Pedang Naga Kemala 5
Pedang Naga Kemala Karya Kho Ping Hoo Bagian 5
"Ha-ha-ha-ha...!" Kakek gendut itu tertawa bergelak sampai seluruh tubuhnya bergoyang-goyang. Diam-diam Ci Kong mengangkat mukanya memandang dengan heran. Kakekitu tertawa begitu polos, tidak dibuat-buat seperti orang yang merasa geli mendengarkan sesuatu yang lucu. Padahal, dia sendiri tidak melihat atau mendengar sesuatu yang lucu menggelikan. Apa sih yang ditertawakan oleh Kakek gendut aneh itu, pikirnya heran. Akan tetapi lima orang Hwesio tua yang berlutut di situ tidak merasa heran dan mereka hanya menanti saja dengan sabar sampai susiok mereka menghentikan ketawanya.
"Ha-ha-ha, Thian He, apakah sampai sekarang engkau masih juga berpikiran seperti kanak-kanak? Segala macam urusan yang terjadi di dunia ini, baik yang menyerempet diri kita maupun yang bukan, adalah peristiwa yang terjadi, suatu kenyataan yang tak dapat dibantah lagi, dan bagaimanapun juga, semua itu sumbernya terletak pada diri sendiri. Menyesal atau tidak menghadapinya, terserah kepada kita. Apakah hanya dengan penyesalan saja segala urusan dapat diselesaikan? Tidak, sebaliknya malah. Penyesalan mendatangkan kemarahan dan dendam, dan semua itu malah mengacaukan urusan karena mengeruhkan batin. Jelaslah bahwa ada orang yang memalsukan namaku untuk merampas pedang pusaka. Buakankah demikian persoalannya?"
"Benar, susiok. Enam tahun yang lalu, pedang pusaka Giok-liong-kiam yang tadinya disimpan oleh Thian-te-pai sebagai pedang pusaka, lenyap dicuri orang. Dunia kang-ouw menjadi gempar dan semua orang merasa berhak untuk mencari dan memiliki pedang yang sudah terlepas dari tangan Thian-te-pai itu dan terjadilah perebutan. Kemudian, berita terakhir mengatakan bahwa susiok yang telah merampas pedang itu. Nah, bukankah hal ini amat membuat hati penasaran, apa lagi kalau susiok sendiri telah mengatakan bahwa susiok sama sekali tidak tahu tentang pedang itu, apa lagi merampasnya? Orang memalsu nama susiok, mana hal itu dapat dikatakan bersumber pada diri kita sendiri?" Thian He Hwesio , ketua Siauw-lim-si itu membantah sambil mengerutkan alisnya, bagaimanapun juga merasa tidak enak dikatakan masih kekanak-kanakan oleh susioknya di depan para sutenya.
"Ha-ha-ha, mari kita diam sejenak menjernihkan batin agar kita dapat menghadapi kenyataan dengan waspada dan tidak dipengaruhi oleh nafsu-nafsu yang mengeruhkan hati," kata Kakek gendut itu yang lalu memejamkan kedua matanya. Lima orang Hwesio itupun lalu bersila dan memejamkan mata, memangku kedua tangan. Ci Kong yang melihat ini maklum bahwa Suhunya dan yang lain-lain sedang bersamadhi agar batin menjadi kosong. Dia duduk bersila dan memandang semua itu dengan heran. Tak lama kemudian Kakek gendut membuka matanya dan tertawa, membuat yang lain juga membuka mata.
"kalian renungkan baik-baik. Andaikata di dunia ini tidak ada Siauw-bin-hud, andaikata Siauw-lim-pai bukan merupakan partai persilatan yang dianggap kuat, apakah ada orang yang mau jahil memalsu namaku dan Siauw-lim-pai? Nah, sumber semua peristiwa ini didasari keadaanku dan keadaan Siauw-lim-pai, bukan? Jadi sumbernya berada dalam diri sendiri. Berbahagialah orang yang sama sekali tidak ada nama dan tidak dikenal, berbahagialah orang-orang yang berada di tempat paling bawah sehingga tidak nampak menonjol."
"Omitohud, baru sekarang teecu dapat melihat kebenaran ucapan susiok. Memang, dengan penyesalan dan kemarahan kita tidak akan dapat mengatasi masalah, bahkan mengeruhkan batin. Akan tetapi, maaf, susiok, apakah dengan berdiam diri saja masalahnya juga dapat teratasi? Semua orang kang-ouw tentu akan menuduh kita yang menyembunyikan pedang pusaka itu," kata pula Thian He Hwesio .
"Bhkan kini di luar telah datang banyak orang yang menurut dugaan teecu sudah pasti ada urusannya dengan Giok-liong-kiam," sambung Thian Ki Hwesio yang lebih mengenal keadaan dunia luar kuil karena dialah yang menjadi ketua yang bertugas menghadapi semua urusan di luar kuil. Dengan wajah masih tersenyum ramah dan pandang mata sama sekali tidak memancarkan emosi batin, Kakek gendut itu berkata,
"Menghadapi urusan dengan nafsu amatlah tidak benar, akan tetapi menghadapinya dengan acuh juga tidak dapat membereskan urusan. Kita harus menghadapi segala macam peristiwa dengan waspada dan dengan kewaspadaan akan timbul kebijaksanaan dalam bertindak. Omitohud..." Kakek itu kini memandang ke arah Ci Kong dengan sinar mata berseri penuh kagum. Anak itu sedang memandang kepada Siauw-bin-hud dengan sinar mata mencorong seperti mata anak harimau, dan ketika Kakek itu menerima pandang matanya, mereka saling tatap sejenak dan terkagumlah hati Kakek itu.
"Siapakah anak itu?" tanya Siauw-bin-hud tanpa melepaskan pandang matanya ke arah Ci Kong.
"Maaf, susiok, teecu tadi sampai lupa melaporkan. Anak ini bernama Tan Ci Kong dan sejak kurang lebih enam tahun yang lalu menjadi murid teecu. Dia sudah yatim piatu dan Ayahnya seorang siucai yang tewas karena madat..."
"Hemm, demikian hebatkah benda beracun itu kini merajalela?" Kakek gendut bertanya dan masih terus memandang ke arah Ci Kong.
"Ayahnya bukan seorang pemadatan, susiok. Sebaliknya malah, Ayahnya seorang siucai yang gagah perkasa dan menentang peredaran madat. Dia menentangnya dengan tulisan-tulisan sehingga menyeretnya ke dalam kesukaran. Akan tetapi sampai saat terakhir, sebelum tewas dalam tahanan, Tan siucai masih menyebar tulisan-tulisan yang menentang madat, mengecam pemerintah dan memperingatkan rakyat akan bahayanya menghisap madat. Dia tewas dan karena putera tunggalnya ini tidak lagi mempunyai sanak keluarga, teecu lalu mengambilnya sebagai murid dan berdiam di kuil teecu."
"Hebat... hebat...!" Kakek gendut itu mengusap perutnya dan memandang dengan kagum. Entah siapa yang dipujinya, mendiang Tan Siucai ataukah puteranya itu. Akan tetapi, pandang matanya yang tadinya lembut itu kini mencorong tajam dan dia menemukan bahan yang amat baik pada diri anak berusia tigabelas tahun itu. Pada saat itu terdengar suara ribut-ribut di luar kuil dan seorang Hwesio tergesa-gesa masuk ke ruangan itu dan melaporkan bahwa di luar banyak tamu secara paksa minta bertemu dengan Siauw-bin-hud. Thian Tek Hwesio berusaha mencegah mereka, akan tetapi mereka menjadi ribut dan hendak memaksa masuk.
"Hemm, sungguh tak tahu diri mereka itu!" kata Thian He Hwesio dan sekali menggerakkan tubuh, dia sudah berkelebat keluar dari ruangan itu diikuti pula oleh Thian Kong Hwesio dan Thian Khi Hwesio . Siauw-bin-hud agaknya tidak memperdulikan semua itu dan dia melambaikan tangan kepada Ci Kong yang tidak ikut keluar. Di ruangan itu hanya tinggal mereka berdua saja. Melihat betapa Kakek itu melambaikan tangan, Ci Kong lalu bangkit dan menghampiri Kakek itu lalu duduk bersila di depannya, menatap wajah Kakek itu tanpa takut-takut. Siapa akan merasa takut terhadap seorang Kakek gendut yang tersenyum-senyum begitu ramahnya. Siauw-bin-hud tidak bicara apa-apa, akan tetapi kedua tangannya meraba-raba tubuh Ci Kong, dari ujung kepala sampai ke kaki, memijat-mijat dan menekan-nekan dan tiada hentinya dia mengeluarkan suara ketawa kecil.
"Aha, sudah kuduga... hmmm, hebat memang..." Ci Kong tidak tahu apa yang dimaksudkan Kakek itu, akan tetapi dia telah mempelajari ilmu silat selama enam tahun dan diapun dapat menduga bahwa rabaan-rabaan itu tentulah merupakan semacam ujian bagi Kakek itu untuk mengetahui kemajuan dalam hal latihan silat. Tiba-tiba terdengar suara teriakan Thian He Hwesio , ketua Siauw-lim-pai. Biasanya Kakek ini kalau bicara halus biarpun tegas, akan tetapi sekali ini suaranya keras dan agak kasar tanda bahwa dia sedang dilanda kemarahan.
"Cu-wi (anda sekalian) adalah orang-orang terhormat, mengapa bersikap begini kerdil? Sudah pinceng katakan bahwa susiok masih perlu beristirahat dan belum siap menerima kunjungan tamu, mengapa Cu-
(Lanjut ke Jilid 05)
Pedang Naga Kemala (Seri ke 01 - Serial Pedang Naga Kemala)
Karya : Asmaraman S. (Kho Ping Hoo)
Jilid 05
wi memaksa? Sekali lagi kami tekankan bahwa susiok dan kami semua tidak tahu menahu tentang Giok-liong-kiam dan Cu-wi harus tahu bahwa Siauw-lim-pai tidak pernah membohong!" Kini terdengar suara-suara "Duk-duk-duk!" seperti ada benda yang amat berat dipukul-pukul di atas tanah, lalu disambung suara yang mengandung kekuatan khikang yang hebat.
"Hemm aku datang untuk bertemu dengan Siauw-bin-hud seorang, dan tidak ingin berurusan dengan Siauw-lim-pai. Siauw-bin-hud sudah keluar dari tempat persembunyiannya, apakah dia masih takut bertemu orang?" Mendengar suara ini, tiba-tiba Siauw-bin-hud yang masih meraba-raba kepala Ci Kong, tertawa bergelak.
"Ha-ha-ha, apakah itu bukan suara Hai-tok yang terdengar begitu keras?" Suaranya lirih saja, akan tetapi agaknya terdengar dari luar karena suara di luar tiba-tiba terhenti dan sunyi. Kemudian terdengar kembali suara Hai-tok, sekali ini suaranya mengandung kehalusan, seperti orang menghormat.
"Siauw-bin-hud, aku orang she Tang memang ingin bertemu denganmu. Silahkan keluar!" Mendengar ini, kembali Siauw-bin-hud tertawa dan diapun bangkit sambil menggandeng tangan Ci Kong.
"Mari, anak baik... eh, siapa namamu tadi?"
"Nama saya Tan Ci Kong, Susiok-Couw!" kata Ci Kong dengan sikap hormat. Memang selama enam tahun tinggal di kuil bersama Nam San Losu, dia bukan hanya menerima gemblengan ilmu silat, akan tetapi juga ilmu sastera sehingga dia mengenal tata susila seperti seorang terpelajar.
Kini Kakek gendut dan anak laki-laki itu bergandengan tangan berjalan keluar, menyusul lima orang Hwesio yang tadi keluar untuk menemui para tamu. Sebagai saudara-saudara seperguruan, Nam San Losu dan Nam Thi Hwesio tadi juga ikut keluar menyusul tiga orang suheng mereka. Empat orang Hwesio itu segera minggir memberi jalan ketika mereka melihat susiok mereka muncul keluar, menuntun Ci Kong. Dan semua mata para tamu itupun kini ditujukan kepada Hwesio gendut itu yang tersenyum-senyum ramah, menyapu semua tamu dengan pandang matanya. Setelah berhadapan dengan mereka, Hwesio gendut itu tertawa, suara ketawanya lepas dan tidak terkendali, keluar dari perutnya dan terdengar ramah menyenangkan, seperti suara ketawa orang yang kegirangan.
"Heh-Heh-heh, setelah dua puluh tahun lebih menyendiri, tetap saja tidak dapat bebas dari urusan dengan orang-orang lain. Ha-ha, jelaslah kini bahwa tidak mungkin hidup sendirian saja, hidup berarti antar hubungan, baik dengan manusia lain, dengan mahluk lain, dengan benda maupun pikiran sendiri... Tak salah... Tak salah..." Dia pasang mata menatap Kakek gendut itu penuh perhatian, penuh selidik. Mereka adalah Tang Kui, perwira istana yang bertubuh tinggi besar itu dan Lui Siok Ek, tokoh Thian-te-pai.
Dua orang inilah yang pada enam tahun yang lalu pernah ikut memperebutkan Giok-liong-kiam dan melihat dengan mata kepala sendiri betapa pedang pusaka itu lenyap bersama munculnya Kakek gendut yang bukan lain adalah Siauw-bin-hud. Dan mereka berdua berani bersumpah bahwa orang yang mereka temui enam tahun yang lalu adalah Kakek gendut yang kini berhadapan dengan mereka walaupun tokoh Thian-te-pai Lui Siok Ek melihat sesuatu yang diam-diam membuat dia meragu. Ada perbedaan dalam sinar mata Kakek ini dengan Kakek enam tahun yang lalu. Dia melihat sinar mata mencorong hebat dari Kakek yang dahulu, sedangkan sinar mata Kakek ini demikian lembut dan penuh pengertian. Betapapun juga, kecuali perbedaan pada sinar mata ini, hampir segalanya Kakek ini tiada bedanya dengan Kakek yang muncul dalam perebutan Giok-liong-kiam enam tahun yang lalu.
Gundulnya, gendut bulatnya, jubah kuning sampai sepatunya... dan kembali Lui Siok Ek tertegun. Sepatunya memang sama, sepatu kain, akan tetapi telapak sepatu Kakek yang dahulu itu berlapis besi. Ini dia ingat benar, sedangkan telapak sepatu Kakek ini tetap dari kain lunak. Akan tetapi, sinar mata yang berbeda itu mungkin saja menunjukkan kemajuan batin Kakek itu selama enam tahun ini, dan tentang telapak sepatu, ah, bisa saja Kakek itu kini tidak membubuhkan lapisan besi karena tidak sedang melakukan perjalanan jauh. Dia bisa keliru akan tetapi tetap saja ada keraguan dalam hatinya. Akan tetapi perwira Tang Kui tidak melihat perbedaan-perbedaan itu Tang Kui tidak melihat perbedaan-perbedaan itu dan begitu melihat Siauw-bin-hud muncul, langsung saja dia menudingkan telunjuknya ke arah muka Kakek gundul itu dan berkata dengan suara lantang,
"Dia inilah yang dahulu merampas Giok-liong-kiam!" Siauw-bin-hud memandang kepada Tang Kui sambil tersenyum. Pandang matanya sama sekali tidak marah, melainkan penuh kesabaran seperti seorang Kakek yang baik melihat kenakalan cucunya.
"Si-cu (orang gagah), apakah engkau melihat sendiri pinceng merampas pusaka itu?" tanyanya halus. Tang kui cemberut dan mukanya menjadi merah karena marah. Dia adalah seorang yang jujur dan kasar, dan tidak suka berpura-pura.
"Locianpwe adalah seorang pendeta yang dihormati, mengapa masih berpura-pura seperti anak kecil? Enam tahun yang lalu, begitu bertemu Locinpwe sudah mengenal aku sebagai Tang Kui, perwira pengawal istana!" Kakek itu tersenyum lebar, juga matanya lebar.
"Ahhh, betapa anehnya. Bahkan dalam mimpipun pinceng belum pernah jumpa dengan Ciangkun, sama tidak pernahnya pinceng mendengar apa lagi melihat pusaka yang bernama Giok-liong-kiam."
"Aku belum gila untuk menuduh Locianpwe yang bukan-bukan. Akan tetapi dia itu dahulupun pernah menjadi saksi!" Tang Kui menunjuk ke arah Lui Siok Ek dan kini semua mata memandang ke arah tokoh Thian-te-pai itu. Lui Siok Ek sedang berdiri bingung. Memang dia melihat perbedaan, dan juga suara ketawa Kakek gendut ini sama sekali tidak mengandung tenaga khikang yang menggetarkan jantung seperti Kakek enam tahun yang lalu, walaupun dalam suara Kakek ini terasa pula adanya tenaga yang amat kuat. Kini, dituding secara tiba-tiba oleh Tang Kui, dia menjadi gugup dan melihat betapa semua orang memandang kepadanya, diapun mengangguk.
"Memang benar, Locianpwe Siauw-bin-hud dari Siauw-lim-pai yang telah mengambil Giok-liong-kiam ketika terjadi perebutan di antara kami."
"Aha, sudah dua orang yang menjadi saksi mata! Wah, ini berat jadinya untukku!" kata Kakek gendut.
"Kalau saja pinceng tidak yakin benar bahwa pinceng selama dua puluh tahun bertapa dalam ruangan, tentu pinceng mulai tidak yakin kepada diri sendiri! Akan tetapi, pinceng sudah menyelidiki diri sendiri dan tidak pernah pinceng meninggalkan ruangan, jadi, tidak mungkin mengambil pusaka. Eh, apakah jiwi-sicu melihat sendiri pinceng mengambil pedang itu?" Lui Siok Ek mengerutkan alisnya. Seperti juga Tang Kui, ketika enam tahun yang lalu dia berhadapan dengan Siauw-bin-hud, Kakek ini sudah mengenalnya, akan tetapi kini agaknya tidak mengenalnya.
"Kami tidak melihat sendiri. Kami berlima sedang memperebutkan pusaka itu. Giok-liong-kiam terlempar ke udara dan meleset ke arah di mana kami menemukan Locianpwe duduk bersamadhi. Siapa lagi kalau bukan Locianpwe yang mengambilnya?"
"Duk-duk-dukk!" Semua orang kembali terkejut karena ketika Kakek tinggi besar muka merah itu menotok-notokkan tongkatnya ke atas tanah, maka tanah di sekitar tempat itu seperti tergetar dan terdengar suara keras seperti benda berat yang dipukul-pukulkan itu, bukan ujung sebatang tongkat emas yang tidak begitu besar. Dari ketukan tongkat ini saja sudah dapat dibayangkan betapa kuatnya tenaga yang tersembunyi di dalam lengan tangan yang besar itu. Dan memang nama Hai-tok (racun lautan) Tang Kok Bu sudah terkenal di seluruh dunia persilatan, maka semua orang memandang kepadanya dengan agak gentar.
"Aku tahu bahwa Siauw-bin-hud bukanlah seorang pengecut, melainkan seorang datuk persilatan yang besar namanya. Tidak perlu banyak cakap lagi tentang urusan tetek bengek. Yang jelas, Siauw-bin-hud telah memiliki Giok-liong-kiam melalui ilmu kepandaiannya yang hebat sehingga dia mampu mengambil pusaka itu tanpa diketahui orang lain. Dalam dunia persilatan memang ada peraturan bahwa siapa menang, dia berhak meraih pahalanya. Enam tahun yang lalu dia menang, dan kini setelah dia keluar, aku orang she Tang mohon diberi kesempatan untuk menguji kepandaian orang yang telah menguasai Giok-liong-kiam. Kalau aku kalah, sudahlah, aku tidak akan banyak ribut lagi tentang pusaka itu."
"Omitohud...!" Siauw-bin-hud berkata lirih akan tetapi masih tersenyum lebar dan sabar.
"Hai-tok makin tua semakin keras saja. Apakah orang seperti engkau ini tidak mau menerima penjelasan orang seperti aku bahwa pinceng sungguh tidak pernah melihat Giok-liong-kiam, apa lagi memilikinya?"
"Aku tidak pernah menuduh, hanya mendengarkan berita di luaran dan kini ada dua orang saksi mata. Mungkin mereka benar, mungkin pula engkau yang benar, siapa tahu akan kebenaran yang sesungguhnya? Yang penting, mari kita menguji kepandaian. Kalau aku kalah, sudahlah, aku akan minta maaf dan akan pergi dari sini, akan tetapi kalau engkau yang kalah, engkau harus menyerahkan Giok-liong-kiam kepadaku."
"Wah, wah, wah, tulang-tulangku sudah tua ini bernasib sial hendak menerima gebukan orang Hai-tok, bagaimana kalau aku kalah akan tetapi aku tidak memiliki pusaka itu untuk dapat diserahkan kepadamu?"
"Dunia kang-ouw mempunyai bukti-bukti bahwa engkau yang merampasnya, maka engkau harus dapat pula membuktikan bahwa bukan engkau perampasnya!"
"Ha-ha-ha, dengan lain kata, engkau menghendaki aku mencari perampasnya yang agaknya mempergunakan namaku?"
"Begitulah dan bersiaplah, Siauw-bin-hud!"
"Nanti dulu. Tamulu bukan hanya engkau seorang, melainkan masih ada beberapa orang lagi. kau tunda dulu niatmu, Hai-tok, aku ingin bertanya kepada yang lain-lain." Lalu Kakek gendut itu dengan sikap tenang, sabar dan peramah memalingkan mukanya kepada rombongan perwira istana yang dipimpin oleh Pouw Gun atau Pouw Ciangkun itu.
"Cu-wi sekalian ini apa juga datang untuk urusan pusaka yang hilang itu?" Pouw Gun menjura dengan sikap tegas dan hormat. Sebagai seorang perwira tinggi, sikapnya tegas dan berwibawa, akan tetapi sebagai seorang ahli silat tinggi diapun menghormati angkatan yang lebih tua seperti Siauw-bin-hud.
"Locianpwe, saya Pouw Gun bersama beberapa orang teman datang sebagai utusan Sri Baginda Kaisar. Karena seorang di antara saudara muda kami, yaitu Tang Kui, pernah mendapatkan Giok-liong-kiam yang kemudian dirampas oleh Locianpwe, maka kami atas nama Sri Baginda Kaisar mohon dengan hormat agar Locianpwe menyerahkannya kepada kami."
"Heh-heh, semua orang minta pusaka itu dariku. Aneh! Ciangkun, kalau Cu-wi menjunjung perintah Sri Baginda Kaisar, tentu membawa surat perintah." Wajah panglima yang bertubuh kecil itu menjadi merah.
"Maaf, Locianpwe, selama enam tahun ini, Siauw-lim-pai tidak mengakui tentang Giok-liong-kiam, oleh karena itu, urusan ini menjadi urusan pribadi. Kami ditugaskan untuk mencari dan membawa Giok-liong-kiam ke istana. Andaikata kami harus berurusan dengan Siauw-lim-si, tentu kami akan membawa surat perintah. Akan tetapi karena Siauw-lim-si tidak mengakui, dank arena ada saudara kami yang melihat sendiri bahwa pusaka itu... oleh Locianpwe..."
"Ha-ha, Pouw-Ciangkun, jelaskan saja apa yang hendak kau lakukan sekarang," Kakek gendut itu memotong dengan suara kasihan melihat kegugupan perwira itu.
"Seperti saya katakan tadi, kami mohon dengan hormat agar Locianpwe suka menyerahkan pusaka itu kepada kami, demi nama Sri Baginda Kaisar."
"Kalau pinceng tidak dapat memberikannya bagaimana Ciangkun?"
"Terpaksa saya melupakan kebodohan sendiri mohon petunjuk dari Locianpwe."
"Aha! Menantang lagi! Kiranya engkau tidak sendirian dalam hal berkeras kepala untuk memukuli badanku yang sudah tua, Hai-tok. Baiklah, kau tunggu dulu, Ciangkun, aku akan bertanya kepada rombongan lain." Kakek itu tanpa menanti jawaban lalu menghadapi rombongan Thian-te-pai yang berdiri berbaris dengan sikap gagah.
"Cu-wi tentu utusan perkumpulan Thian-te-pai," katanya ramah sambil memandang ke arah dada orang-orang itu.
"Lalu apa kehendak Cu-wi datang mencari aku orang tua?" Coa Bhok yang gagah dan angkuh melangkah maju menghadapi Siauw-bin-hud.
"Saya Coa Bhok sebagai wakil ketua Thian-te-pai, mewakili perkumpulan kami untuk memohon kebijaksanaan Locianpwe Siauw-bin-hud. Pusaka Giok-liong-kiam sejak dahulu menjadi pusaka perkumpulan kami, bahkan menjadi lambang kebesaran perkumpulan Thian-te-pai kami. Enam tahun lebih yang lalu, pusaka kami itu lenyap dicuri orang dan setelah itu timbullah perebutan di antara orang-orang kang-ouw untuk mencari dan merampasnya. Sute kami Lui Siok Ek ini pada enam tahun yang lalu hampir berhasil merebut kembali pusaka kami itu, akan tetapi menurut keterangannya tadi, pusaka itu oleh Locianpwe dirampas. Karena selama enam tahun ini Locianpwe berada dalam pertapaan, kami segan untuk berurusan dengan Siauw-lim-si dan mendengar Locianpwe telah keluar, kami memberanikan diri untuk datang menghadap dan minta kembali pusaka yang disimpankan oleh Locianpwe itu.?" Ucapan wakil ketua Thian-te-pai ini tegas, jelas dan menghormat. Biarpun mulutnya masih tersenyum, akan tetapi Siauw-bin-hud menarik napas panjang.
"Sayang sekali, andaikata pinceng benar-benar menemukan pusaka yang hilang itu, dengan hati senang dan rela tentu akan pinceng serahkan kepada Cu-wi. Akan tetapi bagaimana kalau pinceng tidak tahu tentang pusaka itu?"
"Karena ada saksi-saksi mata, ke mana kami harus mencari kecuali pada Locianpwe? Dan andaikata benar ada yang memalsukan nama Locianpwe, hal itu adalah urusan Locianpwe pribadi dengan pemalsu itu."
"Aha, dengan arti lain, Cu-wi hendak memaksaku untuk mendapatkan pusaka itu dan mengembalikan kepada Thia-te-pai?"
"Begitulah!"
"Wah-wah-wah, runyam sekali ini!" Siauw-bin-hud mengelus kepala Ci Kong yang masih berdiri di dekatnya. Dia heran melihat anak itu mukanya merah dan matanya mengeluarkan sinar marah.
"Eh, kau kenapa, anak baik?"
"Susiok-Couw, orang-orang ini sungguh tidak memiliki rasa keadilan sama sekali, mau menangnya sendiri saja dan mendesak susiok "couw secara sewenang-wenang!" Ci Kong berseru dengan suara nyaring. Kakek gendut itu tertawa bergelak dan mengelus kepala Ci Kong dengan halus.
"Wah-wah, kalau engkau begini keras, lalu apa bedanya dengan mereka yang keras juga? Tenanglah, anak baik dan kita lihat saja perkembangannya."
"Heh-Heh-heh-heh, banyak lalat dan hawanya panas, sungguh tidak nyaman...!" tiba-tiba terdengar suara orang mengomel. Semua orang menoleh dan ternyata yang mengomel itu adalah Bu-beng San-kai yang duduk agak jauh dari orang-orang lain, duduk sembarangan saja di atas rumput sambil mengipasi tubuhnya seolah-olah dia benar-benar merasa gerah padahal hawa di puncak bukit itu tentu saja sejuk! Seorang anak perempuan berusia sebelas tahun yang cantik mungil, bermata lebar dan bersikap pendiam duduk di belakangnya, hanya sepasang matanya yang lebar itu saja bergerak memandangi semua orang akan tetapi mulutnya yang kecil merah itu tak pernah dibukanya.
"Jembel badut!" tiba-tiba Hai-tok Tang Kok Bu mengejek.
"Agaknya yang kau maki lalat itu termasuk dirimu sendiri, kalau tidak demikian, mau apa engkau muncul di sini!" Siauw-bin-hud memandang Kakek kurus yang bajunya tambal-tambalan itu dan diapun tertawa bergelak.
"Ha-ha-ha, kiranya ada pula Bu-beng San-kai di sini! Wah-wah, San-kai, apakah benar dugaan Hai-tok bahwa engkaupun datang untuk memperebutkan Giok-liong-kiam?" Semua orang, kecuali Hai-tok, terkejut bukan main dan kini mereka memandang ke arah pengemis tua itu dengan mata terbelalak. Bu-beng San-kai? Sebuah nama yang pernah menggemparkan dunia persilatan, dan tak seorangpun di antara mereka, kecuali Hai-tok dan Siauw-bin-hud, menyangka bahwa Kakek jembel yang nampaknya tidak ada apa-apanya itu ternyata adalah Bu-beng San-kai! Kalau disebut San-tok (Racun Gunung) tentu semua orang akan lebih kaget lagi tadi. Akan tetapi nama Bu-beng San-kai (Pengemis Berkipas Tak Bernama) atau San-tok (Racun Gunung) juga sama saja. Di dunia persilatan, pernah muncul empat orang tokoh yang amat hebat, yang dinamakan Racun-racun Dunia.
Mereka adalah San-tok (Racun Gunung) yaitu yang berjuluk pula Bu-beng San-kai, lalu Hai-tok (Racun Lautan) yang kini menjadi orang kaya di Pulau Layar. Masih ada dua orang lagi, yaitu Thian-tok (Racun Langit) dan Tee-tok (Racun Bumi) yang tidak pernah didengar orang pula, entah berada di mana. Kalau orang-orang seperti Hai-tok dan San-tok kini muncul, dapat dibayangkan betapa penting dan berharganya Giok-liong-kiam! Kalau Tang Kok Bu, seperti julukannya, Hai-tok, dahulunya adalah datuk para bajak laut, sebaliknya San-tok adalah datuk para perampok di pegunungan dan hutan-hutan. Akan tetapi, berbeda dengan Hai-tok yang kini nampaknya menjadi orang kaya raya, San-tok masih kelihatan miskin, bahkan pakaiannya seperti seorang pengemis. Bu-beng San-kai atau San-tok terkekeh mendengar ucapan Hai-tok dan Siauw-bin-hud dan diapun menjawab,
"Siauw-bin-hud, engkau tahu bahwa aku bukan seorang yang mata duitan atau haus akan harta. Aku datang hanya untuk menonton keramaian, dan apa salahnya setelah sama tuanya kita saling membuktikan siapa yang menjadi loyo lebih dahulu di antara kita semua tua bangka-tua bangka ini? Ha-ha-ha!" Dan diapun mengebutkan kipasnya semakin cepat. Kipas itu butut saja, akan tetapi begitu dikebut dengan cepat, semua orang yang berada di situ hampir menggigil karena hawa menjadi semakin dingin seperti ada angin besar yang lewat! Siauw-bin-hud mengenal empat racun dunia sejak masih muda, bahkan mereka itu boleh dibilang merupakan saingan-sainganya dalam dunia persilatan. Sejak dahulu, ilmu kenpaian antara para Racun Dunia itu sebanding, dan masing-masing di antara mereka juga hampir dapat menandingi tingkat kepandaian Siauw-bin-hud sendiri yang ketika itu masih menjadi seorang tokoh Siauw-lim-pai yang disegani.
Hanya selisih sedikit saja kepandaian tokoh Racun Dunia ini dengan kepandaian para Racun Dunia itu. Kini, melihat munculnya dua orang ini, diam-diam Siauw-bin-hud maklum bahwa mereka berdua itu bukan semata-mata mencari pedang pusaka karena haus akan harta, melainkan dalam usia tua itu agaknya hendak melanjutkan persaingan waktu dahulu untuk menjadi orang nomor satu. Atau mungkin juga mereka itu masih memiliki keinginan untuk menjadi Bu-lim Beng-cu (Pemimpin Rimba Persilatan) yang disegani dan dihormati seluruh dunia persilatan! Sebelum Siauw-bin-hud menjawab, tiba-tiba saja Ci Kong sudah melompat ke depan dan dengan membusungkan dada dia menghadapi para tamu itu, memandang kepada mereka dengan sinar mata mencorong.
"Kalian ini orang-orang tak tahu malu, tamu-tamu tak diundang datang mengganggu Susiok-Couw, seorang tua yang tidak berdosa. Apakah kalian tidak malu? Kalau memang kalian berhati kejam, biarlah aku yang maju mewakili Susiok-Couw, kalian boleh bunuh atau siksa aku untuk memuaskan hati kalian yang kotor dan jahat!" Tentu saja sikap dan ucapan Ci Kong itu sama sekali tidak terduga-duga dan semua orang menjadi tertegun.
Bahkan Nam Sam Losu sendiri terkejut, tidak mengira bahwa muridnya akan seberani dan selancang itu. Mukanya sudah menjadi pucat karena marah dan malu. Dia sebagai gurunya harus bertanggung jawab atas kelancangan muridnya itu, apa lagi mengingat nama Siaw-lim-pai yang dapat tercemar karena sikap anak itu. Juga para tamu menjadi kaget dan heran, apa lagi mendengar bahwa anak itu menyebut Susiok-Couw (paman Kakek guru) kepada Siauw-bin-hud! Seorang anak kecil, dua belas tahun, dengan tingkat yang serendah itu dari Siaw-lim-pai, berani menantang mereka yang terdiri dari orang-orang berkedudukan tinggi di dunia persilatan, bahkan dua di antara mereka adalah San-tok dan Hai-tok!! Akan tetapi sebelum Nam San Losu sempat memarahi muridnya, Siauw-bin-hud sudah tertawa geli.
"Ha-ha-ha, orang-orang tua memang sudah penuh dengan kepalsuan, kemurkaan, loba tamak dan menjadi hamba dari pada kesenangan, kehilangan kewajaran dan kehilangan perikemanusiaan. San-tok dan Hai-tok, kalian kalau dibandingkan dengan bocah ini" wah, kalah jauh sekali!"
"Huh!" Hai-tok mendengus.
"Dibandingkan anakku yang di rumah, dia itu bukan apa-apa, Siauw-bin-hud!"
"Heh-heh, benarkah dia begitu hebat. Siauw-bin-hud? Aku tidak percaya!" berkata demikian, San-tok atau Bu-beng San-kai lalu menggerakkan kakinya dan dalam keadaan duduk tahu-tahu tubuhnya melayang ke depan dan dia sudah berdiri di depan Ci Kong sambil tersenyum-senyum. Ci Kong sama sekali tidak menjadi gentar dan memandang Kakek berpakaian jembel itu dengan sepasang mata mencorong.
"Bocah bernyali besar, kalau engkau tidak membolehkan aku mengganggu Susiok-Couwmu, lalu kau mau apa? Apa kau berani melawan aku?" Sikap dan ucapan ini membuat Ci Kong marah bukan main.
"Apa lagi engkau, biar raja iblis sekalipun akan kulawan kalau dia jahat dan hendak mengganggu kami!" bentaknya.
"Wah-wah, agaknya engkau memang memiliki ilmu yang lihai maka kecil-kecil berani menantang aku. Nah, coba kulihat, apakah engkau berani memukul perutku ini?"
Kakek itu mencoba untuk membusungkan perutnya yang kempis. Ditantang begitu, Ci Kong menjadi marah dan hatinya terasa panas. Sudah enam tahun lamanya dia belajar silat di kuil Siauw-lim-si, dipimpin langsung oleh Nam San Losu. Dia mengenal jenis pukulan-pukulan berbahaya, apa lagi pukulan yang ditujukan kea rah perut. Dia mengenal pukulan yang menggetarkan jantung, pukulan yang merusak isi perut. Akan tetapi karena di samping mempelajari ilmu silat diapun mempelajari ilmu budi pekerti dan ilmu batin, hatinya penuh welas asih dan betapapun marahnya, dia tidak tega untuk melakukan pemukulan yang berbahaya bagi seorang Kakek yang sudah tua itu. Hanya tantangan itu saja yang memaksanya untuk memukul.
"Baik, aku akan memukulmu seperti yang kau tantang itu. Bersiaplah!" katanya sambil memasang kuda-kuda.
"Ha-ha, kau wakili Susiok-Couwmu memukulku, dan kerahkan semua tenagamu!" Kakek kurus itu menantang. Ci Kong tidak tahu betapa Nam-San-Losu, gurunya, sudah bergerak hendak mencegahnya akan tetapi tiba-tiba gurunya terkejut karena tubuhnya seperti disedot angina dari belakang yang membuatnya tidak mampu bergerak.
Ketika Suhunya menengok, ternyata Siauw-bin-hud sudah mengulurkan tangannya dan kini Kakek itu tersenyum lebar dan memberi isyarat agar dia tidak melakukan sesuatu terhadap anak itu. Legalah hati Nam San Losu karena dia maklum bahwa susioknya itu tentu tidak akan membiarkan muridnya celaka, hanya dia merasa heran mengapa susioknya itu seperti mendukung sikap dan perbuatan Ci Kong yang dianggapnya kurang ajar terhadap tingkatan yang tua. Ngeri dia membayangkan apa akan menjadi akibatnya kalau muridnya itu memukul tubuh San-tok, seorang di antara Empat Racun Dunia itu! Dia sudah mendengar nama ini dan agaknya tingkat kepandaian susioknya, Siauw-bin-hud sajalah yang dapat mengimbangi kepandaian Empat Racun Dunia. Bahkan para suhengnya sendiri yang kini menjadi para pemimpin Siauw-lim-pai juga tidak akan mampu menandingi San-tok!
"Hyaaaattt...!" Ci Kong yang sudah melihat Kakek itu bersiap diri, lalu menerjang ke depan, tangan kanannya dikepal dan memukul ke arah perut. Menurut yang sudah dipelajarinya, memukul bagian lunak dari tubuh lawan sebaiknya memutar kepalan tangan karena hasilnya akan lebih baik, sehingga tangan membuat gerakan seolah-olah membor perut lawan. Akan tetapi karena dia tidak berniat mencelakai lawan, hanya sekedar "menghajar" saja untuk memperlihatkan bahwa dia benar-benar berani menentang siapa saja yang hendak mengganggu Susiok-Couwnya, dia memukul biasa saja kea rah perut kecil itu.
"Bukkk...!" Pukulan itu tepat mengenai perut bawah Kakek kurus itu, akan tetapi sedikitpun Kakek itu tidak menangkis atau mengelak, juga tidak bergoyang sedikitpun oleh pukulan si anak kecil. Ci Kong yang merasa betapa kepalan tangannya memasuki daging lunak sekali, menjadi terkejut dan cepat menarik kembali tangannya. Akan tetapi alangkah kagetnya ketika kepalan tangannya memasuki perut itu tidak dapat ditarik kembali, bahkan kepalannya tidak dapat dibuka! Dia mengangkat muka memandang, dan melihat betapa wajah San-tok masih menyeringai biasa, dan sepasang mata Kakek itu memancarkan sinar aneh. Kembali dia berusaha membetot tangannya, namun tiba-tiba tubuhnya malah terasa lemas kehilangan semua tenaga dan kepalan tangannya terasa hangat, lalu semakin lama menjadi semakin panas!
"Heh-Heh-heh, Siauw-bin-hud, engkau benar. Anak ini jauh lebih baik dari pada aku atau Hai-tok, dan aku kagum sekali!" Melihat keadaan muridnya yang nampak lemas dan tidak mampu menarik kembali tangannya dari perut San-tok, tentu saja Nam-San-Losu menjadi terkejut sekali. Dia maklum bahwa nyawa muridnya terancam maut, maka dengan nekat diapun bangkit dan melangkah maju untuk menolongnya. Akan tetapi kembali tubuhnya tersedot ke belakang dan Siauw-bin-hud memberi isyarat dengan pandang matanya agar dia tidak sembarangan bergerak. Nam-San-Losu mentaatinya karena Kakek inipun maklum bahwa keadaan muridnya itu seperti telah ditolong. Sedikit saja dia bergerak dengan mudah San-tok akan dapat membunuh anak itu.
"Ha-ha-ha, San-tok. Jelas dia jauh lebih baik, tidak seperti engkau yang tanpa malumalu memperdayakan seorang anak kecil. Apa kehendakmu?" Siauw-bin-hud berkata, dengan sikap masih tenang. Diapun maklum betapa licik dan jahatnya Empat Racun Dunia, akan tetapi dia menghadapi kelicikan San-tok yang kini mengancam nyawa cucu muridnya itu dengan tenang dan sikap yang masih ramah tanpa dibuat-buat. Bagi seorang yang tingkat kebatinannya seperti Siau-bin-hud, sudah tidak mengenal lagi rasa dendam atau khawatir, juga tidak dipengaruhi lagi oleh emosi. Dan kewajaran ini seperti kembali kepada sifat kanak-kanak yang bersih dan polos, namun matang dan tidak menjadi permainan emosi sehingga tenang dan jernih bagaikan air telaga dalam yang tenang.
"Ha-ha, apa lagi, Siauw-bin-hud, kalau bukan Giok-liong-kiam yang ingin kulihat? Aku ingin sekali melihat macamnya benda yang diperebutkan itu."
"Dan untuk itu kau akan membebaskan anak itu?"
"Heh-heh, seperti kau katanan tadi, anak ini jauh lebih baik dari pada aku atau Hai-tok, mana aku mau merusak bahan sebaik ini? Tentu dia kubebaskan."
"Ha-ha-ha, Racun Gunung, kurasa engkau tidak begitu bodoh untuk tetap menyangka bahwa aku menyembunyikan pusaka itu, bukan? Pusaka itu tidak ada padaku."
"Aku percaya padamu dan kiranya ada orang lain yang mempergunakan namamu untuk merampas pusaka itu. Akan tetapi, seperti dikatakan orang Thian-te-pai itu, penggunaan namamu oleh orang lain itu adalah urusanmu. Aku minta agar engkau mencari pemalsu itu, merampas kembali Giok-liong-kiam kemudian memberikan kepadaku!"
"San-tok!" Tiba-tiba Hai-tok membentak marah.
"Enak saja kau memaki orang lain tadi, kini engkau sendiri yang hendak memaksa Siauw-bin-hud menyerahkan pusaka kepadamu! Tak tahu malu!"
"Heh-heh, siapa tak tahu malu?" kata Kakek kurus.
"Aku hanya ingin melihat, kemudian akan kuputuskan siapa yang berhak menyimpan pusaka itu kelak. Nah, Siauw-bin-hud, bagaimana?" Siauw-bin-hud tersenyum lebar.
"Heh-heh, tanpa kau minta sekalipun, aku merasa sudah menjadi kewajibanku untuk mencari pusaka itu. Pusaka itu sudah lenyap selama enam tahun dan kalian tidak mampu mendapatkannya kembali. Karena itu, sudah adillah kiranya kalau kalian memberi waktu enam tahun juga kepada pinceng untuk mencarinya. Enam tahun lagi, pada hari dan bulan yang sama, pinceng harap Cu-wi suka datang kesini dan kita lihat saja apakah pinceng berhasil mendapatkannya kembali."
"Setuju...!" San-tok atau Bu-beng San-kai berseru, mendahului orang lain yang masih ragu-ragu dan memandang dengan alis berkerut.
"Nah, terimalah kembali cucu muridmu, Siauw-bin-hud!"
Semua orang memandang ke arah Ci Kong yang masih bergantung pada perut Kakek itu dengan tangan kanannya menancap di perut itu sampai di pergelangan tangan. Anak itu sudah lemas dan kini kulit muka dan tangannya nampak kehijauan! Begitu Kakek kurus itu menggerakkan perutnya, anak yang sudah pingsan itu terlempar ke belakang, ke arah Siauw-bin-hud yang cepat menangkapnya lalu merebahkan anak itu di atas tanah. Melihat betapa kulit muridnya menjadi kehijauan dan anak itu pingsan, Nam San Losu menjadi terkejut dan gelisah sekali. Akan tetapi diapun seorang Kakek yang berpengetahuan luas Dan dia tidak berani sembarangan bergerak, menyerahkan segalanya kepada susioknya. Sungguh heran dia melihat betapa susioknya setelah meletakkan telapak tangannya ke dada Ci Kong, lalu tertawa girang, dan memandang ke arah San-tok lalu berkata,
"Ha-ha-ha, San-tok. Agaknya selama ini engkau telah memperoleh banyak kemajuan, lahir batin. Terima kasih!" Tiba-tiba, terdengar bentakan halus,
"Kakek berwatak keji!" Dan tahu-tahu anak perempuan yang sejak tadi berada di belakang Bu-beng San-kai atau San-tok dan hanya menjadi penonton saja seperti yang lain, tiba-tiba meloncat ke depan dan sudah menghadap Siauw-bin-hud sambil mengeluarkan suara celaan setengah memaki itu. Siauw-bin-hud mengangkat muka memandang. Dia masih bersila ketika memeriksa tubuh Ci Kong dan melihat anak perempuan yang berdiri di depannya, dia tersenyum ramah lalu menoleh ke arah San-tok yang hanya memandang sambil tersenyum-senyum.
"Nona kecil, mengapa engkau datang-datang memaki aku?" tanya Siauw-bin-hud. Anak perempuan itu adalah Lian Hong.
Sejak tadi anak ini mengikuti jalannya peristiwa dan melihat betapa anak laki-laki yang pemberani itu menjadi korban karena membela Kakek gendut, hatinya merasa penasaran sekali. Apa lagi melihat sikap Kakek gendut yang menerima cucu muridnya yang pingsan itu sambil tertawa-tawa, bahkan mengucapkan terima kasih kepada gurunya, hatinya memberontak. Ia mengenal gurunya sebagai seorang Kakek yang wataknya aneh luar biasa, maka iapun tidak dapat mengerti apa arti perbuatan gurunya itu. Karena itu, melihat betapa gurunya tadi menerima pukulan anak laki-laki dan membuat anak laki-laki pingsan dengan kulit kehijauan, ia tahu bahwa anak itu keracunan akan tetapi ia tidak berani menegur gurunya yang juga menjadi Kakeknya itu. Kemarahannya karena merasa kasihan dan penasaran melihat anak laki-laki itu menjadi korban, kini ditimpakan kepada Siauw-bin-hud yang dianggapnya menjadi gara-gara.
"Engkau ini orang tua yang keji dan tak tahu diri! Semua urusan pusaka ini adalah garagaramu, akan tetapi engkau tidak mau maju sendiri, malah membiarkan seorang anak kecil maju mewakilimu sehingga terluka. Patutkah itu?"
"Hemmm, anak perempuan licik!" Tiba-tiba Hai-tok mengejek.
"Gurumu yang mencelakai anak itu, dan engkau malah memaki Siauw-bin-hud!" Hati Kakek yang menjadi Racun Lautan ini sudah mendongkol sekali melihat permainan antara Siauw-bin-hud dan San-tok sehingga dia sendiri terdesak. Dua orang itu sudah membuat janji-janji dan menganggap orang-orang lain yang hadir di situ seolah-olah tidak ada dan tidak memiliki hak suara untuk menentukan tentang urusan Giok-liong-kiam. Lian Hong menoleh ke arah Kakek pesolek itu.
"Kakekku dipukul dan hanya membela diri!" teriaknya membela Kakeknya.
"Heh-Heh-heh, jadi engkau cucu San-tok, ya? Bagus, memang cocok sekali menjadi cucu si Racun Gunung. Nona cilik, kalau benar pinceng membiarkan cucu muridku ini mewakili pinceng memukul Kakekmu, habis engkau mau apa terhadap diri pinceng?"
"Cucu muridmu telah mewakili engkau memukul Kakekku, maka akupun kini mewakili Kakekku untuk membalas memukulmu. Ada pepatah mengatakan bahwa satu pukulan layak dibalas dua pukulan, akan tetapi melihat engkau sudah terlalu tua, lebih tua dari Kakekku, biar aku membalas dengan satu pukulan pula."
"Ha-ha-ha, San-tok, cucumu ini hebat sekali, sama hebatnya dengan cucu muridku. Nah, baiklah, kau pukullah aku, nona cilik!"
"Bersiaplah kau , Kakek tua!" Lian Hong memasang kuda-kuda dan kini iapun menerjang kedepan, mengirim tamparan yang dilakukan dengan pengerahan tenaga dalam kea rah kepala Kakek yang masih duduk bersila itu. Tamparannya ini hebat sekali, karena biarpun ia baru berusia sebelas tahun, selama enam tahun ini Lian Hong menerima gemblengan yang keras dari Kakeknya atau gurunya.
"Wah, bagus...!" Siauw-bin-hud memuji dan sama sekali tidak mengelak.
"Plakkk!" Telapak tangan itu tepat mengenai kepala yang gundul dan hal ini tentu saja dianggap amat kurang ajar oleh para Hwesio Siauw-lim-pai yang memandang dengan mata mendelik.
Ingin mereka memukul anak perempuan yang berani menampar kepala susiok mereka itu. Akan tetapi, Siauw-bin-hud hanya tersenyum lebar dan kini terulanglah peristiwa seperti yang terjadi pada diri Ci Kong tadi. Lian Hong merasa betapa telapak tangannya bertemu dengan batok kepala yang amat lunak dan dingin seperti es! Ketika ia hendak menarik kembali tangannya, ternyata telapak tangan itu melekat pada batok kepala yang halus itu. Berkali-kali ia mengerahkan tenaga untuk membetotnya kembali, akan tetapi makin dibetot makin melekat dan semakin dingin sehingga ia menggigil dan kehabisan tenaga untuk meronta. Dan sebentar saja iapun pingsan dengan tangan masih menempel pada kepala Kakek itu! Terdengar Hai-tok terkekeh.
"Ha-ha-ha, ternyata Siauw-bin-hud setelah bertapa dua puluh tahun, tidak berobah menjadi dewa. Sama saja dengan San-tok!" Mendengar ejekan ini, Siauw-bin-hud tertawa lalu dia menggerakkan kepalanya sambil berkata,
"San-tok, kau terimalah cucumu yang baik ini!" Dan tubuh anak perempuan yang pingsan itupun terlempar ke arah Bu-beng San-kai yang cepat menyambutnya. Ternyata Lian Hong pingsan dengan muka kebiruan seperti orang yang menderita kedinginan hebat! San-tok meletakkan telapak tangannya ke punggung cucunya, lalu tertawa girang.
"Ha-ha-ha, agaknya engkau bukan orang yang suka berhutang, Siauw-bin-hud. Terima kasih!" Tentu saja semua orang menjadi terheran-heran. Jelas bahwa San-tok tadi melukai Ci Kong, akan tetapi Siauw-bin-hud malah berterima kasih, dan sekarang, Siauw-bin-hud melukai Lian Hong akan tetapi San-tok juga berterima kasih! Hanya Hai-tok yang ilmunya paling tinggi di antara mereka yang lain, diam-diam merasa mendongkol sekali. Dia dapat menduga bahwa dua orang Kakek itu bukan melukai untuk mencelakakan, melainkan masing-masing telah menyalurkan tenaga ke dalam tubuh dua orang anak itu sehingga dua orang anak itu bukannya dirugikan, malah menerima tenaga yang hebat. Dua orang Kakek itu telah saling menukar kebaikan!
"Cukuplah semua permainan sandiwara dan badut ini!" Hai-tok berkata dan diapun melangkah maju menghadapi Siauw-bin-hud.
"Siauw-bin-hud, mari kita main-main sebentar saja untuk menentukan siapa yang berhak menjadi pemilik Giok-liong-kiam, baik sekarang maupun kelak." Kakek ini sudah mengangkat tongkatnya ke atas. Tongkat itu panjangnya lima kaki, berlapis emas dan terhias batu permata sehingga nampak indah dan berkilauan ketika diangkatnya di depan dada.
"Wah-wah, Racun Lautan ini hendak menjual lagak di sini? Kita sama-sama menjadi tamu di Siauw-lim-si, sungguh tidak enak kalau aku membiarkan saja engkau mengacau. Pergilah dan jangan membikin malu aku sebagai sama-sama tamu Siauw-lim-si!" Tiba-tiba Bubeng San-kai atau San-tok sudah melompat ke depan, menghadapi Hai-tok dengan kipas bututnya di tangan. Dua orang Kakek itu, dua di antara Empat Racun Dunia, kini saling berhadapan dengan mata melotot seperti dua ekor ayam jago berlagak dan hendak saling bertempur mati-matian. Entah sudah berapa puluh kali dua orang ini dahulu saling mengukur kepandaian dan belum pernah di antara mereka ada yang menang atau kalah. Di antara empat orang Racun Dunia, memang tidak ada yang lebih kuat atau lebih lemah.
Mereka masing-masing memiliki keistimewaan sendiri dan karena maklum bahwa tidak seorangpun di antara mereka yang dapat menjagoi, maka merekapun dapat bekerja sama kalau menghadapi lawan. Tentu saja untuk membela kepentingan sendiri, para tokoh sesat ini seringkali saling gempur sendiri. Dan sekarangpun, setelah belasan tahun tidak saling jumpa dan berhubungan, kini sekali bertemu mereka sudah siap untuk saling gebuk lagi! Tentu saja semua orang memandang dengan hati tegang sekali. Sudah belasan tahun mereka mendengar nama besar Empat Racun Dunia dan baru sekarang berkesempatan melihat orangnya, dua diantara mereka, bahkan kini dua orang itu siap untuk saling serang. Tentu saja mereka merasa tegang dan juga gembira karena berkesempatan menyaksikan kehebatan dua orang yang dianggap sakti dan jahat seperti iblis itu.
Pedang Naga Kemala Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Bgus!" Hai-tok Tang Kok Bu membentak marah.
"Biarkan kita membuat perhitungan di sini dan lihat, siapa yang lebih pantas menjadi pemilik Giok-liong-kiam!"
"Nanti dulu!" Tiba-tiba Pouw Gun atau Pauw-Ciangkun, perwira tinggi dari istana itu melangkah maju, "Ji-wi Locianpwe tidak berhak menentukan sebagai calon pemilik Giok-liong-kiam. Hendaknya ji-wi ketahui bahwa Sri Baginda Kaisar telah mengutus kami untuk mencari dan membawa pusaka itu ke istana!"
"Tidak! Kamilah yang paling berhak karena pusaka itu adalah pusaka perkumpulan kami yang hilang dicuri orang!" kata Coa Bhok, wakil ketua Thian-te-pai yang merasa penasaran melihat orang-orang membicarakan Giok-liong-kiam tanpa memperdulikan mereka yang merasa paling berhak atas pusaka itu.
Dua orang Kakek yang tadi sudah saling berhadapan untuk berkelahi itu, kini tiba-tiba saling pandang dan tersenyum. Dari pandang mata yang saling tatap itu, keduanya mengalami kegembiraan di jaman dahulu dan seolah-olah pandang mata mereka menjadi isyarat bagi mereka untuk bersatu, walaupun hanya untuk sementara, guna menghadapi lawan yang datang dari luar menentang mereka! Secara otomatis, keduanya lalu membalikkan tubuh, membagi tugas! Karena dia seorang yang hidup sebagai seorang hartawan kaya raya, agaknya Hai-tok masih merasa sungkan untuk berurusan dengan orang pemerintah, maka dia memilih berhadapan dengan orang-orang Thian-te-pai! Sambil tersenyum mengejek dan melintangkan tongkat emasnya di depan dada, dia menghadapi Coa Bhok wakil ketua Thian-te-pai dan empat orang adik seperguruannya.
"Hemm, Kalian ini anak-anak kecil, sudah tidak becus menjaga Giok-liong-kiam, juga tidak becus menemukannya kembali selama enam tahun ini, sekarang hendak berlagak mencampuri urusan dan perjanjian orang-orang tua? Pergilah dan jangan kalian mengganggu kami!" Karena Hai-tok sudah memilih lawan, terpaksa San-tok menghadapi Pouw Gun dan dua orang temannya. Tentu saja Kakek yang hidup sebagai seorang perantau miskin dan jembel ini tidak takut berurusan dengan para pengawal istana.
"Heh-Heh-heh, biasanya, utusan lebih sombong dari pada yang mengutusnya. Kalian hanya utusan, kalau tidak berhasil menemukan Giok-liong-kiam, laporkan saja ke atasan bahwa kalian tidak berhasil. Kenapa hendak mencampuri urusan kami orang-orang tua?" Tentu saja orang-orang dari dua rombongan itu menjadi marah mendengar ucapan dua orang Kakek yang memandang rendah itu. Terutama sekali Pouw-Ciangkun dan dua orang temannya. Mereka adalah perwira-perwira pengawal dari istana, dan di istana dikenal sebagai jagoan, terutama sekali Pouw Gun, dan sekarang mereka sama sekali tidak dipandang mata oleh seorang Kakek jembel. Biarpun Pouw Gun pernah mendengar akan nama Bu-beng San-kai, akan tetapi dia tidak takut, didukung oleh kedudukannya dan oleh dua orang temannya yang sudah siap untuk membantunya.
"Bgus, kau orang-orang tua hendak memberontak terhadap petugas istana?" Bentaknya dan dia sudah mengeluarkan pedangnya, diikuti pula oleh si raksasa Tang Kui dan seorang temannya lagi yang kedudukannya lebih tinggi dari pada Tang Kui dan memiliki ilmu silat lebih tinggi pula. Sebagai perwira-perwira istana, tentu saja mereka tidak dilarang membawa senjata dan masing-masing kini sudah mencabut golok mereka, berdiri di kanan kiri Pouw Gun yang memegang pedang. Meluhat ini, San-tok terkekeh.
"Majulah, majulah... heh-heh, sudah lama kipasku tidak menepuk lalat-lalat hijau!" Jelas bahwa ucapannya ini merupakan ejekan, mengejek para perajurit Mancu yang oleh sebagian orang patriot diejek sebagai lalat-lalat hijau.
Pouw Gun dan dua orang temannya sudah membuat gerakan mengurung dan membentuk barisan segi tiga, seorang di belakang, dan dua orang di depan kanan kiri. Yang di belakang adalah Pouw Gun sedangkan dua orang temannya yang bergolok siap di depan Kakek kurus yang memegang kipas dan nampak enak-enakan mengipasi tubuhnya yang kurus. Sementara itu, Coa Bhok dan empat orang saudaranya juga sudah mengepung Kakek tinggi besar bermuka merah itu. Coa Bhok maklum akan kelihaian Hai-tok, maka diapun tidak malu-malu untuk maju bersama empat orang sutenya. Mengapa mesti malu? Urusan ini adalah urusan perkumpulan, untuk merebut kembali pusaka perkumpulan, bukan urusan pribadi sehingga boleh saja mereka maju bersama. Apa lagi mereka menghadapi seorang di antara Empat Racun Dunia sehingga pengeroyokan mereka tidak akan ditertawakan orang kang-ouw.
Karena pada zaman itu, pemerintah Mancu mengeluarkan larangan keras bagi siapa saja untuk membawa senjata tajam, apa lagi akhir-akhir ini setelah timbul banyak pemberontakan kecil di mana-mana, maka Thian-te pai juga melarang murid-muridnya membawa senjata. Bahkan perkumpulan itu kini lebih mengutamakan ilmu silat tangan kosong dan semua murid memperdalam ilmu silat tangan kosong mereka. Mereka bahkan menciptakan ilmu silat khas mereka yang diberi nama Thian-te-kun, yang sesungguhnya hanya merupakan ilmu silat tangan kosong yang diperbarui dan dikembangkan dari Im-yang-kun, namun dimasuki gerakan-gerakan dan langkah-langkah khas dari ilmu silat Thian-te-pai. Kini, dalam menghadapi Hai-tok, mereka berlima yang mengepung ini juga tidak memegang senjata tajam.
Melihat ini, Hai-tok lalu sengaja menyelipkan tongkat emasnya, senjatanya yang paling ampuh, di pinggangnya dan berdiri tegak dengan kedua tangan bertolak pinggang, sama sekali tidak mengacuhkan pengepungan lima orang itu, sikapnya sama benar dengan sikap San-tok! Seperti dikomando saja, tiga orang perwira tinggi yang mengeroyok San-tok dan lima orang Thian-te-pai yang mengeroyok Hai-tok itu bergerak dan melakukan penyerangan. Tiga orang perwira tinggi yang dipimpin oleh Pouw Gun itu melakukan penyerangan dengan teratur sekali. Tang Kui dan temannya yang memegang golok menyerang dari kanan kiri, menggunakan golok mereka, yang seorang membacok kepala dan yang kedua membabat pinggang. Serangan ini disusul dengan selisih beberapa detik saja oleh Pouw Gun yang menusukkan pedangnya ke punggung Kakek kurus itu dan kemudian pedang itu dikelebatkan untuk mencegat semua jalan keluar!
Sungguh merupakan serangan gabungan yang susul-menyusul, bahkan saling bersambungan dan berbahaya sekali. Akan tetapi, apa yang terjadi? Kakek kurus yang memegang kipas itu, yang berdiri seenaknya dengan kipas dikebutkebutkan mengipasi tubuhnya, sama sekali tidak menggeser kakinya, sama sekali tidak mengelak, hanya kebutan kipasnya yang tadi mengebuti tubuhnya saja yang berobah gerakannya. Kipas itu berkelebatan ke kanan kiri lalu ke belakang dan terdengar suara nyaring tiga kali yang akibatnya membuat tiga orang perwira tinggi itu berloncatan ke belakang dengan muka pucat. Juga Pouw Gun meloncat ke belakang dan menatap pedangnya sendiri dengan muka pucat karena tadi, tangkisan kipas butut itu membuat lengannya tergetar hebat, bahkan hampir lumpuh!
Kiranya, gagang kipas yang hanya terbuat dari bambu itu, ketika menangkis tiga buah senjata itu, menimbulkan suara nyaring seolah-olah senjata mereka bertemu dengan baja, dan yang luar biasa sekali, setiap kali terbentur senjata tajam, gagang kipas itu langsung melesat dan ujung gagang itu menotok pergelangan tangan. Begitu tepat totokannya sehingga lengan itu seketika menjadi hampir lumpuh! Sementara itu, Hai-tok juga sudah menghadapi pengeroyokan lima orang tokoh Thian-te pai. Karena ilmu silat Thian-te-kun yang mereka pergunakan itu merupakan penggabungan tenaga lemas dan kasar, lima orang itu menyerang dengan berselang-seling, ada yang melakukan pemukulan dengan amat kuat, ada pula yang menampar dengan lembut namun mengandung tenaga singkang yang berbahaya.
Serangan mereka juga bertubi dan saling susul, karena mereka itu memasang bentuk barisan Ngo-heng-tin dan mengepung dari lima jurusan. Akan tetapi, sikap Kakek tinggi besar berpakaian mewah ini tidak kalah anehnya dari sikap San-tok. Dia membuat gerakan seperti menari, kedua lengannya bergerak ke kanan kiri muka belakang dan dari kedua ujung lengan bajunya menyambar angin yang amat kuat dan... empat orang sute dari Coa Bhok terpental, sedangkan Coa Bhok sendiri terhuyung ke belakang! Padahal wakil ketua Thian-te-pai ini memiliki tenaga singkang yang cukup kuat! Sukar untuk dapat dipercaya betapa hanya dengan angin pukulan saja, Hai-tok membuat lima orang lawan yang tangguh itu terpelanting.
Tentu saja wajah Coa Bhok berubah merah sekali. Sebagai wakil ketua Thian-te-pai, tentu saja ilmu kepandaiannya sudah amat tinggi, akan tetapi kenapa menghadapi Kakek ini, padahal dibantu empat orang sutenya, mereka berlima dibuat tidak berdaya seperti lima orang anak kecil saja! Dia menjadi penasaran dan bersama empat orang sutenya mengepung lagi, seperti juga tiga orang perwira tinggi sekarang sudah mengepung tubuh San-tok yang masih berdiri tegak. Tiga orang perwira tinggi itu sudah menyerang lagi dengan senjata mereka, kini secara berbareng karena mereka maklum bahwa lawan terlalu tangguh untuk diserang secara bergantian. Tiga batang senjata tajam itu menyerang dari tiga jurusan dalam detik yang sama. Akan tetapi, tiba-tiba mata tiga orang itu menjadi gelap ketika kipas itu mengebut dan berkelebatan di depan muka mereka.
Hawa dingin dari angin kipas membuat mereka tidak dapat membuka mata dan tahu-tahu dua orang teman Pouw Gun terpukul gagang kipas, perlahan saja di pundak mereka namun cukup membuat mereka terpelanting dengan golok terlepas dari tangan karena tubuh mereka kehilangan tenaga dan pundak terasa nyeri bukan main. Adapun Pouw Gun yang lebih lihai dan bertindak hati-hati, dapat mengelak dari sambaran kipas dan tahu-tahu pedangnya sudah menusuk dari samping ke arah lambung San-tok. Kakek ini miringkan tubuh, tangan kirinya bergerak ke bawah dan mencengkeram pergelangan tangan Pouw Gun yang terpaksa melepaskan pedangnya karena dia merasa seolah-olah pergelangan tangannya itu patah-patah. Di lain detik, tengkuknya sudah dicengkeram oleh tangan kiri San-tok dan tidak mampu berkutik lagi! Di lain bagian dengan amat mudahnya Hai-tok juga sudah membuat para pengeroyoknya Kocar kacir.
Rajawali Hitam Eps 4 Gelang Kemala Eps 9 Rajawali Hitam Eps 5