Ceritasilat Novel Online

Pedang Sinar Emas 3


Pedang Sinar Emas Karya Kho Ping Hoo Bagian 3




   "Teecu bernama Song Bun Sam, ayah bernama Song Hak Gi, akan tetapi ayah telah meninggal...." tiba tiba Bun Sam menahan bicaranya karena sinar mata kakek itu nampak begitu ganjil dan mulutnya menyeringai makin lebar.

   Ia mendapatkan firasat yang amat tidak enak melihat wajah kakek ini.

   "Ha, biarlah aku bicara dengan ayahmu sendiri, hendak kulihat dan kudengar bagaimana pendapatnya tentang ilmu kesaktianku!"

   "Jangan, totiang" jangan"!" seru Bun Sam dengan wajah pucat, ia tadi sudah melihat betapa keranjang itu dimasuki oleh roh seorang yang disebut Lak Mou Couwsu oleh kakek ini dan keranjang itu bergerak gerak sendiri.

   Kini kakek aneh ini hendak memanggri roh ayahnya dan hal ini ia tidak rela. Tidak boleh ayahnya yang sudah meninggal itu diganggu dan dipermainkan orang.

   Melihat kakek itu tidak memperdulikan dan mulutnya mulai berkemak kemik dan menghadapi keranjang itu, Bun Sam lalu menubruk maju, hendak merampas keranjang itu sambil berseru,

   "Totiang, jangan kau main main dengan ayahku".!"

   Akan tetapi. Seng Jin Siansu mengulur tangan kirinya dengan jari jari terbuka, ditodongkan ke arah Bun Sam sambil membentak, "Diam kau....!"

   Sungguh aneh. Bun Sam tiba tiba merata seakan akan seluruh tubuhnya kehilangan tenaga dan ia berdiri diam tak mampu bergerak sedikitpun. Ia seperti sebuah patung batu dan hanya dapat memandang dengan panca indera bekerja yang tidak lengkap.

   Hanya urat urat di seluruh tububnya saja yang tidak dapat ia gerakkan.

   Kakek itu melanjutkan doanya dan asap hio bergulung gulung ke atas.

   "Song Hak Gi" datanglah" aku panggil padamu, datanglah atas kekuasaan Penjaga Keranjang Sayur yang keramat,"

   Suara kakek ini terdengar amat berpengaruh dan tak lama kemudian baik Bun Sam yang berdiri seperti patung maupun Kui To yang memandang dengan penuh perhatian, melihat betapa keranjang itu mulai bergerak gerak.

   Tiba tiba gerakan itu mengeras dan keranjang itu tentu akan terguling kalau tidak cepat cepat dipegang oleh Seng Jin Siansu.

   "Song Hak Gi, tak perlu kau melawan. Anakmu bilang bahwa kau melarang dia mempelajari kesaktian yang kumiliki dan kau anggap kepandaianku ini ilmu hitam. Coba jawab, bagaimana pendapat mu? Jangan kau main main, lihat, anakmu akan kujadikan batu kalau kau tidak menjawab sebaiknya."

   Kembali kakek itu bicara yang ditujukan kepada keranjang itu.

   Keranjang itu bergerak gerak ke kanan kiri kemudian miring dan ranting yang berada di tengah tengahnya itu menggurat gurat tanah merupakan huruf huruf yang jelas.

   Setelah mencoret coret tanah, keranjang itu bergerak gerak keras lagi dan hampir terguling, sehingga kembali kakek itu turun tangan memegangnya, akan tetapi keranjang itu kosong dan ringan, dan kini berdiri tak bergerak kembali.

   Dengan peluh membasahi jidatnya, Bun Sam yang belum dapat bergerak itu dapat membaca tulisan itu yang berbunyi singkat :

   "Ilmu hitam, jahat, Bun Sam tidak boleh mempelajarinya."

   Seng Jin Siansu membaca tulisan itu lambat sekali karena kakek ini memang setengah buta huruf, adapun Kui To" yang juga ikul memandang, sama sekali tidak mengerti karena ia tidak pernah belajar membaca.

   Ketika Seng Jin Siansu menengok kepada Bun Sam, ia melihat betapa mata anak ini memandangnya dengan menantang, bangga dan juga berani. Diam diam ia menjadi mendongkol sekali, "Kau memang betul, ayahmu keras kepala dan goblok!" katanya dengan uring uringan.

   "Totiang, bisakah kau memanggil ayahku?"

   Pendeta bermata satu itu kini memandang ke arah Kui To dan nampaknya tertarik melihat anak yang agaknya suka kepada ilmu kepandaiannya ini.

   "Apakah ayahmu juga sudah mampus?" tanyanya sambil menyeringai. Tadinya menduga bahwa anak ini seperti Bun Sam, akan menjadi marah, akan tetapi di luar dugaannya, Kui To menjawab.

   "Betul, totiang, ayahku sudah mati! Akan tetapi, aku ingin juga mendengar atau melihat pendapatnya tentang ilmu kepandaianmu dan apakah aku boleh mempelajarinya?"
"Sebutkan nama ayahmu!" pendeta itu bertanya cepat.

   "Dia bernama Gan Kiat," jawab Kui To menjawab singkat pula.

   Kembali asap hio mengebul dan Seng Jin Siansu berkemak kemik membaca mantera dan mengeluarkan kata kata memanggil roh Gan Kiat seperti yang dilakukannya ketika memanggil roh ayah Bun Sam tadi.

   Tak lama kemudian, keranjang sayur itu tiba tiba bergerak, kini gerakannya tidak karuan, terhuyung huyung ke kanan kiri seperti gerakan orang mabuk.

   "Apakah yang datang ini roh dari Gan Kiat? Jawab!" terdengar suara Seng Jin Siansu yang berpengaruh.

   Keranjang sayur itu lalu miring dan ranting di tengahnya membuat tulisan di atas tanah yang sudah diratakan oleh kakek itu. Terlihat huruf huruf besar dan terang yang ditulis di atas dengan amat indahnya, tulisan seorang pegawai negeri.

   Bun Sam yang amat tertarik lalu membaca tulisan itu. Sebaliknya Kui To yang buta huruf lalu berbisik kepadanya.

   "Bun Sam, bacalah keras keras, aku ingin mendengar apa yang ditulis olehnya!"

   Karena tulisan itu amat terang, dengan mudah Bun Sam membaca, "Aku memang benar Gan Kiat"

   Wajah kakek itu berseri dan kembali ia bertanya dengan suara keras, "Gan Kiat, jawablah bagaimana kalau puteramu menjadi murid Seng Jin Siansu, mempelajari ilmunya yang tinggi dan sakti?"

   Kembali ranting di tengah keranjang itu mencoret coret tanah. diikuti oleh suara Bun Sam yang membacanya.

   "Anak itu boleh belajar apa saja dari siapan juga, aku tidak perduli."

   Seng Jin Siansu tertawa tarkekeh kekeh dan keranjang itupun diamlah. Akan tetapi Bun San merasa heran sekali dan lebih terkejutlah anak ini ketika melihat betapa Kui To menjatuhkan diri berlutut di depan kakek itu.

   "Teecu Kui To mohon menjadi murid Seng Jin Siansu."

   "Kui To!" Bun Sam menegur dengan suara keras. "Apakah kau sudah gila? Kau sudah menjadi murid suhu kita, Kim Kong Taisu. Bagaimana kau dapat mengangkat totiang ini sebagai gurumu tanpa persetujuan suhu?"

   "Siapa sudi menjadi murid tosu tua yang tak berguna itu? Siapa sudi diberi pelajaran memikul air sampai tulang pundak rasanya. hampir patah? Tidak, aku tidak mau menjadi muridnya!" jawab Kui To dengan suara menantang.

   "Ha, ha, ha, ha! Bagus, bagus! Inilah suara laki laki sejati. Aku suka padamu, kau boleh menjadi muridku, Kui To!" kata Seng Jin Siansu tertawa bergelak gelak dan matanya yang hanya sebelah itu bersinar sinar gembira.

   "Tidak boleh Kui To diambil murid tanpa izin suhu."

   Kakek itu menahan ketawanya dan memandang kepada Bun Sam dengan heran. "Apa? Siapa melarangnya? Kau?"

   "Ya, totiang. Akulah yang melarangnya dan aku berhak melarang, karena Kui To adalah saudara seperguruanku. Aku tidak rela melihat saudara seperguruanku dibawa sesat dan mempelajari ilmu yang jahat dan rendah."

   "Bun Sam, kau perduli apa?" Kui To berseru keras "Aku tidak sudi menjadi saudaramu dan kau tidak boleh mencampuri urusanku. Ayoh pergi kepada gurumu! Ayoh kau lanjutkan pekerjaanmu mengisi kolam, jangan kauperdulikan aku. Pergi!"

   Sambil membentak bentak Kui To menghampiri Bun Sam dengan dan tangan terkepal dan dengan sikap hendak menyerang.

   "Kui To, kau tersesat. Ingatlah bahwa kau telah ditolong oleh Yap suheng dan suhu adalah seorang pertapa yang suci. Ingat betapa tinggi kepandaian Yap suheng dan betapa gagah sepak terjangnya. Kita harus mencontohnya dan jangan mempelajari segala macam ilmu hitam!"

   Akan tetapi Bun Sam tak dapat melanjutkan kata katanya karena tiba tiba Kui To menampar mulutnya, sehingga terhuyung ke belakang. Kui To mengejar dan memukul dadanya akan tetapi Bun sam yang sudah pernah mempelajari ilmu silat, cepat mengelak ke kiri dan berkata,

   "Kalau kau tersesat, aku berhak untuk memberi hajaran!"

   Cepat tangannya diulur dan ditangkapnya pundak Kui To lalu ditariknya dengan keras, sehingga Kui To terguling. Di tempat itu banyak terdapat batu maka ketika jatuh, dagu Kui To terbentur batu, sehingga berdarah.

   Melihat darahnya sendiri, Kui To menjadi marah sekail. Sambil mengeluarkan geraman seperti seekor harimau kecil ia melompat bangun dan menerjang lagi dengan nekad. Akan tetapi kembali ia dijatuhkan oleh Bun Sam dan sekali lagi ketika kaki Bua Sam menendang, ia terguling guling sampai di depan Seng Jin Siansu yang duduk bersila sambil tersenyum menonton pertempuran itu.

   "Hm, murid Seng Jin Siansu tidak boleh kalah," kata kakek ini lalu memegang kepala Kui To dan meniup ubun ubunnya. "Maju dan lawanlah!"

   Sungguh aneh, ketika kepalanya ditiup oleh Seng Jin Siansu, Kui To merasa betapa tiupan itu mendatangkan hawa yang mengalir masuk dari ubun ubunnya, hawa yang hangat dan mendatangkan kekuatan yang luar biasa, ia serentak bangun kembali dan ketika ia maju menerjang, Bun Sam terkejut bukan main.

   Tiba tiba saja Kui To melakukan serangan serangan dengan gerakan ilmu silat yang aneh dan lihai sekali. Tidak saja gerakan kaki tanganaya cepat seperti orang ahli silat tinggi, bahkan tenaganya juga menjadi berlipat ganda.

   Bun Sam yang masih kecil itu sudah mempunyai pandangan tajam dan pikiran cerdik, ia maklum bahwa Kui To telah kemasukan kekuatan yang tidak sewajarnya dan bahwa Seng Jin Siansu telah mempergunakan ilmu hitam atau ilmu sihir untuk membantu Kui To. Maka iapun berlaku hati hati menghadapi Kui To sambil berkali kali berseru,

   "Kui To, ingatlah. Kau adalah murid Kim Kong Taisu....!"

   Ia mencoba untuk berlaku cepat dan menangkis serangan Kui To, akan tetapi kali ini ternyata ilmu silat yang baru sedikit dipelajarinya itu tidak cukup untuk mempertahankan diri dari serangan Kui To yang ganas dan cepat.

   Pukulan demi pukulan jatuh bertubi tubi, pada tubuhnya dan Kui To yang melihat hasil tiupan kakek itu, menjadi gembira dan makin buas. Tanpa mengenal kasihan atau ampun, kedua tangan dan kakinya bekerja menghajar tubuh Bun Sam yang sudah terhuyung huyung ke belakang.

   Akhirnya Bun Sam tak dapat mempertahankan diri lagi dan robohlah ia ketika sebuah tendangan yang keras mengenai lambungnya. Kui To memekik buas dan menubruk Bun Sam. Ia menduduki dada Bun Sam yang jatuh terlentang dan sambil menggerakkan kedua tangannya yang gencar memukul muka Bun Sam bertubi tubi!

   Darah muncrat dari hidung dan bibir Bun Sam ketika kedua tangan yang tidak mengenal kasihan itu menghujam mukanya. Bun Sam tidak mengeluh, hanya mencoba untuk menangkis dengan kedua tangannya. Sementara itu, Seng Jin Siasu terrtawa bergelak gelak sambil menepuk tepuk pahanya dengan girang sekali.

   Keadaan Bun Sam payah dan juga berbahaya sekali. Kalau diteruskan, bukan tidak mungkin Kui To akan memukulinya sampai mati. Kui To sudah menjadi mata gelap, matanya hampir tertutup sama sekali dan mulutnya menyeringai menakutkan.

   Tiba tiba berkelebat bayangan hitam dan tahu tahu Kui To terlempar ke belakang dan bayangan Yap Bouw telah berdiri di situ dengan kedua tangan di pinggang! Ia memandang dengan mata tajam dan marah kepada Kui To yang terjengkang karena didorongnya tadi.

   Akan tetapi ketika orarg bermuka tengkorak ini melihat Seng Jin Siansu, ia nmpak terkejut sekali dan melangkah mundur tiga tindak sambil menutup mulutnya dengan tangan kanan!

   Sementara itu, Sang Jin Siansu tadinya juga heran dan terkejut melihat orang yang mukanya mengerikan ini, akan tetapi ketika mata tunggalnya bertemu pandang dengan sepasang mata Yap Bouw yang tajam berkilat, kakek ini tertawa terpingkal pingkal seperti orang melihat pemandangan yang amat lucu.

   "Ha, ha. ha, aku kenal kau.... aku kenal kau.... ha, ha! Kau adalah Yap Goanswe (Jendral Yap) yang gagah perkasa, pahlawan besar.....! Ha, ha, lihat bagaimana muka jendral besar Yap Bouw sekarang telah menjadi setan berkeliaran!"

   Akan tetapi pada saat itu, Yap Bouw telah melompat dan menerkamnya dengan serangan yang luar biasa dahsyatnya. Dengan kedua tangan terpantang akan tetapi sepasang kaki dirapatkan, dengan jari tangan terbuka, orang she Yap ini menyerang dengan gerakan tipu Sin tiauw bo coa (Rajawali Menerkam Ular).

   "Ha, ha, orang she Yap! Dulu kalau tidak ada aku, nyawamu sadah putus, apa sekarang kau minta kepadaku untuk mengantarmu ke neraka jahanam?"

   Sambil berkata demikian Seng Jin Siansu dengan tubuh ringan sekali melompat berdiri dan mengangkat kedua lengannya menangkis serangan si muka tengkorak itu.

   Dua pasang tangan beradu tanpa menerbitkan suara, akan tetapi akibatnya hebat sekali. Tubuh Yap Bouw terpental kembali dan dengan berjungkir balik, si muka tengkorak ini dapat juga menahan tubuhnya dari kejatuhan.

   Adapun Seng Jin Siansu hanya melangkah mundur dua tindak, akan tetapi benturan itu cukup untuk menghilangkan senyum dan ejekan dari wajahnya yang jaga amat buruk itu.

   "Hm, agaknya si tua bangka Kim Kong sudah memberi pelajaran kepadamu, ya? Amat banyak bedanya dengan dulu. Kepandaianmu sudah bertambah banyak. Akan tetapi, jenderal busuk, jangan kira bahwa kau sudah dapat melampaui kemampuan Seng Jin Siansu. Ah, masih jauh, sobat. Biarpun Kim Kong sendiri yang maju, belum tentu akan dapat melawanku."

   Setelah berkata demikian Seng Jin SianMi mencabut tongkat butut yang tadinya dipasang pada keranjang sayur, karena ia melihat betapa Yap Bouw lelah mencabut sebatang pedang yang tipis dan berkilauan.

   Yap Bouw nampak marah sekali. Matanya memancarkan cahaya berkilat dan mukanya yang seperti tengkorak itu menjadi makin menyeramkan. Kemudian terdengar seruan tertahan dalam tenggorokannya dan tubuhnya berkelebat cepat.

   Bun Sam dan Kui To yang masih rebah di tanah hanya melihat betapa bayangan tubuh Yap Bouw lenyap dan berobah menjadi sinar yang terang, yakni sinar pedangnya yang telah diputar hebat dan sinar pedang ini lalu menyerbu ke arah Seng Jin Siansu yang tertawa terbahak bahak.

   Dengan tenang sekali kakek ini lalu mengangkat tongkatnya. Biarpun gerakannya amat ringan dan lambat, namun tiap kali sinar pedang itu mendekatinya, dengan sekali mengelebatkan tongkatnya saja terdengarlah suara keras dan sinar pedang itu menjadi buyar dan mencelat mundur.

   Dari sini saja sudah dapat dibuktikan bahwa kepandaian Yap Bouw masih kalah jauh. Memang Seng Jin Siansu adalah tokoh persilatan yang berada di tingkat tertinggi.

   Tak saja ilmu silatnya amat lihat, bahkan ilmu sihirnya pun telah menggemparkan dunia kang ouw. Ia adalah tokoh yang muncul dari selatan dan dalam dunia kang ouw ini disebut Lamhai Lo mo (Setan Tua Dari Laut Satatan).

   Pendeknya, ia dianggap sebagai benggolan dari segala macam pendekar maupun penjahat, dianggap sebagai orang pertama dari kang ouw dan liok lim di dunia bagian selatan.

   Yap Bouw yang memiliki ilmu silat tinggi dan ilmu pedang yang sudah hampir sempurna itu hanya dapat bertahan tigapuluh jurus saja menghadapi kakek lihai ini. Setelah lewat tigapuluh jurus Seng Jin Siansu mengerahkan tenaganya dan melakukan serangan kilat yang aneh gerakannya

   Terdengar suara keras dan. pedang yang tadi dipegang oleh Yap Bouw, kini telah menancap di atas tanah sedangkan Yap Bouw berdiri dengan kaget dan heran.

   "Ha, ha, ha, orang macam kau berani untuk mencoba coba kepandaianku? Ha, ha, ha! Tanpa kupegangpun tongkatku akan dapat mengantarmu ke neraka. Lihat baik baik!"

   Sambil berkata demikian, kakek yang lihai ini lalu membaca mantera, kemudian sekali ia berseru keras dan melemparkan tongkatnya, tongkat itu melayang dan bagaikan hidup, tongkat ini lalu meluncur ke arah Yap Bouw dan menyerangnya dengan hebat.

   Melihat pemandangan hebat ini, Bun Sam dan Kui To hanya bisa memandang dengan mata terbelalak. Adapun Yap Bouw yang sudah tahu akan kelihaian tongkat dari Iblis Tua dari Laut Selatan ini, cepat menggerakkan tubuhnya untuk mengelak.

   Akan tetapi, benar benar seperti telah berobah menjadi seekor ular terbang yang hidup, tongkat butut itu mengejarnya dan mengirim serangan bertubi tubi sehingga Yap Bouw terpaksa harus mengerahkan seluruh ginkangnya untuk mengelak dan menghindarkan diri dari bencana ini. Ia tidak berani menangkis dengan tangan dan maklum bahwa sekali saja ia terkena serangan tongkat ini nyawanya pasti akan melayang.

   Sesungguhnya yang dilakukan oleh Seng Jin Siansu, baik ketika menggunakan ilmu sihir untuk mengisi tong air tadi maupun sekarang ketika tongkatnya bisa terbang sendiri, hanya ilmu hitam yang berdasarkan kekuatan pandangan mata tunggalnya dan tenaga batinnya yang amat tinggi dan terlatih.

   Bagi pandangan mata Yap Bouw, ia melihat seakan akan tongkat itu terbang sendiri dan menyerangnya, akan tetapi dalam pandangan mata orang yang tidak terpengaruh ilmu sihir ini, sebetulnya yang memegang tongkat dan menyerang Yap Bouw itu adalah Seng Jin Siansu sendiri, ia hanya menggunakan kekuatan batinnya dan dua orang anak anak yang berada di situpun terpengaruh pula, sehingga bertiga melihat seolah olah tongkat itu terbang dan hidup.

   Inilah ilmu sihir atau ilmu hitam yang oleh Seng Jin Siansu dipergunakan untuk mengangkat nama besar, ilmu kesaktian yang disebutnya Ilmu "Merebut Semangat dan Panca Indriya." Mungkin sekali hampir sama dengan ilmu hipnotisme dalam zaman sekarang, akan tetapi jauh lebih tinggi tingkatnya.

   Oleh karena sesungguhnya yang memegang dan memainkan tongkat adalah Seng Jin Siansu sendiri, tentu saja tongkat itu bergerak dengan amat lihainya dan Yap Bouw yang bertangan kosong itu telah mengeluarkan peluh di seluruh tubuhnya.

   Nyawanya berada di ujung maut dan makin lama gerakannya menjadi makin lemah.

   Akan tetapi tiba tiba Yap Bouw bersemangat kembali ketika tiba tiba keranjang sayur yang tadi dipergunakan oleh Seng Jin Siansu untuk memanggil roh, kini bergerak gerak dan melayang ke udara menahan gerakan tongkat, dan melindungi Yap Bouw!

   Yap Bouw maklum bahwa suhunya telah turun tangan, maka cepat ia melompat mundur dan menyambar tubuh Bun Sam, dibawanya berlari dari tempat itu.

   Adapun Seng Jin Siansu ketika melihat keranjang itu, menjadi marah sekali. Ia menancapkan tongkatnya pada keranjang itu dan melepaskannya. Keranjang jatuh di atas tanah dan setelah bergerak gerak sebentar, lalu keranjang itu miring dan ranting yang terpasang pada perutnya menuliskan beberapa huruf di atas tanah yang berbunyi begini :

   "Kim Kong Taisu menghaturkan selamat jalan kepada Seng Jin Siansu!"

   Merahlah wajah pendeta bermata satu itu. Terang bahwa secara halus, Kim Kong Taisu telah menegurnya agar jangan membikin rusuh di puncak Oei san dan agar suka pergi dari situ dengan damai. Jadi dengan kata lain, dengan halus tuan rumah telah mengusirnya.

   Seng Jin Siansu menggigit gigit dengan giginya yang ompong. Kurang ajar sekali Kim Kong Taisu, pikirnya. Ilmu silatnya belum tentu kalah, sungguhpun harus diakui bahwa ia merasa agak jerih menghadapi ilmu pedang dari Kim Koag Taisu yang luar biasa dan iapun maklum bahwa dalam hal tenaga batin, ia masih kalah kuat oleh kakek pertapa itu.

   Orang lain boleh ia gertak dengan ilmu hoatsut (sihir) karena ia dapat menguasai semangat dan pikiran orang lain yang kalah kuat olehnya, akan tetapi menghadapi kakek yang bertapa di puncak Oei san ini, ia tidak sanggup mempengaruhinya.

   Ia menengok kepada Kui To yang memandangnya dengan mata kagum. Hm, anak ini... pikirnya. Anak inilah yang kelak akan dapat mewakilinya untuk menguasai dunia. Ia sendiri sudah terlalu tua, tenaganya sudah banyak berkurang dan semangatnyapun tidak sesegar dahulu. Anak ini.... anak yang suka menjadi muridnya ini, dia inilah yang kelak akan menguasai dunia, menjujung tinggi namanya, mengalahkan Kim Kong Taisu dan muridnya.

   Teringat akan hal ini, tiba tiba ia tertawa lagi terkekeh kekeh dan kemudian ia mengumpulkan khikangnya lalu berkata,

   "Kim Kong tua bangka! Aku tidak sudi main main dengan kau seperti anak kecil! Biarlah kita sama melihat saja siapa yang lebih berhasil menurunkan kepandaian kepada murid masing masing."

   Suaranya ini dikeluarkan dengan biasa saja, akan tetapi karena terbungkus oleh tenaga khikang, maka suara ini bergema sampai di seluruh permukaan puncak Gunung Oei san.

   Setelah mengeluarkan ucapan ini dan menanti jawaban tak juga kunjung tiba. Seng Jin Siansu lalu menggandeng tangan Kui To dan mengajak anak itu turun gunung.

   Sementara itu, Kim Kong Taisu yang berdiri di depan pondok di puncak gunung, dihadapi oleh Yap Bouw dan Bun Sam yang berlutut di depannya, mengelus elus jenggotnya dan menarik napas panjang beberapa kali.

   "Dunia takkan ada amannya. Pengacau dunia muncul silih berganti. Semenjak kau membawa datang anak itu, Yap Bouw, pinto telah mendapat firasat tidak enak. Sekarang anak itu yang memang cocok wataknya dengan Seng Jin Siansu, telah di bawa pergi untuk menjadi muridnya. Aaah.... agaknya dunia akan makin tak enak didiami setelah aku pergi kelak."

   Ia memandang kepada Bun Sam yang berlutut sambil merundukkan mukanya yang biru dan bengkak bengkak bekas pukulan tangan Kui To tadi.

   "Bun Sam, hanya kepadamu seorang aku menggantungkan harapanku. Hanya kau seorang agaknya yang kelak akan dapat menahan sepak terjang anak itu. Semenjak saat ini juga aku menyerahkan tugas yang amat berat ini pada pundakmu yang kecil, Bun Sam. Kau belajarlah baik baik dan bukalah matamu lebar lebar untuk melihat dunia dan kehidupan, buka telingamu untuk menangkap segala suara yang patut kau dengar. Jadilah seorang bijaksana yang menguasai diri, sehingga kau dapat membebaskan diri daripada libatan tali temali yang disebut sebab dan akibat."

   Tentu saja Bun Sam tidak mengerti sama sekati apa yang dimaksudkan oleh gurunya ini, akan tetapi, ia mengingat baik baik semua ncapan ini untuk dipelajari dan kemudian dicari artinya.

   Semenjak hari itu, mulailah Bun Sam belajar dengan tekun dan rajin sekali. Semua pekerjaan seperti yang diperintahkan oleh suhunya, dilakukan dengan penuh ketekunan dan kesabaran.

   Demikian pula segala macam ilmu kepandaian, dari ilmu silat sampai ilmu kebatinan, dipelajarinya dengan rajn.

   Ucapan Seng Jin Siansu yang menyebut Yap Bouw sebagai jenderal besar itu tentu amat mengherankan. Akan tetapi memang betul, Seng Jin Siansu bukan mengejek atau memperolok olok ketika ia mengeluarkan ucapan itu. Yap Bouw memang seorang bekas jenderal.

   Bahkan lebih dari itu, Yap Bouw inilah orangnya yang pernah menewaskan Ulan Tanu. Panglima Mongol yang bermata biru dan beralis merah atau ayah dari Salinga, pembentuk Ang bi tin.

   Ketika itu Yap Bouw karena kegagahannya, selalu naik pangkat hingga ia menjadi jenderal. Ketika tentara Mongol menyerbu dan menyebar maut di tanah Tiongkok, Yap Bouw merupakan seorang di antara sekian banyak patriot dan pahlawan gagah yang melakukan perlawanan dengan gigih.

   Berkat pimpinannya, maka banyak sekali bala tentara Mongol yang berhasil dihancurkan. Bahkan ketika tentara Mongol mengeluarkan seorang panglima gagah perkasa yang bernama Ulan Tanu, hanya Yap Bouw seoranglah yang mampu menghadapi.

   Ulan Tanu adalah seorang Panglima Mongol yang tersohor tidak hanya karena ilmu silatnya yang tinggi akan tetapi juga karena ia tersohor sebagai seorang yang berwajah tampan dan gagah. Matanya biru, alisnya merah dan bentuk mukanya benar benar membayangkan kejantanan.

   Oleh karena itu, namanya amat dipuja di negerinya dan nama Ulan Tanu diberi julukan Si Alis Merah yang menjadi kembang bibir semua pria dan wanita di Mongol, bahkan ia dijadikan contoh dan simbol ketampanan dan kegagahan.

   Ketika bala tentara Mongol menghadapi perlawanan yang gigih dari tentara dan rakyat Tiongkok, terpaksa Kubilai Khan yang ketika itu menjadi kaisar orang Mongol, mengajukan Ulan Tanu sebagai panglimanya.

   Betul saja, setelah Ulan Tanu maju, banyak sekali panglima Tiongkok roboh di bawah ujung tombak Ulan Tanu yang lihai sekali. Robohnya perwira perwira Tiongkok melemahkan semangat bertempur barisan dan dengan demikian, barisan Mongol maju pesat dan pasukan pasukan dari bala tentara Tiongkok dipukul mundur.

   Akhirnya amukan Ulan Tanu ini membawa tentaranya sampai di tempat pertahanan barisan yang dipimpin oleh Jendral Yap Bouw. Perang hebat terjadi, pertempuran besar besaran dan mati matian yang mengakibatkan banyak sekali tentara dan perwira dari kedua fihak tewas.

   Yap Bouw dan Ulan Tanu benar benar merupakan tandingan yang seimbang, baik dalam hal kepandaian mengatur barisan maupun kepandaian ilmu silat! Sampai tiap hari berturut turut kedua orang panglima ini bertemu dan bertempur, pedang di tangan Yap Bouw menghadapi tombak dari Ulan Tanu. Pagi hari mereka bertempur sampai setengah hari tidak ada yang kalah, kemudian mundur dan dilanjutkan pada keesokan harinya.

   Di dalam tenda masing masing, Yap Bouw dan Ulan Tanu diam diam memuji kepandaian lawannya. Telah banyak perwira perwira pilihan dari fihak mereka yang gugur, banyak pula perajurit tewas dalam pertempuran pertempuran selama tiga hari itu.

   (Lanjut ke Jilid 04)
Pedang Sinar Emas/Kim Kong Kiam (Serial Pedang Sinar Emas)
Karya : Asmaraman S. Kho Ping Hoo

   Jilid 04
Akan tetapi Ulan Tanu dan Yap Bouw sendiri belum dapat mengalahkan lawannya. Tombak Ulan Tanu terlampau kuat bagi Yap Bouw, sebaliknya pedang Yap Bouw terlalu lihai bagi Ulan Tanu.

   Dalam saat yang sukar ini, datanglah guru Yap Bouw, yakni Kim Kong Taisu. Kakek sakti ini hanya datang sebentar saja, di waktu malam dan tanpa diketahui oleh orang lain kecuali Yap Bouw sendiri.

   Dan di dalam waktu yang amat singkat ini, Kim Kong Taisu menurunkan beberapa jurus ilmu padang lihai sekali kepada muridnya.

   Pedang Sinar Emas Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   "Pinto tidak suka mencampuri urusan dunia. Akan tetapi negara dan bangsa kita diserang orang lain, bagaimana pinto bisa tinggal berpeluk tangan saja? Sumbanganku ini tak banyak, hanya memungkinkan kau mengalahkan jago nomor satu dari fihak musuh itu. Namun.... semua inipun tiada gunanya.... tiada gunanya dan sia sia seperti juga orang hendak mencegah terbitnya matahari di ufuk timur di waktu pagi.... "

   Setelah berkata demikian dan melihat bahwa muridnya itu telah faham benar mempelajari beberapa jurus ilmu pedang itu, Kim Kong Taisu lalu meninggalkan tempat itu.

   Tentu saja Yap Bouw tidak mengerti apa yang dimaksudkan oleh suhunya itu. Kelak baru ia tahu bahwa suhunya memang sakti dan dapat melihat hal hal yang belum terjadi.

   Suhunya telah meramalkan bahwa serbuan orang orang Mongol itu memang tak mungkin dibendung dan agaknya sudah menjadi kehendak sejarah. Orang orang Han tak mungkin mencegah penjajahan Bangsa Mongol, seperti juga tidak mungkin mencegah munculnya matahari pagi dari timur.

   Setelah mempelajari ilmu pedang yang hanya tiga jurus dari suhunya, besarlah hati Yap Bouw, besok pagi pagi sekali, ia telah memerintahkan membunyikan tambur penantang.

   Ulan Tanu menjadi marah dan sambil menyeret tombaknya, panglima Mongol ini lalu keluar untuk menghadapi lawannya. Kembali perang besar terjadi, perwira lawan perwira, tentara melawan tentara dan panglima besar Ulan Tanu menghadapi Jenderal Yap Bouw.

   Seperti juga hari hari kemarin, pertempuran antara dua orang gagah ini hebat sekali.

   Tombak di tangan Ulan Tanu bergulung gulung seperti seekor naga di angkasa, sedangkan pedang Yap Bouw menyambar nyambar bagaikan petir di antara air hujan. Yap Bouw mentaati pesan suhunya dan setelah keduanya mulai lelah karena pertempuran berjalan hampir setengah hari, tiba tiba Yap Bouw berseru keras dan mengeluarkan ilmu pedangnya yang hanya tiga jurus itu.

   Ulan Tanu terkejut sekali. Ilmu pedang yang selama ini dikeluarkan oleh Yap Bouw dapat dilawannya dengan mudah. Akan tetapi ketika jurus pertama dimainkan oleh Yap Bouw, ia mulai menjadi bingung.

   Ilmu tombaknya berdasarkan Ilmu Tombak Sin eng chio hoat (Ilmu Tombak Garuda Sakti) yang masih merupakan cabang dari ilmu tombak dari Go bi san yang paling tinggi.

   Adapun ilmu pedang yang selama ini dimainkan oleh Yap Bouw adalah ilmu pedang dari Kun lun pai yang dikenal baik oleh Ulan Tanu. Akan tetapi ilmu pedang yang dimainkan oleh Yap Bouw terakhir ini, benar benar amat meagherankan dan gerakannya merupakan gerakan berlawanan dengan ilmu tombaknya.

   Berkat keuletan dan kegesitannya, jurus pertama yang banyak pecahan dan gerak tipunya itu dapat dipertahankan dan dielakkannya. Juga jurus ke dua dari serangan Yap Bouw yang kian menghebat itu masih juga dapat ditangkisnya akan tetapi serangan jurus ke tiga benar benar membuat kepalanya pening dan pandangan matanya berkunang.

   Tanpa dapat dicegah lagi, rangsekan pedang Yap Bouw ini dengan tepat telah berhasil dan tahu tahu ujung pedang Jenderal Yap itu telah menyambar lehernya. Putuslah batang leher Ulan Tanu terkena sambaran pedang itu dan hal ini disaksikan oleh semua perajurit, baik di fihak Mongol maupun di fihak Tiongkok. Pecahlah sorak sorai yang gegap gempita dan terbangun semangat perlawanan dan bala tentara yang dipimpin oleh Yap Bouw.

   Sebaliknya bala tentara Mongol ketika melihat betapa Ulan Tanu benar benar telah tewas, seketika itu juga lenyap semua ketabahan mereka. Sambil membawa lari tubuh dan kepala Ulan Tanu, mereka mengundurkan diri dan Yap Bouw mendapatkan kemenangan besar.

   Bagi fihak Mongol, kematian Ulah Tanu itu benar benar menggemparkan, baik di kalangan pasukan maupun pada kaisarnya sendiri. Ulan Tanu amat disayangi dan penjadi panglima yang paling dipercayai oleh Kubilai Khan.

   Apalagi para perajurit Mongol, mereka ini tadinya mempunyai anggapan bahwa Ulan Tanu atau Si Alis Merah tidak bisa kalah, apalagi sampai mati. Kenyataan yang pahit, melihat betapa leher panglima besar ini putus oleh pedang seorang jenderal musuh, benar benar mengagetkan dan juga menimbulkan dendam yang hebat.

   Dendam ini menambah semangat pertempuran dan akhirnya, benar seperti yang dikhawatirkan oleh Kim kong Taisu, Tiongkok dikuasai oleh bala tentara Mongol. Di bawah pimpinan Salinga, putera dari Ulan Tanu, beberapa orang panglima yang merasa sakit hati, menggempur pasukan pasukan dari bala tentara yang dipimpin oleh Yap Bouw dan terjadi pertempuran pertempuran yang lebih hebat.

   Akan tetapi tak seorangpun di antara panglima Mongol yang dapat menandingi Yap Bouw dan biarpun pasukan pasukan Yap Bouw mengalami kekalahan besar akibat gempuran gempuran fihak musuh yang jauh lebih besar jumlahnya, namun jenderal muda ini sendiri tidak pernah dapat dikalahkan.

   Pada suatu hari, Salinga pergi untuk setengah bulan lamanya dan ketika ia kembali, ternyata putera dari Ulan Tanu ini telah melakukan perjalanan jauh ke selatan untuk minta bantuan dari satu orang tosu yang bermata satu.

   Tosu ini bukan lain adalah Seng Jin Siansu atau Iblis Tua dari Laut Selatan (Lam hai Lomo) yang masih menjadi kakak seperguruan dari guru Ulan Tanu seorang pertapa di Go bi san.

   Mendengar tewasnya Ulan Tanu di tangan Yap Bouw dan mendengar keterangan pula dari orang orang Mongol yang pandai mencari tahu rahasia musuh itu bahwa Yap bouw adalah murid dari Kim Kong Taisu, Seng Jin Siansu tersenyum menyeringai.

   "Pantas saja Ulan Tanu kalah oleh Yap Bouw karena ilmu tombak Sin eng cio hwat itu bersumber satu dengan ilmu pedang dari Kun Lun pai. Si tua bangka Kim Kong memang ahli pedang yang luar biasa sekali dan tentu Yap Bouw mendapat petunjuk petunjuk dari gurunya itu bagaimana harus menghadapi Siu eng cio hwat. Tua bangka itu sebetulnya orang baik dan jarang mau mencampuri urusan dunia maka aku sebenarnya segan untuk mencari permusuhan dengan dia. Akan terapi, karena Ulan Tanu adalah murid keponakanku, biarlah aku membantu kalian menangkapnya. Akan tetapi, kalian harus bersumpah lebih dulu kepadaku bahwa kalian takkan membunuh Yap Bouw murid Kim Kong Taisu itu!"

   Tentu saja Salinga yang merasa sakit hati dan menaruh hati dendam kepada Yap Bouw yang sudah membunuh ayahnya merasa berat untuk bersumpah tidak membunuh Yap Bouw.

   "Tanpa sumpah itu, aku tidak bisa membantu kalian menangkap Yap Bouw: Menawannya dalam perang menyiksanya takkan mengapa. Akan tetapi kalau tua bangka itu mendengar bahwa aku membantu kalian menangkap Yap Bouw untuk dibunuh, tentu akan berakibat yang cakup memusingkan kepalaku. Bersumpahlah!"

   Karena memang sudah tidak berdaya menghadapi Yap Bouw yang benar benar tangguh terpaksa Salinga dan kawan kawaanya bersumpah kalau Yap Bouw tertangkap, mereka hanya hendak menyiksa dan menghinanya saja.

   Lam hai Lomo Seng Jin Siansu tertawa sinis.

   "Ha, ha, ha, apakah sukarnya menangkap jenderal muda.itu? Sama mudahnya dengan melanggar sumpah. Ha, ha, ha, akan tetapi ada aku di sini. Jenderal akan tertawan dan sumpah akan tetap dipenuhi Ha, ha, ha!"

   Salinga dan kawan kawannya maklum akan sindiran kakek aneh ini, akan tetapi mereka tidak berani banyak bicara. Hendak mereka buktikan lebih dulu apakah betul betul Seng Jin Siansu akan dapat mengalahkan Jenderal Yap Bouw yang kosen ini.

   Pada keesokan harinya, benteng pertahanan Jenderal Tap Bouw yang tentaranya baru saja mengalami kekalahan hebat ini dikurung oleh barisan Mongol yang banyak sekali jumlahnya. Yap Bouw ditantang perang oleh Salinga.

   Tentu saja jenderal yang perkasa ini tidak menjadi jerih. Ia memerintahkan agar supaya barisannya, tetap memperkuat penjagaan benteng dan jangan melayani musuh untuk bertempur di luar benteng, kemudian sambil membawa pedangnya ia keluar dari pintu benteng untuk memenuhi tantangan Salinga. ia tahu bahwa ia akan dikeroyok, maka iapun membawa lima orang pembantunya dengan pesanan jangan turun tangan biarpun ia dikeroyok sebelum kelihatan ia terdesak!

   Akan tetapi ia kecele karena kali ini yang menghadapinya hanya Salinga seorang.

   "Orang she Yap, sekarang tiba saatnya kau harus membayar hutangmu kepada ayahku!"

   "Salinga, tidak ada hutang piutang dalam perang! Yang lemah akan gugur, yang kuat akan menang. Tidak ada hutang, tidak ada dendam, yang ada hanya menang atau kalah!"

   "Bangsat, enak saja kau bicara! Lihat pembalasan Alis Merah!"

   Sambil berkata demikian Salinga lalu memainkan tombaknya yang biarpun masih belum dapat menyamai kelihaian ilmu tombak mendiang ayahnya, namun cukup hebat gerakannya.

   Akan tetapi Yap Bouw hanya memandangnya dengan senyum mengejek, lalu ia menggerakkan pedangnya yang sekaligus membuat tombak di tangan Salinga terpental dan hampir terlepas dari pegangan! Salinga terkejut sekali dan cepat ia melompat mundur uutuk bersiap dan kemudian ia berkelahi lebih hati hati menghadapi musuh besar yang kepandaiannya lebih tinggi ini.

   Akan tetapi pada saat itu, Yap Bouw berseru keras dan melompat ke belakang dengan terkejut sekali ketika ia melihat sebatang tongkat melayang dan menyerangnya dan menyerangnya dengan hebat sekali.

   Yang membuat ia menjadi terkejut tidak saja kelihaian gerakan tongkat ini, terutama sekali karena tongkat itu bergerak sendiri di udara, tidak dipegang orang. Juga lima orang perwira yang menonton di situ tidak dapat melihat Seng Jin Siansu yang memegang tongkat itu, sehingga mereka berdiri bingung dengan muka pucat.

   Tentu saja Salinga dan kawan kawannya dapat melihat Seng Jin Siansu dan Salinga dengan amat lega lalu melompat mundur, membiarkan Seng Jin Siansu sendiri menghadapi Yap Bouw.

   "Salinga, pengecut besar!" Yap Bouw berseru sambil menangkis serangan tongkat aneh itu dengan pedangnya yang membuat tangannya tergetar. "Ilmu siluman apakah yang kau pergunakan?"

   Akan tetapi Salinga hanya tertawa saja dan tongkat itu makin hebat menyerang Yap Bouw. Lima orang perwira pembantu Yap goanswe lalu menerjang maju, mencabut senjata masing masing untuk menghadapi tongkat iblis itu.

   Akan tetapi, sekali saja terbentur oleh tongkat itu, senjata mereka semua terlempar dari pegangan dan beberapa belas jurus kemudian, tongkat itu berhasil menotok pundak Yap Bouw.

   Jenderal yang gagah ini mengeluh dan roboh tak berdaya lagi Setelah ia roboh, terdengar suara ketawa menyeramkan dan barulah kini matanya melihat seorang kakek tua yang bermata sebelah, kakek inilah yang memegang tongkat secara luar biasa hebatnya itu.

   Pada saat itu, Yap Bouw masih belum kenal siapakah adanya kakek mata satu yang lihai ini dan ia tidak sempat pula bertanya. Terdengar sorak sorai hebat dan melihat ia roboh, tentara Mongol lalu menyerbu bentengnya.

   Perang hebat terjadi sehari semalam lamanya dan akhirnya benteng itu jatuh ke tangan musuh. Sebagian besar tentara anak buahnya Yap Bouw binasa.

   Yap Bouw sendiri bagaimana? Kalau tidak ada Seng Jin Siansu pasti ia dibunuh oleh Salinga dan kawan kawannya. Salinga telah membawanya ke dalam kemahnya dan sambil menangis menyebut ayahnya, ia menyiksa Yap Bouw, disaksikan ribuan orang Mongol yang ikut pula menangisi Ulan Tanu, Si Alis Merah yang mereka kagumi!

   Seng Jin Siansu duduk diam saja, akan tetapi siap sedia untuk menolong nyawa Yap Bouw, karena sesungguhnya kalau sampai Yap Bouw tewas, ia gentar menghadapi kemurkaan Kim Kong Taisu!

   Sungguh amat mengerikan nasib penderitaan Yap Bouw. Dalam cengkeraman nafsu membalas dendam, Salinga seperti gila dan kekejamannya melebihi binatang buas atau iblis sendiri. Dengan pisaunya yang tajam, ia mencacah muka Yap Bouw, sehingga boleh dibilang ia menguliti muka jenderal itu.

   Bahkan lidahnyapun dipotongnya. Akhirnya di bawah seruan seruan semua kawan kawannya yang sudah keranjingan iblis, Salinga mengayunkan pisaunya ke arah ulu hati Yap Bouw yang sudah pingsan.

   Akan tetapi tiba tiba terdengar suara nyaring dan pisau itu terlepas dari tangan Salinga. Ternyata pada saat terakhir itu, Seng Jin Siansu telah bertindak dan menolong nyawa Yap Bouw.

   "Ha, ha, ha, apa kataku kemarin?" kakek mata satu ini tertawa seram. "Amat mudahnya melanggar sumpah! Orang ini tidak boleh dibunuh!"

   "Akan tetapi, supek couw (uwa kakek guru)! Dia adalah pembunuh dari ayahku! Kami harus membalas dendam. Hutang nyawa bayar nyawa!"

   Kembali Salinga mencabut tombaknya dan hendak ditancapkan ke dada Yap Bouw, akan tetapi dengan sekali mengulurkan tangannya, Iblis Tua dari Laut Selatan ini telah dapat merampas tombak ini.

   "Salinga!" Suara Seng Jin Siansu terdengar marah. "Aku Seng Jin Siansu bukanlah seorang yang biasa melanggar janji! Dan juga bukan seorang yang membiarkan orang lain melanggar janjinya terhadap aku! Aku sudah menangkap Yap Bouw dan dia sudah menerima siksaan yang lebih dari setengah mati! Akan tetapi kita sudah saling berjanji bahwa dia takkan dibunuh! Sekarang aku akan membebaskannya!

   Setelah berkata demikian, Seng Jin Siansu lalu menyambar tubuh Yap Bouw yang berlumuran darah itu, dikempit di bawah ketiak lengan kirinya, serentak orang orang Mongol yang seribu lebih banyaknya itu berseru keras,

   "Berikan dia kepada kami! Anjing she Yap itu harus dibunuh! Sakit hati Ang bi tin (Pendekar Alis Merah) harus dibalas!"

   Di bawah pimpinan Salinga, orang orang itu menghadang perjalanan Seng Jin Siansu dengan sikap mengancam.

   "Dia adalah seorang Han pula, tentu saja dia membela Jenderal Yap Bouw! Keroyok dia, bunuh pendeta iblis ini!" terdengar seruan dua orang Mongol yang berdiri di depan.

   Mendengar seruan ini, tiba tiba Seng Jin Siansu membalikkan tubuhnya menghadapi dua orang itu. Matanya yang tinggal sebelah itu seakan akan mengeluarkan api, ditujukan kepada dua orang perwira pembantu Salinga itu.

   Melihat cahaya pandangan mata yang luar biasa ini, dua orang Mongol yang ternyata adalah dua orang perwira Mongol itu menjadi terkejut dan tubuh mereka menggigil.
"Kalian berdua hendak membunuhku? Ha, ha, ha, kalian yang mengeluarkan ucapan bunuh, maka kalianlah yang akan melakukan pembunuhan dan kalian pula yang akan dibunuh! Ayoh maju ke sini!"

   Perintah ini dikeluarkan dengan keras dan suaranya demikian berpengaruh, sehingga semua orang menundukkan muka sesaat. Adapun dua orang perwira Mongol itu ketika mendengar perintah ini, di luar kemauan sendiri, kedua kaki mereka melangkah maju dan menghampiri kakek mata satu yang hebat itu.

   Nampak bibir Seng Jin Siansu berkemak kemik dan mata tunggalnya tetap ditujukan ke arah dua orang itu dengan pandangan tajam.

   "Ayoh lakukan pembunuhan atas diri kalian sendiri. Cepat!"

   Bukan main hebatnya bunyi perintah ini dan semua orang merasa bulu tengkuk mereka berdiri ketika melihat dua orang perwira Mongol itu tiba tiba mencabut golok mereka sendiri dan sebelum ada orang yang dapat mencegahnya, mereka menyabetkan golok itu ke arah leher sendiri. Robohlah dua orang Mongol itu dengan leher hampir putus dalam keadaan tak bernyawa lagi.

   Seng Jin Siaasu tertawa sebal, menambah geramnya keadaan.

   "Ha, ha, ha! Dua orang lancang ini telah mencari kematian mereka sendiri. Mereka lancang sekali mengatakan bahwa Seng Jin Siansu membela orang Han, bahkan mereka hendak membunuhku! Dengar kalian semua! Aku, Seng Jin Siansu tidak boleh disamakan dengan kalian orang orang biasa, juga tidak sama dengan Yap Bouw yang kubawa ini! Kalian semua boleh dipengaruhi oleh perang boleh diperbudak oleh pemerintah kalian masing masing, akan tetapi aku, Seng Jin Siansu tidak! Aku adalah raja dari diriku. Kaisar Mongol atau Raja Han sendiri pun tidak lebih besar dari padaku dan sekali kali tidak boleh memerintahku! Siapa bilang aku ikut ikut mencampuri urusan parang di antara mereka? Aku tidak membantu orang Mongol, tidak membantu orang Han, akan tetapi siapa yang bersalah kepadaku, awas, akan kujadikan setan tak berkepala seperti dua ekor anjing ini. Nah aku sudah bicara!"

   Setelah berkata demikian diiringi oleh suara ketawanya yang panjang dan menyeramkan, bagaikan seorang iblis saja Seng Jin Siansu menggerakkan tubuhnya dan lenyaplah ia dari hadapan ribuan orang Mongol itu.

   Salinga menarik napas panjang dan berkata, "Dia benar! Pernah aku mendengar dari mendiang ayah bahwa Supak couw memang seorang yang aneh, akan tetapi memiliki kepandaian yang hebat sekali. Biarlah, biarpun kita tidak bisa membunuh Yap Bouw, akan tetapi masih banyak perwira perwira Han yang boleh kita bunuh sebagai pengganti jenderal itu."

   Demikianlah, selelah bala tentara Mongol berhasil menduduki Tiongkok, Salinga lalu membentuk Ang bi tin atau Barisan Alis Merah itu, yang bertugas membasmi semua perwira Han yang masih ada dan menyamar sebagai rakyat biasa. Dengan usaha ini, Salinga hendak membalas dendam ayahnya.

   Adapun Yap Bouw dibawa pergi oleh Seng Jin Siansu yang memberi obat padanya agar supaya Yap Bouw tidak meninggal dunia karena luka lukanya, kemudian Iblis Tua Laut Selatan ini lalu meninggalkan Yap Bouw di dalam sebuah hutan.

   Yap Bouw maklum akan hal ini, akan tetapi ia tahu pula bahwa yang membuat ia jatuh ke tangan orang orang Mongol juga kakek mata satu itulah. Keadannnya amat berat.

   Lidahnya sudah putus dan mukanya sudah tak berkulit lagi, sehingga ia yang tadinya berwajah tampan dan gagah, kini merupakan tengkorak hidup.

   PENDERITAAN lahir bagi Yap Bouw tidak begitu berat, karena sebagai orang gagah perkasa yang sering kali menghadapi pertempuran hebat, apalagi sebagai seorang jenderal perang yang melihat penderitaan seperti hal yang biasa, cacad dan luka lukanya pun dapat dideritanya dengan hati tenang.

   Akan tetapi, penderitaan yang lebih hebat dan membuat nya seperti gila adalah penderitaan bathin. Semenjak memimpin bala tentara untuk menghadapi serbuan bala tentara Mongol, Yap Bouw meninggalkan isterinya yang telah mengandung tua.

   Kemudian, ketika ia masih berada di dalam benteng, jauh di utara ia mendengar kabar bahwa isterinya telah melahirkan sepasang anak kembar, laki laki dan wanita.

   Alangkah girang hatinya mendengar ini. Akan tetapi, serbuan serbuan musuh membuat ia pindah dari satu ke lain tempat untuk menghadapi musuh musuh negara yang pada waktu itu muncul berganti ganti. Bangsa Tartar dan paling akhir Bangsa Mongol yang amat kuat.

   Tugasnya membuat Jenderal Yap Bouw tak sempat pulang selama tiga tahun.

   Sekarang tidak saja negaranya kalah dan tentaranya hancur bahkan dia sendiri telah menjadi seorang yang bermuka tengkorak.

   Bagaimana ia dapat pulang? Bagaimana ia berani menghadapi isterinya dan anak anaknya sebagai seorang jenderal yang tidak saja kalah perang, bahkan telah menjadi seorang yang demikian menjijikkan dan mengerikan? Kalau dia melihat mukanya sendiri, bercermin di dalam air telaga, keluarkan keluhan dari dadanya dan pipinya yang sudah tak karuan macamnya itu basah oleh air mata.

   Tidak, ia tidak dapat pulang. Ia tidak boleh menjumpai isteri dan anak anaknya. Isterinya yang setia dan mencintanya mungkin takkan jijik melihatnya, mungkin takkan berobah.

   Akan tetapi anak anaknya? Ah, ia belum pernah melihat anak kembarnya, hanya dari surat isterinya saja ia mendengar bahwa dua orang anaknya itu elok dan sehat. Ah, kalau ia pulang dan kedua anaknya melihat mukanya, bukankah mereka akan lari ketakutan?

   Kemudian, kalau mereka sudah besar, apakah mereka itu takkan malu sekali mempunyai seorang ayah bermuka setan? Apakah mereka takkan menjadi hahan olok olok semua orang? Tidak, tidak! Lebih baik membiarkan mereka menganggap bahwa ayah mereka telah mati.

   Lebih baik membiarkan mereka menganggap ayah mereka telah tewas dan gugur dalam peperangan. Gugur sebagai seorang pahlawan bangsa.

   Kalau ia tidak pulang, orang orang akan memandang anak kembar nya dengan menghormat, akan menganggap mereka sebagai keturunan seorang pejuang besar.

   Pikiran inilah yang membuat Yap Bouw mengambil keputusan untuk menjauhkan diri dari isteri dan anak anaknya.

   Ia tidak mau menyusul isteri nya yang telah lama mengungsi di sebuah dusun kecil di Propinsi Santung dekat pantai laut timur, yakni dusun Kan leng di mana isterinya tinggal bersama orang tua isteri nya itu.

   Tentu saja kalau Yap Bouw mau menyusul ke sana, ia akan dapat pergi dengan aman karena siapakah yang akan mengenalnya seorang jenderal Yap Bouw yang ternama? Akan tetapi ia tidak mau merusak kehidupan keluarganya, tidak mau mendatangkan cemar dan malu.

   Kemudian ia teringat kepada suhunya, Kim Kong Taisu yang mengasingkan diri bertapa di puncak bukit Oei san. Kesanalah Yap Bouw menuju, membawa tubuhnya yang sudah bercacat.

   Siksaan yang hebat itu sudah membuat Yap Bouw berobah apa lagi siksaan batin itu, rindunya kepada keluarganya yang tak mau ia jumpai, membuat ia merasa isi dadanya seakan akan pecah dan lemahlah semangatnya Yap Bouw sekarang jauh bedanya dari Yap Bouw ketika masih menjadi jenderal, ia telah menjadi seorang yang kehilangan semangat dan tidak ingat lagi akan permusuhannya dengan Ang bi tin.

   Ia tidak menaruh hati dendam, bahkan tidak mau memperdulikan lagi urusan dunia.

   Kim Kong Taisu menerimanya dengan terharu sekali. Kakek yang sakti ini tahu akan isi hati muridnya dan kakek yang tahu pula akan keadaan dunia dan rahasia alam ini hanya menarik napas panjang, memuji nama Thian Yang Maha Agung dan Maha Kuasa, yang kuasa mengadakan perubahan apada segala apa yang nampak disunia ini. Ia menghibur muridnya itu dengan member pelajaran ilmu bathin ilmu silat yang lebih tinggi.

   Setahun kemudian, pada suatu hari Kim Kong Taisu menyuruh muridnya ini pergi ke kota Tong seng kwan untuk menolong keluarga Song bekas perwira itu dari amukan barisan Ang bi tin.

   Kim Kong Taisu memang seorang pendeta yang berilmu tinggi. Tidak saja ilmu silatnya mencapai tingkat yang sukar diukur tingginya, bahkan ilmu bathinnya sudah sempurna, sehingga ia boleh disebut setengah dewa.

   Di dalam kewaspadaannya kakek ini dapat melihat hal hal yang telah dan akan terjadi tanpa pindah dari tempat dia duduk bersamadhi.

   Puluhan tahun yang lalu, Kim Kong Taysu adalah seorang tokoh besar dari Kun lun pai, akan tetapi semenjak fihak Kun lun pai bentrok dengan cabang persilatan lain, sehingga terjadi serang menyerang dan berlumba atau bersaingan dalam memainkan ilmu silat.

   Kim Kong Taisu mencuci tangan dan pergi mengasingkan diri di puncak Gunung Oei san yang indah itu.

   Demikianlah riwayat singkat dari Yap Bouw yang sekarang telah menjadi seorang bermuka tengkorak, gagu dan berwatak aneh. Ia amat sayang kepada Bun Sam yang kini telah diambil murid oleh suhunya.

   Ia sayang seperti kepada anak sendiri, karena Bun Sam yang tampan dan berwatak halus itu merupakan pengganti anaknya bagi bekas jenderal ini.

   Dengan amat tekun dan penuh kasih sayang. Yap Bouw memimpin sute (adik seperguruan) yang seperti anaknya ini dalam hal dasar dasar ilmu silat.

   Memang Kim Kong Taisu telah memberi kepercayaan penuh kepadanya untuk memberi bimbingan dasar pada Bun Sam. Selain ilmu silat juga Yap Bouw memberi pelajaran ilmu surat kepada Bun Sam.

   Biarpun Yap Bouw gagu, akan tetapi mengatar menulis huruf Tiongkok memang lebih sederhana. Ia menulis dan menunjuk benda apa yang ditulisnya dan tanpa mengeluarkan suara, Bun Sam akan dapat membaca huruf itu selelah melihat benda yang ditunjuk oleh Yap Bouw.

   Memang tidak sukar bagi Yap Bouw untuk mengajar ilmu surat, karena Bun Sam sendiripun bukanlah seorang anak buta huruf sama sekali, ia pernah belajar menulis dari ayahnya dan kini Yap Bouw hanya memberi tambahan belaka.

   Sedikit demi sedikit, Yap Bouw bahkan memberi pelajaran ilmu perang kepada Bun Sam yang amat rajin belajar dan rajin pula bekerja itu.

   Beberapa hari sekali Kim Kong Taisu memanggil mereka berdua yang segera datang menghadap untuk mendengarkan wejangan wejangan yang amat bijaksana.

   Juga adakalanya Kim Kong Taisu menyaksikan Bun Sam berlatih silat. Melihat ketekunan dan bakat besar yang ada pada diri anak ini. Kim Kong Taisu menarik napas panjang dan berkata,

   "Bun Sam, bakatmu lebih besar daripada aku sendiri dan ketekunanmu bahan masih melebihi suhengmu. Dengan bakat dan ketekunan seperti yang kau miliki, apakah sukarnya mengejar segala macam ilmu? Akan tetapi, di samping semua ini, kau masih harus memelihara semacam sifat yang amat penting, Bun Sam, yakni sifat waspada dan sabar. Hanya sifat inilah yang akan menjadi kemudi bagi semua kepandaian seseorang dan menjauhkan nya dari jurang yang ditimbulkan oleh kesombongannya."

   Bun Sam mendengarkan nasihat nasihat suhu nya dengan penuh perhatian.

   Ketika ia mendapat kesempatan, dengan hormat bertanyalah ia akan sesuatu yang pernah didengarnya ketika untuk pertama kalinya ia mendengar ucapan suhunya, yakni ketika Kui To dibawa pergi oleh kakek mata satu.

   "Suhu, maaf apabila teecu berani mengajukan pertanyaan ini, suhu Pernah teecu mendengar kata kata suhu tentang sebab dan akibat, nasihat suhu bahwa teecu harus dapat melepaskan diri dari tali lemah yang disebut sebab dan akibat. Apakah sesungguhnya arti kata kata itu, suhu?"

   Kim Kong Taisu tersenyum. Diam diam ia merasa girang sekali oleh karena pertanyaan yang diajukan oleh muridnya ini menjadi bukti nyata bahwa anak ini memang benar benar amat memperhatikan segala nasihatnya.

   "Betulkah aku pernah bicara sebab dan akibat? Aku malah sudah lupa lagi, muridku. Sebetulnya hal ini masih terlalu sukar, atau lebih tepat lagi, kau masih terlalu kecil untuk mendengar tentang hal ini. Akan tetapi biarlah, agar kau tidak menjadi penasaran. Aku akan memberi contoh kepadamu."

   Setelah berkata demikian, kakek ini lalu mengajak Bun Sam berjalan menuju ke pinggir sebuah jurang yang amat curam.

   Matahari yang telah naik tinggi menyinari jurang itu sehingga nampak nyata oleh Bun Sam betapa batu batu karang yang aneh aneh bentuknya dan ribuan banyaknya berada di sepanjang jurang yang terjal itu.

   Berdiri di pinggir jurang yang amat terjal membuat orang membayangkan betapa akan ngerinya apabila orang sampai tergelincir ke dalamnya! Bun Sam diam diam bergidik.

   "Nah, kau lihatlah baik baik!"

   Kim Kong Taisu membungkuk untuk mengambil sebuah batu sebesar kepala manusia kemudian setelah memandang tajam ke arah jurang, ia lalu menyambitkan batunya itu yang tepat mengenai sebuah batu yang empat kali besarnya dan yang berada di mulut jurang.

   Batu itu terbentur oleh batu yang disambitkan oleh Kim Kong Taisu dan ternyata batu itu bergerak dan terdorong oleh sambitan yang keras itu sehingga menggelinding dari tempatnya.

   Tentu saja karena tempat itu menurun amat terjalnya, sebentar saja batu itu menggelinding turun dan membentur lain batu di bawahnya yang kembali terdorong dan menggelinding ke bawah.

   Demikianlah, tak lama kemudian, terdengar suara gaduh sekali di dalam jurang itu karena batu batu yang menggelinding dari atas itu menimpa lain batu dan membuat batu batu yang di bawahnya jatuh menggelinding pula ke bawah.

   Suara hiruk pikuk itu terdengar sambung menyambung seperti suara guntur di waktu hujan. Kemudian setelah batu batu itu menimpa dasar jurang, suara dentaman dentaman itu makin keras dan diakhiri dengan debu yang mengebut ke atas.

   Setelah keadaan menjadi sunyi kembali, Kim Kong Taisu berkata

   "Nah, kau lihat tadi? Betapa hebatnya dan banyaknya batu batu besar jatuh ke dalam jurang?"

   "Hebat sekali, suhu. Seperti gunung meletus aja?"

   "Dan tahukah kau hubungannya dengan sebab dan akibat?"

   Bun Sam memandang kepada suhunya dan betapapun juga memutar otaknya, belum juga ia mengerti apakah artinya perbuatan suhunya tadi. Ia menggeleng geleng kepala nya dan berkata dengan sejujurnya.

   Pedang Sinar Emas Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   "Teecu belum mengerti, suhu. Mohon penjelasan dari suhu."

   "Kau tentu mengerti bahwa peristiwa hebat di dasar jurang itu terjadi karena runtuhnya banyak sekali batu batu besar kecil. Kenapa batu batu ini runtuh? Karena saling mendorong. Kalau saja batu batu itu dan jurang bisa bercakap cakap, tentu akan terdengar tuduh menuduh yang berdasarkan sebab dan akibat. Jurang tentu akan bertanya kepada batu yang terbawa mengapa ia terjatuh. Dan jawabannya tentu karena ia terdorong oleh batu di atasnya dan demikian selanjutnya. Peristiwa yang terjadi umumnya disebut akibat dan orang orang selalu mencari sebab dan pada akibat itu. Padahal seperti juga batu terbawah menyalahkan batu di atasnya yang mendorongnya, sebab yang menimbulkan akibat itu sendiripun tak lain hanya merupakan akibat dari pada sebab lain lagi. Oleh karena manusia menjadi hamba dari pada sebab dan akibat yang ruwet, maka terjadilah kerusuhan di dunia ini. Terjadi dendam, balas membalas tiada habisnya. Padahal kalau diusut benar benar, seperti halnya peristiwa di dasar jurang tadi, siapakah yang salah? Apakah batu batu terbawah, apakah batu teratas, ataukah batu yang pertama kali kulemparkan ke bawah?"

   "Batu batu itu tidak bersalah, suhu, yang salah adalah suhu!" kata Bun Sam.

   Kim Kong Taisu tertawa gembira. "Kau juga masih terikat oleh sebab akibat, muridku. Ingat, bukan sebabnya karena aku melemparkan batu itupun hanya menjadi akibat dari keinginanku memberi contoh dan penerangan kepadamu."

   "Kalau begitu, teceu yang menjadi sebabnya dan teecu yang bersalah."

   "Juga keliru, Bun Sam, karena kaupun hanya menjadi akibat daripada keadaanmu menjadi muridku. Kalau kau tidak menjadi muridku, tentu kau takkan bertanya tentang pengertian ini dan takkan terjadi ribut ribut di dasar jurang."

   Bun Sam melengong. "Habis, sampai di mana akhirnya kalau dicari terus sebab sebab pokok, suhu?"

   Gurunya menggelengkan kepala.

   "Itulah! Oleh karena itu, aku ingin melihat kau tidak diperhamba oleh sifat ini. Janganlah segala perbuatanmu didasarkan atas kekeliruan pendapat atau jelasnya jangan kau melakukan sesuatu terdorong oleh pandangan yang salah, yang timbul dari nafsu dan perasaan. Jangan mencari sebab sebab dari sesuatu peristiwa, akan tetapi jadilah seorang yang menjaga agar jangan terjadi peristiwa peristiwa yang merugikan dunia!"

   

Pedang Naga Kemala Eps 10 Pedang Naga Kemala Eps 10 Pemberontakan Taipeng Eps 6

Cari Blog Ini