Ceritasilat Novel Online

Pedang Sinar Emas 11


Pedang Sinar Emas Karya Kho Ping Hoo Bagian 11




   Semenjak saat yang mengerikan itu, Bu tek Kiam ong menjadi seorang manusia cacat yang tidak berdaya lagi dan yang lebih hebat, ia berada dalam cangkeraman seorang gila yang jahat seperti Ah Lokoai!

   Dengan ancaman ancaman dan bujukan bujukan, Ah Lokoai berusaha memaksa Bu tek Kiam ong untuk menurunkan ilmu pedangnya kepada si gagu ini, karena cita cita terakhir dalam hidupnya, ialah mencari Kim Kong Taisu, Mo bin Sin kun, Lam hai Lo mo, Seng Jin Siansu dan Pat jiu Giam ong Liem Po Coan untuk membalas atas kekalahannya yang dulu!

   Akhirnya, setelah dapat mempertahankan diri dari ancaman ancaman, siksaan siksaan dan bujukan bujukan Ah Lokoai sampai selama lima tahun di dalam gua siluman itu, Bu tek Kiam ong yang putus asa lalu menyatakan bahwa ia tidak akan mungkin menciptakan ilmu pedang yang akan mengatasi kepandaian empat orang tokoh besar itu kalau tidak ada pedang pusaka Pek lek kiam di dalam tangannya!

   Sebetulnya memang Bu tek Kiam ong bercita cita menciptakan ilmu pedang yang paling hebat, yang dipelajarinya dan dibikin matang di dalam otaknya selama lima tahun ia berada dalam cengkeraman Ah Lokoai.

   Akan tetapi, tentu saja ia tidak bermaksud menurunkan ilmu pedang itu kepada Ah Lokoai, bahkan dengan pedang Pek lek kiam di tangan, ia akan berusaha membunuh Ah Lokoai yang gila tetapi cerdik itu.

   Seperti telah diceritakan di bagian depan, ketika mencuri pedang Pek lek kiam dan bertemu dengan Bun Sam hati Ah Lokoai tertarik. Pemuda ini adalah murid dari Mo bin Sin kun dan Kim Kong Taisu, maka perlu sekali pemuda ini dibawa untuk menyempurnakan ilmu pedang yang hendak diciptakan oleh Bu tek Kiam ong dan untuk dapat diuji sampai di mana kelihaian ilmu pedang itu kalau menghadapi dua tokoh besar itu yang sekarang diwakili oleh muridnya!

   Tentu saja, penuturan Bu tek Kiam ong kepada Bun Sam tidak secara terus terang seperti yang dituturkan di atas.

   "Karena aku sudah tua sekali tinggal menanti maut," katanya kepada Bun Sam, "terpaksalah aku menuruti permintaan Lokoai. Aku menyuruhnya mencuri pedang Pek lek kiam untuk dipergunakan dalam menciptakan ilmu pedang dan kemudian Lokoai akan mempelajarinya. Dengan demikian biarpun aku mati hatiku akan puas karena kepandaian telah kutinggalkan kepada dunia dan dapat dipergunakan untuk membasmi kejahatan!"

   Mendengar ucapan terakhir ini, Ah Lokoai mengangguk angguk dan nampak puas, sedangkan Bun Sam yang berotak cerdik itu dapat menangkap ejekan yang terkandung dalam kata kata ini.

   Sudah jelas bahwa Ah Lokoai adalah seorang gila yang melakukan kejahatan, bagaimana Bu tek Kiam ong dengan jelas menyatakan bahwa ilmu pedangnya ditinggalkan agar dapat dipergunakan untuk membasmi kejahatan? Kalau yang disindirkan sebagai kejahatan itu adalah diri Ah Lokoai, maka bukankah guru besar ini bermaksud untuk menurunkan ilmu pedang itu kepadanya agar ia dapat melenyapkan Ah Lokoai si jahat dari muka bumi?

   "Ah, sekarang teecu mengerti, locianpwe," kata Bun Sam. "Jadi teecu dibawa ke sini agar ilmu pedang itu dapat disesuaikan dengan ilmu silai yang teecu dapat dari kedua guru teecu, sehingga dapat mengatasi kepandaian mereka?"

   Ah Lokoai menggerakkan jari tangannya dan berkata. "Memang kau harus membantu, kalau tidak, kau akan kulemparkan ke dalam sumur ular!"

   Adapun Bu tek Kiam ong lalu menepuk nepuk punggung Bun Sam sambil berkata,

   "Untuk menyempurnakan ciptaan ilmu pedangku, aku mengandalkan bantuanmu, orang muda."

   Bun Sam terkejut sekait ketika punggungnya ditepuk tepuk, karena ternyata bahwa kakek buta itu dapat tahu bahwa ia menyembunyikan pedang di dalam bajunya di bagian punggung. Pedang tipis kecil pemberian suhunya, yakni bedang Kim kong kiam. Dari ucapan itu terang bahwa Bu tekt Kiam ong mengharapkan bantuannya, tentu saja untuk membasmi Ah Lokoai yang jahat.

   "Teecu bersiap sedia, membantu, suhu." Ia sengaja mengubah sebutan locianpwe menjadi "suhu" atau guru, untuk memberitahukan kepada Bu tek Kiam ong bahwa ia diam diam telah mengangkat guru kepada kakek ini.

   Baiknya Ah Lokoai tidak memperhatikan perubahan sebutan ini, karena kakek gagu yang gila ini telah menjadi demikian gembira mendengar percakapan antara Bu tek Kiam ong dan Bun Sam sehingga ia menari nari kegirangan di dalam gua itu.

   Sungguh pemandangan yang amat menyeramkan.

   Ketika Bu tek Kiam ong minta pedang Pek lek kiam, Ah Lokoai merasa ragu ragu untuk memberikannya, akan tetapi akhirnya ia memberikan pedang itu melalui tangan Bun Sam sambil menyuruh pemuda ini menyampaikan ancamannya.

   "Kalau Bu tek Kiam ong hendak mengandalkan pedang itu untuk melawannya, ia akan memenuhi gua ini dengan ular ular berbisa dan kemudian menutup pintu gua untuk selamanya."

   Ucapan ini menyatakan bahwa biarpun sudah lumpuh dan buta, namun Bu tek Kiam ong yang berjuluk Raja Padang ini amat ditakuti oleh Ah Lokoai apabila kakek buta ini memegang pedang. Bu tek Kiam ong hanya tersenyum saja mendengar ancaman ini.

   Ia menerima Pek lek kiam dan tangan Bun Sam, mencabutnya dari sarung pedang, berkeredepan sinar putih ketika pedang ini dicabut dan ketika Bu tek Kiam ong menggerak gerakkan pedang itu di tangannya, maka mata Bun Sam menjadi silau.

   "Pedang bagus!" Bu tek Kiam ong berseru girang sambil tangan kirinya mengelus elus pedang pusaka itu. "Lokoai, sekarang kau harus tinggalkan aku seorang diri di dalam gua ini selama tiga bulan lamanya, agar aku dapat menyelesaikan ciptaan ilmu pedangku. Biarkan Bun Sam melayani segala keperluanku."

   Ah Lokoai nampak kurang percaya kepada Bun Sam dan sambil bersungut sungut ia menyatakan keberatannya, akan tetapi akhirnya ia setuju juga. Betapapun juga ia tak pernah meninggalkan pintu gua dan selalu mengamat amati gerak gerik Bun Sam dan Bu tek Kiam ong dengan amat teliti, sehingga tidak ada kesempatan bagi kedua orang ini untuk bicara tanpa terdengar atau terlihat oleh Ah Lokoai!

   Selama tiga bulan itu, tiga orang itu bekerja dalam bidang masing masing tanpa banyak bicara. Pekerjaan Bu tek Kiam ong hanya menggerak gerakkan pedang, berkemak kemik, berpikir pikir dan kadang kadang mencorat coret dengan pedangnya di atas tanah di depannya atau kalau badan lelah ia lalu bersamadhi.

   Pekerjaan Bun Sam melayani kakek ini, keperluan makan dan minumnya dan biarpun diam diam pemuda ini memperhatikan gerakan dan corat coret yang berbentuk aneh sekali, juga corat coret itu berbentuk aneh, huruf bukan lukisanpun bukan.

   Ah Lokoai selama tiga bulan itu selalu menjaga dengan teliti sekali, ia hanya mau tidur kalau melihat Bun Sam sudah pulas, atau kalau ia lelah sekali ia lebih dulu menotok pemuda ini membuatnya tidak berdaya, barulah ia tidur di luar gua! Tentu saja Bun Sam amat mendongkol, akan tetapi apakah dayanya?

   Kepandaian kakek gagu itu benar benar berada di sebelah atas tingkat kepandaiannya sendiri dan seandainya ia melawan, itu berarti ia hanya akan mencari kematian sendiri, mungkin kematian yang amat menyeramkan, ia pernah melihat sumur yang penuh dengan ular ular berbisa itu dan membayangkan dengan hati ngeri betapa hebatnya kalau sampai terjerumus ke dalam sumur neraka itu!

   Tiga bulan terlewat dengan cepatnya dan seakan akan tidak terasa bagi Bu tek Kiam ong. Akan tetapi terasa amat lama bagi Bun Sam yang hidup sepeti di dalam penjara.

   Gua itu tertutup oleh sebuah pintu rahasia dan biarpun sudah beberapa kali ia mencoba untuk mencari rahasia pintu ini, sia sia belaka. Juga terasa amat lama bagi Ah Lokoai yang sudah tak sabar lagi ingin cepat cepat mewarisi ilmu pedang yang sedang dirangkai oleh Bu tek Kiam ong Si Raja Pedang.

   Akhirnya Bu tek Kiam ong memanggil Ah Lokoai dan Bun Sam menghadap. "Ilmu pedangku sudah selesai," katanya, "dan ilmu pedang ini akan menjagoi di seluruh dunia asal saja berada di tangan seorang yang berhati mulia."

   "Lekas ajarkan kepadaku." kata Ah Lokoai dengan jari tangannya yang segera disampaikan kepada kakek rambut putih itu oleh Bun Sam.

   "Boleh, boleh, nah lihatlah baik baik. Jurus jurus pertama kusesuaikan dengan ilmu pedang dari Kim Kong Taisu untuk dapat mengimbangi ilmu silat dari orang tua itu. Lihatlah, Ah Lokoai, ilmu pedang Kim Kong Taisu yang berdasarkan ilmu Silat Kim kong Pek lek jiu hwat yang paling lihai adalah bagian dari jurus ke tigabelas sampai tujuhbelas. Bukankah begitu, Bun Sam?"

   Pemuda ini terkejut, sekali karena memang, pernyataan kakek ini cocok sekali. Ilmu pedang yang ia pelajari dari gurunya memang mempunyai tujuh puluh jurus dan yang paling lihai gerakannya memang jurus ke tigabelas sampai ke tujuhbelas yang menurut suhunya, jarang dapat dihadapi oleh ilmu pedang lain, maka ia lalu menjawab.

   "Ucapan suhu tidak salah sedikitpun juga."

   "Nah, Lokoai, kau perhatikan baik baik. Aku sengaja memilih jurus yang terlihai dari calon lawanmu, sehingga kau takkan dapat dikalahkan. Lihatlah dulu, jurus ke tigabelas sampai tujuhbelas dari ilmu pedang Kim Keng Taisu adalah begini!"

   Bu tek Kiam ong sambil duduk lalu menggerakkan pedang Pek lek kiam, memainkan jurus ilmu pedang itu.

   Hampir saja Bun Sam tak dapat menahan ketawanya dan seruan herannya ketika ia melihat Bu tek Kiam ong memainkan ilmu pedang itu. Memang gerakan kedua tangannya amat sempurna, bahkan melebihi kepandaian Kim Kong Taisu sendiri, akan tetapi semua gerakan itu terbalik sama sekali.

   Kalau jurus ke tiga belas yang disebut Ang hong koan jit (Bianglala Merah Menutup Matahari) dilakukan dengan pedang disabetkan dari kiri ke kanan kemudian dilanjutkan dengan serangan melengkung dari atas ke bawah, adalah gerakan Bu tek Kiam ong ini sebaliknya, yaitu pedang disabetkan dari kanan ke kiri kemudian disusul dengan gerakan melengkung dari bawah ke atas.

   Kemudian, jurus ke empatbelas yang bernama Po in gan goat (Sapu Awan Melihat Bulan) seharusnya pedang diputar mengandalkan pergelangan tangan di depan muka. terputar dari kanan ke kiri, kemudian setelah tujuh putaran lalu tiba tiba meluncur ke depan menyerang bagian leher lawan akan tetapi Bu tek Kiam ong memutarnya dari kiri ke kanan dan setelah lima putaran saja lalu tiba tiba meluncur ke depan menyerang ke arah lambung lawan.

   Demikian selanjutnya sampai jurus ke tujuhbelas dimainkan, semuanya terbalik, sungguhpun digerakkan dengan cara yang luar biasa gesitnya, sehingga mendatangkan angin dari pedang Pek lek kiam menjadi segulung sinar yang menyilaukan mata.

   
"Nah, kau sudah melihat, Lokoai? Ilmu pedang Kim Kong Taisu memang hebat asal saja dimainkan dengan baik oleh seorang murid yang baik pula, sehingga permainannya tidak terbalik. Akan tetapi aku telah menyusun ilmu pedang yang menjadi timpalan dari semua Ilmu silat calon calon lawanmu. Sekarang kau lihat supaya kau percaya kepadaku, suruhlah murid Kim kong Taisu itu memainkan ilmu pedang yang baru saja kumainkan, apakah betul atau tidak. Kalau dia yang memainkan tentu lebih tepat karena kau dapat melihat pergerakan kakinya."

   Mendengar ini, Lokoai lalu menggerakkan jari tangannya menyuruh Bun Sam memenuhi permintaan Bu tek Kiam ong. Bun Sam lalu menepuk panggungnya dan mengeluarkan pedang Kim kong kiam. Lokoai menjadi tertegun karena tak pernah disangkanya bahwa pemuda itu menyimpan pedang di bawah bajunya. Akan tetapi ia tidak menaruh hati khawatir, karena maklum bahwa kepandaiannya jauh lebih tinggi daripada kepandaian Bun Sam.

   Setelah melihat kakek gagu itu tidak marah. Bun Sam lalu menggerakkan pedangnya dan dengan tepat sekali ia meniru semua gerakan Bu tek Kiam ong tadi. Bahkan untuk menyesuaikan dengan cara bersilat yang dibalik itu, ia pun membalikkan pula kedudukan kakinya. Kalau seharusnya kaki kanan di depan, sekarang ia merobah dan menaruh kaki kanan di belakang.

   Dengan kening dikerutkan dan penuh perhatian Bu tek Kiam ong memasang telinganya mendengarkan angin gerakan pedang pemuda itu. Ketika ia menangkap angin pedang yang tepat seperti yang dimainkannya tadi, wajahnya menjadi gembira sekali.

   "Bagus, bagus, anak ini benar benar pandai! Lokoai, tidakkah sama permainan pedangnya dengan yang kuperlihatkan tadi? Nah sekarang perhatikanlah baik baik jurus jurus pertama sampai ke sepuluh dari ilmu pedangku, yang sekaligus dapat mengatasi lima jurus ilmu pedang Kim Kong Taisu yang kau saksikan tadi. Awas, lihat baik baik!"

   Setelah berkata demikian, kakek ini lalu memainkan ilmu pedangnya sampai sepuluh jurus. Ilmu pedangnya ini hebat luar biasa, akan tetapi agak kacau dan aneh. Ah Lokoai memandang dengan penuh perhatian dan dengan gembira sekali. Sebaliknya, Bun Sam diam diam menanam dalam otaknya ilmu pedang yang dimainkan oleh kakek ini dan otaknya yang cerdik telah mendapatkan sesuatu yang membuat hatinya berdebar debar.

   Ilmu pedang yang dimainkan ini, kalau dipergunakan untuk menghadapi ilmu pedangnya jurus ke tigabelas sampai tujuhbelas, terang sekali akan mengalami kekalahan! Akan tetapi, ketika ia mencoba untuk memandang ilmu pedang itu dengan terbalik, ia mendapat kenyataan bahwa ilmu pedang itu selain hebat dan sempurna sekali, juga benar benar mempunyai bagian bagian yang menutup atau menindih ilmu pedang dari suhunya bagian jurus ke tigabelas sampai ke tujuhbelas!

   Dengan hati girang sekali, pemuda ini dapat membuka rahasia dari Bu tek Kiam ong. Ternyata kakek yang sakti ini telah sengaja memainkan ilmu pedangnya dengan terbalik agar dengan demikian Ah Lokoai mewarisi ilmu pedang dengan cara terbalik dan sama sekali tidak sempurna!.

   Akan tetapi Ah Lokoai tidak tahu akan hal ini dan semenjak hari itu, ia melatih diri dengan tekun sekali, mempelajari ilmu pedang yang terbalik! Dan Bun Sam mengambil sikap yang sesuai dengan kehendak Bu tek Kiam ong, yakni ia selalu memainkan ilmu pedang atau ilmu silatnya dengan cara terbalik apabila Ah Lokoai minta kepadanya untuk bersilat sebagai imbangan daripada latihannya.

   Karena Bun Sam tidak pernah memberontak dan tidak menimbulkan kecurigaan dalam hati Ah Lokoai, juga karena kakek gagu ini membutuhkan Bun Sam untuk melatih Ilmu pedangnya sana untuk memaksa pemuda itu untuk bekerja sebagai pelayan di dalam gua, maka ia tidak membunuhnya.

   Dengan hati hati sekali, di waktu Ah Lokoai tidur, Bun Sam diam diam mempelajari ilmu pedang ciptaan Bu tek Kiam ong, akan tetapi bukan seperti cara Ah Lokoai mempelajarinya, sebaliknya ia sengaja mempelajarinya dengan terbalik. Oleh karena tidak leluasa dan tidak dapat melatih diri, khawatir diketahui oleh Ah Lokoai, maka pelajaran ini amat lambat majunya.

   Sebaliknya, Ah Lokoai yang amat bernafsu untuk menguasai seluruh ilmu pedang yang semuanya berjumlah seratus dua jurus ini, berlatih dengan terburu buru dan semua jurus jurus itu seakan akan ditelannya saja! Dalam setahun saja ia telah dapat mempelajari dan memainkan seratus dua jurus dengan lengkap! Adapun Bun Sam di dalam setahun itu baru mempelajari tigapuluh jurus saja, itupun hanya dihafal di dalam otak, tidak dapat dimainkan dengan pedang!

   Setelah menamatkan pelajarannya. Ah Lokoai tadinya hendak membunuh saja Bu tek Kiam ong dan Bun Sam, akan tetapi tiba tiba otaknya yang tidak waras ini mendapat sebuah pikiran yang amat baik, ia memang agak curiga kepada Bu tek Kiam ong atas pelajaran ilmu pedangnya, hanya ia tidak dapat membuktikan bahwa kakek rambut putih itu mempermainkannya.

   Oleh karena itu ia hendak mencoba dulu ilmu pedang itu untuk melawan seorang diantara Lima Tokoh Terbesar! Maka ia lalu menyatakan kepada Bun Sam bahwa ia hendak pergi tak lama dan diminta supnya pemuda itu suka melayani segala keperluan Bu tek Kiam ong. Kemudian ia lalu pergi, meninggalkan Bun Sam bersama Bu tek Kiam ong dan menutup pintu rahasia itu dari luar.

   Setelah Ah Lokoai pergi, Bun Sam lalu menjatuhkan diri berlutut di depan Bu tek Kiam ong.

   "Suhu, terima kasih atas segala petunjukmu tentang ilmu pedang itu. Dan mohon petunjuk selanjutnya, karena sekembalinya Ah Lokoai tentu kita akan dibunuhnya!"

   Bu tek Kiam ong mengelus elus kepala Bun Sam.

   "Anak baik, aku girang sekali kau datang. Memang itulah yang kuinginkan, maka aku menyuruh Lokoai mencuri pedang di kota raja, yakni untuk menarik perhatian seseorang, hingga aku dapat menurunkan ilmu pedangku kepada yang patut menerima, jangan kau khawatir, muridku yang baik. Kau tentu telah mengerti bahwa Lokoai mempelajari ilmu pedang itu secara terbalik."

   "Teecu mengerti, suhu, bahkan diam diam teecu telah mempelajari ilmu pedang itu dari jurus pertama sampai jurus ke tigapuluh dalam cara yang betul. Sayangnya teecu tidak mempunyai kesempatan untuk melatihnya."

   "Bagus, bagus! Aku telah menduga demikian. Kalau tidak memiliki kecerdikan seperti itu, kau tidak pantas mewarisi ilmu pedang yang kunamakan Tee coen liok kiam sut (Enam Ilmu Pedang Lingkaran Bumi). Biarpun kau baru mempelajari tiga puluh jurus dan itupun hanya kauwkoat saja (teori), namun itu berarti bahwa kau lelah hampir menguasai dua bagian daripada enam ilmu pedang ini. Ketahuilah, sebetulnya pada pokoknya, ilmu pedang yang kuciptakan ini hanya terdiri daripada enam bagian. Setiap bagian dipecah menjadi tujuh belas jurus, dengan demikian semua menjadi seratus dua jurus. Setiap bagian sedikitnya harus dipelajari sampai matang betul dalam waktu setengah tahun. Jadi untuk menyempurnakan seluruh ilmu pedang ini, membutuhkan waktu tiga tahun. Kau telah memiliki dua bagian yang empat bagian dapat kau pelajari dalam waktu dua tahun. Sekarang, coba kau mainkan dua bagian pertama itu untuk kudengarkan apakah ada yang keliru."

   Bun Sam lalu mengeluarkan Kim kong kiam dan mulailah ia bersilat menurut pelajaran yang diam diam telah dlhafalkannya. Gerakannya tentu saja kaku karena tidak pernah dilatih, akan tetapi setelah memainkan sepuluh jurus lebih, ia mulai dapat menguasai kelincahan ilmu pedang itu dan Bu tek Kiam ong menjadi gembira sekali.

   "Bagus, kau patut benar menjadi muridku. Kaulah kelak yang akan mewarisi Tee coan liok kiam sut dan biarpun aku harus mati sekarang, aku tidak penasaran lagi."

   Bun Sam menjatuhkan diri berlutut dan berkata dengah sedih.

   "Akan tetapi, suhu, kita harus ingat bahwa masih ada Ah Lokoai yang tak lama lagi tentu akan datang dan membunuh kita kalau ia mendapat kenyataan bahwa ilmu pedang yang dipelajarinya itu sebetulnya tidak ada gunanya sama sekali.

   "Belum tentu ia akan kembali, Bun Sam. Ia hendak menggunakan ilmu pedang yang dipelajarinya itu untuk mengalahkan seorang diantara Lima Besar. Tentu ia akan kalah dan roboh binasa."

   Bun Sam menggelengkan kepalanya.

   "Kalau dia mencari Mo bin Sin kun, atau Lam hai Lo mo, atau Pat jiu Giam ong, mungkin ia takkan diampuni dan roboh binasa. Akan tetapi kalau ia bertemu dengan suhu Kim Kong Taisu, ia pasti takkan dibunuh dan diperbolehkan pergi lagi setelah dikalahkan."

   Bu tek Kiam ong menarik napas panjang. "Memang gurumu itu sejak dulu berhati lemah. Apalagi membunuh Ah Lokoai, membunuh seekor cacing saja menjadi pantangan besar bagi Kim Kong Taisu. Akan tetapi jangan kau gelisah, muridku. Kau sekarang berlatihlah baik baik dengan ilmu pedang yang telah kau hafal itu. Dengan tiga puluh jurus yang kau miliki saja, Lokoai agaknya takkan mampu mengalahkanmu.

   "Lagi pula, suhu seandainya Lokoai tidak kembali, bagaimana kita keluar dari tempat ini? Pintu rahasia itu amat sukar dicari dan sampai sekarang teecu belum dapat membukanya."

   "Lokoai memang jahat sekali," Bu tek Kiam ong menghela napas, "memang gua ini tempat sembunyinya dan aku sendiri pun tidak tahu bagaimana harus membukanya. Sudahlah jangan pikirkan hal itu lagi. Sebelum pergi Ah Lokoai telah meninggalkan buah buahan tiga keranjang penuh, cukup untuk dimakan satu bulan lamanya. Sekarang jangan pikirkan apa apa, lekas kau berlatih ilmu pedang sebaiknya!"

   Demikianlah, dengan amat tekun dan tak kenal lelah Bun Sam lalu melatih diri dengan Ilmu Pedang Tee coan liok kiam sut itu, di bawah pengawasan suhunya yang baru. Selama setahun berada di dalam gua, tubuh Bun Sam menjadi kurus dan kulitnya menjadi agak pucat karena kekurangan cahaya matahari.

   Akan tetapi batinnya mendapat kekuatan baru yang timbul daripada kepahitan dan penderitaan hidup. Kadang kadang, dan ini merupakan gangguan terhebat baginya, terbayanglah wajah Sian Hwa dan akhirnya ia maklum bahwa lama hidupnya ia takkan dapat melupakan gadis itu, dan kesedihan ini selamanya takkan dapat meninggalkan ruang dadanya.

   Dua puluh hari kemudian, tiba tiba pintu gua itu terbuka dan Ah Lokoai muncul dengan muka pucat. Pakaiannya yang compang camping itu lebih tidak karuan lagi. Tangannya memegang pedang Pek lek kiam dan dadanya terluka, mengeluarkan darah.

   Bun Sam menghentikan latihan ilmu pedangnya dan memandang dengan dada berdebar. Pedang Kim kong kiam masih terpegang di tangannya. Juga Bu tek Kiam ong mendengarkan dengan penuh perhatian dan wajahnya menegang.

   Setelah melompat masuk, Ah Lokoai menjadi demikian marah sehingga ia lupa untuk menutupkan pintu gua kembali. Ia memaki maki dengan bahasa jari tangannya yang bergerak gerak cepat sekali. Dengan teliti Bun Sam memandang gerak jari tangan itu dan tahulah ia bahwa kakek gagu ini benar benar dikalahkan oleh Lam hai Lo mo, ia menuduh Bu tek Kiam ong menipu dirinya dan tiba tiba ia menghampiri kakek itu.

   "Kau telah menipuku, tua bangka. Oleh karena itu kau harus mampus di dalam sumur ular!"

   Setelah berkata demikian ia mengeluarkan sehelai tambang sutera yang kuat sekali dan sekali ia mengayunkan tambang itu, benda itu melihat tubuh Bu tek Kiam ong dan mengikatnya, kemudian ia menyeret tambang itu, sehingga tubuh kakek itu terseret ke arah sumur ular.

   Bu tek Kiam ong yang lumpuh dan buta itu tidak berdaya, akan tetapi biarpun ia terseret keadaan tubuhnya masih duduk bersila. Ah Lokoai harus mengeluarkan seluruh tenaganya untuk menyeretnya terus dan tak lama kemudian tubuh Bu tek Kiam ong telah berada di pinggir sumur ular yang mengerikan itu.

   Bun Sam yang semenjak tadi melihat dengan kedua mata terbelalak tak dapat menahan kemarahannya lagi. Ia berlaku nekat dan berseru.

   "Lokoai, jangan kau membunuh guruku!" Sambil berseru demikian, ia menyerang Ah Lokoai dengan pedang Kim kong kiam.

   Ah Lokoai marah sekali. Cepat ia melepaskan tambang dan menghadapi Bun Sam dengan serangan serangan maut, ia tidak mempergunakan Ilmu Pedang Tee coan liok kiam sut yang dipelajarinya secara terbalik itu, melainkan mengeluarkan kepandaiannya sendiri yang juga amat lihai.

   Bun Sam tahu bahwa kalau ia memainkan ilmu silatnya yang dahulu, ia masih takkan dapat menangkan kakek gagu yang kosen ini, maka ia lalu mulai memainkan Tee coan liok kiam sut bagian pertama. Melihat gerakan ilmu pedangnya, Ah Lokoai menjadi terkejut, terheran dan kemudian marah sekali.

   Kini tahulah kakek gagu ini bahwa selama ini ia telah ditipu mentah mentah, bahwa bukan dia yang mewarisi ilmu pedang itu, melainkan anak muda ini. Maka ia lalu memutar Pek lek kiam dan menyerang kalang kabut dengan nekat sekali.

   Dalam hal ilmu pedang, setelah menguasai sebagian dari Tee coan liok kiam sut, tentu saja Bun Sam lebih unggul, akan tetapi ia masih kalah jauh dalam hal lweekang maupun ginkang, maka sebentar saja ia menjadi terdesak hebat. Hanya ilmu pedangnya yang luar biasa saja yang membuat ia masih dapat bertahan sampai limapuluh. jurus. Beberapa kali ia terhindar dari pada bahaya maut ketika pedang Pek lek kiam menyambar nyambar bagaikan kilat di atas kepalanya.

   Adapun Bu tek Kiam ong memiringkan kepala memasang pendengarannya baik baik untuk mengikuti jalannya pertempuran ini, ia mengerti bahwa muridnya terdesak hebat dan akhirnya tentu takkan dapat bertahan lagi, maka ia lalu berseru.

   "Bun Sam, lekas kau melompat ke belakangku!"

   Memang pada saat itu Bun Sam sudah payah sekali, didesak hebat dan hanya dengan kegesitan saja ia dapat menghindarkan diri dari bahaya, berlerompat lompatan ke sana ke mari, akan tetapi tentu takkan lama lagi pedang Pek lek kiam yang tajam menamatkan riwayat hidupnya. Ketika mendengar seruan gurunya, ia lalu melompat ke belakang dan bersembunyi di belakang Bu tek Kiam ong.

   Sekali saja Bu tek Kiam ong mengulur tangan, maka pedang Kim kong kiam telah ia rampas dari tangan Bun Sam. Pada saat itu, Ah Lokoai telah menjadi marah sekali dan menubruk maju sambil menyerang Bu tek Kiam ong. Nampak sinar keemasan berkelebat dan tahu tahu Ah Lokoai menjerit kesakitan dan pedang Pek lek kiam terlempar ke atas lantai. Sebelum pedang itu jatuh ke dalam sumur ular, Bu tek Kiam ong telah mengulur pedang Kim kong kiam dan berhasil memukul pedang pek lek kiam itu ke samping. Bun Sam cepat melompat dan mengambil pedang itu.

   Ah Lokoai makin marah. Tangan kanannya yang tadi memegang pedang kini telah berdarah, tergores oleh pedang Kim kong kiam yang tadi digerakkan secara luar biasa sekali oleh Bu tek Kiam ong. Ia melihat Bu tek Kiam ong memegang pedang Kim kong kiam dan Bun Sam memegang pedang Pek lek kiam ia menghadapi dua orang lawan yang tangguh dan bersenjata.

   Akan tetapi saking marahnya, kakek gagu ini menjadi nekat. Sambil mengeluarkan suara seperti seekor binatang buas yang amat menyeramkan, ia menubruk ke arah Bu tek Kiam ong, sama sekali tidak memperdulikan keselamatan dirinya sendiri.

   Bu tek Kiam ong tidak tega untuk menusukkan pedangnya maka ia dapat terpegang pundaknya oleh Ah Lokoai. Si kakek gagu menarik sekuat tenaga, hendak melemparkan Bu tek Kiam ong ke dalam sumur ular sedangkan kakek rambut putih itu mempertahankan diri. Mereka saling membetot, dan akhirnya Ah Lokoai yang sudah nekat sekali itu bahkan hendak mengajak Bu tek Kiam ong bersama sama memasuki sumur ular itu! Bu tek Kiam ong hampir kalah tenaga karena maklumlah kedua kakinya sudah lumpuh. Untuk menyerang kakek gagu ini dengan pedangnya memang mudah sekali, akan tetapi ia tidak sampai hati melakukan hal ini.

   Melihat betapa keadaan suhunya amat terancam, Bun Sam lalu melompat dan sekali ia menusukkan pedangnya ke arah pergelangan tangan Ah Lokoai, pegangan Ah Lo koai terlepas. Karena ia tadi mempergunakan seluruh tenaganya membetot, maka kini satelah pegangannya terlepas, tubuhnya terhuyung huyung ke belakang dan tak dapat dicegah lagi ia terjeblos ke dalam sumur itu.

   Bun Sam cepat menutup kedua telinganya agar jangan mendengar jeritan jeritan orang gagu yang amat mengerikan itu. Adapun Bu tek Kiam ong memejamkan kedua matanya sambil menutup kedua telinganya dengan bersamadhi.

   Akhirnya tidak terdengar suara apa apa lagi. Ular ular di dalam sumur telah menamatkan riwayatnya Ah Lokoai. Setelah itu, terdengar Bu tek Kiam ong menarik napas panjang, lalu berkata.

   "Kasihan, ia mati karena nafsu dendamnya yang membuatnya menjadi gila, Bun Sam bawa aku keluar dari gua busuk ini. Mulai sekarang kau harus berlatih Ilmu Pedang Tee coan liok kiam sut di luar di udara bebas sampai sempurna betul."

   Bun Sam menggendong suhunya keluar dari gua yang sudah terbuka pintunya itu dan setelah berada di luar, ia lalu membuat sebuah pondok dari kayu kayu hutan untuk tempat tinggal suhunya. Dan mulai hari itu, di puncak Bukit Hek mo san, di luar gua siluman Bun Sam melatih Ilmu Pedang Tee coan liok kiam sut di bawah pengawasan suhunya. Selain ilmu pedang juga pemuda ini mendapat gemblengan dalam hal gin kang dan lweekang, sehingga kepandaiannya menjadi maju dengan pesatnya.

   Kurang lebih dua tahun kemudian, setelah Bun Sam menamatkan ilmu pedang yang hebat itu Bu tek Kiam ong meninggal dunia karena usia tuanya. Sebelum menghembus kan nafas terakhir, kakek sakti ini berpesan kepada Bun Sam untuk mengembalikan pedang Pek lek kiam kepada kaisar di kota raja.

   "Kalau aku tidak salah." kakek sakti yang sudah mendekati ajalnya dan yang agaknya memiliki mata batin yang awas dan waspada itu berkata, "sekarang Lam hai Lo mo dengan bantuan sutenya Pat jiu Giam ong telah mulai memperluas kekuasaannya. Memang semenjak dulu kakek gagu ini mempunyai cita cita untuk menguasai dunia. Kepandaiannya memang tinggi sekali maka kedua gurumu saja agaknya takkan dapat menahan kemurkaannya. Sudah menjadi kewajibanmulah untuk membendung gelombang kejahatan itu demi untuk ketentraman penghidupan rakyat jelata."

   Setelah Bun Sam mengubur jenazah gurunya dan berkabung selama tiga hari di hadapan makam suhunya Bun Sam lalu turun gunung.

   Telah tiga tahun ia berada di puncak Hek mo san itu yakni setahun lebih di dalam gua siluman dan dua tahun di luar gua. Kini ia telah menjadi seorang pemuda yang jauh lebih masak jiwanya daripada dahulu ketika dibawa oleh Ah Lokoai ke tempat itu. Usia nya telah duapuluh tahun dan pengalaman pahit getir telah membuat ia menjadi seorang pemuda yang berpemandangan luas dan bersikap tenang, ia merasa rindu sekali kepada dunia ramai, kepada Yap Bouw yang menjadi guru juga sebagai suheng dan terutama sekali sebagai pengganti orang tuanya.

   Juga ia merasa rindu kepada Kim Kong Taisu dan kedua binatang peliharaannya Siauw liong dan Sin tiauw yakni ular dan burung rajawali di atas Bukit Oei san. Akan tetapi, yang paling dirindukan semenjak ia berada di Gunung Hek mo san ini bukan lain adalah wajah seorang dara berbaju merah berkembang yang amat cantik manis, wajah dari Sian Hwa pujaan hatinya.

   Tiap kali wajah itu terbayang di depan matanya Bun Sam menarik napas panjang berkali kali dan bibirnya berkemak kemik menyebut nama gadis ini kemudian ia berusaha selalu untuk mengusir bayangan itu.

   Ia maklum bahwa selama hidupnya ia takkan dapat bertemu dengan gadis itu, karena Sian Hwa telah menjadi calon isteri orang lain, bagaimana ia masih dapat mengharapkan untuk bertemu? Sering kali ia mencela kelemahan batinnya sendiri dan mencoba untuk membayangkan wajah gadis lain, terutama sekali wajah Lan Giok gadis manis yang centil nakal itu, akan tetapi tetap saja wajah Lan Giok yang manis tak mampu mengusir wajah Sian Hwa dari lamunannya.

   Kini ia telah turun gunung. Telah tiga tahun ia lenyap dari dunia ramai. Kemungkinan untuk segera bertemu muka dengan Yap Bouw dan orang orang lain, membuat hatinya berdebar gembira dan ia berjalan makin cepat menuruni gunung yang liar itu. Bagaikan seekor garuda terbang, ia berlompat lompatan dan berlari turun cepat sekali karena kepandaian ginkangnya sekarang sudah meningkat hebat, jauh lebih tinggi daripada ketika ia dibawa naik oleh Ah Lokoai tiga tahun yang lalu.

   Tubuhnya tegap dan berisi, karena setelah tinggal di luar gua ia mendapatkan kesegaran kembali. Wajahnya yang tampan itu kini makin menarik karena terbayang kecerdikan, ketabahan dan ketenangan yang matang pada kedua matanya dan lekuk mulutnya. Hanya pakaiannya saja yang sudah buruk. Sudah habis pakaian itu ditambal tambalnya selama tiga tahun ini.

   Di sakunya tidak terdapat sepotong uangpun. Hanya pedang Kim kong kiam yang tersembunyi di balik bajunya, sedangkan pedang Pek lek kiam juga tergantung di pinggangnya. Akan tetapi selama berada di puncak gunung ia tidak khawatir akan kelaparan karena banyak sekali buah buahan yang dapat dimakannya di sepanjang jalan.

   Baik kita tinggalkan dulu Bun Sam yang menuruni Bukit Hek mo san dalam perjalanannya kembali ke dunia ramai dan mari kita menengok keadaan Sian Hwa, gadis yang tak pernah terlupakan olehnya itu.

   Semenjak pertemuannya yang terakhir dengan Bun Sam, Sian Hwa menjadi yakin bahwa ia tidak mungkin dapat menjadi isteri Liem Swee, suhengnya. Atau juga pemuda yang mana saja, karena ia tahu bahwa kebahagiaan hidupnya hanya terletak dalam tangan Bun Sam yang telah merampas hati dan cinta kasihnya. Ia menjadi makin murung dan berduka dan merasa bahwa hidupnya amat sengsara.

   Kemurungannya ini membuat ia berhati keras dan mudah marah dan diambilnya keputusan untuk menyelidiki tentang ucapan Ngo jiauw eng sebelum orang ini terbunuh oleh Bucuci. Beberapa pekan kemudian setelah terjadinya pencurian pedang Pek lek kiam yang menghebohkan, Sian Hwa berkemas untuk meninggalkan rumah dengan diam diam. Ia bermaksud untuk pergi ke Tong seng kwan, di mana Ngo jiauw eng tinggal dan untuk menyelidiki keadaan Ngo jiauw eng, terutama di waktu perwira itu masih menjadi pemimpin barisan Ang bi tin yang terkenal.

   Oleh karena ia maklum bahwa kalau ia bilang terus terang kepada ayah ibunya, ia takkan mendapat perkenan, maka ia bangun dengan diam diam dan hendak pergi secara sembunyi. Dibawanya sebuntal pakaian dan uang bekal, tak lupa pula dibawanya pedangnya, lalu ia melompat keluar menuju ke taman bunga. Keadaan di taman sunyi dan teringatlah ia kepada Bun Sam yang beberapa pekan yang lalu bercakap cakap dengan dia di dalam hutan itu.

   Tak terasa lagi dua titik air mata membasahi pipinya dan bagaikan dalam mimpi, ia mengucapkan sajak kuno yang pernah dibacanya :

   "Kalau saja kau bukan kau dan aku bukan aku,
tentu takkan begini jadinya? Sehati sejiwa,
namun kelahiran memisahkan kita, apa daya?
Seperti bulan merindukan matahari,
matahari mencari bulan sia sia, tak mungkin bersua muka.
Hanya saling pandang merana
Jauh". terhalang awan"."
(Lanjut ke Jilid 14)
Pedang Sinar Emas/Kim Kong Kiam (Serial Pedang Sinar Emas)
Karya : Asmaraman S. Kho Ping Hoo

   Jilid 14
Kembali dara itu menarik napas panjang. Kemudian ia lalu menggerakkan kedua kakinya melompat ke atas dinding tembok yang mengelilingi taman. Tiba tiba terdengar teguran orang dan beberapa sosok bayangan melompat keluar dari tempat sembunyinya. Mereka ini adalah penjaga penjaga yang diam diam ditugaskan oleh Bucuci untuk menjaga sekeliling taman itu pada malam hari! Memang semenjak melihat bayangan di dalam taman pada malam tercurinya pedang istana, Bucuci menaruh hati curiga kepada anak tirinya, maka diam diam ia lalu mengatur penjagaan ini.

   Ketika para penjaga melihat bahwa yang melompat keluar dari taman adalah Sian Hwa, seorang diantara mereka berkata.

   "Ah, tidak tahunya siocia (nona) yang hendak keluar. Siocia, hari sudah jauh malam begini hendak pergi ke mana?"

   Sian Hwa cemberut dan mendongkol sekali.

   "Kalian ini bekerja apakah di sini? Siapa yang menyuruh kalian mengelilingi taman bungaku? Dan perduli apakah kalian dengan apa yang hendak kulakukan?"

   Para penjaga itu telah mengetahui akan kelihaian Sian Hwa dan mereka ini tentu saja tidak berani berlaku lancang terhadap puteri majikannya sendiri. Akan tetapi mengingat akan pesan Panglima Bucuci kepada mereka, terpaksa mereka menjawab.

   "Maaf, siocia. Ayahmu telah berpesan kepada kami agar menjaga di sini setiap malam. Karena khawatir kalau kalau ada penjahat yang masuk melalui taman. Pedang pusaka di istana saja dapat hilang dicuri orang nona, maka hampir semua gedung pembesar setiap malam dijaga kuat"

   
Pedang Sinar Emas Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
Sementara itu, diam diam seorang diantara para penjaga yang menjadi kepercayaan Bucuci dan yang telah mendapat pesan khusus bahwa kalau ia melihat Sian Hwa hendak keluar harus memberi laporan, telah pergi membuat laporan kepada Bucuci yang sedang tidur.

   Maka pada saat Sian Hwa bersitegang dengan para penjaga, terdengar bunyi kerincingan pakaian Bucuci dan tahu tahu panglima itu telah melompat dan berada di tempat itu.

   "Sian Hwa, kau hendak pergi ke mana?" tanya Panglima Bucuci dengan suara mengandung penuh dakwakan.

   "Ayah, pantaskah kita bicara di depan mereka ini? ia menuding ke arah para penjaga.

   "Pergi dari sini!" Bucuci membentak penjaga yang belasan orang banyaknya itu. Bagaikan anjing dibentak oleh majikannya, para penjaga itu lalu menjauhkan diri sambil diam diam mengomel.

   "Nah, sekarang bicaralah! Tengah malam buta membawa bungkusan dan pedang, melalui taman seperti laku seorang pencuri, kau hendak pergi ke manakah?"

   "Aku hendak pergi ke Tong seng kwan," jawab Sian Hwa dengan suara dingin. Pada saat itu, entah mengapa, perasaannya terhadap Bucuci menjadi lain sama sekali. Saat saat di wakru ia masih kecil dan seringkali digendong dan ditimang timang oleh Bucuci, telah terlupa lagi dan dalam pandangannya, Bucuci adalah seorang asing yang mencurigakan.

   "Ke Tong seng kwan? Malam malam buta begini? Kalau hendak pergi ke sana saja apakah tidak bisa dilakukan besok pagi? Dan pula kau hendak pergi kepada siapa?"

   Pandangan mata nya tiba tiba penuh selidik dan ia maju setindak lalu memegang tangan puterinya.

   "Sian Hwa, tentu ada seorang yang menantimu di sana. Ayoh kau katakan siapa yang hendak kau jumpai di Tongseng kwan?"

   Dengan sekali renggut, Sian Hwa melepaskan tangannya yang terpegang oleh Bucuci. Panglima Mongol yang pendek ini menjadi murah sekali dan membanting banting kaki kanannya.

   "Sian Hwa, beginikah sikap seorang anak terhadap ayahnya? Kau tidak boleh menyimpan sesuatu rahasia!" Kemudian suaranya melembut seperti seorang ayah memberi nasehat kepada puterinya yang tersayang.

   "Sian Hwa, kau masih muda dan belum berpengalaman, jangan kau main main dengan orang kang ouw. Kau mudah tergelincir dan terjebak dalam perangkap orang jahat, maka beritahukanlah kepada ayahmu apa yang kau alami, sehingga aku dapat memberi jalan dan nasehat yang baik."

   Kini sepasang mata gadis itu memancarkan sinar berapi ketika ia memandang kepada Bucuci.

   "Ayah, bukan aku yang menyimpan sesuatu rahasia, melainkan engkau sendirilah. Juga ibu. Aku tidak suka diriku diselimuti oleh rahasia, maka aku hendak membongkar rahasia itu."

   "Eh, eh, Sian Hwa, apakah kau mengimpi? Apa yang kau maksudkan dengan kata katamu itu? Rahasia apakah yang kusimpan bersama ibumu? Jangan kau menuduh yang bukan bukan nak, tidak baik seorang anak mencurigai orang tua, itu namanya puthauw (tidak berbakti)!"

   "Ayah, tidak ada gunanya berpura pura lagi. Aku bukan anak kecil dan selain memiliki mata yang dapat melihat, akupun mempunyai pikiran, ayah telah membunuh Ngo jiauw eng Lui Hai Siong, pada saat Ngo jiauw eng sedang membuat pengakuan bahwa adalah yang menjadi pembunuh ayahku. Padahal semenjak dahulu, Ngo jiauw eng lah pembantumu dalam barisan Ang bi tin. Mengapa, ayah? Mengapa kau membunuhnya?"

   Kalau saja kegelapan malam tidak melindungi dan menutupi wajah Bucuci, tentu akan terlihat betapa pucatnya mendengar tuduhan Sian Hwa tadi. Baiknya taman itu hanya diterangi oleh lampu lampu teng merah cahayanya, sehingga kepucatan dan perobohan air mukanya tidak terlihat oleh Sian Hwa.

   "Sian Hwa, apa kau gila? Kau menuduh yang bukan bukan. Bukankah kau melihat sendiri dengan jelas bahwa yang membunuh Ngo jiauw eng adalah murid dari Mo bin Sin kun? Bagaimana kau bisa memutarbalikkan kenyataan dan bahkan menuduh ayahmu sendiri?"

   Sian Hwa tersenyum pahit sambil merogoh saku bajunya.

   "Ayah, aku takkan begitu kurang ajar untuk memutarbalikkan sesuatu tanpa bukti. Penyangkalan ayah ini membuktikan bahwa ayah menyembunyikan sesuatu tentang riwayat diriku dan ayahku. Kenalkah ayah akan barang ini?"

   Sambil berkata demikian ia menyodorkan tangannya dan pada telapak tangannya yang berkulit putih halus itu kini nampak sebuah benda kecil yang bundar lonjong, yakni kerincingan baju besi ayahnya.

   "Apa" apa artinya ini, Sian Hwa?" tanya Bucuci sambil memandang ke arah benda yang dikenalnya baik itu.

   "Apa artinya! Ayah, kaulah yang harus menjawab apa artinya ini dan mengapa kau mempergunakan senjata rahasia ini untuk menewaskan Ngo jiauw eng yang sedang membuat pengakuannya. Kau agaknya tidak mau membiarkan Ngo jiauw eng membuka rahasia yang sengaja hendak kau tutup tutupi! Ayah mengapa ayahku dibunuh oleh Ngo jiauw eng yang menjadi pembantumu? Mengapa ayahku dibunuh oleh Ang bi tin? Dan mengapa pula kau sampai hati membunuh Ngo jiauw eng hanya untuk mencegah dia membuka rahasia ini kepadaku?"
Bucuci benar benar kaget dan bingung. Akan tatapi dia adalah seorang yang sudah banyak makan asam garam dunia dan sudah banyak pengalaman yang membuatnya menjadi cerdik sekali. Setelah dapat menetapkan hatinya yang berguncang, ia lalu menarik napas berkali kali, kemudian berkata halus.

   "Baiklah, Sian Hwa. Agaknya tidak perlu lagi rahasia ini kusembunyikan padamu. Akan tetapi pengakuan ini takkan sempurna kalau tidak dilaku kan di depan ibumu. Marilah kita kembali k rumah dan besok pagi pagi akan kubuka rahasia mu ini."

   "Tidak, ayah. Harus sekarang, sudah terlalu lama aku bersabar. Kau bukalah rahasia itu sekarang juga tanpa mengganggu ibu yang sedang tidur, atau kalau kau sungkan akupun takkan memaksa. Aku dapat menyelidikinya sendiri!"

   Bucuci menghela napas lagi. "Hem, kau benar benar keras kepala! Kau sendiri yang memaksa minta penjelasan, baiklah, jangan salahkan aku kalau kau mendengar kenyataan kenyataan yang pahit bagimu. Ayahmu adalah seorang kauwsu (guru silat) she Can yang membantu pemberontak! Ayahmu membantu perwira pemberontak yang jahat maka oleh Ang bi tin ia dianggap sebagai penjahat pula dan tewas dalam pertempuran. Yang merobohkan ayahmu itu memang Ngo jiauw eng. Tadinya kau dan... ibumu juga hendak dibunuh pula, akan tetapi aku keburu datang. Melihat engkau dan ibumu, timbul kasihan di dalam hatiku, maka aku lalu membawa kau dan ibumu ke rumahku dan akhirnya ibumu menjadi isteriku dan kau menjadi anakku."

   "Mengapa kau membunuh Ngo jiauw eng?"

   "Tidak dapat mengertikah kau? Aku telah berpesan kepada semua anggota Ang bi tin yang mengetahui peristiwa itu agar supaya menyimpan rahasia ini dari padamu. Aku tidak suka mendengar kenyataan tentang ayahmu. Ngo jiau eng melanggar pesanku dan demi kesayanganku kepadamu, aku membunuh orang yang memang sudah akan mati itu."

   "Kau" kau memaksa ibu menjadi isterimu?" tanya Sian Hwa dengan wajah pucat karena hati kecilnya menyatakan bahwa tak mungkin ibunya yang cantik jelita itu suka kepada seorang perwira pendek yang telah membunuh suami ibunya.

   Bucuci memaksa tersenyum. "Tidak, Sian Hwa. Kami menikah atas dasar suka sama suka. Ibumu berterima kasih karena kutolong, maka ia suka menjadi isteriku."

   "Setelah kau atau anak buahmu membunuh suaminya? Ah...."

   Sian Hwa menjadi makin pucat dan perasaan muak memenuhi dadanya. Benar benarkah ibunya demikian tidak setia? Ayahnya dibunuh oleh Ang bi tin, sedangkan Bucuci adalah seorang pemimpin Ang bi tin, akan tetapi toh ibunya suka menjadi isteri Bucuci.

   "Di mana ayahku dimakamkan?" tanyanya dengan bibir gemetar kepada perwira pendek di depannya yang selama ini dianggap seperti ayahnya, akan tetapi yang pada malam ini ia menganggap nya sebagai pembunuh ayahnya!

   "Siapa tahu? Pada waktu itu, setelah para pemberontak dibasmi, kami tidak mengurus pemakaman mereka."

   "Di mana ayah terbunuh?"

   "Di Tong seng kwan...."

   "Aku yang akan mencari dan mengurusnya!" kata Sian Hwa dengan singkat dan sekali berkelebat ia telah melompati pagar tembok taman.

   "Sian Hwa, tunggu".!" Bucuci berseru bingung. "Jangan, kau merendahkan dirimu mencari cari makam seorang pemberontak yang dianggap penjahat. Kau akan merendahkan dirimu sendiri dan nama baik ibumu akan tercemar. Sian Hwa, tunggu....!"

   Akan tetapi gadis itu berlari terus dan hanya menjawab dari jauh. "Urusan ayahku tidak ada hubungannya dengan kau! Kalau ibu merasa malu juga dia tidak mempunyai hubungan dengan urusan ini!"

   Bucuci hendak mengejar terus, akan tetapi ia maklum bahwa kepandaian Sian Hwa sudah melebihi kepandaiannya sendiri, bahkan ginkangnya takkan dapat melebihi gadis itu. Maka dengan bingung ia lalu pergi ke gedung Liem goanswe atau Pat jiu Giam ong yang menjadi guru dan juga calon mertua dari Sian Hwa. Hanya Pat jiu Giam ong yang dapat mencegah gadis itu berbuat sekehendak hatinya.

   Di sebelah selatan kota Tong seng kwan terdapat sebidang tanah kuburan yang amat buruk dan miskin. Tempat ini selain hongsuinya (kedudukan tanahnya) buruk dan tidak layak menjadi tempat makam, juga diasingkan dari kota. Pengunjung makam makam yang berada di tempat inipun hanya orang orang miskin belaka, yang hanya mampu menyembahyangi kuburan kuburan itu dengan tiga batang dupa tanpa hidangan sesuatu, kecuali beberapa potong roti kering dan arak campur air.

   Puluhan makam yang terkumpul malang melintang tak teratur di tempat itu, tidak ada yang terpelihara baik. Sesungguhnya memang pernah ada yang memperbaiki makam makam ini, akan tetapi oleh pemerintah setempat, bong pai (batu nisan) yang bagus bagus itu dihancurkan kembali dan diadakan larangan untuk memperbaiki makam makam itu. kecuali hanya sekedar tulisan tentang nama jenazah yang dikubur di situ.

   Kuburan ini adalah tempat dikuburkannya orang orang yang oleh pemerintah Goan dianggap pemberontak pemberontak dan penjahat penjahat, sebagian besar adalah perwira perwira dan orang orang gagah yang menjadi korban keganasan Ang bi tin. Keluarga korban korban ini, jurang ada yang berani mengunjunginya, apalagi mereka yang kini sudah mendapat kedudukan baik sebagai pegawai maupun sebagai pedagang.

   Memang berbahaya sekali kalau mengunjungi tempat ini, karena sekali saja pembesar setempat mengetahui bahwa hartawan itu mempunyai keluarga yang di kuburan itu, tentu ia akan diperasnya habis habisan, dengan ancaman bahwa kalau tidak mau memberi suapan ia akan dilaporkan sebagai keluarga pemberontak yang harus diawasi atau ada kemungkinan ditangkap!

   Oleh karena inilah, maka pengunjung dari kuburan itu hanyalah orang orang miskin yang bagi para pembesar setempat merupakan tulang tulang kering yang tak dapat diisap lagi. Atau ada juga orang orang kang ouw yang gagah, orang orang pengembara yang tidak mudah diperas oleh pembesar setempat, selain karena kegagahannya juga karena tidak tentu tempat tinggalnya.

   Pada hari itu, pagi sekali sudah banyak pengunjung di kuburan terasing itu. Tidak mengherankan karena memang hari itu kebetulan hari Menyambangi Kuburan yang sudah menjadi tradisi bagi orang orang yang masih menjunjung tinggi aturan lama.

   Tidak saja kuburan miskin ini yang penuh pengunjung, bahkan kuburan kuburan para hartawan dan pembesar di tempat lain kuburan yang indah sekali bangunnanya, juga penuh pengunjung pada hari itu. Seperti biasa, pengunjung pengunjung kuburan para pemberontak itu berpakaian biasa dan sederhana, bahkan sebagian besar berpakaian seperti pengemis jembel.

   Di antara banyak pengunjung ini terdapat pula orang orang miskin yang dibayar oleh para hartawan yang mempunyai keluarga terkubur di sini, untuk mewakili mereka bersembahyang dan membersihkan rumput yang memenuhi kuburan.

   Makin tinggi matahari naik, makin banyak orang mengunjungi kuburan ini dan akhirnya hanya ada dua buah makam yang masih belum mendapat kunjungan orang. Dua buah makam ini agaknya memang tak pernah mendapat pengunjung.

   Karena rumput di situ sudah penuh, sehingga gundukan tanah itu tertutup sama sekali dan di situ tidak terdapat tulisan nama jenazah sama sekali. Hanya bedanya, gundukan tanah yang sebelah kanan berbentuk bundar dan yang kiri segi empat dan nampaknya sudah tua sekali. Memang ada beberapa batang gagang hio di depan kedua makam ini, agaknya ditancapkan oleh para pengunjung kuburan lain yang merasa kasihan kepada dua makam ini.

   Seperti telah disebutkan di bagian depan, para pengunjung makam itu terdiri dari orang orang miskin yang sederhana, maka tentu saja semua orang itu menjadi melongo dan terheran heran ketika tiba tiba melihat seorang gadis yang berpakaian indah, gadis cantik seperti bidadari yang masuk ke halaman makam yang terlantar itu! Semua orang memandang dan mereka heran sekali seakan akan melihat seorang bidadari turun dari langit yang menaruh kasihan kepada makam makam itu.

   Gadis ini bukan lain adalah Sian Hwa. Ia telah tiba di Tong seng kwan pada waktu fajar menyingsing. Melihat orang orang pada membeli di toko toko, ia lalu bertanya tanya dan mendapat keterangan bahwa orang orang itu hendak mengunjungi kuburan untuk bersembahyang.

   Tergeraklah hatinya karena kalau ayahnya meninggal dunia di kota ini, tentulah kuburan ayahnya berada diantara kuburan kuburan yang lain. Maka iapun membeli sebungkus hio yang dimasukkan ke dalam buntalan pakaiannya, kemudian ia mengikuti arus manusia itu menuju ke kuburan.

   Ketika ia memasuki kuburan yang mewah dan indah, ia mencari cari, akan tetapi diantara semua batu nisan itu tidak terdapat tulisan seorang she Can yang menjadi she dari ayahnya. Maka ia lalu pergi meninggalkan kuburan indah itu dan mendapatkan keterangan bahwa di sebelah selatan kota masih terdapat sebuah tanah kuburan yang miskin. Maka ia lalu pergi mengunjungi kuburan ini.

   Ketika melihat keadaan kuburan ini dan keadaan para pengunjung yang amat miskin, hati Sian Hwa terharu bukan main. Baru saja ia menyaksikan kuburan yang bernisan indah berukir huruf huruf emas dan para pengunjungnya yang berpakaian indah indah pula, dan sekarang ia melihat keadaan yang sama sekali menjadi kebalikan daripada pemandangan tadi. Ah, pikirnya penuh keharuan, tidak hanya orang hidup yang mendapatkan kedudukan berbeda, bahkan, sesudah matipun masih nampak jelas perbedaan itu, sungguhpun hanya perbedaan luar saja karena di bawah semua kuburan itu, baik yang indah maupun yang buruk, keadaannya tentu tak berbeda! Sungguh mata manusia telah menjadi buta karena silau akan mengkilatnya emas dan perak!

   Sian Hwa tidak rnemperdulikan pandangan mata semua orang. Tadi ketika ia mencari cari nama ayah nya diantara nisan nisan yang berukir dengan huruf huruf emas, banyak mata memandangnya.

   Terutama sekali, mata para pengunjung pria, baik yang muda maupun yang tua, yang memandang kepadanya dengan sinar mata kurang ajar. Kini banyak mata memandangnya dengan takut takut, curiga dan juga kagum.

   Ia tidak memperdulikan semua ini, hanya segera mencari dan membaca setiap nama yang terukir di batu nisan yang kasar. Akan tetapi tidak sebuahpun batu nisan yang diukir nama ayahnya atau nama seorang she Can. Ia hampir menjadi putus asa dan merasa amat berduka. Akhirnya ia tiba di depan dua buah kuburan yang tidak terawat dan amat sengsara keadaannya itu.

   Sian Hwa menjadi amat terharu melihat keadaan dua buah makam yang terlantar ini. Ia membuka buka rumput yang tebal untuk mencari kalau kalau terdapat batu nisannya akan tetapi makam itu benar benar miskin dan tidak ada tanda sesuatu.

   Makin terharu hati dara ini. Ia mencari cari dari tidak mendapatkan makam ayahnya, berbeda dengan semua orang yang mengunjungi tempat itu yang kesemuanya mengunjungi makam keluarga masing masing.

   Dan dua buah makam ini sama sekail tidak dikunjungi orang, berbeda dari semua makam yang berada di situ. Jika diingat, keadaannya sesuai benar dengan keadaan dua buah makam ini, sama sama terlantar tidak ada yang perduli.

   Karena hatinya tergerak sekali, Sian Hwa lalu mengeluarkan hio (dupa) yang dibawanya, ia melihat ke kanan kiri dan ketika melihat seorang kakek sedang bersembahyang di depan kuburan yang berada dekat dengan makam itu, ia lalu minta api kepada kakek itu untuk menyalakan dupanya

   Kemudian ia bersembahyang di depan dua makam itu dan membagi dupanya menjadi dua, yang sebagian ditancapkan di depan makam bundar, yang sebagian lagi ditancapkan di depan makam segi empat. Kemudian ia duduk di dekat makam itu dan melamun.

   "Maaf, siocia," suara yang halus ini menyadarkannya dari lamunan. Ia menengok dan melihat kakek yang dimintai api tadi.

   "Eh, ada apa, lopek?" tanyanya sambil bangkit berdiri. Kakek itu sudah tua sekali dan pakaiannya menyatakan bahwa ia adalah seorang petani miskin.

   "Maaf kalau aku lancang bertanya, apakah siocia keluarga dari dua orang gagah yang dimakamkan di sini?" Sambil berkata demikian, kakek itu menudingkan jarinya ke arah dua buah makam yang terlantar itu.

   Sian Hwa menggelengkan kepalanya. "Bukan, lopek. Aku tidak kenal siapa yang dimakamkan di sini dan mengapa pula makam makam di sini demikian tak terurus dan miskin. Aku hanya merasa kasihan karena dua makam ini sama sekali tidak didatangi pengunjung."

   Kakek itu menghela napas panjang. "Demikianlah nasib orang orang gagah bangsa kita, siocia. Mereka semua yang tertanam di sini dahulunya adalah orang orang gagah dan perwira perwira yang berkepandaian tinggi dan berjiwa patriot, yang gugur sebagai pahlawan pahlawan bangsa. Akan tetapi, kau melihat sendiri, keadaan makam mereka begini buruk." Kembali ia menarik napas panjang.

   Hati Sian Hwa berdebar mendengar kata kata ini. Tak salah lagi, makam ayahnya tentu berada di kuburan ini, entah yang mana. Ia memandang lagi kepada dua buah makam itu dan sambil menahan nafsu ia bertanya.

   "Lopek, kau mengunjungi makam siapakah??"

   "Makam putera tunggalku, siocia. Dia dahulu adalah seorang perajurit yang tewas ketika tentara Mongol menyerbu ke sini."

   "Dan dua makam yang tidak berbatu ini...... kenalkah kau makam siapakah ini?"

   Sambil memandang kakek itu, Sian Hwa menanti jawaban dengan hati berdebar.

   Kakek itu. mengerutkan keningnya.

   "Mereka ini adalah dua orang yang paling gagah di antara semua yang terkubur di sini, siocia. Sayang sekali nasib mereka amat buruk, sehingga agaknya mereka sekeluarga telah dibasmi habis oleh" Ang bi tin...." ketika mengucapkan kata kata Ang bi tin kakek itu menengok ke kanan kiri dan bicaranya perlahan sekali, seakan akan takut kalau kalau terdengar orang lain.

   Mendengar ini, hati Sian Hwa makin bergelora, akan tetapi dengan sekuat tenaga ia menekan perasaan hatinya agar tidak menggigil dan suaranya tidak menggetar ketika ia bertanya lagi.

   "Lopek yang baik, kuburan siapakah dua makam ini? Tolong kau beritahukan siapa nama mereka, karena aku benar benar amat tertarik dan kasihan, melihat kuburan yang terlantar ini."

   Kakek itu menudingkan telunjuknya ke makam yang segi empat.

   "Kuburan ini adalah makam dari seorang perwira yang gagah perkasa, perwira Han yang bernama Song Hak Gi dan yang terbunuh oleh barisan Ang bi tin. Kasihan sekali, dia seorang yang gagah dan mulia, aku pernah kenal padanya dan ia benar benar seorang yang suka menolong orang orang lain. Sayang sekali nasibnya amat buruk sehingga ia tewas beserta seluruh keluarganya oleh barisan Ang bi tin."

   Setelah melihat ke kanan kiri, kakek itu menyambung.

   "Sungguh kejam barisan Ang bi tin yang dipimpin oleh Ngo jiauw eng! Aku merasa bersukur bahwa belum lama ini Ngo jiauw eng terbunuh oleh orang orang gagah di kota raja."

   SIAN HWA, merasa hatinya tertusuk mendengar ini. Ia semenjak kecil dipelihara dan diaku anak oleh seorang tokoh Ang bi tin! Baiknya kakek ini tidak tahu bahwa dia adalah puteri dari Panglima Bucuci, pemimpin Ang tin yang terkenal! Ngo jiauw eng yang diceritakan kakek itu hanya anak buah saja dari ayah angkatnya!

   "Dan kuburan yang bundar ini, lopek?"

   "Aku sendiri tidak kenal orangnya, siocia. Hanya aku mendengar dan orang lain bahwa ini adalah kuburan seorang kauwsu (guru silat)"

   Pucatlah muka Sian Hwa mendengar ucapan ini. Tanpa disadarinya ia melangkah maju dan memegang tangan kakek itu. "Lopek, lekas katakan. Siapakah nama guru silat itu?"

   Kakek itu terheran heran dan setelah berpikir pikir sejenak ia berkata.

   "Namanya aku sendiripun tidak tahu. Hanya aku pernah mendengar bahwa ia disebut Can kauwsu dan menjadi sahabat baik dari perwira Song Hak Gi, dan...."

   

Pedang Naga Kemala Eps 26 Pemberontakan Taipeng Eps 16 Pedang Naga Kemala Eps 22

Cari Blog Ini