu saja bayangan Koan Jit yang mengenakan jubah hitam. Ia sama sekali tidak tahu apakah suaminya itu mendesak atau terdesak. Juga orang-orang lain memandang penuh ketegangan hati dan diam-diam banyak yang merasa kagum, baik terhadap Koan Jit maupun terhadap Seng Bu. Yang merasa penasaran adalah Kapten Charles Elliot. Kalau saja orang sepandai Seng Bu itu, yang agaknya memiliki kepandaian yang seimbang dengan Koan Jit, dapat pula menjadi pembantunya, tentu kedudukannya akan lebih kuat lagi.

"Haiiiitttt!"

Tiba-tiba Seng Bu menyerang dengan amat dahsyatnya, mengeluarkan jurus yang amat ampuh dari Ngo-heng Lian-hoan Kun-hoat, yaitu jurus Hui-cuipok-cim (Api Air Sambar Logam). Kedua kaki dan tangannya menyambarnyambar dengan amat ganasnya sehingga Koan Jit terkejut bukan main. Biarpun dia sudah (Lanjut ke Jilid 24)
Pedang Naga Kemala (Seri ke 01 - Serial Pedang Naga Kemala)
Karya : Asmaraman S. (Kho Ping Hoo)

Jilid 24
berusaha untuk menghindar dengan jalan mengelak dan menangkis, tetap saja sebuah tendangan menyerempet pahanya, membuat tubuhnya terjengkang. Koan Jit menggunakan ginkangnya untuk melempar tubuh ke belakang janpok-sai (jungkir balik) sampai tiga kali, baru dia dapat berdiri tegak, akan tetapi pahanya terasa nyeri bukan main. Dia menjadi malu, marah dan penasaran. Mukanya yang hitam itu berubah kebiruan dan matanya yang seperti mata kucing itu mencorong.

"Jahanam busuk" sekarang kubunuh kau !" bentaknya sambil menubruk ke depan dengan pukulan-pukulan yang amat ampuh, mengerahkan seluruh tenaga sinkangnya. Seng Bu mengenal pukulan ampuh, maka diapun menggunakan jurus Hongcul-toan-bun (Angin Air Menjaga Pintu), sebuah jurus pertahanan yang amat ampuh. Dan benar saja, semua serangan itu dapat dielakkan dan ditangkis dari samping, sehingga kembali serangan lawan gagal. Koan Jit masih merasa nyeri pada pahanya, maka kembali dia menyerang dengan kedua kakinya yang mengirim tendangan berantai dan kanan kiri. Seng Bu maklum bahwa tendangannya tadi berhasil melukai paha kiri lawan, maka kini melihat betapa lawan dengan nekat menggunakan kedua kaki menendangnya,

Juga menggunakan kaki kiri, maka cepat dia menggerakkan tangan kanan untuk menghantam ke arah paha kiri lawan yang sudah luka itu. Hampir saja usahanya berhasil, akan tetapi tiba-tiba terdengar suara ledakan nyaring dan Seng Bu roboh tersungkur! Sebutir peluru menembus dadanya! Kiranya, dalam keadaan terdesak tadi, Koan Jit yang luka karena kurang hati-hati dan tadi memandang rendah lawan, menggunakan kecurangannya. Diam- diam, di luar tahu Kapten Elliot, dia telah menyembunyikan sebuah pistol kecil di balik jubahnya, dan ketika dia mengirim serangan tendangan bertubi-tubi tadi, dia hanya memancing perhatian Seng Bu saja, dan tiba-tiba dia sudah mencabut pistol dan menembak dari jarak dekat sekali sehingga Seng Bu yang tidak menyangka sama sekali itu menjadi korban tembakan dan roboh!

"Seng Bu!!!" Sheila lari menghampiri suaminya. Melihat suaminya terlentang dengan dada berlumuran darah, ia menubruk sambil menangis, menguncang-guncang tubuh suaminya sambil memanggil-manggil namanya.

"Seng Bu, ahhh" Seng Bu, suamiku"" Seng Bu membuka matanya. Dadanya terasa nyeri bukan main, dan tahulah dia bahwa tidak ada obat yang akan dapat menyembuhkannya.

"Sheila isteriku!" Dia berbisik dan mengangkat tangannya yang menggigil, mengusap wajah istetinya penuh kasih sayang.

"Seng Bu, ahh" jangan mati, Seng Bu. Jangan tinggalkan isterimu"" Sheila meratap. Seng Bu tersenyum ketika Sheila menciuminya dan tidak memperdulikan darah yang menempel di bibirnya. Tembakan itu membuat mulutnya berdarah, dan ketika Sheila menciumnya, darah menodai mulut Sheila tanpa dirasakan oleh isterinya itu.

"Sheila, tenanglah" beginikah sikap isteri pejuang, isteri pendekar?" Sheila teringat dan seketika ia menahan tanyanya. Hanya air matanya bercucuran, akan tetapi ia tidak menangis lagi, tidak mengeluh lagi. Teringat ia betapa banyak isteri yang ditinggal mati suaminya, dan isteri-isteri itu sama sekali tidak menangis, menerima nasib itu dengan tabah, bahkan bangga bahwa suami mereka gugur sebagai patriot sejati.

"Nah, begitu" jangan... jangan antar kematianku dengan air mata, Sheila. Antarlah dengan senyummu" aku ingin melihat senyummu, ingin membawa bayangan senyummu ke sana""

"Seng Bu!" Sheila menubruk dan menciumi untuk menyembunyikan air matanya.

"Sheila, senyumlah" senyumlah"" Bisikan itu makin melemah. Sheila mengangkat mukanya dan iapun tersenyum. Senyum yang dapat menghancurkan hati siapa saja yang menyaksikannya. Senyum dengan air mata bercucuran, akan tetapi ia tersenyum, ia memaksa mulutnya untuk tersenyum, senyum manis dengan bibir masih ternoda darah.

"Terima kasih" kau manis sekali" titip" titip anak kita"" dan kepala Seng Bu terkulai di atas pangkuan isterinya.

"Seng Bu"!" Dan tubuh Sheila juga terguling di atas tubuh suaminya karena ia telah roboh pingsan!Peristiwa itu menggegerkan dan juga membuat hati Kapten Charles Elliot menjadi bingung. Dia menegur Koan Jit yang mempergunakan pistolnya, akan tetapi tidak memarahinya. Bagaimanapun juga, dia girang bahwa Seng Bu tewas. Pertama, karena memang dia lebih sayang dan percaya kepada Koan Jit. Kedua, dengan kematian Seng Bu, maka Sheila tentu akan kembali kepada bangsanya. Akan tetapi ternyata kapten ini kecelik! Sheila memperlihatkan sikap keras. Kematian suaminya membuat ia semakin tidak suka kepada bangsanya sendiri.

"Aku minta agar jenazah suamiku boleh kubawa ke pedalaman untuk kumakamkan. Juga makam Ayah ibuku akan kumakamkan sendiri. Siapa di antara saudara di sana itu yang suka membantuku mengangkut jenazah suamiku?" tanyanya kepada para kuli pelabuhan. Dan banyak kuli pelabuhan yang suka menbantu. Dan pada hari itu juga, Sheila meninggalkan Kanton, menunggang kuda membawa jenazah suaminya, diantar oleh beberapa orang kuli pelabuhan. Tentu saja kedatangannya disambut dengan bela sungkawa dan duka oleh para kawan seperjuangan. Jenazah Seng Bu lalu diurus sebaiknya dan dimakamkan dengan penuh penghormatan sebagai seorang pahlawan.

Sheila lalu mengurus pemindahan makam Ayah ibunya, dimakamkan dekat dengan makam suaminya, iapun hidup di antara pejuang, menanti kelahiran bayinya. Hidup ini memang merupakan permainan antara susah dan senang. Agaknya memang sudah semestinya demikian, ada susah tentu ada senang, seperti alunan ombak samudera, tidak hanya ke kiri atau ke kanan saja. Ada siang ada malam, ada terang ada gelap, ada senang ada susah. Tidak ada apa-apa lagi yang perlu dihentikan. Akan tetapi, kalau kita merenungkan, kita yang diberkahi dengan akal budi ini, yang dapat mengamati semua itu, apakah memang dilahirkan untuk menjadi permainan antara susah dan senang ini? Apakah kita ini dilahirkan untuk menderita susah, menikmati senang hanya sedikit saja, banyak susahnya. kemudian tua, susah lagi karena lemah, dan mati, begitu saja?

Siapa yang mau membuka mata melihat kenyataan hidup, sesungguhnya tidak ada yang disebut susah atau senang itu, karena susah atau senang itu hanyalah permainan pikiran kita sendiri belaka. Kalau siang dan malam ada, terang dan gelap memang ada. Akan tetapi semua itu tidak ada hubungannya dengan susah atau senang. Kalau terang tiba, terlalu terang dan terlalu panas, ada akal budi kita yang mendatangkan kecerdasan, membuat kita berteduh dan akal budi telah bekerja sedemikan baiknya sehingga kita mampu membuat es, membuat kipas angin untuk mengatasi panas. Kalau malam tiba, akal budi kita bekerja lagi sehingga muncullah penerangan listrik dan sebagainya. Kalau dingin tiba, kita mempergunakan akal budi kita sehingga kini ada heater, ada tungku dan segala alat pemanas lain seperti pakaian tebal dan sebagainya.

Pedang Naga Kemala Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo



Kalau hujan lebat turun dan banjir terjadi, kembali akal budi kita membentuk kecerdasan, membuat kita mencari jalan untuk mengatasi semua itu, dan di sini sama sekali tidak ada senang atau susah! Jadi apakah senang atau susah sesungguhnya? Senang itu jelas. Badan kita terasa enak, pikiran dan hati kita terasa lega dan puas, dan timbullah keinginan untuk mengulangi semua pengalaman enak ini yang dinamakan kesenangan. Jadi, pikiran atau ingatan yang mencatat dan menampung pengalaman ini untuk diusahakan pengulangannya. Dan susah itu apa? Kebalikannya saja. Kalau badan kita terasa tidak enak, kalau perasaan dan hati kita merasa kecewa, iba diri dan sebagainya. Jelaslah, senang dan susah itu hanya permainan batin yang selalu ingin mengulang kesenangan dan menyingkirkan kesusahan, mengejar-ngejar yang enak dan melarikan diri dan yang tidak enak!

Bagaimana kalau kita menghadapi segala hal yang terjadi itu tanpa mengikutkan pikiran yang menciptakan si "Aku" yang menimbang-nimbang, menghitung-hitung untung ruginya? Kalau pikiran kita tidak menilai, maka yang bekerja hanyalah kecerdasan akal budi! Tidak ada lagi keluhan, tidak ada lagi mabok kesenangan. Dan kesemuanyapun terjadi dengan wajar. Dan hanya batin yang dapat menghadapi segala sesuatu tanpa penilaian inilah, yang tidak lagi sarat oleh beban untung rugi, batin demikian akan dapat mengenal apa artinya hidup yang sesungguhnya, apa artinya bahagia, apa artinya cinta kasih. Hanya batin yang tidak dibebani oleh keluhan pikiran yang menilai, yang mengeluh, maka batin seperti itu yang akan sungguh-sungguh aktif,

Penuh perhatian, tidak putus harapan, tidak mencari-cari, tidak mengejar, akan tetapi tidak mandeg, melainkan hidup sepenuhnya dari detik ke detik, dari saat ke saat. Awan yang berarak di angkasa itu nampaknya saja mandeg dan mati, akan tetapi sesungguhnya setiap detik bergerak, berubah, mengikuti keadaan pada saatnya, tanpa menentang, akan tetapi juga tidak mengekor saja. Berita tentang kematian Gan Seng Bu terdengar luas di dunia kang-ouw. Juga Ong Siu Coan mendengar tentang kematian sutenya. Dia sendiri tidak mencinta sutenya itu, maka tentu saja kematian sutenya itu tidak mendatangkan rasa kesal dalam hatinya, bahkan ada rasa puas karena tadinya dia mengiri terhadap sutenya yang dapat memperisteri Sheila. Demikian kejinya kebencian kalau sudah bersemi dalam hati seorang manusia.

Kebencian membuat orang akan merasa senang dan puas kalau melihat orang yang dibencinya itu celaka! Kebencian ini menghapuskan rasa perikemanusiaan dan dari hati sanubari manusia. Karena itu, bagi seorang bijaksana, dibenci oleh seluruh manusia bukanlah menjadi persoalannya, akan tetapi kalau dia membenci satu orang saja, maka itu merupakan suatu masalah besar yang harus ditanggulangi dan diatasinya. Akan tetapi yang membuat hati Ong Siu Coan tidak senang adalah ketika mendengar bahwa yang membunuh Gan Seng Bu itu adalah Koan jit, toasuhengnya! Inilah yang menyakitkan hati. Dan diapun mendengar pula tentang Koan Jit yang kini sudah memperoleh kedudukan terhormat di dalam pasukan marinir Inggeris, bahkan menjadi komandan dari pasukan yang bernama Harimau Terbang.

"Aku tidak boleh kalah oleh Koan Jit," pikirnya.

"Dan aku harus dapat merampas Giok-liong-kiam dari tangannya. Aku takkan puas sebelum berhasil merampas Giok-liong-kiam itu, dan kalau mungkin membunuh jahanam itu." Demikian pikiran Ong Siu Coan.

Orang ini memang cerdik sekali. Tidak hanya mengandalkan kepandaian silat seperti mendiang Gan Seng Bu, dia memang berani dan gagah, akan tetapi lebih banyak mempergunakan kecerdikannya, tidak asal berani saja. Setelah memperhitungkannya dengan cermat, pada suatu hari Ong Siu Coan berjalan-jalan ke pelabuhan Swa-touw, dimana juga menjadi persinggahan kapal-kapal perang Bangsa Inggeris. Sudah berhari-hari dia menyelidiki tempat ini dan melihat betapa Admiral Elliot, orang yang paling berkuasa di seluruh armada Inggeris, suka datang mendarat dan memerintahkan orang-orangnya untuk membangun sebuah benteng di tepi laut. Agaknya tempat itu akan dijadikan benteng oleh marinir kulit putih.

Dan diapun melihat betapa di waktu mengaso, para perajurit marinir itu suka berlatih olah raga, ada yang bertinju, ada yang berlatih memainkan bayonet. Pada siang hari itu, Admiral Elliot sendiri nonton pertandingan adu tinju, dan adu ketangkasan bayonet yang dalam latihan itu diganti dengan kayu biasa. Dari jauh, Ong Siu Coan menonton sambil memperhitungkan apa akan yang dilakukan, hal yang sudah berhari-hari direncanakannya. Ternyata hari itu, yang terpilih sebagai jagoan, baik jago tinju maupun jagoan mempergunakan bayonet, ada enam orang perajurit yang tubuhnya tinggi besar dan atletis. Mereka itu berusia antara dua puluh lima sampai tiga puluh lima tahun, dan memang mereka ini merupakan jagoan-jagoan dari kesatuan yang baru saja tiba beberapa pekan lamanya di daerah itu.

"Siapa lagi yang berani maju melawan seorang di antara jagoan ini?" kata seorang juru bicara. Selama ini, Ong Siu Coan yang cerdik sudah banyak mempelajari Bahasa Inggeris sehingga dia mengerti apa yang dikatakan itu, bahkan diapun dapat bicara daam Bahasa Inggeris walaupun tidak begitu fasihnya namun cukup untuk dapat dipakai modal berkomunikasi.

"Boleh aku maju untuk mencoba-coba?" Tiba-tiba dia melangkah maju ke dalam arena pertandingan itu dan sengaja dia muncul berhadapan dengan Admiral Elliot, sehingga tentu saja mudah nampak oleh pembesar itu. Semua mata menatap ke arahnya, dan sinar mata admiral itu membayangkan keheranan akan tetapi juga ingin tahu sekali. Seorang opsir marinir yang melihat bahwa pemuda itu bukan anggauta di situ, bukan pula pegawai atau kuli pelabuhan, sudah menjadi marah dan dengan muka merah dia mendekati Siu Coan, langsung saja menjotos dengan kepalan tangan kanannya ke arah muka pemuda itu sambil membentak.

"Orang gila, pergilah dari sini!" Sebagai seorang luar Bangsa Cina yang berani memasuki gelanggang itu untuk menantang dan mengikuti pertandingan, tentu saja dianggap perbuatan orang yang sudah miring otaknya. Pukulan opsir itu keras bukan main, karena dia seorang ahli tinju yang cukup jagoan. Akan tetapi, betapapun cepat dan keras datangnya pukulan itu, bagi Siu Coan tentu saja nampak lamban sekali dan dengan amat mudah dia mengelak dengan menarik tubuhnya ke belakang dan ke kiri. Melihat betapa pukulannya dapat dielakkan dengan demikian mudahnya oleh orang itu, si Opsir menjadi semakin penasaran.

"Eh, kau berani melawan, ya? Nah, makanlah ini!" Dan kembali dia memukul, sekali ini pukulan swing, yaitu ayunan dari samping, bukan pukulan straight (langsung) dari depan seperti tadi, dan yang dituju memang mulut Siu Coan, bukan rahang seperti yang biasa dia lakukan dalam permainan tinju. Agaknya saking marahnya, opsir itu dengan pukulan swingnya yang keras ingin membikin rontok semua gigi dalam mulut Sui Coan.

"Wuuuuuttt!" Angin pukulan itu lewat di depan muka Siu Coan yang kembali sudah berhasil mengelak tanpa menggeser kakinya, hanya dengan ayunan tubuhnya sampai jauh ke belakang.

"Eh, kau benar-benar menantang, ya?" Opsir itu tentu saja kini menjadi marah bukan main. Dua kali dia menyerang, menyerang dengan sungguh-sungguh dan orang ini seenaknya saja mengelak bahkan menangkispun tidak, seolah-olah pukulan-pukulannya tadi hanya permainan anak-anak belaka. Dan semua ini disaksikan oleh banyak perajurit, dan ceakanya, disaksikan pula oleh Admiral Elliot.

Padahal, di antara enam jagoan itu, yang kini memilih juara untuk kenaikan pangkat, belum tentu ada yang akan mampu menandinginya dalam adu tinju. Dengan kemarahan meluap-luap, dia mendesak, kakinya melangkah ke depan dan dia sudah mengirim pukulan upper-cut, yaitu pukulan dari bawah mengarah ke dagu lawan yang kalau mengenai sasaran tentu akan membuat lawan pingsan. Pukulan ini datangnya tiba-tiba dan juga cepat bukan main, agaknya akan sukar untuk dieakkan, kecuali kalau ditangkis. Akan tetapi, betapapun cepat dan dekatnya serangan itu datang, kembali Siu Coan berhasil mengelak, sekali ini terpaksa melangkahkan kaki depan ke belakang dan upper-cut itu hanya melayang lewat di depan hidungnya saja. Siu Coan terus mundur lagi dua langkah dan berkata, dengan suara satu satu.



Dewi Sungai Kuning Eps 1 Kemelut Kerajaan Mancu Eps 1 Dewi Ular Eps 2

Cari Blog Ini