Ceritasilat Novel Online

Pedang Sinar Emas 25


Pedang Sinar Emas Karya Kho Ping Hoo Bagian 25




   Peristiwa seperti ini sudah terlalu sering terjadi sehingga pada masa itu, kejadian seperti ini dianggap biasa saja. Apa komentar orang yang lemah semangat?

   "Salah Liem Kwan Ti sendiri, mengapa ia sampai memancing permusuhan dengan orang berkuasa seperti Souw Sit dan ayahnya ia bodoh dan kebodohannya yang membawa keluarganya binasa."

   Adapun orang orang yang bersemangat dan cinta bangsa, hanya mengucurkan air mata dengan diam diam, menyesali nasib bangganya yang celaka. Apakah daya mereka? Tanpa kekuatan balatentara yang besar tak mungkin bangsanya dapat bangkit melawan penjajah. Sedangkan kaum penjajah sudah mencengkeram semua orang sampai ke dusun dusun. Tak seorangpun dapat bergerak bebas.

   Kurang lebih sebulan kemudian semenjak terjadi peristiwa itu, seorang pemuda yang berpakaian seperti seorang pelajar, berusia belum dua puluh tahun, berwajah tampan dan bersikap halus, datang di kota raja dan langsung menuju ke rumah Liem Kwan Ti.

   Orang orang di sekitar rumah itu sudah hampir melupakan peristiwa itu, dan kini mereka semua terheran melihat datangnya pemuda ini. Rumah itu masih ditutup dan dinyatakan menjadi hak milik pemerintah. Ketika pemuda ini melihat rumah tertutup ia lalu bertanya kepada sebelah tetangga, seorang pemilik toko obat.

   "Maaf, lopek. Bolehkah saya bertanya, kemana gerangan perginya pamanku Liem Kwan Ti dan keluarganya sehingga rumahnya ditutup?"

   Pemilik toko obat itu juga seorang Han, she Kwa. Ia lalu mengajak pemuda itu masuk dan setelah duduk ia bertanya perlahan, "Kau siapakah, hiante?"

   "Saya bernama Liem Pun Hui dari Propinsi Cekiang. Jauh jauh saya datang ke sini untuk mengunjungi pamanku Liem Kwan Ti, tidak tahu dia berada di manakah? Menurut keterangan yang saya dapat, tempat tinggalnya adalah di sini."

   "Memang betul, dia dahulu tinggal di sini. Sayang kau terlambat kurang lebih satu bulan Ah". bukan, bukan sayang, kumaksudkan, kau beruntung sekali terlambat. Karena kalau kau datang sebulan di muka, kiranya kaupun takkan selamat."

   "Eh, apakah yang terjadi, lopek?" Liem Pun Hui bertanya terkejut.

   Orang tua pemilik toko obat itu memandang kekanan kiri, lalu memegang tangan pemuda itu, diajaknya masuk ke dalam kamarnya. Sebelum bicara, ia menutupkan pintu kamar itu rapat rapat, dilihat dengan mata terheran heran dan dada berdebar oleh Pun Hui.

   "Orang muda, kau beruntung sekali bahwa yang kautanyai tentang pamanmu itu adalah aku sendiri. Kalau orang lain yang menerimamu, ah.... aku tidak tahu apa yang akan terjadi denganmu, ah.... aku tidak tahu apa yang akan terjadi dengan mu, karena siapa dapat menyelami hati orang pada dewasa ini? Pamanmu Liem Kwan Ti itu, sebulan yang lalu telah tewas bersama isteri dan puterinya."
"Tewas? Mengapa, lopek?" Pun Hui menjadi pucat.

   "Mereka ditangkap dan dituduh memberontak." Kemudian pemilik toko obat itu menuturkan sejelasnya tentang peristiwa itu. Sebagai seorang tetangga yang mempunyai hubungan baik dengan Liem Kwan Ti, orang she Kwa ini tahu sampai jelas apa yang menjadi sebab sebab maka bencana itu menimpa keluarga sasterawan Liem.

   Wajah Pun Hui sebentar pucat sebentar merah mendengar penuturan ini, ia merasa marah, sakit hati, dan sedih.

   "Paman, bibi.... dan anak mereka menjadi korban keganasan seorang pengkhianat bangsa, sekarang penjilat she Souw itu.... Jahanam benar mereka!" katanya sambil mengusap air mata yang jatuh berlinang di atas kedua pipinya.

   "Hush.... Liem hiante, kau tenanglah. Apa daya kita terhadap keadaan seperti ini? Kau jangan khawatir, kau tinggallah di sini bersamaku. Akupun tidak mempunyai anak dan kau...... kulihat kau baik sekali untuk membantuku di sini, asal saja kau mengganti she mu menjadi Kwa, orang orang takkan ada yang tahu bahwa kau masih ada hubungan keluarga dengan Liem Kwan Ti yang dianggap pemberontak.

   Akan tetapi, tiba tiba sikap yang lemah lembut dari pemuda itu berubah, ia menggigit bibir dan mengepalkan kedua tinjunya, lalu berkata keras keras.

   "Tidak, tidak! Biar orang akan membunuhku, aku harus mengutuk pengkhianat bangsa she Souw itu!" Setelah berkata demikian, ia berlari keluar.

   Orang she Kwa itu hendak mencegah, akan tetapi karena pemuda itu sudah berian keluar dan kalau ia memaksa takut kalau kalau pemuda itu berteriak teriak di depan tokonya dan membuat ia sendiri rembet rembet, maka ia hanya memandang pemuda itu pergi dan menggoyang goyang kepala nya.

   "Negeriku mempunyai banyak orang bersemangat gagah seperti pemuda itu, akan tetapi apa daya seorang anak lemah seperti dia terhadap orang orang seperti Souw Busu? Sayang, sayang.... pemuda yang baik seperti dia takkan lama lagi hidupnya.... "

   Memang Liem Pun Hui bersemangat gagah biarpun ia dilahirkan sebagai seorang siucai yang bertubuh lemah. Para pembaca sudah mengenal anak muda ini ketika ia ditawan oleh bajak laut dan kemudian ditolong oleh Ong Siang Cu sehingga ia dibebaskan, bahkan diantar oleh para bajak mendarat kembali di tepi pantai Tiongkok.

   Dengan hati penuh dendam dan marah meluap luap, Pun Hui lalu bertanya tanya di mana adanya tempat tinggal Souw busu. Setelah mendapat tahu, ia lalu menggunakan sisa uangnya untuk membeli alat tulis dan tintanya, kemudian dengan langkah lebar ia menuju ke rumah gedung yang besar dan megah dari Souw Busu.

   Pemuda ini sudah mengambil keputusan nekat ia rela dihukum mati asal saja sudah dapat melampiaskan dendam dan marahnya kepada Souw busu dengan jalan memaki makinya dengan tulisan di muka umum untuk menelanjangi pengkhianatan dan kejahatannya yang oleh orang lain, seperti halnya pemilik toko obat itu, disembunyi sembunyikan dan tidak berani dibicarakan.

   Memang tidak mengherankan apabila Liem Pun Hui hendak berlaku nekat. Orang tuanya adalah petani petani miskin di Propinsi Cekiang dan ayahnya terkena pula kerja paksa sehingga meninggal di tempat kerja. Ketika itu ia tidak berada di dusun, sedang menuntut pelajaran di kota. Ketika ia pulang, ia mendapatkan ayahnya sudah tidak ada, tanahnya dirampas oleh tuan tanah dan ibunya menderita sakit payah. Akhirnya ibunya meninggal dunia pula oleh sakit itu, maka hati pemuda ini remuk redam dan penuh dendam kepada pemerintah Goan.

   Kemudian harapan satu satunya hanya pamannya sasterawan Liem yang tinggal di kota raja itu. Dengan harapan besar ia berangkat ke kota raja, dan apa yang didapatkannya? Pamannya juga mengalami bencana akibat fitnah dari orang jahat, maka ia kini mengambil keputusan berlaku nekat. Hatinya penuh dendam dan putus asa.

   Dengan langkah tetap ia lalu menghampiri pagar tembok yang putih dari gedung Souw busu, kemudian dikeluarkannya pit dan tinta dan setelah berpikir sejenak, ia lalu menuliskan huruf huruf besar pada tembok putih itu. Orang orang yang lewat di situ, tentu saja menjadi tertarik sekali melihat seorang pemuda berpakaian sasterawan menuliskan huruf huruf besar di tembok Souw busu, maka sebentar saja orang makin banyak berdiri di belakang sasterawan muda ini hendak membaca apa yang akan ditulisnya.

   Syarat hidup sebuah pemerintahan.
Terutama rakyat harus percaya kepadanya.
Ke dua, rakyat harus mendapat cukup sandang pangan.
Ke tiga baru memiliki angkatan perang yang kuat!
Namun pemerintah sekarang tak dipercaya rakyat,
Membiarkan rakyat menderita dan kelaparan.
Memelihara pembesar pembesar busuk seperti Souw,
Penjilat yang lebih rendah daripada anjing.
Pemakan dan penindas bangsa sendiri,
Bagaimana pemerintah dapat bertahan?

   Setelah membaca tulisan ini, orang orang yang berada di situ menjadi gempar. Ada yang menjadi pucat dan cepat cepat pergi dari situ, ada pula yang marah marah, akan tetapi sebagian besar diam diam membenarkan ketepatan tulisan ini.

   Orang orang yang pernah mempelajari kesusasteraan tahu bahwa empat baris pertama adalah ujar ujar dari Khong Hu Cu dan baris baris selanjutnya merupakan caci maki terhadap pemerintah Goan tiauw. Alangkah beraninya pemuda ini!

   Sebentar saja beberapa belas orang serdadu penjaga yang mendengar tentang ini, tergesa gesa menyerbu ke situ. Setelah membaca tulisan ini mereka berseru,

   "Pemberontak yang harus mampus!"

   Beberapa kali pukulan membuat muka Pun Hui berdarah dan tubuh pemuda itu terguling lalu diborgol kedua lengannya, para penjaga tidak segera membunuhnya, karena hendak menyeretnya ke depan Souw busu menanti perintah selanjutnya.

   Pada saat itu. di antara penonton terdengar suara orang berkata nyaring, "Benar benar pemuda bersemangat dan mengagumkan!"

   Ketika semua orang menengok dengan heran untuk melihat orang yang begitu lancang berani memuji pemuda pemberontak itu, mereka melihat seorang laki laki setengah tua yang berwajah gagah, berpakaian ringkas dan di pinggangnya tergantung joan pian, senjata ruyung lemas terbuat dari batu kumala putih.

   Dengan tenang namun cepat sekali, laki laki ini melangkah maju dan sekali dorong saja, tiga orang serdadu yang memegangi Pun Hui kena dibikin terpental. Kemudian, sekali tangan kirinya meraba belenggu, ikatan tangan pemuda itu mengeluarkan bunyi keras dan patah patahlah belenggu besi tadi.

   Para serdadu marah sekali. Dengan ruyung dan golok di tangan mereka menyerbu laki laki gagah ini. Namun, dengan menggerakkan tangan kiri dan kaki kanan, beberapa orang serdadu yang paling depan terpental jauh, terkena pukulan dan tendangan yang demikian hebat sehingga mereka tak dapat bangun kembali.

   "Gentong gentong macam kalian ini mau berlagak galak? Pergi semua!" bentak laki laki itu yang cepat menyambar tubuh Pun Hui dan di kempitnya dengan ringan sekali.

   Akan tetapi, sebelum ia membawa pergi Pun Hui dan tempat itu dari dalam gedung busu keluarlah tiga orang tinggi besar dan gagah. Mereka ini adalah Souw busu sendiri dan dua orang suwi (pengawal kaisar) yang berkepandaian tinggi. Mereka telah menerima laporan tentang pemuda sasterawan yang menulis sajak memaki maki Souw busu dan kaisar, maka cepat mereka menuju ke tempat itu.

   Ketika Souw busu melihat laki laki setengah tua itu mengempit tubuh Pun Hui dan dibawa pergi, ia tertegun.

   "Bukankah kau ini Yap taihiap yang kemarin hendak bertemu dengan mendiang Pangeran Kian Tiong?"

   Orang itu mengangguk tenang dan menjawab.

   "Benar, dan dari luaran aku tahu bahwa kau ini Souw busu telah banyak membikin celaka bangsa sendiri. Sungguh tak bermalu!"

   "Orang she Yap! Kau menghina orang. Lepaskan pemberontak itu, apakah kau hendak membela seorang yang telah berani menulis sajak seperti ini? Apakah kau hendak membela pemberontak?"

   Orang gagah itu tertawa bergelak, lalu berkata dengan suara menyindir,

   "Pemuda ini jauh lebih bersih, bersemangat dan gagah daripada kau! Bagiku dia bukan pemberontak, bahkan berjasa terhadap kaisar yang telah salah menggunakan orang orang seperti kau ini. Kalau kaisar memperhatikan dan mau menurut tulisannya itu, menggantikan pembesar pembesar macam kau dengan orang lain yang lebih baik, tentu pemerintah Goan akan panjang usia."

   "Bangsat bermulut lancang!" Souw busu tak dapat menahan marahnya lagi dan cepat menyerang dengan golok besarnya, membacok ke arah kepala orang gagah itu Namun, orang ini yang bukan lain adalah seorang pendekar besar bernama Yap Thian Giok, mencabut senjatanya yang tergantung di pinggang, yakni senjata ruyung lemas yang di sebut Pek giok joan pian, dan sekali ia mengayun senjatanya itu, bagian tengahnya menangkis golok yang menyerangnya, sedangkan bagian ujungnya terus menyambar ke arah kepala lawan! Souw busu berkepandaian tinggi, namun dia terkejut bukan main ketika tiba tiba senjata lawan yang menangkis itu berbareng bisa mengirim serangan balasan yang amat berbahaya, ia cepat menarik kembali goloknya dan melompat mundur.

   Melihat dua orang kawannya telah pula maju menyerang dengan pedang, Souw busu besar hati dan kembali goloknya diayun cepat melakukan serangan hebat ke arah orang gagah yang tangan kirinya masih memondong tubuh Pun Hui itu.

   Namun Yap Thian Giok tidak mau membuang banyak waktu lagi. Bagaikan kilat menyambar, Pek giok joan pian di tangannya bergerak dan terdengar suara "trang! trang! trang!" tiga kali dan disusul oleh teriakan terkejut dan Souw busu dan kawan kawannya karena pedang dan golok mereka telah terpukul patah!

   "Aku tidak ada waktu untuk melayani kutu kutu macam kalian!" seru Yap Thian Giok dan sekali berkelebat, ia telah melompat jauh dan sebentar saja menghilang di antara orang orang banyak!

   Souw busu menyumpah nyumpah dan cepat mengumpulkan anak buahnya untuk mengejar, akan tetapi orang gagah itu tidak kelihatan bayangannya lagi.

   Siapakah orang gagah ini? Dan bagaimana ia bisa muncul di kota raja? Yap Thian Giok adalah putera dari bekas Jenderal Yap Bouw dari Kerajaan Cin yang sudah hancur lebih dulu oleh tentara Jengis Khan. Yap Bouw mempunyai dua orang anak, yakni sepasang anak kembar. Yang laki laki adalah Yap Thian Giok sedangkan yang perempuan adalah Yap Lan Giok yang tewas oleh Pat jiu Giam ong Liem Po Coan, sute dari Lam hai Lo mo Seng Jin Siansu.

   Kemudian, Yap Thian Giok ikut dengan gurunya, yakni si wanita Sakti Mo bin Sin kun yang juga pernah menjadi guru dari Thian te Kiam ong Song Bun Sam, untuk memperdalam ilmu silatnya di puncak Bukit Sian hoa san.

   Setelah menamatkan pelajarannya dan dapat mewarisi seluruh ilmu silat dari Mo bin Sin kun yang lihai, Mo bin Sin kun lalu menyuruh muridnya turun gunung dan merantau memenuhi tugas sebagai seorang pendekar silat.

   Adapun Mo bin Sin kun sendiri menyatakan kepada muridnya bahwa ia hendak bertapa dan mengasingkan diri dari dunia ramai, tidak mau memberitahukan ke mana perginya.

   "Thian Giok, pinni (aku) sudah jemu akan keramaian dunia dan akan kepalsuan kehidupan di dunia. Oleh karena itu, semua tugas kebajikan kuserahkan kepadamu. Hubungilah orang orang gagah di dunia dan pergunakan semua ilmu yang kau pelajari dariku untuk menolong sesama manusia yang membutuhkan pertolongan. Usahakanlah agar setiap perbuatanmu sesuai dengan tuntutan kebajikan. Hasil atau tidaknya usahamu bukan menjadi soal, yang penting adalah bahwa kau selalu bertindak di atas jalan kebenaran. Kalau sudah demikian, maka tidak percumalah kau menjadi muridku, tidak percuma kau menjadi putera mendiang ayah bundamu, dan tidak percuma kau dilahirkan di dunia ini."

   Demikianlah, semenjak perpisahan ini, Thian Giok tak pernah lagi bertemu dengan gurunya yang tidak diketahui ke mana perginya, karena memang Mo bin Sin kun tidak mau mengabarkan tentang dirinya lagi. Thian Giok merantau sampai jauh. Sudah dijelajahinya seluruh negeri, dan banyak sudah ia melakukan hal hal yang amat gagah perkasa dan baik.

   Karena senjatanya Pek giok joan pian amat terkenal dan amat lihai, maka di dunia kang ouw ia dijuluki Sin pian (Ruyung Sakti). Beberapa kali ia mengunjungi Thian te Kiam ong Song Bun Sam yang menjadi sahabat baiknya semenjak muda, dan tiap kali mereka bertemu, dua orang sahabat ini dengan ditemani oleh anak isteri Song Bun Sam, bercakap cakap dengan sangat akrab dan asyik.

   Kedua orang putera puteri Thian te Kiam ong juga amat sayang kepada paman Giok ini.

   Yang amat mengherankan adalah keputusan yang diambil oleh Thian Gok bahwa ia tidak mau menikah selama hidupnya, Hanya kepada Song Bun Sam yang membujuknya agar ia suka menikah, ia berterus terang bahwa ia tidak dapat melakukan pernikahan karena ia selalu teringat kepada adik kembarnya, Lan Giok yang sudah tewas terlebih dulu.

   Memang, hubungan antara saudara kembar lebih mendalam. Ada sesuatu dalam batin dan jiwa mereka yang mempunyai hubungan dekat sekali sehingga boleh dibilang sukar terpisahkan legi. Kalau Thian Giok bukan seorang laki laki gagah perkasa yang selain ahli dalam ilmu silat juga sudah banyak mempelajari kebatinan sehingga memiliki jiwa yang kuat, mungkin ia takkan dapat lama tahan hidup di dunia ini jauh daripada adik kembar nya, ia dapat bertahan untuk hidup terus tanpa adiknya di dunia, namun untuk kawin". ia tidak sampai hati kepada adik kembarnya yang sudah meninggal dunia.

   Demikianlah, sampai berusia empatpuluh tahun, ia masih tetap membujang dan tidak menikah.

   Ketika ia dalam perantauannya melalui Peking, ia teringat akan Pangeran Kian Tiong dan puteri Luilee yang baik hati, orang orang besar yang berjiwa besar pula, kawan kawan baik dari Song Bun Sam. Tertariklah hatinya untuk mengunjungi mereka ini karena pernah ia diperkenalkan kepada mereka ini oleh Song Bun Sam ketika sahabatnya ini datang ke kota raja.

   Akan tetapi, alangkah terkejutnya ketika ia mendengar berita bahwa Pangeran Kian Tiong dan isterinya telah terbunuh oleh seorang penjahat yang menculik puteri mereka.

   Keluarga istana menceritakan hal ini dan ketika mereka mengetahui bahwa orang gagah ini adalah sahabat baik dari Thian to Kiam ong Song Bun Sam, mereka lalu menyerahkan surat peninggalan Pangeran Kian Tiong untuk Song Bun Sam, yang sudah mereka simpan sampai sepuluh tahun lebih karena pendekar pedang itu tak pernah datang ke kota raja, sedangkan menurut pesan Pangeran Kian Tiong, surat itu hanya disuruh memberikan kepada pendekar itu apabila ia datang ke kota raja.

   Demikianlah maka Souw busu mengenal Yap Thian Giok yang datang mencari Pangeran Kian Tiong. Kebetulan sekali ketika Sin pian Yap Thian Giok keluar dari istana hendak melanjutkan perjalanannya ke tempat tinggal Thian te Kiam ong untuk menyerahkan surat peninggalan Pangeran Kian Tiog itu kepada sahabatnya, ia melihat pemuda Liem Pun Hui yang berani menulis sajak di tembok memaki maki Souw busu. Hatinya amat tertarik dan kagum, maka tanpa ragu ragu lagi ia lalu menolong pemuda itu.

   Setelah berhasil mematahkan senjata dari Souw busu dan dua orang kawannya, Yap Thian Giok lalu memondong tubuh Pun Hui dan dibawanya lari cepat sekali keluar dan Kota raja.

   Liem Pun Hui menjadi bengong ketika ia merasa betapa tubuhnya dibawa lari secepat terbang oleh orang tua yang luar biasa itu. Ia hanya pernah membaca cerita tentang orang orang gagah, tentang hiapkek hiapkek (Pendekar pendekar) yang hidupnya merantau sebagai seorang petualang, tak berkeluarga tak berumah, yang tujuan hidupnya hanya mencari pengalaman dan membela orang orang lemah tertindas.

   Sering kali ia tertarik dan ingin sekali bertemu dengan seorang pendekar, karena ia sendiri mendapat semangat dari membaca watak dan kehidupan seorang pendekar dalam cerita. Cerita cerita inilah yang memberi semangat dan kegagahan kepada pemuda ini, sungguhpun ia sendiri semenjak kecilnya hanya mempelajari kesusasteraan belaka. Orang inikah yang disebut pendekar?

   Setelah tiba di luar kota raja, Yap Thian Giok menurunkan Pun Hai dari pondongannya. Pemuda itu terus saja menjatuhkan diri berlutut di depan orang gagah itu sambil berkata.

   "Menyaksikan sepak terjang dan kegagahan lo taihiap (pendekar tua), hatiku penuh kekaguman. Saya yang bodoh Liem Pun Hui merasa berbahagia sekali dapat bertemu dengan taihiap. Mohon tanya siapakah nama taihiap yang mulia."

   Yap Thian Giok mengerutkan bening. Tak sepatahpun kata kata dari pemuda ini menyatakan terima kasih dan kegirangan hati telah ia tolong dari bahaya maut!

   "Anak muda, tidakkah kau tahu berterima kasih? Apakah kau tidak berterima kasih telah ku tolong dan bahaya?" Pertanyaan ini bukan karena Yap Thian Giok seorang yang mengharap terima kasih orang, melainkan timbul karena herannya terhadap pemuda ini.

   "Sesungguhnya, tidak ada sebab yang mengharapkan saya berterima kasih kepadamu, lo taihiap. Karena saya tidak mengharapkan pertolongan."

   "Hem, jadi kau tidak girang karena aku telah menolongmu?"

   "Tidak, terus terang saja, saya tidak bergiring karena tidak tertangkap atau terbunuh."

   "Eh, pemuda aneh. Mengapa demikian?"

   "Saya telah mengambil keputusan tetap untuk mencela pembesar jahat itu dan mengorbankan nyawa. Untuk apakah hidup bagi saya yang tidak berdaya melihat keadaan yang amat tidak adil dan sewenang wenang? Lebih baik mati sebagai seorang yang berani menentang ketidakadilan itu!"

   "Hm, kau nampaknya bodoh tapi pintar. Kata katamu berisi akan tetapi sesungguhnya amat bodoh! Eh, anak muda yang sudah putus asa, mengapa kau berlaku nekad?"

   Sambil menahan turunnya air matanya, Liem Pun Hui lalu menceritakan keadaannya, betapa orang tuanya dan pamannya sekeluarga tewas karena keganasan pemerintah Goan tiauw lebih tepat lagi karena keganasan kaki tangan pemerintah yang bertindak sewenang wenang.

   YAP THIAN GIOK mengangguk anggutkan kepalanya.

   "Tindakan nekad dan putus asa hanya dilakukan oleh orang orang yang bodoh dan tak berakal. Apakah untungnya kalau kau mengorbankan nyawa secara sia sia? Apakah dengan perbuatanmu itu, keadaan akan berobah dan keadaan rakyat akan menjadi baik? Apa kaukira dengan perbuatanmu itu kau akan dapat merobah pemerintah menjadi baik? Daripada melakukan usaha karena dorongan putus asa, lebih baik kau berusaha untuk dapat meringankan beban rakyat dan menolong mereka yang tertindas."

   "Apakah daya seorang bodoh dan lemah seperti saya ini, taihiap?"

   "Itulah, karena kau kurang ilmu. Setelah bertemu dengan aku, apa sukarnya kalau kau memang betul betul mau mencari kemajuan dan mau belajar ilmu?"

   Tiba tiba wajah Pun Hui berseru gembira.

   "Betul betulkah taihiap mau menerima teecu (saya) sebagai murid?"

   Yap Thian Giok tertawa. "Mau atau tidak, setelah melihat keadaanmu ini, aku terpaksa menerimamu. Kau sebatang kara seperti aku pula, semangatmu besar seperti seorang pendekar dan mengenai kegigihan seperti seorang pahlawan, sudah sepatutnya menjadi muridku."

   Pun Hui lalu mengangguk anggukkan dan memberi hormat sambil berlutut.

   "Suhu, teecu berterima kasih sekali Semoga teecu dapat menjadi murid yang baik."

   "Pun Pui, ketahuilah. Yang kauangkat menjadi guru ini adalah Yap Thian Giok murid Sian hou san, yang di kalangan kang ouw dijuluki Sin pian. Selamanya aku melakukan perbuatan gagah sesuai dengan petunjuk dan pesan guruku. Oleh karena itu aku tidak ingin melihat kau kelak merusak namaku dan nama guruku, yakni Mo bin Sin kun. Nah, kau bersumpahlah bahwa kelak kau hanya akan mempergunakan ilmu kepanduan yang kaupelajari dariku demi kebaikan."

   "Di depan suhu Yap Thian Giok, disaksikan oleh bumi dan langit, teeeu Liem Pun Hui bersumpah bahwa segala macam ilmu yang akan teecu pelajari, segala macam petunjuk yang akan teecu dengar dari suhu, akan teecu pergunakan untuk melakukan kebajikan dan kebaikan, membela yang lemah tertindas dan memberantas yang jahat dan tidak adil. Kalau teecu melanggar sumpah ini biarlah teecu tewas di ujung senjata orang gagah lain!"

   Yap Thian Giok menjadi girang dan puas. Ia lalu membawa muridnya itu ke dalam sebuah hutan yang liar di sebelah barai kanal (terusan) yang menuju ke Peking, di sebelah selatan dari kota raja.
Setelah tiba di tengah tengah hutan itu, Thian Giok berkata.

   "Pun Hui, aku hendak pergi ke Tit le untuk sebuah urusan penting. Kau tinggallah seorang diri di tengah hutan ini sambil melatih siulian (samadhi) dan mengatur pernapasan agar memperkuat dasar mu untuk kelak menerima latihan silat. Tentang makan dan minum, kau usahalah sendiri di dalam hutan ini. Sengaja aku tinggalkan kau untuk kira kira satu bulan sebagai ujian bagimu. Berani dan sanggupkah kau?"

   Dengan wajah berseri Pun Hui menjawab,

   "Suhu, teecu sudah bersumpah untuk mentaati segala macam petunjuk dari suhu. Menghadapi kematian teecu tidak takut, apalagi hanya untuk tinggal seorang diri di dalam hutan yang liar ini. Apa yang teecu takutkan?"

   "Bagus! Itulah jawaban yang kuharapkan. Kalau datang binatang buas, kau naiklah ke pohon dan selanjutnya kau harus dapat menjaga diri sendiri."

   "Jangan khawatir, suhu. Pergilah suhu dengan hati aman. Teecu sanggup menjaga diri sendiri."
Yap Thian Giok lalu memberi petunjuk petunjuk dan pelajaran tentang cara bersemadhi dan mengatur napas, kemudian ia tinggalkan muridnya itu, berlari cepat menuju ke Tit le untuk mencari Thian te Kiam ong Song Bun Sam, menyerahkan surat peninggalan dari mendiang Pangeran Kian Tiong.

   Thian te Kiam ong dan isteri nya di rumahnya sedang gelisah. Berhari hari kedua suami isteri ini duduk termenung dan di rumah yang biasanya penuh dengan kegembiraan dan kebahagiaan itu kini nampak sunyi. Bahkan jarang sepasang suami sedikit isteri ini bercakap cakap, masing masing merenungi jalan pikirannya sendiri.

   Apa yang terjadi? Yang membikin mereka binging dan gelisah adalah karena mereka memikrkan kepergian kedua orang anak mereka. Mula mula kurang lebih dua bulan yang lalu, semenjak peristiwa penyerahan peta palsu oleh Coa Kui, kemudian peta itu diberikan kepada Ouw bin cu Tong Kwat, pada keesokan harinya pagi pagi sekali Siauw Yang telah pergi meninggalkan rumah dengan meninggalkan sepotong surat dikamarnya menyatakan bahwa anak ini hendak menyusul Ouw bin cu ke pulau Sam liong to.

   Dalam suratnya Siauw Yang menyatakan bahwa gadis itu merasa merasa curiga akan pemberian peta palsu itu, menyangka bahwa tentu ada tersembunyi maksud tertentu maka orang memberikan peta palsu kepada ayahnya, seakan akan memancing ayahnya untuk pergi ke pulau itu. Dan dia menyatakan hendak mewakili ayahnya menghadapi pancingan itu.

   Thian te Kiam ong Song Bun Sam terkejut dan menggeleng geleng kepalanya, ia sudah kenal baik akan walak putrinya yang keras dan sukar mengalah. Sungguhpun ia percaya penuh bahwa kepandaian puterinya sudah cukup tinggi hingga dapat menjaga diri dengan baik, namun kekhawatiran hati seorang ayah membuatnya menyuruh Tek Hong puteranya untuk segera menyusul adiknya itu.

   Namun, sudah dua bulan dua orang anak itu pergi, belum juga mereka kembali, bahkan sedikit berita pun tidak kunjung datang. Berkali kali Sia Hwa isteri Thian te Kiam ong menyatakan kegelisahan hatinya dan mengajak suaminya untuk menyusul dua orang anak muda itu, akan tetapi Bun Sam selalu menghiburnya.

   "Untuk apa disusul! Mereka sudah besar dan dapat menjaga diri. Aku tidak mengkhawatirkan keadaan mereka, hanya ingin tahu mengapa mereka begitu lama pergi. Kalau kita susul, bagaimana kalau kita berselisih jalan dengan mereka? Bukankah kita semua bahkan saling mencari tidak karuan? Biarlah kita menanti di rumah dengan sabar, dan biar mereka itu mendapat pengalaman dalam hidup di dunia kang ouw. Hanya kuharap saja Tek Hong dapat bertemu dengan adiknya. Berdua mereka akan lebih kuat, karena berbeda dengan Tek Hong yang baik hati dan tenang. Siauw Yang terlalu manja dan terlalu sembrono."

   "Akan tetapi dia lebih cerdik dari kakaknya, aku lebih percaya kepadanya," membantah isterinya.
Pada suatu hari, selagi sepasang suami isteri ini duduk di ruang depan menanti kedatangan anak anak mereka, datanglah seorang laki laki gagah memasuki halaman depan. Mereka mengangkat kepala memandang dan berserilah wajah Thian te Kiam ong ketika ia mengenal laki laki ini.

   "Ah, kau.... Thian Giok," katanya sambil melompat berdiri dan menyambut tamu itu.

   Sin pian Yap Thian Giok juga gembira sekali dan mereka saling berpelukan.

   "Thian Giok, apakah sampai sekarang kau belum juga dapat memperkenalkan isierimu kepadaku?" tanya Bun Sam berkelakar. Memang dua orang sahabat baik ini setiap kali bertemu masih seperti anak anak muda dan bergembira sambil berkelakar.

   "Bun Sam, kau baik baik saja? Ah, sudah tetua aku ini siapa orangnya sudi menjadi isteriku? Aku sudah terlambat untuk itu dan takkan menikkah, Bun Sam. Bagaimana isierimu, baik baik sajakah?"
Sian Hwa juga menyambut dengan gembira. Thian Giok memberi hormat.

   "So so (kakak ipar), harap kau baik baik saja selama ini. Mana keponakan keponakanku Tek Hong dan Siauw Yang yang nakal?"

   "Itulah yeng membuat kami kehilangan kegembiraan untuk beberapa pekan." kata Bun Sam menarik napas panjang. "Telah, dua bulan mereka pergi merantau."

   "Apa salahnya? Merantau baik sekali sewaktu waktu dilakukan oleh orang orang muda, menambah pengalaman," kata Thian Giok menghibur sahabatnya., Bun Sam mempersilahkan tamunya duduk dan pelayan lalu dipanggil untuk menghidangkan minuman.

   "Kalau hanya merantau biasa saja, kami takkan ribut ribut," kata Song Bun Sam. "akan tetapi ada persoalannya." ia lalu menceritakan pada Thian Giok tentang pemberian peta palsu itu.

   Mendengar semu penuturan itu, Thian Giok mengerutkan kening mengangguk angguk.

   "Puterimu cerdas sekali, Bun Sam, Memang hal itu mencurigakan sekali. Sudahkah kau menyelidiki keadaan Coa Kui yang memberi peta itu?".

   "Sudah, dan dia sudah pergi, kata tetangganya ia pindah dengan tergesa gesa, tak seorangpun tahu di mana pindahnya."

   "Nah, benar dugaan puterimu. Tentu ada udang di balik batu dengan pemberian peta palsu itu. Baiklah nanti aku membantumu menyelidiki keadaan dua orang putera puterimu itu. Kalau mereka berpesiar, tak bisa lain tentu di tempat indah seperti di telaga Barat atau di kota kota besar seperti di kota raja."

   "Terima kasih, Thian Giok. Memang kami pun sudah mengambil keputusan untuk pergi menyelidiki dan mencari mereka sendiri kalau hari ini mereka tidak pulang."

   Mereka lalu bercakap cakap. Juga Sian Hwa tidak ketinggalan, ikut menanyakan tentang pengalaman pengalaman Thian Giok selama ini, karena sudah lama mereka tidak saling bertemu dan terhadap Thian Giok, Sian Hwa tidak malu malu lagi dan sudah biasa, bahkan menganggap orang gagah ini sebagai saudara sendiri.

   Kemudian Thian Giok menceritakan pengalamannya, juga pengalamannya di kota raja dan menceritakan tentang nasib Pangeran Kian Tiong dan isterinya yang terbunuh oleh seorang penjahat.
Mendengar ini, Bun Sam terkejut sekali dan Sian Hwa tak tertahan lagi menumpahkan air mata saking terharu dan kasihan.

   
Pedang Sinar Emas Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
"Aduh, jahanam benar! Siapakah orang yang berani sekali membunuh Pangeran Kian Tiong yang bijaksana dan berhati mulia? Kalau hendak membunuh, mengapa tidak membunuh kaisar atau pembesar yang jahat, sebaliknya membunuh orang baik baik?" kata Bun Sam marah sekali.

   "Bukan itu saja, Bun Sam. Bahkan penjahat itu telah menculik anak perempuannya yang baru berusia lima tahun dan sampai sebarang tidak ada kabar lagi bagaimana nasib anak itu."

   Bun Sam menggigit bibirnya. "Keparat, kalau aku tahu siapa orangnya, tentu takkan kuberi ampun. Siapa dia pembunuhnya?"

   "Itulah sukarnya. Tak seorangpun mengetahui, hanya ada kabar bahwa pembunuhnya adalah seorang kakek berkaki satu yang wajahnya seperti iblis. Dan sebelum menghembuskan nafas terakhir. Pangeran Kian Tiong meninggalkan surat untukmu."

   "Kau bilang hal itu terjadi sepuluh tahun lebih yang lalu, mengapa suratnya tidak juga sampai ke tanganku?

   "Memang begitulah. Pangeran Kian Tiong barpesan kepada keluarganya bahwa surat itu hanya boleh diserahkan kepadamu apabila kau datang mengunjunginya di istana. Karena itu surat disimpan saja oleh keluarganya. Baru setelah aku datang dengan maksud hendak mengunjungi Pangeran Kian Tiong, orang memberikan surat ini kepadaku untuk disampaikan kepadamu." Sambil berkata demikian, Thian Giok mengeluarkan dan memberikan surat itu kapada Bun Sam.

   Ketika menerima surat itu, Bun Sam tak segera membukanya. Terbayang di depan matanya pengalamannya ketika masih muda, penemuannya di dalam taman istana dengan Pangeran Kian Tiong dan Puteri Luilee. Juga Sian Hwa terkenang akan kebaikan sepasang bangsawan muda itu. Bun Sam merasa matanya panas dan sedapt mungkin ia menahan jatuhnya air matanya.

   "Kasihan sekali Puteri Luilee yang baik hati"." kata Sian Hwa sambil mengeringkan air mata dengan saputangannya. "Suamiku, kita harus membalaskan dendamnya ini, kalau tidak selama hidupku aku akan selalu merasa penasaran."

   "Tentu saja! Aku takkan tinggal enak saja sebelum aku menghancurkan dada Jahanam kejam itu," kata Bun Sam yang segera membuka surat itu. Berdua dengan isterinya, ia membaca surat itu.

   "Song taihiap, sahabat baik,

   Kalau surat ini kau terima, aku sudah tak berada di dunia lagi, menyusul isteriku yang tercinta. Kami berdua menjadi korban keganasan seorang kakek kaki satu yang luar biasa dan lihat sekali. Soal matiku, tidak membuat aku penasaran karena aku pergi menyusul isteriku yang tercinta.

   Hanya tentang anakku". kau harus tolong kami, taihiap. Cari dan tolonglah puteri kami Kian Gwat Eng, kasihan dia berada dalam tangan seorang iblis gila yang jahat.

   Ada tanda pengenal yang takkan hilang sampai ia dewasa pada anak kami itu, yakni tai lalat merah di betis kaki kirinya. Carilah, doaku bersama kau dan isteri serta anak anakmu. Carilah sampai bertemu anak kami itu, sahabatku yang baik.

   Selamat tinggal.
Kian Tiong

   Basah juga mata Bun Sam setelah ia membaca habis surat itu ia memberikan surat itu kepada Thian Giok, sambil berkata,

   "Kau bacalah Thian Giok, agar kaupun bisa membantu mencari jejak penjahat ini. Kasihan kalau anak Gwat Eng itu tidak dapat dicari."

   Tanpa berkata apa apa, Thian Giok lalu membaca surat itu dan iapun merasa amat terharu.

   "Aku akan membantu mencarinya. Akan tetapi karena hal ini sudah terjadi sepuluh tahun lebih yang lalu, amat meragukan apakah anak itu masih hidup dan apakah penculik yang sudah tua itu masih hidup pula. Kalau anak itu masih hidup tentulah ia telah menjadi seorang gadis dewasa."

   Sampai lama tiga orang gagah ini membicarakan tentang hal ini dan masing masing berjanji untuk menyelidiki sedapat mungkin.

   "Akan kutanya tanyakan kepada orang orang kang ouw di seluruh penjuru, siapa tahu kalau kalau di antara mereka ada yang mengenal seorang kakek buntung yang lihai. Selamanya aku belum pernah mendengar adanya seorang kang ouw yang buntung kakinya," kata Thian Giok.

   "Siapa tahu, di dunia ini memang banyak sekali orang orang pandai bersembunyi, baik yang berwatak budiman maupun yang berwatak rendah," kata Sian Hwa dan suaminya serta Thian Giok membenarkan kata kata tadi.

   Pada keesokan harinya, setelah bermalam di rumah sahabatnya, Thian Giok berpamitan karena ia hendak medatangi muridnya yang ditinggal di dalam hutan, ia sekali lagi berjanji bahwa ia akan menyelidiki halnya Kian Goat Eng dan akan memberi kabar cepat cepat apabila ia mendengar sesuatu tentang kakek kaki buntung itu.

   Sepeninggal Thian Giok, Song Bun Sam dan isterinya juga meninggalkan rumah, berangkat merantau untuk mencari dua orang anak mereka dan sekalian melakukan penyelidikan hal penculik puteri sahabat mereka, Pangeran Kian Tiong dan Puteri Luilee.

   Kita ikuti perjalanan Song Siauw Yang, gadis lincah jenaka yang berkepandaian tinggi itu. Malam hari itu semenjak ia bertemu dengan Coa Kiu dan Ouw bin cu, ia tak dapat tidur. Pikirannya bekerja keras, ia merasa curiga sekali dengan adanya peristiwa peta palsu itu. Tidak saja ia hendak menyelidiki ke pulau Sam liong to, akan tetapi juga gadis ini sudah lama ingin pergi merantau seorang diri untuk menambah pengalaman. Kalau ia mengemukakan kehendaknya, selalu ia mendapat tentangan dari orang tuanya, terutama ibunya yang selalu melarangnya.

   "Tidak patut seorang gadis melakukan perjalanan seorang diri. Di dunia ramai banyak sekali orang orang jahat dan kurang ajar, kau hanya akan menghadapi godaan dan gangguan belaka, anakku. Kalau kau hendak melakukan perjalanan boleh asalkan bersama ayah ibumu atau dengan kakakmu," demikian ibunya selalu memberi nasihat.

   Akan tetapi Siauw Yang tidak puas dengan cegahan ibunya ini. Karena ia merata kurang tenang kalau harus pergi dengan kakaknya, apalagi dengan ayah bundanya. Pergi dengan mereka hanya, akan menghadapi larangan dan celaan belaka.

   Sekarang ada alasan baginya. Peristiwa peta palsu itu amat kebetulan. Dengan adanya peristiwa itu ia dapat mengadakan alasan untuk menyelidiki hal itu sekalian untuk merantau di dunia bebas, bebas seperti burung terbang di udara. Kapan lagi kalau tidak sekarang melakukan perjalanan jauh seorang diri, pikirnya. Kalau aku sudah menikah". sampai di sini merahlah mukanya, aku takkan bebas lagi dan tak mungkin sebagai seorang isteri aku pergi seorang diri untuk melakukan perjatlanan ke luar rumah!
(Lanjut ke Jilid 32)
Pedang Sinar Emas/Kim Kong Kiam (Serial Pedang Sinar Emas)
Karya : Asmaraman S. Kho Ping Hoo

   Jilid 32
Oleh karena itu, setelah membolak balik pikirannya sampai setengah malam ia lalu berkemas, mempersiapkan pakaian pakaiannya yang paling baik dan ringkas dibungkus merupakan buntalan besar, membawa serta pedang ayahnya, yakni pedang Kim kong kiam yang tergantung di kamar senjata dan yang diam diam ia ambil di luar tahu ayahnya, lalu ia meninggalkan sepucuk surat dan setelah menanti sampai menjelang pagi di mana ia tahu seluruh isi rumah sedang tidur pulas, gadis yang tabah ini lalu pergi meninggalkan rumahnya. Tidak lupa ia membawa bekal uang dan barang perhiasan untuk menjaga kalau kalau ia kehabisan bekal di tengah perjalanan.

   Ketika matahari mulai bersinar, ia telah pergi jauh sekali dari rumah dan dusunnya. Memang semenjak subuh ia melakukan perjalanan cepat sekali, mengerahkan seluruh kepandaiannya berlari cepat sehingga sebentar saja ia telah melakukan perjalanan puluhan li jauhnya. Sikapnya yang gagah dan pedangnya yang tergantung di pinggang membuat Siauw Yang tak pernah mendapat gangguan.

   Sekelebatan saja orang orang di kalangan kang ouw yang ulung sudah dapat menduga bahwa dara ini adalah seorang yang memiliki kepandaian tinggi. Ditambah pula oleh sikap Siauw Yang yang ramah tamah dan manis budi maka begitu jauh ia belum pernah mengalami hal hal yang tidak enak baginya.

   Cocok seperti dugaan Thian Giok ketika bercakap cakap dengan Bun Sam tentang kepergian anak anak Thian te Kiam ong Siauw Yang pertama tama hendak pergi ke kota raja. Sudah lama sekali ia amat rindu menyaksikan kota yang disohorkan amat indah ini, yang penuh dengan istana istana indah bangunan baru dan kaisar, ia merencanakan untuk mengunjungi kota raja lebih dulu sebelum melanjutkan perjalanan menyeberang laut mencari Pulau Sam liong to.

   Gadis ini sengaja melakukan perjalanan di sepanjang saluran air yang menuju ke Peking, saluran yang telah digali oleh tenaga rakyat dan yang telah banyak mengorbankan jiwa rakyat jelata. Pemandangan di sekitar saluran ini memang indah. Banyak perahu perahu pedagang dan perahu perahu nelayan hilir mudik di sepanjang saluran itu dan pedagang nampak ramai sekali.

   Pada suatu hari, tibalah gadis ini di sebuah hutan yang luas di selatan kota raja, ia mempercepat larinya dan mengambil keputusan untuk melakukan perjalanan secepatnya agar sore hari itu dapat tiba di kota raja.

   Ketika ia tengah berlari cepat, tiba tiba di tengah hutan itu ia mendengar suara ribut tibut. Cepat ia menuju ke tempat suara itu dan ia melihat puluhan orang pengemis tengah mengurung seorang pemuda dengan sikap mengancam.

   Yang mengherankan hati Siauw Yang, para pengemis ini semuanya memegang sebatang tongkat merah, maka tahulah gadis yang sudah banyak mendengar penuturan ayah bundanya tentang keadaan di dunia kang ouw bahwa pengemis pengemis ini bukanlah pengemis pengemis biasa, melainkan anggota anggota sebuah perkumpulan pengemis yang bertanda tongkat merah.

   "Kalau dia menolak, pukul saja dengan tongkat wasiat kita sampai nyawanya meninggalkan badan!"

   terdengar beberapa orang pengemis berseru marah. Mereka sudah mengangkat tongkat tongkat merah mereka tinggi tinggi, siap untuk menjatuhkan pukulan kepada pemuda yang mereka kurung itu.

   Karena para pengemis itu menghalangi penglihatannya sehingga ia tidak dapat melihatnya pemuda yang dikurung maka Siauw Yang lalu melompat ke atas sebatang pohon dan melihat ke tengah.

   Ternyata bahwa pemuda yang dikurung oleh para pengemis itu adalah seorang pemuda berpakaian seperti pelajar yang sederhana, seorang pemuda yang berwajah halus dan tampan, bersikap ramah akan tetapi sedikitpun tidak kelihatan takut menghadap ancaman para pengemis yang marah itu.

   Dengan sikap tenang dan suara yang tabah serta manis, pemuda itu mengangkat kedua tangannya dan berkata kepada para pengepungnya,

   "Cu wi sekalian harap suka berlaku sabar dan tenang. Orang orang pandai berkata bahwa mengurus sesuatu perkara, harus dilakukan dengan hati panas dan kepala dingin, baru dapat selesai dengan baik. Cu wi harus pikir masak masak sebelum mengambil sesuatu keputusan, apalagi keputusan untuk mengangkat seorang pangcu (ketua perhimpunan). Siuwte ini orang apakah? Lemah dan bodoh, lagi masih muda kalau dibandingkan dengan cu wi (saudara saudara sekalian), bagaimana mungkin siauwte dapat menjadi seorang pemimpin?"

   Para pengemis itu nampaknya masih tidak puas dengan jawaban ini dan melihat sikap mereka, jelas bahwa mereka hendak memaksa pemuda itu.

   Siapakah adanya pemuda ini dan mengapa ia dikurung oleh para pengemis tongkat merah itu? Pembaca tentu sudah dapat menduga bahwa pemuda ini bukan lain adalah Liem Pun Hui. pemuda yang diterima menjadi murid oleh Sin pian Yap Thian Giok dan yang kemudian ditinggalkan di dalam hutan itu sebagai ujian selagi Thian Giok pergi mengujungi sahabatnya, yakni Thian te Kiam ong Song Bun Sam di Tit le.

   Beberapa hari kemudian setelah suhunya pergi, selagi melatih siulian dan mengatur pernapasan. Pun Hui melihat beberapa orang pengemis berjalan lewat di situ. Mereka berjalan tanpa bicara dan bahkan sama sekali tidak memperdulikan keadaan pemuda yang duduk bersila di bawah pohon itu.

   Tadinya Pun Hui merasa kasihan melihat mereka ini, pengemis pengemis yang memakai baju butut dan bertambal tambal, ia menarik napas panjang dan diam diam ia mengutuk pemerintah asing yang ia anggap menjadi biang keladi sehingga di Tiongkok banyak terdapat orang orang gelandangan dan pengemis yang hidup amat sengsara, dan yang menurut anggapan merupakan noda yang memalukan bagi bangsa.

   Akan tetapi segera timbul rasa herannya ketika tak lama kemudian, datang lagi serombongan pengemis dan baru sekarang kelihatan oleh pemuda ini bahwa setiap orang pengemis itu membawa sebatang tongkat yang sama bentuknya dan sama pula warnanya, yakni berwarna merah.

   Dan juga bahwa semua pengemis itu tidak ada yang kelihatan seperti orang kelaparan atau sengsara. Mereka itu melangkahkan kaki dengan tegap dan tubuh mereka nampak kuat. Tak mungkin persamaan tongkat itu hanya kebetulan saja.

   Pun Hui menjadi tertarik dan setelah beberapa kali ia melihat beberapa orang pengemis lagi lalu di hadapannya menuju ke tengah hutan, ia tertarik sekali dan tak dapat lagi ia bersiulian karena pikirannya tak dapat dikumpulkan.

   "Siapakah orang orang ini dan mereka hendak melakukan pekerjaan apakah? Tak mungkin sekali para pengemis hendak minta minta di dalam hutan, karena tempat ini sunyi tidak ada orang."

   Dengan pikiran ini, pemuda itu lalu berdiri dan diam diam ia mengikuti ke arah pengemis tadi pergi.
Pun Hui bersembunyi di balik batang pohon dan mengintai. Para pengemis itu nampak duduk merupakan lingkaran di tempat terbuka di tengah hutan itu, duduk di atas rumput dan keadaan sunyi sekali karena mereka sama sekati tidak bergerak dan tidak bicara.

   Di tengah tengah lingkaran itu nampak sebuah meja besar di atas mana mengebul asap hio yang tertancap di sebuah hiolouw (tempat hio) besar berwarna kuning berkilauan, tanda bahwa hiolouw itu terbuat daripada emas. Meja itu sendiri memakai hiasan kain bersulam indah sekali dan semua pengemis memandang atau menghadap kepada meja ini penuh khidmat.

   Pun Hui menjadi bengong karena upacara apakah itu? Meja itu meja sembahyang, hal ini sudah pasti, akan tetapi siapa yang di sembahyangi di situ dan mengapa para pengemis yang kelihatannya jembel dan miskin ini bisa mempunyai hiolouw yang terbuat daripada emas dan begitu besar? Kalau hiolouw itu dijual, agaknya uangnya dapat dipergunakan untuk membeli lima stel pakaian untuk setiap orang pengemis.

   Kemudian terdengar seorang pengemis tua berkata,

   "Sam lojin (Tiga Orang Tua) sudah hampir datang, lilin dapat dinyalakan sekarang!" Suaranya tidak keras, akan tetapi oleh karena keadaan di situ amat sunyi, maka terdengar berpengaruh dan penuh upacara.

   Dua orang pengemis yang juga sudah berusia lanjut, lalu melangkah maju. Mereka mengeluarkan lilin lilin putih yang besar dari buntalan yang menggemblok di punggung, lalu memasang sembilan batang lilin itu di atas meja, didirikan dengan jajaran tiga kali tiga. Kemudian dinyalakan sembilan lilin itu yang segera bernyala dengan anteng karena memang pada saat itu tidak ada angin meniup sedikitpun juga.

   Kemudian suasana sunyi dan semua orang masih tetap duduk mengitari meja sembahyang itu. Tak seorang pun bercakap cakap, semua seakan akan dalam sikap menanti. Pun Hui menjadi makin terheran heran dan ia pun menanti dengan dada berdebar, ingin sekali tahu apa yang akan terjadi selanjutnya.

   Tak lama kemudian, kembali orang tua yang tadi bicara, satu satunya orang yang semenjak tadi pernah membuka mulut berkata,

   "Sam lojin datang semua memberi hormat!"

   Pun Hui benar benar merasa heran. Siapakah Sam lojin atau Tiga Orang Tua yang dikatakan datang itu? Ia tidak melihat seorangpun atau juga tidak mendengar suara orang datang. Akan tatapi orang tua yang agaknya memimpin para pengemis itu menyatakan bahwa ada Sam lojin yang dikatakan datang.

   Pun Hui makin lama makin terheran heran, dan lebih heran dan terkejutnya ketika tiba tiba api lilin yang menyala di atas meja sembahyang itu bergoyang goyang seperti tertiup angin besar. Padahal pada saat itu tidak bertiup angin sama sekali.

   Dan keheranannya bertambah lagi ketika tiba tiba ia melihat bayangan tiga orang memasuki lingkaran itu dan tahu tahu di depan meja sembahyang telah berdiri tiga oranng! Karena kebetulan sekali tempat di mana Pun Hui bersembunyi berada di belakang meja sembahyang, maka ia dapat melihat wajah tiga orang yang datang datang seperti siluman dengan jelas.

   Kembali terjadi keanehan dan Pun Hui menjadi bengong terlongong memandang kepada tiga orang yang disebut Sam lojin atau Tiga Orang Tua itu dengan mata terbelalak.

   Orang pertama dari tiga orang pendatang itu adalah seorang kakek yang usianya sudah limapuluh tahun lebih, bertubuh jangkung kurus dengan jenggot seperti kambing bandot dan mata juling dengan kedua manik mata mendekati hidung, ia mengenakan pakaian seperti pengemis pula, tambal tambalan dan kotor. Di tangan kanannya terlihat tongkat merah seperti yang dipegang oleh para pengemis itu.

   Orang ke dua juga sudah tua, agak lebih muda daripada orang pertama, akan tetapi sudah termasuk tua, dengan tubuhnya yang agak gemuk dan perutnya gendut, tertutup oleh kain kepala hitam dan seluruh wajah orang ini selalu nampak berseri dan tertawa, dari matanya yang bersinar sinar jenaka sampai mulutnya yang tersenyum senyum selalu. Pakaiannya tambal tambalan pula bahkan di bagian perut berlubang sehingga nampak perutnya yang tergantung ke depan. Ia juga memegang tongkat merah yang nampaknya berat di tangan kanannya.

   Dua orang ini memang patut disebut Lojin (orang tua) karena usia mereka sudah kurang lebih limapuluh tahun, biarpun orang ke dua yang gendut itu mukanya kelimis tidak terhi sehelai rambutpun.

   Akan tetapi yang membuat Pun Hui terlongong keheranan adalah keadaan orang ketiga.

   Orang ke tiga adalah seorang wanita, seorang dara malah, usianya paling banyak sembilanbelas tahun, wajahnya bundar dan manis, matanya jeli bersinar tajam dan bibirnya yang merah dan manis itu selalu nampak bersungut sungut, mendekati sifat galak.

   Rambutnya panjang, digelung ke atas dan diikat dengan saputangan sutera hijau. Pendeknya, seorang gadis yang manis dan cantik, lagi gagah. Tubuhnya juga baik dan padat langsing, cukup menarik. Hanya pakaiannya yang lucu karena biarpun terbuat dari kain yang bersih dan mahal, namun tambal tambalan pula! Dara inipun memegang sebatang tongkat merah yang kecil dan ujungnya meruncing.

   Hampir saja Pun Hui tak dapat menahan gelak tawanya. Bagaimana seorang gadis muda cantik jelita seperti ini, betapapun gagah kelihatannya, disebut Lojin atau Orang Tua?? Gadis ini sama sekali belum tua, bahkan masih lebih muda dari dia sendiri! ia mencoba untuk mencari cari dengan pandangan matanya kalau kalau masih ada orang tua ke tiga yang belum datang akan tetapi jelas tidak ada lain orang lagi, jadi sudah terang bahwa yang disebut Sam lojin (Tiga Orang Tua) itu tentulah tiga orang kakek dan gadis muda ini!

   Tentu saja Pun Hui tidak tahu bahwa gadis ini termasuk salah seorang Tiga Orang Tua bukan karena usianya, melainkan karena kepandaian dan kedudukannya! Tingkatnya dalam perkumpulan pengemis yang disebut Ang kai tung (Tongkat Pengemis Merah) ini sama dengan dua orang yang kini berdiri di dekatnya dan mereka bertiga ini hanya lebih rendah setingkat daripada ketua perkumpulan itu sendiri yang disebut Lo pangcu.

   Gadis itu adalah puteri dari ketua perkumpulan pengemis yang namanya pada waktu itu menggemparkan kalangan kang ouw, sebagai seorang diantara para tokoh yang menggantikan kedudukan Lima Tokoh Besar yang sudah mengundurkan diri. (Lima Tokoh Besar itu, yakni Pat jiu Giam ong Liem Po Cuan yang tewas oleh Thian te Kian ong Song Bun Sam, ke dua Mo bin Sin kun atau guru dan Yap Thian Giok, ke tiga Kim Kong Taisu tokoh Oei san yang sudah meninggal dunia karena usia tua, ke empat Lam hai Lo mo Seng jin Siansu dan ke lima Bu tek Kiam ong guru dari Song Bun Sam yang sudah meninggal dunia lebih dahulu).

   Ketua Ang kai tung ini bernama Thio Houw dan berjuluk Sin tung lokoai (Manusia Aneh Tongkat Sakti) ia hanya hidup berdua dengan puterinya yang bernama Thio Leng Li, yang telah mewarisi kepandaiannya dan amat lihai di samping kecantikannya yang menggiurkan.

   Beberapa tahun yang lalu, Sin tung lokoai ini menundukkan sebuah perkumpulan pengemis yang yang dikepalai oleh dua orang pengemis tua yang cukup lihai yakni yang bertubuh jangkung bernama Bu beng Sin kai (Pengemis Sakti Tiada Nama), dan seorang adik seperguruannya. yakni pengemis tua yang gendut itu yang berjuluk Sam thouw liok ciang kai (Pengemis Tiga Kepala Enam Tangan).

   Melihat bahwa perkumpulan ini memiliki banyak sekali anggauta dan kedudukannya kuat sekali, maka Thio Houw lalu membentuknya menjadi sebuah perkumpulan Ang kai tung Kai pang (Perkumpulan Pengemis Tongkat Merah) dan ia menjadi ketuanya.

   Sebagai pembantunya, ia mengangkat Bu beng Sin kai, Sam thouw liok ciang kai, dan puterinva sendiri, yakni Thio Leng Li yang seperti ayahnva, diberi julukan Sin tung (Tongkat Sakti), akan tetapi kalau ayahnya d juluki Manusia Aneh Tongkat Sakti, maka dia dijuluki Bi sin tung atau Tongkat Sakti yang Cantik!

   Demikianlah penjelasannya dan di samping kedua orang kawannya yang boleh dibilang menjadi pembantu atau wakil dari ayahnya, Thio Leng Li juga termasuk Orang Tua, sebutan yang lajim dipergunakan dalam perkumpulan pengemis itu dengan maksud menghormat orang yang lebih tinggi kedudukannya atau orang yang menjadi pemimpin dan yang memiliki kepandaian lebih tinggi daripada mereka!

   Mengapa mereka berkumpul di situ? Dan apa artinya meja sembahyang itu? Baiklah kita melanjutkan cerita iini dan melihat sendiri apa yang akan terjadi di situ, seperti yang disaksikan oleh Pun Hui.

   Ketika tiga orang Sam lojin ini sudah datang dengan cara yang luar biasa sekali, yakni dengan mempergunakan kepandaian ginkang mereka yang tinggi sehingga tahu tahu telah berdiri di hadapan meja sembahyang dan orang orang yang duduk di sekitarnya telah memberi hormat dengan mengangkat tongkat tinggi tinggi di atas kepala. Thio Leng Li lalu mengangkat tangan, memutar tubuh dan menghadapi semua anggauta perkumpulan.

   "Seperti sudah dikabarkan kepada saudara saudara sekalian, kedatangan kita kali ini untuk berkumpul di sini, ialah pertama untuk menyembahyangi arwah dari ayahku yang tercinta dan bersumpah menuntut balas atas kematian orang tua itu," sampai di sini merahlah mata gadis itu yang dengan gagah berusaha sedapat mungkin menahan jatuhnya air matanya, kemudian dengan suara yang lantang, nyaring dan bening, ia melanjutkan, "dan kedua kalinya untuk mengadakan pemilihan ketua baru sesuai dengan peraturan dalam perkumpulan kita. Akan tetapi, lebih dulu kita harus mengundang datang orang yang dengan lancang berani mengintai pertemuan ini!"

   Semua anggauta pengemis yang duduk di sekitar meja itu terkejut dan saling pandang, tidak tahu siapa yang dimaksudkan oleh gadis itu sebagai tamu yang tak diundang. Akan tetapi, Bu beng Sin kai si jangkung kurus dan Sam thouw liok ciang kai si gendut, cepat menengok ke arah pohon, di belakang mana, Pun Hui semenjak tadi bersembunyi!

   Bukan main kagetnya Pun Hui mendengar ini. Ternyata bahwa gadis muda itu benar benar lihai sekali sehingga kehadirannya yang semenjak tadi tidak terlihat oleh seorangpun anggauta perkumpulan pengemis, kini sekaligus terlihat oleh gadis itu!

   Dengan malu malu dan muka merah, Pun Hui mendahului mereka melangkah ke luar dari balik pohon dan menjuri ke arah mereka sambil berkata,

   "Mohon maaf sebanyaknya apabila siauwte mengganggu pertemuan cu wi sekalian. Sesungguhnya bukan maksud siauwte untuk berlaku kurang patut dan mengintai, hanya karena tadi siauwie tertarik sekali oleh kedatangan cu wi di tempat ini, maka siauwte datang ke sini dan setelah tiba di sini, siauwte takut kalau kalau mengganggu, maka aiauwte bersembunyi. Sekali lagi maaf dan kalau kehadiran siauwte tidak dikehendaki, ijinkan siauwte pergi lagi."

   Ia menjura sekali lagi dangau sikap hormat.

   Para pengemis memandang dengan bengong, kemudian meledaklah suara ketawa mereka saking geli hati. Belum pernah mereka sebagai pengemis pengemis yang biasanya dianggap hina diperlakukan dengan kasar dan rendah oleh orang orang lain, kini mendapat perlakuan demikian penuh hormat oleh seorang pemuda yang bicaranya amat sopan santun dan teratur, tanda seorang pemuda terpelajar.

   Adapun Leng Li juga tertegun ketika melihat siapa orangnya yang mengintai di balik pohon, ia tadi hanya tahu bahwa ada orang mengintai di balik pohon, akan tetapi sama sekali tidak pernah menyangkanya bahwa yang mengintai adalah seorang pemuda terpelajar yang demikian sopan santun dan tampan. Maka untuk beberapa lama ia tidak dapat mengeluarkan suara apa apa.

   Si pengemis gendut tertawa senang. "Di jaman dahulu, para sasterawan dan seniman hidup tiada bedanya dengan pengemis, maka aku tidak keberatan kalau kau ikut hadir sebagai tamu dan saksi."
Namun Leng Li tidak berani mengambil keputusan sebelum mendengar pendapat Bu beng Sin kai sebagai orang tertua di situ. Maka ia menengok dan memandang kepada si jangkung kurus ini dengan mata mengandung penuh pertanyaan.

   "Dia sopan dan tahu diri, tiada jeleknya hadir. Bagaimana pendapat nona?"

   Dengan suara tantang Leng Li berkata,

   "Dia sudah melihat keadaan kita semua, asalkan dia sanggup menutup mulut boleh saja dia melanjutkan pendengaran dan penglihatannya di sini." Kemudian nona ini menoleh kepada Pun Hui dan berkata,

   "Sahabat, silahkan kau duduk di tempat kami yang sederhana ini."

   Dengan girang sekali Pun Hai lalu melangkah maju dan tanpa ragu ragu lagi lalu mengambil tempat duduk di atas rumput, di antara para pengemis yang pakaiannya berbau apek. Tentu saja hal ini menggirangkan hati para pengemis, karena biasanya orang kota yang pakaiannya bersih selalu merasa jijik kalau berdekatan dengan mereka, apa lagi duduk berdampingan. Pemuda ini benar benar menarik perhatian mereka dan membuat mereka merasa senang.

   

Pedang Naga Kemala Eps 19 Pedang Naga Kemala Eps 22 Pedang Naga Kemala Eps 32

Cari Blog Ini