Pedang Sinar Emas 38
Pedang Sinar Emas Karya Kho Ping Hoo Bagian 38
"Tidak, biar aku mati bersama mereka, aku tidak mau lari seperti seorang pengecut."
"Kau banyak rewel," bentak Thio Houw marah. "Sekali anakku bilang pergi, kau harus ikut pergi!"
(Lanjut ke Jilid 47)
Pedang Sinar Emas/Kim Kong Kiam (Serial Pedang Sinar Emas)
Karya : Asmaraman S. Kho Ping Hoo
Jilid 47
Tanpa menanti jawaban Pun Hui, Sin tung Lo kai Thio Houw menyambar tubuh Pun Hui dan mengempitnya. Dalam kempitan kakek ini, mana Pun Hui bisa bergerak sedikitpun juga?
"Hayo kita pergi, anakku!" kata Thio Houw. Leng Li tersenyum melihat keadaan Pun Hui dan ia mengangguk.
Maka pergilah ayah dan anak ini, mempergunakan ilmu lari cepat. Memang Leng Li menganggap bahwa lebih baik cepat cepat pergi dari tempat itu, karena kalau sampai Pangeran Ciong dan kawan kawannya mengejar, biarpun di situ ada ayahnya yang membantu, keadaan mereka amat berbahaya. Apalagi di sana terdapat murid Lam hai Lo mo. Kalau tokoh tokoh Sam hiat ci pai sampai datang membantu Pangeran Ciong, ayahnya sendiripun takkan berdaya menghadapi mereka yang terkenal lihai dan kejam.
Mari kita menengok keadaan Siauw Yang dan Sian Hwa. Sebagaimana telah kita ketahui, Siauw Yang bertempur hebat sekali melawan Siang Cu. Kedua orang gadis ini sama sama hebat, sama sama lincah dan ilmu pedang mereka sama sama kuat.
Memang dalam hal ilmu pedang, Siauw Yang masih lebih unggul karena memang ilmu pedangnya Tee coan Liok kiam sut warisan Bu tek Kiam ong yang ia pelajari dari ayahnya merupakan ilmu pedang yang menjadi raja segala ilmu pedang di jaman itu. Namun ia menghadapi Siang Cu yang mempunyai ilmu pedang yang amat ganas.
Sedangkan dalam hal tenaga dan keringanan serta kecepatan gerakan tubuh, boleh dibilang keadaan mereka seimbang.
Kim kong kiam di tangan Siauw Yang berobah menjadi segulung sinar kuning emas, sedangkan Cheng hong kiam di tangan Siang Cu menjadi gulungan sinar hijau. Dua sinar pedang itu bergulung gulung seperti dua ekor naga sakti saling serang atau tengah bercanda.
Kadang kadang nampak berkelebatannya bayangan merah dari pakaian Siang Cu atau bayangan biru dari baju Siauw Yang. Akan tetapi jarang sekali kelihatan bayangan dari dua orang gadis perkasa ini karena tertutup sama sekali oleh sinar pedang mereka yang dahsyat.
Sebaliknya, Sian Hwa lebih repot daripada Siauw Yang. Nyonya yang gagah ini tidak saja menghadapi tombak Ciong Pak Sui yang lihai sedangkan dia sendiri bertangan kosong, bahkan masih banyak kawan kawan pangeran itu mengeroyoknya. Namun dengan gagah Sian Hwa mengamuk terus, mempergunakan bangku bangku dan agaknya tidak mudah orang merobohkannya biarpun ia sendiripun tidak mungkin dapat melepaskan diri dari kepungan.
Siang Cu masih saja mengingat ingat ucapan nyonya Song itu dan hatinya berdebar. Masih berdengung di telinganya ketika Sian Hwa menyebut nama Puteri Luilee, sebuah nama yang biarpun tak pernah didengarnya, namun kedengarannya begitu manis, begitu terkenal, dan mendebarkan jantungnya! Isteri dari Thian te Kiam ong menyatakan bahwa dia adalah anak dan Puteri Luilee? Apakah artinya ini? Namun serangan yang hebat dan Siauw Yang membuat ia tak sempat melamun terus.
Kemudian, ketika Siang Cu mengerling ke arah Sian Hwa, ia melihat betapa nyonya itu dikepung dan didesak hebat oleh Ciong Pak Sui dan kawan kawannya. Merahlah telinga Siang Cu melihat betapa seorang wanita tua yang bertangan kosong dikeroyok oleh sekian banyaknya laki laki yang gagah gagah dan bersenjata tajam!
Apa pula kalau ia ingat bahwa pangeran itu adalah murid keponakan dari suhunya, sungguh membuat ia menjadi malu sekali! Juga diam diam ia mengaguni kehebatan ilmu silat Siauw Yang dan ibunya. Sayang Thian te Kiam ong tidak berada di tempat itu. Kalau ada, tentu ia akan dapat menjajal ilmu pedang dari Raja Padang musuh besar suhunya itu.
Melihat betapa Sian Hwa terdesak hebat, Siang Cu lalu melompat keluar lapangan pertempuran dan berkata kepada Siauw Yang,
"Kalau memang kau gagah, hayo kita melanjutkan pertempuran di tempat sunyi, jangan di tempat yang penuh sesak ini. Dan Lebih baik kau menolong ibumu lebih dulu, aku menantimu di"."
Akan tetapi pada saat itu. Siang Cu menghentikan kata katanya dan melompat cepat sekali, mengembatkan pedangnya menangkis tombak Ciong Pak Sui yang hampir saja menembus dada Sian Hwa.
"Sungguh tak tahu malu mengeroyok seorang wanita tak bersenjata!" seru Siang Cu marah dan Pangeran Ciong terkejut sekali melihat ujung tombaknya telah terbabat putus oleh pedang Siang Cu! Pada saat Siang Cu bicara tadi, keadaan Sian Hwa amat terdesak.
Sebuah pukulan ruyung dari pengeroyoknya ditangkis dengan bangku itu, akan tetapi bangku itu hancur sehingga lengannya ikut teruka dan pada saat itu, tombak di tangan Pangeran Ciong sudah meluncur dekat. Baiknya Siang Cu datang menolongnya dan untuk kedua kalinya, Sian Hwa memandang gadis ini dengan mata kagum serta penuh keheranan.
Sebaliknya, Pangeran Ciong menjadi kaget dan marah sekali.
"Nona Siang Cu, bagaimanakah kau ini? Mereka ini adalah musuh musuh kita yang harus dibasmi habis. Thian te Kiam ong sendiri sekarang mungkin sudah mampus di tangan suhumu di Pulau Sam liong to. Bagaimana kau bisa menghalangiku membunuh isterinya?"
"Urusanku dengan mereka tak mungkin kau campuri dan urusanmu dengan merekapun aku tidak sudi mencam puri. Antara kau dan aku tidak ada sangkut paut sesuatu! Akan tetapi aku tidak suka melihat sekian banyaknya laki laki gagah bersenjata mengeroyok seorang wanita setengah tua yang bertangan kosong. Oh, memalukan sekali!" Kemudian ia menoleh kepada Siauw Yang dan berkata dengan cemberut dan lagak menantang.
"Masih beranikah kau melawan aku?"
"Bocah sombong! Mari kita bertempur sampai seribu jurus. Siapa takut padamu?" jawab Siauw Yang marah sekali.
"Kalau begitu mari kita lanjutkan di pantai laut, jangan di sini agar tidak ada orang yang mengganggu pertandingan kita."
Siang Cu melompat, diikuti oleh Siauw Yang yang mengajak ibunya dan tiga orang wanita perkasa itu meninggal kan Pangeran Ciong yang berdiri bengong tanpa berani mengejar. Setelah Siang Cu berdiri di fihak lawan dan tidak menghendaki ia mengeroyok Sian Hwa, siapa lagi yang ia andalkan? Apalagi kalau Siang Cu sampai memperguna kan larangan dengan pedangnya, tentu akan berbalik bahaya bagi fihaknya. Akan tetapi, kawan kawannya banyak sekali dan seandainya Siang Cu tidak mau membantunya, agaknya tak mungkin nona itu akan membantu fihak musuh. Tidak, ia tak boleh mendiamkan saja isteri dan anak Thian te Kiam ong melarikan diri.
Pangeran Ciong sedang marah karena mendengar betapa calon isterinya membawa lari pemuda pelajar itu yang menjadi suheng dari Siauw Yang. Maka kebenciannya terhadap keluarga Song makin menghebat dan kini mengandalkan bantuan kawan kawannya, ia mengambil keputusan untuk berlaku nekat.
"Nanti dulu, nona Siang Cu! Ibu dan anaknya itu harus kami tewaskan!" Ia lalu memberi tanda kepada kawan kawannya, maka menyerbulah lebih dari duapuluh orang keluar, mengejar Sian Hwa dan Siauw Yang!
"Ibu, pergunakanlah pedang ini!" kata Siauw Yang sambil menyerahkan pedang Kim kong kiam kepada ibunya. Akan tetapi Sian Hwa menggelengkan kepalanya.
"Kau lebih lihai berpedang, Siauw Yang, biarlah aku akan merampas sebatang pedang mereka." Ibu dan anak ini lalu berbalik dan berdiri menanti kedatangan para pengeroyok itu dengan tenang dan gagah. Adapun Siang Cu membanting banting kaki melihat hal ini. Ia menjadi gemas sekali.
"Orang orang rendah tak tahu malu, kalian lebih baik mampus semua!" bentak Siang Cu yang merasa marah sekali melihat betapa Pangeran Ciong dan kawan kawannya berlaku nekad dan terus mendesak Siauw Yang dan ibunya. Siang Cu tidak saja menganggap mereka ini mengganggunya yang hendak mengadu kepandaian melawan puteri Thian te Kiam ong, akan tetapi terutama sekali semangat kegagahannya tersinggung melihat betapa anak buah murid keponakan suhunya berlaku begitu pengecut.
Setelah mengeluarkan bentakan itu, Siang Cu lalu melompat ke depan, memutar pedangnya dan menyerang Pangeran Ciong dan kawan kawannya!
"Nona Siang Cu, kau gila! Kalau gurumu tahu akan hal ini, kau tentu akan ditegur!" kata Pangeran Ciong yang cepat menangkis serangan pedang Siang Cu.
Akan tetapi jawaban Siang Cu hanya menyerang lebih hebat lagi sehingga Pangeran Ciong Pak Sui terhuyung mundur dan cepat memutar tombaknya untuk menangkis serangan pedang yang datangnya bertubi tubi dan berbahaya sekali itu.
"Aku tidak butuh bantuanmu!" teriak Siauw Yang marah melihat Siang Cu membantunya. Sambil berteriak ia terus menyerang Cong Pak Sui dengan ilmu pedangnya yang kuat dan cepat.
Pangeran Ciong yang sedang terhuyung huyung menghadapi serangan Siang Cu, kaget sekali melihat sinar kuning emas menyambar tenggorokannya, cepat ia menangkis dengan tombaknya, akan tetapi tangannya tergetar dan ia merasa pundaknya perih sekali karena masih saja pedang Kim kong kiam membabat kulit pundaknya.
"Siapa sudi membantumu? Aku benci melihat kecurangannya!" balas Siang Cu yang juga membentak ketus dan pedangnya secepat kilat menusuk ke arah dada Pangeran Ciong!
Hebat sekali ilmu pedang kedua orang gadis ini kalau digabung menjadi satu menyerang seorang lawan.
Menghadapi Siang Cu atau Siauw Yang saja Pangeran Ciong sudah takkan menang, apalagi sekarang diserang oleh dua orang gadis yang seakan akan berlomba hendak merobohkannya dan tidak mau saling mengalah, bagaimana ia sanggup mempertahankan dirinya?
Tusukan Siang Cu cepat sekali dan biarpun sambil berseru kaget ia miringkan tubuhnya tetap saja pedang itu menyerempet iganya dan sambil menjerit kesakitan Pangeran Ciong terjungkal roboh mandi darah.
Siauw Yang penasaran sekali melihat musuhnya lebih dulu merobohkan lawan ini, maka ia cepat menyusul dengan sabetan pedang pada leher Ciong Pak Sui. Darah muncrat dan kepala pangeran yang bercita cita tinggi itu terpisah dari tubuhnya!
Siauw Yang dan Siang Cu sudah saling berhadapan untuk meneruskan pertandingan, akan tetapi pada saat itu, Sian Hwa yang masih mengamuk dikurung rapat rapat oleh belasan orang. Biarpun nyonya yang gagah ini sudah merobohkan tiga orang pengeroyok dengan sebatang pedang rampasan, namun keadaannya terdesak hebat karena lawan lawannya juga orang orang ahli silat tinggi dan jumlah mereka banyak sekali. Melihat ini, tanpa janji lebih dulu, Siauw Yang dan Siang Cu menyerbu dan mengamuk, membabati tubuh para pengeroyok seperti seorang petani membabat rumput saja.
Tubuh para pengeroyok bergelimpangan. Jerit susul menyusul dan darah mengalir membasahi rumput. Sebentar saja enam orang telah roboh tak bernyawa lagi. Para pengeroyok menjadi terkejut sekali. Apalagi ketika mereka melihat bahwa Pangeran Ciong Pak Sui tewas, terbanglah semangat mereka meninggalkan raga. Tanpa diberi aba aba larilah mereka cerai berai mencari keselamatan masing masing!
"Apakah kau masih penasaran dan hendak melanjutkan pertandingan?" tanya Siauw Yang. Betapapun juga, ia merasa bahwa gadis aneh berbaju merah itu telah menolong dan membantu dia dan ibunya.
"Tentu saja! Kaukira aku akan melepaskan kau? Hayo kita pergi ke pantai, di sana kita takkan terganggu orang lain." Setelah berkata demikian. Siang Cu terus berlari cepat meninggalkan Siauw Yang dan Sian Hwa menuju ke pantai laut.
"Baik, siapa takut padamu?" kata Siauw Yang gemas, melihat kenekatan gadis aneh itu dan iapun berlari cepat mengejar ke pantai.
Adapun semua kejadian itu, ditambah lagi oleh lukanya, membuat Sian Hwa menjadi bingung sehingga ia tak dapat berkata kata. Kasihan sekali nyonya ini biarpun lukanya tidak berarti banyak, namun ketegangan ketegangan itu membuatnya lemah.
Pertama tama, tak disangkanya bahwa Pangeran Ciong Pek Sui yang masih sutenya sendiri itu, akan berlaku curang sehingga kini mengalami kematian yang mengerikan. Ke dua, ia masih merasa gelisah mendengar bahwa di Pulau Sam liong to, berkumpul Lam hai Lo mo dan kawan kawannya yang tentu akan mengeroyok suaminya. Ke tiga, perjumpaannya dengan Siang Cu membuat ia berdebar debar. Nona baju merah ini serupa benar dengan Puteri Luilee. Dan anehnya, nona ini menjadi murid Lam hai Lo mo.
Kalau sudah diketahui bahwa kakek buntung yang membunuh Pangeran Kian Tiong dan Puteri Luilee serta menculik Kian Gwat Eng puteri dari bangsawan itu adalah Lam hai Lo mo, besar sekali kemungkinan bahwa murid Lam hai Lo mo yang serupa dengan Luilee itu tentulah anak mereka yang diculik oleh kakek buntung.
Kini melihat Siauw Yang mengejar Siang Cu hendak mengadu ilmu di pantai, ia menjadi makin bingung dan berlarilah nyonya ini menyusul anaknya.
Ketika ia tiba di tepi pantai, Siang Cu dan Siauw Yang telah mulai bertempur dengan hebat sekali. Pedang di tangan Siauw Yang berkelebatan dan bergulung gulung merupakan sinar kuning emas yang teratur baik dan selain kuat dan cepat, juga indah sekali dipandang. Seakan akan seperti nyala api yang diputar putar, bercahaya kuning keemasan dan menyilaukan mata. Sebaliknya pedang dari Siang Cu merupakan gulungan sinar kehijauan yang tidak saja cepat, namun gerakannya amat ganas dan lihai. Pedang ini seperti menyambarnya kilat di waktu hujan.
Pertemuan kedua pedang seringkah menimbulkan cahaya dari bunga api yang berpijar, dibarengi suara "traang! traang!" nyaring menyakitkan anak telinga.
Sian Hwa menjadi amat kagum dibuatnya. Belum pernah ia menyaksikan penandingan pedang sedemikian ramainya, ia memang sudah maklum akan kepandaian puterinya dan tahu bahwa biarpun puterinya belum dapat menandingi ayahnya, namun kepandaian ilmu pedang Siauw Yang masih mengatasi Tek Hong. Kini anaknya menemui tandingan yang setimpal, karena biarpun gerakan Siauw Yang amat indah dan kuat ilmu pedangnya, menghadapi ilmu pedang yang ganas dan cepat dari Siang Cu, sukar baginya untuk mendesak lawan.
Di antara kedua dara perkasa yang mengadu ilmu kepandaian juga terdapat rasa kagum yang besar. Kini Siang Cu baru saja percaya bahwa ilmu pedang dan musuh besar suhunya, benar benar hebat dan pantaslah kalau musuh besar suhunya itu berjuluk Thian te Kiam ong atau Raja Pedang Langit Bumi.
Baru anaknya saja ilmu pedangnya sedemikian hebatnya, apalagi ayahnya! Sebaliknya, Siauw Yang diam diam terkejut melihat ilmu pedang lawannya. Tadi ketika bertempur di tengah ruangan di rumah Pangeran Ciong, ia tidak dapat mencurahkan semua perhatiannya dan baru sekarang ia betul betul dapat melihat betapa hebat, lincah dan ganas adanya nona yang menjadi lawannya ini.
Serang menyerang terjadi dengan serunya, namun keduanya memang berimbang dalam hal tenaga dan kelincahan.
Siauw Yang menang dalam hal kekuatan ilmu pedang, akan tetapi Siang Cu menang dalam hal keganasan dan kecepatan menyerang. Keduanya setanding dan agaknya pertempuran itu akan berlangsung lama sekali sungguhpun Sian Hwa dapat mengira bahwa kalau dilanjutkan terus biarpun ada kemungkinan Siauw Yang terluka, namun akhirnya anaknya pasti akan menang.
Selelah kedua orang dara itu bertempur sampai seratus jurus, Sian Hwa menganggap bahwa sudah cukup mereka main main dan memperlihatkan kepandaian masing masing, ia masih menduga dengan kuat bahwa Siang Cu tentulah puteri dari Luilee dan Kian Tiong yang diculik oleh Lam hai Lo mo dan hal ini harus ia beritahukan kepada nona itu. Selain ini, ia ingin sekali mengajak Siauw Yang menyusul ke Pulau Sam liong to, karena hatinya amat khawatir akan keselamatan suaminya.
"Tahan senjata, aku mau bicara!" Sian Hwa berseru sambil melompat ke tengah medan pertandingan sambil memalangkan pedang rampasannya tadi.
"Traang!" pedang di tangan Sian Hwa patah menjadi tiga ketika bertemu dengan Kim kong kiam dan Cheng hong kiam!
Melihat ini, Siauw Yang melompat mundur demikian pula Siang Cu karena nona ini biarpun merasa amat penasaran karena tidak dapat mengalahkan lawannya, tidak mau melukai nyonya yang maju hanya dengan maksud menahan pertempuran saja.
"Mengapa pertadingan dihentikan? Aku masih belum kalah!" tanya Siang Cu marah dan kedua matanya yang bening seakan akan mengeluarkan cahava berapi ketika ia memandang kepada Sian Hwa.
"Ya, ibu, mengapa dihentikan? Aku sudah hampir mengalahkannya!" Siauw Yang juga memprotes.
Akan tetapi Sian Hwa tidak menjawab semua pertanyaan itu, melainkan berdiri bagaikan tercengang memandang kepada Siang Cu.
"Tak salah lagi.... mata itu....hanya warnanya saja yang berbeda akan tetapi bentuknya sama...."
"Eh, apakah yang kaumaksudkan....?" Siang Cu merasa serem juga ketika ia melihat pandang mata nyonya itu menatap wajahnya dengan penuh selidik.
"Nona, kau adalah puteri dari Pangeran Kian Tiong dan Puteri Luille....tak salah lagi....!"
Untuk kedua kalinya berdebar hati Siang Cu dan sampai lama ia tidak dapat membuka mulut.
Siauw Tang terkejut sekali mendengar ini dan ia bertanya, "Betulkah, ibu? Akan tetapi bagaimana ia menjadi begini ganas dan jahat?"
Merah wajah Siang Cu mendengar omongan Siauw Yang ini dan menjadi marah.
"Memang aku jahat dan ganas, kau cobalah lenyapkan aku kalau mampu! Aku tidak kenal siapa itu Pangeran Kian Tiong dan Puteri Luilee, aku seorang rendah dan jahat, mana mungkin menjadi anak bangsawan bangsawan tinggi?"
Biarpun ia berkata demikian, namun alangkah inginnya ia mendengar lebih banyak tentang pangeran dan puteri itu, alangkah rindunya ia untuk mendengar tentang orang orang tuanya yang tak pernah dikenalnya! Adapun perasaan ini mendatangkan rasa keharuan besar sehingga basahlah kedua matanya.
Sian Hwa melangkah maju mendekati Siang Cu yang masih memegang pedang Cheng hong kiam.
"Pedang itu.... bukankah itu Cheng hong kiam dari kota raja? Dari siapa kau mendapat pedang itu!"
"Dari suhu, aku tidak pernah mencurinya dari kota raja!" jawab Siang Cu yang sedapat mungkin masih hendak bersikap galak dan kasar untuk menyembunyikan kelemahan hatinya.
"Dan mengakulah terus terang, adakah tanda tahi lalat merah di betis kaki kirimu?" tanya Sian Hwa sambil menahan napas, kelihatannya tegang dan menahan perasaannya yang bergoncang.
Makin merah wajah Siang Cu mendengar ini. Bagaimana nyonya ini bisa tahu bahwa ada tahi lalat merah di betis kaki kirinya? Kalau saja di situ hadir seorang laki laki, agaknya gadis yang keras hati ini tidak sudi mengaku, akan tetapi oleh karena yang ada di situ hanyalah Siauw Yang dan Sian Hwa dua orang wanita, tanpa ragu ragu ia menjawab,
"Memang betul ada...."
Belum habis ia bicara, Sian Hwa sudah maju menubruk dan memeluknya sambil bercucuran air mata
"Kau benar Kiang Gwat Eng.... ah, anak ku.... alangkah buruk nasibmu....!"
Siang Cu menjadi terkejut dan bingung. Tanpa terasa lagi pedang Cheng hong kiam terlepas dari tangannya, jatuh ke atas pasir pantai,
"Eh, bagaimanakah ini....? Aku tidak mengerti....?"
"Anakku yang baik, kau sebenarnya bernama Kiang Gwat Eng, anak tunggal dari sahabat baikku Pangeran Kian Tiong dan Puteri Luilee yang budiman. Ketika kau masih kecil, kau diculik oleh Lam hai Lo mo yang jahat, dan rupanya kau dipelihara dan dididik menjadi muridnya untuk membantu sepak terjangnya yang tidak bersih...."
"Apa buktinya? Bagaimana kau tahu akan hal ini?" Siang Cu atau Gwat Eng masih ragu ragu, namun jantungnya bergoncang dan mukanya pucat.
"BUKTINYA?" Sian Hwa melepaskan pelukannya, memegang kedua pundak gadis itu dan menatap wajahnya dengan airmata masih berlinangan di atas kedua pipinya.
"Buktinya tanda merah pada betis kakimu, dan persamaan wajahmu dengan Puteri Luilee, dan pedang ini.... karena pedang inipun dicuri oleh Lam hai Lo mo pada saat ia menculikmu." Sian Hwa berhenti sebentar untuk mengambil napas, karena ia bicara cepat cepat untuk segera memberi penjelasan kepada gadis itu.
"Dan pula orang tuamu meninggalkan surat pesanan kepada kami."
"Mana surat itu?"
"Dibawa oleh suamiku yang kini sedang menuju ke Pulau Sam liong to, memenuhi tantangan gurumu yang jahat itu." Kata kata terakhir dari Sian Hwa ini mengandung kekhawatiran.
"Di mana adanya pangeran dan puteri yang kauanggap sebagai orang tuaku itu? Aku hendak mencari mereka dan membuktikan sendiri."
"Mereka telah tewas terbunuh...."
"Terbunuh...?! Siapa yang membunuh mereka?"
"Siapa lagi yang membunuh kalau bukan Lam hai Lo mo si jahat itu, Gwat Eng, Lam hai Lo mo membunuh kedua orang tuamu dan kemudian menculikmu sambil mencuri pedang. Ayahmu masih sempat menulis surat peninggalan untuk kami."
Wajah Siang Cu menjadi pucat dan kedua tangannya menggigil. Gurunya yang memelihara dan mendidiknya semenjak kecil, yang kelihatan begitu penuh kasih sayang terhadapnya, benar benarkah gurunya telah melakukan perbuatan yang demikian kejinya terhadap orang tuanya? Akan tetapi keraguan ini dilenyapkan oleh ingatan betapa gurunya memang amat kejam dalam menghadapi orang orang Go bi pai dan ketika menyerbu rumah Thian te Kiam ong di Tit le. Namun, ia masih sangsi.... dan berkatalah ia tanpa disadari,
"Mungkinkah suhu melakukan hal itu....?"
"Kau tanyalah saja kepada si jahat Lam hai Lo mo, pasti dia lebih tahu akan hal itu," kata Sian Hwa yang kembali teringat akan keadaan suaminya. "Siauw Yang, mari kita segera menyusul ayahmu, siapa tahu kalau kalau Lam hai Lo mo yang jahat itu telah mengatur perangkap. Aku cukup kenal kecurangannya."
"Baik, ibu, memang tadinya akupun hendak ikut!"
"Gwat Eng, marilah kau pergi bersama kami, di Pulau Sam liong to kau akan dapat mencari bukti dari Lam hai Lo mo sendiri tentang penuturanku tadi."
Siang Cu memungut pedangnya dan mengangguk ia hanya dapat mengeluarkan kata kata perlahan yang diulang ulangnya kembali, "Kalau benar benar dia membunuh kedua orang tuaku"."
Biarpun kata kata yang diulang ulang ini tidak dilanjutkan, namun Siauw Yang dan Sian Hwa dapat menangkap ancaman maut yang terbayang pada mata gadis baju merah yang gagah itu dan diam diam mereka menaruh hati kasihan kepada gadis yang bernasib malang itu.
Siauw Yang tadi telah melihat betapa Pun Hui ditolong oleh Leng Li dan dibawa lari oleh pengantin itu, maka dapat dibayangkan bahwa ia amat gelisah memikirkan pemuda itu,
"Ibu, apakah ibu melihat di mana adanya Liem suheng?" Ia pura pura bertanya kepada ibunya.
Semenjak tadi, Sian Hwa juga memperhatikan Pun Hui karena ia tahu bahwa pemuda itu tidak pandai silat.
"Tadi kulihat dia dibawa pergi oleh pengantin wanita yang agaknya menolongnya dari serangan orang orang Pangeran Ciong. Entah ke mana dibawanya dan akupun tidak tahu mengapa pengantin wanita itu bahkan membantu kita."
"Dia adalah seorang sahabat, ibu. Dia puteri dari Sin tung Lo kai Thio Houw."
"Hm, tadi aku melihat pemuda itu dibawa lari dan dibela mati matian oleh calon isteri Ciong Pak Sui. Tentu ia akan selamat, tak perlu dikhawatirkan," kata Siang Cu yang juga melihat peristiwa itu.
Merah wajah Siauw Yang. Memang dia juga dapat menduga bahwa Leng Li tentu akan menolong Pun Hui dan tidak bermaksud buruk. Dia sendiri tak mengerti mengapa tiba tiba Leng Li memberon tak dan agaknya tidak suka menjadi isteri Pangeran Ciong, dan ia cukup tahu akan kegagahan nona ketua pengemis itu.
Akan tetapi kalau ia teringat betapa dahulu Leng Li oleh ayahnya hendak dijodohkan dengan Pun Hui dan oleh karena ditolak oleh Pun Hui lalu menjadi malu dan melarikan diri, hatinya tidak enak sekali. Tentu akan terjadi sesuatu antara mereka. Akan tetapi apakah dayanya? Ia harus pergi membantu ayahnya dan tentang Pun Hui, biarpun ia tak dapat melenyapkan kekhawatiran, untuk sementara waktu harus ia lupakan dulu.
Maka berangkatlah tiga orang wanita gagah itu mendayung sebuah perahu yang mereka sewa dari seorang nelayan, menuju ke Pulau Sam liong to. Siang Cu mengetahui jurusan mana yang paling mudah dan dekat untuk pergi ke Pulau Sam liong to itu, jalan yang jauh lebih dekat dibandingkan dengan jalan yang biasa diambil oleh Siauw Yang dahulu.
"Ha, ha, ha, Song Bun Sam. Kali ini kau tentu akan mampus bersama anakmu. Ha, ha, ha! Dan tak lama lagi isteri dan puterimu juga akan mampus!" Lam hai Lo mo berkali kali tertawa sambil menyindir nyindir ketika keadaan Bun Sam makin terdesak hebat.
Namun Bun Sam tidak patah semangat dan sedikitpun tidak pernah merasa gentar, ia pikir bahwa kalau ia selalu menangkis dan mengelak, maka ia kekurangan kesempatan untuk merobohkan lawannya yang sembilan orang banyaknya dan rata rata memiliki kepandaian tinggi itu. Aku harus merobohkan mereka seorang demi seorang, pikirnya. Dan untuk mencapai maksud ini, tiada lain jalan kecuali memberi umpan dan membiarkan dirinya terpukul!
Ketika ia melihat tongkat merah dari Ang tung hud menyambar ke arah perutnya, ia miringkan tubuh ke kanan sambil merendahkan badan, akibatnya tongkat itu menghantam pangkal lengan kanannya yang memegang pedang karena serangan Ang tung hud itu datangnya dari belakang.
Sambil mengerahkan lweekang ke arah pangkal lengan yang menerima pukulan tongkat, Bun Sam mengayun tangan kiri dengan pukulan Thai lek Kiam kong jiu dipukulkan ke arah dada Ang tung hud yang sudah kegirangan melihat serangan tongkatnya akan mengenai sasaran.
"Buk!" tubuh Bun Sam terpental sampai tiga kaki jauhnya ketika tongkat itu menghantam pangkal lengannya, akan tetapi ia dapat mempertahankan kedudukan kakinya sehingga dapat memutar pedang menangkis datangnya serangan susulan bertubi tubi dari pengeroyok lain.
Akan tetapi akibat pukulannya Thai lek Kim kong jiu tadi bukan main hebatnya. Ang tung hud yang terserang pukulan ini dengan tepat sekali di dadanya, merasa terdorong oleh tenaga yang hebat dan tubuhnya terjengkang. Darah merah tersembur keluar dan mulutnya dan kakek hwesio dari Tibet ini pingsan dengan wajah pucat sekali.
Ia roboh pingsan untuk selamanya karena tak lama kemudian nyawanya melayang meninggalkan raga yang telah terluka hebat di bagian dalam itu. Jantungnya pecah dan tulang tulang iganya patah patah. Demikianlah hebatnya ilmu Pukulan Thai lek Kim kong jiu peninggalan Kim Kong Taisu yang sudah dilatih dengan amat hebatnya oleh Bun Sam sehingga telah mencapai tingkat sempurna.
Lam hai Lo mo dan kawan kawannya menjadi marah sekali. Mereka mengurung makin rapat dan Lam hai Lo mo berteriak teriak mendesak kawan kawannya untuk segera merobohkan pendekar pedang itu.
Melihat hasil daripada akalnya yang bukan tidak berbahaya bagi keselamatan diri sendiri, Bun Sam berbesar hati. Pukulan tongkat tadi dapat ditolak kembali oleh tenaga lweekangnya dan ia hanya merasa agak panas pada pangkal lengannya. Akan tetapi hal ini tidak mengurangi ketangguhan ilmu pedangnya.
Untuk kedua kalinya ia memancing dan ketika ia melihat datangnya pukulan tangan kosong dan Sin kun sian orang ketiga dan See san Ngo sian, pukulan yang melayang menuju ke arah dadanya, ia tidak mengelak mundur, bahkan melangkah maju dan menerima pukulan itu dengan dadanya! Akan tetapi berbareng dengan itu, pedangnya melakukan gerakan menusuk ke depan.
"Blekk!" Dada Bun Sam terpukul oleh kepalan tangan Sin kun sian. Namanya saja sudah Sin kun sian (Dewa Kepalan Sakti), maka dapat dibayangkan kehebatan pukulan orang ke tiga dan See san Ngo sian ini yang memukul sambil mengerahkan tenaga Houw mo kang (Tenaga Siluman Harimau).
Bun Sam terjengkang dan harus mempergunakan ilmu Lompat Sin hong noan sin (Burung Hong Sakti Membalikkan Tubuh) dengan berpoksai (membuat salto) ke belakang sampai tiga kali memutar pedang menangkis semua serangan, sehingga ia tidak sampai jatuh. Akan tetapi, yang hebat adalah keadaan Sin kun Sian, karena ketika Bun Sam menerima pukulannya, pendekar pedang ini menusuk ke depan dan tanpa dapat dielakkan lagi, dada Sin kun sian tertembus oleh Oei giok kiam sehingga ia roboh dengan dada mengucurkan darah dan tewas tak lama kemudian!
Bun Sam makin besar hati sungguhpun pukulan dari Sin kun sian tadi biarpun dapat ditolak oleh tenaga khikangnya dan tidak mendatangkan luka berat di dalam dada, namun cukup membuat bajunya di bagian dada hancur dan kulit dadanya menjadi matang biru!
Pada saat itu, Lam hai Lo mo yang menjadi marah sekali lalu melakukan serangan hebat dengan tongkatnya, menotok jalan darah maut di ulu hati Bun Sam, Raja pedang ini cepat menangkis dengan pedangnya dan begitu pedang itu terbentur dengan tongkat bambu, pedang itu cepat meluncur ke kanan dengan gerakan yang amat tak terduga duga dan tahu tahu telah tertancap di perut Sin to sian orang ke lima dari See san Ngo sian.
Orang ini menjerit dan roboh mandi darah, dan pada saat itu Bun Sam juga mengeluh dan terhuyung huyung ke belakang. Ternyata bahwa ketika tadi tongkat bambunya kena ditangkis dan selagi Bun Sam menyerang Sin to sian, dengan gemas Lam hai Lo mo melakukan pukulan Sam hiat ci hoat ke arah jidat Bun Sam dengan tangan kirinya!
Mendengar suara hawa pukulan maut yang amat berbahaya ini dan mencium bau jari tangan yang sudah direndam dengan racun, Bun Sam cepat miringkan kepalanya Akan tetapi oleh karena pedangnya masih menancap di perut Sin to sian sehingga gerakannya terhalang dan kedudukan tubuhnya tidak sentausa. Biarpun Bun Sam capai menghindarkan mukanya dan pada pukulan maut itu, namun ia tidak dapat mencegah pundaknya terkena pukulan tiga jari berdarah dan Lam hai Lo mo!
Pedang Sinar Emas Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Tubuh Bun Sam terputar putar ketika ia terhuyung huyung ke belakang. Baiknya ia tadi telah mengerahkan lweekangnya ke arah pundak yang terpukul sehingga biarpun ia menderita luka berat, namun ia masih sadar dan di dalam keadaan terputar putar itu ia masih sempat pula memutar pedangnya melindungi tubuhnya!
Matinya Ang tung hud, Sin kun sian, dan Sin to sian secara berturut turut ini membuat Lam hai Lo mo dan yang lain lain marah sekali. Diam diam Lam hai Lo mo harus mengakui bahwa Bun Sam kini benar benar telah hebat sekali ilmu pedangnya. Akan tetapi ia juga girang melihat pukulannya Sam hiat ci hoat berhasil melukai pundak lawan yang tangguh itu. Ia percaya bahwa biarpun pukulannya itu tidak menewaskan Thian te Kiam ong, namun tentu akan banyak mengurangi kelihaian gerakan pedangnya.
Dugaannya memang tepat sekali. Bun Sam merasa betapa pundak dan pangkal lengannya sakit bukan main sehingga gerakan tubuhnya tidak lincah lagi. Ia terdesak hebat dan agaknya sebentar lagi ia takkan dapat mempertahankan diri.
"Hayo robohkan dia! Balas sakit bati kawan kawan kita yang tewas!" Seru Lam hai Lo mo berkali kali untuk memanaskan hati kawannya. Para pengeroyok tinggal enam orang lagi, namun keadaan mereka masih amat kuat.
Tiba tiba Eng Kiat yang tidak ikut bertempur dan berdiri menonton di pinggir, berseru,
"Celaka, Siauw Yang dan Siang Cu datang bersama nyonya Song!"
Mendengar ini, Bun Sam makin bersemangat, akan tetapi Lam hai Lo mo menjadi pucat sekali. Juga ia merasa heran bagaimana muridnya dapat berperahu dengan musuh musuhnya.
"Tung hai Sian jin, kau dan puteramu halangilah mereka mendarat. Gulingkan perahu!" seru Lam hai Lo mo.
Memang di antara semua orang yang berada di situ, agaknya yang dapat melakukan tugas ini hanyalah Tung hai Sian jin dan puteranya. Mereka berdua memiliki kepandaian di dalam air yang luar biasa. Tung hai Sian jin memang telah merasa penasaran menghadapi Bun Sam yang belum juga dapat dirobohkan, kini melihat datangnya Siauw Yang dan ibunya serta murid Lam hai Lo mo, timbul kekhawatiran besar. Ia lalu melompat mundur dan mengajak puteranya, "Hayo, Eng Kiat, kita gulingkan perahu mereka dan kita main main di air!"
Keduanya lalu berlari cepat ke dalam air, berenang ke arah perahu kecil yang didayung ke pantai. Bagaikan dua ekor ikan hiu saja Tung hai Sian jin dan puteranya berenang ke tengah menyongsong datangnya perahu.
Mereka yang duduk di dalam perahu yang didayung cepat itu tentu saja melihat apa yang terjadi di pantai. Sian Hwa dan Siauw Yang berdebar gelisah melihat Bun Sam dikeroyok oleh enam orang yang amat lihai gerakannya. Kemudian, mereka melihat dua orang melompat ke dalam air dan menyongsong kedatangan perahu mereka.
"Ibu, mereka itu adalah Tung hai Sian jin dan Bong Eng Kiat, dua orang yang ahli benar bermain dalam air. Tentu mereka berniat menggulungkan perahu kita!"
"Kurang ajar! tiba tiba Siang Cu yang semenjak tadi tidak berkata sesuatu dan wajahya muram dan keruh, memaki dua orang yang berenang itu, kemudian ia mencengkeram gagang dayung yang menjadi patah patah dan pecah pacah, dengan pecahan pecahan kayu dayung ini, ia lalu menyambit ke arah dua orang yang sedang berenang di permukaan air laut.
Biarpun benda yang dijadikan senjata penyambit oleh Siang Cu ini hanya pecahan kayu, namun karena di sambitkan dengan tenaga luar biasa, dapat merupakan senjata yang amat berbahaya. Hal ini diketahui oleh Tung hai Sian jin dan Eng Kiat dengan baiknya, maka begitu ada benda benda kecil meluncur cepat ke arah mereka, kedua ayah dan anak ini cepat menyelam di bawah permukaan air.
Melihat hal ini, Siang Cu dan Siauw Yang menjadi bingung dan mereka diam diam merasa khawatir sekali.
Kalau sampai dua orang itu dengan menyelam dapat sampai di bawah perahu mereka dan meng gulingkan perahu di tempat yang masih dalam itu, celakalah mereka. Akan tetapi, Sian Hwa yang sudah lebih banyak pengalamannya dan lebih masak jalan pikirannya, lalu berkata kepada mereka,
"Anak anak, kalian jagalah pinggiran dan bawah perahu dengan dayung, pukul apabila melihat bayangan di dalam air, biar aku sendiri yang mendayung perahu ke pinggir."
Mendengar ini Siauw Yang dan Siang Cu menjadi girang dan memuji kecerdikan nyonya itu. Siang Cu dari kiri dan Siauw Yang dari kanan perahu lalu menjenguk ke pinggir dan menjaga dengan dayung di tangan, siap untuk menusuk atau memukul apabila dua orang ayah dan anak itu muncul.
Tiba tiba di bawah perahu kelihatan bayang bayang dua sosok tubuh manusia yang bergerak seperti ikan di bawah perahu Siauw Yang menusukkan dayungnya dan Siang Cu mengemplang bayangan kedua.
Alangkah kagetnya Tung hai Sian jin dan Bong Eng Kiat ketika dua batang dayung menyerang mereka dengan hebat dari atas permukaan air. Mereka tidak mengira bahwa orang orang yang berada di atas perahu telah menjaga dan telah menanti kedatangan mereka.
Dengan cepat mereka menyelam lagi lebih dalam sehingga pukulan pukulan dayung itu tidak mengenai tubuh mereka. Akan tetapi perahu meluncur cepat karena terus didayung oleh Sian Hwa yang mengerahkan seluruh tenaganya.
Nyonya ini tidak memperdulikan luka lukanya setelah kini ia melihat keadaan suaminya, ia ingin cepat cepat mendarat agar dapat segera menolong dan membantu suaminya itu.
Ketika Tung hai Sian jin dan Bong Eng Kiat melihat bahwa usaha mereka menggulingkan perahu tidak berhasil dan melihat perahu itu meluncur ke pulau, mereka menjadi bingung dan kecewa. Apalagi Eng Kiat karena tadinya sudah ia bayangkan betapa ia akan dapat memeluk Siauw Yang dan Siang Cu sekaligus.
Di dalam air, ia tidak usah takut kepada dua orang dara manis yang selalu terbayang di depan matanya itu. Akan tetapi, ternyata harapannya meleset. Tidak saja ia dan ayahnya tidak berhasil menggulingkan perahu, bahkan tiga orang wanita gagah itu kini sudah melompat ke darat dan kalau mereka kembali ke pulau mungkin sekali mereka juga takkan dapat menghadapi Thian te Kiam ong yang kini kedatangan pembantu pembantu yang amat lihai itu.
Tung hai Sian jin yang cerdik lalu memberi tanda kepada puteranya dan keduanya tidak kembali lagi ke pulau Sam liong to, melainkan terus berenang ke arah perahu mereka dan kabur.
Begitu mendarat dan melompat ke pantai, Sian Hwa dan Siauw Yang lalu menyerbu para pengeroyok. Bun Sam girang sekali melihat isteri dan anaknya selamat, sebaliknya Siauw Yang bukan main marahnya. pedangnya berkelebat cepat dan dalam beberapa gebrakan saja ia telah berhasil membabat putus pinggang Pat Jiu Sian, orang pertama dan See san Ngo sian.
Akan tetapi sebaliknya, begitu tiba di pantai, Siang Cu melihat tek hong yang masih menggeletak di atas pasir. Ia kaget bukan main dan melupakan segalanya, menubruk pemuda itu dan berseru,
"Tek hong....!"
Siauw Yang, Sian Hwa dan Bun Sam menjadi terheran heran melihat sikap gadis baju merah ini, akan tetapi mereka tiada banyak kesempatan untuk memperhatikan Siang Cu karena mereka masih menghadapi keroyokan lima orang musuh lihai.
Adapun Siang Cu setelah meraba tubuh Tek Hong yang masih hangat, tahu bahwa pemuda yang dikasihinya itu belum tewas, maka hatinya sedikit lega. Ia melihat tiga tapak jari merah di muka pemuda itu, maka tahulah ia bahwa yang melakukan hal ini adalah suhunya.
Biarpun ia sendiri belum pernah mempelajari ilmu pukulan yang jahat ini namun ia pernah melihat suhunya melatih diri dengan ilmu ini dan tahu pula bahwa pukulan ini mengandung racun yang berbahaya sekali.
Teringatlah ia akan penuturan Sian Hwa dan kini Siang Cu mulai bangkit perlahan sedangkan kedua matanya melirik ke arah suhunya bagaikan sepasang mata burung hong yang sedang marah.
Adapun Lam hai Lo mo ketika melihat muridnya, segera berseru,
"Siang Cu, muridku yang baik, lekas kau bantu gurumu membasmi musuh musuh besar yang sudah membikin sengsara gurumu, Siang Cu!" Lam hai Lo mo tahu bahwa kepandaian muridnya sudah cukup tinggi dan boleh diandalkan, maka kalau muridnya mau membantu, keadaannya tidak amat terdesak.
Benar saja Siang Cu menghunus pedangnya dan melompat mendekati gurunya. Akan tetapi dara ini tidak menggerakkan pedangnya untuk membantu suhunya, melainkan dengan mata berapi, ia bertanya,
"Suhu, tahukah suhu siapa adanya Pangeran Kian Tiong dan Puteri Luilee?"
Mendengar pertanyaan ini, pucatlah muka Lam hai Lo mo. Akan tetapi bukan saja ia tidak dapat menjawab, bahkan tidak sempat karena pada saat itu, Siauw Yang telah mendesak dengan hebat, apa lagi kini Sian Hwa ikut mengamuk dan juga Bun Sam setelah melihat anak isterinya selamat, ilmu pedangnya menjadi makin kuat saja, sungguhpun pendekar ini telah terluka hebat.
Sedangkan di fihak Lam hai Lo mo kini tinggal lima orang lagi, yakni Lam hai Lo mo sendiri dibantu oleh Sam thouw hud, Toat beng sian dan Koai kiam sian. Akan tetapi, ternyata Tung hai Sian jin tidak muncul muncul lagi, maka makin gelisahlah hati Lam hai Lo mo. Ia mengira bahwa Tung hai Sian jin dan puteranya telah tewas ketika menyongsong kedatangan perahu tadi sehingga kini di fihaknya hanya ada empat orang!
Keadaan Lam hai Lo mo dan tiga orang kawannya terdesak hebat. Lam hai Lo mo memang curang dan licik. Melihat keadaan fihaknya amat terancam dan muridnya tidak mau membantu bahkan mengajukan pertanyaan yang amat mengagetkan hatinya, ia lalu memutar tongkat nya sedemikian rupa sehingga Siauw Yang terpaksa mundur. Kesempatan ini dipergunakan olehnya untuk melompat jauh dan melarikan diri sambil memaki Siang Cu.
"Siang Cu, kau murid durhaka, tidak mau membantu gurumu. Percuma saja kudidik kau sampai bertahun tahun!"
"Suhu, terangkan dulu siapa adanya Pangeran Kian Tiong dan Puteri Luilee!" Siang Cu berteriak sambil mengejar kakek buntung itu.
"Lam hai Lo mo, kau hendak lari ke mana?" bentak Siauw Yang sambil mengejar juga. Dua orang gadis itu seakan akan berlumba mengejar Lam hai Lo mo. Akan tetapi harus diakui bahwa kakek ini sungguhpun kakinya hanya tinggal sebelah, larinya bukan main cepatnya, dibantu oleh tongkat bambunya yang seperti menggantikan kedudukan kakinya yang sudah buntung.
Lam hai Lo mo mempunyai banyak tempat sembunyi di dalam gua guanya dan karena ia maklum bahwa muridnya sudah mengetahui semua persembunyian itu, ia lalu lari ke sebuah gua yang semenjak dahulu ia rahasiakan dari muridnya. Gua ini dari luar merupakan gua biasa saja, akan tetapi begitu ia masuk ke dalamnya, sebuah pintu rahasia dan batu besar menutup lubang masuk dari dalam secara otomatis.
Dalam waktu yang sama Siauw Yang dan Siang Cu tiba di depan gua. Dua orang gadis ini tanpa banyak cakap dan tanpa berunding lebih dulu, segera menggunakan tenaga mendorong batu besar yang menutup pintu gua. Dengan pengerahan tenaga bersama, dua orang dara perkasa itu berhasil mendorong batu besar itu menggelinding ke samping.
Akan tetapi berbareng dengan menggelindingnya batu penutup lubang itu, terdengar suara keras dan dari gunung di atas gua itu berhamburan jatuh batu batu yang menggelinding dari atas!
Baiknya Siauw Yang dan Siang Cu amat gesit. Melihat ancaman hebat ini mereka cepat melompat ke dalam gua sehingga terhindarlah mereka dari timpaan batu yang banyak itu. Akan tetapi, ternyata bahwa gua itu mempunyai empat lorong atau terowongan yang amat gelap. Tanpa banyak cakap lagi Siauw Yang mengejar melalui terowongan sebelah kiri sedangkan Siang Cu yang belum pernah memasuki gua persembunyian gurunya ini lalu mengejar ke kanan.
Sementara itu, dengan bantuan isterinya, Bun Sam dengan mudah membereskan tiga orang lawan nya, yakni San thouw hud, Toat Beng sian, dan Koai kiam san. Tiga orang kakek ini setelah ditinggalkan secara pengecut sekali oleh Lam hai Lo mo, menjadi hilang semangat mereka. Gerakan mereka menjadi lambat sekali dan pedang tangan Bun Sam bagaikan sinar kilat menyambar nyambar.
Terdengar pekik susul menyusul ketika tiga orang kakek itu seorang demi seorang roboh terkena serangan pedang Oei giok kiam yang dimainkan oleh Bun Sam secara istimewa sekali. Nyawa mereka menyusul empat orang kawan yang sudah pergi terlebih dulu. Dengan tewasnya tiga orang ini maka seluruh pengurus Sam hiat ci pai yang sembilan orang banyaknya itu hanya tinggal dua orang lagi, yakni Lam hai Lo mo dan Tung hai Sian jin, sedangkan yang tujuh orang telah tewas.
Akan tetapi, setelah berhasil merobohkan tiga orang pengeroyoknya itu, Bun Sam mulai lemas dan pengaruh luka luka di tubuhnya membuat matanya berkunang kunang dan kepalanya pening.
"Syukur kau selamat.... katanya kepada Sian Hwa sambil tersenyum, "akan tetapi, anak kita.... Tek Hong...." dengan tindakan limbung Raja Pedang ini menghampiri tubuh Tek Hong yang masih menggeletak di atas pasir. Akan tetapi ia telah lelah sekali dan tergulinglah Bun Sam di sebelah puteranya dalam keadaan pingsan.
Sian Hwa menjadi bingung sekali. Apalagi ketika ia melihat keadaan Tek Hong yang seperti sudah tak bernyawa lagi.
"Siauw Yang....!" teriaknya keras keras memanggil puterinya yang tadi mengejar Lam hai Lo mo. Akan tetapi yang datang bukan Siauw Yang, melainkan Siang Cu. Kalau Siauw Yang masih penasaran dan mencari cari jejak Lam hai Lo mo di dalam terowongan yang panjang itu adalah Siang Cu yang lebih mengenal keadaan di situ, telah dapat menduga bahwa suhunya itu telah berhasil melarikan diri keluar dari gua di balik bukit dan tentu suhunya itu telah melarikan diri dengan perahu tanpa terlihat oleh mereka. Maka Siang Cu keluar lebih dulu dari pada Siauw Yang.
Melihat Siang Cu berlari mendatangi, Sian Hwa berkata dengan suara bingung.
"Gwat Eng anakku yang baik, di mana adanya Siauw Yang?"
"Aku tidak tahu ke mana perginya, akan tetapi suhu sudah pergi jauh dari pulau ini. Dan harap jangan panggil aku dengan lain nama karena namaku adalah Ong Siang Cu,"
Mendengar jawaban yang ketus ini Sian Hwa mengerutkan kening.
"Kau agaknya masih belum percaya kepadaku? Belum percaya akan penuturanku bahwa kau adalah puteri dan Pangeran Kian Tiong dan Puteri Luilee? Tunggulah aku mengambil surat peninggalan ayah mu...." Sian Hwa tergopoh gopoh mengambil surat itu yang berada di saku baju suaminya, ia perlu meyakinkan gadis ini karena kalau sampai gadis ini ragu ragu dan kemudian membela suhunya yang jahat sedangkan suaminya masih pingsan, benar benar merupakan hal yang hebat.
Siang Cu menerima surat itu dan ketika ia membaca surat peninggalan Pangeran Kian Tiong yang ditujukan kepada Song Bun Sam, hatinya berdebar. Akan tetapi ia segera memasukkan surat itu ke dalam saku bajunya sambil berkata,
"Sebelum aku bicara dengan suhu, hatiku belum yakin benar?"
Sian Hwa tercengang. Kekasaran sikap gadis ini melukai perasaannya. "Kau benar benar tidak percaya kepada kami keluarga Song?"
Siang Cu telah menghampiri Tek Hong dan berlutut di dekat tubuh pemuda itu. Ia memeriksa keadaan Tek Hong dengan penuh perhatian. Hanya dengan memandang ke arah jidat dan wajah pemuda itu, tahulah dia bahwa pemuda ini terkena racun ular merah yang amat berbahaya. Akan tetapi mendengar seruan nyonya itu, ia memandang dan berkata ketus,
"Bagaimana aku bisa percaya kepada keluarga yang sudah begitu kejam menyiksa seorang tua sehingga suhuku menjadi seorang yang bercacad seumur hidupnya?"
"Gwat Eng....! Kau salah duga...." kata Sian Hwa, akan tetapi gadis baju merah itu telah memondong tubuh Tek Hong dan membawanya melompat jauh.
"Tunggu, kau hendak membawa ke mana anakku itu?" pertanyaan ini diajukan terdorong oleh rasa heran yang jauh lebih besar daripada perasaan khawatir.
"Dia terluka parah, kalau tidak lekas mendapat obat penawar racun, takkan tertolong jiwanya."
"Jangan bawa dia pergi. Aku tidak percaya melihat sikapmu yang kasar!" Sian Hwa melompat mengejar. Akan tetapi gerakan Siang Cu lebih cepat dan dalam beberapa kau lompatan saja ia telah pergi jauh.
"Percaya atau tidak bukan urusanku. Pendeknya aku tidak bisa melihat Tek Hong tewas begitu saja. Aku harus menolongnya."
(Lanjut ke Jilid 48)
Pedang Sinar Emas/Kim Kong Kiam (Serial Pedang Sinar Emas)
Karya : Asmaraman S. Kho Ping Hoo
Jilid 48
Sian Hwa hendak mengejar terus, akan tetapi teringat akan suaminya, ia menjadi bingung dan tidak tega meninggalkan suaminya seorang diri.
"Nona, tunggu dulu!" teriaknya. "Mengapa kau lakukan hal itu? Mengapa kau berkeras hendak menolong Tek Hong?"
Dari jauh Siang Cu menjawab, "Aku cinta padanya!"
Jawaban yang keras dan terus terang ini benar benar membuat Sian Hwa terpukul hatinya dan ia berdiri bengong memandang ke arah gadis baju merah yang berlari cepat sekali sambil memondong tubuh Tek Hong, ia merasa tidak ada gunanya mengejar Siang Cu yang demikian cepat larinya. Setelah tertegun sampai lama, nyonya ini lalu berseru memanggil puterinya berkali kali.
"Siauw Yang....! Kau lekas kemarilah!"
Akan tetapi ketika Siauw Yang muncul keluar dari gua setelah dengan sia sia mencari Lam hai Lo mo, Siang Cu telah pergi jauh dengan Tek Hong mempergunakan sebuah perahu.
"Siauw Yang, Tek Hong telah dibawa pergi oleh Gwat Eng, dan ayahmu...." kata Sian Hwa dengan wajah pucat, kelihatannya bingung sekali.
Siauw Yang terheran mendengar bahwa kakaknya dibawa pergi oleh Siang Cu atau Gwat Eng, akan tetapi lebih dulu ia berlutut mendekati ayahnya dan bersama ibunya ia memeriksa keadaan ayahnya.
Keduanya menjadi lega ketika melihat bahwa Bun Sam pingsan terutama karena lelah dan menge luarkan banyak darah, sedangkan luka lukanya, biarpun yang terjadi karena pukulan Sam hiat ci hoat, tidak berbahaya. Semua ini berkat dari latihan yang mendalam dari Raja Pedang itu sehingga tubuh nya amat kuat dan tenaga lweekangnya telah sangat tinggi.
Setelah mendapat kenyataan bahwa keadaan ayahnya tidak mengkhawatirkan, baru Siauw Yang bertanya kepada ibunya, akan tetapi lebih dulu ia memasukkan sebutir pel pembersih darah dalam mulut ayahnya.
"Ibu, mengapa dia membawa pergi Hong ko?"
"Entah.... dia bilang bahwa nyawa Hong ji amat terancam oleh racun pukulan, dan takkan tertolong kalau tidak lekas lekas diobati. Ia memaksa membawanya pergi untuk mengobatinya." Sian Hwa merasa tidak enak untuk menceritakan tentang pengakuan cinta gadis baju merah itu terhadap Tek Hong.
Mendengar penuturan ibunya, Siauw Yang menarik napas panjang dan berkata, "Orang itu benar benar aneh sekali. Ia ganas dan jahat, pantas menjadi murid Lam hai Lo mo, akan tetapi ada sesuatu yang aneh padanya."
"Dia ganas dan sikapnya kasar karena semenjak kecil dididik oleh Lam hai Lo mo, akan tetapi gerak geriknya gagah seperti ayah bundanya."
"Apakah ibu yakin benar bahwa dia itu benar benar anak Pangeran Kian Tiong yang diculik orang?"
"Tak salah lagi, tentu dia puteri Pangeran Kian Tiong. Kasihan sekali nasib gadis itu...." kata Sian Hwa dan kembali air matanya berlinang karena nyonya ini teringat akan Pangeran Kian Tiong dan Puteri Luilee yang baik hati dan yang terbunuh oleh kakek buntung. Sekarang ia tidak ragu ragu lagi bahwa pembunuh mereka itu bukan lain tentulah Lam hai Lo mo.
"Yang mengherankan hatiku, bagaimana dia bisa mengenal Hong ko dan mengapa pula dia begitu bersusah payah hendak mengobati Hong ko...." kata Siauw Yang sambil berpikir keras, kemudian katanya seperti kepada diri sendiri, "tak dapat diragukan lagi bahwa dahulu mereka tentu pernah bertemu dan agaknya ada terjadi sesuatu di antara mereka...."
Diam diam Sian Hwa memperhatikan puterinya, Hm, kalau gadis puterinya ini sudah dapat menarik kesimpulan sedemikian jauhnya, itu hanya berarti bahwa puterinya inipun sudah pernah mengalami sesuatu yang mengesankan hatinya, dan agaknya takkan jauh meleset dugaannya bahwa puterinya inipun tentu "ada apa apanya" dengan Liem Pun Hui.
Percakapan mereka terhenti ketika Bun Sam terdengar mengeluh dan pendekar ini siuman dari pingsannya. Begitu siuman, ia perlahan lahan bangkit, duduk dan bertanya,
"Bagaimana Lam hai Lo mo?"
"Dia dapat melarikan diri, ayah," kata Siauw Yang.
"Dan di mana Tek Hong?" Bun Sam menengok ke tempat di mana tadi ia meletakkan puteranya.
"Dia dibawa pergi oleh Siang Cu untuk diobati karena lukanya amat berbahaya," jawab Siauw Yang lagi.
"Siang Cu? Siapa dia?"
Siauw Yang lalu menuturkan pertemuannya dengan murid Lam hai Lo mo itu dan menuturkan semua pengalamannya di rumah Pangeran Ciong. Bun Sam mendengarkan dengan penuh perhatian dan akhirnya ia berkata,
"Sudah kuduga bahwa Pangeran Ciong itu tentu bukan orang baik baik. Sudah semestinya ia binasa. Akan tetapi tentang gadis itu.... benar benarkah dia Kian Gwat Eng puteri Pangeran Kian Tiong dan Luilee?"
"Tidak salah lagi, aku Sudah yakin benar akan hal itu." Sian Hwa lalu menuturkan dengan jelas tentang Siang Cu. Akan tetapi ia segera menunda penuturannya ketika melihat wajah suaminya berkerut dan pucat.
"Kau pucat sekali...."
Bun Sam menarik napas panjang. "Lam hai Lo mo lihai dan jahat sekali. Bekas pukulan jari tangannya amat berbahaya dan aku amat khawatir akan keadaan putera kita. Aku sendiri yang terkena pukulan itu, kiraku sedikitnya tiga hari aku harus beristirahat, mengatur napas dan membersihkan darah di pulau ini. Aku tidak bisa mencari Tek Hong..." Bun Sam nampak lelah sekali.
"Sudahlah, jangan kau banyak bicara dan banyak berpikir. Tek Hong sudah dibawa oleh Gwat Eng dan aku percaya bahwa gadis itu tentu mewarisi kemuliaan hati orang tuanya. Kau beristirahatlah, biar kita tinggal tiga hari di tempat ini!" Isteri yang setia dan mencintai ini lalu membantu Bun Sam berdiri dan digandengnya suami yang terluka ini menuju ke gua bekas tempat tinggal Lam hai Lo mo di mana Bun Sam akan merawat dirinya.
Sian Hwa keluar kembali menemui puterinya. Ia melihat Siauw Yang duduk termenung dengan sepasang alis bersambung.
Ibu yang bijaksana ini dapat menduga mengapa puterinya bermenung dengan wajah muram.
"Siauw Yang, ayahmu hendak beristirahat dan memulihkan kesehatannya di Pulau Sam liong to ini. Biar aku yang menjaganya di sini, kau boleh pergi untuk menyelidiki keadaan Pun Hui. Kalau dia selamat, syukurlah. Dan setelah kau berhasil, tak usah kau kembali ke sini, terus saja kau kembali lebih dulu ke Tit le. Kamipun akan segera kembali ke sana karena rumah sudah terlalu lama kita tinggalkan."
Seketika itu juga, wajah cantik yang tadinya muram itu menjadi terang berseri, seakan akan bayang bayang gelap tertimpa sinar matahari.
"Baik, ibu. Aku akan mengerjakan perintahmu," jawabnya dengan nada suara seorang anak penurut. Diam diam Sian Hwa menjadi geli melihat sikap Siauw Yang ini.
Biasanya, semenjak kecil, kalau disuruh apa apa, gadis ini mengomel dan malas malasan, akan tetapi sekarang ia demikian penurut! Sian Hwa memang suka melihat Pun Hui, dan dia pernah mengalami buaian cinta kasih, maka diam diam ia merasa amat terharu menyaksikan betapa puterinya pada saat itu sama benar dengan keadaannya ketika masih muda, ketika ia terpaksa berpisahan dengan Bun Sam yang pada masa itu masih merupakan seorang pemuda yang telah menempati ruang hatinya.
Setelah berpamit kepada ayah bundanya dan mendapat ijin persetujuan mereka, berangkat lah Siauw Yang meninggalkan Pulau Sam liong to, untuk mencari Pun Hui. Ia tahu ke mana harus menyusul Bi sin tung Thio Leng Li, gadis puteri Sin tung Lo kai Thio Houw yang secara aneh sekali telah membawa lari Pun Hui. Diam diam ia merasa heran, akan tetapi rasa khawatirnya lebih besar lagi, karena memang peristiwa yang dilihatnya amat mengherankan dan mencurigakan.
Bagaimana Leng Li bisa merayakan pernikahan dengan Pangeran Ciong, dan mengapa kemudian puteri Ketua Pengemis itu menolong Pun Hui dan membawanya lari? Dengan cepat Siauw Yang melakukan perjalanan dan mendarat di pantai Tiongkok, lalu menuju ke tempat di mana Perkumpulan Pengemis Tongkat Sakti Merah berpusat, yakni di sebelah barat saluran.
Kita tinggalkan dulu Siauw Yang dan mari kita mengikuti perjalanan Siang Cu yang membawa pergi Tek Hong. Pemuda itu masih pingsan. Akibat pukulan Sam hiat ci hoat yang dilakukan oleh Lam hai Lo mo tepat mengenai jidatnya, meninggalkan tanda bekas jari tiga buah yang merah warna nya. Kalau saja Tek Hong tidak mempergunakan tenaga Kim kong ketika ia dahulu dipukul oleh Lam hai Lo mo, tentu sekarang ia telah tewas.
Pukulan Sam hiat ci hoat memang amat jahat. Pukulan ini mengandung hawa racun yang berasal dari ular ular merah. Apalagi dilakukan oleh Lam hai Lo mo sendiri, pencipta dari ilmu pukulan mengerikan itu, tentu saja jauh lebh hebat dari pada apabila pukulan ini diakukan oleh anggauta anggauta lain dari Sam hiai ci pai.
Biarpun Siang Cu sendiri belum pernah mempelajari ilmu pukulan ini, namun ia pernah mendengar dari suhunya tentang kelihaian racun ular merah. Pernah Lam hai Lo mo menuturkan kepadanya bahwa racun ular merah itu adalah racun yang pengaruhnya berbahaya sekali dan yang tidak dapat disembuhkan oleh pengobatan apapun juga kecuali oleh obat katak putih yang berada di daerah di mana ular ulur merah itu hidup.
Dan Siang Cu tahu di mana daerah ular merah itu, yakni di daerah Tiongkok, daerah dingin yang sering kali menjadi tempat penuh dengan buku buku salju. Pernah satu kali ia diajak oleh suhunya ke daerah ini di mana suhunya menangkap seekor ular merah untuk diambil racunnya.
Akan tetapi, tetap saja hati Siang Cu ragu ragu dan khawatir sekali. Selama dua hari di daerah itu dengan suhunya, biarpun suhunya sudah mencari ke sana ke mari dengan bantuannya, mereka tak dapat menemukan seekorpun katak putih. Menurut penuturan suhunya, di seluruh daerah bersalju itu, belum tentu ada tiga ekor katak putih paling banyak hanya sepasang dan itupun takkan mudah didapatkan orang. Katak itu bersembunyi di bawah salju dan berbeda dengan katak katak biasa, kalau bertelur, di antara seribu telur, paling banyak hanya ada sepasang atau dua ekor saja yang menetas.
Pemberontakan Taipeng Eps 12 Pedang Naga Kemala Eps 9 Pedang Naga Kemala Eps 41