Pemberontakan Taipeng 12
Pemberontakan Taipeng Karya Kho Ping Hoo Bagian 12
"Engkau tidak tahu bahwa pusaka ini adalah pusaka yang telah dikaruniakan dan diperuntukkan aku oleh Tuhan sendiri, sebagai lambang kekuasaanku untuk menyelamatkan dunia dan manusianya, Lee Song Kim. Akan tetapi karena engkau telah mengambilnya dengan niat baik, biarlah aku memaafkanmu. dan sebagai gantinya, engkau boleh memiliki pusaka tiruannya, dan engkau boleh menyatakan kepada dunia kang-ouw bahwa itu adalah Giok-Liong-Kiam aseli agar engkau tetap menjadi bengcu. Jadilah bengcu, kumpulkan orang-orang kang-ouw dan bawa mereka kepadaku untuk membantu gerakan Tai Peng, dan engkau akan menjadi pembantuku yang paling baik. Engkau akan kuberi kedudukan tinggi dan kemuliaan. Bagaimanapun juga, engkau adalah Suheng dari permaisuri kami."
Lee Song Kim menjadi girang bukan main. Biarpun dahulu ia menganggap Ong Siu Coan orang biasa, rekan di dunia kang-ouw, bahkan saingannya, namun kini dia tidak boleh memandangnya sebagai orang setingkat. Ong Siu Coan telah menjadi seorang raja besar dengan kekuasaan pula, hidup bergelimang kekuasaan, kemuliaan dan kemewahan. Tentu saja dia tidaklah begitu bodoh untuk menentang seorang seperti Ong Siu Coan, dan kalau saja dia dapat menjadi orang kepercayaannya, tentu dia akan ikut pula hidup dalam kemuliaan. Selain itu, di situ terdapat pula Kiki yang masih demikian menggairahkan, dengan senyum manis dan lirikan mata yang demikian penuh rahasia dan tantangan! Dengan sikap hormat dan berterima kasih, Song Kim menerima penawaran raja itu dan mulai hari itu diapun menjadi orang kepercayaan Ong Siu Coan.
Tugasnya hanyalah melanjutkan kedudukannya sebagai bengcu di antara kaum kang-ouw, lalu mengumpulkan orang-orang kang-ouw membujuk mereka agar suka menjadi para anggauta pasukan istimewa yang membantu gerakan pasukan Tai Peng yang masih berniat untuk melakukan penyerangan ke utara dan menundukkan seluruh kekuasaan Kerajaan Mancu yang mulai lemah. Song Kim memperoleh tempat tinggal di kompleks istana yang megah itu, dan hidup sebagai seorang panglima muda atau juga pengawal pribadi raja yang memiliki kekuasaan besar. Bahkan dia dapat keluar masuk istana, di bagian manapun, tanpa larangan dan tidak ada pengawal istana yang berani melarangnya karena dia telah memperoleh ijin dan tanda kuasa sendiri oleh raja!
Tentu saja kesempatan ini dipergunakan oleh Lee Song Kim untuk memasuki istana di bagian paling dalam, mencari dayang-dayang yang paling cantik, merayunya dan karena hal ini tidak dilarang pula oleh Ong Siu Coan yang memanjakan pembantu ini, maka banyaklah sudah dayang yang jatuh ke dalam pelukan Lee Song Kim! Beberapa hari kemudian, ketika Lee Song Kim seperti biasa berjalan-jalan di seluruh kompleks istana, tibalah dia di dapur istana yang secara kebetulan dia melihat Sheila bekerja di sana. Dia terkejut, terheran, lalu kagum melihat wanita kulit putih yang biarpun usianya sudah tiga puluh tahun lebih, namun masih nampak cantik jelita dan bahkan sudah masak menggairahkan. Hatinya segera tertarik sekali dan diapun mendekati Sheila, mengajaknya bicara.
"Aih, sungguh mati, kukira di sini aku telah bertemu dengan seorang bidadari! Nona, engkau tentu seorang bidadari dari sorga, bukan?" demikian Song Kim menegur Sheila yang sedang berada di luar dapur. Sheila bukan seorang wanita yang kaku atau pemalu. Ia sudah mendengar akan munculnya seorang panglima yang tampan dan pandai merayu wanita sehingga banyak dayang yang jatuh hati kepada pria itu. Kini di depannya berdiri pria yang disohorkan itu, dan harus diakuinya bahwa pria itu memang ganteng dan gagah dan pandai pula merayu hati wanita.
"Bagaimana Ciangkun dapat menduga bahwa aku seorang bidadari sorga?" tanyanya dengan suara biasa, tidak nampak genit.
"Tentu saja karena aku sudah mendengar sendiri dari Sri Baginda bahwa para bidadari itu bermata biru dan berambut kuning emas!"
"Tidak, Ciangkun. aku adalah seorang pelayan biasa yang bertugas di dalam dapur. Dan maafkan, aku bukan gadis remaja lagi, melainkan seorang Ibu dari anak yang usianya sudah belasan tahun. Maaf, banyak pekerjaan menumpuk yang harus kubereskan." dan iapun masuk ke dalam dapur, meninggalkan Lee Song Kim yang terlongong dan merasa hatinya copot dan keluar dari rongga dadanya, berloncatan mengikuti bayangan wanita bermata biru berambut kuning keemasan. Song Kim tidak mau berhenti sampai di situ saja. Dia lalu bertanya-tanya, mulai melakukan penyelidikan tentang diri wanita kulit putih yang telah menjatuhkan hatinya itu.
Tentu saja dia menjadi semakin tertarik dan kagum ketika mendengar bahwa wanita itu adalah janda pendekar Gan Seng Bu, adik seperguruan Ong Siu Coan sendiri! Bahkan wanita itu adalah janda yang selama belasan tahun dapat mempertahankan diri, hidup menjanda bersama seorang puteranya, dan akhirnya dapat ditemukan oleh seorang kepercayaan raja, dan dibawa ke istana itu. Karena wanita kulit putih itu ternyata masih mempunyai hubungan dengan raja, yaitu merupakan adik ipar seperguruan, Song Kim bersikap hati-hati dan tidak berani lancang mempergunakan kekerasan. Kalau dia mempergunakan kekerasan, tentu akan membuat raja merasa tersinggung. Akan tetapi diapun dapat menduga bahwa wanita kulit putih tidak terlalu dianggap keluarga oleh raja. Buktinya hanya dipekerjakan sebagai seorang pelayan dapur.
Kalau dia memintanya kepada raja, tentu akan diserahkan kepadanya dengan baik. Dalam keadaan dimabok cinta, akhirnya Song Kim menyatakan isi hatinya ketika pada suatu hari dia berkesempatan menghadap raja dan permaisuri seorang diri saja. Mendengar pernyataan Song Kim bahwa dia suka kepada dayang bernama Sheila dan mohon perkenan raja untuk dapat mengambil janda itu senagai isteri. Ong Siu Coan terbelalak lalu tertawa bergelak. Dia sendiri pernah tergila-gila kepada Sheila, akan tetapi bukan mencintanya, hanya sekedar terangsang berahinya melihat wanita berkulit putih bermata biru berambut emas itu. Akan tetapi setelah Kiki mempergokinya dan marah-marah, dan melihat betapa Sheila menolaknya, berahinya memadam. kini mendengar bahwa seorang kepercayaannya itupun tergila-gila, dia merasa geli dan juga girang.
"Bagus sekali kalau engkau hendak menikah dengan Sheila!" kata raja sambil tertawa.
"Dia adalah janda Suteku, kini pantaslah kalau menjadi isterimu, Lee Song Kim. Aku setuju sekali!"
"Aku tidak setuju!" Tiba-tiba sang permaisuri berkata, suaranya ketus dan tajam sehingga Ong Siu Coan dan Lee Song Kim menengok, memandang kepada wanita cantik itu.
"Aku tidak perduli dan sama sekali bukan urusanku kalau Lee Song Kim hendak mengambil isteri wanita yang mana saja. Akan tetapi jangan Sheila! Ingatlah bahwa ia adalah seorang wanita kulit putih! Padahal, Lee Song Kim bertugas sebagai bengcu dan menarik sebanyak mungkin orang-orang dari dunia kang-ouw untuk membantu kita. Apakah hal ini tidak akan mendatangkan kesan buruk terhadap para orang kang-ouw kalau dia mengambil isteri seorang wanita bule?"
"Hamba tidak ada kesan buruk itu, bahkan membanggakan! Dan tentang bagaimana sikap orang-orang kang-ouw, hal ini hamba sanggup untuk menghadapi dan mengatasinya," kata Lee Song Kim dengan alis berkerut. Akan tetapi Ong Siu Coan sudah mengangguk-angguk, agaknya membenarkan pendapat permaisurinya, dan diapun menjadi bimbang. Biarpun dia ingin menyenangkan hati pembantu yang amat berharga ini, namun tentu saja yang paling penting adalah memikirkan akibat yang akan menimpa kekuatan Tai Peng. Kalau benar pendapat permaisurinya, berarti pernikahan itu hanya akan merugikan Tai Peng, merugikan kerajaannya, merugikan dia!
"Hemm, hal ini memang perlu dipikirkan dengan panjang lebar, Lee Song Kim. Urusan jodoh bukanlah urusan sehari dua hari yang diputuskan dengan terburu dan tergesa-gesa. Kita tunda dulu dan kita pikirkan bersama baik-buruknya, untung ruginya. Setelah sebulan kemudian, baru kita akan bicarakan kembali." Tentu saja Song Kim tidak berani membantah atau memperlihatkan sikap kecewa walaupun diam-diam dia merasa kecewa dan marah kepada bekas sumoinya itu. Terpaksa dia bersikap sabar menanti sampai raja menyetujuinya, hal yang tadinya dia sudah merasa yakin sekali. Dua hari kemudian, Sri Baginda Raja Ong Siu Coan mengadakan pertemuan mendadak dengan para penasihatnya di bidang kemiliteran, terutama sekali panglima yang menangani masalah senjata api. Pada waktu itu, seperti juga pasukan pemerintah Mancu, pasukan Tai Peng juga melihat kegunaan senjata api dalam peperangan,
Maka mereka seperti berlomba untuk mendapatkan senjata api dari orang-orang kulit putih yang menyelundupkannya, seperti halnya dengan candu. Dengan harga mahal sekali kedua pemerintahan ini berani membeli senjata api dari orang-orang kulit putih. Tentu saja yang menjual senjata api kepada mereka adalah penyelundup-penyelundup kulit putih, petualang-petualang yang berani melakukan pekerjaan-pekerjaan berbahaya demi memperoleh keuntungan besar. Bahkan hal ini agaknya dilihat dengan mata setengah dipicingkan oleh pasukan orang kulit putih karena mereka ini mempunyai siasat untuk mengadu domba antara pasukan Mancu dan pasukan Tai Peng! Sudah barang tentu hanya senjata api yang mereka anggap ringan dan kuno saja yang boleh diselundupkan dan dijual kepada kedua pihak yang bermusuhan itu.
Persidangan yang dilakukan oleh Sri Baginda Raja Ong Siu Coan itu sehubungan dengan adanya kontak antara mata-mata yang bertugas mencari dan membeli senjata gelap ini dengn seorang mata-mata kaki tangan orang kulit putih. Mata-mata orang kulit putih ini menawarkan sebanyak dua ratus batang senjata api bedil kepada pihak Tai Peng, bukan dijual dengan harga tinggi, melainkan untuk ditukar dengan wanita kulit putih bernama Sheila yang berada di istana Nan-king itu! Menurut mata-mata pasukan kulit putih itu, Nyonya Sheila dicari-cari oleh keluarganya yang menjadi bangsawan orang kulit putih, dan setelah pihak kulit putih mendengar dari mata-mata mereka bahwa Nyonya Sheila itu berada di istana Nan-king, maka mereka lalu menawarkan penukaran dua ratus pucuk senjata api itu dengan diri Nyonya Sheila yang harus dikirimkan kepada pihak kulit putih!
Mendengar pelaporan mata-mata ini, Raja Ong Siu Coan lalu mengadakan sidang itu untuk minta pendapat para penasihatnya. tentu saja para penasihat itu merasa setuju sekali.
"Adanya wanita
(Lanjut ke Jilid 11)
Pemberontakan Taipeng (Seriall 02 - Pedang Naga Kemala)
Karya : Asmaraman S. Kho Ping Hoo
Jilid 11
kulit putih di dalam istana, hamba kira tidak mendatangkan keuntungan apapun, baik kepada pasukan kita terutama sekali kepada Paduka. Kalau Paduka memenuhi permintaan pihak orang kulit putih, terdapat dua keuntungan. Pertama, tentu saja dua ratus pucuk senjata api itu akan memperkuat persenjataan pasukan kita, dan kedua, pihak kulit putih akan berterima kasih kepada Paduka dan selanjutnya akan lebih mudah bagi kita untuk membeli senjata api dari mereka," demikian para penasihatnya berpendapat. Bahkan permaisuri sendiripun mendesak raja sehingga akhirnya, sidang dibubarkan dengan keputusan bahwa Sheila akan diserahkan kepada mata-mata pihak kulit putih, ditukarkan dengan dua ratus pucuk senjata api! Setelah bubaran dan berada di dalam kamar mereka sendiri, Ong Siu Coan berkata kepada isterinya,
"Satu hal yang tidak enak, yaitu Lee Song Kim. Dia tentu akan merasa kecewa sekali kalau mendengar bahwa Sheila yang dicintanya dan diharapkan menjadi isterinya itu tahu-tahu telah lenyap, ditukar dengan senjata api. Bagaimana kalau engkau sendiri yang pergi menemuinya dan membujuknya agar dia dengan rela melepaskan Sheila demi kepentingan kerajaan, dan untuk menjadi calon isterinya dia boleh memilih puteri mana yang disukainya? Bujuk dia baik-baik agar tidak berkurang kesetiannya kepada kita."
Permaisuri Tang Ki mangangguk setuju dan malam itu juga ia lalu pergi mengunjungi Lee Song Kim di gedung tempat tinggalnya yang berada di kompleks istana itu, di ujung timur. Tentu saja Lee Song Kim tergopoh menerima kunjungan tamu agung ini yang hanya di antar oleh dua orang pelayan wanita. Tak lama kemudian, Lee Song Kim menerima tamu agung itu di dalam ruangan tamu, dan mereka berdua duduk berhadapan di ruangan yang kosong itu, karena baik Song Kim maupun Tang Ki menyuruh pelayan-pelayan mereka untuk keluar dari dalam ruangan itu. Sejenak mereka duduk berhadapan, saling pandang dan Song Kim yang lebih dahulu menundukkan pandang matanya. Bagaimanapun juga, dia teringat bahwa yang dihadapinya ini adalah permaisuri, isteri dari Raja yang menjadi junjungannya, walaupun wanita ini adalah sumoinya sendiri.
"Kalau boleh hamba bertanya, kepentingan apakah yang membawa Paduka Sri Baginda ratu memberi kehormatan besar kepada hamba dengan kunjungan ini?" akhirnya Song Kim bertanya. Hening sejenak tiada jawaban, dan ketika dia mengangkat muka memandang, dia melihat betapa wanita cantik di depannya itu tersenyum geli, kemudian malah melepaskan suara ketawa kecil.
"Hi-hik, Lee-Suheng. Sungguh mati, aku tak dapat menahan rasa geli hatiku melihat sikapmu yang begini menghormat kepadaku. Tahukah engkau setiap kali kita bertemu dan engkau bersikap seperti itu, aku selalu merasa bahwa seolah-olah kita sedang menjadi anak wayang dan bermain sandiwara di atas panggung, hi-hi-hik!" Lee Song Kim juga tersenyum, akan tetapi dia masih belum berani bersikap demikian terbuka dan biasa seperti yang dilakukan oleh Tang Ki. Dia menarik napas panjang.
"Memang benar pendapat Paduka, karena sesungguhnya, hidup di atas dunia ini tiada bedanya dengan bersandiwara di atas panggung, menjadi anak wayang dan memegang peran masing-masing. Karena peran kita masing-masinglah dalam kehidupan ini maka kini Paduka menjadi seorang permaisuri dan hamba menjadi pembantu dan hamba sahaya Paduka."
"Hushh, jangan lanjutkan itu, Suheng. Di sini tidak ada orang lain, tidak enak bicara kalau engkau bersikap hormat-hormatan seperti itu!" Song Kim menjadi heran, akan tetapi ia masih belum berani mengubah sikapnya. Wanita ini, biarpun dahulu bermusuhan dengannya, kini adalah seorang junjungannya. Kalau dia menuruti kemauannya dan mengubah sikap, bagaimana kalau kata-kata Tang Ki itu hanya merupakan pancingan belaka untuk menjebaknya? Tentu dia akan celaka!
"Habis, bagaimana hamba akan bersikap?" tanyanya, hati-hati.
"Sudahlah, Suheng, tanggalkan saja semua topeng sopan santun yang kadang-kadang amat membosankan hatiku itu. Anggap saja aku ini masih Kiki, sumoimu sendiri. Ini merupakan permintaanku, juga perintah. Kalau kita berada berdua saja, bersikaplah biasa seperti Suheng dan sumoi."
"Baiklah... sumoi."
"Nah, begini baru enak kita bicara. Suheng, aku datang untuk bicara denganmu mengenai maksudmu untuk menikah dengan Sheila, perempuan bule itu. suamiku dan aku sudah sepakat untuk tidak menyetujui terjadinya hal itu, Suheng." Mendengar ini, Song Kim mengerutkan alisnya dan memandang kepada wajah permaisuri itu dengan tajam penuh selidik.
"Akan tetapi... bukankah... Sri Baginda Raja memberi waktu sebulan untuk memikirkan hal itu secara mendalam? Bagaimana sekarang tiba-tiba..."
"Tenanglah, Suheng," kata wanita itu sambil menyentuh punggung tangan Song Kim.
"Kami sudah mempertimbangkan untung ruginya maka berani mengambil kesimpulan dan tidak menyetujui pernikahan itu. Ingatlah bahwa engkau mempunyai kedudukan penting di sini. Kalau engkau memperisteri seorang wanita kulit putih, hal itu akan mendatangkan nama buruk dan mencemarkan kewibawaan Sri Baginda sendiri. Pula, engkau melihat apa sih pada diri Sheila sehingga engkau jatuh cinta kepada wanita bule itu? Masih banyak wanita cantik di dunia ini, dan engkau boleh memilih, asal jangan perempuan bule itu."
"Aku... aku amat tertarik kepadanya, sumoi. Ia cantik dan lembut, dan terutama mata dan rambutnya..."
"Hemm, tidak kau lihat betapa kulitnya biarpun amat putih akan tetapi tidak sehalus kulitku? Hemm, apakah... apakah ia itu kau anggap lebih cantik dari aku, Suheng? Sudahlah, kaulupakan saja Sheila dan kau boleh memilih seorang wanita cantik yang mana saja, tentu akan bisa kaudapatkan. Kami bahkan akan membantu engkau sampai wanita yang kau kehendaki dapat kau miliki." Tiba-tiba suatu pikiran menyelinap ke dalam kepala Song Kim. Sumoinya ini bersikap begini menantang! Dan kalau sampai dia dapat mendekati sumoinya ini, hemmm... siapa tahu dia akan dapat merampas singgasana dan menggantikan kedudukan Ong Siu Coan!
"Tentu saja kecantikan Sheila tidak dapat dibandingkan dengan engkau, sumoi. Akan tetapi..., satu-satunya wanita di dunia ini yang amat kucinta, sejak dahulu, kini telah menjadi milik orang lain, dan aku hanya mampu memandangnya dengan penuh kerinduan. Kalau aku tidak boleh menikah dengan Sheila, kiranya tidak ada wanita lain di dunia ini yang dapat kucinta, karena cintaku telah terbawa oleh wanita pertama itu. Engkau sendiri tahu betapa sampai sekarang dalam usia hampir empat puluh tahun, aku masih belum mau menikah, sumoi." Mendengar ucapan yang keluar dengan suara mengandung getaran mengharukan itu, Tang Ki memandang dengan sinar mata tajam penuh selidik, lalu ia mendekatkan tubuhnya ke arah Song Kim sambil bertanya,
"Siapakah wanita itu, Suheng? Kenapa engkau membiarkan ia dimiliki orang lain?" Ia mengira bahwa tentu Suhengnya pernah jatuh cinta mati-matian dan gagal, maka ia ingin sekali mendengar siapa gerangan wanita yang membuat Suhengnya tidak mau menikah dengan wanita lain itu. Song Kim mengangkat muka memandang wajah yang cantik manis itu. Tahi lalat yang menghias pipinya itu membuat wajahnya nampak manis bukan main dan karena wanita itu duduk dekat sekali dengannya, dia dapat mencium baubsemerbak mengharum yang keluar dari tubuh dan pakaiannya.
"Sumoi, apakah engkau tidak tahu? Siapa lagi wanita yang telah kucinta sejak belasan tahun yang lalu, sejak kita bersama tinggal di Pulau Layar? Siapa lagi kalau bukan... engkau seorang...? Maafkan aku, sumoi..."
"Aihh...!" Tang Ki memandang dengan muka berubah merah sekali, bukan karena marah melainkan karena terkejut dan juga malu dan senang! Ia memang tahu bahwa Suhengnya pernah tergila-gila kepadanya, bahkan Suhengnya sudah pernah mencoba untuk memperkosanya dan hampir saja berhasil. Malah akhir-akhir ini, ketika Song Kim mencuri pedang, dia telah meraba pahanya, hal ini menandakan bahwa perasaan mesra yang dahulu itu masih ada. dan sekarang, Suhengnya malah berani mengaku terus terang. Song Kim melihat sikap ini dan dia bukan seorang laki-laki bodoh, diapun cepat menangkap tangan yang terletak di atas meja di dekatnya itu, lalu menciumi jari-jari tangan itu dengan penuh kehangatan dan kemesraan, lalu menjatuhkan diri berlutut di depan Tang Ki tanpa melepaskan tangan wanita itu sambil meratap.
"Sumoi... maafkan aku... sejak dahulu aku tergila-gila kepadamu. Hanya untuk dapat berdekatan dengan engkau sajalah maka aku sekarang mau menghambakan diri kepada suamimu.." Tang Ki yang oleh suaminya diberi tugas untuk membujuk Song kim agar suka mengurungkan niatnya menikahi Sheila, kini bahkan sebaliknya jatuh oleh bujuk rayu Song Kim yang amat ahli dalam hal itu. jantugnya berdebar-debar, mulutnya tersenyum kecil, matanya bersinar-sinar.
"Benarkah... benarkah itu, Suheng?" katanya dengan suara berbisik dan pandang mata sayu. Semua ini dapat dilihat oleh Song Kim dan dapat dimengertinya dengan baik. Diam-diam dia merasa heran mengapa kini, setelah menjadi seorang pemaisuri, sumoinya ini agaknya malah bersedia untuk melayani hasratnya! Dia tidak tahu bahwa semua itu terjadi karena memang ada perubahan terjadi di dalam hati Tang Ki, setelah ia merasa tidak suka kepada suaminya yang dianggapnya gila dan tidak lagi mencintanya, apalagi ketika ia melihat suaminya hendak menggagahi Sheila. Terjadi perubahan di dalam hati Tang Ki dan kini ia memandang pria yang memang lebih ganteng dibanding suaminya itu dengan gairah membayang pada sepasang matanya yang indah.
"Engkau... engkau masih belum percaya kepadaku, sumoi...?" kata Song Kim tanpa melepas tangan yang kecil mungil itu dari genggamannya. Tang Ki tersnyum manis.
"Mana percaya kalau hanya kata-kata saja dan tidak ada buktinya?" Mendengar jawaban ini, Song Kim tidak ragu-ragu lagi. Diapun bangkit dan merangkul.
Tang Ki yang bagaikan setangkai pohon bunga yang kekeringan dan haus siraman air kasih sayang seorang pria, balas memeluk dan keduanya saling rangkul, saling cium dan saling belai penuh kerinduan. Berahi merupakan satu di antara nafsu yang amat kuat. sekali orang berada dalam cengkeraman nafsu berahi, dia akan lupa segala. Yang teringat hanyalah penyaluran dan pemuasannya. Demikian pula dengan Song Kim dan Tang Ki. Mereka lupa bahwa mereka adalah seorang permaisuri dan seorang hambanya! Mereka bahkan lupa akan bahaya kalau sampai ketahuan orang dan terdengar oleh Sri Baginda. Namun, keduanya adalah orang-orang yang memiliki kepandaian tinggi sehingga mereka dapat berkencan dan melakukan perjinahan tanpa diketahui orang lain! Dan sejak saat itu, terjadilah hubungan gelap antara bekas Suheng dan sumoi ini dan keduanya merasa cocok sekali.
Tentu saja Sheila merasa terkejut dan khawatir ketika ia bersama puteranya pada sore hari itu dipanggil oleh pengawal untuk menghadap Sri Baginda Raja dan Ratu yang telah menanti di ruangan dalam. Sheila cepat mengajak puteranya, Gan Han Le, menjatuhkan diri berlutut di depan mereka.
"Sheila," terdengar Sri Baginda Raja Ong Siu Coan berkata dengan suara ramah.
"Tahukah engkau dan puteramu mengapa saat ini kami panggil menghadap?" Tanpa mengangkat mukanya, Sheila menjawab,
"Hamba berdua tidak tahu, Sri Baginda."
"Ketahuilah bahwa keadaanmu di istana ini telah diketahui oleh bangsamu, dan kini datang utusan mereka untuk minta agar engkau dan puteramu dikirim kepada mereka. Ada keluarga orang tuamu yang menuntut agar engkau kembali kepada mereka. Karena itu, malam ini juga kalian berdua akan kami serahkan kepada seorang mata-mata pasukan kulit putih agar dibawa dengan kereta ke pelabuhan di mana telah menanti kapal bangsamu." Mendengar ini, Sheila merasa terkejut bukan main. Sama sekali ia tidak pernah membayangkan akan kembali kepada bangsanya. Pernah ia kembali bersama mendiang suaminya, belasan tahun yang lalu karena ada undangan bangsanya. Akan tetapi kembalinya itulah yang mencelakakan suaminya.
Suaminya tewas dan hatinya menjadi demikian sakitnya segingga ia rela meninggalkan bangsanya dan rela hidup di antara rakyat di dusun-dusun bersama puteranya. Akan tetapi, yang mengirimnya sekarang adalah raja! Dan ia sama sekali tidak berdaya untuk menolaknya. Dan iapun tidak akan menolak. Memang ia sudah ingin sekali melepaskan diri dari istana raja yang pernah menjadi Suheng mendiang suaminya ini, apalagi setelah peristiwa di malam itu, setelah sang raja mencoba untuk menggaulinya dengan paksa. Diam-diam ia bahkan merasa girang bahwa ia dan puteranya akan dapat lolos dari tempat ini. Ia akan menghadapi komandan pasukan bangsanya, dan kelak saja kalau sudah berhadapan dengan mereka dan melihat sikap mereka, ia akan dapat mengambil keputusan apa yang selanjutnya akan dilakukannya.
"Hamba hanya mentaati perintah Paduka, Sri Baginda." jawabnya tenang. Sementara itu, jauh di luar tembok kota raja Nan-king, di dalam bayangan tembok benteng yang agak gelap dan sunyi, tiga orang panglima utusan Raja Ong Siu Coan mengadakan pertemuan dengan seorang laki-laki yang bertubuh jangkung,
Pakaiannya sederhana serba putih, usianya sekitar lima puluh lima tahun, mukanya buruk sekali, dengan kulit muka yang rusak seperti bekas terbakar, matanya juga besar sebelah, hidungnya menceng, mulutnya juga nyerong, telinganya mengecil, punggungnya bongkok dan lengan kirinya bengkok. Semua keburukan ini ditambah lagi dengan jalannya yang terpincang-pincang. Orang ini bukan lain adalah Bu Beng Kwi yang telah kita kenal! Bagaimana secara tiba-tiba saja Bu Beng Kwi dapat muncul di luar kota raja Nan-king dan mengadakan pertemuan dengan tiga orang panglima utusan Raja Ong Siu Coan? Seperti telah kita ketahui, ketika Sheila mengajak Han Le pergi meninggalkannya, hati Bu Beng Kwi hancur lebur. Dia merasa seolah-olah semangatnya terbang melayang dibawa pergi Sheila,
Seluruh kebahagiaannya lenyap terbawa pergi dan yang ada hanyalah sesosok tubuh yang terasa lemah dan lelah, sepi dan sunyi tanpa semangat lagi. Ingin rasanya mati saja. Dia tahu betapa hancur pula rasa hati Sheila, wanita yang dikasihinya itu, setelah Sheila melihat kenyataan bahwa dia adalah Koan Jit, pembunuh suami wanita itu, musuh besarnya! Dan dia tidak menyalahkan Sheila, bahkan merasa terharu dan kasihan sekali. Biarpun dia merasa hidupnya hampa dan tidak ada artinya lagi, namun dia sadar bahwa Sheila dan puteranya tentu akan menghadapi banyak tantangan dalam hidup, bahkan tentu akan mengalami banyak rintangan dan ancaman bahaya. Oleh karena itulah, kekhawatiran dan keselamatan Sheila dan anaknya itu menggugahnya, menghidupkan kembali tubuhnya yang lunglai dan diapun cepat membayangi kepergian Ibu dan anak itu.
Dialah yang memberikan buntalan pakaian Ibu dan anak itu, dia pula yang menyelimuti mereka, membantu Han Le mendapatkan kelinci dan ayam hutan, bahkan memberi bungkusan garam. Ketika ketiga orang laki-laki kurang ajar mengganggu Sheila, Bu Beng Kwi pula yang diam-diam mengusir tiga orang laki-laki itu. Diapun terus membayangi ketika Sheila dan Han Le dibawa pergi oleh Tan-Ciangkun menuju ke Nan-king, dibawa masuk ke dalam istana raja Ong Siu Coan! Biarpun Sheila dan Han Le telah berada di dalam istana, tetap saja Bu Beng Kwi membayangi. Tentu saja amat sukar untuk menyelundup ke dalam istana. Akan tetapi, berkat kesaktiannya, diapun pada malam harinya berhasil menyusup masuk kompleks istana dan bersmbunyi.
Dia melihat pula betapa Sheila diterima dengan baik oleh Ong Siu Coan, akan tetapi dia melihat bahaya mengancam diri Sheila ketika melihat betapa raja itu agaknya mulai tergila-gila kepada Sheila. Untung ada Tang Ki yang mencegah terjadinya pemaksaan yang akan dilakukan raja itu terhadap diri Sheila sehingga pemerkosaan dapat dicegah. Andaikata tidak muncul Tang Ki, tentu Bu Beng Kwi akan nekat muncul dan melindungi Sheila pada malam hari itu. Semenjak terjadinya hal itu dan dia melihat bahaya yang mengancam diri Sheila, Bu Beng Kwi lalu mencari akal untuk dapat mengeluarkan Sheila dan anaknya dari istana itu. Kebetulan sekali pada suatu hari dia melihat sebuah kereta yang memuat beberapa peti besar, dikawal oleh tiga orang berikut kusir. karena sikap mereka bertiga itu mencurigakan,
Dengan gerak-gerik mereka yang jelas membayangkan kekuatan dan kepandaian silat, diam-diam Bu Beng Kwi yang telah keluar dari istana untuk mencari jalan mengeluarkan Sheila dan anaknya, membayangi dan pada malam harinya, ketika tiga orang itu berhenti dan bermalam di sebuah rumah penginapan, menurunkan peti-peti yang jumlahnya delapan buah itu ke dalam kamar, diapun melakukan pengintaian. Dengan kepandaiannya yang tinggi, akhirnya Bu Beng Kwi dapat membuka sebuah di antara peti-peti itu di luar tahu pemiliknya dan terkejutlah dia melihat bahwa setiap peti terisi dua puluh lima pucuk senjata api! Kemudian, pengintaiannya membuat dia maklum bahwa tiga orang itu adalah kaki tangan orang kulit putih yang menyelundupkan dua ratus buah senjata api untuk dijual kepada pihak pemerintah baru di Nan-king.
Tanpa banyak kesukaran, Bu Beng Kwi dapat menyingkirkan dan membunuh tiga orang itu, yang dianggapnya sebagai pengkhianat-penghianat yang menjual diri kepada orang kulit putih. Dia merampas kereta berikut delapan peti berisi dua ratus pucuk senjata api itu, dan dialah yang melanjutkan perjalanan menuju keluar kota Nan-king seperti yang telah didengarnya dari percakapan antara tiga orang mata-mata itu. Dan tepat seperti yang sudah didengarnya, kedatangannya disambut oleh mata-mata Tai Peng. Akan tetapi, untuk dua ratus pucuk senjata api itu, dia tidak minta uang. Menyamar sebagai mata-mata pihak kulit putih, dia mengatakan bahwa dia diperintah oleh para komandan kulit putih untuk menukar dua ratus pucuk senapan itu dengan diri nyonya Sheila, wanita kulit putih yang berada di istana Nan-king.
Demikianlah, yang menjadi mata-mata itu adalah Bu Beng Kwi, dan Raja Ong Siu Coan telah menyetujui penukaran itu. Dan malam itu, seperti telah dijanjikan, dengan keretanya, Bu Beng Kwi menanti di tempat gelap, siap untuk menukarkan delapan peti yang masih disembunyikan dengan diri Sheila dan puteranya. Setelah menanti dengan jantung berdebar penuh ketegangan, akhirnya yang dinanti-nantikannya datanglah. Ibu dan anak itu datang dikawal oleh pasukan pengawal, naik kuda dan begitu tiba di situ, Sheila dan Han Le langsung saja naik ke dalam kereta tanpa bertanya lagi. Mereka memang sudah diberitahu bahwa mereka akan dijemput oleh mata-mata orang kulit putih yang akan membawanya pergi.
Dengan pasrah, karena maklum betapa bahayanya kalau ia tetap berada di istana, Sheila menggandeng tangan puteranya dan naik ke dalam kereta, Karena cuaca di situ gelap, iapun tidak melihat siapapun juga, kecuali bayangan beberapa orang di bawah pohon tidak jauh dari kereta itu. Belum nampak ada kusir yang duduk di depan kereta. Setelah melihat bahwa Sheila dan Han Le memasuki kereta, barulah Bu Beng Kwi mengambil delapan peti terisi senjata api. Para mata-mata dan pengawal memeriksa dan menghitung. Setelah mendapat kenyataan bahwa dua ratus pucuk bedil itu lengkap jumlahnya, mereka mengangguk. Tanpa banyak cakap lagi Bu Beng Kwi lalu naik ke tempat duduk kusir di depan dan mencambuk dua ekor kuda yang menariknya. Keretapun berjalan meninggalkan tempat itu melalui jalan yang gelap.
"Ibu, kita hendak ke manakah?" beberapa kali Han Le mengajukan pertanyaan ini kepada Ibunya. Ada sedikit kekecewaan di dalam hati anak ini. Dia sudah dipisahkan oleh Ibunya dari gurunya yang sangat dihormati dan dikasihinya, yaitu Bu Beng Kwi. Kemudian, dia mendapatkan guru baru di istana, dan dia mulai belajar silat dan juga ilmu baca tulis, akan tetapi kembali dia diajak pergi oleh Ibunya! Beberapa kali Sheila hanya menjawab,
"Diam dan tenanglah, Henry, dan tidur sajalah. Besok engkau akan tahu sendiri ke mana kita pergi." Sheila agak ragu-ragu untuk memberi tahu kepada puteranya bahwa mereka akan pergi ke bangsa kulit putih. Ia dapat membayangkan betapa puteranya, yang hanya warna matanya saja menurun kepadanya dari darah kulit putih, akan merasa asing di antara bangsa kulit putih. Apalagi Han Le tidak begitu lancar berbahasa Inggris walaupun sejak kecil ia sudah mengajarnya. Han Le tidak pernah mendapat kesempatan untuk berbicara dalam bahasa Inggris dengan orang lain kecuali dengan Ibunya. Karena itu, maka ditangguhkannya keterangan yang sebenarnya kepada anak itu, agar anaknya tidak gelisah dan dapat tidur di dalam kereta itu.
"Ibu, kenapa Ibu tidak memberitahu sekarang saja? Aku akan gelisah dan tidak dapat tidur, menduga-duga ke mana kita akan pergi. Kemanakah kita pergi, Ibu?" kembali Han Le mendesak.
"Aku sendiri belum tahu, Henry."
"Belum tahu? Kalau begitu, kenapa kita pergi?"
"Sri Baginda yang memerintahkan. Kita harus pergi dari istana, malam ini juga. Kita menurut saja kepada kusir kereta ini, kemana kita akan dibawa pergi."
"Heii, pak kusir! Ke manakah kami akan kaubawa pergi? Ke mana?" Han Le berteriak ke arah punggung kusir. Akan tetapi, kusir itu tidak menjawab, duduk diam seperti arca yang hanya nampak punggungnya yang lebar. Beberapa kali Han Le berteriak dan bertanya, namun tidak ada jawaban. Akhirnya anak itu mengomel.
"Ibu, sungguh jahat sekali raja yang menjadi Suheng dari mendiang Ayah itu, ya? Dia mengusir kita tanpa memberi tahu ke mana kita akan dibawa pergi. Sungguh aku tidak senang mempunyai supek macam dia, walaupun dia telah menjadi raja"
"Husshh, Henry, tidurlah dan jangan banyak cakap lagi." Sheila berkata dalam bahasa Inggris kepada puteranya sambil menuding ke arah punggung kusir, seperti memberi tahu agar puteranya tidak bicara lagi yang bukan-bukan karena ada kusir itu yang mendengarkan. Han Le bersungut-sungut, akan tetapi diapun lalu merebahkan diri miring di atas tempat duduk, berusaha untuk tidur. Sheila juga menyandarkan tubuhnya dan berusaha untuk memejamkan matanya. Namun, tidak mungkin ia dapat tidur menghadapi keadaan seperti itu.
Nasibnya belum dapat ditentukan akan menjadi bagaimana. Ia tidak begitu perduli akan dirinya sendiri. Setelah apa yang dideritanya, kehancuran hatinya melihat kenyataan bahwa pria yang dipujanya, yang bahkan dicintanya, Bu Beng Kwi, ternyata adalah musuh besar, yaitu Koan Jit orang yang paling dibencinya, iapun tidak perduli lagi akan apa yang terjadi dengan dirinya. Bahkan rasanya kalau tidak melihat puteranya, ia ingin mati saja menyusul suaminya. Akan tetapi di sampingnya ada Henry, puteranya. Tidak, ia tidak ingin mati lebih dulu. Ia harus mendidik Henry, yang penting adalah nasib Henry, bukan nasib dirinya. Karena itu ia akan melihat bagaimana nanti keadaan di antara bangsanya sendiri. Kalau Henry merasa tidak berbahagia berada di antara bangsa kulit putih, ia akan mengajak Henry pergi lagi, entah ke mana, asal Henry dapat hidup berbahagia.
Terbayanglah di depan matanya peristiwa pembukaan rahasia diri Bu Beng Kwi yang sudah sering terbayang olehnya. Dan seperti biasa, tak dapat ia menahan membasahnya kedua matanya. Ia tahu benar betapa besar rasa cintanya kepada Bu Beng Kwi. Teringat ia betapa laki-laki itu seringkali menangis dan menyesali diri sendiri, dan iapun merasa terharu Tak mungkin ia dapat membenci Bu Beng Kwi. Ia merasa kasihan, terharu dan juga kagum yang membangkitkan cinta kasih yang besar. Akan tetapi kalau ia teringat akan wajah Koan Jit, setelah topeng Bu Beng Kwi dilepas, ia segera teringat kepada mendiang suaminya dan iapun merasa benci sekali kepada Koan Jit. Dan ternyata bahwa Koan Jit adalah Bu Beng Kwi, bahwa Bu Beng Kwi adalah Koan Jit!
Ia terjepit di antara kasih sayang dan kebencian. namun yang jelas, ia amat berduka dan merasa kehilangan, kehilangan pria yang dikasihinya, Bu Beng Kwi! Kalau ia masih berada di dekat Bu Beng Kwi, tidak akan begini nasibnya. Ia tentu masih hidup berbahagia di Bukit Ayam Merah, melayani segala keperluan Bu Beng Kwi. Mencuci untuknya, memasak untuknya, membersihkan rumahnya, melakukan segala pekerjaan yang amat disukanya karena dengan pekerjaan itu ia memperlihatkan rasa cintanya kepada pria itu. Dan kini ia merasa menyesal mengapa Bu Beng Kwi membuka rahasianya? Kenapa Bu Beng Kwi menghidupkan lagi Koan Jit sehingga menghidupkan pula dendam dan kebenciannya? Mengapa? Air matanya mengalir turun di kedua pipinya. Tiba-tiba kereta berhenti. Han Le yang tadinya sudah pulas itu terbangun.
"Ibu, kenapa kereta berhenti? Sudah sampaikah kita?" tanyanya.
"Ssttt, diam saja kau," kata Sheila dalam bahasa Inggris, berbisik lirih karena ia melihat bayangan orang menghadang di depan kereta dan mendengar orang membentak-bentak di depan kereta itu, agaknya ditujukan kepada kusir kereta.
"Turunlah kalau engkau mau selamat!" terdengan suara kasar membentak.
"Kereta ini dan seisinya untuk kami! Kalau kau membantah, kami akan menyeret dan membunuhmu lebih dulu!"
"Kalian siapakah? Tidak tahukah bahwa aku melaksanakan perintah Sri Baginda Raja di Nan-king?" terdengar suara berat dari kusir itu.
"Ha-ha-ha, kami pemungut pajak di jalan tidak mengenal utusan Kaisar atau utusan siapa saja. Harus tunduk kepada perintah kami. Hayo menggelinding turun kau, atau engkau sudah bosan hidup?" terdengar suara pertama membentak. Terdengar suara pecut meledak-ledak dan kereta itu berguncang. Sheila yang membayangkan bahwa kusir itu tentu dikeroyok oleh para perampok itu, memeluk puteranya dan menanti dengan jantung berdebar penuh kekhawatiran.
"Tenanglah, Ibu. aku akan melindungimu..." terdengar Han Le berbisik dan biarpun kata-kata ini menggelikan, namun cukup mengharukan hati Sheila yang memeluk lebih keras lagi. Terdengar teriakan-teriakan perkelahian di luar kereta. Kusir itu bukan lain adalah Bu Beng Kwi, tadi mendengar percakapan antara Sheila dan Han Le dengan hati terharu. Diapun kagum melihat betapa Sheila tetap tabah dalam keadaan apapun juga. Dia tidak ingin memperlihatkan diri dan hanya akan membawa Ibu dan anak itu sejauh mungkin dari jangkauan tangan Ong Siu Coan dan anak buahnya, kemudian akan meninggalkan mereka. Akan tetapi, sungguh tidak disangkanya sama sekali bahwa di tempat sunyi di luar hutan yang berada di kaki sebuah bukit itu keretanya akan dihadang oleh perampok yang jumlahnya tidak kurang dari dua puluh orang.
Bu Beng Kwi menjadi marah dan tentu saja dia tidak sudi menyerahkan kereta dan isinya. Dia tadi menggunakan cambuknya merobohkan perampok yang mengancamnya, akan tetapi dia terkejut melihat betapa perampok itu dapat meloncat bangun kembali. Dia lalu meloncat turun dari kereta. Belasan orang, atau mungkin juga dua puluh itu, kini mengepungnya dan ketika mereka bergerak menyerang, tahulah Bu Beng Kwi bahwa mereka bukanlah perampok sembarangan saja. Rata-rata mereka memiliki ilmu silat yang cukup tinggi! Dan mereka mempergunakan golok atau pedang yang baik! Diam-diam dia terkejut sekali. Tidak dapat dia menduga siapa yang mengirim pasukan pilihan ini untuk menghadang keretanya.
Dugaannya memang tepat. Dua puluh empat orang itu bukanlah perampok biasa saja, melainkan dua lusin perajurit pilihan yang dikirim oleh permaisuri untuk menghadang kereta dan membunuh Sheila dan Han Le! Melihat betapa Sheila telah membuat Ong Siu Coan, kemudian bahkan Lee Song Kim, jatuh cinta, timbul perasaan tidak senang, bahkan kebencian dan iri hati di dalam dada permaisuri itu. Oleh karena itu, diam-diam ia mempersiapkan dua losin perajurit pengawal pilihan dan mengutus mereka untuk menghadang kereta itu dan menyamar sebagai perampok-perampok, membunuh Ibu dan anak itu, juga kusirnya yang didengarnya adalah seorang mata-mata bangsa kulit putih. Betapapun lihai dua losin perajurit itu namun mereka terkejut bukan main menghadapi kusir itu. Sinar bulan tua memberi penerangan yang cukup sehingga para pengeroyok itu dapat melihat wajah orang yang mereka keroyok. Dan mereka terkejut setengah mati.
Wajah itu sepeti wajah setan! Lebih lagi rasa kaget mereka ketika melihat betapa kusir itu berkelebat dan dalam waktu beberapa gebrakan saja, empat orang di antara mereka telah roboh tak dapat bangun kembali! Si wajah setan ini ternyata lihai bukan main, pikir mereka. Tadinya mereka mentertawakan perintah permaisuri. Untuk membunuh seorang kusir, seorang wanita kulit putih dan anaknya saja permaisuri telah mengutus sebanyak dua losin perajurit pilihan! Akan tetapi kini mereka terkejut dan mereka memperketat pengepungan, mempercepat dan memperkuat gerakan senjata mereka. Tak mungkin seorang kusir bertangan kosong mampu mengalahkan mereka yang jumlahnya dua losin dan semua bersenjata lengkap! Akan tetapi, kembali empat orang roboh berturut-turut dan tidak mampu bangun kembali tercium kedua tangan dan kaki kusir itu!
Delapan orang telah tewas dan kini para pengeroyok menjadi marah, penasaran, akan tetapi juga agak gentar. Bahkan tiga orang di antara mereka, yang menjadi pemimpin pasukan dan dua orang pembantunya, diam-diam meninggalkan teman-teman yang mengeroyok dan merekapun menghampiri kereta. Mereka, bagaimanapun juga, harus dapat melaksanakan tugas yang diperintahkan permaisuri, karena kalau sampai gagal, mereka tentu akan dihukum mati! Ketika mereka menyingkap tirai pintu kereta, mereka melihat seorang wanita sedang berpelukan dengan anaknya, seorang laki-laki belasan tahun. melihat munculnya tiga orang yang memegang pedang, Han Le terkejut dan marah. Apalagi ketika seorang di antara mereka menangkap lengan Ibunya dan menyeretnya turun dari kereta.
"Jangan ganggu Ibuku!" bentak Han Le sambil memukul. Akan tetapi, sebuah tamparan membuat dia terpelanting keluar kereta. Tiga orang itu lalu menangkap Sheila, memondongnya dan merekapun melarikan diri menghilang ke dalam gelap, ke arah hutan yang berada di kaki bukit. Han Le tidak perduli akan kepeningan kepalanya dan diapun lari mengejar.
"Lepaskan Ibuku...!" bentaknya sambil mengejar. Akan tetapi tiga orang itu berlari cepat ke dalam hutan yang gelap. Han Le nekat, terus mengejar ke dalam hutan secepat mungkin.
Sementara itu, mendengar teriakan Han Le, Bu Beng Kwi terkejut sekali. Teriakan itu berarti bahwa Sheila telah ditangkap orang, pikirnya. Hal ini membuat dia marah sekali. Dari dalam dadanya keluar suara menggereng hebat. Para pengeroyok yang kini tinggal tiga belas orang jumlahnya itu, terkejut dan gentar. Gerengan itu seperti mengguncang jantung mereka dan di antaranya ada yang seketika menjadi lumpuh seperti anak kambing mendengar harimau mengaum. Memang gerengan yang dikeluarkan Bu Beng Kwi itu mengandung tenaga khikang yang amat kuat. Bu Beng Kwi mengamuk. kaki tangannya menyambar-nyambar dan demikian cepat gerakannya seolah-olah dia berkaki enam dan bertangan enam. Dalam waktu sebentar saja, tiga belas orang itu telah roboh semua. Di tempat itu berserakan tubuh dua puluh satu orang yang agaknya telah tewas semua!
Sekali loncat, Bu Beng Kwi telah mendekati kereta dan ketika dia menjenguk ke dalam tidak melihat Sheila dan Han Le, dia mengeluarkan keluhan dalam dan tubuhnya sudah berkelebat lenyap meninggalkan kereta itu Dan nampak bayangan putih berkelebat ke dalam hutan, ke arah dari mana dia mendengar suara Han Le tadi. Dengan kecepatan yang luar biasa, bayangan putih itu berkelebatan ke sana-sini di dalam hutan, dan akhirnya Bu Beng Kwi yang sudah merasa gelisah sekali melakukan pengejaran ke atas bukit, keluar dari hutan itu. Dan di luar hutan, nampaklah olehnya Han Le sedang menangis di bawah pohon, dengan pakaian robek-robek dan tubuh lecet-lecet. Tanpa terasa waktu itu malam telah hampir lewat, fajar telah menyingsing dan kegelapan telah berobah menjadi keremangan fajar.
"Han Le, mana Ibumu?" Bu Beng Kwi berseru sambil cepat memondong tubuh anak itu. Bagaikan mimpi rasanya, Han Le terbelalak memandang wajah orang yang memondongnya, kemudian dengan bercampurnya tangis dan tawa dia menuding ke atas bukit,
"Ibu dilarikan mereka ke sana, Suhu..." Tanpa membuang waktu lagi Bu Beng Kwi melompat dan mendaki bukit itu seperti terbang cepatnya sambil memondong tubuh Han Le yang masih bengong terlongong karena kaget, heran dan juga girang sekali mengatasi rasa khawatirnya akan nasib Ibunya.
Gurunya telah muncul, itu berarti bahwa Ibunya pasti dapat tertolong. Sebuah kuil tua bobrok yang berdiri miring di lereng bukit itu menarik perhatian Bu Beng Kwi. Apalagi ketika mendengar jerit tertahan dari tempat itu, disusul suara ketawa yang parau. Bagaikan terbang dia lari ke arah kuil tua itu. Ternyata sebuah kuil yang sudah tidak terpakai lagi. Nampak pintu reyot tertutup dan sekali tendang, daun pintu itu roboh dan apa yang nampak di dalam membuat sepasang mata Bu Beng Kwi seperti mengeluarkan api. Sheila sedang dipegangi tiga orang laki-laki dan sudah tertawa-tawa sedang menelanjanginya dan sudah berhasil merobek hampir seluruh pakaian wanita itu yang meronta-ronta. Agaknya tadi mulut yang mendekap mulut Sheila pernah terlepas maka terdengar jeritnya yang tertahan.
"Ibuuu...!" Han Le berteriak. Bu Beng Kwi melepaskan tubuh Han Le di luar ruangan itu dan tubuhnya sendiri sudah menerjang ke dalam. Tiga orang laki-laki itu tadi terkejut mendengar hiruk-pikuknya daun pintu jebol dan mereka menjadi pucat melihat bahwa yang menjebol pintu adalah si muka setan yang tadi mereka keroyok. Akan tetapi, kekagetan mereka masih terbayang pada wajah mereka ketika nyawa mereka melayang.
Demikian cepatnya Bu Beng Kwi menerjang dan tiga kali tamparan kedua tangannya berturut-turut membuat tubuh tiga orang itu terpental dalam keadaan tidak bernyawa lagi, mati tanpa menderita luka yang kelihatan. Sheila terbelalak memandang dan melihat bahwa yang menolong adalah Bu Beng Kwi, ia mengeluh panjang dan tubuhnya terkulai, jatuh pingsan. Tadi, sekuat tenaga ia mempertahankan diri sehingga tidak sampai pingsan, dan sekarang, begitu terbebas dari malapetaka yang mengerikan, apalagi melihat munculnya Bu Beng Kwi yang selama ini tak pernah dapat dilupakannya sedetikpun, perasaannya terguncang hebat dan iapun roboh pingsan. Bu Beng Kwi cepat memondong tubuh Sheila dengan penuh kasih sayang. diselimutinya tubuh itu dengan pakaian yang sudah compang-camping, dan dibawanya keluar,
"Ibu...!" Han Le berseru, khawatir sekali.
"Tenanglah, Han Le. Ibumu tidak apa-apa, hanya pingsan karena cemas dan lelah. Mari kau naik ke punggungku dan kita cepat kembali ke kereta kita." Han Le mentaati perintah gurunya dan ketika Suhunya berjongkok, diapun naik ke gendongan punggung Suhunya. Bu Beng Kwi menggendong Han Le dan memondong tubuh Sheila, lalu berlari cepat ke tempat di mana dia meninggalkan kereta tadi, di seberang hutan. Han Le bergidik melihat mayat-mayat yang berserakan, akan tetapi gurunya segera membawa dia ke dalam kereta, lalu merebahkan tubuh Sheila ke atas bangku kereta pula.
"Kau jaga Ibumu baik-baik agar jangan sampai jatuh. Kita harus segera pergi dari tempat ini." katanya dan Han Le mengangguk, lalu berlutut dan merangkul tubuh Ibunya. Keretapun bergerak, dikusiri Bu Beng Kwi, meninggalkan tempat itu. Setelah mereka meninggalkan bukit itu dan jauh dari sana, matahari sudah naik tinggi dan Bu Beng Kwi menghentikan keretanya di bawah sebatang pohon besar. Tempat itu sunyi. Ketika dia menjenguk ke dalam kereta, ternyata Sheila masih pingsan, dijaga puteranya yang kelihatan khawatir.
"Suhu, Ibu belum juga sadar," kata Han Le dengan muka cemas.
"Tenangkan hatimu. Ibumu mendapat guncangan batin yang cukup hebat. Sekarang pergilah engkau mencari air dalam panci ini, kemudian buatlah api unggun dan masak air itu sampai mendidih." Melihat sikap Suhunya yang tenang, giranglah hati Han Le yang tadinya amat mengkhawatirkan keadaan Ibunya.
"Baik, Suhu," katanya sambil melompat turun dan membawa panci itu, mencari air. Bu Beng Kwi naik ke dalam kereta dan memeriksa denyut jantung Sheila melalui urat nadi tangannya. Denyut itu lemah dan tidak teratur. Wajah wanita itu pucat sekali dan melihat wajah itu, keharuan menusuk perasaan Bu Beng Kwi. Betapa besarnya dosa yang ditanggungnya terhadap wanita ini, pikirnya. Dia menghela napas panjang dan mengeluh di dalam batinnya. Mula-mula, dia sebagai Koan Jit telah membunuh suami wanita ini. Kemudin sebagai Koan Jit pula dia telah membunuh Bu Beng Kwi, laki-laki yang dicinta olehwanita ini dengan hati murni.
"Hemm, Koan Jit, engkau harus menerima hukuman yang bagaimana beratnya untuk menebus dosa-dosamu," demikian suara hatinya mengeluh. Dan hukuman terberat yang pernah dirasakan selama dia mengubah jalan hidupnya adalah sekarang ini! Hukuman ini jauh lebih berat daripada hukuman yang bagaimanapun juga,
Bahkan dianggapnya lebih berat dari siksa yang membawa mati sekalipun. Dia mencinta wanita ini, dan mencinta puteranya. Dia mencinta mereka berdua dengan sepenuh jiwanya, ingin membahagiakan mereka. Namun, wanita yang dicintanya itu membencinya, menjauhinya. Padahal, wanita ini sesungguhnya juga mencintanya, hanya karena perbuatannya yang lalu maka cinta itu berubah menjadi kebencian yang amat mendalam. Dan kenyataan ini amat menyiksa batinnya, mendatangkan penyesalan yang agaknya tidak akan mereda walaupun ditebus dengan nyawa sekalipun. Ada dua macam penyesalan. pertama adalah penyesalan karena menyadari akan dosa yang telah dilakukan, penyesalan yang dapat membuat si pelaku bertaubat dan tidak akan melakukan dosa itu untuk kedua kalinya.
Penyesalan kedua adalah penyesalan yang timbul karena akibat buruk menimpa diri sebagai akibat perbuatan dosanya itu. Penyesalan yang kedua ini tidak akan menimbulkan kesadaran dan tidak membuat orang bertaubat. Bu Beng Kwi menyesal karena keduanya. Dia telah menyadari dosa-dosanya semenjak bertemu dengan pendeta sakti Siauw-Bin-Hud dan seketika kesadaran itu merobah jalan hidupnya. Dia meninggalkan kehidupan bergelimang dosa sehingga sinar cinta kasih dan keadilan yang berada di dalam batin setiap manusia, kini bersinar terang dan tidak tertutup oleh debu-debu kekotoran. Namun, siksa batin yang dideritanya sebagai akibat dosa- dosanya, ketika dia bertemu dengan Sheila dan puteranya, mendatangkan pula penyesalan yang amat hebat, membuat dia kehilangan gairah hidup.
Bagaimanapun macamnya, penyesalan tidak ada gunanya sama sekali. hanya permainan pikiran saja yang mengingat- ingat masa lalu, dan ingatan akan masa lalu ini hanya membuahkan penyesalan, duka, dendam, kemarahan dan sebagainya lagi. Kalau kita mau waspada setiap saat, sehingga setiap gerak-gerik kita lahir maupun batin selalu berada di bawah pengamatan, maka kebijaksanaan akan selalu menyertai kita sehingga kita tidak akan salah langkah. Namun, betapapun saktinya, Bu Beng Kwi alias Koan Jit hanyalah seorang manusia biasa. Diapun menginginkan kesenangan, antara lain kesenangan agar selalu dapat berdekatan dengan Sheila dan Han Le, dua orang yang dicintanya, keinginan agar cintanya terhadap mereka dibalas tanpa halangan apapun. Dan keinginan, dalam bentuk apapun juga, tak terpisahkan dari suka.
Keinginan selalu melahirkan duka, karena keinginan tak ada batasnya, makin mekar dan sekali waktu pasti keinginan takkan terpenuhi dan timbullah kecewa, timbullah duka. Lenyapnya keinginan adalah apabila kita hidup saat demi saat, menikmati yang ada karena keinginan adalah pengejaran hal yang belum ada. Kalau kita selalu hidup di saat ini, tanpa ikatan dengan masa lalu, tanpa harapan untuk masa depan, hidup sepenuhnya saat demi saat, maka dalam keadaan apapun juga kita akan selalu waspada. Waspada dan sadar dalam arti kata tidak tebuai masa lalu dan tidak terseret keinginan masa depan. Hanya dengan beginilah kita dapat hidup sesungguhnya, menikmati apa yang ada hidup bahagia saat demi saat, bagaimanapun keadaan hidup kita di saat-saat itu. Kebahagiaan hanya terdapat di saat ini, bukan kemarin atau esok, karena hidup adalah saat ini pula, saat demi saat di mana kita harus sepenuhnya sebagai seorang manusia.
Sayang, sungguh sayang. Kita membiarkan sebagian besar kehidupan kita menjadi permainan pikiran, dikuasai sepenuhnya oleh pikiran yang selalu sibuk berceloteh sehingga batin melahirkan emosi. Pikiran menciptakan kemarahan, kekhawatiran, rasa takut, kebencian, prasangka, iri hati. dan sebagainya lagi. Pikiran mejadi debu kotoran yang menutupi sehingga cahaya kebahagiaan tidak nampak lagi. Kita dapat melihatnya dalam kehidupan kita sehari-hari, betapa hidup ini hanya dipenuhi oleh permainan pikiran yang menciptakan si aku. Aku ingin ini, aku ingin itu, aku senang lalu bosan, aku kecewa karena tak terpenuhi keinginanku, aku marah karena terganggu, karena aku dirugikan, aku takut karena aku terancam, karena ada bahaya aku dipisahkan dari orang atau benda milikku yang kusayang.
Setiap hari kita diombang-ambingkan dari saat ke saat oleh segala macam emosi. dan semua ini timbul hanya karena kesadaran kita dirampas dan diduduki oleh pikiran yang selalu mempermainkan masa lalu, masa ini, dan masa mendatang. Dapatkah kita hidup berbahagia? Dapatkah kita hidup di saat ini? Kalau pertanyaan ini timbul dari keinginan si aku pula yang mengejar kesenangan dan kenikmatan, mempergunakan cara"hidup berbahagia saat ini" sebagai suatu cara untuk memperoleh kenikmatan, maka kita anak terseret dalam lingkaran setan. Itu masih ulah pikiran yang selalu mengejar kesenangan belaka. Akan tetapi mari kia buang segala ikatan, kita buang segala kekotoran, kita buang segala gambaran-gambaran tentang diri pribadi yang diciptakan si aku dan kita akan waspada setiap saat,
Dan baru ada arti dalam kehidupan ini, karena kita benar-benar HIDUP, bukan sekedar seonggok daging yang dipermainkan oleh nafsu-nafsu keinginan! Tuhan Maha Kasih! Segala isi mayapada, yang nampak maupun yang tidak nampak, dilimpahkan kepada kita dengan penuh kerelaan, dengan penuh kasih. Kalau kita tidak dapat menikmatinya, tidak dapat menerimanya sebagai suatu berkah dari saat ke saat, dan kita membiarkan diri, diseret suara setan dan iblis yang selalu tidak mengenal puas, bukankah itu merupakan suatu kebodohan? Mari kita nikmati denyut jantung kita. Kita nikmati setiap hirupan hawa melalui napas kita. Kita nikmati segala keindahan yang nampak oleh mata kita. Kita nikmati segala kemerduan yang terdengar oleh telinga kita,
Rajawali Hitam Eps 10 Pedang Naga Kemala Eps 2 Pedang Naga Kemala Eps 13