Ceritasilat Novel Online

Pedang Sinar Emas 44


Pedang Sinar Emas Karya Kho Ping Hoo Bagian 44




   "Siluman perempuan, hendak lari kemana?" bentaknya sambil mempererat pelukannya. Wanita itu meronta ronta sehingga kawan kawannya terpaksa membantu, ada yang memegarg tangan, ada yang memeluk pinggang dan menjambak rambut. Keadaan menjadi ribut sekali.

   Tiba tiba mereka mendengar suara ketawa dari belakang mereka, suara yang membuat mereka tetkejut sekali dan menengok ke belakang. Benar saja, wanita itu telah berdiri di belakang mereka sambil tertawa tawa dan ketika mereka melihat orang tangkapan itu.... terryata adalah pengawal yang tertua yang menyumpah nyumpah.

   "Gila! Buta! Mengapa aku yang kalian keroyok?" bentaknya berkali kali. Tahulah mereka kini bahwa mereka menghadapi seorang wanita yang pandai seperti siluman. Dengan golok terangkat kelima orang pewgawal ini lalu menyerbu, kini hendak menyerang sungguh sungguh. Akan tetapi, sekelebatan saja lenyaplah Kui Lian, meninggalkan suara ketawa yang mengerikan di malam hari itu.

   Keadaan menjadi geger. Lima orang pengawal itu berteriak terteriak, "Ada siluman.... ada siuman...."

   Sebentar saja di situ penuh dengan orang orang yang datang karena teriakan teriakan ini dan ramailah rumah gedung keluarga Thio, penuh orang orang yang hendak menonton korban siluman. Keadaan menjadi lebih gaduh dan ribut lagi ketika lima orang wanita yang telah gila sambil berteriak teriak, menangis dan tertawa, berlari lari keluar dari rumah! Kota Soa couw bertambah lima orang gila lagi yang berkeliaran di jalan jalan, yang berturut turut dalam beberapa bulan kemudian mati di pinggir jalan karena kelaparan! Kui Lian telah menagih hutang dan kekejaman enam tahun yang lalu terjadi di rumah keluarga Thio itu sekarang harus ditebus secara mahal sekali.

   Keadaan Thian te Kiam ong Song Bun Sam bertambah payah dan dua hari kemudian semenjak kakek Song ini meninggalkan pesanan pesanan kepada anak cucuknya, ia sudah tak dapat bicara lagi! Anak anak dan cucu cucunya menjaga di dekat pembaringan dan pelahan lahan terdengar isak tangis dari Song Siauw Yang, Ong Siang Cu, dan Song Bi Hui.

   Tiba tiba kakek Song membuka matanya, menarik napas panjang seperti mengumpulkan kekuatan terakhir dan hebat, dia dapat bangun dan duduk! Benar benar luar biasa sekali kakek ini. Biarpun dalam keadaan sudah hampir mati, ia masih berhasil mengumpulkan tenaga dan bangun duduk, kemudian dengan tangannya memberi isyarat supaya orang mengambilkan alat tulis. Tek Hong cepat cepat mengambilkan kertas dan tinta pensil dan kakek yang sudah tidak dapat bicara lagi ini mulai menulis huruf huruf yang jelas dan kuat goresannya. Anak cucunya dengan penuh perhatian membaca huruf huruf itu.

   Pesanku Terakhir, Bi Hui harus dijodohkan Dengan cucu laki laki Sin tung Lo Kai. Juga Kong Hwat harus dijodohkan dengan Cucu perempuan Sin tung Lo Kai.

   Demikian bunyi tulisan sebagai pesan terakhir dari kakek Song. Tek Hong suami isteri dan Pun Hui suami isteri berlutut di depan pembaringan, menyatakan hendak mentaati perintah kakek Song ini. Tak seorangpun tahu betapa Bi Hui dan Kong Hwat saling bertukar pandang dan muka mereka menjadi pucat sekali.

   Pada malam harinya, dengan tenang Thian te Kiam ong Song Bun Sam, pendekar pedang yang tiada keduanya sehingga mendapat julukan Si Raja Pedang meninggal dunia, diantar oleh tangis anak cucunya. Anehnya, tangis yang paling hebat di lakukan oleh Bi Hui dan Kong Hwat.

   Orang orang hanya mengira bahwa dua orang muda itu saking besar cintanya kepada kong kong mereka maka amat berduka, padahal di dalam kedukaan mereka ini tersetip rahasia pribadi. Dua orang muda, atau misan ini ternyata telah saling menukar hati, saling mencinta!

   Maka dapat dibayangkan betapa kecewa dan berduka hati mereka ketika membaca pesan terakhir dari kong kong mereka bahwa mereka berdua harus dijodohkan dengan cucu cucu dari Sin tung Lo kai.

   Oleh karena keluarga Song tidak mempunyai sanak saudara yang tinggal di tempat jauh, dan anak cucunya sudah berkumpul di situ, maka jenazah tidak ditahan terlalu lama dan segera dimakamkan dengan upacara yang cukup ramai karena boleh dibilang semua penduduk Tit le tidak ada yang keluar mengantar. Sedikitnya dari satu rumah tentu keluar seorang anggota keluarga yang mengantar rombongan jenazah pendekar besar itu.

   Setelah peti jenazah itu dikubur dan makam itu disembahyangi, tiba tiba terdengar suara orang berteriak teriak kecewa, "Terlambat....! Terlambat...."

   Dan dari bawah berlari lari naiklah beberapa orang ke tempat pemakaman yang merupakan pegunungan kecil itu. Semua orang memandang dan ternyata yang berlari lari naik itu adalah tiga orang. Yang berteriak teriak kecewa tadi adalah seorang kakek berusia limapuluh tahun lebih, dari pakaiannya ternyata bahwa ia seorang tosu, jubahnya kuning, topinya juga kuning, mukanya panjang kurus dan sepasang matanya tajam setengah terkatup.

   Dua orang di kanan kirinya adalah dua orang laki laki yang usianya kurang lebih tigapuluh tahun, berperawakan kekar dan di pinggang mereka tergantung pedang.

   Agak jauh di belakang mereka nampak seorang pengemis tua terpincang pincang, dibantu sebatang tongkat bambu, juga sedang menaiki jalan tanjakan, agaknya menonton upacara pemakaman atau hendak mencari sisa sisa makanan sembahyang. Akan tetapi tak seorangpun memperhatikan pengemis pincang ini karena semua orang tertarik oleh tiga orang yang berlari lari naik. Tosu itu tanpa banyak cakap lagi lalu menghampiri makam dan menjura di situ. Sama sekali tidak menperdulikan orang lain. Dua orang laki laki yang nampak kuat itu mencontoh perbuatan tosu dan tetap berdiri di kanan kirinya.

   "Thian te Kiam ong, kau benar benar orang yang bernasib baik. Atau aku Pat pi Lo cu yang bernasib buruk? Jauh jauh dari See thian (dunia barat) aku datang untuk mencabut julukanmu Raja Pedang, eh, tahu tahunya kau sembunyi di balik peti mati untuk menghindari aku. Terlambat, terlambat!"

   Sambil berkata demikian, ia meraih sebatang sumpit yang terletak di depan bongpai (batu nisan) yang tadinya disediakan untuk memperlengkapi alat alat sembahyang, kemudian sekali tangannya menyentil, sumpit itu meluncur mengenai batu nisan, terus amblas dan tembus sampai ke dalam kuburan. Agaknya sumpit itu terus menembus peti mati, karena terdengar suara di dalam tanah belakang bongpai!

   "Tosu siluman jangan ganggu makam suhu!" Tiba tiba Beng Han, bocah yang semenjak suhunya meninggal tak pernah terpisah dari jenazah suhunya sampai jenazah itu dimasukkan.peti dan dikubur, melompat marah dan menyerang tosu itu kalang kabut!

   Anak berusia enam tahun ini mengalami kedukaan besar karena kematian suhunya yang amat ia sayang. Sebagai seorang murid baru yang merasa dirinya terpisah dari keluarga Song, merasa dirinya sebagai "orang luar" yang sebetulnya tidak berhak, ia tidak berani mencampurkan diri ikut berkabung dengan anak cucu kakek Song.

   Akan tetapi selama kakek itu meninggal sampai dikuburnya, bocah ini tidak tidur dan hampir tidak mau makan kalau tidak dipaksa karena malu hati kepada Tek Hong yang menjadi orang satu satunya yang suka memperhatikan bocah ini. Mukanya menjadi pucat dan nampak kurus, akan tetapi sepasang matanya bersinar sinar penuh kebencian dan kemarahan ketika ia menyerbu tosu yang menyerang makam suhunya dengan sumpit itu.

   Tosu yang mengaku berjutuk Pat pi Locu (Nabi Locu Bertangan Delapan) ini tertegun ketika melihat bocah yang mengaku sebagai murid Thian te Kiam ong ini. Bagaimana kakek Song itu dapat mempunyai seorang murid yang usianya baru enam tahunan? Dan ia melihat betapa serangan bocah itu sama sekali tidak ada artinya, sungguhpun gerakan gerakannya merupakan dasar gerakan ilmu silat tinggi, namun jelas ternyata bahwa bocah ini belum memiliki kepandaian, akan tetapi dasar dasar gerakan yang baik sekali ditambah ketabahan dan semangat besar itu membuat Pat pi Lo cu memuji kagum.

   "Kemala belum digosok! Anak baik sekali!" Ia tidak menghiraukan pukulan pukulan kedua tangan Beng Han yang diarahkan ke perut dan bagian tubuh mana saja yang dapat dipukul. Bing Han merasa seperti memukul gunung batu karang kedua kepalan tangannya sakit sakit, akan tetap dengan nekat ia memukuli terus, sambil tiada hentinya memaki,

   "Tosu jahat, jangan ganggu makam suhu!"

   "Beng Han, mundur!" Tek Hong membentak sutenya yang dianggapnya lancang itu.

   Kemudian ia menarik tangan bocah itu sehingga Beng Han terhuyung ke belakang dan jatuh terduduk. Bocah itu masih mengepal kedua tinjunya dan matanya masih melotot terus menatap tosu itu. Dengan tenang Song Tek Hong mengambil sumpit kedua dari depan bongpai, lalu berkata.

   "Totiang, kau datang datang menyerang makam ayahku, terpaksa aku membalas perbuatanmu dengan serangan yang sama!" Setelah berkata demikian, sumpit di tangannya itu melayang dengan cepat sekali, meluncur bagaikan anak panah menuju ke dada tosu jubah kuning itu.

   Dengan mengeluarkan suara "bret!" sumpit itu menembusi jubah dan menancap pada dada Pat pi Locu, menancap hampir setengahnya seperti anak panah tenartcap di batang pohon saja. Akan tetapi tosu itu tidak roboh malahan tertawa sambil mengangguk angguk.

   "Tidak jelek, tidak jelek! Tenagamu cukup hebat."

   Setelah berkata demikian, kakek itu menggerakkan tubuhnya dan... sumpit yang menancap pada dadanya itu meluncur keras dan jatuh di tempat yang jauh, tidak kurang dari lima tombak dari tempat ia berdiri. Jubah pada dadanya masih berlubang akan tetapi tidak adanya darah sedikit pun juga membuktikan bahwa ia tidak terluka, Melihat itu, tahulah Tek Hong dan yang lain lain bahwa mereka berhadapan dengan seorang yang lweekangnya sudah mencapai tingkat tinggi daripada tingkat mereka. Maka mereka bersikap hati hati.

   "Bagus, bagus, jadi sicu ini putera Thian te Kiam ong?" kembali tosu itu berkata sambil memandang Tek Hong dengan penuh perhatian.

   "Betul aku adalah Song Tek Hong dan Thian te Kiam ong adalah ayahku. Totiang siapakah dan apa artinya semua perbuatan totiang yang tidak pada tempatnya ini?"

   Tosu itu tertawa terbahak bahak sambil berdongak ke udara.

   "Aku orang sial, kalau dua hari sebelum ayahmu mati aku datang, tentu akan terlaksana idam idaman hatiku. Aku dipanggil orang Pat pi Locu dari barat. Karena sudah puluhan tahun aku mendengar betapa tokoh tokoh dari barat terutama dari Tibet, roboh oleh pedang ayahmu yang disebut Kim kong kiam, maka sengaja aku datang jauh jauh dari tempat yang ribuan mil jauhnya, hanya untuk mencoba ilmu pedang dari Raja Pedang.Tidak tahunya Si Raja Pedang telah mati. Di dunia ini mana ada Raja Pedang ke dua? Kecuati...."

   Tosu itu memandang kepada Tek Hong dengan meragukan, "kecuali kalau ada di antara anak cucunya yang telah mewarisi ilmu pedangnya. Hmm, sekiranya ada, boleh juga dia itu mewakili Thian te Kiam ong, hendak kubuktikan apakah kepandaian Raja Pedang itu dapat menahan ilmu pedangku selama duapuluh jurus."

   Kata kata ini merupakan tantangan dan hinaan terhadap nama besar Thian te Kiam ong. Beng Han berteriak,

   "Tosu bau! Tunggulah kau sepuluh tahun lagi! Aku Thio Beng Han akan mewakili suhu dan memberi hajaran kepada kau ini manusia sombong! Suhu ketika hidupnya memang seorang pendekar besar yang patut disebut Raja Pedang, siapa yang tidak tahu akan hal ini? Kecuali kau, tosu bau yang sombong!"

   "Beng Han, diam!" kembali Tek Hong membentak. Ia maju selangkah, memberi hormat kepada tosu itu. "Totiang, kau tentu tahu bahwa kami keluarga Song sedang berkabung dan diliputi kedukaan. Kau seorang beragama apakah tidak dapat merasai hal ini dan tidak mau menghormat perkabungan? Dalam keadaan seperti ini, kami menyesal tak dapat melayani kehendakmu yang mencari cari keributan. Datanglah tiga tahun lagi setelah kami melepaskan perkabungan."

   "Ha, ha, ha, aku hanya hendak menguji ilmu pedang dari Thian te Kiam ong. Siapa meghendaki keributan? Aku mau membuktikan apakah betul betul ilmu pedang Thian te Kiam ong tidak terkalahkan. Kalau diantara kalian tidak ada yang menuruni Thian te kiam ong dan tidak becus mainkan pedang, sudahlah, memang nasibku yang sial."

   Baru saja ia menutup kata katanya, terdengar "sreet!" dibarengi sinar berkilauan dan di lain saat Song Tek Hong,Ong Siang Cu, Song Siauw Yang, Liem Pun Hui, Song Bu Hui dan Liem Kong Hwat enam orang telah mencabut pedang masing masing hampir berbareng dan menodongkan ujung pedang pada tosu itu.

   Gerakan mereka, kecuali Liem Pun Hui seorang yang ilmu silatnya masih rendah adalah amat cepat dan luar basa sehingga Pat pi Lo cu menjadi tercengang.

   "Aduh.... aduh.... hebat. Pantas sekali kalau disebut bahwa keluarga Song adalah keluarga pendekar pedang besar. Akan tetapi, apakah kalian enam orang ini hendak mengeroyok aku seorang? Ha, ha, ha!"

   "Tosu sombong, untuk memukul anjing saja mengapa harus menggunakan tongkat besar? Tak perlu orang orang tua yang maju, aku seorangpun cukup untuk melayanimu. Kau majulah!"

   Yang berkata demikian ini adalah Song Bi Hui. Gads ini memang berdarah panas dan berwatak keras seperti ibunya, lagi pula ia berani sekali. Sejak tadi ia sudah mendongkol sekali melihat lagak tosu ini, hanya ia tahan tahankan hatinya karena ia takut kepada ayahnya. Sekarang, dengan pedang di tangan ia menantang tosu itu secara terang terangan.

   Tantangan sudah terlanjur dikeluarkan, Tek Hong dan yang lain lain tidak dapat menarik kembali untuk menjaga nama besar keluarga mereka Hanya Tek Hong dan Siang Cu merasa gelisah sekali karena mereka maklum benar bahwa puteri mereka sama sekali bukan lawan tosu yang lihai itu. Agar jangan disangka hendak mengeroyok terpaksa yang lain lain mengundurkan diri, kecuali Liem Kong Hwat. Ketika Song Siauw Yang menyuruh puteranya mundur, pemuda ini berkata.

   "Ibu, biarkan aku membantu adik Bi Hui menghadapi mereka!"

   "Ha, ha, ha! Apakah ini juga anak anak murid dan Thian te Kiam ong?" tosu itu bertanya.

   
"Kami berdua adalah cucu dari Thian te Kiam ong. Tak perlu orang tua kami maju, kami berdua cukup untuk mengusir kau, tosu jahat!" sahut Bi Hui dengan pedang melintang di dada, sikapnya garang dan gagah sekali.

   "Suhu, sudah jauh jauh ikut dengan suhu, berilah teecu berdua kesempatan untuk main main dengan ilmu pedang dan Thian te Kiam ong juga. Kalau teecu berdua kalah, baru suhu yang melayani mereka," kata seorang di antara dua orang laki laki yang sejak tadi mendampingi Pat pi Lo cu. Mereka ini adalah murid murid dan Pat pi Lo cu. Keduanya orang orang berbangsa Mongol yang sudah sejak kecil berada di Tibet dan nama mereka adalah Ma Thian dan Ma Kian. Sebagai murid murid dari Pat pi Lo cu yang tersayang, mereka ini memang gagah perkasa dan berilmu tinggi.

   Ketika Pat pi Lo cu sambil tersenyum mengangggukkan kepala dan melompat mundur, dua saudara kembar she Ma ini lalu mencabut pedang dan menghadapi Bi Hui dan Kong Hwat.

   "Kami berdua saudara Ma mohon dari ji wi siauwhiap (kedua pendekar muda)!" Memang mereka adalah kakak beradik kembar yang amat terkenal di dunia barat dengan nama julukan mereka See thian Siang cu (Sepasang Mustika dari Barat). Mereka ini sebetulnya Lo cu dan sejak tadi orang sudah tertarik melihat persamaan itu.

   Bi Hui yang tidak sabaran tidak mau berlaku sungkan sungkan lagi. Pedangnya berkelebat cepat melakukan serangan kilat bertubi tubi, disusul oleh Kong Hwat yang tidak mau ketinggalan. Dibandingkan dengan Kong Hwat, ilmu pedang dari Bi Hui biarpun dari satu cabang, namun lebih banyak ragamnya, serta lebih berkembang kembang. Dasarnya memang Kim kong Kiam sut, akan tetapi ilmu pedang ini tidak sembarangan dapat ditatih oleh semua

   
orang. Amat sukar dan dilihat dan latihan latihannya saja, agak membosankan dan seperti tidak ada gunanya. Oleh karena itu jarang orang yang dapat melatih diri sampai sempurna betul. Bahkan Tek Hong dan Siauw yang sendiri yang menerima langsung dari kakek Song, masih belum dapat memetik setengahnya dari ilmu pedang ayah mereka.

   Oleh karena inilah maka Bi Hui mencampur pelajaran ilmu pedang ayahnya dengan ilmu pedang dari ibunya yang memiliki ilmu pedang yang amat ganas dan tangkas, warisan dari ilmu kepandaian Lam hai Lo mo. Dalam ilmu pedang, di antara dua orang cucu Thian te Kiam ong ini. Bi Hui lebih ungggul dan berbahaya. Akan tetapi, Kong Hwat lebih tenang dan memiliki keuletan serta tenaga lweetang yang lebih besar.

   Akan tetapi, dua orang muda yang biasanya amat bangga akan kepandaian mereka yang memang sudah amat tinggi kalau dibandingkan dengan orang orang muda sebaya, kali ini menemui tandingan setimpal. Sepasang saudara kembar itu ternyata memiliki ilmu pedang yang kuat dan cepat, juga tenaga mereka besar.

   Yang lebih membingungkan adalah karena mereka itu tidak saja bermuka sama, berpakaian sama. akan tetapi juga gerakan ilmu pedang mereka serupa benar dan mereka bertempur secara berganti ganti, sebentar seorang melayani Bi Hui, lalu dengan gerakan teratur dan cepat ia telah berganti lawan, menghadapi Kong Hwat. Di "kocok" seperti ini oleh sepasang saudara kembar yang cocok dalam kerja samanya, Bi Hui dan Kong Hwat menjadi bingung juga.

   Akan tetapi dua orang muda ini adalah keturunan pendekar pendekar besar, ilmu silat mereka mempunyai dasar yang ampuh dan hebat, maka dua orang saudara kembar itu masih belum dapat dikatakan menang, sungguhpun tak dapat disangkal pula mereka berada di pihak yang menekan.

   
Limapuluh jurus berlalu dengan cepatnya dan pertempuran di makam pendekar pedang besar Thian te Kiam ong masih berlangsung terus dengan hebat. Benar benar luar biasa sekali Thian te Kiam ong Song Bun Sam. Tidak saja di waktu hdupnya terkenal sebagai Raja Pedang dan tokoh kang ouw yang terkenal, bahkan untuk "merayakan" hari pemakamannya saja di tanah kuburannya dilakukan pertempuran pedang yang hebat! Benar benar merupakan "penghormatan" istimewa bagi makam kakek Song Si Raja Pedang.

   Tiba tiba berkelebat bayangan kuning di dahului oleh sinar pedang putih yang menyerbu masuk ke dalam kalangan pertempuran.

   "Cring cring cring cring....!" Empat batang pedang dari Bi Hui, Kong Hwat, dan kedua orang lawannya terpental oleh sinar pedang putih itu dan empat orang ini dengan cepat melompat ke belakang. Ternyata bahwa yang menolak empat pedang itu adalah Pat pi Lo cu yang kini telah birdiri di tengah dengan pedang di tangan dan tersenyum senyum.

   "Cukup! Dapat menghadapi murid muridku selama limapuluh jurus, tanda bahwa kedatanganku tidak sia sia! Cucunya begini lihai, tentu anak dari Thian te Kian ong cukup berharga untuk memberi pelajaran kepadaku Song sicu, majulah mewakili ayahmu, mari kita main main saling menukar siasat ilmu pedang, hitung hitung ukuran sampai di mana tingginya Kim kong Kiam sut dan Tee coan Liok kiam sut!"

   Pat pi Lo cu agaknya tidak tahu bahwa dahulu kakek Song telah mempelajari ilmu pedang dari Bu tek Kiam ong dan ia telah berhasil menggabung semua ilmu pedang yang pernah ia pelajari menja di semacam ilmu pedang yang luar biasa, dan biarpun tetap ilmu pedang itu diberi nama Kim kong Kiam sut sesuai dengan nama pedang yang dipergunakannya, namun sudah jauh bedanya dengan Kim kong Kiam sut yang di pelajarinya dari Kim Kong Taisu.

   Mendengar tantangan Pat pi Lo cu ini, Song Tek Hong dan Song Siauw Yang melompat maju, keduanya sudah membawa pedang di tangan.

   (Lanjut ke Jilid 55)
Pedang Sinar Emas/Kim Kong Kiam (Serial Pedang Sinar Emas)
Karya : Asmaraman S. Kho Ping Hoo

   Jilid 55
"Apakah niocu juga anak dan Thian te Kiam ong?" tanya Pat pi Lo cu sambil memandang kepada Siauw Yang yang bersikap gagah "Betul! Kami berdua adalah keturunan dari Thian te Kiam ong. Kau ini tosu tak tahu adat berani sekali menghina makam ayah, benar benar sudah bosan hidup!"

   Pat pi Lo cu tertawa bergetak, kelihatannya senang sekali. "Ha, ha, bagus! Kalau ada dua anak Thian te Kiam ong, baru seimbang. Tokoh tokoh Tibet bilang bahwa ilmu kepandaianku yang dangkal hanya kurang lebih setengah kepandaian Thian te Kiam ong. Maka kalau kalian telah mewarisi setengah dari ilmu pedang ayah kalian, benar benar aku akan menghadapi bahaya yang hangat dan menyenangkan. Majulah."

   Tek Hong tadinya tidak bermaksud mengeroyok, karena sebagai seorang pendekar pantang baginya melakukan pengeroyokan. Akan tetapi karena ia maklum bahwa kepandaian kakek ini lebih tinggi daripadanya, dan melihat pula betapa kakek ini menantang mereka berdua, ia merasa girang dan lega bahwa adiknya telah maju membantunya.

   "Kalau kau berkukuh hendak memberi pelajaran kepada kami, silahkan, totiang!" kata Tek Hong sambil memasang kuda kuda, diikuti oleh Siauw Yang.

   Dua orang ini adalah ahli pedang ahli pedang yang ternama sebagai ahli waris Thian te Kiam ong Song Bun Sam, di waktu mudanya kedua orang ini telah menggemparkan dunia kang ouw.

   
Seorang diantara mereka saja sudah merupakan lawan yang amat tangguh dan jarang dapat dikalahkan, apalagi sekarang maju berbareng!

   Akan tetapi, yang mereka hadapi bukan orang sebarangan. Pat pi Locu adalah seorang tokoh besar di Tibet dan sekitarnya Untuk wilayah barat, nama besar Lo cu Berlengan Delapan ini sudah terkenal sekali. Kiranya hanya beberapa orang guru besar di Tibet atau para Lama tua yang sakti saja yang dapat direndengkan dengan Pat pi Lo cu.

   Dahulu banyak tokoh tokoh Tibet yang roboh oleh Thian te Kiam ong, di antara mereka adalah Sim thauw hud (Buddha Bekepala Tiga) dan Ang tung hud (Buddha bertongkat Merah) yang menjadi ketua dari Lama aliran Jubah Hitam di Tibet.

   Mereka berdua ini lihai sekali, namun apabila di bandingkan dengan Pat pi Lo cu, mereka kiranya masih kalah setingkat. Ketika mereka dahulu roboh oleh Thian te Kiam ong, Pat pi Locu masih muda sekali. Sudah sejak mudanya ia mendengar nama besar Thian te Kiam ong yang berturut turut merobohkan tokoh tokoh besar Tibet, bahkan juga See san Ngo sian (Lima Dewa dan See san), para ketua Cheng i pai (Aliran Jubah Hijau) raboh oleh Raja Pedang itu. Tentu saja Pat pi Lo cu menjadi tertarik dan kagum, juga penasaran. Maka ia tidak mau turun gunung, terus saja memperdalam ilmu silatnya dengan idam idaman hati ingin menantang pibu dan mengalahkan Thian te Kiam ong.

   Oleh karena itulah maka ia khusus mempelajari ilmu pedang dan boleh dibilang semua ahli pedang di daerah barat telah ia petik kepandaiannya, kemudian semua ilmu pedang dari barat itu ia olah sedemikian rupa menjadi ilmu pedang yang luar biasa lihainya. Karena ia mempunyai nama julukan Nabi Lo cu, maka ia memberi nama pada ilmu pedangnya itu Lo cu Kiam hoat.

   Pertempuran pedang itu terjadi dengan amat seru dan hebatnya, jauh lebih ramai daripada pertempuran antara dua orang cucu Thian te Kiam ong melawan dua saudara kembar tadi. Gerakan Tek Hong tenang dan kuat, sebaliknya Siauw Yang cepat dan cekatan, sehingga dua buah pedang ini merupakan sepasang pedang yang saling bantu dari kanan kiri dengan keistimewaan dan kelihaian masing masing.

   Akan tetapi, pedang bersinar putih dari Pat pi Lo cu yang berada ditengah tengah. sinarnya bergulung gulung dan melayani dua pedang lawannya.

   Pada saat yang baik, Pat pi Lo cu memutar cepat pedangnya dan sengaja mengadu pedang putihnya menghantam pedang kuning emas di tangan Tek Hong.

   "Traang!" dan alangkah kagetnya hati Tek Hoag ketika melihat ujung pedangnya patah! Benar benar hal yang tidak mungkin. Bagaimana Kim kong kiam bisa patah oleh lain pedang? Ia melompat mundur dan memandang pedangnya. Makin besar kagetnya melihat dari patahan itu bahwa pedangnya hanya pedang biasa yang dibungkus emas sehingga dari luar memang serupa benar dengan Kim kong kiam.

   "Ini bukan Kim kong kiam...." tak terasa lagi Tek Hong berseru. Siauw Yang juga terkejut dan melompat mendekati kakaknya.

   Adapun Pat pi Lo cu tertawa mengejek akan tetapi suaranya kecewa ketika ia berkata,

   "Ah, jangan kata setengahnya, seperempatnya pun kalian belum menguasai ilmu pedang Thian te Kiam ong. Sayang, kedatanganku sia sia saja, ilmu pedang yang kalian miliki itu masih jauh untuk pantas disebut raja raja pedang! Biarlah lain kali kalau kalian atau anak anak kalian sudah maju ilmu pedangnya dan sudah mewarisi semua kepandaian Thian te Kiam ong, aku datang lagi!"

   Setetah berkata demikian, Pat pi Lo cu mengjak dua orang muridnya pergi dan situ.

   Ong Siang Cu sudah mencabut pedangnya hendak menyerang tosu itu, akan tetapi Tek Hong memegang lengan isterinya dan berkata,

   "Sudahlah, memang dia betul. Kepandaiannya masih lebih tinggi daripada kepandaian kita. Yang lebih penting adalah pedang Kim kong kiam ini. Mengapa tiba tiba saja menjadi pedang palsu? Dimanakah pedang yang aslinya?" Semua orang tak mengerti, dan setelah upacara pemakaman itu selesai semua, Tek Hong cepat cepat mengajak semua orang pulang karena hendak mencari Kim kong kiam.

   Akan tetapi, sia sia saja, Kim kong kiam yang aseli tidak dapat mereka temukan. Hanya seorang saja yang tahu di mana adanya Kim kong kiam dan orang ini adalah Beng Han. Ingin ia membuka mulut memberi tahu kepada Tek Hong yang sedang bingung, akan tetapi kalau ia teringat akan pesan suhunya, ia tidak berani membocorkan rahasia ini dan menutup mulutnya.

   "Ayah tentu sudah tahu akan keadaan pedang palsu ini," kata Tek ong kepada isterinya dan adiknya, "tak mungkin ayah yang berkepandaian tinggi dan waspada tak dapat membedakan yang aseli dan palsu. Akan tetapi sengaja ayah memesan supaya pedang ini disimpan di rumah Siauw Yang. Apakah gerangan maksudnya? "

   "Benar benar aneh. Di mana adanya pedang yang tulen?" tanya Siauw Yang mengerutkan kening.
"Yang palsu suruh menyimpan aku, habis yang tulen ayah berikan kepada siapakah?"

   Ong Siang Cu sejak mudanya berwatak keras dan mudah tersinggung, maka mendengar kata kata Siauw Yang ini, ia berkata, "Adik Siauw Yang, sudah terang bahwa pedang Kim kong kiam yang tulen tidak diberikan kepada kami!"

   "Siapa menduga begitu, so so (kakak ipar)?" kata Siauw Yang tersenyum masam.

   Memang wanita paling mudah tersinggung dan paling mudah cakar cakaran. Hal ini sudah di maklumi oleh Tek Hong yang segera mengadang,

   "Sudahlah, tak perlu saling menaruh curiga. Yang penting, marilah kita bersama berusaha untuk mencari di mana adanya pedang pusaka itu."

   "Betul apa yang dikatakan oleh twako," kata Pun Hui. "Lebih baik kami besok pulang saja, dan jangan lupa kitapun harus menyelesaikan pesan tentang perjodohon anak kita."

   Siauw Yang dan suaminya lalu mengundurkan diri dan berkemas di kamar mereka, siap untuk berangkat besok pagi.

   Bi Hui duduk seorang diri di dalam taman bunga di belakang rumahnya. Taman bunga ini luas dan indah, apalagi malam itu ditimpa cahaya bulan purnama, amatlah indahnya. Akan tetapi segala keindahan ini agaknya tidak terlihat maupun terasa oleh dara itu, ia duduk sambil menundukkan muka, keinginannya berkerut dan beberapa kali ia menarik napas panjang panjang.

   "Hui moi...." terdengar bisikan halus dari belakangnya.

   Bi Hui tidak menoleh, juga tidak menjawab hanya kini matanya menatap tanah di bawah kakinya menjadi basah dan tak lama kemudian dua butir air mata menitik turun.

   
Kong Hwat menghampiri gadis itu, berjalan memutar dan berdiri menghadapinya. Wajah pemuda ini nampak muram.

   "Bi Hui apakah kau juga.... seperti aku pula.... memikirkan tentang perjodohan yang tak menyenangkan hati kita itu?"

   Bi Hui tetap bertunduk, hanya kini ia mengangguk anggukkan kepalanya.

   "Memang kong kong terlalu sekali! Mengapa ia meninggalkan pesanan yang gila gilaan itu? Mengapa ia hendak menghalangi kebahagiaan kita dan mencampuri urusan kita? Celakanya orang orang tua kita sudah menyetujui. Benar benar orang orang tua itu mau enaknya sendiri saja," kata Kong Hwat dengan gemas dan orang orang tentu akan terkejut mendengar kata kata seperti ini keluar dari mulut pemuda yang biasanya berbakti dan perdiam itu.

   Biarpun Bi Hui sedang berduka karena keputusan kong kongnya, dan biarpun ia seorang gadis keras kepala, keras hati dan mudah marah, sekarang mendengar kong kongnya dan orang tuanya di cela oleh Kong Hwat, ia segera memandang pemuda itu dan menambah,

   "Koko, jangan kau bicara seperti itu! Kita tidak boleh menyalahkan kong kong, karena kong kong hanya melakukan sesuatu demi kebaikan kita. Mana kong kong tahu menahu tentang.... tentang.... kita? Karena kong kong bersahabat baik dengan Sin tung Lo kai, maka ia meninggalkan pesan itu. Dan tentang orang tuaku, mereka juga tidak bersalah. Mereka hanya melakukan hal yang sudah sewajarnya, yaitu mentaati pesan orang tua sebagai anak anak yang berbakti. Bagaimana kau dapat mencela mereka?"

   
"Akan tetapi, Hui moi!" Kong Hwat berseru penasaran sekali. "Apakah kau juga hendak nenyetujui pesanan gila itu? Apakah kau mau menjadi jodoh cucu pengemis jembel itu?"

   Kong Hwat masih terlalu muda untuk dapat mengerti watak Bi Hui. Watak dara ini terlalu keras hati, dan biasanya kekerasan hanya akan luluh oleh kelemasan. Andaikata Kong Hwat bersikap lemah dan nelangsa, kiranya Bi Hui akan menaruh kasihan dan aku membela pemuda yang dicintai ini. Akan tetapi kekerasan tak dapat dilawan dengan kekerasan pula, sebab bisa menimbulkan bunga api. Bi Hui menjadi merah mukanya mendengar ejekan Kong Hwat itu.

   Lalu balas bertanya,

   "Kalau kau bagaimana? "

   "Aku? Hah, aku tidak sudi dengan cucu pengemis itu!"

   Tiba tiba Bi Hui berdiri, kedua tangannya dikepalkan, kepalanya dikedikkan dan ia berkata marah,
"Kalau begitu kau seorang pemuda yang tak tahu diri, seorang pemuda yang tidak berbakti!"

   Kong Hwat terkejut dan melangkah maju, dipegangnya lengan tangan Bi Hui.

   "Bi Hui....! Mengapa kau bilang begitu? Bukankah kita saling.... mencinta.....?"

   "Siapa bilang....?"

   "Bi Hui, bukankah dulu pernah kau bilang bahwa kau akan berbahagia sekali kalau kelak menjadi jodohku? Bukan menjadi saksi...."

   "Memang betul, akan tetapi aku bodoh. Aku tidak tahu bahwa kau sesungguhnya seorang pemuda yang tidak berbakti, seorang pemuda murtad dan berhati palsu.
Sebelum kong kong meninggal kau selalu mendekati kong kong, aku tahu karena kau ingin sekali diwarisi Kim kong kiam dan Kim kong Kiam sut. Sekarang, baru saja kong kong meninggal kau sudah mencaci makinya, juga orang orang tua kita kau caci maki. Aku tidak menyangka kau seorang muda tak kenal budi!"

   "Bi Hui, jangan kau bilang begitu.,.....! Semua ini karena cintaku kepadamu. Aku lebih baik mati daripada melihat kau bersanding dengan seorang pengemis dan aku sendiri dipaksa menikah dengan perempuan pengemis. Bi Hui, ingatlah akan kebahagiaan kita. Mari kita lari minggat saja berdua!"

   Sambil berkata demikian, Kong Hwat maju dan mencoba memeluk pundak gadis itu.

   "Tidak, aku tidak sudi!" teriak Bi Hui marah sambil merenggutkan tangannya yang dipegang.

   "Bi Hui, kekasihku, jantung hatiku.... tidak ingatkah kau betapa aku telah bersumpah akan bersetia kepadamu, mencintaimu sampai mati?" Kong Hwat merayu dan menyambar pula tangan Bi Hui.

   "Kau bersumpah, bukan aku!!" Kembali Bi Hui merenggutkan tangannya.

   "Bi Hui, tidak kasihankah kau kepadaku? Aku lebih baik mati daripada kehilangan cinta kasihmu. Mari kita pergi dari sini, sekarang juga, Bi Hui, manisku...." Dengan gerakan cepat Kong Hwat memeluknya.

   Pedang Sinar Emas Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   "Kau.... kurang ajar!" Bi Hui menampar.

   Kong Hwat miringkan kepala dan menangkap pergelangan tangan kanan yang menamparnya itu. Bi Hui membalikkan lengan dan mengirimkan pukulan siku yang disodokkan ke dada pemuda itu. Kong Hwat terpaksa melepaskan pegangannya, dan pemuda yang telah bernapsu itu kembali hendak memeluk. Ia berlaku nekat dan hendak membawa pergi piauw moinya dengan paksa.

   Akan tetapi tiba tiba berkelebat bayangan yang gesit sekali dan "plakk....!" Kong Hwat memekik kesakitan ketika mukanya ditampar keras sekali oleh bayangan itu yang ternyata adalah Ong Siang Cu! Bukan main kagetnya hati Kong Hwat melihat bibinya ini yang berdiri di situ dengan mata bercahaya marah.

   "Jahanam! Tak kusangka bahwa kau ternyata seorang keparat yang tak tahu malu dan kurang ajar!" Ditahan tahannya kemarahannya.

   "Kalau tidak melihat muka ayah bundamu, tentu belum puas hatiku kalau belum melihat kepalamu menggelinding di atas tanah!"

   Kong Hwat menutupi mukanya yang bengkak dan berlari masuk ke rumah samping di mana ayah bundanya bermalam.

   Ong Siang Cu menghampiri puterinya yang duduk. Bi Hui berkata lemah, "Ibu.... mengapa kau pukul dia....? Biarpun dia kurang ajar, akan tetapi.... dia kan masih keluarga kita sendiri...."

   "Tidak perduli! Aku tidak takut! Biar siapa pun juga maju kalau tidak terima dia kupukul, aku takkan mundur!" kata Siang Cu yang sudah "naik pitam"!.

   "Apakah dia tadi mencoba untuk.... mengganggumu?"

   Bi Hui menggelengkan kepala. "Dia hanya mengajak aku minggat, ibu...."

   "Minggat??? Jahanam besar, mengapa ia mengajak kau minggat?"

   "Karena.... karena katanya. untuk menghindar ikatan jodoh dengan cucu cucu Sin tung Lo kai...."

   
"Kurang ajar, ia memberi hasutan tidak baik kepadamu. Hmm, akan kulaporkan kepada Siauw Yang...."

   Akan tetapi hal ini tak perlu lagi karena terlihat bayangan berkelebat, diikuti bayangan lain yang tidak begitu gesit dan kelihatan Song Siauw Yang berdiri menghadapi Ong Siang Cu dan di belakangnya berlari lari Liem Pun Hui yang menyabar nyabarkan isterinya.

   "Sabar.... sabar.... runding dulu...." kata Sasterawan ini.

   Akan tetapi Siauw Yang sudah habis sabarnya. Tak dapat disalahkan wanita yang hanya mempunyai seorang putera. Tadi melihat Kong Hwat masuk dengan muka bengkak bengkak dan mulut berdarah. Ketika ayah bundanya bertanya kaget, terputus putus ia bilang bahwa ia di tampar oleh Ong Siang Cu, lalu roboh pingsan.! Sebetulnya pemuda itu bukan pingsan karena sakit di mukanya, melainkan karena sakit di hatinya. Siauw Yang tak dapat menahan marahnya, cepat berlari lari ke belakang.

   Begitu tiba di depan Siang Cu yang masih marah marah, Siauw Yang lalu menegur, "So so, kau apakan anakku tadi?" Saking marahnya ia tidak memakai banyak peraturan lagi dan tak dapat bicara banyak.

   Ong Siang Cu terkenal memiliki watak keras sekali. Melihat sikap Siauw Yang, ia mengira bahwa tentu pemuda yang ditamparnya tadi telah mengadukannya kepada ibunya.

   "Kutampar mukanya!" jawabnya lantang dengan sikap menantang, "Anakmu itu kurang ajar sekali, kalau bukan dia, tentu sudah kubunuh tadi tadi juga!"

   Merah muka Siauw Yang mendengar ini, dadanya berombak dan alisnya berdiri. Bahkan Pun Hui ketika mendengar ucapan ini, merasa kaget dan berkata,

   "Mengapa? Apa salahnya Kong Hwat.....???"

   
"So so, kau benar benar menghina kami. Kong Hwat bukan anakmu, bagaimana kau berani turun tangan, bahkan mengancam akan membunuhnya?"

   "Kau yang tidak becus mengajar anak!" Siang Cu membentak marah, "Dia berani sekali malam malam mengajak bicara Bi Hui di sini, bahkan membujuk anakku untuk lari minggat. Bukankah anakmu itu gila?"

   "So so, kau mau enak sendiri saja. Mau menang sendiri saja. Hanya orang buta yang tak dapat menyangka apa yang tumbuh dalam hati dua anak muda itu. Kau menyalahkan anakku, mengapa tidak menyalahkan anakmu sendiri yang tak tahu malu? Sebagai seorang perempuan, anakmu harus lebih tahu malu dan dapat menjaga diri. Sebaliknya, kau tidak menyalahkan anak sendiri dan berani memukul anakku sampai dia roboh pingsan. Aku tidak terima!"

   Dada Siang Cu serasa hendak meledak saking marahnya. Dicabutnya pedangnya dan katanya menantang,

   "Habis kau mau apa? Kau membela anakmu yang jahat? Rupanya kaupun minta di hajar!"

   "So so, kau begini sombong. Kapankah aku pernah kalah olehmu? Kaukira hanya kau saja orang yang mempunyai kepandaian? Demi membela anak majulah!"

   Siauw Yang juga sudah mencabut pedangnya dan di lain saat dua orang wanita itu sudah bertempur seru dengan pedang bagaikan dua ekor singa betina berebut mangsa. Bi Hui merasa malu dan tidak enak hati melihat dan mendengar percekcokan tadi, sudah lari ke dalam kamarnya dan menangis.

   Adalah Pun Hui yang menjadi bingung sekali. Ia menjadi serba salah. Mau membela isterinya, kepandaiannya tidak seberapa, pula memang ia tidak ingin bertempur dengan keluarga sendiri. Mau melerai, ia tidak kuat, maklum bahwa kepandaian dua orang wanita itu tinggi sekali.

   "Tahan.... jangan berkelahi....!" Ia berteriak berulang kali, akan tetapi dua orang wanita yang sudah marah sekali itu mana mau mendengarkan kata katanya? Akhirnya saking bingung dan tidak tahu harus berbuat apa, Pun Hui berlari lari memasuki rumah untuk memanggil Tek Hong.

   "Twako, lekas bangun! So so dan ibunya Kong Hwat bertempur hebat!"

   Dapat dibayangkan betapa kagetnya hati Tek Hong ketika kamarnya digedor oleh Pun Hui dan mendengar laporan ini, ia cepat berdandan dan melompat keluar, tak lupa menyambar pedangnya di atas meja.

   Benar saja, isterinya dan adiknya itu sedang bertempur dengan sengit, dua gundukan sinar pedang saling menggulung dan menyelimuti bayangan tubuh mereka di bawah sinar bulan. Hebat dan luar biasa pertempuran itu, dan lebih lebih amat berbahaya bagi kedua pihak, karena sedikit saja berlaku lambat tentu akan menjadi korban pedang lihai.

   "Tahan senjata!" seru Tek Hong sambil menyerbu ke tengah pertempuran dan menggunakan pedangnya untuk menangkis pedang adiknya.

   Melihat suaminya, Ong Siang Cu melompat mundur. Akan tetapi Siauw Yang menjadi marah ketika pedangnya ditangkis hingga terpental oleh Tek Hong ia tidak mau mundur bahkan menyerang Tek Hong sambil membentak,

   "Kau mau membela isterimu yang menghina ku? Boleh!"

   Tek Hong kaget sekali melihat serangan ini, cepat ia mengerahkan tenaga menangkis pedang adiknya dan untuk mencegah Siauw Yang menyarang terus, ia menggunakan tangan kiri untuk mendorong.

   Tenaga lweekang dari Tek Hong amat besar dan kali ini Siauw Yang tidak menyangka akan serangan kakaknya, maka ia terkena dorongan sampai terhuyung buyung ke belakang dan akan jatuh. Baiknya suaminya cepat mendekatinya dan memeluknya.

   Siauw Yang marah sekali, akan tetapi ia di pegang erat erat oleh suaminya yang berkata,

   "Sabarlah.... sabarlah.... twako datang karena kupanggil...."

   Sementara itu, Tek Hong sudah mendengarkan penuturan isternya tentang Kong Hwat. Mendengar betapa Kong Hwat membujuk Bi Hui untuk minggat, maka Tek Hong metjadi merah padam.

   "Siauw Yang," katanya, suaranya kaku. "Kau benar benar tidak mau berpikir panjang. Anakmu perlu kauberi pengertian, perlu kau tegur, kalau tidak ia kelak akan menyeleweng. Urusan begini saja kau sampai ribut ribut dengan so somu. Kalau so somu sampai menampar Kong Hwat, apakah salahnya itu? Bukankah sudah sepatutnya seorang bibi memberi hajaran kepada keponakannya? Mengapa kau marah marah?"

   "Kau berat sebelah! Kalau aku tampar muka Bi Hui sampai bengkak bengkak dan mulutnya berdarah lalu pingsan, apakah kau akan membolehkannya begitu saja?" Siauw Yaog balas membentak bentak kakaknya.

   "Kalau memang Bi Hui bersalah seperti anakmu yang kurang ajar itu, mengapa tidak boleh?" Siang Cu berkata.

   Dua orang ibu yang saling membela anaknya itu tentu akan ribut ribut lagi kalau saja Pun Hui tidak cepat cepat melangkah maju dan berlutut di depan Tek Hong dan Siang Cu.

   
"Twako dan so so, siauwte sebagai orang muda rela dihukum untuk menebus dosa isteriku. Memang kami yang bersalah, sebagai orang orang muda telah berani menantang kaum tua. Ampunkanlah kami...."

   Sikap dan ucapan Pun Hui ini merupakan pukulan yang lebih hebat dan tepat daripada Siauw Yang yang menggunakan pedangnya untuk ribut ribut. Tek Hong memandang isterinya dan membalas penghormatan iparnya itu dengan menjura.

   "Jangan begitu. Pihak kami juga bersalah. Sebetulnya, urusan antara keluarga harus diselesaikan dengan jalan damai," katanya.

   Siauw Yang membetot tangan suaminya, "Hayo kita pulang ke Liok can. Sekarang juga!.. "

   "Malam malam begini?"jawab Pun Hui, sengaja untuk mencegah agar keberangkatan mereka yang ganjil ini tidak memimbulkan perhatian dan kecurigaan para pelayan dan orang luar.

   "Kau tidak mau pulang? Baik, aku dan Kong Hwat akan pulang berdua. Kau boleh tinggal di sini menerima penghinaan orang!" kata Siauw Yang dan cepat cepat ia berlari menuju ke kamarnya.

   Pun Hui menggeleng geleng kepala dan menjura kepada Tek Hong, katanya, "Twako, harap saja urusan kecil ini tidak meretakkan persatuan keluarga Song."

   Tek Hong menjadi terharu dan malu karena sikap adik iparnya yang ia anggap jauh lebih bijaksana daripada sikap adiknya atau isterinya. Setelah Pun Hui pergi menyusul isterinya dan keluarga itu malam malam pergi meninggalkan Tit le, Tek Hong marah kepada isterinya dan anaknya.

   Kemudian ia mengejar rombongan itu.

   SlAUW YANG berkeras tidak mau bicara kepada kakaknya, akan tetapi Pun Hui menyambut kakak iparnya. Tek Hong menyerahkan pedang Kim-kong-kiam palsu itu keiada Pun Hui sambil berkata,

   "Memenuhi pesan mendiang ayah kita, biar"pun pedang in bukan Kim-kong kiam tulen, akan tetapi harus berada di keluargamu. Oleh karena ini harap moi-hu (adik spar) suka menerirna."

   Pun Hui mecerima pedang itu dan berkata, "Sudah tentu kami akan mentaati perintah mendiang gak-hu dan akan menjaga pedang ini. baik-baik."

   Akan tetapi Siauw Yang karena masih "panas" hatinya, berkata menyindir, "Hemm, pedang picisan diberikan kita dan pedang pusaka entah di mana?"

   Tek Hong marah dan hendak menjawab, akan tetapi, ia menahan kata-katanya. la maklum bahwa kalau ia membantah, tentu akan terjadi ribut mulut lagi. la kenal baik watak adiknya yang sejak kecil memang tidak mau kalah dalam segala hal, dan dalam hal keberanian dan kekerasan hati, kiranya seimbang dengan watak Siang Cu!

   Maka ia lalu mengucapkan selamat jalan dan segera kembali ke rumahnya, sedangkan Liem Pun Hui, Song Siauw Yang, dan Lim Kong Hwat melanjut"kan perjalanan mereka ke Liok can.

   Di kora raja tcrjadi Pula hal yang amat hebat dan menggegerkan. Pada hari itu terdapat sebuah pesta pernikahan yang ramai dan gembira Para penduduk yang berpangkat dan hartawan, ramai -ramai datang menghadiri pesta itu, sedangkan penduduk yang miskin dan "orang biasa" saja cukup puas dengan menonton dari luar karena tentu saja mereka ini tidak mendapat undangan.

   Yang mengadakan pesta adalah keluarga Ma yang barpangkat siupi. Siapa orangnya tidak mengenal Ma-siupi yang sclain hartawan juga bangsawan yang berpengaruh! Ma-siupi hanya mempunyai se"orang anak percmpuan yang kini ia rayakan per"nikahannya dengan seorang pemuda yang baru saja lulus dari ujian di kota raja, dan mendapat gelar tiong goan. Pemuda ini bukan lain Thio Sui, yang telah kita kenal.

   Dua bulan sudah lewat sejak terjadi peristiwa mcngerikan di Soacouw, di mana keluarga Thio ditimpa malapataka yang dijatuhkan oleh tangan seorang wanita seperti siluman yang membalas dendam.

   Tentu saja Thio Sui mendengar akan penstiwa ini, menjadi berduka sekali kehilangan ayah bundanya, akan tetapi juga takut sekali. Biarpun tidak menyaksikan dengan mata sendiri, perasaannya mengatakan bahwa yang datang itu tentulah Kui Lian atau arwahnya yang sudah menjadi siluman.

   Dia tahu bahwa kalau waktu itu ia berada di rumah tentu iapun tidak terlepas daripada kematian yang mengerikan pula. Oleh karena inilah maka ia tidak keberatan perkawianannya dilangsung kan terus biarpun ia seharusnya masih berkabung. Bahkan pemuda itu takut untuk pulang ke Soacouw, terus tinggal saja di kota raja, dirumah mertuanya karena di situ terdapat ba"nyak perjaga dan mertuanya adalah seorang ber"pangkat yang mempunyai kekuasaan. Siapa dapat rnengganggunya di situ?

   Pernikahan dilangsungkan dengan pesta meriah. Para tamu, laki laki dan wanita, memenuhi ruangan yarg sudah disediakan untuk mereka. Ke"adaan gembira dan meriah sekali. Di luar orang berjejal hendak menyaksikan pesta ini.

   Tiba-tiba Thio Sui merasa seakan-akan kepalanya ditarik dan di luar kebendaknya sendiri ta menoleh memandang ke kiri di mana berkumpul tamu-tamu wanita, dan......ia melihat Kui Lian
duduk diantara para tamu itu.

   Wanita ini sedang memandangnya dengan sepasang mata yang mengeluarkan sinar ganjil akan tetapi berpengaruh sekali. wajahnya masih seperti dulu akan tetapi membayang-kan sesuatu yang mengerikan.

   Thio Sui menjadi pucat sekali ingin ia membuang muka jangan melihat wanita itu, akan tetapi ia tak kuasa lagi mengge"rakkan lehernya!Bahkan matanya terus terbelalak, tak kuasa ia memejamkannya.

   Mulutnya yang hendak berteriak minta tolong itu terkancing.Sekali saja pandang matanya bertemu dengan smar mata Kui Lan, ia sudah "tertangkap" dan seluruh pe"rasaan dan pikiranuya sudah terpengaruh oleh kuasaan sihir. Kui Lan tersenyum simpul, senyum menyeringai seperti seekor singa betina memper"lihatkan taringnya.

   Kui Lan bangkit dari tempat duduknya, berjalan dengan lenggang yang menarik hati sambil mcnggoyang goyang kebutannya. Kini orang-orang mulai memperhatikan pengantm pria yang terus-menerus memandang wanita berpakaian serba putih dan yang kini berjalan mengham piri pengantin sambil membawa sebuah hudtim. Semua orang terheran. Dari mana datangnya tokouw ini? Juga penganten wanita dari balik tirai muka menoleh kepada Kui Lan yang tersenyum- senyum meng"hampiri mereka.

   "Thio - kongcu, kiongbi (selamat)!" kata Kui Lan, suaranya penuh ejekan sama sekali tidak membayangkan kekecewaan atau kesedihan karena memang sedikitpun ia tidak mempunyai perasaan apa apa terhadap Thio Sui yang tampan itu. Kalau andaikata dahulu ada sedikit rasa cinta, maka cinta itu sudah musnah sama sekali oleh perbuatan keluarga Thio kepada nya. Sekarang yang ada hattya hanya benci, sampat ke tulang - tulangnya.

   Sambil rnengucapkan selamat, Kui Lan mengebut"kan hudtimnya ke arah kepala Thio Sui. Ujung kebutan itu secara keji telah menotok jalan darah dan urat syaraf di kepalanya. Thio Sui mengeluh dan terguling dari kursinya, pingsan.

   "Hi hi-hi...... pengantin perempuannya cantik sekali! " kata Kui Lian, kembali kebutannya berge rak dan kali ini disabetkan dengan sepenuh tenaga kearah muka pengantin wanita. Terdengar suara keras tirai muka hancur dan patah-patah, ujung kebutan terus mencambuk muka pengantm wanita itu.

   Pengantin wanita menjerit kesakitan dan ter"guling roboh. Pada mukanya yang cantik terdapat goresan melintang yang dalam, darah mengucur dan selamanya pengantm wanita itu akan mem punyai muka yang cacad, bergores dari pipi kiri ke pipi kanan!.

   Keadaan mcnjadi geger di ruangan itu. Tamu-tamu wanita menjerit dan saling tabrak dalam usaha mereka melarikan diri dan bersembunvi. Tamu tamu pria juga berjejal jejal, yang penakut hendak menjauhkan diri, yang bcrani dan memiliki kepandaian hendak menangkap Kui Lian.

   "Perempuan siiuman dari manakah berani bermain gila di sini?!" bentak para penjaga dan para tamu yang memiliki kepandaian sebentar saja Kui Lian dikepung oleh puluhan orang laki-laki yang memegang senjata di tangan. Adapun Thio Sui dan calon isterinya sudab diangkat orang ke dalam untuk dirawat.

   Kui Lian yang dikepung hanya senyum-senyum saja. Senyum manis yang mempunyai penga ruh menundukkan hati pria sehingga para pengepung menjadi bengong. Dalam pandangan Semua pengepung, belum pcrnah mereka mclihat seorang wanita yang demikian cantik jelita, demikian manis senyumnya. Akan tetapi karena mereka tadi menyaksikan betapa perempuan ini menyerang sepasang pengantinv dan dari bclakang dikomando oleh Ma Siupi agar wanita itu ditangkapt maka para pengepung tctap bergerak. Kepungan makin menyempit.

   Kui Lian menggerak-gerakkan bibirnya mengucapkan manterar kebutannya digerak-gerakkan seperti menulis huruf di udara, matanya menyambar-nyambar tajam kepada semua orang yang mengepungnya, kemudian tangan kirinya bergerak melambai kepada orang-orang di sebelah kirinya.

   "Kalian bertiga, roboh! "

   Luar biasa sekali. Tiga orang yang berdiri di di sebelah kirinya, yang ikut mengepungnya dcngan tangan kosong, terhuyung-huyung lalu terguling roboh di depan Kui Lian.

   Kui Lian,mengcbut-ngebutkan hudtimnya di atas kepalanya dan.......... dalam pandangan semua pengepung, tiga orang itu berobah menjadi........ Kui Lian. Jadi ada empat orang Kui Lian kini yang terkepung.

   "Siluman.........!"

   "Ilmu hitam..........! Ilmu sihir jahat.........!"

   Ma- siupi yaig menyaksikan keanehan ini menjadi makin marah dan ia dapat menduga bah"wa tentu wanita inilah yang telah membinasakan keluarga calon mantunya di Soscouw.

   "Tidak perduli, biar ada empat atau sepuluh tangkap semua!" Barisan penjaga ditambah sehingga ruangan itu penuh sesak.

   Mendengar seruan Ma siupi, semua Orang yang mengepung bergerak maju untuk menangkap empat orang wanita yang memegang kebutan semua itu. Kui Lian tertawa bergelak, kebutan nya digerak-gerakkan ke kanan kiri dan.......keadaan menjadi kalang-kabut karena para pengepung itu sama sekali tidak mengganggunya. melainkan saling serang dan saling tangkap.

   Dalam pandang mata mereka, orang orang di sibelah mereka kini telah berubah semua men jadi Kui Lian. Inilah kekuaran sihir yang disebar oleh Kui Lian yang mempengaruhi orang banyak seperti penyakit menjalar. Dapatdibayangkan betapa kacau-balaunya dalam pan"dangan semua pengepung itu, setiap orang yang berada di stu merjadi Kui Lian. Terdcngar pekik dan sumpab, orang saling terjang dan saling tang-kap. Di dalam keributan ini, dengan enak dan mudah Kui Lian menyelinap keluar dari rumah gedung Ma siupi.

   Setelah Kui Lian pergi, perlahan-lahan kekuasaan sihirnyapun lenyap dan alangkah kaget semua orang ketika mereka bertempur dengan kawan-kawan sendiri. Bahkan Ma siupi yang juga dalam pandargan mata para penjaga berubak men"jadi Kui Lian, tahu-tahu telah dborgol oleh perjaga.

   Ramailah diadakan pengejaran. Sebentar saja seluruh penduduk kota raja panik mendengar bah"wa ada siluman jahat mengganggu kota raja.

   Kui Lian berjalan dengan lenggang kangkung keluar dari kota raja. Kalau ia teringatakan nasib Thio Sui, ia tersenyum-senyum puas. Pemauda itu menjadi biang keladi rusaknya perghidupannya, sekarang biarlah ia menjadi sebab rusaknya hidup Thio Sui.

   Memang dugaannya tepat, karena begitu siuman dari pingsannya Thio Sui menjerit -jerit dan menyerang calon isterinya yang terluka pada muka-nya. Tentu saja Ma siupi membatalkan perkawinan itu, melihat bahwa Thio Sui telah menjadi gila. Sebaliknya, anaknya yang dulu terkenal cantik, sekarang merjadi seorang yang bercacat pada mukanya.

   Ketika Kui Lian memperlambat jalannya karena sudah merasa aman dan tidak mungkin dapat tertangkap oleh para pengejarnya menurut p rkiraannya tiba tiba terdengar bentakan nyaring dari belakang.

   "Siluman jahat, kau hendak lari ke mana?"

   Kui Lian cepat menbalikkan tubuhnya dan.....hatinya berdebar-debar. Ia melihat seorang
pemuda yang gagah dan tampan sekali. Belum pernah selama hidupnya ia melihat pemuda segagah dan setampan ini. Pemuda ini mengenakan pakaian seperti seorang pendekar silat, mukanya yang bulat berkulit putih kemerahan, halus kulitnya seperti muka wanita.

   Sepaseng matanya bersinar-sinar seperti bintang, dilindungi sepasang alis yang hitam tebal terbentuk golok melintang. Sekaigus jatuhlah hati Kui Lian.

   Setelah sekarang ia berhasil membalas dendamnaya, satu-satunya keinginan hanya hidup tenteram dan bahagia. Dengan pemuda seperti ini di samping nya, kiranya selama hidupnya ia akan menikmati dan dapat bahagia, pikirnya.

   Dengan sepasang matanya yang berpengaruh, Kui Lian memandang pemuda itu, mulutnya ter-senyum semanis manisnya, lalu ia menjura dengan sikap hormat.

   "Seorang enghiong yang gagah perkasa tidak akan sembarangan saja menuduh orang sebagai siluman, apalagi kalau orang itu seorang wanita yang tak berdaya, sama sekali pantang baginya untuk mengganggu. Sahabat yang gagah perkasa, mengapa kau datang-datang menudnhku seorang Siluman?"

   Pemuda itu menatapnya tajam penuh selidik, lalu mencabut pedang sambil berkata,

   "Orang banyak mengejaramu sampai keluar kota raja dan menurut mereka, kau adalah seorang yang telah melakukan perbuatan keji melukai sepasang pe-ngantin yang sedaag dirayakan perni kahannya! Siapa tahu apakah kau benar benar salah ataukah pura-pura tidak sadar? "

   Akan tetapi Kui Lian tidak perdulikan kata-kata ini melainkan memandang penuh perhatian kepada pedang di tangan pemuda itu, kemudian berseru perlahan,

   "Kim-kong kiam.......! " la sudah seriag kali mendengar dari Suhunya tentang pedang Kim kong-kiam dan bahkan suhunya telah menyuruh-nya mencuri pedang itu. teringat ia akan kegagalannya ketika berusaha mencuri pedang itu dari ta"ngan Thian-te Kiam-ong yang sakti.

   Di lain pihak, pemuda itu terkcjut ketika me"lihat Kui Lian mengenal pedangnya dan ia makin pereaya bahwa wanita cantik sekali di hadapannya itu tentulah bukan wanita sembarangan, dan di-
pegangnya gagang pedangnya erat-erat. Siapakah pemuda yang memegang Kim-kong-kiam ini?

   Dia bukan lam adalah Liem Kong Hwat.

   Seperti telah dituturkan di bagian depan, ibu pemuda ini yang marah-marah telah meninggal kan Tit le malam-malam bersama Pun Hui dan Kong Hwat sendiri pulahg ke Liok can. Sakit sekali hati Song Siauw Yang. Berhari hari ia menangis dan memaki-maki puteranya sendiri.

   "Kau anak tidak berbakti, anak memalukan orang tua! Kalau kau tidak mau belajar ilmu silat lagi sampai melebihi Song Tek Hong dan Ong Sang Cu, kalau kau tidak mau mencari seorang isteri yang jauh melebihi Bi Hui dalam kecantikan dan kepandaiannya, aku benar benar malu mempunyai anak engkau! "

   Kata-kata ini diucapkan berkali-kali dan Siauw Yang tidak bisa dihibur oleh suammya. Melihat keadaan ibunya ini, Kong Hwat menjadi terpukul hatinya dan ia merasa menyesal timbul perkara seperti ini karena gara-garanya. Saking menyesalnya melihat keadaan ibunya, ia merasa benci sekali kepada ayah bunda Bi Hui, terutama sekali kepada Ong Siang Cu, bibinya yang telah menamparnya itu.

   Akhirnya, karena tidak tahan menghadapi makian-makian ibunya, tiga hari kemudian Kong Hwat minggat dari rumahnya membawa pedang Kim-kong kiam! Dia pergi menghibur diri dan merantau sampai ke kota raja di mana secara kebetulan sekali ia me"lihat Kui Lian dikejar kejar orang. Sebagai seorang pemuda gagah perkasa dan keturunan pendekar, tentu saja Kong Hwat tidak mau tinggal diam melihat kejadian ini dan Segera mempergunakan ilmu lari cepatnya untuk mengejar Kui Lian.

   Demikian, kini ia berhadapan dengan Kui Lian yang ternyata mengenal pedang di tangannya.

   "Hemm, kau mengenal Kim-kong- kiam, berarti kau seorang, wanua kang- ouw. Bukan mustahil kalau kau benar benar telah melakukan perbuatan kejam tadi."

   Kui Lian terenyum lagi dan diam diam Kong Hwat bcrdebar jantungnya. Senyum ini baginya begitu manis, kalah senyum Bi Hui, kalah rasa madu. Tentu saja ia tidak tahu bahwa Kui Lian telah mempergunakan ilmu sihirnya se"hingga senyum itu mempunyai pengaruh yang tidak sewajaraya.

   Mata biasa akan menyatakan tanpa ragu-ragu lagi bahwa senyum Bi Hui sepuluh kali lebih manis daripada senyum tokouw ini.

   "Siangkong. kau benar benar galak sekali.Nanti dulu, tentang perbuatanku atas diri sepasang pengantin itu ada ceritanya tersendiri untuk urusan itu Aku ingin sekali tahu apakah hubu nganmu dengan Thian-te Kiam ong Song Bun Sam maka pedang Kim-kong kiam bisa berada di tangan mu? " Sepasang mata yang bersinar ganjil itu dengan amat tajamnya menentang pandang mata Kong Hwat sehingga penuda itu tak kuasa menentang lebih lama lagi dan terpaksa menundukkan muka nya.

   

Pedang Naga Kemala Eps 7 Pedang Naga Kemala Eps 16 Pemberontakan Taipeng Eps 5

Cari Blog Ini