Ceritasilat Novel Online

Pedang Sinar Emas 33


Pedang Sinar Emas Karya Kho Ping Hoo Bagian 33




   Diam diam Siauw Yang yang tidak tidur itu merasa terharu akan tetapi juga gemas sekali. Cinta kasih yang diperlihatkan oleh Eng Kiat kepadanya hanya mendatangkan rasa jemu di dalam hatinya, ia teringat akan Pun Hui.

   Pemuda itu lain lagi. Memang halus dan sopan lahir batin, bukan berpura pura. Dan di dalam hatinya, ia selalu merasa kasihan kepada Pun Hui, sungguhpun ia sendiri tidak tahu apakah itu tanda hati cinta atau bukan.

   Akan tetapi kalau ia teringat akan Pun Hui yang menggeletak pingsan seorang din di atas pulau itu, hatinya gelisah sekali.

   Tung hai Sian jin juga tidak perduli kepadanya dan tidak pernah bicara dengan dia, bahkan memandangnya jarang. Kakek ini dengan cepatnya telah dapat menemukan sebuah gua besar dan gua ini mereka jadikan tempat tinggal untuk sementara waktu.

   Pernah terjadi pada suatu senja, Bong Eng Kiat pergi dari pulau itu. Siauw Yang tidak tahu ke mana perginya pemuda mi, sama sekali tidak menduga bahwa Eng Kiat telah berperahu, pergi ke pulau di mana ia dan ayahnya menawan Siauw Yang.

   Pemuda ini teringat akan Pun Hui yang belum tewas dan ia pergi ke sana dengan maksud membunuh pemuda itu. Hal mi tenjadi karena di dalam hatinya timbul perasaan cemburu yang besar terhadap Pun Hui dan ia takkan merasa puas sebelum membunuh pemuda sasterawan itu.

   Sebagaimana telah dituturkan di bagian depan, ia bertemu dengan Tek Hong dan cepat cepat melarikan din di dalam perahunya. Akan tetapi tentu saja ia tidak berani menuturkan penistiwa itu kepada Siauw Yang bahkan diam diam ia membeni tahu kepada ayahnya tentang pertempuran ini.

   "Ayah, kalau tidak lekas lekas adik Yang menjadi isteniku, aku khawatir kalau kalau Thian te Kiam ong Song Bun Sam dan puteranya akan menyusul ke mari."

   Ayahnya tersenyum. "Kau boleh memperisteri dia di sini juga siapa yang akan melarangmu?"

   "Mana dia mau, ayah?"

   "Anak bodoh. Biarpun di dalam hati ia mau atau tidak, seorang gadis tidak nanti mengangguk angguk menyatakan mau apabila hendak diperisteri orang. Penolakannya hanya untuk kepantasan saja. Sekali ia telah menjadi isterimu, tentu ia takkan banyak rewel lagi."

   "Mempergunakan kekerasan, ayah?"

   Tung hai Sian jin mengangguk angguk dan dari sikap ini saja sudah dapat diukur betapa buruknya watak Tung hai Sian jin yang di waktu mudanya juga merupakan seorang pemuda yang kurang baik.

   "Menggunakan kekerasan tentu. Kemudian, setelah ia dapat ditundukkan dan tidak banyak rewel lagi, barulah aku akan menemui Thian te Kiam ong dan minta dengan resmi lalu diada kau upacara resmi yang disaksikan oleh semua orang kang ouw."

   "Tidak! Tidak bisa, ayah! Aku tidak tega melakukan hal itu kepada adik Yang. Kalau lain gadis mungkin aku mau melakukan hal itu kepadanya, akan tetapi adik Yang aku ingin dia menjadi isteriku dengan rela. Aku ingin iapun mencinta aku sebagai suaminya, ayah!"

   "Bocah totol! Habis apa yang dapat kaulakukan?"

   "Ayah, pergilah menemui Thian te Kiam ong, nyatakan bahwa puterinya telah berada di dalam tawanan kita. Dengan sedikit ancaman ayah dapat memaksanya untuk menyerahkan puterinya kepada kita. Tentu ia tidak tega melihat puterinya berada dalam bahaya dan lebih suka melihat puterinya hidup sebagai isteriku yang tercinta daripada binasa. Ayah, kau bukanlah seorang sembarangan dan agaknya Thian te Kiam ong akan berpikir panjang, akan merasa bahwa menjadi besanmu bukanlah hal yang memalukan atau rendah. Ayah, tolonglah anakmu kali ini,dan bujuk atau ancamlah orang tua itu supaya dia tunduk dan suka menerima pinangan kita."

   Menghadapi anaknya yang merengek rengek ini, akhirnya Tung hai Sianjin kalah. Barkali kali ia menarik napas panjang.

   "Perempuan.... perempuan.... kau selalu mengacaukan keadaan! Baiklah, Eng Kiat, aku akan pergi menemui Thian te Kiam ong. Seandainya dia marah, ia kau kuhadapi ia dengan nekat, belum tenm akan kalah. Memang kata katamu bemi juga, dengan adanya Siauw Yang bersama kita, Thian te Kiam ong tentu tak berani menggangguku. Akan tetapi, kau ham berhati hati benar. Kalau kutinggalkan berdua dengan gadis im, keadaanmu amat berbahaya. Sekali saja ia dapat memegang senjata pedang, kau akan celaka, Eng Kiat! Kita hams akui bahwa kepandaiannya lihai sekali dan agaknya kau takkan dapat menang kalau bertanding pedang dengan dia."

   Eng Kiat mengangguk angguk.

   "Aku mengerti, ayah. Kalau tidak selihai itu dia, agaknya cintaku juga akan berkurang. Justru karena dia dapat menangkan kepandaianku maka aku makin kagum kepadanya. Aku sudah cukup berhati hati, ayah, dan pedang Kim kong kiam ini kau bawa sajalah, sekalian untuk diperlihatkan kepada Thian te Kiam ong sebagai bukti bahwa memang benar puterinya telah kita tawan. Dengan pedangku di tangan dan dia bertangan kosong, tak mungkin dia bisa memberontak."

   Maka berangkatlah Tung hai Sian jin untuk mencari Thian te Kiam ong Song Bun Sam, meninggalkan Siauw Yang dan Bong Eng Kiat berdua saja di atas pulau itu.

   Biarpun tidak diberi tahu perihal perginya Tung hai Sian jin, namun hati Siauw Yang menduga bahwa tentu kakek itu akan melakukan sesuatu yang menimbulkan tidak rasa enak di dalam hatinya.

   Apalagi ketika melihat betapa perahu itu dibawa pergi oleh Tung hai Sian jin, ia menjadi makin gelisah. Memang betul bahwa dengan perginya kakek itu, lebih besar harapannya untuk melepaskan diri dari Eng Kiat, akan tetapi andaikata ia dapat merobohkan pemuda mi, bagaimana ia dapat keluar dan pulau itu? Akhirnya Tung hai Sian jin akan datang kembali dan kalau melihat ia merobohkan puteranya, tentu kakek itu akan membalas dendam dan ia akan kalah! Gadis mi bingung sekali. Ke mana saja ia pergi, pemuda itu tidak mau berpisah dan sampingnya, dan untuk mencari siaaat dan kesempatan, terpaksa Siauw Yang berlaku kurang galak bahkan agak manis sehingga pemuda itu merasa terapung apung di sorga ke tujuh.

   Pada keesokan harinya, Eng Kiat mengajak Siauw Yang memancing ikan di tepi pantai. Udara jernih sekali dan andaikata yang di dekatnya itu bukan Eng Kiat, tentu Siauw Yang akan merasa gembira, karena ia memang seorang dara yang berwatak periang.

   "Eng Kiat, ke manakah perginya ayahmu?" tanyanya.

   Sebutan ini beberapa kali membuat Eng Kiat tidak puas. Berkali kali ia membujuk Siauw Yang supaya suka menyebut koko (Kanda) kepadanya akan tetapi gadis itu tidak sudi menurut, bahkan menjebikan bibir mengejek. Oleh karena itu, akhirnya ia menerima juga sebutan yang sederhana itu, yakni memanggil namanya langsung begitu saja.

   "Adik Yang, ayah pergi untuk menemui ayahmu."

   Siauw Yang terkejut, kemudian tersenyum. "Sama halnya dengan seekor kelinci menemui hanimau. Ayahmu takkan kembali dengan kepala masih menempel di lehernya."

   Eng Kiat tersenyum sabar. "Mungkin demikian kalau ayah pergi menemuinya dengan maksud buruk. Akan tetapi kali ini ayah pergi menemui ayahmu untuk merundingkan urusan antara kita."

   "Ada urusan apa antara kita selain bahwa kau dan ayahmu telah menggunakan kekerasan menawanku? Ayahku akan marah sekali dan...."

   "Bukan demikian, adikku yang manis. Ayahku akan mengajukan usul agar supaya kita menjadi jodoh yang cocok dan saling mencinta. Aku amat mencintaimu, adik Yang, dan dunia agaknya akan menjadi neraka kalau aku harus berpisah dari sampingmu!"

   "Cih! Tak tahu malu! Aku tidak sudi!"

   "Tak mungkin menolak kalau ayahmu sudah setuju, adikku sayang. Kita akan menjadi suami isteri yang hidup rukun sampai di hari tua, mempunyai anak anak dan menimang nimang cucu kita."

   "Cukup!" Tangan Siauw Yang menampar dan biarpun Eng Kiat mengelak, masih saja jari jari tangan Siauw Yang mengenai pipinya, menimbulkan suara "plak" dan pipi pemuda itu menjadi merah.

   "Aduh, panas panas enak bekas tanganmu!" kata Eng Kiat sambil mengelus elus pipinya dengan senyum di mulut. Melihat sikap Eng Kiat, tidak karuan rasa hati Siauw Yang. Ingin ia menangis keras untuk menyatakan kemendongkolan hatinya. Ia tidak bodoh untuk menyerang terus, karena kalau pemuda itu mencabut pedang, tentu ia takkan dapat melawannya, ia merasa terharu, geli, gemas, dan juga gelisah menghadapi pemuda yang nyata telah tergila gila kepadanya itu.

   "Eng Kiat, apakah betul betul kau mencintaiku?" tanyanya.

   "Aku bersumpah, disaksikan langit, bumi, dan laut bahwa aku mencintaimu setulus ikhlas hatiku, adik Yang."

   "Aku tidak butuh sumpahmu!" jawab Siauw Yang ketus, kemudian disambungnnya lagi dengan suara halus,

   "Dan apakah kau kasihan kepadaku?"

   Dengan suara sungguh, Eng Kiat m menjawab, "Kalau aku tidak berbelaskasihan kepadamu, apakah kaukira kau masih akan hidup sampai saat ini dan apakah kaukira aku akan dapat menahan nahan berahiku melihatmu yang cantik molek ini? Tidak, adikku sayang, aku tidak mau menyakitimu, tidak mau menyakiti hati ataupun tubuhmu."

   "Kalau kau berbelas kasihan, mengapa kau tidak membiarkan aku pergi? Eng Kiat, di sini aku merasa seperti seekor burung dalam sangkar. Bebaskanlah aku dan selamanya aku akan berterima kasih kepadamu."

   Mendengar kata kata ini, tiba tiba pemuda itu menangis. Siauw Yang menjadi terheran heran dan mengira bahwa pemuda ini memang tidak normal otaknya.

   "Siauw Yang"." ucapanmu ini lebih menyakitkan dari pada tusukan ujung pedang beracun.

   "Kau tahu aku cinta kepadamu, tergila gila kepada mu, ingin selama hidupku tak pernah berpisah lagi denganmu, bagaimana kau minta aku membebaskanmu? Adikku sayang, kaulah yang harus kasihan kepadaku"."

   "Cih, sebal aku mendengarmu!" setelah berkata demikian, Siauw Yang lalu berlari pergi meninggalkan Eng Kiat. Pemuda itu mengejarnya dan tidak mau terpisah jauh darinya.

   Siauw Yang memutar otaknya, memeras seluruh kecerdikannya. Bagaimana ia haruss bersikap? Bagaimana ia dapat melepaskan diri dari pemuda itu? Ia tahu bahwa Tung hai Sian jin hendak memaksa ayahnya menyetujui perjodohan itu, tentu dengan mengancam akan membunuhnya kalau ayahnya tidak menyetujui atau kalau ayahnya membunuh Tung hai Sian jin, tentu Eng Kiat yang tak dapat menahan nafsu berahinya akan melakukan paksaan kepadanya. Bagaimana baiknya? Menitik air mata di pipi gadis ini, makin dipikir sedihlah dia sehingga akhirnya ia menjatuhkan diri, duduk di atas rumput sambil menangis.

   "Adikku sayang, mengapa kau berduka? Jangan menangis, adik Yang, kau membikin hatiku perih," terdengar suara Eng Kiat di belakangnya. Menurutkan suara hatinya, ingin sekali Siauw Yang berdiri dan memukul pecah kepala pemuda ini. Akan tetapi ia tidak mau melakukan hal ini. Ia adalah seorang gadis yang tabah dan tenang, yang memiliki kecerdikan dan yang selain mempertimbangkan apa yang hendak dilakukannya, tidak semata mata terdorong oleh nafsu marah.

   Cepat ia menghapus air matanya dan berkata dengan suara pilu, "Eng Kiat, cintamu kepadaku palsu! Rasa belas kasihanmu juga pura pura saja. Kau amat kejam, membiarkan aku di pulau ini, jauh keramaian, jauh dari manusia manusia lain. Aku bisa menjadi gila kalau harus tinggal terus di sini tanpa hiburan."

   "Kau ingin hiburan? Maukah kau kalau aku bernyanyi untukmu? Adik Yang, aku banyak mempelajari nyanyian indah. Dengarlah aku bernyanyi untukmu!" Setelah berkata demikian, Eng Kiat mencabut pedangnya dan mempergunakan pedang itu diketok ketokkan pada sebuah batu karang untuk menimbulkan irama lagu, kemudian ia bernyanyi.

   PEMUDA ini memang sudah mempelajari kesusasteraan dan ia suka bernyanyi. Suaranya memang empuk dan merdu dan ia pandai sekali menyanyikan lagu lagu percintaan kuno,

   "Bulan purnama tersenyum cantik nian!
Kepada siapakah kautersenyum bulan?
Tentu kepada Sang Matahari Pujaan dan kekasih hati
(Lanjut ke Jilid 41)
Pedang Sinar Emas/Kim Kong Kiam (Serial Pedang Sinar Emas)
Karya : Asmaraman S. Kho Ping Hoo

   Jilid 41
Yang tak kunjung menampakkan diri.
Ah mengapa kau bermuram durja Bulan?
Gelap menyelubungi wajah indah rupawan
Mengapa gerangan? Karena matahari tak kunjung datang
Tiada nampak di malam petang.
Dengar Dewi Bidan Tersedu sedan
Wahai kekasih di mana engkau gerangan?

   Suara Eng Kiat begitu merdu, penuh perasaan sehingga terdengar memilukan.

   Tak terasa pula Siauw Yang menengadah ke atas, memandangi mega mega yang bergerak perlahan terbayanglah wajah Pun Hui di antara mega mega. Suara itu menyayat hatinya dan tak terasa pula kembali air matanya bertitik.

   "Kau menangis, adikku sayang? Kau lebih indah rupawan daripada bulan...." terdengar suara Eng Kiat yang menyadarkan gadis itu.

   Cepat cepat ia menghapuskan air matanya dan berkata, "Eng Kiat, kalau kau memang kasihan kepadaku, besok pagi bikinkanlah sebuah perahu agar kita dapat berperahu dan melupakan kesunyian di pulau ini. Aku ingin sekali berperahu, menangkap ikan di laut."

   "Tentu, adikku manis. Malam ini juga aku akan membuat perahu untukmu," kata Eng Kiat.

   Siauw Yang mandang tajam, khawatir kalau kalau pemuda itu akan dapat membaca pikirannya, akan tetapi pemuda itu tersenyum senyum saja dan agaknya tidak menyangka sesuatu. Legalah hati Siauw Yang.

   "Kau memang baik hati," katanya singkat. "Aku hendak tidur, kaubikinlah perahu itu."

   Padahal semalam itu Siauw Yang tak dapat tidur sama sekali. Pikirannya bekerja keras. Kalau sudah ada perahu, berarti ia menambahkan sebuah kemungkinan untuk melarikan diri, pikirnya. Andaikata aku tidak dapat merobohkannya dengan kekerasan, dan dia selalu menjagaku, kalau sewaktu waktu dia tertidur atau alpa, aku dapat melarikan diri dengan perahu itu, pikirnya.

   Eng Kiat ternyata memenuhi janji Semalam suntuk is bekerja dan pada keesokan harinya, setelah matahari naik tinggi, ia telah menyelesaikan perkerjaannva. Berkat tenaga lweekangnya yang tinggi dan pedangnya yang tajam, ia dapat membuat sebuah perahu kecil dari sebatang pohon!

   "Mana layamya?" tanya Siauw Yang yang menjenguk dan melihat hasil pekerjaan itu dengan wajah riang.

   "Di mana bisa mendapatkan layar di tempat mi?" tanya Eng Kiat menggaruk garuk kepala lalu menghapus peluh di dahinya.

   "Kau punya baju luar yang lebar dan tebal? Beri aku barang empat buah, akan kubuatkan layar untuk perahu ini!" kata Siauw Yang.

   Pemuda itu berlari ke dalam gua dan mengambil empat buah baju luamya yang tebal dan terbuat daripada kain mahal, ia menyerahkan baju itu kepada Siauw Yang sambil tersenyum.

   Siauw Yang tidak berlaku bodoh untuk melarikan din pada saat Eng Kiat mengambil baju, karena dengan dayung saja ia tak mungkin dapat mencapai tempat jauh, apalagi karena ia tidak tahu ke jurusan mara ia harus berperahu. Setelah menenima baju baju luar itu, ia lalu menyambung nyambungnya dan menjahitnya dengan pertolongan tusuk konde dan untuk benangnya ia mengambil dari pinggiran baju luar.

   Eng Kiat memandang kelakuan gadis itu sambil tensenyum senyum.
"Sayang kau membuatkan layar, alangkah senangnya kalau kau dan aku berada di rumah dan melihat kau menjahit baju untukku."

   "Cih, tak tahu malu. Pergilah dan jangan mengganggu pekerjaanku!" kata Siauw Yang.

   Eng Kiat lalu menjauhi gadis itu, duduk bersandar pada sebatang pohon.

   "Aku lelah dan ingin tidur, adik Yang. Aku percaya bahwa kau takkan sampai hati membunuh ku di waktu aku tertidur," katanya sambil tersenyum.

   Siauw Yang mendongkol sekali dan ketika ia menengok pemuda itu telah mendengkun. Hati Siauw Yang berdebar.

   Bagaimana kalau ia mengambil sebuah batu karang besar dan melemparkan batu itu ke arah kepala Eng Kiat? Ia bergidik. Tidak. Ia takkan berlaku pengecut. Bagi seorang gagah, lebih baik binasa daripada melakukan hal seperti itu. Ia akan mempercepat pembuatan layarnya agar dapat melarikan din sewaktu pemuda irn tertidur, pikirnya.

   Akan tetapi pekerjaan membuat layar itu tidak mudah. Sampai petang barulah ia selesai dan ketika ia pergi ke perahu itu, Eng Kiat bangun dan melompat berdiri. Ternyata bahwa mungkin sekali pemuda itu tadi hanya berpura pura tidur saja.

   "Tidak baik malam malam berlayar, adik Yang. Kalau kau kehendaki, besok pagi pagi kita boleh berlayar mencari ikan."

   Sambil berkata demikian, ia membantu Siauw Yang memasang tiang layar pada perahu kecil irn dan ketika dipasang layar buatan Siauw Yang, Eng Kiat tertawa geli.

   "Alangkah lucunya layar ini, seperti beberapa orang berdiri di dalam perahu."

   Mau tidak mau Siauw Yang tersenyum geli juga. Memang, baju baju yang disambung sambung itu kini kelihatan seperti empat orang laid laki berdiri bertolak pinggang di atas perahu, Siauw Yang kembali ke gua dan malam irn ia tidur dengan nyenyak karena hatinya sudah lega melihat keadaan perahu dan layar yang memungkinkan dia untuk melarikan diri.

   Pada keesokan haninya, ketika ia bangun, ternyata Eng Kiat tidak kelihatan di luar gua seperti biasanya, ia cepat menuju ke sebuah sumber air untuk membersihkan din, dan ia merasa segar dan sehat, ia telah siap untuk melakukan usaha melarikan din. Setelah ia menyusul ke pantai,ternyata Eng Kiat tidur mendengkur di dalam perahu itu. Siauw Yang menggigit bibirnya.

   "Hem, jadi bedebah ini sudah mengetahui isi hatiku dan tentu sepanjang malam ia tidur di sini menjaga aku jangan mencari perahu," pikirnya gemas.

   Baru saja ia datang, Eng Kiat terbangun dan melompat sambil tersenyum.

   "Selamat pagi, adik Yang. Apakah sepagi ini kau ingin berlayar?"

   "Aku ingin mencoba perahu kita," kata Siauw Yang sambil mencoba untuk menyembunyikan kekecewaan dan kegemasan hatinya.

   "Baik, baik! Mari kita berlayar." Kedua orang muda itu lalu membawa perahu ke air dan Eng Kiat memegang dayung di tangan kanan dan pedang di tangan kiri. Pemuda ini selalu siap sedia menghadapi segala kemungkinan, sehingga Siauw Yang menjadi makin mendongkol.

   "Aku harus berlaku manis agar ia lalai," pikir Siauw Yang.Gadis ini lalu menggunakan dayung yang dipegangnya untuk memukul ke air setiap kali ada ikan timbul di permukaan laut. Pukulannya selalu tepat sehingga Eng Kiat memuji Siauw Yang berlaku riang gembira dan lambat laun pemuda itu tertarik dan tertawa gembira juga. Eng Kiat mulai memukul mukul ke dalam air pula, bahkan ia mengajak Siauw Yang berlomba mencari ikan dengan jalan memukul ikan yang mengapung.

   Siauw Yang memperhatikan segala gerakan Eng Kiat dan mencari kesempatan baik. Akan berhasilkah dia? Hatinya berdebar penuh ketegangan dan harapan melihat pemuda itu makin gembira dan tertawa tawa.

   Di dalam perahu kecil buatan Bong Eng Kiat, Siauw Yang sedang memcari kesempatan untuk membebaskan diri dari pemuda itu. Gadis ini melihat kalau ada ikan yang berani timbul di permukaan air dan sikapnya yang riang gembira sambil tertawa tawa itu membikin Eng Kiat gembira juga sehingga pemuda in;pun memukuli ikan dengan dayungnya.

   Saking gembiranya, Eng Kiat bermain main sambil bernyanyi,

   "Minumlah arakmu selagi cawanmu penuh, kawan!
Tangkaplah kebahagiaan selagi kau muda rupawan!
Petiklah mawar selagi ia segar ayu
Jangan tunggu sampai ia tua dan layu Musim chun (semi) datang menjalang
Bulan bersinar itulah cemerlang
Apa guna keluh kesah dan rawan?
Berilah aku cawan!
Penuhi cawan arakku, kawan.
Aku mau minum sepuasku
Aku mau minum sepuasku!"

   Melihat kegembiraan pemuda itu, Siauw Yang makin girang karena hanya orang bergembira dan berduka saja yang kehilangan kewaspadaan. Ia berpura pura gembira pula dan memuji nyanyian tadi.

   "Eng Kiat, nyanyian mu tadi bagus sekali."

   "Kau senang dan ikut gembira, adikku sayang?"

   "Tentu saja, akan tetapi kegembiraanku tidak sempurna kalau kau tidak menyatakan nyanyianmu tadi dalam perbuatan. Cawan sudah penuh sekali mengapa kau tidak minum sepuasnya?"

   Kata kata mi diucapkan oleh Siauw Yang tanpa mengandung maksud lain, akau tetapi Eng Kiat mengartikan salah dan kini pemuda itu memandangnya dengan mata penuh gairah.

   "Benar benarkah apa yang kau katakan, adik Yang? " tanyanya sambil menggeser duduknya lebih dekat dan tangannya hendak memegang lengan Siauw Yang.

   Melihat sikap ini, terkejutlah Siauw Yang dan gadis yang cerdik ini maklum bahwa tadi tanpa disadari nya, ia telah mengucapkan kata kata yang seakan akan mengandung sindiran bahwa dia lelah siap melayani cinta kasih pemuda itu.

   Maka ia cepat cepat menyampok tangan pemuda itu sambil berkata tertawa,

   "Eng Kiat jangan kau kurang ajar! Aku sudah mulai gembira dan kurang kebencianku kepada mu, akan tetapi kalau kau berani menyentuhku aku akan benci setengah mati kepadamu!"

   Kata kata ini manjur sekali karena Eng Kiat, segera mundur kembali sambil menghela napas kecewa.

   "Tidak, adikku, aku terlalu sayang kepadamu, jangan kau benci padaku."

   "Kalau kau sayang padaku, mengapa tidak memenuhi permintaanku? Padahal aku hanya minta supaya kau minum sampai puas seperti yang kau nyanyikan tadi."

   Eng Kiat memandang kepadanya dengan mata penuh tanda tanya. "Kau ini aneh sekali, tidak ada cawan dan arak di sini, bagaimana kau menyuruh aku minum?"

   "Mengapa kau begitu bedoh dan kekurangan akal untuk menambah kegembiraan? Yang diminum orang adalahbenda cair, biarpun di sini tidak ada cawan dan arak, apakah kekurangan benda cair?" kata Siauw Yang tertawa sambil menunjuk ke air di kanan kiri perahu.

   Eng Kiat memandang kepada Siauw Yang dengan mata terbelalak, kemudian ia tertawa bergelak gelak.

   "Ha, ha, ha! Benar kata kata ayah bahwa wanita adalah mahluk yang paling menyenangkan, paling manis, akau tetapi juga paling aneh dan lucu! Aku pernah membaca Tat Ki (siluman rase menjelma wanita cantik) pernah menyuruh Tiu Ong (raja yang tergila gila padanya) untuk melakukan segala hal yang aneh aneh dan bahwa Yo Kwi Hui (ratu cantik dan genit) pernah menyuruh para pengagumnya untuk merangkak rangkak meniru seekor anjing. Sekarang kau menyuruh aku minum air laut sebagai pengganti arak! Akan tetapi biarlah, menuruti kehendak wanita yang aneh aneh adalah jalan unmk mendapatkan cinta kasihnya. Biar aku memelihara kegembiraanmu, adik Yang!"

   Setelah berkata demikian,dengan tangan kanannya Eng Kiat menyenduk air laut di pinggir perahu dan minum air itu!

   Siauw Yang tak dapat menahan gelak tawanya melihat betapa muka pemuda itu meringis selelah ia merasai air laut yang asin dan amis.

   "Mukamu seperti monyet kelaparan!" kata gadis itu sambil tertawa tawa.

   Eng Kiat meringis. "Asin sekali, membuat perut muak!"

   Siauw Yang makin geli tertawa. "Minum lagi, Eng Kiat,minumlah lagi."

   Untuk kedua kalinya Eng Kiat menyenduk air dengan tangannya dan kesempatan ini dipergunakan oleh Siauw Yang dengan baiknya. Cepat tangannya menyambar pedang yang tadi dipegang oleh Eng Kiat dan yang sekarang diletakkan di dekatnya karena tangan kanannya ia pergunakan untuk menyendok air.

   Biarpun pedang pemuda itu ada dua buah karena Eng Kiat memang bersenjata siang kiam (sepasang pedang), namun karena tangan kirinya selalu memegang dayung, ia hanya menurunkan sebatang pedang saja. Kini pedang itu telah berada di tangan Siauw Yang. Nanum sesungguhnya gadis ini tidak bermaksud untuk membunuhnya, karena ia tidak tega membunuh seorang yang telah berlaku begitu baik kepadanya. Ia hanya ingin mempergunakan pedang itu untuk memaksa pemuda itu membebaskannya.

   "Loncatlah ke dalam air!" Siauw Yang mengancam sambil menodongkan pedang ke dada Eng Kiat.

   Pemuda ini tiba tiba menjadi pucat sekali. Seri wajahnya lenyap seketika dan kini berobah menjadi wajah seorang yang bermata tajam dan meryeringai jahat.

   "Kau curang...." katanya.

   Pedang Sinar Emas Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   "Pergi cepat!" Siauw Yang membentak.

   Eng Kiat tertawa bergolak, tubuhnya terguling ke dalam air, akan tetapi kedua tangan nya memegang pinggiran perahu dan sekali ia mengerahkan tenaga, perahu itu terbalik membawa tubuh Siauw Yang ke dalam air pula.

   Siauw Yang marah sekali dan dengan secara membabi buta ia membacokkan pedang nya ke kanan kiri, namun sebentar saja tubuhnya yang tenggelam dan air yang memasuki hidung dan mulutnya membuatnya kelabakan!.

   Dia tidak sangat pandai bermain di air dan gerakannya yang menyerang ke sana ke mari itu membuat ia minum banyak air laut dan akhirnya ia menjadi lemas dan pedangnya tahu tahu lelah terampas kembali oleh Eng Kiat.

   Sebagaimana diketahui, Eng Kiat adalah seorang pemuda ahli berenang dan ahli dalam air, karena ia adalah putera dari Tung hai Sian jin yang pandai sekali bergerak di dalam air. Sengaja pemuda ini membiarkan Siauw Yang minum air laut dan menjadi lemas, kemudian ia merampas pedang sambil memeluk tubuh gadis itu yang tidak berdaya lagi, lalu membawanya berenang kembali ke perahu.

   Ia melemparkan tubuhnya ke atas perahu sambil masih memeluk Siauw Yang yang sudah menjadi lemas dan merasa kembung pentnya.

   "Kau anak nakal," berkali kali Eng Kiat berkata, akan tetapi ia tidak marah, bahkan tertawa tawa geli melihat Siauw Yang menjadi basah kuyup. Kemudian ia mendekatkan mukanya dan mencium pipi gadis itu.

   "Jahanam.... kubunuh kau....!" desis Siauw Yang dan gadis ini memberontak sekuatnya sehingga terlepas dari pelukan Eng Kiat. Kemudian ia menghantam dengan tangannya yang dapat dielakkan oleh Eng Kiat. Pergerakan ini membuat perahu menjadi miring.

   "Hati hati adik Yang! Perahu bisa terguling lagi!" seru Eng Kiat menakut nakuti.

   Tentu saja Siauw Yang bukan seorang bodoh, ia tahu bahwa kalau sampai ia terguling ke dalam air lagi, tentu ia akan dipeluk lagi oleh Eng Kiat yang menolongnya. Maka ia menarik kembali tangannya dan membatalkan serangannya.

   "Jahanam keparat! Kau benar benar kurang ajar sekali Awas, kalau aku ada kesempatan, akan kupecahkan kepalamu!" seru Siauw Yang dengan jengkel sekali, ia merasa betapa pipinya yang tercium tadi serasa terbakar api, digosok gosoknya dengan telapak tangannya untuk mencuci bersih bekas ciuman yang dianggapnya sebagai noda besar. Hampir saja ia menangis kalau saja ia tidak dapat menetapkan guncangan hatinya.

   "Adik Yang, maafkan aku...." terdengar Eng Kiat berkata lirih.

   "Persetan! Kau telah membikin sakit hatiku. Kau telah menghinaku, telah merendahkan diriku. Akan kubunuh kau!" tak tertahan pula dua titik air mala melompat keluar dari sepasang mata yang bening itu.

   "Adik Yang, kau benar benar tidak adil sekali!" Eng Kiat berkata dengan suara terdengar sedih. "Kau telah berusaha hendak membunuhku akan tetapi aku tidak marah dan tidak menyesal, bahkan menolongmu dari air. Adapun ciuman itu, boleh kau anggap sebagai sedikit hukuman atas kenakalanmu, akan letapt bagiku, itu tanda cinta kasihku yang murni. Kalau sekali lagi Kau mencoba untuk menipu dan mengakali aku, hukuman nya lain lagi...."

   "Apa yang akan kaulakukan terhadapku manusia jahanam?"

   "Aku.... aku akan memaksa kau menjadi isteriku! Adik Yang, aku tak mungkin marah kepadamu, tak mungkin membencimu, karena aku cinta padamu."

   Betapapun pemuda itu merayu dan bicara dengan halus, namun seujung rambutpun Siauw Yang tidak terpikat. Gadis ini tahu benar bahwa kehalusan sikap pemuda itu kepadanya hanya karena pemuda itu tergila gila kepadanya.

   Namun, ia maklum bahwa pemuda seperti ini takkan segan segan untuk melakukan ancamannya, untuk melakukan kekejian dan kekerasan. Aku harus berusaha melepaskan diri, pikirnya.

   Lebih lekas lebih baik karena siapa tahu berapa lama lagi pemuda ini dapat berlaku sopan dan lemah lembut. Aku akan melarikan diri, dan kalau tidak berhasil, biar aku berlaku nekat dan mati daripada terjatuh ke dalam tangannya.

   Eng Kiat tidak dapat menduga apa yang sedang dipikirkan oleh gadis yang kelihatannya diam seperti patung itu dan hal ini membikin hatinya tidak enak.

   "Mari kita mendarat, adikku. Pakaianmu basah semua, kau bisa masuk angin."

   Siauw Yang tidak menjawab dan diam saja ketika Eng Kiat mendayung perahunya kembali ke pulau.

   Ketika memasuki gua, Siauw Yang nampak menggigil kedinginan. Giginya beradu dan tubuhnya menggigil, kedua tandannya memeluk dada.

   Melihat ini Eng Kiat terkejut sekali.

   "Sakitkah kau, adik Yang?" tanyanya dengan khawatir dan otomatis tangannya diulur untuk meraba jidat gadis itu seperti laku seorang kakak yang menyayang adiknya.

   Siauw Yang diam saja dan tidak menjawab, juga tidak membantah ketika pemuda itu meraba jidatnya. Eng Kiat kaget sekali ketika meraba jidat Siauw Yang, karena jidat itu panas sekali, "Celaka! Kau terserang demam!" katanya. "Apa kataku tadi, kau masuk angin."

   "Biarlah, mati juga tidak apa," kata Siauw Yang tak acuh, padahal dalam hatinva ia merasa geli sekali. Gadis ini sedang menjalankan siasatnya, sengaja ia menggigil dan ketika Eng Kiat tadi meraba jidatnya ia menahan napas dan mengerahkan tenaga dalam, melakukan Ilmu Pan khi jit hiat (Pindahkan Hawa Panas ke Jalan Darah). Ilmu ini ia pelajari dari ayahnya dan ilmu ini bukan sembarangan ilmu yang dapat dipelajari oleh orang kang ouw. Kegunaannya besar sekali karena di waktu musim dingin, ia dapat membikin tubuhnya panas, sebaliknya di waktu musim panas, ia dapat menyesuaikan diri dengan segala macam keadaan dan menolak serangan hawa dingin maupun panas.

   Dalam kegugupannya mengira gadis yang dicintanya itu sakit, Eng Kiat kena dibohongi dan pemuda ini bingung sekali.

   "Adik Yang, kau sakit, jangan bilang tentang mati. Ah, bagaimana baiknya? Lekas lekas kau menukar pakaianmu dengan yang kering. Aku akan pergi mencari daun obat untuk menolak bahaya demam."

   Setelah berkata demikian, ia keluar dari gua.

   "Tak usah, Eng Kiat. Kalau kau memang sayang kepadaku, lebih baik kau buatkan sebuah pondok bambu Aku sudah tak kuat tinggal di gua yang dingin ini. Hawa dalam gua inilah yang mendatangkan penyakit."

   "Ah, begitukah? Baik, sayang, baik. Sekarang juga aku akan membikinkan pondok untukmu."

   Eng Kiat lalu pergi dan cepat menebang pohon dan bambu untuk membuatkan pondok bagi kekasih hatinya itu. Namun ia berlaku cerdik dan sering kali datang ke gua menengok Siauw Yang. Ia tetap saja menaruh hati curiga dan tidak mau lengah, karena ia sudah kapok tidak mau tertipu lagi oleh gadis yang selain cantik jelita dan pandai ilmu silat, akan tetapi juga cerdik sekali.

   Sampai tiga hari Siauw Yang berpura pura sakit, tinggal saja di dalam gua dan segala keperluannya dilayani oleh Eng Kiat dengan setianya.. Sementara itu, pondok bambu yang cukup kuat dan hangat telah jadi, bahkan pemuda ini membuat sebuah dipan kayu untuk tempat gadis itu tidur.

   "Nah, pondokmu sudah jadi, adik Yang. Sekarang mari kita pindah ke sana " ajaknya sambil memasuki gua.

   "Sebetulnya, apa gunanya pondok itu? Aku merasa tubuhku makin tidak enak, dadaku sesak dan agaknya aku takkan lama lagi hidup di dunia mi.Semua mi karena engkau, manusia kejam.Kalau kau membebaskan aku, kiranya aku takkan menderita sakit ini."

   Biarpun ia berkata demikian, namun Siauw Yang tidak membantah ketika diajak pindah ke dalam pondok, ia masih memperlihatkan tanda tanda kelemahan, berjalan dengan sempoyongan, wajahnya pucat, rambutnya kusut dan tiap kali pemuda itu meraba jidatnya, jidat itu makin panas saja.

   "Adik Yang, kau terlalu banyak berduka. Itulah yang menyebabkan penyakitmu. Bersabarlah dan tunggu sampai ayah pulang, tentu kau akan mendapat kesempatan berkumpul kembali dengan ayah bundamu dan dan hidup kita akan berbahagia, sebagai suami isteri yang rukun...."

   "Tutup mulutmu dan pergi!" Siauw Yang membentak, menangis dan menjatuhkan diri ke atas dipan, "Aku mau mati saja, aku mau mati......!" Kemudian, tiba tiba gadis itu menggigil dan mengaduh aduh. "Aduh dingin.... dingin sekali....!"

   Tentu saja Eng Kiat menjadi sibuk. Pemuda ini berlari keluar dan tak lama kemudian ia masuk kembali, membawa sehelai selimutnya yang tebal dan semangkuk obat yang disediakan sejak tadi.

   "Adik Yang, peliharalah dirimu. Minum obat ini lalu tidurlah, tutup tubuhmu dengan selimut tebal ini. Kalau kau sudah berkeringat, tentu demam itu akan lenyap," katanya.

   Dengan tangan gemetar, Siauw Yang menerima pemberian selimut dan obat itu.

   "Keluarlah, biarkan aku seorang diri. Obat akan kuminum di akhirat setelah aku mati, sebagai tanda terima kasihku"

   "Eh, apa maksudmu?"

   "Pergi, biarkan aku mati!"

   Setelah berkata demikian. Siauw Yang melemparkan mangkok obat itu ke atas lantai sehingga obatnya tumpah, lalu ia menggunakan selimut tebal tadi untuk menyelimuti tubuhnya dari kepala sampai ke kaki.

   Eng Kiat tercengang, akan tetapi melihat gadis itu mau berselimut, hatinya terhibur juga dan ia pergi meninggalkan Siauw Yang.

   Sehari itu, Siauw Yang tidak mau makan, tidak mau bicara, bahkan tidak pernah keluar dan dalam selimut. Beberapa kali Eng Kiat datang menengok dan mengajaknya bicara, akan tetapi melihat gadis itu tidur di dalam selimut dan bagian dada turun naik dengan tenang, ia menjadi lega dan mengira bahwa gadis itu tentu tertidur dan sudah sembuh kembali. Setelah malam tiba dan melihat Siauw Yang masih tertidur berkerudung selimut, hatinya lega sekali.

   Dipasangnya lampu minyak lemak ikan, ditaruhnya lampu kecil itu di atas meja yang dibuatnya secara kasar, kemudian lu meninggalkan kamar pondok setelah menutupkan pintunya. Betapapun juga, ia tidak kehilangan kehati hatiannya dan segera menuju ke tempat ia bermalam semenjak ia dan Siauw Yang berada di situ, yakni di dalam perahu dekat pantai. Jalan satu satunya bagi Siauw Yang untuk melarikan diri hanya perahu itu, dan kalau ia tidur di dalam perahu, tak mungkin gadis itu dapat melarikan diri, pikirnya.

   Sementara itu, di dalam pondok Siauw Yang memutar otaknya yang cerdik. Memang ada keharuan di dalam dadanya melihat betapa betul betul pemuda itu mencintanya, akan tetapi karena ia sudah melihat dasar watak pemuda itu, sedikitpun ia tidak menaruh belas kasihan kepadanya. Rencananya berhasil baik sejauh itu dan ia hanya menanti waktu baik saja.

   Menjelang tengah malam, ketika untuk kesekian kalinya Eng Kiat datang menjenguknya, Siauw Yang dari dalam selimunya berkata kata seperti orang mengigau.

   "Tidak ada kematian lebih enak daripada mangsa api. Menjadi abu, beterbangan bebas, nyaman sekali....."

   Eng Kiat membelalakkan mata, dan melihat gadis itu di dalam selimut bergerak gerak seperti menggeliat, lalu menarik napas panjang dan napas nya tenang kembali. Ia tersenyum. Ia mengigau, pikirnya dan setelah menanti sampai beberapa lama mendapat kenyataan bahwa gadis itu benar benar telah pulas dengan enaknya, Eng Kiat menjadi lega dan kembali ke perahunya.

   Ia sama sekali tidak tahu bahwa bayangan Siauw Yang mengikutinya dengan diam diam. Gadis yang tinggi ilmu ginkangnya ini melompat keluar dari pondok dan mengintai ke arah pemuda itu. Selelah mendapat kenyataan bahwa benar benar Eng Kiat sudah masuk kembali ke dalam perahu yang berada di pantai dan merebahkan diri di dalam perahu untuk tidur Siauw Yang cepat cepat kembali ke pondok.

   Ia segera mencari sebatang balok pohon yang masih banyak terdapat di depan pondok, sisa dari bahan bangunan pondok yang ditebang oleh Eng Kiat. Ia mencari balok yang sebesar tubuh manusia demikian pula panjangnya. Dengan hati hati ia meletakkan balok itu di atas dipan, lalu menyelimutinya. Ditanggalkannya baju yang dipakainya, dan ditutupkan pada balok di bawah selimut, dan sengaja mengeluarkan sedikit ujung baju itu di luar selimut.

   Dilihat begitu saja, memang kelihatan seperti dia sendiri yang masih tidur di bawah selimut itu. Cepat ia memakai pakaian yang diambil dari buntalannya, keluar sebentar untuk mencari beberapa buah batu karang kecil untuk senjata rahasia kemudian ia mempergunakan api lampu kecil di atas meja untuk membakar pondok dari belakang! Setelah itu, cepat sekali ia berlari dan melompat ke dalam gelap, terus menuju ke pantai di mana Eng Kiat masih tidur di dalam perahu nya. Ia bersembunyi di belakang pohon tak jauh dan pantai sambil memandang ke arah perahu dengan hati berdebar tegang.

   Berhasilkah nanti rencana dan siasatnya yang sudah diatur sebaik baiknya itu?

   Suara bambu terbakar meledak dan tiba tiba Eng Kiat melompat bangun dari dalam perahu. Ia memandang ke sekeliling dan terlihatlah asap mengebul di antara cahaya merah dari arah pondok.

   "Siauw Yang....! Kebakaran.....!"

   Semangat pemuda ini seakan akan tenbang meninggalkan naganya kanena ia teningat akan suana Siauw Yang ketika mengigau tadi.

   Bukankah dalam igauannya gadis itu menyatakan bahwa mati menjadi mangsa api amat senang?

   "Celaka, jangan jangan dia bunuh diri dengan membakar pondok!" pikirnya dan tanpa banyak pikir lagi, Eng Kiat lalu melompat dan berlari cepat sekali menuju ke pondok yang terbakar.

   Hampin benbaneng, Siauw Yang pun melompat keluan dari tempat sembunyinya dan cepat ia merenggut putus tali perahu yang diikatkan pada batu karang. Ia tidak mau membuang waktu lagi, cepat diambilnya dayung yang terletak di dalam perahu dan didayungnya perahu itu ke tengah laut. Setelah berada di air yang dalam dan merasai sambaran angin malam, ia lalu memasang layar dan meluncurlah perahu kecil itu melawan ombak, ia bebas!.

   Sementara itu, Eng Kiat telah tiba depan pondok.

   Pondok itu telah mulai terbakar di bagian belakangnya dan kini telah merembet ke tengah, Eng Kiat membuka pintu depan dan dilihatnya Siauw Yang masih tidur dalam selimut, seakan akan tidak tahu dan tidak merasa bahwa pondok sudah terbakar sebagian.

   "Siauw Yang....!" teriak Eng Kiat dengan lega karena ternyata bahwa gadis itu belum terbakar. Ia melompat dan cepat menyambar "tubuh" di dalam selimut itu, dipondong bersama selimutnya. Akan tetapi alangkah kadetnya ketika ia merasa bahwa yang dipondongnya itu adalah benda keras yang membujur kaku. Cepat disingkapkan selimutnya dan ternyata bahwa di bawah selimut itu bukanlah tubuh Siauw Yang, melainkan sebatang kayu balok.

   "Tertipu aku kali ini," serunya mendongkol sambil melemparkan balok itu ke dalam api yang menyala. Dengan cepat ia berlompat lompatan dan mengerahkan seluruh kepandaiannya untuk lari ke pantai. Benar saja seperti yang dikhawatirkan, perahunya telah lenyap.

   "Siauw Yang....! Jangan kau lari....!" teriaknya ketika melihat bayangan perahu di bawah sinar bulan suram telah meluncur jauh di tengah samudera. Tanpa banyak ragu lagi ia lalu melompat ke dalam air dan berenang secepatnya.

   Akan tetapi, Siauw Yang ketika melihat betapa pemuda itu hendak mengejannya, segera menggerakkan kedua tangannya dan banyak sekali benda benda hitam menyambar ke arah tubuh Eng Kiat.

   Pemuda itu terkejut sekali ketika tiba tiba hidungnya terasa sakit sekali. Ia menaba dan hidungnya telah pecah tertimpuk batu karang, ia memiliki pendengaran terlatih dan tajam, akan tetapi oleh karena ia sedang berenang maka suara air terpukul kaki tangannya membuat ia tidak dapat mendengar datangnya senjata rahasia itu.

   Ia mengutuk dan cepat menyelam akan tetapi ketika ia timbul kembali, perahu itu telah memasang layar dan terdorong oleh angin sehingga meluncur amat cepatnya. Tak mungkin lagi baginya untuk mengejar.

   Sambil menyumpah nyumpah din sendiri karena kebodohannya Eng Kiat berenang ke tepi laut dan mengobati hidungnya yang pecah kutilnya.

   "Awas kau, siluman rase. Kalau kau sampai tertawan lagi olehku, akan kubalas dendam ini!"

   Pada saat itu, lenyaplah kasih sayangnya kepada Siauw Yang, terganti oleh dendam yang hebat. Ia membayangkan pembalasan dendam yang sengeri ngerinya yang dapat diderita oleh gadis itu.

   Dua han Siauw Yang berlayar terus tanpa berani berhenti karena khawatir kalau kalau Eng Kiat mengejarnya. Ia masih belum memegang senjata, maka hal itu berarti bahwa ia belum dapat membela diri dengan baik apabila ia bertemu dengan pemuda itu, apalagi bertemu dengan tung hai Sian jin.

   Setelah perutnya terasa lapar sekali, barulah ia terpaksa mendarat ke sebuah pulau kecil dan tak lama kemudian ia melihat Pun Hui yang benpenahu sambil memanggil manggil namanya. Hal ini telah dituturkan di bagian depan.

   Demikianlah, ia menuturkan semua pengalamannya itu kepada Pun Hui, juga tentang Eng Kiat yang tergila gila kepadanya, tidak ada yang disembunyikannya. Hanya satu hal tidak ia ceritakan, yakni bahwa Eng Kiat pernah menciumnya ketika ia mencoba untuk mengakalinya.

   Sampai saat mi kalau ia teringat akan perbuatan Eng Kiat itu, wajahnya menjadi merah dan otomatis telapak tangannya mengusap usap pipinya dengan keras, seakan akan hendak membersihkan noda yang mengotori pipinya.

   "Kasihan sekali Bong Eng Kiat...." kata Pun Hui setelah mendengar penuturan itu. Siauw Yang memandang heran.

   "Eh, Liem suheng. Kau masih bisa menaruh hati kasihan kepada seorang jahanam seperti dia?"

   "Memang dia jahat, sumoi, dan kejahatannya itu pada suatu saat tentu akan membawanya ke jurang malapetaka. Akan tetapi aku kasihan sekali mendengar dia begitu mati matian mencintaimu. Tidak ada derita yang lebih hebat daripada cinta kasih tak terbalas."

   Siauw Yang tersenyum dan wajahnya memerah ketika ia memandang tajam kepada pemuda sastrawan ini.

   "Eh, eh, Liem suheng. Kau bicara seperti seorang kakek yang sudah banyak pengalaman saja."

   "Memang aku sudah mempunyai banyak pengalaman dalam hidup, baik yang kualami sendiri maupun yang kubaca di dalam buku."

   "Hemmm, kalau begitu, tidak aneh namanya kau bisa menyatakan hal seperti kau katakan mengenai diri Eng Kiat tadi. Tentu kau sudah pernah mengalaminya sendiri, bukan begitu, suheng?"

   "Mengalami apa, sumoi?"

   "Bahwa.... bahwa kau pernah mengalami cinta kasih yang tak terbalas...."

   Berobah wajah Pun Hui, ketika ia memandang kepada gadis itu, akan tetapi ketika ia bertemu pandang dengan Siauw Yang tiba tiba wajahnya menjadi merah sampai ke telinganya.

   "Dalam hal ini.... aku.... aku belum mengalami sendiri...." Ia berhenti sebentar lalu memandang tajam kepada Siauw Yang dan melanjutkan, "bukan tak pernah aku mencinta orang, akan tetapi.... aku tidak tahu apakah cinta kasihku terbalas atau tidak...."

   Siauw Yang adalah seorang gadis yang cerdik sekali, ia telah dapat menduga bahwa pemuda inipun, seperti Eng Kiat, tergila gila kepadanya. Akan tetapi ia tahu pula bahwa dibandingkan dengan Eng Kiat, pemuda ini lain lagi.

   Perbedaan antara Eng Kiat dan Pun Hui laksana bumi dan langit.

   Kalau Eng Kiat berkepandaian silat tinggi dan menipakan seorang pemuda kasar liar seperti seekor harimau ganas, adalah Pun Hui seorang pemuda halus sopan santun seperti seekor domba jinak. Eng Kiat menyatakan cintanya dengan begitu saja, tanpa tedeng aling aling, secara kasar, bahkan tidak ragu ragu untuk menonjolkan gairah dan berahinya.

   Sebaliknya, biarpun sudah menjadi kenyataan bahwa dalam memikirkan dirinya, Pun Hui sampai lupa makan lupa tidur dan berani mati merantau seorang diri di tengah laut di antara pulau pulau kosong, namun untuk menyatakan cinta kasihnya. Pun Hui masih ragu ragu, terhalang oleh kesusilaan dan sopan santun.

   Kini setelah percakapan mereka mendekati persoalan hati dan perasaan, Siauw Yang merasa tidak enak sendiri. Entah bagaimana, terhadap Pun Hui yang bersikap sopan santun, halus dan lemah lembut, ia tidak percaya akan kekuatan hati sendiri.

   Maka cepat cepat ia mengalihkan percakapan kepada persoalan lain,

   "Liem suheng, biarpun kau masih lemah dan belum kembali tenagamu, terpaksa kita harus segera berangkat. Aku percaya bahwa Eng Kiat takkan tinggal diam saja dan kalau dia dapat mengejar kita, sukarlah untuk melawannya tanpa pedang di tanganku"

   "Baiklah, sumoi. Memang untuk apa sih lama lama tinggal di tempat ini? Mari kita kembali ke barat, ke daratan yang aman menyusul kakakmu yang sudah mendarat lebih dulu. Memang saudaramu itu tentu akan kembali ke sini lagi mungkin bersama orang tuamu. Akan tetapi, menanti mereka amatlah berbahaya dan siapa tahu kalau kalau kita akan bertemu dengan mereka di tengah perjalanan," jawab Pun Hui.

   Dua orang muda itu lalu berlayar pergi, kini mempergunakan perahu yang ditumpangi oleh Pun Hui, karena perahu ini jauh lebih baik daripada perahu buatan Eng Kiat yang kasar dan sederhana. Sebentar saja mereka telah meninggalkan pulau kosong itu tanpa mampir di Sam liong to, karena untuk apakah mampir di pulau yang telah ditinggalkan oleh penghuninya itu?

   Pun Hui nampak gembira sekali setelah kini ia dapat melihat Siauw Yang berada dalam keadaan selamat. Kesehatannya pulih kembali, karena sebenarnyapun ia tidak sakit apa apa, hanya kurang makan dan kurang tidur belaka.

   Sekarang kita mengikuti perjalanan Song Tek Hong, pemuda gagah perkasa yang turun dari Sian hoa san untuk kembali ke Tit le, ke rumah orang tuanya yang telah dibakar habis oleh Lam hai Lo mo.

   Agak lega hatinya karena supeknya, yakni Sin pian Yap Thian Giok bersama nenek gurunya, Mo bin Sin kun telah berangkat menuju ke Pulau Sam liong to. Ia percaya bahwa dengan bantuan dua orang tua yang sakti ini tentu Siauw Yang akan tertolong.

   Ia perlu kembali lebih dulu ke Tit le, kerena ia masih belum tahu kemana perginya ayah bundanya. Siapa tahu kalau kalau telah pula pulang ke Tit le atau setidaknya, kalau mereka belum pulang, ia dapat meninggalkan pesanan kepada tetangga atau meninggalkan surat untuk ayah bundanya, menceritakan segala peristiwa yang terjadi.

   Tiga hari kemudian ia tiba di sebuah padang rumput yang sunyi. Ia melakukan perjalanan amat cepat karena hendak segera tiba di kampungnya. Setelah padang rumput terlewat, ia mulai menyeberangi daerah yang berbukit dan berbatu. Perjalanan melalui daerah ini amat sukar dan sulit, karena tidak ada jalan raya dan ia hams melakukan perjalanan melalui jalan liar yang berbatu barn dan berlubang lubang.

   Kalau tidak hati hati, orang yang melalui jalan ini bisa tergelincir dan tersandung batu atau terjeblos ke dalam lubang yang tertutup oleh bulu bulu kecil. Juga keadaan di sini amat sunyi dan panas, tak kelihatan seorang pun manusia lewat.

   Belum lama Tek Hong melewati daerah ini, tiba tiba dari depan berkelebat bayangan orang dan tahu tahu seorang tua bertubuh tinggi kurus yang memegang sebatang tongkat panjang kepala naga (liong touw tung) telah berdiri di hadapannya.

   Tek Hong terkejut sekali ketika melihat bahwa orang ini bukan lain adalah Tung hai Sian jin! Ia sudah tahu bahwa kakek ini adalah orang yang memusuhi ayahnya, maka bertemu di tempat sunyi seperti ini dengan tokoh laut timur ini, sungguh bukan hal yang menyenangkan.

   Namun Tek Hong tidak menjadi gentar hanya menegur dengan suara tenang,

   "Tung hai Sian jin, setelah kau menawan adikku Siauw Yang, sekarang kau menghadang perjalananku, ada keperluan apakah?"

   Tung hai Sian jin tertawa bergelak, menggerak gerakkan tongkatnya dan tahu tahu tongkat itu menghantam sebuah batu karang besar di sampingnya. Terdengar suara keras dan batu karang itu terbelah dua!

   Diam diam Tek Hong kagum menyaksikan demonstrasi tenaga yang luar biasa ini dan mengeluh bahwa ia tak mungkin dapat menangkan kakek sakti ini.

   "Ha, ha, ha! Dasar keturunan Thian te Kiam ong, yang perempuan tinggi hati dan tabah, yang laki laki sombong dan berani! Anak muda, kalau aku mau menyerangmu, apa kaukira akan dapat melawanku? Ha, ha, ha!"

   "Menang kalah bukannya soal, orang tua. Yang penting siapa berpegang kepada kebenaran dialah yang menang!" jawab Tek Hong.

   Kembali Tung bai Siang jin tertawa besar.

   "Ha, ha, ha! Kau benar sekali. Oleh karena itu akupun sekarang hendak berpegang kepada kebenaran dan aku bertemu dengan kau ini bukan kusengaja. Akan tetapi bukannya tidak kebetulan, karena memang aku sedang mencari cari ayah bundamu. Karena mereka tidak ada di Tit le, kau sebagai kakak dari adikmu perempuan dapat juga menjadi wakil orang tuamu."

   Berdebar hati Tek Hong. Apakah kehendak kakek ini hendak menemui ayah bunda nya? Kalau hendak mengadu kepandaian, terang tidak mungkin karena kakek ini sudah pernah kalah oleh ayalnya dan ia percaya bahwa kalau bertempur lagi, kakek ini tetap saja takkan dapat menangkan ayahnya.

   "Apa kehendakmu hendak bentemu dengan ayah?" tanyanya.

   "Denganlah kau, orang muda yang mewakili ayah bundamu. Adik perempuanmu telah berada bersama kami,dan kebetulan sekali puteraku cinta kepadanya. Memang aku lihat mereka berdua pantas sekali menjadi suami isteri, maka aku sekarang datang dengan maksud baik, yakni hendak meminangnya dan minta persetujuan kedua orang tuamu agar adik perempuanmu itu menjadi isteri Eng Kiat puteraku."

   "Tung hai Sian jin, tak ada aturan seperti ini! Bukankah dahulu kau pernah mengajukan pinangan dan ditolak oleh adikku dan orang tuaku? Bagaimana kau sekerang ada muka untuk mengajukan pinangan lagi?"

   Merah wajah Tung hai Sian jin.

   "Sombong! Apa kaukira darah keluargamu lebih bersih dari pada darah kami? Soal pinangan dulu dan sekarang lain lagi. Adikmu sudah suka dengan anakku dan sekarang adikmu bersama kami."

   "Hm, kau mau melakukan paksaan dan berani menawan adikku?" Tek Hong menuduh dengan berani dan marah.

   "Aku hanya minta perkenan dan persetujuanmu sebagai wakil orang tuamu, bukan hendak berbantah dan banyak mengobrol, orang muda. Pilih saja, kau akan melihat adikmu mati penasaran tanpa ada orang yang tahu ataukah melihat adikmu hidup berbahagia sebagai mantuku?"
Biarpun dadanya merasa meledak saking marahnya, namun Tek Hong bukanlah seorang bodoh, ia mengerti betul bahwa kakek ini hendak mempergunakan paksaan terhadap adiknya dan ia tidak tahu bagaimana nasib Siauw Yang. Tentu saja ia tidak sudi untuk menerima pinangan itu tanpa menanya isi hati Siauw Yang dan tanpa minta persetujuan orang tuanya, akan tetapi menolak begitu sajapun tidak baik karena mungkin sekali akan membahayakan nyawa adiknya.

   "Tung hai Sian jin, biarpun aku adalah kakak dari Siauw Yang, namun dalam hal perjodohannya aku tidak berhak memutuskan. Ayah bundaku masih hidup dan aku harus minta persetujuan mereka lebih dulu. Lebih baik kau mencari mereka, dan mendengar keputusan mereka."

   "Di mana mereka?"

   "Aku sendiri pun sedang mencari mereka, karena rumah kami telah dibakar oleh iblis tua Lam hai Lo mo."

   Pedang Sinar Emas Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   Tung hai Sian jin tertawa bergelak gelak. "Ha, ha, ha! Lam hai Lo mo memang iblis tua, aku setuju kau menyebutnya demikian. Orang tumu tentu mencarinya dan aku tidak perduli akan semua itu, bukan urusanku! Lebih baik kau sekarang ikut adikmu dengan puteraku. Setelah itu, bukankah aku menjadi besanmu? Dengan ikatan keluarga, berarti aku adalah orang tumu sendiri, dan setelah anakku kawin dengan adikmu, jangan kau khawatir, urusan Lam hai Lo Mo si iblis tua, serahkan saja kepadaku! Aku yang akan bikin buntung sebelah kakinya lagi."

   Tek Hong mengerutkan keningnya. Soal membalas dendam kepada Lam hai Lo mo adalah urusan yang kecil tak berarti apabila dibandingkan dengan urusan perjodohan Siauw Yang karena hal ini adalah penentuan nasib dari adiknya.

   "Tidak mungkin, lo cianpwe. Aku tidak berani menjadi wakil orang tuaku dalam hal ini. Lebih baik kau mencari ayah bundaku untuk urusan itu."

   Melototlah mata Tung hai Sian jin.

   "Apa? Kau berani membantah kehendakku? Apa kau ingin melihat tongkatku mengamuk? Apa kau berani melawanku?"

   "Tung hai Sian jin, mungkin sekali kepandaianmu jauh lebih lihai daripada kebisaanku yang sedikit, akan tetapi demi mempertahankan kehormatan adikku, aku bersedia mengorbankan nyawa!" kata Tek Hong dengan sikap gagah.

   "Kalau begitu, biarlah aku membawa kepalamu sebagai saksi perkawinan adikmu!" bentak kakek itu yang cepat menyerang dengan tongkatnya, biarpun ia belum mencabut pedangnya, namun Tek Hong sudah waspada dan siap sedia, ia telah menduga akan datangnya serangan yang luar biasa hebatnya, maka cepat ia melompat ke belakang menghindarkan din dan serangan maut itu, sambil mencabut pedangnya, ia juga marah dan sakit hati sekali, apalagi ketika ia melihat pedang adiknya, yakni pedang Kim kong kiam yang sebetulnya adalah pedang ayahnya, kini nampak tergantung di pinggang orang tua itu.

   "Aku bersedia mengadu nyawa denganmu!" katanya gagah dan ketika tongkat kepala naga itu menyambar lagi, ia cepat mengelak sambil mengirim serangan balasan.

   Tek Hong maklum bahwa ia menghadapi lawan yang tangguh dan lihai, maka serentak ia mainkan Ilmu Pedang Tee coan Liok kiam sut dari ayahnya. Pedangnya berobah menjadi segulung sinar keputihan yang amat menyilaukan mata, bergulung gulung dan bergerak gerak cepat sekali, merupakan sebuah benteng yang amat kuat, juga kadang kadang pedang itu menyambar dan mengirim serangan balasan yang tidak kalah hebatnya.

   Diam diam Tung hai Sian jin hams mengagumi kegagahan pemuda ini biarpun gerakan pemuda ini tidak selincah adiknya dan ilmu pedangnya juga tidak selihai Siauw Yang, namun pemuda mi lebih menang dalam tenaga lweekang dan juga lebih tenang permainan silatnya sehingga ia mempunyai pertahanan yang amat tangguh, ia mengerahkan tenaga dan mainkan tongkatnya demikian cepat dan kuatnya sehingga tongkat yang gagangnya merupakan kepala naga itu benar benar seperti berubah menjadi seekor naga mengamuk.

   Batu batu kecil dan pasir berhamburan dan bunga api berpijar tiap kali ujung tongkatnya beradu dengan pedang atau menghantam batu karang di sekitar tempat itu. Angin pukulan tongkatnya mendatangkan hawa dingin yang membuat Tek Hong terdesak mundur terus.

   Pemuda ini kalah kuat dan juga kalah pengalaman, sehingga dalam pertempuran ini, akhirnya ia hanya dapat mempertahankan diri saja, tanpa diberi kesempatan untuk mem balas karena selalu dihalangi oleh tongkat yang lebih panjang daripada pedangnya.

   Tung hai Sian jin tertawa berkakakan. Sambil mendesak hebat, berkali kali ia bertanya,

   "Tidak mau menyerahkah, kau? Apa sukarnya menjadi wakil orang tua untuk menyaksi kan pernikahan adikmu? Kau akan dihormati dan mendapat suguhan arak paling istimewa!"

   Namun sebagai jawaban, Tek Hong hanya mainkan pedangnya makin gencar dan membalas serangan sedapat mungkin dengan hati gemas.
(Lanjut ke Jilid 42)
Pedang Sinar Emas/Kim Kong Kiam (Serial Pedang Sinar Emas)
Karya : Asmaraman S. Kho Ping Hoo

   Jilid 42
Akhirnya Tung hai Sian jin maklum pemuda ini tidak mengenal kompromi dalam urusan itu. Adiknya keras hati, kakaknya keras kepala, apalagi orang tuanya! Ia tidak mempunyai harapan besar untuk mendapat persetujuan keluarga dari Siauw Yang tentang perjodohan itu dan tentu akan terjadi permusuhan dan kekerasan.

   Kalau sampai terjadi demikian, ada baiknya membinasakan pemuda ini sehingga berkuranglah tenaga yang berbahaya di fihak musuh.

   "Baiklah kalau kau memang lebih suka mati!" bentaknya dan kini tongkatnya mendesak makin hebat sehingga Tek Hong dipaksa mundur jauh. Malang baginya, di belakangnya terdapat tumpukan batu batu kecil yang ketika diinjaknya, ternyata bahwa batu batu itu menutupi sebuah lubang di tanah. Tak dapat dicegah lagi karena perhatiannya ditujukan kepada tongkat lawan yang selalu mengancam, tubuh pemuda itu terjeblos ke dalam lubang yang dalamnya sampai ke pinggangnya.

   "Ha, ha, ha! Kau seperti tikus dalam jebakan!" Tung hai Sian jin memburu sambil mengayun tongkatnya ke arah kepala pemuda itu.

   Tek Hong cepat menundukkan kepalanya dan merendahkan diri ke dalam lubang. Tongkat itu lewat menyambar di atas kepalanya, memukul batu batu di pinggir lubang itu. Kembali Tung hai Stan jin menyerang, sama sekali tidak memberi kesempatan kepada Tek Hong untuk keluar dari lubang itu.

   Namun pemuda ini memang patut diuji keuletannya. Kedudukannya sudah amat payah dan terancam, ia tidak mendapat kesempatan keluar dari lubang sehingga ia hanya dapat menangkis datangnya sambaran tongkat atau mengelak dengan cara merendahkan rnbuh dan bersembunyi di dalam lobang itu.

   

Pedang Naga Kemala Eps 8 Rajawali Hitam Eps 12 Pedang Naga Kemala Eps 18

Cari Blog Ini