Ceritasilat Novel Online

Pemberontakan Taipeng 16


Pemberontakan Taipeng Karya Kho Ping Hoo Bagian 16




Melihat ini, dengan tujuan menyenangkan junjungannya, Li Lian Ying mulai mendekati An Tek Hai dan memberi obat-obat ramuan dari Tibet yang dahulu dipergunakan Kaisar Hsian Feng untuk memperkuat dirinya. Setelah minum obat itu, terjadilah hal yang luar biasa. An Tek Hai menemukan kembali kejantanan sepenuhnya, bahkan jauh lebih kuat daripada sebelum di dikebiri! Dengan janji akan membalas budi Li Lian Ying, diperkenalkanlah keadaan An Tek Hai ini oleh Li Lian Ying kepada Ibu Suri Cu Si. Tentu saja Cu Si menjadi girang sekali. An Tek Hai adalah seoang laki-laki yang termasuk tampan, tidak seperi Li Lian Ying dan tubuhnya begitu kokoh kuat dan jantan. Apalagi ketika An Tek Hai mulai melayaninya, Cu Si merasa girang bukan main. bagaikan orang yang sedang kehausan, ia dapat minum sepuasnya sekarang.

Bagaikan tumbuhan bunga yang kekeringan, kini ia memperoleh siraman sehingga bunga, daun sampai ke akar-akarnya menjadi basah dan segar kembali. Mulailah hubungan gelap yang dilakukan siang malam antara Cu Si dan An Tek Hai, dan karena An Tek Hai adalah seorang"kebiri" yang boleh saja keluar masuk di semua ruangan dalam istana, tidak ada seorangpun yang mencurigai. Dengan leluasa Cu Si dapat saja memanggil An Tek Hai ke kamarnya setiap kali timbul seleranya. Betapapun juga, para dayang merasa curiga, namun desas-desus di kalangan mereka itu sama sekali tidak diperdulikan Cu Si dan Tek Hai yang sedang dimabok nafsu. Kaisar bocah yang ketika masih pangeran bernama Cai Chun, kemudian ketika diangkat Kaisar di Yehol bernama Kaisar Chi Hsiang, kini setelah menjadi Kaisar di kotaraja mendapat nama lain, yaitu Kaisar Tung Chi.

Kaisar ini biarpun masih amat muda, sudah mendengar pula akan desas-desus bahwa Ibu Suri Cu Si bermain gila dengan seorang thaikam yang bernama An Tek Hai. Dia merasa malu dan marah sekali. Memang sejak kecil Kaisar ini tidak terlalu dekat dengan Ibu kandungnya yang dianggapnya berwatak buruk, keras dan galak, tidak seperti watak Ibu Suri Cu An yang lemah lembut dan bijaksana. Biarpun Ibu Suri Cu Si Ibu kandungnya, namun sejak kecil dia merasa lebih dekat dengan Ibu Suri Cu An! Mendengar akan hubungan gelap itu, dibantu oleh para pengawal thaikam, pada suatu pagi dia menyuruh tangkap An Tek Hai yang baru saja keluar dari kamar Ibu Suri Cu Si! An Tek Hai hanya tertawa, mengira bahwa Kaisar yang masih bocah itu main-main. Akan tetapi dengan sikap bengis Kaisar bocah itu memerintahkan orang-orangnya untuk menelanjangi An Tek Hai.

"Kalau dia benar thaikam palsu dan kejantanannya masih belum mati, pukul saja dia sampai mampus!" kata Kaisar Tung Chi kepada para pengawalnya. Dia berpikir bahwa kalau An Tek Hai ternyata masih memiliki kejantanan, berarti dia thaikam palsu dan desas-desus tentang Ibu Suri kedua itu mungkin benar. Sebaliknya, kalau kejantanan thaikam An Tek Hai itu benar-benar sudah mati, berarti bahwa desas-desus itu hanya fitnah belaka. An Tek Hai ketakutan setengah mati, tubuhnya gemetar dan wajahnya pucat, hampir dia tidak mampu berdiri saking takutnya dan dia hanya berlutut sambil mendekam dan hampir terkencing di celana. ketika para pengawal itu memaksanya menelanjanginya untuk memeriksa, tentu saja orang yang ketakutan setengah mati ini kehilangan kejantanannya sama sekali!

Untunglah bagi An Tek Hai, karena hal ini menghilangkan kecurigaan Kaisar Tung Chi dan An Tek Hai dibebaskan. Ketika Ibu Suri Cu Si mendengar laporan An Tek Hai tentang peristiwa itu, ia marah sekali, akan tetapi ia tidak mampu berbuat sesuatu terhadap puteranya sendiri yang sudah menjadi Kaisar, bahkan ia merasa khawatir dan diam-diam ia menyuruh An Tek Hai untuk meloloskan diri pergi ke Hang-cow, dengan memberi banyak bekal. Maksudnya agar kekasihnya itu untuk sementara waktu tidak memperlihatkan diri agar tidak membangkitkan kecurigaan. Akan tetapi, ternyata An Tek Hai bernasib malang, dan desas-desus tentang dirinya sudah menarik banyak orang yang menjadi pembencinya. Kepergiannya diketahui dan diapun ditangkap dengan tuduhan pengkhianat yang hendak meninggalkan kotaraja untuk menjadi mata-mata musuh. Dia dijatuhi hukuman mati!

Ibu Suri Cu Si diam-diam menangis sampai beberapa hari lamanya, menangisi kekasihnya yang telah tiada. Semua hiburan Li Lian Ying tidak dapat mengobati kerinduannya, dan Li Lian Ying, thaikam yang cerdik ini tahu penyakit apa yang diderita oleh junjungannya. Ia mendengar bahwa di waktu masih gadis remaja. sebelum dingkat menjadi selir Kaisar, Cu Si pernah saling mencinta dengan pamannya sendiri, yaitu adik Ibunya yang usianya tidak berselisih banyak dengannya. Hubungan cinta itu terputus ketika Yehonala menjadi selir Kaisar, dan kini pamannya itu, yang bernama Yung Lu, telah menjadi seorang pejabat pertengahan di Peking. Setelah melakukan penyelidikan melalui kaki tangannya, Li Lian Ying lalu mengajukan usul kepada junjungannya.

"Hamba merasa bersedih sekali melihat Paduka setiap hari tenggelam dalam kedukaan. Hamba kira, pertemuan dengan seorang anggota lama akan dapat menggembirakan Paduka, tentu saja kalau Paduka menyetujui." Cu Si dengan malas-malasan memandang pelayan yang amat setia itu.

"Hemm, Lian Ying, siapa yang kau maksudkan itu?" Tanyanya dengan suara agak kurang senang. Bagaimanapun juga, sanak keluarganya adalah orang-orang biasa, dan tidak senang hatinya kalau diingatkan akan keluarganya, sama dengan mengingatkan bahwa ia adalah keturunan orang-orang biasa!

"Baru-baru ini hamba bertemu dengan seorang sahabat yang menceritakan bahwa paman Paduka yang bernama Yung Lu menjadi seorang pejabat pertengahan di kotaraja. Lupakah Paduka kepada paman Paduka itu?" Wajah Ibu Suri Cu Si berseri mendengar disebutnya nama ini. Tentu saja ia masih ingat kepada Yung Lu, pamannya itu. Ketika maih remaja, ia pernah jatuh cinta kepada pamannya itu, dan biarpun hanya merupakan cinta monyet, namun masih menjadi kenangan manis. Mendengar nama Yung Lu kini berada di kotaraja, terbayanglah wajah yang tampan itu dan iapun ingin sekali bertemu dengannya. Akan tetapi ia melihat kesulitan untuk dapat bertemu dengan pamannya itu dan hal ini ia katakan kepada Li Lian Ying.

"Harap Paduka jangan khawatir," kata Li Lian Ying.

"Kalau Paduka berkenan, pertemuan itu dapat hamba atur. Bukankah dia merupakan paman Paduka sendiri? Tidak akan ada salahnya kalau Paduka memanggil dia menghadap untuk dimintai nasihat tentang urusan pemerintahan. Takkan ada yang mencurigai kehadiran seorang paman yang mengunjungi Paduka." Cu Si girang sekali dan cepat ia menuliskan surat panggilan itu. Tentu saja Yung Lu merasa tegang dan dengan jantung berdebar-debar menanti di ruangan tamu yang mewah dan indah itu. Selama hidupnya, baru sekali ini dia memasuki bagian istana yang demikian indahnya. Sejak keponakannya menjadi selir Kaisar dan kemudian bahkan menjadi permaisuri kedua dan akhir-akhir ini menjadi Ibu Suri, dia tidak pernah bertemu dengan Yehonala. Dan kedudukan keponakannya itu bukan tidak ada manfaatnya baginya.

Dia seorang yang tidak berpendidikan tinggi, akan tetapi kini dapat menduduki jabatan tinggi pertengahan. Semua itu adalah karena dia dikenal sebagai paman dari Ibu Suri Cu Si! Dan kini, keponakannya itu memanggilnya! Li Lian Ying muncul dan tanpa banyak cakap lagi, thaikam ini mengajak Yung Lu masuk ke dalam dan diantarnya orang itu ke dalam kamar Ibu Suri Cu Si di Istana barat. Di dalam ruangan kamar yang luas itu, Yung Lu melihat seorang wanita cantik duduk di atas dipan, dan sukar baginya untuk mengenal wajah gadis remaja Yehonala yang pernah saling mencinta dengannya. Yang duduk di dipan itu adalah seorang wanita cantik jelita dan agung, wanita yang sudah matang, dengan pandang mata tajam berwibawa dan mulut yang kecil tersenyum manis. Dia hendak menjatuhkan diri berlutut, akan tetapi dengan tangannya, Ibu Suri Cu Si melarangnya.

"Paman Yung Lu, tidak perlu berlutut...!" kataya. pada saat itu, dengan sopan Li Lian Ying lalu keluar dari kamar, menutupkan tirai Sutera berlapis-lapis untuk menutupi keadaan di dalam kamar itu dari penglihatan orang di luar kamar dan diapun duduk berjaga di luar kamar.

"Paman Yung Lu, engkau duduklah di sini, di dekatku. Aku sungguh rindu sekali kepadamu. Lupakah engkau kepada Yehonalamu?" Dengan tubuh gemetar Yung Lu duduk di atas dipan, di dekat wanita itu dan bagaikan seekor harimau betina yang kelaparan, Ibu Suri Cu Si segera merangkulnya dan menjatuhkan dirinya di atas pangkuan Yung Lu.

"Ah, Yung Lu, aku kesepian, aku rindu padamu..." keluhnya. Tentu saja hal ini sama sekali tak pernah disangka-sangka oleh Yung Lu. membayangkan saja dia tidak berani bahwa bekas kekasihnya di waktu remaja itu, yang kini telah menjadi orang paling berkuasa di seluruh negeri, ternyata masih teringat kepadanya, bahkan masih mencintanya! Dia heran mengapa semalam tidak mimpi kejatuhan bulan! Dan tentu saja dia menyambut ajakan wanita cantik itu dengan gembira karena Yung Lu termasuk seorang laki-laki yang mata keranjang dan nafsu berahi merupakan kesenangan yang selalu dikejarnya. Akan tetapi dia masih merasa khawatir dan ragu-ragu, takut kalau sampai ketahuan orang lain. Hal ini dirasakan oleh Cu Si yang tertawa genit.

"Laki-laki tolol, kenapa begini takut-takut? Siapa orangnya yang berani masuk ke sini tanpa kupanggil?" katanya sambil merangkul. Yung Lu merasa bagaikan dalam mimpi. Kini tanpa disangkanya, dia mendapatkan segalanya dari wanita ini, padahal dahulu ketika mereka masih remaja, biarpun mereka saling mencinta, dia tidak pernah mendapatkannya. Kini wanita itu menyerahkan segalanya dengan rela dan tentu saja dia merasa seperti melayang ke langit ke tujuh.

Demikianlah, mulai hari itu, Yung Lu menjadi kekasih baru Ibu Suri Cu Si. Dan untuk memudahkan dua orang ini mengadakan hubungan setiap saat yang mereka kehendaki dengan leluasa, kembali Li Lian Ying yang mengajukan usul-usul yang amat cerdik. Kebetulan waktu itu, jabatan pengawas Urusan Rumah Tangga Istana sedang kosong dan jabatan ini lalu diberikan kepada Yung Lu. Semenjak itu, sebagai pejabat dalam istana, dengan leluasa Yung Lu mengadakan pertemuan dengan Cu Si. kehadirannya tidak mendatangkan kecurigaan, karena pertama, dia adalah paman sendiri dari Cu Si, dan kedua, dia adalah pejabat baru yang mengurus semua persoalan di dalam rumah tangga istana. Dan kini wajah Cu Si nampak berseri, tubuhnya nampak segar dan sehat. Dia menemukan kekasih yang hebat dalam diri pamannya itu, jauh lebih hebat dibandingkan dengan mendiang Kaisar Hsian Feng, atau dengan An Tek Hai sekalipun!

Ibu Suri Cu Si dapat melakukan segala perbuatan yang disukainya dengan bebas dan leluasa karena Ibu Suri Cu An yang lebih suka membaca kitab-kitab agama di dalam kamarnya, menyerahkan segala urusan kepada madunya itu. Akan tetapi, seperti biasa terjadi di dunia ini, kesenangan tidak pernah meninggalkan saudara kembarnya, yaitu kesusahan. Hubungan mesra antara paman dan keponakan itu baru beberapa bulan saja sudah membuat Ibu Suri Cu Si mengandung! Bingunglah wanita ini. Hanya Li Lian Ying orang yang dipercayainya, di samping Yung Lu tentunya, akan tetapi kedua orang itu tidak berhasil menggugurkan kandungan dengan obat-obat yang mereka bawa. Untuk mempergunakan obat yang terlalu keras, mereka tidak berani, takut kalau akibatnya malah berbahaya bagi nyawa Ibu Suri Cu Si.

Dan mengundang tabib pun tidak mugkin karena tentu rahasia itu akan bocor. Akhirnya Cu Si teringat kepada isteri Pangeran Chun yang merupakan saudara perempuannya yang boleh dipercaya. Antara mereka memang ada hubungan yang akrab walaupun tentu saja isteri pangeran itu selalu merasa rendah diri terhadap Ibu Suri Cu Si. Diam-diam Cu Si memanggil isteri Pangeran Chun dan setelah saudara perempuan ini datang, Cu Si cepat metangkulnya dan mengajaknya bicara bisik-bisik di dalam kamarnya, berdua saja. Di situ Cu Si menceritakan keadaan dirinya yang mengandung! Adiknya mendengarkan dengan mata terbelalak, lalu duduk diam seperti patung karena tidak tahu harus bicara apa. Barulah ia terkejut ketika Cu Si menyatakan maksudnya mengundang saudara perempuan itu.

"Hanya engkaulah yang dapat menolongku dan mengeluarkan aku dari kesulitan ini, saudaraku." kata Cu Si dan selanjutnya, dengan bisik-bisik Cu Si menyatakan rencana siasatnya.

Adiknya itu, isteri Pangeran Chun, diperintahkan untuk mengaku kepada suaminya bahwa ia mengandung, berpura-pura mengandung! Dan adiknya itu akan tinggal di situ bersamanya, dengan alasan agar mendapat perawatan yang baik di samping menemani Ibu Suri Cu Si. Hari itu juga, Cu Si mengutus Li Lian Ying untuk berkunjung kepada Pangeran Chun dan menyampaikan kabar itu! Tentu saja Pangeran Chun terkejut dan terheran-heran mendengar bahwa isterinya mengandung. Akan tetapi dia percaya dan tidak perduli lagi karena memang dia mempunyai banyak selir sehingga dia lupa lagi kapan terakhir kalinya dia menggauli isterinya. dan karena isterinya itu merupakan saudara yang amat akrab dengan Ibu Suri Cu Si, diapun tidak heran bahwa isterinya lebih suka menceritakan tentang kandungannya kepada saudaranya itu.

Demikianlah, rahasia ini ditutup rapat dan setelah kandungan itu tiba saatnya untuk dilahirkan, Ibu Suri Cu Si dan isterinya Pangeran Chun tak pernah berpisah dari satu kamar. Dua orang bidan dipanggil ketika malam itu Ibu Suri Cu Si melahirkan. Pada keesokan harinya, diumumkan bahwa isteri Pangeran Chun telah melahirkan seorang anak laki-laki yang sehat! Adapun kedua orang bidan yang membantu kelahiran itu, lenyap tak ada yang tahu ke mana perginya. Mereka itu diam-diam telah dibunuh oleh kaki tangan Li Lian Ying agar mereka tidak membocorkan rahasia tenang kelahiran anak itu. Setelah "melahirkan" dan kesehatannya pulih, isteri Pangeran Chun membawa puteranya pulang, disambut dengan penuh kegembiraan oleh keluarga Pangeran Chun. Dan anak inilah, anak kandung Ibu Suri Cu Si, yang kelak setelah Kaisar Tung Ci meninggal,

Oleh Ibu Suri Cu Si yang memegang tampuk kekuasaan, diangkat menjadi Kaisar pula! Memang hebat sekali Ibu Suri Cu Si ini, seperti tercatat dalam sejarah. Ia seorang wanita yang keras hati, ambisius, dan cerdik bukan main. dari keluarga bersahaja ia dapat naik menjadi permaisuri dan kemudian Ibu Suri yang memerintah negara besar itu selama kurang lebih lima puluh tahun! Dan di samping kekuasaannya yang mutlak, keputusan-keputusan yang keras dan penting, di sebelah dalam istana tersimpan pula rahasianya, yaitu selalu dirundung kesepian sehingga ia melakukan hubungan gelap dengan banyak pria, dan ini merupakan kelemahannya, yaitu menjadi hamba dari nafsu berahinya sendiri. Demikianlah sekedar gambaran awal keruntuhan Kerajaan Mancu, didahului dengan kekacauan dan lemahnya keluarga kerajaan itu sendiri.

Setelah berpisah dari Yu Bwee, gadis yang menarik perhatiannya itu, yang mendatangkan kesan mendalam, Gan Han Le melanjutkan perjalanannya. Dia telah melihat keadaan kotaraja, melihat kekacauan yang terjadi, bahkan melihat penyerbuan pasukan kulit putih yang telah menduduki kotaraja dan yang memaksa Kaisar sekeluarganya melarikan diri ke Yehol. Semua yang telah dialaminya itu membuat dia lebih bingung lagi. Semenjak dia lari meninggalkan Ibunya dan gurunya, Han Le merasa bingung dan hatinya penuh dengan dendam yang bertumpuk, Akan tetapi dia sendiri tidak tahu kepada siapa dendam itu harus ditumpahkan, kepada gurunya? Kepada Ibunya? Ah, tidak mungkin. gurunya kini telah menjadi Ayah tirinya!

Akan tetapi, kenyataan bahwa gurunya, Bu Beng Kwi, ternyata adalah musuh besarnya juga, Koan Jit pembunuh Ayah kandungnya, telah menghancurkan bayangan tentang diri seorang guru yang dicintanya dan dikaguminya. Kini rasa cinta dan hormatnya berbalik menjadi kebencian. Bahkan diapun kehilangan perasaan suka kepada kedua orang Suhengnya yang menjadi pimpinan rakyat. Tidak, dia tidak akan mencari mereka, tidak akan membantu mereka! Membantu kedua orang Suhengnya itu sama saja dengan membantu gurunya! Dalam keadaan bingung ini Han Le meninggalkan Yehol dan diapun teringat kepada raja baru di Nan-king, pemimpin pasukan Tai Peng, yaitu Ong Siu Coan! Bukankah Ong Siu Coan itu Suheng dari Ayah kandungnya? Dan selama dia dan Ibunya berada di sana, di Nan-king, merasa diperlakukan dengan amat baik oleh Ong Siu Coan.

Bahkan mungkin dia dan Ibunya masih tinggal di sana dalam keadaan terhormat, kalau saja tidak muncul Bu Beng Kwi yang membawa mereka lari. Dia bahkan pernah belajar ilmu silat dari seorang kepala pengawal bernama Giam Ci, seorang sahabat dari Tang-Ciangkun. Di sana dia diperlakukan oleh siapa saja dengan sikap hormat karena dia adalah sanak dari Kaisar, putera dari saudara seperguruan Kaisar Ong Siu Coan sendiri. Kenangan ini menarik hati Han Le untuk pergi berkunjung ke Nan-king! Dia akan mengunjungi supeknya yang menjadi Kaisar itu, dan melihat perkembangannya nanti. Kalau keadaan di sana cocok dengan hatinya, mengapa dia tidak membantu saja gerakan supeknya itu, gerakan Tai Peng karena bukankah gerakan itu juga bermaksud menumbangkan penjajah Mancu?

Pada suatu sore dia tiba di sebuah kota yang letaknya di sebelah utara lembah Sungai Yang-ce, dan merupakan perbatasan kekuasaan Tai Peng dan kekuasaan pemerintah Kerajaan Mancu. Kota ini bernama Cu-sian dan karena terletak di perbatasan, maka kota ini selalu berada dalam keadaan gawat dan di situ berkeliaran mata-mata dari pihak Tai Peng, dari Kerajaan Mancu, dari golongan-golongan kang-ouw dan bahkan ada mata-mata yang bekerja untuk kepentingan orang kulit putih. Betapapun juga, perdagangan selalu ramai di kota ini, karena tempat inipun terkenal sebagai tempat penyelundupan candu dan senjata api gelap. Kota Cu-sian ini sudah berada dalam kekuasaan Tai Peng dan karena itu, di mana-mana terdapat penjagaan pasukan Tai Peng yang selalu mencurigai siapa saja yang memasuki kota.

Han Le juga tidak terkecuali. Begitu memasuki pintu gerbang, dia sudah dihadang oleh belasan orang tentara Tai Peng yang melakukan penggeledahan. Akan tetapi Han Le sudah siap siaga sebelumnya sehingga dia menyembunyikan pistol kecilnya di dalam celana, diikat dengan betis kirinya. Buntalan pakaiannya tidak terdapat barang mencurigakan kecuali pakaian, maka diapun lolos dan dibiarkan masuk kota yang ramai itu. Tidak mudah mendapatkan kamar di kota yang ramai itu, akan tetapi akhirnya dia bisa mendapatkan sebuah kamar di losmen kecil dan kotor yang berada di ujung kota. Di belakang losmen itu mengalir sebuah sungai kecil yang airnya kotor karena menampung semua sampah orang-orang yang tinggal di kota itu.

Biarpun dia mendapatkan kamar terakhir yang paling kecil dan paling kotor, Han Le mersa lega karena akhirnya dia mendapatkan sebuah tempat untuk beristirahat. Setelah membayar kamar itu, dia lalu keluar dari kamar dan pergi meninggalkan losmen untuk mencari rumah makan karena sejak pagi tadi dia belum makan. Hampir saja kakinya tersaruk sebatang tongkat yang melintang di ambang pintu losmen itu. Dia terkejut karena tongkat itu tadinya tidak ada dan tiba-tiba saja meluncur dari samping. Ketika dia menoleh dengan marah, siap menegur orang yang agakya sengaja melintangkan tongkat, dia melihat seorang pengemis bermata buta dan kemarahannyapun lenyap. Dia tadi dapat meloncati tongkat itu dan tidak sampai tersaruk, dan pengemis yang buta matanya ini sudah pasti melakukan hal itu tanpa sengaja.

"Lopek (Paman tua), berhati-hatilah dengan tongkatmu, jangan sampai membikin jatuh orang lewat," kata Han Le, menegur halus memperingatkan si buta itu. Pengemis itu lalu menodongkan tangannya minta sumbangan,

"Yang buta tak melihat, yang bermata harus berhati-hati, tuan yang datang dari kotaraja harap bermurah hati terhadap seorang pengemis buta." Han Le mengeluarkan dua potong uang kecil dan meletakkannya di telapak tangan orang itu, akan tetapi alisnya berkerut dan dia bertanya,

"Bagaimana engkau bisa tahu aku datang dari kotaraja?" Biarpun kebetulan di situ tidak terdapat orang lain, pengemis itu menjawab berbisik,

"Suaramu asing, tentu menarik perhatian. Satu petanyaan lagi, apakah pakaianmu putih?" Han Le menjadi semakin heran.

"bagaimana engkau bisa tahu? memang pakaianku putih." Akan tetapi pengemis buta itu tidak menjawab, melainkan bangkit berdiri dan melangkah pergi, menggunakan tongkatnya yang panjang untk meraba-raba ke atas jalan. Han Le merasa penasaran dan cepat mengejar. Akan tetapi dia enjadi semakin terkejut dan heran. Biarpun orang itu buta dan berjalan dengan meraba-raba, namun gerakannya cepat bukan main sehingga diapun harus melakukan ilmu berjalan cepat untuk menyusulnya! Dan ternyata orang itu erhenti di belakang rumah kampung yang sepi karena senja telah larut, dan menantinya.

"Tuan, berhati-hatilah. Nanti malam tepat tengah malam jam dua belas, pergilah ke kuil tua di luar pintu gerbang sebelah timur. Kami semua berkumpul di sana dan kedatanganmu amat dinantikan." tanpa menanti jawaban, pengemis buta itu meloncat dan agaknya dia sudah hafal dengan jalan di sini karena kini dia berlari cepat.

Han Le menjadi semakin penasaran dan hendak mengejar. Akan tetapi dia teringat akan pesan orang itu dan diapun menghentikan niatnya untuk melakukan pengejaran. Orang pengemis buta itu agaknya telah mengenalnya dan tahu bahwa dia datang dari kotaraja. Akan tetapi kenapa dia disuruh datang tengah malam nanti di kuil tua sebelah timur pintu gerbang? Siapakah pengemis buta itu? Dari gerakannya ketika meninggalkannya, dia dapat menduga bahwa pengemis itu bukan orang sembarangan, atau mungkin juga hanya pura-pura buta saja. Apakah dia seorang mata-mata kerajaan yang mengenalnya sebagai pemuda yang pernah menolong keluarga Kaisar? Ataukah seorang utusan dari Permaisuri kedua yang hendak menjebaknya? Apapun yang terjadi, dia harus menghadiri pertemuan pada tengah malam itu.

Dia sudah tertarik sekali karena tahu bahwa dia menghadapi pengalaman yang menegangkan, mungkin berbahaya. Han Le bersikap tenang saja dan dia melanjutkan keinginannya untuk makan di rumah makan. Banyak rumah makan di kota itu, dan dia memasuki rumah makan yang lezat hidangannya. Setelah makan kenyang dia kembali ke losmen. Malam itu dia beristirahat tanpa meninggalkan kewaspadaannya, dalam keadaan siap siaga, bahkan tanpa melepas sepatu dan pakaian luarnya. Sebelum tiba saat tengah malam, Han Le sudah meloncat keluar dari kamarnya dan meninggalkan losmen secara diam- diam. Tidak sukar baginya untuk pergi ke gerbang timur tanpa kelihatan orang. Malam sudah larut dan sunyi. Hanya beberapa orang laki-laki mabok saja yang berjalan sempoyongan menuju pulang dan rumah-rumah makan yang paling lambat baru saja ditutup.

Han Le mempergunakan kepandaiannya untuk menyelinap di antara rumah-rumah, pohon-pohon, karena dia dapat menduga bahwa di tempat itu tentu berkeliaran banyak orang pandai. Dia langsung menuju ke pintu gerbang timur dan memilih bagian tembok yang tidak terjaga dan gelap untuk melompatinya dan keluar dari tembok kota. Malam itu gelap sekali. Menguntungkan bagi Han Le yang bergerak dengan hati-hati mendekati kuil tua terpencil yang berdiri di lereng bukit itu. Biarpun kuil itu merupakan sebuah kuil kuno yang sudah kosong, namun temboknya masih nampak kokoh kuat, dan malam ini ada sinar penerangan yang menyorot keluar dari dalam kuil, tanda bahwa di situ terdapat orang. Kuil ini memang kadang-kadang dipergunakan orang untuk melewatkan malam,

Tentu saja orang-orang yang tidak mempunyai uang untuk bermalam dengan menyewa kamar losmen. Dilihatnya beberapa sosok tubuh orang berjaga di depan dan di belakang kuil secara sembunyi. Hal ini sudah diduganya. Pengemis buta itu mengatakan bahwa "mereka" akan menanti kehadirannya, berarti di situ akan terdapat banyak orang dan tentu akan membicarakan urusan penting, maka tentu tempat itu dijaga. Diapun mempelajari keadaan. Kuil itupun cukup besar, merupakan bangunan induk dan bangunan-bangunan kecil di sekelilingnya. Beberapa orang penjaga itu hanya mengawasi bagian depan dan belakang kuil, hanya kadang-kadang saja meronda melewati kedua bagian pinggir. Ketika melihat tiga orang penjaga lewat meronda Han Le cepat menyusup dan begitu mereka lewat,

Diapun meloncat naik ke atas genteng kuil sampai dari pinggir. Gerakannya cepat dan sudah diperhitungkannya sehingga di dalam kegelapan malam itu, tidak kelihatan apa-apa dan kakinyapun tidak menimbulkan suara ketika menginjak genteng.Pakaiannya yang serba putih itu kini sudah tertututp sehelai mantel biru yang tadi sengaja dipakaianya untuk menutupi pakaiannya yang putih. Han Le merayap di atas genteng kuno yang tebal itu, menuju ke bangunan induk dari mana menyorot sinar penerangan yang cukup besar. Dengan hati-hati dia membuka genteng dan mengintai ke dalam. Ternyata ruangan di bawah itu cukup luas dan agaknya sudah dibersihkan untuk keperluan ini. Tidak ada meja kursi di situ, dan di lantai telah dihamparkan tikar yang menutupi lantai dari ujung ke ujung.

Ada lima orang duduk di dalam ruangan itu, dan satu di antaranya segera dikenal oleh Han Le, yaitu si pengemis buta! Dan dia merasa malu terhadap diri sendiri yang tadi pernah mengira bahwa pengemis buta itu hanya pura-pura buta, karena kini ternyata bahwa orang itu memang buta! Kedua matanya yang hampa nampak putihnya saja itu kelihatan jelas tersorot sinar lampu yang ada empat buah bergantungan di ruangan itu. Kini nampak si buta itu mengetuk-ngetuk lantai bertilamkan tikar dengan tongkatnya, seperti ingin minta perhatian. Empat orang kawannya itu rata-rata berusia empat puluh tahun lebih, sikap mereka gagah, dengan pakaian sederhana, ada yang menyamar seperti petani, ada pula yang seperti saudagar, akan tetapi mereka semua memiliki sinar mata yang mencorong penuh semangat.

"Sudah kukatakan, aku tidak akan keliru. Menurut penyelidikan teman-teman kita, orang itu berpakaian serba putih dan dia mempunyai sepasang mata yang biru! Bukti apalagi yang lebih meyakinkan? Tentu dialah orangnya yang kita tunggu, dan ketika aku mencoba dengan tongkatku, dia mudah saja menghindar. Karena itulah dia kuundang." Berdebar rasa jantung dalam dada Han Le, mereka sedang membicarakan diriya! Kiranya dia disangka orang lain!

"Akan tetapi, Lo-Kai (pengemis tua), aku masih merasa heran bagaimana orang kulit putih mau membantu kita? Benar-benarkah mereka itu, ataukah hanya tipu muslihat belaka?"

"Hemm, kurasa mereka bersungguh-sungguh. Setelah mereka menang perang dan mengadakan perjanjian damai dengan pemerintah Ceng, mereka memperoleh banyak keuntungan, mendapat kebebasan berdagang di mana saja. Tai Peng merupakan ancaman bagi pemerintah kerajaan Ceng, yang berarti juga mengancam kedudukan mereka. Karena itu, setiap usaha untuk menghancurkan Tai Peng, kini tentu akan dibantu oleh orang kulit putih!

"Akan tetapi, Lo-Kai," kata orang kedua sangsi.

"Aku mendengar bahwa hubungan antara kulit putih dan Tai Peng baik sekali, karena mereka itu memiliki agama yang sama."

"Benar," kata orang ketiga,

"Aku pernah menyelundup ke Nan-king dan melihat banyak orang kulit putih berkeliaran di sana. Sudah lama Tai Peng bersahabat dengan orang kulit putih."

"Sekarang sudah pasti tidak demikian," kata Kakek buta dengan suara yakin.

"Ingat saja tentang candu. Tai Peng melarang candu masuk ke wilayah kekuasaan mereka. Hal ini saja mendatangkan kerugian besar bagi orang kulit putih. Pula, kesamaan agama mereka hanya namanya saja, akan tetapi orang kulit putih juga tahu bahwa agama mereka itu telah dirobah oleh Kaisar Tai Peng, dan menjadi alat untuk mengelabui rakyat, bukan agama yang aseli. Lebih menguntungkan bagi orang kulit putih kini untuk bersahabat dengan Kerajaan Ceng daripada dengan Tai Peng yang mulai nampak belangnya." Diam-diam Han Le mendengarkan percakapan itu dan dia kagum terhadap si buta yang nampaknya demikian mengenal keadaan pemerintahan. Akan tetapi tentu saja dia tidak mau menelan begitu saja keterangan pengemis buta itu yang membenci Tai Peng dan agaknya orang-orang ini mau bersekutu dengan orang kulit putih untuk menentang Tai Peng! Dan agaknya di situ akan diadakan untuk membicarakan urus an politik.

"Akan tetapi, Lo-Kai. Kalau gerakan kita tidak menentang pemerintah Mancu, bahkan membantu pemerintah Mancu menentang Tai Peng, dan bekerja sama dengan orang kulit putih, bukankah berarti kita ini lalu menjadi kaki tangan pemerintah penjajah? Bagaimanapun juga, Tai Peng adalah gerakan rakyat yang berhasil menduduki sebagian tanah air dan merampasnya dari cengkeraman penjajah Mancu!" kata orang keempat. Tiga orang temannya mengangguk-angguk setuju. Pengemis buta itu menarik napas panjang.

"Pertanyaan itu merupakan hal yang selalu diragukan oleh para pendekar yang membantu perjuangan rakyat. Akan tetapi, kalian belum tahu akan seluk beluknya politik dan ilmu perang. Tidak bisa disamakan dengan ilmu silat bela diri. Dalam ilmu perang banyak lika-likunya. bahkan kalau perlu, golongan yang kemarin dimusuhi, hari ini dirangkul sebagai sahabat, walaupun mungkin besok sudah kita pukul lagi sebagai musuh! Kita takkan berhasil kalau haya memeperlihatkan kepahlawanan saja, mencoba utuk membersihkan tanah air dari musuh-musuh sekaligus! Bagaimana mungkin kita mengusir sekaligus penjajah Mancu, penjahat-penjahat Tai Peng, dan pasukan kulit putih? Tidak mungkin sama sekali! Karena itu , kita harus menghancurkan yang terpenting lebih dulu, dan menggandeng kekuatan lain untuk membantu kita. Karena itu, tujuan kita sekarang adalah menghancurkan Tai Peng, dan untuk itu, kita mengulurkan tangan kepada orang kulit putih, juga kepada pemerintah Kerajaan Ceng. Setelah kelak Tai Peng hancur, barulah kita mengalihkan sasaran kepada Kerajaan Mancu, atau kepada orang kulit putih, tentu saja sesuai dengan keadaannya nanti. Mengertikah kalian?" Empat orang itu saling pandang, akan tetapi mereka masih belum mengerti benar. Mereka adalah orang-orang gagah yang telah digembleng untuk bersikap gagah, tidak suka akan siasat-siasat dan muslihat licik. Akan tetapi karena mereka tahu bahwa mereka menghadapi urusan yang terlalu besar dan berat bagi mereka, bahwa mereka hanyalah pelaksana-pelaksana, merekapun mengangguk saja. Tiba-tiba terdengar suara penjaga dari luar berteriak akan datangnya tamu dari kotaraja!

"Silakan dia masuk!" kata pengemis buta. Dari pintu ruangan itu yang kini menjadi lebar sekali karena separuh dinding bagian itu telah bobol, muncul tiga orang laki-laki yang usianya mendekati lima puluh tahun. Mereka masuk dengan langkah gagah, kemudian mereka menghadapi lima orang yang duduk bersila itu, seorang di antara mereka berkata,

"Kami diutus oleh Pangeran Kung untuk memenuhi undangan cu-wi (anda sekalian)."

"Bolehkah kami melihat surat perintah dari Pangeran Kung?" tanya si buta. ketika laki-laki tinggi besar yang mewakili dua orang temannya itu megeluarkan tanda perintah dari Pangeran Kung yang ada capnya sang pangeran, tentu saja bukan si buta yang menerimanya melainkan empat orang temannya yang mengembalikannya kepada tamu itu setelah menelitinya.

"Kami masih belum melupakan sekap pemerintah terhadap teman-teman kami seperjuangan," kata pengemis buta itu dengan suara yang angkuh,"dan hanya karena kami percaya kepada Pangeran Kung maka kami mengirim undangan agar ada wakil dari kotaraja yang menyaksikan pertemuan penting ini. Kami hanya mengharapkan persetujuan dari pemerintah tanpa campur tangan dan tanpa menghalangi gerakan kami untuk memukul Tai Peng."

"Kami mengerti dan kamipun datang sebagai penonton dan pendengar belaka," kata orang tinggi besar. Mereka dipersilakan duduk dan tiba-tiba nampak bayangan berkelebat dan muncullah seorang gadis di ruangan itu. Tiga orang wakil pemerintah kerajaan itu terkejut, akan tetapi lima orang itu tidak memperlihatkan rasa kaget.

"Aih, Thio-Siocia (nona Thio)! Mana Ayah Ibumu?" tanya seorang di antara teman-teman si pengemis buta. Gadis itu berusia kurang lebih delapan belas tahun, dan tadi Han Le yang melakuan pengintaian, terkejut dan kagum bukan main melihat betapa gadis itu memiliki gerakan yang amat cepatnya. Kini, dia dapat melihat wajah gadis itu dengan jelas di bawah sinar empat buah lampu besar. Wajah yang lonjong dengan dagu meruncing manis, hidungnya agak berjungkat ke atas menambah kemanisan wajahnya.

Wajah yang ayu itu selalu berseri dan cerah, mulutnya seperti selalu menghias senyum, matanya berkilauan dan pakaiannya rapi. Tahi lalat merah di sudut bawah dagu menambah daya tariknya. Seorang gadis yang cantik jelita, dengan bentuk tubuh yang ramping indah! Gadis itu bukan lain adalah Thio Eng Hui, puteri tunggal dari Thio Ki dan Ciu Kui Eng. seperti telah diceritakan di bagian depan, keluarga ini ikut pula terjun ke dalam perjuangan, dan semuda itu, Eng Hui sudah pula membantu orang tuanya. Mereka bertiga kini menggabungkan diri dengan pasukan yang dipimpin oleh Li Hong Cang, dan ikut membantu pemimpin rakyat itu untuk melatih perajurit yang terdiri dari rakyat jelata. Seperti juga Ceng Kok Han yang membuat persiapan menghimpun tentara atau bekas laskar rakyat di sebelah barat, Li Hong Cang juga menghimpun laskar rakyat di sebelah timur.

"Ayah dan Ibu sibuk, dan akulah yang ditunjuk oleh Li-bengcu (ketua Li) untuk menghadiri pertemuan ini. Li-bengcu, juga Ayah dan Ibu, mengirim salam kepada Pek-Gan Lo-Kai dan kawan-kawan di sini!" Tiba-tiba Kakek pengemis buta itu tertawa gembira.

"Ha-ha-ha, biarpun wanita, anak naga tentu akan menjadi naga perkasa pula! Nona yang baik, siapakah namamu?"

"Aku bernama Thio Eng Hui, Lo-Kai."

"Bagus, nona Eng Hui, aku terima salam dari Li-bengcu yang kuhormati, dan orang tuamu yang kukagumi. Silakan duduk, nona," dan kepada tiga orang tamu pertama, Kakek pengemis buta itu memperkenalkan,

"Nona ini merupakan utusan dari Li-bengcu, dan nona Eng Hui, mereka bertiga itu adalah utusan dari pangeran Kung, yang datang sebagai peninjau saja." Sambil duduk di atas lantai, tiga orang laki-laki itu memberi hormat kepada gadis muda itu, yang dibalas dengan sikap dingin oleh Eng Hui. Sejak kecil, oleh Ayah Ibunya, gadis ini dididik untuk membenci pemerintah Kerajaan Mancu, maka, kini berhadapan dengan tiga orang utusan Pangeran Kung, tentu saja ia merasa tidak senang, walaupun ia juga tahu bahwa sasaran perjuangan kali ini adalah menentang Tai Peng.

"Di mana wakil dari pasukan kulit putih?" Ia menoleh ke kanan kiri untuk mengalihkan percakapan agar tidak perlu bicara dengan wakil istana Mancu itu.

"Apakah dia belum datang"

"Jangan khawatir, nona Eng Hui, dia pasti datang," kata Pek-Gan Lo-Kai. pengemis tua ini adalah seorang tokoh kang-ouw yang amat terkenal di daerah selatan dan biarpun matanya buta, namun dia memiliki kepandaian yang lihai sekali. Julukannya, Pek-Gan Lo-Kai (Pengemis Tua Mata Putih) merupakan nama poyokan, akan tetapi kau m kang-ouw menghormatinya karena dia berjiwa gagah perkasa, dan biarpun hidup sebagai pengemis, namun dia selalu menentang kejahatan. Matanya yang putih itu memang tidak dapat melihat, akan tetapi Tuhan Maha Adil, dan sebagai pengganti matanya, dia mendapat kepekaan yang luar biasa dalam alat tubuh lainnya, pendengarannya, penciumannya, perasaan dan rabaan tangannya,

Semua amat peka melebihi manusia biasa sehingga semua itu dapat menutup kebutuhan hidup yang terganggu oleh butanya mata. Karena lihai ilmunya, dalam pengetahuannya dan banyak pemgalamannya, maka semua tokoh kang-ouw setuju mengangkatnya menjadi pemimpin kelompok laskar rakyat yang berada di sepanjang sungai dan di perbatasan antara daerah Tai Peng dan daerah Kerajaan Ceng. Juga Ceng Kok Han dan Li Hong Cang, dua orang pemimpin besar yang menghimpun laskar rakyat, percaya kepadanya untuk memimpin rencana penyerbuan terhadap kota Cu-sian, yang merupakan benteng pertama sebelah utara sungai dari pasukan Tai Peng. Malam itu diadaan pertemuan untuk merundingkan urusan besar itu dan tanpa di sengaja, Han Le menjadi saksi peristiwa yang amat penting ini, yang merupakan sumbu pertama yang menyulut api peperangan antara laskar rakyat melawan Tai Peng.

"Dia? Apakah mereka tidak datang semua?" Eng Hui bertanya.

"Mereka? Aku hanya bertemu dengan seorang saja. Bukankah dia berpakaian serba putih?"

"Benar, akan tetapi dua orang pembantunya berpakaian bisa, seperti pakaian kuli yang memikul barang-barangnya. Dia menyamar sebagai seorang pelancong. kebetulan saja aku bertemu dengan mereka di luar pintu gerbang kotaraja."

"Sebentar lagi tentu dia akan datang," kata pula Pek-Gan Lo-Kai. Mendengar ini Han Le yang merasa semakin tertarik, tahu bahwa saatnya telah tiba untuk muncul. Dia dengan hati- hati merangkak kembali ke atas wuwungan bangunan samping kuil itu, dan meloncat keluar dari tembok kuil dan dengan jalan memutar dia mengampiri pintu depan. Tiba-tiba bermunculan empat orang penjaga yang meghadangnya.

"Siapa engkau?" bentak mereka. Han Le tersenyum mengejek.

"Kalian tentu siapa aku," jawabnya."Katakan saja kepada Pek-Gan Lo-Kai bahwa aku si baju putih telah datang memenuhi undangannya." Seorang di antara para penjaga segera melapor dan setelah
(Lanjut ke Jilid 15)
Pemberontakan Taipeng (Seriall 02 - Pedang Naga Kemala)
Karya : Asmaraman S. Kho Ping Hoo

Jilid 15
mendapat jawaban dari Pek-Gan Lo-Kai yang mempersilakan tamunya masuk, Han Le diperbolehkan masuk dan dikawal oleh para penjaga menuju ke ruangan di bangunan induk. Sepasang mata Han Le menjadi agak silau ketika penerangan lampu menyambutnya di ruangan itu. Sembilan pasang mata dari mereka yang hadir di dalam ruangan itu menyambutnya dan memandangnya penuh perhatian. Tiba-tiba Eng Hui meloncat dari atas tikar, berdiri menghadapi Han Le dan berseru dengan suara galak.

"Lo-Kai, dia ini bukanlah si pakaian putih yang menjadi wakil orang kulit putih itu!" Mendengar ucapan Eng Hui, semua orang terkejut, terutama sekali lima orang yang menjadi tuan rumah. seorang yang mukanya hitam, teman Pek-Gan Lo-Kai yang berjuluk harimau Muka Hitam, sudah meloncat dan enghadapi Han Le, siap untuk menyerang, hanya tinggal menunggu komando di pengemis buta. Pek-Gan Lo-Kai juga bangkit berdiri dan menudingkan tongkatnya kepada Han Le.

"Engkau berpakaian putih dan datang dari kotaraja?" pertanyaan yang pernah diajukan ini diulang kembali sehingga Han Le merasa geli.

"Benar, akan tetapi engkau buta bagaimana bisa tahu?"

"Dan engkau mata-mata dari orang kulit putih yang dikirim ke sini?"

"Siapa bilang aku mata-mata. Ingat, orang tua, kita saling bertemu di pintu gerbang losmen dan engkau yang mengundangku ke sini, dan aku..."

"Celaka, dia tentu mata-mata Tai Peng!" Eng Hui yang sejak tadi merasa curiga, membentak marah. Han Le merasa mendongkol.

"Aku bukan mata-mata siapapun juga..." Akan tetapi Harimau Muka Hitam yang berada dekat di depannya, membentak,

"Orang muda, menyerahlah engkau!" Dan tangannya yang berjari besar dan membentuk cakar harimau itu telah menambar ke arah pundak Han Le untuk mencengkeram dan menangkap. tentu saja Han Le tidak sudi ditangkap, dan dengan sedikit miringkan tubuhnya saja dia sudah dapat menghindarkan terkaman itu.

"Tempat gila apa sih ini? Tanpa dosa tanpa perkara, aku diundang ke sini tengah malam, dan begitu muncul, aku hendak ditangkap. Enak saja!" Han Le mengomel walaupun dia tahu bahwa dia dicurigai sebagai mata-mata Tai Peng. Agaknya percuma saja dia menyangkal dan mestinya dia melarikan diri saja dan tidak mencampuri urusan mereka. Akan tetapi melihat orang-orang ini, terutama munculnya Thio Eng Hui, membuat hatinya tertarik dan orang-orang ini tentu memiliki ilmu silat tinggi, maka diapun ingin sekali menguji kepandaian mereka.

"Tak perlu bersandiwara, engkau tentu mata-mata Tai Peng!" Si muka hitam kini menerjang lagi, lebih hebat dari tadi karena dia merasa penasaran betapa mudahnya pemuda itu tadi mengelak dari sambaran cengkeraman tangannya.

Kini dia memajukan kaki kanan yang masih membentuk cakar harimau, mencakar ke arah muka Han Le sedangkan tangan kiri menyusul dengan tusukan jari terbuka ke arah perut pemuda itu. Gerakannya cepat dan juga mengandung tenaga yang amat berbahaya bagi Han Le. Namun, pemuda ini bersikap tenang saja, hanya nampak kedua tangannya bergerak cepat bukan main dan tiba-tiba Si Harimau Muka Hitam itu mengeluarkan seruan kaget, kedua lenganya lumpuh karena di sambar jari-j ari tangan yang menotok jalan darah di atas siku dan selagi kedua lengannya tergantung lemah tak berdaya, Han Le mengirim tendangan dan tubuh yang tinggi besar itupun terbanting roboh! Melihat ini, tiga orang yang lain terkejut dan mereka sudah berloncatan bangun, akan tetapi tiba-tiba Pek-Gan Lo-Kai membentak.

"Mundur! Biar aku yang menghadapinya!" Biarpun matanya buta, namun sekali menggerakkan kaki, pengemis buta itu telah berada di depan Han Le. Hal ini saja sudah menunjukkan betapa lihainya Kakek ini dan Han Lepun tidak berani memandang ringan.

"Orang muda, siapakah sebenarnya engkau? Kalau benar gagah, mengakulah saja bahwa engkau mata-mata Tai Peng!" Han Le menarik napas panjang, hatinya kesal.

"Pek-Gan Lo-Kai, engkau seorang tua yang sudah buta, sebetulnya harus dikasihani, akan tetapi sikapmu malah membikin orang jengkel. Tanpa dosa, ketika keluar dari losmen, engkau mencoba untuk menjegal kakiku, kemudian engkau bertanya apakah aku berpakaian putih dan datang dari kotaraja. Karena memang pakaianku putih dan datang dari kotaraja, tentu saja aku benarkan. Dan engkau mengundang aku datang di tengah malam begini di sini, akan tetapi hanya disambut serangan!"

"Hemm, siapa percaya omonganmu? Engkau mencurigakan dan lihai. Siapakah engkau sebenarnya?"

"Aku seorang perantau biasa, namaku Gan Han Le..."

"Dia tentu mata-mata Tai Peng!" Tiba-tiba seorang di antara tiga utusan Pangeran Kung berseru.

"Kami pernah mendengar tentang dia! Dia pernah menyelamatkan keluarga Kaisar ketika melarikan diri ke Yehol, akan tetapi kemudian dia kurang ajar dan kabarnya hendak membunuh Ibu Suri kedua. Dia buronan kami dan tentu mata-mata Tai Peng.

"Bagus, menyerahlah, orang muda!" kata Pek-Gan Lo-Kai. Kakek ini yang pada saat ini terpaksa harus berbaik dengan orang kulit putih dan kerajaan, mendengar betapa pemuda ini pelarian dan buruan tentara kerajaan, hendak mendatangkan kesan baik dengan ikut menangkapnya.

"Aku tidak sudi menyerah kepada siapapun!" Han Le balas membentak, marah sudah. Diapun ingin menguji kepandaian Kakek buta yang agaknya amat berkuasa di antara para tokoh yang hadir.

"Kalau begitu, sambutlah tongkatku!" Pek-Gan Lo-Kai menyerang.

Tongkatnya yang butut dan tidak berapa besar itu menyambar dengan cepat, berubah menjadi sinar hitam yang mengeluarkan suara angin bersiutan! Namun, Han Le dapat cepat mengelak. Ketika tongkat itu membalik dan menyambar lagi bertubi-tubi sampai tujuh kali, Han Le tetap mengelak ke sana-sini. Namun, tongkat itu menyambar terus. Ketika tongkat menyambar dengan tusukan ke arah dadanya, Han Le tidak lagi mengelak melainkan menangkis dengan totokan ke arah pundak kanan dengan maksud agar Kakek it melepaskan tongkatnya. Akan tetapi dia terkejut. Kakek itu tidak mengelak dan ketika totokannya mengenai pundak, ujung jarinya bertemu dengan daging yang demikian keras dan licin sehingga totokannya meleset dan pada saat itu tongkat sudah menyambar lagi, menghantam ke arah kepalanya! Han Le melompat ke belakang dan kini dia tidak berani main-main lagi.

Kakek ini ternyata lihai bukan main dan ketika dia balas menyerang, Kakek itu seperti memiliki mata yang awas saja, tahu ke arah mana lawan mengirim serangan sehingga dia dapat mengelak atau menangkis dengan totokannya. Han Le mulai merasa khawatir, Dia telah memasuki guha harimau yang penuh dengan harimau-harimau yang galak dan berbahaya. baru Kakek buta ini saja demikian lihainya, kalau mereka semua maju mengeroyok, dia bisa celaka. Maka, diapun tidak ingin memperpanjang perkelahian itu. Ketika Kakek itu menghantamkan lagi tongkatnya, Han Le menanti sambil mengerahkan tenaga khikangnya, lalu menyambut tongkat itu dengan dorongan kedua tangannya sambil mengeluarkan bentakan nyaring, menggunakan Ilmu Sin-houw Ho-kang, yaitu semacam ilmu serangan melalui suara yang dapat mengguncangkan jantung lawan!

"Dessss...!" Kakek buta itu terpental ke belakang, tubuhnya tergetar oleh suara melengking yang dikeluarkan oleh Han Le dan tangkisan pemuda itu amat kuat. Melihat ini, Thio Eng Hui sudah menerjang ke depan dan tangannya menampar ke arah leher Han Le. Melihat tamparan yang demikian cepat dan mendatangkan angin pukulan berat, Han Le menangkis sambil mengerahkan tenaga untuk mengundurkan lawan yang kelihatannya juga amat lihai ini.

"Dukk...!" Keduanya terkejut dan keduanya terdorong ke belakang! Han Le terbelalak memandang. kiranya gadis ini lebih kuat sinkangnya dibandingkan Kakek buta! Sungguh seorang lawan yang berat! Kini tahu-tahu gadis itu telah memegang tongkat pendek seperti pedang, kemudian menyerangnya kalang kabut dengan kecepatan yang membuat Han Le menahan napas! Diapun mengerahkan ginkangnya, untuk mengimbangi kecepatan gerakan gadis itu. Orang-orang lain termasuk Kakek buta yang mengikuti perkelahian itu dengan telinganya, mejadi kagum. Sungguh kedua orang muda itu merupakan lawan yang amat cepat gerakannya dan seimbang kekuatannya! Mereka semua tidak tahu bahwa kedua orang muda itu adalah cucu-cucu murid dari dua diantara Empat Racun Dunia.

Han Le memainkan ilmu silat tangan kosong Ngo-heng Lian-hoat yang menjadi ilmu dari Thian-tok, sedangkan Eng Hui memainkan tongkatnya dengan Ilmu Tongkat Cui-beng Hek-pang (Tongkat Hitam Pengejar Nyawa) dari Tee-tok! Melihat betapa gadis yang mereka andalkan agaknya tidak dapat dengan cepat merobohkan pemuda baju putih itu, Pek-Gan Lo-Kai menggerakkan tongkatnya kembali membantu Eng Hui. bahkan empat orang kawannnya juga siap-siap melakukan pengeroyokan, sedangkan tiga orang utusan dari Pangeran Kung sudah gatal tangan pula untuk ikut terjun dan membantu menangkap mata-mata Tai Peng yang lihai itu! Ketika Pek-Gan Lo-Kai maju dengan tongkat panjangnya, Han Le masih mampu memepertahankan diri menghadapi pengeroyokan gadis dan Kakek itu. Akan tetapi ketika empat orang pembantu Pek-Gan Lo-Kai maju,

Sedangkan tiga orang utusan kotaraja siap-siap pula dan dari luar berdatangan belasan orang anak buah Pek-Gan Lo-Kai yang tadi melakukan penjagaan, Han Le mulai merasa terkepung ketat dan keadaannya berbahaya. Dia tidak melihat lubang untuk meloloskan diri kecuali membela diri mati-matian sambil mencari kesempatan untuk membalas serangan lawan. Keadaan Han Le sungguh terancam bahaya. Biarpun dia seorang pemuda yang memiliki ilmu silat tinggi, namun para pengeroyoknya juga orang-orang yang amat lihai. Baru tingkat kepandaian Eng Hui saja sudah hampir mengimbanginya, apalagi di situ terdapat Pek-Gan Lo-Kai yang juga tangguh sekali dan para pembantunya yang cukup lihai. Kalau keadaannya sudah mengancam benar dan tidak ada jalan keluar lagi, terpaksa dia akan mencabut pistolnya dan mempergunakan senjata itu untuk meloloskan diri, pikirnya.

"Dar! Dar! Dar!..." Tiba-tiba terdengar ledakan keras tiga kali dan nampak asap di luar ruangan. Tiga orang penjaga roboh tewas seketika dan semua orang menghentikan perkelahian, terkejut memandang keluar dan ternyata ruangan itu telah terkepung oleh puluhan orang pasukan Tai Peng yang diantaranya ada yang memegang bedil! Pasukan itu dipimpin oleh dua orang laki-laki berusia hampir lima puluh tahun. Seorang tinggi kurus bermuka pucat, dan yang seorang lagi tinggi besar bermuka merah. Mereka ini bukan lain adalah Tiat-Pi Kim-Wan (Lutung Emas Berlengan Besi) dan Seng-jin Sin-touw (Maling Sakti Dewa), dua di antara tokoh-tokoh sesat yang menjadi pembantu kanan Ong Siu Coan, raja dari Tai Peng!

"Orang muda, engkau hebat juga," kata Tiat-Pi Kim-Wan kepada Han Le, senang melihat pemuda itu tadi dikeroyok oleh orang-orang yang dia tahu adalah pimpinan laskar rakyat yang memusuhi Tai Peng. Akan tetapi Han Le mengerutkan alisnya dan tidak menjawab, walaupun kedatangan orang-orang Tai Peng itu telah menyelamatkannya.

"Ha-ha, Pek-Gan Lo-Kai, engkau jembel tua bangka berani mengadakan pertemuan di sini untuk menentang Tai Peng, ya? Dan kalian bersekutu dengan orang-orang bule yang berhati palsu itu untuk mengeroyok kami? Ha-ha, tentu kalian sedang menanti datangnya mereka ini, bukan?" Dia memberi isyarat dan anak buahnya mendorong tiga orang yang terjatuh ke lantai ruangan itu, seorang laki-laki berusia empat puluh tahunan yang berpakaian serba putih, dan dua orang berpakaian sebagai kuli.

"Mereka ini mata-mata orang kulit putih yang kalian tunggu-tunggu? Ha-ha-ha! Orang-orang kulit putih telah mengkhianati kami. Lihat, inilah hukuman bagi mereka dan kalianpun seorang demi seorang, kecuali si baju putih ini yang tidak memusuhi kami, akan menerima hukuman yang sama!" Dia memberi isyarat lagi ke belakang.

"Dar! Dar! Dar!" Tiga kali bunyi tembakan, asap mengepul menggelapkan ruangan itu dan tiga orang mata-mata orang kulit putih itupun roboh mandi darah, menggelepar sekarat.

Kesempatan selagi ruangan penuh asap itu dipergunakan oleh yang memutar tongkatnya, merobohkan empat orang anggauta pasukan Tai Peng di sebelah kiri dan meloncat keluar dari ruangan. Juga Pek-Gan Lo-Kai dan teman-temannya memutar senjata menghadapi pasukan Tai Peng, mengamuk untuk meloloskan diri. Tiga orang utusan dari kota raja juga terpaksa membela diri dan mencari jalan keluar. Terjadilah pertempuran yang kacau di dalam ruangan itu. Han Le hanya berdiri di pojok, merasa ragu karena dia tidak tahu harus membantu siapa. Dia tahu bahwa Pek-Gan Lo-Kai dan teman-temannya itu adalah para pejuang rakyat yang hendak menentang Tai Peng, sedangkan gadis yang tadi disebut nona Thio Eng Hui oleh si pengemis buta jelas adalah utusan dari Suhengnya,

Yaitu Li Hong Cang yang sekarang telah menjadi bengcu atau pemimpin rakyat yang berjuang. Tiga orang itu adalah utusan dari Kerajaan Mancu. Dia tidak mau membantu kedua pihak, juga dia merasa ragu-ragu untuk membantu orang-orang Tai Peng, sebelum kedudukannya jelas di dalam kerajaan baru yang dipimpin oleh Ong Siu Coan, bekas Suheng mendiang Ayahnya itu. Maka diapun tidak mencampuri perkelahian itu. Perkelahian itu berjalan dengan seru dan Kakek pengemis buta itu memang lihai bukan main. Demikian pula tiga orang utusan dari kotaraja itupun lihai sehingga banyak pula anak buah Tai Peng yang roboh oleh mereka. dalam perkelahian yang campur aduk itu, di mana pengeroyokan dilakukan secara kacau, tidak mungkin lagi bagi para pemegang bedil untuk mempergunakan senjata api mereka,

Karena kalau hal ini dilakukan, banyak sekali bahaya akan mengenai tubuh teman sendiri. Akan tetapi, pasukan Tai Peng itu terlalu banyak jumlahnya, dan dua orang yang memimpin pasukan itu, yaitu Tiat-Pi Kim-Wan dan Seng-jin Sin-touw, juga bukan orang sembarangan, melainkan tokoh-tokoh kang-ouw yang lihai dan banyak pengalaman. Akhirnya, Pek-Gan Lo-Kai berhasil lolos keluar bersama seorang pembantunya, sedangkan tiga orang pembantunya yang lain tewas. Di pihak tiga orang utusan kotaraja, juga hanya dua orang saja lolos sambil membawa luka, sedangkan seorang lagi roboh dan tewas. Thio Eng Hui sudah lolos lebih dahulu sejak tadi. Setelah pertempuran berhenti, Tiat-Pi Kim-Wan dan Seng-jin Sin-touw lalu menghadapi Han Le dan Tiat-Pi Kim-Wan yang tadi sudah melihat kelihaian pemuda ini dan memujinya, kini bertanya dengan alis berkerut.

"Orang muda, tadi engkau dimusuhi mereka, dikeroyok dan hendak dibunuh. Mengapa setelah kami muncul membantumu engkau malah diam saja dan tidak mau membantu kami merobohkan mereka? Lihat, di antara anak buah kami banyak yang tewas dan terluka, sedangkan mereka banyak yang lolos." Han Le memandang kepada orang tinggi kurus itu dengan sikap acuh, lalu menjawab seenaknya.

"Aku tidak mengenal kalian, mengapa aku harus membantu dalam pekelahian itu?"



Pedang Naga Kemala Eps 39 Pedang Naga Kemala Eps 20 Dewi Ular Eps 14

Cari Blog Ini