Ceritasilat Novel Online

Pedang Naga Kemala 37


Pedang Naga Kemala Karya Kho Ping Hoo Bagian 37




Pernah ia tertarik kepada Ci Kong, pemuda yang amat dikaguminya. Akan mudah baginya untuk jatuh cinta kepada Ci Kong. Namun ia mengerti bahwa pemuda yang menjadi murid Siauw-bin-hud itu agaknya takkan mau merendahkan diri untuk berpacaran dengannya, puteri Hai-tok, seorang di antara Empat Racun Dunia! Dan iapun dapan menduga bahwa ada apa-apa antara Ci Kong dan Lian Hong, melihat betapa erat dan akrabnya hubungan antara pemuda dan gadis itu. Dan kini, tahu-tahu Siu Coan menyatakan cintanya, dan hal ini membuatnya tertegun dan termangu walaupun ia tidak merasa heran atau kaget karena sudah lama ia dapat menduga bahwa pemuda jangkung ini tentu "Ada hati" kepadanya, melihat dari sikapnya selama ini.

"Bagaimana, Ki-moi... adakah harapan bagiku? Dapatkah engkau menerima cintaku, dan maukah engkau menyambut uluran tanganku untuk bersamaku mencapai dan menikmati cita-citaku?"

Suara Siu Coan yang mendesaknya ini mengejutkan Kiki yang sedang melamun dan menariknya kembali ke dunia nyata. Ia menoleh dan menatap wajah pemuda itu penuh perhatian, seolah hendak menjenguk isi hati Siu Coan. Seorang pemuda yang cukup baik, pikirnya, bahkan amat baik dan jarang ada pria seperti Siu Coan. Wajahnya cukup ganteng, tubuhnya tinggi tegap dan ilmu silatnya juga memiliki tingkat yang tinggi. Selain lihai ilmu silatnya, juga ia tahu bahwa pemuda ini berjiwa pahlawan yang gagah perkasa, pula amat cerdiknya, dan melihat betapa Siu Cuan dapat berlaku amat royal, agaknya pemuda ini memiliki banyak simpanan harta. Akan tetapi ia masih merasa ragu-ragu. Bagaimana kalau kemudian cinta pemuda ini palsu? Ia menghendaki seorang pria yang mencintanya selama hidupnya, dan bagaimana ia dapat yakin akan cinta Siu Coan? Kemudian ia berkata dengan suara lirih namun tegas.

"Ong-Toako, terima kasih atas kejujuranmu, dan aku merasa girang dan bangga bahwa aku menjadi gadis pilihanmu. Akan tetapi, dalam urusan perjodohan, aku ingin kepastian bahwa kita memang saling berjodoh dan untuk itu membutuhkan waktu bagi kita berdua untuk menyelidiki. Selain itu masih ada satu hal yang amat mengganggu hatiku sebelum masalah ini dapat kubereskan, aku tidak akan bicara tentang cinta dan jodoh, Toako." Biarpun gadis itu belum menerima dengan sepenuhnya, namun jelas bahwa Kiki tidak menolak. Hal ini saja sudah menggirangkan hati Siu Coan.

"Ki-moi, apakah masalah itu? Katakan dan aku tentu akan membantumu mengatasinya." Gadis itu menarik nafas panjang.

"Bukan lain adalah si jahanam Lee Song Kim itu."

"Suhengmu itu?"

"Dulu suhengku, akan tetapi sekarang musuh besarku, musuh besar kita semua! Selama hidupku, baru satu kali aku dihina laki-laki, dan orang itu adalah Lee Song Kim! Kalau tidak ada Tan Ci Kong yang menolongku, entah apa yang terjadi ketika aku sudah tidak berdaya dalam tangan jahanam itu!" Kiki lalu menceritakan dengan singkat pengalamannya ketika ia tertawan oleh Lee Song Kim dan nyaris diperkosa di pantai, akan tetapi terbebas dari bencana itu oleh pertolongan Ci Kong.

"Hemm, jahanam itu memang jahat sekali..." kata Siu Coan setelah mendengar cerita Kiki.

"Bukan itu saja, dia bahkan hampir mencelakakan Ayahku dan gurumu, dan para pimpinan pejuang. Karena itu di dalam hatiku, aku sudah bersumpah bahwa aku harus membunuhnya. Sebelum jahanam itu tebunuh olehku, aku tidak akan berpikir tentang perjodohan!"

"Jangan khawatir, Ki-moi. Aku yang akan membantumu sampai jahanam itu mampus di tangan kita!" kata Siu Coan penuh semangat.

"KaIau begitu, mari kita berangkat sekarang juga untuk mencarinya!" kata Kiki dengan suara gembira dan penuh semangat.

"Kita minta perkenan dan Ayah dulu." Tanpa menanti jawaban pemuda itu, Kiki bangkit dan melangkah pergi ke arah rumah keluarganya di tengah pulau. Siu Coan mengikutinya, dan tak lama kemudian mereka berduapun sudah menghadap Hai-tok.

"Ayah, sekarang juga aku mau meninggalkan pulau, ke Kota Raja mencari dan membunuh jahanam Lee Song Kim dan Ong-Toako ini hendak membantuku sampai usahaku ini berhasil." Hai-tok bangkit dan tempat duduknya, tubuhnya yang tinggi besar itu nampak kokoh kuat dan diapun mengelus jenggotnya. Berkali-kali dia menarik napas panjang dan menggeleng kepala, lalu terdengar dia berkata seperti kepada diri sendiri.

"Aihhhh, sejak kecil dia ku gembleng, bahkan kemudian ku harapkan agar dia menjadi suamimu, menjadi mantuku. Siapa kira nasib menghendaki lain, kini engkau malah hendak pergi mencari dan membunuhnya, dibantu oleh Siu Coan."

"Tapi, Ayah, dia menjadi pengkhianat yang mengekor kepada penjajah, bahkan hampir juga mencelakai para pimpinan pejuang dengan pengkhianatannya."

"Hemm, itulah yang menjengkelkan hatiku. Engkau boleh pergi dan bunuhlah dia, dan engkau Ong Siu Coan, coba jawab, kenapa engkau hendak membantu anakku untuk mencari dan membunuh Song Kim?" Siu Coan adalah seorang yang amat cerdik. Biarpun diserang pertanyaan tiba-tiba itu, dia tidak menjadi gugup, bahkan dia dapat berpikir panjang secara cerdik sekali.

"Locianpwe, maafkan saya. Sesungguhnya, tak pernah terlintas dalam pikiran saya untuk mencampuri urusan antara Locianpwe dan murid Locianpwe Lee Song Kim itu. Locianpwe seorang yang berhak menentukan apa yang harus dilakukan terhadap dirinya.

"Akan tetapi, mendengar bahwa Ki-moi hendak pergi mencarinya, saya menawarkan diri untuk membantu, karena saya khawatir kalau-kalau Ki-moi akan gagal bahkan terancam bahaya. Saya akan melindungi dan membantunya sampai tugasnya berhasil baik."

"Hemm, mengapa engkau mau membantu dan melindungi Kiki?" Kembali Siu Coan memperlihatkan ketenangannya.

"Locianpwe, sesungguhnya saya telah jatuh cinta kepada puteri Locianpwe," katanya merendah. Tiba-tiba Hai-tok Tang Kok Bu tertawa bergelak. Senang hatinya mendengar jawaban Siu Coan tadi. Jawaban pertama tadi berarti bahwa pemuda ini cukup menghormatinya dan tidak berani memusuhi Song Kim tanpa seijinnya. Dan jawaban kedua menunjukkan kejujuran yang disukainya.

"Ong Siu Coan, engkau tahu siapa Kiki, engkau tahu pula siapa aku. Ia adalah anakku yang tunggal. Engkau berani jatuh cinta kepadanya. Apa sih yang kau andalkan? Apa yang dapat kau persembahkan kepadanya dan kepadaku?" Siu Coan tahu bahwa Kakek ini memiliki banyak harta, maka memamerkan harta kepadanya tidak akan ada artinya, juga memamerkan kepandaian tidak ada gunanya karena Hai-tok adalah seorang yang sakti.

"Locianpwe, saya mempunyai cita-cita untuk membentuk perkumpulan besar yang akan memiliki balatentara yang kuat. Sekarangpun, saya sudah mulai memupuk perkumpulan Pai Sang Ti-hwe untuk menjadi sebuah perkumpulan yang amat kuat.

"Kalau saya sudah berhasil membangun balatentara yang kuat, saya akan menyerbu dan meruntuhkan kekuasaan penjajah, dan saya akan menjadi pemimpinnya. Dan itulah yang dapat saya persembahkan kepada Locianpwe dan Ki-moi, tentu saja kalau saya berhasil berkat bantuan Ki-moi, juga Locianpwe." Kakek itu kembali mengangguk-angguk. Diam-diam dia kagum akan kecerdikan yang terkandung dalam jawaban pemuda itu.

"Baiklah, Siu Coan. Engkau bentuklah balatentara besar itu, dan kalau sudah ada buktinya, engkau boleh menikah dengan Kiki, tentu saja kalau Kiki mau menerimamu. Bagaimana, Kiki... maukah engkau menerima Siu Coan sebagai suamimu kalau dia sudah berhasil menghimpun balatentara yang besar..." Kini Kiki menghadapi Ayahnya dengan tabah, tidak malu-malu lagi.

"Kalau kami berhasil membunuh Song Kim, kemudian kalau Ong-Toako sudah berhasil menghimpun balatentara besar seperti yang diceritakannya, saya akan menerima pinangannya dan menjadi isterinya, Ayah."

"Ha-ha... engkau sudah mendengar sendiri, Siu Coan. Nah, kalian berangkatlah sekarang juga, dan jangan kembali sebelum membawa kabar bahwa jahanam itu sudah mampus di tangan kalian!"

Bukan main girang rasa hati Siu Coan mendengar kata-kata Kakek itu. Kalau Kiki sudah setuju dan Ayahnya sudah menyetujui pula, jelaslah bahwa Kiki akan menjadi isterinya, hal yang selama ini menjadi buah mimpi dalam tidurnya. Mereka berdua lalu berangkat berperahu meninggalkan Pulau Naga. Seperti juga para pendekar muda lainnya, Ciu Kui Eng merasa gembira bukan main karena telah berhasil membebaskan para tawanan, dan ia sendiripun dapat terbebas dari ancaman bahaya maut di lorong bawah tanah itu berkat bantuan dan pengorbanan Koan Jit yang amat mengharukan hatinya itu. Dia juga melarikan diri keluar dari lorong bawah tanah melalui lubang yang dibuat oleh bahan peledak yang diledakkan oleh Koan Jit, dan karena khawatir akan pengejaran musuh, iapun seperti yang lain-lain melarikan dengan terpencar.

Setelah keluar dari kota, Kui Eng melakukan perjalanan secepatnya menuju ke Kanton, dan di kota ini, ia menyelinap ke dalam ruangan rahasia yang menjadi tempat pertemuan anak buahnya, yaitu para kuli pelabuhan yang pernah mengangkatnya menjadi pimpinan para kuli yang menjadi pejuang-pejuang tanah air. Peranan yang dipegang oleh para kuli pelabuhan ini penting sekali. Mereka nampaknya saja bekerja untuk orang-orang kulit putih di pelabuhan, mengangkuti barang-barang yang naik turun kapal. Akan tetapi, diam-diam mereka dapat bertugas sebagai mata-mata pejuang, dan di samping ini, merekapun mempergunakan kesempatan untuk mencuri barang-barang orang kulit putih, terutama sekali senjata api dan peluru-pelurunya. bantuan para kuli ini terhadap perjuangan amat besar dan diakui oleh para pejuang.

Ketika Kui Eng pergi meninggalkan Kanton, ia menyerahkan pimpinan para kuli kepada seorang yang belum lama bekerja, namun sudah diakui oleh para temannya sebagai seorang pemuda yang cerdik dan lihai. Kui Eng mengenal pemuda ini sebagai seorang di antara anak buahnya, walaupun ia belum pernah melihat bagaimana lihainya pemuda ini. Nama pemuda itu adalah Thio Ki, seorang pemuda bertubuh tegap dan bersikap gagah, namun pendiam. Dari sepasang matanya yang amat tajam itu saja dapat diduga bahwa dia cerdik dan gagah perkasa, juga amat pemberani. Para kuli tentu saja sudah mendengar akan peristiwa di Kota Raja, tentang pengkhianatan murid pejuang yang telah menangkap para pimpinan pejuang, kemudian betapa para pimpinan pejuang itu dapat dibebaskan oleh para pendekar muda.

Maka, ketika Kui Eng datang, para kuli itu berkumpul dan menyambutnya dengan penuh kegembiraan. Mereka agaknya sudah mendengar pula, bahwa Kui Eng adalah seorang di antara para pendekar muda yang telah membebaskan para tawanan penting itu, maka para kuli menyambut kedatangan Kui Eng dengan pesta dan juga dengan perasaan bangga. Ada sesuatu pada diri Thio Ki yang membuat Kui Eng menaruh perhatian kepada pemuda itu. Dalam menyambut kedatangannya, Thio Ki memperlihatkan sikap yang berbeda dengan kawan-kawan lain. Karena ia duduk semeja dengan Thio Ki dan beberapa orang yang dianggap sebagai orang-orang yang penting di antara kelompok pejuang yang menyamar sebagai kuli-kuli pelabuhan ini, Kui Eng melihat betapa Thio Ki memandang kepadanya dengan sepasang basah air mata!

Semua anak buah kelompok itu memang memandang kepadanya dengan sinar mata penuh kagum dan juga gembira dan bangga, akan tetapi tidak ada yang matanya menjadi basah oleh keharuan seperti yang ia lihat pada diri Thio Ki ini! Karena pemuda itu berusaha keras untuk menyembunyikan perasaannya dan mengusap air mata dengan punggung tangannya sebelum air mata itu tumpah keluar, maka tidak ada orang lain kecuali Kui Eng yang melihat hal ini. Diam-diam Kui Eng merasa heran sekali, apalagi ketika beberapa kali bertemu pandang dengan Thio Ki dan melihat pancar sinar mata penuh kasih sayang ditujukan kepadanya! Diam-diam Kui Eng terkejut. Usianya sudah sembilanbelas tahun, sudah cukup dewasa bagi seorang wanita untuk dapat mengenal pria melalui pandang matanya.

Ia sudah terbiasa oleh pandang mata pria yang memancarkan sinar kagum atau suka, dan ia dapat membedakan antara pandang mata kagum dan tertarik dari pria, dan pandang mata yang aneh seperti yang ditujukan oleh Thio Ki kepadanya. Belum pernah ada pria memandang kepadanya seperti itu. Demikian mendalam dan menyentuh perasaannya, menimbulkan rasa haru. Pada keesokan harinya, pagi-pagi sekali para anggauta kelompok kuli itu sudah pergi bekerja ke pelabuhan. Akan tetapi Thio Ki tidak pergi dan mengatakan kepada teman-temannya bahwa hari itu dia mangkir karena terasa badannya kurang sehat. Dengan demikian, yang tinggal di tempat rahasia pertemuan mereka itu hanya Kui Eng dan Thio Ki berdua. Setelah mereka semua pergi dan meninggalkan Thio Ki, Kui Eng menghampiri pemuda itu dan bertanya.

"Thio-Toako, kenapa engkau tidak pergi bekerja seperti teman-teman yang lain?" Thio Ki memandang wajah gadis ini sejenak lalu menjawab, suaranya tegas walaupun lirih.

"Ciu-Lihiap, aku sengaja tidak pergi bekerja karena ingin bicara berdua saja denganmu." Sekali ini Kui Eng terkejut. Ia mendengar sendiri tadi ketika pemuda ini mengatakan kepada teman-temannya bahwa dia tidak enak badan, akan tetapi sekarang kepadanya membuat pengakuan yang demikian jujur. Terlalu jujur sehingga terdengar berani dan lancang sekali. Akan tetapi ia tidak menjadi marah. Ia menyukai kejujuran, hanya tidak mengerti mengapa pemuda ini tadi berbohong kepada teman-temannya.

"Thio-Toako, ada urusan apakah maka engkau sengaja tidak bekerja, berbohong kepada teman-teman, hanya untuk bicara berdua dengan aku? Apa yang akan kau bicarakan?" tanya Kui Eng sambil duduk di atas sebuah kursi dan menatap tajam wajah pemuda itu, alisnya berkerut dengan sikap menegur. Thio Ki berdiri di depan Kui Eng, sikapnya seperti seorang anak kecil yang dimarahi ibunya.

"Maaf, Lihiap. Aku berbohong kepada teman-teman karena merasa malu untuk membuat pengakuan kepada mereka. Aku... aku hanya ingin bicara berdua dengan Lihiap, ingin mendengar tentang pengalaman-pengalaman Lihiap dengan lebih jelas ketika Lihiap bersama para pendekar lain membebaskan para Locianpwe yang tertawan." Kui Eng menahan ketawanya. Pemuda ini sungguh seperti anak kecil saja! Kiranya dia demikian tertarik dengan cerita tentang pengalamannya yang semalam ia ceritakan kepada teman-teman secara singkat. Agaknya pemuda ini ingin mendengar lebih banyak dan lebih jelas lagi.

"Ah, begitukah? Duduklah, Toako, dan kita bercakap-cakap," kata Kui Eng.

Dengan wajah lega dan girang, Thio Ki lalu menyeret kursi dan duduk berhadapan dengan gadis itu. Kui Eng lalu mengulang ceritanya, akan tetapi sekali ini ia bercerita dengan lebih terperinci. Diceritakannya tentang pengkhianatan Lee Song Kim, dan tentang kegagahan Koan Jit yang menjadi penyelamat dari semua tahanan dan pembebas mereka. Diceritakannya pula jalannya pertempuran dan bahaya besar yang mengancam para pendekar ketika terjebak, tersudut dan dihujani peluru senapan. Dengan sepasang mata mengeluarkan sinar gembira dan tegang, Thio Ki mendengarkan semua cerita itu, mengagumi kegagahan Koan Jit dan ikut cemas ketika mendengarkan cerita tentang bahaya maut yang mengancam para pendekar, terutama diri Kui Eng sendiri. Setelah Kui Eng selesai bercerita, Thio Ki berulang kali menarik napas panjang, lalu memandang wajah Kui Eng sambil berkata.

"Sungguh berbahaya sekali apa yang baru saja Lihiap alami. Ah... kuharap saja lain kali, kalau Lihiap hendak melakukan pekerjaan yang demikian sulit dan berbahaya, Lihiap suka memberi tahu kepadaku dan aku akan ikut serta, akan membantu Lihiap sekuat tenaga." Sikap dan ucapan pemuda itu sedemikian seriusnya sehingga Kui Eng yang tadinya merasa geli itu menahan senyumnya. Pemuda ini bukan kakanak-kanakan, melainkan bicara dengan serius, dan teringatlah ia ketika ia datang kemarin, melihat betapa Thio Ki menahan tangisnya. Tergugah kembali keinginan tahunya dan sekaranglah saatnya ia dapat bertanya kepada pemuda ini, selagi mereka berdua saja.

"Thio-Toako, kemarin ketika aku pulang dan baru datang, aku melihat sikapmu seperti orang menangis. Kenapakah?" Bertanya demikian, Kui Eng menatap tajam wajah pemuda itu penuh selidik. Mata Kui Eng memang terkenal tajam sehingga ketika ia menatap dengan penuh perhatian. Thio Ki merasa seolah-olah sinar mata itu menembus dan menjenguk isi hatinya. Akan tetapi, dia balas memandang dan dengan suara yang tegas dan jujur diapun menjawab.

"Aku merasa begitu berbahagia melihat Lihiap pulang dalam keadaan selamat. Sungguh aku merasa khawatir sekali akan keselamatanmu, Lihiap.

"Kalau sampai terjadi sesuatu yang mengakibatkan Lihiap cedera berat atau tewas, ahh... aku tidak tahu lagi apa yang harus kulakukan dan bagaimana pula dengan kehidupanku ini. Karena itu, aku minta dengan sangat agar lain kali Lihiap suka mengajakku. Aku akan membantu dan membelamu dengan taruhan nyawaku, Lihiap." Kini Kui Eng terbelalak memandang pemuda itu, bahkan saking heran dan kagetnya mendengar ucapan penuh perasaan itu, iapun bangkit berdiri.

"Thio-Toako, apa maksudmu? Apa artinya semua pengakuanmu itu? Kenapa engkau demikian memperhatikan diriku?" Thio Ki memandang wajah gadis itu tanpa berkedip, dan agaknya memang dia sudah mengambil keputusan untuk bicara terus terang kepada pendekar ini tanpa sungkan atau takut lagi, siap menghadapi segala resiko pengakuannya.

"Ciu Kui Eng Lihiap, masih belum dapatkah engkau mengerti bahwa aku amat mencintaimu? Aku rela berkorban nyawa demi untuk membela dan melindungimu. Aku cinta padamu, Lihiap. Nah, aku sudah membuat pengakuan. Kalau Lihiap merasa tersinggung dan marah, silahkan menjatuhkan hukuman apapun kepadaku." Kui Eng memandang bengong, tidak tahu perasaan apa yang mencekam hatinya di saat itu. Ia sama sekali tidak marah, bahkan ada rasa kagum, ada rasa gembira, akan tetapi juga kecewa di dalam hatinya. Kagum melihat keberanian dan kejujuran pemuda ini menyatakan cintanya kepadanya, kagum karena Thio Ki hanya seorang kuli pelabuhan! Hanya seorang kuli pelabuhan dan pejuang biasa saja, bukan pendekar sakti, telah berani mengaku cinta. Hal ini membutuhkan keberanian besar dan ia menjadi kagum oleh keberanian dan kejujuran itu.

Dan iapan merasa gembira bahwa di dunia ini ada yang mencintainya sedemikian rupa sehingga siap dan rela berkorban nyawa untuk membela dan melindunginya. Akan tetapi iapun kecewa mengapa bukan pria idamannya yang membuat pengakuan cinta itu! Kalau saja yang mengaku cinta kepadanya itu Ci Kong, bukan Thio Ki, alangkah akan bahagia rasa hatinya. Sejenak mereka saling pandang, sinar mata Thio Ki mengandung penuh harapan, sebaliknya sinar mata Kui Eng mengandung penuh penyesalan. Ia merasa menyesal mengapa ia harus menolak cinta kasih seorang pemuda yang demikian mencintainya seperti Thio Ki, walaupun pemuda ini hanya seorang kuli pelabuhan! Kalau saja iapun hanya seorang wanita biasa, kalau saja di sana tidak ada Ci Kong. Ah, betapa akan bahagia rasa hatinya menerima cinta kasih seorang pemuda seperti Thio Ki ini.

"Lihiap, aku tidak akan minta maaf, karena aku tidak merasa bersalah dengan pengakuan cintaku terhadap dirimu. Oleh karena itu, kalau Lihiap merasa tersinggung dan hendak menghukumku, silahkan." Kui Eng menggeleng kepala.

"Jangan salah sangka, Toako. Aku tidak marah dan tidak merasa tersinggung, bahkan aku merasa berterima kasih sekali. Kita adalah sahabat dan rekan seperjuangan, maka memang sebaiknya kalau bersikap jujur seperti yang telah kau perlihatkan.

"Aku hanya merasa menyesal karena terpaksa aku tidak dapat menyambut perasaan hatimu yang murni itu, karena aku... aku telah jatuh cinta kepada seorang pria lain.

"Nah, baru kepadamulah aku membuat pengakuan ini, untuk mengimbangi kejujuranmu. Aku... aku telah jatuh cinta kepada Tan Ci Kong, tidak tahu apakah perasaan hatiku ini mendapat sambutannya ataukah aku hanya bertepuk sebelah tangan."

Kui Eng menarik napas panjang dan menundukkan mukanya, tidak tega melihat wajah Thio Ki yang tentu akan merasa terpukul sekali mendengar penolakannya yang terus terang. Dan memang Thio Ki merasa terpukul, akan tetapi hal ini diterimanya dengan jantan. Hanya wajahnya saja yang berubah agak pucat dan pandang matanya agak sayu, karena jawaban itu memang merupakan pukulan batin yang cukup berat baginya. Namun, bibirnya tersenyum pahit dan diapun menarik napas panjang sampai tiga kali untuk menenangkan hatinya. Sampai lama mereka berdiam diri, Thio Ki seperti orang termenung, Kui Eng tetap menundukkan mukanya. Akhirnya Thio Ki merasa tenang kembali.

"Terima kasih, Lihiap. Keterus teranganmu sungguh banyak menolongku. Aku semakin kagum kepadamu. Engkau adalah seorang wanita yang sukar dicari keduanya di dunia ini, dan memang pilihan hatimu itu tepat sekali.

"Aku sudah mendengar siapa adanya pendekar muda Tan Ci Kong, murid Siauw-lim-pai yang namanya menggemparkan itu. Dan aku hanya dapat berdoa semoga Lihiap akan dapat hidup bahagia bersamanya.

"Maafkan segala yang telah kulakukan dan kuucapkan, dan anggap saja aku tidak pernah mengatakan apa-apa, sehingga kita tetap menjadi sahabat dan rekan. Nah, aku mohon pamit, akan menyusul kawan-kawan bekerja." Tanpa menanti jawaban, Thio Ki lalu meninggalkan gadis itu. Sepeninggal pemuda itu, Kui Eng duduk termenung. Hatinya merasa bimbang. Ia sudah membuat pengakuan kepada orang lain akan cintanya terhadap Ci Kong, padahal kepada Ci Kong sendiripun ia belum pernah bicara tentang cinta!

Dan iapun tidak tahu apakah Ci Kong akan membalas cintanya ataukah tidak! Bagaimana kalau Ci Kong tidak mencintanya? Nampaknya Ci Kong demikian akrab dengan Lian Hong, juga dengan Diana! Dan ia merasa kagum dan kasihan kepada Thio Ki, yang menerima pukulan batin secara demikian gagah. Kerelaan dan ketulusan hati pemuda ini sungguh berkesan di dalam sanubarinya. Sayang bahwa Thio Ki hanya seorang kuli pelabuhan biasa, seorang pekerja kasar dan pejuang biasa saja! Tiba-tiba ia mendengar langkah kaki memasuki ruangan rahasia tempat para pejuang berkumpul dan berunding itu. Kui Eng mengangkat muka dan mengerutkan alisnya. Kenapa Thio Ki datang kembali? Sungguh bodoh kalau pemuda itu datang kembali, hanya akan memperburuk keadaan dan tidak mengenakkan perasaan saja!

Kenapa sikap yang amat bijaksana itu kini berubah menjadi suatu kecanggungan dan kebodohan? Timbul kemarahan dalam hati Kui Eng, dan ia sudah siap menegur kalau pemuda itu muncul di ambang pintu. Akan tetapi, ketika orang yang langkahnya terdengar tadi muncul di ambang pintu ruangan itu, semua kemarahan lenyap dari pikiran Kui Eng, terganti oleh rasa kaget dan heran. Ia sudah meloncat bangkit berdiri dan menatap laki-laki berusia lima puluh tahun lebih yang kini berdiri di ambang pintu. Ia mendengar langkah-langkah kaki lain datang ke tempat itu dan segera ia bersikap waspada. Wajah laki-laki itu tidak asing baginya. Seorang laki- laki yang tinggi besar tubuhnya, perutnya gendut, mukanya licin dan sepasang matanya sipit sekali. Dan kini bermunculan belasan orang di belakang laki-laki itu, dan iapun terkejut karena belasan orang itu berpakaian seperti perwira-perwira bala tentara kerajaan!

"Hahaha, sudah kukira, tentu di sini tempat rahasia para pemberontak itu. Dan kiranya pemimpin perempuan yang disohorkan orang itu adalah engkau. Selamat bertemu kembali, nona Ciu Kui Eng!" Suara orang inipun amat dikenalnya, akan tetapi tetap saja Kui Eng tidak dapat mengingat lagi siapa adanya orang ini. Ia memandang dengan alis berkerut, lalu membentak.

"Siapakah engkau?"

"Ha-ha-ha, sudah lupa kiranya kepada sahabat lama! Agaknya setelah menjadi pemberontak, engkau hanya mengenal orang-orang jahat dan pemberontak-pemberontak hina saja, nona. Aku adalah komandan Ma, pernah menjadi sahabat keluargamu."

Ah kenapa ia sampai lupa? Tentu saja. Ma Cek Lung, komandan pasukan keamanan kota Kanton! Dan tanpa bertanya, iapun tahu bahwa ia berada dalam bahaya. Tentu Ma-Ciangkun ini datang bersama rekan-rekannya untuk melakukan penyerbuan dan pembersihan terhadap para pejuang. Untung bahwa semua anak buahnya telah pergi meninggalkan tempat itu, sehingga tidak ada bukti bahwa para kuli pelabuhan itu adalah pejuang-pejuang. Juga untung sekali bahwa Thio Ki baru saja pergi dari situ. Ia tidak takut atau khawatir menghadapi belasan orang perwira itu. Iapun merasa tidak perlu untuk berbantahan dengan Ma Cek Lung, maka dengan sikap acuh, ia lalu mengambil kursi yang tadi ia duduki, dengan kedua tangan ia mematah-matahkan kursi, mengambil sebatang kakinya yang panjang, lalu dengan senjata tongkat kaki kursi di tangan, iapun membentak.

"Kalian datang mencari mampus!"

Dan tongkat di tangannya itu sudah menyambar ke depan. Akan tetapi agaknya Ma Cek Lung sudah mengenal kelihaian orang, setidaknya dia sudah mendengar bahwa puteri bekas sahabatnya yang kini menjadi pemberontak ini memiliki ilmu kepandaian yang amat tinggi. Maka dia sudah meloncat ke belakang, dan belasan orang perwira itu sudah berlompatan masuk ke dalam ruangan yang luas itu, memegang golok besar dan mengepungnya! Melihat cara tigabelas orang ini, diam-diam Kui Eng terkejut. Kiranya tigabelas anak buah Mi Cek Lung ini bukan orang biasa, pikirnya... dan iapun teringat akan nama Chap-sha Toa-to-tin (Barisan Tigabelas Golok Besar) dari Kota Raja yang kabarnya amat berbahaya dengan permainan golok besar mereka! Agaknya Ma Cek Lung, dalam usahanya melakukan pembersihan, kini dibantu oleh jagoan-jagoan dari Kota Raja ini.

Dugaannya memang tidak keliru. Tigabelas orang berpakaian perwira yang mengepungnya itu adalah Chap-sha Toa-to-tin yang namanya terkenal sekali di Kota Raja. Kini tigabelas orang yang memiliki ilmu golok dari Bu-tong-pai itu telah mengepung, dan mereka bergerak mengitari Kui Eng dengan pasangan kuda-kuda yang berubah. Kui Eng yang terkepung di tengah-tengah, berdiri tegak dengan potongan kayu di tangan, tubuhnya sama sekali tidak bergerak, kedua matanya saja melirik ke kanan kiri, kedua telinganya juga dikerahkan untuk mengikuti gerakan mereka yang berada di belakang tubuhnya yang tak dapat diikuti gerakannya dengan pandang mata. Ia sedang memperhitungkan bagaimana untuk meloloskan diri dari kepungan. Nampak jelas bahwa niatnya meloloskan diri sudah tercium musuh, karena barisan tigabelas orang itu, terutama memberi tekanan dan kekuatan ke arah pintu.

"Hemm, nona Ciu Kui Eng. Mengingat akan hubungan baik antara orang tuamu dan aku, mengingat bahwa dahulu aku telah mengenalmu ketika engkau masih kanak-kanak, kunasihatkan agar engkau menyerah saja. Percuma engkau Chap-sha Toa-to-tin, karena tubuhmu tentu akan tersayat-sayat menjadi empatbelas potong.

"Sayang sekali kalau begitu, bukan? Engkau masih muda dan cantik jelita. Menyerahlah... dan kalau engkau berjanji mau membantu pemerintah dan menunjukkan dimana adanya para pemberontak lainnya, aku dapat menolongmu agar engkau diampuni." Kui Eng memandang marah ke arah orang gendut itu. Ingin ia menggunakan tongkatnya membunuh orang itu, akan tetapi hal itu tidak mungkin dapat dilakukan karena pengepungan tigabelas orang itu amat ketat. Golok besar di tangan mereka berkilauan saking tajamnya dan tangan-tangan yang memegang golok itupun mantap dan kokoh kuat.

"Bwa saja ocehanmu sebagai bekal ke neraka!" bentaknya, dan tiba-tiba Kui Eng menyerang ke kanan, ke arah pengepung yang berada di sebelah kanannya. Tongkat pendek itu, bekas kaki kursi, berkelebat menjadi gulungan sinar yang amat cepat menerjang, dan dengan bertubi-tubi sudah menotok ke arah jalan darah seorang pengepung,

Lalu dilanjutkan dengan sambaran ke arah mata orang lain, dan tusukan ke arah lambung orang ketiga. Terdengar suara berkerontangan nyaring dan nampak sinar golok berkelebatan menyilaukan mata ketika banyak golok melakukan penangkisan secara serentak, sehingga tiga kali serangan bertubi dari Kui Eng itu semua dapat tertangkis! Kui Eng terkejut, kiranya bukan kosong saja nama besar Chap-sha Toa-to-tin. Setiap kali tongkatnya menyerang, tongkat bertemu dengan sedikitnya empat batang golok besar, dan tentu saja tenaga empat orang itu cukup untuk mengimbangi, bahkan menekan tenaganya sendiri! Tiba-tiba terdengar aba-aba, dan ada angin menyambar-nyambar dari arah belakangnya. Kui Eng cepat menggerakkan tubuhnya, memutar sambil menangkis dan aba-aba itupun dikeluarkan terus oleh seorang di antara para pengepungnya,

Diikuti oleh tigabelas orang itu yang bergerak secara teratur sekali, melakukan serangan kepadanya secara bertubi-tubi. Kui Eng menjadi semakin sibuk dan terpaksa mengerahkan tenaga dan memainkan Cui-beng Hek-pang, yaitu ilmu Tongkat Hitam Pengejar Nyawa. Namun, melihat betapa banyaknya orang yang mengeroyok dan mengepungnya, sekali ini ia tidak mampu memainkan ilmu tongkat di bagian yang menyerang, melainkan menggunakan tongkatnya sebagai perisai untuk melindungi seluruh tubuh dari sambaran golok yang tiada hentinya itu. Untung bahwa ia memiliki gin-kang atau ilmu meringankah tubuh yang istimewa. Kegesitan dan keringanan tubuhnya membantu banyak. Ia dapat berloncatan ke sana-sini bukan hanya sekedar mengelak, melainkan dengan perubahan kedudukan itu, ia mampu mengacaukan pengepungan.

Namun, ternyata bahwa Chap-sha Toa-to-tin benar hebat sekali. Mereka memiliki gerakan yang aneh dan rapi, merupakan benteng yang amat kuat sehingga sukar sekali dibobol. Biarpun kegesitan tubuh Kui Eng dan kelihaian permainan tongkat gadis itu membuat mereka sukar sekali untuk dapat merobohkan Kui Eng, namun agaknya akan amat sukar pula bagi gadis perkasa itu untuk meloloskan diri. Sementara itu, dari luar kepungan, Ma Cek Lung tertawa-tawa dan tetap membujuk agar gadis itu menyerah saja. Perwira gendut ini memang mengharapkan Kui Eng menyerah dan menakluk, karena dia melihat dua keuntungan baginya kalau gadis itu menyerah. Pertama, gadis itu manis bukan main dan dapat dia membayangkan betapa akan senangnya kalau gadis itu mau menjadi kekasihnya sebagai jaminan keselamatannya,

Dan kedua, dia akan memperoleh tenaga bantuan yang amat kuat. Kalau gadis itu mau membantunya, tentu akan mudah baginya mengetahui tempat persembunyian para pemberontak dan dia akan memperoleh pahala besar kalau berhasil menangkapi mereka. Akan tetapi tentu saja Kui Eng tidak sudi menyerah. Gadis ini maklum bahwa ia menghadapi pengeroyokan barisan golok yang amat kuat, namun ia bertekad untuk melawan sampai akhir! Tongkatnya berkelebatan membentuk sinar bergulung-gulung, dan tubuhnya menyelinap di antara gulungan sinar golok yang datang seperti hujan. Bagaimanapun juga, ia berada di pihak yang terdesak dan terancam bahaya, tidak mendapatkan kesempatan lagi untuk balas menyerang. Tigabelas orang bergolok melakukan penyerangan seperti gelombang dari laut yang datang dan pergi tanpa henti-hentinya.

"Ha-ha-ha, nona Ciu Kui Eng yang manis, lebih baik engkau menyerah sebelum kulitmu yang halus itu tersayat golok. Sayang, bukan? Katakanlah engkau menyerah dan aku akan memberi aba-aba agar pengeroyokmu mundur dan... ahhh..."

Tiba-tiba ada bayangan didahului sinar yang menyilaukan mata, dan tubuh komandan Ma Cek Lung yang sedang tertawa-tawa dan membujuk Kui Eng itupun terpelanting dengan mandi darah karena lehernya hampir putus dibabat sebatang pedang di tangan pria muda yang baru muncul. Pria ini kini terjun ke dalam ruangan dimana Kui Eng dikepung, dan pedangnya membuat gerakan amat kuat mengeluarkan suara mengaung dan membentuk sinar bergulung-gulung! Karena datangnya penyerang dari luar kepungan, ditujukan kepada para pengepung, tentu saja kepungan Tigabelas Golok Besar itu menjadi buyar dan kacau. Akan tetapi, agaknya barisan ini memang sudah matang dan siap menghadapi segala macam kemungkinan. Terdengar aba-aba dari pemimpin mereka, dan tiba-tiba saja barisan itu terbelah menjadi dua bagian, tujuh orang tetap mengepung dan mengeroyok Kui Eng, sedangkan yang enam mengepung pria itu.

"Aha, kiranya sisa orang-orang Kang-sing-pang yang datang menghantar nyawanya!" bentak pimpinan barisan itu kepada pendatang baru. Akan tetapi pria berpedang itu tidak menjawab, melainkan memutar pedangnya dan segera dia dikeroyok oleh enam orang yang mengepungnya. Terdengar suara berdenting-denting dan nampak bunga api berpijar ketika pedangnya berkali-kali bertemu dengan golok para pengeroyoknya. Nampak oleh Kui Eng betapa para pemegang golok itu terkejut karena golok mereka terpental bertemu dengan pedang yang mengandung tenaga kuat.

Juga ia melihat betapa gerakan penolongnya itu cepat dan amat kuat, ilmu pedang yang amat lihai. Semakin kagumlah hatinya, karena orang ini bukan lain adalah Thio Ki! Kuli pelabuhan itu ternyata kini menjadi seorang ahli pedang yang hebat, sehingga biarpun dikeroyok oleh enam orang, segera dia mampu mendesak mereka! Kui Eng merasa terkejut, heran dan juga kagum, dan semua ini menambah besar semangatnya. Tongkat sederhana di tangannya berkelebatan dan terdengar teriakan kesakitan ketika ujung tongkatnya itu meremukkan tulang pundak kiri seorang pengeroyok! Akan tetapi pada saat itu, terdengar teriakan lain dan seorang di antara mereka yang mengeroyok Thio Ki juga terhuyung ke belakang dengan paha terluka lebar oleh ujung pedang pemuda itu!

Kui Eng menjadi semakin kagum. Kiranya pemuda ini lihai sekali, dan agaknya tidak mau kalah olehnya. Maka kegembiraannya bangkit, dan gadis ini setelah mengerling dan tersenyum ke arah Thio Ki, dan cepat menggerakkan tongkatnya. Di lain pihak, Thio Ki juga mempercepat gerakan pedangnya, dan kini keduanya seperti berlomba untuk bersicepat menjatuhkan lawan. Berturut-turut Kui Eng melukai dua orang, dan Thio Ki juga merobohkan dua orang. Melihat kehebatan pemuda yang baru datang ini, yang membuat keadaan menjadi berbalik dan amat berbahaya bagi mereka. Chap-sha Toa-to-tin segera mengeluarkan seruan keras dan mereka cepat menyambar teman-teman yang terluka, lalu melarikan diri dari tempat itu. Thio Ki hendak melakukan pengejaran, akan tetapi Kui Eng berseru.

"Toako, jangan kejar. Mari kita cepat lari! Mereka tentu akan mendatangkan pasukan lebih besar." Pemuda itu sadar dan kagum akan ketenangan Kui Eng yang dalam keadaan bagaimanapun memperlihatkan kecerdikan seorang pemimpin. Mereka lalu berloncatan pula meninggalkan tempat itu, dan tak lama kemudian mereka telah keluar dari kota dan berada di pantai laut yang sunyi. Keduanya melepas lelah dan duduk di atas pasir yang putih bersih, menghadap ke lautan yang tenang dan biru.

"Thio-Toako, engkau sungguh pandai menyembunyikan rahasia dirimu." Kui Eng berkata sambil memandang wajah pemuda itu yang kini nampak gagah. Thio Ki mengerutkan alisnya.

"Maaf, Lihiap..."

"Sudahlah, jangan membikin aku menjadi malu dengan sebutan Lihiap (pendekar wanita)."

"Akan tetapi, engkau memang seorang pendekar wanita..."

"Aihhh, Thio-Toako, melihat gerakan pedangmu tadi, aku tidak akan mampu menandingimu! Kalau engkau menyebut aku Lihiap, apakah aku harus menyebutmu Taihiap (pendekar besar)?"

"Lalu, aku harus menyebutmu apa?"

"Sebut saja namaku, dan karena engkau lebih tua, boleh menyebut moi-moi."

"Ah, mana aku berani?"

"Kenapa tidak, Toako? Aku menyebutmu Toako (kakak), apa salahnya engkau menyebut moi-moi (adik) kepadaku? Jangan engkau berpura-pura lagi. Engkau bukanlah kuli pelabuhan biasa, bukan pejuang biasa, dan tadi aku mendengar seorang di antara mereka menyebut nama Kang-sim-pang (Perkumpulan Hati Baja)." Thio Ki menarik napas panjang.

"Baiklah, Ciu-moi (adik Ciu) dan terima kasih atas kebaikanmu."

"Siapa yang patut berterima kasih? Engkau telah menolongku, Toako, bahkan mungkin engkau tadi telah menyelamatkan nyawaku. Akulah yang sepatutnya berterima kasih kepadamu."

"Sudahlah, Ciu-moi, di antara kita yang menjadi rekan seperjuangan, mana perlu berterima kasih? Sudah sepatutnya kalau kita saling membantu."

"Engkau benar, aku kagum sekali kepadamu, Toako. Selama ini engkau mampu menyembunyikan keadaan dirimu yang sebenarnya. Sebetulnya, siapakah engkau ini, dan apa hubunganmu dengan Kang-sim-pang?"

"Hubunganku dekat sekali dengan Kang-sim-pang, karena mendiang Ayah adalah ketua perkumpulan kami itu."

"Ahhh..."

"Engkau sudah tahu akan Kang-sim-pang, Ciu-moi?"
(Lanjut ke Jilid 37)
Pedang Naga Kemala (Seri ke 01 - Serial Pedang Naga Kemala)
Karya : Asmaraman S. (Kho Ping Hoo)

Jilid 37
"Tentu saja! Sebuah perkumpulan orang-orang gagah yang menentang pemerintah penjajah pula, dan yang dalam beberapa bulan ini diserbu dan dihancurkan oleh pasukan pemerintah di daerah timur Propinsi Ce-kiang, bukan?"

"Benar, dan Chap-sha Toa-to-tin itulah di antara mereka yang menyerbu. Seorang di antara anak buah kami telah dapat terbujuk oleh penjajah dan mengkhianati kami. Dalam penyerbuan itu, banyak saudara kami tewas termasuk Ayah dan ibu. Aku mampu lolos dan menjadi orang buruan, lalu aku lari ke sini dan bergabung dalam kelompok kuli pelabuhan." Kui Eng mengangguk-angguk dan memandang kagum.

"Kiranya engkau adalah putera Pang-cu dari Kang-sim-pang, dan engkau menyamar sebagai kuli pelabuhan, setiap hari bekerja kasar dan berat di pelabuhan sampai berbulan-bulan. Sungguh engkau hebat dan tahan uji, Toako." Thio Ki menarik napas panjang.

"Karena engkau yang menjadi pimpinan, maka aku menjadi betah menyamar sebagai kuli pelabuhan. Ah, sudahlah tidak ada gunanya bicara soal itu.

"Sekarang yang penting setelah tempat kita diketahui musuh, sebaiknya aku cepat memberi kabar kepada kawan-kawan agar jangan sekali-kali datang ke tempat itu. Kalau sampai diketahui bahwa teman-teman kita yang menjadi kuli pelabuhan adalah anggauta perjuangan, tentu akan celaka kita semua."

Kui Eng mengangguk, diam-diam merasa semakin menyesal. Karena ia telah jatuh cinta kepada Ci Kong, ia harus menolak cinta seorang pemuda yang demikian hebat seperti Thio Ki! Bukan seorang kuli pelabuhan biasa, bukan seorang pejuang biasa, melainkan seorang pendekar berilmu tinggi, putera ketua Kang-sim-pang yang terkenal. Mereka lalu berpisah, dan Kui Eng menyerahkan kepada Thio Ki untuk mencari tempat pertemuan baru bagi kawan-kawan mereka, bahkan menyerahkan kepemimpinan sementara kepada Thio Ki, karena ia akan pergi mencari Ci Kong! Akan tetapi kepada Thio Ki, untuk mencegah agar jangan sampai pemuda itu tersinggung, ia tidak menyebut-nyebut nama Ci Kong, melainkan mengatakan bahwa ia ingin mencari gurunya, yaitu Tee-tok. Berpisahlah kedua orang muda itu, meninggalkan kesan yang mendalam di hati Kui Eng.

"Sudah yakin benarkah engkau akan rencanamu ini, Diana? Bagaimana kalau sampai engkau gagal, dan terancam bahaya maut?" untuk terakhir kalinya, Kakek berpakaian pengemis itu berkata dengan sikap meragu. Semenjak mereka turun gunung menuju ke Kanton, Bu-beng San-kai atau San-tok, Kakek itu, berkali-kali membujuk Diana agar jangan melanjutkan niatnya, namun gadis itu tetap nekat.

"Aku sudah yakin benar, suhu." jawab Diana dengan suara tegas, seperti jawabannya pada setiap bujukan suhunya agar ia tidak melanjutkan rencananya itu.

"Dan andaikan ada bahaya mengancam, aku sekarang sudah dapat menjaga diri, bukan? Harap suhu tidak khawatir. Aku harus melakukan sesuatu untuk kawan-kawan tercinta, untuk perjuangan mereka yang mulia, dan untuk mencegah bangsaku menghalangi perjuangan itu, demi kebaikan bangsaku sendiri." Mereka kini telah tiba di luar kota Kanton. San-tok berkeras mengantar muridnya ke Kanton, karena bagaimanapun juga, hatinya tidak tega membiarkan murid yang dulu dibenci akan tetapi kini amat disayangnya itu pergi sendirian saja. Sebagai seorang gadis berkulit putih, tentu saja Diana akan menarik perhatian sepanjang jalan dan akan mengalami banyak sekali gangguan. Rakyat sudah mulai menaruh perasaan benci terhadap orang kulit putih dan tentu saja mereka tidak akan mau percaya kalau mendengar bahwa Diana adalah seorang gadis kulit putih yang berpihak kepada para pejuang.

Juga Diana, dengan kulitnya yang putih, rambutnya yang keemasan dan matanya yang biru, tidak mungkin menyamar, walaupun ia berpakaian seperti wanita biasa. Dan memang di sepanjang perjalanan menuju ke Kanton, disana menimbulkan banyak keheranan, dan banyak pula gangguan. Namun, dengan adanya San-tok, tak seorangpun berani mengganggunya sampai akhirnya pada sore hari itu, mereka tiba di luar tembok kota Kanton. Kepercayaan Diana kepada dirinya sendiri bukan tanpa alasan. Ia kini bukanlah Diana yang dulu. Ia bukan saja telah digembleng oleh San-tok dengan ilmu silat yang praktis, akan tetapi bahkan telah menerima pelajaran dan Hai-tok dan Tee-tok. Walaupun dari mereka itu hanya memperoleh beberapa jurus, namun merupakan jurus-jurus pilihan.

Diana kini bukanlah gadis yang lemah lagi. Rencananya timbul ketika ia mendengar tentang permusuhan yang semakin menjadi antara para pejuang dan pasukan kulit putih. Hal ini membuat ia prihatin sekali. Bangsanya datang sebagai pedagang, kenapa harus mencampuri urusan pribadi negara asing? Apa pula kalau rakyat asing di negeri itu memperjuangkan kebebasan mereka sendiri. Seharusnya orang kulit putih menjaga kebaikan hubungannya dengan rakyat, karena akhirnya dengan rakyatlah mereka akan berdagang. Maka ia lalu kemukakan pendapat dan rencananya kepada San-tok. Tentu saja Kakek ini merasa girang, hanya masih khawatir kalau-kalau murid yang disayangnya itu akan menderita celaka. Dia sendiri maklum bahwa tentu perjuangan akan lebih lancar dan berhasil kalau tidak ada orang kulit putih yang menjadi penghalang besar.

"Diana, sekali lagi kuperingatkan kepadamu bahwa rencanamu ini amat berbahaya bagi dirimu sendiri. Kalau engkau gagal, engkau mungkin akan dianggap pengkhianat oleh bangsamu, ditangkap dan dihukum sebagai seorang pengkhianat yang rendah. Ah, alangkah sedihnya hatiku kalau begitu, dan aku tidak akan berdaya untuk dapat menolongmu, muridku." Diana yang biasanya bersikap lugu dan tidak pernah mempergunakan peraturan-peraturan terhadap gurunya, sekali ini tiba-tiba menjatuhkan diri berlutut di depan kaki gurunya. Hatinya terharu sekali, karena baru sekarang ia merasa benar bahwa gurunya amat menyayanginya.

"Suhu, aku dapat membela diri, akan tetapi andaikata sampai aku gagal, dihukum atau dibunuh sekalipun, anggap saja bahwa aku gugur dalam membela perjuangan suhu dan kawan-kawan. Aku percaya bahwa pamanku Kapten Charles Elliot akan dapat mempertimbangkan semua pendapatku demi kebaikan bangsa kami sendiri." San-tok tersenyum, lalu menggunakan tangan kanannya menyentuh kepala yang rambutnya seperti benang emas itu.

"Baiklah, muridku. Aku percaya akan kesanggupanmu. Nah, sebelum gelap, engkau masuklah ke dalam kota. Aku hanya mengharapkan agar engkau dapat berhasil." Diana bangkit dan sejenak memegang tangan gurunya.

"Suhu, kalau sampai aku gagal, tolong sampaikan ucapan selamat tinggalku kepada Tan Ci Kong." Gurunya mengangguk, maklum akan isi hati muridnya.

"Hemm... kau mencinta Ci Kong?" Soal cinta merupakan hal yang tidak memalukan untuk dibicarakan bagi Diana. Ia menjawab lirih.

"Pernah aku mencinta seorang pria bangsaku, suhu, dan semenjak itu, semenjak kami dipisahkan, aku tidak pernah mencinta pria lain. Akan tetapi Ci Kong, ah... aku berhutang budi dan nyawa kepadanya. Aku suka padanya dan mungkin saja aku jatuh cinta padanya. Tapi dia... dia adalah satu-satunya pria yang dicinta oleh Lian Hong!

"Suhu harus menjodohkan Lian Hong dengan Ci Kong. Sudahlah, suhu, aku menghaturkan banyak terima kasih atas segala kebaikan suhu yang telah dilimpahkan kepadaku. Selamat tinggal, suhu."

"Pergilah, muridku," kata San-tok. Gadis itu lalu membalikkan tubuhnya, dan dengan langkah lebar menuju ke pintu gerbang kota Kanton. Sejak masuknya Diana ke dalam pintu gerbang, banyak menarik perhatian orang. Para penjaga sendiri memandang dengan mata terbelalak, akan tetapi karena gadis yang mengenakan pakaian petani dusun itu adalah seorang gadis kulit putih yang berambut kuning emas dan bermata biru, mereka tidak berani menegur. Ketika Diana menuju ke gedung tempat tinggal pamannya, setibanya di sebuah tikungan, tiba-tiba ada yang memanggil namanya dengan teriakan nyaring, dan iapun cepat menoleh ke kiri.

"Diana! Benar engkaukah ini? Ah, seperti dalam mimpi saja rasanya!" Diana memandang pria yang berpakaian kapten itu, pria yang gagah dan tampan sekali, yang amat dikenalnya karena pria itu adalah Peter Dull. Diana sudah lama sekali tidak pernah bicara dalam bahasanya sendiri, maka biarpun ia masih dapat mendengar dengan jelas dan mengerti semua kata-kata Peter Dull, ia sendiri merasa kaku untuk menjawab. Dengan hati-hati dan kaku, iapun menjawab.

"Benar, aku adalah Diana Mitchell. Dan engkau adalah Tuan Peter Dull, bukan?" Peter membelalakkan matanya, mengamati Diana dan kepala sampai ke kaki, mulutnya mengarahkan senyum karena merasa lucu sekali. Diana dalam pakaian petani dusun, dengan sepatu kain butut, dan bicaranya itu! Seperti baru belajar bahasa Inggeris saja! Akhirnya, meledaklah ketawanya.

"Ha-ha-ha, sungguh ajaib! Lucu dan aneh sekali! Satu tahun lebih engkau menghilang dan kini muncul seperti ini. Lucu! Akan tetapi harus ku akui bahwa engkau menjadi semakin sehat, cantik dan segar saja, Diana!" Dengan kaku dan dingin, Diana mengangguk.

"Terima kasih dan selamat tinggal, Tuan Peter, aku harus segera menemui paman Charles Elliot."

"Diana, berhenti dulu!" Peter Dull berseru.

"Pamanmu tidak berada di Kanton lagi. Sudah lama dia pindah tugas ke Shang-hai." Diana menahan langkahnya.

"Apa? Bukankah selama itu dia menjadi kepala perwakilan English East Indian Company di sini? Mengapa pindah dan sejak kapan?" Peter tersenyum.

"Mari kita bicara di dalam benteng, Diana. Banyak hal penting terjadi yang perlu kau ketahui. Kalau perlu, aku akan mengantarmu ke Shang-hai dengan kapal. Mari, dan jangan sebut aku Tuan. Bukankah sejak dulu kita ini bersahabat? Dan aku kuharap engkau suka memaafkan segala peristiwa yang lalu, Diana." Diana memandang tajam. Benarkah Peter Duli ini telah berubah, menyesali perbuatannya yang dahulu? Ia mempunyai urusan penting, tidak seharusnya melibatkan diri dalam urusan dendam yang hanya akan menjadi penghalang rencananya. Ia harus berbaik dengan pamannya dan dengan semua pejabat pasukan bangsanya.

"Baiklah, Peter. Sudah kulupakan semua yang terjadi di masa lalu."

"Bgus! Selamat datang, Diana... dan mari kita masuk ke benteng," kata Peter mengulurkan tangan yang disambut oleh Diana. Mereka lalu melangkah menuju ke benteng di dekat pantai. Hari telah gelap ketika mereka memasuki perbentengan dan lampu-lampu telah dinyalakan. Para perajurit yang bertugas jaga, terbelalak heran ketika melihat komandan mereka masuk bersama seorang gadis kulit putih yang pakaiannya aneh. Apa lagi ketika mereka mengenal bahwa gadis itu adalah Diana Mitchell, gadis yang sempat menggemparkan seluruh perajurit di Kanton itu dengan petualangannya. Mata para perajurit memandang terbelalak sampai Peter dan Diana memasuki ruangan besar di dalam.

"Uiii... akhinya ia jatuh ke tangan Kapten Peter juga, ha-ha!" kata seorang perajurit tua yang brewok. Kini para perajurit yang baru, yang belum mengenal Diana, bertanya-tanya kepada para perajurit tua, dan ramailah keadaan di bagian luar itu karena mereka yang tahu akan persoalannya lalu bercerita kepada mereka yang tidak tahu. Seorang sersan muda yang agaknya juga belum mengenal Diana, bertanya kepada perajurit brewok.

"Siapa sih perempuan itu dan apa maksudmu ia jatuh ke tangan Kapten Peter." Perajurit brewok tertawa lagi.

"Aha, engkau belum tahu, Sersan. Sejak dulu, Kapten Peter tergila-gila kepada Diana Mitchell, gadis cantik itu, keponakan Kapten Charles Elliot. Kabarnya mereka cekcok dan gadis itu melarikan diri. Berbulan-bulan lamanya Kapten Peter mengerahkan pasukan untuk mencari dan membawanya kembali, namun tanpa hasil.

Pedang Naga Kemala Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo



"Ia mulai dilupakan karena sudah menghilang selama satu tahun lebih, disangka sudah mati. Bahkan gadis itu dikabarkan bersekutu dengan para pemberontak! Akan tetapi siapa bahwa hari ini sang domba dengan jinaknya datang kembali sendiri ke kandang, siap untuk diterkam sang harimau yang sudah lama kelaparan, ha-ha-ha!" Sersan itu ikut tertawa, demikian pula para perajurit lainnya.

"Aih, ingin sekali aku dapat mendengar apa yang mereka bicarakan dan apa yang terjadi di dalam."

"Ha-ha, siapa berani melakukan itu? Kalau ketahuan, tentu akan dihukum cambuk oleh Kapten Peter sampai seluruh kulit di punggung cabik-cabik." Beberapa lamanya mereka bercakap-cakap dan bergurau tentang kembalinya Diana, akan tetapi setelah hal itu tidak menarik lagi, keadaan kembali menjadi sunyi dan yang berada di depan hanyalah mereka yang bertugas jaga. Sementara itu, dengan sikap gembira dan ramah, Peter mengajak Diana duduk di ruangan dalam yang luas dan bersih, dan di situ tidak nampak adanya seorangpun perajurit.

"Silahkan duduk, Diana. Biar aku mengambilkan pakaian untukmu. kau dapat berganti pakaian di kamar ini."

"Terima kasih, Peter. Tidak usah, aku tidak perlu berganti pakaian. Pakaianku ini masih bersih."

"Tapi kau , ah... mana engkau pantas memakai pakaian seperti itu? Aku mempunyai gaun yang masih baru dan..."

"Terima kasih, tidak usah repot-repot. Sudah setahun lebih setiap hari aku memakai pakaian seperti ini dan sudah terbiasa dan enak dipakai. Aku datang untuk bicara, Peter."

"Okey, sesukamulah. Mau minum apa?" Dia menuju ke bar dimana tersedia bermacam minuman.

"Jangan minuman keras untukku, cukup air jeruk atau air buah lainnya kalau ada, atau air teh." Peter menahan senyumnya. Sungguh berubah sekali gadis ini akan tetapi harus diakuinya bahwa Diana semakin cantik, semakin matang dan tubuhnya kini menggairahkan. Dia menuangkan air jeruk ke dalam gelas, dan bir untuk dirinya sendiri, lalu menghampiri Diana, menyerahkan gelas terisi air jeruk. Diana menerima dan meminumnya sedikit, lalu meletakkan gelas itu di atas meja.

"Nah, sekarang ceritakanlah tentang pamanku."

"Pamanmu telah dipindahkan ke Shang-hai tiga bulan yang lalu. Di sana direncanakan untuk dibangun benteng yang lebih kuat dan pada di sini, dan karena hubungan dengan Kota Raja lebih dekat, maka pamanmu ditugaskan di sana.

"Jangan khawatir, besok akan ku atur agar engkau dapat berlayar ke Shang-hai, dan kalau perlu aku sendiri yang akan menemanimu ke sana. Akan tetapi, selama ini engkau kemana sajakah, Diana? Pamanmu dan seluruh keluarganya merasa cemas bukan main. Mengapa engkau tidak mau kembali ke sini dan apa saja yang telah kau alami selama ini?"

Diana merasa tidak puas mendengar berita yang demikian singkat tentang pamannya, dan iapun diam-diam bersikap waspada dan tidak percaya kepada Peter Dull ini. Maka, ketika tadi ia menerima segelas air jeruk, minuman itu hanya dicicipinya sedikit, dan ia yang kini memiliki perasaan yang peka, dapat merasakan kelainan pada minuman itu. Ia curiga bahwa minuman itu dicampuri obat, pembius atau obat tidur, maka ia tidak berani minum banyak sebelum yakin benar bahwa minuman itu bersih. Betapapun juga, ia merencanakan hubungan baik antara pasukan kulit putih dan para pejuang, maka ia tidak seharusnya memulai dengan sikap permusuhan dengan Peter yang merupakan orang penting pula dalam pasukan kulit putih.

"Engkau tahu bahwa aku suka menyelidiki benda-benda kuno dan tradisi-tradisi yang bersangkutan dengan sejarah. Di dusun-dusun dan gunung-gunung, aku menemukan banyak hal yang menarik, sehingga aku betah tinggal di sana."

"Hemmm..." Peter Dull tersenyum sinis penuh ejekan.

"Apakah bukan karena engkau tertarik kepada mereka, bersekutu dan bergaul dengan segala macam bandit, pencuri, perampok, bajak, pembunuh dan pengacau-pengacau hina itu. Aku banyak mendengar tentang petualanganmu, Diana." Kedua telinga Diana menjadi merah, akan tetapi ia menahan kesabarannya.

"Para penyelidikmu bodoh-bodoh dan keliru mengambil kesimpulan, Peter. Mereka itu, sahabat-sahabatku itu, sama sekali bukan penjahat. Mereka adalah pendekar-pendekar tulen, satria-satria sejati dan patriot-patriot yang perkasa!

"Justeru untuk menjelaskan semua itulah, maka aku pulang, Peter. Dan engkaupun perlu mendengar agar terbuka matamu dan sadar bahwa selama ini, sikap yang diambil oleh pasukan kita adalah keliru sama sekali." Peter Dull memandang dengan alis berkerut sinar mata penuh selidik.

"Apa maksudmu?"

"Mereka itu adalah pejuang-pejuang yang menentang penjajah Mancu, yang berjuang untuk membebaskan tanah air mereka dari cengkeraman penjajah Mancu. Bangsa kita datang ke negeri ini untuk berdagang, bukan?

"Nah, mengapa mencampuri urusan perjuangan, bahkan membantu pemerintah penjajah dan menentang perjuangan para pendekar yang hendak membebaskan bangsa dan tanah airnya dari cengkeraman penjajah? Sikap ini membuat rakyat menjadi benci dan timbul anti kulit putih, dan hal itu kurasa amat merugikan bangsa kita sendiri."

"Wah-wah, agaknya engkau kini menjadi pembela para pemberontak itu, Diana!"

"Pembela yang benar, Peter. Dan itu adalah tugas setiap orang manusia, bukan? Aku pulang ini untuk membuka mata kalian. Hentikan permusuhan terhadap para pejuang, bahkan kalau mungkin, bantulah perjuangan mereka. Kalau perjuangan mereka berhasil, tentu hubungan perdagangan antara kita dan rakyat akan menjadi semakin akrab dan menguntungkan."

"Jadi engkau pulang untuk membujuk pamanmu agar bersekongkol dengan pemberontak dan memusuhi pemerintah yang syah?"

"Engkau memandang persoalannya dari sudut yang lain, demi keuntungan pemerintah penjajah! Memang pemerintah yang syah, akan tetapi benarkah itu kalau orang Mancu memegang pemerintahan di negeri ini? Rakyat yang berjuang untuk membebaskan tanah airnya dari cengkeraman penjajah bukanlah pemberontak jahat!"

"Ah, sudahlah, Diana. Bukan tugas kita untuk bicara tentang politik, ada jenderal-jenderal yang pekerjaannya mengurus hal-hal demikian. Mari, minumlah air jeruk itu, kemudian beristirahatlah. Oya, engkau tentu belum makan malam, bukan? Biar kusuruh sediakan makan malam untuk kita." Peter mengalihkan percakapan. Diana merasa penasaran, akan tetapi diam-diam otaknya bekerja. Ia harus yakin benar bagaimana sebenarnya sikap Peter terhadap dirinya. Ia harus yakin tentang minuman ini, tentang segalanya.



Kisah Si Pedang Kilat Eps 24 Rajawali Hitam Eps 5 Kemelut Kerajaan Mancu Eps 9

Cari Blog Ini