Ceritasilat Novel Online

Rajawali Hitam 13


Rajawali Hitam Karya Kho Ping Hoo Bagian 13




"

"Terima kasih, suhu. Teecu mohon pamit."

"Pergilah, akan tetapi ingatlah, jangan sampai engkau terjerumus menjadi pembantu penjajah Mancu, walaupun untuk berjuang menumbangkan pemerintah penjajah sekarang belum tiba saatnya. Kalau saatnya belum tiba, walaupun engkau berusaha juga tidak akan berhasil. Masih harus ditunggu beberapa puluh tahun lagi sampai kesadaran dan semangat rakyat benar-benar matang untuk mengadakan perjuangan mengusir penjajah dari tanah air."

"Teecu akan selalu mengingat akan semua nasihat suhu," kata Tin Han yang segera memberi hormat dan dia menghampiri Hek- tiauw- ko yang mendekam tidak jauh dari situ.

"Hek- tiauw- ko, sekali ini aku mengharapkan bantuanmu," kata Tin Han sambil merangkul leher burung itu.

Agaknya coreng moreng di muka Tin Han tidak membuat burung itu asing bagi dirinya dan masih mengenalnya dengan baik. Burung itu mengangguk-anggukkan kepalanya, seorang hendak menyatakan setuju.

"Sekarang terbangkan aku kembali ke Pulau Naga, turunkan di tempat yang sunyi di mana engkau membawaku tadi." Tin Han segera melompat ke punggung rajawali itu.

Akan tetapi rajawali itu hanya berdiri dan tidak mau terbang, memandang ke arah Thai Kek Cin-jin. Kakek itu tersenyum dan berkata,

"Engkau boleh pergi membantu Tin Han, Hek-tiauw- ko!" kata kakek itu dan setelah mendengar persetujuan kakek itu, barulah burung rajawali itu mengembangkan sayapnya dan mengenjot kedua kakinya lalu terbang ke atas dengan cepat sekali.

Burung itu menukik turun ke arah Pulau Naga dan tak lama kemudian Tin Han sudah tiba di tempat di mana tadi dia dibawa terbang. Dia melompat turun dari punggung rajawali, merangkul lehernya seperti dulu ketika dia masih tinggal bersama Thai Kek Cin-jin dan burung ini, dan berkata,

"Terima kasih, Hek-tiauw-ko. Sekarang harap engkau tunggu aku di tempat ini dan jangan tinggalkan tempat ini sebelum aku datang menjemputmu."

Setelah berkata demikian, dengan keyakinan bahwa burung itu mengerti akan maksud kata-katanya, Tin Han lalu melompat dan meninggalkan burung rajawali itu. Tin Han mencari-cari dan akhirnya dia dapat menemukan di mana Lee Cin tinggal. Malam telah tiba dan di pondok pondok para tamu telah digantungi lampu penerangan. Ternyata Lee Cin menempati sebuah pondok kecil seorang diri saja dan dia menghampiri daun jendela pondok itu dan mengetuknya perlahan.

"Siapa?" terdengar bentakan dari dalam pondok.

"Aku Cia Tin Han, Cin-moi. Bukalah pintu pondokmu dan keluarlah, aku menantimu di luar dan ingin membicarakan urusan penting sekali denganmu."

Hening sejenak. Lee Cin yang mendengar suara Tin Han ini terkejut dan juga berdebar jantungnya. Sejak kedatangannya tadi ia memasang mata mencari-cari adanya Tin Han, akan tetapi dengan hati kecewa ia tidak mendapatkan orang yang dicari. Ia ikut datang ke Pulau Naga karena hampir yakin bahwa penyerang ibunya yang menyamar sebagai Hek-tiauw Eng-hiong tentulah orang dari Pulau Naga. Maka, menggunakan kesempatan selagi para tokoh kang-ouw berkunjung ke Pulau Naga, dara inipun bertekat untuk memasuki Pulau Naga dan mengadakan penyelidikan. Dia telah bersikap menuduh, bahkan menghina dan menyeret-nyeret Tin Han yang dianggapnya telah menyerang ibunya. Akan tetapi setelah bertemu dengan Thian Lee dan mendengar keterangan pemuda perkasa itu, ia pun menyadari bahwa besar kemungkinannya Tin Han difitnah, penyamarannya sebagai Hek-tiauw Eng-hiong dipergunakan orang untuk mengadu domba dan merusak nama baik Hek-tiauw Eng-hiong. Kini ia harus membantu Tin Han untuk menemukan pembunuh yang sebenarnya.

Ketika mendengar suara lirih kekasihnya itu, Lee Cin agak gemetar karena tegangnya. Ia cepat meniup padam lilin di atas meja, lalu berindap keluar dan membuka daun pintu, lalu keluar dari pondok itu. Ia melihat bayangan orang berkelebat dan bayangan itu berdiri di bawah lampu gantung di luar pondok. Ia terkejut bukan main melihat muka yang dicoreng-moreng itu. Ia tahu bahwa muka yang dicoreng-moreng itu merupakan tanda sebagai anggauta Te-tok-pang yang datang siang tadi dengan jumlah anggauta lebih dari seratus orang. Karena curiga ia berhenti melangkah dan memandang tajam.

"Cin-moi, apakah engkau tidak mengenali aku? Aku adalah Tin Han," kata Tin Han sambil menghampiri Lee Cin.

Dari suaranya Lee Cin yakin bahwa ia benar berhadapan dengan Tin Han.

"Mari ikuti aku. Kita bicara di tempat yang aman," kata pula Tin Han sambil berlari meninggalkan tempat Lee Cin mengikutinya dengan perasaan heran. Kiranya Tin Han dapat menyamar sebagai anggauta Te-tok-pang, pantas saja ia mencari-cari siang tadi tanpa hasil. Tin Han berhenti di pantai laut yang sunyi. Lee Cin menghampirinya.

"Ada apakah engkau memanggilku?" tanya Lee Cin. Suaranya masih kaku karena ia masih merasa sungkan, mengingat akan perlakuannya terhadap Tin Han beberapa waktu yang lalu.

"Cin-moi, maukah engkau membantu aku untuk menangkap orang yang menyamar sebagai Hek-tiauw
Enghiong dan melakukan pembunuhan- pembunuhan itu, juga telah menyerang dan melukai ibumu?
�Hemm, tentu saja. Lalu apa yang harus kulakukan?" tanya Lee Cin, kekakuannya agak berkurang.

"Menurut dugaanku, yang mengetahui akan rahasia itu hanyalah beng-cu Ouw Kwan Lok. Dia sendiri yang menyamar sebagai Hek-tiauw Eng hiong palsu, atau kalau bukan dia, tentu seorang di antara anak buahnya."

"Segala kemungkinan bisa terjadi. Lalu bagaimana?"

"Aku minta kepadamu untuk menemuinya besok pagi-pagi benar sebelum pertemuan dimulai dan engkau katakan kepadanya bahwa engkau sudah tahu akan semua rahasianya, akan pembunuhan terhadap orang-orang Siauwlim-pai dan Kun-lun-pai dan katakan bahwa engkau akan membuka rahasia itu dalam pertemuan nanti."

"Hemm, apa artinya kata-kataku seperti itu kepadanya? Apa gunanya?"

"Untuk memancing keluarnya Hek tiauw Eng- hiong palsu. Kalau dia mendengar ancamanmu tentu dia akan merasa khawatir sekali dan mungkin saja, hal ini yang menjadi harapanku, dia akan berusaha untuk melenyapkan atau membunuhmu sebelum pertemuan dibuka. Dan yang paling tepat, untuk melakukan hal itu tentu Hek-tiauw Enghiong yang palsu akan muncul agar kembali kesalahan dijatuhkan kepadaku."
.
"Tapi......... tapi ........�

"Aku yakin engkau tidak takut dan mampu menandinginya kalau dia muncul, dan aku akan berada tak jauh dari situ untuk membantu. Bagaimana Cin- moi, masih maukah engkau membantuku menangkap penjahat yang ingin memisahkan kita itu?" Dalam suara Tin Han terkandung permohonan dan hati Lee Cin tergerak. Tentu saja ia mau melakukan apa yang diminta pemuda itu. Bagai mana pun juga, ia semakin yakin bahwa apa yang ia tuduhkan atas diri Tin Han tidaklah benar, bahwa memang ada orang yang memalsukan samarannya kemudian menyerang ibunya. Iapun mempunyai kepentingan untuk mengetahui orang itu. Kalau Hek-tiauw Eng-hiong benar-benar muncul, yaitu Hek- tiauw Eng- hiong yang palsu, ia akan mengerahkan seluruh kemampuannya untuk membalas perbuatan penjahat itu terhadap ibunya.

"Baiklah, Han- ko. Akan kulakukan apa yang engkau pesan. Mudah- mudahan berhasil."

Tin Han merasa girang sekali, terutama melihat sikap gadis itu yang sudah lunak terhadap dirinya. �Terima kasih atas kepercayaanmu kepadaku, Cin-moi. Akan kubuktikan bahwa kepercayaanmu kepadaku itu tidak sia-sia. Nah, sekarang kita berpisah dulu, selamat malam." Pemuda itu lalu berkelebat lenyap dalam kegelapan malam dan Lee Cin juga kembali ke pondok kecilnya.

Setelah menemui Lee Cin dan mendapat persetujuan gadis itu untuk memancing keluar Hek- tiauw Eng- hiong yang palsu, Tin Han lalu berkunjung ke perkemahan para utusan Siauw-lim-pai dan Kun- lun- pai. Kebetulan pondok-pondok yang ditinggali kedua utusan ini berdekatan dan ketika dia mengunjungi In Kong Thai-su, Im Yang Seng-cu juga berada di situ sedang bercakap- cakap dengan ketua Siauw-lim-pai di Kwi- cu itu.

In Kong Thai- su yang pernah bertemu dengan Tin Han dan pernah pula bertanding dengannya karena mengira Tin Han adalah Hek- tiauw Eng-hiong yang membunuh belasan orang anak buahnya, cepat bangkit berdiri menyambut.

"Omitohud! Engkau juga sudah berada di sini, Cia- sicu?

Bagaimana, apakah engkau sudah memperoleh jejak pembunuh itu?" In Kong Thai- su mengenal Tin Han yang kini sudah menghapus coreng- moreng dari mukanya.

"Kabar baik, lo-suhu. Akan tetapi saya mengharapkan bantuan lo-suhu agar pembunuh jahat itu dapat tertangkap atau setidaknya dapat diketahui bahwa orangnya bukanlah saya."

"Omitohud, tentu saja kami suka membantu. Bukankah begitu, to- yu?" In Kong Thai-su menoleh kepada Im Yang Seng- cu.

"Siancai, urusan apakah yang kalian bicarakan ini? Pinto belum dapat menang kapnya."

"To- yu, perkenalkan pemuda ini adalah Cia Tin Han."

"She Cia?" Im Yang Seng-cu berseru sambil memandang tajam wajah Tin Han.

"Benar, dialah Hek- tiauw Eng-hiong." Im Yang Seng-cu melompat bangun dengan alis berkerut.

"Omitohud, tenanglah, to-yu. Cia-sicu ini adalah Hektiauw Eng- hiong yang tulen, sedangkan yang telah membunuhi para murid kita itu adalah Hek-tiauw Enghiong yang palsu. Cia-sicu ini tadinya pun hendak kami tawan, akan tetapi atas usul mantan panglima Song Thian Lee, kami setuju melepaskannya lagi dengan perjanjian bahwa dia akan sanggup menangkap Hek- tiauw Eng- hiong yang palsu itu dalam dua bulan. Sekarang sudah hampir lewat satu bulan dan menurut keterangannya tadi, dia sudah hampir dapat menangkap pembunuh itu. Nah, Ciasicu, sekarang jelaskan duduk perkaranya dan bagaimana engkau mengatakan bahwa engkau akan dapat menangkap penjahat itu dengan bantuan kami."

"Begini, lo-suhu. Saya telah melakukan penyelidikan dan yakin bahwa orang palsu itu berada di Pulau Naga ini. Saya telah minta bantuan nona Souw Lee Cin untuk memancingnya keluar. Kalau usahanya itu berhasil, besok pagi- pagi dia tentu akan keluar untuk membunuh nona Souw Lee Cin. Nah, pada saat itulah saya mengharap agar to-suhu beserta para suhu lain muncul dan melihat sendiri siapa adanya Hek- tiauw Eng- hiong yang palsu itu, dengan menangkapnya."

"Siancai, bagus sekali kalau begitu. Pinto juga ingin turut menangkap penjahat itu besok pagi-pagi. Di mana kami semua harus bersiap siaga?"

"Itu baik sekali, semakin banyak yang menyaksikan semakin baik. Menurut perkiraan saya, penjahat itu akan muncul di dekat pondok kecil yang menjadi tempat tinggal nona Souw Lee Cin. Sebaiknya kalau kita bersembunyi dan mengintai dekat pondok yang ditinggali Nona Souw."

Semua menyatakan sepakat, bahkan Im Yang Seng- cu hendak mengabari para to-su Bu- tong- pai untuk ikut menyaksikan dan menangkap penjahat yang telah banyak melakukan pernbunuhan itu.

Pada keesokan harinya, pagi-pagi sekali Lee Cin pergi ke rumah induk dimana tinggal keluarga Siang Koan Bhok dan juga Ouw Kwan Lok. Secara kebetulan sekali ia melihat Kwan Lok sedang berjalan seorang diri di taman bunga di samping rumah induk dan bergegas ia menghampiri pemuda itu.

"Eh, Nona Souw Lee Cin, kiranya engkau juga sudah berada di sini? Sungguh pertemuan yang menyenangkan sekali," kata Ouw Kwan Lok sambil memandang tajam.

Dalam hatinya timbul kebencian yang besar. Nona di depannya ini telah menjadi musuh besar guru-gurunya, dan bahkan telah membuntungi lengan kirinya.

"Aku mendapat kesempatan untuk membalas budi kebaikanmu!" Kata- kata terakhir ini tentu saja mengandung sindiran, bukan membalas budi melainkan membalas dendam. Dia akan membalas dendam secara berlipat ganda, akan mempermainkan dan menghina gadis itu habis-habisan lebih dulu sebelum menyiksa dan membunuhnya.

"Hemm, aku juga menyesal mengapa dulu aku tidak memenggal lehermu, hanya memenggal lengan kirimu.

Orang macam engkau ini layak seratus kali mati. Ouw Kwan Lok, jangan dikira aku tidak tahu akan semua rahasia busukmu. Engkau menyamar sebagai orang lain untuk membunuhi banyak orang. Akan tetapi aku sudah mengetahui rahasiamu, dapat pula membuktikan dan tunggulah, nanti akan kubongkar semua rahasiamu itu di depan para lo-cian-pwe dari Siauw-lim-pai dan Kun-lunpai!"

Setelah berkata demikian, Lee Cin membalikkan diri dan tanpa memberi kesempatan kepada orang itu untuk menjawab ia sudah berlari cepat kembali ke pondoknya. Ouw Kwan Lok tertegun mendengar ucapan ini dan wajahnya berubah pucat. Dia lari memasuki rumah dan mengambil sepasang pedang yang diselipkan ke punggungnya. Tak lama kemudian dia sudah keluar lagi dengan pakaian serba hitam dan sehelai kain sutera hitam menutupi mukanya hanya memperlihatkan dua lubang mata. Gerakannya cepat sekali ketika dia keluar dari rumah itu melalui pintu samping. Pagi itu masih sunyi dan tidak ada orang yang melihat dia keluar dalam pakaian sebagai Hektiauw Eng- hiong itu. Dia mengambil keputusan untuk membunuh Souw Lee Cin sebelum gadis itu membongkar rahasianya dan untuk melakukan pembunuhan itu, sebaiknya dia menyamar sebagai Hek-tiauw Eng-hiong sehingga kalau ada yang melihatnya, maka akan menjadi saksi bahwa pembunuhnya adalah Hek tiauw Eng- hiong!

Lee Cin yang berlari menuju pondoknya, sengaja tidak masuk ke dalam pondok. Ia berdiri di belakang pondok itu, di mana terdapat sebuah taman bunga. Ia berdiri termenung seperti memikirkan sesuatu.

Tiba- tiba ia mendengar desir angin dan tiga batang pisau terbang bergagang hitam menyambar ke arah paha, perut dan dadanya. Serangan mendadak dengan senjata rahasia itu amat berbahaya karena datangnya cepat seperti anak panah. Namun, sejak tadi Lee Cin telah waspada karena maklum bahwa kemungkinan besar Oaw Kwan Lok akan muncul dan menyerangnya seperti yang diperhitungkan oleh Cia Tin Han. Begitu mendengar desir senjata pisau terbang itu dan melihat tiga sinar menyambar ke arahnya, tubuhnya sudah melompat jauh ke samping sehingga tiga batang pisau itu terbang lewat di sisi tubuhnya.

Hek- tiauw Eng- hiong yang melepaskan senjata rahasia namun gagal itu lalu melompat dan menerjang Lee Cin dengan sepasang pedangnya! Melihat betapa orang berkedok hitam itu menggunakan sepasang pedang, Lee Cin terkejut.

Kalau begitu orang itu bukan Kwan Lok, pikirnya. Sudah jelas bahwa Kwan Lok hanya memiliki sebelah tangan kanan saja, bagaimana mungkin kini memainkan siang- kiam (sepasang pedang)? Akan tetapi ia tidak mau memusingkan kepalanya dengan hal ini.

Serangan sepasang pedang itu dahsyat sekali, maka iapun cepat melolos Ang-coa- kiam dari pinggangnya dan begitu ia memutar Ang- coa- kiam, tampak sinar merah bergulung-gulung menyambut sepasang pedang yang di mainkan Hek-tiauw Eng- hiong. Terjadilah perkelahian pedang yang amat seru dan seimbang. Pada saat itu, bermunculanlah para hwe- sio Siauw-lim pai, para to- su Kun-lun-pai din Bu tong-pai.

�Tangkap pembunuh!" Mereka berteriak-teriak. Melihat ini, Si Kedok Hitam yang mengaku sebagai Hek-tiauw Enghiong itu melompat jauh ke kiri. Lee Cin yang berada paling dekat dengannya, cepat mengejar dengan lompatan jauh. Si Kedok Hitam berlari terus dengan cepatnya, keluar dari taman menuju ke padang rumput di depan. Lee Cin tidak mau berhenti mengejarnya. la harus dapat menangkap Si Kedok Hitam itu. Para hwesio dan to-su sambil berteriak-teriak juga ikut mengejar. Teriakan mereka membangunkan semua orang yang menjadi tamu di Pulau Naga sehingga sebentar saja di situ penuh orang yang masih merasa bingung karena tidak mengerti apa yang sedang terjadi.

"Mau lari ke mana engkau, jahanam keparat?" Lee Cin molompat ke depan ketika melihat Si Kedok Hitam melompat ke serumpun semak-semak. Akan tetapi ketika kakinya tiba di balik rumpun, rumput yang berada di situ menyambut kakinya dan kedua kakinya terjeblos ke dalam lubang yang disembunyikan di bawah rumput tebal. Pulau Naga adalah sebuah pulau milik Siang Koan Bhok yang banyak mengandung rahasia untuk menjebak kalau- kalau ada musuh menyerbu. Tak terhindarkan lagi tubuh Lee Cin terjerumus dan melayang turun ke dalam sebuah sumur yang gelap!

Para hwe-sio dan to-su yang berada. di belakang, melihat betapa Si Kedok Hitam telah lenyap seperti ditelan bumi, dan pengejarnya, Lee Cin juga lenyap tidak tampak bayangannya lagi. Mereka mencari-cari di sekitar lereng perbukitan kecil di pulau itu dan kini, para tokoh kang- ouw yang juga sudah mendengar bahwa Hek- tiauw Eng-hiong muncul hendak membunuh Souw Lee Cin, ikut pula mencari. Di antara mereka yang mencari ini terdapat Song Thian Lee, Thio Hui San, Lui Ceng, Cia Tin Siong, Kwee Li Hwa dan ayahnya Kwe Ciang, dan juga Cia Kun dan isterinya, Cia Hok dan Cia Bhok. Masih banyak lagi tokoh persilatan yang berkumpul di

lereng itu. Mendengar bahwa Hek- tiauw Eng- hiong yang dikabarkan telah membunuh belasan orang hwe-sio Siauwlim-pai dan para to-su Kun- lun- pai itu muncul di situ, mereka semua ingin membantu untuk menangkapnya dan melihat siapa orangnya.

Akan tetapi bayangan Hek- tiauw Eng- hiong telah lenyap, demikian bayangan Souw Lee Cin yang mengejarnya.

Kemana larinya Hek- tiauw Eng- hiong? Lee Cin sudah jelas terjeblos ke dalam sumur yang amat dalam tanpa terlihat orang lain. Akan tetapi Si Kedok Hitam itu dapat memasuki sebuah jalan rahasia terowongan dan muncul di balik bukit, jauh dari para pengejarnya yang tidak lagi dapat melihatnya.

Selagi dia berlari- lari, merasa puas karena semua orang tentu tahu bahwa yang menyerang Lee Cin sampai gadis itu mati dalam sumur jebakan adalah Hek-tiauw Eng- hiong, tiba- tiba dia mendengar kelepak sayap burung dan tampak bayangan hitam menyambar dari atas! Dia memandang ke atas dan alangkah terkejutnya ketika dia melihat bahwa yang menyambar itu adalah seekor burung rajawali hitam yang amat besar. Sebelum dia dapat mengelak, punggung bajunya telah dicengkeram oleh kedua kaki burung itu dan dia dibawa terbang melayang ke angkasa!

Si Kedok Hitam melihat ke atas, lalu ke bawah. Diatas sana, di punggung burung itu, dia melihat duduk seorang yang tidak dapat dilihat mukanya, tertutup badan burung.

Tentu saja dia akan dapat melepaskan diri dari cengkeraman burung itu dengan jalan menyerang kaki burung dengan pedangnya. Akan tetapi kalau dia melakukan hal itu dan burung itu melepaskannya, tubuhnya akan hancur remuk terjatuh dari tempat yang demikian tingginya. Maka dia tidak dapat berbuat lain kecuali menyerah, dengan keputusan kalau nanti dia dibebaskan oleh burung itu, dia akan mengamuk dan membunuh burung hitam itu.

Burung rajawali hitam itu kini melayang berputaran, makin lama semakin rendah sehingga mulai tampak oleh para hwe-sio, tosu dan orang- orang kang-ouw yang berada di situ. Mereka semua melihat burung itu melihat pula Si Kedok Hitam bergantungan pada kaki burung dan melihat pula bahwa seorang berkedok hitam yang lain duduk di atas punggung burung hitam itu! Tentu saja pemandangan ini menimbulkan keheranan dalam hati semua orang, kecuali Thian Lee yang sudah menduga bahwa tentu ada orang lain yang memalsukan Hek- tiauw Eng- hiong dan melakukan banyak pembunuhan itu. Dia merasa yakin bahwa seorang di antara mereka berdua yang berkedok sama itu tentu Tin Han dan yang seorang lagi pembunuh itu.

Pemandangan yang aneh itu menarik perhatian semua orang, dan kini dapat dibilang semua orang yang akan mengikuti pertemuan besar di Pulau Naga sudah keluar dari pondok masing-masing dan menonton pemandangan yang aneh itu.

Rajawali Hitam tetap terbang berputaran dan akhirnya menukik turun ke dataran tinggi yang berada di depan pondok-pondok darurat yang menjadi tempat tinggal para tamu. Setelah tubuhnya tinggal dua meter dari atas tanah, dia melepaskan cengkeraman kedua kakinya dan melepaskan tubuh Si Kedok Hitam. Dengan berjungkir balik indah dan cekatan sekali Si Kedok Hitam hinggap dengan lunak di atas tanah. Akan tetapi segera Si Kedok Hitam yang tadi duduk di atas punggung rajawali, juga melompat turun dari atas punggung burung itu dan hinggap di atas tanah tepat di depan Kedok Hitam pertama. Tin Han memandang ke arah burung yang masih terbang di atas kepalanya.

"Hek- tiauw- ko, terima kasih atas bantuanmu. Sekarang kembalilah kepada suhu!" Tin Han berseru dan burung itu lalu mempercepat gerakan sayapnya, terbang pergi dari situ.

Kini Tin Han membuka penutup kepalanya sehingga semua orang dapat melihatnya.

"Cu-wi yang gagah.

Perkenalkanlah bahwa saya yang selama ini bergerak di dunia kang-ouw menentang kejahatan dengan julukan Hektiauw Enghiong! Selama ini ada orang lain menyamar sebagai saya melakukan pembunuhan terhadap belasan orang hwe-sio Siauwlim-pai dan beberapa orang to-su Kunlun-pai. Dan cu-wi lihat, inilah orangnya. Baru saja dia keluar hendak membunuh nona Souw Lee Cin seperti yang cu-wi lihat sendiri. Hei, Hek-tiauw Eng-hiong palsu, beranikah engkau dengan jujur menyatakan siapa dirimu sebenarnya? Engkau telah mencemarkan nama Hek-tiauw Eng-hiong dan sekarang harus kau pertanggung jawabkan!"

Orang berkedok itu bukan menjawab pertanyaan Tin Han, bahkan mencabut sepasang pedangnya dan menyerang dengan dahsyatnya. Tin Han cepat mengelak dan diapun mencabut Pek-kong-kiam, pedang bersinar putih itu, lalu balas menyerang. Terjadilah perkelahian yang amat dahsyat antara kedua orang yang sama-sama berpakaian hitam itu, hanya bedanya kini Tin Han telah menanggalkan kedok kain sutera hitamnya sedangkan lawannya masih memakai kedok hitam. Para penonton memandang dengan mata terbelalak.

Hati mereka tegang melihat munculnya dua Hek-tiauw Enghiong itu dan setelah Tin Han memperkenalkan mereka menduga-duga siapa adanya si Kedok Hiram kedua itu.

Merekapun mulai mengerti bahwa yang melakukan banyak pembunuhan itu adalah Hek-tiauw Eng-hiong palsu. Akan tetapi, tidak ada di antara mereka yang mau mencampuri pertandingan itu. Mereka ingin agar Hek-tiauw Eng-hiong sendiri yang membereskan orang yang telah menodai namanya itu.

Pertandingan itu memang hebat sekali. Kekuatan dan kecepatan mereka nampaknya seimbang. Kalau pedang mereka beradu, keduanya terdorong ke belakang. Akan tetapi kalau pedang di tangan kiri lawannya yang bertemu dengan pedangnya, Tin Han merasa bahwa tangan kiri lawan itu tidak sekuat tangan kanannya, dan gerakan pedang tangan kiri itu kaku. Karena itu, dia beberapa kali menyerang tubuh bagian kiri sehingga lawannya terpaksa menangkis dengan pedang yang kiri dan serangan yang ditujukan kepada tubuh bagian kiri dapat mendesak Si Kedok Hiram.

"Hyaaatttt ...... !" Kembali Tin Han berseru nyaring sambil menusukkau pedarignya ke arah lambung kiri lawannya. Si Kedok Hitam memutar pedang kirinya melindungi lambung dan menangkis dengan pengarahan tenaga.

"Trangggg ...... !" Kembali pedang kiri Si Kedok Hitam yang menangkis itu terpental dan orangnya terhuyung, namun pedang kanannya menyambar dahsyat sehingga Tin Han tidak dapat mendesaknya, bahkan terpaksa mengelak dari sambaran pedang kanan itu. Akan tetapi begitu dielakkan, pedang kanan itu sudah menyambar lagi dengan amat cepatnya, membacok dari atas mengarah kepala Tin Han.

Tin Han mengerahkan tenaga pada tangan kanannya untuk menangkis pedang lawan.

"Trakkk!" Kedua pedang itu menempel ketat dan tidak dapat ditarik kembali. Mereka saling mengerahkan tenaga untuk mendorong lawan dan pada saat itu, Si Kedok Hitam menggerakkan pedang kirinya untuk menusuk dada Tin Han! Tin Han miringkan tubuh, membuka lengan kanannya dan penjepit pedang yang ditusukkan ke bawah lengannya itu. Akan tetapi dia kalah cepat karena tiba-tiba kaki kanan Si Kedok Hitam mencuat dan sebuah tendangan mengenai perut Tin Han, membuat tubuh Tin Han terpental dan terjengkang roboh! Teriakan aneh keluar dari mulut di balik kedok itu ketika Si Kedok Hitam menubruk dan membabatkkan pedangnya ke arah leher Tin Han yang sudah roboh terjengkang.

"Trangg ...... !" Tin Han masih dapat menangkis pedang itu dan sekali meloncat dia telah bangkit berdiri lagi. Pada saat itu, tusukan pedang kiri Si Kedok Hitam kembali telah menyambar ke arah dadanya. Tin Han mengelak dan memutar pedangnya untuk menangkis pedang kanan lawan yang menyambar dengan bacokan ke arah pinggangnya.

Kembali mereka saling serang dengan cepat dan kuatnya, membuat penonton menjadi semakin tegang. Dari gerakangerakan kedua orang itu, maklumlah para tokoh kang-ouw yang menjadi penonton bahwa ilmu kepandaian kedua orang itu memang setingkat.

Beberapa kali In Kong Thai-su yang berdiri dekat In Yang Seng-cu menahan napas.

"Sian-cai.... ilmu pedang yang bagus!" Dia memuji.

"Omitohud, baru sekarang pin-ceng melihat seorang pemuda dengan ilmu kepandaian setinggi itu!" kata pula In Kong Thai-su.

"Thai-su, apakah kita perlu membantu pemuda she Cia itu?" Im Yang Seng cu bertanya. In Kong Thai-su menggeleng kepalanya.

"Pin-ceng kira tidak perlu, karena kita belum tahu siapa Si Kedok Hitam yang seorang lagi itu dan kita belum yakin siapa di antara mereka yang bersalah walaupun. Si Kedok Hitam itu yang agaknya Hek tiauw Eng- hiong yang palsu. Biarlah mereka menyelesaikan masalah mereka sendiri dan kita hanya menonton bagai mana kesudahan peristiwa aneh ini."

"Sian-cai, pinto hampir yakin bahwa Cia-sicu di pihak benar. Dia berusaha untuk melucuti kedok orang yang mengaku sebagai Hek-tiauw Eng-hiong dan yang menggunakan namanya untuk membunuhi murid Siauwlim-pai dan Kun-lun pai. Bagaimana kalau kita tinggal diam dan kemudian dia kalah oleh orang yang palsu itu?"

"Omitohud, pin-ceng lebih percaya bahwa orang yang bersalah akhirnya akan kalah. Kita menjadi saksi saja, Toyu."

Im Yang Seng-cu tidak bicara lagi karena diapun menganggap pendapat sahabatnya itu benar. Ada lagi sekelompok orang yang menonton dengan jantung berdebar- debar penuh ketegangan. Mereka ini adalah Keluarga Cia yang juga menonton pertandingan itu.

Cia Kun dan isterinya menonton dengan hati penuh kekhawatiran. Mereka tahu bahwa putera mereka hendak melucuti kedok yang memalsukan namanya dan melakukan pembunuhan, akan tetapi melihat betapa kepandaian kedua orang itu seimbang, mereka merasa khawatir sekali. Ingin membantu akan tetapi hal itu akan membuat pihak putera mereka tampak curang dengan pengeroyokan, maka merekapun hanya. membantu dengan doa saja. Tadi ketika Tin Han tertendang jatuh, ibunya sudah memejamkan matanya tidak ingin melihat kelanjutannya. Maka legalah rasa hatinya betapa Tin Han dapat lolos dari maut. Demikian pula Cia Hok dan Cia Bhok. Mereka menonton dengan jantung berdebar, khawatir kalau keponakan mereka menderita kekalahan. Di samping itu mereka juga merasa amat kagum melihat keponakan mereka yang selalu dianggap pemuda lemah itu adalah seorang yang memiliki ilmu kepandaian tinggi sekali.

Cia Tin Siong yang berdiri di samping Kwe Li Hwa, tidak kalah gelisahnya. Kwe Li Hwa merasakan ini dan iapun bertanya,

"Siong-ko, bagaimana pendapatmu? Apakah adikmu itu akan dapat mengalahkan penjahat itu?"

Tin Siang menghela napas panjang.

"Entahlah, kita hanya dapat berdoa semoga dia keluar sebagai pemenang. Lawannya dengan sepasang pedangnya itu lihai luar biasa."

"Akan tetapi adikmu itupun amat lihai, Siong-ko."

"Anak itu memang aneh. Dia mempelajari ilmu yang tinggi tanpa sepengetahuan kami yang menjadi keluarganya."

�Dia tadi menangkap Hek-tiauw Eng hiong palsu ia dengan bantuan seekor burung rajawali hitam yang besar.

Apakah memang dia memelihara burung itu, Siong-ko?"

Tin Siong menggerakkan kedua pundaknya.

"Hal inipun aku tidak tahu. Baru sekarang aku melihat burung rajawali besar itu."

Sepasang muda mudi ini menonton dengan hati berdebar penuh ketegangan. Sementara itu, di pihak tuan rumah dengan rekan- rekan mereka, juga menonton dengan hati tegang dan heran.
Thian-to Mo-ong dan rekan-rekannya juga tidak mengenal siapa orang yang berkedok dan bersenjata sepasang pedang yang bertanding melawan Cia Tin Han. Mereka bertanya- tanya, juga merasa heran mengapa Ouw Kwan Lok tidak muncul. Pada hal semua tamu sudah keluar dari pondok masing- masing dan mengikuti jalannya pertandingan itu dengan penuh perhatian.

Hanya Siang Koan Bhok seorang yang tampaknya tidak heran, melainkan menonton pertandingan itu dengan sikap tenang. Dia menganggap Tin Han sebagai musuh besarnya, yang pernah mengalahkannya ketika dia bersama rekan-rekannya menyerbu ke tempat kediaman Keluarga Cia. Dia maklum betapa lihainya Cia Tin Han, akan tetapi tidak berarti mencampuri pertandingan itu, karena di situ hadir pula banyak tokoh kang-ouw dan pendekar yang tentu tidak tinggal diam kalau dia mencampuri pertandingan satu lawan satu itu.

Te- tok Kui-bo dan Siauw Leng Ci yang juga menjadi penonton bersama seratus lebih anak buah mereka, tertegun dan terheran-heran melihat betapa Tin Han dapat menandingi Hek-tiauw Enghiong yang hebat itu.

"Ya Tuhan, siapa kira bocah itu sedemikian lihainya?

Kiranya ketika berada di tempat kita dahulu, ketika kita coba ilmunya melawanmu dia hanya berpura-pura saja sehingga kepandaiannya tampak setingkat denganmu, Leng Ci. Kalau melihat kepandaiannya sekarang rasa-rasanya aku sendiri tidak akan mampu menandinginya."

Tentu saja Leng Ci merasa bangga sekali. Ia menganggap Tin Han sebagai tunangannya. Biarpun pemuda itu belum menyatakan kesanggupannya, namun dia tidak menolak ketika ibunya mengusulkan perjodohan di antara mereka.

Dan sekarang, melihat pemuda yang sudah dianggapnya sebagai calon suaminya itu bertanding dengan sedemikian gagah beraninya, tentu saja ia merasa bangga walaupun ada pula rasa khawatir dalam benaknya.

"Ibu, lawannya demikian lihai. Bagaimana kalau sampai

Tin Han kalah? Ibu, kita bantu dia!"

"Ssttt, jangan gegabah, Leng Ci. Tidakkah engkau melihat betapa para tokoh besar persilatan berada di sini sekarang dan ikut pula menyaksikan perkelahian itu. Kalau kita turun tangan membantunya, itu tidak adil namanya dan kita dapat dianggap curang. Sudahlah, kita melihat saja, aku kira Tin Han tidak akan kalah. Di sana kulihat ayah ibunya dan paman- pamannya juga hadir dan mereka itu juga tidak mencampurinya."

Leng Ci tidak berani bicara lagi, hanya mengepal-ngepal kedua tangannya seolah-olah dengan semangatnya ia hendak membantu orang yang dicintanya itu.

Pertandingan itu semakin seru. Pedang mereka tidak lagi tampak ujudnya, telah menjadi gulungan sinar yang menyilaukan mata. Tin Han sendiri kagum melihat ketangguhan lawannya. Dia melihat betapa teguh pertahanan lawan dan betapa dahsyat serangan-serangannya.

Kalau dilanjutkan begini, agaknya sampai ratusan jurus belum tentu dia akan dapat merobohkan lawan. Akan tetapi akhirnya dia teringat akan gerakan tangan kiri yang kaku itu. Dia membayangkan orang yang buntung lengan kirinya dan memakai sambungan, maka gerakan tangan dan lengan kiri itu menjadi kaku, Tin Han teringat akan percakapannya dengan Song Thian Lee. Dia dan Song Thian Lee tadinya mencurigai bahwa Siang Koan Bhok atau Ouw Kwan Lok yang melakukan penyamaran sebagai Hek- tiauw Eng-hiong, akan tetapi dugaan itu tidak cocok, karena Ouw Kwan Lok, hanya berlengan satu. Dan orang yang berkelahi dengannya ini, walaupun berlengan dua, akan tetapi tangan kirinya bergerak demikian kaku!

Salahkah perhitungannya kalau dia menduga bahwa orang ini bukan lain adalah Ouw Kwan Lok yang menyambung tangan buntungnya dengan tangan buatan?

Setelah berpikir demikian, Tin Han mengubah cara bersilatnya. Dia memainkan ilmu silat Hek- tiauw-kun (Silat Rajawali Hitam) akan tetapi lebih banyak menujukan serangannya kepada bagian kiri lawan. Benar saja, ketika dia melakukan hal ini, lawannya segera terdesak. Pedang tangan kiri itu tidak banyak bekerja, yang lebih banyak diandalkan adalah tangan kanan.

"Haaaaiiiittt!" Pedang di tangan Tin Han berkelebat lagi, kini tubuhnya merendah dan dari bawah pedangnya menusuk ke arah perut lawan. Hek- tiauw Eng- hiong cepat melompat ke samping untuk mengelak, akan tetapi tubuh Tin Han bangkit sambil mengirim tendangan kilat ke arah pergelangan tangan kiri itu.

"Dukkkk!" Dia merasakan kakinya menendang benda keras seperti besi sehingga kakinya terasa nyeri, akan tetapi tendangan itu membuat pedang terlepas dari tangan kiri Si Kedok Hitam!

Melihat hasil ini, Tin Han terus mendesaknya. Akan tetapi setelah kehilangan pedangnya, tangan kiri Si Kedok Hitam masih dapat menyerang menggunakan jari- jari tangannya! Bahkan ketika pedang Pek- kong- kim menyambar dari arah kiri, Si Kedok Hitam berani mengangkat lengan kirinya untuk menangkis!

Akan tetapi sekali ini Si Kedok Hitam terlalu memandang rendah Pek-kong kiam. Pedang pusaka ini amat ampuh dan kuatnya sehingga mampu memotong baja dan besi. Ketika lengan kiri itu menangkis, tak dapat dihindarkan lagi mata pedang Pek- kong- kiam bertemu dengan lengan kiri itu.

"Krekk. ..... !" lengan kiri itu buntung dan jatuh terlempar ke atas tanah. Semua orang memandang dengan terkejut dan heran karena lengan kiri yang buntung itu tidak mengeluarkan darah setetespun! Bahkan kini pedang kanan Si Kedok Hitam menyambar dahsyat. Pada saat itu perhatian Tin Han tertuju kepada lengan kiri lawan yang dapat di buntunginya, maka serangan Si Kedok Hitam itu datangnya terlalu cepat baginya. Dia masih melempar tubuh ke belakang akan tetapi ujung pedang Si Kedok Hitam sempat melukai pundak kirinya! Darah mengucur dari pundak kiri itu. Si Kedok Hitam merasa mendapat angin, menyusulkan bacokan pedang kananya dengan mengerahkan seluruh tenaganya. Tin Han juga mengerahkan seluruh tenaga menangkis datangnya sambaran pedang itu.

"Trangggg.........!!� Bunga api muncrat tinggi dan kedua pedang itu terlepas dari tangan mereka saking kerasnya benturan itu. Kini mereka saling berhadapan dengan kedua tangan kosong! Akan tetapi Tin Han tidak ingin melepaskan lawannya. Dia segera menerjang maju dengan tangan kosong, menggunakan ilmu silat Hek- tiauw- kun dan mengerahkan tenaga Khong- sim Sin- kang! Ilmu-ilmu ini hebat bukan main. Si Kedok Hitam tampak terkejut dan diapun melawan dengan ilmu silat Hek- wan- kun (Silat Lutung Hitam) dan diam-diam diapun mempergunakan Pekswat Tok- ciang (Tangan Racun Salju Putih) yang amat berbahaya bagi lawan.

Pertandingan tangan kosong ini tidak kalah menariknya. Setiap gerakan tangan mereka mendatangkan angin pukulan yang berdesir dan gerakan mereka demikian mantap dan kokoh kuat. Setiap kali kedua lengan bertemu, mereka tergetar mundur. Agaknya karena lengan kiri yang buntung itu tidak memakai lengan baju yang ikut buntung, gerakan Si Kedok Hitam menjadi canggung dan pincang, maka perlahan- lahan Tin Han mulai dapat mendesaknya.


Rajawali Hitam Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo


"Hyaaaatttt ...... !" Tin Han berseru nyaring dan tangan kirinya menampar cepat dan kuat ke arah pelipis kanan lawan. Melihat pukulan yang amat berbahaya ini, Si Kedok Hitam menangkis dengan tangan kanannya. Akan tetapi pada saat yang sama, tangan kanan Tin Han menyambar dan merenggut lepas kedok hitam itu. Kini tampaklah oleh semua orang bahwa yang bersembunyi di balik kedok itu bukan lain adalah Ouw Kwan Lok seperti banyak orang menduga ketika melihat lengan yang putus itu tidak mengeluarkan darah.

OuwKwan Lok terkejut sekali dan melompat jauh ke belakang masuk ke dalam rumah induk di Pulau Naga itu. Tin Han tentu saja melompat hendak mengejar masuk ke rumah itu, akan tetapi Siang Koan Bhok menghadang di depannya.

"Perlahan dulu! Tanpa seijin kami sebagai tuan rumah, siapapun dilarang memasuki rumah kami!" kata kakek itu sambil melintangkan dayung bajanya.

Tin Han mengerutkan alisnya lalu dia mengambil pedangnya yang tadi terlepas dari pegangannya.

"Locian-pwe, aku hendak memasuki rumahmu karena hendak mengejar si jahat Ouw Kwan Lok! Semua orang kini tahu bahwa yang menyamar sebagai Hek- tiauw Eng hiong dan membunuhi para pendeta Siauw-lim-pai dan para to-su Kun-lun-pai adalah si jahat Ouw Kwan Lok! Untuk membersihkan namaku aku harus mengejar dan menangkapnya!"

"Aku tidak perduli akan hal itu. Yang penting, Ouw Bengcu adalah tamu kami dan kami tidak mengijinkan siapa saja memasuki rumah kami membikin kacau!" Siang Koan Bhok berseru dengan kukuh.

"Sian-cai, Tung-hai-ong bicara secara tidak pantas. Ouw Kwan Lok itu jelas adalah orang jahat yang telah membunuh banyak orang, dan engkau masih hendak melindunginya?" teriak Im Yang Seng-cu tidak sabar lagi.

"Im Yang Seng-cu, ini adalah urusan pribadiku. Aku hendak melindungi siapa saja yang berada di rumahku adalah hak pribadiku, tidak boleh dilanggar oleh siapapun juga."

"Omitohud, kalau begitu jelas bahwa Siang Koan Bhok bersekutu dengan Ouw Kwan Lok untuk mengadu domba di antara kami. Kabarnya kalian telah menjadi antek Mancu, bersekutu dengan kaum sesat dan memusuhi kaum pendekar. Begitukah?" kata In Kong Thai-su.

"Hei, In Kong Thai-su, jangan bicara sembarangan. Kami adalah rakyat jelata yang tunduk kepada pemerintahan yang berkuasa, tentu saja kami membantu dan memihak pemerintah. Apakah engkau akan memihak kaum pemberontak? Kalau begitu, kami berhak untuk menangkap kalian para pemberontak!"

Tin Han lalu memutar tubuh bicara dengan nyaring kepada semua orang yang hadir.

"Saudara-saudara sekalian!

Kalian hari ini diundang oleh berg-cu baru ke sini hanya untuk dibujuk menjadi antek Mancu dan terseret dalam perbuatan jahat dan curang mereka. Keadaan itu sungguh berlawanan dengan sikap kita orang gagah yang menjunjung tinggi kebenaran dan keadilan, dan tentu saja di antara kita tidak ada yang sudi menjadi antek penjajah Mancu. Sudah jelas bahwa Ouw Kwan Lok yang mengangkat diri sendiri menjadi beng-cu hendak membelokkan perjuangan para pendekar, bahkan mengadu domba dengan membunuhi para pendeta yang tidak berdosa. Kita harus menangkap dan mengadili orang yang demikian jahat!"

Ucapan Tin Han ini disambut dengan gemuruh oleh para pendekar yang hadir. Akan tetapi Siang Koan Bhok berteriak nyaring,

"Saudara-saudara, kita bukan pemberontak. Sudah sewajarnya kita membantu pemerintah dan marilah kita membantu pasukan pemerintah untuk membasmi pemberontak ini!"

Tak dapat dicegah lagi, kedua pihak sudah saling serang dan terjadilah pertempuran hebat di tempat itu. Anak buah Pulau Naga bangkit dan melakukan perlawanan terhadap para pendekar dan dalam pertempuran ini anak buah Te-tok pang yang berjumlah seratus lebih juga memegang peran utama, perperang melawan anak buah Pulau Naga. Di pihak Siang Koan Bhok ikut mengamuk Yauw Seng Kun, Ban Tok Mo-li, Ma Huan, Hek-bin Mo-ko, Sin-ciang Mo-kai, Thian-te Mo-ong. Mereka ini adalah orang-orang yang berilmu tinggi, masih ditambah lagi belasan orang kang-ouw golongan sesat yang juga sudah menjadi sekutu mereka.

Di pihak para pendekar terdapat nenek Te-tok Kui-bo, Siauw Leng Ci, Song Thian Lee, Kwee Ciang, Kwe Li Hwa, Thio Hui San, Liu Ceng, In Kong Thai-su, Hui Sian Hwe-sio, Im Yang Ceng-cu, Cia Tin Siong, Cia Tin Han, Cia Kun dan isterinya, Cia Hok dan Cia Bhok.

Tak dapat dicegah lagi terjadi pertempuran yang hebat. Song Thian Lee yang maklum bahwa di antara mereka semua itu yang paling lihai adalah Siang Koan Bhok, maka begitu pertempuran berlangsung, dia sudah menerjang majikan Pulau Naga itu dengan Jit- goat-kiam (Pedang Matahari dan Bulan).

Sementara itu, tadi ketika menunggang burung rajawali hitam, Tin Han melihat betapa Lee Cin mengejar Ouw Kwan Lok lalu lenyap di tengah padang rumput. Dia amat mengkhawatirkan nasib kekasihnya itu, maka melihat semua orang sudah bertanding, dia lalu lari ke arah padang rumput itu untuk mencari Lee Cin.

"Cin-moi ...... !" Dia mengerahkan khi-kang dan berseru memanggil. Suaranya bergema di seluruh permukaan padang rumput. Namun tidak terdengar jawaban. Dia lari ke tengah padang rumput dan berulang kali berteriak memanggil Lee Cin. Akhirnya, dia mendengar suara yang lapat- lapat di sebelah depan.

"Han- ko......... !�

Bagaimanakah dengan keadaan Lee Cin yang terjeblos ke dalam perangkap dan terjatuh ke dalam lubang sumur itu? Sumur itu dalam sekali dan Lee Cin yang sedang melayang ke bawah itu teringat bahwa ia masih memegang pedangnya. Maka ia mengerahkan sinkangnya membuat pedang itu menjadi kaku dan menusuk ke dinding sumur.

"Capppp......... !" Pedang itu menusuk dinding sumur sampai ke gagangnya dan kini Lee Cin bergantung kepada gagang pedangnya itu. Ia tidak dapat melihat ke bawah karena gelap, akan tetapi ia mendengar suara berdesis dan mencium bau amis! Tahulah ia bahwa di dasar sumur itu terdapat banyak ular berbisa! Ia adalah seorang pawang ular, tentu saja tidak takut menghadapi ular-ular itu. Akan tetapi dalam keadaan bergantung seperti itu ia tidak berdaya. Ia mengerahkan tenaganya dan terus bergantung di gagang pedangnya.

Akhirnya ia mendengar seruan memanggil namanya itu. Seruan itu demikian kuat sehingga terd�ngar olehnya yang berada dalam sumur. Ia tidak ragu lagi bahwa itu tentu suara Tin Han, maka iapun segera menjawab dan memanggil nama pemuda itu. Hatinya merasa lega sekali karena akhirnya kekasihnya datang mencarinya.

"Cin- moi, engkau di situ?" terdengar kini suara Tin Han dari atas sumur.

"Tin Han koko, aku di sini, bergantung pada pedangku!" teriak Lee Cin ke atas.

"Tunggu sebentar, aku mencari sesuatu untuk menarikmu keluar!" Tin Han lalu mencari- cari dengan matanya. Akan tetapi di padang rumput dan hutan di depan, bagai mana dia akan dapat menemukan tali yang cukup panjang untuk diulurkan ke bawah? Tiba- tiba wajahnya berseri ketika dia melihat serumpun bambu yang panjang.

Cepat dia menghampiri, dengan pedangnya dia menebang sebatang pohon bambu yang paling panjang, lalu menyeret batang bambu itu ke dekat sumur.

"Cin- moi, aku telah menemukan bambu, akan kujulurkan ke bawah. Hati-hati dan tangkap bambunya!"

Dengan perlahan dia menurunkan batang bambu ke bawah sampai dia merasa bambu itu tertahan dari bawah. Lee Cin menangkap ujung bambu,

"Cin- moi, sudah siapkan engkau untuk naik ke atas ?"

"Nanti dulu, Han-ko. Aku mencabut dulu pedangku!" Lee Cin yang kini sudah memanjat batang pohon itu lalu mengerahkan tenaganya untuk mencabut Ang- coa- kiam dari dinding sumur.

"Aku sudah siap, Han- ko!" katanya. Ia sendiri memanjat naik dan Tin Han menarik bambu ke atas sehingga sebentar saja Lee Cin sudah tiba di luan sumur.

"Han- ko. . . . .!�

"Cin- moi, engkau selamat .........!� Dengan girang sekali Tin Han merangkul gadis itu dan sampai beberapa lamanya mereka saling berangkulan. Lee Cin merasa lega sekali, bukan hanya karena ia sudah ditolong keluar dari bahaya maut, melainkan juga melihat betapa pemuda ini sama sekali tidak kelihatan dendam atas perlakuannya tempo hari.

"Han- ko, di bawah sana penuh ular berbisa," kata gadis itu bergidik.

"Sungguh berbahaya. Ouw Kwan Lok itu licik sekali, sehingga engkau dapat terjebak.

"Apakah dia sudah dapat ditangkap atau dibunuh, Hanko?" tanya Lee Cin yang mendengar suara gaduh dari pertempuran itu.

"Dia licik, dia melarikan diri dan Siang Koan Bhok mengerahkan orang-orangnya untuk melawan kita."
"Hemm, kalau begitu, tunggu, Han ko!" Lee Cin mengeluarkan sulingnya, meniup sulingnya dengan nyaring.

Terdengar suara melengking- lengking aneh dan tiba-tiba dari dalam sumur itu merayap naik banyak sekali ular besar kecil dan banyak yang berbisa. Bahkan dari arah hutan berdatangan pula ular-ular besar kecil.

"Aku dapat menggunakan ular-ular ini untuk membantu kita dalam pertempuran!" kata Lee Cin dan bersama Tin Han ia lalu setengah berlari- lari menuju ke tempat pertempuran, diikuti oleh ular- ular itu yang digiring suara suling yang masih ditiup Lee Cin.

Gegerlah para anak buah Pulau Naga ketika tiba- tiba mereka diserang banyak ular. Keadaan menjadi kacau dan pihak Pulau Naga terdesak, banyak di antara mereka yang tewas.

Siang Koan Bhok marah sekali dan dengan sepenuh tenaga dia mengayun dayungnya menghantam Song Thian Lee. Namun pendekar ini menangkis dengan pedangnya, kemudian tangan kirinya mendorong dengan sepenuh tenaga Sin- kang Thian-le ke arah dada datuk itu. Siang Koan Bhok maklum akan bahaya yang mengancam dirinya, akan tetapi dia tidak dapat mengelak lagi dan terpaksa dia melepaskan tangan kanan dari dayungnya dan menyambut dorongantangan Thian Lee itu dengan Ban-tok- ciang.

"Wuuuuuuttt......... dess........!!� Tubuh Thian Lee terdorong mundur tiga langkah akan tetapi tubuh Siang Koan Bhok terpelanting dan terhuyung, lalu dia muntahkan darah.

Tiba- tiba terdengar suara tambur dan canang. Thian Lee terkejut karena dia mengenal suara itu yang berarti bahwa ada pasukan pemerintah yang sedang mendatangi tempat itu. Sebagai seorang bekas panglima segera dia dapat melihat bahaya yang mengancam para pendekar dan cepat pula dia dapat mengambil keputusan untuk menyelamatkan mereka.

Dia mengerahkan khi-kangnya dan berseru kepada mereka semua,

"Saudara-saudara para pendekar. Cepat mundur dan melarikan diri ke tempat perahu cepat!"

Mendengar ini, para pendekar itu menjadi terkejut, akan tetapi mereka percaya sepenuhnya kepada bekas Panglima yang gagah perkasa itu. Maka setelah mendesak pihak Pulau Naga, mereka lalu melarikan diri ke pantai.

"Cepat naik perahu dan pergi meninggalkan pulau ini!" kembali Thian Lee berseru nyaring. Tin Han dan Lee Cin juga sudah tiba di situ dan Tin Han segera mengerti akan maksud Thian Lee mengajak mereka mundur. Memang dari tempat tinggi dia dapat melihat pasukan pemerintah yang ratusan orang jumlahnya sedang menuju ke tengah pulau! Tin Han juga membantu Thian Lee berteriak- teriak memberi peringatan kepada mereka yang bertempur. Untung bahwa pihak Pulau Naga sudah terdesak sehingga ketika para pendekar melarikan diri, mereka tidak melakukan pengejaran. Ketika akhirnya pasukan pemerintah yang datang membantu pihak Pulau Naga tiba di situ, para pendekar sudah tiba di pantai dan mereka mempergunakan perahu-perahu untuk melarikan diri.

Tin Han dan Lee Cin berada dalam satu perahu bersama. Te-tok Kwi-bo dan puterinya, Siauw Leng Ci. Juga Song Thian Lee berada di situ. Tin Han dan Thian Lee berdua mendayung perahu itu cepat- cepat , bersama para pelarian yang lain, menuju ke daratan. Mereka berdua mengerahkan tenaga sin-kang mereka sehingga sebentar saja mereka sudah tiba di pantai daratan. Mereka berlompatan keluar.

"Sungguh berbahaya sekali," kata Song Thian Lee.

"Mereka benar-benar telah menjadi antek penjajah Mancu dan telah bersekutu sehingga demikian cepat mendapat bala bantuan."

"Untung ada engkau yang pernah menjadi panglima, Song- sicu. Kalau tidak kita semua tentu akan terkurung di pulau itu dan tidak mudah meloloskan diri," kata Te-tok Kuibo.

"Akan tetapi mulai sekarang aku akan lebih gigih memimpin anak buahku untuk memusuhi pemerintah Mancu."

"Sayang aku tidak dapat menangkap Ouw Kwan Lok," kata Tin Han penuh penyesal.

"Lain waktu masih banyak kesempatan, Han- ko," kata Lee Cin menghibur.

Te- tok Kui- bo mengerutkan alisnya melihat sikap mesra Lee Cin kepada Tin Han.

"Cia Tin Han, kita harus menunggu sampai keluargamu tiba di sini. Aku tadi melihat mereka lengkap di pulau, kebetulan sekali karena aku segera akan membicarakan urusan perjodohanmu dengan Leng Ci!"

Ucapan ini dikeluarkan dengan nyaring sehingga terdengar oleh Lee Cin dan Thian Lee. Mendengar ini, Thian Lee terkejut. Dia tahu bahwa Tin Han dan Lee Cin saling mencinta, akan tetapi mengapa ketua Te-tok-pang itu berkata demikian, bicara tentang perjodohan Tin Han dengan puterinya?

Lebih-lebih Lee Cin yang mendengar ucapan itu. Wajahnya tiba tiba berubah pucat dan matanya terbelalak memandang kepada Tin Han penuh pertanyaan. Wajah Tin Han berubah merah sekali.

"Aih, Lo- cian- pwe, sungguh saya belum memikirkan tentang perjodohan harap lo-cian-pwe jangan bicara tentang perjodohan. Saya belum siap untuk mengikatkan diri dengan perjodohan!"

"Apa katamu? Dulu engkau mengatakan bahwa urusan perjodohan tergantung dari orang tuamu, sekarang kenapa bicara begini?"

"Aku juga tidak tergesa-gesa menikah, Tin Han. Cukup kalau kita bertunangan lebih dulu," kata Siauw Leng Ci dengan polos. Wajah Tin Han menjadi semakin merah dan dia menjadi bingung sekali ketika melirik kepada Lee Cin dan melihat wajah gadis itu pucat dan matanya basah!

"Tidak ..... tidak, bertunanganpun tidak. Saya belum bersedia!" Jawahnya kukuh. Dia merasa menyesal mengapaketika mereka bicara tentang perjodohan dulu, tidak ditolaknya saja dengan alasan bahwa dia telah mempunyai seorang calon.

Thian Lee memandang kepada Lee Cin dengan hati penuh iba. Diapun mendongkol sekali melihat sikap Tin Han yang dianggapnya tidak tegas itu. Karena dalam hatinya dia membela Lee Cin, diapun segera berkata dengan suara tegas.

"Saudara Cia Tin Han, seorang laki-laki haruslah bersikap tegas dan tidak mencla-mencle. Apa lagi dalam memutuskan urusan pernikahan yang akan mengikatmu selama hidup. Menghacurkan hati seorang gadis sungguh merupakan tindakan pengecut!"

Wajah Tin Han menjadi pucat mendengar ini. Dia dapat mengerti bahwa Song Thian Lee dahulunya seorang pemuda yang menjadi pilihan hati Lee Cin, akan tetapi karena Thian Lee sudah mencinta seorang gadis lain maka Lee Cin juga melepaskannya. Kemudian Lee Cin jatuh cinta kepadanya seperti juga dia mencinta gadis itu. Tentu saja dia memilih Lee Cin dari pada Leng Ci, akan tetapi dia sudah terlanjur mengatakan bahwa urusan perjodohan tergantung kepada orang tuanya!

"Lo-cian-pwe," katanya kepada Te-tok Kui- bo.

"sesungguhnyalah bahwa saat ini aku tidak mau bicara tentang perjodohan. Musuh besarku, Ouw Kwan Lok, belum dapat kutangkap untuk membersihkan nama baikku."

"Ah, itu mudah saja Tin Han. Setelah engkau menjadi calon mantuku, berarti engkau bukan orang lain.. Aku dan Leng Ci tentu akan membantumu sampai engkau dapat membasmi Ouw Kwan Lok!"

Tin Han merasa terdesak dan pada saat itu, sebuah perahu mendarat dan kebetulan sekali penumpangnya adalah keluarga Cia! Ketika isteri Cia Kun melihat Tin Han di situ, ia segera memanggil.

"Tin Han.......... !�

Tin Han segera menghampiri dan ikut menarik perahu itu ke daratan. Keluarga itu tampak gembira melihat Tin Han dalam keadaan selamat pula.

Te-tok Kui-bo segera menghampiri mereka dan menegur keluarga itu. Dengan ramah ia lain memanggil mereka.

"Cia Kun, Cia Hok dan Cia Bhok, apakah kalian sudah lupa kepadaku?"

Melihat nenek bertongkat kepala naga ini tentu saja keluarga itu menjadi girang. Nenek ini adalah sahabat baik dari ibu mereka, bahkan watak mereka juga mirip.

"Bibi Siauw!" kata Cia Kun. Isterinya juga menghampiri dan mereka semua memberi hormat kepada nenek itu.

"Aduh, semua keluarga berkumpul kalau begini. Sayang sekali ibu kalian telah lebih dulu meninggal! Dan sayang sekali bahwa tadi kita tidak sempat membasmi para antek Mancu. Akan tetapi anak buahku merobohkan pihak lawan yang lumayan juga banyaknya, walaupun di pihak kami juga telah tewas belasan orang," kata nenek itu sambil memandang kepada anak-buahnya yang sudah berkumpul semua tak jauh dari situ.

"Bibi Siauw sejak dahulu bersemangat besar sekali," memuji Cia Kun.

"Tentu saja. Eh, perkenalkan ini anak perempuanku bernama Siauw Leng Ci," katanya sambil menuding kepada gadis cantik itu. Keluarga Cia memandang heran karena setahu mereka nenek ini tidak mempunyai puteri, bahkan tidak pernah menikah dan sama sekali tidak mempunyai anak.

Agaknya Te-tok Kui-bo maklum akan keheranan mereka.

"Ia dahulunya adalah muridku yang kemudian kuangkat menjadi anakku sendiri."

"Ah, kiranya begitu?" kata Cia Kun dan baru mereka mengerti.

"Kalau begitu kami mengucapkan selamat atas pengangkatan anak itu, bibi."

"Bukan cuma itu. Maksudku memperkenalkan adalah karena kami telah sepakat untuk menjodohkan Leng Ci ini dengan anak kalian, Cia Tin Han. Bukankah dengan demikian hubungan yang erat antara aku dan mendiang Nenek Cia dapat dilanjutkan menjadi pertalian keluarga? Dan kedua anak itu sendiri juga sudah menyetujuinya."

Mendengar ini, ibu Tin Han memandang kepada puteranya.

"Tin Han, benarkah bahwa engkau sudah menyetujui untuk dijodohkan dengan puteri Bibi Siauw?

Kalau engkau sudah setuju, kiranya kamipun tidak berkeberatan, bukankah begitu?" Ia menoleh kepada suaminya dan Cia Kim mengarigguk.

"Kami akan senang sekali berbesan dengan bibi Siauw yang dahulu menjadi rekan dan sahabat baik ibu kami. Bagaimana, Tin Han?"

Song Thian Lee memandang kepada Lee Cin yang menundukkan mukanya dengan wajah pucat. Dia merasa kasihan sekali dan juga penasaran terhadap Tin Han. Akan tetapi keluarga itu sedang bercakap-cakap dengan asyik, tentu saja sebagai orang luar dia tidak berani mencampuri.

Sementara itu, Tin Han memandang kepada ayah ibunya dengan muka merah.

"Ayah dan ibu, sesungguhnya aku tidak pernah menyatakan setuju dengan usul perjodohan itu. Aku hanya mengatakan bahwa aku akan memberitahukan dulu-kepada orang tuaku."

"Dan sekarang ayah ibumu dan kedua pamanmu sudah setuju!"" tukas Tet ok Kui-bo.

Tin Han menggigit bibirnya. Dia harus mengambil keputusan sekarang. Dia lalu memegang tangan Lee Cin, ditariknya gadis itu menghadap ayah ibunya dan dengan lantang dia berkata,

"Ayah dan ibu, aku telah mendapatkan pilihan hati sendiri. Nona Souw Lee Cin inilah yang akan menjadi isteriku!"

Cia Kun dan isterinya terbelalak. Mereka tidak menyangka bahwa Tin Han jatuh cinta kepada Lee Cin, gadis yang pernah menjadi tamu mereka akan tetapi juga pernah menjadi musuh dan tawanan mereka itu. Biarpun dulu pernah mendengar bahwa Lee Cin puteri beng-cu Souw Tek Bun, ibu Tin Han bertanya lagi untuk meyakinkan.

"Puteri siapakah ia?""

"Ibu, ayahnya adalah seorang pendekar besar, bekas beng-cu Souw Tek Bun yang terkenal itu!" kata Tin Han bangga.

"Dan ibunya?"

"Ibunya tidak kalah terkenalnya sebagai seorang wanita sakti berjuluk Ang-tok Mo-li!"

"Apa......... ?" Wajah Cia Kun penuh kerut merut mendengar nama ini.

"Ang-,tok Mo-li datuk sesat itu? Angtok Mo-li adalah musuh besar mendiang nenekmu!"

�Heh-heh-heh, puteri Ang-tok Moli? Sepatutnya engkau membunuh puteri datuk itu, Tin Han. Puterinya adalah musuhmu juga karena sejak dahulu Ang-tok Mo-li memusuhi Keluarga Cia!" kata Te-tok Kui-bo.



Gelang Kemala Eps 11 Kisah Si Pedang Kilat Eps 19 Gelang Kemala Eps 2

Cari Blog Ini