Dewi Sungai Kuning 1
Dewi Sungai Kuning Karya Kho Ping Hoo Bagian 1
Dewi Sungai Kuning/Huang Ho Sianli (Seri ke 01 " Dewi Sungai Kuning)
Karya : Asmaraman S Kho Ping Hoo
Jilid 01
Sungai Huang-ho atau Sungai Kuning merupakan sungai yang terbesar dan terpanjang di seluruh daratan Tiongkok. Sungai ini panjangnya tidak kurang dari lima ribu li dan semenjak muncul dari mata airnya yang berada di pedalaman Tibet, yakni di Pegunungan Kun-lun, sungai ini menjelajahi daerah Tiongkok, memanjang dari barat ke timur, dan melalui tidak kurang dari delapan propinsi di Tiongkok yang luas! Huang-ho mulai mengalir dari puncak sebuah bukit di Kun-lun-san, dan dari Propinsi Cinghai ini ia melalui tembok besar di daerah Sining, terus menjelajahi propinsi-propinsi Kansu, Ningsia, dan Suijan melalui Pegunungan Ala-san yang indah permai, lalu membelok ke selatan dan menjadi tapal batas Propinsi Siansi dan Shensi, melalui Propinsi Honan, kemudian masuk di Propinsi Shantung, terus terjun ke laut di Teluk Lancou.
Banyak kota-kota besar dilaluinya, di antaranya yang terpenting ialah kota Lancou, Ningsia, Paotow, dan Kaifeng. Tak terhitung banyaknya kota-kota kecil dilaluinya, dan ribuan kampung dan desa-desa. Hampir semua orang Tiongkok kenal dan pernah mendengar Sungai Huang-ho, atau Sungai Kuning ini. Ia disebut Sungai Kuning karena airnya berwarna kuning, membawa air tanah lumpur berwarna kuning yang merupakan pupuk baik sekali bagi para petani. Sungai Huang-ho terkenal ganas dan sakti, merupakan berkah di waktu tenang, tetapi merupakan bencana besar di waktu banjir. Selama ratusan tahun, bahkan ribuan tahun, semenjak sungai sakti ini lahir, entah sudah berapa laksa jiwa ditewaskannya dan entah sudah berapa banyak hasil sawah dan ladang dihancurkan! Tapi di samping itu pula, Sungai Huang-ho telah banyak dan besar jasanya terhadap kaum tani dengan para nelayan yang mengeduk hasil dari airnya berupa ikan dan lain-lain.
Pada waktu cerita ini terjadi, Tiongkok masih merupakan negara besar yang miskin, yakni dalam arti kata keseluruhannya, baik negaranya maupun rakyatnya yang terbanyak. Memang ada pula yang hidup makmur dan kaya raya, bahkan berlebih-lebihan, yakni para tuan tanah di kampung dan desa, para pedagang besar di kota-kota, dan para pembesar dan orang berpangkat, terutama mereka yang berada di dekat kaisar yang merupakan pusat kemewahan. Tapi apa artinya beberapa gelintir manusia yang hidup mewah dan makmur ini jika sebagian besar rakyatnya miskin dan papa, banyak sekali yang demikian sengsara sehingga boleh dikata pagi makan malam tidak dan belum tentu setahun sekali bertukar baju? Sungai Huang-ho menjadi saksi akan segala kejanggalan hidup di negerinya. Ia telah melihat betapa orang-orang lemah teraniaya, betapa si kuat menindas si lemah berdasarkan hukum rimba,
Betapa si kaya memeras tenaga si miskin berdasarkan hukum perbudakan, dan betapa apa yang dinamakan keadilan itu hanyalah akibat dari pengaruh berkilatnya emas dan perak. Sungai Huang-ho pernah menyaksikan betapa ribuan jiwa orang-orang gagah yang berjiwa patriot gugur dan tewas dalam tugas suci membela rakyat jelata yang berarti pula membela kebenaran, membela keadilan, dan membela prikemanusiaan. Orang-orang gagah yang berjuang tanpa mengharapkan hadiah, tanpa mengharapkan pembalasan jasa, yang berjuang dengan mulut diam tapi semangat bernyala-nyala, para pembela bangsa yang gagah perkasa, yang meneteskan darahnya untuk kepentingan rakyat, hingga darah mereka terbawa hanyut oleh arus Sungai Kuning dan darah patriot itu melanjutkan usaha perjuangan yang telah tewas dengan jalan menjadi pupuk bagi sawah ladang pak tani!
Karena keadaan yang sukar hingga untuk mencari pengisi perut agar jangan mati kelaparan saja sedemikian sulitnya, maka di sana-sini muncullah orang-orang yang beriman lemah tapi bertubuh kuat, melebur diri menjadi penjahat-penjahat, perampok, maling, dan tukang pukul bayaran. Juga banyak muncul bajak-bajak sungai yang siap membajak perahu-perahu yang lewat di daerah mereka. Di antara para bajak sungai, yang paling terkenal dan ditakuti lawan disegani kawan, ialah seorang bajak tunggal yang disebut orang Huang-ho Sui-mo atau Setan Air Sungai Huang-ho! Sedari muda, sumber hidupnya dari sepanjang Sungai Huang-ho dengan sebilah pedangnya dan ia belum pernah terkalahkan. Semenjak bajak air yang gagah perkasa ini muncul,
Maka terjadi perubahan besar dalam lalulintas Sungai Huang-ho, karena Huang-ho Sui-mo mengadakan larangan kepada semua bajak di sepanjang sungai itu agar jangan sekali-kali mengganggu para nelayan dan petani! Tentu saja, mula-mula tidak ada bajak yang sudi menurut aturan yang diadakan ini, tapi mereka yang tidak menurut ini satu persatu dilenyapkan dari permukaan sungai oleh Huang-ho Sui-mo! Semenjak itu, tiada seorang pun kepala bajak yang berani membantah lagi dan para nelayan dan rakyat kecil menghela napas lega dan dapat melanjutkan pekerjaan mereka dengan aman. Tapi, Sungai Huang-ho merupakan pantangan bagi pembesar atau orang-orang hartawan yang hendak lewat. Mereka ini baru berani lewat kalau membawa pengawal yang banyak dan kuat. Pada masa cerita ini terjadi, Huang-ho Sui-mo telah sepuluh tahun lebih mengundurkan diri dari pekerjaan membajak.
Tapi biarpun demikian, ia dengan perahunya yang kecil dan setengah tua itu masih nampak hilir mudik dan celakalah mereka yang berani melanggar aturan yang telah ia tetapkan! Karena bajak air ini telah mengundurkan diri karena telah tua, maka lambat laun sebutan Huang-ho Sui-mo atau Setan Air dari Huang-ho telah menghilang. Bajak tunggal ini pun lalu mengubah julukannya karena ia kini mulai meyakinkan ilmu batin dan menjadi pemeluk Agama To yang banyak dianut oleh orang-orang di sepanjang Sungai Huang-ho. Kini bajak sungai yang gagah perkasa ini disebut orang Thian Bong Sianjin, karena biarpun sudah tua, orang pandai ini masih sering kali mengulurkan tangan menolong sesama hidup sehingga ia sangat dihormati dan dikagumi. Namanya sendiri memang Thian Bong, dan orang-orang yang berhutang budi kepadanya, untuk menyatakan penghargaan mereka, lalu menambahkan julukan Sianjin atau manusia dewa kepadanya!
Pada suatu hari, di dalam hutan rimba yang penuh dengan pohon-pohon besar dan bunga-bunga indah, di mana air Sungai Huang-ho mengalir berlenggak-lenggok dan menimbulkan tikungan-tikungan yang benar-benar indah, di atas permukaan air yang luas itu tampak sebuah biduk kecil yang kedua ujungnya runcing meluncur dengan cepatnya. Keadaan pagi hari itu amatlah indahnya hingga siapa saja yang berada di tempat itu pasti akan merasa bahagia dan riang. Sinar matahari yang menerobos di antara celah-celah daun pohon, memancar ke atas air sungai yang mengeluarkan embun mengepul ke atas. Warna campuran antara kelabu, hijau daun, dan kuning emas itu merupakan paduan warna yang indah dan menciptakan tamasya alam yang menakjubkan.
Biduk yang meluncur cepat itu dinaiki oleh dua orang. Seorang kakek berpakaian putih dengan jubah pertapaan dan seorang anak perempuan berpakaian putih pula. Kakek itu usianya tentu lebih dari lima puluh tahun, rambutnya penuh uban dan panjang pula, diikat di atas kepalanya dengan ikat rambut sutera kuning. Di punggungnya tampak gagang pedang menambah kegagahannya. Muka kakek itu licin tidak ditumbuhi kumis maupun jenggot sehingga ia tampak segar dan sehat. Anak perempuan itu berusia kurang lebih dua belas tahun, wajahnya segar dan mungil, sepasang matanya tajam gembira dan ia bernyanyi-nyanyi kecil sambil mendayung. Kalau diperhatikan, maka orang akan merasa terkejut dan heran sekali mengapa biduk kecil itu dapat melaju demikian cepatnya, padahal yang mendayung hanya seorang anak perempuan yang masih kecil!
Siapakah kakek yang gagah dan anak perempuan mungil itu? Dia bukan lain Thian Bong Sianjin sendiri! Dan anak perempuan itu ialah cucu pungutnya yang juga menjadi muridnya sejak dua belas tahun yang lalu, ketika air Sungai Huang-ho membanjir dan mengamuk ganas sehingga menenggelamkan banyak kampung dan mengorbankan banyak jiwa manusia. Thian Bong Sianjin seperti biasa menggunakan kepandaiannya menolong mereka yang terkena bencana. Di antara sekian banyak orang yang ditolongnya, terdapat seorang anak perempuan yang masih bayi dan berusia paling banyak tiga hari! Thian Bong Sianjin tidak dapat menemukan orang tua anak ini, dan ia menjadi bingung sekali melihat bayi yang masih merah ini berada dalam pelukannya.
Wajah bayi itu sungguh membuat ia terharu dan menarik perhatian serta membangkitkan belas kasihan dalam dadanya sehingga ia mengambil keputusan untuk memungut anak itu menjadi cucunya! Dengan pertolongan orang-orang kampung, ia dapat juga memelihara anak perempuan itu. Dan ia memberi nama anak itu Thian Hwa. Semenjak kecil, Thian Hwa hidup berdua dengan kakeknya dan menerima latihan-latihan ilmu silat tinggi dari kakeknya yang gagah perkasa ini. Thian Bong Sianjin bukan saja ahli ilmu silat, tapi juga ilmu dalam air, sehingga bukan saja ia dapat berenang cepat sekali bagaikan seekor ular air, tapi juga kuat sekali bertahan dalam air seperti seekor ikan! Thian Hwa si gadis cilik itu pun ternyata suka sekali akan permainan dalam air, sehingga setiap hari tentu terjun ke air yang dalam dan berenang gembira ria bersama kakeknya.
"Thian Hwa, kali ini kau harus menggunakan kepandaianmu sendiri membawa biduk kita melintasi tikungan sempit di hutan Koai-siong-lim itu. Sanggupkah?" kata Thian Bong Sianjin kepada cucunya. Thian Hwa tersenyum memperlihatkan giginya yang kecil-kecil dan putih bersih.
"Mengapa tidak sanggup, Kong-kong? Ketika kita lewat dahulu, kau hanya membantu sedikit dan telah memberi petunjuk kepadaku. Pula, seandainya aku masih belum dapat, aku tidak percaya kau akan tinggal berpeluk tangan saja dan membiarkan biduk kita terbalik sehingga pakaianmu akan basah kuyup!" Thian Bong Sianjin tertawa geli mendengar kata-kata cucunya yang cerdik itu.
"Kalau sekali ini kau tidak dapat, biarlah kita basah kuyup bersama, aku tidak mau membantumu, tentu kau tidak akan melakukannya dengan sungguh-sungguh dan mengharapkan bantuanku belaka!" Kakek dan cucunya itu lalu tertawa geli bersama-sama sehingga di atas Sungai Huang-ho yang memanjang itu bergemalah suara tertawa yang kecil nyaring dan bercampur dengan suara tertawa besar parau. Tikungan yang disebutkan oleh Thian Bong Sianjin itu memang sangat berbahaya.
Ketika sampai di tempat itu, sungai menjadi kecil dan sempit dan air mengalir sepanjang tikungan yang menurun itu dengan cepat sekali! Ini saja sudah berbahaya, belum ditambah dengan batu-batu besar menonjol di permukaan air, besar dan tajam berwarna hitam menakutkan karena batu-batu itu berbentuk aneh sebagai binatang-binatang buas. Dan semua ini masih ditambah lagi pusaran-pusaran air yang berputar cepat merupakan sumur-sumur air yang berbahaya sekali, yang terjadi karena aliran air terpukul kembali oleh air yang tiba-tiba menikung sehingga terjadi aliran bertentangan. Tempat ini telah sangat terkenal bagi para nelayan dan penduduk di sekitar tempat itu, sebagai tempat yang banyak mendatangkan korban. Kebanyakan yang menjadi korban adalah tukang-tukang perahu yang datang dari tempat jauh dan belum tahu akan berbahayanya tempat itu.
Memang bagi yang tidak tahu, tadinya air bergerak maju biasa saja karena memang sangat dalam sehingga lajunya tidak kentara. Tapi setelah mendekati tikungan itu, air melaju cepat dan jika perahu sudah terbawa hanyut oleh aliran yang cepat itu, maka sukarlah untuk melepaskan diri. Apalagi setelah tiba di tempat yang penuh batu-batu, tak mungkin lagi untuk mendayungnya ke tepi. Dan celakalah mereka yang berada di dalam perahu yang telah hanyut sampai ke tempat itu. Oleh karena ini, maka tempat itu disebut Tikungan Maut oleh para nelayan dan bilamana melalui tempat itu, mereka naik ke darat bersama perahu mereka dan menyeret perahu itu sampai melewati tikungan. Tentu hal ini membikin repot sekali, terutama sekali mereka yang membawa barang-barang banyak dan berat.
Maka bermunculanlah buruh-buruh pengangkut barang-barang itu dan keadaan di situ menjadi lebih makmur bagi penduduk di dekat tikungan, yakni di sekitar hutan Koai-siong-lim. Ketika biduk yang didayung Thian Hwa telah kena terpegang oleh aliran sungai yang mulai melaju, Thian Hwa perdengarkan seruan girang. Bibirnya yang kecil merah tersenyum-senyum, sepasang matanya bersinar-sinar dan ditujukan ke air di depan biduknya, sedangkan sepasang tangannya erat-erat memegang sepasang dayung di kanan kiri perahu kecil yang runcing depan belakangnya itu. Thian Bong Sianjin benar-benar mulai memeluk tangannya dan memandang cucunya dengan tersenyum senang. Karena aliran air sangat cepat, Thian Hwa tidak mendayung, hanya menggunakan dayung-dayungnya untuk menahan imbangan biduk dan mencari jalan di pusat aliran terbesar, yakni di tengah-tengah.
Biduknya maju kencang bagaikan anak panah yang baru saja terlepas dari busurnya, melayang cepat. Angin dingin membelai-belai rambutnya sehingga rambut itu, berkibar melambai di belakangnya. Kini biduk mulai memasuki daerah batu, dan batu-batu karang besar dan tajam mulai tampak menonjol di permukaan air. Keadaan mulai berbahaya dan makin lama batu-batu itu makin banyak, malang-melintang di tengah-tengah sungai menghadang jalan air sehingga aliran air melenggak-lenggok laksana menggila. Tapi makin berbahaya keadaannya, makin gembiralah Thian Hwa. Anak gadis itu menggunakan dayung di tangannya untuk menolak batu-batu di kanan kiri yang mengancam pinggir biduk, sehingga biduk itu sebentar membelok ke kanan, sebentar membelok ke kiri.
Kini tidak mungkin lagi untuk "menumpang" pusat aliran air dan menyerahkan biduk dibawa hanyut saja karena batu-batu yang ganas itu telah memecah-belah aliran sehingga menjadi aliran-aliran kecil di antara batu-batu yang tidak cukup lebar untuk dilewati badan perahu. Maka Thian Hwa harus memilih jalan sendiri, di antara batu-batu karang itu dan ini membutuhkan ketabahan, kecepatan, kekuatan, keberanian dan ketelitian yang luar biasa. Tapi sungguh mengherankan betapa anak gadis yang berusia paling banyak dua belas tahun itu dapat menguasai biduk sedemikian gagah dan hebatnya! Di suatu tempat yang paling banyak terdapat batu, tiba-tiba Thian Hwa kehilangan jalan. Jalan di depannya buntu, dan tidak ada satu pun ruang yang cukup lebar untuk dilewati biduknya!
Ia teringat bahwa pada perjalanan yang lalu ia telah mendapat kegagalan tiga kali sehingga perlu dibantu oleh kakeknya, dan kegagalan pertama adalah di tempat ini. Ia lalu mengambil keputusan cepat. Dengan mata tajam setengah dikatupkan ia bawa biduknya meluncur ke arah batu karang yang menonjol rendah dari permukaan air dan di kanan-kiri batu karang itu terdapat batu karang lain yang lebih tinggi. Thian Hwa lalu bangun berdiri lalu sambil berseru keras ia pentang kedua kakinya di kanan kiri badan biduk yang kecil itu, sehingga ia duduk di atas biduk bagaikan seorang yang menunggang kuda! Setelah biduk dekat sekali sehingga akan membentur karang yang menonjol rendah, ia menggunakan kedua dayungnya menekan karang di kanan-kiri dan berteriak keras sambil mengerahkan seluruh tenaga lweekang yang telah mulai dilatihnya.
"Naik!" pekiknya dan biduk itu bagaikan terbang dapat meloncat cepat di atas karang yang menonjol rendah dan bagian paling bawah hanya setengah dim saja lewat di atas karang tajam itu!
"Bagus!" kakeknya memuji tapi ia masih tetap berpeluk tangan! Ia tidak menyangka bahwa cucunya demikian cerdiknya sehingga dapat menggunakan tenaga tekanan dayung pada batu karang untuk meloncatkan biduk yang ia kempit dengan kedua kakinya itu! Thian Hwa belum puas dengan hasil pertama dan pujian kakeknya ini, karena ia maklum bahwa di depan masih ada dua perintang yang lebih berbahaya lagi. Bahaya ke dua adalah tikungan itu sendiri. Setelah batu-batu dapat dilewati, maka aliran air itu berkumpul dan berpusat lagi menjadi aliran yang sangat kuat dan yang maju menubruk dinding karang hitam yang sangat kuat untuk kemudian membelok dengan tajamnya ke kanan!
Biduk Thian Hwa bagaikan disambitkan ke arah batu karang itu. Tapi dengan berseru keras gadis ini menggunakan dayungnya membuat perahunya beralih haluan sehingga menjadi melintang dan tidak bisa melaju lagi, dan dengan jalan inilah ia berhasil mematahkan tenaga bantingan hebat. Ketika berada dekat dengan dinding batu karang yang hitam berkilat itu, ia menggunakan tangan kiri menolak batu karang itu dan dayung kanan tetap digunakan untuk mengatur haluan biduk agar jangan menuju ke dinding itu. Maka lewatlah biduknya dengan selamat di tikungan maut itu! Kini mata Thian Bong Sianjin memancarkan cahaya gembira karena gerakan cucunya tadi memang sempurna yang ia sendiri juga akan melakukannya. Tapi pada saat itu ia berseru,
"Awas!" dan tiba-tiba badan perahu telah sampai pada sebuah ulekan atau pusaran air yang besar dan kuat sehingga sebentar saja biduk itu terputar-putar kencang tanpa dapat dikuasai oleh sepasang dayung Thian Hwa lagi! Tenaga putaran itu terlampau kuat bagi gadis itu sehingga untuk sesaat ia tidak berdaya. Ketika ia melirik ke arah kakeknya, ternyata orang tua itu masih tetap memeluk tangan dengan tenangnya sambil tubuhnya ikut berputar-putar dengan biduk.
Thian Hwa menggigit bibir dan dengan mengeraskan hati ia tetap tidak hendak minta tolong kepada kakeknya! Ia lalu melepaskan kedua dayung di dalam biduk dan tubuhnya segera meloncat ke dalam air bagaikan seekor ikan saja! Tubuhnya segera terbawa pusaran air dan ikut berputar-putar, tapi dengan sebelah tangan memegang pinggir perahu, ia mengatur sebelah tangannya lagi dan kedua kaki perlahan-lahan melepaskan diri dari putaran air. Setelah banyak menggunakan tenaga dan perhitungan tepat, akhirnya berhasil juga ia membawa perahunya keluar dari putaran itu dan ia lalu meloncat lagi ke dalam biduk dengan pakaian basah kuyup! Thian Hwa berdiri di dalam perahunya yang kini terbawa oleh aliran sungai yang masih cepat tapi tenang itu dengan bangga. Ia menghadapi kakeknya lalu berkata,
"Kong-kong, aku dapat melewati Tikungan Maut!"
"Memang kau tadi telah melakukan pekerjaan baik sekali, Thian Hwa, aku ikut girang melihat hasilmu. Tapi putaran air tadi berbahaya sekali, seharusnya kau jangan membiarkan biduk kita sampai tercengkeram olehnya!" Thian Hwa menghela napas.
"Memang aku tadi kurang cepat, Kong-kong!" Ia melihat pakaiannya yang basah kuyup itu. Thian Bong Sianjin lalu mengambil bungkusan pakaian dan melemparkan kepada cucunya.
"Nih, lekas tukar pakaian kering." Kakek itu lalu menggantikan cucunya mendayung dan Thian Hwa tanpa segan-segan lagi lalu berganti pakaian di belakang kakek itu. Setelah kedua dayung itu berada dalam tangan Thian Bong Sianjin, maka tiba-tiba perahu kecil itu meluncur luar biasa cepatnya sehingga sebentar saja mereka telah maju beberapa belas li jauhnya! Di suatu tempat yang airnya tenang dan sungainya lebar sekali, Thian Bong Sianjin tiba-tiba membelokkan perahunya menuju ke tepi.
"Kita berlatih di sini, Thian Hwa," katanya. Lalu dia mengeluarkan empat buah papan dari dasar perahu. Papan-papan itu panjangnya kira-kira dua kaki dan lebarnya setengah kaki, di tengah-tengah agak ke depan dipasangi kayu jepitan seperti pada terompah kayu. Thian Bong Sianjin lalu melepaskan sepasang papan terompah air itu di atas air dan ia lalu meloncat di atas papan-papan kayu itu sambil menjepit kayu tadi.
Papan-papan itu hanya tipis saja dan jika yang memakai orang biasa tentu dia akan tenggelam atau terguling. Tapi Thian Bong Sianjin menggerak-gerakkan kedua kakinya dan papan itu tetap mengambang! Thian Hwa juga meniru perbuatan kakeknya dan ia melepaskan dua buah papan terompah air lagi yang lalu dinaikinya. Kemudian Thian Bong Sianjin dan cucunya menggerak-gerakkan tubuh ke bawah bagaikan orang hendak berloncat lalu berdiri, dan gerakan ini ternyata mendatangkan tenaga dorong yang keras sehingga papan di bawah kakinya meluncur cepat ke depan. Demikianlah, keduanya bermain di atas air, sehingga tubuh mereka tampaknya seakan-akan sedang berlari-lari cepat di atas daratan saja! Thian Bong Sianjin melatih cucunya untuk meluncur di atas satu kaki saja, lalu bergerak maju mundur sedemikian lincah dan mudahnya seolah-olah sedang berlagak di atas tanah keras saja.
Inilah ilmu meringankan tubuh yang betul-betul luar biasa. Dengan latihan macam ini, maka ginkang gadis cilik itu cepat sekali majunya, dan dengan memiliki kepandaian semacam itu, biarpun harus menyeberangi sungai yang bagaimanapun lebarnya, asal ada dua buah papan, mudah baginya! Kemudian kakek dan cucunya itu berlatih silat di atas air. Latihan itu membutuhkan tenaga kaki yang luar biasa sehingga dapat melatih kuda-kuda dan gerak kaki yang tetap. Setelah puas berlatih, Thian Bong Sianjin lalu mengajak cucunya mengunjungi sebuah perkampungan bajak sungai yang dipimpin oleh Ui Hauw yang dijuluki Ular Air. Ui Hauw adalah seorang pemimpin bajak yang tunduk dan taat sekali akan peraturan yang diadakan oleh Thian Bong Sianjin. Bahkan setelah Thian Bong Sianjin mengundurkan diri, Ui Hauw boleh dikatakan menjadi penggantinya.
Tidak heran bahwa di antara kedua orang ini terdapat hubungan erat dan Ui Hauw menganggap Thian Bong Sianjin sebagai orang tua yang sangat dihormati. Pernah dia mohon diterima menjadi murid, tapi ditolak oleh Thian Bong Sianjin, hanya diberi pelajaran beberapa pukulan ilmu silat tinggi! Biarpun hanya menerima sedikit pelajaran, namun Ui Hauw telah menganggap orang tua itu sebagai guru dan menyebutnya "suhu". Boleh dikata sejak mengundurkan diri, segala keperluan Thian Bong Sianjin dan Thian Hwa dicukupi oleh Ui Hauw ini, maka sering kali Thian Bong Sianjin mengajak cucunya berkunjung ke tempat Ui Hauw. Ketika mereka tiba di perkampungan di pantai sungai itu, kebetulan sekali di situ sedang diadakan sedikit pesta untuk menggembirakan dan merayakan ulang tahun putera Ui Hauw genap berusia empat belas tahun.
Ui Hauw hanya mempunyai seorang putera yang diberi nama Ui Yan Bun, seorang anak laki-laki yang berwajah tampan dan cerdik sekali. Ketika Thian Bong Sianjin dan cucunya tiba, semua anak-anak tengah berkumpul di situ dan mereka itu sedang mengadakan pemilihan jago dengan mengadakan pertandingan! Melihat hal ini, Thian Hwa segera berlari ke tempat itu dan ikut menonton. Sedangkan Thian Bong Sianjin disambut oleh Ui Hauw yang mempersilakan duduk ke dalam rumah. Di antara anak-anak yang ikut memasuki pertandingan pemilihan jago, ternyata hanya tinggal dua orang lagi sebagai pemenang, yakni Ui Yan Bun dan seorang anak yang usianya kira-kira lebih tua dua tahun daripadanya. Kini kedua pemenang itu saling berhadapan untuk mengukur tenaga dan kepandaian. Ternyata bahwa keduanya memiliki ilmu silat cukup baik karena kedua-duanya adalah murid dari Ui Hauw sendiri.
Namun segera kelihatan bahwa betapapun juga, Ui Yan Bun masih menang tangkas dan cepat sehingga biarpun telah kalah tenaga, dia dapat mendesak lawannya. Kemudian, dengan gerak tipu "Mendorong Pohon Siong Tua", dia berhasil merobohkan lawannya itu dan menerima tepuk sorak dan pujian dari kawan-kawannya. Thian Hwa belum pernah bertemu muka dengan Yan Bun, karena sesungguhnya Yan Bun baru beberapa hari saja datang di kampung ayahnya. Anak ini oleh ayahnya dikirim kepada peh-pehnya untuk belajar silat, karena memang kakak Ui Hauw yang bernama Ui Tiong memiliki kepandaian silat yang lebih lihai daripada Ui Hauw sendiri. Beberapa bulan sekali Yan Bun pulang ke kampung orang tuanya. Memang Ui Hauw mempunyai pendapat yang aneh. Dia sendiri adalah seorang kepala bajak sungai yang mempunyai cara hidup kasar, tapi terhadap puteranya ia mempunyai cita-cita yang tinggi.
Dia ingin melihat puteranya menjadi seorang gagah yang terhormat dan jangan sampai menjadi seorang bajak seperti dia. Oleh karena inilah maka dia mengirim Yan Bun kepada kakaknya yang tinggal di kota yang membuka warung obat, agar anak ini selain belajar silat, juga dapat mempelajari ilmu surat dan kebudayaan! Mungkin karena berpendirian demikian, maka biarpun menjadi bajak, Ui Hauw adalah seorang bajak yang tidak kejam dan melakukan pekerjaan dengan pilih-pilih dan taat akan peraturan Thian Bong Sianjin. Demikianlah, maka ketika datang ke situ Thian Hwa ikut menonton pertandingan itu, dan ia belum mengenal Yan Bun. Ia melihat betapa Yan Bun dipuji-puji sebagai jago paling pandai, tiba-tiba menjadi iri dan penasaran. Tanpa terasa lagi ia meloncat ke tengah kalangan dan berkata,
"Siapa bilang anak ini yang terpandai? Masih ada aku di sini!" dan gadis cilik itu berdiri menantang sambil bertolak pinggang! Hampir semua anak yang berada di situ kenal kepada Thian Hwa dan tahu akan kelihaian cucu dari Thian Bong Sianjin ini, maka banyak mulut lalu berseru,
"Thian Hwa memang lihai, ia tak terlawan oleh siapa juga!" Bahkan ada yang berani berkata,
"Yan Bun tak mungkin bisa menangkan Thian Hwa!" Mendengar kata-kata ini Yan Bun mengarahkan sepasang matanya yang tajam kepada gadis cilik itu. Dia marah sekali karena merasa dirinya yang telah menjadi pemenang dan baru saja dipuji-puji, sekarang tiba-tiba dipandang rendah oleh seorang gadis. Tapi, biarpun masih kanak-kanak, Yan Bun telah memiliki jiwa jantan yang tidak mau merendahkan kaum wanita. Biarpun hatinya sedang marah, tapi ia tidak memperlihatkannya kepada Thian Hwa. Dia hanya maju dan berkata,
"Jika kau hendak memberi pelajaran padaku yang bodoh, silakan kau maju." Kemudian ia memasang kuda-kuda yang kokoh kuat sambil menanti serangan lawan, tidak mau sekali-kali mendahului menyerang. Thian Hwa melengak. Tidak disangkanya sama sekali bahwa anak laki-laki itu demikian sopan dan pandai membawa diri, jauh berbeda dengan anak-anak lain yang biasanya suka berlaku sombong dan memandang rendah anak perempuan. Juga kuda-kuda yang dipasangnya cukup sempurna dan kuat sehingga diam-diam Thian Hwa merasa kagum dan hatinya menjadi suka kepada Yan Bun. Thian Hwa tersenyum dan berkata,
"Marilah kita coba sebentar." Maka bertempurlah kedua anak itu dengan ramai. Mereka sama-sama cepat, sama-sama gesit dan keduanya telah memiliki dasar-dasar ilmu silat tinggi sehingga kepalan kecil mereka bergerak mendatangkan angin. Semua anak yang menonton pertandingan ini bersorak gembira sehingga menarik perhatian Ui Hauw dan Thian Bong Sianjin. Kedua orang tua ini keluar untuk melihat. Mereka keduanya tersenyum melihat betapa Yan Bun dan Thian Hwa bersilat mengadu kepandaian.
"Ah, anak itu baik sekali!" Thian Bong Sianjin memuji ketika melihat gerakan silat Yan Bun.
"Bukankah itu anakmu Yan Bun?" Karena hubungan mereka yang erat, Thian Bong Sianjin segera mengenal anak laki-laki kawannya. Ui Hauw senang sekali mendengar pujian Thian Bong Sianjin.
"Ah, dia masih bodoh dan banyak mengharap pimpinan Suhu." Thian Bong Sianjin mengangguk-angguk.
"Anak baik, dia mempunyai bakat yang bersih."
Pada saat itu Thian Hwa mengeluarkan ilmu silat Kauw-jiu Kwan Im atau Dewi Kwan Im Tangan Sembilan yang belum lama dipelajari. Tipu silat ini adalah gubahan Thian Bong Sianjin sendiri yang sengaja mengubah ilmu silat ini untuk disesuaikan dengan cucunya, karena dia menganggap lebih tepat daripada ilmu silat lain yang kasar. Kauw-jiu Kwan Im memang mempunyai gerakan-gerakan lemas dan membutuhkan kelincahan dan kecepatan. Maka ketika memainkan ilmu silat yang sukar ini, Thian Hwa harus mengerahkan ginkangnya sehingga tubuhnya melesat cepat dan berputar-putar di sekeliling lawannya, membuat Yan Bun merasa bingung karena tiba-tiba dia melihat betapa gadis itu seakan-akan berubah menjadi tiga orang! Namun, dia telah memiliki ilmu silat yang lumayan juga sehingga dia masih dapat mempertahankan diri dari desakan Thian Hwa.
"Yan Bun, berhenti!" teriak Ui Hauw. Kedua anak itu mendengar teriakan ini dan segera meloncat mundur.
"Yan Bun, jangan kurang ajar, lihat siapa yang datang ini?" Yan Bun memandang dan ia masih ingat kepada kakek yang dulu sering mengajar ayahnya bersilat, maka dia lalu maju berlutut sambil memanggil,
"Su-kong!" Thian Bong Sianjin mengangkat bangun anak ini sambil tertawa.
"Yan Bun, kau telah banyak maju!" Ui Hauw berkata kepada anaknya.
"Tahukah kau siapa yang kauajak bertanding tadi? Ia adalah cucu dari Su-kongmu! Mana kau bisa melawannya?" Thian Hwa telah sering berkunjung ke tempat itu dan kenal baik kepada Ui Hauw tadi, ia segera berkata,
"Aah, Ui Peh-peh selalu memuji-muji saja!" Thian Bong Sianjin gembira sekali melihat kemajuan ilmu silat Yan Bun, maka dia segera bertanya kepada Ui Hauw.
"Tidak tahu apakah dia juga mempelajari ilmu dalam air?" Ui Hauw menjawab.
"Sedikit-sedikit dia pernah teecu latih sendiri. Apalagi rumah Peh-pehnya dekat dengan sebuah telaga yang cukup dalam sehingga dia sering berlatih renang di sana." Kakek tua itu makin gembira, lalu dia berkata kepada cucunya.
"Thian Hwa, coba kauajak Yan Bun berlomba berenang menyeberang sungai itu." Thian Hwa merasa gembira sekali karena ia menduga bahwa biarpun dalam ilmu silat ia hanya menang sedikit, namun dalam hal ilmu dalam air ia tidak usah takut kalah! Maka ia segera menghampiri Yan Bun dan berkata,
"Mari, Ui-twako, kita mencoba kepandaian renang kita." Yan Bun memandang gadis cilik itu dengan heran. Dia tadi sangat kagum karena ternyata ilmu silat anak gadis itu tidak lebih rendah daripadanya, bahkan kalau dia boleh berkata terus terang, dia harus mengakui keunggulan Thian Hwa!
Kini ternyata gadis cilik ini pandai pula berenang, karena kalau tidak pandai, tidak nanti dia berani menantangnya demikian gembira. Dia makin merasa takluk kepada Thian Bong Sianjin dan diam-diam mengiri terhadap keberuntungan Thian Hwa yang sudah terpilih menjadi murid kakek berilmu tinggi itu. Setelah keduanya tiba di tepi sungai dengan diikuti oleh semua anak-anak dan orang-orang kampung, para anggauta bajak kini merasa tertarik dan ikut menonton, tidak ketinggalan pula Thian Bong Sianjin dan Ui Hauw sendiri. Thian Hwa lalu berlari bersembunyi untuk berganti pakaian. Ketika ia datang lagi, ia telah memakai pakaian yang serba ringkas dengan mulut celana yang dapat diikatkan pada pergelangan kakinya dan lengan baju yang pendek sampai ke siku. Dengan pakaian ini ia dapat bergerak lebih leluasa di dalam air. Semua orang memandang dengan kagum.
Kemudian, setelah Yan Bun juga siap sedia, keduanya lalu terjun ke air berbareng dan berenang dengan cepat menyeberang! Air di bagian itu tenang saja, tapi sangat dalam dan sangat lebar sehingga untuk menyeberang sekali saja, bagi orang-orang yang tidak terlatih baik akan terasa lelah sekali, jangan kata bagi mereka yang tidak pandai berenang! Tapi kedua anak itu ternyata benar-benar pandai karena mereka berenang dengan cepat dan sepasang kaki dan tangan mereka berpusing-pusing bagaikan kitiran dan membuat air sungai berbuih keputih-putihan di dekat tangan dan kaki! Perlombaan renang ini mendatangkan kegembiraan besar dan semua anak bersorak-sorak menjagoi pilihan masing-masing, tapi sebagian besar anak lelaki menjagoi Yan Bun sedangkan anak-anak perempuan tentu saja memilih Thian Hwa.
Dan ternyata mereka berdua tiba di pantai sebelah sana dengan waktu yang hampir bersamaan dan segera mereka berbalik dan kini mereka berenang sambil menyelam. Semua anak yang menonton pertunjukan ini menahan napas karena kini kedua jagoan mereka lenyap dari permukaan air! Sampai lama sekali tidak nampak keduanya muncul dari bawah air, seakan-akan mereka sengaja bertahan dan tidak mau muncul lebih dahulu! Setelah lewat lama sekali, barulah tampak Yan Bun muncul ke permukaan air sambil terengah-engah karena terlalu lama dia menahan napas! Anak-anak perempuan yang menjagoi Thian Hwa bersorak riuh karena munculnya Yan Bun ini mereka anggap sebagai kemenangan bagi Thian Hwa yang ternyata lebih kuat bertahan di bawah permukaan air!
Tapi sampai lama ditunggu, belum juga Thian Hwa tampak muncul! Yan Bun merasa heran sekali, karena mungkinkah gadis itu dapat bertahan selama itu di dalam air? Ah, tidak mungkin! Andaikata lweekang gadis itu sudah sangat tinggi dan kuat, rasanya tidak mungkin ia dapat menahan napas selama itu. Tapi, karena dalam hal bertahan diri di dalam air dia merasa dikalahkan, Yan Bun lalu keluarkan kepandaian berenangnya yang paling cepat untuk mendahului tiba di tepi. Benar saja, ia dapat mencapai tepi lebih dahulu dengan disambut sorakan ramai. Tapi kini orang-orang gelisah karena Thian Hwa belum juga tampak muncul! Bahkan Ui Hauw sendiri menjadi gelisah dan tidak tahan lagi untuk tidak bertanya kepada Thian Bong Sianjin.
"Suhu, apakah benar-benar Thian Hwa dapat bertahan sedemikian lamanya?" Karena Ui Hauw Si Ular Air sendiri tak sanggup untuk berdiam di dalam air sedemikian lamanya! Thian Bong Sianjin yang semenjak tadi hanya tersenyum saja, ketika mendengar kata-kata Si Ular Air ini tertawa terkekeh-kekeh, lalu menuding ke arah air sambil berkata,
"Ha, kau juga kena dikelabuhi? Lihatlah batang jerami itu! Pernahkah melihat batang jerami bisa berenang?"
Ui Hauw memandang dan dia pun ikut tertawa terbahak-bahak. Tak lama kemudian, batang jerami yang menonjol di permukaan air dan semenjak tadi bergerak ke arah tepi, telah tiba di tepi dan tampaklah kini kepala Thian Hwa yang segera muncul. Wajah gadis itu berseri-seri dan pada mulutnya tergigit sebatang jerami panjang. Jadi ternyata gadis yang sangat cerdik ini telah mengalahkan Yan Bun dalam bertahan di bawah air dengan menggunakan akal, yakni ia menggigit batang jerami yang berlubang dan dengan telentang ia dapat berenang di bawah air seenaknya karena dapat bernapas melalui batang jerami yang berlubang itu! Semua orang tertawa dan memuji gadis itu, terutama Ui Hauw merasa kagum dan gembira sekali.
"Suhu, bukankah cucumu itu cocok sekali kalau kelak menjadi jodoh putera teecu?" katanya perlahan.
Thian Bong Sianjin hanya tertawa saja, tapi tidak menjawab sesuatu, karena pada saat itu dia belum memikirkan tentang hal itu. Karena sayang dan suka kepada Yan Bun, sejak saat itu Thian Bong Sianjin sering sekali datang ke kampung Ui Hauw untuk memberi pelajaran silat kepada Yan Bun, sehingga boleh dibilang semenjak saat itu murid Thian Bong Sianjin menjadi dua orang, yakni Thian Hwa sendiri dan Yan Bun. Kakek tua itu tidak pilih kasih dan ia memberi pelajaran kepada Yan Bun dengan sungguh-sungguh, bahkan pelajaran yang diterima oleh Yan Bun jauh lebih banyak daripada yang pernah dia berikan kepada Ui Hauw. Yan Bun memang berotak terang, maka dia dapat menguasai semua pelajaran yang diberikan itu dengan baik sehingga mendapat kemajuan pesat sekali.
Malah kini dia dapat ikut bersilat di atas air dengan menggunakan papan terompah air bermain-main dengan Thian Hwa. Hubungan kedua anak itu menjadi erat, karena Thian Hwa suka kepada Yan Bun yang bersikap lemah-lembut, sopan-santun dan pandai pula berkelakar. Sebaliknya, sudah semenjak pertemuan pertama, Yan Bun kagum sekali kepada Thian Hwa yang dianggapnya sebagai seorang gadis yang tidak ada nomor duanya di dunia ini! Berkali-kali, apabila melihat hubungan kedua anak itu demikian baiknya, Ui Hauw mengutarakan pikirannya untuk menjodohkan keduanya, tapi selalu Thian Bong Sianjin tidak mau menyatakan persetujuannya, walaupun dia juga tidak menyatakan ketidaksukaannya akan usul ini. Hanya satu kali pernah dia berkata kepada Ui Hauw,
"Tentang hal itu, aku tidak berpendirian kukuh. Biarlah hal itu diputuskan sendiri oleh Thian Hwa. Anak itu berdiri sendiri di dunia ini, maka segala hal yang menyangkut dirinya, biarlah dia sendiri mengambil keputusan. Aku orang tua yang hanya sebentar lagi berada di dunia ini cukup mengamat-amati saja."
Mendengar keterangan yang bersifat pernyataan isi hati kakek ini, Ui Hauw maklum. Dia tahu bahwa Thian Hwa bukanlah cucu gurunya sendiri, sedangkan dia tahu pula bahwa kakek tua itu berhati mulia dan penuh belas kasih, hingga untuk kebahagiaan orang lain, dia sendiri rela berkorban. Apalagi untuk menjaga kebahagiaan Thian Hwa yang dikasihi, dia tentu tidak perdulikan perasaan hatinya sendiri dan menyerahkan saja kepada anak itu agar tidak sampai salah pilih. Telah beberapa kali Thian Hwa bertanya kepada kakeknya tentang ayah ibunya, karena gadis ini setelah besar mengerti bahwa selain kakeknya, ia tentu mempunyai seorang ibu dan ayah. Jika ditanya kakeknya selalu memberi jawaban menyimpang sehingga Thian Hwa menjadi penasaran. Pernah gadis itu berkata,
"Kong-kong, kalau memang ayah ibuku telah meninggal dunia, katakanlah saja. Tapi kalau mereka masih hidup, bawalah aku bertemu dengan mereka." Gadis yang semenjak kecilnya tidak pernah menangis ini ketika mengajukan pertanyaan, dari kedua matanya mengalir air mata membasahi pipinya. Tapi ia dapat menetapkan hatinya yang keras untuk tidak menangis tersedu-sedu. Thian Bong Sianjin ketika ditanya dan mendengar sesalan cucunya ini, menghela napas panjang. Memang dari dulu dia telah maklum bahwa pada suatu saat pasti datang pertanyaan ini dan kalau sudah tiba waktunya, tak mungkin lagi dia dapat membohongi anak itu. Dia memang belum pernah bertemu dengan kedua orang tua Thian Hwa, tapi pada malam dia menolong dan merawat Thian Hwa, dia bermimpi bertemu dengan seorang wanita muda yang menangis sedih dan berlutut kepadanya sambil berkata,
"Inkong, peliharalah anakku baik-baik..." Thian Bong Sianjin masih ingat betul bahwa wanita muda itu wajahnya cantik dan di atas bibirnya terdapat tahi lalat hitam. Tapi hal itu disimpannya sebagai rahasia sendiri dan tidak pernah menuturkannya kepada orang lain. Setelah usia Thian Hwa meningkat sehingga sukar untuk dibohongi lagi, terpaksa dia menjawab,
"Thian Hwa, memang kau masih mempunyai ayah dan ibu!" Mendengar kata-kata itu, gadis itu berdiri dan merangkul kakeknya untuk menyembunyikan matanya yang telah basah di pundak kakeknya itu. Dan terbayanglah lagi wajah wanita muda di depan mata Thian Bong Sianjin. Dia masih teringat bahwa wanita itu memakai pakaian yang mewah seperti orang berpangkat.
"Di mana mereka, Kong-kong? Di mana?" Thian Hwa bertanya sambil tersenyum dan wajah yang berseri-seri.
"Sabarlah, Thian Hwa. Aku sendiri belum pernah bertemu dengan mereka itu! Ketahuilah, aku... aku bukanlah kakekmu sejati. Kau kutemukan di... dan... dan aku pun tidak tahu siapa orang tuamu." Wajah yang berseri-seri itu tiba-tiba menjadi muram bagaikan api bernyala disumbu lilin tiba-tiba tertiup padam.
"Kalau begitu... Kong-kong... mari kita cari mereka..." Thian Bong Sianjin lalu memeluk muridnya yang baru berusia tiga belas tahun itu.
"Thian Hwa, kau sabarlah. Apa Kau kira aku tidak suka melihat kau berjumpa dengan kedua orang tuamu? Aku mendidik kau menjadi orang pandai juga dengan maksud agar kelak kau dapat mencari mereka! Tapi nanti, kalau kau sudah dewasa dan sudah memiliki kepandaian tinggi. Sekarang kau belajarlah dengan tekun dan rajin, kelak tentu akan tiba masanya aku melepaskan kau pergi mencari orang tuamu."
Tubuh Thian Hwa menggigil dalam pelukan kakeknya, tanda bahwa anak itu menggunakan seluruh tenaganya untuk menahan isak tangisnya. Thian Bong Sianjin menghela napas. Sungguh hebat luar biasa sekali anak ini, pikirnya dengan kagum. Semenjak itu, Thian Hwa tekun mempelajari ilmu silat tinggi, bersama-sama Yan Bun sehingga tingkat kepandaian mereka saling susul dan tidak berbeda jauh. Yan Bun tumbuh menjadi seorang pemuda yang sabar, hati-hati dan sebelum bertindak selalu mengadakan perhitungan tepat dan cermat, tapi Thian Hwa menjadi seorang gadis yang sangat pemberani dan bebas.
Mungkin hal ini terjadi karena memang semenjak kecil ia hidup berdua dengan kakeknya, lepas bebas sebagai seekor burung di udara, dan dalam pada itu, segala macam bahaya dan kesukaran selalu ia pecahkan sendiri karena memang disengaja oleh Thian Bong Sianjin untuk membiarkan gadis itu menghadapi segala kesukaran dengan tenaga sendiri, dan baru ditolongnya kalau memang perlu ditolong! Karena inilah, maka watak Thian Hwa selain keras dan jujur, juga sangat pemberani dan percaya penuh akan kemampuannya sendiri. Pada suatu hari, ketika seperti biasanya Thian Bong Sianjin dan Thian Hwa mengunjungi perkampungan Ui Hauw, mereka mendapatkan kampung itu dalam persiapan dan Ui Hauw tampak berwajah muram. Thian Bong Sianjin merasa heran sekali dan baru saja dia dan cucunya mendarat,
Ui Hauw menyambutnya dengan penuturan sebuah peristiwa yang membuat Thian Hwa menjadi marah sekali. Semenjak Thian Bong Sianjin mengundurkan diri dan mencuci tangan dari pekerjaannya sebagai bajak tunggal, maka peraturan yang dia tetapkan bagi semua bajak di Sungai Huang-ho tetap diindahkan dan ditaati semua bajak besar kecil. Terutama karena mereka semua itu mendengar bahwa Si Ular Air Ui Hauw yang dianggap sebagai pengganti Thian Bong Sianjin yang dulu disebut Huang-ho Sui-mo atau Setan Air Sungai Huang-ho, terkenal sebagai seorang gagah yang mengutamakan keadilan dan kegagahan dan tetap mentaati peraturan yang ada. Akan tetapi, karena Ui Hauw kini jarang sekali meninggalkan perkampungannya yang kini menjadi kampung tetap, dan boleh dikata tak pernah kepala bajak itu mendayung perahunya lagi menjelajah sepanjang sungai,
Lambat laun kekuatan para bajak makin lemah dan di sana-sini terjadi pelanggaran-pelanggaran. Ada kumpulan bajak yang sengaja mengganggu perahu-perahu nelayan dan merampas hasil-hasil yang didapatnya, bahkan ada yang merampok ikan-ikan yang didapat dengan bekerja keras sehari semalam oleh tukang-tukang ikan itu! Baru beberapa bulan akhir-akhir ini, di permukaan Sungai Huang-ho timbullah nama baru yang cukup menggemparkan dan yang seakan-akan mendesak ke samping nama Ui Hauw yang telah lama seakan-akan tidak aktif lagi itu. Memang, sudah lama sekali Ui Hauw mengajar anak buahnya untuk mendapatkan hasil dengan cara menangkap ikan dan bertani di pinggir sungai yang tanahnya subur itu, sehingga mereka kini boleh dibilang menjadi nelayan-nelayan dan petani-petani yang pandai dan hidup damai!
Nama baru ini ialah Ma Tek San yang digelari orang Tiat-thou-kim-go atau Buaya Emas Kepala Besi! Orang she Ma ini tadinya adalah seorang perampok, tetapi karena kekurangan hasil, lalu menceburkan diri dalam kalangan pembajakan dan menjadi seorang bajak yang ganas. Karena kepandaian silatnya yang tinggi, ditambah pula memang dia pernah mempelajari ilmu dalam air, maka sebentar saja dia dapat mengangkat dirinya menjadi kepala dan pengikut-pengikutnya adalah orang-orang yang sifatnya sesuai dengan dia, yakni kejam dan berani mati. Karena baru saja muncul dari bidang pekerjaan lain, yakni merampok, maka Ma Tek San tidak pernah bertemu muka dengan Ui Hauw, dan karenanya tidak menaruh hormat sedikitpun juga. Dia membajak sesuka hatinya, bahkan berani melanggar wilayah atau daerah dari bajak-bajak lain, hingga terjadi pertempuran-pertempuran.
Tetapi selama ini belum pernah ada bajak lain yang sanggup mengalahkannya, maka sebentar saja namanya menjadi terkenal dan sangat ditakuti. Walaupun demikian, Ma Tek San juga mendengar tentang nama besar Ui Hauw sehingga dia belum berani main-main atau coba-coba mengganggu wilayah orang she Ui itu. Tapi pada dua hari yang lalu, mulailah Si Buaya Emas itu beraksi! Dan sekali ia beraksi, dia tidak mau kepalang tanggung lagi! Dia telah mengganggu dan merampas semua ikan dari empat orang nelayan yang bukan lain adalah anak buah Ui Hauw sendiri! Ini masih belum hebat, yang lebih menyakitkan hati ialah bahwa dua orang di antara yang empat itu telah mati terbunuh, sedangkan yang dua lagi kalau tidak memiliki kepandaian berenang yang cukup tinggi, tentu akan terbunuh pula. Mereka inilah yang datang memberi laporan kepada Ui Hauw dan menceritakan betapa Ma Tek San dengan sombongnya menantang.
"Kalau kalian memang betul anak buah bajak kecil Ui Hauw itu, katakan padanya bahwa kalau dia ingin tahu keberanian Tiat-thou-kim-go, biarlah kutunggu dia di Tikungan Maut!" Ternyata bahwa rombongan bajak baru yang dipimpin oleh Ma Tek San ini telah menjelajah sampai di Tikungan Maut dan agaknya hendak menguasai dan merampas daerah yang subur di mana Ui Hauw dan anak buahnya tinggal. Tentu saja hal ini merupakan penghinaan besar sekali, karena tidak saja Ma Tek San telah melanggar pantangan merampok dan membunuh nelayan, juga telah berani membunuh anak buah Ui Hauw dan mengeluarkan tantangan! Juga semua anak buah Ui Hauw marah sekali dan mereka bersiap untuk menyerbu ke Tikungan Maut. Mendengar berita ini, Thian Bong Sianjin yang sudah tua itu menggunakan tangan kanan mengusap-usap jenggotnya dan tersenyum getir.
"Aku orang tua sudah tiada guna, maka ada orang yang berani berlaku sewenang-wenang dan menjalankan kejahatan di depan mataku. Kalau hal ini kudiamkan saja, maka akan kotorlah Sungai Huang-ho dan percuma saja aku hidup puluhan tahun di permukaan air ini! Biarlah aku mewakili kalian menghajar buaya kecil itu."
"Suhu, yang dihina oleh buaya itu adalah teecu, maka biarkanlah teecu sendiri yang mencoba sampai di mana keperkasaan buaya yang sombong itu. Suhu tidak usah mencapaikan diri turun tangan sendiri," kata Ui Hauw yang merasa sangat sakit hati terhadap orang she Ma itu.
"Ayah, ada aku anakmu di sini, mengapa kau orang tua hendak turun tangan sendiri? Kurasa, kalau hanya orang macam dia itu saja, aku yang telah menerima pelajaran dari Ayah dan Sukong masih sanggup melawannya," kata Yan Bun dengan gagah.
"Berilah aku beberapa orang saudara yang pandai dan gagah berani, dan aku akan tangkap buaya itu dan menyeretnya ke sini."
"Kong-kong dan Ui Peh-peh. Memang betul kata Ui-twako tadi. Hal seremeh ini tak perlu harus membuat Kong-kong atau Peh-peh kesal hati. Untuk memukul anjing kecil tak perlu memakai tongkat besar. Dan juga, kurasa tak perlu Ui-twako harus repot-repot membawa banyak kawan. Hal ini hanya akan merendahkan nama kita saja. Cukup Ui-twako dan saya pergi dan tanggung bereslah beberapa ekor buaya kecil itu!" demikianlah kata Thian Hwa yang sangat jumawa dan berani itu. Ui Hauw maklum bahwa kepandaian Yan Bun dan Thian Hwa telah melampaui kepandaiannya sendiri dan jauh lebih tinggi, maka kalau kedua anak muda itu yang pergi, akan lebih kuat daripada kalau dia sendiri yang pergi. Tetapi dia merasa tidak enak hati untuk melepas kedua anak muda yang belum berpengalaman itu menghadapi seorang penjahat licin seperti Ma Tek San. Karena inilah, maka dia merasa ragu-ragu. Tiba-tiba Thian Bong Sianjin tertawa besar.
"Ha-ha-ha! Sikap kalian ini membuat aku teringat akan masa mudaku ketika kami beberapa hohan menjadi barisan gerilya mengacau pertahanan kubu-kubu tentara Manchu. Tiap kali ada pekerjaan mengadu nyawa, kami selalu berebut untuk melakukannya! Sekarang kalian berebut untuk mencari pahala, ha-ha! Memang beginilah seharusnya laku orang-orang gagah! Ui Hauw, biarlah. Kaulepaskan kedua anak muda ini, biar mereka mendapat pengalaman baru."
Kisah Si Naga Langit Eps 18 Kisah Si Naga Langit Eps 15 Kasih Diantara Remaja Eps 24