Pedang Naga Kemala 28
Pedang Naga Kemala Karya Kho Ping Hoo Bagian 28
"Jangan banyak merayu gombal!" bentaknya.
"Mari kita lanjutkan perkelahian tadi!" Tanpa menanti jawaban, iapun lalu menerjang lagi dan kembali ia mainkan jurus-jurus dan Thai-lek Kim-kong-jiu yang ampuh. Opsir muda itu agaknya juga tidak berani sembrono menghadapi gadis yang galak dan lihai ini. Dan opsir itu memiliki langkah-langkah ajaib yang membuat tubuhnya sukar sekali diserang. Akan tetapi ketika Kiki menerjang lagi dengan mendorongkan kedua tangannya ke depan dengan jurus "Dua Tangan Menutup Guha Batu," opsir muda itupun berdiri tegak, dengan kedua kaki terpentang dan sedikit membongkok, menekuk lutut dan kedua tangannyapun didorongkan ke depan menyambut.
"Desss...!" Dua pasang tangan saling bertemu dan dua macam tenaga sakti yang hebat bertumbukan di udara. Opsir itu merasa betapa hawa panas menjalar melalui telapak tangan lawannya, akan tetapi mampu dihentikannya hanya sampai siku saja. Sebaliknya, Kiki terkejut setengah mati karena ada hawa dingin menjalar keluar dan telapak tangan opsir tampan itu, dan hawa dingin itu terus menjalar ke kedua lengannya sampai ke pundak, membuat ia menggigil! Opsir itu melangkah ke belakang.
"Maafkan, nona. Ternyata engkau hebat sekali." Kiki masih berdiri, memejamkan kedua mata dan menahan napas, mengumpulkan hawa murni dan baru setelah lewat dua menit, hawa dingin itu perlahan-lahan dapat didorongnya keluar dan kedua lengannya. Kalau pada saat itu lawannya menyerang, ia tentu takkan mampu mempertahankan diri dan akan mudah dirobohkan.
Akan tetapi anehnya, opsir itu tidak menyerang lagi dan hanya berdiri memandang kagum. Setelah merasa tubuhnya segar kembali, Kiki siap untuk menyerang lagi. Ia lari ke sudut ruangan itu dan menyambar sebuah toya, karena di ruangan itu juga terdapat beberapa macam senjata. Begitu memegang toya yang sama dengan tongkat, Kiki lalu maju menerjang, mainkan tongkatnya dengan ilmu Tongkat Kim-kong-pang (Tongkat Sinar Emas)! Tentu saja tongkatnya itu ketika dimainkan tidak mengeluarkan sinar emas, karena tongkat itu bukan tongkat yang biasa dipergunakan Ayahnya, akan tetapi ilmu tongkat itu hebat bukan main dan menjadi imbangan dari ilmu Thai-lek Kim-kong-jiu tadi. Hanya karena tongkat lebih panjang dari tangan, maka jangkauannya pun lebih jauh dan gerakannya lebih cepat.
Diserang bertubi-tubi dengan tongkat itu, opsir muda yang tadinya berloncatan sambil mengeluarkan langkah-langkah ajaibnya mengelak ke sana-sini, menjadi terdesak juga dan terpaksa dia mencabut pedang di pinggangnya. Nampak sinar menyilaukan mata ketika pedang dicabut, dan kini pedang itu diputar membentuk sinar bergulung-gulung yang menyambut gulungan sinar tongkat yang putih. Terjadi serang-menyerang dengan hebatnya, dan keduanya mendapat kenyataan bahwa memang mereka itu bertemu dengan tandingan yang sama sekali tak boleh dipandang rendah. Yang merasa penasaran adalah Kiki. Belum pernah rasanya ia bertemu dengan lawan sehebat ini kepandaiannya, padahal ia tahu benar betapa pemuda itu telah banyak mengalah dan pedangnya yang hebat itupun lebih banyak menangkis dari pada membalas serangan,
Padahal setiap serangan pedang itu dirasakannya amat berbahaya dan sukar dielakkan, dan setiap kali toyanya menangkis, ia merasa tangannya tergetar hebat. Padahal, kalau dilihat kenyataannya bahwa toya itu lebih panjang dan lebih berat, sesungguhnya harus si pemegang pedang yang dirugikan kalau bertemu senjata mengadu tenaga. Setelah lewat hampir lima puluh jurus, tiba-tiba saja gerakan pedang itu berubah dan terdengar suara keras ketika kedua senjata bertemu di udara, dan toya di tangan Kiki itu patah menjadi dua potong. Akan tetapi, bukan Kiki kalau mengalah dan mudah tunduk menyerah begitu saja. Dengan dua potongan tongkat itu, ia masih menyerang dengan hebat. Akan tetapi lawannya melompat ke belakang dan menyimpan kembali pedangnya.
"Sudahlah, nona. Sudah cukup kita main-main. Sekarang katakanlah mengapa engkau memasuki rumah kami secara diam-diam seperti orang yang hendak melakukan pencurian?"
"Aku tidak akan mencuri apa-apa. Tidak sudi aku menjadi pencuri. Lebih baik mati dan pada menjadi pencuri!" bentak Kiki dengan suara yang hampir menangis, bukan hanya karena sebal disangka pencuri, akan tetapi terutama sekali karena ia merasa bahwa ia kalah oleh pemuda itu! Pemuda itu kembali tersenyum ramah.
"Mencuri atau tidak, akan tetapi engkau memasuki rumah orang tanpa ijin, dan malam-malam begini masuk ke rumah, tentu saja engkau dituduh mencuri. Akan tetapi engkau memang belum mengambil apa-apa, maka akupun tidak akan menuduhmu lagi mencuri. Akan tetapi, lalu apakah yang kau cari di sini?"
"Aku aku ingin mencari Pangeran Ceng Tiu Ong." Pemuda itu nampak terkejut dan mengerutkan alisnya. Engkau mencari Pangeran Ceng Tiu Ong? Ada keperluan apakah?"
"Keperluan pribadi yang hanya akan kukatakan kepada dia sendiri. Dimanakah dia? Kalau dia atau puterinya yang bernama Ceng Hiang menyambut kedatanganku, tentu mereka akan mengerti. Aku tidak mau bicara dengan orang lain kecuali mereka.
"Nah, sekarang lebih baik laporkan kepada Pangeran Ceng Tiu Ong atau nona Ceng Hiang, aku akan menanti di sini. Ataukah engkau ingin melanjutkan perkelahian? Boleh...!" Opsir itu kembali tersenyum.
"Wah, engkau galak amat sih! Baiklah, engkau tunggu dulu di sini, akan tetapi jangan membuat onar, aku akan meninggalkan kucingku di sini untuk menjagamu agar engkau tidak melakukan kekacauan macam-macam. Pangeran Ceng Tiu Ong dan puterinya tentu akan datang ke sini kalau memang benar mereka itu mengenalmu dan mempunyai urusan denganmu." Opsir muda itu lalu pergi melalui anak tangga dan mengatakan sesuatu dalam bahasa aneh kepada harimau itu. Harimau itu, seperti seekor anjing yang sudah terlatih baik saja layaknya, lalu mendekam di bawah anak tangga dan matanya terus mengamati ke arah Kiki. Kiki merasa mendongkol bukan main. Dibalasnya pandang mata harimau itu dan iapun mencibir.
"Kau kira aku takut terhadap seekor kucing macam engkau? Huh, kalau tidak ingat majikanmu, tentu sudah kupukul pecah kepalamu, tahu?" Aneh! Harimau itupun seolah-olah mencibir kepadanya dan menggereng panjang, seperti hendak mengatakan bahwa kalau dia tidak diperintah majikannya untuk berjaga saja, tentu tubuh gadis itu sudah dicabik-cabiknya dengan kuku dan diganyang dagingnya dengan taring-taringnya yang tajam meruncing.
Kiki makin mengkal hatinya dan membuang muka. Setelah kesabarannya menanti hampir habis, tiba-tiba ia mendengar suara orang bicara dan terdengar langkah kaki menuruni tangga itu. Tak lama kemudian, muncullah dua orang, dan orang pertama segera dikenalnya sebagai Pangeran Ceng Tiu Ong! Dan orang kedua adalah seorang gadis yang luar biasa cantiknya, dengan pakaian yang mewah seperti puteri istana saja. Demikian cantik jelita dan demikian indah pakaian gadis itu, sehingga sejenak Kiki hanya memandang dengan bengong. Itukah puteri sang pangeran? Demikian cantiknya, akan tetapi ia melihat persamaan bentuk wajah puteri itu dengan opsir muda tadi. Celaka, jangan-jangan opsir tadi putera Pangeran Ceng Tiu Ong atau saudara dan Ceng Hiang. Iapun bangkit berdiri. Melihat Kiki, Pangeran Ceng Tiu Ong tersenyum gembira.
"Aih, kiranya engkau yang datang, nona!" katanya sambil cepat menghampiri. Kiki adalah seorang anak datuk sesat memang, namun iapun sudah cukup mempelajari tata susila dan apalagi ia merasa pernah membuat dosa besar dengan membajak perahu pangeran ini, walaupun ia juga menyelamatkan nyawa pangeran ini dan ancaman maut. Maka iapun cepat menjura dan berkata.
"Maafkan kedatangan saya seperti ini, pangeran. Saya datang malam-malam seperti ini karena hendak menyelidiki lebih dahulu keadaan pangeran sebelum saya menyampaikan barang-barang titipan paduka dahulu itu."
"Aih, nona Tang, marilah kita duduk dulu di ruangan tamu. Perkenalkan, ini anakku, Ceng Hiang." Gadis yang cantik itu lalu tersenyum dan menghampiri, dan melihat senyum itu, Kiki tidak ragu-ragu lagi. Gadis ini tentu adik dari opsir tadi! Senyumnya sama!
"Engkau tentu yang bernama Tang Ki, nona yang pernah menyelamatkan Ayahku dari bahaya tenggelam di laut. Aku berterima kasih kepadamu, adik yang baik," katanya sambil memegang tangan Tang Ki. Kiki merasa betapa halusnya telapak tangan itu, begitu halus lembut seperti sutera!
"Ah... bukan hanya menolong, akan tetapi juga menncelakakan," jawab Kiki berani.
"Mari, mari kita duduk di ruang tamu. Engkau adalah tamu agung bagi kami sekeluarga, nona Tang," kata pangeran itu, dan mereka lalu naik anak tangga itu diikuti oleh harimau yang segera diusir oleh nona Ceng Hiang. Setelah melalui beberapa lorong, sampailah mereka ke ruangan tamu yang luas dan amat indahnya lagi amat terang. Mereka duduk menghadapi meja yang terukir indah, dan segera pelayan-pelayan menyuguhkan air teh dan makanan kering.
"Maafkan, pangeran. Saya tidak akan berlama-lama, karena kedatangan saya tadi telah menimbulkan keributan. Saya disangka maling dan saya bahkan telah berkelahi melawan..." ia menoleh kepada Ceng Hiang.
"Opsir muda itu tentu saudaramu, bukan?"
"Aihh dia? Benar, benar... ia saudaraku," kata Ceng Hiang sambil tersenyum, dan Pangeran Ceng Tiu Ong hanya tertawa saja.
"Karena itu, setelah bertemu dengan jiwi, saya akan menyampaikan maksud kedatangan saya, yaitu akan mengirimkan titipan pangeran pada saya dahulu, yaitu sepeti terisi kitab-kitab kuno."
"Bgus! Ahh... adik Tang Ki yang baik, mana kitab-kitab itu?" Yang meloncat berdiri adalah Ceng Hiang, sedangkan pangeran itu tetap duduk saja.
"Karena saya hendak menyelidiki dulu tempat tinggal pangeran, maka peti itu saya titipkan pada keluarga petani, di luar tembok Kota Raja."
"Kalau begitu harus diambil sekarang... Ayah biar aku yang antar adik Tang Ki mengambilnya, dan kami akan menggunakan kereta saja." Ayahnya tertawa.
"Ha-ha, kalian ini orang-orang muda memang segalanya menghendaki cepat saja. Baiklah! Pelayan, suruh kusir mempersiapkan kereta sekarang juga untuk dibawa ke luar Kota Raja!"
Malam itu juga, kurang lebih tepat tengah malam, Kiki bersama Ceng Hiang berangkat berdua saja naik kereta. Teman satu-satunya hanyalah seorang kusir yang berada di depan dan tidak nampak oleh mereka berdua yang duduk di dalam kereta. Melihat ini, Kiki merasa girang akan tetapi juga heran. Girang bahwa keluarga pangeran itu sedemikian besar menaruh kepercayaan kepadanya sehingga ia merasa terhormat sekali, akan tetapi juga heran mengapa seorang pangeran membiarkan puterinya pergi sendiri begitu saja di tengah malam tanpa pasukan pengawal, hanya bersama ia yang sebenarnya masih asing bagi mereka dan hanya seorang kusir saja. Setelah kereta berjalan cepat meninggalkan gedung itu, Kiki tak dapat menahan dirinya bertanya.
"Siocia..."
"Wah, jangan memanggil nona-nona segala, adik yang baik... aku menjadi canggung," Ceng Hiang mencela. Kiki tersenyum.
"Habis lalu memanggil apa?"
"Namaku Hiang, she Ceng, cukup kalau kau sebut Enci Hiang saja. Bukankah aku lebih tua darimu?"
"Belum tentu... engkau kelihatan masih begini muda dan cantik jelita."
"Usiaku sudah sembilanbelas tahun."
"Wah... kalau begitu memang kau lebih tua satu tahun, Enci Hiang. Namaku Ki, she Tang, akan tetapi bisa dipanggil Kiki."
"Kalau begitu... akupun akan menyebutmu Ki-moi atau Kiki begitu saja!" kata Ceng Hiang sambil tertawa, dan merekapun saling merasa suka dan akrab.
"Enci Hiang, aku merasa heran sekali. Engkau adalah puteri tunggal seorang pangeran yang berkedudukan tinggi, kenapa Ayahmu membiarkan engkau pergi sendirian saja di tengah malam seperti ini tanpa ada pasukan yang mengawalmu?" Ceng Hiang tersenyum manis.
"Bukankah ada engkau yang lebih kuat dari pada puluhan orang pengawal?"
"Tentu aku akan melindungimu dengan taruhan nyawa, akan tetapi bagaimana Ayahmu dapat begitu saja percaya kepadaku..."
"Engkau malah sudah menyelamatkan nyawanya dari kematian tenggelam di lautan."
"Akan tetapi, akupun bersama anak buahku telah membunuh pasukan pengawalnya dan membakar perahunya!"
"Ah, sudahlah, Ki-moi. Untuk apa yang sudah lalu diungkit-ungkit kembali? Ayahku mengerti, bahwa engkau dan kawan-kawanmu bukan sembarangan bajak, melainkan orang orang yang berjiwa patriot dan yang bercita-cita menggulingkan pemerintah penjajah, bukankah demikian?"
"Kalau sudah tahu begitu, lebih-lebih lagi..." kata Kiki terkejut dan heran.
"Kalau dia tahu bahwa aku berjiwa patriot dan hendak merobohkan kekuasaan penjajah, mengapa dia membiarkan engkau pergi sendirian dengan aku? Bukankah kalian adalah keluarga pangeran, keluarga kaisar Mancu?
"Benar, akan tetapi apakah engkau tidak tahu, adikku, bahwa tidak semua orang keturunan Mancu suka akan penjajahan ini, suka akan kaisarnya yang lemah? Engkau tentu pernah mendengar tentang mendiang Puteri Nirahai dan Puteri Milana, dua orang puteri Mancu, akan tetapi berjiwa pendekar dan gagah perkasa, bahkan diam-diam merekapun menentang kelaliman kaisar dan para pembesar?" Kiki belum pernah mendengar dan ia menggelengkan kepalanya.
"Siapakah mereka?"
"Mereka adalah puteri-puteri aseli dari Mancu, akan tetapi mereka tidak mau menjadi puteri, walaupun keduanya pernah menjadi panglima. Tidak mau tinggal di istana, bahkan Puteri Nirahai menikah dengan Pendekar Super Sakti dari Pulau Es..."
"Wah, kalau nama itu pernah disebut-sebut oleh Ayah sebagai nama seorang tokoh sakti seperti dalam dongeng."
"Bukan dongeng, melainkan sungguh-sungguh ada. Dan Puteri Nirahai yang masih saudara kaisar itu lebih suka tinggal bersama suaminya, Pendekar Super Sakti di Pulau Es, dari pada menjadi puteri di istana. Puteri mereka, Puteri Milana, juga menikah dengan seorang pendekar sakti dan tidak mau menjadi puteri di istana. Nah, jangan lantas kau samakan saja manusia atau bangsa dengan sekarung beras."
"Ehhh?" Kiki tidak mengerti.
"Kalau orang membeli beras, mengambil segenggam dan melihat beras itu jelek, lalu dia tidak jadi beli dan mengatakan bahwa beras sekarung itu jelek. Tidak demikian dengan bangsa.
"Bngsa terdiri dari manusia-manusia dan di antara manusia-manusia, tentu ada yang jelek dan ada yang baik. Ada yang suka menjajah akan tetapi ada pula yang tidak suka dengan politik penjajahan itu."
"Jadi kau dan Ayahmu..."
"Kami tidak suka dengan siasat pemerintah menjajah bangsa lain, apalagi kami tidak suka melihat kelemahan kaisar yang bertekuk lutut kepada orang-orang kulit putih. Karena itu, Ayah kagum dan percaya kepadamu. Pula, siapa sih yang akan mengganggu kita?" Kiki hanya tersenyum, dan pada saat itu, kereta berhenti sebentar karena dihentikan oleh penjaga pintu gerbang. Terdengar percakapan antara kusir dan prajurit penjaga yang dengan suara lantang mengatakan bahwa kereta itu milik Pangeran Ceng Tiu Ong dan bahwa kini dia sedang mengantarkan Ceng-Siocia keluar pintu gerbang untuk utusan pribadi dan kalau terburu, mungkin malam ini juga kembali ke Kota Raja lagi.
"Sobat, maafkan kami. Berhubungan perintah atasan untuk melihat siapa yang keluar masuk Kota Raja, walaupun tidak diperiksa, hanya diawasi saja, maka terpaksa kami akan menjenguk ke dalam kereta untuk meneliti kebenaran keteranganmu ini."
"Kalian tidak percaya kepadaku?" Tukang kusir membentak, lalu suaranya ditujukan ke dalam.
"Ceng-Siocia, mereka ini ingin menjenguk dan memeriksa ke dalam kereta!" Tentu pada waktu itu, pantang bagi para puteri bangsawan untuk dijenguk begitu saja oleh para prajurit atau laki-laki biasa. Akan tetapi, dengan halus Ceng Hiang menjawab.
"Karena sudah tugas mereka, biarlah, paman. Aku yang akan membuka sendiri kain penutup pintu kereta." Berkata demikian, dengan kedua tangannya yang berkulit halus, Ceng Hiang menguak pintu kain itu ke kanan kiri sehingga ia dan Kiki kelihatan jelas oleh mereka yang mengepung kereta dari luar.
"Apakah kalian sudah puas sekarang..." Para prajurit itu terpesona melihat dua orang gadis yang demikian cantik jelitanya, terutama sekali Ceng Hiang. Dan di antara mereka, agaknya tidak ada seorangpun yang tidak mengenal Ceng Hiang. Semua berdiri dengan sigap dan muka mereka bahkan berubah agak ketakutan. Seorang di antara mereka yang berkumis tebal, dengan suara agak gemetar lalu berkata.
"Mohon maaf... kami... kami tidak tahu bahwa Siocia yang berada di dalam dan... kami hanya melaksanakan perintah atasan..." Ceng Hiang tersenyum dan menutup kembali kain gorden sambil berkata dari dalam.
"Demikianlah seharusnya, setiap orang prajurit harus melaksanakan tugas dengan baik dan membela perintah atasan dengan taruhan nyawa. Paman kusir, lanjutkan perjalanan!"
"Baik, Siocia..."
Dan keretapun bergerak lagi melalui pintu gerbang, keluar dari pintu gerbang. Setelah keluar dari pintu gerbang, di sepanjang jalan tidak ada lagi penerangan. Tadi, biarpun sudah tengah malam, di sepanjang jalan masih ada lampu-lampu yang menerangi jalan, baik lampu untuk hiasan atau penerangan. Akan tetapi sekarang, mereka keluar dari kota dan yang menerangi cuaca yang gelap hanyalah sinar bintang-bintang di langit dan bulan tua yang tinggal seperempatnya. Akan tetapi, lentera kereta itu sendiri masih cukup terang sehingga sang kusir dapat melihat jalan di depannya, sejauh sedikitnya limabelas meter. Kereta berjalan terus menuju ke sebuah dusun menurut petunjuk Kiki. Ketika mereka tiba di dusun itu, waktunya sudah hampir subuh dan dusun itu masih terbenam dalam mimpi.
"Kiki, rasanya tidak enak kalau kita mengagetkan para penghuni dusun ini. Bagaimana kalau kita menanti saja di luar dusun, dan baru memasuki dusun kalau mereka sudah bangun dan kita tinggalkan saja kereta di luar dusun agar tidak mengejutkan orang." Kiki semakin suka dan kagum kepada gadis yang jelita itu. Memang hebat, pikirnya. Sudah orangnya bangsawan, puteri pangeran, kaya raya, berkedudukan tinggi, cantik jelita, namun sama sekali tidak sombong, bahkan rendah hati dan mengingat nasib lain orang. Mana ada bangsawan bersikap seperti gadis ini? Bangsawan-bangsawan atau hartawan-hartawan lain biasanya bersikap congkak dan menganggap orang dusun atau orang miskin, tidak lebih seperti anjing saja. Ia kagum dan semakin tertarik.
"Baiklah, Enci Hiang." Ia merasa agak malu, karena andaikata ia sendiri yang datang, tentu ia akan mengetuk begitu saja pintu rumah petani itu, membangunkan pemilik rumah untuk mengambil benda yang dititipkannya. Keduanya kini duduk di atas batu di tepi jalan, di luar dusun. Kusir melepaskan dua ekor kuda besar itu untuk memberi kesempatan mereka beristirahat dan makan rumput,
Sedangkan dia sendiri, setelah memperoleh perkenan nona majikannya, lalu merebahkan diri di bawah pohon, di atas rumput dan daun kering, dan sebentar saja diapun sudah mengorok saking lelahnya. Dia lelah dan ngantuk karena bekerja semalam suntuk tidak tidur. Kusir itu seorang laki-laki berusia kurang lebih empat puluh tahun, memakai sebuah topi caping lebar yang menyembunyikan muka dan lehernya dari sengatan matahari panas karena dia duduk di depan, tak terlindung atap kereta. Pakaiannya seperti pakaian bangsawan Kota Raja, serba biru dengan garis-garis putih di ujung kaki, lengan dan leher. Orangnya tinggi kurus dan sikapnya juga lemah lembut, agaknya seorang terpelajar pula walaupun pekerjaannya hanya kusir. Dua orang gadis itu duduk agak jauh dari kereta, bahkan tidak melihat kusir yang tidur ngorok itu. Mereka asyik bercakap-cakap.
"Adik Kiki, apakah engkau tidak merasa betapa antara kita yang baru saja berkenalan, ada kecocokan yang akrab? Aku terus terang saja suka kepadamu, karena engkau memiliki sifat yang gagah perkasa dan engkau cekatan, lincah dan jenaka, walaupun agak nakal, akan tetapi hatimu amat lembut dan baik..."
"Idiihh, kiranya Enci Hiang ini selain pandai dan cantik jelita, juga ahli merayu dan memuji orang! Tidak, aku hanya seorang gadis liar, seorang gadis kang-ouw yang bisanya hanya berkelahi saja!"
"Aku tidak percaya! Biarpun dari Ayah, aku tahu bahwa engkau adalah seorang gadis yang memiliki ilmu silat tinggi sekali, terutama sekali pandai bermain di air seperti seekor ikan hiu, biarpun engkau membunuh musuh-musuhmu sambil tersenyum manis, namun aku tahu bahwa engkau berjiwa pendekar dan patriot yang gagah.
"Ah, betapa senangnya hidup seperti engkau ini, adikku. Engkau hidup bebas seperti seekor burung terbang di angkasa raya, dapat melakukan apa saja sekehendak hatimu..."
"Ah, siapa bilang? Engkau lebih bebas. Engkau puteri pangeran, engkau berkuasa dan berharta. Siapa bisa melarangmu? Lihat saja tadi.
"Andaikata aku yang berada di kereta sendirian saja, belum tentu aku boleh lewat begitu mudah, dan tentu mereka akan bersikap kurang ajar kepadaku. Akan tetapi kepadamu, Enci... wahh, mereka seperti melihat malaikat saja, mati kutu dan ketakutan, dan begitu menghormat." Ceng Hiang menarik napas panjang.
"Hal itu kuakui. Memang semua pasukan, dari yang pangkatnya paling kecil sampai yang pangkatnya paling tinggi, menghormati Ayahku. Ayahku hanya seorang pangeran yang tidak menduduki jabatan penting, tidak memiliki kekuasaan, hanya penjaga perpustakaan dan seorang sasterawan, akan tetapi dia tidak pernah melakukan pelanggaran, selalu jujur dan setia, tidak mau berkorupsi dan selalu bertindak tegas menentang kelaliman. Itulah yang membuat semua orang tunduk dan segan."
"Hebat... dan ketika pertama kali aku bertemu Ayahmu, biarpun dia begitu halus budi dan tubuhnya lemah lembut, namun dia begitu berwibawa, membuat aku malu. Dan dia memiliki suatu keberanian yang belum tentu dimiliki oleh orang-orang yang pandai ilmu silat.
"Sikapnya demikian mengesankan dan aku segera tunduk. Karena itulah, ketika orangku mendorongnya ke laut, aku lalu meloncat terjun dan menyelamatkannya, dan ketika dia berpesan tentang peti terisi kitab-kitab, akupun melaksanakannya dengan baik. Entah bagaimana, aku merasa harus mentaati orang tua itu." Ceng Hiang memegang kedua tangan Kiki.
"Itulah... karena engkau pada hakekatnya seorang gadis yang baik budi dan halus perasaanmu, seperti kukatakan tadi. Dan engkau tentulah murid seorang yang memiliki ilmu kepandaian yang amat tinggi, adikku."
"Guruku adalah Ayah kandungku sendiri."
"Aih, betapa hebatnya. Siapakah nama Ayahmu, kalau aku boleh tahu?"
"Bumi dan langit kalau dibandingkan dengan Ayahmu, Enci Hiang. Ayahku seorang kasar dan sejak muda berkecimpung dalam dunia kekerasan. Ayahku bernama Tang Kok Bu, dan dia malah lebih terkenal dengan julukan Hai-tok." Kalau saja subuh itu tidak begitu remang-remang dan belum terang benar, tentu Kiki akan melihat keterkejutan menyelimuti wajah Ceng Hiang mendengar disebutnya julukan Hai-tok ini.
"Hai-tok (Racun Lautan)? Apakah Ayahmu itu seorang di antara Empat Racun Dunia?" Kini Kiki yang terheran dan mengamati wajah cantik jelita itu.
"Enci Hiang, seorang halus seperti engkau ini, yang tentu hanya bergaul dengan orang baik-baik saja, yang tak pernah mengalami apalagi mengenal orang-orang kang-ouw, bagaimana bisa tahu tentang Empat Racun Dunia?"
"Ehhh... ahhh..." Ceng Hiang gugup juga karena pertanyaan Kiki itu benar-benar membuatnya serba salah untuk menjawab. Melihat ini, Kiki tertawa tanpa menutupi mulutnya, karena ia adalah seorang gadis yang biasa hidup bebas. Akan tetapi, tanpa ditutupi mulutnya dengan tanganpun, sama sekali tidak membuat ia nampak kasar memalukan, bahkan semakin jelas nampak kemanisannya ketika tertawa.
"Aku mengerti, Enci Hiang. Tentu kakakmu yang memberi tahu, bukan? Kakakmu itu hebat sekali. Ilmu silatnya amat tinggi dan aku sudah ingin sejak tadi menanyakan, siapakah dia dan dari mana dia memperoleh ilmu silat sehebat itu. Aku sungguh kagum dan benar-benar terheran-heran. Sungguh mati, andaikata kami harus berkelahi mati-matian, aku meragukan sekali apakah aku akan menang melawan kakakmu itu!"
"Kakakku...? Ah, kau maksudkan koko (kanda)? Jangan heran, memang sejak kecil dia suka sekali mempelajari ilmu silat. Dan memang dialah yang bercerita kepadaku tentang Empat Racun Dunia. Lanjutkan dulu cerita tentang dirimu, nanti aku akan menceritakan tentang dia kalau memang engkau tertarik kepadanya." Mendengar nada suara gadis itu, wajah Kiki berubah merah dan ia pura-pura cemberut.
"Ihhh... siapa yang tertarik kepadanya? Aku hanya kagum dan heran, juga harimau keluargamu itu hebat."
"Teruskan dulu ceritamu, nanti kuceritakan tentang harimau kami. Jadi, Ayahmu yang berjuluk Hai-tok itu merupakan seorang di antara Empat Racun Dunia?"
"Benar sekali, Enci. Nah, kau tahu sekarang, aku hanyalah anak seorang datuk kau m sesat yang menjadi datuknya semua bajak laut maupun bajak muara dan sungai telaga! Aku lahir dari keluarga jahat dan di dunia kau m hitam! Mana bisa disamakan dengan engkau, Enci Hiang." Dalam suaranya, Kiki benar-benar menyatakan penyesalan akan keadaan keluarganya yang terkenal sebagai penjahat.
"Aku pernah mendengar dari kakakku, bahwa baru-baru ini pasukan pemerintah menyerbu Pulau Layar, bukankah di sana tempat tinggal Ayahmu?"
"Bukan hanya menyerbu, akan tetapi membasmi dan membakar pulau tempat tinggal kami. Hal itu terjadi setelah pasukanmu..."
"Pasukanku? Jangan ngawur, adik Kiki..."
"Ohh, maaf, maksudku... pasukan pemerintah! Pemerintah telah menyergap pesta ulang tahun yang diadakan Ayahku berhubung dengan usianya yang sudah tujuh puluh lima tahun."
"Wah, itu sudah keterlaluan namanya! Bagaimana mungkin pesta ulang tahun, apa lagi yang berpesta itu sudah berusia tujuh puluh lima tahun, diserbu oleh pasukan tentara?" Kiki menghela napas, teringat akan suhengnya dan diam-diam ia merasa marah bukan main. Satu di antara tugasnya adalah menyelidiki apakah suhengnya berada di Kota Raja, dan kalau benar dimana tinggalnya. Mungkin ia bisa menyelidiki melalui gadis ini atau setidaknya melalui kakak adik ini. Ayahnya ingin sekali menghukum sendiri murid pengkhianat itu.
"Maaf, adik Kiki. Kalau sampai pasukan pemerintah menyerbu pesta itu, mungkin ada apa-apanya di balik pesta itu. Benarkah begitu? Aku sendiri tidak tahu apa-apa tentang pemberontakan... eh, maksudku, yang kalian sebut perjuangan menumbangkan kekuasaan penjajah. Kenapa sebuah pesta sampai diserbu pasukan?" Kiki menghela napas panjang. Menghadapi seorang seperti Ceng Hiang ini, mana bisa ia membohonginya? Orang ini demikian halus, demikian baik dan jujur. Ia pun harus membalas kejujuran itu.
"Memang ada alasannya! Selain berpesta ulang tahun, Ayah juga mengumpulkan tokoh-tokoh besar di dunia persilatan untuk diajak mengadakan rapat rahasia tentang keinginan semua orang untuk menumbangkan pemerintah penjajah dan mengusir orang-orang kulit putih."
"Ah, jadi begitukah? Kalau begitu... kalau begitu, orang-orang yang tadi kau katakan sebagai kau m dunia hitam itupun bersatu dengan para pem... eh, pejuang rakyat?"
"Tentu tidak semua, Enci. Hanya mereka yang masih mempunyai sekelumit semangat untuk membela nusa bangsa, membela tanah air. Dan Ayahku termasuk pula orang itu..."
"Dan engkau juga?"
"Enci Hiang, engkau tadi mengatakan sendiri bahwa engkau, biarpun seorang puteri keturunan Mancu, tidak suka akan penjajahan dan penindasan!"
"Kau benar, kau benar... adikku. Wah, ceritamu menarik sekali. Aku sungguh tertarik dan senang mendengarnya, juga tegang sampai jantungku berdebar tidak karuan..."
"Dan sekarang tiba giliranmu untuk bercerita, dan aku akan bertanya. Kuharap engkau suka berlaku jujur menjawab semua pertanyaanku seperti aku tadi, Enci."
"Baiklah, akan kucoba. Nah, tanyalah."
"Tentang Ayahmu dan kau sendiri sebagai bangsawan-bangsawan yang tidak suka akan penjajahan penindasan, tadi sudah kau ceritakan. Akan tetapi, sekarang aku hendak bertanya: Kenapa Ayahmu demikian mementingkan kitab-kitab kuno itu?
"Ayahku dan aku dengan susah mencoba untuk membacanya, namun kami berdua tak berhasil. Sungguh kami berdua merasa buta huruf benar-benar menghadapi huruf-huruf dalam kitab-kitab itu. Apa sih gunanya kitab-kitab seperti itu, sehingga Ayahmu demikian mementingkan dan dalam keadaan terancam bahaya saja dia amat memperhatikannya dan pesan kepadaku agar kitab-kitab itu kukirimkan kepadamu kalau sampai dia tewas."
"Aku sendiri tidak akan mampu membacanya, adikku. Kitab-kitab mengandung huruf-huruf yang amat kuno dan agaknya, di Kota Raja sekalipun hanya ada beberapa gelintir manusia saja yang akan mampu membaca dan menterjemahkannya, termasuk Ayahku, karena Ayah adalah seorang ahli huruf kuno, ahli sastera Sansekerta dari India. Adapun isi kitab-kitab kuno, seperti kau tahu, tentu mengandung pelajaran tentang kebatinan, agama, dan mungkin juga kepandaian silat."
"Ilmu silat? Wah, sungguh hebat kalau begitu. Akan tetapi, Ayahmu seorang yang tidak suka akan kekerasan, tentu tidak akan belajar silat. Dan engkau... seorang dara cantik jelita dan halus. Biarpun demikian, aku dapat menduga bahwa Ayahmu tentu ingin menterjemahkan kitab ilmu silat itu untuk diberikan kakakmu! Benar tidak?" Ceng Hiang tersenyum dan hanya mengangguk saja.
"Ketika aku memasuki rumah keluargamu, aku terjebak ke di dalam ruangan bawah itu, dan aku berkesempatan untuk bertemu dengan kakakmu bersama harimaunya. Ilmu silatnya tinggi sekali. Bagaimana dia begitu lihai ilmu silatnya, sedangkan Ayahmu hanya seorang sasrerawan lemah, dan kau juga seorang gadis lemah lembut..."
"Ah, dia itu sejak kecil memang suka belajar ilmu silat, adik Kiki... dan tentu saja dia dapat disebut pandai karena dia mewarisi ilmu silat dari keturunan, keluarga para pendekar Pulau Es"
"Ahhhl!" Kiki terbelalak kagum.
"Di antara keluarga Kerajaan Ceng, tidak ada seorangpun yang dipercaya oleh mendiang Puteri Milana kecuali keluarga kami. Itupun dilakukan secara amat rahasia. Ayahku sendiri yang menerima beberapa buah kitab pelajaran ilmu silat pulau Es, dan bersumpah bahwa Ayah hanya akan menyerahkan kepada anaknya yang dianggap berbakat dan dipercaya memiliki watak yang baik.
"Demikianlah, Ayah menerima kitab pelajaran yang amat terperinci, dari dasar-dasar ilmu silatnya sampai beberapa macam ilmu silat keluarga sakti itu. Kalau saja dapat dipelajari seluruh ilmu dari keluarga para pendekar Pulau Es, tentu akan lebih hebat lagi."
"Aihhh... kalau begitu, dia keturunan atau murid langsung dari Pulau Es dan merupakan pewaris terakhir dan tunggal...!" seru Kiki pula dengan penuh kagum. Ceng Hiang tersenyum manis.
"Belum tentu adikku. Jangan memujinya terlalu tinggi, karena ketahuilah bahwa keluarga Pulau Es telah menjadi keluarga yang besar dan banyak sekali. Sekarang, entah siapa saja keturunan mereka, akan tetapi aku yakin tentu banyak pula. Hanya, karena sejak dahulu keluarga Pulau Es merupakan pendekar-pendekar sakti yang tidak mau mencampuri urusan pemerintah dan tidak suka menonjolkan diri, maka mungkin tidak dikenal oleh dunia persilatan."
"Akan tetapi kakakmu itu... wah, dia memang hebat!" kembali Kiki berkata, dan Ceng Hiang hanya tersenyum saja.
"Siapakah namanya, Enci?"
"Namanya? Ah, namanya hampir sama dengan namaku, namanya Siang. Ceng Siang... tapi sudahlah, jangan bicarakan dia. Dia paling tidak suka dibicarakan oleh kau m wanita."
"Kenapa begitu?"
"Entah, pokoknya dia tidak suka kepada gadis-gadis."
"Ahhh..."
"Kenapa?"
"Pantas sikapnya terhadap akupun menghina dan mengejek sekali!"
"Maafkan dia, Ki-moi. Dia menghina dan mengejek bagaimana sih?"
"Berkali-kali dia memaki aku maling dan mengejek kepandaianku yang katanya masih rendah."
"Wah, dia sombong! Kepandaianmu tentu hebat, adikku... kalau tidak, mana mungkin mampu memimpin bajak laut yang terkenal? Menurut Ayah, kau lihai bukan main."
Pedang Naga Kemala Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Ah, tidak. Bagaimanapun juga, harus kuakui bahwa aku belum tentu menang melawan kakakmu! Akan tetapi sekali waktu, aku ingin mengajaknya bertanding untuk menguji kepandaian."
"Nah, sudah siang, dan itu banyak sudah orang yang keluar dari dusun, tentu hendak bekerja di sawah. Mari kita datang ke petani yang kau titipi peti itu, adik Kiki." Mereka lalu bangkit dan memasuki dusun setelah Ceng Hiang memesan kepada kusirnya yang sudah bangun untuk menunggu di situ. Tentu saja orang-orang dusun memandang dengan bengong, heran dan kagum melihat masuknya dua orang gadis yang demikian cantik dan mewahnya ke dusun mereka. Akan tetapi, Kakek dan nenek pemilik rumah gubuk yang dititipi peti oleh Kiki, menyambut Kiki dengan muka cerah.
"Wah, girang sekali hati kami melihat nona datang. Hati kami selalu tidak enak semenjak nona menitipkan peti itu," kata si Kakek. Kiki mengerutkan alisnya.
"Kenapa, kek?" Ketika menitipkan, Kiki hanya mengatakan bahwa isinya adalah kitab-kitab kuno yang tidak berharga dan karena keberatan, ia titipkan di situ untuk dijemput beberapa hari kemudian, dan untuk itu ia memberi upah yang cukup lumayan kepada Kakek dan nenek itu. Setelah celingukan ke sana sini, Kakek itu lalu berkata kepada Kiki, suaranya berbisik.
"Beberapa hari yang lalu, di dusun ini muncul tiga orang Hwesio yang amat jahat. Mereka bertanya-tanya tentang peti hitam berisi kitab-kitab. Untung kami berdua tak pernah bercerita kepada siapa saja, sehingga tidak ada orang yang tahu bahwa kamilah yang menyimpan benda itu, dan kamipun diam saja, pura-pura tidak tahu. Dan tiga orang Kakek pendeta itu telah menyiksa beberapa orang laki-laki muda dari dusun ini yang dipaksanya untuk mengaku, padahal mereka benar-benar tidak tahu."
Tentu saja Kiki merasa terkejut bukan main mendengar ini. Akan tetapi hatinya juga lega ketika ia melihat bahwa peti hitam itu masih utuh, disembunyikan di dalam kamar, di bawah tempat tidur reyot milik Kakek dan nenek itu. Ia dan Ceng Hiang cepat membuka peti dan melihat bahwa memang kitab-kitab kuno itu masih lengkap, jumlahnya tidak kurang dari lima puluh jilid, sebagian besar adalah kitab-kitab agama yang amat kuno dan tulisannya memakai huruf-huruf yang mereka berdua tak dapat membacanya.
"Sekarang dimana tiga orang Hwesio itu, kek?" tanya Kiki, hatinya merasa tidak enak sekali. Apalagi Ceng Hiang, alisnya berkerut dan ia mendengarkan dengan hati tegang.
"Tidak tahu, nona. Setelah menghajar orang, mereka lalu pergi dengan ancaman bahwa kalau ada yang menyembunyikan benda itu, kelak kalau terdapat orangnya akan dibakar hidup-hidup dan dikirimi ke neraka oleh doa-doa mereka!"
"lhhh!" seru Kiki.
"Hwesio macam apa sejahat itu!"
"Hati-hati, adik Kiki... aku yakin bahwa mereka itu tentu sengaja datang untuk merampas kitab-kitab ini."
"Enci Hiang, bagaimana kau bisa tahu?"
"Sudah jelas, mereka mencari benda ini dan menyiksa orang, dan mereka adalah Hwesio -Hwesio , sedangkan kitab-kitab ini adalah kitab-kitab tentang agama yang kuno, yang oleh Ayah diambil dari kuil besar kuno di Mukden atas perintah kaisar sendiri yang ingin menyelamatkan semua kitab kuno agar dirawat dan disusun oleh Ayahku sebagai pengisi perpustakaan istana."
"Ah, kalau begitu, tentu mereka itu pendeta-pendeta yang datang dari Mukden," kata Kiki.
"Belum tentu. Para pendeta di sana tentu tidak berani melakukan hal yang sifatnya memberontak itu. Mungkin juga teman-teman mereka, atau pendeta-pendeta pendatang dari lain tempat yang bersekongkol dengan pendeta-pendeta Mukden."
"Atau mungkin juga orang-orang jahat yang menyamar sebagai pendeta-pendeta untuk merampas kitab-kitab ini," kata Kiki.
"Rasanya tidak mungkin itu, adikku. Penjahat mana yang akan suka merampas kitab kuno seperti ini? Kita sendiripun tidak bisa membacanya. Sejak kecil aku dididik Ayah dengan ilmu sastera, akan tetapi kitab-kitab ini aku hanya bisa membaca beberapa belas hurufnya saja. Untuk apa mereka bersusah payah merampas kitab-kitab ini? Dijualpun takkan laku." Dua orang gadis itu menduga-duga, akan tetapi karena jelas bahwa ada musuh yang berniat buruk merampas peti itu, Kiki lalu cepat memanggul peti itu, di atas pundaknya dan berkata.
"Mari kita, cepat kembali ke Kota Raja, Enci." Bergegas keduanya lalu keluar dari dusun itu menuju ke tempat dimana mereka meninggalkan kereta. Agaknya kusir yang tahu akan kewajibannya itu sudah siap karena dia sudah memasang lagi dua ekor kuda itu di depan kereta dan sudah duduk di tempatnya, yaitu di bangku depan. Melihat bahwa kereta sudah siap, Ceng Hiang berkata.
"Mari kita cepat pulang!" Ceng Hiang bersama Kiki yang membawa peti hitam itu, iapun naik dan memasuki kereta. Hati mereka lega setelah kereta itu bergerak meninggalkan tempat itu dengan cepatnya. Akan tetapi betapa kaget hati mereka ketika kereta itu makin lama bergerak semakin cepat sampai membalap seperti dikejar setan atau sedang berlumba dengan kereta lain. Melihat ini, Ceng Hiang membentak.
"Kusir, kenapa begini cepat? Lambatkan sedikit larinya kuda, apa engkau ingin celaka di tempat yang jalannya tidak rata ini?" Sungguh aneh. Kusir tidak menjawab, akan tetapi larinya dua ekor kuda itu tidak berkurang, bahkan semakin membalap. Kiki mengerutkan alisnya dan membuka gorden, memandang ke muka. Kusir itu masih sama seperti kemarin, jangkung dan mengenakan pakaian serba biru. Akan tetapi ia tidak melihat muka orang itu dan ia menjadi curiga.
"Berhenti! Hayo hentikan kereta ini atau engkau akan kupukul!" bentaknya kepada kusir itu. Kiki marah, karena kini melihat bahwa kereta itu mengambil jalan yang salah, bukan menuju ke Kota Raja, melainkan membelok dan kini berada di luar sebuah hutan yang sunyi. Kereta itu tiba-tiba berhenti dan ketika Ceng Hiang dan Kiki membuka gorden jendela dan pintu kereta, mereka melihat bahwa kereta itu telah dikurung oleh segerombolan orang berkuda yang dikepalai oleh tiga orang Hwesio gendut!
"Enci Hiang, kau di dalam saja bersama peti ini, biar aku yang menghadapi mereka!" Kata Kiki, sedikitpun tidak merasa gentar, bahkan sepasang matanya mengeluarkan sinar mencorong dan mukanya merah sekali.
Ia nampak semakin manis dan gagah perkasa, dan ketabahannya memancar di sinar mukanya, membuat Ceng Hiang merasa kagum bukan main. Kiki lalu melompat ke luar dan ia menghitung jumlah lawan. Ada tujuh orang. Tiga orang Hwesio gendut, dua orang lagi berpakaian biasa dan kusir itu yang ternyata bukanlah kusir kereta Ceng Hiang tadi, melainkan seorang lain yang telah mengenakan pakaian yang sama. Agaknya diam-diam kusir yang aseli telah disingkirkan dan tempatnya diganti oleh orang ini. Tiga orang Hwesio dan dua orang kurus itu meloncat turun pula dari atas kuda masing-masing. Seorang di antara tiga Hwesio itu, yang mempunyai tahi lalat besar di ujung hidungnya sehingga nampak lucu dan buruk, dengan perutnya yang gendut dan tubuhnya yang agak pendek, melangkah maju menghadapi Kiki.
(Lanjut ke Jilid 28)
Pedang Naga Kemala (Seri ke 01 - Serial Pedang Naga Kemala)
Karya : Asmaraman S. (Kho Ping Hoo)
Jilid 28
"Serahkan peti hitam berisi kitab-kitab itu kepada kami, dan kamipun tidak akan mengganggu dua orang gadis yang lemah." Kiki tersenyum mengejek.
"Engkau ini Hwesio dari kuil, ataukah pelawak yang menyamar sebagai Hwesio , ataukah orang-orang jahat tolol, tikus-tikus kecil yang datang mengantar kematian?" Hwesio itu melototkan matanya.
"Omitohud! Kiranya perempuan ini seorang kuntilanak yang mencari penyakit sendiri. Perempuan sombong, ketahuilah bahwa kami adalah orang-orang yang berilmu tinggi, yang menginginkan kitab-kitab itu. Jangan berani menghina kami, dan cepat serahkan peti itu!"
"Dari pada aku yang menyerahkan peti, lebih baik kalian yang menyerahkan leher kalian untuk kupenggal satu-satu sebagai hukuman atas kejahatan kalian berani mengganggu aku!"
"Suheng, perlu apa bicara banyak-banyak dengan dia? Anak ini cukup manis, biar untuk aku saja!" kata seorang di antara dua laki-laki berpakaian biasa yang bertubuh kurus.
Dan sebelum kata-katanya habis diucapkan, tubuhnya sudah menubruk ke arah Kiki. Gerakannya cepat dan dari kedua lengannya yang dikembangkan itu mengeluarkan angin pukulan yang cukup kuat. Akan tetapi Kiki tidak mau kalah gertak. Ia benci sekali kepada laki-laki yang kurang ajar, dan orang ini telah mengeluarkan kata-kata yang amat menghinanya. Oleh karena itu, melihat laki-laki kurus itu menyerangnya dengan tubrukan seperti harimau hendak menerkam kambing, kemarahannya meluap dan iapun sudah mengerahkan tenaga sin-kang, dan menggunakan jurus dari ilmu Thai-lek Kim-kong-jiu yang dahsyat itu. Tangannya menyambar ke depan dan serangkum tenaga angin pukulan yang luar biasa dahsyatnya menyambut laki-laki itu.
"Dessss.!!" Tubuh laki-laki itu terdorong ke belakang dan terbanting roboh keras sekali. Akan tetapi dia tidak tewas, melainkan mengeluarkan darah dari mulutnya, tanda bahwa dia telah menderita luka dalam. Tidak tewasnya orang ini mengejutkan Kiki, karena ia maklum bahwa lawannya itu sebetulnya cukup tangguh. Tadi ia dapat merobohkannya dengan mudah hanya karena laki-laki memandang rendah kepadanya dan menyerangnya dengan kedua lengan terkembang sehingga dadanya terbuka dan enak dijadikan sasaran pukulannya. Akan tetapi, yang lebih kaget lagi adalah tiga orang Hwesio itu.
"Eh, perempuan muda, siapakah engkau ini!" bentak Hwesio gendut bertahi lalat di ujung hidungnya. Kiki tidak menyembunyikan siapa dirinya.
"Namaku Tang Ki, dan Ayahku adalah Hai-tok!" Nama ini membuat muka empat orang itu menjadi pucat.
"Hai-tok pemimpin Bajak Naga Laut?"
"Akulah pemimpinnya!" kata pula Kiki.
"Celaka, kita terjebak. Larikan kereta!" bentak Hwesio gendut itu, dan dia bersama tiga orang kanannya sudah menggerakkan senjata mengepung dan mengeroyok Kiki, sedangkan kusir itu sudah mengaburkan lagi kudanya.
"Berhenti kau !" Kiki membentak dengan khawatir, akan tetapi empat orang yang menghadangnya itu ternyata amat lihai! Terutama tiga orang Hwesio itu yang mainkan golok amat tangkas dan berbahaya sehingga terpaksa Kiki mengelak ke sana-sini dan tidak dapat mengejar kereta yang sudah kabur dengan cepat memasuki hutan.
Tentu saja hatinya gelisah bukan main, kegelisahan bukan khawatir akan kehilangan peti berisi kitab-kitab itu, melainkan mengkhawatirkan keselamatan Ceng Hiang. Empat orang lawannya itu ternyata memang lihai. Si laki-laki kurus satu lagi bersenjatakan pedang dan kini yang terkena pukulannya juga sudah mampu bangkit dan biarpun mukanya pucat, dia dapat pula mengeroyok dengan pedang. Lima orang itu kini sama sekali tidak berani main-main lagi, bahkan merasa terjebak ketika mendengar bahwa gadis ini adalah puteri Hai-tok, bahkan pemimpin dari Bajak Naga Laut yang amat terkenal itu. Mereka semua mengerahkan tenjata dan tenaga untuk mengeroyok Kiki yang bertangan kosong! Biarpun demikian, semua serangan mereka tidak ada yang mampu merobohkan Kiki.
Gadis ini mengelak sambil berloncatan seperti seekor burung saja, bahkan tidak jarang kalau ada golok atau pedang yang tak dapat dielakkan karena datangnya terlampau cepat, ditangkisnya begitu saja dengan lengan telanjang sehingga lengan bajunya ada yang robek, akan tetapi kulit lengan yang putih mulus itu sama sekali tidak terluka oleh bacokan pedang ataupun golok lawan. Tentu saja dalam hal ini Kiki juga berhati-hati, tidak berani ia menangkis setiap bacokan golok atau pedang yang dilakukan dengan sin-kang yang terlalu kuat, karena kekuatan sin-kang lawan itu akan dapat menembus pertahanan kekebalan kulit lengannya. Biarpun demikian, ia mulai terdesak hebat karena lima orang pengeroyoknya itu lihai dan ia memang tidak diberi kesempatan untuk mencari senjata. Apalagi hatiny" gelisah bukan main kalau mengingat keadaan Ceng Hiang.
Gadis yang lemah lembut dan cantik jelita itu dilarikan di dalam kereta oleh kusir palsu itu yang dalam hal kekejaman dan kejahatannya tentu tidak kalah oleh rekan-rekannya. Oleh karena itu, kegelisahan ini menambah kelemahan pertahanannya dan kini Kiki mulai mundur-mundur dan mencari peluang untuk melarikan diri dan untuk mengejar kereta itu agar ia dapat melindungi Ceng Hiang. Akan tetapi, ketika ia memandang ke arah hutan di mana kereta itu tadi menghilang, ia terbelalak melihat Ceng Hiang berjalan melenggang sambil memanggul peti hitam terisi kitab-kitab itu, dengan sikap seenaknya saja! Hampir saja lehernya kena disambar golok Hwesio bertahi lalat kalau saja ia tidak cepat melempar tubuh ke belakang dan bergulingan, lalu dari bawah ia meloncat sambil menendang.
"Bukkk!" Tendangannya mengenai sasaran, menghantam perut Hwesio gendut itu, akan tetapi tenaga tendangannya itu membalik! Kiranya Hwesio ini kekuatannya terletak di perut yang gendut itu.
Bukan gendut karena terlalu banyak makan, melainkan gendut karena terlatih dan kini terisi hawa sin-kang yang kuat sehingga ketika ditendang, ia merasa seperti menendang sebuah balon besar terisi angin yang padat saja! Iapun bergulingan menjauh dan meloncat berdiri, agak jauh sehingga ia dapat memperoleh kesempatan melihat ke arah temannya. Dan apa yang dilihatnya? Ceng Hiang kini sudah menaruh peti hitam itu di atas tanah dan ia sendiri duduk bersila di atas peti itu, dengan sebatang pedang di tangannya. Dan dua orang Hwesio mengeroyoknya dengan golok, akan tetapi kemanapun golok menyambar, tanpa menoleh, tanpa merubah bentuk duduknya yang bersila, Ceng Hiang selalu berhasil menangkis serangan golok lawan. Semua dilakukan seenaknya seperti seorang anak kecil yang sedang main-main saja!
"Trang-tring-trang-tring..."
Berkali-kali terdengar suara senjata bertemu, dan tiba-tiba seorang Hwesio meloncat ke belakang dengan muka pucat karena ujung goloknya telah somplak, patah ujungnya ketika ditangkis pedang Ceng Hiang! Melihat ini, hampir saja Kiki bersorak, akan tetapi juga ingin menampar mukanya sendiri. Ia teringat pedang itu, dan kini tahulah ia siapa Ceng Hiang. Ceng Hiang adalah opsir itu! Ia tadi berbohong saja ketika menyebut nama Ceng Siang! Pantas begitu tampan pemuda itu. Saking girangnya dan melihat bahwa ia memperoleh kesempatan karena kini lima orang itu berbalik mengeroyok Ceng Hiang untuk merampas peti, ia cepat lari ke pohon dan mematahkan sebuah cabang pohon untuk dipakai sebagai senjata tongkat, senjata yang paling enak dan ampuh baginya. Setelah kini memegang tongkat, dara inipun lari ke arena perkelahian.
"Enci Hiang, kau nakal! Kiranya engkaulah opsir lihai itu. Mari kita basmi tikus-tikus ini!" Dan diapun mengamuk dengan tongkatnya. Setelah kini ada Ceng Hiang yang demikian tenangnya menangkisi semua senjata, Kiki mengamuk dan tongkatnya menyambar-nyambar, merobohkan seorang Hwesio . Melihat keadaan demikian berbahaya, lima orang itu lalu melarikan diri. Dua orang terluka oleh tongkat Kiki, seorang lagi terpincang-pincang karena pahanya luka oleh pedang Ceng Hiang. Kiki hendak mengejar, akan tetapi Ceng Hiang berkata.
"Tak perlu dikejar, Ki-moi. Mari kita cepat pulang!" Kiki mengikuti Ceng Hiang yang membawa peti itu dan kembali ia tertegun. Ceng Hiang mempergunakan ilmu berlari cepat yang demikian hebat, mungkin lebih tinggi tingkatnya dari pada ilmunya sendiri. Tak lama kemudian, mereka tiba di tengah hutan dan kereta itu berada di situ. Kusir yang tadi sudah menggeletak tanpa nyawa di bawah kereta.
"Biar kita duduk di bangku kusir sambil bercakap-cakap." kata Ceng Hiang.
"Aku biasa menjadi kusir!" Sambil tertawa, Kiki meloncat ke bangku kusir bersama Ceng Hiang dan setelah menyimpan peti di dalam kereta, dan kereta dilarikan, Kiki merangkul gadis cantik jelita itu.
"Enci, kau nakal. Kiranya engkaulah opsir muda itu! Betul tidak? Yang namanya Ceng Siang itu, juga engkau yang menyamar, bukan?"
"Hi-hik, habis aku tidak tega mengecewakan hatimu, nampaknya engkau tertarik benar kepada... heh-heh, Ceng Siang kakakku itu." Kiki mencubit paha Ceng Hiang.
"Tertarik? Hampir aku jatuh cinta setengah mati! kau nakal dan kejam, mempermainkan aku, Enci. Kiranya engkaulah murid keturunan keluarga Pulau Es! Aku senang sekali dapat berkenalan denganmu, Enci Hiang." Ceng Hiang balas merangkul dengan lengan kirinya, sedangkan tangan kanannya menguasai kendali dua ekor kuda yang menarik kereta.
"Akupun suka sekali padamu, Kiki. Sayang aku bukan yang bernama Ceng Siang. Kalau aku laki-laki, mungkin aku sudah jatuh cinta padamu sejak kita jumpa dulu."
"Enci Hiang, engkau begini cantik jelita, begini halus dan lembut. Kenapa malam itu engkau memakai pakaian opsir dan menyamar sebagai seorang pria?" Ceng Hiang menghela napas panjang.
"Kasihan Ayahku. Dia demikian ingin mempunyai keturunan laki-laki. Karena dia tidak punya putera, hanya mempunyai aku seorang anak saja dan ibu telah meninggal, maka untuk menyenangkan hatinya, aku seringkali menyamar sebagai pria. Kalau aku memakai pakaian pria, wah, Ayahku nampak gembira bukan main, dan anehnya, dia sering menyebutku Ceng Siang karena katanya, kalau aku dulu terlahir laki-laki, tidak diberi nama Ceng Hiang melainkan Ceng Siang. Heh-heh, Ayahku memang lucu dan kasihan sekali."
"Dia seorang pangeran tua yang amat baik hati, Enci. Akan tetapi kenapa engkau memakai pakaian opsir?"
"Hik-hik, itu ada rahasianya. Pakaian opsir itu adalah satu di antara kumpulan pusaka kuno yang disimpan Ayahku. Pakaian itu dahulu, mungkin seratus tahun lalu, pernah menjadi pakaian panglima Puteri Nirahai, isteri pendekar Super Sakti dari Pulau Es.
"Kebetulan terjatuh ke tangan Ayah yang suka mengumpulkan benda benda kuno dan malam itu, melihat engkau memasuki rumah seperti seorang pencuri, aku sengaja memakainya dan membawa harimau peliharaanku untuk menakut-nakutimu. Eh, tidak tahunya engkau begitu cantik dan gagah perkasa, sehingga harimauku sendiri tidak mampu apa-apa kepadamu."
"Tidak mampu apa-apa bagaimana? Hampir aku terkencing ketakutan!" Dua orang gadis itu tertawa-tawa dan mereka nampak akrab bukan main. Memang mereka merasa saling suka dan lebih lagi ketika Kiki melihat sendiri betapa lihainya gadis bangsawan ini. Cantik jelita seperti bidadari, nampak lemah-lembut, peranakan Mancu berdarah keluarga kaisar, akan tetapi membenci penindasan dan penjajahan, dan yang lebih hebat lagi, memiliki ilmu kepandaian silat yang lebih tinggi darinya, bahkan menjadi pewaris ilmu keluarga Pulau Es! Siapa tidak akan kagum?
"Enci Hiang, akupun tidak mempunyai saudara. Anak Ayahku hanya aku seorang, dan bertemu denganmu, aku benar-benar merasa seolah-olah engkau ini Enciku sendiri."
"Dan kau seperti adikku sendiri!" Keduanya saling pandang dan entah digerakkan oleh apa, keduanya bicara berbareng,
"Bagaimana kalau kita angkat saudara..." Karena ucapan dikeluarkan berbareng, keduanya tak perlu menjawab lagi dan keduanya kembali tertawa-tawa.
"Adikku, bagaimanapun juga, aku harus minta perkenan dulu dari Ayahku, walaupun aku berani tanggung bahwa Ayah tentu akan setuju sekali. Semenjak pulang, dia selalu memuji-mujimu, dan mengatakan betapa sayangnya seorang pendekar wanita pejuang seperti engkau sampai hidup di tengah-tengah para bajak laut!" Memang tepat seperti diduga oleh Ceng Hiang. Begitu Ceng Hiang menyerahkan peti berisi kitab-kitab kuno itu kepada Ayahnya dan menceritakan semua pengalaman mereka, lalu menambahkan bahwa ia ingin sekali mengangkat saudara dengan Tang Ki, pangeran tua itu tanpa memandang kepada Kiki dan berkata.
"Mimpi apa aku ini, tahu-tahu peroleh seorang anak perempuan lagi yang segagah ini tanpa merawat ketika kecil? Mulai saat ini, engkau adalah adik Ceng Hiang, Kiki, dan anakku yang kedua." Mendengar ini, Kiki merasa terharu sekali dan cepat-cepat ia menjatuhkan diri berlutut di depan kaki pangeran itu.
"Terima kasih atas kebaikan budi paduka..."
"Hushhh, aku Ayahmu, lupakah kau ?" kata pangeran itu dengan suara pura-pura marah penuh teguran.
"Maaf... Ayah..." Ceng Hiang bertepuk tangan lalu menghampiri Kiki, mengangkatnya bangkit dan merangkul lalu mencium kedua pipinya dengan penuh rasa sayang, Menghadapi kegembiraan yang demikian besarnya dari Ayah dan anak itu, Kiki yang biasanya memiliki ketabahan besar dan yang biasanya pantang menangis itu, kini terisak-isak dan mendekapkan mukanya di pundak Ceng Hiang.
"Terima kasih... terima kasih, Enci Hiang dan... Ayah..." katanya megap-megap menahan tangis keharuannya.
"Aku... aku... hanya anak seorang datuk sesat, ah... betapa mungkin dan kalian berdua... ini. Mimpikah aku, Enci? Mimpikah aku..." Dan Kiki menjambak rambutnya sendiri untuk mendapatkan kenyataan bahwa ia benar-benar tidak sedang dalam mimpi.
"Tidak mimpi, Kiki. Dan engkau tidak perlu berterima kasih seperti itu. Pertama, engkau pernah mengembalikan nyawaku yang sudah hampir ditelan lautan, dan kedua kalinya, engkau mengembalikan peti kitab-kitab ini. Sungguh, engkau seorang anak yang baik dan mudah-mudahan selanjutnya akan sebaik Ceng Hiang. Nah, sekarang bantulah aku mengeluarkan dan membersihkan kitab-kitab ini. Akan kucari mana yang tepat untuk kita." Dengan gembira sekali, Ceng Hiang dan Kiki lalu mengeluarkan kitab itu satu demi satu, dibersihkan satu-satu, sedangkan Pangeran Ceng Tiu Ong mulai memeriksa judul kitab itu satu demi satu. Akhirnya, dia menyisihkan dua buah kitab kuno yang sudah kuning dan lapuk. Wajahnya berseri. Semua hanya kitab-kitab agama dan kebatinan, kecuali yang dua ini. Dua!
"Ya Tuhan, terima kasih. Memang engkau sudah berjodoh untuk menjadi keluarga kami, Kiki. Dulu, ketika memeriksa untuk yang pertama kalinya, aku teringat bahwa hanya ada sebuah kitab pelajaran silat di sini. Akan tetapi setelah kini kuteliti kembali, ternyata ada dua buah! Satu untuk Hiang, satu untuk kau ! Bukankah ini sudah jodoh namanya?" Dua orang gadis itu saling pandang. Mereka sudah memiliki ilmu-ilmu silat yang tinggi dan untuk waktu itu, jarang ada orang yang mampu menandingi mereka, apalagi wanita. Dan kini Ayah mereka menemukan ilmu silat dalam kitab kuno. Untuk apa? Mana ada ilmu silat dalam kitab kuno yang usianya sudah ratusan tahun itu yang akan mampu menandingi ilmu-ilmu mereka? Apa artinya kitab pelajaran ilmu silat bagi mereka?
"Kitab pelajaran ilmu silat apakah itu, Ayah?" tanya Kiki.
"Mungkin hanya untuk ilmu permulaan, Ayah," kata Ceng Hiang.
"Jangan tanya aku tentang ilmu silat. Akan tetapi judulnya cukup menarik. Kalian mau tahu? Ah, nanti dulu. Sebagai Ayah, aku harus bertindak adil. Aku sama sekali tidak mengenal ilmu silat dan tidak tahu mana yang lebih penting bagi kalian di antara kedua kitab ini. Oleh karena itu, sebelum kubaca judulnya dan sebelum kuterjemahkan isinya, aku akan memberikan dulu kepada kalian seorang satu. Nah, yang agak merah tulisannya ini untukmu, Ceng Hiang, karena engkau suka akan warna merah, bukan? Dan ini, yang agak hijau tulisannya, untuk Kiki. Mudah-mudahan engkau suka warna hijau, Kiki."
Dewi Sungai Kuning Eps 4 Gelang Kemala Eps 16 Dewi Ular Eps 15