Kemelut Kerajaan Mancu 9
Kemelut Kerajaan Mancu Karya Kho Ping Hoo Bagian 9
Han Bu ikut merasa sedih dan terharu.
"Kasihan sekali, tidak teecu sangka nasib Subo dahulu demikian buruknya. Subo menjadi sebatang kara...."
Im-yang Sian-kouw sudah dapat menguasai perasaannya dan ia berkata.
"Han Bu, kukira nasibmu juga tidak lebih baik, engkau juga kehilangan ayah ibu dan menjadi sebatang kara. Sekarang dengarkan ceritaku lebih lanjut. Ketika aku terseret air Sungai Kuning yang sedang banjir, dalam keadaan tidak sadar aku diselamatkan oleh mendiang Suhu Bu Beng Kiam-sian dan sejak itu aku menjadi muridnya. Seminggu kemudian setelah aku sadar dan menceritakan nasibku kepada Suhu, Suhu pergi mencari anakku dan ayahku, akan tetapi hasilnya sia-sia. Tentu ayahku dan anakku sudah terseret air banjir itu dan... dan mungkin mereka telah tewas...."
"Subo, apa yang dapat teecu lakukan untuk Subo? Perintahkan, Subo, sekarang juga akan teecu taati dan laksanakan!"
"Kalau engkau sudah turun gunung dan terjun ke dunia ramai sebagai seorang pendekar, tolonglah aku, coba engkau cari keterangan dan cari ayahku dan kalau mungkin anakku."
"Siapakah nama mereka, Subo?"
"Ayahku bernama Cui Sam, kalau masih hidup usianya sekarang tentu sudah enam puluh enam atau enam puluh tujuh tahun. Dia berasal dari dusun Kia-jung di sebelah selatan Thian-cin. Carilah keterangan di sana."
"Baik, Subo. Dan puteri Subo itu, siapa namanya dan berapa usianya sekarang?"
"Sekarang tentu berusia sekitar dua puluh tahun. Adapun namanya, ahhh... ketika itu aku berada dalam keadaan sedih dan bingung setelah diusir dari gedung Pangeran Ciu sehingga aku belum sempat memberi nama kepada anakku...."
Melihat subonya sedih lagi, Han Bu cepat berkata.
"Jangan khawatir, Subo! Teecu akan menyelidiki tentang seorang gadis berusia sekitar dua puluh tahun yang ketika bayi tercebur ke air Sungai Kuning dan terseret arus air! Juga teecu akan mudah mengenalnya kalau dapat bertemu dengannya, karena ia pasti cantik jelita dan wajahnya seperti wajah Subo!" Han Bu berhenti sebentar, memandang wajah gurunya lalu berkata lagi.
"Dan teecu akan mengunjungi Pangeran Ciu Wan Kong itu!"
Mendengar suara yang bernada mengancam dari muridnya, Im-yang Sian-kouw berkata.
"Han Bu, ingat ini! Engkau boleh menyelidiki dan melihat keadaan Pangeran Ciu Wan Kong sekarang. Usianya tentu sekitar lima puluh tahun lebih. Akan tetapi sekali lagi kuingatkan, dia sama sekali tidak membenciku, tidak bersalah, maka jangan sekali-kali engkau mengganggunya! Lihat keadaannya agar kelak engkau dapat menceritakan kepadaku."
"Subo," kata Han Bu terharu.
"Dia sudah menyia-nyiakan Subo, akan tetapi Subo masih penuh perhatian kepadanya. Sungguh berbahagia sekali pangeran itu yang menerima cinta kasih demikian murni dan besar seperti cinta kasih Subo kepadanya."
Im-yang Sian-kouw menghela napas panjang.
"Aku yakin dia pun amat menderita, kehilangan isteri dan anaknya, Han Bu. Karena itu, jadikanlah pengalaman gurumu ini sebagai pelajaran. Jangan engkau mudah terperangkap dalam cinta, harus kauselidiki dengan teliti lebih dulu apakah keadaan orang yang kaucinta itu sesuai denganmu dan sudah tepat benar untuk menjadi jodohmu. Cinta dapat membuat orang hidup bahagia, akan tetapi juga dapat membuat orang menderita. Nah, sekarang berkemaslah, Han Bu. Ini peninggalan Suhu Bu Beng Kiam-sian, kuberikan kepadamu untuk bekalmu dalam perjalanan." Im-yang Sian-kouw mengambil sebatang pedang dan sekantung uang emas yang sudah ia persiapkan sebelumnya.
"Pedang Im-yang-kiam, Subo?"
"Benar, pedang pusaka ini dahulu ikut mengangkat nama besar Kakek Gurumu di dunia kang-ouw. Karena itu, engkau harus mempergunakan untuk membela kebenaran dan keadilan sehingga berarti engkau menjunjung tinggi dan mempertahankan nama besar dan kehormatan Kakek Gurumu."
Han Bu menerima pedang dan sekantung uang emas itu, lalu masuk pondok membuat persiapan dan berkemas. Dia membungkus pakaian dan sekantung uang itu dengan sehelai kain kuning yang lebar, kemudian menggendong buntalan itu di punggungnya. Pedang Im-yang-kiam itu dia gantungkan di pinggangnya. Setelah keluar dia lalu menjatuhkan diri berlutut di depan bangku batu yang diduduki gurunya.
"Subo, teecu pamit, mohon bekal dan doa restu dari Subo."
"Baiklah, Han Bu. Akan tetapi ada sebuah hal lagi yang perlu kita bicarakan sebelum engkau berangkat. Ingat, jangan sekali-kali engkau melibatkan diri dalam urusan negara dalam perang. Orang tuamu tewas sebagai korban perang, maka tidak semestinya engkau memusuhi Jenderal Wu Sam Kwi. Juga tidak perlu engkau memusuhi Pemerintah Penjajah Mancu. Jangan pula terlibat dan membantu para pemberontak. Pendeknya, jangan libatkan dirimu dalam pertikaian perebutan kekuasaan. Engkau harus selalu berpegang kepada kebenaran. Siapa pun dia, baik dari pihak Wu Sam Kwi, dari pihak Pemerintah Mancu, atau pihak pemberontak, kalau dia melakukan kejahatan terhadap rakyat, harus kautentang! Akan tetapi siapa pun dia dari pihak mana pun, yang bertindak dan diperlakukan tidak adil, patut kaubela. Mengertikah engkau, Han Bu?"
"Teecu mengerti, Subo. Sekarang teecu hendak berangkat. Selamat tinggal, Subo. Harap Subo menjaga diri baik-baik."
"Selamat jalan, Han Bu dan jaga dirimu baik-baik."
Han Bu memberi hormat sambil berlutut, lalu bangkit berdiri dan hendak pergi. Pada saat itu, nenek pelayan mereka muncul.
"Nak Han Bu, berhati-hatilah menjaga dirimu!" kata nenek itu, suaranya mengandung isak tertahan. Maklum, nenek inilah yang selalu bersama Han Bu sejak pemuda itu berada di situ selama hampir dua belas tahun yang lalu.
"Selamat tinggal, Bibi Cong!" kata Han Bu, lalu pemuda itu berlari cepat turun Puncak Bukit Kera. Bayangannya diikuti pandang mata dua orang wanita itu sampai lenyap.
***
Ciu Thian Hwa memenuhi panggilan Kaisar Shun Chi melalui ayahnya yang hari itu menghadap Sribaginda Kaisar. Ia diminta datang seorang diri, akan tetapi Kaisar memesan agar ia memasuki istana dengan diam-diam agar tidak diketahui siapa pun.
Huang-ho Sian-li Ciu Thian Hwa menggunakan ilmunya, bergerak di malam hari itu, hanya bayangannya yang berkelebatan sehingga tidak ada yang dapat melihatnya ketika ia akhirnya memasuki ruangan di mana Kaisar Shun Chi sudah menunggu seorang diri. Begitu Thian Hwa muncul, Kaisar Shun Chi memberi isyarat agar gadis itu mengikutinya dan melalui sebuah pintu rahasia, Kaisar Shun Chi mengajak Thian Hwa memasuki sebuah ruangan rahasia.
Begitu berada dalam ruangan itu, Thian Hwa segera menjatuhkan diri berlutut di depan Sribaginda Kaisar. Akan tetapi Kaisar Shun Chi segera memegang kedua pundaknya dan menyuruhnya bangkit dan duduk di atas kursi, berhadapan dengan kaisar itu.
"Thian Hwa, engkau sengaja kami panggil untuk datang seorang diri, karena kami menemui kesulitan untuk melaksanakan rencana kami semula. Berita bahwa kami telah meninggal dunia memang tidak sukar dilakukan, akan tetapi yang amat sukar adalah lolosnya kami dari istana. Kiranya amat sukar keluar dari istana tanpa diketahui orang, apalagi kami mendapat tanda-tanda bahwa kepala Thaikam agaknya patut dicurigai."
Thian Hwa terkejut.
"Paduka maksudkan, Thaikam Boan Kit?"
Kaisar mengangguk, lalu menghela napas panjang.
"Aih, melihat ulah manusia-manusia yang lemah sehingga mereka menghalalkan segala cara sesat untuk mencapai tujuan yang mereka inginkan, sungguh menyedihkan sekali. Pantaslah banyak orang meniru sikap Sang Buddha yang meninggalkan semua kemewahan dan kesenangan duniawi yang amat mempengaruhi jiwa menimbulkan kejahatan dan penderitaan, pergi mengasingkan diri dari keramaian. Agaknya Boan Thaikam telah dipengaruhi oleh mereka yang memperebutkan tahta kerajaan. Gerak-geriknya mencurigakan sekali. Karena itulah, aku sengaja memanggilmu secara diam-diam untuk menjaga keamananku sebelum aku berhasil keluar dari istana tanpa diketahui orang lain, Thian Hwa."
"Baik, Paman Kaisar! Hamba siap melakukan tugas karena pada saat ini, penjagaan keselamatan Pangeran Mahkota cukup kuat. Selain ada dua orang murid Siauw-lim-pai yang membantu Paman Pangeran Bouw Hun Ki, juga pasukan pengawal penjaga keamanan kini telah diperkuat."
"Bagus kalau begitu, akan tetapi aku tidak ingin mereka yang berhati khianat mengetahui bahwa engkau melakukan penjagaan di dalam istana, maka sebaiknya engkau menyamar sebagai seorang prajurit pengawal pribadi."
Demikianlah, Thian Hwa lalu menyamar sebagai seorang prajurit pengawal muda, dibantu oleh seorang pelayan pribadi Kaisar yang telah diyakini kesetiaannya. Thian Hwa sebagai seorang pengawal pribadi tidak pernah jauh dari Sribaginda Kaisar dan selalu waspada menjaga keselamatannya.
***
Tiga hari kemudian. Malam itu hawanya dingin sekali menembus sampai ke dalam istana sehingga para penghuni istana sudah memasuki kamar masing-masing mencari kehangatan. Sribaginda Kaisar Shun Chi juga sudah memasuki kamar dan duduk bersamadhi seperti yang biasa dia lakukan setiap hari. Suasananya amat sunyi di dalam istana.
Ketika Thaikam Boan Kit yang menjadi kepala para Thaikam bersama dua orang Thaikam lain berjalan melakukan perondaan di bagian dalam istana, para pengawal yang bertugas di dalam istana tidak menaruh curiga. Memang sudah menjadi kewajiban dan kebiasaan kepala Thaikam itu untuk mengadakan perondaan seperti itu.
Ketika Boan Thaikam berjalan menuju ke kamar Kaisar, lima orang prajurit pengawal yang menjaga di luar kamar segera bangkit dari duduknya dan berdiri tegak, berjajar lalu memberi hormat kepadanya. Boan Thaikam dan dua orang temannya menghampiri mereka.
"Bagaimana keadaan malam ini?" tanya Boan Thaikam sambil mendekat.
"Baik-baik dan aman, Thaijin!" lapor seorang di antara lima pengawal itu.
Tiba-tiba sekali, Boan Thaikam dan dua orang pembantunya bergerak cepat bukan main dan lima orang prajurit pengawal itu roboh tanpa dapat mengeluarkan suara. Mereka telah tertotok dan pingsan. Boan Thaikam dan dua orang pembantunya cepat menyeret mereka ke sebuah taman kecil dekat situ dan menyembunyikan tubuh mereka di balik semak-semak bunga. Sebelum meninggalkan kelima orang itu, Boan Thaikam dan dua orang temannya menggunakan pedang membunuh mereka. Setelah itu, mereka menghampiri kamar Kaisar dan hampir tanpa mengeluarkan suara, Boan Thaikam menggunakan tenaganya untuk membuka daun pintu kamar.
Kamar itu hanya remang-remang karena di meja hanya bernyala sebuah lilin kecil yang ditutup warna kebiruan. Akan tetapi mereka dapat melihat dengan jelas Kaisar yang duduk bersila di atas pembaringan, tertutup tirai kelambu tipis dan tembus pandang. Boan Thaikam menutupkan kembali daun pintu kamar itu dengan rapat lalu memberi isyarat kepada dua orang pembantunya untuk berdiri menjaga di sebuah pintu tertutup yang menembus ke kamar itu. Tanpa mengeluarkan suara, dengan gerakan kaki ringan, dua orang yang berpakaian sebagai Thaikam itu lalu melangkah dan berdiri di dekat pintu yang menembus ke kamar atau ruangan lain.
Tiba-tiba daun pintu tembusan itu terbuka dan sebelum dua orang Thaikam itu sempat berbuat sesuatu, ada empat sinar kecil putih menyambar ke arah mereka. Dua orang itu roboh dan tak mampu bangun lagi karena tepat di dahi mereka masing-masing telah menancap dua batang Pek-hwa-ciam (Jarum Bunga Putih) yang membuat mereka tewas seketika.
Pada saat itu, Boan Thaikam sedang menghampiri pembaringan Kaisar dan mengangkat pedangnya membacok tubuh Kaisar yang duduk bersila.
Sesosok bayangan berkelebat cepat sekali dan sebatang pedang menangkis pedang yang oleh Boan Thaikam dibacokkan ke arah tubuh Kaisar di balik kelambu.
"Singg... tranggg...!"
Boan Thaikam terkejut bukan main dan cepat dia melompat ke belakang karena tangannya tergetar hebat ketika pedangnya tertangkis tadi. Dia melihat seorang prajurit pengawal muda bertubuh ramping dan berwajah tampan berdiri di depannya, memegang sebatang pedang. Ketika dia melihat dua orangnya menggeletak tak bergerak, dia menjadi semakin panik. Akan tetapi Thian Hwa yang menyamar sebagai prajurit pengawal itu tidak memberi kesempatan kepadanya untuk melarikan diri karena ia sudah menerjang dengan lompatan kilat. Boan Thaikam terpaksa melawan dan mereka pun bertanding dengan seru dan mati-matian di kamar Kaisar itu.
Kaisar Shun Chi sadar dari samadhinya dan dia menonton perkelahian itu. Dia tidak heran melihat Boan Thaikam bertanding melawan Thian Hwa. Tentu Thaikam khianat itu tadinya hendak membunuhnya dan Thian Hwa menghalanginya. Dia tetap duduk di atas pembaringan dan menonton perkelahian itu. Jantungnya berdebar tegang, khawatir kalau Thian Hwa kalah. Dia tidak khawatir dirinya dapat terbunuh, melainkan mengkhawatirkan keselamatan keponakannya itu. Akan tetapi kekhawatirannya lenyap ketika dia melihat dua orang Thaikam telah menggeletak di dekat pintu tembusan dan dalam perkelahian itu dia melihat dengan jelas betapa Thian Hwa mendesak lawannya.
Boan Thaikam yang berusia sekitar lima puluh tahun itu ternyata lihai juga. Ilmu pedangnya cukup hebat sehingga dia mampu mempertahankan diri membuat perlawanan sengit kepada Thian Hwa. Akan tetapi setelah Thian Hwa mengubah ilmu pedang Kwan-im Kiam-hoat menjadi Huang-ho Kiam-hoat yang istimewa, pedangnya berubah menjadi sinar yang bergulung-gulung bagaikan ombak Sungai Huang-ho, Boan Thaikam menjadi terdesak hebat. Hal ini disebabkan pula karena Boan Thaikam telah menjadi gentar dan panik.
"Hyaattt...!" Thian Hwa menyerang dahsyat, pedangnya berputar dan menyambar-nyambar ke arah kepala dan leher lawan. Boan Thaikam yang tidak mampu balas menyerang, hanya menangkis dan mengelak saja. Serangan hebat itu membuat dia menjadi terhuyung ke belakang dan tiba-tiba kaki kiri Thian Hwa mencuat dan menendang perutnya.
"Bukkk...!" Tubuh Boan Thaikam terlempar dan terjengkang.
"Tangkap dia!" terdengar Kaisar Shun Chi berkata kepada Thian Hwa. Gadis itu melompat ke depan hendak menangkap Boan Thaikam, akan tetapi Thaikam yang maklum bahwa dia tidak mungkin dapat meloloskan diri lagi, tiba-tiba menggorok leher sendiri dengan pedangnya dan tewas seketika!
Melihat ini, Thian Hwa berdiri bengong dan Kaisar Shun Chi turun dari pembaringannya. Peristiwa itu terjadi dalam kamarnya, tidak terdengar orang lain karena pintu kamar tertutup rapat dan perkelahian tadi sama sekali tidak menimbulkan suara gaduh.
Thian Hwa menyalakan dua batang lilin lain sehingga kamar itu menjadi terang. Ia memandang ke arah mayat Boan Thaikam penuh kebencian.
"Paduka benar, Pamanda Kaisar. Pengkhianat jahanam ini benar-benar hendak berbuat jahat dan keji terhadap Paduka. Biar hamba memanggil kepala pengawal agar semua orang mengetahui akan pengkhianatan ini!"
"Jangan...!"
Thian Hwa memandang kaisar itu dengan heran.
"Dengarkan, Thian Hwa, ini kesempatan baik bagiku! Lihat, bentuk tubuhnya hampir sama dengan aku. Kalau kita memakaikan pakaianku lalu mengabarkan bahwa aku telah terbunuh, maka mudah bagiku untuk meloloskan diri."
Kaisar menjelaskan rencananya dan Thian Hwa tidak berani membantah. Kaisar itu lalu memanggil lima orang pelayannya yang paling setia dan dipercaya, kemudian dibantu Thian Hwa, mereka semua bekerja dengan cepat.
Menjelang pagi, selagi semua orang dalam istana masih tidur dengan pulas karena hawa udara amat dinginnya, tiba-tiba terdengar jerit tangis disusul teriakan-teriakan nyaring.
"Pembunuhan! Pembunuhan! Sribaginda Kaisar dibunuh orang!"
Gegerlah seluruh istana. Mula-mula para prajurit pengawal istana berlarian datang, lalu keluarga istana dan akhirnya seluruh penghuni istana terbangun dan bergerombol di luar kamar tidur Kaisar. Hanya orang-orang penting saja boleh masuk kamar, di antaranya selain keluarga istana juga komandan pengawal dan mereka yang berkedudukan tinggi di istana.
Mereka semua melihat jenazah kaisar di atas pembaringan. Jenazah itu amat mengerikan karena mukanya penuh luka bacokan sehingga tidak dapat dikenali lagi. Pakaiannya penuh darah dan lehernya juga hampir putus! Selain jenazah Kaisar Shun Chi, mereka juga melihat mayat dua orang Thaikam dalam kamar itu. Karena hanya Thian Hwa yang menjadi saksi peristiwa itu dan dapat menceritakan, maka ia lalu dituntut oleh semua pejabat dan keluarga Kaisar untuk menceritakan apa yang telah terjadi malam itu. Sebuah persidangan, dihadiri oleh para pangeran dan pejabat tinggi. Tentu saja hadir pula pangeran-pangeran adik Kaisar dan para putera Kaisar.
***
Di ruangan persidangan itu sudah berkumpul mereka yang berhak menghadiri persidangan. Para pejabat tinggi termasuk para panglimanya. Para pangeran adik Kaisar, di antaranya Pangeran Ciu Wan Kong, Pangeran Bouw Hun Ki dan beberapa orang pangeran lagi yang hanya merupakan saudara misan. Kemudian para pangeran putera Kaisar, antara lain yang terpenting adalah Pangeran Leng Kok Cun dan Pangeran Cu Kiong. Adapun Pangeran Kang Shi ditahan oleh pamannya, Pangeran Bouw Hun Ki, karena dianggap belum dewasa untuk membicarakan persoalan yang merupakan malapetaka itu, dan agar anak itu tidak menjadi kaget mendengar cerita kematian ayahnya yang mengerikan.
Ruangan persidangan yang biasa dipergunakan oleh Kaisar untuk bersidang dengan para pejabat tinggi itu luas dan semua yang hadir, lebih dari seratus orang banyaknya, telah duduk di kursi masing-masing. Yang memimpin persidangan itu adalah Pangeran Bouw Hun Ki. Dalam hal memilih pimpinan persidangan ini pun terjadi kekacauan karena Pangeran Leng Kok Cun tadinya berkeras mengatakan bahwa dia yang paling berhak memimpin persidangan karena dialah putera Kaisar yang tertua. Akan tetapi banyak suara memilih Pangeran Bouw Hun Ki dengan alasan bahwa selain Pangeran Bouw Hun Ki merupakan adik Kaisar yang tertua, juga dia menjadi pelindung Pangeran Mahkota dan mewakili Pangeran Kang Shi. Akhirnya Pangeran Leng kalah suara dan Pangeran Bouw Hun Ki memimpin persidangan itu.
Setelah semua orang duduk dan suasana tertib dan diam, Thian Hwa diberi kesempatan untuk menceritakan apa yang telah terjadi semalam.
Thian Hwa lalu bercerita, sesuai dengan apa yang telah direncanakan Kaisar Shun Chi. Ia bercerita bahwa ia diperintahkan oleh "mendiang" Kaisar Shun Chi untuk menyamar sebagai seorang prajurit pengawal karena Kaisar telah mencurigai Thaikam Boan Kit. Ia harus menjaga keamanan sebagai pengawal pribadi Kaisar.
"Nanti dulu! Mengapa Ayahanda Kaisar menaruh curiga kepada Thaikam Boan Kit?" tiba-tiba Pangeran Leng Kok Cun bertanya dengan suara berwibawa, seolah hendak menunjukkan bahwa dia putera sulung Kaisar dan karenanya memiliki kekuasaan.
Thian Hwa menatap tajam wajah pangeran itu dengan bibir tersenyum mengejek, teringat betapa ia pernah berurusan dengan pangeran pemberontak ini. Melihat sinar mata Thian Hwa mencorong tajam, Pangeran Leng menundukkan pandang matanya, tidak tahan beradu pandang dengan gadis pendekar yang dia tahu amat galak dan lihai itu.
"Kalau Sribaginda Kaisar menaruh kecurigaan, pasti ada sebabnya! Orang yang mempunyai niat jahat dapat dilihat dari gerak-gerik dan terutama suara dan sinar matanya!" jawab Thian Hwa. Ia melanjutkan ceritanya.
MALAM itu ia berada di ruangan yang bersebelahan dengan kamar Kaisar, dihubungkan sebuah pintu tembusan. Malam itu ia mendengar suara gaduh di kamar Kaisar. Ia cepat membuka pintu tembusan dan ia dihadang dua orang Thaikam yang menyerangnya. Ia berhasil merobohkan mereka dengan sambitan Pek-hwa-ciam, akan tetapi ia terlambat menyelamatkan Kaisar. Ia melihat bayangan Thaikam Boan Kit melarikan diri melalui pintu. Karena ingin melihat keadaan Kaisar, ia tidak sempat mengejar dan ternyata ia mendapatkan Kaisar telah tewas dengan luka-luka bacokan pada leher dan mukanya sehingga tak dapat dikenali lagi. Ia mencoba untuk melakukan pengejaran namun Thaikam Boan telah lenyap, maka ia lalu berteriak dan memanggil para prajurit pengawal dan membangunkan seluruh penghuni istana.
"Demikianlah apa yang terjadi malam tadi!" Thian Hwa mengakhiri ceritanya dan ia menceritakan juga bahwa lima orang prajurit pengawal juga ditemukan mati di taman tak jauh dari kamar Kaisar dan mereka adalah lima orang pengawal yang malam itu bertugas jaga di depan kamar Kaisar. Mudah diduga bahwa mereka tentu dibunuh pula oleh Thaikam Boan Kit dan dua orang pembantunya yang tewas oleh Thian Hwa.
Tentu saja kejadian yang sesungguhnya tidak demikian. Setelah wajah mayat Boan Kit dirusak dengan bacokan-bacokan pedang agar tidak dapat dikenal, mayat itu lalu diberi pakaian Kaisar yang seperti pakaian pendeta dan dilumuri darah, kemudian mayat itu diletakkan di atas pembaringan Kaisar. Setelah itu, dengan kepandaiannya, Thian Hwa menyelundupkan Kaisar keluar dari istana, bahkan keluar dari pintu gerbang kota raja. Setelah tiba di luar kota raja, dua orang pelayan yang setia sudah menunggu lebih dulu dan Kaisar yang mengenakan jubah pendeta Buddha dan menggunduli rambut kepalanya itu lalu pergi menjauh dari kota raja. Setelah itu, baru Thian Hwa kembali ke istana dan bersama para pelayan yang setia mereka menjerit-jerit sehingga membangunkan seluruh penghuni istana.
Tentu saja cerita Thian Hwa ini dipercaya oleh semua orang pendengarnya, apalagi terbukti adanya jenazah raja. Mereka tidak dapat mengenali wajah jenazah itu, akan tetapi dari bentuk tubuhnya tidak ada yang ragu bahwa itu adalah jenazah Kaisar Shun Chi yang sudah dirawat dan dimasukkan peti mati.
"Sudahlah, malapetaka itu sudah terjadi. Mudah saja nanti kita berusaha untuk mengejar dan menangkap Thaikam Boan Kit dan menghukumnya. Sekarang, yang terpenting, kita tidak boleh membiarkan kerajaan tanpa kaisar! Hal ini dapat menimbulkan kekacauan dan akan memancing datangnya musuh negara untuk menyerang kerajaan yang sedang lowong tidak ada pemimpinnya. Maka, aku mengusulkan agar sekarang juga ditentukan siapa yang berhak menggantikan kedudukan kaisar, menggantikan mendiang Ayahanda Kaisar!" kata Pangeran Leng Kok Cun penuh semangat.
"Ah, baik sekali itu! Aku juga akan mengusulkan begitu!" kata Pangeran Cu Kiong, tidak kalah bersemangatnya.
Pangeran Bouw sebagai pimpinan sidang menoleh kepada Ciang Taijin, pembesar tinggi yang paling tua, usianya sudah lebih dari tujuh puluh tahun dan dia dikenal sebagai tua-tua dan penasihat di istana. Melihat Pangeran Bouw menoleh dan memandang kepadanya, pejabat tinggi yang sudah tua dan setia ini segera bangkit berdiri dan berkata dengan suaranya yang halus dan tenang.
"Soal pengganti kedudukan Kaisar, hal itu kami rasa tidak menjadi masalah dan tidak perlu dibicarakan lagi. Bukankah mendiang Sribaginda Kaisar telah mengangkat seorang Pangeran Mahkota? Menurut hukum yang berlaku, kalau Kaisar meninggal dunia, sudah barang tentu yang menggantikan kedudukannya adalah Pangeran Mahkota, dalam hal ini Pangeran Mahkota Kang Shi!"
"Akan tetapi Ayahanda belum pernah meresmikan pengangkatannya sebagai pengganti kedudukan Kaisar!" bantah Pangeran Leng Kok Cun.
"Karena itu, aku sebagai putera Ayahanda yang sulung, akulah yang berhak menggantikan kedudukannya sebagai kaisar!"
"Tidak benar dan tidak bisa!" Teriak Pangeran Cu Kiong.
"Kakanda Pangeran Leng Kok Cun, biarpun paling tua, akan tetapi merupakan putera selir ke tujuh! Menurut kepantasan, yang berhak menggantikan kedudukan Kaisar dilihat dari urutan kedudukan para isteri Ayahanda! Memang yang paling berhak adalah Adinda Pangeran Kang Shi karena dia adalah putera dari Ibunda permaisuri, akan tetapi dia masih terlalu kecil untuk menjadi kaisar dan memang benar, Ayahanda belum meresmikan dia menjadi penggantinya. Urutan yang ke dua adalah keturunan selir ke dua, akan tetapi Ibunda selir ke dua hanya mempunyai anak perempuan. Maka urutan berikutnya adalah anak Ibunda yang menjadi selir ke tiga. Jadi, kalau mau menurut aturan dan kepantasan, akulah yang berhak menggantikan kedudukan kaisar!"
"Pendapat Pangeran Cu Kiong itu tidak benar!" bentak Pangeran Leng Kok Cun.
"Pendapat Kakanda Pangeran Leng Kok Cun lebih tidak benar lagi!" Pangeran Cu Kiong juga membentak marah. Kedua orang pangeran ini sudah bangkit berdiri dan saling pandang dengan mata merah melotot.
"Harap Ananda berdua tenang! Ketahuilah para anggota keluarga kerajaan dan para pejabat tinggi, kami telah menerima surat wasiat yang ditulis dan ditinggalkan oleh mendiang Kakanda Kaisar Shun Chi. Akan saya bacakan surat wasiatnya."
"Nanti dulu!" bentak Pangeran Leng Kok Cun.
"Surat wasiat seharusnya dipegang oleh orang yang dapat mewakili Ayahanda Kaisar. Pamanda Pangeran Bouw Hun Ki tidak mempunyai kekuasaan itu!"
"Benar, Pamanda Pangeran Bouw tidak berhak!" teriak pula Pangeran Cu Kiong.
"Aku yang berhak!" tiba-tiba terdengar suara nyaring seorang wanita. Semua orang memandang dan yang bicara adalah Ciu Thian Hwa. Ia sudah bangkit berdiri dengan tegak dan sikapnya gagah sekali.
"Akulah yang menjadi wakil mendiang Pamanda Kaisar Shun Chi, dan inilah tanda kekuasaanku!" ia mengeluarkan Tek-pai tanda kekuasaan yang diberikan Kaisar Shun Chi itu dan melihat ini, para pejabat tinggi cepat membungkuk untuk memberi hormat karena pemegang Tek-pai itu seolah menjadi wakil kaisar sendiri. Melihat ini, Pangeran Leng Kok Cun dan Pangeran Cu Kiong diam, tidak berani membantah lagi. Mereka memang sudah mendengar bahwa gadis liar yang berjuluk Huang-ho Sian-li yang pernah menentang mereka dahulu itu adalah puteri Pangeran Ciu Wan Kong, jadi masih keponakan kaisar dan juga keponakan Pangeran Bouw, bahkan masih menjadi saudara mereka sendiri. Mereka tahu pula bahwa Thian Hwa telah menyelamatkan nyawa Kaisar Shun Chi ketika diserang lima orang pembunuh dahulu, maka tidak mustahil kalau kini gadis itu membawa Tek-pai pemberian Kaisar.
Melihat tidak ada yang berani membantah, Thian Hwa menerima surat wasiat itu dari tangan Pangeran Bouw Hun Ki lalu berkata dengan lantang.
"Akulah yang menerima dari tangan mendiang Pamanda Kaisar Shun Chi, Tek-pai dan surat wasiat ini, maka aku pula yang berhak membacanya. Siapa yang berani menentang pesan terakhir mendiang Pamanda Kaisar Shun Chi, silakan maju, aku berhak atas nama Kaisar untuk menghukumnya!" Ucapan itu demikian berwibawa dan tidak ada yang berani membantah. Pangeran Leng dan Pangeran Cu tentu saja merasa jengkel dan marah, akan tetapi mereka maklum bahwa kalau mereka berani membantah kenyataan ini, semua orang yang berada di situ pasti akan menentangnya.
Melihat tidak ada yang berani membantah, Thian Hwa lalu membaca surat wasiat itu yang maksudnya, Kaisar Shun Chi menyatakan bahwa dia mengangkat Pangeran Mahkota Kang Shi menjadi penggantinya, yaitu menjadi kaisar baru kalau dia sudah tidak ada. Setelah ia selesai membacakan surat wasiat itu, Thian Hwa duduk kembali.
Kini Pangeran Bouw Hun Ki bangkit berdiri.
"Kami yakin bahwa kita semua pasti menghormati dan mentaati perintah terakhir dari mendiang Kakanda Kaisar Shun Chi. Nah, kini sudah dipastikan bahwa Pangeran Mahkota Kang Shi yang akan dinobatkan menjadi Kaisar Kerajaan Ceng kita. Pelaksanaannya akan dilakukan setelah lewat masa perkabungan seratus hari dari kematian Kakanda Kaisar Shun Chi, kami kira hadirin semua merasa setuju dan tidak ada yang merasa keberatan."
Tiba-tiba Pangeran Leng Kok Cun bangkit berdiri dan bicara dengan lantang.
"Paman Pangeran Bouw Hun Ki, mengingat bahwa Adinda Pangeran Kang Shi baru berusia sepuluh tahun, masih kanak-kanak, tidak mungkin dia dapat mengatur pemerintahan. Sudah tentu dia membutuhkan seorang pendamping atau penasihat yang dapat dipercaya! Nah, aku sebagai kakaknya yang tertua berhak untuk menjadi pendamping dan penasihatnya, maka dalam sidang ini aku minta agar hal ini dibicarakan dan disetujui semua yang hadir!"
Mendengar ini, Pangeran Cu Kiong cepat memberi tanggapan.
"Aku tidak setuju dengan pendapat Kakanda Pangeran Leng Kok Cun! Dia sudah terlalu tua untuk mendampingi Adinda Pangeran Kang Shi! Yang paling tepat untuk mendampinginya adalah aku sebagai calon pewaris ke dua setelah Pangeran Mahkota, dan usiaku jauh lebih muda dari Kakanda Pangeran Leng sehingga dapat bergaul lebih baik dengan Adinda Pangeran Kang Shi."
Kembali semua orang bicara sendiri, ada yang mendukung Pangeran Leng, ada pula yang membenarkan Pangeran Cu. Agaknya kedua orang pangeran ini memiliki pendukung masing-masing di antara para pejabat tinggi yang hadir.
Melihat keadaan menjadi ribut, Thian Hwa bangkit lagi dan berkata dengan nyaring.
"Harap Cu-wi (Anda Sekalian) tenang! Saya sebagai pemegang kekuasaan yang diberikan mendiang Pamanda Kaisar, menyatakan bahwa perebutan kedudukan pendamping Kaisar yang baru itu tidak tepat. Seorang pendamping Kaisar seyogianya merupakan seorang yang paling dekat dengan Kaisar, dalam hal ini Adinda Pangeran Mahkota Kang Shi. Oleh karena itu, sepantasnya dia sendiri yang akan memilih, nanti setelah dia dinobatkan menjadi Kaisar. Dia sendiri yang akan memilih siapa yang akan menjadi pendamping dan penasihatnya."
Seperti tadi, ucapan Thian Hwa itu pun tidak ada yang berani membantahnya karena ucapan itu memang pantas dan cukup adil.
Pangeran Bouw Hun Ki lalu bangkit berdiri dan berkata.
"Kami kira keputusan itu sudah tepat sekali. Nanti setelah lewat perkabungan selama seratus hari, Pangeran Mahkota Kang Shi akan dinobatkan menjadi Kaisar dan dia yang akan memilih siapa yang menjadi pendamping dan penasihatnya. Sekarang, kami minta Adinda Ciu Thian Hwa sebagai pemegang Tek-pai untuk menunjuk seorang yang akan menjadi pejabat Kaisar sementara sebelum Pangeran Mahkota dinobatkan menjadi Kaisar."
Ciu Thian Hwa bangkit berdiri lagi.
"Mengingat bahwa selama ini yang paling dekat dengan mendiang Pamanda Kaisar Shun Chi adalah Pamanda Pangeran Bouw Hun Ki sehingga beliau diberi kepercayaan untuk mendidik Pangeran Mahkota, maka atas nama Kaisar saya menunjuk Pamanda Pangeran Bouw Hun Ki untuk menjabat kedudukan kaisar sementara!"
Pangeran Bouw Hun Ki cepat menanggapi.
"Aku tidak keberatan, akan tetapi hanya dengan satu syarat, yaitu aku harus didampingi Ananda Ciu Thian Hwa sebagai pemegang kuasa yang diberikan oleh mendiang Kaisar sendiri."
"Saya menerima syarat itu. Apakah ada di antara Cu-wi yang tidak setuju?" kata Thian Hwa. Kembali tidak ada yang berani menolak karena memang semua yang diajukan itu masuk akal dan sesuai dengan aturan. Seorang pemegang Tek-pai seolah menjadi pribadi Kaisar sendiri yang semua ucapannya merupakan perintah yang tidak boleh dibantah oleh siapa pun.
Demikianlah, persidangan itu selesai. Semua orang merasa puas dan lega, kecuali tentu saja Pangeran Leng Kok Cun dan Pangeran Cu Kiong!
***
Pangeran Cu Kiong dalam perjalanan pulang dari menghadiri persidangan, berjalan dengan wajah muram. Tentu saja dia merasa kecewa dan penasaran sekali akan keputusan yang diambil dalam persidangan itu bahwa selain Pangeran Kang Shi ditentukan menjadi pengganti Kaisar dan akan dinobatkan sebagai kaisar baru dan dia yang berwenang memilih pendamping atau penasihatnya, juga ditentukan bahwa pejabat kaisar selama seratus hari ini adalah Pangeran Bouw Hun Ki. Dan dia sama sekali tidak dapat membantah karena Ciu Thian Hwa memegang Tek-pai! Dia semakin benci kepada Huang-ho Sian-li itu! Dia pernah tertarik, bahkan pernah saling mencinta dengan Huang-ho Sian-li, akan tetapi dia bermaksud memanfaatkan kelihaian gadis itu untuk tujuannya merebut tahta kerajaan. Kini gadis itu, yang kemudian ternyata puteri Pangeran Ciu Wan Kong, malah membela Pangeran Mahkota Kang Shi, berarti menjadi musuhnya! Pangeran Cu Kiong merasa kecewa, penasaran dan marah sekali.
Tiba-tiba dia merasa ada gerakan orang di belakangnya dan ketika dia menengok, dia melihat seorang wanita muda tersenyum kepadanya dan berjalan melewatinya lalu membalik dan menghadapinya.
"Maafkan saya, apakah Paduka yang bernama Pangeran Cu Kiong?" gadis itu bertanya, suaranya merdu, gayanya memikat dengan sinar mata yang berkilat tajam dan bibir mungil tersenyum manis sekali.
Pangeran Cu Kiong mengamati gadis itu. Gadis itu sudah matang, berusia sekitar dua puluh tiga tahun dan yang menarik adalah payung merah yang dipegang gagangnya dengan tangan kiri dan payung itu melindungi wajahnya dari terik matahari siang itu. Bentuk tubuhnya menarik, ramping padat dan matang, wajahnya bulat dan mata serta mulutnya menggairahkan seperti menantang. Bajunya berkembang-kembang merah dengan celana sutera hijau. Kecantikannya agak asing, tidak seperti kecantikan wanita Han, juga tidak seperti wanita Mancu, melainkan kecantikan wanita dari daerah selatan yang khas. Pangeran Cu Kiong segera tertarik sekali melihat kecantikan yang berbeda dari wanita lain itu.
"Benar, aku Pangeran Cu Kiong. Engkau siapakah, Nona?" tanyanya, tertarik bukan hanya karena kecantikan gadis itu, juga karena dari wajah dan logat bicaranya, jelas bahwa gadis ini datang dari selatan.
"Saya dikenal sebagai Ang-mo Niocu (Nona Payung Merah), dan saya sengaja datang menjumpai Paduka membawa pesan dari Raja Muda Wu Sam Kwi."
Kemelut Kerajaan Mancu Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Cu Kiong terkejut mendengar disebutnya nama Wu Sam Kwi. Dia memang telah beberapa lamanya mengadakan kontak hubungan dengan Jenderal Wu Sam Kwi yang kini disebut Raja Muda itu. Kiranya gadis ini seorang utusan dari Wu Sam Kwi. Kalau sampai ada orang mengetahui bahwa dia berhubungan dengan Jenderal Wu Sam Kwi, bisa gawat dan berbahaya baginya. Maka cepat dia berkata lirih.
"Nona, datanglah nanti ke istanaku, jangan terlalu mencolok karena suasananya sedang genting." Setelah berkata demikian dia cepat melanjutkan langkahnya pulang ke gedungnya.
Ang-mo Niocu, gadis cantik genit yang pernah kita jumpai ketika ia bertemu dengan Kong Liang dan Thian Hwa itu, maklum akan ucapan Sang Pangeran, maka ia pun cepat pergi ke lain jurusan agar tidak ada yang tahu bahwa ia tadi menghubungi Pangeran Cu Kiong.
Sore itu Ang-mo Niocu datang berkunjung ke gedung Pangeran Cu Kiong yang megah seperti istana. Ia disambut oleh Thio Kwan dan Yu Kok Lun, yaitu dua orang di antara Kam-keng Chit-sian (Tujuh Dewa dari Kam-keng). Empat yang lain dulu telah tewas oleh Ciu Thian Hwa dan Ui Yan Bun, sedangkan yang seorang lagi, Ciang Sun, telah pergi meninggalkan kota raja.
Dua orang jagoan pembantu Pangeran Cu Kiong itu memang mendapat perintah dari Sang Pangeran untuk menyambut kalau gadis dari selatan, utusan Jenderal Wu Sam Kwi itu datang berkunjung.
Thio Kwan dan Yu Kok Lun adalah dua orang jagoan yang tidak pernah sembuh dari watak mereka yang sombong. Baru julukan mereka saja, ketika masih bertujuh, menunjukkan kesombongan mereka, yaitu memakai julukan Tujuh Dewa! Sejak dulu mereka sombong dan merasa paling hebat sendiri, apalagi karena mereka menjadi jagoan seorang pangeran. Biarpun kini mereka tinggal berdua, namun tetap saja mereka berkepala besar dan dengan sendirinya mereka memandang rendah ketika melihat bahwa utusan Jenderal Wu Sam Kwi itu hanya seorang gadis cantik yang membawa payung merah! Memang Ang-mo Niocu sama sekali tidak tampak seperti seorang kang-ouw yang pandai ilmu silat. Ia cantik manis, pakaiannya berkembang dan sama sekali tidak tampak membawa senjata.
Begitu tiba di pintu gerbang gedung besar yang mempunyai halaman depan luas itu, Ang-mo Niocu dihadang dua orang jagoan ini yang sudah menunggu di gardu penjagaan sejak tadi. Belasan orang prajurit berada dalam gardu dan hanya menonton sambil tersenyum kagum melihat seorang gadis cantik memakai payung memasuki pintu gerbang. Mereka sudah dipesan oleh dua orang jagoan itu agar diam saja dan membiarkan mereka berdua yang menyambut tamu yang dinantikan oleh Sang Pangeran. Para prajurit itu mengharapkan memperoleh tontonan menarik karena mereka semua maklum bahwa dua orang jagoan itu pasti akan menggoda dan mengganggu seorang gadis cantik seperti itu.
Thio Kwan yang berusia sekitar lima puluh dua tahun, tinggi kurus dan mukanya pucat seperti mayat, berdiri bertolak pinggang menghadapi Ang-mo Niocu, sedangkan temannya, Yu Kok Lun yang berusia lima puluh tahun lebih dan bertubuh gemuk pendek bermuka hitam, hanya tersenyum-senyum di samping rekannya.
"Apakah Nona yang disebut Nona Payung Merah?" tanya Thio Kwan sambil tersenyum mengejek, memandang rendah.
Ang-mo Niocu mengenal laki-laki kurang ajar macam ini. Akan tetapi ia bersabar mengingat bahwa orang-orang ini tentu anak buah Pangeran Cu Kiong yang tadi ia jumpai di jalan dan yang menarik hatinya karena pangeran yang masih muda itu memang tampan dan gagah sekali.
"Benar, aku Ang-mo Niocu hendak bertemu dengan Pangeran Cu Kiong."
"Nanti dulu, Nona. Logat bicara Nona terdengar asing. Benarkah menurut keterangan Pangeran Cu bahwa Nona datang dari Yunnan-hu yang berada jauh di selatan?"
Ang-mo Niocu mengerutkan alisnya. Pembantu pangeran ini cerewet benar. Ia merasa tidak perlu untuk memperkenalkan diri lebih banyak terhadap Si Muka Pucat ini, maka ia cepat menjawab.
"Benar aku dari selatan. Jauh-jauh aku datang untuk bertemu Pangeran Cu Kiong. Cepat kalian laporkan kepadanya."
"Aih, Nona. Kenapa Nona jauh-jauh datang dari selatan seorang diri saja? Nona seorang gadis yang cantik jelita begini melakukan perjalanan jauh seorang diri?" kata Yu Kok Lun yang tidak dapat menahan keinginan hatinya untuk bicara dengan gadis yang amat menarik ini. Setelah bicara, memang Ang-mo Niocu tampak menggairahkan sekali. Sepasang bibirnya yang berbentuk indah dan kemerahan itu seolah dapat bergerak-gerak dengan manis dan menantang!
"Benar, Nona. Kalau kami tahu, tentu akan kami jemput Nona di selatan sehingga Nona dapat melakukan perjalanan bersama kami. Tentu lebih aman dan menyenangkan!" kata Thio Kwan.
Dua orang jagoan itu bersikap berani mengganggu karena mereka memang mendapat pesan dari Pangeran Cu Kiong untuk menguji kelihaian utusan Jenderal Wu Sam Kwi ini.
Ang-mo Niocu bukan seorang gadis yang tidak biasa bergaul dengan pria. Kalau yang menggodanya itu pemuda-pemuda tampan, pasti ia tidak akan marah malah menjadi gembira sekali. Akan tetapi digoda dua orang jagoan yang bertampang buruk, yang seorang bermuka pucat seperti mayat dan yang seorang lagi mukanya hitam seperti pantat kuali, ia menjadi marah. Akan tetapi mulutnya masih tersenyum ketika ia menjawab.
"Hemm, diantar dan ditemani dua orang kuli pelayan macam kalian hanya akan membikin aku malu karena muka kalian begitu buruk dan menjijikkan! Sudahlah, cepat laporkan kepada Pangeran Cu Kiong bahwa aku telah datang dan ingin berjumpa dengannya. Aku tidak ingin berurusan dengan kalian dua orang monyet jelek ini!"
Belasan orang prajurit pengawal yang berada dalam gardu hampir tidak dapat menahan tawa mereka mendengar ucapan yang amat mengejek dan menghina kepada dua orang jagoan yang biasanya bersikap sombong itu. Mereka melihat betapa dua orang itu terbelalak mendengar ucapan gadis berpayung merah.
Thio Kwan marah sekali, akan tetapi tentu saja dia tidak berani menyerang tamu majikannya karena Pangeran Cu hanya berpesan agar dia menguji kelihaian tamu ini.
"Pangeran memang mengutus kami menjemputmu, akan tetapi tidak sopan kalau engkau memasuki gedung dengan memakai payung. Serahkan payungmu!" katanya.
Ang-mo Niocu menutup payungnya yang tadinya berkembang.
"Payung ini tidak boleh terlepas dari tanganku!"
"Hemm, terpaksa aku akan merampasnya!" Setelah berkata demikian, dengan cepat Thio Kwan menggerakkan tangan kanannya dan dia sudah menangkap payung yang berada di tangan kiri gadis itu.
Thio Kwan adalah seorang ahli lwee-keh (ahli tenaga dalam) yang memiliki tenaga kuat sekali. Dia merasa yakin bahwa sekali renggut saja dia akan mampu merampas payung itu dari tangan Ang-mo Niocu. Akan tetapi alangkah kagetnya ketika dia merasa betapa payung itu sama sekali tidak dapat dia tarik karena seolah melekat dan berakar pada tangan kiri gadis itu. Dia mengangkat muka memandang wajah gadis itu dan dengan penasaran sekali dia melihat gadis itu tersenyum-senyum dan mengedipkan mata kepadanya! Jelas bahwa gadis itu menganggap dia ringan sekali.
Maka Thio Kwan mengerahkan seluruh tenaganya untuk menarik. Namun tetap sia-sia. Karena marah, dia lalu menggerakkan tangan kirinya untuk mencengkeram pergelangan tangan kiri gadis itu. Akan tetapi cepat bagaikan kilat tangan kanan Ang-mo Niocu sudah mendahuluinya menotok ke arah tangan kanannya yang memegang payung. Seketika dia merasa lengan kanannya lemas dan pedangnya terlepas. Dengan marah dia melanjutkan cengkeraman tangan kirinya, kini tidak ke arah pergelangan tangan kiri lawan, melainkan ke arah pundaknya!
"Plakk!" Ang-mo Niocu menangkis dan tenaga saktinya demikian kuatnya sehingga Thio Kwan merasa lengan kirinya nyeri sampai menembus tulang.
"Pergilah!" Ang-mo Niocu berseru dengan bentakan nyaring, kakinya mencuat ke arah perut Si Muka Mayat.
"Bukkk...!" Tubuh tinggi kurus itu terlempar dan masih untung Thio Kwan mampu mengatur keseimbangan tubuhnya sehingga jatuh berjongkok, tidak sampai terbanting!
"Wah, hebat juga engkau, Nona! Coba hadapi siang-kiam (sepasang pedang) ini!" Yu Kok Lan sudah mencabut siang-kiam dari punggungnya karena dia hendak menguji kelihaian gadis itu dalam bertanding senjata.
"Keluarkan senjatamu!" tantangnya, dan dia sudah memasang kuda-kuda dengan menyilangkan sepasang pedangnya di atas kepala sehingga tampak garang dan gagah sekali.
Ang-mo Niocu tersenyum. Kini ia dapat menduga bahwa dua orang ini agaknya memang disuruh oleh Pangeran Cu Kiong untuk mengujinya. Pangeran itu yang mengadakan kontak dengan Jenderal Wu Sam Kwi tentu ingin merasa yakin akan kelihaian utusan Jenderal Wu Sam Kwi. Maka ia pun tersenyum menghadapi Yu Kok Lun yang tampak gagah itu. Ia menudingkan payungnya yang sesungguhnya merupakan pedang ke arah lawan dan berkata.
"Majulah, aku akan melawan sepasang pedangmu dengan payungku ini."
Tentu saja Yu Kok Lun merasa dihina dan dipandang rendah. Masa siang-kiamnya yang tersohor sehingga dia dijuluki Siang-kiam-sian (Dewa Sepasang Pedang) hanya akan dilawan dengan sebuah payung merah, oleh seorang gadis muda? Ini namanya keterlaluan!
"Nona, memalukan kalau aku dengan sepasang pedangku melawan engkau yang hanya memegang sebuah payung. Biarlah aku menggunakan sebelah pedangku saja!" Setelah berkata demikian Yu Kok Lun menyimpan pedang kirinya dan hanya memegang pedang kanannya.
"Terserah, engkau mau menggunakan sebatang, dua batang, atau sepuluh batang pedang. Aku tetap cukup menggunakan payungku ini saja!"
Yu Kok Lun mulai marah.
"Sambutlah pedangku ini!" bentaknya, dan dia pun sudah menyerang dengan dahsyat karena dia sudah menggunakan jurus paling ampuh dan berbahaya karena dapat menduga bahwa lawannya bukan seorang lemah. Pedangnya berkelebat dengan jurus serangan Kilat Menyambar Atas Kepala. Pedang yang bergerak cepat sekali itu berubah menjadi sinar putih yang menyambar ke arah kepala Ang-mo Niocu dengan bacokan dari atas, seolah hendak membelah kepala itu menjadi dua!
"Wuuuss...!" Pedang itu hanya membelah udara kosong karena dengan gerakan yang ringan dan cepat sekali Ang-mo Niocu sudah mengelak ke samping. Yu Kok Lun menjadi penasaran melihat betapa serangannya yang dahsyat tadi dapat dielakkan dengan amat mudah oleh gadis itu. Pedangnya sudah menyambar lagi, kini membabat dari samping ke arah pinggang lawan. Pinggang yang kecil ramping itu agaknya akan dapat terbabat putus oleh sambaran pedang yang dahsyat itu karena pedang itu digerakkan dengan jurus Giok-tai-wi-yiauw (Sabuk Kemala Melilit Pinggang)! Serangan ke dua ini cukup berbahaya, maka Ang-mo Niocu menggerakkan payungnya menangkis.
"Tranggg...!" Yu Kok Lun hampir berteriak saking kagetnya ketika pedangnya hampir terlepas dari tangannya karena terpental oleh tangkisan yang amat kuat, bahkan kini ada sinar merah menyambar pundaknya. Dia cepat mengelak dan "brett...!" baju di bagian pundaknya robek tertusuk ujung payung yang runcing!
Maklum bahwa payung itu ternyata merupakan senjata yang ampuh, Yu Kong Lun yang masih merasa penasaran cepat mencabut pedang ke dua dan kini dia menyerang dengan menggerakkan siang-kiam itu secara cepat sekali. Akan tetapi semua serangannya sia-sia karena begitu gadis itu menggerakkan payungnya, payung itu menjadi perisai yang kuat sekali. Ternyata bahwa payung itu terbuat dari semacam kulit yang sudah diolah sedemikian rupa sehingga menjadi lentur namun amat kuat, mampu menahan senjata tajam tanpa robek sedikit pun. Begitu sepasang pedang menyerang, payung berkembang dan begitu sepasang pedang lawan terpental, payung menutup dan ujung payung itu menyerang dengan tusukan seperti sebatang pedang!
Sebentar saja Yu Kok Lun menjadi kewalahan dan terdesak, kebingungan. Maka Ang-mo Niocu tidak menyia-nyiakan kesempatan, selagi lawan bingung oleh serangan payung berpedang, ia mengayun kakinya dan seperti juga apa yang dirasakan Thio Kwan tadi, perut Yu Kok Lun terkena tendangan kaki Ang-mo Niocu sehingga tubuhnya terlempar dan dia jatuh berdebuk di atas tanah.
Dua orang jagoan itu kini harus mengakui kelihaian Ang-mo Niocu, maka mereka tidak berani main-main lagi. Thio Kwan lalu maju memberi hormat dengan mengangkat kedua tangan di depan dada, diikuti Yu Kok Lun dan dia berkata.
"Li-hiap (Pendekar Wanita), maafkan kami karena sesungguhnya kami diutus Pangeran Cu Kiong untuk menguji kelihaianmu. Sekarang mari kami antarkan Li-hiap menghadap Pangeran Cu Kiong yang sudah lama menunggu kedatanganmu."
Ang-mo Niocu tersenyum mengejek.
"Beginikah cara Pangeran Cu Kiong menyambut utusan sahabatnya? Aku mengerti akan maksudnya mengujiku, akan tetapi yang menyebalkan adalah kalian bukan hanya menguji, akan tetapi juga menghinaku dengan kekurangajaranmu. Maka kalian perlu mendapat hajaran agar lain kali tidak berani menggangguku! Sambut ini!" Tiba-tiba kini Ang-mo Niocu menyerang dengan tusukan payungnya yang tertutup. Ujung yang runcing itu meluncur dan menusuk ke arah pundak Thio Kwan. Orang itu terkejut dan cepat mengelak, tusukan itu luput akan tetapi tetap saja dia roboh dan mengeluh kesakitan. Kemudian ujung payung itu menyerang Yu Kok Lun. Ahli siang-kiam yang masih memegang pedangnya ini cepat menangkis.
"Trangg...!" Payung itu tertangkis, akan tetapi anehnya, Yu Kok Lun juga terkulai roboh dan merintih sambil memegangi pundaknya. Ternyata pundak kedua orang ini terkena tusukan jarum yang terasa panas dan pundak mereka sampai lengan menjadi kaku dan lumpuh! Jarum beracun! Jarum-jarum itu keluar dari ujung payung dan merupakan senjata rahasia yang amat ampuh dari gadis suku Yao yang lihai ini. Hal ini tidak mengherankan karena Ang-mo Niocu adalah murid Lam-hai Cin-jin. Datuk Selatan yang sakti.
"Nah, mari antar aku menghadap Pangeran Cu Kiong!" kata Ang-mo Niocu. Dua orang itu bangkit dengan wajah pucat dan mereka menyeringai karena pundak mereka terasa nyeri bukan main, panas dan ngilu, juga kaku dan lumpuh sampai ke ujung jari tangan. Mereka tidak berani membantah dan mendahului menuju ke gedung besar yang megah itu. Ang-mo Niocu mengikuti mereka dari belakang dan tetap bersikap waspada. Siapa tahu Pangeran Cu Kiong yang tampan gagah itu masih akan mengujinya lagi!
Akan tetapi tidak ada rintangan lagi dan setelah mereka memasuki ruangan tamu, Pangeran Cu Kiong bangkit dari kursinya, tersenyum ramah menyambut gadis cantik dari selatan itu. Akan tetapi dia mengerutkan alisnya ketika melihat dua orang jagoannya masuk dengan wajah pucat dan menyeringai kesakitan dengan sebelah tangan tergantung lumpuh.
"Ada apa dengan kalian? Apa yang telah terjadi?" tanyanya dan karena dua orang jagoannya menundukkan kepala tanpa menjawab, dia memandang wajah Ang-mo Niocu dengan sinar mata bertanya.
"Pangeran, Paduka tanyakan kepada mereka berdua saja apa yang menyebabkan mereka menderita luka."
Pangeran Cu Kiong memandang dua orang jagoannya dan mereka berdua yang menjadi ketakutan mengingat betapa mereka telah menggoda gadis itu sehingga menjadi marah dan melukai mereka, lalu menjatuhkan diri berlutut di depan Pangeran Cu Kiong.
"Pangeran, hamba berdua mengaku bersalah. Hamba kalah dan terluka oleh Li-hiap ini...," kata Thio Kwan.
Pangeran Cu Kiong merasa kagum akan tetapi juga tak senang kepada gadis itu. Memang ia lihai sekali mampu mengalahkan dua orang jagoannya, akan tetapi mengapa harus melukai mereka sedemikian beratnya.
"Ang-mo Niocu, mereka hanya kami suruh mengujimu, mengapa engkau melukai mereka?" Pangeran Cu Kiong menegur, biarpun ucapannya halus.
Ang-mo Niocu tersenyum.
"Pangeran, mereka melanggar perintah Paduka, mereka bukan sekadar menguji akan tetapi juga bersikap tidak sopan kepada saya. Karena itu saya melukai mereka dengan Ang-tok-ciam (Jarum Racun Merah). Kalau tidak saya beri obat pemunah, lengan mereka yang sebelah akan mati selamanya. Biar mereka tidak berani melanggar perintah Paduka lagi!"
Gadis itu memang cerdik. Ia menghukum dua orang itu dengan alasan karena mereka melanggar perintah Pangeran Cu Kiong, bukan karena mereka mengganggunya. Hal ini berarti bahwa ia bertindak untuk membela pangeran itu! Mendengar ini, hati Pangeran Cu Kiong merasa senang dan kini dia membentak dua orang jagoannya itu.
"Hayo cepat kalian minta ampun kepada Ang-mo Niocu!"
Dua orang itu tadi mendengar bahwa mereka terluka oleh jarum beracun, menjadi semakin panik dan mereka lalu berlutut di depan kaki Ang-mo Niocu.
"Mohon ampun, Li-hiap. Kasihanilah kami dan mohon diberi obat pemunahnya!" Mereka memohon bergantian.
Ang-mo Niocu memandang kepada Pangeran Cu Kiong.
"Bagaimana, Pangeran?"
Pangeran itu mengangguk.
"Berikanlah obatnya, Niocu. Bagaimanapun juga, mereka adalah pembantu-pembantuku yang setia kepadaku."
Ang-mo Niocu lalu menghampiri mereka, menggunakan sin-kang (tenaga sakti) menyedot dua batang jarum itu dari pundak mereka menggunakan telapak tangannya, kemudian ia menyerahkan dua butir pel berwarna merah kepada mereka.
"Telan ini dan kalian akan sembuh."
Thio Kwan dan Yu Kok Lun cepat menerima pel itu dan langsung menelannya. Benar saja, mereka merasa betapa kekakuan dan rasa nyeri panas di pundak mereka berkurang.
"Sekarang keluarlah dan pesan kepada semua prajurit jaga agar kunjungan Li-hiap ini tidak sampai diketahui orang luar. Kalau sampai beritanya bocor, ini tanggung jawab kalian dan hukumannya akan berat sekali!"
Dua orang itu membungkuk lalu keluar dari ruangan tamu. Pangeran Cu Kiong lalu menutupkan daun pintu sehingga mereka dapat bicara berdua dengan aman, tanpa ada yang dapat melihat atau mendengar mereka.
"Silakan duduk, Niocu. Sekarang lebih dulu buktikanlah bahwa engkau memang benar utusan dari Jenderal Wu Sam Kwi," kata Pangeran Cu Kiong sambil menatap wajah cantik itu.
Ang-mo Niocu tersenyum manis sekali, tampak deretan giginya yang putih dan rapi, lalu ia duduk dan mengeluarkan sepucuk surat dari balik bajunya di bagian dada!
"Pangeran, saya sengaja minta surat dari Raja Muda Wu Sam Kwi agar Paduka tidak ragu lagi."
Pangeran Cu Kiong menerima kertas yang masih hangat karena lama berada di dada gadis itu. Dia memang seorang laki-laki yang sudah biasa bergaul dan merayu wanita, maka sambil tersenyum dia mendekatkan kertas surat itu ke hidungnya, mengendusnya lalu berkata.
"Ahh... harumnya...!"
Ang-mo Niocu juga bukan seorang gadis yang belum pernah dirayu orang, maka ia tidak menjadi malu, malah senyumnya melebar dan sinar matanya berkilau karena senangnya.
"Saya simpan surat itu baik-baik agar jangan sampai dilihat orang lain, Pangeran."
Pangeran Cu Kiong membaca surat itu. Surat dari Wu Sam Kwi itu menyatakan bahwa pihaknya sudah siap untuk bekerja sama dengan Pangeran Cu Kiong dan untuk memperlancar hubungan, dia mengirim Ang-mo Niocu sebagai utusan dan gadis itu sudah diberi wewenang penuh untuk mengatur rencana bersama Sang Pangeran. Pangeran Cu Kiong merasa kagum dan juga heran bagaimana seorang gadis muda seperti ini sudah diberi kekuasaan penuh oleh Jenderal atau kini Raja Muda Wu Sam Kwi!
"Niocu (Nona), dalam surat ini Jenderal Wu Sam Kwi telah memberi kekuasaan sepenuhnya kepadamu untuk berunding dan mengatur rencana bersamaku. Niocu, apakah kedudukanmu di sana maka dia begitu percaya kepadamu?"
Kembali gadis yang kedua pipinya merah tanpa yanci (bedak pemerah) tersenyum manis. Tentu saja ia tidak mau mengaku bahwa walaupun ia tidak mau dijadikan selir, namun ia adalah seorang kekasih dari Wu Kan, seorang dari para putera Raja Muda Wu Sam Kwi.
"Pangeran, saya adalah murid dari Lam-hai Cin-jin. Datuk Selatan yang menjabat sebagai Koksu (Guru Negara, Penasihat) Raja Muda Wu Sam Kwi. Karena Suhu sendiri mempunyai banyak kesibukan dan tidak mungkin terlalu lama meninggalkan jabatannya, maka Suhu minta kepada Raja Muda Wu untuk mengirim saya dan Raja Muda Wu menyetujuinya."
Pangeran Cu Kiong mengangguk-angguk. Dia sudah mendengar tentang kesaktian Lam-hai Cin-jin. Tidak mengherankan kalau gadis ini demikian lihai, kiranya murid Lam-hai Cin-jin! Dia merasa girang sekali bahwa Jenderal Wu mengirim utusan yang merupakan seorang gadis cantik manis dan lihai ilmu silatnya.
Jodoh Si Naga Langit Eps 1 Dewi Sungai Kuning Eps 1 Jodoh Si Naga Langit Eps 2