Pedang Naga Kemala 29
Pedang Naga Kemala Karya Kho Ping Hoo Bagian 29
"Luar biasa! Betapa bijaksana Ayah kita," kata Kiki sambil tertawa kepada Encinya dan menerima kitab kuno itu.
"Kebetulan warna hijau adalah warna kesukaan saya!"
"Bgus, nah, sekarang akan kubacakan dulu judulnya. Kesinikan kitabmu itu, Hiang." Ceng Hiang sambil tersenyum menyerahkan kitabnya dan ia merasa seolah-olah seperti sedang menarik undian. Apakah undiannya akan berhasil baik? Jangan-jangan kitabnya hanya berisi ilmu-ilmu belajar pasang kuda-kuda saja! Akan tetapi dengan alis berkerut tanda bahwa otaknya bekerja Ayahnya sudah mulai membaca dengan suara perlahan-lahan.
"Kitab Pek-seng Sin-pouw, ciptaan Tat Mo Couw-su, untuk dilatih murid-murid yang bersih hatinya."
"Pek-seng Sin-pouw (Langkah Ajaib Seratus Bintang)? Apakah itu?" Ceng Hiang bertanya, mulai tertarik karena dari ilmu-ilmu yang didapatnya sebagai warisan dari nenek moyangnya, yaitu Puteri Nirahai, ia mempelajari juga semacam ilmu langkah ajaib untuk menghindarkan diri dari serangan-serangan musuh dengan elakan-elakan berdasarkan lika-liku langkah kaki. Akan tetapi selamanya ia belum pernah mendengar akan nama Ilmu Langkah Pek-seng Sin-pouw maka ia merasa tertarik sekali, apa lagi penciptanya adalah Tat Mo Couwsu yang juga disebut datuknya semua kau m persilatan.
"Wah, mana aku tahu? Nanti akan kuterjemahkan untukmu agar dapat kau baca dan pelajari sendiri. Ada lukisan garis-garis lurus dan lengkung yang aku tidak tahu artinya sebelum diterjemahkan. Dan kesinikan kitabmu itu, Kiki." Dengan jantung berdebar, Kiki menyerahkan kitabnya. Ia sendiripun tidak tahu apa yang dimaksudkan dengan Ilmu Langkah Ajaib Seratus Bintang yang jatuh kepada Enci angkatnya, akan tetapi, karena kitab-kitab itu ciptaan Tat Mo Couwsu yang sudah didengar namanya, hatinya menjadi tegang penuh harap-harap cemas. Setelah mempelajari sebentar, pangeran itu lalu membaca judul kitab yang menjadi hak milik Kiki.
"Kitab Hui-thian Yan-cu, ciptaan Tat Mo Couwsu untuk dilatih murid-murid yang penuh belas kasih hatinya."
""Hui-thian Yan-cu (Walet Terbang ke Langit)? Wah, ilmu apa lagi ini?" Kiki bertanya, dan Encinya segera merangkulnya.
"Kiong-hi (selamat), adikku. Aku berani bertaruh bahwa kalau sudah diterjemahkan, ilmu itu tentu semacam ilmu gin-kang yang akan membuat engkau mampu terbang ke langit seperti burung walet!" Kiki tertawa.
"Dan ilmumu itu akan membuat engkau dapat melindungi diri dengan langkah ajaib yang ruwetnya sama dengan seratus bintang. Wah, dengan langkah ajaibmu yang sudah ada saja, aku dibikin setengah mati untuk dapat menyerangmu, apalagi dengan Pek-seng Sin-pouw, tentu engkau takkan dapat ditangkap oleh seratus orang yang mengepungmu. Selamat, Enci!" Keduanya gembira sekali, dan sang pangeran juga ikut bergembira.
"Aku sudah menduga bahwa kitab-kitab ini tentu berguna sekali bagimu, Ceng Hiang, tak kusangka kini malah berguna pula bagi Kiki. Dengan demikian, sedikit banyak aku sudah dapat membalas budi anakku Kiki."
"Gi-hu (ayah angkat), harap jangan sebut-sebut lagi tentang budi. Bagaimanapun, aku pernah membunuhi anak buah pengawal Ayah, dan membakar perahu..." Suaranya mengandung penyesalan besar. Pangeran itu menggoyang-goyang tangannya.
"Jangan disebut-sebut lagi urusan itu, kalau terdengar orang lain tidak baik. Engkau melakukannya karena perjuangan, watakmu bukan karena memang suka membunuh atau merampok."
"Wah-wah, Ayah dan siauw-moi mulai berbantah-bantah lagi, saling salahkan diri dan saling puji. Sudahlah, mulai sekarang keduanya sudah berjanji tidak akan menyebut-nyebut lagi urusan itu dan akulah saksi hidupnya!" Mereka bertiga tertawa, dan mulai hari itu, pangeran Ceng Tiu Ong menterjemahkan kedua kitab itu dengan seksama. Dia tidak akan memberikan kitab yang sudah selesai diterjemahkan, akan diberikan berbareng kepada dua orang anaknya dalam waktu yang sama.
Jarang ada seorang Ayah, atau orang tua seperti Pangeran Ceng Tiu Ong ini. Biarpun yang seorang anak kandung, yang kedua anak angkat, namun cinta kasihnya kepada mereka sama, tidak berat sebelah. Orang tua yang bijaksana tidak akan memilih-milih anak mereka, siapa yang harus dicinta dan siapa yang kurang dicinta, bahkan siapa yang harus dibenci! Namanya bukan cinta kasih, melainkan cinta diri sendiri. Anak yang menyenangkan diri dicinta, yang tidak menyenangkan dibenci. Berarti cinta model sui-poa (alat hitung), model mesin hitung, cinta model dagang dengan dasar untung rugi. Orang tua yang membeda-bedakan anaknya sebetulnya hanya mencinta diri sendiri, mencari kesenangan diri pribadi melalui anak-anaknya.
Cinta kepada anaknya sama saja dengan cintanya kepada anjing peliharaannya, kalau anjing itu mengenal budi, kalau anjing itu tahu membalas budi dan menyenangkan, maka tetap dicinta. Kalau tidak, anjing itu akan dipukul atau bahkan diusir! Sama saja dengan mencinta barang-barang mati, yang baik dan berharga, dicinta... yang buruk dan tidak berharga, dibuang! Apakah yang begini cinta kasih orang tua terhadap anak-anaknya? Mudah-mudahan tidak, dan kalau toh ada yang demikian, mudah-mudahan dapat menyadarinya dan segera mengubahnya. Pergaulan antara Kiki dan Ceng Hiang semakin akrab saja. Pada suatu malam, sebelum tidur, karena Ceng Hiang memaksa agar adiknya itu tidur sekamar dengannya. Kiki mulai bertanya tentang suhengnya yang bernama Lee Song Kim.
"Enci Hiang, sebetulnya ketika aku meninggalku Pulau Naga yang kini menjadi tempat tinggal keluarga Ayahku, selain hendak mengirimkan peti kitab seperti yang dipesan Ayah, aku masih mempunyai sebuah urusan lagi yang belum sempat kubicarakan denganmu. Ada sebuah perintah Ayah, bukan gi-hu (ayah angkat) yang kumaksudkan, yang belum kulaksanakan dengan berhasil."
"Aihh, kenapa tidak kau katakan dari kemarin dulu, adikku sayang? Tugas dari seorang yang berbakti kepada orang tuanya harus dipenuhi dengan baik, dan kalau aku dapat, tentu aku akan membantumu sampai berhasil."
"Terima kasih, Enci Hiang, engkau baik sekali dan memang aku ingin minta tolong kepadamu, yaitu mungkin engkau dapat memberi keterangan tentang orang yang sedang kucari. Aku diperintah oleh Ayah untuk mencari tahu dimana adanya seorang suhengku."
"Kiranya Ayahmu mempunyai banyak murid-murid selain engkau? Wah, tentu suhengmu itu pandai sekali, baru sumoinya saja seperti engkau, apalagi suhengnya."
"Murid Ayah hanyalah aku dan suhengku itu, Enci, sudah lama dia pergi, dan aku ingin tahu dimana alamatnya karena yang kami ketahui hanya bahwa Suheng itu kini telah menjadi seorang perwira kerajaan dan tinggal di Kota Raja."
"Begitukah? Dan siapa namanya?"
"Namanya Lee Song Kim..." Tiba-tiba Ceng Hiang yang tadinya sudah merebahkan diri dan mereka bercakap-cakap sambil tiduran, meloncat bangkit dan duduk, matanya terbelalak memandang wajah Kiki dan sampai beberapa detik lamanya tidak menjawab. Kiki terkejut sekali.
"Eh, ada apakah, Enci Hiang?"
"Lee Song Kim...? kau maksudkan perwira baru itu, yang selalu membawa pedang dan sepasang pisau belati di pinggangnya? Usianya sebaya dengan kita, lebih tua satu dua tahun mungkin, sikapnya halus dan wajahnya tampan. Ilmu silatnya lihai..."
"Benar dia! Enci, engkau kenal dia? Tahukah kau dimana suhengku itu sekarang berada?"
"Tahu? Tentu saja aku tahu, lebih dari itu malah! Tapi, benarkah Lee Song Kim itu suhengmu? Murid dari Ayahmu, murid dari Hai-tok Tang Kok Bu?"
"Heii, apakah engkau tidak percaya kepadaku, Enci Hiang? Itulah suhengku!"
"Maksudku, apakah dia mempunyai guru lain dan hanya kebetulan saja menjadi murid Ayahmu dan hanya untuk beberapa bulan atau tahun saja?"
"Tidak, dia menjadi murid Ayah sejak dia masih kecil. Ayahkulah yang menggemblengnya sejak dia masih kecil sekali sampai dewasa. Bahkan hampir semua ilmu Ayahku telah dia kuasai, dia murid yang amat disayang oleh Ayahku."
"Di antara banyak murid-murid Ayahmu?"
"Tidak. Yang benar-benar menjadi murid Ayah hanyalah Lee Song Kim itu dan aku sendiri. Yang lainnya itu bukan murid benar-benar, hanya anak buah yang dilatih satu dua jurus ilmu saja. Tapi, kenapa kau tanyakan itu semua, Enci?"
"Karena, adik Kiki, dia itu tidak pernah mengaku sebagai murid Hai-tok. Dia mengaku bahwa ilmu silatnya adalah ilmu silat keluarga dari nenek moyangnya."
"Wah, kalau begitu... hanya ada dua kemungkinan! Pertama, dia itu bukan suhengku, hanya orang yang sama namanya saja, dan kedua, dia itu pembohong besar, mungkin karena dia merasa malu mengaku menjadi murid Hai-tok Ayahku!"
"Dan menurut dugaanmu, di antara dua kemungkinan itu, yang manakah dia?"
"Yang kedua! Aku yakin bahwa dia itulah Lee Song Kim suhengku..."
"Ssttt, nanti dulu, adikku, jangan kau memburuk-burukkan dia karena masih ada hal lain lagi mengenai dirinya yang lebih gawat sekali bagiku. Dia adalah laki-laki yang dengan perantaraan komandannya, seorang panglima sahabat baik Ayahku, yang telah... mengajukan pinangan atas diriku karena dia mengaku telah kehilangan Ayah bundanya dan hidup sebatangkara tak bersanak keluarga lagi."
"Ehh... Ohhh... kalau begitu... ahhh..." Kiki terbelalak dan ternganga, bengong tak dapat berkata apa-apa lagi. Sungguh perkaranya kini menjadi berbalik dan berubah sama sekali!
Kenyataan yang mengejutkan bahwa suhengnya itu menjadi kenalan baik, bahkan melamar Ceng Hiang. Sungguh membuat kedudukan suhengnya itu lain sama sekali dan mana dia berani menjelek-jelekkan suhengnya di depan Enci angkat ini? Tapi... suhengnya itu seorang pengkhianat, seorang yang murtad dan jahat. Ia mengerutkan alisnya. Pantaskah orang seperti Lee Song Kim menjadi suami seorang gadis seperti Ceng Hiang ini? Dan iapun menimbang-nimbang. Sebetulnya, apakah kesalahan Lee Song Kim? Tentang dia meninggalkan gurunya, hal itu memang atas perintah Hai-tok untuk mencari jejak Koan Jit. Kemudian Song Kim menjadi perwira kerajaan. Walaupun hal itu sama sekali tidak cocok bahkan bertentangan dengan politik perjuangan melawan penjajah, akan tetapi secara pribadi, apakah hal itu boleh dipersalahkan?
Dan kalau Song Kim lalu mengkhianati gurunya dan melaporkan pertemuan dalam pesta ulang tahun, bukankah kewajibannya sebagai seorang opsir dan petugas Kerajaan Ceng, dan dia hanya bertindak demi kepentingan pemerintah yang diabdinya? Juga ketika dia menyerang perahu Bajak Naga Lautan, bukankah itu juga merupakan tugasnya sebagai opsir Kerajaan Ceng? Berpikir demikian, Kiki menjadi bimbang dan alisnya terus berkerut, mukanya sebentar merah sebentar pucat, dan ia seperti melamun, lupa bahwa sejak tadi ia dipandang oleh kakak perempuan angkatnya itu. Ceng Hiang sejak tadi yang memperhatikan keadaan Kiki, memandang penuh selidik, juga terheran-heran, lalu memegang kedua pundak adiknya itu dan dipaksanya adiknya bertemu pandang. Sinar matanya yang bening tajam itu memandang penuh selidik.
"Haii... bangunlah, Kiki. Apakah engkau mimpi? Kenapa setelah mendengar tentang Lee Song Kim, engkau hanya ber-ah-eh-oh seperti orang yang tiba-tiba menjadi gagu?" Tiba-tiba Ceng Hiang teringat sesuatu dan senyumnyapun menghilang, terganti kekhawatiran pada wajahnya.
"Adikku yang baik. Kita bukan orang lain. Aku Encimu dan engkau adikku. Kita harus jujur. Apakah... apakah... engkau mencinta suhengmu yang bernama Lee Song Kim itu?" Kini Kiki yang terkejut ditanya begitu.
"Mencinta suheng? Wah, tidak. Sama sekali tidak! Memang dulu pernah Ayahku condong untuk menjodohkan kami, akan tetapi aku tidak mau dan sekarang Ayah sama sekali tidak menghendakinya lagi."
"Dan dia... apakah dia cinta padamu?"
"Wah, mana aku tahu, Enci? Kami kakak beradik seperguruan. Hubungan kami seperti kakak dan adik saja. Hal itupun aku tidak tahu. Aku tadi terkejut karena sama sekali tidak mengira bahwa suheng mengajukan pinangan dan akan menjadi calon suamimu."
"Hushh, jangan sembrono. Aku belum menerimanya! Kukatakan tadi bahwa dia dengan perantaraan komandannya, meminang aku, dan agaknya Ayahku suka kepadanya. Akan tetapi Ayah amat cinta kepadaku dan Ayah tidak hendak memaksa. Dia menanti jawabanku sendiri dan karena aku masih bimbang, aku belum beri jawaban. Tapi, kenapa Ayahmu yang dulu ingin menjodohkan kalian kini merubah pikirannya?"
Kiki bukan seorang gadis yang bodoh. Ia cerdik sekali, dan kini tahulah ia bahwa Encinya ini hendak menguras keterangan dari dirinya untuk mengenal siapa sebenarnya pemuda bernama Lee Song Kim yang meminangnya itu. Ia harus berhati-hati, karena tidak tahu sampai dimana hubungan antara suhengnya dan Encinya ini, dan apakah Encinya ini mencita Song Kim. Ia tahu bahwa Song Kim tampan gagah, dan juga pandai merayu, kelihatannya seorang pendekar sasterawan yang budiman.
"Tentu Enci tahu betapa perasaan Ayahku mendengar bahwa dia telah menjadi seorang perwira dari pemerintah Ceng-tiauw, bukan? Nah, sejak dia menjadi perwira itu, tentu saja pendirian Ayah berubah. Akan tetapi seperti kukatakan tadi, tidak ada perasaan apa-apa dalam hatiku terhadap suheng, maka akupun tidak perduli lagi."
"Tapi, kenapa sekarang engkau disuruh Ayahmu untuk mencari tempat tinggalnya?" kembali Ceng Hiang mengejar dan pandang matanya semakin tajam menyelidik.
"Terus terang saja, kalau jumpa, aku diminta oleh Ayah untuk membujuk agar dia mau kembali kepada kami, mau meninggalkan kedudukannya yang sekarang." Ceng Hiang nampak lega dan percaya, terbukti dari helaan napasnya yang panjang.
"Ah, begitukah? Akan tetapi kurasa dia tidak akan mau kembali. Kedudukannya sudah semakin baik, dan karena ilmu kepandaiannya tinggi, baginya terbuka kesempatan untuk mencapai kedudukan tinggi, mungkin bahkan sebagai panglima muda di istana."
"Tapi, bagaimana dengan engkau sendiri, Enci Hiang? Apakah... ada kecondongan hatimu untuk menerimanya? Apakah engkau cinta padanya?" Kini Kiki yang menatap dengan sinar mata tajam penuh selidik. Kembali Ceng Hiang menarik napas panjang dan nampak ragu ragu.
"Entahlah, adikku. Entahlah. Aku memang kagum kepadanya, akan tetapi cinta? Entahlah, aku sendiri tidak tahu bagaimana sih cinta itu. Engkau yang hidup sebagai seorang gadis kang-ouw dan sudah luas sekali pengalamanmu, coba katakan, adikku, bagaimana sih rasanya kalau orang jatuh cinta?
"Aku tidak yakin apakah aku cinta atau tidak padanya, walaupun aku kagum dan suka kepada suhengmu karena dia memiliki ilmu kepandaian tinggi, bertampang ganteng dan bersikap sopan dan lembut. Bagaimana sih cinta itu?" Di dalam hatinya, Kiki menaruh rasa khawatir. Memang suhengnya itu perayu benar dan pandai bersandiwara, sikapnya selalu baik dan memang tampan. Akan tetapi ditanya tentang cinta, dara inipun menjadi bingung sendiri. Apa sih cinta itu? Ia lalu mengingat-ingat, membayangkan tampang laki-laki yang pernah dikenalnya dan dikaguminya. Banyak pendekar muda yang gagah perkasa dan ganteng, terutama sekali Tan Ci Kong itu! Ia sendiri bertanya-tanya, apakah ia mencinta Ci Kong, akan tetapi ia sendiri tidak mampu menjawab. Dan kini Enci angkatnya bertanya tentang cinta kepadanya!
"Cinta? Wah, aku lebih muda darimu, Enci! Biarpun aku sudah banyak menjelajah dan banyak mengenal orang, akan tetapi dalam urusan cinta mencinta, pengetahuanku juga nol besar! Aku tak dapat menjawab. Akan tetapi, bukankah kalau benar-benar engkau mencinta seorang pemuda, ada terasa di dalam hatimu?
"Bagaimana perasaanmu terhadap suhengku itu? Apakah ada rindu? Apakah ada keinginan untuk berdekatan terus? Apakah ada perasaan mesra dan... ah, bagaimana lagi ya? Aku tidak tahu!" Dan keduanya lalu tertawa. Ceng Hiang merangkulnya dan mencium pipinya. Kata-kata dan sikap adik angkatnya itu benar-benar lucu baginya, dan ia memperhatikan wajah Kiki.
"Kalau saja aku ini seorang laki-laki, atau engkau seorang laki-laki, agaknya aku bisa jatuh cinta padamu, Kiki. Tapi kita sama-sama perempuan, sehingga di antara kita tentu lain-lain rasanya di hati. Aku tidak tahu dan aku ragu-ragu.
"Tapi, coba ceritakan lebih banyak tentang suhengmu itu. Orang tuanya dimana? Dari mana dia berasal? Dan pekerjaan hebat apa saja yang pernah dilakukannya? Dan bagaimana dalam pergaulannya denganmu? Apakah dia jujur? Apakah dia dapat dipercaya? Apakah dia penyabar ataukah pemarah? Engkau sebagai sumoinya yang hidup sejak kecil dengan dia tentu mengenalnya dengan baik." Kiki menjadi semakin bingung.
"Wah, wah... pertanyaanmu ini sungguh berat bagiku untuk menjawabnya, Enci. Bagaimana aku dapat menilai orang yang pernah menjadi suhengku akan tetapi juga pernah menjadi musuhku. Ketahuilah, belum lama ini belum ada dua bulan ini, telah terjadi perang antara perahu bajak yang kupimpin dan perahu kerajaan yang dipimpinnya.
"Terpaksa kami, suheng dan sumoi, bertanding di perahu secara mati-matian. Karena pelengkapannya lebih baik dan orang-orangnya lebih banyak, terpaksa aku melarikan diri bersama anak buahku. Ketahuilah, kami telah bertanding mati-matian dan nyaris seorang di antara kita tewas.
"Nah, bagaimana sekarang aku harus menilainya? Memang perkelahian dan permusuhan yang terjadi antara kami berdua bukan persoalan pribadi, melainkan disebabkan karena dia meninggalkan kelompok kami dan menjadi perwira pemerintah. Tentu saja bagi kami, dia itu kami anggap seorang pengkhianat. Maafkan aku, Enci..." Ceng Hiang mengangguk-angguk.
"Tidak apa adikku, aku mengerti benar dan dapat merasakan apa yang kau ceritakan semua itu."
"Kau tidak marah kepadaku?"
"Kenapa marah?"
"Orang yang... kau cinta, kumaki pengkhianat dan kau tidak marah?"
"Hushh, lancang kau !" Kini Ceng Hiang mencubit pipi Kiki.
"Siapa bilang aku cinta padanya?"
"Jadi benar-benar kau tidak sakit hati mendengar dia dimaki pengkhianat?" Ceng Hiang menggeleng kepala. Kiki lalu merangkulnya.
"Horee! Kalau begitu... berarti engkau tidak cinta padanya, Enci Hiang! Jelaslah! Kalau kau cinta seseorang, dan orang itu dimaki pengkhianat, sudah pasti engkau akan marah. Dan sekarang kau tidak marah, itu berarti kau tidak cinta pada bekas suhengku itu."
"Akupun tidak tahu dan mungkin aku tidak cinta padanya, akan tetapi Ayah kelihatan begitu yakin akan kebaikannya, dan agaknya Ayah mengharapkan aku menerimanya. Dan aku... kau tahu, Ayah hanya mempunyai anak aku seorang, aku tidak tega mengecewakan hatinya."
"Wah-wah, kau lupa padaku, Enci? Ingat, aku pun anaknya!" Ceng Hiang menciumnya.
"Maaf, tapi kan lain, adikku?"
"Jadi, kalau begitu... biarpun kau tidak cinta, engkau akan menerima saja pinangan itu dengan mata dipejamkan? Begitu?" Ceng Hiang mengangguk.
"Mungkin saja, kalau hal itu membahagiakan hati Ayah."
"Tidak betul itu! Aku akan menentangnya!" Tiba-tiba Kiki berseru dengan nada suara marah, dan berdiri turun dari tempat tidur dan bertolak pinggang.
"Eh, eh, apa-apaan kau ini? Apa kesurupan setan? tiba-tiba marah-marah seperti itu!" Ceng Hiang mengomel.
"Aku akan menentang karena tidak adil. Kita ini bukan ayam atau kambing atau babi yang boleh begitu saja dituntun ke pejagalan disembelih, hanya untuk untuk menyenangkan manusia. Kita ini berhak memilih, Enciku yang baik. Manusia yang berhak menikmati hidup ini!
"Kalau memang engkau tidak cinta pada Lee Song Kim dan gi-hu hendak memaksamu menerima menjadi calon isterinya, wah, aku akan memberontak! Aku akan menghadap gi-hu dan aku akan membelamu. Pendeknya, aku tidak rela melihat Enciku yang tersayang dijadikan ayam betina untuk disembelih dan disuguhkan orang-orang hanya untuk membikin senang hati orang lain.
"Tidak! Kecuali kalau engkau cinta padanya, nah, baru itu benar namanya. Kalau engkau mencinta seorang dan orang itupun cinta padamu, barulah boleh diadakan pernikahan. Dan kalau ada yang menentang, aku pula yang akan membelamu mati-matian!"
Kini kedua mata Ceng Hiang yang menjadi basah. Ia menarik tangan Kiki dan merangkul adiknya itu sambil menangis perlahan saking girang dan terharu hatinya. Selama hidupnya, Ceng Hiang belum pernah merasakan kasih sayang seorang saudara perempuan, apalagi karena ia masih kecil ketika ibunya meninggal dunia. Kiki juga menangis dan kedua orang wanita yang sama-sama gagah perkasa itu, kini benar-benar menjadi wanita-wanita sejati yang mudah dikuasai perasannya dan suka meluapkan perasaan itu lewat air mata dari dua pasang mata yang indah itu. Dari Ceng Hiang, Kiki mendapat keterangan bahwa Song Kim naik pangkat setelah terjadi penyerbuan di tempat ulang tahun Hai-tok, dan kini tinggal di dalam sebuah gedung yang cukup mewah, dijaga oleh serdadu-serdadu pengawal.
"Engkau jangan mengunjunginya, karena bisa terjadi salah paham setelah kalian pernah berkelahi. Juga aku ingin sekali melihat sikapnya kalau bertemu denganmu. Karena itu, Kiki... aku akan menggunakan akal agar dia datang ke sini dan..." Ceng Hiang lalu membisikkan kata-kata di dekat telinga Kiki, dan dua orang gadis itu tertawa cekikikan seperti dua orang anak kecil yang merencanakan sesuatu yang nakal. Memang, di dalam hati masing-masing tumbuh kegembiraan yang selama ini belum pernah mereka rasakan, setelah mereka merasa saling memiliki sebagai saudara. Memang cinta asmara merupakan suatu hal yang amat rumit. Tiada habisnya cerita di dunia ini dikisahkan oleh para sasterawan dan pengarang tentang cinta asmara,
Sebab-sebabnya, akibat-akibatnya dan hal-hal yang terjadi sehubungan dengan perasaan yang selalu menyerang hati manusia itu, tak perduli dia berbangsa apa, pria atau wanita, tua ataupun muda. Bagi sebagian besar pria, kalau dia jatuh cinta kepada seorang wanita, persoalannya lebih mudah dan sederhana lagi, dan dia sendiripun lebih mudah untuk memahami keadaan dirinya. Dia tentu selalu rindu kepada wanita yang dicintanya itu, merasa suka dan selalu merasa kasihan, ingin selalu berdekatan, ingin selalu menyenangkan hatinya, ingin selalu bermesraan dan segala sesuatu pada diri wanita itu nampak olehnya sebagai yang paling indah, paling baik dan paling benar. Sebaliknya, pada diri wanita, cinta asmara ini lebih lembut sifatnya, namun kadang-kadang menyerang lebih mendalam lagi walaupun wanita biasanya pandai menyembunyikan perasaan hatinya.
Seorang wanita dapat mencinta secara mati-matian, akan tetapi dapat pula mengubah cinta itu menjadi kebencian yang berlebihan. Hal inipun tidak aneh karena sebagian besar batin wanita dipenuhi oleh emosi, dan wanita lebih menurutkan bisikan atau dorongan emosi perasaan hati dari pada nasihat pikiran jernih. Ceng Hiang adalah seorang gadis yang luar biasa. Bukan saja ia telah mewarisi beberapa macam ilmu silat pilihan dari keturunan keluarga para pendekar Pulau Es, akan tetapi Ayahnya juga mendidiknya dalam hal kesusasteraan. Ia bukan hanya pandai silat, akan tetapi juga pandai membaca menulis, pandai membuat sajak-sajak indah dan menikmati keindahan sajak-sajak, pandai menyulam, bahkan pandai pula bernyanyi dan memainkan yang-kim (semacam kecapi) dan suling.
Karena ia terpelajar, maka ia mempelajari pula sopan santun dan tata susila, cerdik bukan main. Akan tetapi, menghadapi kata yang disebut "Cinta", iapun bingung! Karena itu, bukan membohong ketika ia mengatakan kepada Kiki bahwa ia tidak tahu apakah ia mencinta Lee Song Kim atau tidak. Song Kim memang cerdik. Ketika dia meninggalkan Pulau Layar, dengan sembunyi-sembunyi dia telah mengikuti perahu Kiki, bahkan membonceng di bawah perahu, dan ketika malam tiba, dia membikin Kiki tidak berdaya dan hampir saja dia berhasil memperkosa Kiki di tengah lautan yang gelap gulita itu. Agaknya kekuasaan alam tidak menghendaki perbuatan jahat itu terjadi, maka tiba-tiba datang badai yang mengguncang perahu, bahkan membuat perahu itu pecah dan terbalik.
Ketika dia berhasil menarik Kiki yang masih terbelenggu pada tiang ke pantai dan hendak melanjutkan perbuatan bejatnya untuk memperkosa, tiba-tiba saja muncul Ci Kong yang menghalanginya dan karena takut kalau dikenal Kiki, terpaksa dia melarikan diri. Song Kim lalu melakukan penyelidikan seorang diri dan mendengar bahwa Koan Jit berada di kota Kanton. Diapun cepat menyusul ke kota itu. Akan tetapi, di Kanton dia mendengar bahwa Koan Jit telah menjadi seorang komandan pasukan Harimau Terbang yang menjadi pasukan kepercayaan orang kulit putih! Kedudukan Koan Jit demikian hebatnya sehingga dia sendiri merasa jerih untuk melakukan penyelidikan nekat ke markas Harimau Terbang.
Song Kim lalu mencari akal dan akhirnya mengambil keputusan bahwa kalau dia bekerja seorang diri berusaha merampas Giok-liong-kiam dari tangan Koan Jit, tak mungkin dia akan berhasil, bahkan mungkin membahayakan keselamatan dirinya sendiri. Oleh karena itu, dia mencari akal yang amat bagus. Dia lalu pergi ke Kota Raja! Seperti biasa di kota-kota besar, tentu di situ terdapat banyak pencoleng-pencoleng, pencuri-pencuri dan pencopet-pencopet. Song Kim lalu memperlihatkan ilmu kepandaiannya. Dia melakukan keliling kota setiap hari, mengunjungi pasar-pasar dan setiap kali melihat ada pencopet, pencoleng yang merampas benda lain orang, dia segera turun tangan menangkapnya dan menyeret penjahat itu kepada petugas keamanan.
Bukan itu saja, bahkan di waktu malam, dia berkeliling kota melalui genteng-genteng orang dan hampir setiap malam dia menangkapi maling-maling, bahkan pernah dalam satu malam dia menangkap tujuh orang maling di tujuh tempat. Maling-maling inipun diseretnya kepada petugas keamanan. Tentu saja nama Lee Song Kim dalam waktu singkat menjulang tinggi di kalangan para petugas keamanan dan segera terdengar oleh komandannya. Dia dipanggil dan ditawari pekerjaan. Itulah yang dinanti-nanti oleh Song Kim, dan karena memang ilmu silatnya tinggi dan dia sengaja hendak mencari kedudukan, setiap kali dia keluar tentu menangkap penjahat-penjahat dan mata-mata pemberontak. Bahkan pernah dia sendiri membasmi gerombolan pemberontak,
Yaitu pejuang-pejuang yang mengadakan rapat gelap di luar kota, dan dia telah menangkap lebih dari dua puluh orang yang semua diseretnya ke pengadilan. Kehebatan sepak terjang Song Kim ini terdengar oleh Pouw-Ciangkun, komandan pasukan keamanan, dan diapun dinaikkan pangkatnya. Dalam waktu sebentar saja, akhirnya dia sendiri diangkat menjadi seorang opsir yang dapat diandalkan! Dan nama baiknya sebagai seorang opsir yang giat melakukan pembersihan terhadap para penjahat, menimbulkan banyak rasa suka, baik di kalangan pejabat-pejabat Kota Raja, rakyat jelata yang merasa maupun dilindungi. Nama Lee Song Kim menjadi buah bibir orang, seorang opsir muda yang berwatak pendekar, suka menolong, bersikap halus lembut dan ramah, pandai merayu, apalagi memang tampan.
Dan pemuda ini juga pandai membawa diri. Walaupun pada hakekatnya dia lain nampak watak aselinya, yaitu mata keranjang dan cabul, akan tetapi dia dapat menahan nafsunya dan hanya melakukan pengumbaran nafsanya jauh dari Kota Raja dan menyamar sebagai seorang pemuda biasa sehingga nama tetap harum. Dalam keadaan demikianlah, opsir Lee Song Kim pernah berjumpa dengan Ceng Hiang dan dia seketika dia tergila-gila. Bukan hanya tergila-gila oleh kecantik jelitaan gadis itu, akan tetapi juga karena setelah dia mengikuti komandannya berkunjung ke rumah gadis itu, dia mendengar bahwa gadis itu adalah seorang pewaris ilmu-ilmu para pendekar pulau Es! Gadisnya begitu cantik jelita, terkenal pandai ilmu silat, dan puteri tunggal seorang pangeran lagi!
Hati pemuda mana yang takkan tertarik? Terlalu banyak hal-hal yang menguntungkan pada diri Ceng Hiang untuk membuat hati Song Kim tergila-gila. Komandannya, seorang panglima, yaitu Pouw-Ciangkun, sahabat baik dari Pangeran Ceng Tiu Ong, maklum akan isi hati pembantunya yang disayangnya, maka setelah berunding, komandan yang baik hati ini lalu melamarkan Ceng Hiang untuk dijodohkan dengan Lee Song Kim, mengingat bahwa Ceng Hiang berusia dewasa dan belum terikat perjodohan dengan orang lain. Komandan Pouw maklum akan watak Pangeran Ceng Tiu Ong yang tidak gila pangkat dan gila hormat. Maka dia berani mengajukan Lee Song Kim, bukan bangsawan, untuk menjadi calon suami Ceng Hiang. Dan memang benarlah, pangeran itu sama sekali tidak marah, bahkan dia kelihatan setuju sekali!
"Sudah sejak beberapa tahun aku ingin mempunyai mantu. Akan tetapi engkau tahu sendiri watak anak sekarang, Pouw-Ciangkun. Anakku Hiang itu masih belum juga mau menikah, dengan alasan bahwa karena ibunya tidak ada, ia tidak ingin meninggalkan aku, karena kalau sudah menikah, dia tentu akan dibawa pergi suaminya.
"Dan pula, demikian menurut katanya, ia hanya mau menikah dengan pemuda yang benar-benar cocok di hatinya. Sudah banyak pemuda di Kota Raja ini, baik putera bangsawan maupun hartawan, bahkan ada keponakan kaisar sendiri, yang kuperkenalkan kepadanya. Akan tetapi mereka semua itu ditampiknya begitu saja! Ada yang kurang tampan, kalau sudah ada yang tampan katanya kurang pandai, atau lemah tidak pandai ilmu silat seperti dirinya sendiri.
"Wah, kalau sampai sekali ini ia mau menjadi jodoh Lee Song Kim, perwira muda itu, hatiku akan girang sekali. Kebetulan malah kalau Lee Song Kim itu bukan bangsawan dan sudah tidak mempunyai Ayah ibu, dia malah bisa tinggal di sini bersama Hiang, dan menemani aku. Aha, betapa nikmatnya hidup begitu, apalagi kalau dapat menimang cucuku!" Akan tetapi, kembali pangeran tua itu kecewa. Ketika dia mengemukakan pendapatnya tentang pinangan yang dilakukan Pouw-Ciangkun untuk Song Kim sebagai calon suaminya, gadis itu mengerutkan alisnya.
"Ayah, aku belum mengenal betul orang dan belum tahu apakah sifat-sifatnya akan mencocoki hatiku."
"Tapi dia jelas tampan dan gagah, anakku. Namanya sudah dikenal di seluruh Kota Raja, baik oleh para bangsawan, pejabat maupun rakyat. Sudah puluhan kali dia menangkapi orang jahat. Dia seorang opsir muda berjiwa pendekar."
"Bagaimanapun juga, aku harus mengenal wataknya dulu, Ayah."
"Jadi engkau tidak keberatan kalau untuk kuperkenalkan?"
"Tentu saja tidak. Kalau berkenalan saja, dengan siapapun aku tidak keberatan." Demikianlah, opsir Lee Song Kim diundang dan diperkenalkan, dan menurut penglihatan Ceng Hiang, memang Song Kim seorang pemuda yang baik sekali, sikapnya sopan, peramah, wajahnya tampan, pengetahuannya luas. Hanya Satu hal yang belum diketahuinya benar, yajtu tentang ilmu silatnya walaupun dalam percakapan, pemuda itu juga luas pengetahuannya dalam hal ilmu silat. Setelah mendengar dari Kiki bahwa pemuda itu adalah suheng dari Kiki yang ia tahu amat lihai, rasa sukanya makin besar.
Hati Song Kim berdebar penuh kegembiraan ketika sore hari itu dia menerima undangan dari Ceng Hiang! Bukan dari Ayah gadis itu seperti biasa, melainkan dari gadis itu sendiri secara langsung, dengan mengirim utusan! Wah, agaknya besar harapannya kini, pikirnya gembira. Dia lalu berdandan sebaik mungkin, menyisir dan meminyaki rambutnya sampai mengkilap, memakai pakaian terindah dan memakai pula minyak wangi. Dengan dandanan yang tentu akan menjatuhkan hati setiap orang wanita, dia tersenyum-senyum dan pergi berkuda menuju ke gedung tua tempat tinggal Ceng Hiang! Dapat dibayangkan betapa girang hatinya ketika yang menyambut kedatangannya adalah Ceng Hiang sendiri. Gadis itupun nampak amat manisnya, apalagi dengan pakaian yang ketat dan ringkas, nampak betapa bentuk tubuhnya amat indah.
"Maaf, Lee-Ciangkun, Ayah tidak dapat keluar menemuimu karena dia sedang sibuk dengan kitab-kitab kuno yang baru didapatnya dan dibawanya dari utara," kata Ceng Hiang. Song Kim menjura dengan sopan.
"Ayahmu adalah seorang sasterawan terbesar untuk jaman ini, nona, maka saya tidak merasa heran kalau di antara kitab-kitabnya, dia merasa seperti berada di sorga." Seperti kalau aku berada di dekatmu, demikian bisik hatinya sambil menatap wajah yang amat cantik itu penuh kagum.
"Pula, yang mempunyai kepentingan denganmu memang aku, Ciangkun. Aku mempunyai sedikit urusan denganmu."
"Katakanlah, nona. Apa yang dapat kulakukan untukmu? Biar harus menerjang lautan api atau menyelam ke dasar samudera, biar harus mengorbankan nyawa, akan saya lakukan untuk membantumu, nona."
Ceng Hiang tersenyum. Laki-laki ini memang hebat, pandai sekali bermanis muka dan merayu, dan betapa mudahnya menjatuhkan hati kepada seorang pemuda seperti ini, pikirnya. Akan tetapi ia melihat semua ketampanan dan baik itu sebagai suatu keadaan lahiriah belaka, seperti pakaian atau kedok. Ia belum dapat melihat apa yang berada di balik kedok itu. Sudah berkali-kali, semenjak pinangan itu, dengan kata-kata halus atau senyum dan isyarat melalui pandang mata, pemuda ini menjelaskan cinta kasihnya yang besar dan meluap-luap terhadap dirinya. Sekarangpun, kalau tidak mencinta, mana ada orang mau bersikap mengorbankan nyawa untuk dirinya?
"Tidak sehebat itu permintaanku, Ciangkun. Aku hanya minta untuk dapat menguji kepandaian silatmu." Song Kim pura-pura terkejut, walaupun sebenarnya hatinya girang bukan main. Dia dapat menduga bahwa permintaan menguji kepandaian ini agaknya merupakan ujian terakhir untuk melihat sampai dimana tingkat kepandaiannya agar gadis ini tidak ragu-ragu menerimanya sebagai suami. Dan dia merasa yakin akan dapat mengalahkan gadis ini dalam ilmu silat.
"Bagaimana nona mengajukan permintaan seperti itu? Lebih baik aku disuruh bertanding melawan harimaumu itu, atau dengan puluhan orang yang mengeroyokku. Bagaimana kalau aku sampai kesalahan tangan dan melukaimu? Luka sedikit saja akan membuat aku selama hidupku menyesal setengah mati." Lagi-lagi kata rayuan maut, pikir Ceng Hiang sambil tersenyum.
"Jangan khawatir, aku dapat menjaga diri. Dan pula, bukankah kita hanya menguji kepandaian saja, bukannya berkelahi untuk saling membunuh?" Song Kim memperlihatkan wajah seperti orang terpaksa.
"Baiklah, nona, kalau begitu. Akan tetapi aku sudah mendengar akan kehebatan ilmu silat nona yang menjadi pewaris dari ilmu silat keluarga Pulau Es, mungkin baru beberapa jurus saja aku sudah akan kalah." Tentu saja batinnya Song Kim tidak berkata demikian. Dia tahu bahwa kalau dia sampai kalah, makin tipis harapannya untuk diterima menjadi calon suami. Dia harus menang, menang mutlak akan tetapi jangan sampai melukai nona manis ini.
"Mari, kuantar nona ke lian-bu-thia."
"Jangan di ruangan berlatih silat, Ciangkun," kata Ceng Hiang cepat.
"Ayahku akan marah kalau mengetahui bahwa aku mengajakmu bertanding ilmu silat."
"Tidak di lian-bu-thia, lalu di mana, nona? Di kebun?"
"Juga tidak. Akan ketahuan para pelayan dan akhirnya Ayah akan tahu juga. Kita harus keluar dari rumahku, bahkan dari Kota Raja. Kita bertanding di tempat yang sunyi di luar Kota Raja." Wah, jantung Lee Song Kim berdebar saking girangnya. Berduaan saja dengan gadis ini di luar Kota Raja, di tempat sunyi! Kesempatan yang amat baik untuk mendapatkannya, secara halus maupun kasar. Akan tetapi pikiran itu segera diusirnya cepat-cepat. Tolol kau , makinya. Gadis ini akan diambil sebagai calon isteri. Gadis ini adalah puteri pangeran, tak boleh disamakan dengan gadis-gadis dusun atau kota yang pernah diculik dan diperkosanya atau dijatuhkan dengan rayuannya, lalu ditinggalkan begitu saja setelah dia merengguk kepuasan.
"Baiklah, nona. Aku hanya mentaati semua perintahmu." Ceng Hiang yang memang sudah
(Lanjut ke Jilid 29)
Pedang Naga Kemala (Seri ke 01 - Serial Pedang Naga Kemala)
Karya : Asmaraman S. (Kho Ping Hoo)
Jilid 29
mempersiapkan segalanya sebelum pemuda itu datang, lalu mengajaknya ke samping gedung dimana sudah ditambatkan dua ekor kuda. Ia lalu mengajak Song Kim menunggang kuda dan tak lama kemudian, merekapun melarikan kuda keluar dari Kota Raja, menuju ke sebuah hutan kecil yang sunyi.
"Di hutan itu biasa aku berburu kelinci. Tempatnya sunyi dan aman kalau untuk mengadakan pibu (adu kepandaian)."
Setelah tiba di dalam hutan, di lapangan rumput yang cukup luas, mereka turun dari kuda dan menambatkan kuda mereka pada sebatang pohon. Kemudian, Ceng Hiang lalu berjalan menuju ke tengah lapangan rumput, diikuti oleh Song Kim. Bukan main, pikirnya. Pinggul itu! Setelah tiba di tengah lapangan rumput, Song Kim hampir saja tidak kuat untuk tidak merangkul dan merebahkan gadis itu di situ dan dipaksanya bermain cinta. Akan tetapi ambisinya untuk mendapatkan kedudukan tinggi agar dia mempunyai cukup kekuasaan untuk kelak menyaingi Koan Jit dan merampas Giok-liong-kiam, lebih besar dari pada nafsunya. Ceng Hiang membalikkan tubuh menghadapi pemuda itu.
"Nah, Lee-Ciangkun, sebelum kita mulai mengadu kepandaian, sekali lagi aku ingin mendengar, sebenarnya engkau ini murid siapakah?" Song Kim mengerutkan alisnya. Pertanyaan seperti itu tak suka dia mendengarnya. Tentu saja tidak mungkin baginya untuk mengaku bahwa dia adalah murid dari Hai-tok, seorang di antara Empat Racun Dunia yang bahkan kini oleh pemerintah Ceng sudah dinyatakan sebagai pemberontak.
"Kalau aku tidak salah ingat, pernah saya bercerita di depan pangeran dan nona bahwa saya belajar ilmu silat dari orang tua saya sendiri yang kini telah tiada. Ilmu silat kami adalah ilmu silat keluarga." Dia memandang tajam lalu melanjutkan.
"Mengapa nona menanyakan lagi hal itu? Pentingkah bagimu dari perguruan mana aku datang, nona?"
"Ah, tidak mengandung maksud apa-apa. Hanya banyak aku mendengar tentang jagoan-jagoan di dunia persilatan, maka aku ingin tahu apakah engkau bukan murid dari seorang di antara tokoh-tokoh yang pernah kudengar namanya."
"Nona tidak pernah atau jarang sekali merantau di dunia kang-ouw, bagaimana bisa mengenal nama tokoh-tokoh persilatan? Siapa saja di antaranya yang pernah nona dengar?"
"Bnyak sekali! Terutama tokoh-tokoh yang kini mengadakan pemberontakan-pemberontakan, banyak aku mendengar namanya. Bukankah atas jasamu pula, banyak tokoh kang-ouw yang sedang mengadakan rapat di hari ulang tahun Hai-tok telah disergap pasukan pemerintah? Jasamu itu sungguh besar sekali Lee-Ciangkun." Wajah Song Kim agak berubah. Tak senang dia diingatkan akan hal itu. Memang dia sudah mengkhianati dan melaporkan gurunya sendiri, bukan sekali-kali karena dia membenci gurunya, melainkan karena dengan laporan itu, dia memperoleh dua keuntungan. Pertama, dia berjasa pada pemerintah dan semakin dipercaya. Kedua, makin banyak tokoh kang-ouw yang tewas, makin berkuranglah saingannya untuk memperebutkan Giok-liong-kiam.
"Hal itu sudah menjadi tugas kewajibanku, nona."
Pedang Naga Kemala Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Baiklah, mari kita mulai. Bersiaplah kau menerima seranganku, Ciangkun!" Berkata demikian, Ceng Hiang lalu memasang kuda-kuda dengan berdiri tegak lurus, kaki kanan diangkat dan ditekuk, ujung kaki kanan menyentuh lutut kiri, tangan kiri dilingkarkan di depan dada dan tangan kanan menunjuk ke atas dengan jari-jari terbuka.
Jurus ini nampak gagah sekali dan kembali Song Kim terpesona. Betapa cantik dan gagahnya gadis, ini pikirnya. Dan diapun tidak mau kalah. Dia memasang aksi dengan kuda-kuda yang kokoh kuat, kedua kakinya terpentang lebar dan kedua lutut ditekuk, kedua tangan mengepal di pinggang. Kuda-kuda ini adalah kuda-kuda biasa yang kokoh dan dianggap merupakan kuda-kuda paling baik untuk menghadapi serangan lawan yang tangguh. Diam-diam Ceng Hiang mengenal kuda-kuda yang kokoh itu, akan tetapi dara ini memang sudah tahu dan mendengar banyak tentang kelihaian Song Kim, maka iapun tidak mau bersikap sungkan lagi.
"Haiiittt..." Ia berteriak sambil menyerang, menurunkan kaki kanan dan tiba-tiba kaki kirinya menendang sedemikian cepatnya, menotok ke arah pinggang kanan lawan, sedangkan tangan kiri yang tadinya diangkat tinggi-tinggi itu meluncur turun dan menotok ke arah pundak.
Istimewa sekali serangan yang merupakan totokan dalam waktu yang sama dengan ujung sepatu dan ujung tangan itu, di kedua tempat terpisah namun cukup berbahaya kalau mengenai sasaran dapat membuat lawan menjadi lumpuh seketika! Lee Song Kim memang agak memandang rendah gadis ini. Mana mungkin gadis yang demikian cantiknya, demikian halus dan lembutnya, puteri tunggal seorang pangeran, dapat memiliki kepandaian silat yang berarti? Andaikata mewarisi ilmu silat keluarga Pulau Es sekalipun, latihannya tentu kurang sempurna. Pikiran inilah yang membuat dia tetap tersenyum melihat datangnya serangan itu, walaupun diakuinya bahwa serangan itu istimewa, aneh dan cepat.
Diapun cepat menggerakkan kedua tangannya, dan dalam gerakan pertama ini saja sudah membuka rahasia wataknya tanpa disadarinya. Dengan tangan kanan dia menangkis tendangan kaki gadis itu, dan tangan kiri menangkis totokan dari atas, akan tetapi bukan hanya menangkis begitu saja, melainkan menangkis dengan gerakan siap untuk menangkap sepatu lawan dan lengan lawan! Dia memperhitungkan bahwa tangkisannya itu tentu akan membuat kaki dan tangan lawan melekat sebentar dan cukuplah baginya untuk memutar pergelangan tangan, dan baik sepatu maupun lengan lawannya tentu akan sudah dapat ditangkapnya. Kalau dia mampu merampas sepatu itu dalam satu jurus, tentu gadis itu akan takluk dan malu, juga tunduk seketika.
"Duk! Plak!" Memang dia berhasil menangkis tendangan dan totokan tangan, akan tetapi akibatnya sungguh di luar dugaannya. Dia tadi hanya mengerahkan sebagian saja dari tenaga sin-kangnya, dengan kerahkan tenaga menyedot dan menempel karena dia tidak ingin menyakiti, apalagi melukai gadis itu. Akan tetapi, pertemuan kedua lengannya itu seketika membuat kedua lengannya menggigil saking dinginnya, seolah-olah kedua lengannya itu dibenamkan ke dalam air es!
Dia sama sekali tidak tahu bahwa gadis itu telah menguasai satu di antara ilmu-ilmu sin-kang yang luar biasa dari keluarga Pulau Es, yaitu sin-kang atau tenaga sakti yang disebut Soat-im Sin-kang (Tenaga Sakti Inti Salju)! Tenaga ini selain amat kuat, juga mengandung hawa dingin yang selain dapat membuat lawan menggigil, kalau ilmu ini sudah dikuasai dengan sempurna, dapat pula membikin beku darah lawan sehingga terkena pukulan satu kali saja, lawan akan tewas dengan jantung membeku! Begitu merasa betapa kedua lengannya menggigil, Song Kim mengeluarkan seruan kaget, mengerahkan sin-kangnya dan cepat meloncat jauh ke belakang dengan mata terbelalak saking kagetnya.
"Kenapa, Ciangkun?" Ceng Hiang bertanya dengan senyum mengejek. Muka Song Kim berubah merah.
"Ah, sungguh luar biasa sekali. Aku sampai terkejut oleh kekuatan sin-kang nona yang amat hebat!"
"Karena itu jangan memandang rendah orang lain, Ciangkun. Nah, sambutlah serangan-seranganku." Dan kini gadis itu tiba-tiba saja sudah bergerak, tubuhnya melayang seperti terbang ke depan, kedua tangannya membuat gerakan dengan jari-jari tangan seperti menulis corat-coret, membuat huruf-huruf tertentu di udara, akan tetapi karena Song Kim berada di depannya, maka otomatis corat sana coret sini itu merupakan serangan-serangan yang amat aneh dan mengandung angin yang mengeluarkan bunyi bercuitan! Song Kim kembali terkejut setengah mati. Ilmu siluman apalagi ini?
Tentu saja dia belum pernah menyaksikan, bahkan mendengarpun belum pernah, akan ilmu silat yang amat sakti dari keluarga Pulau Es, yaitu yang disebut Hong-in Bun-hoat (Ilmu Sastera Angin dan Awan). Gerakan ilmu ini seperti orang menulis huruf-huruf di udara, dan memang sesungguhnya, jurus-jurus ilmu silat ini merupakan penulisan huruf-huruf tertentu yang tentu saja mengandung daya serang tertentu pula yang amat aneh! Repot sekali Song Kim menghadapi serangan-serangan aneh ini, dan dia harus menggunakan kelincahan tubuhnya untuk berloncatan mengelak ke sana-sini, kadang-kadang menangkis sambil mengerahkan seluruh tenaganya. Bahkan diapun berusaha untuk balas menyerang, karena dia kini tahu bahwa kalau dia tidak membalas, kalau hanya mengalah dan mempertahankan diri saja, jangan-jangan dalam beberapa jurus saja dia akan roboh!
Terjadilah pertandingan yang amat seru. Memang Ceng Hiang hebat bukan main ilmunya, ilmu aseli dari keluarga Pulau Es, akan tetapi lawannyapun bukan orang biasa. Lee Song Kim adalah murid tersayang dari Hai-tok, dan boleh dibilang hampir seluruh ilmu kepandaian datuk itu sudah dikuasainya. Oleh karena itu, pertandingan itu berlangsung dengan amat serunya, akan tetapi perlahan-lahan, keaselian ilmu silat Ceng Hiang membuat Song Kim menjadi semakin kerepotan saja. Padahal, Ceng Hiang baru mewarisi beberapa macam saja dari ilmu keluarga pulau Es. Ia menguasai Soat-im Sin-kang, yaitu ilmu menghimpun tenaga sakti yang berhawa dingin, kemudian menguasai pula ilmu Silat Hong-in Bun-hoat yang berupa penulisan huruf-huruf di udara sambil menyerang, dan ketiga dikuasainya pula ilmu aneh yang disebut Pat-sian Mo-kun (Ilmu Silat Delapan Dewa dan Setan)!
Ilmu ini dapat dimainkan dengan tangan kosong maupun dengan pedang, dan ini adalah merupakan penggabungan dari dua macam ilmu silat, yaitu Pat-san-kun (Silat Delapan Dewa) dan Pat-mo-kun (Silat Delapan Setan) yang dahulu telah tergabung menjadi ilmu silat aneh dari keluarga Pulau Es oleh Pendekar Super Sakti. Pertandingan itu sudah berlangsung lima puluh jurus, dan tiba-tiba saja gadis itu mengeluarkan bentakan nyaring, akan tetapi tubuhnya mencelat ke belakang meninggalkan arena pertandingan. Song Kim berdiri dengan muka sebentar pucat sebentar merah, karena baju di pundak kirinya telah berlubang! Kalau saja gadis itu menghendaki, tentu bukan baju itu yang berlubang, melainkan jalan darah di pundak itu yang tertotok, yang akibatnya dapat membuat lengannya lumpuh tertotok! Akan tetapi dia memang cerdik.
"Astaga...! Sungguh hebat sekali ilmu kepandaian nona Ceng. Biarpun aku harus belajar lagi sampai seratus tahun, belum tentu aku mampu menandingi ilmu silat nona. Dimana di dunia ini ada ilmu silat yang mampu menandingi ilmu silat keluarga Pulau Es?" Dengan kata-kata ini, selain memuji lawan agar senang hatiya, juga dia seperti hendak mengatakan biarpun kalau dia sampai kalah, hal itu adalah karena nona ini memiliki ilmu silat keturunan keluarga Pulau Es yang tidak ada bandingannya. Jadi kekalahannya itu lumrah, bukan karena dia kurang lihai! Ceng Hiang juga membalas penghormatan itu sambil tersenyum.
"Ah, Ciangkun pandai merendah dan mengalah saja. Ilmu silat Ciangkun memang hebat, dan terus terang saja, selama ini belum pernah aku bertemu tanding seperti Ciangkun, kecuali baru sepekan yang lalu ini aku bertemu tanding yang ilmu silatnya setingkat dengan tingkat Ciangkun." Mendengar ini, Song Kim terkejut. Celaka, jangan-jangan nona ini menemukan seorang pemuda lain yang juga lihai, dan berarti dia mendapatkan saingan yang cukup berat.
"Wah, aku tidak percaya itu, nona. Selama ini, aku sendiri belum pernah menemukan tandingan yang seimbang dan baru nona yang benar-benar amat lihai dan dapat mengatasiku. Kalau benar ada yang lihai seperti nona katakan tadi, aku berani menghadapinya dan kalau aku kalah olehnya, aku tidak akan memperlihatkan muka di Kota Raja lagi." Ucapan itu adalah ucapan seorang yang menahan malu karena kekalahannya tadi, juga karena dia khawatir mendapatkan saingan yang lebih lihai dari dia.
Kalau benar demikian, memang dia tidak ada muka untuk berada di Kota Raja lagi. Lebih baik langsung saja ke Kanton dan mencari daya upaya di sana untuk merampas Giok-liong-kiam. Kalau dia dapat mempersunting Ceng Hiang, bukan saja terlaksana idam-idaman hatinya memperisteri gadis yang cantik molek ini, akan tetapi juga kedudukannya akan meningkat tinggi dan sebagai mantu pangeran, tentu dia memiliki kekuasaan yang cukup untuk dipergunakan ke Kanton menundukkan Koan Jit dan memaksanya menyerahkan Giok-liong-kiam kepadanya. Diam-diam Ceng Hiang sudah merasa tidak suka mendengar omongan dan melihat sikap Song Kim. Kini, setelah mengadu ilmu, baru ia mulai melihat ciri-ciri pemuda itu yang tadinya agaknya tidak nampak atau disembunyikan.
Pertama, pemuda ini dalam perkelahian tadi memperlihatkan sikap sombong, memandang rendah kepadanya, dan juga tidak sopan karena ingin merampas sepatunya, hal yang kurang ajar sekali. Kedua, pemuda ini tidak dapat mengakui kekalahannya dengan jujur, akan tetapi mempergunakan kecerdikan untuk memperkecil kekalahannya. Dan ketiga, Song Kim yang baru saja kalah olehnya itu masih berani menyombongkan diri terhadap lawan-lawannya yang belum pernah diduganya siapa adanya. Ini sudah dapat membuktikan kesombongannya, dan baru sekarang Ceng Hiang melihat segi-segi buruk pemuda itu. Ia merasa beruntung sekali bahwa ia belum pernah menyatakan keinginannya untuk menyetujui kecondongan hati Ayahnya, belum pernah menerima pinangan pemuda itu.
"Benarkah begitu, Lee-Ciangkun? kau berhati-hatilah, orang yang kumaksudkan itu, yang memiliki kepandaian silat tinggi, pada saat ini berada di sini." Bagaimanapun juga, tiga sifat yang tidak disukainya itu belum bisa membuktikan bahwa pemuda ini jahat.
Masih banyak sifat-sifatnya yang baik yang mengimbangi keburukannya itu. Pemuda ini, demi kepentingannya sendiri, hanya berarti membohong dan suka memandang rendah orang lain karena tinggi hati, merasa telah memiliki ilmu silat yang tiada tandingannya. Maka, ia hendak mempertemukannya dengan Kiki agar ia dapat melihat bagaimana sesugguhnya watak pemuda ini dan siapa sebenarnya. Kalau hanya mendengar omongan Kiki saja, hal itupun belum ada buktinya dan siapa tahu kalau-kalau Kiki merasa sakit hati dan benci kepada suhengnya, tentu saja semua hal yang dibicarakan tentang suhengnya itu yang buruk-buruk belaka. Karena itu, ia sudah mengatur siasat dengan Kiki seperti yang dibisikkannya di dalam kamar tidur mereka beberapa malam yang lalu.
"Benarkah dia berada di sini?" Tentu saja Lee Song Kim terkejut sekali, akan tetapi dia memang tinggi hati. Belum pernah dia dikalahkan orang, dan di dunia ini tidak banyak yang memiliki kepandaian setinggi Ceng Hiang.
"Kalau benar, aku akan menghadapinya sekarang juga!"
"Baiklah, akan kupanggil orangnya ke sini!" Setelah berkata demikian, Ceng Hiang bertepuk tangan tiga kali dan diam-diam Song Kim terkejut bukan main. Ketika gadis itu bertepuk tangan, terdengar suara seperti dua buah benda keras bertemu. Ini saja menandakan bahwa gadis itu benar-benar telah menguasai sin-kang yang amat kuat. Terdengar suitan nyaring sebagai balasan, dan dari balik semak-semak belukar, meloncatlah seorang wanita. Gerakannya demikian cepat dan tahu-tahu ia telah berdiri berhadapan dengan Lee Song Kim. Pemuda itu cepat memandang dan wajahnya seketika menjadi pucat. Kalau pada saat itu dia melihat yang muncul seorang iblis, belum tentu dia akan sekaget sekarang ini.
"Kau... sumoi..." katanya gagap dan seperti orang linglung, dia menoleh dan memandang kepada Ceng Hiang, lalu kepada Kiki, berganti-ganti seperti hendak bertanya, apa artinya semua ini.
"Benar, akan tetapi engkau tidak berhak menyebut sumoi kepadaku lagi. Lee Song Kim, engkau tentu mengira bahwa aku sudah mati di laut, bukan? Nah, sekaranglah tiba saatnya kita bertanding, satu lawan satu, tidak seperti dulu, kau mengandalkan jumlah yang lebih besar!" Berkata demikian, gadis ini melintangkan sebuah tongkat yang tadi telah dipersiapkan lebih dulu di depan dadanya, dengan sikap menantang. Tentu saja Song Kim merasa tidak enak sekali kepada Ceng Hiang. Maka untuk membersihkan muka dan namanya, dia berkata membujuk.
"Sumoi, harap jangan bersikap begitu. Kuakui bahwa memang aku yang melaporkan rapat para pemberontak ketika suhu mengadakan pesta ulang tahun, juga aku mengaku bahwa aku membawa pasukan dengan perahu untuk menyerang perahu Bajak Naga Lautan. Akan tetapi, semua itu adalah tugasku sebagai seorang perwira, sumoi!
"Aku harus menentang pemberontakan dan aku harus pula menentang para pembajak dan para penjahat lainnya. Yang bersalah adalah suhu dan kau sendiri, kenapa tidak meninggalkan kebiasaan lama, meninggalkan kejahatan dan kembali ke jalan benar dengan mengabdi kepada pemerintah dan mengamankan kehidupan rakyat jelata?" Diam-diam Kiki dan juga Ceng Hiang merasa kagum. Orang ini memang cerdik bukan main dan pandai sekali bicara. Siapa saja, pihak luar, yang tidak tahu-menahu urusan dalam di antara mereka, tentu akan setuju sepenuhnya dan akan membenarkan pemuda itu.
"Lee Song Kim, tidak perlu engkau mengeluarkan kata-kata merayu. Aku menerima tugas dari Ayah untuk mencari tahu di mana tempat tinggalmu, dan Ayah sendiri yang akan datang untuk menghukummu sebagai murid yang murtad dan pengkhianat besar. Akan tetapi, jangan dikira bahwa aku takut menghadapimu. Tadi kau menantang aku melalui Enci Hiang. Nah, aku di sini, mari kira lanjutkan perkelahian kita dulu itu!" Kalau saja di situ tidak ada Ceng Hiang, tentu Song Kim sudah marah sekali dan sudah menyerang bekas sumoinya, kalau mungkin menangkapnya hidup-hidup untuk dipermainkan dulu sebelum dibunuh, kalau tidak mungkin, langsung saja membunuhnya karena sumoinya merupakan orang berbahaya bagi hubungannya dengan Ceng Hiang.
"Sumoi, kita bersaudara seperguruan. Kalau engkau memang ingin menguji kepandaian dan hendak menyerangku, silahkan!" katanya dengan sikap gagah dan memang cerdik, karena seolah-olah Kiki yang memaksanya untuk bertanding! Akan tetapi Kiki memang sudah tak dapat menahan kernarahannya lagi ketika bertemu dengan Song Kim, apalagi sejak tadi ia mendengarkan percakapan antara Song Kim dan Ceng Hiang. Sebagai orang yang mengenal Song Kim sejak kecil, tentu saja Kiki mengenal segala yang tersembunyi di balik topeng tampan dan halus itu, dan ia tahu bahwa bekas suhengnya itu berusaha sekuat tenaga untuk menarik perhatian dan menjatuhkan hati Ceng Hiang. Ia tidak mau menerima kenyataan itu dan ia tidak akan merasa rela kalau sampai Ceng Hiang terjatuh ke tangan Song Kim.
"Lee Song Kim, lihat senjataku!" bentaknya, dan iapun sudah menyerang dengan tongkatnya.
Song Kim maklum betapa lihainya kalau sumoinya ini bersenjatakan tongkat. Memang sebenarnya, keahliannya adalah bermain tongkat. Tongkat suhunya amat dikenal di dunia persilatan. Tongkat emasnya itulah yang mengangkat nama suhunya Hai-tok dan Kim-kong-pang (Tongkat Sinar Emas) amat ditakuti lawan, di samping ilmu Silat Thai-lek Kim-kong-jiu. Dia sendiripun mempelajari kedua ilmu itu, akan tetapi wataknya yang pesolek membuat dia mengganti tongkat dengan pedang. Rasanya tidak berwibawa dan tidak gagah baginya kalau dia kemana-mana harus membawa tongkat. Sebaliknya, kalau membawa pedang tentu nampak gagah. Apalagi setelah dia menjadi opsir! Karena tahu betapa lihainya Kiki kalau bersenjata tongkat, dia tidak berani menghadapinya dengan tangan kosong dan diapun mencabut pedangnya.
Rajawali Hitam Eps 2 Dewi Ular Eps 1 Kemelut Kerajaan Mancu Eps 10