Pedang Naga Kemala 35
Pedang Naga Kemala Karya Kho Ping Hoo Bagian 35
"Ha-ha-ha-ha! Omitohud... berkah Sang Buddha yang berlimpahan telah membuat engkau berhasil Koan Jit. Melihat gerakan-gerakanmu dalam berlatih tadi, engkau telah menguasai seluruh duabelas jurus Ilmu Silat Kebahagiaan, dan semoga engkau akan dilimpahi damai dan bahagia.
"Nah, engkau sudah lulus sekarang dan tepat seperti yang pinceng janjikan, setelah pinceng mewariskan ilmu baru ini kepadamu, pinceng siap untuk kau bunuh. Terimalah pedang ini dan lakukanlah niatmu membunuh pinceng!" Kakek itu sambil tersenyum ramah lalu menyerahkan sebatang pedang terhunus kepada Koan Jit. Sejenak Koan Jit memandang nanar dan tertegun, seolah-olah tidak percaya akan apa yang didengarnya, dan seolah-olah dia sudah lupa dan kini terkejut karena diingatkan kembali bahwa dia pernah mempunyai keinginan membunuh Kakek ini. Hawa panas karena haru naik dari dadanya dan seperti menyangkut dan mencekik tenggorokannya. Dia menerima pedang itu dari tangan Siauw-bin-hud tanpa berkata apapun, kemudian diapun mengayun pedang itu! Bukan untuk membunuh Siauw-bin-hud, melainkan untuk membacok dan membuntungi kedua kakinya sendiri.
"Siancai...!" Siauw-bin-hud menggerakkan tangannya dengan kecepatan yang sukar diikuti oleh pikiran lumrah.
"Trakkk!" Pedang itu tertangkis dan terlepas dan pegangan Koan Jit.
"Omitohud, Koan Jit... apa yang kau lakukan itu?" Siauw-bin-hud berkata dengan suara membentak. Koan Jit menjatuhkan diri berlutut di depan kaki Siauw-bin-hud, dan dia menangis menggerung-gerung seperti anak kecil sambil membentur-benturkan dahinya ke atas tanah. Selama hidupnya, baru sekali inilah dia mengalami hal seperti itu. Jiwanya seperti meratap, perasaannya meluap-luap, keharuannya membuat dia menangis sesenggukan seperti seorang anak kecil. Dia tidak mampu mengeluarkan kata-kata, melainkan menggerung-gerung dan membentur-benturkan dahinya di atas tanah depan kaki Siauw-bin-hud, Kakek yang pernah mau dibunuhnya itu.
Siauw-bin-hud memandang dan tersenyum, hatinya merasa gembira dan bahagia bukan main, karena dia mengerti bahwa telah terjadi pergolakan dalam batin Koan Jit, bahwa telah terjadi penyesalan yang akan membuat orang itu bertaubat selama hidupnya, perubahan yang membuka mata batin Koan Jit sehingga dia dapat melihat betapa sesat dan jahatnya dia di waktu yang sudah-sudah. Dia membiarkan Koan Jit menangis, karena hanya tangislah yang merupakan obat terbaik dalam keadaan seperti itu. Tanpa tangis, manusia akan menderita makin banyak kesengsaraan dan penyakit lahir batin. Tangis dapat merupakan peluapan segala derita batin. Setelah gejolak batin itu agak reda, dengan suara halus Siauw-bin-hud berkata.
"Koan Jit, hampir saja engkau melakukan hal yang bahkan lebih sesat dan jahat dari pada segala perbuatanmu yang sudah-sudah. Engkau hendak menyiksa diri sendiri? Bahkan membunuh diri sendiri, tiada gunanya untuk menebus segala kesalahan yang telah dilakukan di waktu yang sudah.
"Yang penting bukan hanya penyesalan dan pernyataan taubat. Yang terpenting adalah membuka mata penuh kewaspadaan dan kesadaran, sehingga mulai saat ini, engkau akan selalu dalam keadaan sadar dan akan melakukan hal-hal yang baik."
"Saya mengerti, Locianpwe... dan maafkanlah perbuatan saya tadi. Saya terdorong oleh rasa menyesal kepada diri sendiri bagaimana saya pernah mempunyai niat untuk membunuh Locianpwe yang bijaksana dan budiman. Malu sekali kalau saya mengenang semua perbuatan saya yang lalu. Mulai sekarang, saya bersumpah akan mengakhiri sisa hidup saya untuk mengabdi kebenaran dan kebajikan." Kakek itu menarik napas panjang.
"Omitohud! Pinceng merasa berbahagia sekali bahwa penerangan telah mengusir kegelapan dan hatimu, Koan Jit. Akan tetapi, pinceng menyembunyikan diri karena tidak tahan melihat keadaan dunia yang menjadi keruh oleh ulah manusia. Dimana-mana, manusia telah mengumbar hawa nafsu, menggunakan kekerasan untuk saling bunuh.
"Dan semua perbuatan itu disembunyikan dalam dalih yang muluk-muluk. Ah, kinipun berkecamuk perjuangan menentang pemerintah penjajah.
"Memang sudah menjadi hak bangsa kita untuk memberontak. Akan tetapi, untuk inipun terpaksa harus dipergunakan kekerasan, bunuh-membunuh. Betapa ngerinya dan pinceng tidak akan melihat itu semua.
"Ingat, Koan Jit... engkau masih muda dan tentu saja engkau boleh mencampuri urusan perjuangan. Sebagai seorang warga negara, memang engkau berkewajiban untuk melindungi tanah air dan membela bangsamu. Akan tetapi semua itu harus kau lakukan dengan hati setia dan jujur, dan jangan sedikitpun juga bersumber kepada kepentingan diri pribadi. Mementingkan diri pribadi akan menodai dan mencemarkan semua perjuangan."
"Locianpwe, setelah menerima petunjuk Locianpwe selama ini, saya sudah dapat melihat dengan jelas, dan saya tidak mempunyai pamrih apapun, Locianpwe. Keinginan pribadi saya sudah mati, dan biarlah saya anggap demikian sehingga kematian itu akan saya tandai dengan pakaian berkabung untuk selamanya."
Siauw-bin-hud merasa gembira bukan main. Gembira karena tanpa disangka-sangkanya, dalam keadaan dalam pertapaan itu, Tuhan telah menuntun Koan Jit memasuki guha sehingga orang itu akhirnya merasa memperoleh kesadaran. Diapun lalu mempergunakan kesempatan itu untuk memberi petuah dan nasihat-nasihat yang amat berharga kepada Koan Jit, agar bekal batin orang itu semakin penuh untuk dia pergunakan menghadapi kehidupan yang sudah menjadi keruh dan kotor oleh ulah manusia pada umumnya itu. Manusia sudah sedemikian butanya, sehingga untuk memperebutkan kesenangan bagi dirinya sendiri yang meluas menjadi ketenangan keluarga, kelompok, suku dan bangsanya, mereka rela untuk saling berbunuhan. Dengan dalih mencari perdamaian, mereka rela membunuh.
Perdamaian hendak dicapai manusia melalui perang! Ketenteraman hendak dicapai melalui huru-hara! Sungguh aneh, lucu akan tetapi menyedihkan, namun kalau kita mau membuka mata memandang, memang demikianlah keadaan dunia kita! Demikianlah jerit manusia yang dapat melihat semua itu, seperti yang sering dijeritkan oleh hati Siauw-bin-hud. Terjadi perubahan besar dalam hubungan antara pemerintah Ceng dan pasukan-pasukan kulit putih. Pemberontakan-pemberontakan yang terjadi dimana-mana, yang bukan hanya memusuhi pemerintah Ceng akan tetapi juga merongrong pasukan kulit putih, membuat dua golongan ini segera melihat bahwa Persatuan antara mereka amat menguntungkan mereka bersama. Bahkan penumpasan terhadap para pemberontak itu, kalau dilakukan dengan cara masing-masing, dapat memancing timbulnya pertentangan di antara mereka sendiri.
Hal ini terjadi pula di dalam ruangan bawah tanah di bukit sebelah belakang kuil Siauw-lim-si. Karena bekerja sendiri-sendiri dalam menghadapi para pemberontak, maka mereka nyaris bertempur sendiri, saling bermusuhan. Mereka maklum bahwa kalau hal ini terjadi, yang untung hanyalah para pemberontak. Kedua pihak akan menjadi lemah sendiri. Pasukan pemerintah Ceng lebih menguasai keadaan dan mengenal daerah, sedangkan pasukan orang kulit putih yang tidak begitu mengenal daerah, lebih kuat dalam persenjataan karena menguasai banyak senjata api. Hal ini nampak oleh para pimpinan pasukan kedua pihak, dan mereka lalu mengadakan persekutuan atau Persatuan untuk bersama-sama menghadapi pemberontak-pemberontak itu dan menumpasnya. Dan semenjak mereka mengadakan kerja sama, maka operasi-operasi yang mereka lakukan banyak membuahkan hasil.
Sarang-sarang para pemberontak yang kecil-kecil, yang berkelompok tidak lebih dari puluhan orang, berhasil disergap dan banyak dilakukan pembunuhan dan penangkapan-penangkapan. Setelah adanya kerja sama itu, dalam waktu satu bulan saja, tempat tahanan pemerintah Ceng telah penuh dengan para tawanan yang dianggap sebagai pemimpin-pemimpin pemberontakan, dan jumlah tahanan ini setiap hari meningkat. Di dalam penjara kota Hang-couw yang menjadi kota pelabuhan dimana tentara kulit putih berpusat di samping di Sang-hai, penuh dengan tahanan para pemberontak yang jumlahnya mencapai seratus orang lebih! Mereka adalah orang-orang yang dianggap cukup penting, walaupun bukan pemimpin-pemimpin besar, karena para pemimpin besar itu belum ada yang dapat ditawan.
Menurut para komandan kedua pasukan yang bergabung itu, para pimpinan besar adalah pendekar-pendekar lihai, juga termasuk tokoh-tokoh Siauw-lim-pai, dan datuk-datuk seperti San-tok, Hai-tok, Tee-tok dan murid-murid mereka. Karena itu, ingin sekali mereka menangkap tokoh-tokoh besar ini, karena sekali tokoh-tokoh besar itu tertangkap, mereka yakin bahwa pemberontakanpun akan mudah dipadamkan. Maka, kedua pihak lalu mengatur siasat, mencari jalan agar dapat menangkap para pimpinan pemberontak. Malam itu amat gelap dan suasana di penjara besar kota Hang-couw sudah sunyi, karena agaknya para tahanan sudah tidur pulas walaupun keadaan mereka amat sengsara. Kamar-kamar yang penuh dengan tawanan, tidur begitu saja di atas lantai yang dingin, juga berbau busuk. Lebih dari seratus orang tawanan berada di satu ruangan besar yang terbagi menjadi belasan kamar.
Mereka ini semua adalah tawanan perang, anggauta-anggauta pemberontak yang tertangkap ketika diadakan pembersihan. Akan tetapi para penjaga masih berjaga dengan penuh kewaspadaan. Tidak kurang dari dua puluh orang berjaga di situ. Mereka maklum bahwa teman-teman para tawanan yang masih berkeliaran di luar tentu akan berusaha membebaskan mereka yang tertawan. Oleh karena itu, para penjaga itu siang malam secara bergiliran melakukan penjagaan yang kuat. Dan karena kini pasukan-pasukan pemerintah Mancu telah bergabung dengan pasukan-pasukan orang kulit putih, di antara para penjaga itu terdapat dua orang perajurit kulit putih yang membawa bedil dan pistol. Penjara itu dikurung tembok tinggi dan empat sudutnya terdapat tempat penjagaan yang selalu dijaga oleh masing-masing empat orang penjaga.
Isi penjara itu seluruhnya tidak kurang dari empatratus orang, akan tetapi tawanan para pemberontak disatukan di dalam ruangan yang dijaga ketat oleh dua puluh orang penjaga pilihan. Malam semakin larut dan dingin. Para penjaga sudah melakukan perondaan ketika tanda waktu tengah malam dipukul, dan keadaan di seluruh penjara itu nampak aman dan tenteram saja. Para tahanan agaknya sudah tidur semua. Terdengar dengkur di sana sini. Ada pula terdengar keluhan-keluhan berat, dan tangis lirih tertahan. Demikianlah keadaan ruangan penjara itu setiap malamnya. Tak seorangpun di antara enam belas orang penjaga yang bertugas jaga di empat penjuru penjara melihat betapa ada sesosok bayangan hitam berkelebat dengan kecepatan seperti seekor kucing saja, melompati pagar tembok yang kebetulan agak gelap karena cahaya lampu gantung terhalang mencapai bagian itu.
Karena gerakan bayangan itu amat cepat, memang tidak mudah menangkap gerakannya. Apalagi dia tadi hanya nampak bergerak melayang dan meloncati pagar tembok saja, yang hanya makan waktu dua-tiga detik. Kini dia menyelinap ke dalam gelap, akan tetapi sudah berada di sebelah dalam tembok penjara. Ketika bayangan itu muncul di bawah sebuah lampu gantung, biarpun hanya sebentar, namun sinar lampu yang menimpa mukanya menunjukkan bahwa dia adalah seorang laki-laki yang masih muda dan berwajah tampan. Akan tetapi, dia cepat menggunakan sehelai saputangan hitam untuk menutupi bagian bawah mukanya, sehingga yang nampak kini hanya sepasang matanya yang mencorong tajam karena kepalanya juga terbungkus kain hitam.
Pakaiannya juga serba hitam sehingga ketika kembali dia berkelebat ke bagian yang tidak begitu terang, tubuhnya lenyap ditelan warna hitam. Ketika itu, dua puluh orang penjaga yang bertugas juga di sebelah luar pintu besar ruangan tempat para tahanan pemberontak, masih asyik bermain catur dan kartu untuk melewatkan waktu malam. Mereka sama sekali tidak tahu dan tidak pernah menyangka bahwa tak jauh dari situ, di balik tiang yang besar, ada sesosok tubuh berpakaian serba hitam menyelinap dan mengintai ke arah mereka. Bayangan itu menggunakan pandang matanya yang tajam untuk menyelidiki keadaan. Pintu ruangan itu hanya satu-satunya, pintu besar dari besi yang kuat dan nampak betapa daun pintu itu ditutup dan diperkuat dengan sebuah rantai baja yang besar dan digembok.
Di sebelah dalam ruangan ini terbagi menjadi belasan kamar, yang tidak berdaun pintu dan tubuh para tawanan malang melintang di dalam kamar-kamar itu, nampak dari luar karena pintu besar itu beruji. Setelah membuat perhitungan dengan pandang matanya, bayangan itu menggerakkan tangan kanan mencabut sebatang pedang yang berkilauan saking tajamnya, juga tangan kirinya merenggut sebuah benda bulat. Dia membuat perhitungan dan mengukur jarak dengan pandangan matanya, kemudian tangan kirinya melontarkan benda bulat itu ke arah para penjaga, dan sengaja melemparkan benda itu ke dekat meja penjaga yang sedang bermain kartu, dimana terdapat pula dua orang perajurit kulit putih yang membawa bedil dan pistol.
Terdengar ledakan keras dan asap mengepul tebal memenuhi ruangan itu. Para perajurit yang berjaga mengeluarkan teriakan-teriakan kaget, beberapa orang di antara mereka terguling dan menutupi muka mereka karena serangan asap tebal. Di antara kebutan asap tebal itu, bayangan hitam tadi berkelebat dan cepat dia menggunakan pedangnya membacoki rantai yang mengikat pintu besar. Hanya beberapa kali bacokan saja, membuat rantai itu putus dan diapun cepat membuka daun pintu dan melompat masuk. Para tahanan sudah terbangun karena terkejut. Mereka semua terbelalak melihat semua yang terjadi, dan hati mereka terguncang dengan penuh kegembiraan dan ketegangan. Tak salah lagi, mereka sedang ditolong orang yang pandai!
"Cepat, kalian lari keluar!" kata bayangan itu.
"Siapakah saudara?" tanya seorang di antara para tahanan. Tanpa menjawab, bayangan itu membuka penutup mukanya sehingga sejenak mukanya tertimpa sinar lampu gantung.
"Kau... kau ..." Beberapa orang pemimpin pemberontak berseru kaget dan heran bukan main.
"Sssttt!" Bayangan itu menutup kembali kain hitam di mukanya.
"Aku sengaja menyelundup ke dalam pasukan pemerintah. Keluarlah dan tunggu aku di luar kota sebelah selatan di luar hutan. Sudah kupersiapkan segalanya di sana." Kini para penjaga sudah datang menyerbu.
Akan tetapi, bayangan itu mengamuk dengan pedangnya, menerjang keluar diikuti para tahanan yang juga melakukan perlawanan. Karena para tahanan itu berjumlah seratus orang lebih, dan penolong mereka itu amat lihai, tentu saja para penjaga tidak kuat bertahan. Apalagi dua orang perajurit kulit putih yang mereka andalkan, yang membawa bedil dan pistol, telah tidak berdaya dan setengah pingsan karena merekalah yang paling dekat dengan bom asap yang tadi meledak dekat sekali dengan mereka. Jangankan mempergunakan senjata api dan ikut bertempur, untuk membuka mata saja mereka tidak sanggup. Karena ini, para penjaga lalu melarikan diri dan terdengarlah mereka memukul kentungan tanda bahaya. Karena markas pasukan gabungan pemerintah dan orang kulit putih berada tak jauh dari penjara, maka kini berbondong-bondong muncullah pasukan yang menyerbu ke penjara.
Akan tetapi, seratus lebih orang tahanan itu telah menyerbu keluar dan kini terjadilah pertempuran kecil di depan penjara dan nampak oleh para tawanan betapa penolong mereka mengamuk dengan hebatnya. Betapapun juga, karena jumlah pasukan pemerintah lebih besar, akhirnya di antara para pelarian itu, ada pula yang tertangkap kembali. Hanya kurang lebih tiga puluh orang saja, yang berhasil lolos. Dan mereka ini, sesuai dengan pesan penolong mereka, lalu dengan berpencar keluar dari kota Hang-couw sebelah selatan. Pada keesokan harinya, pagi-pagi sekali tiga puluh orang telah berkumpul di luar hutan yang masih gelap itu. Dan penolong merekapun muncul, masih berpakaian hitam-hitam akan tetapi tanpa mengenakan kain hitam penutup muka. Melihat orang ini, tiga puluh tiga orang itu lalu menyambut dengan gembira. Seorang pemimpin pemberontak berseru dengan kagum.
"Sungguh tidak kami sangka! Lee-Ciangkun selama ini dikenal sebagai seorang yang paling gigih menentang kami kau m pejuang, akan tetapi kenapa sekarang membalik dan menentang mereka, membantu para patriot?" Laki-laki muda yang tampan, itu adalah Lee Song Kim, dan dia tersenyum.
"Akupun seorang warga negara yang mencinta tanah air dan bangsa." Dia menarik napas panjang.
"Memang dahulu aku pernah terbujuk oleh pemerintah, akan tetapi setelah melihat betapa pemerintah bersekutu dengan orang-orang asing, dan melihat betapa orang-orang gagah bergerak memberontak terhadap kekuasaan asing, timbul semangatku untuk membantu perjuangan. Apalagi mengingat bahwa suhuku, yaitu Hai-tok Tang Kok Bu, menjadi seorang di antara pimpinan pejuang. Akan tetapi, aku tetap menjadi opsir pemerintah. Hal ini akan memudahkan aku untuk bergerak serta sembunyi dan berkedok lalu mengadakan kontak dengan para pejuang. Sebagai seorang opsir tinggi, aku dapat mengetahui semua rencana dan rahasia yang akan dilakukan oleh gabungan pasukan pemerintah dan orang kulit putih. Harap sampaikan pesanku kepada para pimpinan kalian bahwa mulai saat ini aku, Lee Song Kim, berpihak kepada mereka, akan tetapi diam-diam masih memegang jabatanku agar dapat mengetahui gerakan musuh."
Tentu saja para pemberontak atau yang menamakan diri mereka sendiri pejuang itu menjadi gembira. Apalagi ketika Lee Song Kim membawa mereka ke sebuah tempat persembunyian didalam hutan dimana telah disediakan lebih dari empat puluh ekor kuda untuk mereka! Benar-benar perbuatan Lee Song Kim sekali ini amat berjasa bagi perjuangan dan telah menjadi bukti yang cukup bahwa bekas penentang perjuangan itu kini benar-benar telah menjadi seorang di antara mereka.
"Lalu apa yang akan dilakukan oleh Lee-Ciangkun selanjutnya untuk membantu perjuangan?" tanya seorang di antara mereka. Song Kim tersenyum lagi, akan tetapi dia menggeleng kepala.
"Harap saudara-saudara jangan menyebut aku Lee-Ciangkun kalau kita sedang mengadakan pertemuan seperti ini. Bukankah kita sama-sama pejuang?"
"Baiklah, Lee-Taihiap! Harap beri petunjuk, apa yang harus kami lakukan selanjutnya dan bagaimana Taihiap akan dapat menghubungi kami, atau kami menghubungi Taihiap." Song Kim tersenyum, girang dan bangga bahwa dia kini disebut Taihiap (Pendekar Besar).
"Cu-wi (anda sekalian) tentu sudah maklum bahwa aku menjadi opsir tinggi yang kini ditempatkan di Nan-king. Karena itu, tidak amanlah kalau kita mengadakan pertemuan di dekat Nan-king. Sebaiknya, tempat inilah, di dalam hutan ini, yang menjadi tempat pertemuan antara kita.
"Kuharap kalian sampaikan kepada para pimpinan kalian, selain apa yang telah kulakukan, juga agar para pimpinan dapat menemui aku pada tanggal satu bulan depan di tempat ini, di waktu malam. Hari itu masih ada tiga minggu lagi, dan kukira dalam waktu itu, aku sudah akan memperoleh banyak keterangan yang penting tentang gerakan pasukan pemerintah.
"Andaikata ada keperluan mendesak untuk disampaikan kepadaku, hubungi saja tukang sayur bernama Lo Kian yang tinggal di kota Nan-king, di ujung barat dekat kuil. Dialah yang suka menyetorkan sayur mayur ke gedungku, dan dia dapat kalian percaya untuk menyampaikan apa saja kepadaku tanpa dicurigai orang lain." Semua orang bergembira karena mereka percaya bahwa perwira muda yang mereka tahu amat lihai itu biasanya ditakuti oleh para pejuang, kini benar-benar berpihak kepada mereka.
"Hidup Lee-Taihiap!" Mereka berseru setelah mereka hendak berangkat, dan tak lama kemudian dengan berpencaran. Song Kim juga cepat menyelinap pergi dan lenyap di antara batang-batang pohon di hutan itu. Tentu saja di dunia kang-ouw dan para pejuang dan patriot menjadi geger ketika mereka mendengar akan peristiwa yang terjadi di dalam penjara kota Hang-couw itu. Bermacam-macam tanggapan mereka terhadap peristiwa mengejutkan itu. Banyak pula di antara mereka yang menaruh curiga. Berita ini sampai pula ke telinga Hai-tok. Mendengar tanggapan para pimpinan pejuang bahwa mungkin muridnya hanya mengatur siasat saja, hati Hai-tok menjadi panas.
"Kita lihat saja tanggal satu bulan depan nanti. Kalian datanglah ke hutan itu. Aku sendiri akan membayangi, dan kalau benar dia berkhianat dan mengatur jebakan, aku sendiri yang akan membunuhnya dengan kedua tanganku ini!" Di dalam hatinya, Kakek yang bertubuh tinggi besar ini merasa kecewa dan berduka. Dia amat mencinta Song Kim dan dianggapnya Song Kim murid yang teramat baik.
Tentang kecabulan atau kejahatan kejahatan lain yang dilakukan muridnya, dia tidak perduli, karena baginya, hal itu dianggap sebagai petualangan saja dan sudah wajar dilakukan oleh muridnya. Akan tetapi ketika mendengar betapa muridnya itu menghambakan diri kepada pemerintah Ceng dan bahkan bersekongkol dengan orang-orang kulit putih, dia merasa malu dan marah bukan main. Diam-diam tadinya dia mengharapkan untuk dapat menjodohkan Kiki dengan muridnya itu. Akan tetapi Kiki malah pernah melapor kepadanya betapa Song Kim berusaha memperkosa Kiki. Kini, Hai-tok mendengar betapa muridnya melakukan perbuatan yang amat membesarkan hatinya, yaitu membebaskan para tawanan di Hang-couw. Kalau benar-benar muridnya itu telah berbalik pikiran dan menentang penjajah dan orang asing, dia masih mengharapkan untuk meraih murid itu agar kelak menjadi jodoh Kiki.
Maka, mendengar tanggapan yang mencurigai Song Kim, hatinya menjadi panas, juga khawatir karena siapa tahu muridnya itu benar-benar melakukan siasat untuk menghancurkan para pejuang. Pada hari yang dijanjikan, para pemimpin pejuang menyebar anak buah untuk menyelidiki keadaan hutan di sebelah selatan kota Hang-couw. Sejak sore hari, anak buah pejuang menyelinap dan melakukan penyelidikan. Namun, hutan itu sunyi saja, tidak nampak seorangpun perajurit pemerintah atau kulit putih yang bersembunyi atau pengepung tempat itu. Hati mereka menjadi lega. Tidak kurang dari tujuh orang pemimpin kelompok-kelompok pejuang telah berdatangan ke tempat itu dengan mempergunakan ilmu kepandaian mereka sehingga hutan itu kini seperti didatangi iblis-iblis yang berkelebatan cepat.
Tokoh-tokoh besar seperti Hai-tok, San-tok dan Tee-tok tidak nampak, juga murid-murid mereka. Mereka itu sedang bertugas di lain tempat. Hanya Hai-tok yang diam-diam membayangi dan mengamati hutan itu, siap untuk membekuk batang leher muridnya kalau benar Song kini melakukan siasat memasang perangkap untuk para pimpinan patriot. Setelah malam berkurang gelap karena bulan mulai muncul, bulan sabit yang ditemani bintang-bintang, muncul pulalah Lee Song Kim di tempat itu. Melihat betapa pemuda ini datang seorang diri, tujuh orang pimpinan kelompok pejuang itupun melompat keluar dari tempat sembunyi mereka dan Song Kim telah dikepung oleh mereka. Tentu saja tujuh orang ini mengenal baik perwira muda perkasa yang biasanya menjadi musuh besar mereka itu.
"Ah, cu-wi telah datang? Sungguh baik sekali, karena aku tidak mempunyai cukup waktu. Akan tetapi aku membawa berita yang amat mengejutkan dan juga amat penting bagi cu-wi (anda sekalian)." Seorang di antara tujuh pemimpin itu, yang memakai sebuah topi caping lebar dan berpakaian seperti petani, melangkah maju. Dia adalah seorang pemimpin pejuang yang terdiri dari keluarga petani. Dia seorang kang-ouw berjuluk Kang-jiu-eng (Pendekar Bertangan Baja), ilmu silatnya tinggi, murid Bu-tong-pai dan terkenal gagah perkasa. Pendekar yang usianya empat puluh tahun ini lalu menjura.
"Lee-Taihiap, kami semua telah mendengar akan perbuatan Taihiap membebaskan para tahanan di penjara Hang-couw. Untuk itu kami semua mengucapkan banyak terima kasih, dan kami merasa gembira bahwa Taihiap telah berbalik pikir dan membantu kami, berpihak kepada para pejuang dan menentang penjajah dan pasukan asing. Akan tetapi terus terang saja, di antara kamipun masih ada yang meragukan iktikad baik dari Taihiap, kami tidak tahu apakah Taihiap benar-benar akan membantu para pejuang." Song Kim mengangkat kedua tangan ke atas dan memotong.
"Cukuplah, saudaraku yang baik. Aku bertindak menurut naluriku, dan aku tidak perduli dipercaya ataukah tidak, karena akupun tidak mengharapkan imbalan. Biarlah aku berjuang dengan caraku sendiri.
"Sekarang, dengarkanlah berita penting yang kubawa, dan bersiap-siaplah agar kalian tidak sampai dilanda malapetaka. Pasukan gabungan antara pemerintah dan orang kulit putih telah membuat rencana besar.
"Mereka telah menemukan sarang para pejuang di empat tempat, dan mereka akan melakukan penyerbuan serentak di empat tempat itu, dengan mengerahkan kekuatan yang besar, masing-masing tempat akan diserbu oleh seribu orang tentara gabungan. Waktu penyerbuan adalah tanggal tujuh tengah malam, dan kalau hal ini sampai terjadi, empat sarang itu tentu akan hancur dan seluruh penghuninya akan dibasmi habis." Tentu saja keterangan ini penting bukan main. Bahkan Kang-jiu-eng sendiri memandang dengan mata terbelalak dan wajah berubah.
"Lee-Taihiap, empat tempat markas kami manakah yang telah diketahui dan akan diserbu?"
"Pertama adalah sarang yang berada di lereng bukit kembar di selatan Nanking, kemudian sarang kedua adalah yang berada di tepi muara Sungai Han-sui, yang ketiga adalah sarang yang berada di perkampungan Cou-san, dan keempat yang berada di kuil tua di hutan sebelah timur Nan-king." Terdengar seruan-seruan kaget, karena di antara tujuh orang pemimpin kelompok pejuang itu terdapat empat orang pimpinan dan tempat-tempat yang disebutkan itu. Bahkan Kang-jiu-eng sendiri adalah pemimpin dari kelompok yang bersembunyi di tepi muara Sungai Han-Sui! Song Kim tidak mempedulikan mereka kini sibuk bicara sendiri, bahkan anak buah pejuang kini sudah bermunculan, memenuhi tempat itu.
"Aku tidak mempunyai banyak waktu. Kepergianku ini tidak dapat terlalu lama. Kalau mereka kehilangan aku, tentu akan menimbulkan curiga. Berita yang penting telah kusampaikan.
"Terserah kalau cu-wi ragu-ragu kepadaku, tidak percaya dan tidak mau bersiap-siap. Akan tetapi kalau penyerbuan itu benar terjadi, jangan salahkan aku. Nah. sampai lain kali. Kalau cuwi merasa perlu menghubungi aku, pakai saja tukang sayur sebagai perantara. Selamat berpisah!" Lee Song Kim lalu berkelebat dan sekali meloncat, diapun lenyap dari depan semua orang yang merasa kagum dan jerih melihat kelihaian perwira muda yang kini berpihak kepada mereka itu. Song Kim yang berloncatan dengan cepatnya meninggalkan hutan itu, ketika tiba di luar hutan, tiba-tiba terkejut karena seorang Kakek tinggi besar tahu-tahu telah berada di depannya, menghadang sambil bertolak pinggang. Kakek ini bukan lain adalah Hai-tok, gurunya! Dengan mata mencorong marah, Hai-tok mengertak.
"Hemm... murid durhaka, sekarang engkau hendak berkata apalagi!" Melihat gurunya, Song Kim cepat menjatuhkan dirinya berlutut.
"Suhu... teecu telah bersalah dan bersedia menebus kesalahan teecu."
"Engkau tidak hanya mengkhianati guru sendiri dan bangsa sendiri. Engkau telah menjadi anjing penjilat sepatu penjajah Mancu dan bahkan orang-orang kulit putih! Apa kau kira aku dapat membiarkan engkau hidup setelah melakukan perbuatan terkutuk itu!"
"Ampun suhu. Teecu memang telah terbujuk dan silau oleh kedudukan. Akan tetapi teecu telah insyaf dan sadar, dan kini teecu sedang berusaha menebus semua kesalahan teecu dengan membantu perjuangan." Diam-diam Hai-tok merasa girang dan juga bangga terhadap muridnya ini. Tentu saja dia tadi sudah mendengarkan semua yang dibicarakan Song Kim ketika bertemu dengan para pimpinan pejuang.
"Aku sudah tahu akan hal itu, kalau tidak, apa kau kira sekarang engkau masih dapat bicara? Nah, akan kulihat apakah laporanmu tadi benar. Kalau engkau berkhianat, masih belum terlambat bagiku mencarimu dan menghukummu dengan kedua tanganku sendiri!"
"Teecu bersedia menerima hukuman mati dari suhu kalau teecu berkhianat," kata Song Kim dengan suara tegas. Dan hati Kakek itu menjadi semakin girang. Tidak percuma dia menyayang murid ini dan mewariskan hampir semua ilmu kepandaiannya.
"Nah... sekali ini kuberi kebebasan padamu. Pergilah!"
"Suhu memang selalu baik kepada teecu. Terima kasih, suhu." Berkata demikian, Song Kim lalu meloncat dan lenyap dari depan suhunya yang mengikutinya dengan pandang mata penuh rasa bangga. Tentu saja para pimpinan pejuang segera bubaran dan cepat kembali ke tempat masing-masing. Terutama sekali empat orang yang mendengar bahwa sarang mereka akan diobrak-abrik oleh pasukan gabungan yang terdiri dari seribu orang. Bayangkan saja, seribu orang perajurit musuh, dan banyak di antara mereka yang memegang senjata api!
Tentu mereka akan hancur binasa dan sukar sekali untuk dapat meloloskan diri. Tentu saja sebelum hari tanggal tujuh itu tiba, para pejuang telah meninggalkan sarang masing-masing, mengosongkan markas itu dan bersembunyi di tempat lain. Akan tetapi dengan hati penuh ketegangan, para pimpinan pejuang itu mengutus beberapa orang anak buah untuk melakukan pengintaian dari tempat aman, untuk melihat apakah benar pada tanggal itu akan terjadi penyergapan seperti yang diceritakan oleh Lee Song Kim kepada mereka. Hari tanggal tujuh pun tibalah, dan terlihat ketegangan memuncak di dalam hati para pejuang! Dan menjelang tengah malam, dengan hati ngeri mereka melihat bahwa apa yang diceritakan oleh Song Kim itu benar terjadi semua! Di setiap tempat dari empat markas mereka itu, datang seribu orang perajurit gabungan yang lengkap dengan senjata api menyerbu,
Dan ketika mereka mendapat kenyataan bahwa markas-markas itu telah kosong, mereka menjadi marah dan membakar segala yang terdapat di situ. Dapat dibayangkan oleh para pejuang apa yang akan menjadi nasib mereka, sekiranya mereka tidak tahu lebih dahulu dan berada dalam keadaan tidur pulas selagi penyergapan itu terjadi. Tentu mereka akan dibantai dan sama sekali tidak diberi kesempatan untuk meloloskan diri! Kembali dunia kau m pejuang menjadi gempar! Dan kini, mereka semua memuji-muji Lee Song Kim. Tidak ada lagi yang meragukan kesetiaannya terhadap perjuangan. Bukankah pemuda itu telah menyelamatkan ribuan nyawa para pejuang? Dan kini para pimpinan pejuang, yang jumlahnya belasan orang, mengadakan pertemuan rahasia dipimpin oleh Si Pendekar Tangan Baja.
"Tenaga Lee-Taihiap amat kita perlukan," demikian antara lain Kang-jiu-eng berkata.
"Dengan adanya dia yang dipercaya oleh pemerintah penjajah dan pasukan asing, kita akan dapat mengetahui semua gerak-gerik mereka. Tiba saatnya bagi kita untuk menyatukan kekuatan dan mengadakan pukulan balasan yang tepat.
"Kalau kita sudah mengetahui rahasia kekuatan dan kedudukan mereka, tentu akan mudah bagi kita untuk menghantam mereka dengan hasil baik. Dan semua keterangan itu, kiranya hanya dapat kita peroleh dari Lee-Taihiap."
"Benar, kita harus cepat menghubung Lee-Taihiap," kata seorang di antara mereka.
"Dan kita sudah tahu bagaimana caranya untuk dapat menghubungi Lee-Taihiap. Nanti kalau sudah ada kontak dan ada penentuan harinya untuk mengadakan pertemuan dengan Lee-Taihiap, cuwi akan kuberi kabar lagi." Demikianlah, tukang sayur Lo Kian segera dihubungi dan benar saja, dari tukang sayur ini, Kang-jiu-eng dapat mengadakan pertemuan rahasia dengan Song Kim. Perwira muda itu menyambut baik undangan para pimpinan pejuang. Dan pada suatu malam, diadakanlah pertemuan antara Song Kim dan belasan orang pimpinan pejuang. Akan tetapi, dalam pertemuan ini, Song Kim mengerutkan alisnya dan nampak kecewa karena dia tidak melihat adanya tokoh-tokoh besar pimpinan para pejuang.
"Aku ingin membicarakan urusan yang amat penting, menggambarkan keadaan pasukan pemerintah dan pasukan asing. Karena itu, rapat yang amat penting ini seharusnya dihadiri oleh seluruh pimpinan pejuang, terutama sekali para Locianpwe. Kenapa para Locianpwe tidak hadir di sini?
"Padahal, selain suhu Hai-tok yang dibantu puterinya, yaitu sumoi Tang Ki, masih terdapat tokoh-tokoh seperti Locianpwe San-tok, Locianpwe Tee-tok, bahkan Locianpwe Siauw-bin-hud bersama murid-murid mereka yang aktif dalam perjuangan. Kenapa mereka tidak muncul? Apakah mereka masih belum percaya kepadaku?"
"Bukan begitu, Taihiap. Akan tetapi selain para Locianpwe itu sukar sekali ditemui dan mereka sibuk dengan pekerjaan masing-masing, juga para murid mereka melakukan perjuangan dengan menyendiri, mengandalkan kepandaian mereka yang tinggi. Karena itu, hanya kami saja yang hadir, para pimpinan dan pasukan-pasukan pejuang yang merupakan sebagian besar dari seluruh pejuang yang ada." Song Kim menggeleng kepala dengan kecewa.
"Sayang, tak mungkin aku dapat membuka semua rahasia tanpa hadirnya mereka. Sekali dibuka, rahasia dan kekuatan pihak pemerintah, kita harus melakukan penyergapan total dan serentak. Dan hal ini merupakan perang yang tidak kepalang tanggung.
"Kalau menang, kita berhasil menumbangkan penjajah dan mengusir pasukan asing. Akan tetapi salah perhitungan sedikit saja, akan membahayakan kedudukan kita sendiri. Oleh karena itu, perlu kehadiran para Locianpwe, baru aku mau mengadakan perundingan." Ucapan Song Kim itu dapat diterima oleh para pimpinan pejuang.
"Memang benar apa yang dikatakan oleh Lee-Taihiap, dan kalau kita mau berusaha, tentu para Locianpwe itu dapat kita undang untuk menghadiri rapat yang amat penting ini. Bukankah dalam pertemuan yang lalu, Locianpwe Hai-tok Tang Kok Bu juga berkenan datang? Mengapa yang lain tidak dapat hadir kalau memang kita cari dan kita undang?"
"Nah, kalau begitu, biarlah diadakan pertemuan lain kali saja dan agar dapat mengundang para Locianpwe, kalau mungkin bersama murid-murid mereka. Tempatnyapun harus dirobah.
"Ada sebuah tempat yang amat baik untuk pertemuan besar itu, tempatnya sunyi dan sebaiknya diadakan pada pagi hari. Pagi-pagi sekali pada saat matahari mulai memancarkan sinarnya, pada saat ayam-ayam jantan mulai berkokok."
"Dimanakah tempat itu, Lee-Taihiap?"
"Di lembah Sungai Han-sui, di kaki Bukit Naga. Bukankah di sana terdapat sebuah padang rumput yang dikelilingi anak bukit? Tempat itu baik sekali kalau kita berkumpul di sana, tidak akan nampak oleh orang luar. Dan tempat itu sunyi sekali, tak pernah dikunjungi orang. Selain itu, juga luas sehingga kalau terjadi apa-apa, kita akan dapat bubar dan berpencar ke segala penjuru." Semua orang mengangguk-angguk
(Lanjut ke Jilid 35)
Pedang Naga Kemala (Seri ke 01 - Serial Pedang Naga Kemala)
Karya : Asmaraman S. (Kho Ping Hoo)
Jilid 35
setuju. Memang tempat itu pernah mereka jadikan tempat untuk berlatih baris dan ilmu silat.
"Akan tetapi kapankah waktunya, Taihiap?"
"Sebaiknya, agar kita mempunyai waktu untuk mengundang para Locianpwe, nanti dua minggu kemudian." Mereka lalu berunding dan setelah waktu dan tempat ditentukan, mereka lalu bubaran dengan perasaan puas. Para pimpinan pejuang itu lalu bekerja keras untuk menghubungi tokoh-tokoh besar yang mereka kenal. Siauw-bin-hud tak mungkin dapat dihubungi karena tokoh ini tidak mau lagi mencari urusan dunia dan telah mengasingkan diri entah kemana. Juga pendekar yang dianggap wakilnya, yaitu Tan Ci Kong, sukar untuk dihubungi karena pendekar ini melakukan gerakan sendiri setelah berhasil mengelabuhi Song Kim dengan penyamarannya bersama Lian Hong dan Kui Eng.
Dia berpencar dan terpisah dari dua orang gadis itu dan melanjutkan bantuannya terhadap para patriot dengan cara bekerja sendiri. Bahkan para pendekar muda itu tidak berhasil dihubungi para pimpinan pejuang, akan tetapi mereka masih merasa beruntung karena berhasil menghubungi Hai-tok, Tee-tok, dan San-tok. Tiga orang Kakek itu telah menyatakan kesanggupan mereka untuk menghadiri rapat pertemuan dengan Lee Song Kim untuk mengatur dan merencanakan penyerbuan total yang besar-besaran. Dan malam yang telah direncanakan semenjak tengah malam, di tempat yang ditentukan itu bermunculan tokoh-tokoh yang kesemuanya memiliki ilmu kepandaian silat yang tinggi. Mereka itu bermunculan seperti setan-setan saja, dengan gerakan yang amat cepat sehingga secara tiba-tiba saja mereka nampak seorang demi seorang.
Mereka berkumpul di lapangan rumput yang luas itu, lapangan rumput yang kelilingi anak bukit dan tanggul air Sungai Han-sui. Tempat itu memang sunyi melengang dan merupakan tempat yang amat baik, karena kedatangan musuh sudah akan dapat dilihat dan jarak jauh. Hai-tok, Tee-tok dan San-tok bermunculan tanpa membawa murid mereka, karena pada waktu itu, kebetulan murid-murid mereka sedang tidak ada di tempat. Kalau ada murid-murid mereka, tentu mereka akan mewakilkan kepada murid-murid mereka. Akan tetapi karena tidak ada wakil, dan mengingat pentingnya pertemuan itu, mereka datang sendiri, dan setelah terdengar bunyi ayam jantan berkokok untuk pertama kalinya, seluruh pimpinan para pejuang telah berkumpul di tempat itu. Jumlah mereka ada limabelas orang, terdiri dari tokoh-tokoh kang-ouw yang berilmu tinggi.
"Hai-tok, mana setan cilik yang menjadi muridmu itu? Kenapa dia belum juga muncul?" tiba-tiba terdengar suara Tee-tok bertanya, biarpun tubuhnya pendek kecil akan tetapi suaranya lantang terdengar oleh semua orang yang kini menoleh dan memandang kepada Hai-tok untuk mendengarkan jawabannya, karena karena merekapun ingin sekali mengetahui mengapa Lee Song Kim belum juga nampak muncul di tempat yang sudah dijanjikan itu.
"Mana aku tahu? Sudah lama dia tidak menjadi munidku, bahkan pernah hampir menjadi musuh besarku. Kalau dia sekarang menunjukkan jasa yang besar, barulah dia patut menjadi muridku."
"Ha-ha-ha-ha! Hai-tok memang selamanya licik! Kalau murid itu baik, cepat diakuinya sebagai murid, kalau sebaliknya, berbalik menjadi musuhnya. Jangan-jangan sekali ini dia tidak muncul dan kita berada dalam perangkap. Hai-tok, kalau terjadi demikian, maka sekali ini jelas kau kalah licik dibandingkan muridmu sendiri, ha-ha!" San-tok berkata lantang. Hai-tok mengerutkan alisnya dan memandang kepada Racun Gunung itu dengan mata mendelik.
"Jagalah sedikit mulutmu, San-tok! Sebelum engkau melihat buktinya, jangan dulu menjatuhkan fitnah. Bukankah sudah dua kali Song Kim membuktikan bahwa dia setia dan membela kawan-kawan kita?"
Pada saat itu, terdengarlah suara ayam jantan berkokok bersahut-sahutan dan jauh, dan semua orang saling pandang karena belum juga nampak munculnya orang yang mereka tunggu-tunggu, yaitu Lee Song Kim. Tiba-tiba tiga orang Kakek sakti itu memutar tubuh memandang ke arah anak bukit yang menjadi tanggul sungai. Semua orang ikut memandang dan nampaklah sesosok tubuh manusia. Mula-mula nampak kecil saja akan tetapi dengan cepat menjadi besar. Cahaya matahari pagi sudah mengusir kegelapan malam dan dengan kecepatan luar biasa, tubuh manusia itu kini menuruni anak bukit. Semua orang tadinya menduga bahwa tentulah Lee Song Kim, orang yang mereka tunggu-tunggu itulah yang datang. Akan tetapi mereka kini memandang ragu karena nampaklah bahwa orang itu memiliki tubuh yang gemuk dengan perut gendut dan kepala kelihatan gundul dari jauh.
"Eh, mau apa iblis itu datang ke sini?" Hai-tok menggumam ketika dia mengenal bahwa orang yang datang dengan cepatnya ini adalah Thian-tok!
"Hemmm, biar kutantang dia mengadu ilmu di tempat yang baik ini," kata Tee-tok yang marah karena Thian-tok adalah seorang di antara Empat Racun Dunia yang sama sekali tidak mau tahu tentang perjuangan, bahkan kabarnya mengikuti murid-muridnya yang menghambakan dirinya kepada orang kulit putih hal yang amat dibencinya oleh para patriot.
"Ho-ho, diapun masih hutang beberapa gebukan dariku!" sambung San-tok yang juga tidak suka kepada Thian-tok. Akan tetapi orang yang dijadikan bahan percakapan tiga orang tokoh sakti itu, setelah tiba di depan mereka, memperlihatkan sikap dan wajah yang serius sekali, bahkan nampak agak gugup.
"Celaka... celaka!" katanya sambil memandang kepada mereka semua, lalu menghadapi Hai-tok, dia memaki.
"Hai-tok, muridmu itu boleh jadi cerdik dan pandai sekali, akan tetapi ini keterlaluan, menyeret para pimpinan pejuang ke dalam perangkap maut!"
"Apa maksudmu!" bentak Hai-tok, sedangkan yang lain juga terbelalak memandang Kakek, berperut gendut yang bertelanjang dada ini.
"Maut telah berada di depan mata, kalian masih belum tahu! Tempat ini telah dikepung ribuan orang perajurit dan kalian tidak mungkin dapat lolos lagi!" kata Thian-tok. Semua orang terkejut, akan tetapi tiga rekan Thian-tok itu masih tidak percaya. Thian-tok ini terkenal cerdik dan licik, siapa tahu dia inilah yang berbohong. Akan tetapi tiba-tiba terdengar tambur dan terompet. Semua orang terkejut dan memandang ke sekeliling, dan nampaklah orang-orang berpakaian seragam bermunculan di atas bukit-bukit yang mengelilingi tempat itu. Barisan anak panah, barisan senapan, bahkan di delapan penjuru muncul meriam yang menodongkan moncongnya ka arah mereka.
"Celaka, kita terjebak!" Lima orang pejuang yang menjadi panik akan tetapi juga marah karena mereka telah dikhianati dan terjebak, segera meloncat dan bermaksud untuk melawan dan menerobos keluar.
"Jangan...!" Thian-tok masih berseru kepada mereka, akan tetapi dalam keadaan panik dan marah seperti itu, lima orang itu sama sekali tidak mau perduli dan mereka sudah berlompatan naik ke bukit untuk menerjang pasukan yang mengepung tempat itu dan yang berjajar di puncak bukit-bukit kecil itu. Akan tetapi, sebelum lima orang itu sempat menggerakkan senjata tajam di tangan mereka, tiba-tiba terdengar bunyi letusan meledak-ledak dan ratusan butir peluru beterbangan menyambar.
Lima orang pemimpin pejuang itu roboh terjengkang, dan mayat-mayat mereka terguling-guling jatuh lagi ke bawah bukit. Tubuh mereka berlumuran darah dan luka-luka yang banyak sekali. Para pemimpin pejuang lainnya hanya memandang dengan pandang mata terbelalak, penuh kemarahan akan tetapi merekapun maklum bahwa memang tidak ada gunanya melawan musuh yang demikian banyaknya, apalagi mereka dikepung barisan anak panah dan senjata api. Sebelum mereka sempat menyerang, tentu tubuh mereka menjadi sasaran peluru dan anak panah. Pada saat itu, muncullah Letnan Peter Dull bersama seorang panglima pasukan pemerintah Mancu. Mereka muncul di bawah pengawalan pasukan kulit putih yang membawa bedil yang sudah dipasangi bayonet, juga di dekat mereka terdapat dua buah meriam besar.
"Pemberontak-pemberontak! Kalian sudah terkepung, dan kalau kalian mau menyerah tanpa perlawanan, kamipun tidak akan membunuh kalian, melainkan menangkap kalian dan membawa kalian ke Nan-king! Menyerahlah atau kami akan memerintahkan meriam-meriam dan senapan-senapan dan anak-anak panah menyerang kalian!"
"Kami tidak akan melawan dan menyerah!" terdengar Thian-tok berseru keras sambil memandang kepada tiga orang rekannya yang juga tidak dapat melihat jalan yang lain yang lebih baik kecuali menyerah untuk sementara waktu ini. Panglima Ceng itu lalu mengeluarkan aba-aba dan belasan orang perajurit Ceng yang membawa borgol lalu menuruni anak bukit. Mereka lalu memborgol kedua tangan para pimpinan pejuang itu di belakang punggung masing-masing. Borgol baja itu amat kuat, sengaja dibuat untuk para pemimpin pejuang yang terkenal lihai itu. Setelah semua tawanan diborgol kedua tangannya di belakang, sang panglima lalu memerintahkan mereka semua memasuki empat buah kereta yang sudah dipersiapkan pula di situ. Kereta-kereta besar yang terbuat dan pada baja, dengan jeruji-jeruji baja yang amat kuat, masing-masing ditarik oleh empat ekor kuda.
Terpaksa para tokoh pejuang itu di bawah todongan senapan, berjalan dan beriringan memasuki kereta. Tinggal sebelas orang saja yang menyerah, karena yang lima orang telah tewas tadi dan mayat-mayat mereka kemudian diseret dan dilempar ke dalam kereta lain oleh para perajurit. Empat buah kereta itupun lalu bergerak, dikepung oleh para perajurit yang merasa lega dan gembira sekali karena orang-orang yang amat lihai itu menyerah tanpa perlawanan. Hai-tok, dengan mata merah, memandang ke sekeliling mencari-cari, akan tetapi dia tidak melihat bayangan Lee Song Kim. Diam-diam dia mengepal tinju. Awas kau , kalau aku berhasil lolos, tugasku yang pertama kali adalah mencarimu dan menghancurkan kepalamu, demikian bisik hatinya. Akan tetapi sikap San-tok lain lagi. Dia masih tersenyum-senyum dan mengejek Thian-tok.
"Eh, apa-apaan engkau ikut ditawan bersama kami? Bukankah engkau pernah menjilati sepatu orang bule? Ataukah engkau juga seperti iblis cilik itu, kini pura-pura saja menjadi tawanan bersama kami?"
"Orang gunung tolol!" Thian-tok juga terkekeh.
"Sejak semua usahaku sia-sia belaka, tak berhasil mendapatkan Giok-liong-kiam, tak berhasil pula mengangkat kedudukan muridku, juga tidak berhasil membunuh Koan Jit jahanam murtad, aku tahu bahwa aku telah berdosa terhadap tanah air dan bangsa.
"Nah, sekarang ada kesempatan bagiku untuk menebus dosa, tapi dasar aku sial, aku terlambat memberi tahu kalian. Aku gagal menolong kalian, bahkan aku sendiri terperosok ke dalam. Sudahlah, gembira juga dapat bersama kalian bertiga menghadapi bahaya maut, ha-ha-ha!" San-tok tertawa geli. Melihat ini, Thian-tok mengerutkan alisnya.
"Berani kau mentertawai aku?" bentaknya.
"Aku menertawakan diriku sendiri, mentertawakan diri kita berdua. Kita semua, termasuk Siauw-bin-hud dan seluruh orang kang-ouw, setengah mati memperebutkan Giok-liong-kiam. Dan harus diakui bahwa akhirnya akulah yang berhasil. Akan tetapi, kemudian apa jadinya? Setelah peti harta karun kutemukan, ternyata isinya kosong!
"Ehh? Engkau bersungguh-sungguh?" Sambil tertawa-tawa, San-tok menceritakan semua yang telah dialaminya di dalam guha itu, betapa setelah menemukan peti, ternyata isinya telah kosong. Semua tokoh ikut mendengarkan dan merasa terheran-heran. Dan merekapun mendengar pula akan kelicikan Lee Song Kim yang membiarkan para tokoh sakti menemukan harta karun, baru dia akan muncul bersama pasukannya untuk merampasnya. Akan tetapi ketika itu, pasukan pemerintah belum mengadakan persekutuan dengan pasukan asing, maka hampir saja terjadi bentrok sendiri di antara mereka untuk memperebutkan peti yang ternyata kosong.
"Aih, kalau begitu siapa gerangan yang telah mendahului kalian? Aku jelas tidak!" kata Thian-tok.
"Kita semua telah didahului oleh tokoh-tokoh ratusan tahun yang lalu, yang mempergunakan tiga perempat bagian dari harta itu untuk menolong rakyat dari bahaya kelaparan. Akan tetapi sisanya yang seperempat entah lenyap kemana," kata San-tok.
Para tokoh lain sibuk merenungi diri mereka yang kini menjadi tawanan, seperti tikus-tikus memasuki lubang jebakan dan mereka heran melihat sikap empat orang tokoh Empat Racun Dunia itu yang kelihatan tenang-tenang dan enak-enakan saja. Tentu saja para pembesar tinggi di Kota Raja girang bukan main mendengar bahwa berkat siasat cerdik yang dilakukan oleh Lee Song Kim, akhirnya semua pemimpin para pejuang dapat ditangkap tanpa perlawanan berarti! Lee Song Kim diterima oleh kaisar sendiri dan menerima pangkat panglima. Sambil menanti keputusan pengadilan di Kota Raja, untuk sementara para tawanan itu ditahan di kota Nan-king, di tempat rahasia yang amat kuat. Tahanan itu berada di bawah tanah, melalui lorong-lorong yang penuh rahasia dan dijaga dengan ketatnya oleh pasukan gabungan.
Jangankan orang-orang biasa, biar pasukan yang besar sekalipun takkan mudah untuk dapat membebaskan para tawanan itu. Dan dunia para pejuang menjadi semakin gempar. Para pimpinan mereka telah tertawan, menjadi korban siasat busuk dari pengkhianatan Lee Song Kim. Tentu saja hal ini membuat gerakan para pejuang seperti lumpuh seketika. Gangguan-gangguan keamanan kini hanya terjadi secara kecil-kecilan dan tidak ada artinya lagi. Para pejuang kehilangan semangat. Kemana perginya murid-murid dan Empat Racun Dunia? Apakah mereka tidak mendengar akan malapetaka yang menimpa guru-guru mereka? Tentu saja mereka mendengarnya karena berita tentang peristiwa itu segera tersebar dengan luas. Para pendekar muda itu terkejut bukan main dan mereka segera mengadakan pertemuan di sebuah tempat rahasia di Nan-king untuk membicarakan urusan itu.
Mereka semua telah berkumpul. Ci Kong, Siu Coan, Kui Eng, Lian Hong, dan Kiki, telah mengadakan pertemuan di dalam sebuah kuil tua yang rusak dan tidak terpakai lagi di lereng bukit luar kota Nan-king. Berhari-hari mereka berlima itu berusaha untuk membebaskan tawanan, namun usaha mereka selalu gagal. Dengan susah payah, akhirnya mereka dapat juga mengetahui dimana adanya tempat tahanan itu, akan tetapi untuk dapat memasuki tempat tahanan itu saja sudah amat sulit, apalagi untuk membebaskan mereka! Baru muncul saja, mereka telah berhadapan dengan moncong-moncong bedil dan pistol, dan disambut oleh ratusan orang perajurit. Sampai beberapa kali mereka mencoba dan berbagai jurusan, namun akhirnya selalu mereka harus melarikan diri kalau tidak ingin menjadi korban peluru bedil dan pistol.
Tempat tahanan itu, menurut penyelidikan mereka, berada di ruangan bawah tanah di belakang kebun dan rumah penjara di Nan-king. Dan di belakang itu adalah sebuah bukit, berarti bahwa tempat tahanan itu berada di bawah bukit. Jalan masuk satu-satunya hanyalah melalui pintu penjara itu, karena pintu masuk terowongan itu berada di dalam halaman penjara sebelah belakang. Dan di tempat inilah berkumpul lebih dari seratus orang perajurit gabungan, setiap saat siap dengan senjata api dan pengeroyokan mereka. Semenjak sore, setelah kembali mempelajari keadaan di penjara itu, lima orang pendekar muda itu sudah melakukan pengintaian dan penyelidikan terhadap gerak-gerik para penjaga. Mereka memang mengambil keputusan untuk bagaimana juga membebaskan para pemimpin pejuang, terutama sekali Empat Racun Dunia yang memiliki pengaruh besar terhadap para pejuang.
Mereka bukan saja hendak menolong guru mereka masing-masing, akan tetapi, seperti juga Ci Kong yang gurunya tidak ditahan, mereka bertindak demi perjuangan. Setelah tengah malam lewat, mereka menganggap tiba saatnya untuk melakukan percobaan lagi. Yang keempat kalinya, karena sudah tiga kali mereka gagal, bahkan Siu Coan menderita luka sedikit di pangkal lengan kirinya, kena serempet peluru. Pada saat itu, mereka menganggap bahwa para pengawal dan penjaga itu tentu telah mulai mengantuk. Mereka telah memperhitungkan bahwa menurut penyelidikan mereka, baru dua jam lagi penjagaan akan diganti dan saat itulah mereka sedang lelah-lelahnya dan ngantuk-ngantuknya. Lima orang itu menyerbu dari lima jurusan, berloncatan dan atas tembok penjara yang tinggi. Tentu saja para penjaga menjadi terkejut dan cepat kentungan dipukul.
"Mereka kembali lagi, lima ekor setan cilik itu. Bunuh mereka!" teriak komandan jaga. Dan tiba-tiba saja mereka itu lari bersembunyi! Selagi lima pemuda perkasa itu terkejut melihat ini, karena biasanya mereka segera dikeroyok, tiba-tiba saja terdengar ledakan-ledakan dari kanan kiri dan depan, dan tahulah mereka bahwa para penjaga itu memang sudah siap siaga! Kini mereka tidak melakukan pengeroyokan lagi, melainkan membersihkan tempat itu dari para penjaga sehingga hanya mereka berlimalah yang tinggal menjadi sasaran tembakan-tembakan.
"Awas... mundur!" bentak Ci Kong dan mereka sudah bergulingan ke atas tanah sehingga semua tembakan itu tidak mengenai sasaran, kemudian terpaksa mereka berlompatan kembali ke atas tembok penjara dan meloncat ke luar lalu melarikan diri! Mereka berlima menanti datangnya fajar dengan gelisah. Tak dapat tidur di dalam kuil tua itu betapa pun lelah tubuh mereka. Kegagalan kali ini adalah kegagalan total. Tiga kali yang terdahulu, biarpun gagal, mereka berhasil mengacaukan keadaan, bahkan merobohkan banyak pengawal. Akan tetapi sekali ini, begitu muncul mereka terpaksa harus melarikan diri lagi! Sampai pagi mereka membicarakan urusan itu, mencari-cari akal bagaimana cara agar dapat menolong guru-guru mereka.
"Bagaimanapun juga, kita harus membebaskan mereka! Aku harus menyelamatkan suhu, dan kalau perlu aku akan mengerahkan para pejuang dan pembantuku, yaitu mereka yang bekerja di pelabuhan!" kata Kui Eng penuh semangat.
"Akupun harus menyelamatkan Ayah, biarpun untuk itu harus mempertaruhkan nyawa!" kata pula Tang Ki atau Kiki puteri Hai-tok Tang Kok Bu.
"Benar... aku harus membebaskan suhu pula," kata Lian Hong. Ong Siu Coan mengangguk-angguk.
"Memang mereka perlu diselamatkan. Aku tidak terlalu mementingkan suhu yang juga ikut tertangkap karena suhu selama ini tidak pernah mencampuri urusan perjuangan. Akan tetapi aku lebih mementingkan para pimpinan pejuang, karena tenaga dan pikiran mereka amat diperlukan." Ci Kong juga mengangguk-angguk.
Pedang Naga Kemala Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Memang mereka harus dibebaskan, akan tetapi bagaimana caranya? Sudah empat kali kita berusaha, selalu gagal."
"Kita harus mencoba lagi sekuat tenaga dan kalau perlu mencari bala bantuan!" Kui Eng berkata.
"Aku pun dapat mengumpulkan ribuan orang teman untuk melakukan penyerbuan ke penjara kalau mungkin," kata pula Siu Coan, dan dia tidak membual ketika mengeluarkan ucapan itu. Pemuda ini memang telah mengumpulkan bekas-bekas anggauta Thian-te-pang yang masih setia kepadanya, dan membentuk sebuah perkumpulan baru yang dia beri nama Pai Sang-ti Hwee (Perkumpulan Pemuja Tuhan), dimana dia memasukkan Agama Kristen menurut penafsirannya sendiri. Kalau dia sekali ini berkumpul dengan para murid Empat Racun Dunia adalah karena dia ingin bekerja sama dengan mereka, menarik perhatian dan simpati mereka agar kelak dia dapat memperoleh bantuan untuk gerakannya itu.
"Aih, berbahaya kalau begitu!" kata Lian Hong.
"Kalau terlalu banyak yang melakukan penyerbuan, selain penjagaan akan semakin diperketat, juga ada bahayanya para tawanan itu dibunuh sebelum penyerbuan berhasil membebaskan mereka."
"Akan tetapi, bagaimanapun juga, kita harus mengerahkan seluruh daya upaya kita untuk membebaskan mereka!" Kiki kembali berkata dengan tidak sabar melihat betapa teman-temannya bersikap terlalu hati-hati. Tiba-tiba saja terdengar suara dari luar kuil. Suara itu dibawa masuk oleh angin, terdengar sayup-sayup akan tetapi jelas sekali.
Rajawali Hitam Eps 5 Rajawali Hitam Eps 13 Dewi Ular Eps 2