Pemberontakan Taipeng 6
Pemberontakan Taipeng Karya Kho Ping Hoo Bagian 6
"Lo-cianpwe, siapakah yang menyaksikan bahwa Huang-ho Sin-to terbunuh oleh susiok Thian Khi Hwesio?"
"Yang menyaksikan adalah orang-orang yang datang membawa mayatnya kepada kami di kuil kami."
"Siapakah mereka?"
"Pinto tidak mengenal mereka, akan tetapi mereka adalah orang-orang kang-ouw, mungkin kenalan Huang-ho Sin-to, yang menyerahkan mayat, mengatakan bahwa Thian Khi Hwesio yang membunuhnya lalu mereka pergi lagi."
"Karena penasaran dan marah, locianpwe dan para totiang lalu pergi mendatangi kuil Siauw-lim?"
"Benar, kami bermaksud untuk minta keadilan, akan tetapi di sini kami bertemu dengan para hwesio Siauw-lim yang mengatakan kami telah membunuh Thian Khi Hwesio sehingga terjadi pertempuran." Kini Tan Ci Kong menghadapi Thian Tek Hwesio.
"Susiok, benarkah bahwa susiok Thian Khi Hwesio terbunuh?"
"Benar, ada beberapa orang mengantar jenazahnya ke kuil kami, dan mereka mengatakan bahwa Sute Thian Khi Hwesio dikeroyok dan dibunuh oleh para Tosu Kun-Lun-Pai. Kami lalu pergi hendak mendatangi kuil Kun-Lun-Pai, akan tetapi bertemu di sini dan mereka menuduh Thian Khi Hwesio membunuh seorang murid Kun-Lun-Pai, padahal menurut penuturan mereka yang membawa jenazahnya, Sute Thian Khi Hwesio yang lebih dulu diserang oleh Huang-ho Sin-to. Mereka berkelahi dan Huang-ho Sin-to tewas, akan tetapi Sute lalu dikeroyok dan tewas pula." Ci Kong mengangguk-angguk dan mengerutkan alisnya.
"Harap cuwi bersabar dan dapat merenungkan baik-baik. Ternyata kedua peristiwa pembunuhan itu, baik atas diri Huang-ho Sin-to maupun atas diri susiok Thian Khi Hwesio, terjadi di luar pengetahuan kedua pihak. Kedua pihak hanya mendengar laporan dari orang-orang yang sama sekali tidak dikenalnya. Ada hal-hal aneh di sini! Ketahuilah bahwa belum lama ini susiok Thian Khi Hwesio datang kepada saya dan minta kepada saya untuk melakukan penyelidikan terhadap orang she Lee yang telah membunuh dua orang Tosu Kun-Lun-Pai dan mengaku murid Siauw-Lim-Pai. Ketika dia datang, yang menerima hanya istri saya karena saya sedang berada di selatan. Ketika beberapa hari kemudian saya pulang dan mendengar akan peristiwa itu dari isteri saya, saya lalu langsung pergi lagi hendak mencari keterangan yang lebih jelas di Siauw-Lim-Pai. Tentu telah terjadi hal-hal yang aneh di balik semua ini. Pertama, kedua orang Tosu Kun-Lun-Pai terbunuh oleh seorang she Lee yang mengaku sebagai murid Siauw-Lim-Pai. Padahal tidak ada murid she Lee di Siauw-Lim-Pai yang kiranya memiliki ilmu kepandaian demikian tingginya sehingga mampu membunuh kedua orang tokoh Kun-Lun-Pai itu. Dan kemudian disusul kematian susiok Thian Khi Hwesio dan Huang-ho Sin-to. Tidak ada di antara kedua perkumpulan yang melihat sendiri pembunuhan itu, hanya mendengar dari penuturan orang luar yang bernada mengadu domba antara Siauw-Lim-Pai dan Kun-Lun-Pai. Aku yakin bahwa agaknya ada hubungannya antara pembunuhan terhadap dua orang Kun-Lun-Pai yang pertama dengan pembunuhan terakhir ini. Dan pembunuhnya hendak mengadu domba antara kedua golongan."
"Akan tetapi, bagaimana kita dapat mengetahui bahwa dugaanmu itu benar, Tan-Taihiap?" Tiong Tek Seng-jin membantah.
"Memang belum ada buktinya dan sayalah yang akan melakukan penyelidikan. baru-baru ini, susiok Thian Khi Hwesio telah datang mencari saya dan meninggalkan pesan agar saya melakukan penyelidikan tentang diri orang she Lee yang mengaku murid Siauw-Lim-Pai dan telah membunuh dua orang tokoh Kun-Lun-Pai. Kini tugas saya bertambah, yaitu menyelidiki peristiwa pembunuhan diri susiok Thian Khi Hwesio dan juga Huang-ho Sin-to. Saya mempunyai dugaan bahwa pembunuhnya tentulah juga orang yang mengaku murid Siauw-Lim-Pai itu. Jelas dia bermaksud mengadu domba. Saya harap cu-wi percaya kepada saya dan untuk sementara bersabar menanti hasil penyelidikan saya dan jangan sampai timbul timbul salah paham di antara kedua golongan." Para Tosu dan hwesio saling pandang lalu mengangguk-angguk.
"Keadaan negara sedang kacau seperti ini, sungguh amat merugikan rakyat kalau sampai di antara golongan kita sendiri terjadi permusuhan," demikian Ci Kong mengakhiri bujukannya yang diterima oleh kedua belah pihak dengan penuh pengertian.
Merekapun lalu saling berpisah, kembali ke kuil masing-masing, sedangkan Ci Kong melanjurkan perjalanannya untuk melakukan penyelidikan. Seperti telah diceritakan di bagian depan, mula-mula Ci Kong tertarik akan perjuangan yang dipimpin oleh Ong Siu Coan dan bersama banyak orang gagah diapun membantu perjuangan Ong Siu Coan pemimpin pasukan Tai Peng itu, sehingga pasukan Tai Peng berhasil menguasai beberapa daerah di selatan. Akan tetapi, setelah melihat sepak terjang Ong Siu Coan dan pasuikannya yang tidak berdisiplin, melihat betapa pasukan itu melakukan perampokan, pembunuhan dan pemerkosaan seperti penjahat, Ci Kong dan banyak pendekar meninggalkan pasukan itu. Ong Siu Coan yang sudah memperoleh kemenangan itu tidak perduli dan melanjurkan penyerbuan pasukannya ke Peking.
Namun, akhirnya penyerbuan itu dipukul mundur dan dia lalu menjadi raja besar di Nan-king! Itulah sebabnya Ci Kong pulang menyusul isterinya yang telah pergi ke puncak Naga Putih di Pegunungan Wu-yi-san. dan begitu tiba di sana, dia mendengar dari isterinya akan kunjungan Thian Khi Hwesio wakil ketua Siauw-Lim-Pai yang minta bantuannya untuk membersihkan nama Siauw-Lim-Pai. Biarpun kini balatentara Tai Peng yang dipimpin Ong Siu Coan telah menduduki daerah selatan, namun keluarga Kaisar di istana agaknya sama sekali tidak merasa prihatin. Kaisar Hsian Feng masih saja mengejar kesenangan melalui wanita- wanita cantik sehingga dia sendiri tidak tahu betapa di istananya sendiripun terjadilah hal-hal yang amat memalukan dan mendatangkan aib bagi keluarga Kaisar.
Yehonala Si Anggrek Mungil, gadis cerdik dan cantik manis yang kini naik derajatnya dari selir baru menjadi permaisuri kedua karena setahun setelah berhasil digauli Kaisar lalu mengandung dan melahirkan seorang putera, makin lama semakin merasa tersiksa. Biarpun ia telah diangkat menjadi permaisuri kedua sebagai Ibu pangeran mahkota, dan ia hidup penuh dengan kemewahan dan kehormatan, namun wanita muda yang berdarah panas ini merasa kesepian! Makin jarang Kaisar bermalam di dalam kamarnya, dan kalau sekali waktu Kaisar berkunjung dan menggaulinya, ia tidak pernah dapat merasa puas. Biarpun Kaisar Hsian Feng masih muda belum tiga puluh tahun usianya, namun tubuhnya menjadi lemah sekali. Hal ini adalah akibat dari pengumbaran nafsu secara berlebihan,
Melebihi batas kemampuan dan kekuatannya sendiri dan selalu mengandalkan obat kuat dan obat perangsang yang diminumnya. Di dalam tubuh telah terdapat batas-batas, ukuran dan timbangan yang sempurna, yang mengatur pembagian kekuatan dalam tubuh. Kalau orang memaksa diri dengan bantuan obat perangsang, maka dia merugikan diri sendiri, bahkan membahayakan kesehatan dan kesempurnaan diri sendiri. Pertama dia akan menjadi kecanduan dan ketergantungannya kepada obat kuat dan obat perangsang merupakan racun bagi dirinya. Tanpa bantuan obat, dia akan kehilangan segala kekuatan dan kemampuannya. Kedua, pemaksaan dengan obat perangsang ini akan menyedot dengan paksa kekuatan yang sebetulnya harus mejadi cadangan, disedot habis dan tentu saja hal ini amat merusak kesehatan dan melemahkan tubuh.
Hidupnya akan tergantung kepada obat dan sekali obat itu ditinggalkan, dia akan menjadi mayat hidup yang tidak ada gunanya lagi. Dan betapapun baiknya obat, apalagi obat perangsang, kalau terlalu banyak dipakai tentu akan menimbulkan akibat-akibat sampingan yang buruk. Segala hal yang berlebihan dan tidak wajar tentu berakibat buruk. Gairah berkobar di dalam dirinya yang tak pernah dapat disalurkan makin bertumpuk dan membuat Yehonala menjadi pemarah dan pemurung. Sepasang alisnya yang kecil panjang hitam melengkung seperti dilukis itu hampir selalu berkerut, sepasang matanya menjadi suram padahal biasanya bening dan amat tajam seperti mata burung Hong, senyumnya yang biasanya selalu menghias mulutnya yang mungil itupun menghilang. Wajahnya muram dan lesu, seperti setangkai bunga kurang siraman air dan menjadi kekeringan.
Li Lian Ying adalah seorang di antara para thaikam (orang kebiri) yang bertugas di dalam istana. Dia baru berusia dua puluh tiga tahun, bertubuh tegap gagah, namun wajahnya buruk, penuh bekas cacar, menjadi bopeng dan kehitaman. Namun, Li Lian Ying ini memiliki keahlian. Dia pandai sekali menata rambut, membuat sanggul dan meriasnya. Selain itu, diapun ahli dalam hal ilmu pijat sehingga dia merupakan seorang hamba yang disuka oleh Yehonala karena keahliannya itu. Dan biarpun ujud tubuh Li Lian Ying seorang pria, namun sebagai seorang thaikam, tentu saja Yehonala tidak malu-malu lagi terhadap pria yang sudah kehilangan kejantanannya ini, yang sudah menjadi manusia kepalang tanggung, pria bukan wanitapun bukan.
Li Lian Ying yang cerdik dan berwatak penjilat itu tentu saja maklum akan keadaan Yehonala yang selalu termenung dan muram. Karena Kaisar jarang datang berkunjung, pemaisuri kedua ini tidak berminat lagi untuk berdandan, padahal dahulu ketika masih menjadi kekasih Kaisar, setiap hari Li Lian Ying yang menata rambutnya, bahkan membantunya mandi, memijatinya dan memberi nasihat-nasihat untuk menjaga kecantikan wajah dan tubuhnya. Dia merasa kasihan, juga merasa rugi karena kalau dapat berjasa terhadap permaisuri kedua yang royal ini, banyak hadiah yang diterimanya. Kalau permaisuri kedua ini selalu berduka, diapun mengalami musim kering! Pada suatu senja, ketika dia melihat permaisuri muda itu duduk termenung dengan rambut kusut, tidak mau pergi mandi padahal tempat mandi yang mewah telah penuh dengan air bunga, Li Lian Ying dengan hati-hati menghampirinya.
"Sri Ratu, silakan mandi, hamba telah mempersiapkan air hangat bercampur air mawar yang harum," katanya dengan suara lembut dan penuh hormat. Dengan malas-malasan Yehonala menoleh dan alisnya berkerut.
"Untuk apa aku mandi dan bersolek diri? Aku tidak ingin mandi, Li Lian Ying. Pergilah dan tinggalkan aku sendiri, biarkan aku duduk seorang diri." Beberapa orang dayang yang berada di situ juga ikut membujuk, namun puteri jelita itu bahkan sama sekali tidak menanggapi atau menjawab bujukan mereka sehingga mereka ketakutan dan tidak lagi berani bicara. Li Lian Ying yang disuruh pergi itu tidak beranjak dari tempat dia berlutut. Kemudin dengan suara halus ia berkata,
"Kenapa Paduka membiarkan diri tenggelam di dalam duka dan nelangsa? Bukankah semestinya Paduka hidup bersuka cita karena Paduka telah dikaruniai seorang putera yang menjadi pangeran mahkota? Harap Paduka ingat bahwa berduka menyesali nasib yang baik mengundang kemurkaan Tuhan..."
"Li Lian Ying, bagaimana aku dapat bergembira? Apa artinya semua kurnia ini? Aku tidak pernah dapat berdekatan dengan puteraku yang sejak lahir dibawa untuk dirawat oleh ahli-ahli perawat bayi dan pendidik-pendidik yang cerdik pandai! Dan aku hidup kesepian. Sri Baginda telah melupakan aku..." dan Yehonala tak dapat menahan lagi tangisnya. Thaikam ini membiarkan junjungannya menangis. setelah tangis itu mereda dan semua penyesalan telah keluar melalui air ata, barulah dia berkata dengan halus,
"Sri Ratu, hamba mohon Paduka dapat menenangkan diri. Harap Paduka ingat akan kata-kata orang bijaksana bahwa kalau dalam rumah penuh makanan lezat dan udaranya sejuk menyegarkan, suami takkan pernah kelaparan dan malas meninggalkan rumah. Demikian pula keadaan di sini. Kalau Paduka selalu berduka dan tidak mau merias diri, bagaimana kalau sewaktu-waktu Sri Baginda datang berkunjung? Apakah beliau akan merasa betah di sini, melihat Paduka tidak berias dan bermuram durja? Marilah, Sri Ratu yang mulia. Marilah, hamba sekalian membantu Paduka mandi, kemudian hamba akan memijiti tubuh Paduka dan mengusir semua kelelahan lahir batin. setelah itu, hamba akan membuat sanggul yang indah pada rambut Paduka." Mendengar ini, para dayang ikut pula membujuk dan akhirnya Yehonala mengangguk setuju.
Ia membiarkan Li Lian Ying memondong tubuhnya dibawa ke kamar mandi dan ratu inipun dilayani Li Lian Ying dan para dayang, mandi di air hangat yang harum menyegarkan itu. Setelah mandi air hangat harum dan tubuhnya digosok minyak wangi, ratu itu lalu minta dipijat oleh Li Lian Ying yang memberi isyarat kepada para dayang untuk mengundurkan diri. Para dayang tidak berani lagi mengganggu. Biasanya, kalau dipijat oleh thaikam itu, sang ratu lalu tertidur. Li Lian Ying mulai memijati tubuh yang indah itu. Akan tetapi sekali ini, caranya memijati tubuh itu lain daripada biasanya. Kalau biasanya, jari-jari tangannya yang ahli itu hanya melemaskan otot-otot yang kaku, membuka hambatan-hambatan pada jalan darah sehingga darah berjalan lancar kembali, Mengusir lelah dan ketegangan dengan mengendurkan urat-urat.
Akan tetapi sekali ini lain. Dia bukan hanya ingin mengusir lelah, melainkan ingin memberi kenikmatan kepada tubuh itu. Jari-jari tangannya membelai-belai penuh kemesraan, didorong oleh hatinya yang memang penuh dengan gairah yang tak terlaksana. Dia seolah-olah menggauli dan bermain cinta dengan wanita cantik itu melalui jari-jari tangannya! Dan Yehonala mula-mula terkejut, akan tetapi karena ia merasakan kenikmatan yang luar biasa, ia diam saja, bahkan pura-pura tertidur membiarkan Li Lian Ying memainkan jari-jari tangannya yang luar biasa pandainya itu! Dan berhasillah Li Lian Ying mengusir kekecewaan Yehonala, bahkan memberi kepuasan dan kenikmatan kepada wanita muda itu sampai Yehonala tertidur pulas dengan senyum menghias bibirnya.
Keberhasilan Li Lian Ying ini membuat dia semenjak saat itu menjadi kekasih Yehonala! Dia menjadi hamba yang dikasihi dan kini tugas thaikam itu setiap malam adalah menghibur Yehonala dengan jari-jari tangannya dan diapun menerima banyak hadiah dari permaisuri muda yang kini mulai lagi bersolek dan berwajah gembira penuh semangat hidup. Dan selain menjadi kekasihnya, juga thaikam yang buruk rupa namun memiliki kedua tangan yang amat pandai dan lidah yang pandai pula merayu menjilat, menjadi orang yang paling dipercaya oleh Yehonala, menjadi tangan kanannya! Demikianlah, keadaan pemerintah Kerajaan Ceng mengalami kerusakan luar dalam! Perkembangan kekuasaan Tai Peng di selatan seolah-olah tidak diperdulikan oleh Kaisar yang lebih mementingkan kesenangan pribadi. Para pendatang kulit putih merasa gembira sekali melihat perkembangan pasukan Tai Peng yang menduduki wilayah selatan itu.
Inilah keadaan yang paling menguntungkan bagi mereka. Biarkan orang-orang pribumi itu saling hantam, itulah pendirian mereka. Dengan saling hantam, maka mereka akan menjadi lemah dan kalau mereka lemah, maka orang kulit putih yang dapat menarik keuntungan sebesarnya. Bermunculanlah di antara orang-orang kulit putih itu petualang-petualang yang memancing di air keruh, mempergunakan kesempatan dalam kesempitan. Mereka kini tidak hanya menyelundupkan candu, melainan juga menyelundupkan senjata! Senjata api yang amat dibutuhkan kedua belah pihak, baik pemerintah Mancu untuk membasmi pemberontak maupun pihak pemberontak itu sendiri. Dan tentu saja senjata-senjata itu dijual dengan mahal sekali, beberapa kali lipat harga belinya dari pabrik senjata di barat!
Orang-orang kulit putih menyebar mata-mata yang pandai, yang tugasnya untuk mengobarkan perang saudara, untuk memperbesar pertentangan di samping meneliti keadaan. Maka terjadilah perang sembunyi antara mata-mata ketiga pihak, yaitu para mata-mata orang kulit putih yang tidak selalu terdiri dari orang kulit putih, melainkan bayak pula mata-mata bangsa pribumi yang telah dapat dibeli oleh orang kulit putih, kemudian mata-mata pemberontak Tai Peng dan mata-mata pemerintah Mancu sendiri. Biarpun kini pasukan Tai Peng tetap bertahan di Nan-king dan daerahnya di selatan dan tidak pernah dapat menyerbu sampai lewat tapal batas, namun pertempuran masih terus menerus terjadi antara pasukan pemeritah maupun pasukan pemberontak. Yang celaka adalah dusun-dusun yang dilanda perang. Setiap dusun yang dimasuki pasukan, baik pasukan pemerintah maupun pasukan pemberontak,
Tentu terjadi korban perampokan, pembakaran, pembunuhan dan perkosaan. Pasukan pemerintah mengamuk di dusun-dusun dengan dalih melakukan pembersihan dan menuduh penghuni dusun sebagai anggauta pemberontak. Adapun pasukan pemberontak mengacau dusun-dusun itu karena memang hendak melampiaskan kebuasan mereka. Pada suatu senja, sekelompok pengungsi lari meninggalkan perkampungan mereka karena tempat itu dilanda perang antara sekelompok pasukan pemberontak Tai Peng melawan pasukan pemerintah yang meronda. Para penghuni dusun itu menjadi panik dan merekapun berhamburan melarikan diri megungsi, tidak sempat lagi membawa barang-barang berharga karena kalau keadaan sudah seperti itu, yang teringat hanyalah menyelamatkan nyawa.
Di antara kurang lebih tiga puluh orang itu terdapat seorang wanita yang amat menarik perhatan. Pakaiannya biasa seperti pakaian para wanita petani lainnya, sederhana sekali. Akan tetapi yang membuat ia nampak aneh dan menonjol adalah warna rambut dan matanya. Rambutnya kuning keemasan dan matanya berwarna biru! Kulit tubuhnya, walaupun banyak terbakar sinar matahari seperti wanita petani lainnya yang berada dalam rombongan pengungsi itu masih nampak putih sekali. Jelaslah bahwa ia seorang wanita kulit putih yang tentu saja amat berbeda dari para wanita petani dalam kelompok itu. Wanita itu, yang usianya tiga puluh tahun lebih, nampak menggandeng seorang anak laki-laki berusia kurang lebih tiga belas tahun.
Anak laki-laki yang rambutnya hitam kulitnya kekuningan seperti anak-anak biasa, akan tetapi sepasang mata anak inipun biru, dan bentuk wajahnya tampan sekali. Siapakah wanita kulit putih ini? Ataukah ia seorang bule? Bukan, ia bukan bule, melainkan seorang kulit putih aseli. Namanya adalah Sheila. Belasan tahun yang lalu, sebelum Perang Madat terjadi, Sheila adalah puteri tunggal dari opsir Hellway, seorang opsir pembantu Kapten Elliot yang tinggal di Kanton. Ketika terjadi pemberontakan Perang Madat, dalam usahanya untuk melarikan diri bersama keluarganya, opsir Hellway dan keluarganya tewas, kecuali Sheila. Sheila dilarikan pemberontak dan nyaris diperkosa, ketika muncul seorang pendekar bernama Gan Seng Bu, Sute dari Ong Siu Coan yang kini menjadi raja kaum Tai Peng, dan pendekar ini menolongnya.
Akhirnya, terjadilah jalinan cinta kasih antara Sheila dan pendekar Gan Seng Bu ini. Mereka lalu menikah dan hidup di antara para pendekar yang memberontak terhadap kerajaan Mancu, hidup sderhana di antara penduduk dusun yang menjadi petani. Karena amat mencinta suaminya, Sheila rela merobah hidupnya, dari puteri opsir yang biasanya hidup mewah, dihormati dan dimanja, kini hidup sederhana. Setelah kandungannya terlahir, ia memberi nama Gan Han Le atau panggilannya sehari-hari menurut lidah Inggrisnya, Henry. Dengan penuh cinta kasih, Sheila merawat dan mendidik puteranya seorang diri saja. Sudah kerap kali datang lamaran dari bermacam pria, ada penduduk dusun, ada pula teman seperjuangan suaminya, pendekar-pendekar perkasa.
Namun semua pinangan ditolak dengan lembut oleh Sheila. Karena Gan Han Le atau Henry merupakan seorang anak laki- laki yang manis, banyak orang menyukainya, bahkan teman-teman seperjuangan mendiang Gan Seng Bu ada yang mengajarnya dengan ilmu silat. Kemudian, ketika Han Le berusia tiga belas tahun, dusun itupun dilanda pertempuran dan terpaksa Sheila mengajak puteranya untuk lari mengungsi bersama para penghuni lain. Kelompok mereka sejumlah tiga puluhan orang masuk keluar hutan dan naik turun gunung, dan pada senja hari itu, kelompok mereka yang kelelahan tiba di tepi sebuah hutan. Mereka bersepakat untuk memasuki hutan itu dan bersembunyi di situ sambil melewatkan malam melepaskan lelah untuk melanjutkan pelarian mereka besok pagi.
Akan tetapi dapat dibayangkan betapa kaget rasa hati mereka ketika tiba-tiba terdengar sorak sorai dan dari dalam hutan itu bermunculan belasan orang laki-laki yang nampak buas-buas. Mereka mengenakan pakaian seragam dan memegang golok di tangan, dan melihat pakaian mereka, para pengungsi itu menggigil ketakutan karena tahu bahwa mereka adalah sekelompok pasukan pemberontak Tai Peng.! Mereka sudah sering mendengar akan kekejaman pasukan ini, maka tentu saja para pengungsi itu ketakutan dan mereka berserabutan melarikan diri. Akan tetapi, gerombolan pasukan itu tertawa dan berteriak-teriak, dan dengan gerakan cepat mereka lari mengepung sehingga kelompok pengungsi itu terkepung dan tidak dapat melarikan diri lagi, kecuali bergerombol dengan muka pucat dan tubuh menggigil. Sambil berteriak-teriak bagaikan segerombolan iblis atau binatang buas, belasan orang pasukan Tai Peng lalu menyerbu.
Golok mereka berkelebatan dibarengi suara teriakan dan ketawa mereka dan berjatuhanlah beberapa orang laki-laki, wanita tua dan kanak-kanak di antara para pengungsi. Tentu saja keadaan menjadi geger, para pengungsi menjerit-jerit dibarengi suara ketawa orang-orang kejam itu. Tentu saja mereka hendak melakukan pesta pora seperti biasa, merampok barang bawaan para pengungsi, membunuhi pengungsi laki-laki, wanita tua dan kanak-kanak, menawan dan memperkosa wanita-wanita mudanya. Segera Sheila menjadi pusat perhatian dan perebutan mereka. melihat seorang wanita berambut pirang bermata biru yang demikian cantiknya, bagaikan segerombolan harimau melihat sekor domba muda, mereka itu menyerang dan ingin menubruk. Akan tetapi terdengar bentakan nyaring.
"Mundur semua! Yang ini untukku seorang, ha-ha-ha!" dan pemimpin gerombolan itu seorang laki-laki berusia empat puluhan tahun yang bermuka hitam penuh brewok, meloncat maju. Anak buahnya tidak berani membantah dan mereka melanjutkan pembantaian mereka sambil bersorak-sorak. Sementara itu si brewok yang kagum melihat kecantikan Sheila, sudah menghampiri dengan muka menyeringai dan tiba-tiba saja dia menubruk wanita itu dengan kedua lengan dikembangkan seperti seekor biruang yang menyerang. Sheila merasa ngeri sekali dan berusaha mengelak dengan loncatan kesamping, namun tangan kanan orang itu masih berhasil menangkap tepi bajunya.
"Breetttt...!" Baju itupun robek dan terbukalah bagian dadanya. Melihat bukit dada yang membusung itu, si komandan pasukan Tai Peng terbelalak kagum dan dia menelan ludah yang masih segar.
"Ha-ha-ha-ha, cantik... cantik...!" kata si brewok itu yang melangkah maju menghampiri. Sheila mundur-mundur dengan muka pucat.
"Jangan ganggu Ibuku!" Tiba-tiba Han Le yang masih kecil, baru berusia tiga belas tahun itu, meloncat ke depan dan menggunakan kedua tangannya untuk mendorong perut si brewok, menghalanginya mendekati Ibunya.
"Minggir kau, setan cilik!" Si brewok membentak dan sekali dia menampar, pundak anak itu terpukul membuat dia terpelanting jatuh.
"Henry...!" Sheila menjerit. Akan tetapi Han Le bangkit lagi dan menyerang si brewok dengan marah. biarpun masih kecil, dia pernah belajar silat dan tubuhnya kuat, semangatnya juga besar apalagi melihat Ibunya teranvam. Namun, seorang anak berusia tiga bels tahun, mana mungkin dapat melawan komandan pasukan itu yang kuat dan pandai ilmu silat? Si Brewok yang marah itu mengelebatkan goloknya. Si kecil Han Le berusaha mengelak, namun kalah cepat dan robohlah dia dengan berlumuran darah karena pahanya kesabet golok sehingga celana, kulit dan dagingnya robek.
"Henry...!" Sheila menjerit dan menubruk puteranya. Akan tetapi tiba-tiba lengannya ditangkap orang dan tubuhnya sudah dipeluk ketat oleh si brewok yang tertawa bergelak. Sheila meronta ketika komandan itu hendak memaksanya menerima ciuman mulut yang lebar dan basah.
"Manusia jahat!" tiba-tiba terdengar bentakan dan tiba-tiba si brewok merasa betapa kedua lengannya yang memeluk tubuh hangat wanita kulit putih itu menjadi lemas, kemudian diapun terbanting roboh oleh sebuah tendangan.
Komandan brewok terkejut dan marah bukan main melihat ada orang berani menyerangnya dan melepaskan wanita itu. Dia cepat bergulingan lalu memandang dan matanya terbelalak ngeri melihat betapa penyerangnya tadi adalah seorang laki-laki bertubuh jangkung yang mukanya seperti setan yang amat mengerikan! Muka itu buruk sekali! Kulit muka itu pletat-pletot tidak karuan lagi bentuknya, Hidungnya menyerong ke samping, mulutnya juga perot, matanya besar sebelah karena yang sebuah seperti pernah terobek, kedua telinganyapun mengeriput kecil. Pendeknya, muka itu menyeramkan sekali, muka yang biasa digambarkan sebagai setan dan iblis dalam dongeng kanak-kanak! Bukan hanya mukanya yang buruk, juga bentuk tubuhnya agak bongkok, jalannya pincang dan lengan kirinya bengkok. Kini laki-laki itu menghampiri komandan brewok.
"Manusia jahat!" kembali terdengar suaranya. Komandan brewok itu cepat meloncat berdiri dan goloknya dibacokkan ke arah kepala orang itu. Si muka buruk itu tidak mengelak jauh, hanya miringkan kepala dan golok dengan kekuatan penuh menyambar ke arah lehernya! Si brewok menyeringai girang karena goloknya tentu akan memenggal leher si muka buruk itu.
"Takkk!" golok itu tepat mengenai leher, akan tetapi mental kembali dan pada saat si brewok terbelalak kaget, tiba-tiba si muka buruk menggerakkan tangan kiri tangan terbuka, menyambar ke arah dada lawan.
"Trrrakkkk...!" Tubuh si brewok terpelanting keras, dan dia roboh tak mampu bangkit kembali karena nyawanya sudah melayang ketika jari-jari tangan yang amat kuat itu membuat semua tulang iganya patah-patah dan jantungnya rontok!
Kini si muka buruk itu begerak ke sana-sini, mencegah gerombolan orang Tai Peng yang melakukan pembunuhan lebih lanjut dan ke manapun juga tubuhnya bergerak dan tangannya menyambar, tentu ada anggauta pasukan yang roboh. Demikian cepatnya dia bergerak, tidak perduli akan serangan golok para perajurit. Satu demi satu mereka roboh dan akhirnya belasan orang itu tewas semua terkena tamparan tangan si muka buruk yag luar biasa lihainya. Para pengungsi memandang dengan mata terbelalak, ada pula yang menangisi suami atau anak yang telah tewas dibacok pasukan Tai Peng tadi. Setelah semua lawan roboh dan tewas, si muka buruk lalu membalikkan tubuhnya hedak pergi meninggalkan tempat itu tanpa bicara apapun. Akan tetapi tiba- tiba Sheila berlari menghampiri dan menjatuhkan diri berlutut di depannya.
"Taihiap, kasikanilah kami... tolonglah anakku yang terluka parah ini..." Di antara keremangan cuaca senja, si muka buruk memandang wajah Sheila dan dia nampak terkejut sekali, sampai melangkah mundur dua kali.
Kemudian dia menghampiri Han Le yang roboh pingsan. Melihat luka dipaha anak itu, dia cepat menekan jalan darah untuk menghentikan darah yang mengucur keluar, kemudian tanpa banyak cakap dia memanggul tubuh Han Le ke atas pundaknya, lalu melangkah pergi. Sheila bergegas mengikutinya. Para pengungsi lain lalu mengangkut mereka yang tewas dan terluka, lalu pergi memasuki hutan yang mulai gelap. Dua orang itu berkelebat bagaikan setan saja cepatnya, tahu-tahu mereka telah berada di tepi hutan di mana nampak belasan orang anggauta pasukan Tai Peng berserakan. Dua orang itu berdiri saling pandang dan nampaknya terkejut, apalagi melihat bahwa semua orang itu tewas tanpa ada tanda luka senjata tajam. Mereka lalu cepat menghampiri dan memeriksa mayat-mayat itu.
"Hemm, bekas tangan seorang yanglihai, Sute," kata orang yang mukanya merah dan bertubuh pendek besar, berusia kurang lebih empat puluh tahun dan mengenakan pakaian seorang ahli silat.
"Benar, Suheng. Akan tetapi lihat, dia itu agaknya belum tewas," kata orang kedua yang sebaya, tubuhnya tinggi kurus dan mukanya pucat. keduanya cepat mengampiri perajurit Tai Peng yang nampaknya belum tewas seperti yang lain, masih menggerak-gerakkan kaki tangannya. Keduanya berlutut dan si muka merah lalu menotok beberapa jalan darah.
"Katakan, siapa yang melakukan pembunuhan ini?" tanya si muka pucat. Karena totokan itu agaknya perajurit yang sudah sekarat tadi mampu mengerahkan tenaga dan mengeluarkan beberapa potong kata yang terputus-putus,
"Muka... setan... pengungsi..." Dia menuding ke arah hutan dan terkulai, tewas. Bagaikan kilat menyambar, kedua orang itu lalu berlompatan memasuki hutan yang sudah mulai gelap. Dua orang ini bukan orang sembarangan, menjadi pembantu-pembantu Ong Siu Coan dan merupakan tokoh-tokoh di antara para perwira pasukan Tai Peng. Mereka adalah kakak beradik seperguruan yang dikenal dengan julukan Tung-hai Siang-liong (sepasang Naga Lautan Timur). Berbeda dengan para pendekar seperti Tan Ci Kong dan yang lain-lain, biarpun tadinya membantu gerakan Tai Peng menyerbu dan bahkan menjatuhkan banyak kota, akan tetapi kemudian para pendekar itu mengundurkan diri dan meninggalkan Tai Peng melihat sepak terjang Ong Siu Coan dan pasukannya yang menyeleweng ke jalan sesat,
Masih banyak pedekar dan orang pandai yang tetap menjadi pembantu-pembantu setia dari Ong Siu Coan. Mereka adalah orang-orang yang berambisi memperoleh kedudukan tinggi, dan di antara mereka, termasuk Tung-hai Siang-liong. Mereka adalah dua orang yang memiliki ilmu silat campuran antara aliran Siauw-Lim-Pai dan Kong-thong-pai. Keduanya terkenal dengan Ilmu Pedang Khong-thong Kiam-sut yang cepat, dan memiliki dasar tenaga sinkang aliran Siauw-Lim-Pai. Karena kepandaian mereka yang tinggi, maka Ong Siu Coan mengangkat mereka menjadi pemimpin mata-mata yang bergerak di daerah perbatasan dan jasa mereka sudah banyak. Tidak mengherankan kalau kini mereka cepat dapat mengetahui hancur dan tewasnya pasukan kecil Tai Peng yang berjumlah empat belas orang itu.
Mudah bagi mereka menemukan sekelompok pengungsi yang berada di tengah hutan. Para pengungsi malam-malam itu mengubur jenazah-jenazah dan suasana di sekitar api unggun itu muram dan menyedihkan karena mereka berkabung. Banyak wanita yang menangis. Akan tetapi Tung-hai Siang-liong tidak perduli. Mereka muncul di dekat api unggun seperti setan dan si muka merah telah menyambar tengkuk seorang pengungsi pria, mengangkatnya tinggi-tinggi. Semua orang menjadi panik, terdengar jerit anak-anak dan para wanita yang masih belum kehilangan rasa takut dan ketegangan hati mereka sore tadi.
"Hayo katakan, siapa yang telah membunuh para perajurit itu? Di mana adanya si muka buruk?" bentak si muka merah. Pengungsi yang dicengkeram leher bajunya dan diangkat tinggi-tinggi itu menggigil ketakutan.
"Am... ampun... saya... saya tidak mengenalnya. Dia muncul... dan dia membunuhi para perajurit... kemudian bersama wanita kulit putih dan anaknya pergi ke barat sana..."
"Brukkk!" Si muka merah membanting tubuh pengungsi itu. Tubuh itu terbanting dan terguling ke dalam api unggun. Tentu saja dia berteriak-teriak kesakitan dan kepanasan. Dua orang itu sudah berkelebat lenyap dan kini para pengungsi baru berani menolong pengungsi yang kebakar pakaiannya itu sehingga dia dapat diselamatkan dari mati terbakar.
Sementara itu, si muka buruk yang bertubuh jangkung itu memanggul tubuh Han Le yang masih pingsan, melangkah menuju ke arah barat. Sheila mengikutinya dengan wajah tegang dan gelisah melihat betapa orang aneh yang berilmu tinggi itu tidak berkata apa-apa atau berbuat apa-apa terhadap puteranya yang masih terkulai di atas pundak orang itu. Sheila adalah seorang wanita kulit putih yang berhati tabah sekali. Sejak gadis, ia telah mengalami banyak hal yang hebat, menghadapi ancaman-ancaman bahaya dan hidup di samping suaminya yang menjadi pejuang. Akan tetapi, melihat puteranya dalam bahaya, ia merasa takut bukan main dan seluruh tubuhnya terasa lemas, kedua kakinya hampir tak dapat dipakai berjalan karena ia membayangkan bagaimana kalau sampai puteranya itu, satu-satunya orang yang kini dimilikinya di dunia ini, tewas!
"Taihiap... Taihiap tunggulah dulu..." Akhirnya, tidak tahan melihat orang aneh itu diam saja, Sheila berkata dengan suara memohon. Laki-laki jangkung itu menghentikan langkahnya yang terpincang-pincang. Agaknya baru sekarang dia tahu atau ingat bahwa Ibu anak yang dipanggulnya itu sejak tadi mengikutinya. Bulan sudah mencul dan sinar bulan menimpa muka yang buruk itu. Sepasang mata yang besar sebelah itu mencorong. Sheila menahan rasa seramnya melihat wajah itu dan iapun menjatuhkan diri berlutut di depan kaki orang yang mukanya seperti setan itu.
"Taihiap... tolonglah anakku... sembuhkanlah dia, aku khawatir sekali... sejak tadi dia diam saja..." Sheila menahan isaknya. Ingin ia menjerit menangis saking gelisah hatinya melihat puteranya.
"Hemmm..." laki-laki muka buruk itu kini duduk di atas batu dan menurunkan tubuh Han Le dari atas pundaknya, mulai memeriksa. Tentu saja sejak tadi diapun tahu bahwa anak itu hanya pingsan dan tidak berbahaya keadaannya. Akan tetapi kini dia merasa kasihan melihat Sheila dan diapun mulai mengurut beberapa jalan darah di tubuh anak itu. Dan diapun terkejut dan girang karena begitu mengurut-urut, dia mendapat kenyataan bahwa anak ini memiliki tulang yang baik sekali, tubuhnya memenuhi syarat untuk menjadi seorang calon pendekar! Dia memberi obat bubuk pada luka di paha itu, dan membalutnya dengan robekan kain putih yang bersih. Setelah menotok beberapa jalan darah, Han Le mengeluh, membuka matanya.
"Ibuuu..." keluhnya.
"Henry, anakku... Sheila cepat menghampiri dengan girang bukan main. Pada saat itu, terdengar bentakan nyaring dan ada angin pukulan menyambar ke arah mereka. Si muka buruk cepat mendorong tubuh Sheila dan Han Le yang sedang berangkulan itu sehingga Ibu dan anak itu terlempar dan terguling-guling, sedangkan si muka buruk sediri sudah meloncat ke samping.
"Darrr... Terdengar suara keras dan batu yang diduduki si muka buruk itupun pecah berantakan terkena hantaman tangan seorang laki-laki muka merah dan seorang laki-laki muka pucat. Dapat dibayangkan betapa lihainya dua orang mata-mata pembantu Ong Siu Coan ini yang sekali pukul dapat menghancurkan batu besar! Kalau pukulan mereka tadi mengenai tubuh, dapat dibayangkan betapa hebat akibatnya, mungkin kini tubuh si muka buruk, Sheila dan puteranya sudah hancur dan tewas!
Kini si muka buruk sudah berdiri dengan kedua kaki terpentang lebar, menghadapi dua orang itu. Setelah dia tidak melangkah dan tidak nampak pincangnya, dan cuaca yang remang-remang agak menyembunyikan keburukan wajahnya, si muka buruk nampak gagah perkasa ketika berdiri tegak dengan kaki terpentang menghadapi lawan itu. Mereka saling pandang, seperti ayam aduan tengah berlaga. Dua orang tokoh Tai Peng itu memandang penuh perhatian dan diam-diam mereka merasa heran sekali. Melihat betapa si muka buruk tadi mampu menghindar dari serangan mereka, jelaslah bahwa dia seorang yang berilmu. Akan tetapi mengapa mereka tidak mengenal orang ini? Mereka sudah biasa malang melintang di dunia persilatan, namun belum pernah mereka melihat, bahkan mendengar tentang tokoh yang wajahnya seperti setan ini.
"Engkaukah yang telah membunuh empat belas orang tentara Tai Peng di luar hutan itu?" si muka pucat bertaya, suaranya dingin dan pandang matanya penuh ancaman. karena mukanya yang pucat dan putih, dia dijuluki Tung-hai Pek-liong (Naga Putih Laut Timur), sedangkan kawannya yang menjadi Suhengnya itu dijuluki Ang-liong (Naga Merah) karena mukanya yang kemerahan.
"Benar, akulah yang melakukannya. Kiranya Tung-hai Siang-liong sekarang juga menjadi anggauta perampok-perampok Tai-Peng!" jawab si muka buruk. Dua orang itu terkejut dan si muka merah melangkah maju untuk memandang lebih tajam, namun tetap saja dia tidak pernah bertemu dengan orang ini dan tak pernah mendengar tokoh kang-ouw dengan muka seperti ini.
"Kiranya engkau telah mengenal kami. Siapakah engkau?"
"Sebut saja aku Bu Beng Kwi (Setan Tanpa Nama), aku tidak terkenal seperti kalian, akan tetapi juga tidak sesat seperti kalian yang membantu pasukan pemberontak."
"Bu Beng Kwi, manusia sombong! Tai Peng adalah balatentara yang akan membebaskan rakyat dari cengkeraman penjajah Mancu! Tai Peng adalah pasukan para pejuang yang gagah perkasa, patriot-patriot yang mulia..."
"Hemm, sudah kubuktikan kegagahan mereka ketika mereka tadi merampok, membunuh dan mengganggu para pengungsi! Tai Peng telah diselewengkan, menjadi pasukan ganas yang jahat, dipimpin oleh Ong Siu Coan yang miring otaknya."
"Keparat! Apakah engkau mata-mata pemerintah, penjilat Bangsa Mancu?" bentak si muka putih.
"Ataukah barangkali engkau mata-mata orang kulit putih" tanya si muka merah sambil melirik ke arah Sheila.
(Lanjut ke Jilid 06)
Pemberontakan Taipeng (Seriall 02 - Pedang Naga Kemala)
Karya : Asmaraman S. Kho Ping Hoo
Jilid 06
"Aku tidak membantu siapa juga kecuali mereka yang lemah tertindas dan menantang mereka, yang jahat, siapapun juga adanya mereka."
"Keparat, orang macam setan ini masih berlagak menjadi pendekar! Suheng, tak perlu banyak cakap lagi, dia telah membunuh belasan orang perajurit kita, dia harus dibasmi!" kata Tung-hai Pek-liong. Mereka mencabut pedang dan menghampiri Bu Beng Kwi dari kanan dan kiri. Si muka setan itu berkata, suaranya lantang dan penuh wibawa,
"Tung-hai Siang-liong, aku tidak mau bermusuhan dengan siapapun juga dan di antara kita tidak terdapat permusuhan. Kuperingatkan kepada kalian, mundurlah dan jangan menggangu kami sebelum terlambat."
"Keparat Bu Beng Kwi, siapa takut kepada setan tanpa nama macam engkau?" bentak si muka merah dan diapun sudah menyerang dengan pedangnya, disusul Sutenya yang juga menyerang dengan tusukan pedang ke arah dada, hampir bersamaan dengan datangnya bacokan pedang si muka merah ke arah leher Bu Beng Kwi. Namun, hanya nampak bayangan berkelebat dan dua serangan itu tidak mengenai sasaran. Tung-hai Siang-liong terkejut dan cepat membalikkan tubuhnya karena lawan itu tahu-tahu telah berkelebat ke belakang mereka. Dan merekapun menyerang lagi dengan sepenuh tenaga karena merasa penasaran. Bu Beng Kwi membiarkan mereka berdua menyerang sampai belasan jurus, akan tetapi kedua pedang yang biasanya amat lihai dan sukar ditemukan tandingannya itu, kini seperti permainan kanak-kanak saja layaknya bagi si muka setan itu. Dia hanya meloncat dan menyusup ke sana-sini, namun kedua pedang itu sama sekali tidak pernah dapat menyentuhnya.
"Tung-hai Siang-liong, sekali lagi dan untuk akhir kalinya kuperingatkan kalian. Pergilah dan jangan ganggu aku sebelum terlambat!" Akan tetapi, dua orang itu tidak mau mendengarkan kata-katanya dan mereka menyerang terus, lebih ganas lagi.
"Omitohud... ampunkan aku, terpaksa aku melawan..." terdengar Bu Beng Kwi mengeluh dan tiba-tiba kedua lengannya dipentang dan dia menyerbu ke depan, menyambut dua orang lawan yang menyerangnya dengan pedang mereka itu. Terdengar suara keras, dua batang pedang itu terpental, bahkan sebatang di antaranya patah-patah disusul terlemparnya tubuh Tung-hai Siang-liong sampai jauh ke belakang. Mereka terbanting dan tidak bangkit kembali! Bu Beng Kwi tidak memperdulikan lagi dua orang bekas musuh itu, melainkan menghadapi Sheila dan anaknya. Wanita ini sudah menjatuhkan diri berlutut di depan penolongnya. Juga Han Le yang tadi nonton dengan mata terbelalak dan kagum, kini berlutut dan mengangkat mukanya memandang kepadanya. Sejenak Bu Beng Kwi menatap wajah anak itu, kemudian dia berkata,
"Anak baik, engkau berjodoh untuk menjadi muridku. Maukah engkau?"
"Tentu saja aku mau dan terima kasih banyak atas kebaikan locianpwe," jawab anak itu dan diam-diam si muka setan kagum melihat sikap sopan dan baik dari anak itu. seorang anak yang terdidik baik, pikirnya.
"Kalau begitu, engkau ikutlah denganku." berkata demikian, Bu Beng Kwi membalikkan tubuhnya dan terus melangkah pergi. Sampai beberapa lamanya dia melangkah, kemudian membalik dan menatap Ibu dan anak itu.
"Aku hanya mengajak anak ini untuk menjadi muridku." Mendengar ini Sheila dan Han Le kembali menjatuhkan diri berlutut.
"Taihiap, sampai matipun kami tidak dapat saling berpisah. Di dunia ini aku tidak mempunyai siapa-siapa lagi, bagaimana mungkin Henry anakku akan dipisahkan dariku? Taihiap, kalau anakku kau ambil murid, aku berterima kasih sekali akan tetapi biarkanlah aku ikut pula..." Wajah yang buruk sekali itu nampak semakin buruk ketika dia mengerutkan alisnya.
"Akan tetapi... aku tidak membutuhkanmu..."
"Aku mengerti, Taihiap. Akan tetapi biarlah aku berdekatan dengan anakku, aku tidak akan mengganggumu, aku bahkan akan bekerja apa saja, menjadi pembantu rumah tanggamu, mengerjakan semua pekerjaan rumah... tapi jangan pisahkan aku dari anakku karena hal itu berarti membunuhku..."
"Suhu, kalau benar Suhu ingin mengambil teecu sebagai murid, teecu baru mau kalau Ibu juga diperbolehkan ikut serta. Ibu tidak mempunyai keluarga lain dan teecu sampai matipun tidak tega untuk meninggalkan ia hidup seorang diri saja." kata pula Han Le dengan sikap yang tegas. Kembali sinar kekaguman terpancar keluar dari pandang mata Bu Beng Kwi. Seorang anak yang mencinta Ibunya, berbakti dan keras hati. diapun mengalihkan pandang matanya, menatap kepala berambut keemasan yang menunduk itu dan dia menarik napas panjang, wajahnya yang buruk itu tergores penuh penyesalan dan iba membayang di sinar matanya.
"Baiklah, asal engkau tahu saja bahwa aku adalah seorang yang hidup miskin dan mengasingkan diri dari dunia ramai. Akan tetapi, nyonya, perjalanan menuju ke tempat tinggalku terlampau jauh dan sulit kalau ditempuh dengan jalan kaki biasa. Karena itu maafkanlah kelancanganku!" Tiba-tiba saja Sheila dan Han Le merasa betapa tubuh mereka terangkat naik kemudian meluncur dengan amat cepatnya. Mula-mula, mereka terkejut bukan main dan terutama sekali Sheila yang merasa betapa tubuhnya dipanggul di pundak kanan orang itu. Melihat ke bawah, ternyata orang itu membawanya berlompatan jauh dan cepat sekali sehingga ia menjadi pening dan ngeri, cepat-cepat ia memejamkan kedua matanya. Akan tetapi Han Le yang mula-mula takut, kini tidak merasa takut lagi melihat dirinya dipanggul di pundak kiri. Dia malh membuka matanya lebar-lebar dan bersorak gembira.
"Wahhh, aku terbang! Suhu sungguh hebat, kelak harap ajarkan ilmu terbang ini kepada teecu!" Bu Beng Kwi memnggul tubuh Ibu dan anak itu dan kedua kakinya berlari amat cepatnya seperi terbang saja. Jurang- jurang diloncatinya dan dengan ilmu berlari cepat yang luar biasa ini, pada keesokan harinya tibalah dia di puncak sebuah bukit yang sunyi dan jauh dari dusun-dusun. Di puncak bukit itu, di antara pohon-pohon besar, nampak sebuah pondok sederhana terbuat dari kayu-kayu besar dengan kokoh kuat dan cukup luas, dikelilingi ladang yang penuh dengan tanaman sayur-mayur dan pohon-pohon buah. Bu Beng Kwi menurunkan Ibu dan anak itu dari pundaknya.
"Kita telah tiba di rumah." Ibu dan anak itu menggeliat karena tubuh mereka terasa penat-penat dan kaku setelah semalam suntuk dipanggul dan dibawa lari cepat. Akan tetapi Han Le sudah melupakan kelelahannya dan anak ini sudah berlari-lari di sekitar rumah itu, nampaknya gembira sekali. Di lain saat dia telah memanjat pohon buah per di mana bergantungan banyak buah yang sudah tua dan masak. Melihat ini,legalah hati Sheila dan wanita ini merasa bahwa ia dan puteranya kini berada di tempat aman, dan suasana di tempat itu tenang dan tenteram, juga indah sekali pemandangannya. Bu Beng Kwi memandang ke arah Han Le sambil tersenyum, kemudian dia menghadapi Sheila.
"Lihat, aku hidup di sini sendirian saja dan makan dari hasil ladang dan kebun. Bagaimana seorang seperti engkau dapat hidup di tempat seperti ini?" Sheila tersenyum, senyum yang manis sekali.
"Taihiap, aku adalah seorang wanita yang sudah banyak mengalami kehidupan yang serba pahit dan penuh dengan kekerasan dan kesulitan. Tempat ini indah, rumahmu juga cukup besar. Apalagi dengan kebun dan ladang sedemikian luasnya, apalagi yang dikehendaki? Andaikata tempat tinggalmu tidak sebaik ini sekalipun, aku akan hidup berbahagia." Bu Beng Kwi menundukkan mukanya, tidak berani menentang pandang mata yang kebiruan dan jernih itu. Teringat dia betapa tadi tubuh yang berkulit lembut, halus dan hangat itu dipanggulnya, betapa bau badan wanita itu semalam membuat dia harus mengerahkan tenaga batin untuk melawan rangsangan yang sudah bertahun-tahun tak pernah dirasakannya.
"Engkau... engkau seorang wanita yang tabah, dan puteramu adalah seorang anak yang baik, berbakti, mencinta Ibunya dan gagah perkasa."
"Tentu saja, Taihiap, karena mendiang Ayahnya juga seorang pendekar gagah perkasa, seorang pejuang yang berjiwa pahlawan," kata Sheila dengan suara mengandung kebanggaan ketika dia teringat kepada mendiang suaminya, yaitu pendekar Gan Seng Bu. Mendengar ini, Bu Beng Kwi memundukkan mukanya lebih dalam, lalu memutar tubuh membelakangi Sheila, agaknya hendak pergi, akan tetapi kakinya ditahannya dan dia berkata dengan suara lirih,
"Di dalam pondok terdapat dua buah kamar, kamar depan adalah kamarku, dan kamar belakang yang besar boleh kaupakai bersama puteramu. Di belakang terdapat dapur dan perabotnya yang lengkap. kau dan puteramu tentu sudah lapar, kalau hendak membuat makanan, di gudang dekat dapur terdapat semua bahan keperluannya."
"Terima kasih, Taihiap. Jangan khawatir, aku akan mengerjakan itu semua, dan aku akan membersihkan pondok ini, kelihatan agak tidak terawat," kata nyonya itu sambil menyambar sebuah sapu yang bersandar pada dinding tembok depan.
"Oh.. ya, siapa nama puteramu itu?" Tiba-tiba Bu Beng Kwi yang sudah melangkah masuk ke dalam rumah itu tiba-tiba bertanya tanpa menengok, hanya menahan langkahnya.
"Namanya Han Le, Taihiap, aku sendiri menyebutnya Henry,"
"Han Le, nama yang bagus!" kata Bu Beng Kwi sambil melanjutkan langkahnya masuk ke dalam rumahnya.
"Shenya Gan, Taihiap!" Sheila menambahkan.
"Hemmm...!" hanya itulah jawaban Bu Beng Kwi dan dia sudah menghilang ke dalam kamarnya. Demikianlah, mulai hari itu, Sheila dan Han Le tinggal di dalam rumah itu, dan Sheila segera bekerja keras untuk membersihkan rumah itu, mencuci, memasak dan semua pekerjaan rumah dikerjakannya dengan baik.
Rumah itu nampak bersih semenjak Sheila tinggal di situ, dan makin lama Sheila semakin betah tinggal di situ karena Bu Beng Kwi jarang sekali mengajak dia bicara, bahkan jarang bertemu dengannya. pendekar yang bermuka buruk itu hanya keluar untuk melatih ilmu silat kepada Han Le, dan tidak pernah mengganggu Sheila, bahkan seolah-olah Bu Beng Kwi menjauhkan diri dari Sheila, seperti orang yang takut! Hal ini membuat Sheila menjadi heran bukan main. setelah berbulan-bulan tinggal di rumah itu, biarpun berada di bawah satu atap, namun ia jarang sekali dapat bertemu tuan rumah. Bahkan kalau ia sengaja menemuinya untuk melaporkan bahwa makanan siang atau malam sudah sedia, Bu Beng Kwi nampak seperti orang gugup dan membuang muka! Sheila merasa amat kasihan kepada pria itu.
Apakah pria itu malu kepadanya karena mukanya yang demikian buruk? Namun, betapapun buruk wajahnya, seperti setan, orang itu jelas memiliki watak yang amat baik, pikir janda ini. Belum pernah selama hidupnya dikenalnya seorang pria seperti itu baik dan sopannya. dan selain memberi latihan-latihan dasar ilmu silat tinggi kepada Han Le, juga Bu Beng Kwi melatih ilmu membaca dan menulis kepada anak itu, di samping gemblengan moral melalui nasihat-nasihat tentang kehidupan, tentang baik dan buruk dan tentang sifat-sifat seorang pendekar yang gagah perkasa dan menjunjung tinggi kebenaran dan keadilan. Waktu luangnya setelah memberi latihan kepada Han Le, masih dipergunakannya untuk bekerja di ladang dan kebun-kebun dengan amat rajinnya. Setiap hari betapapun paginya Sheila bangun tidur untuk menyapu dan memasak air,
Ia selalu melihat bahwa tuan rumah telah bangun terlebih dulu, dan telah sibuk di ladang belakang rumah! Kadang-kadang Sheila merasa terharu sekali melihat kehidupan Bu Beng Kwi ini. Ada rahasia yang tersembunyi di balik wajah yang buruk itu, pikirnya, rahasia yang tentu amat menyedihkan sekali. Sinar mata yang kadang-kadang mencorong itu seringkali nampak demikian penuh kepedihan hati, Bahkan penuh penyesalan, demikian sayu dan tidak bercahaya lagi. dan agaknya Bu Beng Kwi menanam diri dalam kesibukan sehari-hari, agaknya hendak melupakan ssuatu. dan jelas sekali menjauhkan diri darinya, seolah-olah takut berhadapan dengan dirinya. Semua ini merupakan teka-teki yang amat menarik bagi Sheila, membangkitkan gairahnya untuk menyelidiki rahasia apa gerangan yang tersembunyi di balik wajah yang amat buruk itu.
Ia merasa telah diselamatkan nyawanya, juga nyawa puteranya, dari ancaman maut dan bahkan mungkin lebih mengerikan daripada maut. Bukan hanya sampai di situ ia berhutang budi, bahkan Bu Beng Kwi telah memberi kehidupan yang lebih cemerlang dan tenteram kepada ia dan puteranya. Mendidik Han Le dengan ilmu tinggi, kesusasteraan dan pendidikan rohani. Hal ini ia ketahui semua karena setelah malam tiba dan puteranya rebah tak jauh darinya di dalam kamar itu, ia selalu mengorek keterangan dari puteranya tentang semua pelajaran yang diterimanya dari Bu Beng Kwi. Bahkan dari anak itu ia menanyakan semua kata-kata yang diucapkan Bu Beng Kwi pada siang harinya, dan apa saja yang ditanyakan penolong itu kepada anaknya.
Dari Han Le ia mendengar bahwa Bu Beng Kwi pernah bertanya kepada Han Le tentang semua pengalaman Han Le dan Ibunya semenjak ditinggal mati Ayahnya. Tentu saja Han Le hanya mampu menceritakan apa yang dapat diingatnya saja, karena semenjak lahir dia sudah tidak lagi dapat melihat Ayahnya. Ada sesuatu yang sangat menarik dalam pribadi Bu Beng Kwi bagi Sheila. Wajah yang amat buruk itu, tubuh yang cacat itu, kini sama sekali tidak lagi mendatangkan rasa serem, takut atau jijik bagi Sheila, bahkan mendatangkan perasaan iba yang mendalam. Ia merasa kasihan dan juga penasaran mengapa seorang manusia yang memiliki budi pekerti demikian baiknya menerima hukuman dari Tuhan dengan tubuh yang sedemikian penuh cacat dan keburukan. Bukan itu saja, ia juga dapat merasakan betapa penolongnya itu hidup dengan batin menderita, entah apa dan mengapa.
Pada suatu malam terang bulan Sheila tak dapat tidur. Han Le sudah sejak tadi tidur nyenyak. Anak itu agaknya lelah sekali karena selain harus berlatih silat, juga anak itu oleh Ibunya diharuskan membantu pekerjaan Bu Beng Kwi di ladang, Sheila gelisah tak dapat tidur walaupun sudah sejak tadi ia rebah di atas pembaringannya. Sudah setahun ia tinggal di situ bersama puteranya, namun ia masih merasa asing terhadap Bu Beng Kwi. Selama setahun itu, hanya beberapa kali saja ia sempat berhadapan dengan penolongnya, lebih jarang lagi bercakap-cakap karena kalau ia memancing percakapan, selalu Bu Beng Kwi menghindar. bahkan untuk makan siang atau malam pun, Bu Beng Kwi minta kepada Han Le untuk mengantar makanan ke dalam kamarnya.
Mengapa dia selalu menjauhkan diri dariku? Apakah dia tidak suka kepadaku? Jangan-jangan dia membenci aku karena aku seorang wanita kulit putih! Pikiran ini terus menerus menganggu hati Sheila, membuatnya gelisah bukan main. Ia sudah berusaha sedapat mungkin untuk menyenangkan hati Bu Beng Kwi, membersihkan pondok itu sehingga menjadi tempat yang enak ditinggali, menanam bunga-bunga indah di depan rumah dan di luar jendela kamar Bu Beng Kwi, mencuci bersih pakaian-pakaian serba putih dari orang itu, dan membuat masakan yang selezat mungkin. Bahkan kini, dengan bantuan puteranya yang cekatan, ia berhasil menangkapi kelinci dan membuat peternakan kelinci sehingga ia mampu menghidangkan masakan daging kelinci yang sedap, bukan sekedar sayuran saja seperti sebelum ia dan puteranya datang ke situ.
Aih, apakah kesalahanku kepadanya? Sheila merasa nelangsa dan rasanya ingin ia menangis! Gila, mengapa pula menangis? Ia cepat menghapus dua titik air mata yang sudah berkumpul di sudut matanya dan untuk mengusir kekesalan hatinya, ia turun dari pembaringannya lalu menghampiri jendela. Dibukanya tirai jendela dan nampaklah sinar bulan purnama di luar kamarnya. Betapa indahnya bulan purnama. Hijau kekuningan dan nampak sejuk dan damai hening di luar. Ia menutup kembali tirai jendela dan menurutkan dorongan hatinya ia melangkah keluar, menutupkan kembali pintu kamar dengan hati-hati agar Han Le jangan sampai kaget dan terbangun.
Pedang Naga Kemala Eps 33 Pedang Naga Kemala Eps 5 Pedang Naga Kemala Eps 31