Pedang Naga Kemala 6
Pedang Naga Kemala Karya Kho Ping Hoo Bagian 6
Serangan-serangan lima orang itu yang dilakukan lebih cepat dan kuat disambutnya Dengan totokan-totokan kedua ujung lengan bajunya sehingga dalam segebrakan saja, empat orang sute dari Coa Bhok sudah roboh oleh totokan. Coa Bhok dapat menangkis totokan ujung lengan baju, akan tetapi pada saat itu tangan kanan Hai-tok sudah bergerak mencengkeram ke arah ubun-ubun kepalanya. Coa bhok terkejut sekali dan dengan menarik tubuh atasnya ke belakang, cengkeraman itu tidak mengenai sasaran. Akan tetapi, cengkeraman itu hanya gertak saja, atau berfungsi sebagai gertakan kalau dielakkan, karena secepat ular mematuk, ujung lengan baju dari tangan yang mencengkeram itu telah mencuat ke depan dan tahu-tahu sudah menotok dan mengenai jalan darah di pundak Coa Bhok, seketika tubuh wakil ketua Thian-te-pai ini menjadi lemas dan Hai-tok telah mencengkeram tengkuknya!
"Hai-tok, terimalah ini!" terdengar San-tok berseru sambil melontarkan tubuh Pouw Gun yang dicengkeramnya tadi.
"Nih, untukmu!" Hai-tok juga berteriak. Keduanya sama-sama melontarkan tubuh orang yang dicengkeram tengkuknya, dengan maksud untuk saling menyerang karena setelah kini tidak ada lagi yang menjadi penghalang, dua orang Racun Dunia ini telah teringat kembali akan persaingan mereka! Dua batang tubuh yang sudah tidak mampu bergerak itu melayang ke udara dan saling bertumbukan di udara. Sungguh sial bagi mereka, tubuh mereka yang melayang itu tepat sekali saling hantam muka sama muka.
"Dukkk...!" Darah muncrat dari hidung dua orang itu yang sama sekali tidak berdaya untuk mengelakkan tubrukan antar hidung itu dan tubuh mereka terbanting ke atas tanah dalam keadaan pingsan!
Dua orang perwira yang maklum bahwa mereka tidak mampu menang menghadapi San-tok, segera menolong Pouw-Gun, memanggulnya dan membawanya pergi tanpa pamit. Juga empat orang tokoh Thian-te-pai menolong wakil ketua mereka dan menggotongnya pergi tanpa pamit. Terlalu hebat peristiwa yang menimpa dua golongan ini. Pouw Gun adalah jagoan pengawal istana yang biasanya amat ditakuti, juga Coa Bhok adalah wakil ketua Thian-te-pai yang berkedudukan dan berkepandaian tinggi. Akan tetapi sekali ini, dua orang itu hanya menjadi barang permainan yang sama sekali tidak berdaya di tangan dua orang Racun Dunia. Kini dua orang Kakek itu sudah saling berhadapan lagi, seperti lupa akan perkelahian yang baru saja terjadi. Dalam perkelahian tadipun mereka bersaing, tidak mau kalah dan memang mereka menyelesaikan perkelahian itu dalam dua gebrakan saja!
"San-tok, kalau aku dapat mengantarmu ke alam baka sekarang, matipun aku akan dapat terpejam!" kata Hai-tok.
"Ha-ha-ha, aku yang akan membuat engkau mampus dengan mata melek, Racun Lautan!" balas Bu-beng San-kai. Belum habis ucapan ini Hai-tok sudah menerjang maju didahului oleh sinar kuning emas karena menghadapi lawan berat ini, Si Racun Lautan sudah mencabut tongkat emasnya dan menyerang dengan dahsyat. Tongkat emas itu berobah menjadi sinar berkeredepan menyambar bagaikan kilat cepatnya. Si Racun Gunung tidak mau kalah. Kipas bututnya mengebut dengan tangkisan yang amat kuat.
"Cringgg...!" Bunga api berpijar dan keduanya menarik kembali senjata mereka, lalu saling serang lagi dengan cepat dan bertenaga kuat.
Angin sambaran senjata mereka bersiutan, kadang-kadang berdesing saking cepat dan kuatnya. Makin cepat gerakan mereka, makin kabur lagi pandang mata mereka yang nonton perkelahian itu. Bayangan tubuh mereka segera diselubungi gulungan dua sinar, putih dan kuning emas. Para Hwesio Siauw-lim-pai memandang dengan sinar mata penuh kagum, bahkan mereka yang belum begitu tinggi tingkatnya, tak dapat mengikuti gerakan dua orang tokoh sakti itu dengan jelas. Kini hampir seluruh Hwesio Siauw-lim-pai berada di luar dan sejak tadi nonton peristiwa hebat yang terjadi di luar pintu gerbang kuil mereka. Yang dapat mengikuti perkelahian antara dua orang itu dengan jelas hanyalah Siauw-bin-hud seorang. Kakek ini juga merasa kagum dan maklum bahwa dua orang itu memang memiliki ilmu silat yang kiranya sukar dicari bandingannya pada jaman itu.
Betapa sukarnya kedua orang itu mengumpulkan semua ilmu kepandaian itu, betapa lamanya mereka melatih dan mencari ilmu-ilmu itu. Timbullah rasa sayang dalam hati Hwesio gendut ini. Dua orang itu sudah tua, tidak perlu bertanding untuk saling membunuhpun akan berapa lama lagi mereka dapat mempertahankan hidup masing-masing? ia tahu bahwa kalau dilanjutkan perkelahian itu, biarpun akan makan waktu yang lama, tentu seorang di antara mereka akan tewas, atau setidaknya keduanya akan menderita luka yang amat parah. Usia mereka sudah terlalu tua untuk dapat bertahan dalam perkelahian seperti itu. Dia dapat melihat dengan jelas betapa Hai-tok menang kuat dan tongkatnya itu lihai bukan main, akan tetapi di lain pihak, San-tok menang cepat dan agaknya menang daya tahannya, menang kuat napasnya.
"Omitohud, belum cukupkah main-main ini? Ha-ha, kalian seperti dua orang anak kecil berebut kembang gula saja!" Sambil berkata demikian, tiba-tiba nampak tubuh yang gendut itu bergerak maju seperti sebuah bola besar dan tahu-tahu Kakek tua renta gendut itu sudah masuk di antara dua gulungan sinar. Terdengar dua orang Racun Dunia itu berseru kaget dan dua gulungan sinar itupun lenyap. San-tok dan Hai-tok masing-masing meloncat ke belakang dan mereka memandang kepada Siauw-bin-hud dengan mata terbelalak penuh kagum.
Ketika mereka sedang berkelahi dengan penuh semangat tadi, tentu saja mereka melihat masuknya Hwesio tua ini. Mereka menganggap kebetulan karena mereka memperoleh kesempatan untuk menguji Hwesio ini yang sejak dahulu memang belum pernah dapat mereka kalahkan. Dengan menambah kecepatan gerakan dan besarnya tenaga, mereka mengharapkan untuk dapat membuat Siauw-bin-hud tidak mampu memisahkan mereka, bahkan membahayakan keadaan Hwesio tua itu sendiri. Akan tetapi, begitu tubuh gendut itu masuk dan kedua tangannya mendorong, ada hawa pukulan yang demikian kuatnya sehingga keduanya tidak sanggup bertahan lagi, masing-masing terdorong ke belakang dan tentu akan terhuyung kalau saja mereka tidak cepat melompat ke belakang untuk melenyapkan tenaga dorong yang amat hebat itu! San-tok lebih dulu dapat menguasai dirinya.
"Ha-ha, memang hanya Siauw-bin-hud yang kiranya mampu menguasai Giok-liong-kiam pada enam tahun yang lalu dan Siauw-bin-hud pula yang kini akan dapat membongkar rahasia ini dan menemukan kembali Giok-liong-kiam."
Dia lalu melangkah mundur sambil mengipasi tubuhnya yang berkeringat. Perkelahian melawan Hai-tok tadi menyadarkannya bahwa dia sudah tua dan bahwa Hai-tok merupakan lawan yang masih seperti dulu, tangguh dan sukar dikalahkan. Diam-diam Hai-tok masih merasa penasaran terhadap San-tok. Akan tetapi, melihat munculnya Siauw-bin-hud, diapun merasa tidak enak untuk mendesak. Perbuatan Siauw-bin-hud yang melerai tadi saja sudah membayangkan bahwa Hwesio tua ini merupakan lawan yang lebih berat dibandingkan San-tok, padahal Racun Gunung itupun masih cukup berat baginya dan dia tidak terlalu yakin akan dapat mengalahkan Kakek kurus itu. Maka diapun menyimpan tongkatnya, menarik napas panjang.
"Sudahlah, akupun harus tahu diri. Enam tahun lagi, kalau aku masih hidup, aku ingin melihat engkau memenuhi janjimu, Siauw-bin-hud. Atau kalau tidak, tentu ada yang mewakili aku!" Setelah berkata demikian, dia mendengus dan memberi isyarat kepada tujuh orang pemuda yang mengiringkannya. Tujuh orang pemuda itu adalah anak buahnya, atau lebih tepat lagi pelayan-pelayan dan juga kekasih-kekasihnya, karena Kakek majikan Pulau Layar ini memang suka sekali dengan pemuda-pemuda remaja yang tampan halus.
Semenjak intrinya meninggal dunia, meninggalkan seorang anak perempuan yang kini sudah berusia kurang lebih sebelas tahun, Kakek ini mulai dengan pemuda-pemuda tampan! Kesukaan memelihara pemudapemuda tampan sebagai pengganti selir-selir wanita ini memang banyak dimiliki oleh hartawan-hartawan atau bahkan pejabat-pejabat tinggi di jaman itu. Setelah rombongan dari Pulau Layar ini pergi, San-tok lalu berlutut dekat murid atau cucu angkatnya yang masih pingsan. Kini wajah Lian Hong tidak begitu kebiruan lagi, mulai putih, dan pernapasannya juga mulai longgar. Beberapa kali dia mengurut
(Lanjut ke Jilid 06)
Pedang Naga Kemala (Seri ke 01 - Serial Pedang Naga Kemala)
Karya : Asmaraman S. (Kho Ping Hoo)
Jilid 06
leher dan punggung gadis cilik itu dan akhirnya Lian Hong siuman. Ketika Kakek ini mengangkat muka, dia melihat betapa Siauw-bin-hud melakukan hal yang sama terhadap diri Ci Kong dan pemuda cilik itu siuman lebih dahulu.
"Ha-ha-ha, anak baik, sungguh engkau menerima keuntungan besar sekali. Hayo cepat menghaturkan terima kasih kepada Bu-beng San-kai!" kata Siauw-bin-hud kepada Ci Kong. Tentu saja anak ini mengerutkan alisnya dengan penasaran. Jelas bahwa Kakek itu tadi mencelakakannya melalui penyaluran tenaga dalam, bagaimana sekarang Susiok-Couwnya bahkan menyuruh dia menghaturkan terima kasih?
"Hong Hong, cepat kau haturkan terima kasih kepada Siauw-bin-hud yang telah memberi petunjuk padamu!" Mendengar ini, Lian Hong cemberut, akan tetapi ia tahu bahwa Kakeknya yang suka senyum-senyum itu berwatak aneh dan tidak mau dibantah, maka biarpun dengan hati panas, terpaksa iapun melangkah maju dan hampir saja ia bertabrakan dengan Ci Kong yang juga melangkah maju untuk memenuhi perintah Susiok-Couwnya. Lian Hong tidak mau minggir, dan Ci Kong yang mengalah dan mengelak ke pinggir. Gadis cilik itu agaknya menanti dan sengaja bersikap lambat.
"Locianpwe, saya menghaturkan terima kasih kepada Locianpwe dan maafkan kelancangan saya tadi." Ci Kong menambah kalimatnya karena anak yang cerdik ini maklum bahwa Susiok-Couwnya tidak mungkin menyuruhnya berterima kasih kalau tidak ada sesuatu yang menguntungkan dirinya. Karena itulah, di samping menghaturkan terima kasih, sekalian dia minta maaf mengingat betapa tadi dia bersikap lancang dan berani memukul perut Kakek itu. Melihat betapa pemuda cilik itu telah memberi hormat sambil berterima kasih kepada Kakek angkatnya, Lian Hong juga memaksa dirinya menjura kepada Siauw-bin-hud, akan tetapi suaranya masih terdengar ketus ketika berkata,
"Locianpwe, saya menghaturkan terima kasih." Hanya dua orang Kakek itu yang tahu akan perbuatan masing-masing.
Siauw-bin-hud tadi dengan cepat mengetahui bahwa biarpun kulit tubuh cucu muridnya kehijauan, namun keracunan itu bukan membahayakan. Sebaliknya malah, Kakek kurus yang dijuluki Racun Gunung itu telah mengoperkan tenaga singkang yang hebat kepada Ci Kong, melalui tangan pemuda itu yang tadi menempel di perutnya. Tahulah dia bahwa San-tok juga merasa kagum kepada Ci Kong dan telah berkenan menghadiahi anak itu. Hal ini saja membuktikan bahwa San-tok kini telah memiliki kasih sayang di dalam hatinya, dan juga perbuatan itu menunjukkan iktikad baik terhadap Siauw-lim-pai. Oleh karena itulah, begitu melihat kesempatan terbuka ketika Lian Hong memukulnya, diapun membalas dengan mengoperkan tenaga sakti ke dalam tubuh anak perempuan itu yang dia tahu juga memiliki bakat yang baik sekali.
"Bgus begitu, Hong Hong. Mari kita pergi dari sini. Siauw-bin-hud, enam tahun lagi aku datang menagih janji!" kata San-tok sambil menggandeng tangan Lian Hong dan merekapun pergi dari tempat itu tanpa menoleh lagi. Sunyi kembali depan kuil itu setelah semua tamu yang aneh itu pergi. Seperti tidak pernah terjadi sesuatu, para Hwesio lalu kembali melakukan tugas harian mereka masing-masing, akan tetapi semua peristiwa yang terjadi pagi tadi sungguh akan melekat di dalam hati mereka dan sampai lama akan menjadi bahan percakapan mereka di waktu sebelum tidur. Siauw-bin-hud lalu mengumpulkan keempat orang pimpinan Siauw-lim-si, juga Nam San Lo-su, Nam Thi Hwesio , dan Ci Kong diajak masuk ke dalam ruangan belakang di mana Kakek gendut itu bicara dengan suara sungguh-sungguh walaupun sikapnya masih ramah dan senyumnya tak pernah meninggalkan wajahnya yang bulat.
"Kalian semua tentu tahu bahwa munculnya urusan Giok-liong-kiam ini mengikatkan pinceng pada sebuah tugas, hal yang sama sekali tak pernah pinceng duga-duga. Akan tetapi, segala sesuatu memang sudah digariskan dan kita hanya tinggal melaksanakannya saja. Ada orang mempergunakan nama pinceng untuk merampas pusaka itu. Jelaslah bahwa maksudnya, selain mengalihkan perhatian agar dia dapat menyimpan pusaka itu dengan aman, juga dia meminjam nama Siauw-lim-pai dengan maksud mencari keamanan dan juga mungkin saja untuk mengadu domba. Nah, tidak ada lain pilihan lagi, pinceng sendiri harus pergi mencari benda yang menimbulkan keributan itu."
"Maaf, susiok. Apakah tidak lebih baik kalau susiok mengutus murid-murid saja untuk melakukan penyelidikan, mencari dan merampas kembali pusaka itu?" Siauw-bin-hud tersenyum akan tetapi menggelengkan kepalanya.
"Pinceng dapat menduga bahwa orang yang merampas pedang itu tentu seorang yang lihai sekali. Buktinya, orang-orang pandai seperti San-tok dan Hai-tok saja tidak mampu mencarinya dan dapat ditipu sehingga mereka mencari ke sini. Tidak, harus pinceng sendiri yang mencarinya. Bukankah dia memakai nama pinceng untuk perbuatannya itu? Pinceng sendiri yang akan pergi dan pinceng hanya minta ditemani oleh Ci Kong ini saja." Nam San Losu terkejut, akan tetapi juga girang. Hal itu berarti bahwa muridnya itu akan memperoleh kemajuan yang luar biasa. Di bawah bimbingan susioknya sendiri yang demikian sakti!
"Akan tetapi, dia masih kanak-kanak, apakah tidak hanya akan menjadi beban dan gangguan bagi susiok?" katanya.
"Justru karena dia masih kanak-kanak maka akan cocok untuk pergi menemani pinceng. Ci Kong, maukah engkau menemani pinceng untuk mencari pusaka yang diperebutkan itu?" Tentu saja Ci Kong merasa girang bukan main. Dia sudah maklum bahwa Susiok-Couwnya ini memiliki kesaktian luar biasa, maka kalau dia boleh menemani Kakek itu berarti dia akan dapat memperoleh banyak petunjuk dalam ilmu silat tinggi. Dia cepat berlutut di depan Kakek itu.
"Teecu akan merasa girang dapat melayani Susiok-Couw."
"Ha-ha-ha, anak cerdik. Kalau begitu bersiaplah, sekarang juga kita berangkat." Semua orang terkejut mendengar rencana pemberangkatannya yang tiba-tiba ini, akan tetapi karena mereka semua sudah tahu akan watak yang luar biasa anehnya dari Siauw-bin-hud, mereka tidak berani membantah.
Dan tak lama kemudian Siauw-bin-hud nampak berjalan keluar dari kuil Siauw-lim-si, menggandeng tangan Ci Kong yang menggendong buntalan besar berisi pakaiannya sendiri dan pakaian Hwesio itu, diantar oleh para Hwesio sampai di lereng bukit. Kota Kan-cou di Propinsi Kiang-si merupakan kota yang cukup besar dan ramai karena kota itu juga menjadi kota pelabuhan perahu-perahu yang melayari Sungai Kan-kiang. Karena Sungai Kan-kiang itu mengalir ke utara, maka banyaklah tukang perahu sibuk melayarkan para pedagang yang mengirim barang-barang ke daerah pedalaman, ke kota-kota besar di bagian utara. Memang pada waktu itu, sarana pengangkutan barang maupun orang yang paling cepat, praktis dan murah adalah melalui sungai.
Juga kota Kan-cou menjadi semakin ramai dan penuh manusia karena kebanjiran pengungsi dari barat ketika terjadi pemberontakan-pemberontakan di Hunan, baik pengungsi orang-orang kaya yang menyelamatkan harta benda mereka maupun pengungsi-pengungsi miskin yang menyelamatkan nyawa mereka. Bertambahnya toko-toko yang dibuka oleh para pengungsi kaya, makin meramaikan kota itu, akan tetapi, bertambah pula pengemis dan gelandangan yang tidak mempunyai rumah dan tidak mempunyai pekerjaan pula. Orang-orang berebutan mencari pekerjaan, dan karena banyaknya pengangguran, tak dapat dihindarkan lagi banyak pula terjadi kejahatan-kejahatan. Tak dapat disangkal pula bahwa segala macam perbuatan jahat seperti pencurian, penjambretan, pencopetan, bahkan perampokan, timbul dari keadaan yang dicengkeram kemiskinan.
Orang-orang yang sudah tersudut karena tidak memiliki pekerjaan, atau orang-orang pemalas yang tidak suka bekerja dan ingin mencari uang mudah, atau orang-orang yang tidak merasa puas dengan keadaannya, condong untruk mudah terbujuk dan menjadi pelaku-pelaku kejahatan. Hal ini bukan berarti bahwa orang kaya raya tidak mau melakukan kejahatan. Setidaknya, tidak mau melakukan pencurian. Akan tetapi orang kaya raya sekalipun, kalau batinnya memang tamak dan tidak puas dengan keadaannya dan selalu ingin lebih dari pada yang dimilikinya, condong pula untuk melakukan kejahatan yang lain bentuknya akan tetapi sama saja sifatnya, yaitu demi kesenangan sendiri tanpa memperdulikan bahwa perbuatannya itu merugikan orang lain. Mereka itu melepas uang panas dengan bunga tinggi, menindas para petani dan buruh, mempermainkan perdagangan demi keuntungan mereka, bermanipulasi dan korupsi, dan sebagainya.
Uang atau harta benda memang merupakan sarana hidup, satu di antara persyaratan untuk hidup bahagia dan mencari uang bahkan merupakan suatu kaharusan yang mutlak kalau kita ingin mempunyai sandang pangan dan papan yang cukup. Akan tetapi pengejarannya terhadap uang itulah yang amat berbahaya. Pengejaran yang dilakukan karena kebutuhan masih tidak begitu berbahaya, akan tetapi pengejaran yang didorong oleh kelobaan, oleh nafsu ingin meraih keadaan yang dianggap lebih baik dari pada keadaan yang ada sekarang, amat berbahaya dan condong untuk menjerumuskan kita ke dalam perbuatan jahat, merugikan orang lain. Seperti orang yang mengejar-ngejar sesuatu di depan sana, matanya hanya tertuju kepada yang dikejarnya sehingga kalau ada orang lain berada di depannya, dianggap penghalang dan dilompati, bahkan mungkin ditendangnya untuk dapat mencapai apa yang dikejarnya.
Pengejaran inilah yang perlu kita amati pada diri sendiri, pengejaran uang menimbulkan pencurian, penipuan, korupsi dan sebagainya. Pengejaran kedudukan menimbulkan jegal-jegalan, perkelahian bahkan perang. Pengejaran kesenangan sex menimbulkan pelacuran, perjinahan. Kesenangan apapun juga bentuknya di dunia ini kalau sudah menguasai kita, dapat saja menjadi pendorong agar kita mengejar-ngejar, menjadi suatu tujuan dan biasanya, tujuan menghalalkan segala cara bagi orang-orang yang sudah buta akan kesadaran. Kita hidup berhak untuk menikmati kesenangan, akan tetapi justeru pengejaran akan keadaan yang lebih dari pada sekarang itulah yang melenyapkan kesenangan yang ada pada saat ini.
Mata kita selalu tertuju ke depan, kepada kesenangan-kesenangan yang belum ada, kepada bayangan-bayangan sehingga kita tidak melihat lagi keindahan apa yang ada pada kita. Pada hari itu sudah ramai di pusat kota Kan-cou. Apa lagi di pasar-pasar, para pedagang sudah memamerkan dagangannya dan para pembelanja sudah hilir-mudik mencari-cari barang-barang yang dibutuhkan. Ramai suara para pedagang menawarkan dagangannya, memuji barang-barang dagangannya dan berusaha menarik orang-orang yang berlalu lalang agar berbelanja di tempatnya. Ada pula pengemis-pengemis tua muda yang berjalan-jalan, menggunakan segala cara untuk menarik perhatian dan kasihan orang, minta-minta dengan tangan diulurkan, dengan suara yang memelas.
Lucunya, ada pula yang pura-pura timpang, pura-pura buta. Ada pula anak-anak, dari usia lima tahun sampai yang remaja berusia belasan tahun, berkeliaran, minta-minta atau mencari barang-barang yang dapat dimakan, di tempat-tempat sampah, kadang-kadang berebutan dengan anjing-anjing yang banyak pula berkeliaran di situ. Bau sayur busuk, ikan dan tanah lumpur menyesakkan hidung, akan tetapi agaknya bau campur aduk seperti ini terasa sedap oleh mereka yang sudah terbiasa. Seorang anak laki-laki remaja, berusia kurang lebih tigabelas tahun, dengan baju tambal-tambalan, berdiri di depan seorang penjual bakpao. Anak itu bertubuh sedang dan melihat betapa urat-urat tubuhnya menonjol, dapat diduga bahwa anak ini sejak kecil biasa dengan pekerjaan kasar dan keras.
Mukanya agak pucat dan muka itu tampan gagah, juga menunjukkan kekerasan. Sepasang matanya tajam dan berani, akan tetapi pada saat itu matanya memandang ke arah tumpukan bakpao mengepul panas dengan gairah besar. Beberapa kali dia menelan ludah sendiri dan perutnya yang sejak kemarin tidak diisi itu terasa semakin perih. Sudah sebulan dia terseret arus pengungsi memasuki kota Kan-cou dan biarpun setiap hari dia mencari dan melamar pekerjaan, namun tidak ada yang dapat menerimanya. Pekerjaan terlalu sedikit dan yang membutuhkan terlalu banyak. Anak seusia dia itu dianggap masih kepalang tanggung, disebut anak-anak bukan, dewasapun belum. Anak ini bernama Gan Seng Bu, berusia tigabelas tahun. Sejak kecil dia ikut Ayah bundanya yang bekerja sebagai pemburu dan selalu berpindah-pindah.
Akan tetapi, ketika terjadi pemberontakan di barat, Ayah bundanya menjadi korban dan tewas di tangan gerombolan pemberontak. Dia sendiri berhasil melarikan diri dan demikianlah, dia hidup seorang diri sebagai gelandangan, tak bersanak kadang tanpa pekerjaan dan satu-satunya miliknya hanyalah pakaian dan sepatu yang menempel di tubuhnya, yang kini sudah menjadi penuh tambalan dan butut. Seng Bu merasa betapa perutnya lapar bukan main. Kalau saja dia bisa memperoleh bakpao itu, sebuah saja! Akan tetapi dia tidak mempunyai uang dan tadi dia sudah memberanikan diri minta dari pedagang bakpao. Yang diterimanya hanya makian sehingga dia terpaksa menjauhkan diri dan memandang ke arah tumpukan bakpao itu seperti seekor harimau kelaparan memandang seekor kelinci gemuk yang diintainya.
Tidak, dia tidak mau mencuri, atau melakukan kekerasan mengambil bakpao lalu melarikan diri. Dia sudah melihat betapa ada pencuri disiksa orang banyak sampai mati, pernah pula melihat pencuri disiksa oleh petugas keamanan sampai lumpuh kaki tangannya. Dia tidak akan senekad itu. Pula, sejak kecil dia digembleng oleh Ayahnya yang keras untuk menjadi orang gagah yang pantang mencuri, demikian satu di antara pelajaran yang diterima dari Ayahnya. Tiba-tiba matanya tertarik oleh gerakan seorang pemuda remaja lain. Pemuda remaja itu bertubuh jangkung, dan usianya sebaya dengan dia, mukanya kurus pula akan tetapi matanya jelilatan. Seperti dia pula, pemuda itu pakaiannya penuh tambalan dan pemuda itu mendekati tempat penjualan bakpao dari belakang.
Pada saat si pedagang bakpao sibuk melayani beberapa orang pembeli yang merubungnya, tiba-tiba saja pemuda jangkung itu menyambar dua buah bakpao dari tumpukan di belakang tanpa diketahui oleh si pedagang atau para pembelinya. Akan tetapi Seng Bu melihatnya! Engkau harus selalu menentang kejahatan, demikian pelajaran yang diterima dari Ayahnya. Biarpun si pedagang bakpao tadi menghardiknya, akan tetapi kini bakpaonya dicuri orang dan dia melihatnya. Dia harus mencegahnya, kalau tidak berarti dia menjadi pembantu pencuri, demikian pelajaran yang diingatnya. Tanpa ragu lagi diapun lalu lari mengejar pemuda remaja yang melarikan dua buah bakpao itu. Setelah tiba di luar pasar, barulah Seng Bu berhasil menyusul pencuri itu dan dia segera mencengkeram pundak pemuda remaja tinggi kurus itu dari belakang.
"Eh, mau apa kau ?" bentak pemuda itu dengan marah sambil membalikkan tubuhnya menghadapi Seng Bu, matanya yang tajam itu memancarkan kemarahan.
"Kau telah mencuri bakpao!" bentak Seng Bu marah, apa lagi melihat bahwa bakpao yang sebuah tinggal separo, agaknya telah dimakan oleh pencuri itu sambil lari tadi. Pemuda jangkung itu memandang dengan senyum mengejek.
"Apakah engkau pemilik bakpao itu? jelas bukan, engkau tentu seorang pemuda gelandangan. Habis kau mau apa?"
"Kembalikan bakpao itu kepada pemiliknya!"
"Aha, engkau seperti petugas keamanan saja. Engkau kurus dan pucat. Nih, kuberi separuh. Makanlah!" Seng Bu memandang kepada bakpao yang tinggal separuh itu. Nampak daging di dalamnya dan kembali perutnya merintih. Akan tetapi dia teringat akan pelajaran Ayahnya dan betapa hinanya menerima sogokan seorang pencuri!
"Aku tidak sudi makan barang curian. Hayo kembalikan atau aku akan menyeretmu ke sana!" Sepasang mata yang tadi memandang dengan ejekan itu menjadi tajam karena kemarahan.
"Kau mau menyeretku? Setan buruk, kau kira aku takut kepadamu?" Pemuda jangkung itu menantang sambil mengantongi bakpaonya.
"Kau pencuri yang perlu dihajar!" Seng Bu berseru dan diapun lalu menyerang dengan pukulan tangannya. Pemuda remaja jangkung itu menangkis dan balas memukul. Terjadilah perkelahian dan terdengar suara bak-bik-buk ketika keduanya saling pukul. Dari gerakan mereka dapat diketahui bahwa keduanya tidak mempergunakan ilmu silat melainkan berkelahi dengan kasar dan liar. Akan tetapi keduanya memiliki tenaga besar dan tubuh yang kuat sehingga beberapa pukulan yang mereka terima tidak membuat mereka roboh atau mengaku kalah.
Perkelahian ini segera menarik perhatian orang dan mereka dirubung banyak orang yang menjadi gembira nonton perkelahian yang seruini. Tak seorangpun melerai, bahkan ada suara-suara berpihak, memilih jago masing-masing. Perkerlahian antara dua orang remaja yang tidak paham ilmu silat tentu saja lebih ramai dan menegangkan dari pada perkelahian antara ahli-ahli silat. Seorang ahli silat pantang terkena pukulan dan memiliki kepandaian untuk menghindarkan diri. Akan tetapi dua orang pemuda remaja itu membagi-bagi pukulan yang diterima oleh badanmereka sehingga nampaknya lebih ramai. Tiba-tiba terdengar suara orang tertawa. Suara ketawanya bebas lepas dan terbahak-bahak, dan nampaklah seorang Kakek gendut bulat memasuki tempat perkelahian itu. Kakek itu nampak sekali.
Melihat kepalanya yang botak hampir gundul, dengan rambut di bagian belakangnya dikuncir pendek dan tebal, jelas bahwa dia bukan seorang Hwesio . Akan tetapi tubuh dan kesederhanaannya itu membayangkan dia seorang pendeta. Kepalanya seperti bola bulat, telinga, mata, mulut dan hidungnya juga serba bulat. Dia tidak berjenggot, alis dan kumisnya pendek akan tetapi tebal dan berdiri seperti sikat kaku. Bajunya longgar akan tetapi kancingnya tidak dapat ditutup karena perutnya yang amat besar itu mengganjal. Baju itu terbuka sehingga nampak dada dan perut, dihiasi bulu sepanjang tengah dada menurun sampai ke pusarnya yang besar. Celananya dari kain tebal dan kuat, sedangkan sepatunya juga masih baru. Di pinggaangnya tergantung sebuah ciu-ouw (tempat arak) dan sebuah mangkok butut tersembul dari kantongnya.
"Ha-ha-ha-ha, kalian dua jagoan kecil. Bukan di sini tempat berkelahi. Mari ikut aku ke tempat yang lebih enak!" Berkata demikian, Kakek itu melangkah maju melerai dan menyentuh pundak dekat tengkuk kedua orang anak remaja yang sedang berkelahi itu.
Tiba-tiba saja keduanya menghentikan perkelahian, memandang kepada Kakek gendut itu dan tanpa bersuara lagi, seperti dua ekor anak kerbau, mereka mengikuti Kakek itu yang meninggalkan tempat itu. Penonton juga bubaran, melanjutkan pekerjaan masing-masing dan sebentar saja perkelahian antara dua orang anak gelandangan itupun dilupakan orang. Tak seorangpun tahu mengapa dua orang anak yang sedang berkelahi itu tiba-tiba saja menurut dan taat kepada Kakek yang melerai dan mengajak pergi mereka. Padahal, keduanya belum mengenal siapa Kakek itu. Hanya dua orang anak itu yang tahu. Ketika Kakek itu melerai dan menyentuh pundak mereka, tiba-tiba saja kedua lengan mereka menjadi lemas dan seperti lumpuh!
Tentu saja mereka berdua menjadi kaget bukan main, dan ketika Kakek itu mengajak mereka, keduanya tidak berani membantah. Kedua lengan mereka tidak dapat mereka gerakkan, tergantung lepas dan lumpuh, hal ini saja sudah membuat mereka menjadi takut dan khawatir. Hanya Kakek itu yang akan dapat memulihkan kedua lengan mereka, maka merekapun menurut saja ketika diajak pergi. Seng Bu sendiri dapat menduga bahwa Kakek ini tentu seorang sakti. Biarpun Ayahnya tidak pandai silat, hanya memiliki tubuh kekar sebagai seorang pemburu, namun Ayahnya banyak bercerita tentang pendekar-pendekar dan orang-orang sakti. Pemuda jangkung itupun memiliki nasib yang tidak jauh bedanya dengan Seng Bu. Pemuda itu bernama Ong Siu Coan, berusia tigabelas tahun dan dari keluarga petani.
Ayahnya pernah menjadi seorang petani yang cukup keadaannya sehingga Ong Siu Coan sempat pula bersekolah. Akan tetapi ketika terjadi pemberontakan, Ayahnya ikut pula memberontak karena Ayahnya membenci pemerintah penjajah Mancu. Pemberontakan itu dapat dipadamkan dan seluruh keluarga Ong Siu Coan binasa, harta bendanya ludas dirampok pasukan pemerintah. Untung baginya bahwa dia sendiri masih dapat menyelamatkan dirinya dan arus pengungsi membawanya sampai ke kota Kan-cou. Dia melakukan perjalanan dari utara sampai berbulan-bulan sebelum tiba di Kan-cou. Seperti juga Seng Bu, sukar sekali baginya untuk mendapatkan pekerjaan. Baginya lebih sukar lagi karena ada sedikit keangkuhan dalam dirinya, merasa bahwa dia pernah menjadi anak sekolah sehingga dia enggan bekerja kasar.
Akan tetapi, berbeda dengan Seng Bu, agaknya dia tidak mengharamkan mencuri makanan kalau perutnya sudah tidak tahan lagi. Betapapun juga, di dalam dadanya bernyala api perjuangan menentang pemerintah penjajah. Pemuda remaja ini memiliki kegagahan, patriot, juga cerdik sekali, selain itu juga ada keanehan-keanehan pada wataknya. Siapakah Kakek gendut itu? Orang-orang kang-ouw biasa saja tidak akan mengenalnya, akan tetapi kau m tua di dunia kang-ouw tentu akan terkejut melihat munculnya orang yang sudah belasan tahun lamanya tidak pernah lagi nampak di dunia ramai itu. Orang ini terkenal sekali puluhan tahun yang lalu karena dia adalah seorang di antara Empat Racun Dunia! Inilah yang dijuluki orang Thian-tok (Racun Langit) yang memiliki kesaktian setingkat dengan San-tok atau Hai-tok!
Seperti juga San-tok, dia selama belasan tahun bertapa di gunung-gunung dan baru sekarang nampak muncul di dunia ramai, dan dalam keadaan sederhana, tidak seperti Hai-tok yang menjadi seorang kaya raya. Ketika Kakek ini dalam perantauannya tiba di luar pasar dan melihat dua orang pemuda remaja saling gebuk dengan ramainya, diam-diam dia memperhatikan dari jauh. Dan giranglah hatinya. Dia melihat bakat yang amat baik pada diri dua orang muda itu maka dia sengaja membawa dua orang muda itu ke tempat sunyi setelah membuat mereka tidak berdaya dengan semacam ilmu totok jalan darah yang amat halus. Thian-tok membawa mereka berdua ke sebuah kuil tua yang sudah tidak dipergunakan lagi, sebuah kuil kosong yang kotor dan rusak. Tempat inilah yang menjadi tempat tinggalnya selama beberapa hari ini dan dia berjalan terus memasuki kuil tua sampai tiba di sebuah ruangan dalam yang cukup luas.
"Nah, di sini kalian boleh melanjutkan perkelahian sampai ada yang kalah atau menang!" katanya sambil menepuk pundak kedua orang anak itu yang seketika merasa betapa mereka mampu menggerakkan lagi kedua lengan mereka. Dua orang anak ini saling pandang. Kemarahan sudah lenyap dari mereka, terganti rasa heran dan kagum akan kesaktian Kakek itu. Dan tiba-tiba ada suatu pikiran menyelinap di dalam benak mereka. Jelaslah bahwa Kakek ini hendak menguji mereka! Dan siapa tahu, yang menang akan diambil murid! Betapa akan gembiranya kalau sampai bisa menjadi murid orang sakti ini, pikir mereka dan kini mereka sudah saling pandang lagi dengan sikap bermusuh karena mereka hendak bersaing dan berebutan menjadi murid Kakek sakti.
"Ha-ha, nanti dulu!" kata Thian-tok melihat sinar mata mereka.
"Sebelum dimulai, aku ingin mengetahui dulu siapa kalian."
"Namaku Ong Siu Coan," kata pemuda jangkung.
"Namaku Gan Seng Bu," kata pula pemuda tegap.
"Bgus, bagus! Nama-nama yang bagus dan gagah. Nah, Siu Coan dan Seng Bu, sekarang buka baju kalian. Baju kalian sudah robek-robek dan akan menjadi hancur kalau tidak dibuka. Apa lagi kalau kalian tidak mempunyai pengganti." Baru teringatlah dua orang muda remaja itu akan pakaian mereka dan masing-masing menunduk dan memandang baju mereka yang robek-robek dengan muka sedih. Lalu merekapun menanggalkan baju mereka, menaruh di sudut ruangan itu. Kini mereka hanya memakai celana dan sepatu saja, tanpa baju. Mengingat akan baju mereka yang robek-robek, kemarahan kembali memenuhi dada mereka ketika mereka berdiri saling berhadapan.
"Ha-ha-ha, bagus, sekarang kalian mulailah saling hantam. Ingin aku melihat siapa yang menang," kata Kakek itu dambil naik ke atas tembok rendah. Bersila dan menurunkan tempat arak dari pinggang, juga mengambil mangkoknya. Ucapan itu merupakan komando bagi kedua orang pemuda remaja itu.
Keduanya sudah saling terjang dan saling pukul, melanjutkan perkelahian mereka di depan pasar tadi. Hanya sekarang mereka bukan sekedar melampiaskan kemarahan, melainkan berusaha untuk menang karena mereka menduga bahwa pemenangnya tentu akan diberi pelajaran silat dan diambil murid oleh Kakek gendut yang sakti ini. Terdengar lagi suara bak-bik-buk ketika mereka saling pukul sekenanya, dan Kakek itu menjadi kegirangan. Sambil menuangkan arak ke dalam mangkok dan diminumnya perlahan-lahan, dia menonton perkelahian sambil tertawa-tawa girang. Tubuh kedua orang pemuda remaja itu memang amat kuat dan keduanya tahan uji benarbenar. Muka mereka sudah matang biru oleh pukulan, hidung mereka sudah mengeluarkan darah terkena pukulan, akan tetapi keduanya tidak mau undur selangkahpun. Melihat ini, Kakek itu menjadi semakin girang dan tertawa-tawa senang.
"Bgus! Siu Coan, pukul saja dia! Seng bu, jangan mau kalah kau !" Teriaknya berulang-ulang, memberi hati kepada keduanya sehingga dua orang anak itu menjadi semakin sengit untuk saling mengalahkan. Akan tetapi agaknya Siu Coan lebih cerdik dari pada Seng Bu, walaupun dalam hal tenaga dan keuletan mereka seimbang. Karena dia lebih jangkung, Siu Coan mulai dengan gencar menyerang kepala Seng Bu dari atas. Hal ini membuat Seng Bu kewalahan, apa lagi setiap kali ada pukulan mengenai ubun-ubun kepalanya, dia merasa pening.
"Ho-ho... Seng Bu, jegal kakinya dan hantam lehernya!" Tiba-tiba Kakek itu memberi nasihat ketika melihat Seng Bu mulai terdesak. Seng Bu mentaati pesan ini dengan otomatis, kakinya menyapu ke arah kaki Siu Coan dan tangannya menghantam leher.
"Plak... Dukkk...!" Tubuh Siu Coan terpelanting karena dia selalu memperhatikan atas dan ketika kakinya ditendang dan lehernya dihantam, diapun tidak mampu bertahan dan terguling.
"Siu Coan, pegang kuncirnya! Ha-ha-ha!" Kembali si gendut memberi nasihat dan Siu Coan yang sedang terpelanting itu cepat menggunakan tangan kiri mencengkeram kuncir Seng Bu sehingga pemuda remaja inipun ikut pula tertarik dan mereka berdua terbanting jatuh bergulingan. Dan mereka lalu melanjutkan perkelahian dengan bergulat di atas lantai. Thian-tok yang berwatak aneh itu menjadi semakin gembira. Dia selalu memberi nasihat kepada yang terdesak sehingga dari keadaan terdesak, berbalik menjadi menang, akan tetapi hanya sebentar karena si gendut itu berbalik pula memberi nasihat kepada yang kalah sehingga keadaan kembali berobah. Sampai hampir dua jam mereka berhantam, bergulat dan akhirnya keduanya menggeletak kelelahan, terengah-engah hampir putus napasnya dan tidak mampu melanjutkan, hanya mendeprok di atas lantai dan saling pandang melalui mata yang bengkakbengkak membiru!
"Ha-ha-ha, istirahatlah sebentar. Nih, kuberi arak biar segar!" Kakek itu lalu menyemburkan arak dari mulutnya dan dua orang pemuda remaja itupun kehujanan arak yang amat halus dan mereka merasa terkejut bukan main karena arak itu seperti ratusan buah jarum yang menusuk-nusuk kulit mereka! Akan tetapi rasanya memang segar mengenai kulit dan biarpun begitu terkena arak bekas-bekas pukulan lawan itu terasa perih, akan tetapi lambat laun rasa linu dan nyeri berkurang banyak.
"Nah, sekarang mulailah lagi, atau seorang di antara kalian harus mengaku kalah!" Tentu saja dua orang remaja ini tidak mau mengaku kalah dan biarpun semua tulang dalam tubuh terasa patah-patah saking lelahnya, mereka bangkit berdiri lagi dan mulailah mereka berkelahi lagi. Ong Siu Coan mulai menyerang, akan tetapi karena dia mempergunakan semua sisa tenaganya dan pukulan itu luput, tubuhnya terhuyung ke depan dan hampir jatuh. Akan tetapi Gan Seng Bu tidak mempergunakan kesempatan ini, hanya berdiri memandang lawannya yang terhuyung.
"Heh-heh, Siu Coan, salahmu sendiri. Bukan begitu caranya menyerang lawan. Nih, begini, tirulah gerakan ini!" Kakek gendut itu sudah bangkit berdiri di atas tembokan rendah dan dengan lambat namun jelas memberi contoh sejurus pukulan kepada Siu Coan. Pemuda ini cerdik sekali, memperhatikan kedudukan kaki dan gerakan tangan ketika Kakek itu memberi contoh. Setelah merasa paham betul, dia lalu menghampiri Seng Bu dan segera menyerang dengan gerakan seperti yang diajarkan oleh Kakek gendut. Seng Bu juga melihat gerakan seperti yang diajarkan oleh Kakek itu, akan tetapi dia tidak tahu bagaimana cara menghadapinya, maka dengan ngawur saja diapun mencoba untuk menangkis.
"Dess...!" Akibatnya, tubuhnya tiba-tiba terpelanting dan jatuh terbanting cukup keras, membuat kepalanya menjadi pening.
"Ha-ha-ha, diserang orang bukan melawannya dengan jatuh bangun dan membiarkan diri dipukul!" Tiba-tiba Kakek itu berseru lagi.
"Seng Bu, beginilah kalau engkau menghadapi serangan jurus Burung Bangau Menyambar Katak tadi, perhatikan baik-baik." Kakek itu memberi contoh, kedua tangannya membentuk cakar dan lengannya bergerak seperti gerakan dua kaki depan harimau, kedua kakinya membuat kuda-kuda yang kokoh kuat. Seng Bu mencontohnya dan merasa dapat memahaminya.
"Nah, kalian lanjutkan sekarang!" kata si Kakek gendut. Siu Coan yang merasa bangga dengan jurusnya yang berhasil baik tadi menjadi penasaran. Tak mungkin Seng Bu dapat menahan serangannya seperti tadi, pikirnya. Dia pun maju lagi dan menyerang dengan jurus tadi, yang oleh si Kakek gendut dinamakan Burung Bangau Menyambar Katak. Seng Bu menyambutnya dengan jurus seperti yang diajarkan si Kakek, tangan kanannya berhasil menangkis patukan burung yang dilakukan oleh tangan lawan, kemudian dengan cepat tangan kirinya yang membentuk cakar itu menyambar muka lawan. Siu Coan terkejut dan menarik muka ke belakang, akan tetapi cakaran tangan kanan menyusul dan diapun terjengkang ke belakang dan terbanting jatuh!
"Ha-ha-ha! Itulah jurus Harimau Mencakar Batang Pohon! Engkau harus berhatihati, Siu Coan dan jangan terlalu mengandalkan sebuah seranganmu, melainkan membagi perhatian untuk berjaga diri."
Dengan gembira sekali Kakek itu lalu memberi petunjuk kepada kedua orang muda remaja itu, mengajarkan jurus baru kepada yang kalah sehingga yang kalah berbalik menang, dan yang menang itu berbalik kalah. Persis seperti tadi, akan tetapi kalau tadi dia hanya memberi petunjuk-petunjuk gerakan tertentu, kini dia memberi petunjuk jurus-jurus silat sehingga dua orang muda itu berkelahi dengan menggunakan jurus-jurus ilmu silat.
Dua orang pemuda remaja itupun makin lama makin genbira mempelajari jurus-jurus itu. Lenyaplah semua permusuhan di antara mereka dan kini mereka menganggap lawan menjadi teman berlatih silat! Akan tetapi tenaga mereka terbatas dan akhirnya kembali mereka mendeprok di atas lantai. Mereka saling pandang dan jantung mereka berdebar keras karena dalam sinar mata mereka ketika saling pandang itu, keduanya merasa seolah-olah mereka saling memberi isyarat yang mereka mengerti, yaitu bahwa keduanya merasa girang dapat saling berkenalan, bahwa terdapat kecocokan yang hangat karena mereka saling serang dan sama-sama berlatih silat tadi, dan bahwa mereka berdua sama-sama ingin menjadi murid Kakek gendut sakti itu! Ong Siu Coan berkedip memberi isyarat, lalu dia bangkit duduk, berlutut menghadap Kakek gendut.
"Kakek yang baik, kami berdua mohon agar dapat menjadi muridmu." Kakek itu membuka matanya dan sinar mencorong menyambar ke arah Siu Coan.
"Heh-heh-heh!" Dia hanya tertawa. Akan tetapi Seng Bu juga sudah bangkit duduk, lalu berlutut di samping kiri Siu Coan sambil berkata,
"Benar, Locianpwe, kami berdua mohon dapat menjadi murid Locianpwe."
"Ha-ha-ha-ha, bukankah kalian tadi berkelahi dan saling bermusuhan?" Siu Coan dan Seng Bu menoleh dan saling pandang. Tidak ada sedikitpun rasa permusuhan dalam hati mereka terhadap satu sama lain, dan keduanya tersenyum.
"Sekarang kami tidak lagi bermusuhan," kata Siu Coan.
"Kami malah merasa cocok dan suka, Locianpwe," kata Seng Bu.
"Ha-ha-ha, sungguh lucu. Ong Siu Coan, coba jawab terus terang, mengapa engkau ingin menjadi muridku?" Tanpa ragu-ragu Siu Coan menjawab lantang,
"Saya ingin dapat menjadi seorang pandai yang dapat berjuang untuk bangsa, menjadi seorang pahlawan yang mengusir penjajah dari tanah air!" Sepasang mata Kakek gendut itu terbelalak. Memang aneh sekali mendengar ucapan seperti itu keluar dari mulut seorang anak jembel yang tadi mati-matian berkelahi memperebutkan sepotong roti! Dan dia tertawa bergelak. Agaknya Kakek ini memang suka sekali tertawa, suara ketawa yang bebas dan lepas akan tetapi nadanya selalu mengejek.
"Ha-ha-ha, cita-cita yang terlalu tinggi, lebih tinggi dari pada cita-citaku, Ha-ha-ha! Dan kau , Gan Seng Bu, kenapa engkau ingin menjadi muridku?"
"Saya melihat Locianpwe seorang sakti, maka saya ingin menjadi murid Locianpwe agar memiliki kepandaian untuk menolong orang-orang lemah. Dunia begini kejam dan banyak orang menderita sengsara, saya mau mempergunakan kepandaian untuk menentang gerombolan yang mengganggu rakyat!" Tentu saja jawaban Seng Bu ini terdorong oleh pengalaman keluarganya yang binasa oleh gerombolan pemberontak yang di samping memberontak terhadap pemerintah, sebagian besar juga melakukan perampokan-perampokan dan mengganggu rakyat jelata yang tidak tahu apa-apa.
"Ha-ha-ha, maksudmu gerombolan pemberontak?" Seng Bu teringat akan gerombolan yang membasmi keluarganya dan dia mengangguk.
"Wah, kalau begitu kelak kalian tentu akan bermusuhan lagi. Siu Coan ingin menjadi pemimpin pemberontak dan engkau akan menjadi penentang pemberontak. Bagaimana ini?"
"Locianpwe, saya ingin memberontak terhadap penjajah Mancu, bukan pengganggu rakyat jelata!" Siu Coan berkata dengan tegas dan penuh semangat kegagahan.
"Dan saya tidak membela pemerintah, melainkan membela rakyat yang tertindas!" kata pula Seng Bu.
"Ha-ha-ha, bagus, bagus. Aku suka menjadi guru kalian..."
"Suhu...!" kata Siu Coan dan Seng Bu hampir berbareng, berlutut di depan kaki Kakek gendut itu. Si Kakek gendut tertawa bergelak beberapa lamanya, lalu tiba-tiba dia berhenti ketawa dan bersikap sungguh-sungguh.
"Kalian gigit lengan kiri sendiri sampai keluar darah!" Tiba-tiba dia berkata, sekali ini tidak tertawa lagi, bahkan suaranya terdengar galak. Dua orang anak itu hanya sebentar saja kelihatan kaget, akan tetapi tanpa menoleh ke sana-sini, Siu Coan lalu membawa lengan kirinya ke mulut dan menggigit lengan dekat pergelangan sampai kulit terobek dan darah mengalir keluar. Seng Bu juga melakukan hal yang sama walaupun tidak secepat Siu Coan.
"Mendekatlah!" Siu Coan san Seng Bu merangkak dekat, dan Kakek itu lalu menarik lengan mereka, menekan dan beberapa tetes darah keluar dari luka itu, ditadahnya dengan mangkok. Setelah menadahi beberapa tetes darah dari kedua orang pemuda remaja itu di dalam mangkok, dia lalu menuangkan arak ke dalam mangkok.
"Kalian benar-benar ingin menjadi muridku?" Dua orang anak laki-laki itu mengangguk.
"Kalau begitu bersumpahlah kepada darahmu sendiri bahwa kalian berdua sejak sekarang menjadi saudara seperguruan dan tidak boleh bermusuhan satu sama lain, dan ke dua kalian harus mentaati apa saja yang kuperintahkan tanpa ragu-ragu dan tanpa bertanya-tanya."
"Baik, Suhu." Atas petunjuk Thian-tok, kedua orang anak itu lalu berlutut delapan kali dan mengucapkan sumpah itu, dan atas permintaan Thian-tok menambahkan bahwa kalau mereka melanggar sumpah, mereka akan mati mandi darah. Kakek itu lalu minum sedikit arak bercampur darah itu, kemudian minta kepada Siu Coan dan Seng Bu untuk minum pula, seorang separuh. Dua orang pemuda remaja itu tanpa ragu-ragu minum arak bercampur darah mereka dan barulah Kakek itu tertawa bergelak.
"Ha-ha-ha-ha, selama hidupku baru satu kali aku mempunyai murid, akan tetapi dia sudah mengecewakan hatiku. Sekarang tiba-tiba aku mendapatkan dua orang murid yang menyenangkan. Eh, Siu Coan dan Seng Bu, tahukah kalian siapa yang menjadi guru kalian ini?"
Dua orang anak itu mengangkat muka memandang wajah gurunya dan baru sekarang mereka teringat bahwa mereka itu sama sekali tidak mengenal Kakek yang telah menjadi guru mereka ini, dan betapa aneh pertemuan antara mereka dengan guru mereka itu. Mereka menggeleng kepala dan memandang dengan sinar mata penuh pertanyaan. Kakek gendut itu tertawa. Perutnya yang besar itu bergerak-gerak seperti ada apa-apanya yang hidup di sebelah dalamnya dan matanya mengeluarkan sinar mencorong yang membuat kedua orang anak itu merasa serem dan takut. Ada sesuatu pada diri Kakek peramah ini yang amat menyeramkan dan menakutkan.
"Ha-ha-ha, ketahuilah bahwa gurumu ini bukan orang sembarangan, bahkan pada waktu ini dapat dibilang menduduki tempat nomor satu dan paling tinggi di dunia persilatan!" Tentu saja dua orang pemuda remaja itu terkejut dan girang, akan tetapi juga merasa ragu-ragu. Apakah Kakek yang menjadi guru mereka ini tidak terlalu sombong, pikir mereka.
"Orang menjuluki aku Thian-tok, Racun Langit! Ha-ha-ha, Racun Langit, seorang di antara empat Racun Dunia, akan tetapi jelas bahwa akulah yang paling hebat, ha-ha!" Dua orang pemuda remaja itu menoleh dan saling pandang. Jangan-jangan Kakek gendut ini telah miring otaknya, pikir mereka. Mereka berdua sama sekali tidak pernah mendengar julukan dengan segala Racun itu.
"Heh-heh, tentu saja kalian tidak pernah mendengar nama itu. Kalian bukan dari keluarga kang-ouw, bahkan orang-orang kang-ouw yang kepalang tanggung saja tidak akan mengenalku. Akan tetapi, ketahuilah bahwa kalian akan kujadikan jagoan-jagoan yang paling unggul di dunia ini."
"Terima kasih, Suhu," kata dua orang anak itu, masih agak ragu-ragu walaupun girang. Demikianlah, mulai hari itu, Ong Siu Coan dan Gan Seng Bu menjadi murid-murid Thian-tok dan dua orang pemuda remaja ini mengikuti Kakek itu merantau. Makin lama mereka menjadi murid Kakek itu, mereka menjadi semakin kaget, heran dan takut di samping perasaan girang karena Kakek itu memang benar sakti sekali dan mengajarkan ilmu-ilmu yang amat tinggi kepada mereka. Yang membuat mereka merasa serem adalah setelah makin lama mereka makin mengenal watak Kakek itu.
Watak yang aneh, mendekati gila, dan kadang-kadang dapat bersikap kejam bukan main,membunuh orang sambil tertawa-tawa saja, tidak pantang pula mencuri dan melakukan perbuatan-perbuatan jahat lainnya. Akan tetapi semua perbuatan itu dilakukan sambil tertawa dan dengan mempergunakan ilmu yang mengagumkan hati dua orang pemuda remaja itu. Ong Siu Coan yang juga memiliki watak ugal-ugalan dan aneh, di samping kecerdikan luar biasa, agaknya suka dan cocok sekali dengan watak gurunya yang aneh itu, bahkan dia dapat ikut tertawa-tawa kalau gurunya menyiksa atau membunuh orang. Adapun Gan Seng Bu yang melihat semua ini, diam-diam merasa tidak suka. Akan tetapi karena Kakek itu sayang kepadanya dan menurunkan pelajaran ilmu-ilmu yang tinggi, diapun menahan diri dan berlatih dengan giatnya.
Diam-diam dia mengkhawatirkan keadaan suhengnya, Siu Coan yang agak lebih tua menjadi suheng dan dia menjadi sute, karena suhengnya ini kadang-kadang juga aneh seperti orang gila. Banyak tempat mereka jelajahi dan kadang-kadang Kakek itu mengajak mereka "Pulang" yaitu ke sebuah guha besar di puncak Tai-yun-san di mana Thian-tok suka bertapa dan bersembunyi di dunia ramai. Dan dalam guha besar yang banyak rahasianya inilah Thian-tok menyimpan barang-barangnya yang ternyata amat banyak dan cukup membuat orang menjadi kaya raya, yaitu benda-benda hasil pengumpulannya ketika dia masih menjadi datuk sesat dan tumpukan benda itu masih terus ditambah dari hasil pencuriannya di gedung-gedung besar milik para hartawan atau bangsawan.
Semenjak terjadi peristiwa antara dia dengan mendiang guru silat Siauw Teng yang kemudian disusul pula dengan peristiwa dengan Tan Siucai, hati hartawan Ciu Lok Tai merasa tidak enak dan selalu terancam. Dia dapat merasakan bahwa sesungguhnya banyak terdapat orang-orang seperti mereka itu, dan bahwa tulisan-tulisan Tan Siucai menghasut orang-orang yang mungkin kini memandang kepadanya dengan penuh kebencian. Orang-orang yang tidak setuju adanya candu yang beredar di kalangan masyarakat. Oleh karena itu, dia lalu memanggil Jagoan-jagoan dari seluruh Kanton untuk menjadi pengawal-pengawalnya. Akan tetapidia selalu kurang puas dengan mereka ini. Dari hubungan dagangnya dengan orang barat, dia berhasil memperoleh sebuah senjata api yang selalu dibawanya ke manapun dia pergi.
Bahkan di waktu tidur sekalipun senjata api itu disimpan di bawah bantalnya. Saking khawatirnya akan keselamatan diri sendiri dan keluarganya yang timbul dari perasaan banyak dimusuhi orang, Ciu Wan-gwe atau Ciu Lok Tai selalu merasa tidak puas dengan jagoan-jagoan yang mengawalnya dan setiap ada jagoan baru yang datang untuk bekerja padanya, dia mengujinya dengan pistolnya! Setiap orang calon harus mampu menghadapi serangan pistolnya dalam jarak tiga tombak sebanyak tiga kali tembakan! Dan sampai beberapa tahun lamanya, hasilnya tidak memuaskan entah sudah berapa banyaknya jagoan yang roboh tertembus peluru, ada yang tewas dan banyak yang luka-luka. Tentu saja mereka tidak diterima, hanya diberi uang sekedar biaya berobat atau mengurus penguburannya saja.
Dan makin jarang yang berani datang melamar pekerjaan kepala pengawal itu. Terpaksa Ciu Wan-gwe harus mengandalkan keselamatannya pada pengawalan hampir seratus orang pengawal yang selalu mengepung gedungnya, hal yang amat tidak enak dirasakannya. Dia menghendaki satu dua orang saja pengawal yang benar-benar tangguh, yang mampu menghadapi musuh yang datang menyerang dengan senjata api! Dan sesungguhnya bukan karena ingin mempunyai pengawal yang tangguh saja dia mencari orang yang mampu menandingi pistolnya, akan tetapi selain itu juga dia ingin mencarikan seorang guru untuk putrinya yang terkasih. Ciu Wan-gwe mempunyai banyak istri, akan tetapi hanya dari seorang selirnya yang paling disayangnya sajalah dia memperoleh keturunan, seorang anak perempuan.
Oleh karena itu, tidak mengherankan apa bila dia dan sekeluarganya amat sayang kepada Ciu Kui Eng, puterinya itu. Puterinya itu sejak kecil suka sekali dengan ilmu silat dan sejak kecil telah disuruhnya para pengawal yang memiliki ilmu silat yang lihai untuk memberi gemblengan kepada puterinya. Namun semua usahanya itu sia-sia. Agaknya tidak ada ahli silat yang berani lagi mencoba ujian dengan pistol itu. Tentu saja, di dunia persilatan banyak yang akan mampu menandingi lawan yang berpistol, akan tetapi para pendekar yang berjiwa patriot mana sudi menghambakan diri kepada seorang hartawan yang membantu penyebaran racun madat kepada rakyat jelata? Itulah sebabnya mengapa sampai lewat enam tahun setelah terjadi peristiwa dengan Tan Siucai, Ciu Wan-gwe belum juga mendapatkan seorang jagoan yang mampu menandingi pistolnya.
Dan selama enam tahun itu, terpaksa pula Kui Eng hanya belajar ilmu silat dari guru-guru biasa yang menjadi pengawal-pengawal Ayahnya. Pada suatu pagi, Kui Eng berlatih ilmu silat di pekarangan depan gedungnya, dipimpin oleh tiga orang guru silat sekaligus. Guru-guru silat ini merupakan kepala-kepala pengawal di gedung Ciu Wan-gwe. Anak ini memang manja, karena dimanja oleh keluarga orang tuanya. Kalau berlatih kadang-kadang ia minta dilakukan di pekarangan depan. Hal ini adalah karena kemanjaannya, untuk pamer karena kalau ia berlatih di pekarangan itu, orang-orang di luar gedung dapat melihatnya melalui pintu besi terbuka. Ia senang sekali mendengar seruan kagum dari orang-orang yang lewat, dan pandang mata mereka yang penuh kagum.
Ia tidak perduli apakah mereka itu sungguh-sungguh mengagumi kelincahannya bersilat, atau kecantikannya, atau juga hanya sekedar mengeluarkan seruan kagum untuk menyenangkan hatinya sebagai puteri orang terkaya di Tungkang! Ia tidak perduli. Pokoknya, ia ingin dipuji dan disanjung orang. Memang menyenangkan sekali nonton gadis cilik itu bersilat. Pada waktu itu, Kui Eng telah berusia dua belas tahun, seorang gadis remaja yang sudah mulai nampak kecantikannya walaupun masih kekanak-kanakan. Wajahnya manis sekali, sinar matanya tajam dan pakaiannya indah. Gerakan-gerakannya juga indah dan manis gemelai, seperti orang menari saja dan tiga orang guru silat yang melatihnya memandang sambil kadang-kadang mengangguk-anggukkan kepala dengan hati bangga. Ketika orang-orang di luar pintu gerbang berkerumun ikut nonton, hati tiga orang guru silat ini semakin besar. Kamilah gurunya, demikian hati mereka bersorak.
"Heiiiittt...!!" Kui Eng mengakhiri gerakan silatnya dengan sebuah pukulan mematikan kepada lawan yang hanya dibayangkannya saja, kemudian ia berdiri tegak ke arah pintu gerbang sambil tersenyum manis, menggerakkan kepala untuk memindahkan kuncir rambutnya yang hitam panjang itu ke belakang. Terdengarlah tepuk tangan dan sorakan memuji dari luar pintu gerbang dan seperti seorang pemain panggung yang menerima pujian para penontonnya, Kui Eng mengangguk-angguk ke arah mereka sambil memperlebar senyumnya. Akan tetapi, dari penonton itu muncul seorang Kakek yang pakaiannya jubah pendeta atau tosu. Kakek ini sukar ditaksir usianya, tentu sudah lanjut sekali usianya. Tubuhnya pendek kecil, kepalanya botak hampir gundul. Alis, kumis dan jenggotnya panjang dan sudah putih semua, dan tangan kirinya memegang tasbeh hitam, tangan kanannya memegang sebatang tongkat hitam butut.
Kemelut Kerajaan Mancu Eps 14 Gelang Kemala Eps 5 Rajawali Hitam Eps 15