Ceritasilat Novel Online

Pedang Naga Kemala 19


Pedang Naga Kemala Karya Kho Ping Hoo Bagian 19




Dan tiba-tiba saja berkelebat bayangan hitam dan kuda itu kembali meringkik, tubuhnya gemetar dan Diana juga mengeluarkan pekik tertahan karena di depan mereka telah berdiri seekor harimau hitam yang matanya mencorong hijau menyeramkan! Harimau kumbang itu besar sekali dan mengeluarkan gerengan-gerengan sambil memperlihatkan taring-taringnya yang runcing. Diana hampir pingsan saking takut dan kagetnya dan pada saat itu, kuda hitam melakukan gerakan mengangkat kedua kaki depannya ke atas, lalu meloncat ke samping dan melarikan diri, meninggalkan Diana yang terbanting jatuh. Kalau saja Diana dalam keadaan biasa, gadis yang ahli menunggang kuda ini tentu tidak akan terlempar dari pelana.

Akan tetapi pada saat itu, melihat seekor harimau besar menghadang, ia sudah terkejut ketakutan dan hampir pingsan, dan dalam keadaan lemas itu, kuda hitam mengangkat kaki depan ke atas lalu meloncat ke samping. Tentu saja Diana tidak lagi mampu mempertahankan dirinya dan ia terlempar jatuh. Dapat dibayangkan betapa ngeri dan takut rasa hati gadis itu melihat kudanya melarikan diri dan kini ia terbelalak memandang ke arah harimau kumbang yang masih berdiri memandang dengan matanya yang hijau mencorong itu. Anehnya ketika Diana bangkit berlutut, harimau itu lalu mendekam pula dan sama sekali tidak bergerak ketika Diana merangkak menjauhi harimau itu sambil menengok. Kaki tangan yang dipakai merangkak itu menggigil dan beberapa kali Diana terpeleset jatuh. Kemudian ia bangkit berdiri dan tiba-tiba harimau itu menggereng.

Tadi, ketika Diana merangkak, harimau itu hanya memandang, agaknya merasa lucu melihat mahluk yang merangkak demikian lambannya, akan tetapi ketika Diana bangkit harimau itu agaknya maklum bahwa calon mangsanya akan melarikan diri. Diapun bangkit dan mengambil sikap siap menubruk. Diana merasa seolah-olah kedua kakinya lumpuh. Ia tidak mampu lagi melangkah, saking takutnya. Bibirnya gemetar tidak mampu mengeluarkan suara dan sepasang matanya terbelalak, seperti terpesona oleh sihir yang keluar dari pandang mata harimau itu. Harimau itu kembali menggereng, kini gerengannya kuat sekali dan tiba-tiba tubuhnya meloncat tinggi dengan keempat kakinya membentuk cakar siap mencengkeram mangsanya. Diana masih terbelalak dan ia hanya dapat pasrah menanti kematian yang mengerikan, maka ia segera memejamkan matanya.

Akan tetapi, ia tidak merasakan tubuhnya diterkam, bahkan mendengar harimau itu mengeluarkan gerengan lagi. Cepat ia membuka mata dan kembali matanya terbelalak. Hampir ia tidak dapat percaya akan pandang matanya sendiri karena yang terjadi di depannya itu sungguh sukar untuk dapat dipercaya. Kiranya ketika harimau kumbang itu menubruk, tiba-tiba saja, entah dari mana datangnya, tahu-tahu di situ sudah muncul seorang gadis manis berpakaian sederhana menghadang terkaman harimau. Ketika tubuh harimau itu datang menerkam dengan dahsyatnya, gadis itu cepat menangkap kaki depan harimau, lalu menggeser kaki kanan ke belakang, tubuhnya direndahkan dan dengan meminjam tenaga terkaman itu, ia membanting tubuh harimau itu ke kanan.

"Brukkk...!" Dengan kepala lebih dulu, tubuh harimau itu menghantam batang pohon! Harimau itu tentu saja memiliki tubuh yang kuat sekali. Biarpun agaknya pening, ia sudah menggereng dan hendak membalik untuk menyerang orang yang menyakitinya. Akan tetapi, gadis itu sekali loncat sudah berada di belakang, dan mengayun kedua tangannya.

"Hyaaaaattt!! Hyaaaattt!!" Dua kali sepasang tangan kecil itu menyambar, yang kanan lebih dulu disusul yang kiri. Dua kali hamtaman dengan telapak tangan yang dilakukan dengan pengerahan tenaga sinkang sambil mengeluarkan bentakan nyaring itu tepat mengenai kepala di belakang telinga kiri kanan harimau itu. Kiranya ketika harimau kumbang itu menubruk, tiba-tiba saja, entah dari mana datangnya, tahu-tahu di situ sudah muncul seorang gadis manis berpakaian sederhana menghadang terkaman harimau.

"Tukkk! Tukkk!!" Menerima pukulan yang amat dahsyat ini, harimau itu terkulai, keempat kakinya berkelojotan, dari mulut, hidung, telinga dan matanya mengalir darah, dan tak lama kemudian binatang itupun mati. Dengan sepasang mata masih terbelalak Diana memandang ke arah gadis itu, kemudian ke arah harimau, lalu ia menggosok-gosok kedua matanya dengan punggung tangan, memandang lagi. Sukar dipercaya! Memang, ia sudah mendengar banyak dongeng dari mulut para pelayan tentang para pendekar yang amat gagah perkasa, bahkan pernah nonton wayang dengan cerita Bu Siong Phak Houw (Pendekar Bu Siong Membunuh Harimau) di mana diceritakan betapa pendekar itu membunuh seekor harimau hanya dengan pukulan tangan saja. Akan tetapi seorang wanita? Seorang gadis yang kelihatannya begitu muda?

"Ya Tuhan...!" Berkali-kali bibirnya bergerak dan akhirnya terdengar keluhan ini.

Gadis itupun memandang kepadanya dengan takjub. Agaknya gadis itu kagum melihat matanya kebiruan, warna rambutnya yang kuning emas, tubuhnya yang tinggi semampai dengan tonjolan-tonjolan yang demikian matang. Apa lagi kini gaun yang menutup tubuh Diana sudah tidak utuh lagi, sudah cabik-cabik tidak keruan sehingga sebagian paha kanan dan perutnya nampak, kulitnya putih mulus kemerahan. Gadis itu lalu melangkah maju menghampiri, agaknya bimbang dan tidak tahu harus bicara apa karena ia tahu bahwa gadis berambut pirang ini tentu seorang wanita kulit putih, seorang asing yang belum tentu dapat mengerti kalau diajaknya bicara. Akan tetapi Diana sudah mempelajari bahasa daerah, walaupun hanya sedikit-sedikit karena ia datang ke Kanton sesudah dewasa dan hanya beberapa bulan saja mempelajari bahasa itu.

"Terima kasih... terima kasih..." kata Diana mendahului dan ia mengulurkan tangan kepada gadis itu. Gadis itu menjura dan mengangkat tangannya ke depan dada, sama sekali tidak menyambut uluran tangan Diana karena agaknya ia tidak mengerti bahwa uluran tangan itu mengajak bersalaman. Sambil menjura gadis itu menjawab.

"Tidak perlu sungkan. Siapapun melihat engkau terancam bahaya, tentu akan turun tangan menolongmu." Diana teringat bahwa orang-orang pribumi saling menyalam dengan caranya sendiri, yaitu dengan mengangkat kedua tangan di depan dada, bukan berjabat tangan, maka iapun cepat menjura.

"Terima kasih, kau ... kau baik sekali... kau kuat hemm... lihai!" Gadis itu tersenyum manis. Seorang gadis yang manis, bermata lebar dan biarpun pakaiannya sederhana seperti pakaian petani, nampak jelas bentuk tubuhnya yang ramping dan berisi.

"Kita harus cepat pergi dari sini, jangan sampai teman-temannya datang, bisa berbahaya. kau datang dari mana?" Karena gadis itu bicara cepat, agak sukar Diana menangkapnya. Ia menggeleng kepalanya.

"Aku tidak tahu... Kudaku kabur." Gadis itu maklum bahwa gadis asing ini tak tahu jalan pulang. Paling penting menyelamatkannya dan pergi dari tempat berbahaya ini, pikirnya. Kalau sampai ada rombongan harimau kumbang datang, lebih dari dua ekor saja ia sudah akan payah menghadapi keroyokan mereka.

"Mari, kita pergi. Di sana ada dusun," ajaknya sambil menunjuk ke arah belakang. Diana mengangguk, lalu ia mengikuti gadis itu. Melihat betapa Diana nampak kepayahan, juga kulit tubuhnya lecet-lecet, gadis itu memandang dan merasa kasihan.

"Mari, ikut dengan aku!" Ia lalu menggandeng tangan Diana dan setengah menarik gadis berambut pirang itu, diajaknya lari menyusup-nyusup dengan cepat.

"Siapa namamu?" Diana bertanya sambil ikut berlari-lari kecil di samping penolongnya. Tanpa berhenti berlari, gadis itu menjawab,

"Namaku Siauw Lian Hong, dan kau siapa?" Tentu saja nama itu tidak ada artinya bagi Diana. Ia tidak tahu bahwa nama ini adalah nama seorang gadis perkasa, murid seorang sakti, datuk persilatan terkenal yang lebih mengerikan dengan julukan San-tok, Racun Gunung, seorang di antara Empat Racun Dunia. Seperti kita ketahui, Lian Hong telah berpisah dari Kui Eng dan kini ia dalam perjalanan hendak melaporkan kepada gurunya tentang Koan Jit yang dijumpainya. Ketika ia melewati hutan itu dan mendengar suara harimau kumbang menggereng, ia terkejut. Gadis ini sudah banyak merantau dan mengenal keadaan binatang buas di hutan-hutan. Gerengan harimau kumbang itu memberi tahu kepadanya bahwa ada orang yang terancam oleh harimau yang lapar itu. Dan iapun berlari cepat dan pada waktu yang tepat berhasil menyelamatkan Diana!

"Namaku Diana... Diana Mitchell..." Nama terakhir itu terlalu sukar bagi lidah Lian Hong. Baru diucapkan saja sudah tidak mampu menirukan. Yang teringat hanya Diana saja, karena nama ini mudah diingat, mudah pula diucapkan.

"Diana, kau cantik sekali. Mata dan rambutmu indah, seperti bintang dan emas!" Lian Hong memuji.
Diana tersenyum gembira. Biarpun ia baru saja terbebas dari bahaya maut yang mengerikan, namun bertemu dan berkenalan dengan seorang gadis seperti Lian Hong ini sungguh menyenangkan hatinya. Ia lalu merangkul pundak Lian Hong yang tingginya hanya sampai di bawah telinganya.

"Lian Hong, engkau lah yang cantik sekali. Cantik dan menarik, dan engkau sungguh gagah perkasa." Ucapannya itu dikeluarkan secara tersendat-sendat dan tidak lancar, karena ia harus memilih kata-kata dulu. Akan tetapi Lian Hong dapat mengerti dan ia tersenyum, keduanya tersenyum.

"Engkau yang gagah berani, Diana. Engkau seorang wanita berani sendirian saja di dalam hutan seperti itu. Dan ketika haimau itu mengancammu, engkau tidak berteriak minta tolong."

"Aku tidak sendirian, tadinya aku bersama seorang teman pria. Dan aku tidak berteriak karena... aku sudah kehilangan suara saking takutku. Hi-hik, aku nyaris terkencing di tempat saking takutku." Mendengar ucapan yang begitu jujur dan tanpa disembunyikan, mau tak mau Lian Hong tertawa dan Diana juga tertawa. Keduanya tertawa gembira dan diam-diam Lian Hong kagum. Gadis asing ini ketawa begitu bebas, dan juga termasuk seorang gadis yang tabah, karena baru saja terlepas dari bencana yang begitu mengerikan akan tetapi sekarang sudah dapat tertawatawa! Tiba-tiba ia teringat.

"Teman priamu itu? Suamimukah dia?" Diana terbelalak.

"Suamiku? Ah, sama sekali bukan! Hanya teman biasa. Dia seorang Letnan pasukan keamanan, namanya Peter Dull. Kami berdua menunggang kuda, dan ketika tiba di tempat itu, aku tantang dia berlumba. Aku membalap dulu dan akhirnya kudaku ketakutan, agaknya mencium bau harimau dan diapun kabur. Ketika bertemu harimau, dia mengangkat kedua kaki depan tiba-tiba dan aku terlempar! Dan kau sendiri, apakah kau sudah bersuami?" Ditanya begini saja, Lian Hong sudah merasa malu. Wanita ini bicara tentang suami seperti orang bicara tentang pakaian saja! Lian Hong menggeleng kepala. Diana tertawa.

"Wah, menjadi suamimu harus seorang laki-laki yang kuatnya melebihi harimau kumbang tadi. Kalau tidak, sekali tampar kalau sedang bergurau bisa membuat dia mati!" Kembali Lian Hong tertawa geli. Gadis kulit putih ini ternyata seorang yang berwatak gembira, jenaka dan suka bergurau walaupun kata-katanya terbatas.

Akan tetapi, kata-kata yang sukar keluar dan kadang-kadang terdengar janggal dan tidak keruan susunannya itu malah membuat ucapannya semakin lucu. Sepasang mata yang biru itu demikian hidup, penuh gairah dan senyumnya demikian cerah, penuh kegembiraan. Seorang gadis yang luar biasa, pikir Lian Hong kagum. Di lain pihak, Diana merasa semakin kagum terhadap Lian Hong. Seorang gadis sederhana dan melihat betapa gadis ini dengan tangan kosong mampu membunuh seekor harimau kumbang, tadinya ia mengira bahwa tentu gadis ini seorang yang bertenaga besar, kasar dan kejantanan. Akan tetapi setelah mereka bercakap-cakap, ia mendapat kenyataan bahwa Lian Hong seorang gadis yang sederhana namun cerdik, halus budi pekertinya, dan halus pula gerakgeriknya.

Bahkan gadis itupun bersikap ramah dan sopan. Melihat kelembutan sikapnya, melihat tubuh yang sempurna lekuk lengkungnya, halus polos kulitnya, yang membayangkan kehalusan dan kehangatan, sungguh sukar dapat dipercaya bahwa di balik kelembutan itu terdapat kekuatan yang demikian hebatnya! Timbullah keinginannya untuk dapat menjadi seperti Lian Hong, atau setidaknya mempelajari dan mengetahui bagaimana caranya gadis selembut itu dapat memiliki kekuatan sehebat itu. Setelah mereka tiba di tempat yang aman, keluar dari hutan itu, Lian Hong yang merasa kasihan melihat betapa Diana nampak kelelahan, mengajaknya untuk beristirahat di bawah sebatang pohon besar. Ia membuka buntalan pakaiannya, mengeluarkan bekal roti kering dan daging dendeng, lalu mengisi tempat airnya yang kosong dengan air sumber yang jernih dari puncak bukit.

"Kita beristirahat dan makan dulu. Makan seadanya saja, Diana." Akan tetapi,

"Makan seadanya" ini merupakan makanan paling lezat yang pernah dirasakan oleh Diana. Roti kering dan daging dendeng itu, dibantu dengan air jernih.

"Aku tidak mempunyai rumah. Selama ini numpang di tempat pertapaan guruku, di Pegunungan Wuyi-san."

"Keluargamu...? Orang tuamu?" Kembali Lian Hong menggeleng.

"Orang tuaku sudah meninggal dunia, aku tidak mempunyai seorangpun keluarga, kecuali guruku seorang." Lian Hong berhenti sebentar, lalu melanjutkan, "Aku sebatangkara." Diana merasa demikian terharu mendengar ini sehingga ia merangkul Lian Hong, maksudnya untuk menghibur. Akan tetapi dengan halus Lian Hong melepaskan rangkulan itu, dan berkata, "Dan engkau sendiri? Di mana rumahmu, Diana?"

"Orang tuaku di Inggris, mereka hidup sebagai petani. Aku ikut dan mondok di rumah pamanku, Kapten Charles Elliot di Kanton." Lian Hong mengangguk-angguk.

"Akan kuantar kau kembali ke Kanton." Akan tetapi Diana menggeleng kepala keras-keras.

"Tidak, aku tidak mau pulang ke sana!"

"Eh..., kenapa, Diana?" Diana teringat akan kehidupannya di Kanton. Hidup di antara orang-orang besar, hidup mewah dan serba kecukupan, enak-enakan akan tetapi ia merasa seperti menjadi burung dalam kurungan. Memang selama ini ia tidak pernah merasa demikian, akan tetapi begitu bertemu dan berkenalan dengan Lian Hong, ia melihat diri Lian Hong seperti seekor burung yang beterbangan di antara pohon-pohon besar dengan bebasnya,

Sedangkan dirinya sendiri seperti seekor burung yang berada dalam sebuah sangkar, walaupun sangkar itu cukup besar dan terbuat dari emas! Dan kini timbul keinginan hatinya untuk merantau dan hidup bebas seperti Lian Hong! Apa lagi kalau ia teringat akan sikap Peter Dull, dan kecondongan paman dan bibinya untuk menjodohkan ia dengan laki-laki itu, hatinya menjadi semakin tawar untuk kembali ke rumah pamannya di Kanton. Membandingkan kehidupan yang penuh kemunafikan, penuh kepura-puraan dan sopan santun yang tolol dan dibuat-buat, pakaian yang gedombrangan menurutkan mode dan yang membatasi gerakan-gerakannya, dengan kehidupan sederhana tapi bebas seperti Lian Hong, sungguh membuat ia melihat perbedaan-perbedaan yang amat menyolok.

"Aku... sementara ini tidak ingin pulang."

"Habis kau mau ke mana, Diana?"

"Aku mau merantau. Aku mau ikut denganmu." Tiba-tiba ia merangkul leher Lian Hong dan mencium pipi gadis itu. Perbuatan Diana ini demikian tiba-tiba dan terbuka, membuat Lian Hong merasa terkejut dan mukanya berubah merah karena jengah.

"Lian Hong, sahabatku yang baik, tolonglah, perbolehkan aku pergi bersamamu. Aku ingin hidup seperti engkau, hidup bebas seperti seekor burung di udara!"

"Tapi, mana mungkin itu, Diana? Kehidupan seperti aku adalah kehidupan penuh kesukaran dan kekerasan, penuh bahaya?"

"Aku berani menghadapi segala kesukaran itu, Lian Hong!" jawab Diana tegas.

"Tapi... kau biasa hidup mewah. Lihat, pakaianmu yang indah sekali. kau dari keluarga mewah dan kaya raya. Mana mungkin hidup seperti aku, tidak tentu tempat tinggalnya, kadang-kadang satu dua hari tidak makan, kadang-kadang harus melakukan perjalanan amat jauh dan sukar, kepanasan, kehujanan, kadang-kadang harus tidur di bawah pohon, di dalam kuil-kuil tua..."

"Aku tidak takut! Aku ingin mengecap kebebasan dan untuk kebebasan itu, walaupun hanya untuk beberapa waktu, aku mau menebusnya dengan semua kekurangan dan penderitaan itu." Bagaimanapun ia merasa suka dan kasihan kepada gadis kulit putih itu dan ingin menyenangkan hatinya,

Namun Lian Hong tetap mengerutkan alisnya dan hatinya melarang ia menerima permintaan Diana. Membawa seorang seperti Diana ini pergi merantau merupakan perbuatan gila. Merantau pada waktu itu sama sekali bukan perjalanan wanita, apa lagi wanita lemah. Di mana-mana menghadang bahaya besar. Di mana-mana tidak aman. Hanya para wanita kang-ouw saja, itupun yang benar-benar telah memiliki kepandaian tinggi sehingga mampu membela diri dengan baik, yang akan berani melakukan perjalanan merantau seorang diri. Dan Diana adalah seorang wanita lemah, sama sekali tidak mampu membela diri, walaupun ia memiliki ketabahan besar. Apa lagi kalau diingat bahwa ia adalah seorang gadis asing kulit putih. Tentu saja bahaya mengancamnya di mana-mana!

"Diana, dengarlah baik-baik," katanya halus sambil memegang pundak gadis tinggi semampai itu.

"Sungguh, aku akan senang sekali melakukan perjalanan bersamamu. Akan tetapi terpaksa aku menolak permintaanmu itu, Diana. Tidak mungkin aku mengajakmu menempuh bahaya-bahaya besar yang menghadang di tengah perjalanan. Resikonya terlampau besar dan kalau sampai aku tidak dapat melindungimu dan terjadi apa-apa pada dirimu, aku yang akan merasa menyesal sekali. Maaf, Diana, aku sungguh terpaksa tidak dapat memenuhi permintaanmu itu. Aku hanya akan mengantarmu pulang ke Kanton agar engkau dapat kembali dan hidup aman dengan keluarga atau pamanmu di sana."

Mendengar keterangan yang panjang lebar ini, wajah Diana nampak layu dan kosong. Kekecewaan membuat ia lemas dan tertunduk kembali setelah tadi dengan penuh semangat ia berdiri, dan kini ia memandang jauh dengan sinar mata kosong, mulut agak terbuka dan ada butiran air mata tergenang di pelupuk matanya. Melihat keadaan gadis ini, Lian Hong merasa terharu dan kasihan sekali. Dengan suara terputus-putus karena ia harus mencari-cari kata-kata yang belum dihafalnya benar itu, ia berkata lirih.

"Hidup dengan aman?"

"Ya, engkau tentu akan disambut dengan gembira oleh mereka dan engkau akan hidup berbahagia lagi di sana, Diana." Diana menggeleng kepala dan dua butir air mata menetes turun.

"Tidak, aku tidak pernah merasakan apa dan bagaimana yang dinamakan bahagia itu. Lian Hong, tahukah engkau apakah bahagia itu? Apakah engkau berbahagia?" Lian Hong tertegun dan iapun lalu duduk di dekat Diana, termenung sejenak sebelum menjawab. Pertanyaan itu dirasakannya terlalu tiba-tiba datangnya sehingga membuat ia sendiri menjadi bingung.

"Bhagia...?" Akhirnya ia berkata seperti bertanya kepada diri sendiri, matanya merenung jauh.

"Aku hanya pernah mendengar kata itu dibicarakan orang. Aku sendiri tidak tahu apakah aku berbahagia, atau aku tidak ingat lagi apakah pernah merasakannya."

"Tapi engkau hidup begini menyenangkan, begini bebas dan enak seperti burung berterbangan di angkasa, sesuka hatinya, tanpa ada yang menghalangi, tanpa ada ikatan-ikatan munafik, begini dekat dengan alam! kau pasti bahagia!" Lian Hong menarik napas panjang.

"Aku tidak tahu, Diana. Akan tetapi agaknya sudah sepatutnya kalau kita berusaha untuk mencapai kebahagiaan, dengan cara dan jalan masing-masing tentunya. Kebahagiaan orang tentu berbeda-beda, yang dapat mendatangkan kebahagiaan kepadaku belum tentu demikian kepadamu dan sebaliknya. Aku memang hidup merantau dan bebas, akan tetapi aku tidak merasakan bahagia. Kurasa, kita harus mencarinya untuk menemukan kebahagiaan itu." Diana termenung, lalu berkata,

"Kekayaan dan kedudukan tidak mendatangkan kebahagiaan. Kalau kebebasan seperti engkau inipun tidak mendatangkan kebahagiaan, aku tidak tahu lagi di mana letak kebahagiaan. Pendeta kami pernah berkata bahwa kebahagiaan hanya dapat dicapai melalui Tuhan, melalui Agama. Dan sejak kecil aku sudah dididik dalam Agama, namun belum juga aku pernah merasakan kebahagiaan itu. Ada pula yang bilang bahwa kebahagiaan adalah Sorga, dan Sorga hanya baru dapat dicapai kalau kita sudah mati. Ah, aku tidak mau bahagia sesudah mati, aku ingin kebahagiaan selagi masih hidup ini!" Dua orang gadis itu kini berdiam diri, seperti berubah menjadi patung, tenggelam ke dalam renungannya sendiri, terpesona oleh kata "Bhagia" yang menjadi bahan percakapan mereka tadi.

Dua orang gadis itu terlalu jauh terseret oleh segala macam teori yang pernah mereka dengar atau baca mengenai kebahagiaan. Kebahagiaan bukanlah sesuatu yang dapat dibicarakan dengan teori, melainkan suatu keadaan batin yang hanya dapat dirasakan oleh diri sendiri. Kebahagiaan adalah suatu keadaan yang tidak mungkin dapat digambarkan, bahkan tidak mungkin dapat dicari. Kalau dicari tidak mungkin akan dapat. Yang dapat dicari hanyalah kesenangan, dan kesenangan hanyalah pengulangan dari suatu peristiwa yang dianggap menyenangkan dan mengenakkan yang pernah dialami atau pernah didengar dari orang lain. Akan tetapi kesenangan hanya merupakan suatu peristiwa singkat yang akan segera berlalu, seperti juga kesusahan yang menjadi saudara kembarnya. Kita selalu terombang-ambing antara mencari kesenangan dan menghindari kesusahan,

Sehingga dengan demikian, batin kita seperti selalu bergelombang dan penuh dengan ombak-ombak kesenangan dan kesusahan. Padahal, kebahagiaan adalah keheningan dan ketenangan batin yang tidak terlanda oleh sesuatu yang merangsangnya, seperti samudera yang tenang dan sedikitpun tidak dikacau ombak, baik itu ombak kesenangan maupun ombak kesusahan. Jadi, kebahagiaan, seperti juga kedamaian, seperti juga keheningan, tidak mungkin bisa dicari atau dikejar. Karena, kebahagiaan itu baru ada kalau segala kebisingan telah lenyap, seperti juga samudera kebahagiaan yang tenang itu baru ada kalau semua ombak susah senang sudah tidak mengganggu lagi. Kebahagiaan adalah keadaan hati yang mampu menerima segala sesuatu seperti apa adanya, tidak terpengaruh oleh sesuatu.

Kebahagiaan sudah ada setiap saat, hanya untuk dapat merasakannya, segala macam pengaruh harus meninggalkan batin kita, karena hanya batin yang bebas sajalah, bebas dalam arti kata seluasnya, bebas tidak terikat oleh kesenangan atau kesusahan, tidak terikat oleh apapun juga, yang akan mampu mengerti apa sesungguhnya yang dinamakan kebahagiaan itu. Kebahagiaan adalah seperti sinar matahari yang selalu ada. Kalau tidak nampak, maka sudah pasti bahwa ada yang menghalangi atau menutupi sinar itu. Kalau penghalang atau penutupnya lenyap, sudah pasti cahaya itu akan bersinar dengan cerahnya. Dalam keadaan gelap karena cahaya itu teraling, percuma sajalah mencari-cari cahaya itu, karena tidak mungkin akan bertemu. Dan segala macam penghalang itu berada di dalam batin kita sendiri!

Orang yang selalu ingin mengejar kesenangan, dan orang yang selalu ingin menghindarkan kesusahan, takkan pernah dapat mengenal apa sebenarnya kebahagiaan. Bukan berarti bahwa kita tidak boleh menikmati kesenangan atau meninggalkan keduniawian lalu bertapa di puncak gunung. Menikmati kesenangan adalah hak kita sebagai manusia hidup, karena kita telah diberi panca indera sebagai alat untuk menikmati kesenangan dalam hidup ini. Namun, senang susah itu baru timbul apa bila ada perbandingan dalam hati. Kalau kita menerima segala sesuatu sebagai apa adanya, sebagai suatu kewajaran, maka tidak ada lagi sebutan senang susah itu, tidak tercipta ombak-ombak senang susah yang saling bertentangan.

"Aku tidak mau pulang!" Tiba-tiba Diana berkata, mengambil keputusan.

"Kalau engkau tidak mau mengajakku pergi merantau, aku akan pergi sendiri, Lian Hong. Aku tidak mau kembali ke Kanton sekarang. Belum mau pulang maksudku. Aku ingin merantau dulu sampai aku puas dapat merasakan bagaimana sesungguhnya kehidupan di dunia luar gedung itu, di luar sangkar itu. Aku ingin terbang bebas dulu sebelum kembali ke sangkar." Lian Hong memandang wajah gadis itu penuh selidik.

"Diana, kalau kau mau nekat pergi merantau, apa yang akan kau lakukan? Selain banyak bahaya menghadang, apa yang akan kau makan dan pakai? Lihat, pakaianmu saja sudah hampir tak dapat dipakai lagi, sudah cabik-cabik. Dan engkau perlu makan setiap hari. Dan ke mana engkau akan pergi? Engkau tidak mengenal jalan, engkau tidak tahu akan pergi ke mana."

"Aku tidak perduli, Lian Hong. Pendeknya, aku akan merantau dan tidak mau pulang dulu ke Kanton. Sudah lama aku mempunyai keinginan seperti ini dan sekaranglah kesempatan terbaik, karena tidak ada orang yang dapat melarangku," kata Diana dengan nekat. Lian Hong menarik napas panjang. Gadis ini memang tabah dan berkemauan kuat. Ia tidak akan tega membiarkan Diana pergi jauh, tentu akan bertemu bahaya dan gadis kulit putih itu tidak akan mampu membela diri kalau ada bahaya mengancam. Mulai ia memperhatikan diri Diana karena ia tahu bahwa akhirnya ia yang akan menyerah dan akan memenuhi permintaan Diana.

"Diana, apakah yang mendorongmu untuk pergi merantau, meninggalkan semua kemewahan di gedung pamanmu itu?" Diana mencabut sebatang rumput dan menggigit-gigit batang rumput itu, mengingatngingat.

"Aku kagum padamu, Lian Hong. Biarlah kuceritakan semuanya. Ayahku adalah seorang petani di Inggeris, dan sejak kecil aku diberi pendidikan sekolah sampai tinggi. Di sekolah tinggi aku belajar tentang penyelidikan barang-barang kuno. Aku berkenalan dengan seorang pemuda petani di dusun, dan kami saling jatuh cinta. Akan tetapi, orang tuaku yang menilai aku terlalu tinggi, menganggap bahwa pemuda itu tidak sepadan untuk menjadi calon suamiku. Karena itu, dengan dalih untuk mempraktekkan pelajaranku, dan kebetulan ada pasukan yang dikirim ke timur, aku oleh Ayah dikirim ke sini dan ditiitipkan kepada pamanku, Kapten Charles Elliot. Di Kanton aku hanya diberi tugas menilai barang-barang kuno dan memperbanyak kumpulan benda kuno paman. Dan agaknya paman condong untuk menjodohkan aku dengan pembantunya, yaitu Peter Dull yang menemaniku berkuda. Aku muak dengan itu semua. Aku tidak mau dibelenggu oleh peraturan dan oleh sopan santun, dan oleh ambisi orang-orang tua itu."

Biarpun Diana bercerita dengan kalimat terpotong-potong dan kadang-kadang sukar mencari kata yang tepat, sehingga ceritanya itu menjadi panjang dan lama, Lian Hong dapat mengertinya juga dan gadis ini merasa heran sekali. Kiranya kehidupan seorang gadis kulit putih tidak banyak bedanya dengan gadis bangsanya. Dalam hal pernikahan, selalu orang-orang tua ingin berkuasa, bukan sekedar mencampuri, melainkan hendak memilihkan calon suami yang baik menurut penilaian mereka.

"Baiklah, Diana. Aku akan membantumu. Akan tetapi aku tidak berani mengajakmu pergi ke tempat tinggal guruku. Ketahuilah bahwa guruku seorang yang sakti akan tetapi aneh sekali tabiatnya. Mungkin saja tiba-tiba dia membunuhmu."

"Ehhh...?" Melihat kekagetan Diana, Lian Hong tersenyum sedih.

"Guruku seorang di antara empat datuk sesat yang terkenal dengan sebutan Empat Racun Dunia, dan guruku berjuluk Racun Gunung. Aku mempunyai urusan penting bersama guruku dan kini aku akan mengunjunginya, dan tak lama kemudian kami akan datang ke daerah ini lagi. Oleh karena itu menurut pendapatku, kalau engkau ingin menyelami kehidupan rakyat kami, kalau engkau ingin hidup penuh kesulitan dan kemiskinan, biar kucarikan seorang keluarga petani yang baik dan yang mau menampungmu. Bagaimana?" Bukan main girangnya rasa hati Diana. Ia melompat bangun lalu merangkul Lian Hong dengan lengannya yang panjang, kemudian menciumi kedua pipi Lian Hong sampai mengeluarkan bunyi ngak-ngok dan cap-cup. Tentu saja Lian Hong gelagapan. Belum pernah ia melihat, apa lagi merasakan, ciuman-ciuman sepanas itu.

"Terima kasih, Lian Hong. Tadipun aku hampir yakin bahwa engkau tentu akan menolongku. Engkau seorang yang luar biasa. Aku senang sekali tinggal di dusun bersama keluarga petani."

"Untuk sementara saja, Diana. Kalau aku sudah selesai dengan tugasku yang dibebankan oleh suhu, aku akan datang menjengukmu dan kita bicarakan lagi kelak tentang dirimu."

"Baik, dan terima kasih."

"Kalau begitu, mari kita pergi. Sebentar lagi datang malam gelap dan sebelum hari gelap, aku ingin tiba di dalam dusun terpencil itu di mana aku mengenal keluarga petani yang amat baik." Pergilah dua orang gadis itu sambil saling bergandeng tangan menuruni lereng bukit itu, menuju ke sebuah dusun yang berada di lembah sungai dan jauh terpencil dari keramaian kota.

Di dusun terpencil itu tinggal seorang petani merangkap pandai besi yang sudah berusia hampir enam puluh tahun. Suami isteri ini dahulu mempunyai dua orang anak, yang pertama seorang gadis berusia tujuhbelas tahun, yang ke dua seorang laki-laki berusia tujuh tahun. Akan tetapi pada suatu hari, dusun itu diganggu perampok. Lauw Sek, petani itu pernah belajar silat selama beberapa tahun dan dia bertenaga kuat, maka dia melakukan perlawanan. Hal ini menimbulkan kemarahan para perampok. Kalau rumah-rumah lainnya hanya dirampok saja, akan tetapi keluarga Lauw ini diserang, dan Lauw Sek membela keluarganya mati-matian. Akan tetapi, jumlah perampok yang belasan orang itu terlalu kuat baginya. Ketika melihat anak gadisnya yang cukup manis, kepala perampok berusaha menggagahi gadis itu. Dalam saat yang kritis itu, muncullah Lian Hong.

Dengan kepandaiannya, ia berhasil membasmi para perampok, membunuh mereka semua. Akan tetapi malang bagi gadis puteri Lauw Sek. Ketika tadi hendak diperkosa, ia melawan dan menerima pukulan-pukulan dari kepala perampok. Gadis itu dapat diselamatkan dari perkosaan, akan tetapi pukulan pada kepalanya membuat ia menderita luka parah di dalam kepala yang tak dapat ditolong lagi. Beberapa hari kemudian gadis itu meninggal dunia. Bagaimanapun juga, petani Lauw Sek merasa berhutang budi kepada Lian Hong. Kalau tidak ada pendekar wanita ini, tentu puterinya bukan hanya terbunuh, melainkan juga diperkosa dan dia sendiri tentu akan tewas pula, mungkin juga isteri dan puteranya. Maka dia sekeluarga berterima kasih sekali kepada Lian Hong dan sejak hari itu, Lian Hong tentu menjadi sahabat dan juga nona penolong mereka.

Setiap kali lewat di dusun ini, Lian Hong tentu singgah karena gadis ini maklum betapa sedihnya hati mereka kehilangan puteri mereka dan ia dianggap oleh mereka sebagai pengganti puteri mereka! Sebelum senja tiba, cuaca masih terang walaupun matahari sudah condong jauh ke barat, Lian Hong tiba di dusun itu bersama Diana. Dusun yang hanya ditinggali paling banyak dua puluh keluarga itu mempunyai belasan orang anak-anak yang segera menyambut kedatangan Lian Hong sambil bersorak-sorak. Mereka semua mengenal "Enci Hong." Semua memanggil Enci karena biarpun ia dianggap penyelamat dusun itu, Lian Hong menolak ketika disebut Lihiap (pendekar wanita) dan minta kepada orang-orang yang lebih tua untuk menyebut namanya saja dan anak-anak menyebutnya Enci Hong.

"Enci Hong datang! Enci Hong datang!" teriak anak-anak itu akan tetapi ketika mereka datang dekat, mereka terbelalak memandang kepada Diana.

Mereka belum pernah melihat seorang wanita kulit putih, maka kemunculan Diana benar-benar mengherankan dan amat mengejutkan, bahkan beberapa orang di antara mereka sudah lari terbirit-birit melihat "setan" berambut kuning itu! Tentu saja teriakan anak-anak itu menarik perhatian semua orang yang berada di dusun itu. Mereka semua, kecuali yang kebetulan bekerja di sawah ladang dan tidak melihat datangnya Lian Hong, keluar menyambut gadis yang mereka kagumi dan hormati, juga sayangi itu. Melihat sikap para penduduk ini, rasa kagum dalam hati Diana terhadap Lian Hong semakin besar. Kini ia dapat menduga bahwa kawannya ini memang seorang pendekar wanita yang budiman. Tanpa diberitahu sekalipun ia yakin bahwa tentu penduduk itu sudah berhutang budi kepada Lian Hong.

Hal ini jelas nampak dalam sikap penyambutan mereka, dan melihat betapa anak-anak berlari menyambut, iapun dapat mengetahui bahwa memang Lian Hong seorang gadis yang baik budi. Hanya orang yang baik budi sajalah yang disukai anak-anak. Para penghuni dusun itupun terbelalak dan ternganga ketika melihat Diana. Di antara mereka banyak yang masih percaya akan tahyul, maka melihat seorang gadis yang berkulit putih seperti tidak berdarah, berambut seperti benang sutera emas, bermata biru, dengan pakaian yang tidak keruan, compang-camping memperlihatkan kulit bagian tubuh secara tak tahu malu sama sekali, mereka menjadi ngeri dan ada yang mundur-mundur ketakutan. Mahluk seperti ini tentulah iblis, pikir mereka. Melihat sikap mereka yang ketakutan itu, Lian Hong tersenyum dan cepat berkata,

"Harap kalian jangan takut dan sungkan. Ini adalah seorang sahabat baikku, namanya Diana, ia baik sekali." Mendengar nama yang aneh itu, semua orang yang sebagian sudah ketakutan, menjadi semakin ngeri. Nama Diana oleh lidah mereka hanya disebut Thiana dan ini berarti sebutan "Tuhan" (Thian), maka mendengar nama ini tentu saja rasa ngeri dan takut mereka bertambah. Melihat ini, tiba-tiba seorang Kakek yang bercaping melangkah maju.

"Kalian jangan takut. Nona ini adalah seorang gadis kulit putih. Aku banyak melihatnya ketika aku pergi menjual daganganku ke Kanton." Yang bicara ini adalah Lauw Sek yang juga sudah datang bersama isterinya yang bertubuh gemuk berwajah manis bersama putera mereka yang berusia delapan tahun. Mendengar ucapan Lauw Sek, barulah semua orang percaya karena Lauw Sek sering pergi ke kota untuk menjual barang dagangannya, hasil bengkel pandai besinya. Nyonya Lauw Sek lalu merangkul Lian Hong dengan penuh kasih sayang.

"Lian Hong, engkau baru datang?" Semua wanita dan pria yang berada di situ menyalami Lian Hong dengan ramah dan hormat, kemudian mereka mendengarkan dengan penuh perhatian ketika Lian Hong memperkenalkan Diana.

"Sahabat Diana ini sudah merasa bosan tinggal di kota dan kini ia mengambil keputusan untuk tinggal di dusun ini. Kuharap paman Lauw Sek sekeluarga mau menerimanya agar ia hidup bersama paman dan biarlah ia menjadi anak angkat paman. Biarkan ia bekerja di sawah ladang seperti yang lain, makan dan pakaian seperti kalian semua karena ia ingin merasakan kehidupan di sini." Diana senang sekali
(Lanjut ke Jilid 19)
Pedang Naga Kemala (Seri ke 01 - Serial Pedang Naga Kemala)
Karya : Asmaraman S. (Kho Ping Hoo)

Jilid 19
mendengar ini.

"Lian Hong, yang manakah paman Lauw Sek?" Lian Hong menuding ke arah Lauw Sek sedangkan semua orang tersenyum lebar mendengar suara Diana. Kiranya gadis aneh ini dapat pula bicara dalam bahasa mereka dan hal ini sungguh menggembirakan hati mereka, apa lagi mendengar betapa logat bicara gadis kulit putih itu aneh dan lucu walaupun mudah dimengerti. Kini Diana menghampiri Lauw Sek. Tadinya ia hendak menyodorkan tangan untuk mengajak orang itu berjabat tangan, akan tetapi ia teringat akan kebiasaan bangsa ini, maka iapun mengangkat kedua tangan depan dada sambil menjura dan berkata,

"Paman Lauw Sek, saya akan girang sekali kalau paman mau menerima saya." Melihat sikap ini dan mendengar ucapan itu, semua orang makin gembira dan merasa suka kepada gadis ini. Lauw Sek merasa agak rikuh melihat tubuh yang hampir telanjang itu, dan dia memperkenalkan isteri dan anaknya.

"Nona, pakaianmu robek-robek, apakah memang begitu pakaianmu ataukah memang robek? Kalau robek harus cepat ganti agar tidak jatuh sakit." kata isteri Lauw Sek dan mendengar ini Diana sudah merasa suka sekali kepada nyonya yang bersikap keibuan itu.

"Sahabatku ini melakukan perjalanan yang berbahaya hampir dimakan harimau dan pakaiannya compang-camping ketika ia dilarikan kudanya. Nah, siapa yang mau berbaik hati untuk memberinya pengganti pakaian?" Para wanita di situ, terutama yang muda-muda, segera berebut lari pulang untuk mengambil satu stel pakaian mereka. Akan tetapi, sebagian besar dari mereka bertubuh kecil, terlalu kecil dibandingkan dengan bentuk tubuh Diana dan akhirnya, Diana menerima satu stel pakaian dari seorang gadis yang paling tinggi besar di antara mereka. Ketika ia berganti pakaian dalam sebuah pondok dan keluar lagi, semua orang tertawa gembira karena merasa lucu.

Memang Diana nampak lucu sekali dalam pakaian itu. Baju itu melekat di tubuhnya dengan ketat sehingga tidak mampu menyembunyikan tonjolan dadanya dan kerampingan pinggangnya, sedangkan celana itu hanya sampai di betisnya saja, di bawah lutut! Untung ia memakai sepatu yang panjang sampai ke lutut sehingga semua bagian kakinya tertutup. Lian Hong menemani Diana sampai satu minggu di rumah keluarga Lauw Sek itu, membimbing Diana agar mengenal semua orang dan keadaan di situ. Dan terjadilah perubahan hidup yang selamanya tak pernah diimpikan oleh Diana. Baru pakaiannya saja sudah amat berbeda dan yang dipakainya kini membuat ia merasa santai dan juga leluasa bergerak, walaupun amat sederhana dan tidak dapat dibilang indah, apa lagi mewah.

Baru dua hari setelah ia berada di situ, ia sudah dapat menyesuaikan diri dan dalam hal ini, Lian Hong sungguh kagum kepada gadis ini. Seorang gadis kaya raya yang tadinya hidup mewah, kini tidak segan-segan untuk turun ke sawah dan bekerja apa saja, bahkan mencangkulpun ia pelajari. Siminggu kemudian, pagi-pagi sekali Lian Hong sudah melihat Diana berada di luar rumah keluarga Lauw Sek yang cukup lebar akan tetapi amat sederhana itu. Diana memakai pakaiannya yang ketat dan jigrang (terlalu pendek) sambil memegang sebatang cangkul, siap untuk bekerja di sawah, membantu Lauw Sek. Lauw Sek sendiri juga sudah siap ke sawah, memakai capingnya yang butut. Isterinya juga siap karena pagi itu akan mulai menanam kacang. Si kecil Lauw Tong, putera mereka juga sudah siap.

"Wah, gadis petani kita yang rajin sudah siap!" kata Lian Hong sambil memegang lengan Diana.

"Diana, kau sungguh nampak cantik dan segar sekali pagi ini!"

"Wah, gadis petani yang rajin sudah siap!" kata Lian Hong sambil memegang lengan Diana.

"Diana, kau sungguh nampak cantik dan segar sekali pagi ini!"

Diana tersenyum, gembira. Memang, selama beberapa hari ini ia membantu pekerjaan di sawah. Memang pertama kali telapak tangannya lecet-lecet dan seluruh tubuhnya, terutama pinggangnya, terasa pegal dan lelah sekali. Malamnya, isteri Lauw Sek memaraminya, dan memijatinya sehingga ia merasa nyaman sekali. Setelah bekerja selama seminggu, ia sudah mulai terbiasa, tidak begitu lelah lagi dan pagi hari itu, pagi-pagi sekali ia sudah bangun, tidak mau ketinggalan oleh anggauta keluarga Lauw. Memang terjadi perubahan besar dalam kehidupan Diana, perubahan lahir batin. Setelah hidup di dusun, bersama keluarga petani miskin, ia bukan hanya dapat mendengar dari cerita orang, melainkan dapat melihat bahkan merasakan sendiri kehidupan yang serba bebas. Ia mulai mengenal dan merasakan arti hidup sebagaimana adanya, jauh lebih aseli dari pada kehidupan di kota.

Apa lagi kehidupan bangsanya yang sudah tidak aseli lagi, sudah terselubung segala-galanya, demi gengsi, demi kehormatan, demi pujian, sehingga hampir seluruh tindakan merupakan suatu kepalsuan. Di dusun ini merasa bebas dan polos, tidak perlu menyembunyikan sesuatu. Di sini ia dapat mengenal perjuangan manusia untuk memenuhi tuntutan atau kebutuhan jasmaninya, bekerja di ladang dan melihat hasil jerih payah itu bersemi dan tumbuh. Di sini ia dapat menikmati kekayaan alam, keindahan alam seperti yang terbentang luas di depannya, bukannya meneropong dari balik jendela bertirai sutera. Dengan cangkul di tangan, ia seakan-akan bercanda dengan tanah, dengan lumpur, dan merasakan kenikmatan semua ini. Bahkan ia mulai mengenal apa artinya lapar dan haus, belajar menahannya, dan dapat menikmati kalau tiba waktunya makan atau minum.

Dulu, biarpun belum lapar, kalau waktu "dinner" sudah tiba misalnya, ia harus pergi menghadapi meja makan bersama keluarga pamannya, dengan pakaian yang khas dan pantas, mendapatkan pelayanan manis dan penuh hormat dan aturan-aturan dari para pelayan. Makanpun harus sesuai dengan aturan-aturan tertentu, cara menggunakan garpu dan pisau, cara mengunyah makanan, cara membersihkan bibir dengan kain, dan sebagainya lagi. Semua ini membuat semua hidangan yang serba mahal kadang-kadang menjadi amat hambar rasanya. Sebaliknya, betapa enaknya makan di pematang sawah! Perut sudah amat lapar, badan amat lelah, tenggorokan amat haus. Lalu datang nasi dengan sayuran murah, datang air teh hangat-hangat atau sejuk dingin. Amboi... bukan main lezat rasanya, melebihi segala macam makanan termahal yang pernah dimakannya!

Dan malamnya! Badan lelah perut kenyang, biar tidur menggeletak di atas dipan bambu yang berteriak-teriak marah kalau tertindih tubuhnya, rasanya begitu nikmat. Sekali rebahpun pulas dan baru terbangun pada keesokan harinya, pagi-pagi sekali ketika ayam jantan berkokok, dengan tubuh terasa segar seperti baru hidup kembali. Maka, pagi hari itupun ia lupa bahwa temannya akan pergi hari itu. Sudah tiba saat kepergian Lian Hong seperti yang sudah dijanjikan sebelumnya. Maka, ketika Diana ditegur oleh Lian Hong dan ia melihat Lian Hong sudah berdandan dan berganti baju bersih, dengan rambutnya yang hitam mengkilap itu dikepang dua dan diikat dengan saputangan sutera merah yang menjadi pita, ia bertanya,

"Eih, Lian Hong. Masa ke sawah sebersih itu?" Dan tiba-tiba saja Diana teringat dan ia mengerutkan alisnya.

"Ah, hari inikah engkau akan melanjutkan perjalananmu?" Di dalam suaranya ada sedikit kekecewaan. Lian Hong merangkulnya dan mencium kedua pipi Diana. Ia kini mampu melakukan ini menirukan Diana dan dalam perbuatan ini ia merasakan suatu kemesraan dan keakraban yang mengharukan hatinya.

"Diana, engkau senang di sini, bukan? Teruskanlah. Nikmati kehidupan sederhana di sini. Aku melanjutkan perjalanan, menghadap suhu dan ingat, aku pasti akan datang ke sini menjengukmu dan siapa tahu, kelak kita akan dapat melakukan perjalanan bersama. kau boleh belajar hidup dan juga mempelajari sedikit ilmu silat untuk membela diri dari paman Lauw Sek." Diana balas merangkul dan menciumi Lian Hong.

"Baiklah, Lian Hong. Aku akan menantimu dengan sabar, karena akupun mulai suka akan kehidupan di sini. Paman dan bibi amat baik hati, juga adik Tong ini lucu dan menyenangkan. Bahkan semua tetangga di sini baikbaik, rukun dan saling menolong."

"Akan tetapi ingat baik-baik, Diana. Jangan engkau pergi meninggalkan tempat ini seorang diri saja. Tunggu sampai aku datang. Maukah?"

"Tentu saja. Aku berjanji." Mereka saling berpisah dan Lian Hong meninggalkan dusun itu diantar oleh hampir semua penduduknya sampai ke pagar dusun. Diana merasa kehilangan, akan tetapi tidak kesepian karena ia merasa mempunyai keluarga besar, bukan sekedar sahabat, di dalam dusun itu. Bahkan ia merasa menemukan dunianya yang disukainya. Ketika ia masih sekolah, ia banyak mempelajari kehidupan jaman dahulu yang masih terbelakang, maka kini, setelah ia sendiri hidup di dusun yang masih amat sederhana, ia menemukan banyak hal yang memiliki persamaan dengan apa yang pernah dibacanya sehingga ia merasa seolah-olah memasuki sebuah dongeng yang pernah menarik hatinya.

Apa lagi ketika Lauw Sek mulai mengajarkan ilmu silat, ia mempelajarinya dengan tekun, juga memperdalam pengetahuannya tentang bahasa dan kebudayaan pribumi. Diana menemukan kelanjutan sekolah yang takkan bisa ditemukan di kota-kota besar dan ia merasa gembira sekali. Orang-orang kulit putih yang berada di Kanton menjadi geger ketika mendengar bahwa Diana keponakan Kapten Charles Elliot hilang di dalam hutan ketika berkuda bersama Letnan Peter Dull. Tentu saja yang merasa paling gelisah adalah Kapten Charles Elliot. Letnan Peter Dull sendiri mendapat teguran keras, bahkan menerima tugas untuk mencari nona itu sampai dapat. Peter Dull berunding engan pembantunya yang baru, yaitu Koan Jit.

Orang ini dapat menduga bahwa nona kulit putih itu tentu telah ditolong oleh seorang yang memiliki ilmu kepandaian tinggi. Hanya dia tidak tahu siapa penolong itu, dan dari golongan apa, seorang pendekar yang memang hendak menolong ataukah seorang penolong dengan pamrih lain. Dan mengingat bahwa Diana tidak diantarkan kembali ke Kanton, dia mengambil kesimpulan bahwa tentu orang yang menolong nona itu berpamrih, sengaja melarikan gadis itu dengan niat buruk lainnya. Maka Koan Jit yang sudah diterima sebagai pimpinan oleh para jagoan yang dikumpulkan Peter Dull karena mereka semua sudah mengenal nama Hek-eng-mo, lalu memerintahkan para jagoan yang terhimpun dalam suatu pasukan istimewa untuk berpencaran dan mencari berita di antara kau m sesat untuk mencari jejak Diana.

Sedangkan Peter Dull lalu memimpin sendiri pasukannya untuk melakukan pencarian ke dusun-dusun dan kampung-kampung sehingga daerah di sekitar itu menjadi gempar karena sikap pasukan kulit putih dan raksasa India itu merajalela di dusun-dusun dengan kasar. Hilangnya Diana belum ditemukan, sudah muncul masalah lain bagi orang kulit putih di Kanton. Kelompok-kelompok anti kulit putih menjadi semakin marah dengan adanya aksi pembersihan yang dilakukan Peter Dull dengan pasukannya ke dusun-dusun. Mereka lalu mulai melancarkan aksinya lagi, kadang-kadang menyerang pos-pos penjagaan pasukan kulit putih dan beberapa kali terlibat ke dalam pertempuran dengan pasukan Peter Dull.

Juga rakyat mulai tidak suka melihat sikap pasukan kulit putih itu. kau m buruh di pelabuhan yang banyak jumlahnya karena orang-orang kulit putih membutuhkan buruh-buruh kasar untuk mengangkut barang-barang turun naik kapal, juga memperlihatkan sikap membantah dan tidak taat.
Pada suatu hari, pagi-pagi saja sudah terjadi keributan di pelabuhan, ketika para kuli angkut barang sibuk menurunkan barang dari sebuah kapal dan mengangkut barang ke kapal yang lain. Seorang kuli muda yang bertubuh kokoh kekar, ketika sedang mengangkut sebuah peti, terpeleset pada anak tangga yang basah dan petinya terlepas, menimpa kaki seorang mandor kulit putih yang bertubuh gendut. Biarpun kaki itu sudah terlindung sepatu kulit, akan tetapi karena peti itu berat, maka tentu saja kaki itu terasa nyeri bukan main.

Mandor itu berteriak kesakitan, lalu menyumpah-nyumpah dan menghajar kuli itu dengan pukulan-pukulan kanan kiri membuat kuli itu roboh sampai beberapa kali. Tiap kali dia hendak bangkit, sepatu kiri yang tidak tertimpa peti tadi menyambar dan menendang kepalanya, dagunya, dadanya, membuat dia terjerembab kembali. Kuli-kuli lain hanya memandang tanpa bergerak, seolah-olah semua kuli yang tadi sibuk bekerja itu tiba-tiba saja berubah menjadi patung. Ada yang mukanya membayangkan kengerian, ketakutan, akan tetapi ada beberapa puluh orang kuli yang memandang dengan alis berkerut. Mereka ini adalah sekelompok kuli yang memang mempunyai perasaan tidak suka dan hampir anti kepada orang-orang kulit putih. Mereka itu bekerja sebagai kuli karena memang penghasilannya jauh lebih besar dari pada kalau menjadi petani atau nelayan,

Akan tetapi juga karena mereka ingin mengintai apa yang dilakukan oleh bangsa yang tidak disukainya. Jumlah mereka ada hampir tiga puluh orang dan kebetulan sekali yang menjadi pemimpin mereka adalah pemuda yang kini dijadikan bulan-bulan kemarahan mandor itu! Tentu saja suasana menjadi tegang. Setiap orang anggauta kelompok itu berhenti bekerja dan memandang dengan urat syaraf tegang dan siap siaga. Akan tetapi, karena pemimpin mereka, pemuda yang bertubuh kokoh itu dipukuli dan ditendangi tanpa melawan, merekapun hanya merasa penasaran saja dan tidak bergerak. Beberapa orang mador melerai dan menyabarkan kawan mereka. Akan tetapi, mandor gendut yang mukanya merah seperti orang mabok itu sudah marah sekali.

"Tidak bisa! Tidak bisa kubiarkan saja dia meremukkan kakiku! Tangan yang melakukannya harus kupotong!"

Dan dia mencabut sebatang pisau belati, kemudian, tanpa dapat dicegah oleh kawan-kawannya, dia menubruk ke depan, pisaunya menyambar ke arah tangan kuli muda itu. Tiba-tiba kuli muda yang tadinya hanya mandah saja dihujani pukulan dan tendangan sehingga mukanya matang biru dan benjol-benjol, kini melihat luncuran pisau belati berkilat yang mengancam tangannya, cepat menarik tangannya. Hal ini membikin marah si mandor gendut, dan sambil memaki-maki dia menyerangkan pisaunya lagi, sekali ini malah ke arah perut kuli itu. Marahlah orang yang diserang. Serangan itu mengarah maut, maka dia harus mempertahankan dan membela diri. Dengan sigap dia mengelak ke samping, lalu kakinya meluncur ke depan, tepat menendang selangkang mandor gendut itu.

"Aughhh... adduuhhhh...!" Si mandor gendut mengaduh-aduh dan berloncatan sambil menggunakan kedua tangan mendekap selangkangnya yang kena tendang. Kiut miut rasanya, nyeri itu menusuk-nusuk dari selangkang sampai jantung. Pada waktu itu, Kapten Charles Elliot yang ditemani oleh Peter Dull yang dikawal oleh Koan Jit bersama beberapa orang jagoan berada pula di pelabuhan. Kapten Charles Elliot ingin melihat sendiri pembongkaran peti-peti candu agar dapat diturunkan dengan selamat. Walaupun antara pemerintah Ceng dan Pemerintah Inggeris telah terdapat persetujuan dan perdamaian, di mana disebutkan bahwa pemerintah Ceng memperbolehkan orang-orang kulit putih melakukan perdagangan dan berdiam di Kanton,

namun perdagangan candu secara terang-terangan tetap dilarang. Namun, karena benda ini amat menguntungkan, maka secara sembunyi-sembunyi, dengan peti-peti yang bercampur dengan barang-barang lain, dan dengan tanda-tanda bahwa peti-peti itu berisi barang lain, candu tetap dapat diselundupkan dan didaratkan dalam jumlah besar. Hari itu, perusahaan Inggeris yang bergabung dalam East Indian Company mendaratkan sejumlah besar candu dalam peti-peti yang tulisan dan gambarnya menunjukkan bahwa peti-peti itu terisi barang dagangan. Ketika para penjaga keamanan melihat mandor itu mengaduh-aduh, mereka menjadi marah. Beberapa orang penjaga kulit putih lalu menghampiri dengan pistol di tangan. Akan tetapi tiba-tiba terdengar bentakan Letnan Peter Dull.

"Tahan! Mundur semua dan jangan tangkap kuli itu!" Semua orang memandang heran dan tentu saja tidak ada yang berani membantah perintah letnan ini. Peter berbisik kepada Kapten Charles Elliot yang menjadi atasannya.

"Ini kesempatan baik untuk menguji kepandaian para pembantu kita." Mendengar ini, Charles Elliot mengangguk dan melirik kepada Koan Jit.

Bagaimanapun Peter memuji-muji orang ini, kapten itu masih belum yakin benar, bahkan menaruh curiga terhadap laki-laki yang matanya seperti mata kucing itu. Pada saat itu, di samping kuli muda tadi sudah berdiri empat orang lain yang merupakan tokoh-tokoh dalam kelompok mereka, dan bersama si pemuda, mereka pernah dikenal sebagai ahli-ahli silat yang cukup terkenal. Mereka berdiri tegak, akan tetapi sikap mereka jelas menantang. Empat orang itu adalah teman-teman si pemuda yang memimpin kelompok mereka dan mereka maju ketika tadi melihat betapa pemimpin mereka akan ditangkap, dan melihat lima orang yang merupakan tokoh-tokoh utama dari kelompok mereka sudah maju, dua puluh lebih anggauta kelompok itupun sudah siap siaga untuk bertempur!

Tujuh orang jagoan yang mengawal Peter dan Charles Elliot yang maklum bahwa mereka diharapkan untuk menumpas pengacau itu tanpa mempergunakan senjata api, karena hal itu akan memancing keributan antara orang kulit putih dengan pemerintah daerah, lalu maju menghampiri lima orang itu. Peter mengedipkan matanya kepada Charles Elliot. Kapten ini maklum. Memang, dia dan pembantunya sudah mengambil keputusan untuk mempergunakan kebijaksanaan dalam menghadapi pribumi yang anti kulit putih, yakin dengan cara mengadu domba antara mereka dengan jagoan-jagoan bayaran mereka. Tentu saja pasukan mereka akan mampu membereskan perusuh-perusuh itu, akan tetapi kalau senjata api dipergunakan, tentu pihak pemerintah akan mencampuri dan perdamaian akan terganggu lagi.

Hal ini hanya memancing keributan dan keresahan. Biarkan orang-orang itu saling hantam, dan sedapat mungkin Charles Elliot akan membasmi mereka yang anti kulit putih dengan menggunakan tenaga-tenaga bayaran dari orang pribumi. Tujuh orang jagoan itu tanpa banyak cakap lagi lalu menerjang lima orang yang sudah siap untuk membela diri. Terjadilah perkelahian seru antara seru antara lima orang perusuh itu dengan tujuh orang jagoan. Akan tetapi, Peter mengerutkan alisnya melihat betapa tujuh orang jagoannya itu jelas kalah kuat. Mereka dihajar habis-habisan, jatuh bangun dan sama sekali tidak mampu menandingi lima orang yang ternyata pandai ilmu silat itu, jauh lebih pandai dibandingkan tujuh orang jagoannya yang hanya menang lagak saja. Charles Elliot juga marah dan kecewa.

"Suruh para pengawal kita maju!" katanya ke pada Peter.

Pedang Naga Kemala Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo



"Nanti dulu, Kapten!" Peter membantah.

"Inilah kesempatan untuk menguji kelihaian pembantu baru ini." Karena dia bicara dalam bahasanya sendiri, Koan Jit tidak dapat menangkap artinya, namun dia mengerti ketika dua orang itu bicara sambil memandang kepadanya.

"Tuan Letnan, biar aku yang akan menghajar mereka!" katanya. Peter mengangguk dan dengan langkah lebar Koan Jit lalu maju ke dalam arena perkelahian yang ditonton banyak sekali orang itu, baik dari pihak para kuli maupun dari pihak orang kulit putih yang menjadi mandor dan lain-lain.

"Mundurlah kalian!" bentak Koan Jit kepada tujuh orang jagoan yang ternyata tidak mampu menandingi lima orang itu.

Dengan lagak yang masih gagah-gagahan, walaupun muka mereka bengkak-bengkak dan ada pula yang terpincang-pincang, tujuh orang itu mundur dan menonton dengan dada terangkat dan tangan terkepal, seolah-olah mereka itu terpaksa mundur karena perintah atasan. Hanya mereka sendiri yang tahu betapa lega hati mereka, karena kalau tidak disuruh mundur, akhirnya mereka akan roboh semua. Lima orang kuli itu ternyata amat lihai, terutama sekali pemuda yang tadi menendang selangkang mandor gendut. Kini semua mata ditujukan kepada Koan Jit. Tubuhnya yang tinggi kurus dengan muka hitam dan pakaian serba hitam itu tidak terlalu mengesankan memang, akan tetapi lima orang itu merasa ngeri ketika mereka bertemu pandang dengan sepasang mata yang mencorong kehijauan seperti mata kucing itu. Tiba-tiba terdengar suara Peter Dull berteriak,



Rajawali Hitam Eps 4 Dewi Ular Eps 1 Dewi Ular Eps 15

Cari Blog Ini