Pedang Sinar Emas 18
Pedang Sinar Emas Karya Kho Ping Hoo Bagian 18
Bun Sam menggelengkan kepalanya.
"Kelak aku pasti akan naik ke gunung itu. Akan tetapi sekarang aku harus kembali ke kota raja untuk mengembalikan pedang pusaka milik kaisar ini."
Tadi ia sudah menceritakan bahwa pedang ini dicuri oleh orang jahat dan kebetulan sekali dijalan ia dapat merampasnya kembali. Kemudian Bun Sam bertanya dengan hati hati agar jangan sampai mereka ketahui bahwa sebenarnya ia menyusul mereka untuk bertanya tentang Sian Hwa.
"Lan Giok, tadi aku mendengar Bucuci dan Koai kauw jit him bicara tentang nona Sian Hwa yang lari ikut dengan kau? Apakah yang mereka bicarakan itu nona Sian Hwa puteri Bucuci? Aku dulu pernah bertempur melewati dia dan nona itu cukup lihai. Mengapa dia sekarang lari dengan kau? Betulkah itu?"
Lan Giok tersenyum, kemudian menghela napas.
"Kasihan enci Sian Hwa. Ia mulai dikejar kejar lagi oleh ayah angkatnya itu. Memang yang mereka bicarakan itu adalah enci Sian Hwa puteri angkat Bucuci dan mereka mengira bahwa enci Sian Hwa ikut dengan aku. Seperti kuceritakan tadi, memang semula ia hendak ikut dengan aku, tetapi kami berdua tertangkap dan untungnya tertolong oleh orang aneh yang merahasiakan diri itu. Kemudian, entah mengapa, enci Sian Hwa tidak jadi turut bahkan menyatakan hendak masuk menjadi nikouw di kuil Sun pok thian. Ah, kasihan gadis yang patah hati itu."
"Mengapa hendak menjadi nikouw? Bukankah ia puteri seorang bangsawan yang kaya raya dan ia murid dari Pat jtu Giam ong yang lihai?"
"Hem, mana kau tahu?" Lan Giok memandang kepada Bun Sam dan mengagumi alis mata pemuda ini yang bentuknya seperti golok. "Enci Sian Hwa telah minggat dari rumahnya karena tidak sudi dipaksa menikah dengan Liem Swee putera Pat jiu Giam ong."
Semua hal ini Bun Sam sudah mengetahui, tetapi ia berpura pura heran dan tertarik.
Hatinya kecewa karena dari Lan Giok ia tidak mendengar sesuatu yang aneh yang dapat membuka rahasia hati kekasihnya itu. Kini mendengar bahwa Bucuci dan Koai kauw jit him itu sebetulnya hendak mengejar dan menangkap Sian Hwa, hatinya menjadi makin gelisah.
"Kalian lanjutkanlah perjalananmu ke Sian hwa san, aku hendak ke kota raja lebih dulu, baru kemudian aku akan menyusul ke sana," katanya sambil bangkit berdiri setelah Thian Giok membayar harga makanan dan minuman.
Lan Giok kecewa sekali karena Bun Sam tidak mau pergi bersama mereka. Melihat kemuraman wajah adiknya, Thian Giok merasa kasihan. Setelah mereka berpisah dari Bun Sam, Thian Giok berkata,
"Adikku, kau tunggu sebentar di sini, aku mau bicara penting dengan dia!" Ia lalu kembali dan mengejar Bun Sam yang belum pergi jauh.
Mendengar panggilan Thian Giok, Bun Sam berhenti.
"Bun Sam, jangan kau lama lama pergi. Lekaslah menyusul kami di Sian hwa san. Sebetulnya, ayah hendak bicara dengan kau mengenai urusan perjodohanmu dengan adikku Lan Giok."
"Apa"??" Bun Sam memandangnya dengan mata terbelalak.
Tak terasa ia memandang ke arah Lan Giok yang berdiri agak jauh dari situ. Gadis ini tidak mendengar apa yang dibicarakan oleh Thian Giok kepada Bun Sam, maka ia memandang dengan penuh perhatian. Gadis itu nampak cantik sekali tertimpa sinar matahari pagi, cantik dan manis dengan potongan tubuhnya yang ramping.
"Semua sudah setuju dengan perjodohan itu," kata Thian Giok pula dengan hati geli ketika ia melihat Bun Sam memandang ke arah adiknya, "bahkan guruku telah pergi ke Oei san untuk membicarakan urusan ini dengan Kim Kong Taisu. Pendeknya, pertunanganmu dengan Lan Giok telah diresmikan oleh orang orang tua."
"Apakah dia". sudah tahu tentang pertunangan ini?" tanya Bun Sam bagaikan dalam mimpi. Maksud pemuda ini ialah apakah Sian Hwa sudah tahu tentang pertunangan itu, tetapi tentu saja Thian Giok mengira bahwa Bun Sam maksudkan adalah Lan Giok.
"Tentu saja, adikku merasa beruntung sekali. Tidakkah kau melihat betapa ia mencintamu?"
Bersinar mata Bun Sam dan Thian Giok mengira bahwa pemuda ini merasa girang. Sebetulnya Bun Sam hanya merasa lega karena kini tahulah ia akan rahasia kekasihnya.
Tak salah lagi, Lan Giok tentu sudah memberi tahu kepada Sian Hwa tentang pertunangan itu, sehingga kekasihnya itu menjadi putus harapan dan mengalah. Alangkah halus budi Sian Hwa. Gadis kekasihnya itu mengalah dan rela berpisah dari dia setelah tahu bahwa Bun Sam telah ditunangkan dengan Lan Giok.
"Jangan lama lama kau pergi, Bun Sam. Kami menanti di Sian hwa san," sekali lagi Thian Giok berkata.
Seperti seorang linglung, Bun Sam hanya mengangguk, kamudian berkata singkat,
"Selamat berpisah."
Lalu ia melompat dan sekejap mata saja ia sudah lenyap dari depan Thian Giok, membuat murid Mo bin Sin kun ini merasa heran dan kagum.
"Kau bilang apa padanya?" tanya Lan Giok.
Thian Giok tertawa. "Tidak apa apa, hanya aku pesan jangan dia terlalu lama pergi karena tunangannya menanti nanti dengan hati rindu."
Merah muka Lan Giok, demikian jengah dia sehingga untuk sesaat tidak dapat menjawab godaan kakaknya.
"Aku bilang bahwa dia sudah bertunangan denganmu, bukankah itu baik sekali?"
Tak dapat lagi Lan Giok kali ini bercekcok dengan kakaknya, maka tanpa bilang sesuatu, ia lalu lari melanjutkan perjalanannya.
Thian Giok mengejar sambil tersenyum senyum, hatinya penuh kebahagiaan melihat adiknya berhati girang dan bahagia.
Sesosok bayangan hitam yang gesit sekali nampak berlompat lompatan di atas wuwungan gedung gedung dan bangunan istana yang megah. Bayangan ini bukan lain adalah Bun Sam yang bermaksud mengembalikan pedang Pek lek kiam sebagaimana yang dipesan oleh mendiang Bu tek Kiam ong.
Dengan kepandaian ginkangnya yang sudah mencapai tingkat tinggi sekali, Bun Sam dapat melewati penjaga penjaga dan pengawal pengawal disekitar istana yang mewah dan kini pemuda ini menjadi kagum dan bingung. Ia merasa kagum karena bangunan bangunan istana itu benar benar luar biasa indahnya, semua terukir dan semua mengandung hasil seni yang bermutu tinggi.
Bahkan wuwungan rumah saja sampai diukir dan dihias dengan tata warna yang demikian indahnya. Benar benar pemuda itu merasa heran dan kagum sekali. Akan tetapi ia merasa bingung karena ke manakah ia harus mengembalikan pedang Pek lek kiam itu? Ia tidak tahu di mana adanya gudang pusaka kerajaan dan tidak tahu pula bagaimana ia dapat menghadap atau menemui kaisar untuk mengembalikan pedang itu.
Lampu lampu penerangan di kelompok gedung istana itu sangat banyak, sehingga keadaan menjadi terang seperti siang. Ketika Bun Sam menuju ke bagian barat dan sedang berdiri di wuwungan sambil memandang ke bawah, tiba tiba ia mendengar suara seorang wanita sedang marah marah.
Karena ingin tahu apa yang terjadi dan siapa yang bicara, Bun Sam lalu melompat ke arah suara itu dan ternyata suara itu datang dari sebuah taman bunga yang tidak berapa besar, akan tetapi amat indah.
Pohon pohon yang liu dan pohon pohon kembang yang tertanam di situ semua terpelihara baik baik tak nampak sehelaipun daun kering menempel di pohon, agaknya setiap hari dibersihkan orang, juga cara menanamnya, teratur.
Di tengah tengah taman itu terdapat sebuah panggung tinggi yang dicat merah dan di sekeliling panggung terdapat lampu teng yang amat mungil. Di sebelah kanan panggung, yakni di bawah, terdapat empang teratai yang berair jernih. Daun daun teratai yang lebar itu nampak terapung di permukaan air, dihias oleh kembang teratai berwarna merah dan putih.
Ikan ikan emas berenang ke sana ke mari di kanan kiri kembang kembang teratai kadang kadang kepalanya muncul di permukaan air menimbulkan suara gemercik atau secara main main melompat ke permukaan air, sehingga untuk sekilas nampak perut ikan yang putih bagai perak.
Panggung itu lebar dan berbentuk bundar. Lantainya bersih mengkilat, akan tetapi tetap saja di tilami permadani dari Negeri Barat yang indah dan tebal. Bun Sam melihat tujuh orang wanita muda muda dan cantik cantik duduk berkeliling di pinggir panggung, sedangkan di tengah tengah panggung nampak seorang gadis yang luar biasa cantiknya tengah bicara marah marah kepada seorang laki laki muda yang juga amat tampan dan berpakaian amat mewah.
"Mengapa kau begitu pengecut?" gadis cantik itu berkata dengan alis berdiri, tangan kiri bertolak pinggang, sedangkan tangan kanannya dengan telunjuknya yang runcing itu menuding ke arah hidung pemuda tampan tadi.
"Kaulihat saja, aku besok akan pulang ke utara dan memberi tahu kepada ayah. Betapapun juga, pernikahan harui dilakukan di utara, bukan di sini."
Setelah berkata demikian, dengan sikap manja gadis itu membanting banting kaki kanannya.
Pemuda itu tertawa, lalu berkata merayu,
"Kalau kau marah marah kau makin cantik saja. Lihat matamu menjadi seperti warna Telaga Sihu! Kebiru biruan, ah, alangkah indahnya."
Gadis itu nampak girang mendapat pujian ini,
"Laki laki pembujuk. Kau kira dengan rayuanmu ini aku akan menyerah saja? Tidak, kalau kau begitu pengecut untuk memberitahukan ayahmu bahwa aku menghendaki upacara pernikahan di utara aku tidak mau menikah dengan kau!"
"Ah, sudahlah. Aku bersumpah untuk memberitahukan ayah besok. Kau jangan marah marah, manis."
Setelah berkata demikian, dengan mesra pemuda itu mengelus pipi gadis itu yang kini benar benar telah mereda marahnya.
"Betapapun juga, besok aku akan pulang dulu untuk mempersiapkan segala peralatan pernikahan," katanya.
Tujuh orang wanita muda yang duduk bersimpuh di panggung itu, saling lirik dengan tersenyum senyum, tetapi dua orang muda yang berdiri itu tidak memperdulikan mereka, sambil berpegangan tangan mereka saling memandang dengan mata mencintai.
Merahlah wajah Bun Sam yang mengintai. Ia disuguhi adegan yang membuat hatinya perih dan pikirannya melayang layang, teringat kepada Sian Hwa. Ia merasa malu sendiri mengapa ia mengintai adegan seperti itu.
Dengan gugup ia hendak pergi dari situ. Karena pikirannya melayang terkenang kepada Sian Hwa, ia berlaku kurang hati hati dan tanpa disengaja ia tertendang ujung wuwungan panggung itu, sehingga pecah dan mengeluarkan bunyi nyaring.
Terkejutlah semua orang di atas panggung itu. Sikap gadis dan pemuda itu berobah dan kini mereka nampak tangkas sekali. Dengan gerakan yang cepat, gadis itu melompat ke pinggir dan tahu tahu ia telah menghunus pedang yang tadi dipegang oleh seorang di antara tujuh pelayannya. Adapun pemuda itupun kini telah mencabut sepasang siang kiam (sepasang pedang).
"Orang yang di atas genteng, turunlah! Kalau tidak, sekali berteriak saja tempat ini akan terkepung oleh semua penjaga dan kau akan dipenggal lehermu. Dihadapan kami mungkin kau akan mendapat ampun!" gadis itu berseru keras dan kini suaranya yang tadi terdengar merdu sekali itu berobah menjadi nyaring dan keras.
Mendengar ini, Bun Sam berpikir. Ia tentu saja tidak takut akan ancaman itu, tetapi mengapa harus menimbulkan ribut ribut? Ia datang tanpa maksud buruk, hanya untuk mengembalikan pedang dan mendengar percakapan tadi, dua orang muda di bawah itu bukanlah orang sembarangan.
Siapa tahu dengan perantaraan mereka, ia dapat mengembalikan pedang kepada tangan yang berhak. Ia menjaga jangan sampai pedang itu terjatuh ke dalam tangan jahat.
Tanpa ragu ragu lagi, ia lalu melayang turun dan merupakan bayangan yang ringan dan lincah sekali. Tahu tahu semua orang yang berada di panggung itu melihat seorang pemuda berpakaian sederhana telah berdiri di hadapan gadis dan pemuda tadi.
Bun Sam melihat pemuda itu sebaya dengan dia, berwajah agung dan tampan sekali, juga pakaiannya mewah, gadis itu memandang kepadanya, dengan heran dan kagum Bun Sam melihat sepasang mata yang kebiru biruan! Ia merasa heran dan kagum karena memang mata itu berbeda sekali dengan mata orang biasa, tentu saja ia lebih suka akan mata Sian Hwa yang hitam mulus dan bening! Ia lalu menjura dengan hormat, lalu berkata,
"Maaf kalau aku mengganggu. Aku datang bukan dengan maksud buruk."
"Berlutut!" tiba tiba seorang di antara para wanita pelayan tadi membentaknya.
"Berani kau berlaku tidak sopan di hadapan Ong ya?"
Bun Sam terkejut. Sebutan Ong ya ini membuat ia teringat bahwa kaisar mempunyai seorang putera dari selir yang bernama Kian Tiong yang sebutannya juga Ong ya. Jadi pangerankah pemuda ini? Akan tetapi, dia tidak mau berlutut, jangankan di depan seorang pangeran Kaisar Mongol, biarpun pangeran bangsanya sendiri pun belum tentu ia mau berlutut dalam keadaan seperti sekarang!
Tiba tiba pelayan wanita itu yang tadinya bersimpuh, mencelat tubuhnya dan menyerang ke arah dua kaki Bun Sam. Itulah serangan Bi jin hwa (Gadis Cantik Mencari Bunga), sebuah jurus serangan dari Ilmu Silat Bi jin kun yang lihai.
Akan tetapi biarpun serangan ini mengejutkan hati Bun Sam karena tidak disangka sangkanya seorang gadis pelayan dapat memiliki kepandaian setinggi itu, namun terhadap pemuda ini tidak ada artinya sama sekali.
Gadis itu berhasil memegang kedua kaki pemuda itu yang hendak ditariknya supaya Bun Sam jatuh berlutut, akan tetapi biarpun ia mengerahkan tenaganya, tak juga kaki itu dapat ditarik. Pelayan itu masih terus membetot dan menarik sampai napasnya krenggosan, akan tetapi sia sia saja. Bun Sam hanya menundukkan muka memandangnya sambil tersenyum.
Ketika pelayan itu berdongak dan melihat wajah tampan itu tersenyum kepadanya, lemaslah hatinya dan makin hilang tenaganya. Dengan muka merah saking malu dan jengah, ia lalu mundur lagi dan duduk seperti tadi.
Kian Tiong tertawa terbahak bahak, lalu menghampiri Bun Sam.
"Siapakah kau, orang gagah? Dan keperluan apakah yang membawamu datang ke tempat ini? Tahukah kau bahwa baik atau buruk maksud kedatanganmu ini, kau tetap saja sudah melakukan pelanggaran! Tempat ini adalah tempat terlarang."
Bun Sam memandang tajam, lalu bertanya,
"Benarkah aku berhadapan dengan Pangeran Kian Tiong?"
Pemuda itu mengangguk. Sepasang pedangnya masih di tangan, karena ia masih curiga dan takut kalau kalau mendapat serangan mendadak.
"Memang benar dan nona ini adalah tunanganku, puteri dari Raja Suku Bangsa Semu. Kaulihat, kau berhadapan dengan putera puteri raja besar, mengapa kau tidak memberi hormat selayaknya?" Pertanyaan ini lebih bersifat perasaan heran dari pada teguran.
Bun Sam kembali menjura. "Maafjkan aku, Ong ya. Aku tidak biasa menghormat sambil berlutut, kecuali kepada guruku dan kepada mendiang orang tuaku. Kiranya tidak perlu kuperkenalkan diri cukup kalau kuberitahukan maksud kedatanganku. Aku datang hendak mengembalikan ini!" Ia melolos pedang Pek lek kiam dari sarangnya dan pangeran itu terkejut sekali sampai ia melompat mundur dan wajahnya berobat pucat.
"Pek lek kiam! Jadi kau pencurinya??"
"Bukan, Ong ya, bukan aku pencurinya. Aku yang merampasnya dari tangan pencuri itu, seorang kakek tua gila yang kini sudah meninggal dunia."
Nampak pangeran itu menjadi lega, lalu ia menerima pedang itu dan memeriksanya. Setelah mendapat kenyataan bahwa benar benar itu adalah pedang Pek lek kiam, ia berkata, "Sahabat yang gagah, siapakah kau?"
"Namaku Song Bun Sam, seorang perantau biasa saja."
"Bagus, sekarang aku teringat. Bukankah kau murid dari Kim Kong Taisu yang beberapa tahun yang lalu pernah menimbulkan keributan di kota raja?" Pangeran ini memandang tajam.
Bun Sam tersenyum. "Jadi Ong ya sudah pula mendengar obrolan Panglima Bucuci? Memang, aku pernah ribut ribut dengan panglima itu, bahkan kemarin dulu pun aku bentrok dengan dia dan kawan kawannya. Akan tetapi, hal itu tidak ada sangkut pautnya dengan soal mengembalikan pedang ini."
Pangeran Kian Tiong mengangguk angguk. "Song Bun Sam, kau benar benar tabah sekali, aku terpaksa harus mengakui dan memuji keberanian mu. Tetapi kau terlalu lancang. Betapapun juga, aku paling suka akan kegagahan, maka aku maafkan kelancanganmu ini. Besok datanglah ke istana, aku akan mintakan hadiah untukmu kepada kaisar."
Bun Sam menggelengkan kepalanya.
"Ong ya, orang seperti aku yang tidak membutuhkan sesuatu, hadiah dari kaisar untuk apakah? Tidak, aku tidak mengharapkan hadiah karena sesungguhnya peristiwa pencurian pedang ini telah mendatangkan keuntungan besar sekali kepadaku. Nah, selamat tinggal Ong ya dan kau juga, nona!"
Ia menjura, akan tetapi sebelum ia melompat pergi, terdengar nona itu berkata,
"Tahan dulu!" Suaranya amat berpengaruh seperti suara seorang yang sudah biasa memberi perintah. Bun Sam menahan gerakan kakinya dan memandang.
Nona itu menggerakkan pedang yang dipegangnya tadi yang ternyata adalah sebatang pedang yang bentuknya agak aneh, karena pedang itu di bagian tengah tengah melebar, sehingga bagian tengah itu lebih lebar daripada bagian gagang atau ujungnya.
Cahayanya kebiruan seperti warna matanya dan ketika gadis itu menggerak gerakkannya, bersiutanlah angin yang dingin. Diam diam Bun Sam memuji gadis ini yang biarpun nampak demikian lemah lembut dan cantik jelita, ternyata memiliki tenaga dalam yang lihai juga.
"Luilee, jangan kau main main, dia adalah murid Kim Kong Taisu yang lihai!"
Pangeran Kian Tiong agaknya sudah dapat menerka maksud hati tunangannya itu. Akan tetapi Luilee, gadis cantik itu, hanya tersenyum kepada tunangannya dan kemudian ia melangkah maju menghadapi Bun Sam sambil memandang dengan matanya yang berwarna biru itu.
Setelah nona itu mendekat, diam diam Bun Sam harus mengakui bahwa biarpun warna mata itu aneh, akan tetapi kalau dipandang pandang toh memiliki keindahan tersendiri.
Sinar mata itu demikian lembut dan ia percaya bahwa mata ini dapat memandang dengan mesranya, sehingga tidak aneh kalau pangeran itu telah jatuh betul betul di bawah kaki gadis cantik ini.
"Song Bun Sam, ketahuilah bahwa aku semenjak kecil amat suka akan ilmu silat pedang dan telah mempelajari ilmu pedang keturunan dari ayahku. Sekarang mendengar bahwa kau adalah murid dari Kim Kong Taisu yang lihai, sebelum kau pergi harap kau suka memberi sedikit petunjuk agar ilmu pedangku bertambah baik."
Ia memandang kepada Kian Tiong dan berkata halus, "Beri pinjam Pek lek kiam itu kepadanya!"
Akan tetapi sebelum Kian Tiong memberikan pedang itu, Bun Sam sudah mengeluarkan Kim kong kiam yang bercahaya keemasan. Pemuda ini merasa gembira dan berkata,
"Tentu saja aku bersedia untuk melayani kehendak siocia. Pedangku ini adalah Kim kong kiam, pemberian suhu Kim Kong Taisu. Akupun sering kali mendengar bahwa ilmu pedang dari keluarga Raja Semu adalah tinggi sekali, maka harap siocia tidak berlaku sungkan dan merendah."
Panggung itu memang luas dan cukup lebar untuk dipakai pibu, Luilee, puteri Semu yang cantik. Setelah tersenyum manis kepada tunangannya, lalu berseru nyaring dan tiba tiba pedangnya berkelebat merupakan segulung sinar kebiruan, menyambar ke arah dada Bun Sam dengan sebuah tusukan yang dilakukan dengan gaya indah sekali.
Pemuda ini menangkis dengan Kim kong kiam dan sengaja ia tidak menggunakan tenaga. Dalam benturan pedang ini, ia mendapat kenyataan bahwa pedang biru di tangan nona itu adalah sebatang pedang mustika yang baik sekali dan sekaligus ia pun tahu bahwa lweekang dari nona Bangsa Semu ini tingkatnya masih kalah oleh Sian Hwa apalagi kalau dibandingkan dengan Lan Giok, masih kalah jauh.
Akan tetapi setelah Luilee menyerangnya lagi dengan tusukan dan bacokan bertubi tubi yang cepat sekali datangnya, pemuda ini tahu bahwa ilmu pedang dari nona ini mengandalkan kegesitan dan ternyata dalam hal ginkang, agaknya nona ini tidak kalah oleh Sian Hwa. Ia melayani dengan sengaja mengalah dan tidak membalas, sehingga pertempuran ini nampaknya ramai sekali.
Berkali kali Pangeran Kian Tiong memuji, pangeran ini kepandaiannya sudah lebih tinggi dari tunangannya maka tentu saja ia tahu bahwa Bun Sam selalu mengalah.
Betapapun juga, pemuda bangsawan ini amat kagum melihat gerakan tubuh tunangannya yang memang bersilat dengan gaya yang amat indah, seakan akan sedang menari nari.
Biarpun memiliki ilmu pedang yang cukup lihai, namun sebagai seorang puteri yang manja, Luilee tak pernah berlatih diri sampai lama, sehingga ia tidak memiliki napas panjang dan keuletan, maka baru menyerang tigapuluh jurus saja, peluhnya telah membasahi tubuhnya!
Bun San tahu akan hal ini dan ia merasa kasihan. Dengan gerakan cepat sekali ia lalu memutar pedangnya. Putaran ini mengandung tenaga cam (melibat), maka seketika itu juga pedang biru di tangan Luilee ikut terputar tanpa dapat dicegah lagi.
Ketika Bun Sam berseru perlahan, tahu tahu pedang biru itu terlepas dari pegangan Luilee dan meluncur lurus ke atas, lalu menancap pada langit langit panggung yang terbuat dari papan. Pedang itu menancap keras dan gagangnya bergoyang goyang sambil mengeluarkan suara mengaung!
Bukan main kagumnya Luilee menyaksikan ini. Mulutnya yang manis dan kemerahan itu berseru, "Bagus sekali! Hebat ilmu pedangmu, Song Bun Sam!"
"Kiam hoatmu indah sekali gayanya, siocia." Bun Sam balas memuji.
Pada saat itu Pangeran Kian Tiong memasukkan tangannya ke dalam saku bajunya, menariknya keluar lagi dan seperti menggenggam sesuatu. Kemudian ia menggerakkan tangannya memukul ke arah pedang biru yang menancap di langit langit panggung itu.
Nampak sinar merah keluar dari tangannya itu, melibat gagang pedang dan sekali tarik saja pedang itu telah tercabut dan jatuh ke bawah, disambut dengan tangkasnya oleh pangeran muda itu!
Bun Sam memuji. Ia tahu bahwa sinar merah tadi adalah sehelai tali sutera atau ang kin (sabuk merah) yang dapat dipergunakan sebagai senjata mengandalkan tenaga lweekang.
Pangeran itu berkata kepada Bun Sam,
"Biarpun kau tidak memperlihatkan kepandaianmu yang sesungguhnya dan berlaku mengalah, akan tetapi aku dapat melihat bahwa kepandaian ilmu pedang dari Song taihiap benar benar mengagumkan sekali. Agaknya kalau dibandingkan dengan kepandaian murid murid Pat jiu Giam ong dan Lam hai Lo mo, akan ramai sekali. Alangkah senangku kalau aku dapat menyaksikan pertandingan antara kau dan mereka, pasti ramai luar biasa!"
"Aku dulu sering mendengar dongeng dari inang pengasuhku ketika aku masih kecil bahwa di Tiong goan terdapat banyak kiam hiap (pendekar pedang) yang memiliki pedang terbang. Ternyata sekarang bahwa semua itu adalah bohong semata. Memang seperti Song taihiap ini ilmu pedangnya hebat, akan tetapi toh tidak mungkin dia bisa membikin pedangnya terbang bersama dirinya seperti yang sering kali didongengkan oleh inang pengasuh ku dulu," kata Luilee.
"Terbang? Manusia tidak mempunyai sayap seperti burung, bagaimana bisa terbang? Apalagi pedang!" kata Pangeran Kian Tiong sambil tersenyum.
"Aku mendengar bawa katanya ada kiamhiap kiamhiap yang dapat membikin tubuhnya bersatu dengan pedang yang terbang sehingga dalam sekejap mata saja dapat mencukur sebatang pohon, sehingga rata daun daunnya. Tak tahunya semua itu hanya obrolan kosong belaka."
Terbangun semangat Bun Sam mendengar ini Dia adalah seorang Han dan kini mendengar betapa pendekar pendekar pedang Bangsa Han diejek oleh dua orang asing, yakni seorang puteri Semu dan seorang putera Mongol. Ia suka kepada dua orang muda bangsawan ini yang berbeda dengan bangsawan bangsawan lain sikapnya, tetapi ia hendak memperlihat kan bahwa orang orang Han tidak boleh dipandang rendah begitu saja. Maka ia lalu menjura dan berkata,
"Biarpun tidak mungkin bagi seorang manusia atau sebatang pedang yang tidak bersayap untuk terbang seperti burung, tetapi kalau ji wi (tuan berdua) menghendaki agar pohon di dalam taman sini dibabat daun daunnya, kiranya aku masih sanggup melakukannya!"
Luilee memandang dengan matanya yang biru terbelalak lebar membuatnya nampak makin cantik.
"Benarkah? Bagus! Song Bun Sam, coba menolongku. Kaulihat pohon cemara yang gemuk dan daunnya penuh itu? Kaubabatlah sampai rata dan bikin dalam bentuk apa saja, asal rata dan rapi."
Bun Sam memandang Le arah pohon cemara itu. Itu adalah semacam pohon cemara yang tinggi dan besar, daunnya banyak sekali menjulang ke sana ke mari. Bukan pekerjaan mudah untuk membabat ujung ujung daun yang tidak rata itu, tetapi Bun Sam dengan tenang lalu berjalan ke bawah pohon, diikuti oleh sepasang orang muda bangsawan itu.
"Maafkan aku memperlihatkan kebodohanku."
Bun Sam menjura dan sebelum kedua orang muda itu sempat menjawab, tubuhnya telah berkelebat ke atas dengan pedang Kim kong kiam di tangannya.
Sekejap kemudian, baik Kian Tiong maupun Luilee berdiri bengong seperti patung. Selama hidupnya belum pernah mereka menyaksikan pemandangan seperti yang sekarang mereka hadapi. Mereka melihat sinar kuning emas berkelebatan ke sana ke mari di atas pohon dan sambil mengelirkan suara berisik, daun daun berhamburan jauh melayang ke bawah, juga daun daun kecil. Tidak kelihatan bayangan Bun Sam. yang nampak hanya sinar kuning emas itu berkilauan di dalam gelap malam. Di mana saja sinar itu tiba, dahan dahan kecil dan daun daun pohon itu tentu berhamburan jatuh.
"Hebat...." Luilee berkata menahan napas.
"Betul betul lihai sekali...." bisik Pangeran Kian Tiong.
Sampai lama Bun Sam bekerja, makin cepat tubuhnya bergerak, makin hebat pula sinar pedang itu berkilauan dan makin banyak dahan dan daun daun yang jatuh. Pemuda ini tidak mau bekerja kepalang tanggung.
Maka dengan mata terbelalak, Luilee dan Kian Tinng melihat betapa pohon itu dibabat demikian rupa, sehingga kini berbentuk tubuh seorang manusia, lengkap dengan kepala, pundak dan pinggangnya.
Pedang Sinar Emas Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Ya, Buddha Yang Mulia! Itulah engkau, Luilee,.....!" Pangeran itu berkata sambil memegang tangan tunangannya.
"Benar," kata Luilee dengan dada berdebar debar, "aku takkan percaya kalau tidak menyaksikan dengan kedua mataku sendiri."
Tak lama kemudian, Bun Sam melompat turun dan telah berdiri di depan sepasang orang muda bangsawan itu sambil tersenyum. Pedang Kim kung kiam telah disimpannya kembali.
"Kiam hoatmu hebat sekali, Song taihiap!" kata Kian Tiong dengan kagum sedangkan Luilee memandang kepada Bun Sam dengan mata penuh pujian. "Aku menarik kembali omonganku tadi, tidak ingin melihat kau bertanding melawan murid murid Pat jiu Giam ong dan Lam hai Lo mo, akan tetapi tentu akan hebat sekali kalau kau beradu pedang dengan dua orang tua itu."
"Kau telah menggembirakan hati kami dan kau berjasa mengembalikan pedang. Katakan saja, Song taihiap, apa yang kauinginkan? Kami akan membantumu sedapat mungkin, bukankah begitu, pangeranku yang baik?" Luilee berkata dengan senyumnya yang manis.
Kemudian Bun Sam menjura kepada kedua orang muda bangsawan itu.
"Aku hanya mempunyai dua macam permintaan, harap ji wi sudi menolongku, ini pun kalau kiranya ji wi sedia."
"Katakanlah, katakanlah! Apa permintaanmu itu?" tanya Luilee dan pandangan matanya yang indah itu bersinar sinar, membuat Pangeran Kian Tiong mengerut keningnya dengan hati cemburu, kemudian ia menyentuh lengan puteri cantik itu. Luilee melengak dan melihat pandangan mata tunangannya, ia tersenyum dan mengerling tajam dengan mulut cemberut, seakan akan ia hendak menyatakan tak senangnya melihat kekasihnya cemburu.
Melihat ini, pangeran itu tersenyum lagi dan menghadapi Bun Sam,
"Orang gagah, kau katakanlah, apa dua macam permintaan itu?"
"Pertama tama, mengharap kebijaksanaan ji wi untuk menggunakan kekuasaan dan pengaruh agar segala macam tindasan dan kekejaman yang dilakukan kepada rakyat terutama Bangsa Han, dapat dihentikan."
Kian Tiong dan Luilee saling memandang.
"Song Bun Sam, permintaanmu yang pertama ini memang pantas tetapi aku sangsi apakah kami akan dapat memenuhinya. Kau tentu maklum sendiri bahwa bukan pemerintah kami yang sebetulnya bersifat ganas terhadap bangsamu, melainkan orang orang yang melaksanakan tugas pekerjaannya, orang orang yang menamakan diri sendiri pembesar, akan tetapi jiwanya tidak besar, orang orang yang menamakan dirinya pemimpin tetapi sebetulnya hanya uang yang mereka pimpin, memasuki kantungnya sendiri. Bagaimana aku dapat menghentikan perbuatan perbuatan jahat dari demikian banyak orang? Akan sama sukarnya dengan menghentikan aliran Sungai Hoang ho!"
Bun Sam menarik napas panjang. Ia dapat mengerti kata kata pangeran ini.
"Betapapun juga, aku percaya bahwa kau akan dapat mengurangi penderitaan rakyat, biar dengan jalan bagaimanapun," kata pemuda ini.
"Baiklah, Soag Bun Sam, akan kuusahakan sedapat mungkin." Jawaban inilah yang membuat Pangeran Kian Tiong kelak menjadi seorang pangeran yang sering kali mengadakan perjalanan dalam penyamaran.
"Dan apakah permintaanmu yang ke dua?" tanya Luilee.
Ditanya demikian, tiba tiba Bun Sam menjadi merah sekali mukanya. Pemuda ini amat mengkhawatirkan keadaan Sian Hwa, kekasihnya yang melarikan diri. Kalau saja Sian Hwa sudah berada di sebelahnya, ia tidak akan takut menghadapi siapapun juga yang akan mengganggu Sian Hwa.
Akan tetapi, gadis kekasihnya itu kini entah berada di mana, merantau seorang diri dan ia tahu bahwa Bucuci masih penasaran dan selalu akan melakukan pengejaran terhadap anak angkatnya itu. Dan di dalam urusan mencari Sian Hwa, tentu saja ia takkan dapat menang melawan Bucuci yang mempunyai kaki tangan di seluruh kota kota dan dusun dusun!
"Permintaanku yang ke dua...." Hingga di situ sukarlah kata kata keluar dari mulutnya dan wajahnya makin memerah, akan tetapi Bun Sam dapat menetapkan hatinya dan berkata dengan lancar, "yakni aku hendak mohon pertolongan ji wi untuk menggunakan kedudukan dan pengaruh untuk menekan Panglima Bucuci agar panglima itu tidak akan memaksa puterinya menikah dengan putera dari Liem goanswe!"
Kalau permintaan pertama tadi mengherankan Lian Tiong dan Luilee, tetapi permintaan ke dua ini amat mengejutkan mereka. Permintaan ini bukanlah urusan main main!
Menghadapi Panglima Bucuci masih terhitung soal mudah, akan tetapi bagaimana kalau menghadapi Liem goanswe? Kecuali kaisar sendiri, orang di seluruh negeri takut kepada Liem goanswe!
"Sungguh aneh, sungguh menarik!" seru Luilee. "Song Ban Sam, mengapa kau minta kepada kami untuk melarang puteri Panglima Bucuci menikah dengan putera Liem goanswe?"
"Karena puteri itu tidak suka kepada putera Liem goanswe, dan sekarang gadis itu telah melarikan diri, karena tidak sudi dipaksa menikah dengan pemuda itu. Dan Panglima Bucuci tengah berusaha mencari gadis itu untuk dipaksa menikah dengan putera Liem goanswe!"
Luilee membelalakkan kedua matanya.
"Hebat hebat! Gadis itu sampai minggat karena tidak mau dikawinkan dengan putera Liem goanswe?? Aneh, aneh sekali! Putera Liem goanswe adalah seorang pemuda yang tampan, gagah dan memiliki kepandaian yang amat tinggi dalam ilmu silat. Ayahnya seorang pembesar, kaya raya, berpangkat tinggi. Mengapa gadis itu sampai menolak dan nekad melarikan diri?"
Sepasang mata kebiruan yang amat tajam itu menentang muka Bun Sam, penuh perhatian, sehingga pemuda ini dengan gagap berkata,
"Karena.... karena ia tidak suka kepada pemuda itu. Kukira demikianlah sebabnya!"
"Permintaanmu yang ke dua ini benar benar mustahil, Song Bun Sam," kata Pangeran Kian Tiong. "Urusan pernikahan adalah urusan dalam dari keluarga Bucuci, bagaimana kami dapat mencampurinya? Memang bisa saja kami melihat kalau kalau terjadi sesuatu yang tidak beres, kami dapat menegur. Akan tetapi, kepada siapa saja Panglima Bucuci mengawinkan puterinya, kami bisa berbuat apakah? Apa lagi hendak dinikahkan dengan putera Liem goanswe! Tahukah kau siapa Liem goanswe? Dia adalah Pat jiu Giam ong yang kepandaiannya tiada taranya di dunia ini. Siapa yang berani main main dengan kumis harimau?"
Bun Sam tersenyum. Tentu saja ia kenal siapa adanya Liem goanswe atau Pat jiu Giam ong, maka ia menarik napas panjang.
"Sudahlah, akupun tidak memaksa kalau sekiranya ji wi tidak melihat jalan untuk memenuhi permintaanku yang ke dua itu, tidak apalah, kutarik kembali. Adanya aku minta pertolongan ji wi, karena mengingat bahwa gadis itu bukanlah puteri Bucuci yang aseli, melainkan anak pungut belaka."
Kemudian ia menjura lagi kepada kedua orang muda bangsawan itu sambil berkata,
(Lanjut ke Jilid 23)
Pedang Sinar Emas/Kim Kong Kiam (Serial Pedang Sinar Emas)
Karya : Asmaraman S. Kho Ping Hoo
Jilid 23
"Nah, selamat tinggal dan terima kasih atas segala kebaikan ji wi yang mulia."
"Eh nanti dulu, Bun Sam!" Luilee mencegah ia pergi. "Siapakah namanya gadis itu?"
"Namanya Can Sian Hwa...." ketika menyebutkan nama ini terbayanglah wajah Sian Hwa, dan Bun Sam menjadi berduka.
"Song Bun Sam karena aku ingin sekali menolongmu dan gadis itu, katakanlah terus terang. Apakah hubunganmu dengan Can Sian Hwa ini?" tanya Luilee sambil memandang tajam. Sebagai seorang wanita, perasaannya halus sekali dan menghadapi perkara ini, ia lebih tersinggung dan terharu daripada Pangeran Kian Tiong.
Puteri ini dapat menyelami jiwa Sian Hwa dan ia maklum bahwa kalau seorang puteri bangsawan sampai melarikan diri atau membunuh diri dalam sebuah pernikahan sebab satu satunya hanyalah bahwa puteri itu tentu lelah memiliki pujaan hatinya sendiri.
Tentu saja Bun Sam menjadi kebingungan ketika menerima pertanyaan ini. Bagaimana ia harus menjawab?.
"Hubungan kami? Ah.... kebetulan sekali ayahnya dahulu adalah kawan ayahku.... dan.... dan semenjak kecil kami sudah saling berkenalan....."
Setelah berkata demikian ia terbatuk batuk kecil, batuk yang disengaja untuk menyembu nyikan kegugupan dan kelikatannya.
"Song Bun Sam kau tidak berterus terang! Aku ingin menolong dia akan tetapi hanya karena memandangmu. Aku ingin mendapat kepastian dan percayalah aku akan dapat menolongnya," kata Luilee mendesak.
Bun Sam sudah menjura lagi dan cepat ia melompat ke atas genteng dan kini hanya terdengar suaranya saja dari atas genteng,
"Biarlah aku mengaku. Hubungan kami adalah sama dengan hubungan ji wi (tuan berdua)." Lalu pemuda gagah ini melompat pergi!
Kian Tiong dan Luilee saling pandang. Pangeran itu tersenyum karena merasa lucu mendengar hal Song Bun Sam itu, akan tetapi sebaliknya Luilee memandang kepada tunangannya dengan mata basah.
"Eh mengapa kau menangis?" tanya pangeran ini sambil memegang lengan kekasihnya.
"Aku.... aku merasa ngeri kalau kalau aku akan mengalami nasib seperti gadis yang sengsara itu...."
Kian Tiong tertawa menghibur kekasihnya. "Tak mungkin, Luilee. Apa kaukira ayahmu berani menolak pinanganku?"
Luilee menggelengkan kepalanya. "Bukan, bukan ayahku, melainkan ayahmu. Bagaimana kalau beliau melarang kau menikah dengan aku? Bukankah itu sama saja halnya?"
"Jangan khawatir, Luilee. Apapun juga yang terjadi kau pasti takkan berpisah dariku," kata Kian Tiong sambil memeluk puteri itu. Luilee terhibur juga mendengar ucapan kekasihnya ini dan diam diam ia mengenangkan dengan amat terharu dan kasihan kepada Can Sian Hwa.
Dan betul saja beberapa saat kemudian oleh pangeran ini banyak sekali pembesar pembesar dijatuhi hukuman karena melakukan perbuatan perbuatan jahat. Pangeran ini tadinya hanya ingin memenuhi janjinya kepada Bun Sam, tetapi setelah ia melakukan perjalanan di sekitar daerah kekuasaannya, ia banyak sekali melihat keburukan dan kejahatan yang terjadi di mana mana lalu ia menjadikan perjalanan rahasianya ini sebagai kebiasaan dan tugasnya.
Bun Sam yang berlompatan ke atas genteng istana hendak keluar dari daerah terlarang itu, tiba tiba ia melihat bayangan orang dari depan. Ia cepat menyelinap ke kiri, akan tetapi alangkah terkejutnya ketika ia melihat bayangan lain yang gesit sekali gerakannya datang dari kiri kanan dan juga dari depan belakang. Ia telah terkurung.
Melihat keadaan ini, Bun Sam menetapkan hatinya. Ia maklum bahwa telah semenjak tadi ia dijaga dan dikurung, maka tiada gunanya mencoba untuk melarikan diri. Ia bahkan ingin tahu siapakah orangnya yang mengurung dirinya itu. Karena ia tidak mau terkurung di tempat yang sempit, ia lalu melompat kembali ke dalam taman dan berdiri di tempat terbuka, di mana diterangi oleh banyak lampu teng.
Bayangan delapan orang berkelebat dan tahu tahu Pat jiu Giam ong bersama tujuh Koai kauw jit him telah berada di depan Bun Sam. Ternyata bahwa pengaruh perkumpulan Hiat jiu pai telah meluas sampai ke dalam istana dan salah seorang di antara para pelayan wanita yang melayani Luilee tadipun juga anggauta Hiat jiu pai.
Ketika mendengar bahwa pemuda gagah ini datang untuk mengembalikan pedang Pek lek kiam, diam diam pelayan ini lalu melepaskan panah api ke atas untuk memberitahukan kepada Pat jiu Giam ong yang segera datang bersama Koai kauw jit him.
Tadinya Pat jiu Giam ong mengira tentu terjadi sesuatu yang hebat di dalam istana itu. Akan tatapi, ketika ia melihat bahwa yang datang di istana hanya Bun Sam, pemuda murid Kim Kong Taisu, jenderal ini tertawa mengejek,
"Ha, ha, tidak tahunya kau lagi yang datang mengacau. Kau ini orang muda adatmu sungguh jauh berbeda dengan suhumu. Kim Kong Taisu seorang yang selalu bertapa di gunung, tidak mau mencampuri urusan dunia, akan tetapi kau ini yang menjadi muridnya ternyata bandel sekali, beberapa kali datang mengacau di kota raja. Orang muda, apakah kehendakmu kali ini?"
"Aku hanya datang untuk mengembalikan pedang Pek lek kiam," jawab Bun Sam tenang tenang saja.
Pat jiu Giam ong nampak terkejut sekali. "Jangan bohong! Pencuri Pek lek kiam bukan kau."
Bun Sam tersenyum dan menjura. "Terima kasih, Pat jiu Giam ong. Keteranganmu itu benar benar membersihkan namaku. Memang aku bukan seorang pencuri dan pedang itu dahulu pun bukan aku yang mencurinya."
"Hm, tak begitu mudah kau hendak membebaskan diri, anak muda. Memang aku yakin bahwa bukan kau yang mencuri pedang, karena orang macan kau mana becus mencuri pedang dari istana. Akan tetapi karena sekarang kau yang mengembalikannya tentu kau ada hubungan dengan pencuri itu! Di mana pedang itu?"
"Sudah saya serahkan kepada Pangeran Kian Tiong."
"Di mana adanya maling itu? Dan mengapa pedangnya berada di tanganmu? Ayoh lekas jawab, mungkin aku masih memandang muka suhumu dan mengampunimu!"
"Pat jiu Giam ong kalau pencuri pedang itu masih hidup, apa kaukira aku akan dapat mengembalikannya? Pedang istana dicuri orang, aku kebetulan telah mendapatkannya dan mengembalikan ke istana, bukankah itu baik sekali? Ada urusan apa lagi yang harus diributkan?"
Diam diam Pat jiu Giam ong melengak. Apakah pemuda ini telah dapat merampas pedang itu dan mengalahkan pencuri pedang? Ah, tak mungkin. Pencuri pedang itu lihai sekali dia sendiri tidak dapat merampas apa lagi bocah ini.
"Ayoh, katakan di mana pencuri itu. hidup atau mati! Kalau tidak memberi tahu, berarti kau bersekutu dengan dia!" Pat jiu Giam ong membentak.
Akan tetapi Bun Sam menggelengkan kepalanya. "Tempat tinggalnya menjadi rahasia bagiku. Terserah kau hendak berbuat apa, Pat jiu Giam ong."
Pat jiu Giam ong Liem Po Coan marah sekali, namun diam diam ia memuji ketabahan hati pemuda ini. Sikap pemuda ini demikian tenang seakan akan tidak menghadapi kurungan Pat jiu Giam ong dan Koai kauw jit him, atau seperti orang yang memandang ringan saja.
"Kautangkap binatang cilik ini!" teriaknya sambil menuding kepada Bun Sam dan menoleh kepada Biauw Ta, orang tertua dari Koai kauw jit him.
Mendengar perintah ini, bukan Biauw Ta seorang yang maju, melainkan ketujuh tujuhnya. Hal ini tentu saja mengherankan hati Pat jiu Giam ong karena tokoh besar ini tidak tahu bahwa tujuh biruang itu telah kalah oleh Bun Sam. Memang kalau orang sudah tahu sampai di mana tingkat kepandaian Koai kauw jit him, akan merasa heran kalau tujuh tokoh Mongol ini kalah oleh seorang pemuda seperti Bun Sam.
Biauw Ta tentu saja tidak berani maju sendiri menghadapi pemuda ini, sedangkan mengeroyok tujuh saja ia masih gentar. Akan tetapi oleh karena di situ ada Pat jiu Giam ong, maka ia berseru keras memimpin enam orang adiknya untuk mengurung Bun Sam.
"Eh, eh, tidak tahunya Koai kauw jit him yang berada di sini! Apakah kuku kuku cakar kalian sudah tumbuh lagi?" kata Bun Sam sambil bertolak pinggang dan tersenyum senyum.
BAUW TA dan adik adiknya tidak mau melayani ejekan ini.
"Serbu!" teriak Biauw Ta dan senjata kaitan mereka bergerak cepat menyerbu tubuh Bun Sam dan berbagai jurusan. Pat jiu Giam ong mengerutkan kening.
Pemuda itu tentu akan mati, pikirnya. Dan hal ini tidak dikehendakinya. Mengapa Koai kauw jit him menurunkan tangan kejam dan mengapa pula mereka bertujuh maju mengeroyok anak muda itu? Saking herannya, Pat jiu Giam ong tak dapat berkata sesuatu.
Akan tetapi keheranannya ini bertambah berkali lipat ketika tiba tiba ia melihat tubuh Bun Sam meluncur ke atas dari tengah tengah kepungan itu, sehingga senjata lawan tidak mengenai sasaran. Ketika tubuh pemuda itu berada di atas, Bun Sam sudah mencabut Kim kong kiam dan kini ia turun sambil memutar pedangnya seperti payung yang lebar sekali.
Karena adanya sinar kuning emas ini mengelilingi tubuhnya dan bahkan ujung sinar itu menyerang tujuh orang lawannya, maka Bun Sam dapat turun dengan mudah dan tujuh orang lawannya yang sudah kenal akan kelihaian Bun Sam, tidak berani terlalu mendekat.
Pertempuran dilanjutkan dengan hati hati dan pedang di tangan Bun Sam berkelebat menyambar nyambar, kadang kadang berobah menjadi lingkaran lingkaran yang berputar aneh, seperti putaran air yang membuat tujuh orang pengeroyoknya bahkan terkurung di dalamnya.
Pat jiu Giam ong memandang dengan penuh perhatian. Semula ia mengira bahwa pemuda ini memperoleh banyak kemajuan saja, akan tetapi tetelan ia mendapat kenyataan bahwa ilmu pedang yang dimainkan oleh Bun Sam bukanlah ilmu pedang dari Kim Kong Taisu, melainkan ilmu pedang yang sangat aneh gerakannya dan yang selama hidupnya belum pernah dilihatnya, membuat ia benar benar melongo.
"Eh, dari manakah bocah ini mendapatkan ilmu pedang seperti itu? Apakah si tua bangka Kim Kong Taisu diam diam telah menciptakan semacam ilmu pedang baru? Ini bebat!" demikian pikir Pat jiu Giam ong.
Melihat betapa sinar pedang yang kuning emas itu makin lebar dan makin mengurung tujuh tokoh utara itu, Pat jiu Giam ong tak dapat menahan keinginan hatinya hendak mencoba sendiri kelihaian ilmu pedang itu.
"Jit wi, kalian mundurlah!" serunya keras. Akan tetapi terlambat karena terdengar bunyi nyaring dan ketika dilihatnya, ternyata bahwa semua senjata kaitan di tangan Koai kauw jit him itu telah terbabat putus menjadi dua.
Kejadian ini adalah yang kedua kalinya yang dialami oleh Koai kauw jit him, maka dapat dibayangkan betapa marah dan malu rasa hati mereka. Sambil berseru keras, Biauw Ta menyambitkan sebatang gagang kaitan yang terputus, sehingga gagang itu bagaikan anak panah meluncur cepat ke arah Bun Sam, juga enam orang adiknya meniru perbuatan Biauw Ta ini dengan gerakan yang sama, sehingga dalam saat itu juga, tujuh batang gagang kaitan yang seperti tombak runcing itu meluncur ke arah Bun Sam.
Kembali Pat jiu Giam ong mengerutkan kening karena mengira bahwa pemuda itu tentu takkan dapat melepaskan diri. Akan tetapi kerut keningnya itu lenyap seketika setelah ia melihat cara Bun Sam beraksi. Pemuda ini dengan amat tenangnya lalu memutar pedangnya dan aneh sekali. Tujuh batang senjata yang dilemparkan kepadanya itu tertempel oleh pedang dan ikut berputar putar, kemudian ketika Bun Sam berseru keras, tujuh batang gagang kaitan itu meluncur ke atas dan menancap pada cabang pohon.
"Bagus, anak muda. Kepandaianmu boleh juga!" Pat jiu Giam ong berseru dan tokoh besar ini menggerakkan kedua lengannya ke arah batang pohon di atas itu. Terdengar suara "krak!" dan batang pohon di mana terdapat tujuh gagang kaitan yang menancap itu patah dan tumbang ke bawah membawa gagang gagang kaitan itu.
Bun Sam tertegun. Alangkah hebatnya lweekang dari jenderal ini, pikirnya. Kalau ia diharuskan mengadu tenaga lweekang, biarpun ia telah mendapat kemajuan hebat berkat pimpinan dan gemblengan Bu tek Kiam ong, namun tetap saja ia takkan dapat menangkan tenaga lweekang yang demikian hebatnya, yang sudah terlatih puluhan tahun lamanya sebelum dia sendiri lahir.
Maka ia lalu menjura kepada Pot jiu Giam ong sambil berkata, "Sudah lama aku mendengar kehebatan lweekang dari Pat jiu Giam ong, ahli dari Pat kwa ciang (Ilmu Silat Segi Delapan). Sungguh hebat!"
Mendengar ini. Pat jiu Giam ong menjadi merah mukanya saking marahnya. Omongan yang dikeluarkan oleh pemuda itu adalah omongan orang yang sama tingkatnya, tidak patut dikeluarkan oleh seorang pemuda yang masih rendah.
"Orang muda, agaknya kau menyombongkan ilmu pedangmu. Ingin kusaksikan dan kurasai sendiri sampai dimana tingginya, maka kau berani berlagak sombong di depan Pat jiu Giam ong!"
Setelah berkata demikian, jenderal tinggi besar ini lalu menggerakkan tangan kanannya dan ujung bajunya yang tebal itu manyambar ke arah Bun Sam cepat sekali. Yang diserang adalah jalan darah kian ceng hiat di pundak kiri pemuda itu. Sekali menggerakkan tangan lalu ujung jubah menyerang jalan darah, dapat dibayangkan betapa hebatnya tenaga dan kepandaian Raja Maut Tangan Delapan ini!
Bun Sam maklum bahwa tokoh besar ini memandang rendah padanya, maka diam diam ia menjadi mendongkol juga. Melihat ujung jubah itu menyambar ke arah pundaknya, ia tidak mengelak, melainkan mengerahkan tenaga lweekang ke arah pundak yang tertotok, menggunakan Ilmu Pi ki hu hiat (Menutup Hawa Melindungi Jalan Darah), lalu menerima serangan itu dengan berani!
"Plak!" ujung baju itu ketika mengenai pundak Bun Sam, lalu membalik seakan akan memukul benda karet yang keras. Pat jiu Giam ong kembali tercengang. Tak sembarang orang berani menerima pukulan ujung bajunya. Bukan tenaga pemuda ini yang mengejutkan hatinya, hanya kalau orang sudah pandai Ilmu Pi ki hu hiat dan mempunyai tenaga lweekang yang tinggi seperti puteranya misalnya, akan dapat menahan pukulan ini.
Akan tetapi yang membuat ia heran dan terkejut adalah sikap dan keberanian pemuda itu. Kalau pemuda itu sudah berani dengan tenangnya menerima sambaran ujung bajunya, berarti bahwa pemuda itu tentu sudah merasa yakin betul akan kepandaiannya sendiri!
"Hm, agaknya kau berisi juga! Sambutlah ini!" Kini Pat jiu Giam ong menggerakkan kedua tangan nya dan dua ujung lengan bajunya menyambar, yang kiri ke arah leher dan yang kanan ke arah lambung. Sambaran ini hebat sekali dan di lakukan dengan tenaga sepenuhnya. Harus diketahui bahwa selain Ilmu Silat Pat kwa ciang yang hebat, juga Pat jiu Giam ong memiliki tenaga Hek mo kang yang berbahaya sekali.
Dua serangan ini, satu saja mengenai sasaran, biarpun Bun Sam sudah mendapat gemblengan dari Bu tek Kiam ong, tetap saja ia takkan kuat menahan! Bun Sam terkejut sekali karena angin pukulan ini saja sudah terata kuat sekali. Ia cepat melompat ke belakang dan ketika Pat jiu Giam ong mendesak terus ia lalu menggerakkan pedang Kim kong kiam.
"Cring....brett!" pedang Kim kong kiam terpental akibat pukulan ujung lengan baju sebelah kiri, tetapi ujung lengan baju sebelah kanan dari Pat jiu Giam ong telah terbabat putus! Kedua orang ini terkejut dan melompat mundur.
Bukan main marahnya Pat jiu Giam ong melihat ujung lengan bajunya terbabat putus. Juga ia maklum kini bahwa kepandaian pemuda ini benar benar tak boleh dibuat permainan. Kalau saja ia tadi tidak terlalu memandang ringan, tak mungkin ujung lengan bajunya sampai terbabat putus oleh pedang pemuda itu.
"Bangsat kecil, kau mencari mati!" serunya dan kedua tangan Pat jiu Giam ong bergerak cepat sekali, melancarkan pukulan pukulan maut dengan tenaga Hek mo kang.
Baiknya Bun Sam sudah bersiap menghadapi serangan serangan ini. Dengan ginkangnya yang sudah tinggi dan sempurna, pemuda ini lalu melompat cepat dan dengan mudah ia dapat mengelak dari semua pukulan jenderal tinggi besar itu, dan sebelum Pat jiu Giam ong sempat mengirim serangan lagi. Bun Sam mempergunakan gerak lompat Liok te hui teng dan sebentar saja ia lenyap dari tempat itu!
Tadinya Pat jiu Giam ong hendak mengejar, akan tetapi melihat gerakan pemuda itu ia maklum bahwa ia takkan dapat menyusulnya, maka ia menarik napas panjang berkali kali. Hebat sekali pikirnya. Bagaimana bocah itu dalam waktu beberapa tahun saja sudah memiliki kepandaian yang demikian tingginya?
Pada saat itu, Pangeran Kian Tiong dan Puteri Luilee muncul dari pintu taman, diiringkan oleh beberapa orang pelayan wanita.
Melihat orang orang muda bangsawan tinggi ini, Pat jiu Giam ong menjadi sebal dan mendongkol. Hm, becusnya hanya main cinta cintaan, pikir jenderal ini. Akan tetapi, tetap saja ia memberi hormat kepada Kian Tiong yang dibalas sebagaimana mestinya oleh pangeran itu.
"Eh, Liem goaniwe, malam malam memasuki taman istana ada keperluan apakah? Mengapa tidak langsung saja masuk dari pinta gerbang di depan?" tanya Kian Tiong. Manegur ia tidak berani, akan tetapi pertanyaan pertanyaan inipun dengan halus sekali mengandung teguran kepada jenderal besar itu.
"Siauw ong ya, kami datang untuk menangkap pencuri pedang Pek lek kiam, akan tetapi sayang ia dapat melepaskan diri," kata Pat jiu Giam ong.
"Ah, Liem goanswe, mengapa dia diganggu? Song taihiap tidak mencuri pedang, ia bahkan sengaja datang untuk mengembalikan pedang istana ini. Dia telah memberikannya kepadaku," kata Kian Tiong sambil memperlihatkan pedang Pek lek kiam kepada jenderal itu.
Pat jiu Giam ong hanya mengangguk dan ia merasa sebal sekali karena tidak dapat merampas pedang itu dari tangan Bun Sam. Kini murid Kim Kong Taisu itu mendapat muka dari Pangeran Kian Tiong! Kalau saja tadinya pedang istana ini dapat ia rampas dari tangan pemuda Itu, bukankah selain ia mendapat jasa, juga pemuda itu akan menerima hukuman? Maka ia lalu memberi hormat dan minta maaf karena sudah berani memasaki taman tanpa izin, lalu mengajak Koai kauw jit him meninggalkan tempat itu.
"Ah, aku tidak suka melihat jenderal ini," kata Luilee perlahan kepada kekasihnya.
Kian Tiong tersenyum. "Siapa yang suka padanya? Akan tetapi, Luilee yang manja, dalam pemerintahan, tidak didasarkan atas rasa suka atau tidak, melainkan didasarkan kepada kenyataan apakah orang itu berguna atau tidak. Pat jiu Giam ong adalah seorang yang berkepandaian tinggi sekali dan adanya dia di pemerintahan kita, mendatangkan kekuatan dan pengaruh besar sekali. Apalagi sakarang dia dapat menarik suhengnya, yaitu Lam hai Lo mo Seng Jin Siansu, yang kepandaiannya kabarnya bahkan jauh lebih lihai dari Liem goanswe sendiri. Mereka membentuk Hiat jiu pai dan ini baik sekali karena dengan demikian, kekuatan pemerintahan manjadi makin teguh lagi."
Luilee kelihatan bergidik ngeri.
"Ah, aku tidak suka mendengar nama itu, Hiat jiu pai..... Perkumpulan Tangan Berdarah! Ngeri sekali. Betapapun lihainya Pat jiu Giam ong kurasa Song Bun Sam lebih lihai lagi."
Kian Tiong tertawa geli.
"Ah, manisku, kau agaknya amat terpengaruh oleh kegagahan Song Bun Sam. Memang harus kuakui bahwa kepandaian pedangnya amat lihai, akan tetapi kalau dibandingkan dengan Pat jiu Giam ong, agaknya ia kalah jauh! Kau masih belum tahu akan kepandaian Liem goanswe itu. Apalagi kepandaian Lam hai Lo mo, aah, kurasa beratlah kalau Bun Sam harus menghadapi kakek kakek lihai ini."
"Belum tentu!" Luilee membantah. "Aku ingin sekali melihat Song taihiap mengadu kepandaian melawan mereka!"
Pangeran Kian Tiong tidak menjawab, hanya diam diam ia mentertawakan kekasihnya ini. Ia sudah tahu betul kepandaian Pat jiu Giam ong yang hebat dan kalau orang orang luar mengabarkan bahwa kepandaian La m hai Lo mo lebih lihai dari Pat jiu Giam ong, ia tidak tahu apakah di dunia ini ada orang yang dapat menandinginya!
Sementara itu, Bun Sam cepat melarikan diri keluar dari istana dan pada malam hari itu juga ia pergi keluar dari kota raja. Kalau saja ginkangnya bukan sudah sempurna, tak mungkin ia dapat melompati tembok kota raja atau keluar menerobos dari pintu gerbang yang terjaga kuat sekali itu.
Pengalamannya di dalam taman istana, mendatangkan rasa berat dalam hatinya, karena pertemuan antara Pangeran Kian Tiong dengan Puteri Luilee tadi mengingatkan ia kepada kekasih hatinya, Sian Hwa. Kalau orang lain demikian berbahagia dalam pertalian kasihnya, mengapa dia dan Sian Hwa demikian sengsara? Dan semua ini karena gara gara Lan Giok. Ia tidak marah kepada gadis itu, bahkan kalau dipikir pikir ia merasa kasihan sekali kepada Lan Giok.
Gadis lincah itu dengan sifat kekanak kanakannya setuju sekali dengan pertalian jodoh ini dan itulah yang memberatkan hatinya. Mengapa gurunya, Kim Kong Taisu dan Mo bin Sin kun, begitu mudah mengambil keputusan?
Ah, dia tidak dapat menyalahkan Yap Bouw pula. Inilah yang berat, la tahu bahwa Yap Bouw amat menyintainya seperti puteranya sendiri dan dia sendiripun sudah menganggap Yap Bouw sebagai pengganti orang tuanya.
Ia tahu bahwa Yap Bouw mengikatkan tali perjodohan ini dan hal itu memang tepat. Kalau saja tidak ada Sian Hwa agaknya iapun takkan menaruh hati berat terhadap perjodohan ini. Lan Giok cukup cantik manis, juga ia tahu gadis itu mempunyai kegagahan dan sifat sifat mulia sebagai seorang pendekar wanita yang gagah.
Lan Giok adalah murid dari Mo bin Sin kun yang boleh dibilang adik seperguruannya pula, selain itu gadis ini adalah puteri dari Yap Bouw, bekas jenderal patriotis yang ia muliakan dan yang ia junjung tinggi.
Agaknya tidak ada gadis lain yang lebih cocok dan memuaskan hatinya untuk dijadikan jodohnya.
Akan tetapi Sian Hwa...? Dapatkah dia menikah dengan Lan Giok, hidup bahagia dan membiarkan Sian Hwa merana seorang diri, hidup terlunta lunta dan sebatangkara dengan hati patah? Tidak, tidak mungkin.
"Sian Hwa, kekasihku". apapun yang akan terjadi, aku akan tetap setia kepada cinta kasih kita"." Bun Sam beberapa kali berkata seorang diri.
Dengan melakukan perjalanan cepat sekali, pada suatu hari Bun Sam tiba di lereng Bukit Oei san. Ketika ia sedang berjalan mendaki bukit itu sambil menikmati pemandangan alam di pegunungan ini dengan penuh rasa keharuan hati karena ia teringat akan masa kecilnya di pegunungan ini, tiba tiba ia mendengar suara pukulan sayap burung.
Pedang Sinar Emas Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Eh, Sin tiauw, kaukah itu?" serunya sambil memandang ke atas kepalanya di mana seekor burung rajawali beterbangan mengelilinginya. Burung ini agaknya telah pangling dan merasa ragu ragu, akan tetapi ketika mendengar suara Bun Sam, ia segera mengeluarkan pekik keras dan menyambar turun, langsung berdiri di depan pemuda itu dan menggerak gerakkan kepalanya. Bun Sam melangkah maju dan memeluk leher burung ini.
"Sahabat baik, kau menjadi makin besar dan kuat," katanya sambil mengelus elus leher burung itu.
"Mana Siauw liong, sahabat kita itu?"
"Sayang sekali, Bun Sam, kau datang terlambat, Siauw liong sudah mendahului kita kembali ke alam asalnya," kata suara yang halus menjawab pertanyaannya ini. Bun Sam tadi terlalu girang bertemu dengan Sin tiauw, sehingga ia tidak tahu akan kedatangan dua orang yang kini berdiri tak jauh dari situ. Pemuda ini cepat mengangkat mukanya dan segera ia berlari menghampiri dua orang itu lalu menjatuhkan diri berlutut.
Rajawali Hitam Eps 12 Rajawali Hitam Eps 11 Pedang Naga Kemala Eps 28