Ceritasilat Novel Online

Pedang Sinar Emas 9


Pedang Sinar Emas Karya Kho Ping Hoo Bagian 9




   "Suheng, bagaimana kalau kau mengaku saja bahwa kau ayahnya?"

   Mata Yap Bouw terbelalak dan tergesa gesa ia memberi tanda dengan jari jari tangannya.

   "Jangan Sute! Biarlah ia selalu mengira dengan hati bangga bahwa ayahnya adalah seorang jenderal besar yang gugur sebagi seorang pahlawan negara."

   Terpaksa Bun Sam tak berani membantah, ia berpaling kepada Thian Giok yang tidak mengerti gerak gerik mereka, lalu berkata,
"Thian Giok, kebetulan sekali suhengku ini mengetahui sebuah rahasia ayahmu dan di bilang bahwa kau sudah seharusnya mengetahui akan hal itu. Ketahuilah kau bahwa dahulu nyahmu telah menanam sejumlah harta yang dipendam di belakang rumah di dalam taman bunga, yakni rumah yang sekarang ditinggali oleh Panglima Bucuci. Dan kami berdua juga datang di kota raja khusus untuk mengambil harta terpendam itu. Sekarang menurut suheng, kau berkewajiban pula untuk ikut membantu dan berhak untuk menerima sebagian daripada harta terpendam itu."

   Thian Giok mengerutkan keningnya.

   "Kau dan suhengmu hendak mengumbil harta pusaka itu untuk apakah?"

   "Tentu saja untuk dipergunakan menolong rakyat yang menderita kesengsaraan," jawab Bun Sam.

   "Kalau begitu aku akan membantu kalian mengambil harta itu, akan tetapi aku sendiri tidak menghendaki pembagian. Untuk apakah harta dunia bagi orang orang seperti kita? Lebih baik dibagikan semua kepada rakyat yang kekurangan."

   Dua titik air mata kembali membasahi mata Yap Bouw ketika itu mendengar ucapan puteranya itu. Ia merasa girang dan bangga sekali. Lalu ia memberi tanda dengan jari jari tangannya kepada Bun Sam. Pemuda ini lalu berpaling kepada Thian Giok sambil tersenyum dan berkata,

   "Thian Giok, jangan kau berkata demikian. Sungguhpun kau sendiri tidak memerlukan harta dunia seperti juga kami, akan tetapi harta itu dapat kau pergunakan untuk ibunu...."

   "Ibu juga tidak membutuhkan harta pusaka. Apa artinya harta dunia bagi ibu? Beliau telah mendapatan harta yang teragung di dunia ini, yaitu kebahagiaan batin yang suci."

   Kembali Yap Bouw, merasa betapa kerongkongannya tersumbat oleh sedu sedan yang naik dari dadanya. Bun Sam melirik kepadanya dan melihat suhengnya menggerak gerakkan jari tangannya.

   "Saudara Thian Giok," ia menterjemahkan bahasa gerak jari itu. "Biarpun ibumu sendiri tidak membutuhkan harta dunia, kami rasa bio (kuil) di mana ibumu tinggal itu membutuhkan untuk perbaikan dan lain lain. Oleh karena itu kau tidak boleh menolak."

   "Kita bicarakan lagi kalau harta terpendam dari mendiang ayah itu sudah berada di tangan kita, Bun Sam. Belum tentu mudah mendapatkan harta terpendam yang berada di taman bunga rumah Panglima Bucuci, apalagi pada waktu mereka sedang mencari cari kita seperti sekarang ini." akhirnya Thian Giok berkata.

   Sementara itu karena tidak berhasil menemukan dua orang pemuda pengacau yang dicari carinya, Bucuci lalu memanggil Ngo jiauw eng Lui Hai Siong yang berada di Tong seng kwan. Semenjak dahulu, Ngo jiuw eng adalah tangan kanannya dan ia percaya penuh akan kecerdikan Ngo jiauw eng dalam mencari dan menyelidiki para pemberontak.

   Banyak sudah jasa yang diperoleh pembantunya ini dalam masa perjuangan Ang bi tin dahulu. Dan inilah sebabnya mengapa Ngo jiauw eng buru buru pergi ke kota raja memenuhi panggilan Bucuci, sehingga ketika Lan Giok mencarinya di Tong seng kwan gadis itu tidak dapat menemukannya, lalu menyusul ke kota raja.

   Beberapa hari kemudian setelah bersembunyi dan merasa bahwa keadaan telah agak mereda dan aman pada malam hari, Yap Bouw, Bun Sam dan Thian Giok meninggalkan kuil tua itu dan mempergunakan kepandaian mereka untuk menuju ke gedung Panglima Bucuci yang berada di tempat agak pinggir kota raja. Tubuh mereka berkelebat di malam gelap, melalui genteng dan bubungan rumah penduduk kota raja.

   Karena kepandaian mereka sudah tinggi, maka kaki mereka tidak menerbitkan suara berisik dan bayangan mereka sukar terlihat orang karena cepatnya gerakan mereka. Waktu itu sudah hampir tengah malam dan tiga orang ini sama sekali tidak menduga bahwa di tempat panglima itu telah terjadi keributan hebat.

   Marilah kita kembali beberapa jam yang lalu. Sebuah bayangan yang amat gesit, bayangan yang tubuhnya kecil langsing, melompat di atas genteng gedung Bucuci laksana setan malam. Bayangan ini
(Lanjut ke Jilid 11)
Pedang Sinar Emas/Kim Kong Kiam (Serial Pedang Sinar Emas)
Karya : Asmaraman S. Kho Ping Hoo

   Jilid 11
adalah Lan Giok, gadis yang tabah itu yang sengaja menyusul dan mencari Ngo jiauw eng di kota raja. Tanpa takut sedikitpun juga, Lan Giok lalu mengunjungi rumah Bucuci pada malam hari itu setelah mendapat keterangan di mana rumah pembesar itu.

   Sesungguhnya semua tempat di kota raja memang telah dijaga dan dimata matai oleh pembantu pembantu Bucuci dan Ngo jiauw eng bahkan Ngo jiauw eng yang amat cerdik diam diam telah menaruh curiga pada tempat tempat suci seperti kuil kuil tua dan rumah rumah pembesar tinggi dan diam diam menaruh orang orangnya di sekeliling tempat itu.

   Akan tetapi karena apa yang diutamakan atau yang selalu berada di dalam ingatan para penjaga adalah dua orang pemuda tanggung, tentu saja melihat seorang gadis cilik seperti Lan Giok, mereka tidak menaruh perhatian, sehingga gadis ini dengan amat mudah dapat sampai di gedung Panglima Bucuci.

   Agaknya memang sudah menjadi nasib Ngo Jiauw eng Lui Hai Siong karena setelah memberi tugas pada para pembantunya sehari penuh ia beristirahat dan "makan angin" di taman gedung Panglima Bucuci ia mendapat kamar di bangunan samping gedung itu, sehingga mudah baginya untuk malam malam keluar makan angin di taman bunga yang indah itu. Sambil duduk di atas bangku ia menikmati keharuman bunga sambil memandang ke dalam empang di mana ikan ikan yang berwarna emas berenang ke sana ke mari.

   Tiba tiba ia mendengar teguran yang halus. "Ngo jiauw eng, tentu kau yang bernama Njo jiuw eng bukan?"

   Lui Hai Siong cepat melompat dari tempat duduknya dan bersiap sedia. Ia memandang kesana kemari, akan tetapi tidak kelihatan bayangan orang.

   "Siapa itu??" ia bertanya dengan sikap seperti seekor harimau mencium bau musuhnya. Tubuhnya yang jangkung agak membungkuk itu, seperti sikap seorang jago gulat.

   "Ha, ha, ha, benar! Kau tentu Ngo jiauw eng!" suara yang halus itu menertawakannya dan tiba tiba dan atas pohon yung liu menyambar turun tubuh Lan Giok! Gadis ini sekali memandang saja dapat menduga bahwa indah orangnya yang harus dilenyapkan. Tidak saja ia mengingat pemberitahuan gurunya bahwa Ngo jiauw eng bertubuh jangkung kurus, akan tetapi juga sikap dan kuda kuda orang ini terang menyatakan bahwa ia adalah ahli Eng jiauw kang (Ilmu Silat Kuku Garuda).

   "Siapa kau?" Ngo jiauw eng Liu Hai Siong membentak dengan hati lega ketika melihat bahwa yang datang hanyalah seorang gadis kecil.

   "Aku? Bukalah telingamu baik baik. Aku adalah wakil dari para korban Ang bi tin yang kau pimpin. Aku datang hendak mencabut nyawamu!"

   "Bagus, bocah lancang mulut" kata Ngo jiauw eng sambil maju menubruk dengan kedua tangan dipentang seperti seekor garuda menyambar kelinci. Ia memandang rendah kepada pengunjung nya ini dan merasa yakin bahwa dengan sekali bergerak saja ia dapat merobohkan gadis itu.

   Tapi ia harus membayar mahal sekali untuk sikapnya yang memandang rendah itu, karena Lan Giok yang memang datang dengan maksud membunuh, segera merendahkan tubuhnya dan melancarkan pukulan Soan hong pek lek jiu yang hebat.

   Pada saat itu, Ngo jiauw eng sedang menubruk maju, maka tentu saja ia menerima pukulan Lan Giok sepenuhnya. Sebelum dadanya tersentuh kedua tangan gadis kecil yang mendorong ke arah dadanya, ia telah terkena hawa pukulan Soan hong pek lek jiu yang hebat sekali. Terdengar Ngo jiauw eng menjerit ngeri dan tubuhnya terlempar ke belakang, lalu terjengkang sejauh dua kaki lebih. Mulutnya menyemburkan darah segar dan ia merasa dadanya seakan akan remuk!

   Jeritan yang mengerikan itu menggema di udara dan sebelum Lan Giok dapat menyusulkan sebuah pukulan terakhir, tiba tiba berkelebat bayangan merah dan sinar pedang yang terang menyambar ke arah lehernya! Lan Giok tepaksa menunda maksudnya untuk memukul Ngo jiauw eng dan karena serangan pedang itu memang cepat dan berbahaya, ia lalu melemparkan tubuhnya ke belakang dan bergulingan ke belakang sehingga terhindar dari bahaya.

   Ketika ia berdiri kembali, ternyata bahwa yang menyerangnya adalah seorang gadis baju merah yang cantik sekali, yang usianya lebih tua satu dua tahun daripadanya.

   "Siapa kau? Sungguh berani mati sekali telah melukai Lui ciangkun!" bentak gadis baju merah yang bukan lain adalah Sian Hwa adanya. Diam diam Sian Hwa kaget dan kagum sekali ketika melihat bahwa yang dapat merobohkan Ngo jiauw eng dengan sekali pukul adalah seorang gadis cilik yang patut menjadi adiknya! Melihat kemanisan wajah Lan Giok, hati Sian Hwa menjadi ragu ragu untuk melanjutkan serangannya.

   "Mengapa kau menyerang Ngo jiauw eng?" tanyanya karena ia maklum bahwa tentu ada sesuatu antara kedua orang ini, maka gadis semuda itu sampai demikian berani menyerang Ngo jiauw eng yang menjadi tamu dari ayahnya.

   "Dia bekas pemimpin Ang bi tin yang jahat mengapa aku takkan membunuhnya?" kata Lan Giok mengejek dan kembali Sian Hwa tersenyum. Terdengar keluh Ngo jiauw eng, maka Sian Hwa cepat menghampiri orang itu.

   Keadaan Ngo jiauw eng Lui Hai Siong benar benar payah. Pukulan Soan hong pek lek jiu yang dilancarkan oleh Lan Giok tadi benar benar hebat sekali dan dengan tepat telah mengenai dadanya, sehingga mendatangkan luka di bahagian dalam dadanya. Bahkan tiga buah tulang rusuknya telah patah!

   "Kau" kau yang menolongku? Tak ku sangka...." Lui Hai Siong berkata terrngah engah.

   "Apa katamu, Lui cangkun? Apa yang tidak kau sangka"?" Sian Hwa terheran mendengar ucapan ini.

   "Tak kusangka bahwa kau" kaulah yang malah menolongku!" Ngo jiauw eng merasa bahwa ia tak dapat hidup lebih lama lagi dan pukulan hebat itu sedikitnya telah mempengaruhi otaknya.

   "Aku" aku yang membunuh ayahmu ". aku....." Akan tetapi ucapan ini ditutup oleh pekik kesakitan dan nampak orang itu berkelojotan lalu mati!

   Sian Hwa memiliki mata tajam dan pendengaran yang halus sekali, maka ia mendengar suara senjata rahasia yang tadi menyambar sebelum Ngo jiauw eng mati. Cepat ia membalikkan tubuh dan memandang kepada Lan Giok yang hendak melarikan diri.

   "Kau kejam!" seru nya kepada Lan Giok. "Kau menyerang orang yang sudah terluka hebat dengan am gi (senjata rahasia)!"

   Akan tetapi Lan Giok tidak memperdulikannya dan hendak melompat ke atas tembok yang mengelilingi taman bunga itu. Akan tetapi tiba tiba terdengar suara kerincingan dan tahu tahu dari tembok tahu tahu dari tembok itu melayang turun sesosok tubuh yang kate dan yang dengan tangkas nya menyerang Lan Giok.

   Orang ini adalah Panglima Bucuci sendiri yang tadinya mengadakan perundingan dengan Pat jiu Giam ong dan yang kebetulan sekali pulang dan mendengar ribut ribut di dalam taman gedungnya.

   Lan Giok yang melihat betapa serangan orang kate ini cukup berbahaya, cepat mengelak dan membalas dingan serangannya yang tidak kalah lihainya. Melihat cara memukul Lan Giok yang mempergunakan Soan hong pek lek jiu, terkejutlah hati Bucuci. Cepat ia berteriak minta bantuan karena ia mengerti ilmu pukulan ini seperti yang dipergunakan oleh pemuda yang sedang dikejar kejarnya.

   Adapun Sian Hwa yang semenjak tadi berdiri termangu mangu karena masih terpengaruh oleh pengakuan Ngo jiauw eng yang mendatangkan rasa kaget baru sadar setelah mendengar teriakan ayah tirinya yang minta bantuan.

   Akan tetapi ia masih berlaku lambat karena ada sesuatu yang amat menarik perhatiannya. Ia melihat betapa muka Ngo jiauw eng yang kebetulan berada di bawah sinar lampu, menjadi kehitaman dan melihat lehernya yang membengkak, tahulah Sian Hwa bahwa Ngo jiauw eng tewas karena urat lehernya tertotok dengan keras sekali.

   Ketika ia memandang ke bawah, ia melihat sebuah besi lonjong dan bukan main terkejut hati Sian Hwa karena ia mengenal besi lonjong kecil itu sebagai bagian daripada kerincingan di baju ayah tirinya! Ia tahu pula bahwa ayah tirinya seringkali mempergunakan besi lonjong itu sebagai senjata rahasianya yang ampuh.

   "Sian Hwa, bantulah aku menangkap penjahat perempuan ini!" teriak Bucuci karena ia benar benar terdesak oleh serangan serangan Soan pek lek jiu yang dilancarkan dengan nekat oleh Lan Giok.

   Mendengar teriakan ini, barulah Sian Hwa bergerak dan melompat mendekati pertempuran itu, setelah lebih dulu mengambil besi kecil yang lonjong itu dan dimasukkan ke dalam saku bajunya.

   "Bocah berani mati, lebih baik kau menyerah dan mengaku mengapa kau menyerang Ngo jiauw eng!" bentak Sian Hwa yang sesungguhnya tidak tega untuk mengeroyok dan membunuh atau melukai gadis kecil ini. Ia akan lebih suka menjadi sahabat baik dari gadis yang ayu dan lihai ini.

   "Majulah, majulah kau semua, aku tidak takut sedikitpun juga!"

   Lan Giok menjawab dengan suaranya yang bening dan tinggi, lalu memainkan ilmu pukulannya lebih cepat lagi, sehingga tubuhnya yang kecil langsing itu berkelebat ke sana ke mari seperti burung walet menyambar nyambar.

   Terpaksa Sian Hwa bergerak maju dan begitu ia menggerakkan pedangnya, Lan Giok kaget sekail. Ah, kepandaian nona baju merah ini jauh lebih lihai daripada kepandaian Panglima Bucuci yang pakaiannya memakai kerincingan ini, pikirnya.

   Akan tetapi ia tidak merasa takut, karena memang Lan Giok tidak pernah mengenal artinya takut. Ia melayani keroyokan dua orang itu dengan nekat dan sebentar saja ia terdesak dan terkurung oleh sinar pedang Sian Hwa! Baikny& nona baju merah ini tidak berniat melukainya, hanya mengurungnya saja dan ingin menawan hidup hidup tanpa melukai nya Kalau Sian Hwa mau melukainya, dengan mengeroyok dua tentu ia akan dapat melakukan hal ini.

   Lebih celaka lagi bagi Lan Giok karena jeritan Ngo jiauw eng dan teriakan Bucuci tadi telah terdengar oleh para penjaga dan tak lama kemudian tempat itu telah dikurung oleh para penjaga, bahkan beberapa orang SIWI (pengawal kaisar) yang dipimpin oleh Ang Seng Tong komandan Gi lim kun telah maju mengeroyok Lan Giok!

   Sekarang keadaan gadis kecil itu benar benar terancam bahaya maut, karena tidak seperti Sian Hwa, yang lain lain melakukan serangan tidak hanya dengan maksud menangkap hidup hidup, melainkan dengan maksud membunuh.

   Dan pada saat itulah tiga bayangan dari Yap Bouw, Bun Sam dan Thian Giok melayang melewati tembok yang mengelilingi taman itu.

   "Lan Giok....!" seru Bun Sam dan Thian Giok hampir serempak. Akan tetapi kedua orang pemuda ini sudah kalah cepat oleh Yap Bouw yang tanpa mengeluarkan suara apa apa segera menyerbu ke dalam pertempuran itu. Begitu tubuh Yap Bouw terjun, terdengar seruan seruan kesakitan dan teriakan teriakan kaget. Yang berseru kesakitan adalah dua orang siwi yang sekali gerak telah terpegang oleh Yap Bouw dan dilontarkan membentur tembok taman.

   Adapun seruan seruan kaget itu adalah ketika mereka melihat wajah Yap Bouw yang mengerikan, keadaan menjadi kacau balau, teutama setelah Bun Sam dan Thian Giok ikut terjun ke dalam pertempuran. Tentu saja sekalian siwi itu biarpun di situ ada Bucuci dan Ang Seng Tong merupakan lawan lawan yang empuk bagi Yap Bouw dan dua orang pemuda gagah itu, maka sebentar saja kepungan Lan Giok menjadi longgar.

   "Engko Giok.... dan kau.... kau.... Bun Sam".!" seru Lan Giok dengan girang sekali sambil memukul roboh seorang pengeroyok.

   Adapun Bun Sam ketika melihat Sian Hwa ikut di antara para pengeroyok, hatinya terasa perih dan kembali ia merasakan kekecewaan yang amat besar. Sedangkan Sian Hwa sendiri ketika melihat Bun Sam, lalu maju menerjang dengan pedangnya.

   "Hem, jadi kau adalah kawanan pemuda yang mengacau kota raja? Alangkah besar nyalimu." Pedangnya bergerak cepat sekali dan sebentar saja Bun Sam sudah harus mengerahkan ginkangnya untuk mengelak dari sambaran sambaran pedang si nona baju merah.

   "Bun Sam, jangan kau sakiti dia!" seru Lan Giok. "Dialah satu satunya orang baik diantara semua pengeroyok ini.

   Mendengar seruan ini, makin sukalah Sian Hwa terhadap Lan Giok, akan tetapi iapun diam diam merasa khawatir kalau kalau ayah tirinya mengerti akan maksud ucapan Lan Giok. Memang tadi ia tidak mengerahkan tenaga dan kepandaiannya ketika mengeroyok Lan Giok dan sengaja ia memberi kelonggaran kepada gadis kecil itu.

   Akan tetapi tak seorangpun memperhatikan seruan Lan Giok tadi karena semua sedang sibuk dan bingung sekali menghadapi amukan Yap Bouw dan Thian Giok berdua adik kembarnya. Keadaan berobah sama sekali karena kini fihak Bucuci dan kawan kawannya yang mengalami tekanan hebat. Banyak orang sudah terlempar dan terluka dirobohkan oleh para penyerbu dari luar ini.

   Pertempuran yang nampak seru dan seimbang ini hanyalah yang terjadi antara Sian Hwa dan Bun Sam, akan tetapi baik Sian Hwa maupun Bun Sam dapat melihat bahwa lawan masing masing tidak sesungguhnya ingin merobohkan lawan.

   Memang hati Sian Hwa sudah menjadi tawar karena ia masih terpengaruh oleh pengakuan Ngo jiauw eng yang katanya membunuh ayahnya dan juga terpengaruh oleh perbuatan ayah tirinya yang membunuh Ngo jiauw eng pada saat orang itu mengadakan pengakuannya. Apalagi sekarang ia menghadapi Bun Sam, pemuda yang sopan santun dan yang telah menimbulkan rasa kagum dalam hatinya.

   Sebaliknya, Bun Sam tentu saja tidak sanggup untuk menghadapi gadis yang menarik hatinya itu dengan sungguh sungguh, ia hanya mengelak dan menangkis semua serangan ini.

   Sian Hwa dan diam diam ia merasa kagum karena ilmu pedang gadis itu benar benar tinggi. Baik tenaga lweekang maupun ginkang ternyata bahwa gadis baju merah ini tidak kalah banyak olehnya sendiri. Ia melihat bahwa biarpun fihak lawan sudah banyak yang rubuh, namun kepungan makin lama makin rapat dan taman bunga itu telah terkurung oleh barisan siwi yang bersenjata lengkap.

   "Suheng, Thian Giok dan Lan Giok, mari kita lari saja!" teriak Bun Sam yang merasa khawatir juga, Yap Bouw agaknya menyetujui ajakan sutenya ini, karena tiba tiba ia menangkap tangan Lan Giok dan diajak nya gadis ini melompat ke arah tembok.

   Beberapa orang siwi menyerbu untuk mencegah mereka melompat ke atas tembok, akan tetapi dengan beberapa gerakan saja, Yap Bouw dan Lan Giok telah merobohkan empat orang, sehingga yang lain lain menjadi sangsi.

   Akan tetapi, pada saat itu terdengar bentakan keras sekali dan tahu tahu Yap Bouw dan Lan Giok terpbanting keras tanah oleh dorongan angin pukulan yang hebat luar biasa. Dari atas tembok turun tubuh seorang tinggi besar yang memiliki gerakan lambat, namun ketika ia menurunkan ke dua kakinya di atas tanah, Bun Sam sendiri merasa tanah yang diinjaknya tergetar.

   Inilah Pat jiu Giam ong Liem Po Coan atau Jenderal Liem yang datang diikuti puteranya, yakni Liem Swee. Otomatis orang yang mengeroyok, termasuk Sian Hwa, menghentikan gerakannya dan semua orang berdiri dengan hormat memandang kepada jenderal yang lihai itu.

   Yap Bouw dan Lan Giok cepat bangun dan mereka ternyata tidak terluka, hanya roboh saja karena tidak dapat menahan dorongan angin pukulan yang luar biasa tadi. Sementara itu Pat jiu Giam ong memandang dengan tajam sekali. Ditatapnya Yap Bouw dengan sepasang matanya yang bundar, dari muka sampai ke kaki.

   Tiba tiba ia tertawa terkekeh kekeh, suara ketawanya nyaring dan besar sekali, membuat daun daun pohon kembang di taman itu tergetar.

   "Ah, sudah kuduga. Tentu kau yang berdiri di belakang semua ini. Yap goanswe (Jenderal Yap) Ketika aku mendengar betapa kau ditolong oleh suheng dan belum mati, aku merasa yakin bahwa tentu sewaktu waktu kau akan muncul dan menuntut balas. Benar saja, sekarang kau datang membawa anak anak kecil ini? He, jenderal yang sudah roboh, setelah kau gagal memimpin pasukan apakah sekarang kau hendak memimpin anak anak kecil ini? Ha, h, ha!"

   Berkali kali Yap Bouw menggoncangkan tangannya mencegah Pat jiu Giom ong bicara, akan tetapi terlambat semua ucapan itu telah terdengar jelas oleh Thian Giok dan Lan Giok. Kedua anak ini memandang ke arah Yap Bouw dengan mata terbelalak dan mulut celangap dan wajah pucat, kemudian hampir serempak mereka menubruk kedua kaki Yap bouw sambil menangis.

   "Ayah....!"

   Yap Bouw terpaksa tak dapat menyimpan rahasianya lagi yang sudah dibuka oleh Pat jiu Giam ong Liem Po Coan, maka iapun lalu berlutut dan memeluk kedua orang anaknya.

   Untuk beberapa lama tak terdengar suara sedikitpun juga diantara orang orang yang menyaksikan pertemuan mengharukan ini, akan tetapi Pat jiu Giam ong segera merasa hilang sabar. Ia berkata dengan suaranya yang menggelegar.

   "Yap goanswe, sebagai orang yang pernah menduduki pucuk pimpinan balatentara, aku dapat memaafkan kau dan takkan mengganggumu. Akan tetapi, terpaksa aku harus menahan puterimu yang telah membunuh Ngo jiauw eng dan juga menahan anak muda ini yang telah membunuh Toa to Hek mo!" ia menunjuk ke arah Bun Sam.

   Mendengar tuduhan ini, Thian Giok melompat berdiri. "Bukan dia, melainkan akulah yang telah membunuh Toa to Hek mo!" katanya dengan berani sambil menentang pandangan mataPat jiu Giam ong.

   Akan tetapi, tentu saja Yap Bouw tidak merelakan kedua anaknya hendak ditawan, maka dengan sepasang mata bersinar sinar ia menentang pandang mata Pat jiu Giam ong dan berdirilah ia perlahan perlahan bagaikan seekor naga bangkit hendak melawan musuh. Dengan gerak jari tangan yang hanya dimengerti oleh Bun Sam, ia berkata kepada Pat jiu Giam ong bahwa untuk melindungi kedua anaknya ia rela mati di tangan Pat jiu Giam ong! Melihat ini, Bun Sam lalu melangkah dan berkata.

   "Pat jiu Giam ong Liem locianpwe! Kami telah mendengar namamu yang besar sebagai seorang tokoh yang menduduki kedudukan cianpwe, maka patutkah kalau locianpwe hendak menangkap dua orang muda seperti putera puteri suhengku ini? Kalau benar benar locianpwe hendak menawan mereka terpaksa kami berempat akan mengadu nyawa, kalau sampai kami binasa di tanganmu, guruku Kim Kong Taisu dan guru kedua anak kembar ini, yaitu Mo bin Sin kun tentu akan mencarimu dan minta pertanggungan jawabmu!"

   Mendengar disebutnya nama Kim Kong Taisu dan Mo bin Sin kun, benar saja Pat jiu Giam ong agak tergerak hatinya. Akan tetapi sambil tersenyum ia berkata.

   "Bocah berlidah lemas, kaukira aku takut untuk membela keadilan? Siapa yang membunuh harus dihukum, siapa bilang aku akan berlaku sewenang wenang?"

   Sambil berkata demikian, ia mengulur kedua tangannya ke arah Thian Giok dan Lan Giok. Yap Bouw melompat maju dan mengirim pukulan ke arah dada Pat jiu Giam ong akan tetapi entah bagaimana, tahu tahu Yap Bouw terlempar ke belakang bagaikan didorong dengan kuat sekali! Pat jiu Giam ong tertawa dan melanjutkan niatnya menangkap Thian Giok dan Lan Giok.

   "Tunggu dulu, Liem locianpwe!" kembali Bun Sam berseru keras. "Kau bilang bahwa yang membunuh harus dihukum. Ngo jiauw eng dan Toa to Hek mo adalah bekas bekas pemimpin Ang bi tin, entah berapa banyak nyawa yang tewas di dalam tangan mereka. Apakah mereka yang telah membunuh banyak orang itu tidak pantas sekarang menerima hukuman mati pula? Seorang kuncu (budiman) akan berpikir lebih dulu dengan masak sebelum bertindak dengan lancang!"

   Kembali Pat jiu Giam ong tertegun mendengar ini, lalu memandang dengan tajam kepada Bun Sam,

   "Anak kalau sekiranya kau bukan selancang itu, aku senang sekali kepadamu. Sekarang aku adalah seorang Jenderal dan dua orang anak ini adalah pembunuh pembunuh perwira. Aku hendak menangkapnya dan hendak kulihat siapa yang berani menghalangiku!"

   "Maaf Liem locianpwe, akulah yang akan menghalangimu!" seru Bun Sam dengan amat berani dan ketika jenderal itu kembali mengulurkan kedua tangannya untuk menangkap Thian Giok dan Lan Giok Bun Sam melompat ke depan dan menyerangnya dengan pukulan Thai lek Kim kong jiu yang bebat!

   Pukulan ini ditujukan ke arah jalan darah di pangkal kedua lengan, yakni di dekat pundak. Biarpun yang menyerangnya hanya seorang pemuda tanggung, akan tetapi Pat jiu Giam ong maklum akan kelihaian pukulan ini yang dikenalnya sebagai pukulan dari Kim Kong Taisu. Maka ia tidak berani memandang ringan pukulan ini dan cepat menggerakkan tubuhnya yang menjadi miring dan cepat bagaikan kilat ia mengulurkan tangan kanannya yang panjang dan kuat untuk menangkap tangan kiri Bun Sam.

   Gerakan tangkapan ini sama sekali tak terduga datangnya dan hampir saja pergelangan tangan Bun Sam tertangkap. Akan tetapi Bun Sam cepat menarik kembali tangannya dan sambil menggulingkan, tubuhnya, ia melepaskan diri dan tangkapan, bahkan langsung ia melompat mengirim tendangan dari bawah yang menjadi bagian dari ilmu Silat Liok te ciang hwat, (Ilmu Silat Bawah Tanah) yang mengutamakan tendangan beruntun yang disebut Siauw cu wi.

   Kembali Pat jiu Gjam ong tidak berani berlaku sembrono karena tendangan yang ditujukan ke arah tubuh bagian bawah ini tak kalah berbahayanya dengan pukulan pertama tadi. Diam diam kaget juga melihat lihainya pemuda yang masih baru dewasa ini dan tahulah dia bahwa kepandaian kedua muridnya, yakni Sian Hwa dan puteranya sendiri Liem Swee, masih kalah setingkat kalau dibandingkan deagan pemuda murid Kim Kong Taisu ini! Aku harus merobohkan dia dulu secepatnya baru menangkap yang dua itu, pikirnya. Setelah berpikir demikian, ia lalu mengangkat tangannya dan menangkis tendangan itu dengan mengerahkan tenaganya, hendak menindih kaki Bun Sam di bawah telapak tangannya.

   Akan tetapi Bun Sam adalah seorang anak yang cerdik ia tahu bahwa tenaga lweekangnya masih kalah jauh oleh tokoh besar ini, maka tentu saja ia tidak sudi kakinya digempur dan cepat menariknya kembali. Pada saat itu, Pat jiu Giam ong sudah menyerangnya dengan menggerakkan kedua tangannya sedemikian rupa, sehingga kedua tangan itu nampaknya berobah menjadi delapan! Inilah keistimewaannya, sehingga ia mendapat julukan Pat jiu Giam ong (Raja Maut Tangan Delapan)!

   Bun Sam pernah mendengar dari suhunya bahwa Pat jin Giam ong istimewa sekali dengan ilmu silatnya yang disebut Pat kwa bi jiang hwat yang mengutamakan kecepatan gerak tangan, sehingga lawan menjadi bingung dan kabur pandangan matanya. Maka ia lalu berseru keras,

   "Lan Giok dan Thian Giok, lekas kalian lari!" Sambil berkata demikian ia lalu menghadapi Pat kwa bi ciang hwat yang lihai itu dengan pukulan pukulan Thai lek Kim kong jiu dan Soan hong pek lek jiu ganti berganti!

   Akan tetapi, mana kedua saudara Yap itu sudi meninggalkan tempat itu hanya untuk menyelamatkan diri sendiri? Bahkan mereka seakan akan menerima komando dan serentak mereka maju menerjang Pat jiu Giam ong yang kini dikeroyok tiga oleh Bun Sam, Thian Giak dan Lan Giok!

   Akan tetapi, tiga orang muda ini tentu saja masih belum dapat melawan Pat jiu Giam ong yang menjadi seorang diantara tokoh besar dunia persilatan, seorang berilmu tinggi yang tingkat kepandaiannya sudah sejajar dengan guru guru anak anak ini! Dengan Pat kwa bi ciang hwat yang di lakukan dengan pengerahan tenaga dan kepandaian sepenuhnya, akhirnya ia berhasil mendorong Bun Sam sampai roboh terguling guling beberapa tombak jauhnya dan sebelum mereka mengetahui bagaimana gerakan lawan tinggi besar ini, Thian Giok dan Lan Giok tahu tahu telah dapat dipegang pergelangan lengannya dan ketika keduanya berusaha memberontak, tekanan pada pergelangan tandan mereka mengeras dan mereka merasa lumpuh sama sekali!

   Akan tetapi pada saat itu, berkelebat bayangan yang seperti petir menyambar cepatnya dan Pat jiu Giam oag merasa betapa tengkuknya diserang dengan hebat tekali dari atas! Ia terpaksa melepaskan pegangannya pada tangan kedua anak kembar itu dan cepat mengangkat tangan menangkis pukulan yang hebat dan yang belum diketahui betul dari siapa datangnya ini.

   "Duk....!"

   Dua pasang tenaga yang saling beradu dan Pat jiu Giam ong terhuyung mundur sampai lima tindak! Ketika ia memandang, tetapi yang menyerangnya adalah seorang yang berwajah seperti setan dan yang sekali betot saja telah membawa Lan Giok dan Thian Giok melompat ke atas genteng.

   "Mo bin Sio kun....!" bentak Pat jiu Giam ong marah. Tadi ia sampai terhuyung lima tindak bukan karena ia kalah kuat oleh Mo bin Sin kun, melainkan karena tadinya ia tidak tahu siapa yang menyerangnya, maka agak memandang rendah dan ketika menangkis tidak mempergunakan seluruh tenaganya, sehingga ia sampai terpental dan terhuyung mundur.

   "Pat jiu Giam oag, kematian orang orangmu akulah yang menyuruh murid muridku. Kalau kau penasaran, kau boleh mencari aku ke puncak Sian hwa san!" Setelah berkata demikian, sekali berkelebat, Mo bin Sin kun lenyap dari pandangan mata.

   "Mo bin Sin kun, orang sombong! Tunggu tiga tahun lagi pasti kita akan bertemu!" Pat jo Giam ong mengerahkan tenaga khikang dan menyusul dengan suaranya yang keras dan tawar. Akan tetapi tidak ada jawaban.
Sementara itu, Bun Sam lalu memimpin tangan suhengnya dan sebelum.... ia menjura kepada Pat jiu Giam ong sambil berkata.

   "Aku yang muda sudah menerima pelajaran dari Liem locianpwe, banyak terima kasih!"

   Pat jiu Giam ong memandang dangan geram. Pada saat itu, Bucuci melompat dan menyerang Bun Sam sambil berseru.

   "Anak setan, jangan mengharap akan dapat pergi dan sini!" Bun Sam terkejut dan cepat mengelak, ia bersiap sedia untuk melawan jika dikeroyok dan juga Yap Bouw bersiap untuk bertempur mati matian. Akan tetapi terdengar bentakan dari Liem goanswe dan semua orang menahan serangannya.

   "Melihat muka gurumu kau boleh pergi dari sini!" katanya kepada Bun Sam, kemudian kepada Yap Bouw ia berkata pula."Dan kau Jenderal Yap, biarlah kali ini kau pergi dari sini. Akan tetapi lain kali kalau kita bertemu, aku takkan dapat melepaskan engkau lagi, harus kutangkap untuk dihadapkan kepada hongsiang (kaisar)."

   Bun Sam menjura lagi dan menarik tangan Yap Bouw yang mendelikkan matanya kepada Pat jiu Giam ong. Keduanya lalu pergi dari situ dan kembal ke dalam kuil.

   "Suheng, sekarang tak dapat tidak kau harus pergi ke Sian hwa san menyusul isteri dan anak anakmu."

   Yap Bouw menggeleng gelengkan kepalanya dengan tegas.

   "Suheng, Lan Giok dan Thian Giok sudah mengetahui bahwa kau adalah ayah mereka dan apakah kau kira mereka tidak akan menceritakan hal ini kepada ibunya? Kalau mereka sudah tahu bahwa kau masih hidup, akan tetapi tidak mau menjumpai mereka, bukankah hal ini akan menghancurkan perasaan mereka?"

   Yap Bouw mengerutkan kening dan ia berpikir pikir dengan keras. Akhirnya ia harus menyetujui pendapat sutenya ini, maka ia memberitahukan dengan gerak jari tangan bahwa ia akan mencoba, mendapatkan harta pusaka itu, baru kemudian ia akan menyusul anak isterinya di puncak Sian hwa san.

   Mereka lalu berunding dan menetapkan untuk memasuki taman gedung Panglima Bucuci dua hari lagi setelah keadaan menjadi aman. Karena mereka tidak dimusuhi oleh Pat jiu Giam ong, maka mereka boleh merasa aman tinggal di kota raja.

   "Ibu, katakan saja terus terang, bagaimanakah ayahku meninggal dunia dan siapa pembunuhnya?" berulang ulang pertanyaan ini diajukan oleh Sian Hwa kepada Tan Kui Eng, isteri dari Panglima Bucuci.

   "Sian Hwa, mengapa kau ingin membongkar dan menggali perkara yang sudah lalu? Apakah kau tak merasa puas hidup di dalam rumah ini? Kurang bagaimanakah ibu dan ayahmu mencintai mu? Kian Hwa, pertanyaanmu itu menghancurkan hatiku. Kalau kau memang berbakti kepada ibumu, jangan kau menanyakan hal itu, nak!"

   "Ibu, mengapa itu berkata demikian? Aku tahu bahwa ayahku telah meninggal dunia, akan tetapi karena ibu pernah menyatakan bahwa nyata dahulu adalah seorang perwira, maka bukankah sudah menjadi hakku untuk mengetahui siapa dia dan di mana makamnya? Ibu, kalau ibu tidak memberitahukan hal ini, selamanya aku akan merasa sengsara dan berduka."

   Kui Eng memeluk puterinya yang menangis sambil merebahkan kepala di pangkuan ibunya.

   "Sian Hwa, kau benar benar keras hari, seperti ayahmu dahulu. Ketahuilah bahwa ayahmu dahulu adalah seorang perwira, she Kui, seorang perwira gagah berani yang gugur dalam pertempuran ketika terjadi perang. Kemudian setelah pemerintah yang sekarang berdiri, ayah tirimu yang sekarang mengambil ibumu sebagai isteri Nah, soal yang begitu saja mengapa harus dipikirkan?"

   Pedang Sinar Emas Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   Akan tetapi diam diam Sian Hwa dapat menduga bahwa ibunya telah membobong. Ia tidak percaya kalau ayahnya gugur dalam pertempuran biasa. Bukankah Ngo jiau eng sudah mengaku bahwa Ngo jiauw eng Lui Hai Siong yang membunuh ayahnya? Dan mengapa pula ayah tirinya membunuh Ngo jiauw eng ketika mendengar orang mengucapkan pengakuannya?

   "Ibu, apakah sejak dahulu Ngo jiauw eng Lui Hai Siong membantu ayah dalam barisan Ang bi tin?"

   Mendengar disebutnya Ang bi tin, ibanya nampak terkejut, akan tetapi ia lalu mengangguk.

   "Apakah semenjak dahulu Ngo jiauw eng berkedudukan di Tong seng kwan?" Kembali ibunya mengangguk. Sian Hwa tidak melanjutkan pembicaraan itu, di dalam hatinya mengambil keputusan yang kalau diutarakan kepada ibunya mungkin akan membuat nyonya itu menjadi terkejut sekali.

   Ayah tirinya sedang menerima tamu yang aneh, yakni lima orang yang kelihatannya tidak menyenangkan. Kemudian Sian Hwa mendengar bahwa mereka itu adalah Sin beng Ngo hiap dan bahwa yang tertua diantara mereka, yakni Bouw Ek Tosu adalah guru dari Ngo jiauw eng Lui Hai Siong. Maka tertariklah hati gadis ini dan diam diam ia mengintai dari balik pintu ketika ayah tiri nya sedang barcakap cakap dengan lima orang itu.

   Ia melihat Bouw Ek Tosu dalam keadaan marah benar.

   "Kurang ajar sekali Mo bin Sin kun! dahulu dia telah menghina kami dan sekarang bahkan berani membunuh murid kami. Tentu saja kami takkan tinggal diam dan kami akan mengejarnya ke Sian hwa san. Kematian muridku harus dibelas!"

   Ucapan ini terdengar gagah berani, akan tetapi tentu Sian Hwa dan juga Bucuci tidak tahu bahwa lima orang ini pernah dihajar jatuh bangun oleh Mo bin Sin kun di dalam sebuah restoran.
Bucuci lalu menceritakan tentang kedatangan kedua orang murid Mo bin Sin kun yang ketika hendak diungkap oleh Pat jiu Giam ong, ditolong pula oleh Mo bin Sin kun.

   Juga ia menceritakan betapa Mo bin Sin kun telah berjanji hendak mengadu kepandaian tiga tahun kemudian di puncak Gunung Kembang Dewa.

   "Kalau begitu, kami takkan mendahului Liem goanwse," kata Bouw Ek Tosu. "Dan sekarang kami hendak menyampaikan berita yang tentu akan membuat ciangkun merasa heran, tetapi juga girang."

   "Berita apakah itu, totiang?" tanya Bucuci.

   "Akan tetapi sebelumnya harap ciangkun suka berjanji bahwa hasil daripada berita ini akan dibagi rata dan ciangkun berhak mengambil seperenam bagian bagaimana?" tanya Si Pacul Kilat Kui Hok, orang ke empat dari Sin beng Ngo hiap yang terkenal cerdik.

   "Berita apakah itu yang menghasilkan? Dan apa pula hasilnya?" Bucuci bertanya dengan tertarik sambil mengerutkan kening.

   Bouw Ek Tosu tertawa. "Bucuci ciangkun, pendeknya pinto dapat memastikan bahwa hasil dari perkara ini, biarpun hanya seperenam bagian mu, cukup untuk membuat ciangkun mendapatkan harta benda yang amat besar harganya. Pendeknya kata kau tinggal berjanji saja, ciangkun dan kami akan memberitahukan kepadamu."

   Bucuci makin tertarik. Siapa orangnya yang tidak mau mendapat untung, apalagi kalau hanya dengan mendengar pemberitahuan orang lain belaka? Ia lalu berjanji bahwa dia akan suka menerima seperenam bagian dan akan membantu usaha lima orang tamunya itu.

   "Rahasia ini adalah tentang adanya harta terpendam yang tak ternilai besarnya, ciangkun. Dan harta terpendam itu berada di tempat ini."

   "Di sini?"

   "Ya, di rumah ini, karena harta itu dahulu adalah simpanan dari Jenderal Yap Bouw yang dahulu tinggal di sini. Tempatnya adalah di taman bunga di belakang gedungmu ini."

   Maka teringatlah Bucuci akan kunjungan pemuda yang ternyata adalah sute dari Yap Bouw itu.

   Kemudian beramai ramai, enam orang ini lalu membawa cangkul dan atas petunjuk Bouw Ek Tosu, mereka menggali tanah di bawah pohon yang liu dan mengeluarkan tiga peti yang penuh dengan harta benda berupa emas dan permata! Itulah harta pusaka yang dahulu disimpan oleh Yap Bouw. Bagaimana Sin beng Ngo hiap dapat mengetahui akan.... hal ini memang tidak.......... dahulu mempunyai banyak sekali hubungan dengan orang orang dari golongan hek to dan akhirnya dengan cara kebetulan ia dapat mendengar tentang rahasia ini dari seorang bekas pelayan Jenderal Yap Bouw yang mengetahui penyimpanan harta pusaka itu oleh Yap Bouw.

   Sian Hwa yang melihat ini samua diam diam merasa kasihan kepada bekas jenderal yang bernama Yap Bauw itu. Ia tidak tahu mengapa bekas jenderal itu memiliki wajah yang demikian menyeramkan seperti setan. Akan tetapi wajah sutenya membuat hatinya selalu berdebar apabila ia teringat kepada nya.

   Bun Sam, sungguh pemuda yang tampan dan gagah, juga amat berani, ia merasa kagum sekali kalau mengingat betapa untuk membela kawan kawannya, Bun Sam bahkan berani menghadapi Pat jiu Giam ong gurunya!

   Ketika ayahnya membagi bagi harta pusaka itu dengan Sin beng Ngo hiap, ia mendengar bahwa Sin beng go hiap hendak menjual benda benda berhanga itu ke kota Kaifeng di mana terdapat banyak sekali pedagang bangsa asing dari dunia barat, yang berani membeli mahal beada benda berharga semacam itu.

   Sejak peristiwa pembunuhan Ngo jiauw eng, seringkali Sian Hwa nampak termenung dan berduka. Dua malam berikutnya ia duduk di dalam kamarnya, sama sekali tak dapat tidur biarpun waktu telah menjelang tengah malam. Ia merasa amat gelisah dan tak tentu pikiran.

   Di hadapan ibunya dua hari yang lalu ia telah mengambil keputusan untuk menyelidiki keadaan mendiang ayahnya di kota Tong seng kwan. Ia hendak menyelidiki keadaan Ngo jiauw eng ketika masih menjadi pemimpin Ang bi tin. Siapa tahu kalau kalau diantara keluarga atau kawan kawan Ngo jiauw eng ada yang mengetahui tentang rahasia pembunuhan ayahnya yang telah diakui oleh Ngo jiauw eng sendiri.

   Malam itu hawa amat panas maka makin gelisahlah Sian Hwa. Ingin sekali ia pergi ke Tong seng kwan untuk melakukan penyelidikannya, akan tetapi ia takut kalau kala ia akan menimbulkan kecurigaan di hati ayahnya.

   Besi kecil lonjoag dari bagian kerincingan ayahnya yang sesungguhnya merupakan perenggut nyawa Ngo jiauw eng, masih disimpannya. Benda itulah yang menjadikan ia penasaran dan hendak membongkar semua rahasia ini.

   Sudah terang bahwa Ngo jiauw eng membunuh ayahnya dan agaknya ayah tirinya tidak suka kalau hal ini diketahui olehnya. Mengapa Ngo jiauw eng membunuh ayahnya dan bagaimana? Dan mengapa Bucuci yang menjadi ayah tirinya itu agaknya mempunyai hubungan dengan peristiwa ini? Dan ibunya.... mengapa pula ibunya sampai menjadi isteri Panglima Bucuci dan agaknya ibunya tidak suku pula bercerita tentang ayahnya? Semua pertanyaan ini mengaduk pikiran Sian Hwa, membuatnya tergolak golek di atas pembaringannya di dalam kamarnya yang telah gelap itu. Akhirnya ia tidak dapat menahan kegerahannya dan sekali melompat ia telah berada di dekat jendela kamarnya dan tiba tiba dibukanya daun jendela kamarnya itu agar angin dapat masuk ke dalam kamar.

   Kamar gadis ini berada di bagian paling belakang gedung, karena ini memang kehendak gadis itu sendiri, ia menghendaki kamar yang langsung berada di pinggir taman bunga agar ia mudah menikmati taman bunga itu, pula kalau ingin melatih silat, hanya tinggal keluar saja dari kamarnya. Ketika ia membuka daun jendela, cahaya bulan memasuki jendelanya, diikuti oleh silirnya angin malam yang nyaman.

   Tiba tiba Sian Hwa menahan nafas dan urat urat tubuhnya menegang, ia melihat bayangan yang cepat sekali melompat ke dalam taman. Cepat gadis itu lalu menyambar pedangnya yang diletakkan di dekat pembaringan, lalu dengan amat hati hati ia melompat keluar dari jendela dan menuju ke bagian taman dimana ia lihat bayangan tadi berkelebat.

   Karena ia yang menjadi pemilik taman dan setiap hari bermain di tempat ini, maka ia sudah hafal sekali akan keadaan di situ dan dapat menghampiri tempat itu tanpa menerbitkan suara. Setelah dekat, ia mengintai dari balik rumpun pohon bunga dan bukan main heran dan kagetnya ketika ia melihat bahwa yang berada di bawah pohon Yang liu adalah dua orang dan bukan lain ialah Bun Sam dan Yap Bouw! Akan tetapi, ia segera ingat akan harta pusaka yang dibongkar oleh ayahnya dan Sin beng Ngo hiap, maka tahulah ia bahwa bekas jenderal ini datang tentu hendak mencari harta simpanannya!.

   "Ji wi (tuan berdua) datang di taman orang mau apakah?" Ia menegur sambil melompat keluar dari tempat sembunyinya.

   Bukan main kagetnya Yap Bauw dan Bun Sam. Yap Bouw yang tidak mau mencari perkara dan keributan, segera memberi tanda kepada sutenya untuk pergi dan ia sendiri setelah menjura ke arah Sian Hwa, lalu melompat ke atas tembok taman.

   Akan tetapi Bun Sam ketika melihat gadis yang tak pernah dilupakannya itu, menjadi berdebar hatinya dan berdiri menghadapinya bagaikan patung. Kalau suhengnya melompat ke atas tembok ia bahkan melangkah maju mendekati Sian Hwa, lalu menjura dengan hormat ambil tersenyum ramah.

   "Maaf sebanyak banyaknya, nona. Aku dan suhengku kembali datang mengganggu di dalam tamanmu."

   "Kalian tentu datang umak mencari harta terpendam itu, bukan?" secara langsung Sian Hwa bertanya dengan suaranya yang halus, tetapi cukup mengejutkan Bun Sam. Pemuda ini mengangkat muka memandang dengan pandang mata menyelidik.

   Karena pada saat itu Sian Hwa juga sedang menatapnya, maka dua pasang mata saling pandang dan sinar mata mereka beradu lama. Akan tetapi akhirnya Sian Hwa menundukkan mukanya dengan dada berdebar. Ada sesuatu dalam pandang mata pemuda itu yang membuatnya merasa malu dan tidak karuan rasanya.

   "Nona, bagaimana kau bisa tahu?"

   "Sin beng Ngo hiap yang datang membicarakan harta pusaka itu dan kalau kau dan suhengmu datang untuk mencari harta itu, kalian telah terlambat dua hari."

   "Sin beng Ngo hiap? Mereka datang?"

   Sian Hwa mengangguk. "Ya, dua hari yang lalu mereka datang dan telah membawa pergi harta terpendam itu. Kau lihat sendiri, bukankah tanah itu masih kelihatan bekas galian?" Nonn itu menunjuk ke bawah pohon yang liu.

   "Dan ayahmu membiarkannya?"

   Wajah Sian Hwa memerah. Biarpun kini semenjak ayahnya membunuh Ngo jiauw eng, ada sesuatu ganjalan di dalam hatinya terhadap ayah tirinya, namun ia tidak suka membicarakan ayahnya dengan orang lain.

   "Ayah tidak ada sangkut pautnya dengan urusan ini," katanya tegas sambil mencoba untuk melupakan bagian seperenam yang diterima oleh ayahnya dari Sin beng Ngo hiap.

   
Akan tetapi Bun Sam tidak merasa akan ketegasan ucapan ini karena ia telah berpaling dan memanggil ke arah tembok. "Suheng! Ke sinilah, ada berita penting!"

   Maka berkelebatlah bayangan Yap Bouw dari atas tembok dan kini si muka tengkotak ini berdiri di belakang sutenya. Sian Hwa merasa ngeri melihat muka orang ini, akan tetapi ia juga merasa amat kasihan kalau mengingat betapa harta simpanan orang ini telah diambil oleh Sin beng Ngo hiap dan ayah tirinya.

   Dengan gerak jari tangannya, Bun Sam memberitahukan kepada suhengnya tentang pengambilan harta terpendam itu. Wajah Yap Bouw menjadi semakin buruk dan ia melompat ke tempat di mana dahulu ia menanam hartanya. Benar saja, ketika ia membanting kakinya, tanah itu menjadi berlobang, tanda bahwa tanah di situ masih empuk bekas di gali orang, ia menggeleng gelengkan kepalanya dengan duka dan Bun Sam juga menarik napas panjang sambil memandang ke arah suhengnya dengan kasihan.

   Sian Hwa yang melihat pandangan mata Bun Sam ke arah suhengnya ini, mejadi terharu.

   "Aku tahu ke mana Sin beng Ngo hiap membawa harta pusaka itu!" katanya tiba tiba. Bun Sam dan Yap Bouw cepat menengok dan memandang tajam, Yap Bouw menggerak gerakkan jari tangannya kepada Sian Hwa akan tetapi tentu saja gadis itu tidak mengerti sama sekali apa yang dikehendaki oleh orang itu. Bun Sam cepat menterjemahkan pertanyaan Yap Bouw.

   "Nona yang baik, tolonglah kau beri tahukan, kemana Sin beng Ngo hiap membawa harta itu?"

   
"Dua hari yang lalu mereka datang mengambil harta itu dan katanya mereka hendak menjual barang barang itu ke kota Kaifeng."

   Mendengar ucapan ini. Yap Bouw lalu menjura kepadanya dan segera mengajak sutenya pergi, lalu mendahului melompat keluar taman.

   "Nona, kau sungguh berbudi halus dan berhati mulia. Banyak terima kasih atas petunjukmu, nona. Aku amat...." tiba tiba terdengar suara kerincingan dari dalam gedung itu dan Sian Hwa segera berbisik. "Pergilah cepat".!"

   Bun Sam mengangguk. "Belum habis bicaraku besok malam aku akan datang lagj melanjutkannya!" Setelah berkata demikian, sekali berkelebat telah berada di luar taman menyusul suhengnya.

   Sian Hwa berdiri termenung sampai lama, hati nya serasa terbawa pergi oleh pemuda yang halus dan amat menarik hatinya itu. Pemuda itu telah pergi, belum tentu selama hidupnya akan bertemu lagi. Akan tetapi, Bua Sam tadi berkata bahwa besok malam akan datang, betulkah? Dan apa kehendaknya? Diam diam in merasa betapa mukanya menjadi hangat, tanda bahwa darahnya naik semua ke mukanya dan dadanya menjadi makin berdebar. Kemudian ia lalu berlari kembali ke kamar nya lalu tidur nyenyak dengan bibirnya tersenyum manis.

   Adapun Yap Bouw yang berlari kembali ke kuilnya, lalu berunding dengan Bun Sam. Bekas jenderal ini mengambil keputusan untuk mnuju langsung ke Kaifeng untuk mencoba menyusul Sin beng Ngo hiap, kemudian dari Kaifeng ia hendak terus menuju ke Sian hwa san untuk menjumpai anak istermya. Kepada Bun Sam ia berpesan agar sutenya ini memberitahukan segala hal ihwalnya kepada Kim Kong Taisu guru mereka.

   Bun Sam menyatakan persetujuannya dan malam hari itu juga Yap Bouw berangkat menyusul ke Kaifeag Adapun Bun Sam yang ditinggal pergi suhengnya, lalu membaringkan tubuhnya di dalam kamar kuil itu sambil membayangkan.... wajah Sian Hwa!

   "Aku harus menjumpai dia sekali lagi sebelum kembali ke Oei san!" Ia mengambil keputusan di dalam hatinya dan malam itu iapua tidur nyenyak dengan bibir tersenyum bahagia!

   Pada keesokan harinya, baru saja matahari terbenam dan malam menjelang datang, Bun Sam sudah ada di belakang pagar tembok yang mengelilingi taman bunga di belakang rumah Panglima Bucuci. Hatinya sudah ingin sekali melompati pagar tembok dan mencari dara jelita yang telah membetot sukmanya itu. bertemu muka dan bercakap cakap.

   Akan tetapi keadaannya mencegahnya karena ia maklum bahwa tempat ini tidak boleh dibuat main main.

   Para pelnyan masih terdengar sibuk di belakang dan kalau sampai hadirnya diketahui oleh Bucuci, tidak saja ia akan mengalami serangan serangan lagi, bahkan mungkin sekali ayah gadis itu akan timbul hati curiga dan akan mengira puterinya berlaku yang bukan bukan. Ah, Bun Sam tidak akan membikin gadis itu kena terfitnah.

   "Sian Hwa....." bisiknya berkali kali. Ia telah mendengar nama gadis ini disebut oleh ayahnya.

   Sungguh nama yang indah, sesuai dengan orangnya.

   Tiba tiba berkerut kening pemuda ini. Ia berdiri di luar pagar tembok dengan tubuh tak bergerak dan otaknya diperas mengingat ingat, serasa pernah didengarnya nama Sian Hwa ini, akan tetapi entah di mana. Serasa tidak asing nama Sian Hwa di dalam pendengarannya, Sian Hwa. Di mana aku pernah mengenal orang barnama Sian Hwa? Selamanya aku belum pernah berkenalan dengan wanita, kecuali Lan Giok yaug belum lama ini dijumpainya. Tak mungkin pula aku pernah bertemu dengan dia...." demikianlah jalan pikiran Bun Sam sambil berdiri melamun di dekat pagar tembok.

   Karena tempat itu memang merupakan jalan kecil umum, maka ia tidak khawatir kalau kalau akan dicurigai orang. Kemudian ia menggerakkan kakinya lagi berjalan jalan ke sana ke mari di luar pagar sambil menanti sampai malam agak larut dan sampai suara suara pelayan di belakang pagar tembok itu menghilang.

   Padu saat ia hendak melompati pagar tembok itu, tiba tiba ia melihat bayangan orang berkelebat dengan gerakan yang luar biasa cepatnya, melompati pagar tembok taman itu di bagian lain. Bun Sam terkejut dan cepat barsembunyi sambil memandang ke arah bayangan orang itu. Ia mendapat kenyataan bahwa bayangan itu ternyata adalah Liem Swee pemuda tampan dan gagah yang kemarin datang bersama Pat jiu Giam ong Liem Po Cwan!

   Biarpun Bun Sam belum tahu siapa adanya pemuda tampan itu, namun karena melihat kemarin datang bersama Pat jiu Giam ong, ia dapat menduga bahwa tentu pemuda itu mempunyai hubungan baik dengan keluanga Bucuci. Akan tetapi mengapa pemuda itu juga datang melalui pagar tembok seperti seorang asing?

   Diam diam dia menjadi tertarik, akan tetapi ia tidak berani segera menyusul karena maklum bahwa pemuda itu berkepandaian tinggi dan tentu akan dapat melihatnya. Ia tidak ingin siapapun juga melihat dia memasuki taman itu, bukan karena takut, akan tetapi karena ia ingin dapat berjumpa dengan gadis pujaan kalbunya dan juga ia tidak ingin menyeret Sian Hwa dalam kecemaran nama sebagai seorang gadis puteri panglima yang gagah dan berwatak baik dan bersih.

   Setelah menanti agak lama, barulah ia melompat dengan gerakan hati hati sekali ke atas terobok di sudut yang sunyi, kemudian melompat ke dalam. Diantara semak semak dan pohon pohon ia menyelinap dan menghampiri tengah taman di mana terdapat empang teratai dan pohon yang liu yang indah itu.

   Dengan amat heran terhadap diri dan hati sendiri, Bun Sam merasa betapa panas dan tidak senangnya hatinya ketik ia melihat pemandangan yang nampak olehnya di bawah pohon yang liu itu. Seperti dulu ketika pertama kali ia melihat Sian Hwa di taman ini, kini gadis itupun duduk di dekat empang teratai di atas bangku batu terukir indah.

   Dan di depan gadis itu duduk seorang pemuda gagah dan tampan yakni pemuda yang tadi mendahuluinya melompat ke dalam taman. Biarpun Bun Sam sudah merasa betapa ia amat suka dan tertarik kepada gadis cantik penghuni taman itu, namun ia menjadi terheran heran dan sungguh sungguh tidak mengerti mengapa pada saat ia melihat dua orang itu duduk berhadapan dan bercakap cakap, ia merasa hatinya berdetak detak aneh, dan amat tidak enak dan dadanya terasa panas yang naik cepat ke arah muka dan telinganya ia tidak tahu bahwa inilah perasaan cemburu yang
(Lanjut ke Jilid 12)
Pedang Sinar Emas/Kim Kong Kiam (Serial Pedang Sinar Emas)
Karya : Asmaraman S. Kho Ping Hoo

   Jilid 12
merupakan sebuah cabang daripada pohon cinta yang telah tumbuh di dalam lubuk hatinya.

   Bun Sam tahu bahwa mendengar pembicaraan orang dengan sembunyi sembunyi tanpa ada alasannya adalah perbuatan yang amat tidak patut dilakukan oleh seorang gagah. Akan tetapi, perasaan cemburu membuat pemuda itu lupa akan kepatutan lagi. Dengan hati hati sekali ia menghampiri tempat dua orang itu bercakap cakap dan bersembunyi di balik pohon lalu mengintai dan mendengarkan percakapan mereka.

   "Hwa moi, melihat engkau di dalam taman bunga ini, dikelilingi bunga bunga indah dan pemandangan yang menawan hati, sungguh membikin aku merasa seakan akan aku berada di surga bersama seorang bidadari. Alangkah cantik dan manisnya engkau, Hwa moi," kata Liem Swee dengan suara merayu, suara yang mengandung bujuk dan cumbu, yang membuat hati Bun Sam menjudi makin panas.

   "Suheng (kakak seperguraan), jangan kau berkata begitu, terdengar kurang sopan dan tidak.. pantas," jawab Sian Hwa dengan suara kaku.

   "Eh, Hwa moi, mengapa kau masih saja menyebut suheng kepadaku? Tidak sedap didengar dan...."

   "Mengapa tidak? Bukankah aku murid ayahmu dan ayahmu menjadi gurumu pula?"

   "Benar, akan tetapi selelah kita ditunangkan aku tidak menyebutmu sumoi (adik seperguruan) lagi. Aku lebih suka menyebut moi moi dan kau seharusnya menyebut koko kepadaku."

   "Ah, sudahlah, suheng. Jangan main main. Bertunangan belum berarti ikatan jodoh yang sudah sah dan pula......"

   He....?!? Apa pula kau bilang Hwa moi? Bukankah kita sudah menjadi tunangan dan menjadi calon suami isteri?"

   Mendengar disebutnya ucapan suami isteri ini merahlah seluruh muka Sian Hwa, semerah warna bajunya. Merah karena jengah, malu dan marah.

   "Harus kau ingat bahwa pertunangan ini adalah kehendak kedua orang tua kita, bukan kehendak kau sendiri."

   "Salah,"! Liem Swee memotong cepat. "Akupun menghendaki hal ini diadakan, bahkan menghendaki dengan sangat. Akulah yang mendesak ayah untuk meminangmu. Aku cinta kepadamu, Hwa moi dan kau tahu benar akan hal ini."

   "Sudahlah, suheng, jangan bicara tentang hal ini. Betapapun juga aku masih bebas, aku tidak sudi diikat oleh pertalian apapun juga. Dan malam ini aku tak suka bercakap cakap, harap kau tinggalkan aku seorang diri. Aku hendak melatih siu lian (samadhi) di taman ini, jangan kau menggangguku."

   Tiba tiba Liem Swee gelak tertawa. "Ha, ha, ha, aku tahu, adikku yang manis! Sudah selayaknya kalau kau mempunyai rasa malu malu ha, ha. ha, tidak apalah tunanganku yang tercinta. Kelak kalau kita sudah menjadi suami isteri, tentu...."

   "Sudah, suheng! Aku tidak suka mendengarkan lagi. Pergilah, jangan sampai kau membikin aku marah! Tidak baik kalau terlihat oleh pelayan bahwa kau mengunjungi aku dengan cara sembunyi."

   Liem Swee tersenyum senyum lalu berdiri, ia membungkuk dan memegang tangan Sian Hwa.

   "Alangkah halus kulit tanganmu, Hwa moi....."

   Akan tetapi dengan cepat Sian Hwa merenggutkan tangannya sehingga terlepas dari genggaman Liem Swee.

   "Suheng, jangan kau menggangu aku lebih lama lagi. Pergilah!"

   Kini gadis ini berdiri menghadapi Liem Swee dan sepasang matanya yang berkilat itu membuai Liem Swee mundur dua tindak dan maklum bahwa kali ini tunangannya yang galak ini benar benar marah sekali, ia dapat melihat gelagat lalu tersenyum dan menjura.

   "Baiklah, tunanganku yang mulia dan terhormat, aku mentaati perintahmu. Biar aku akan segera tidur dan menjumpaimu di dalam mimpi, di sana aku dapat menyatakan isi hatiku lebih leluasa kepadamu, karena di dalam mimpi kau tidak segalak ini. Selamat malam!"

   Setelah berkata demikian, kembali pemuda yang tampan dan gagah akan tetapi yang mempunyai suara ketawa besar dan menyeramkan itu, menggerakkan tubuhnya dan sekali berkelebat ia telah menghilang di balik tembok taman.

   Bun Sam memuji kehebatan ginkang pemuda itu yang agaknya tidak berada di sebelah bawah tingkat kepandaiannya sendiri, ia memandang ke arah gadis yang kini berada seorang diri di dalam taman itu.

   Sian Hwa dudak termenung, tidak bergerak bagaikan sebuah patung batu yang indah. Gadis itu memandangi ikan ikan yang berenang riang gembira berkejar kejaran di dalam empang teratai. Kadang kadang nampak kulit perut ikan yang putih mengkilat timbul di permukaan air ketika seekor ikan melompat lincah.

   Sian Hwa menggerakkan tubuhnya seakan akan semangatnya baru kembali ke dalam tubuh setelah mengarungi angkasa luas. Ia memandang ke sana ke mari dengan sepasang matanya yang amat tajam dan bening, kemudian seperti seorang yang mengharap harap ia melihat sambil memutar tubuhnya ke arah dinding tembok taman.

   

Pedang Naga Kemala Eps 41 Pemberontakan Taipeng Eps 5 Pedang Naga Kemala Eps 40

Cari Blog Ini