Ceritasilat Novel Online

Rajawali Hitam 15


Rajawali Hitam Karya Kho Ping Hoo Bagian 15




-ooOoo-

Terdapat kurang lebih duaratus orang di dalam hutan lebat itu. Seratus orang adalah anggauta Pek-lian-kauw yang pernah diserang dan diporak-porandakan orang-orang Pulau Naga dan pasukan pemerintah dan seratus orang lagi adalah orang-orang Pat-kwa-pai, sekutu mereka. Mereka adalah golongan pemberontak yang membenci terhadap pemerintah penjajah Mancu, akan tetapi mereka juga tidak segan untuk melakukan kejahatan kepada rakyat jelata. Mereka adalah golongan sesat yang membenci penjajah mancu dan di mana-mana membikin kacau dan bahkan berani menyerang pasukan Mancu kalau ada pasukan yang jumlah lebih kecil dari jumlah mereka.

Mereka sedang mengadakan pertemuan di hutan itu bersama rekan-rekan mereka, kaum Pat-kwa-pai. Biarpun mereka berlainan aliran dan keagamaan, akan tetapi karena sama-sama memusuhi pemerintah Mancu, mereka dapat bekerja sama.

Beberapa orang pimpinan mereka sedang mengadakan perundingan. Seorang berpakaian tosu yang tinggi kurus, matanya sipit dan suaranya meninggi, bangkit berdiri dan bicara kepada beberapa orang yang berjongkok membuat lingkaran. Di tengah mereka terdapat api unggun karena hari telah menjelang senja dan nyamuk telah banyak berdatanga menyerang mereka. Tosu tinggi ini adalah Hwa-Hwa To-su, ketua cabang Pek-lian-kauw yang berkumpul di situ.

"Kita telah diserang oleh orang-orang Pulau Naga sehingga kehilangan banyak saudara. Orang-orang Pulau Naga bersekutu dengan penjajah Maricu, karena itu kita harus membalas dendam dan kita harus membasmi orang-orang Pulau Naga. Kami harapkan bantuan pihak Pat-kwapai sebagai rekan seperjuangan untuk menghadapi orang-orang Pulau Naga."

Seorang tosu yang pakaian di dadanya ada gambar Patkwa, yaitu Cin Cin To-jin tokoh Pat-kwa-pai, bangkit berdiri dan mengepal tinju.

"Kami dan Pek kwa-pai adalah rekan-rekan seperjuangan, sudah seharusnya kalau kami membantu Pek-lian-pai. Marilah kita bersama menghancurkan orang-orang Pulau Naga!"

Pada saat itu terdengar ucapan nyaring,

"Bagus sekali rencana itu, kalau kita bekerja sama tentu hasilnya akan lebih baik lagi�

Semua orang terkejut dan menoleh kepada orang yang mengeluarkan suara itu. Mereka melihat seorang berpakaian hitam yang berkedok hitam pula telah berdiri di atas sebuah batu besar sehingga dapat tampak mudah dari situ.

"Siapa engkau?" Hwa Hwa To-su tokoh Pek-lian-kauw membentak penuh curiga.

"Dia bukan orang kita!' kata pula Cin Cin To-jin dari Patkwa-pai dengan curiga. Semua anggauta Pek-lian-kauw dan Pat-kwa-pai telah bersiap-siap dengan senjata mereka untuk menyerang orang berkedok itu. Akan tetapi orang berkedok itu berkata dengan nyaring.

"Aku adalah Hek -tiauw Eng-hiong yang juga anti penjajah Mancu seperti kalian. Walaupun kita masing-masing mengambil jalan kita sendiri, akan tetapi dalam menghadapi Pulau Naga kepentingan kita sama. Karena itu, kalau kita bekerja sama, tentu hasilnya akan lebih baik.�

"Hek-tiauw Eng-hiong, turunlah dan mari kita bicara,� kata Hwa Hwa Tosu dan berkata kepada anak buahnya,

"Biarlah dia bicara dengan kita."

Orang itu memang Hek-tiauw Eng-hiong atau Cia Tin Han. Secara tidak disengaja Tin Han mendapatkan mereka sedang berbincang-bincang di situ. Maklum bahwa mereka itu adalah musuh-musuh Pulau Naga, dia lalu mempunyai pikiran yang amat baik. Mengapa tidak membiarkan mereka bentrok dengan orang-orang Pulau Naga dan dia mendapatkan keuntungan itu dengan menyusup ke Pulau Naga dan mencari Ouw Kwan Lok? Demikianlah, maka dia lalu muncul sebagai Hek-tiauw Eng-hiong.

Dengan beraninya Tin Han menerima tawaran orang-orang itu datang ke tengah mereka mengadakan perundingan bersama. Setelah dia berada di antar mereka, Hwa Hwa Tosu lalu bertanya,

"Hek-tiauw Eng-hiong, apa yang dapat kautawarkan kepada kami?"

"Begini, kita dapat bekerja sama. Pulau Naga sekarang dipimpin oleh beng-cu baru bernama Ouw Kwan Lok yang amat jahat dan juga lihai sekali. Dia yang telah mengumpulkan orang-orang kang-ouw dan menjadi antek penjajah. Kalian boleh menyerbu dan membasmi orang-orang Pulau Naga, dan akulah yang akan menghadapi dan menandingi Ouw Kwan Lok yang jahat dan lihai itu. Dialah musuh besarku.�

"Nanti dulu," kata Cin Cin To-jin. 'Bagaimana kami dapat tahu bahwa engkau akan mampu menandingi Ouw Kwan Lok yang kami dengar juga memiliki kelihaian melebihi Siang Koan Bhok itu?"

"Aku pernah bertanding dengan dia dan sudah mengukur kemampuannya. Aku akan dapat mertangkap atau membunuhnya," kata Tin Han.

"Ho-ho, orang muda. Kami tidak mengenalmu, tidak tahu sampai di mana kepandaianmu, bagaimana kami dapat percaya untuk bekerja sama denganmu? Mari, aku akan menguji lebih dulu kemampuanmu!� kata Cin Cin To-jin yang masih curiga.

"Kalau engkau mampu mengalahkan tongkatku ini, baru aku percaya akan kemampuanmu."

Para anggauta Pat-kwa-pai dan Pek lian-kauw segera memberi ruangan untuk kedua orang itu yang hendak mengadu kepandaian. Cin Cin To-jin adalah ketua Pat-kwapai yang memiliki ilmu tongkat hebat dan dahsyat, di samping tenaganya yang besar. Tubuhnya memang tinggi besar dan dia amat terkenal dengan tenaganya yang sebesar gajah. Hwa Hwa Tosu yang mengenal kemampuan rekannya itu membiarkan saja. Diapun harus melihat dulu kepandaian orang yang menawarkan kerja sama untuk menyerang Pulau Naga sebelum menyetujuinya.

Cia Tin Han lalu melompat dari atas batu besar itu. Tubuhnya melayang bagaikan seekor rajawali hitam dan hinggap di depan Cin Cin To-jin yang sudah melintangkan tongkat bajanya di depan dada.

"Baiklah, to-tiang. Kalau engkau menghendaki itu. Mari kita main-main sebentar."

"Hek-tiauw Eng-hiong, keluarkan senjatamu!� bentak Cin Cin To-jin kepada calon lawannya.

"To-tiang, di antara kita tidak terdapat permusuhan, bahkan aku mengajak to-tiang bekerja sama untuk menyerang Pulau Naga. Oleh karena itu, dalam main-main ini biarlah aku menggunakan tangan kosong saja menghadapi tongkatmu."

Ucapan itu mengejutkan semua orang. Cin Cin To-jin amat terkenal dengan permainan tongkatnya yang dahsyat, bagaimana orang berkedok ini akan menghadapinya dengan tangan kosong saja.

"Hek-tiauw Eng-hiong, kunasihatkan engkau, cabutlah senjatamu. Tongkatku tidak bermata dan aku tidak ingin melukai atau membunuh seorang yang ingin bekerja sama," kata Cin Cin To-jin.

"Jangan khawatir, to-tiang. Kalau sampai aku terluka atau terbunuh, anggap saja itu kesalahanku sendiri dan tidak ada seorangpun akan menyalahkanmu. Mari, aku telah siap, mulailah!" Tin Han berseru menantang.

"Bagus, kalau begitu, lihat tongkatku!� Cin Cin To-jin sudah menyerang dan ternyata serangannya memang dahsyat sekali. Tongkatnya bergerak dengan cepat dan mengandung tenaga besar. Tin Han maklum akan hal ini, maka diapun menggunakan kecepatan gerakannya untuk mengelak. Bagaikan seekor burung saja dia berloncatan ke sana sini sehingga semua serangan Cin Cin To-jin mengenai tempat kosong belaka. Hal ini membuat tosu itu menjadi penasaran sekali dan dia mempercepat gerakannya sehingga tongkatnya lenyap bentuknya dan berubah menjadi segulungan sinar yang menyambar-nyambar.

Pertandingan itu menjadi menarik karena selain diterangi api unggun, juga para anggauta dua perkumpulan itu kini menyalakan obor sehingga tempat itu menjadi terang dan pertandingan itu dapat tampak nyata. Tubuh Hek-tiauw Eng-hiong merupakan bayangan hitam yang berkelebatan di antara gulungan sinar tongkat sehingga merupakan pemandangan yang luar biasa, seolah-olah pemuda itu sedang menari saja disambar tongkat dari segala jurusan namun tidak pernah mengenai sasaran. Hwa Hwa Tosu yang memperhatikan gerakan Hek-tiauw Eng-hiong, diam-diam terkejut bukan main.

Dia mengenal ilmu tongkat Cin Cin Tojin yang hebat dan dahsyat, tenaganya yang besar, akan tetapi sekali ini semua gerakan tongkat Cin Cin To-jin mengenai angin belaka. Suara tongkat menyambar-nyambar berciutan, namun tidak pernah dapat mengenai tubuh Hektiauw Eng-hiong dan setelah berlangsung limapuluh jurus di mana pemuda itu hanya mergandalkan kecepatan gerakan tubuhnya untuk mengelak ke sana sini, tiba-tiba Tin Han mengeluarkan bentakan keras dan ketika tongkat menyambar ke arah kepalanya, dia merangkis dengan tangan kanannya. Tangkisan itu membuat tongkat terpental dan sebelum Cin Cin To-jin tahu apa yang terjadi, tiba-tiba saja tongkatnya terenggut lepas dan telah pindah ke tangan lawannya!

Cin Cin To-jin terkejut bukan main, menubruk untuk merampas kembali tongkatnya, akan tetapi Tin Han menyodorkan tongkat itu untuk dipegang oleh pemiliknya, namun tidak dapat di renggut lepas. Mereka berbetotan sambil mengerahkan tenaga. Cin Cin To-jin yang mengerahkan seluruh tenaga tidak mampu merampas tongkat. Dia penasaran sekali dan mengerahkan seluruh tenaganya untuk membetot tongkatnya dari tangan Tin Han.

Secara tiba-tiba Tin Han melepaskan tongkatnya dan tanpa dapat dicegah lagi Cin Cin To-jin jatuh terjengkang! Terdengar tepuk tangan dart Hwa Hwa Tosu dan para arggauta Pek-lian-kauw dan Pat-kwa-pai juga banyak yang bertepuk tangan kagum. Siapa yang tidak akan kagum melihat seorang dapat mengalahkan Cin Cin To-jin yang bertongkat itu dengan tangan kosong belaka?

Cin Cin To-jin merangkak bangun dan dengan tulus mengakui kekalahannya, mengangkat tangan di depan dada memberi hormat dan berkata,

"Hek-tiauw Enghiong memang gagah perkasa dan pantas untuk menjadi sekutu kami menyerbu Pulau Naga."

"Urusanku di Pulau Naga hanya mengenai urusan pribadi dengan Ouw Kwan Lok," kata Tin Han.

"Karena itu, kalian boleh mengamuk dan membalas dendam kepada anak buah Pulau Naga, sementara itu biarkan Ouw Kwan Lok aku yang menandingi. Akan tetapi, hendaknya ji-wi to-tiang tidak memandang rendah kepada penghuni Pulau Naga. Biarpun dia sudah tua, namun Siang Koan Bhok merupakan lawan yang tangguh sekali dan aku mendengar kabar bahwa isterinya juga seorang yang amat lihai. Belum dihitung lagi para tokoh kang-ouw yang sudah bergabung ke Pulau Naga.

Selain itu, aku mendengar pula bahwa di Pulau Naga terdapat perangkap-perangkap dan jebakan-jebakan rahasia yang berbahaya."

"Sicu, hal itu tidak perlu khawatir. Banyak di antara orang kami yang sudah mengetahui akan jebakan-jebakan rahasia itu dan telah mempelajari. Kami tahu bagaimana harus menyerbu Pulau Naga," kata Hwa Hwa Tosu.

"Kalau begitu, lebih baik lagi. Sebaiknya kapan kita akan menyerbu ke sana?'

"Kita menyerbu besok pagi-pagi sekali mereka belum mengadakan persiapan. Kita serbu dan membuat mereka panik. Anak buah kami bagi menjadi tiga bagian. Bagian pertama yang menjadi penunjuk jalan menghalau rintangan jebakan, bagian kedua yang menggunakan panah api melakukan pembakaran dan bagian ketiga yang terbesar baru melakukan penyerbuan."

"Bagus sekali rencana itu, dan aku akan menyusup bersama para pembakar untuk mencari Ouw Kwan Lok dan mencegah dia melarikan diri."

Malam itu Tin Han dijamu oleh orang-orang Pek-liankauw dan Pat-kwa-pai dan beristirahat di sebuah pondok.

Pada keesokan harinya, ketika ayam hutan mulai berkokok, bangkitlah mereka semua dan dengan teratur mereka menggunakan perahu-perahu untuk, menyeberang ke Pulau Naga. Mereka menggunakan obor karena pagi masih gelap pekat dan puluhan perahu itu meluncur ke arah Pulau Naga dengan cepat.

-ooOoo-

Sebuah perahu kecil meluncur pada pagi hari itu menuju ke Pulau Naga. Yang berada di perahu itu adalah Song Thian Lee, Souw Lee Cin dan Tan Cin Lan. Tiga orang ini dengan penuh keberanian menuju ke Pulau Naga untuk mencari dan merampas kembali putera Song Thian Lee yang diculik orang dan dibawa ke Pulau Naga.

Mereka tidak tahu akan tetapi dapat menduga bahwa kedatangan mereka tentu telah diketahui oleh para penghuni Pulau Naga. Akan tetapi mereka tidak perduli dan tidak merasa takut.

Tadinya Tang Ci Lan mengusulkan agar mereka menyamar. Akan tetapi Thian Lee membantah.

"Mereka sengaja menculik anak kita untuk memancing kita datang ke sini. Menyamarpun mereka akan mengetahui juga.

Pendeknya, kita datangi mereka, kalau dapat secara halus kita minta kembali anak kita, kalau tidak dapat secara halus, kita menggunakan kekerasan.

"Kurasa sebaiknya demikian," Lee Cin membenarkan.

"Mereka adalah orang-orang yang curang, tentu telah mengintai dan mengawasi semua tempat ini sehingga kedatangan kita tentu akan mereka ketahui. Lebih baik kita datang terang-terangan dan menantang mereka! Dengan bertiga, aku tidak takut menghadapi siapapun juga di pulau ini!"

Hati Tang Cin Lan menjadi besar mendengar kesanggupan suaminya dan Lee Cin. Ia sendiri seorang wanita gagah perkasa yang tidak mengenal takut, apalagi untuk membebaskan puteranya dari kekuasaan para penculiknya.

Akhirnya mereka tiba di bagian selatan dari Pulau Naga, yaitu di bagian ekornya yang memanjang dan penuh dengan hutan di bukit yang berbatu. Keadaan di situ sunyi saja, agaknya tidak ada seorangpun yang berada di sekitar tempat itu. Namun ketiganya dapat merasakan bahwa gerak-gerik mereka tentu diamati orang yang bersembunyi.

Bangunan-bangunan yang menjadi tempat tinggal para penghuni Pulau Naga berada di bukit tengah yang paling besar, dekat puncak dan sudah tampak dari situ sebagian dindingnya yang putih dan gentengnya yang merah. Thian Lee memimpin dua orang wanita itu mendaki bukit menuju ke bukit besar di mana terdapat bangunan itu. Mereka bermaksud untuk langsung mendatangi tempat itu dengan waspada agar jangan sampai terjebak di tengah perjalanan menuju ke bukit itu.

Akan tetapi tiba-tiba mereka terkejut ketika mendengar suara ledakan-ledakan keras disusul berkobarnya api di mana-mana! Biarpun tidak mengetahui dengan pasti, Thian Lee yang melihat keadaan itu dapat menduga bahwa Pulau Naga tentu mendapat serangan dari luar!

"Pulau Naga ada yang menyerang! Lihat itu kobaran api yang disebabkan oleh panah api dan alat-alat peledak. Entah siapa yang sedang melakukan peryerangan itu, akan tetapi hal ini kebetulan sekali. Dalam keadaan terserang dan panik, mereka tentu tidak begitu memperhatikan kita dan kita dapat menyusup masuk. Mari cepat!' Thian Lee lalu berlari ke depan mendaki puncak bukit kecil di bagian ekor naga itu.

Tiba-tiba dia berhenti dan dua orang wanita yang mengikutinya juga berhenti. Mereka tiba di tepi jurang yang amat dalam dan lebar. Tidak mungkin melompati jurang itu.

Akan tetapi di atas jurang itu terdapat dua helai tali besar terbentang dari seberang sini ke seberang sana. Agaknya itulah jalan satu-satunya untuk menyeberangi jurang itu dan untuk mendekati tempat di mana terdapat bangunan-bangunan para penghuni Pulau Naga.

"Tidak ada lain jalan, kita harus mengambil jalan melalui tali ini. Biar aku yang akan mencobanya lebih dulu!� kata Thian Lee sambil menarik-narik tali itu untuk menguji keuletannya.

"Aku akan lebih dulu menyeberang dan di sana aku akan menjaga jembatan tali ini kalau kalian hendak menyeberang nanti."

"Akan tetapi, hati-hatilah!� kata Cin Lan.

"Lee-ko, berhati-hatilah, aku masih curiga kepada kelicikan mereka?� kata pula Lee Cin.

"Jangan khawatir!� katanya dan dia pun sudah melangkah ke atas dua helai tali yang besarnya seibu jari kaki itu. Dia melangkah ke depan, tali itu bergoyang-goyang akan tetapi Thian Lee dapat mengatur keseimbangan tubuhnya. Dua orang wanita itu memandang dengan hati khawatir.

Ketika Thian Lee sudah tiba di tengah-tengah jembatan, tiba-tiba tali jembatan itu terlepas! Entah siapa yang melepaskannya. Tentu saja dengan sendirinya tubuh Thian Lee terayun turun. Untung dengan sigapnya dia masih dapat menangkap kedua tali itu sehingga tubuhnya tidak terjatuh ke dalam jurang, melainkan terayun-ayun, secara mergerikan sekali.

"Ahhhh . . . . .!!� Dua orang wanita itu memandang dengan wajah pucat. Karena terputusnya tali itu terjadi dari sebelah sini, mereka tidak mampu berbuat apa-apa untuk menolong Thian Lee.

Selagi dua orang wanita itu kebingungan melihat tubuh Thian Lee terayun-ayun di dinding jurang, tiba-tiba terdengar kelepak sayap seekor burung dan tampaklah seekor burung rajawali hitam menyambar turun ke dalam jurang itu. Seorang bertopeng hitam menunggang burung itu dan hati Lee Cin berdebar tegang dan juga girang. Cia Tin Han! Hek-tiauw Eng-hiong, siapa lagi kalau bukan dia? Hektiauw Eng-hiong memberi isyarat dengan tangan kepada mereka berdua agar mereka tenang dan burung itu lalu meluncur ke bawah jurang. Dengan cekatan sekali, Tin Han menyambar ujung tali yang terlepas itu dengan tangannya dan menyuruh Hek-tiauw-ko terbang kembali ke arah tebing di mana dua orang gadis itu berada. Burung itu hinggap di tebing dan Tin Han menyerahkan ujung kedua tali kepada Lee Cin sambil berkata,

"Cin-moi, kalian pegang kedua tali ini baik-baik, ikatkan di batu besar dan jaga jangan sampai ada yang membikin putus. Aku akan menjaga yang disebelah sana."

Lee Cin mengangguk dengan gembira dan bersama Cin Lan menerima kedua ujung itu. Mereka lalu menarik kedua tali itu menegang kembali dan mengikatkan ujungnya pada batu besar lalu menjaganya. Mereka melihat betapa Thian Lee dapat lagi berjalan di atas tali yang sudah ditegangkan itu. Tin Han kembali menunggang burung rajawalinya dan terbang ke seberang, di mana dia menjaga ujung tali yang lain yang juga oleh orang telah diikatkan kepada dua batang pohon.

Tampak olehnya ada lima orang memegang golok hendak membacok putus tali itu. Burung rajawalinya menyambar dan Tin Han meloncat turun lalu mengamuk, menampar dan menendangi lima orang itu sehingga mereka jatuh bangun dan melarikan diri. Thian Lee selamat sampai di tebing seberang.

"Terima kasih atas bantuanmu tadi!" kata Thian Lee.

"Akan tetapi, sekarang engkau harus menjaga tali di seberang sana kalau-kalau ada yang hendak mengganggu selagi mereka menyeberang ke sini!"

"Baik, Lee-ko. Aku akan menjaga seberang sana!" kata Tin Han dan diapun menunggangi lagi rajawali hitam dan terbang ke seberang sana. Setelah tiba di sana, dia mempersilakan Cin Lan untuk menyeberang lebih dulu.

"Jangan khawatir, suamimu menjaga di seberang sana dan kami berdua yang akan menjaga di sini," kata Tin Han ke pada Cin Lan. Nyonya yang gagah perkasa inipun lalu menyeberang dengan setengah berlari, memegangi tongkatnya untuk membantu keseimbangan tubuhnya. Akhirnya tibalah ia di seberang, disambut suaminya dengan lega.

Tin Han dan Lee Cin saling berhadapan. Dua pasang mata itu bertemu dan bertaut sampai lama, saling pandang dengan penuh selidik seolah hendak menjenguk isi hati masing-masing. Akhirnya Tin Han menghela napas panjang dan berkata lembut.

"Cin-moi, kesempatan ini kupergunakan untuk minta maaf kepadamu sebesar-besarnya atas segala sikap keluargaku terhadap dirimu! Sudikah engkau memaafkan aku, Cin-moi?"

Lee Cin merasa terharu. Ia tahu bahwa pemuda ini tidak bersalah apa-apa ketika keluarga pemuda itu bersikap buruk terhadap dirinya, bukan hanya menolak melainkan juga menghina ibunya, seperti juga ia tidak bersalah ketika ibunya menolak dan menghina pemuda itu.

"Han-ko, kalau engkau mau memaafkan ibuku atas sikap dan kata-katanya, akupun mau memaafkan keluargamu atas sikap dan kata-katanya."

"Tentu saja, Cin-moi, sebelum engkau minta, sudah sejak dahulu aku melupakan perlakuan ibumu itu kepadaku.

Bagiku yang terpenting adalah sikapmu kepadaku, Cin-moi, bukan sikap ibumu atau siapa saja kepadaku. Aku sungguh girang bahwa engkaupun mau melupakan sikap keluargaku kepadamu."

"Akan tetapi, Han-ko. Perjodohan haruslah direstui oleh orang tua masing-masing, bagaimana kalau ibuku menentang dan juga keluargamu menentang. Masih mungkinkah......... �

Tin Han melangkah maju dan memegang kedua tangan kekasihnya.

"Mengapa tidak, Cin-moi? Bukankah yang terpenting itu yang akan menjalani? Kalau memang keluarga kita masing-masing tidak setuju, kita tidak perlu lagi memperhatikan mereka. Kita hidup berdua, jauh dari segala hal yang tidak menyenangkan. Bagaimanapun juga, hatiku masih terhibur karena aku yakin bahwa ayah kandungmu tidak melarang hubungan antara kita. Dan di pihakku, aku dapat minta persetujuan guru-guruku yang bijaksana untuk merestui perjodohan kita."

Sejenak Lee Cin membiarkan jari-jari tangannya diremas-remas kekasihnya. Ia lalu teringat dan berkata,

"Han-ko, mereka menanti di seberang sana. Biarkan aku menyeberang dulu.'

"Tidak, mari kita menunggang Hek tiauw-ko. Dia yang akan menyeberangkan kita. Loncatlah!' Dengan gembira dan tegang Lee Cin lalu melompat ke atas punggung Hek-tiauwko dan Tin Han melompat ke belakangnya. Burung itu lalu terbang, tampaknya ringan saja membawa dua beban itu dan melayang ke seberang jurang.

Setelah turun, Tin Han berkata kepada burung.

"Hektiauw-ko, terima kasih dan pulanglah dulu kepada suhu."

Burung itu seperti mengerti kata-kata itu. Dia menggerakkan sayapnya dan terbang pergi dari situ.

"Pulau Naga agaknya diserang dari luar. Lihat, terjadi kebakaran di mana-mana dan di sebelah sana terdengar suara ribut-ribut seperti ada pertempuran. Ketika engkau menunggang rajawali tadi, apa yang kaulihat, Han-te?" tanya Thian Lee kepada Tin Han yang kini sudah membuka kedoknya, sehingga mukanya tampak, hanya pakaiannya yang masih serba hitam.

"Aku melihat banyak orang menaiki pulau dari arah timur dan utara. Mereka menyerang dengan anak panah berapi dan aku tahu bahwa mereka itu adalah orang-orang Pek-lian-kauw dan Pat-kwa-pai."

"Eh, bagaimana engkau dapat tahu?"

"Aku memang telah bersepakat dengan mereka untuk mengadakan penyerbuan bersama. Pihak Pek-lian-kauw mendendam kepada Pulau Naga karena pernah diserbu dan banyak anggauta terbunuh anak buah Pulau Naga yang dibantu pasukan pemerintah. Aku menggunakan kesempatan baik selagi mereka melakukan penyerangan ini untuk menyeberang ke pulau dan mencari Ouw Kwan Lok. Tak kusangka aku melihat kalian bertiga di sana tadi."

"Bagus! Kalau mereka bertempur, kita tidak perlu mencampuri urusan mereka. Yang penting sekarang mencari Siang Koan Bhok, isterinya, dan Ouw Kwan Lok untuk merampas kembali anak kami."

"Ah, apakah yang terjadi dengan anakmu, Lee-ko?"

Lee Cin menerangkan.

"Putera Lee-ko yang baru berusia tiga tahun diculik oleh Ouw Kwan Lok dan dibawa ke Pulau Naga untuk memancing datangnya Lee-ko dan isterinya yang menjadi musuh besar Ouw Kwan Lok."

"Jahanam curang!" kata Tin Han.

"Kebetulan sekali ada pihak lain sedang menyerang Pulau Naga sehingga kita mendapatkan banyak kesempatan. Mari kita datangi bangunan besar itu. Kurasa di sanalah mereka berkumpul."

Makin besar rasa hati Lee Cin setelah kini Tin Han bergabung dengan mereka. Mereka berempat lalu dengan hati-hati terus mendaki ke atas bukit itu menghampiri bangunan yang berada di puncak bukit.

Sementara itu, Siang Koan Bhok dan Ouw Kwan Lok terkejut juga melihat penyerbuan orang-orang Pek-lian- kat dan Pat-kwa-pai ke pulau mereka. Hal ini sama sekali tidak pernah mereka sangka. Pasukan pemerintah baru malam tadi meninggalkan pulau untuk melakukan pengejaran terhadap para pendekar, bahkan banyak orang kang-ouw yang juga ikut melakukan pengejaran sehingga yang tinggal di pulau hanya beberapa orang lagi, di antaranya Tung-hai Ngo-huw, Ouw Kwan Lok dan Siang Koan Bhok bersama beberapa orang kang-ouw lainnya. Mendapat serbuan orang-orang Pek-lian-kauw dan Pat-kwa-pai tentu saja mereka melakukan perlawanan hebat dan karena memang pulau itu mempunyai tempat yang baik sekali untuk bertahan, seperti sebuah benteng saja, maka pihak Pulau Naga dapat membuat pertahanan yang kokoh kuat. Sementara itu, Ouw Kwan Lok, Siang Koan Bhok dan kelima Tung-hai Ngo-houw berkumpul di rumah induk, sedangkan Nyonya Siang Koan Bhok tetap berada di pondok belakang di mana terdapat taman bunga yang luas. Nyonya ini tidak mau mencampuri urusan suaminya dan memang ia tidak disenanginya.

Melihat ribut-ribut di luar, Nyonya Siang Koan Bhok hanya memesan belasan orang wanita pembantunya untuk berjaga-jaga di setiap pintu masuk dengan pedang di tangan dan tidak mengijinkan siapapun memasuki daerah itu.

Akhirnya Thian Lee, Cin Lan, Tin Han dan Lee Cin tiba di bangunan itu dan berhadapan dengan pintu gerbang yang ditutup rapat dari dalam. Untuk melompati pintu gerbang itu rasanya terlalu tinggi dan tidak ada celah-celah pada pintu itu. Mereka lalu mencari dengan jalan memutar dan akhirnya dapat melompati pagar tembok di belakang dan memasuki sebuah pekarangan yang luas. Akan tetapi baru saja mereka berempat masuk, tiba-tiba saja sudah ada belasan orang dipimpin Tung-hai Ngohouw mengepung mereka dengan senjata golok besar di tangan.

Melihat ada empat orang tahu-tahu telah berada di sebelah dalam pekarangan itu, belasan orang ini tidak banyak cakap lagi secara mengepung dan menyerang. Akan tetapi Lee Cin sudah mencabut pedangnya dan menyambut serangan mereka, demikian juga Cin Lan sudah menggerakkan tongkatnya menyambut golok mereka. Segera terdengar bunyi golok berdencingan dan golok-golok itu beterbangan begitu bertemu dengan Ang-coa-kiam dan tongkat. Dan tendangan serta tamparan tangan kiri kedua wanita perkasa itu membuat mereka terpelantingan.

Melihat ini, Tung-hai Ngo-houw menjadi marah dan mereka lalu maju, menggerakkan golok besar mereka mengeroyok dua orang wanita itu dan segera terjadi pertempuran antara dua orang wanita perkasa melawan lima orang Tung-hai Ngo-houw. Belasan orang lain mengepung Thian Lee dan Tin Han, akan tetapi begitu dua orang pemuda ini menggerakkan kaki tangan, mereka terlempar ke kanan kiri seperti daun-daun kering tertiup angin.

Tiba-tiba muncullah Siang Koan Bhok dan Ouw Kwan Lok. Dua orang ini terkejut bukan main melihat hadirnya Song Thian Lee dan juga Cia Tin Han di tempat itu. Sama sekali tidak mereka sangka-sangka bahwa serangan orang-orang Pek-lian-kauw dan Pat-kwa-pai itu ternyata ada hubungannya dengan munculnya orang yang mereka tunggu-tunggu itu. Song Thian Lee dan isterinya telah berada di situ, dan bukan mereka saja. Juga Cia Tin Han dan Souw Lee Cin!

Begitu melihat Ouw Kwan Lok, Song Thian Lee segera berseru dengan suara nyaring,

"Ouw Kwan Lok, manusia pengecut! Kembalikan anakku dan mari kita bertanding sampai seribu jurus untuk menentukan siapa di antara kita yang akan menang!"

Akan tetapi Ouw Kwan Lok membalas dengan bentakan mengancam.

"Song Thian Lee dan isteri, kalau kalian menghendaki anak kalian selamat, cepat menyerahkan diri, kalau tidak anak kalian akan kami bunuh!"

"Jahanam Ouw Kwan Lok!" Tin Han sudah membentak marah.

"Lee-ko, jangan dengarkan ancamannya yang kosong!" Setelah berkata demikian, Tin Han sudah menerjang pemuda berlengan satu itu dengan pedangnya Pek-kong-kiam. Karena serangan itu dahsyat bukan main, Ouw Kwan Lok tidak berani hanyak cakap lagi dan dia sudah mencabut pedangnya, menangkis dan balas menyerang. Segera di antara kedua musuh besar itu terjadi perkelahian yang seru dan mati-matian.

Thian Lee menghadapi Siang Koan Bhok.

"Siang Koan Bhok, kejahatan dan penyelewenganmu sudah terlalu jauh.

Mari kita tentukan dengan adu kepandaian!"

Siang Koan Bhok tidak dapat menghindar lagi. Tung-hai Ngo-houw bersama beberapa orang anak buah sudah mengeroyok dua orang wanita yang mengamuk seperti dua ekor naga betina itu, Ouw Kwan Lok juga sudah bertanding mati-matian melawan Cia Tin Han. Dia tidak dapat menghindarkan diri lagi lalu terpaksa mengerahkan tenaganya memutar tongkatnya dan menyerang Song Thian Lee dengan hebatnya.

Ilmu kepandaian Siang Koan Bhok pada saat itu sudah mencapai puncaknya, Ilmu tongkat yang dimainkan dengan dayung baja itu sudah matang dan dahsyat sekali. Akan tetapi, harus diakui bahwa usianya semakin tua padahal ini sangat tidak menolong. Daya tahannya sudah tidak seperti dulu lagi dan keuletannya juga berkurang. Adapun yang menjadi lawannya adalah Song Thian Lee, seorang muda yang sedang kuat-kuatnya yang memiliki ilmu pedang Jitgoat-kiam sut dengan pedang pusaka Jit-goat-po kiam dan memiliki pula tenaga dahsyat Thian-te Sin-kang. Gerakan pedangnya mantap dan mengandung tenaga kuatnya sehingga dia merupakan lawan yang berat bagi Siang Koan Bhok.

Pertandingan antara Ouw Kwa Lok dan Cia Tin Han juga terjadi mati-matian. Ouw Kwan Lok tidak dapat mengharapkan bantuan siapapun juga maka dengan nekat dia mainkan pedangnya dan mengeluarkan seluruh ilmu kepandaiannya untuk mengimbangi Tin Han yang gagah perkasa. Pedang mereka lenyap bentuknya dan berubah menjadi dua gulungan sinar yang saling menekan dan menghimpit.

Akan tetapi Lee Cin dan Cin Lan mengamuk bagaikan sepasang naga betina yang dikeroyok belasan orang anak buah Pulau Naga. Lima orang Tung hai Ngo-houw juga mengeroyok dua wanita ini, akan tetapi tetap saja mereka terdesak hebat oleh pedang Ang-coa-kiam dan tongkat di tangan Cin Lan.

Tiba-tiba terdengar gerengan hebat dan melompatlah Hek-bin Mo-ko ke dalam pertempuran, menyerang Lee Cin dengan ruyungnya yang besar dan berduri. Lee Cin cepat mengelak dari serangan ruyung yang ampuh itu dan sekali membalik pedangnya sudah menusuk ke arah ulu hati Hekbin Mo-ko. Raksasa ini terkejut dan cepat membuang tubuhnya ke samping untuk menghindarkan dari tusukan itu, lalu maju lagi mengeroyok dengan yang lain-lain.

Lee Cin dan Cin Lan lalu mengamuk. Senjata mereka menyambar-nyambar dengan cepatnya dan sudah beberapa orang pengeroyok roboh tak dapat bangkit kembali disambar pedang dan tongkat.

Akhirnya hanya lima orang Tunghai Ngo-houw dan Hek-bin Mo-ko saja yang masih mengeroyok mereka, masing-masing dikeroyok tiga orang.

Akan tetapi Lee Cin yang sudah marah sekali mengamuk dan ketika Hek-bin Mo-ko kurang hati-hati menghadapi sambaran pedang Lee Cin, ia berteriak dan roboh dengan dada tertusuk pedang, lalu terpelanting dan tidak dapat bangun kembali.

Rajawali Hitam Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo



Robohnya Hek-bin Mo-ko ini membuat lima orang Tung-hai Ngo-houw menjadi kehilangan semangat, akan tetapi tidak mungkin mereka meninggalkan gelanggang pertempuran dan dengan matimatian mereka masih mencoba untuk mengeroyok Lee Cin dan Cin Lan.

Namun, tingkat kepandaian lima orang Tung-hai Ngohouw ini masih jauh kalau dibandingkan tingkat dua naga betina yang mengamuk itu. Dalam waktu singkat saja mereka berlima sudah roboh terpelanting, termakan pedang atau tertotok tongkat. Anak buah yang lain sudah siang-siang melarikan diri karena maklum bahwa mereka tidak akan menang mengeroyok dua orang pendekar wanita itu.

Setelah kehilangan lawan, Lee Cin dan Cin Lan menyimpan senjata mereka dan kini mereka hanya menonton pertandingan yang amat seru antara Song Thian Lee dan Siang Koan Bhok dan antara Cia Tin Han dan Ouw K wan Lok. Mereka berdua adalah wanita-wanita pendekar gagah perkasa dan melihat betapa suaminya dan kekasih mereka tidak boleh mencampuri, apalagi melihat betapa keadaan pihak mereka tidak terdesak. Biarpun dengan tetap waspada, mereka kini menonton pertandingan yang amat hebat di puncak bukit itu, di depan bangunan indah yang bertaman bunga.

Pertandingan antara Song Thian Lee dan Siang Koan Bhok sudah berlangsung seratus jurus. Kakek itu mengerahkan seluruh tenaganya dan mengeluarkan semua kepandaiannya sehingga tidak begitu mudah bagi Thian Lee untuk mengalahkannya dalam waktu singkat. Ketika Siang Koan Bhok memainkan dayungnya dengan ilmu tongkat Swe-kut-pang (Tongkat Penghancur Tulang), Thian Lee mengimbanginya dengan Silat Hui-eng-kun (Silat Elang Terbang) sehingga mereka bertanding sampai puluhan jurus dengan sangat seru dan saling serang. Kemudian Siang Koan Bhok mengubah gerakan tongkatnya dengan ilmu silat Kuiliong-kun (Silat Naga Siluman) dan membarengi pula dengan selingan pukulan tangan kiri dengan pukulan beracun Bantok-ciang (Tangan Selaksa Racun). Melihat ini, Thian Lee juga mengubah ilmu silatnya. Dia mainkan Jit-goat Kiam-sut dan menyelingi dengan dorongan tangan kirinya yang mengandung tenaga Thian-te Sin-kang. Beberapa kali tangan kiri kedua orang jagoan itu bertemu di udara. Pada mulanya memang tampak seimbang dan keduanya terdorong mundur, akan tetapi lambat laun jelas bahwa Siang Koan Bhok kalah tenaga. Kalau Thian Lee hanya terdorong mundur, kakek itu terdorong sampai terhuyung!

Pada suatu saat, Siang Koan Bhok mengeluarkan ilmu dayungnya yang paling hebat. Tubuhnya bergulingan dan dayungnya yang besar panjang itu menyambar-nyambar dari bawah! Thian Lee terkejut sekali mendapat penyerangan yang tidak terduga-duga ini. Cepat dia menggunakan ilmu Hui-eng-kun (Silat Garuda Terbang) dan tubuhnya berloncatan ke atas seperti seekor burung garuda beterbangan. Namun, tetap saja ketika tubuhnya menyambar turun, sebuah hantaman dayung mengenai dadanya. Melihat datangnya dayung tidak begitu kuat, Thian Lee menerima dengan dadanya dan membarengi menusuk ke bawah.

"Bukk......... crotttt......... !" Dada Thian Lee terpukul dayung, akan tetapi ulu hati Siang Koan Bhok tertusuk pedang Jit-goat-kaim! Tubuh Thian Lee terlempar, akan tetapi tubuh Siang Koan Bhok rebah dan darah bercucuran dari dadanya!

Cin Lan cepat melompat dan menghampiri suaminya, membantu suaminya bangkit berdiri dan memandang dengan penuh kekhawatiran.

"Aku tidak apa-apa, hanya terluka sedikit saja," kata Thian Lee yang membikin tenang hati isterinya. Lee Cin melompat ke dekat Siang Koan Bhok dan memandang.

Ternyata kakek itu tidak mampu bangkit kembali, berkelojotan dan sebelum menghembuskan napas terkahir dia berkata dengan suara serak.

"Song Thian Lee, aku mengaku kalah!" Pengakuan yang gagah dari seorang datuk besar. Kemudian dia terkulai dan tewas.

Kini tiga orang itu menonton pertandingan antara Tin Han dan Ouw Kwan Lok. Pertandingan antara kedua orang ini tidak kalah serunya, bahkan lebih ramai dibandingkan pertandingan antara Thian Lee dan Siang Koan Bhok tadi.

Sungguh di luar dugaan Lee Cin bahwa Ouw Kwan Lok sekarang telah menjadi seorang yang sedemikian lihainya. Ia sendiri merasa bahwa agaknya sukar baginya untuk mengalahkan orang yang pernah dibuntungi lengan kirinya itu.

Sepak terjang Ouw Kwan Lok memang menggiriskan. Pemuda ini telah menyerap ilmu-ilmu dari tiga orang datuk besar, yaitu dari Pak-thian-ong, dari Thian-te Mo-ong dan yang terakhir dari Siang Koan Bhok. Dari tiga orang datuk ini, dia telah mewarisi ilmu-ilmu simpanan mereka dan karena dia masih muda, berbakat dan kuat maka itu menjadi lihai bukan main di tangannya. Biarpun lengan kirinya sudah buntung, namun ujung lengan baju pada lengan kirinya itu menjadi senjata yang ampuh sekali.

Mereka juga sudah bertanding selama seratus jurus lebih namun Ouw Kwan Lok masih tampak mampu melawan dengan seimbang. Pedang di tangan kanannya menyambar-nyambar ganas dan tangan kiri yang buntung itu ternyata mampu menyalurkan pukulan beracun Pek-swat Tok-ciang yang mengeluarkan uap putih! Tangan kanannya memainkan ilmu silat Pek-wan-kun (Silat Lutung Putih) yang lincah dan cekatan sekali. Sambaran pedang silih berganti dengan sambaran ujung lengan baju kirinya, keduanya merupakan ancaman maut setiap kali menyambar. Akan tetapi sekali ini Ouw Kwan Lok benar-benar menemukan tanding!

Pedang Pek-kong-kiam di tangan Cia Tin Han adalah pemberian kakek sakti Bu Beng Lo-jin. Sejak tadi Tin Han tetap memainkan ilmu silat Hektiauw-kun (Silat Rajawali Hitam) yang dimainkan dengan pedangnya yang kadang bergerak seperti paruh burung dan kadang dengan cepat berubah seperti sambaran cakar. Dan Tin Han melandasi ilmu pedangnya itu dengan tenaga Khong-sim Sin-kang.

Ouw Kwan Lok mengubah-ubah ilmu silatnya dari ketiga gurunya, namun semua ilmu silatnya itu membentur karang ketika bertemu dengan Hek-tiauw kun yang dilandasi Khong-sim Sin-kang. Terutama sekali dalam kekuatan tenaga sin-kang, lambat laun diketahui bahwa Ouw Kwan Lok masih kalah setingkat. Kini, setiap kali kedua pedang bertemu, terdengar bunyi nyaring diikuti muncratnya bunga api yang berpijar, namun jelas tampak betapa tubuh Ouw Kwe Lok tergetar, tanda bahwa tenaganya mulai kalah kuat.

Thian Lee, Lee Cin dan Cin Lan yang menonton pertandingan itu bersikap tenang saja, penuh kepercayaan kepada Tin Han. Bagaimanapun juga, tiga orang yang telah

memiliki ilmu silat tingkat tinggi ini dapat melihat bahwa Tin Han tidak dapat dibilang terdesak, bahkan ilmu pedang pemuda ini mantap sekali dan beberapa kali Ouw Kwan Lok tampak kebingungan.

Ouw Kwan Lok sebenarnya merasa gelisah sekali. Baginya Tin Han terlampau tangguh dan dia sudah hampir putus asa untuk dapat menang. Bahkan untuk melarikan diri dia sudah tidak mempunyai kesempatan sama sekali.

Kalau dia lari, tentu tiga orang yang lain itu tidak akan meninggalkannya begitu saja, tentu akan turun tangan pula.

Apalagi dia melihat gurunya telah roboh di tangan Thian Lee, nyalinya sebagian besar telah terbang meninggalkan semangatnya. Diam-diam perhatiannya ditujukan kepada pisau-pisau terbangnya. Masih ada tujuh batang pisau terbang di pinggangnya dan mungkin pisau terbang ini yang akan dapat menolongnya membebaskan diri.

Dia membuat perhitungan dengan masak-masak. Tiba-tiba mulutnya mangeluarkan bentakan nyaring sekali dan pedang di tangan kanannya menyambar dahsyat ke arah Tin Han, disusul ujung lengan baju kirinya menyambar dengan cepat mengirim pukulan beracun. Menghadapi serangan ganda ini, Tin Han dengan hati-hati lalu melompat ke belakang.

Pada saat itu, tubuh Kwan Lok bergulingan dan secepat kilat tangan kanannya melepas pedang yang digigitnya dan tangan kanan itu mencabuti tujuh batang pisau itu. Sambil bergulingan cepat sekali, empat batang pisau dilontarkan

menyambar ke arah tubuh Tin Han dan tiga batang yang lain menyambar ke arah Thian Lee, Lee Cin dan Cin Lan.

Maksudnya untuk membuat empat orang itu mengelak dan menjauh sehingga dia akan dapat melarikan diri dari tempat berbahaya itu.

Akan tetapi Tin Han dapat mengetahui muslihatnya ini. Pemuda ini mengelak dari dua sambaran pisau pertama kedua dan ketiga. Akan tetapi pisau keempat dia sambar dengan tangan kirinya dan Iangsung saja dia lemparkan kembali kepada penyerangnya!

Ouw Kwan Lok yang sedang bergulingan dan siap melarikan diri itu sama sekali tidak mengira bahwa dia akan makan pisaunya sendiri. Pisau itu dengan tepat mengenai lambungnya, masuk sampai ke gagangnya!

"Aduhhhh........!�. Ouw Kwan Lok menjerit dan melompat ke arah Tin Han, menggerakkan pedangnya membacok ke arah kepala Tin Han. Tin Han menangkis dengan pedangnya dan melihat kesempatan baik, tangan kirinya mengirim hantaman dengan Hek-tok-ciang yan mengenai dada Ouw Kwan Lok.

"Desss ...... !!" Tubuh Ouw K wan Lok melayang seperti layang-layang putus talinya dan diapun roboh terjengkang.

Pisaunya masih menancap di lambung dan baju di bagian dadanya hangus dan nampak tanda lima jari tangan di situ. Dia hanya mengeluh panjang lalu tak bergerak lagi, tewas!

"Han-ko, engkau berhasil membunuhnya!" teriak Lee Cin girang sambil mendekati Tin Han.

Tin Han memandang ke arah mayat Ouw Kwan Lok dan menghela napas panjang.

"Sayang sekali dia begitu jahat. Ilmu silatnya hebat sekali."

"Mari kita cari putera kita!" Cin Lan yang tidak pernah dapat melupakan puteranya itu berkata kepada Song Lee.

Mereka berempat lalu menghampiri pondok indah itu dan masuk ke pintu yang tadinya terkunci dari dalam, akan tetapi mereka berempat mendobraknya, sehingga terbuka.

Di sebelah dalam rumah, mereka melihat belasan orang wanita sudah siap dengan pedang di tangan untuk melawan mereka! Dan di belakang belasan orang wanita pelayan ini berdiri seorang wanita setengah tua, berusia kurang lebih limapuluh lima tahun, berpakaian indah berwajah cantik, lengan kiri memondong Hong San dan tangan lanan memegang sebatang pedang, siap pula melakukan perlawanan!

"Hong San......... !" Cin Lan berteriak memanggil puteranya yang dipondong wanita itu.

Hong San segera mengenal ibunya,

"Ibu......... !" Akan tetapi dia tidak menangis dan agaknya dia senang berada dalam pondongan Nyonya Siang Koan Bhok yang tampak menyayangnya.

"Bibi, kembalikan anakku kepadaku!" Cin Lan berseru dengan suara lembut mendesak.

"Lo-cian-pwe, anak itu adalah putera kami yang diculik oleh Ouw Kwan Lok, harap lo-cian-pwe suka mengembalikan kepada kami!" kata pula Thian Lee, tidak berani menggunakan kekerasan khawatir kalau anaknya diganggu.

"Hemm, anak ini telah menjadi pengganti anakku. Tidak boleh orang mengambilnya begitu saja!" kata Nyonya Siang Koan Bhok berkeras karena ia sudah menyayang anak lakilaki yang lucu itu.

Pada saat itu, terdengar suara lembut,

"Hui Cu......... , aku datang menyambutmu. ......!�

Nyonya Siang Koan Bhok terkejut dan menoleh. Dilihatnya seorang kakek berpakaian putih bersih penuh tambalan putih pula sudah berdiri tak jauh dari situ, dengan tongkatnya di tangan. Rambut dan kumis jenggot kakek ini sudah putih, akan tetapi wajahnya masih tampak segar kemerahan seperti wajah seorang muda.

"Kau......... kau......... mau apa engkau ke sini?"

"Hui Cu, engkau kini telah bebas. Siang Koan Bhok telah tewas, demikian pula anak buah Pulau Naga sudah melarikan diri semua. Engkau telah bebas dan marilah menghabiskan sisa hidup bersamaku, melalui jalan yang bersih tenang dan penuh damai sampai saatnya kita kembali kepada asal kita. Hui Cu, akan sia-sialah selama ini aku menantimu dengan sabar?"

"Tong Wan Yu......... , masih ada harapankah hidup dengan tenang dan damai setelah berpuluh tahun ini?"

"Kenapa tidak, Hui Cu? Aku sudah pernah menyakiti hatimu dan berilah aku kesempatan untuk memperbaiki itu semua, mari kita sambut masa senja kita dengan harapan baru untuk hidup penuh ketenteraman dan kedamaian, jauh dari keributan duniawi yang serba palsu."

"Akan tetapi anak ini, aku suka padanya," kata Hui Cu meragu sambil mencium pipi Hong San.

"Ia adalah cucumu, cucu murid. Ibunya adalah muridku yang dulu pernah menerima buah sian-to darimu.

Berikanlah anak itu kepada ibunya, kepada Tang Cin Lan dan mari kita pergi dari tempat ini."

Setelah meragu sejenak, Nyonya Siang Koan Bhok atau yang bernama Tha Hui Cu itu lalu menyerahkan Hon San kepada Cin Lan yang segera menggendongnya dengan hati bahagia dan ia menciumi anaknya dengan berlinang air mata.

Nyonya Siang Koan Bhok lalu memesan kepada belasan orang pelayannya.

"Kalian boleh tinggal di sini atau meninggalkan tempat ini. Barang-barang berharga boleh kalian bagi-bagi, aku tidak membutuhkannya lagi. Mari Wan Yu, kita pergi." Kakek dan nenek itu lalu pergi bergandeng tangan dan tidak sekalipun nyonya itu menengok ke belakang, agaknya ia sudah rela meninggalkan semua itu untuk hidup bersama orang yang pernah dicintanya, yaitu Kakek Pek I Lo-kai atau yang di waktu mudanya bernama Tong Wan Yu.

"Siapa saja yang tinggal di sini!" tanya Lee Cin kepada belasan orang pelayan wanita yang kini tidak lagi mengambil sikap bermusuhan.

Seorang di antara mereka yang menjadi pemimpinnya lalu maju dan berkata,

"Kami tigabelas orang adalah pelayan-pelayan pribadi akan tetapi Hu-jin telah memberi perintah kepada kami untuk tinggal di sini atau meninggalkan pulau. Kami memilih meninggalkan pulau karena setelah Hu-jin tidak lagi tinggal di sini, kamipun tidak suka tinggal di pulau ini."

"Baiklah, kalau begitu kalian boleh membawa barang-barang yang berharga dan tinggalkan pulau ini," kata Lee Cin.

Tiba-tiba terdengar suara banyak orang di depan pondok itu. Empat orang pendekar itu cepat keluar dan Cin Lan memondong puteranya. Ternyata yang datang Hwa Hwa Tosu dan Cin Cin To-jin, pemimpin Pek-lian-kauw dan Patkwa-pai.

Tin Han yang sudah mengenal mereka segera menyambut, kini tanpa kedok menutupi mukanya.

" Jiwi Totiang, kita sudah berhasil. Jiwi sudah berhasil membasmi anak buah Pulau Naga dan akupun sudah berhasil menewaskan para pemimpinnya. Sekarang saya minta agar jiwi totiang suka membebaskan belasan orang wanita pelayan yang berada di sini dan hendak meninggalkan tempat ini. Setelah itu terserah kepada jiwi apakah hendak menduduki Pulau Naga atau tidak."

Dua orang pemimpin perkumpulan Pek-lian-kauw dan Pat-kwa-pai itu sudah merasa puas dengan hasil kemenangan mereka.

"Untuk sementara kami akan mengambil alih pulau ini sebagai markas besar kami," kata Hwa Hwa To-su kepada Cia Tin Han.

"Baiklah, kalau begitu sekarang kami juga akan meninggalkan tempat ini karena kami sudah tidak mempunyai keperluan apa-apa lagi." Tin Han dan tiga orang temannya lalu pergi, bersama-sama belasan orang pelayan wanita itu, meninggalkan pulau menggunakan banyak perahu bekas milik anak buah Pulau Naga.

-ooOoo-

Kalau Tang Cin Lan dan Song Thian Lee bergembira karena dapat menemukan lagi putera mereka dalam keadaan sehat dan selamat, tidak demikian dengan Lee Cin dan Tin Han. Kedua orang muda ini masih tenggelam ke dalam lamunan masing-masing sehubungan dengan tidak setujunya kedua pihak orang tua mereka atas perjodohan mereka.

Song Thian Lee maklum akan hal itu karena dia juga menjadi saksi ketika keluarga Cia menolak Lee Cin menjadi jodoh Cia Tin Han. Sebagai seorang sahabat baik yang sudah mengetahui akan rahasia itu, di depan isterinya dia bertanya kepada kedua orang muda itu.

"Aku mengerti apa yang kalian berdua resahkan. Tentu karena penolakan Keluarga Cia untuk menerima Cin-moi sebagai jodohmu, bukan, Hante?�

Cia Tin Han menghela napas dan menggelengkan kepalanya.

"Bukan hanya itu, Lee-ko. Bahkan lebih lagi dari itu. Bukan saja keluargaku yang tidak menyetujui perjodohan kami, akan tetapi juga ibu kandung Cin-moi sama sekali tidak setuju kalau puterinya berjodoh dengan cucu mendiang Nenek Cia. Agaknya dahulu di antara mereka berdua terdapat semacam permusuhan yang sampai kini masih mengganjal hati kedua pihak."

"Orang-orang tua kalau mempunyai permusuhan memang amat kukuh hatinya. Akan tetapi kami berdua hendak mencoba untuk membantu kalian, Cin-moi dan Hante," kata pula Song Thian Lee.

"Apakah yang dapat kaulakukan, Lee-ko? Kami sudah berputus asa, bahkan kami sudah bertekad untuk berjodoh tanpa persetujuan mereka lagi," kata Tin Han.

"Ya, apa yang dapat kaulakukan, Lee-ko? jangan-jangan engkau malah akan terlibat urusan yang tidak enak dengan ibuku dan dengan Keluarga Cia. Biarlah kami hadapi dan atasi sendiri urusan ini dan jangan menyusahkanmu Leeko," kata Lee Cin.

"Sama sekali tidak menyusahkan. Aku sendiri merasa penasaran dan kecewa melihat sikap keluarga kalian. Kurasa mereka perlu disadarkan dan aku akan mencoba untuk menyadarkan mereka. Orang biasanya akan menjadi sadar kalau melihat kesalahan diri sendiri yang pernah dilakukan.

Kami berdua akan berkunjung kepada orang tuamu Han-te, kemudian kepada orang tua Lee Cin. Mudah-mudahan saja usaha akan dapat menggerakkan hati mereka."

"Sebelumnya terima kasih banyak atas kesediaanmu, Lee-ko. Akan tetapi ketahuilah, ibuku berwatak keras. Satusatunya orang yang dapat menundukkan hatinya adalah ayahku. Aku khawatir ibu bahkan akan memusuhimu."

"Jangan khawatir, Cin-moi. Kami akan bersikap hati-hati." Perahu mereka telah menyeberang dan mereka tiba di pantai daratan."Sekarang kalian hendak pergi ke mana, Han Te dan Cin-moi?"

"Kami akan mencari kedua orang suhuku, untuk minta doa restu mereka. Kalau kami tidak mendapatkan restu dari orang tua kami, kiranya sudah sepantasnya kami mendapatkan restu dari guru-guru kami," kata pula Tin Han.

"Baiklah, kami akan pulang, akan tetapi akan singgah dulu di tempat kediaman orang tua kalian masing-masing untuk mencoba usahaku membujuk mereka,. Kami tahu di mana harus mencari paman Souw Tek Bun. Dia masih tinggal di Hong-san, bukan, Lee Cin?"

"Benar, Lee-ko."

"Kami akan ke sana. Kemudian kami akan mencari Keluarga Cia. Dimana kiranya aku dapat bertemu dengan mereka, Han-te?"

"Mereka tidak akan tinggal jauh dari tempat kami semula, yaitu di sekitar bukit Lo-sian. Setidaknya ayah ibuku tentu tinggal di sana, di sebuah di antara dusun-dusun di pegunungan Lo-sian."

"Baik, kami akan mencari ke sana. Nah, sekarang juga kami akan berangkat, Han-te dan Cin-moi. Selamat berpisah dan sampai kita berjumpa kembali kelak dalam pesta pernikahan kalian!"

Lee Cin berangkulan dengan Cin Lan, kemudian mereka berpisah mengambil jalan masing-masing.

-ooOoo-

Pria itu bertubuh tinggi tegap dan mukanya persegi, alisnya tebal dan matanya mencorong, gerak geriknya membayangkan kekuatan besar dan dia gagah sekali.

Usianya sekitar limapuluh tahun namun dia masih nampak kokoh. Memang Souw Tek Bun yang dahulu dijuluki orang Sin-kiam Hok-mo merupakan seorang laki-laki yang gagah perkasa. Dia sedang duduk di atas bangku di serambi rumahnya, ditemani oleh seorang wanita yang cantik. Wanita ini berusia empat puluh sembilan tahun, bertubuh tinggi agak kurus akan tetapi mukanya cantik jelita. Dahulu, di waktu ia masih menjadi seorang datuk sesat, karena memahami ilmu beracun, mukanya pucat seperti mayat.

Akan tetapi kini berkat bimbingan suaminya dan melepaskan diri dari hawa beracun, mukanya yang halus itu kemerahan. Pakaiannya masih seperti dulu, serba merah, warna kesukaannya. Ia adalah Bu Siang, isteri pendekar itu yang tadinya berjuluk An tok Mo-li. Setelah kini hidup berdua dengan Souw Tek Bun sebagai suaminya perubahan besar terjadi pada diri Bu Siang. Ia tidak lagi liar seperti dulu walaupun ia masih memiliki ilmu kepandaian yang tinggi dan masih pandai menjadi pawang ular.

Pada siang hari itu, hawanya panas sekali dan mereka berdua duduk makan angin di serambi depan. Mereka merasa demikian nyaman, tenteram dan penuh damai.

Keadaan seperti itulah, duduk berdua dengan orang yang dicinta, mengobrol tentang apa saja, yang dirasakan demikian indah oleh Bu Siang. Tidak seperti dulu ketika ia masih hidup terpisah dari Souw Tek Bun, adanya hanya tegang dan waspada, setiap saat seolah dirinya terancam bahaya. Mengalahkan atau dikalahkan, hanya itulah semboyan hidupnya ketika itu. Tak perah mengenal kedamaian.

"Aku rindu kepada Lee Cin," tiba-tiba Souw Tek Bun berkata sambil menatap wajah isterinya untuk menjenguk hatinya. Masihkah isterinya marah kepada anak mereka itu?

Sebetulnya Bu Siang amat mencinta Lee Cin. Penolakannya mati-matian ketika mengetahui bahwa Lee Cin mempunyai hubungan dengan putera Keluarga Cia, juga berdasarkan cintanya kepada puterinya. Puterinya tidak akan diperbolehkan menikah dengan keturunan orang orang yang pernah bekerja sama dengan pemberontak dan bajak-bajak laut Jepang! Apa lagi ia pernah bentrok dengan Nenek Cia yang terhitung musuh besarnya. Dalam pandangannya, keluarga Cia tiada bedanya dengan perkumpulan-perkumpulan seperti Pek-lian-kauw dan segala perkumpulan jahat lain yang berkedok perjuangan! Bagaimana mungkin puterinya tercinta menikah dengan keturunan dari keluarga itu?

Ang-tok Mo-li Bu Siang mengerutkan alisnya mendengar ucapan suaminya, akan tetapi ia menjawab sejujurnya.

"Aku juga rindu kepadanya."

"Ia pergi mencari Hek-tiauw Eng-hiong yang telah melukaimu. Sebetulnya berat hatiku melepas ia pergi seorang diri. Hek-tiauw Eng-hiong demikian lihainya, aku khawatir ia akan mendapat celaka."

"Lee Cin tentu akan mampu melawannya. Dan peristiwa itu bahkan ada baiknya, membuka matanya bahwa laki-laki yang dicintanya itu sebetulnya seorang yang curang dan jahat. Lebih baik membunuhnya dari pada bersahabat dengannya."

"Akan tetapi yakinkah engkau bahwa yang menyerang dan melukaimu, Siang-moi?"

"Hemm, masih diragukan apanya lagi? Bukankah dahulu dia juga menyerang dan melukaimu dengan pukulan yang sama dan dia telah mengakui perbuatan itu? Aku terpukul oleh Hek-tok-ciang, ilmu pukulan yang hanya dikuasai oleh Keluarga Cia yang jahat!"

"Membiarkan Lee Cin pergi sendiri mencari musuh itu, membuat hatiku dak tenteram. Ah, kenapa aku dulu tidak menemaninya mencari? Setidaknya kalau terjadi apa-apa aku dapat mengetahuinya."

"Sudahlah, Bun-ko. Tidak perlu dirisaukan keadaan LeeCin. Ia bukan anak kecil lagi dan tentang ilmu kepandaiannya, ia tidak kalah lihai olehku sendiri. Aku percaya kepadanya."

Tiba-tiba sepasang suami isteri itu berhenti bicara dan perhatian mereka ditujukan keluar pekarangan. Sepasang orang muda, yang wanita memondong anak kecil, memasuki pekarangan itu sambil tersenyum. Segera mereka mengenalnya, terutama Souw Tek Bun yan segera bangkit berdiri menyambut kedatangan mereka. Ang-tok Mo-li Bu Siang juga bangkit berdiri ketika dua orang muda itu memberi hormat kepadanya dan kepada suaminya. Mereka adalah Song Thian Lee dan Tang Cin Lan yang menggendong Song Hong San.

"Aih, angin apakah yang membawa kalian datang berkunjung?" tanya Souw Tek Bun dengan ramah.

"Mari silak duduk, thai-ciangkun."

"Ah, Paman Souw, harap jangan sebut saya dengan sebutan itu. Sudah lama sekali saya tidak lagi menjadi panglima, bahkan kini menjadi buruan pemerintah."

"Oh, ya. Maafkan kami. Eh, silakan duduk dan agaknya kalian berdua datang membawa berita yang penting."

Ang-tok Mo-li Bu Siang juga terseyum kepada Cin Lan dan berkata,

"Siakan duduk." Setelah keduanya duduk, Thian Lee segera mulai bicara.
"Sebetulnya kedatangan kami ini untuk memberi kabar gembira kepada paman dan bibi, yaitu bahwa Ouw Kwan Lok, beng-cu baru itu, telah mengakui bahwa dialah yang dulu menyerang dan melukai bibi Ang-tok Mo-li dengan pukulan Hek-tok-ciang."

Ang-tok Mo-li mengerutkan alisnya dan memandang tajam.

"Hemm, benarkah itu? Jadi yang menyamar sebagai Hek-tiauw Eng-hiong itu

"Benar, Ouw Kwan Lok yang memalsukan Hek-tiauw Eng-hiong. Bukan hanya memukul bibi, akan tetapi dia melakukan banyak pembunuhan atas diri para hwe-sio Siauw-lim-pai dan to-su Kun-lun-pai dengan menyamar sebagai Hek-tiauw Eng-hiong sehingga Pendekar Rajawali Hitam itu yang tertuduh. Maksudnya untuk mengadu domba."

"Jahanam Ouw Kwan Lok!" Ang-tok Mo-li memaki.

"Akan tetapi dia kini telah tewas, bibi. Yang menewaskannya bukan lain adalah saudara Cia Tin Han atau Hek-tiauw Eng-hiong sendiri." Setelah berkata demikian, Thian Lee memandang tajam kepada wanita cantik itu. Akan tetapi Ang-tok Mo-li masih mengerutka alisnya.



Gelang Kemala Eps 11 Kemelut Kerajaan Mancu Eps 2 Kemelut Kerajaan Mancu Eps 11

Cari Blog Ini