Ceritasilat Novel Online

Pedang Naga Kemala 40


Pedang Naga Kemala Karya Kho Ping Hoo Bagian 40




"Aih, kiranya sumoi. Dan manakah, sumoi... dan bagaimana dengan keadaan suhu? Kuharap beliau berada dalam keadaan baik dan sehat saja." Kiki dan Siu Coan sampai melongo sejenak melihat sikap dan mendengar sapa yang ramah itu. Akan tetapi Kiki segera membentak dengan ketus dan marah.

"Lee Song Kim! Tak perlu engkau menanam madu di bibirmu, mencoba untuk membujuk rayu aku! Engkau tahu bahwa aku mencarimu, dan setelah kini kita saling bertemu, aku akan membunuhmu! Bersiaplah untuk menebus dosa-dosamu dan menerima kematian di tanganku!" Kiki sudah mencabut sebatang pedang yang tadi tergantung di punggungnya di antara buntalan pakaiannya. Gadis ini biasanya tidak mempergunakan pedang, karena memang ilmu silatnya sudah mencapai tingkat tinggi. Akan tetapi, dalam menghadapi bekas suhengnya, ia sudah mempersiapkan diri dan membawa sebatang pedang yang baik dari kumpulan senjata pusaka milik Ayahnya.

"Aih, sumoi, kenapa engkau bersikap begini? Aku adalah suhengmu, bukan? Suhengmu satu-satunya! Bukankah kita sudah menjadi saudara seperguruan dan teman bermain semenjak kita kecil?"

"Cukup! Tutup mulutmu dan cabut pedangmu!" Kiki membentak, semakin marah karena ia tahu bahwa bekas suhengnya itu berusaha untuk merayunya. Heran ia, mengapa pemuda bejat itu masih berani mencoba untuk membujuknya suatu hal yang takkan mungkin berhasil.

"Sumoi, melihat muka suhu, yang seperti telah menjadi Ayahku sendiri, tidak maukah engkau melupakan segala hal yang telah berlalu? Mungkin aku pernah melakukan kesalahan-kesalahan, akan tetapi aku akan bertobat, dan aku mengharapkan maafmu..."

"Lee Song Kim!" kini Ong Siu Coan ikut berkata, suaranya keren.

"Di antara semua dosamu, bagaimana orang dapat mengampuni pengkhianatanmu terhadap para pimpinan pejuang tempo hari?" Menghadapi Siu Coan, Song Kim membusungkan dada dan marah.

"Ong Siu Coan! Engkau adalah murid Thian-tok dan aku adalah murid Hai-tok, sama-sama murid seorang di antara Empat Racun Dunia. Tidak perlu engkau bersikap sombong dan mengatakan aku berdosa dan pengkhianat.

"Engkau sendiri pernah menjadi pengkhianat, pernah menjadi anjing pasukan bule! Kalau sumoi tidak mencampuri, aku mau berkelahi melawanmu sampai seribu jurus, sampai seorang di antara kita menggeletak mampus untuk menentukan siapa yang lebih unggul!"

"Lee Song Kim, jahanam busuk!" Teriak Kiki yang marah mendengar tantangan Song Kim terhadap Siu Coan.

"Dosa yang pernah kau lakukan terhadap diriku sudah tak dapat diampuni, akan tetapi dosamu terhadap para pimpinan pejuang lebih besar lagi. Kami berdua mewakili para pimpinan pejuang, hari ini datang untuk menghukum dan membunuhmu. Kalau engkau tidak mau bersiap sekarang, juga aku akan membunuhmu, baik engkau melakukan perlawanan maupun tidak. Heiiiittt...!" Kiki sudah menyerang dengan pedangnya, menusuk ke arah dada Song Kim. Cepat sekali serangan itu dan didukung tenaga yang kuat.

"Ehhh!" Song Kim meloncat ke kiri untuk menghindarkan tusukan, akan tetapi Kiki sudah mendesak lagi dengan bacokan ke arah leher. Kembali Song Kim mengelak dengan melangkah mundur cepat-cepat, dan terpaksa dia mencabut pedangnya, karena kembali pedang di tangan bekas sumoinya itu sudah menyambar lagi.

"Trangggg!" Dua batang pedang bertemu dan demikian keras pertemuan itu sehingga bunga api berpijar, dan keduanya mundur dua langkah untuk memeriksa pedang masing-masing. Kesempatan ini dipergunakan oleh Song Kim untuk membujuk.

"Sumoi, benarkah hatimu demikian tega untuk membunuh aku, suhengmu sendiri?"

"Cerewet!" bentak Kiki yang merasa tidak suka diingatkan bahwa orang ini adalah bekas suhengnya. Pedangnya menyambar ganas, sehingga terpaksa Song Kim harus mencurahkan perhatiannya untuk menangkis dan balas menyerang, karena kalau tidak, tentu keadaannya akan berbahaya sekali. Sikapnya terhadap Kiki yang ramah itu tetap saja hanya merupakan siasat.

Kalau mungkin dia akan membunuh Kiki agar kemudian dapat menghadapi Siu Coan. Maka, kini diapun membalas serangan Kiki dengan babatan pedangnya. Mereka terlibat dalam perkelahian yang seru dan Song Kim terkejut sekali. Biarpun kepandaian dan tingkat ilmu silat mereka berimbang, namun dalam hal permainan pedang, Song Kim lebih pandai. Hal ini diketahuinya benar. Akan tetapi sekarang, melihat betapa sumoinya itu dapat bergerak dengan kecepatan kilat, ketika pedangnya membabat, tiba-tiba tubuh sumoinya lenyap dan tahu-tahu telah menyerangnya dari kanan! Hal ini amat mengejutkan hatinya. Belum pernah dia melihat sumoinya memiliki gin-kang sedemikian hebatnya, sehingga seolah-olah pandai terbang saja. Namun, dia sengaja memutar pedang dengan cepat untuk melindungi tubuhnya.

Tentu saja dia tidak tahu bahwa Kiki sudah mendapat kitab ilmu meringankan tubuh Hui-thian Yan-cu (Walet Tebang ke Langit) ciptaan Tat Mo Cowsu. Akan tetapi, tiba-tiba Siu Coan sudah terjun lagi ke dalam arena perkelahian itu, dan biarpun Siu Coan tidak memegang senjata, namun serangan-serangannya yang menggunakan ilmu silat Ngo-heng Lian-hoan Kun-hoat sungguh amat berbahaya bagi Song Kim! Dikeroyok dua, pemuda ini menjadi repot bukan main. Baru melawan sumoinya yang kini mendadak memiliki gerakan yang demikian cepatnya saja dia tadi sudah merasa kewalahan dan mulai terkejut karena belum tentu dia akan keluar sebagai pemenang melawan sumoinya. Dan sekarang ditambah lagi dengan majunya Siu Coan yang tingkat kepandaiannya seimbang dengan dia maupun Kiki. Tentu saja dia terdesak hebat dan hanya mampu mengelak dan menangkis saja.

"Suhu! Suhu Hai-tok Tang Kok Bu!" Tiba-tiba Song Kim berteriak nyaring.

"Apakah suhu akan membiarkan saja sumoi Tang Ki membunuh suheng sendiri? Suhu, aku sudah seperti anak suhu sendiri, haruskah aku mati di tangan adikku sendiri?" Kiki menjadi marah sekali mendengar ocehan ini.

"Jahanam busuk, keparat hina tak tahu malu!" bentaknya.

"Ayah tidak mempunyai anak macam engkau, dan aku tidak sudi mempunyai suheng seperti engkau!" Dan iapun mendesak lagi dengan pedangnya. Melihat pedang itu membacok ke arah kepalanya dari atas dengan kecepatan kilat dan juga mengandung kekuatan sin-kang yang hebat, tidak ada jalan lain bagi Song Kim yang baru saja mengelak dan sebuah tendangan yang dilakukan oleh Siu Coan kecuali menangkis dengan pedangnya dari bawah ke atas.

"Tranggg!" Kedua pedang itu bertemu dan melekat. Kiki telah mempergunakan sin-kang untuk menempel pedang lawan, dan kesempatan ini dipergunakan Siu Coan untuk menggerakkan tangan mengetuk ke arah siku lengan kanan Song Kim.

"Duk! Ahhhh..." Song Kim terpaksa melepaskan pedangnya. Lengan kanannya seperti lumpuh dan dia cepat meloncat ke belakang. Akan tetapi pada saat itu, ujung kaki Kiki sudah menendang pinggangnya dan diapun terjungkal roboh. Maklum akan bahaya maut yang mengancam dirinya, Song Kim sudah meloncat lagi dan mengirim pukulan maut ke arah Siu Coan yang dielakkan oleh pemuda ini. Kiki yang merasa rendah kalau harus menghadapi lawan yang sudah kehilangan senjata itu dengan pedangnya, sudah menyimpan pedangnya dan kini menerjang dengan kedua kaki dan tangannya.

Juga Siu Coan menyerangnya dan terjadilah perkelahian tanpa senjata. Akan tetapi dalam hal ini, Song Kim semakin terdesak dan dalam waktu beberapa belas jurus saja, tubuhnya sudah menjadi sasaran pukulan dan tendangan bertubi-tubi dari kedua orang pengeroyoknya. Dia mencoba untuk melawan, namun karena memang kalah cepat dan kalah kuat, dia menjadi bulan-bulanan pukulan dan tendangan kedua orang itu, sehingga tubuhnya babak belur dan dari hidung dan mulutnya sudah keluar darah. Song Kim melawan terus, namun semakin lama tubuhnya menjadi semakin lemah dan pada saat yang amat gawat bagi keselamatan nyawanya itu, tiba-tiba muncul seorang tinggi besar yang begitu muncul menerjang maju dan menendang ke arah Siu Coan. Siu Coan terkejut bukan main dan cepat melompat ke samping untuk menghindar.

"Locianpwe, mengapa Locianpwe menyerangku? Bukankah Locianpwe sudah memberi ijin kepadaku untuk membantu Ki-moi membunuh pengkhianat ini?" kata Siu Coan yang terkejut sekali melihat bahwa penyerangnya itu adalah Hai-tok Tang Kok Bu, Ayah Kiki.

"Ayah!" Kiki juga berseru keras.

"Kenapa Ayah membela jahanam busuk ini..." Akan tetapi Hai-tok yang nampak marah itu terus menyerang Siu Coan.

"Bagaimanapun juga, dia ini adalah muridku yang pernah kuanggap sebagai anak sendiri. Ong Siu Coan, engkau masih orang lain dan engkau berani memukulinya, aku harus membalas perlakuan tidak patut itu!" Tentu saja Siu Coan repot harus mengelak kesana-sini, karena dia tidak berani menangkis, dan akhirnya sebuah tamparan mengenai pundaknya.

"Plaakkk...! Hebat bukan main tamparan itu, dan kalau saja Siu Coan tidak melindungi tubuhnya dengan sin-kang yang membuat pundaknya kuat dan kebal, tentu pundak itu akan hancur. Biarpun tidak demikian, tubuhnya terpelanting dan bergulingan sampai jauh dan dia meloncat bangun dengan kepala pening.

"Ayah, jangan!" Kiki berseru keras melihat betapa Siu Coan terpelanting oleh tamparan Ayahnya.

"Sumoi, apakah engkau akan menjadi seorang anak durhaka yang hendak melawan Ayahnya sendiri membela orang lain?" Tiba-tiba Song Kim berseru dan seruannya ini menahan gerakan Kiki yang menjadi bingung. Dan Hai-tok sudah menerjang lagi ke depan, agaknya hendak membunuh Siu Coan! Watak dan Empat Racun Dunia memang aneh dan pantas mereka menjadi datuk-daruk kau m sesat. Tadinya Hai-tok memang sudah setuju kalau puterinya berjodoh dengan Siu Coan, dan mengijinkan pemuda itu membantu Kiki mencari dan membunuh Song Kim. Akan tetapi, setelah dua orang itu pergi, dia membayangkan Song Kim semenjak masih kecil telah menjadi muridnya,

Bahkan karena dia tidak mempunyai anak laki-laki, dia sudah menganggap Song Kim sebagai pengganti anaknya. Maka, timbul perasaan menyesal dan diapun lalu meninggalkan pulau untuk membayangi perjalanan Kiki dan Siu Coan. Maka, ketika tadi dia mendengar teriakan Song Kim yang menyebut-nyebut namanya, tentu saja hatinya tergerak, dan ketika melihat Song Kim yang disayanginya itu dijadikan bulan-bulanan pukulan dan tendangan Kiki dan Siu Coan, dia tidak mampu menahan diri lagi dan keluar membela munidnya itu. Dan kemarahannya dia tumpahkan kepada Siu Coan yang hendak dibunuhnya! Kini dia menendang dengan dahsyatnya. Tendangan itu amat kuat, mendatangkan angin keras, dan biarpun Siu Coan sudah siap siaga, menangkis dengan tangan, tetap saja tubuhnya terlempar dan terpelanting keras.

"Brukkk...!"

Dan baru saja dia meloncat bangun, Kakek itu sudah berada di depannya dan lengannya yang panjang dan besar itu menyambar dengan pukulan maut ke arah kepala Siu Coan. Pemuda ini terkejut, akan tetapi sebagai murid seorang sakti, dia masih berhasil membuang diri ke belakang dan bergulingan seperti seekor trenggiling, menjauhi lawan. Hai-tok mengejar, mencoba untuk menggunakan kakinya menginjak kepala pemuda yang tadinya ingin diambil mantu itu, dan kalau kepala itu kena injak sekali saja, tentu akan remuk! Sambil bergulingan, Siu Coan mengelak setiap kali kaki gajah itu datang menginjak, dan dia sukar memperoleh kesempatan untuk meloncat bangun. Tiba-tiba berkelebat bayangan orang dan pada saat kaki kiri Hai-tok melakukan injakan mautnya, sebuah kaki lain yang juga besar menyambut dari depan, sehingga dua batang kaki yang kuat itu saling beradu tulang kering.

"Desss...!!" Akibatnya, dua tubuh yang besar itu sama-sama terdorong ke belakang sampai lima langkah. Tentu saja Siu Coan memperoleh kesempatan untuk meloncat bangun, dan bukan main girang dan lega hatinya ketika melihat bahwa yang menolongnya itu adalah gurunya sendiri, Thian-tok. Sementara itu, dua orang Kakek itu kini berdiri saling pandang dengan dua pasang mata mencorong saling tantang.

"Ho-ho-ho! Hai-tok, sungguh tidak pantas perbuatanmu, menyerang dan mengancam nyawa muridku, seolah-olah aku sebagai gurunya sudah tidak ada saja!" kata Thian-tok sambil menyeringai.

"Memang aku hendak membunuh Ong Siu Coan, kau mau apa? Dia sudah memukuli muridku, maka aku hendak memukulinya sampai mampus!"

"Ha-ha-ha, kenapa Hai-tok menjadi seorang pengecut besar sekarang? Urusan anak-anak kenapa dicampuri orang tua? Kalau memang engkau mencari tanding, inilah aku lawanmu, tua sama tua! Siu Coan, minggirlah dan jangan mencampuri. Biar aku yang akan menghadapi tua bangka ini!" kata Thian-tok sambil menyeringai.

Kakek ini semakin gendut saja, jubahnya terbuka sehingga nampak dadanya yang berbulu sampai ke pusar, perutnya yang gendut dengan pusar yang menonjol. Tangan kirinya memegang sebuah mangkok butut, tangan kanannya memegang sebuah ciu-ouw (guci arak) butut pula. Mendengar tantangan Thian-tok, Hai-tok menjadi marah bukan main. Dia dan Thian-tok selama ini memang tidak pernah bersahabat. Keduanya adalah dua orang tokoh di antara Empat Racun Dunia, datuk-datuk kau m sesat yang tak pernah saling bersahabat. Kalau akhir-akhir ini mereka memiliki hubungan baik, hanyalah karena keduanya merasa berkewajiban untuk menentang pemerintah penjajah dan orang-orang asing kulit putih. Kini, begitu ada urusan mengenai murid masing-masing, tentu saja mereka saling membela murid dan siap untuk saling gempur.

"Song Kim dan Kiki! Kalian minggir dan jangan mencampuri. Biar kuhajar tua bangka gendut ini!" bentaknya kepada anak dan muridnya. Dua orang Kakek itu lalu melangkah maju saling menghampiri. Thian-tok masih memegang guci arak dan mangkoknya, dua alat minum arak akan tetapi juga dapat menjadi senjatanya yang ampuh. Adapun Hai-tok juga sudah memegang tongkatnya yang indah, tongkat yang terhias emas permata. Mereka kini berhenti dan jarak di antara mereka tinggal dua meter lagi. Sejenak mereka berdiri tegak, saling pandang seperti hendak mengalahkan lawan atau mengukur kekuatan masing-masing dengan pandang mata mereka yang mulai mencorong, sambil diam-diam keduanya mengerahkan tenaga sin-kang mereka, menyalurkan tenaga itu ke arah seluruh tubuh, terutama pada kedua tangan mereka.

"Hai-tok, kau majulah kalau tubuhmu sudah gatal-gatal ingin merasakan hajaranku, ha-ha-ha!" Thian-tok berseru sambil mengamang-amangkan guci arak dan mangkoknya ke atas kepala.

"Thian-tok iblis tua bangka gendut, aku sudah sejak tadi bersiap. Engkau yang datang menantangku, majulah untuk menerima gebukan tongkatku!" tantang Hai-tok.

"Heh-heh-heh, engkau mencari penyakit!" Kata Thian-tok, dan diapun melangkah maju, bergerak aneh dan tiba-tiba guci arak itu menyambar ke arah pelipis kiri lawan sedangkan mangkok bututnya bergerak menyambar ke arah pusar. Nampaknya kedua senjata itu tidak berbahaya, namun Hai-tok yang lebih tahu bahwa biarpun kelihatannya tidak meyakinkan, namun sepasang senjata itu telah mengangkat nama Thian-tok ke puncak ketenarannya. Dia maklum betapa lihainya lawan ini, yang dalam banyak hal memiliki tingkat yang sama dengan dia, maka diapun tidak berani bersikap sembrono.

Kakinya melangkah mundur dan untuk menghindarkan serangan berganda lawan itu, dia memutar tongkatnya, bukan hanya untuk melindungi tubuh, melainkan sekaligus untuk balas menyerang! Akan tetapi, dengan dua buah senjatanya yang istimewa, Thian-tok juga dapat menghindarkan diri dari serangan tongkat itu. Serang menyerang terjadi dan berkali-kali terdengar suara keras ketika tongkat bertemu dengan guci atau mangkok. Hai-tok yang maklum akan kelihaian lawan, segera mengeluarkan ilmunya yang paling diandalkan melalui tongkatnya, yaitu ilmu Tongkat Kim-kong-pang (Tongkat Sinar Emas). Tongkatnya berputar seperti kitiran bahkan semakin cepat lagi sehingga tidak nampak bentuknya, yang kelihatan hanyalah sinar keemasan yang menyilaukan mata saja dibarengi suara mendengung-dengung. Thian-tok juga tidak berani memandang rendah.

Dia mengerahkan tenaganya dan memainkan limu Silat Ngo-heng Lian-hoan Kun-hoat yang sudah mencapai puncak kesempurnaannya, dan mengimbangi kekuatan lawan dengan Kim-ciong-ko, yaitu ilmu kebal yang menbuat tubuhnya dapat menahan senjata tajam. Lawannya, Hai-tok, terkenal dengan tenaga saktinya yang disebut Thai-lek Kim-kong-jiu, yang membuat tangan Kakek ini dapat menghancurkan batu karang, maka Thian-tok selalu melindungi tubuhnya dengan ilmu kebalnya. Mereka saling serang dan saling desak dengan senjata masing-masing, dan ratusan kali senjata mereka saling bertemu, menimbulkan suara nyaring dan bunga api berpijar. Seberapa kali mereka menarik senjata dan mengamankan senjata masing-masing, takut kalau-kalau senjata yang disayang itu menjadi rusak. Akhirnya, setelah mereka bertanding selama ratusan jurus, Thian-tok melompat ke belakang.

"Nanti dulu, Hai-tok!"

"Thian-tok, kau mundur. Apakah mengaku kalah?" tanya Hai-tok sambil menggunakan lengan baju menghapus keringatnya di leher.

"Ha-ha-ha-ha, belum lecet kulitku, belum retak tulangku, bahkan belum keluar keringatku, siapa yang kalah! Ha-ha-ha!" Thian-tok tertawa bergelak. Hai-tok mengerutkan alis. Memang benar, lawannya belum berkeringat di leher dan dahinya. Dia lupa bahwa hal ini adalah karena lawannya memakai baju yang terbuka sehingga dada, leher dan perutnya telanjang, dan tentu saja tidak mudah berkeringat seperti dia yang berbaju rapat dan tebal.

"Hemm, manusia sombong! Kalau tidak kalah, kenapa mundur dan menghentikan perkelahian?" bentak Hai-tok sambil melintangkan tongkatnya.

"Aku hanya takut kalau-kalau senjata-senjataku ini rusak. Aku hendak menyimpan senjata-senjataku ini dan menantangmu untuk berkelahi dengan kedua tangan kosong.

"Kita dilahirkan hanya dengan kaki tangan, maka marilah kita lanjutkan dengan menggunakan kaki tangan saja untuk melihat siapa yang sesungguhnya lebih unggul. Atau, engkau takut bertangan kosong dan hendak menghadapi kedua tanganku dengan tongkat itu? Ha-ha-ha, begitupun aku berani!"

"Huh, gendut sombong jangan berlagak. Siapa takut padamu? Lihat, aku juga menyimpan tongkatku, dan mari kita bertanding dengan tangan kosong sampai selaksa jurus!" Hai-tok menyerahkan tongkatnya kepada Song Kim yang menerimanya dengan membungkuk hormat. Girang hati pemuda ini karena dia maklum bahwa dalam hal inipun dia lebih dipercaya oleh gurunya dari pada Kiki, sehingga tongkat pusaka itu dititipkan kepadanya! Selamatlah dia karena gurunya tentu akan membelanya mati-matian. Dia tadi sudah memungut pedangnya dan kini, di samping pedangnya, tongkat pusaka itu berada di tangannya.

Andaikata suhunya sampai kalah, dia dapat mempergunakan tongkat itu untuk mengamuk, diapun sudah pernah mempelajari Kim-kong-pang. Kini dua orang Kakek itu, dengan tangan kosong, sudah saling menghampiri. Tubuh mereka yang sama besarnya itu, termasuk kelas berat, bergerak maju perlahan-lahan seperti dua ekor gajah yang hendak berkelahi. Tiga orang muda yang sejak tadi menjadi penonton, Kiki, Siu Coan, dan Song Kim, tidak berani bergerak untuk membantu, karena mereka sudah dilarang untuk mencampuri perkelahian tingkat tinggi itu. Tentu saja, karena tidak boleh membantu, hati mereka menjadi penuh dengan ketegangan. Terutama sekali hati Kiki. Gadis ini merasa bingung dan diam-diam ia marah kepada Ayahnya. Ayahnya sudah menyatakan persetujuannya kepada Siu Coan untuk membantunya membunuh Song Kim.

Bagaimana sekarang Ayahnya itu berbalik membela Song Kim? Dan kini muncul guru Siu Coan yang membela Siu Coan sehingga berkelahi mati-matian dengan Ayahnya. Tentu saja sukar baginya untuk berpihak lagi! Kalau ia berpihak kepada Ayahnya, seperti kecondongan hatinya, berarti ia berpihak kepada Song Kim! Dan ini tidak boleh terjadi! Sebaliknya kalau ia berpihak kepada Siu Coan, berarti ia menghadapi Ayahnya sendiri sebagai musuh dan inipun tidak boleh terjadi! Sementara itu, dua orang Kakek itu sudah saling serang. Setelah tidak mempergunakan senjata, perkelahian itu menjadi semakin sengit, semakin seru dan ramai sekali. Terdengar suara "Bak-bik-buk" ketika dua pasang lengan itu saling bertemu dan bertumbukan. Dua tenaga sakti saling bertemu dan getarannya sampai terasa oleh tiga orang muda itu.

Namun, kedua orang Kakek itu memang memiliki kekebalan sehingga biarpun kadang-kadang ada pukulan yang sempat mampir ke tubuh, pukulan itu dapat mereka tahan dan mereka masih juga bertahan, belum ada yang roboh. Keduanya mengerahkan tenaga dan juga mengerahkan kecepatan mereka, dan memang kedudukan mereka seimbang sehingga perkelahian itu berlarut-larut tanpa ada yang mendesak atau terdesak. Saling gebuk, saling tendang, dan kalau dua tenaga raksasa itu bertemu dengan dahsyatnya, paling-paling keduanya hanya terdorong mundur, terhuyung-huyung, kemudian melangkah maju lagi sambil mendengus-dengus penuh kemarahan dan penasaran. Bukan main lamanya perkelahian itu. Setelah matahari condong ke barat, keduanya mulai kehabisan tenaga. Hampir sehari penuh mereka berkelahi! Dan mereka adalah Kakek-kakek yang usianya tujuh puluh tahun lebih.

Bahkan Thian-tok sendiri yang bajunya terbuka sekarang mandi keringat, demikian pula Hai-tok. Keduanya sudah bermandi peluh sendiri, dan dari kepala mereka keluar uap putih membumbung ke atas, tanda bahwa tubuh mereka panas sekali. Mereka kini agak terhuyung, kehabisan tenaga dan napas. Dengan napas mereka semakin berat, sementara pukulan-pukulan mereka semakin kendur. Bahkan kini mereka tidak berani lagi menendang karena salah-salah dapat terjengkang sendiri kalau menendang dengan sisa tenaga yang tinggal sedikit. Kiki merasa kasihan kepada Ayahnya. Ia tidak berpihak, akan tetapi tentu saja sebagai anak, ia khawatir kalau-kalau Ayahnya akan roboh bukan karena kalah, melainkan karena kehabisan tenaga dan napas, walapun keadaan Thian-tok tidak jauh bedanya. Ia lalu berkata nyaring.

"Kenapa ji-wi seperti anak-anak kecil saja? Lihat, matahari pun bosan melihat ji-wi dan bersembunyi. Kenapa tidak berhenti dulu dan dilanjutkan kalau hari sudah terang kembali?" Teriakannya percuma saja, karena dua orang Kakek itu dengan keras kepala dan keras hati masih saling gebuk walaupun gebukan mereka kini sudah hampir tak mengandung tenaga lagi, seperti saling tepuk saja.

"Locianpwe Thian-tok dan Ayah. Kalau kalian mau berhenti malam ini, aku akan memasakkan daging kijang yang enak untuk kalian, dan memasakkan air teh yang hangat dan harum." Ucapan ini menolong. Tiba-tiba saja dua orang Kakek itu mendengar betapa perut mereka berkeruyuk. Leher mereka kering haus, dan mendengar penawaran Kiki itu, mulut mereka menjadi basah oleh air liur mereka. Entah siapa yang lebih dulu memulai, tiba-tiba saja tubuh mereka merenggang dan saling menjauhi, dan keduanya menghadapi Kiki.

"Heh...heh... aku mendengar masakan daging kijang tadi? Mana?" kata Thian-tok.

"Teh hangat? Aih, aku haus sekali Kiki!" kata Hai-tok. Kiki memandang kepada dua orang Kakek itu bergantian.

"Kalau kalian mau berjanji malam ini tidak akan berkelahi, aku tentu akan menyediakan makanan dan minuman seperti yang kukatakan tadi, bahkan lebih banyak lagi." Dua orang Kakek itu saling pandang dan agaknya mereka bimbang. Mau mengalah, merasa malu, diteruskan, sudah terlalu lelah.

"Bagaimana Thian-tok?" tanya Hai-tok. Thian-tok mengangguk cepat.

"Memang tidak enak bertanding dalam gelap. Besok bisa kita lanjutkan."

"Nah, sekarang kalian beristirahatlah, aku akan mempersiapkan makanan dan minuman," kata Kiki dengan girang. Karena tidak berani bermain curang, tiga orang muda itu lalu diam-diam turun tangan dan bekerja. Tanpa diperintah, bukan untuk bermuka-muka melainkan karena melihat keperluannya, Song Kim lalu mengumpulkan kayu kering untuk membuat api unggun, sedangkan Siu Coan pergi untuk mencari kijang atau kelinci. Kiki sendiri sibuk mengumpulkan alat-alat dan bumbu masak. Thian-tok mengeluarkan guci araknya dan menuangkan arak ke dalam mangkuk. Melihat itu, Hai-tok menelan ludah. Agaknya Thian-tok tahu akan hal ini, maka diapun setelah minum arak dari mangkuk, melemparkan gucinya kepada Hai-tok.

"Nah, kau minumlah dulu dari guciku, Hai-tok, sebelum anakmu selesai membuat air teh!"

Hai-tok menerima guci itu dan tanpa malu-malu lagi membuka tutupnya dan minum arak beberapa teguk, lalu melemparkan kembali guci itu, kepada pemiliknya. Kini dua orang Kakek itu, di bawah penerangan sinar api unggun yang kemerahan, mulai memeriksa tubuh masing-masing. Ada perasaan memar pada beberapa bagian tubuh yang terkena pukulan, dan mereka kini memeriksa kedua lengan mereka yang bengkak-bengkak dan matang biru. Masing-masing mengeluarkan obat dan menggosok kedua lengan dan kaki dengan obat gosok. Memang aneh sekali watak dua orang Kakek yang menjadi datuk sesat di antara Empat Racun Dunia ini. Tidak ada kejahatan yang pantang mereka lakukan, namun karena kedudukan mereka yang tinggi, mereka itu merupakan orang-orang yang tidak mau melakukan hal-hal yang akan merendahkan nama mereka.

Seperti keadaan mereka sekarang itu. Kini Thian-tok hanya tinggal sendirian saja. Muridnya Siu Coan, pergi berburu binatang. Dalam keadaan kehabisan tenaga seperti itu, kalau Hai-tok mau berlaku curang, tentu mudah baginya menyuruh Song Kim turun tangan membunuh Kakek itu. Akan tetapi tidak, Hai-tok sama sekali tidak sudi melakukan kecurangan ini, bahkan andai kata muridnya itu berani berbuat curang, tentu dia sendiri yang akan menentangnya. Padahal tadi, dalam perkelahian, mereka itu dengan sungguh-sungguh berusaha mencari kemenangan dan berusaha saling merobohkan atau bahkan saling membunuh! Padahal, kalau tidak menghadapi sesama datuk sesat, andaikata menghadapi lawan dari lain golongan, dua orang datuk ini tidak segan-segan untuk melakukan segala macam tipu muslihat dan kecurangan!

Kiranya di antara mereka terdapat semacam kode etik atau persetujuan tanpa kata yang dipegang teguh di antara golongan mereka sendiri! Tentu saja ini hanya dilakukan oleh mereka yang sudah menjadi datuk atau yang kedudukannya sudah tinggi, sehingga mereka perlu menjaga nama dan kehormatan mereka sebagai datuk. Tak seorangpun akan percaya kalau diberitahu bahwa di antara dua orang Kakek itu terjadi perkelahian mati-matian kalau dia melihat betapa malam itu mereka berdua duduk bersama menghadapi api unggun sambil menikmati hidangan masakan yang dibuat oleh Kiki! Kijang muda gemuk yang didapatkan Siu Coan, akhirnya habis semua dagingnya oleh mereka berlima! Setelah makan minum dengan kenyang, dua orang Kakek itu menguap dan nampak betapa mereka mengantuk sekali, hampir tidak lagi dapat membuka kedua mata.

"Heh-heh-heh, enak sekali masakan anakmu, Hai-tok! Heh-heh-heh!" kata Thian-tok sambil mengelus-elus perutnya yang gendut. Hai-tok tersenyum.

"Dan senang sekali dapat berlatih silat denganmu. Aihh, sudah puluhan tahun aku tidak dapat berlatih seenak tadi. Engkau ini tua-tua masih hebat, aku kagum sekali. Akan tetapi tunggu saja sampai besok. Besok aku akan memaksa engkau bertekuk lutut di depan kakiku!"

"Ha-ha-ha-ha!" Thian-tok tertawa.

"Engkaulah yang tua-tua keladi, makin lama makin menjadi. Akan tetapi besok engkau tentu akan roboh dan tak dapat bangkit kembali!" Keduanya masih ingin saling mengejek, akan tetapi karena kantuk yang hampir tak tertahankan, keduanya menguap berkali-kali dan merebahkan diri dekat api unggun yang hangat.

"Kalian tak boleh menyerang siapapun, tak boleh berkelahi. Urusan ini harus kami berdua yang menyelesaikan melalui perkelahian terakhir besok!" kata Hai-tok kepada murid dan puterinya.

"Siu Coan, jangan kau campuri urusanku ini. Tunggu sampai besok dan jangan kau melayani siapapun. Tahu?" Thian-tok juga memesan muridnya. Tiga orang muda itu hanya saling pandang. Kehebatan perkelahian antara guru-guru mereka itu membuat urusan di antara mereka, pertentangan di antara mereka nampak kecil tak berarti. Sebelum tiga orang muda itu menjawab, dua orang Kakek luar biasa itu sudah mendengkur dengan keras.

Bahkan dalam dengkur itu, mereka seperti berlumba untuk saling mengalahkan. Demikian keras dengkur mereka sehingga banyak binatang hutan yang tidak berani mendekati tempat itu. Pada keesokan harinya, pagi-pagi sekali, begitu matahari menyinarkan cahayanya di permukaan bumi, dua orang Kakek itu sudah terbangun, mengulet dan tiba-tiba saja mereka teringat akan urusan mereka dan keduanya meloncat berdiri. Mereka kembali mengulet dan merasa segar setelah malam tadi makan dan tidur sampai kenyang. Akan tetapi harus mereka akui bahwa kedua lengan mereka masih terasa nyeri-nyeri dan seluruh tubuh mereka terasa linu dan pegal, tulang-tulang mereka seolah-olah tidak benar letaknya! Melihat betapa dua orang Kakek itu nampaknya sudah siap lagi, Kiki yang tetap merasa khawatir itu berkata.

"Ayah, apakah kalian tidak mau sarapan dulu?"

"Ha-ha-ha, Hai-tok sungguh dimanja anaknya. Anak baik, kalau Ayahmu terlalu kenyang makan, tentu belum seratus jurus dia sudah roboh di depan kakiku, terlalu banyak makan, ha-ha-ha..."

"Tidak perlu sarapan, Kiki. Hei, Thian-tok, lihat di angkasa sudah ada tanda-tanda bahwa hari ini adalah hari kematian Thian-tok. Kematian sudah berada di depan mata dan engkau masih banyak berlagak?"

"Engkaulah yang akan mampus, ha-ha-ha. Mari kita lanjutkan perkelahian kemarin, Setan Lautan Pemakan Ikan."

"Iblis gendut, nanti kutendang pecah perutmu!"

Hai-tok juga memaki dan keduanya segera menghampiri lapangan rumput dimana kemarin mereka berkelahi. Dan di lain saat, sudah terdengar suara "Bk-bik-buk" ketika mereka sudah saling hantam dan saling tendang dengan penuh semangat. Tenaga mereka masih utuh sekarang, walaupun badan masih terasa lelah. Semalam mereka sudah mengatur siasat mencari akal bagaimana harus mengalahkan lawan, maka sekarang mereka mengerahkan tenaga dan menggunakan segala macam akal untuk mencapai kemenangan. Seperti juga kemarin, Hai-tok memainkan ilmu Thai-lek Kim-kong-jiu. Ketika Thian-tok yang juga sudah mengatur akal semalam untuk mencari jalan untuk mengalahkan lawan menyerangnya dengan kedua tangan dibentuk seperti cakar-cakar naga,

Tiba-tiba Hai-tok menangkis dan tubuhnya terpelanting, lalu rebah miring. Tentu saja Thian-tok merasa girang, sekali dan secepat kilat dia membungkuk untuk mengirim serangan selanjutnya kepada lawan yang sudah roboh. Akan tetapi tiba-tiba tubuh yang miring itu bergerak seperti seekor ikan di dalam air, lalu membalik dan kakinya menendang ke arah lutut dan pusar Thian-tok! Kiranya Hai-tok tadi hanya pura-pura saja jatuh, lalu menggunakan gerakan yang diambil dari gerakan ilmu di dalam air yang dikuasainya "berenang" dan melakukan tendangan tiba-tiba amat kuat. Thian-tok hanya mampu menyelamatkan lututnya, akan tetapi tendangan kedua yang mengarah ke pusarnya itu terpaksa diterimanya sambil mengerahkan sin-kang.

"Desss...!" Thian-tok tidak terluka karena terlindungi hawa sin-kang, namun saking kerasnya tendangan, tubuhnya yang gendut itu terpental dan terbanting ke atas tanah dalam keadaan duduk.

"Ngeeek!" Karena terbanting pantatnya, Kakek itu merasa nyeri juga dan menyeringai lebar untuk menutupi rasa nyerinya. Dia sudah bangkit lagi ketika Hai-tok datang melakukan serangan dengan tubuh agak membungkuk seperti seekor kerbau menanduk, akan tetapi yang menjadi tanduknya adalah dua buah tangannya.

Melihat serangan yang aneh ini, Thian-tok tertawa akan tetapi juga siap dengan siasat yang diaturnya semalam. Dia membiarkan lawan menyerang sampai dekat, dan tiba-tiba tangan kirinya menyambar ke depan. Dan genggaman tangan kirinya keluarlah tanah dan debu yang tadi dicengkeramnya dengan diam-diam ketika dia terjatuh. Kini tanah berdebu yang dilempar dengan tenaga besar itu menyambar ke arah muka dan leher Hai-tok. Tentu saja Hai-tok terkejut bukan main. Terpaksa memejamkan mata untuk melindungi mata kemasukan dengan kedua tangannya cepat menubruk dengan cengkeraman ke depan. Namun dia menubruk tempat kosong, dan sadar bahwa lawan menggunakan siasat, dia cepat membalik dan mengayun kedua tangan melindungi tubuh. Akan tetapi kurang cepat. Thian-tok tadi setelah menyambitkan debu, sudah meloncat dan dan atas dia menghantam ke arah tengkuk lawan.

"Plakkk!" Pukulan itu tertangkis, akan tetapi karena agak terlambat, pukulan itu masih menyeleweng dan mengenai pundak kiri Hai-tok.

"Desss!" Hai-tok sudah melindungi tubuhnya dengan kekebalan, akan tetapi kerasnya pukulan membuat dia terpelanting roboh! Kakek itu memang lihai sekali, begitu roboh, kedua kakinya melakukan tendangan-tendangan berantai ke atas dan dengan kedua tangan menekan tanah sehingga Thian-tok tidak berani mendekat, dan Hai-tok mampu bangkit kembali dengan loncatan. Mereka kini berdiri saling berhadapan lagi, dengan napas agak terengah dan kedua mata melotot.

Karena masing-masing sudah merasakan hantaman lawan, mereka mulai marah dan muka mereka menjadi kemerahan, sepasang mata mereka memancarkan sinar beringas! Dua orang Kakek tua renta itu sudah saling berhadapan bagaikan dua ekor singa yang siap untuk saling terkam! Tiga orang muda itu menonton seperti kemarin serasa tegang, karena mereka dapat menduga bahwa hari ini, tentu dua orang Kakek itu sudah mengambil keputusan untuk menang. Perkelahian hari ini tentu mati-matian dan menentukan, apalagi karena tenaga mereka tentu tidak akan sekuat kemarin lagi. Mungkin belum sampai siang, seorang di antara mereka akan roboh dan bisa juga tewas. Hal ini membuat mereka
(Lanjut ke Jilid 40)

Pedang Naga Kemala (Seri ke 01 - Serial Pedang Naga Kemala)
Karya : Asmaraman S. (Kho Ping Hoo)

Jilid 40
merasa serba salah. Membantu, berarti mereka melanggar larangan suhu mereka. Tidak membantu, hati merasa tidak tega melihat betapa suhu masing-masing sudah nampak loyo dan repot.

Memang, kedua orang Kakek yang usianya sudah amat tinggi itu telah memeras tenaga di luar batas kemampuan tubuh mereka yang tua, sehingga kini mereka sudah mulai nampak kehabisan tenaga dan napas walaupun mereka baru berkelahi tiga-empat jam dan matahari belum naik terlalu tinggi. Kini, dua orang Kakek itu tidak dapat mengerahkan sin-kang, tidak mampu bergerak cepat. Gerakan mereka lambat sekali, namun setiap gerakan masih mengandung sin-kang yang kuat. Pukulan-pukulan dilakukan lambat, namun penuh tenaga, demikian pula tangkisan. Setiap pertemuan kedua lengan, baru nampak betapa hebatnya mereka mempergunakan tenaga sin-kang. Sekitar mereka seolah-olah ikut tergetar apabila lengan mereka saling bertemu. Selagi tiga orang muda itu kebingungan, tidak tahu apa yang harus mereka takukan, tiba-tiba terdengar suara halus namun nyaring.

"Omitohud, kalian seperti anak-anak nakal saja! Harap hentikan pertandingan itu, pinceng mau bicara!" Tahu-tahu di situ telah berdiri seorang hwesio tua yang bertubuh gendut seperti tubuh Thian-tok, dan tiga orang muda itu tentu saja mengenal Kakek ini yang bukan lain adalah Siauw-bin-hud!

Akan tetapi, dua orang Kakek yang sedang berkelahi itu tidak menghentikan perkelahian mereka. Bukan mereka tidak mau mendengarkan dan menuruti permintaan Siauw-bin-hud, melainkan mereka tidak mungkin lagi dapat menghentikan perkelahian itu. Gerakan-gerakan mereka yang lambat itu susul-menyusul dan apabila seorang di antara mereka mendahului lawan menghentikan serangan, besar bahayanya dia akan terkena pukulan yang akan mendatangkan akibat yang parah. Melihat ini, Siauw-bin-hud diam-diam terkejut. Tak disangkanya bahwa dua orang Kakek sesat ini berkelahi benar-benar, bahkan sudah berada di ambang maut karena keduanya sudah berada dalam keadaan mengadu nyawa. Cepat dia mengeluarkan seruan halus.

"Omitohud!" Dan tubuhnya menerjang ke depan di tengah-tengah antara kedua orang Kakek itu. Siauw-bin-hud mengembangkan kedua lengannya ke kanan kiri, yang kanan menolak tangan Thian-tok, yang kiri menolak tangan Hai-tok.

"Desss...!"

Hebat bukan main pertemuan tenaga antara dua orang Kakek yang sedang berkelahi itu dengan tenaga Siauw-bin-hud yang menahan mereka. Dua orang Kakek itu merasa betapa tenaga serangan mereka amblas ke dalam kelunakan yang membuat mereka merasa seperti terjatuh dari tempat tinggi sekali. Mereka melawan karena terkejut, akan tetapi perlawanan mereka itu mengakibatkan mereka terlempar ke belakang sampai dua meter, sedangkan Siauw-bin-hud berdiri dengan tubuh agak bergoyang-goyang dan mukanya agak pucat. Kakek Siauw-lim-pai ini baru saja terhimpit antara dua tenaga raksasa! Dari sini saja dapat diketahui betapa hebatnya kepandaian Siauw-bin-hud, dan dua orang Kakek itupun harus mengakuinya. Mereka bangkit berdiri dengan agak susah. Thian-tok dibantu oleh Siu Coan dan Hai-tok dibantu oleh Song Kim yang cepat-cepat menghampiri gurunya.

"Siauw-bin-hud, kenapa engkau mencampuri urusan kami? Aku sudah hampir dapat membunuhi Setan Gendut itu tadi!" kata Hai-tok setelah dia dapat mengatur pernapasannya dan dia nampak penasaran.

"Ha-ha-ha, Siauw-bin-hud, Setan Lautan itulah yang tadi sudah hampir mampus. Eh, hwesio yang jahil, apakah engkau hendak pamer kepandaian maka engkau berani melerai kami?"

"Omitohud, sungguh heran sekali, malah kalian yang menegur pinceng!" Siauw-bin-hud tertawa.

"Apakah itu tidak terbalik namanya? Sepatutnya, pinceng yang harus menegur kalian! Sepatutnya kalian, seperti pinceng, berprihatin melihat keadaan negara kita."

"Lihat, perjuangan rakyat menurun semangatnya, pemerintah penjajah Mancu menjadi semakin lemah tak tahu malu, menjuali bagian-bagian tanah kepada orang kulit putih, dan lihat... orang orang asing kulit putih itu kini menjadi semakin kuat, merajalela dan kekuasaan mereka semakin meluas.

"Dalam keadaan seperti ini, kalian bukannya bersatu untuk menyusun kekuatan menentang dan membela tanah air dan bangsa, malah kalian seperti anak-anak kecil saja yang memperebutkan kembang gula, saling pukul sampai loyo! Apakah kalian tidak malu? Omitohud, kalau kalian orang-orang tua tidak memberi contoh yang baik, apalagi yang dapat diharapkan dari yang muda-muda?"

"Ah, engkau tidak tahu apa yang tenjadi di antara kami!" Hai-tok membentak, masih penasaran.

"Murid Thian-tok memukuli muridku, siapa yang tidak akan marah?"

"Maaf, locianpwe..." kata Siu Coan membela diri.

"Saya telah mendapat ijin locianpwe Tang Kok Bu untuk membantu puterinya, Ki-moi, mencari dan membunuh pengkhianat Lee Song Kim. Bahkan saya sudah diterima untuk menjadi calon suami Ki-moi. Akan tetapi ketika kami menghajar Lee Song Kim, muncul Tang-locianpwe menyerang saya."

"Nah, nah... apa itu tidak gila namanya? Melihat Siu Coan diserang oleh tua bangka ini, aku merasa ditantang!" Thian-tok menyambung.

"Omitohud...!" Siauw-bin-hud tertawa lebar.

"Heh-heh-heh, kiranya hanya urusan jodoh. Hai-tok, bagaimana pendapatmu tentang jodoh puterimu?"

"Aku belum pernah meresmikan perjodohan antara anakku dan Ong Siu Coan. Akan tetapi sekarang aku ingin menjodohkan anakku dengan Lee Song Kim!" kata Hai-tok.

"Ayah! Aku tidak sudi!!" Kiki berteriak memandang ayahnya dengan mata terbelalak penuh penasaran dan kemarahan.

"Engkau harus mau!" kata ayahnya.

"Tidak, lebih baik aku mati saja dari pada menikah dengan dia!"

"Hemm, hendak membantah dan melawan orang tua? Kalau begitu matilah!" Hai-tok menjadi marah dan mengambil tongkatnya, akan tetapi Siauw-bin-hud sudah di depannya sambil tertawa.

"Ha-ha-ha, urusan perjodohan adalah urusan yang menggembirakan, kenapa harus mengakibatkan seorang ayah hendak membunuh puterinya? Hai-tok, sebenarnya yang ingin menikah itu engkau ataukah puterimu? Yang hendak memilih suami itu engkau ataukah puterimu?" Mendengar pertanyaan ini, Thian-tok tertawa bergelak, dan muka Hai-tok berubah merah sekali. Dia tahu bahwa pendeta tua itu tidak ingin mengejeknya, namun pertanyaan itu merupakan tikaman bagi hatinya karena dia memang seorang yang suka sekali kepada pemuda-pemuda tampan!

"Gila! Tentu saja anakku!" bentaknya ketus.

"Nah, kalau anakmu yang mau berjodoh, kenapa tidak membiarkan ia memilihnya sendiri? ia yang akan menikah, ia pula yang berhak menentukan calon suaminya, bukan?" Siauw-bin-hud berkata ramah dan sambil tersenyum. Hai-tok menggeleng kepala dan mengerutkan alisnya.

"Tidak, tidak akan baik jadinya kalau anak memilih sendiri. Harus orang tua yang memilihkan. Pandangan anak masih sempit dan hijau, hanya melihat ketampanan wajah seorang pemuda saja.

"Sebaliknya, pandangan orang tua lebih luas dan jauh jangKau annya, memperhitungkan masa depan anaknya. Tidak, Siauw-bin-hud, sekali ini engkau keliru. Pemilihan jodoh seorang anak perempuan harus di tentukan oleh orang tuanya."

"Heh-heh-heh, ini pandanganmu sebagai orang tua, bukan? Tentu saja begitu! Orang tua memilihkan calon jodoh anak perempuannya sesuai dengan pandangannya, sesuai dengan pandangannya terhadap calon mantu itu. Dan pinceng percaya bahwa orang tua yang memilihkan jodoh anaknya akan memperhitungkannya masak-masak untuk masa depan anaknya.

"Akan tetapi benarkah demikian? Bukankah si orang tua hanya memperhitungkan masa depan dirinya sendiri? Si orang tua hanya mencari kesenangan hatinya sendiri tanpa memperhitungkan perasaan anaknya? Dia boleh senang kepada calon mantu yang dipilihnya, akan tetapi bagaimana dengan anaknya?

"Orang tua menganggap bahwa apa yang disukai tentu akan disukai pula oleh anaknya, benarkah pendapat ini? Ingat, Hai-tok, alam pikiran orang tua dan anaknya belum tentu sama, selera di antara mereka mungkin sekali berbeda." Sejenak Hai-tok termenung, lalu membantah.

"Akan tetapi Siauw-bin-hud, pandangan seorang gadis muda masih terlalu dangkal dan hijau untuk dapat melakukan pemilihan yang tepat. Ia akan mudah terpikat dan terbujuk omongan manis, sikap yang manis, dan wajah yang gagah tampan. Apakah orang tuanya tidak akan ikut menyesal kelak kalau sampai ternyata kemudian pilihannya itu keliru?"

"Mungkin saja bisa keliru. Akan tetapi kekeliruan karena pilihan sendiri menjadi tanggung jawabnya sendiri, dan si anak yang akan mengalami segala akibatnya, bukan? Orang tua hanya menonton saja.


Pedang Naga Kemala Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo


"Kalau seorang anak keliru memilih, kelak ia akan menyesali nasib dan diri sendiri yang salah pilih, tidak menyalahkan orang tua. Sebaliknya, kalau orang tua yang salah pilih, dia akan menjadi bulan-bulan penyesalan anaknya!" Hai-tok mengerutkan alisnya dan memandangi kepada Hwesio tua itu.

"Siauw-bin-hud... engkau memang pandai bicara. Habis, apa yang harus dilakukan orang tua? Menurut saja kepada kehendak anak perempuannya, walaupun dia tahu bahwa pilihan anaknya itu keliru?"

"Ho-ho-ho, jangan menjebak omongan, Hai-tok. Apa yang harus dilakukan orang tua? Bukan orang yang baik namanya kalau membiarkan saja, acuh saja akan segala tindakan anak-anaknya.

"Orang tua harus memberi kebebasan kepada anaknya, akan tetapi bukan berarti lalu acuh dan tidak perduli. Orang tua mengamati saja dari belakang, dan kalau melihat kenyataan bahwa tindakan anaknya keliru, orang tua berkewajiban untuk mengingatkannya, menasihatinya.

"Akan tetapi bukan berarti lalu orang tua memaksa anaknya untuk mentaati segala kehendaknya, menerima segala pilihan yang dilakukan orang tua untuk anaknya. Apalagi dalam hal memilih jodoh."

"Mungkin ada benarnya ucapanmu itu, Siauw-bin-hud. Akan tetapi kenyataannya, kuanggap Lee Song Kim ini seorang murid dan calon mantu yang baik sekali."

"Ha-ha-ha-ha!" Thian-tok tertawa bergelak.

"Baik apanya? Karena ulahnya, kita berdua hampir mati konyol, Hai-tok! Dan para pimpinan pejuang hampir mati konyol semua! Dan Kau masih memujinya sebagai murid dan calon mantu yang baik? Heh-heh-heh!"

"Thian-tok, engkau lah yang mendurhakai golongan kita! Coba ingat baik baik, apa jadinya dengan murid-muridmu sendiri? Apa jadinya dengan murid Tee-tok dan San-tok? Huh, mereka semua menjadi orang-orang yang meninggalkan golongan kita, condong untuk menjadi pendekar dan menentang golongan kita!

"Huh, lupakah engkau siapa dirimu, siapa kita, siapa Empat Racun Dunia yang namanya pernah menggemparkan jagad? Hanya muridku seorang inilah yang masih aseli! Dia melakukan apa saja yang hebat, yang tidak kalah oleh tindakan kita!

"Segala kecurangan dan tipu muslihat itu menunjukkan bahwa dia cerdik dan patut menjadi murid Hai-tok! Dia melakukan semua itu karena ada tujuan yang besar, bukan sekedar main gagah-gagahan! Aku suka padanya dan dia patut menjadi muridku, bahkan patut menjadi mantuku atau puteraku sekalipun!" Dibantah seperti itu, Thian-tok tak mampu bantah lagi. Memang, tadinya diapun merasa bangga akan tinglah laku Koan Jit, muridnya yang pertama, yang dalam hal kejahatan tidak kalah oleh Empat Racun Dunia sendiri! Akan tetapi muridnya itu akhirnya tewas sebagai seorang pendekar! Dan Siu Coan inipun tidak begitu menonjol dalam hal kejahatan seperti suhengnya. Apalagi Gan Seng Bu yang mati muda karena tergila-gila kepada seorang wanita kulit putih!

"Ha-ha-ha, sesukamulah Hai-tok, itu urusan pribadimu, aku tidak mau turut campur. Asal engkau tidak mengganggu muridku, akupun tidak perduli," akhirnya Thian-tok berkata dengan sikap acuh.

"Omitohud...!" Siauw-bin-hud juga tertawa kini.

"Bukankah amat mudahnya melenyapkan permusuhan dan lebih enak hidup damai antara manusia! Hai-tok, urusan jodoh adalah urusan anak, hal itu sudah Kau akui kebenarannya. Nah, urusan perjodohan anakmu juga serahkan saja kepadanya sendiri. Biarkan ia yang memilih calon suaminya."

"Aku memilih Ong Siu Coan!" Tiba-tiba Kiki berseru. Sebetulnya, hati Kiki hanya satu kali saja pernah tertarik kepada pria, yaitu kepada Tan Ci Kong. Akan tetapi karena dara inipun tahu bahwa Ci Kong dicinta banyak gadis lain, dan melihat betapa Siu Coan yang mendekatinya, iapun menentukan pilihannya kepada Siu Coan, seorang pemuda yang dianggapnya memiliki cita-cita besar sekali. Hai-tok cemberut. Untuk menentang anaknya, dia merasa malu kepada Thian-tok dan Siauw-bin-hud. Maka sambil bersungut-sungut dia menyumpah.

"Anak tolol! Kalau engkau tidak mau berjodoh dengan Song Kim pilihanku, biarlah engkau tak usah kembali ke Pulau Naga dan jangan anggap aku sebagai ayahmu lagi!" Kiki adalah seorang anak yang sejak kecil dimanja dan memang wataknya keras dan bandel sekali. Mendengar ucapan ayahnya itu, ia memandang ayahnya dan berkata.

"Kata ayah sendiri bahwa anak harus mentaati perintah orang tua. Nah, sekarangpun aku akan mentaati perintah ayah, aku tidak akan pulang ke Pulau Naga."

"Ha-ha-ha!" Thian-tok tertawa bergelak sampai perutnya yang gendut itu bergoyang-goyang.

"Bagus, bagus! Ini namanya Hai-tok rugi kehilangan anak perempuan, akan tetapi aku untung mendapatkan seorang mantu perempuan, ha-ha-ha!" Siauw-bin-hud melihat betapa sepasang mata Hai-tok mencorong marah, maka diapun cepat berkata sambil tertawa.

"Siapa bilang Hai-tok rugi? Dia boleh jadi kehilangan anak perempuan, akan tetapi dia mendapatkan seorang anak laki-laki sebagai penggantinya." Mendengar ini, wajah Hai-tok berseri dan diapun tertawa.

"Ha-ha-ha... orang bilang bahwa anak perempuan itu hanya mendatangkan kesialan belaka, sebaliknya anak laki-laki mendatangkan bahagia. Thian-tok memperoleh seorang anak perempuan, dan aku mendapatkan seorang anak laki-laki, biarlah semua kesialan akan menimpa Thian-tok dan semua kebahagiaan menjadi bagianku. Mulai detik ini, Song Kim kuangkat menjadi puteraku." Song Kim yang amat cerdik itu, begitu mendengar ucapan Suhunya seperti itu, tanpa membuang waktu lagi dia segera menjatuhkan diri berlutut di depan kaki Hai-tok, memberi hormat dan berkata.

"Ayah...!" Dan Hai-tok menerima penghormatan itu sambil tersenyum girang. Dengan berkerut, Kiki melangkah maju.

"Song Kim, di antara kita masih ada perhitungan yang belum kita bereskan! Bangkitlah dan mari kita bertanding sampai seorang di antara kita menggeletak tak bernyawa tanpa ada campur tangan orang lain! Aku tantang Kau , dan kalau engkau tidak berani menerima tantanganku, berarti engkau hanya seorang laki-laki pengecut dan hina, rendah dan tak tahu malu!" Song Kim memang cerdik. Tadi dia sudah melihat gerakan-gerakan Kiki, dan dia maklum bahwa sumoinya itu telah memperoleh ilmu lain yang membuat sumoinya dapat bergerak amat cepatnya. Mungkin sekarang dia tidak akan mampu mengalahkan sumoinya, maka setelah selesai memberi penghormatan ke ayah angkatnya, diapun bangkit berdiri tanpa menjauhi ayahnya dan berkata dengan halus.

"Sumoi, apakah sebabnya engkau menantangku? Perhitungan apakah yang ada di antara kita?"

"Keparat! Engkau masih pura-pura tidak tahu dan berani bertanya lagi? Lupakah engkau akan apa yang Kau lakukan terhadap diriku ketika aku berangkat meninggalkan Pulau Layar? Engkau menyerangku di dalam perahu dan dengan curang merobohkan aku. Kemudian engkau ... engkau berusaha untuk memperkosaku!" Song Kim tertawa, meniru suara ketawa guru atau ayah angkatnya yang jarang tertawa itu.

"Hemm, sumoi... hal itu hanya membuktikan bahwa aku jauh lebih cerdik dan pada engkau , sehingga engkau dapat kutundukkan di dalam perahu. Akan tetapi, tidak ada alasannya sama sekali bagimu untuk membalas dendam kepadaku, karena bukankah engkau belum ternodai."

"Jahanam! Kalau sudah ternoda, lebih baik aku mati!" teriak Kiki marah. Hai-tok berkata, nada suaranya tegas kepada Kiki.

"Kiki, kalau engkau sudah ternoda oleh Song Kim, engkau harus menjadi isterinya. Kalau belum ternoda, sudahlah... tidak ada urusan lagi antara engkau dan dia." Melihat betapa ayahnya selalu membela Song Kim, Kiki menjadi marah sekali, akan tetapi ia menghadapi ayahnya, walaupun ia tidak diakui lagi, tetap saja ia tidak berani melawan ayahnya yang juga menjadi gurunya. Mukanya menjadi merah dan ia tidak tahu apakah ia harus marah-marah ataukah menangis. Melihat ini, Siu Coan cepat maju dan berkata dengan suara lantang.

"Sungguh penasaran sekali kalau dosa-dosa yang dilakukan Lee Song Kim dibiarkan begitu saja! Semua urusan pribadi boleh kita lupakan. Akan tetapi kita tidak sepantasnya melupakan bahwa dia telah menjadi pengkhianat dan telah menangkap para pimpinan pejuang! Dia telah menjadi musuh para pejuang, maka kita semua akan menjadi pengkhianat pula kalau membiarkan saja dia berkeliaran!"

"Dia tidak selamanya menjadi pengkhianat!" Hai-tok cepat membela.

"Orang yang cerdik selalu bertindak menurut angin yang menguntungkan. Sekarang tidak mungkin lagi bagi dia untuk bekerja sama dengan pemerintah Mancu atau orang kulit putih, berarti dia sekarang menjadi sekutu pejuang." Siauw-bin-hud tertawa lagi. Dia tidak menghendaki terjadi perpecahan antara mereka yang diharapkan akan dapat membantu gerakan para pejuang.

"Omitohud... di dunia ini, manakah ada yang baik selamanya? Baik dan buruk sudah menjadi pakaian manusia, menguasai diri manusia seperti siang dan malam. Perbuatan-perbuatan yang lalu, yang dianggap jahat dan buruk penuh dosa, dapat saja ditebus dengan perbuatan baik.

"Ingatlah kepada Koan Jit. Kurang bagaimana dia? Akan tetapi pada saat terakhir, dia menjadi seorang patriot, seorang pahlawan yang dikagumi semua orang. Kalau Lee Song Kim dapat berbuat seperti Koan Jit, bukankah orang akan melupakan semua perbuatannya yang lalu dan mengaguminya pula."

Mendengar ini, Siu Coan tidak dapat membantah lagi. Harus diakui kebenaran ucapan kakek gundul itu. Suhengnya, Koan Jit, memang merupakan pengkhianat yang jauh lebih besar dibandingkan Song Kim, akan tetapi setelah pada saat kehidupannya yang terakhir, Koan Jit melakukan perbuatan gagah berani, berkorban nyawa demi perjuangan. Orang mengaguminya dan melupakan semua dosanya yang lalu. Thian-tok juga tidak berani membuka mulut, hanya menyeringai saja karena diapun merasa akan kebenaran omongan Siauw-bin-hud. Dia sebagai guru Koan Jit, tentu saja tidak dapat mencela Song Kim sebagai seorang pengkhianat seperti yang dilakukan oleh Siu Coan.

"Ha-ha-ha, memang tua bangka Siauw-bin-hud memiliki pandangan yang amat luas. Kita semua harus menerima pendapatnya itu, dan sudahlah... aku tidak mau memperpanjang urusan lagi. Siu Coan dan Kiki, sebaiknya kalian melanjutkan perjalanan dan buang saja pikiran kalian untuk membunuh Song Kim! Kini dia telah menjadi putera Hai-tok. Kita menjadi anggauta keluarga besar pejuang."

"Suhu, teecu hendak melanjutkan niat teecu untuk membentuk pasukan besar," kata Siu Coan.

"Dan aku akan membantunya!" kata pula Kiki.

"Ha-ha-ha, berangkatlah, muridku, jangan kecewakan harapan gurumu. Engkau harus menjadi pejuang nomor satu di dunia ini, ha-ha-ha!" kata Thian-tok. Mereka lalu bubaran. Siu Coan bersama Kiki, Song Kim pergi mengikuti Hai-tok, dan yang tinggal di situ kini hanyalah Thian-tok dan Siauw-bin-hud. Dua orang kakek yang sebaya, dengan bentuk tubuh dan muka yang mirip sekali seperti dua orang kembar namun dalam keadaan yang amat berbeda, karena yang seorang adalah pendeta Siauw-lim-pai yang terkenal sebagai seorang pertapa yang hidup bersih, sebaliknya Thian-tok adalah seorang di antara Empat Racun Dunia yang paling jahat! Keduanya sama sakti, juga sama-sama suka tertawa gembira. Kini mereka berdiri berhadapan dan saling pandang sambil menyeringai lebar.

"Ha-ha-ha, Siauw-bin-hud, kalau sekali ini engkau tidak muncul, entah akan bagaimana jadinya dengan Hai-tok dan aku. Mungkin kami berdua sudah mampus sekarang. Engkau ternyata dapat memperpanjang usiaku entah beberapa tahun lagi!" kata Thian-tok.

"Bagaimana engkau begini kebetulan dapat muncul di sini?" Siauw-bin-hud tertawa.

"Aha... masih belum tahukah engkau , Thian-tok? Thian sendirilah yang membawa pinceng sampai di sini dan melerai kalian yang sedang berkelahi."

"Haiii, jangan bohong engkau , Hwesio tua! Bagaimana Thian dapat membawamu ke sini? Apakah engkau digendongnya? Ha-ha-ha!" Biarpun wajahnya masih penuh senyum berseri, Siauw-bin-hud menjawab.

"Thian-tok, coba rasakan, apakah jantungmu masih berdenyut?" Thian-tok terkejut, dan sambil mengerutkan alisnya dia memperhatikan. Dan memang jantungnya masih berdenyut! Untung sekali. Dia tadi sudah terkejut setengah mati mendengar ucapan Siauw-bin-hud itu.

"Coba Kau hentikan sebentar saja. Dapatkah?"

"Ha-ha-ha, apakah engkau telah menjadi gila, Siauw-bin-hud? Bagaimana mungkin menghentikan denyut jantung? Kalau berhenti berdenyut, berarti aku sudah mampus!"



Dewi Ular Eps 15 Gelang Kemala Eps 3 Kemelut Kerajaan Mancu Eps 6

Cari Blog Ini