Pemberontakan Taipeng 5
Pemberontakan Taipeng Karya Kho Ping Hoo Bagian 5
"Saya telah menerima pelajaran!" Dan terpincang-pincang ia kembali ke kursinya dan mengambil obat luka untuk mengobati luka di pahanya. Theng Ci juga kembali ke kursinya dan mengobati luka di pundaknya, sedangkan Lee Song Kim tersenyum dan duduk lagi, tak mau menyinggung peristiwa tadi melainkan memandang empat orang tamu lainnya yang belum sempat memperlihatkan ilmu kepandaian mereka. Sambil tersenyum Lee Song Kim berkata kepada mereka.
"semua tamu yang gagah perkasa telah memperlihatkan ilmu kepandaian mereka masing-masing yang hebat sehingga menambah meriahnya suasana pertemuan ini. Hanya su-wi yang terhormat, Kam-Kauwsu, Tan-siucai, Kwa-Enghiong dan Thian Khi LoSuhu yang belum sempat memperlihatkan kelihaiannya. Maka, kami mohon dengan hormat dan sangat, sudilah kiranya Kam-Kauwsu dari Thian-cin dan Tan-siucai tokoh Pek-hwa-pai yang keduanya sudah amat terkenal namanya, menghangatkan suasana dengan mendemonstrasikan ilmu silat mereka." Kam-Kauwsu, guru silat dari Thian-cin itu adalah seorang yang cerdik.
Tadi dia melihat betapa lihainya tuan rumah yang penuh rahasia itu. Baru tingkat kepandaian Theng Ci, wanita yang menjadi pembantu Lee Kongcu itu saja sudah amat lihai dan agaknya tingkatnya sendiri tidak akan melebihi banyak. Maka, kalau sampai dia memancing bentrokan atau pibu dengan pihak tuan rumah, mungkin diapun akan mendapatkan malu. Juga dia tidak ingin mengadu ilmu dengan Tan-siucai. Dia dapat melihat betapa mereka yang ilmu silatnya biasa saja, tadi tidak dipedulikan oleh tuan rumah dan hanya mendemonstrasikan saja ilmu silatnya. Yang diadu dalam pibu hanyalah mereka yang ilmu kepandaiannya tinggi. Maka, begitu mendengar permintaan tuan rumah, dia mendahului Tan-siucai dan meloncat ke tengah ruangan itu, memberi hormat kepada Lee Kongcu dan para tamu sambil tersenyum lebar.
"Saya hanyalah seorang guru silat yang mengandalkan hidupnya dari penghasilan mengajarkan ilmu silat sekedarnya, ada apakah yang boleh diperlihatkan? Akan tetapi kalau untuk menghormati Lee Kongcu yang telah begitu baik hati untuk mengundang saya, maka biarlah saya ikut pula meramaikan pesta ini dengan permainan silat sedapat saya, harap cu-wi jangan mentertawakan."
Tanpa menanti tanggapan, cepat guru silat Kam ini sudah memainkan ilmu silatnya. Dia sengaja mengeluarkan tenaga sehingga tulang-tulangnya mengeluarkan bunyi berkerotokan, gerakannya mantap dan penuh tenaga, pukulan dan tendangannya juga mengandung tenaga besar sehingga menimbulkan angin. Akan tetapi, Lee Song Kim yang menonton penuh perhatian, menjadi kecewa. kiranya nama besar guru silat dari Thian-cin ini hanya nama kosong belaka, seperti juga ilmu silatnya itu hanya indah dan gagah ditonton saja, akan tetapi sebetulnya tidak ada isinya yang menarik sama sekali. Gerakan silat biasa yang dapat dipelajari setiap orang. Tidak ada apa-apanya yang patut untuk dicatat dan dipetik.
Dalam waktu belasan jurus saja Theng Ci akan mampu merobohkan orang ini, pikirnya. Karena itu, diapun tidak merasa tertarik. Guru silat itu kelihatan bersemangat benar untuk memamerkan ilmu silatnya, mengerahkan tenaganya dan kecepatannya. Namun, tidak ada sejuruspun yang dianggap baik oleh Lee Song Kim, maka diapun diam saja dan tidak bernafsu untuk mengadu tamu ini dalam pibu untuk mengorek rahasia ilmu silatnya. inilah yang dikehendaki Kam-Kauwsu yang cerdik dan selmatlah dia dari kekalahan dalam pibu. Setelah dia selesai dalam bersilat, para tamu, demi kesopanan, bertepuk tangan memuji, bahkan Song Kim juga ikut bertepuk tangan memuji. Kam-Kauwsu menjura sambil merendahkan diri, lalu mundur dan duduk kembali di kursinya, di dalam hatinya merasa girang bahwa siasatnya berhasil.
"Sekarang kami mohon Tan-siucai untuk memperlihatkan kepandaiannya. Kami mendengar bahwa Tan-siucai memiliki pedang yang luar biasa, dengan sebatang pedang pusaka yang tipis dan lemas. Kami ingin mengagumi ilmu pedang itu." Tan-siucai sejak melihat Lee Song Kim tadi mematahkan pedang di tangan Sin-Kiam Mo-Li, sudah merasa curiga akan iktikad tuan rumah. Maka, dia sudah merasa enggan untuk ikut memamerkan kepandaian. ketika tuan rumah minta kepadanya untuk memperlihatkan kepandaian, dia bangkit dan menjura kepada Lee Song Kim.
"Harap Lee Kongcu suka memaafkan, akan tetapi hari ini saya tidak mempunyai semangat untuk bermain silat memperlihatkan kebodohan sendiri di depan para locianpwe. Biarlah saya menjadi penonton saja."
"Ah, mana bisa begitu. Tan-siucai? Jauh-jauh kami sengaja mendatangkan tokoh-tokoh persilatan di dunia kang-ouw, selain untuk menghormati mereka, juga untuk menikmati pertunjukan ilmu-ilmu yang tinggi. Kalau anda menolak untuk ikut menggembirakan suasana dengan mendemonstrasikan ilmu silat anda yang terkenal tinggi, sungguh hal itu amat mengecewakan hati kami dan para indangan yang terhormat!" Kini Lee Song Kim juga bangkit berdiri dan menghampiri jago silat yang berpakaian seperti seorang sasterawan itu. Mereka berhadapan dan sejenak mereka saling pandang dengan sinar mata tajam. Tan-siucai kembali menjura,
"Terpaksa saya mengecewakan tuan rumah. Akan tetapi, saya memnuhi undangan tanpa mengetahui bahwa kami diundang untuk diadu seperti ayam-ayam aduan. Terpaksa saya mengecewakan dan biarlah budi kebaikan Lee Kongcu kelak dapat saya balas dengan undangan kehormatan pula. Sekarang, perkenankan saya mohon diri..." Akan tetapi Lee Kongcu menghadang di depannya.
"Nanti dulu, Tan-siucai. Aku tidak minta kau balas untuk beberapa cawan arakku dan beberapa mangkok sayuran hidanganku. Akan tetapi aku tidak dapat menerima kalau orang memandang rendah kepadaku, biarpun hal itu dilakukan oleh seorang ternama seperti engkau." Mendengar kata-kata keras dan sikap yang berubah kasar ini, Tan-siucai memandang wajah tuan rumah dengan alis mata berkerut.
"Lee Kongcu, apakah maksud ucapan Kongcu ini? Sungguh saya tidak mengerti," katanya, suaranya kinipun tegas.
"Sebagai tuan rumah yang menghormati tamu-tamunya, akupun ingin agar para tamuku menghormatiku. permintaanku kepada tamu yang hadir untuk sekedar memperlihatkan ilmu kepandaiannya merupakan penghormatan pula dan sudah sepatutnya kalau para tamu memenuhi permintaan itu. Kalau engkau menolak, berarti engkau tidak memperdulikan penghormatanku dan memandang rendah kepadaku. Memandang rendah berarti penghinaan dan aku tidak dapat menerimanya!" Mendengar ucapan keras dan sikap menantang ini, panaslah rasa hati Tan-siucai. Dia adalah seorang pendekar dari utara, seorang yang biarpun selalu mengalah dan rendah hati, namun jiwa kependekarannya bangkit kalau dia berhadapan dengan sikap sewenang-wenang. Melihat sikap tuan rumah itu, kecurigaannya terhadap Lee Kongcu yang berkesan buruk itu menjadi semakin tebal dan diapun memandang dengan wajah merah dan sinar mata tajam.
"Aku tidak mengenal Lee Kongcu dan aku datang ke sini adalah atas undanganmu sendiri. Aku hadir di sini sebagai tamu, bukan sebagai orang yang harus menjalankan semua perintahmu, kalau sikapku ini dianggap memandang rendah dan engkau tidak dapat menerimanya, lalu apa yang selanjutnya akan terjadi?" Biarpun halus, ucapan ini merupakan tantangan atau menerima tantangan yang dilontarkan Lee Song Kim tadi.
"Bagus! Kalau Tan-siucai merasa pintar sendiri dan benar sendiri, aku orang she Lee menantangmu untuk pibu agar disaksikan oleh para locianpwe yang hadir, asal saja Tan-siucai tidak mempergunakan lidahnya yang tajam melebihi pedangnya untuk mengelak karena takut menerima tantanganku!" kalimat terakhir itu dikeluarkan oleh Lee Song Kim sebagai penutup semua jalan keluar karena tentu saja pihak lawan tidak berani menolak. Menolak berarti mengaku takut! Tan-siucai mengerti bahwa dalam keanehan sikapnya, Lee Kongcu merupakan lawan tangguh yang berbahaya dan dia belum tahu sebetulnya yang berada di balik sikap menantang ini karena bagaimanapun juga, belum pernah dia merasa bermusuhan dengan orang ini.
"Bagaimana pibu ini akan dilaksanakan?" tanyanya, siap siaga karena dia maklum bahwa tak mungkin mundur dari tantangan tuan rumah. Sementaa itu, para tamu memandang penuh perhatian dan diam-diam Kam-Kauwsu merasa girang bahwa dengan kecerdikannya, dia tadi mampu lolos. Kwa Ciok Le yang sudah merasa tidak suka kepada tuan rumah, dan Thian Khi Hwesio yang merasa curiga, kini diam-diam memandang penuh perhatian.
"Tan-siucai terkenal dengan pedang tipisnya, ingin sekali aku membuktikan apakah pedang tipisnya itu sama tajamnya dengan lidahnya," kata Lee Song Kim yang sengaja memanaskan hati orang
"Srattt...!" Nampak sinar berkilat dan tahu-tahu Tan-siucai telah memegang sebatang pedang tipis yang berkilauan saking tajamnya. pedang itu diambilnya dari pinggang karena pedang itu tadi dipakai sebagai sabuk. Gerakannya sedemikian cepatnya sehingga seperti orang bermain sulap saja.
"Lee Kongcu, engkau sudah menantangku dan tidak baik kalau aku menolaknya. Nah, keluarkanlah senjatamu." Lee Song Kim tersenyum. dari anak buahnya yang melakukan penyelidikan, dia sudah banyak mendengar tentang jagoan ini dan biarpun belum pernah melihat sendiri kelihaiannya, namun dia merasa yakin bahwa dengan tangan kosong dia masih sanggup mengatasinya.
"Aku tetap menghormati tamu, Tan-siucai. Engkau gerakkanlah pedangmu, aku akan menghadapimu dengan tangan kosong saja."
Ucapan ini mengejutkan yang hadir, bahkan Thian Khi-Hwesio juga terkejut. Dia sudah mendengar tentang Siucai ini dan maklum betapa lihai dan berbahayanya pedang tipis itu. Dia sendiri sebagai wakil ketua Siauw-Lim-Pai, agaknya masih belum begitu sembrono untuk menghadapi Tan-siucai dengan tangan kosong melawan pedang tipis itu. Kalau tuan rumah ini bersikap sedemikian angkuhnya, tentu benar-benar telah memiliki tingkat ilmu silat yang amat tinggi! Maka dengan jantung berdebar, seperti yang lain, pendeta tua ini menonton dengan perhatian sepenuhnya. Maksud Lee Song Kim menghadapi lawan dengan tangan kosong bukan sekedar kesombongan belaka, melainkan mengandung maksud tertentu.
Dia mendengar akan kehebatan ilmu pedang orang ini maka dengan tangan kosong, dia mampu mengelak terus mengandalkan ginkangnya sambil memperhatikan gerakan lawan dan mencatat jurus-jurus terampuh untuk dipelajari dan dikuasainya. Song Kim memang sejak kecil memiliki ingatan yang kuat sekali sehingga sekali melihat dan mencatat di dalam benaknya, takkan terlupakan lagi olehnya. Sementara itu, Tan-siucai merasa penasaran bukan main, diam-diam juga girang. Orang she Lee ini berbahaya dan sombong. Kini dia ditantang untuk maju menggunakan pedangnya melawan Lee Kongcu yang bertangan kosong. kebetulan sekali, pikirnya. Banyak yang menyaksikan dan kalau sampai pedangnya melukai atau membunuh tuan rumah sekalipun, orang-orang kang-ouw tidak akan menyalahkannya.
"Baik, kau sambutlah pedangku, Lee Kongcu!" Hebat bukan main memang gerakan pedang sasterawan itu, jauh lebih hebat dari pedang wanita yang berjuluk Iblis Betina Pedang Sakti tadi. Pedangnya yang tipis itu meluncur dan berubah menjadi sinar kebiruan menyambar-nyambar dan menciptakan gulungan sinar yang panjang.
Namun, Lee Song Kim berdiri dengan tenang saja dan baru tubuhnya bergerak mengelak kalau ada sinar mencuat dari gulungan sinar itu yang menunjukkan bahwa ada serangan mengarah dirinya. Dengan tepat dan mudah dia mengelak. Akan tetapi gerakan pedang di tangan Tan-siucai itu hebat bukan main. Begitu pedang luput mengenai sasaran, pedang itu membalik dan telah melakukan serangan susulan, dan terus susul menyusul seperti seekor burung walet yang sedang berpesta pora menyambari nyamuk-nyamuk dengan terbang hilir mudik dengan kecepatan yang membuat pedang itu mengeluarkan sinar menyilaukan mata. Dalam waktu beberapa detik saja, pedang itu telah hilir mudik mengirim serangan tidak kurang dari tiga belas kali! Namun, semua orang kini dibuat kagum oleh Lee Kongcu.
Dia bergerak seenaknya, namun tubuhnya sedemikian ringannya sehingga ke manapun sinar pedang menyambar, tubuhnya selalu sekelebatan lebih cepat mengelak, seolah-olah sebelum pedang tiba, angin pedang itu sudah membuat tubuh Lee Kongcu berpindah tempat. Hal ini membuat Tan-siucai menjadi penasaran, akan tetapi berbareng dia maklum pula bahwa lawannya benar-benar amat lihai dan memiliki ginkang yang luar biasa. Maka, diapun lupa diri dan segera mengeluarkan jurus-jurus simpanannya yang paling ampuh. Justeru inilah yang dikehendaki Lee Song Kim. Dia mengerahkan ginkangnya dan tubuhnya bagaikan terbang saja menyelinap di antara gulungan sinar pedang, sambil meneliti bagian-bagian ilmu pedang milik lawan yang dianggapnya menarik dan patut untuk dipelajarinya. Sementara itu, Kwa Ciok Le dan Thian Khi Hwesio sudah saling berbisik-bisik.
"Lo-Suhu, tuan rumah ini sungguh aneh mencurigakan. jelas, ilmunya tinggi sekali dan apa maksudnya dia mengumpulkan kita di sini?"
"Pinceng (aku) juga belum mengerti benar, akan tetapi pinceng sedang mengingat-ingat, barangkali dia ada hubungannya dengan urusan besar..."
"Pembunuhan atas diri tiong Gi Tojin dan Tiong Sin tojin, dua orang tokoh Kun-Lun-Pai itu?" Kwa Ciok Le melanjutkan.
"Sayapun sudah mendengar akan hal itu dan sebagai murid Kun-Lun-Pai saya pun berkewajiban untuk mengadakan penyelidikan. Orang she Lee ini memang mencurigakan. ketika saya diundang oleh anak buahnya, saya tidak mau sehingga terjadi percekcokan, akan tetapi wanita pakaian merah yang bernama Theng Ci itu mengeluarkan ilmu siluman. ratusan ekor lebah beracun mengeroyokku dan selagi saya sibuk menyelamatkan diri, saya dirobohkannya dengan obat bius yang dikebutkan dengan saputangan merah. Nah, dalam keadaan pingsan saya digotong dan tahu-tahu tadi saya siuman dan dibawa ke tempat ini."
"Hemmm, sungguh mencurigakan. Pembunuh para tokoh Kun-Lun-Pai itu juga mengaku she Lee, akan tetapi dia mengaku murid Siauw-Lim-Pai."
"Tapi, harap loSuhu perhatikan. Ilmu silatnya demikian tinggi, dan saya melihat gerakan-gerakan yang aneh, bahkan kadang-kadang ada dasar gerakan Kun-Lun-Pai..." Hwesio tua itu memandang penuh perhatian. Tiba-tiba dia mengepal tinju karena pada sat itu, Lee Song Kim yang agaknya sudah merasa cukup mempermainkan lawan, menggerakkan tangan mencengkeram ke arah pergelangan tangan lawan yang memegang pedang. Tan-siucai dapat mengelak dengan menarik tangannya, dengan gerakan mencengkeram yang dilakukan Song Kim itu memang mirip dengan Ilmu Silat Naga dari aliran Siauw-Lim-Pai, bahkan kedudukan kakinya juga sama.
"Omitohud... engkau benar, sicu. Apakah dia juga telah mempelajari ilmu silat Siauw-Lim-Pai?" Pada saat itu, Lee Song Kim membalas serangan-serangan lawan, dan begitu dia mengeluarkan kepandaiannya, Tan-siucai yang memegang pedang menjadi kewalahan! Ketika Tan-siucai masih berusaha menyerang lawan dengan tusukan pedangnya ke arah dada, Lee Song Kim membuat gerakan miring dan dari samping dia memukul siku kanan lawan.
"Plakk!" Lengan kanan itu tiba-tiba menjadi lumpuh dan di lain saat pedang tipis itu telah berpindah tangan! Song kim tidak berhenti sampai di situ saja, dia lalu menggerakkan pedang itu dengan satu di antara jurus-jurus penyerangan yang tadi dimainkan oleh Tan-sicai.
Jurus serangan ini mirip sekali, dan bahkan lebih dahsyat karena didorong oleh tenaga sinkang yang jauh lebih kuat. Melihat ini, Tan-siucai terbelalak, mencoba untuk mengelak dengan menjatuhkan diri ke belakang. namun, sinar pedang itu mengejarnya terus dan tahu- tahu ujung pedang tipis telah menusuk dadanya dari samping. tanpa mengeluarkan teriakan Tan-siucai roboh dan tewas seketika karena pedang itu menembus jantungnya. Semua orang terbelalak, tak mengira bahwa seorang yang lihai seperti Tan-siucai dapat tewas semudah itu di tangan tuan rumah dan tidak mengira bahwa tuan rumah akan sekejam itu membunuh tamunya sendiri. Lee Song Kim yang menganggap Tan-siucai kelak akan dapat menjadi penghalang bagi cita- citanya, sudah membunuhnya dengan tangan dingin dan kini dia berdiri di tengah ruangan itu, memandang kepada semua tamunya.
"Tan-siucai tewas karena ulahnya sendiri. Cu-wi (anda sekalian) tadi melihat betapa dengan sungguh-sungguh dia berusaha membunuhku!" pada saat itu, Theng Ci menghampirinya dan dengan berbisik-bisik wanita ini menceritakan kepadanya apa yang didengarnya dari percakapan antara Kwa Ciok Le dan Thian Khi Hwesio!
"Mereka berdua tadi membicarakan Kongcu dan menyangka Kongcu pembunuh dua orang tokoh Kun-Lun-Pai. mereka mempunyai niat buruk terhadap Kongcu." Mendengar ini, Lee Song Kim diam-diam terkejut, akan tetapi dia mengangguk sambil tersenyum dan memerintahkan anak buahnya untuk menyingkirkan mayat Tan-siucai dan membersihkan lantai yang penuh darah. Kemudian dia melangkah maju setelah mengikatkan pedang pada pinggangnya seperti yang dilakukan Tan-siucai tadi, menghampiri tempat di mana Thian Khi Hwesio duduk bersama Kwa Ciok Le. Lee Song Kim menjura kepada dua orang itu dan suaranya lantang terdengar oleh semua orang ketika dia berkata,
"Nah, sekarang tinggal ji-wi (anda berdua) yang belum memperlihatkan kelihaian. Harap Huang-ho Sin-to si pembasmi bajak Huang-ho dan Thian Khi Hwesio yang menjadi wakil ketua Siauw-Lim-Pai kini maju dan memperlihatkan kelihaian masing-masing. Ji-wi dapat bersilat sendiri-sendiri atau bersama-sama, terserah. Dan kami harap ji- wi tidak memandang rendah dan menolak permintaan tuan rumah seperti yang dilakukan oleh mendiang Tan-siucai tadi."
Sikapnya hormat, kata-katanya halus dihias senyum, namun di dalam ucapannya itu terkandung ancaman bahwa kalau kedua orang itu menolak seperti Tan-siucai, merekapun agaknya akan mengalami nasib seperti sasterawan berpedang itu. Suasana menjadi tegang dan para ahli silat yang hadir kini memandang dengan sinar mata penuh kekhawatiran. lenyaplah perasaan gembira seperti yang mereka rasakan dalam pesta tadi. Tak mereka sangka bahwa pesta pertemuan itu akan menjadi seperti ini. makin aneh saja kelakuan tuan rumah, dan makin penuh rahaia. mereka tidak mengerti mengapa Lee Kongcu bersikap seperti itu, bahkan sampai membunuh seorang di antara tamu-tamunya hanya karena tidak mau memenuhi permintaan tuan rumah, yaitu mendemonstrasikan ilmu silat!
Di samping perasaan heran ini, juga terdapat perasaan kagum dan takut karena baru sekarang mereka maklum bahwa Lee Kongcu ini sesungguhnya adalah seorang ahli silat yang amat pandai. Pantas saja, Theng Ci ketua Ang-Hong-Pai yang demikian lihainya itu, mau menjadi pembantunya! Kwa Ciok Le dan Thian Khi Hwesio saling pandang. Tadi mereka telah bercakap-cakap dan mengambil keputusan untuk membuka rahasia Lee Kongcu ini, dan kalau perlu mereka akan maju bersama untuk menentangnya. Apalagi setelah melihat betapa Lee Kongcu membunuh Tan-siucai dengan cara demikian kejam, sengaja membunuhnya karena tadi Tan-siucai sudah kalah, keduanya mengambil keputusan untuk bangkit menentang orang she Lee ini.
"Lee Kongcu," kata Kwa Ciok Le dengan suara lantang,
"katakanlah terus terang, apakah engkau orang she Lee yang telah membunuh dua orang tokoh Kun-Lun-Pai, yaitu Tiong Gi Tojin dan Tiong Sin Tojin?"
"Dan juga orang she Lee yang setelah membunuh dua orang tokoh Kun-Lun-Pai, lalu mengaku sebagai murid Siauw- lim-pai?" Thian Khi Hwesio menyambung sambil memandang tajam. Mendengar ini, para tamu lainnya terkejut dan maklum bahwa mereka menghadapi urusan besar yang gawat. Akan tetapi Lee Song Kim bersikap tenang, bahkan dia menganggap sudah tiba waktunya untuk memperkenalkan diri. Dia membutuhkan pembantu-pembantu untuk memperluaskan namanya ke seluruh pelosok agar semua orang tahu bahwa kini muncul seorang jagoan yang pantas diberi gelar Thian-He Te-It Bu-Hiap! Dan maksudnya mengumpulkan semua jagoan ini bukan sekedar mencuri jurus-jurus terampuh mereka, melainkan juga untuk mulai memperkenalkan diri dan kelihaiannya.
"Thian Khi Hwesio, Huang-ho Sin-to dan para orang gagah yang berada di sini! Aku tidak perlu mengaku atau menyangkal atas semua tuduhan itu. Yang penting, aku memeberitahukan bahwa siapapun orangnya yang berani menentang Thian-He Te-It Bu-Hiap, maka dia akan tewas!"
"Hemm, dan siapakah Thian-He Te-It Bu-Hiap itu?" tanya Kwa Ciok Le walaupun terkejut akan kesombongan orang itu dan dapat menduga bahwa tentu orang itu yang mengaku sebagai Orang Gagah Nomor Satu di Dunia.
"Siapa lagi kalau bukan aku?" Lee Song Kim berkata tanpa ragu-ragu atau malu-malu lagi, sambil hendak berkeruyuk.
"Akulah. Lee Kongcu, yang merupakan satu-satunya orang yang patut berjuluk Thian-He Te-It Bu-Hiap!"
"Omitohud...!" Thian Khi Hwesio berseru, kaget dan heran melihat kesombongan orang itu.
"Dan siapa kiranya yang mengaku dan mengesahkan Lee Kongcu sebagai Pendekar Silat Nomor satu di Dunia ini?" Lee Song Kim mengeluarkan sebuah benda dari balik jubahnya dan semua orang melihat bahwa benda itu adalah sebatang pedang terbuat dari batu kemala yang berbentuk naga.
"Giok-Liong-Kiam...!"
Hampir semua orang berseru kaget. Biarpun di antara mereka belum ada yang melihat bentuk pedang pusaka itu, namun mereka sudah mendengar tentang Giok-Liong-Kiam (Pedang Naga Kemala), yang pernah menggemparkan dunia persilatan karena dijadikan perebutan di antara para orang gagah. Pedang yang lenyap dari gudang pusaka istana itu pernah diperebutkan dan hampir semua orang kang-ouw tahu belaka tentang pedang itu, tahu pula bagaimana bentuk dan macamnya, walaupun hanya sedikit saja tokoh yang pernah menyaksikannya. Begitu Lee Song Kim mengeluarkan pedang itu dan mengangkatnya tinggi-tinggi, semua orangpun mengenalnya. Lee Song Kim tersenyum melihat betapa semua orang memandang kepada pedang pusaka itu dengan muka pucat dan mata terbelalak.
"Benar, ini adalah Giok-Liong-Kiam, lambang dari kegagahan! Dan siapa yang menjadi pemilik Giok-Liong-Kiam, dialah yang patut menjadi Thian-He Te-It Bu-Hiap! Aku sudah menguasai hampir seluruh ilmu silat dari semua aliran, dan aku pula yang menguasai Giok-Liong-Kiam, maka akulah yang berhak menjadi jagoan nomor satu di dunia ini. Kalau ada yang menyangkal, boleh maju untuk membuktikan sendiri!"
"Omitohud...! Bukankah Giok-Liong-Kiam tadinya dikuasai oleh Ong Siu Coan, pemimpin pasukan Tai Peng yang kini menjadi Kaisar dari Kerajaan Sorga yang dibentuknya? Karena Giok-Liong-Kiam maka banyak orang gagah yang membantu pasukannya sampai dia menjadi Kaisar di nan-king. Bagaimana kini bisa berada di tanganmu, Lee Kongcu?"
"Ha-ha, Ong Siu Coan itu hanya macan kertas! Mengandalkan balatentara yang besar jumlahnya dan bantuan para ahli silat! Licik namanya! Akan tetapi aku hanya mengandalkan tenaga sendiri. Kini Giok-Liong-Kiam berada padaku, maka akulah yang pantas menjadi jagoan nomor satu".
"Dan engkau membunuh dua orang tokoh Kun-Lun-Pai menggunakan nama Siauw-Lim-Pai untuk mengadu domba!" bentak Kwa Ciok Le marah.
"Omitohud... pinceng teringat akan pencurian-pencurian kitab ilmu silat dari partai-partai besar yang dilakukan oleh Hai-Tok sampai datuk sesat itu tewas ketika hendak mencuri kitab di Siauw-lim-si. Agaknya engkau pula yang berada di balik semua itu, Lee Kongcu!" Lee Song Kim tersenyum, merasa tak perlu menyangkal.
"Hai-Tok pernah mengajarkan ilmu silat padaku. Akan tetapi sekarang, biar Empat Racun Dunia bangkit lagi mengeroyok aku, aku tidak akan undur selangkahpun. Akulah Thian-He Te-It Bu-Hiap, ha-ha!"
"Keparat, engkau membunuh tokoh-tokoh Kun-Lun-Pai yang tidak berdosa, aku sebagai murid Kun-Lun-Pai harus membalaskan dendam ini!" bentak Kwa Ciok Le sambil mencabut sebatang goloknya yang mengeluarkan sinar kehijauan saking tajamnya. Tanpa banyak cakap lagi dia menerjang dengan goloknya, dan golok itu berubah menjadi sinar bergulung-gulung diikuti suara mencicit ketika menyambar-nyambar. Namun Lee Song Kim dapat mengelak dengan amat mudahnya karena dia sudah mengenal ilmu golok dari Kun-Lun-Pai itu. Bahkan dia mengelak dengan gaya ilmu silat Kun-Lun-Pai pula, seperti yang pernah dipelajarinya melalui kitab yang dicuri oleh mendiang Hai-Tok. Melihat ini Kwa Ciok Le menjadi semakin marah dan goloknya menyambar-nyambar ganas.
"Omitohud, orang she Lee ini jahat, terpaksa pinceng turun tangan untuk membasminya!" Dan hwesio tua dari Siauw-Lim-Pai itupun menerjang maju membantu Kwa Ciok Le.
Dia hanya mempergunakan kedua lengan jubahnya yang lebar untuk menyerang. namun karena memang tingkat kepandaian Thian Khi Hwesio jauh lebih tinggi daripada tingkat orang she Kwa itu, biarpun hanya dua ujung lengan jubah, ternyata senjata istimewa ini jauh lebih berbahaya dibandingkan golok di tangan Si Golok Sakti dari Huang-ho itu. Lee Song Kim tentu saja maklum akan kelihaian wakil ketua Siauw-Lim-Pai, maka diapun cepat mengeluarkan ilmu kepandaiannya dan bergerak cepat untuk menghindarkan diri dari sambaran golok dan ujung lengan jubah. Melihat betapa pemimpinnya dikeroyok dua orang lihai, Theng Ci memberi isyarat kepada anak buahnya, juga dua orang murid kepala dari Lee Song Kim telah bangkit dan mereka berloncatan ke tengah ruangan itu dalam sikap mengepung.
"Mundur semua!" Lee Song Kim berseru sambil mengelak ke sana-sini.
"Biarlah aku menghadapi pengeroyokan dua orang ini agar terbuka mata semua orang melhat kelihaianku!"
Mendengar ini, Theng Ci memberi isyarat agar semua anak buah mundur, akan tetapi tetap siaga dan mengepung ruangan itu dengan senjata di tangan. Kini Song Kim yang menghadapi pengeroyokan dua orang lawan tangguh itu sudah neyimpan kembali Giok-Liong-Kiam dan sebagai gantinya dia melolos pedang tipis yang tadi dirampasnya dari tangan Tan-siucai, Orang ini memang lihai sekali, mampu memainkan segala macam senjata, apalagi pedang yang memang menjadi keahliannya. Segera tubuhnya lenyap terbungkus gulungan sinar pedangnya sehingga golok di tangan Huang-ho Sin-to Kwa Ciok Le dan kedua ujung lengan jubah Thian Khi Hwesio tidak mampu menembus gulungan sinar pedang itu,
Bahkan sebaliknya kini Song Kim mulai membalas dan setiap kali ada sinar panjang mencuat keluar dari gulungan sinar, maka seorang di antara dua lawannya harus cepat-cepat mengelak atau menangkis karena sinar itu merupakan serangan maut yang amat dahsyat. Kini semua tamu yang lain menonton dengan hati penuh rasa kagum terhadap Lee Kongcu. Tak mereka sangka bahwa tuan rumah itu ternyata adalah seorang ahli silat yang amat tiggi ilmunya dan yang berambisi untuk menjadi Thian-He Te-It Bu-Hiap, bahkan yang telah menguasai Giok-Liong-Kiam! Kini orang yang lihai itu bahkan berani menghadapi pengeroyokan dua orang tokoh Kun-Lun-Pai dan Siauw-Lim-Pai yang amat lihai itu, menolak bantuan dari anak buahnya.
Lee Song Kim bukanlah seorang bodoh yang tinggi hati dan sombong. Sama sekali bukan. Dia adalah seorang yang amat cerdik dan segala tindakannya tidak ngawur, melainkan dilakukan setelah diperhitungkannya masak-masak terlebih dahulu. Kalu dia berani menghadapi pengeroyokan dua orang lawan itu dan menolak bantuan anak buahnya, hal itu memang disengaja karena dia tahu benar bahwa dia mampu mengalahkan dua orang lawannya. Dan dia melakukan ini untuk mendatangkan kesan yang mendalam kepada orang-orang kang-ouw yang hadir di situ. Andaikata dia tidak yakin benar akan mampu mengalahkan dua orang lawannya, tentu dia mengandalkan anak buahnya untuk mengeroyok. Kini gulungan sinar pedang di tagan Lee Kongcu makin panjang dan melebar, sedangkan sinar golok Kwa Ciok Le menjadi semakin sempit,
Tanda bahwa pembasmi bajak dari Huang-ho ini sudah terdesak. Bahkan Kakek Thian Khi Hwesio juga terdesak hebat oleh sinar pedang bergulung-gulung yang amat dahsyat itu. Thian Khi Hwesio adalah wakil ketua Siauw- lim-pai, ilmu silatnya memang tinggi, akan tetapi dia tidak memiliki kesaktian seperti misalnya Siauw-Bin-Hud datuk Siauw-Lim-Pai itu. Memang, pemilihan ketua Siauw-Lim-Pai bukan berdasarkan ketinggian ilmu silatnya, melainkan kedalaman pengetahuannya tentang Agama Buddha karena Siauw-Lim-Pai bukanlah perkumpulan silat, melainkan perkumpulan agama. Karena itu, tidaklah mengherankan kalau terdapat murid-murid Siauw-Lim-Pai yang bukan hwesio dapat memiliki imu silat yang lebih lihai dibandingkan dengan para hwesio Siauw-Lim-Pai sendiri. Dan biarpun Thian Khi Hwesio sudah termasuk tokoh yang lihai dari Siauw-Lim-Pai,
Namun usianya yang tua juga cara berlatihnya yang kadang-kadang hanya kalau ada waktu senggang saja sebagai selingan ketekunannya memperdalam pelajaran agama, membuat dia kehabisan tenaga setelah terjun ke dalam perkelahian melawan orang yang amat lihai seperti Lee Kongcu itu. Kini Lee Song Kim menghadapi lawan dengan sungguh-sungguh, bukan seperti tadi sambil mempelajari ilmu silat lawan. Kini dia menghadapi dua orang pengeroyoknya dengan niat merobohkan mereka. Akan tetapi dasar dia memandang rendah lawan dan hendak memamerkan kelihaiannya, ketika dia merobohkan Kwa Ciok Le, dia sengaja menggunakan jurus pedang dari Kun-Lun-Pai! Pedang itu membabat pinggang dan ketika golok Kwa Ciok Le menangkis, tangkisan itu membuat pedang menusuk ke atas dan leher Huang-ho Sin-to tembus oleh pedang tipis yang runcing tajam itu.
Tubuh Huang-ho Sin-to Kwa Ciok Le terbanting roboh terjengkang dan berkelojotan karena lehernya hampir putus tertusuk pedang. Sebuah tendangan yang menyentuh dada membuat tubuh itu tidak berkutik lagi! Kini Thian Khi Hwesio harus menghadapi lawan lihai itu seorang diri saja! Hwesio ini melihat robohnya Kwa Ciok Le, mengeluarkan seruan keras dan memperhebat serangan kedua ujung lengan jubahnya. Namun, dua kali nampak sinar berkelebat dan dua ujung lengan jubah itupun terbabat putus! Thian Khi Hwesio terkejut bukan main. Tak disangkanya lawan memiliki sinkang sehebat itu, mampu membabat putus ujung lengan jubahnya yang telah disaluri hawa sinkangnya. Namun, dia tidak menjadi gentar dan menubruk maju dengan kedua tangan membentuk cakar garuda.
Hebat bukan main serangan Kakek ini karena dua tangannya itu tidak boleh dipandang rendah, mampu mencengkeram batu karang sampai hancur, apalagi tubuh atau kepala lawan! Namun, Lee Song Kim sudah mengenal ilmu ini dan cepat tubuhnya mengelak ke samping, kemudian dengan kedudukan tubuh miring itu dia masih dapat mengirim tusukan yang menyerang dari samping, melalui pundaknya yang direndahkan dan pedang itu memasuki dada lawan melalui celah-celah iga kirinya, menembus jantung. Robohlah Kakek itu di samping mayat Kwa Ciok Le dan lantai itupun kini penuh dengan darah pula! Semua tamu berdiri dengan mata terbelalak dan muka pucat, memandang kepada Lee Song Kim yang kini sudah berdiri dengan tegak, menyimpan pedangnya dan kembali mengeluarkan Giok-Liong-Kiam.
(Lanjut ke Jilid 05)
Pemberontakan Taipeng (Seriall 02 - Pedang Naga Kemala)
Karya : Asmaraman S. Kho Ping Hoo
Jilid 05
"Aku adalah Lee Kongcu, pemegang Giok-Liong-Kiam yang mulai saat ini memakai julukanThian-He Te-It Bu-Hiap! Siapakah di antara kalian yang merasa tidak setuju?" Para tamu memandang dengan wajah pucat. Mereka merasa gentar dan mereka yang merasa kagum segera menjura dengan hormat.
"Lee-Kongcu pantas menjadi Thian-He Te-It Bu-Hiap!" kata mereka.
"Hemm, menyatakan dengan mulut saja tidak ada gunyanya! Mulai saat ini kalian harus mentaati semua perintahku dan menganggapku sebagai seorang pemimpin di antara semua ahli silat, menjadi pemimpin dunia persilatan, dan Giok-Liong-Kiam menjadi lambang kedudukan pemimpin. Semua orang di dunia persilatan harus tunduk dan menghormat lambang suci ini. Siapa saja di antara kalian sekali kupanggil, betapa jauhpun kalian tinggal, harus cepat datang menghadap, dan tugas apapun yang kuminta, kalian harus melaksanakan sebaiknya. Akulah yang akan memimpin dunia persilatan, akan mempersatukan antara kita semua dan memperkuat dunia kita." sepasang mata Lee Song Kim mencorong penuh semangat dan kegembiraan ketika dia mengeluarkan kata-kata ini. Kam-Kauwsu yang diam-diam tadi merasa terkejut dan tidak senang melihat betapa Kwa Ciok Le dan Thian Khi Hwesio dibunuh, tiba-tiba bangkit berdiri menjura ke arah Lee- Kongcu sambil berkata,
"Saya orang she Kam sudah merasa tua dan tidak ingin lagi menghadapi kesibukan di hari tua. Saya harap Lee-Kongcu tidak mengikutkan saya, karena saya ingin mengundurkan diri dan tinggal di dusun untuk menggarap sawah ladang saja. Maafkan, saya akan pulang saja sekarang dan terima kasih atas segala kebaikan Kongcu." Dia lalu melangkah lebar pergi dari tempat itu setelah memberi hormat kepada tuan rumah. Lee Song Kim mengangkat Giok-Liong-Kiam tinggi-tinggi di atas kepala dan berseru kepada para tamu lainnya.
"Aku minta cuwi yang hadir menghalangi kepergian Kam-Kauwsu yang hendak memberontak!" Sepuluh orang tamu itu bangkit berdiri, termasuk Sin-Kiam Mo-Li yang terpincang-pincang dan mereka mengepung Kam-Kauwsu dengan sikap mengancam! Melihat ini, Lee Song Kim girang bukan main dan maklumlah dia bahwa mereka itu benar-benar telah dapat ditundukkan dan kini merupakan pembantu-pembantu yang boleh diandalkan! Sementara itu, melihat betapa para tamu tadi kini mengepungnya, Kam-Kauwsu merasa terkejut dan juga marah.
"Kalian ini orang-orang macam apakah? Sebelum datang ke sini, kalian adalah tokoh-tokoh kang-ouw yang gagah perkasa, akan tetapi apakah sekarang kalian berubah menjadi anjing-anjing penjilat yang tidak mempunyai kebebasan dan pendirian sendiri?" Sepuluh orang itu nampak ragu-ragu, akan tetapi mereka tetap mengepung. mereka merasa gentar sekali terhadap Lee-Kongcu yang demikian lihainya, dan kini mendengar ucapan Kam-Kauwsu yang mengejek mereka, bagaimanapun juga mereka merasa malu dan ragu-ragu dan mereka semua menoleh ke arah Lee-Kongcu untuk menanti apa yang selanjutnya akan dikehendaki oleh orang aneh yang membuat mereka semua gentar itu. Lee Song Kim adalah seorang yang cerdik bukan main. Dia tidak ingin mendesak lagi sepuluh orang yang baru saja takluk dan tunduk kepadanya itu, melainkan ingin membuat mereka menjadi semakin takut sehingga kelak akan taat selalu kepadanya.
"Kalian mingirlah, sahabat-sahabatku yang baik, dan lihatlah betapa aku menjatuhkan hukuman kepada orang yang berani menantangku!" kata Lee Song Kim dan dengan langkah-langkah perlahan dia mengampiri Kam-Kauwsu, pedang Giok-Liong-Kiam masih ditangan kanannya, diangkat tinggi-tinggi di atas kepalanya.
"Kam-Kauwsu, lihatlah Giok-Liong-Kiam, ini lambang kekuasaan persilatan! Berlututlah dan minta ampun atas sikapmu yang tidak taat, dan baru mungkin kami dapat mengampunimu," teriak Lee Song Kim dengan sikap penuh wibawa. Semua orang yang berada di situ diam-diam mengharapkan Kam-Kauwsu untuk mentaati perintah ini dan berlutut minta ampun, karena mereka semua yakin bahwa Lee-Kongcu yang mengangkat sendiri menjadi Thian-He Te-It Bu-Hiap itu bukan sekedar menggertak belaka. Akan tetapi, Kam-Kauwsu adalah orang yang keras hati. Dia seorang tokoh Thian-He Te-It Bu-Hiap dan biarpun dia yakin akan kelihaian Lee-Kongcu, namun dia masih memiliki harga diri yang diletakkan lebih tinggi daripada nyawa. Lebih baik mati daripada menerima penghinaan di depan banyak orang!
"Lee-Kongcu, boleh jadi engkau lihai dan aku tidak dapat melawanmu. Engkau mengangkat diri sendiri menjadi Thian-He Te-It Bu-Hiap adalah hakmu, dan aku tidak mau mencampurinya. Akan tetapi kalau aku disuruh berlutut minta ampun, aku merasa keberatan. Aku bukan anak buahmu, juga bukan budakmu, bukan pula muridmu, bagaimana mungkin aku berlutut minta ampun kepadamu? Maaf, aku tak dapat melakukan itu dan biarkan aku pergi dari sini dan tidak mencampuri urusanmu!" berkata demikian, Kam-Kauwsu kembali melangkahkan kakinya hendak pergi dari situ.
"Orang she Kam, semua yang menentang kami harus mati!" Tiba-tiba Lee-Kongcu membentak dan diapun menerjang dengan tangan kirinya, sedang tangan kanan tetap memegang Giok-Liong-Kiam di atas kepalanya. tangan kirinya itu menampar ke arah kepala dan biarpun kelihatannya perlahan saja, namun angin pukulan menyamabar terlebih dahulu sebelum tanagnnya sendiri tiba. Kam-Kauwsu maklum bahwa nyawanya terancam maut, maka diapun mengambil keputusan untuk melawan sekuat tenaga.
"Lebih baik mati sebagai harimau daripada hidup sebagai anjing penjilat!" teriaknya dan dia mengerahkan tenaga pada tangan kanannya ketika menangkis tamparan itu. Kam-Kauwsu adalah seorang ahli tenaga gwakang (tenaga luar) yang sudah melatih lengan itu sampai berotot kuat bukan main seolah-olah lengannya itu berotot kawat bertulang besi, juga telapak tangannya sendiri telah dilatih memukuli pasir besi panas sehingga kulit tangan itu tebal dan kuat seperti baja. Tangkisannya itu dimaksudkan untuk mematahkan lengan lawan.
"Dukk!" Dua buah lengan bertemu, lengan yang besar berotot melawan lengan yang sedang saja dan berkulit halus, akan tetapi akibatnya Kam-Kauwsu terhuyung dan mengeluh karena lengannya terasa nyeri bukan main.Ternyata dengan sinkangnya yang sudah amat tinggi dan kuat, Lee-Kongcu telah meminjam tenaga luarnya untuk menghantamnya sendiri! Akan tetapi Kam-Kauwsu sudah nekat. Biarpun maklum betapa lihainya lawan itu, dia mengeluarkan suara gerengan dan menubruk lagi, kini menggunakan ilmu silat Thian-He Te-It Bu-Hiap, yaitu ilmu silat tangan kosong Ji-liong-jio-cu (Sepasang Naga Berebut Mustika),
Kedua lengannya bagaikan dua ekor naga yang bergerak cepat menyerang dari kanan kiri, atas bawah, dengan sasaran pelipis kiri dan lambung kanan lawan. Gerakan yang disertai tenaga sekuatnya ini membuat tulang-tulangnya mengeluarkan bunyi berkerotokan. Melihat jurus yang dikeluarkan Kam-Kauwsu, diam-diam Lee Song Kim terkejut dan maklumlah dia bahwa tadi dia telah ditipu oleh guru silat ini ketika dia minta guru silat itu mendemonstrasikan ilmu silatnya. Tadi guru silat ini tidak bersungguh-sungguh mengeluarkan kepandaiannya dan baru sekaranglah, ketika menyerangnya, Kam-Kauwsu mengeluarkan jurus ampuhnya.Akan tetapu, mendiang Hai-Tok telah mencuri kitab ilmu silat Thian-He Te-It Bu-Hiap dan dia sudah mengenal dasar-dasarnya. Kini melihat serangan itu, dia berseru dengan nada suara mengejek.
"Hemm, inikah Ji-liong-jio-cu dari Thian-He Te-It Bu-Hiap?" Dengan mudah dia mengelak ke belakang sambil menangkis ke kanan kiri karena dia sudah tahu persis ke mana arah sasaran pukulan kedua tangan lawan. Kam-Kauwsu terkejut. Kiranya pemuda aneh ini mengenal pula jurus ampuh Thian-He Te-It Bu-Hiap, bahkan tahu cara menghindarkannya. Kalau saja Song kim tidak marah melihat ada orang berani menentangnya sebagai Thian-He Te-It Bu-Hiap, tentu dia akan suka sekali memancing agar guru silat itu mengeluarkan jurus-jurus terampuh dari Thian-He Te-It Bu-Hiap untuk dipelajari. Namun, dia sudah terlampau marah dan kini dia membentak keras.
"Jurus itu tidak ada gunanya di tanganmu. Nah, kau lihat, inilah jurus Ji-liong-jio-cu itu!" Tiba-tiba Song Kim membalas serangan lawan dengan jurus yang sama tadi! Akan tetapi jurus Ji-liong-jio-cu yang dipergunakan oleh Song Kim untuk menyerang, kecepatan dan tenaga yang mendorongnya sama sekali tidak dapat disamakan dengan serangan Kam-Kauwsu tadi. Kam-Kauwsu juga melihat serangan ini dan tentu saja dia mengenal jurus itu. Akan tetapi betapa kagetnya karena dia sama sekali tidak diberi kesempatan untuk mengelak lagi. Tahu-tahu kedua tangan lawan telah menyambar ke arah pelipis dan lambungnya. Tidak ada waktu lagi baginya untuk mengelak dan terpaksa dia menangkis dengan kedua lengannya, menyambut serangan ke arah pelipis dan lambungnya.
"Dukk! Desss...!" Tubuh Kam-Kauwsu terpental dan berkelojotan setelah terbanting jatuh, dari pelipisnya mengalir darah! Kiranya tangkisannya tadi tidak mampu menahan serangan lawan. Biarpun sudah ditangkis, ternyata sambaran jari tangan Song Kim ke arah pelipisnya masih meluncur dan memukul tangkisan tadi ke samping, maka pelipis kepalanya terkena jari tangan yang ampuh itu. Tentu saja semua orang menjadi semakin gentar menghadapi kelihaian seperti itu. Lee Song Kim mengebut-ngebutkan ujung pakaian dan membersihkan kedua telapak tangannya, dengan sikap tenang dia lalu mengeluarkan lagi Giok-Liong-Kiam mengangkatnya tinggi-tinggi di atas kepala.
"Semua orang harus menghormati Giok-Liong-Kiam ini sebagai lambang kebesaran seorang Thian-He Te-It Bu-Hiap. Berlututlah kalian!" Semua orang tidak ada yang membantah lagi dan merekapun menjatuhkan diri berlutut kepada Song Kim!bPemuda ini tersenyum penuh kemenangan
"Mulai saat ini, kalian menjadi pendukung dan pembantuku. Jangan khawatir, semua biaya akan kupikul. Kalian harus menyebar luaskan bahwa kini muncul Thian-He Te-It Bu-Hiap yang akan menjadi bengcu (pemimpin) di antara semua ahli silat."
"Maaf, Lee-Kongcu," Seng-jin Sin-to si malaikat Copet itu berkata.
"Bagi kami mudah saja mengangkat Kongcu sebagai bengcu karena kami sudah yakin akan kemampuan Kongcu. Dan kami juga dapat menyebarluaskan ini di antara golongan kami yang memang membutuhkan pimpinan yang pandai agar kami tidak mengalami penekanan dari pihak pemerintah dan para pendekar. Akan tetapi bagaimana terhadap para pendekar? Buktinya, yang tadi hadir di sini saja melakukan perlawanan sehingga terpaksa Kongcu membunuh mereka. Apakah para pendekar akan mau mengakui Kongcu sebagai bengcu? Hal ini kami merasa sangsi." Mendengar ucapan ini, Tiat-Pi Kim-Wan, Sin-Kiam Mo-Li dan beberapa orang yang hadir di situ mengangguk membenarkan. Lee Song Kim mengepal tinju.
"Aku harus menjadi Thian-He Te-It Bu-Hiap yang diakui oleh semua tokoh dunia persilatan, baik yang dinamakan para pendekar atau para tokoh kang-ouw. Kalau ada yang tidak mau mengakui dan berani menentangku, akan kuhancurkan! Akan kuundang mereka semua dan siapa berani menentang akan kurobohkan, akan kuperlihatkan kepada mereka semua bahwa akulah yang paling lihai."
"Maaf, Kongcu," kini Tiat-Pi Kim-Wan berkata.
"Para ahli silat yang berdiri bebas mungkin akan suka mengakui Kongcu kalau sudah melihat kesaktian Kongcu, akan tetapi bagaimana dengan partai-partai persilatan yang besar seperti Siauw-Lim-Pai dan Kun-Lun-Pai? Mereka mempunyai ketua-ketua sendiri, mana mungkin mengakui Kongcu sebagai bengcu mereka."
"Mereka harus mengakui dan aku akan kalahkan ketua-ketua mereka. memang mereka itu sombong dan besar kepala,mereka yang menamakan diri para pendekar itu. Kalau mereka tidak mau mengakui aku, aku akan memimpin kaum kang-ouw, meggantikan kedudukan Empat Racun Dunia! Sekarang, bantulah aku mengirim jenazah Thian Khi Hwesio ke kuil Siauw-Lim-Pai bersama jenazah Huang-ho Sin-to murid Kun-Lun-Pai ini."
"Untuk apa, Kongcu?" tanya mereka terkejut dan heran. Song Kim tertawa dan menceritakan siasatnya. Biarpun di dalam hati mereka merasa jerih, namun orang-orang yang sudah tunduk dan takluk itu tidak berani membantah dan mereka hanya dapat mengangguk dan siap melaksanakan siasat yang direncanakan Lee Song Kim.
Thian Tek Hwesio, ketua Siauw-Lim-Pai yang bertubuh pendek kecil itu berkali-kali menyebut nama Sang Buddha untuk memadamkan api kemarahan yang bergolak di dalam batinnya. Akan tetapi para hwesio pembantunya sudah tidak mampu menahan kemarahan mereka. Wajah mereka menjadi merah, mata mengeluarkan sinar berkilat dan mereka mengepal tinju. Siapa orangnya yang tidak akan marah ketika muncul lima orang kang-ouw itu, yang datang membawa jenazah Thian Khi Hwesio, wakil ketua Siauw-Lim-Pai itu sambil memberitahu bahwa yang membunuhnya adalah para Tosu Kun-Lun-Pai? Menurut keterangan lima orang itu yang bukan lain adalah para pembantu baru dari Lee Song Kim, Thian Khi Hwesio terlibat dalam perkelahian dengan Huang-ho Sin-to Kwa Ciok Le,
Jagoan murid Kun-Lun-Pai itu, yang marah-marah kepada wakil ketua Siauw-Lim-Pai itu karena kematian dua orang tokoh Kun-Lun-Pai yang kabarnya dibunuh orang Siauw-Lim-Pai. Dalam perkelahian itu, Kwa Ciok Le tewas di tangan Thian KhiHwesio. Kemudian muncul beberapa orang Tosu Kun-Lun-Pai yang mengeroyok hwesio itu sehingga Thian Khi Hwesio tewas. Demikianlah cerita anak buah Lee Song Kim kepada ketua Siauw-Lim-Pai dan para pembantunya. Tentu saja para pimpinan Siauw-Lim-Pai marah sekali. Kun-Lun-Pai telah bersikap keterlaluan, pikir mereka. Biarpun ada dua orang tokoh Kun-Lun-Pai yang terbunuh oleh orang yang mengaku murid Siauw-Lim-Pai, namun belum ada bukti bahwa benar pembunuhnya orang Siauw-Lim-Pai, kenapa sekarang mereka membunuh wakil ketua Siauw-Lim-Pai?
"Kita harus membereskan hal ini dengan pimpinan Kun-Lun-Pai!" mereka menuntut ketua mereka.
Karena desakan para pembantunya, akhirnya Thian Tek Hwesio yang usianya sudah tujuhpuluh tahun itu berangkat, diiringkan para pembantunya dalam jumlah belasan orang menuju ke sebuah kuil Kun-Lun-Pai yang jaraknya hanya kurang lebih empat puluh li dari biara itu. Mereka hendak menuntut kepada para pimpinan kuil itu agar disampaikan protes mereka kepada ketua Kun-Lun-Pai atas peristiwa kematian Thian Khi Hwesio. Akan tetapi, baru belasan li mereka berjalan, serombongan Tosu Kun-Lun-Pai yang terdiri dari belasan orang pula, dipimpin oleh Tiong Tek Seng-jin, ketua cabang Kun-Lun-Pai itu, dan para Tosu itupun nampak marah sekali. Begitu kedua rombongan bertemu, keduanya saling pandang dengan melotot penuh kemarahan dan siap untuk saling hantam tanpa banyak cakap lagi! Akan tetapi, Thian Tek Hwesio yang lebih dapat menahan kemarahannya, maju dan menjura kepada Tiong Tek Seng-jin dan para pembantunya.
"Omitohud... pinceng dan sudara-saudara sedang hendak mengunjungi toyu (sobat) sekalian, kebetulan berjumpa di sini."
"Siancai, agaknya memang kita kedua pihak memiliki niat yang serupa," jawab Tiong Tek Seng-jin.
"Pinto dan saudara-saudara juga ingin berkunjung ke Siauw-Lim-Pai, kebetulan bertemu di dalam hutan ini. Cu-wi (kalian) adalah hwesio-hwesio, orang-orang beragama yang menjunjung kesucian, akan tetapi apa yang kalian lakukan sungguh terlalu sekali. Ketika adik-adik kami Tiong Gi Tojin dan Tiong Sin Tojin dibunuh oleh murid Siauw-Lim-Pai, kami masih bersikap sabar dan menyerahkan kepada Siauw-Lim-Pai untuk mencari dan menghukum pembunuh itu. Akan tetapi, pembunuh itu belum juga dihukum, kini bahkan wakil ketua Siauw-Lim-Pai, Thian Khi Hwesio, membunuh pula seorang tokoh kami yaitu Kwa Ciok Le yang berjuluk Huang-ho Sin-to (Golok Sakti Huang-ho). Apakah Siauw-Lim-Pai sudah tidak memandang lagi kepada kami?" Thian Tek Hwesio membantah.
"Omitohud, kemarahan toyu tidak adil sekali. Katahuilah bahwa adik kami Thian Khi Hwesio sedang mencari dan berusaha untuk menemukan orang she Lee yang mengaku murid kami itu, akan tetapi di jalan bertemu dengan Huang-ho Sin-to yang menyerangnya. Terjadi perkelahian dan Huang-ho Sin-to tewas. Hal itu biasa saja dalam perkelahian, apalagi kalau murid Kun-Lun-Pai itu yang mendahuluinya. Dan kemudian adik pinceng itu dikeroyok dan dibunuh oleh para Tosu Kun-Lun-Pai."
"Tidak mungkin!" kata para Tosu itu dengan marah.
"Sungguh itu fitnah dan bohong besar, bahkan fakta yang diputar-balikkan!" kata Tiong Tek Seng-jin sambil menggoyang tongkat panjangnya yang berwarna putih.
"Beberapa orang datang membawa jenazah Huang-ho Sin-to kepada pinto dan menceritakan betapa dia dibunuh oleh Thian Khi Hwesio! Di mana dia Thian Khi Hwesio? Seorang wakil ketua membunuh murid kami, sungguh tak tahu diri. Pintolah lawannya, bukan seorang murid seperti Huang-ho Sin-to!"
"Omitohud, tentu toyu yang mendapatkan keterangan keliru. Thian Khi Hwesio telah menjadi mayat ketika orang-orang mengantarkannya kepada kami dan menurut keterangan, dia tewas dikeroyok para Tosu Kun-Lun-Pai." Tiong Tek Seng-jin menjadi marah.
"Hai hwesio Siauw-Lim-Pai! Dengarlah baik-baik! Kami telah kehilangan tiga orang yang kesemuanya terbunuh oleh orang-orang Siauw-lim- pai dan kini kalian bahkan menuduh yang bukan-bukan kepada kami. Kami bukanlah pembunuh-pembunuh seperti orag-orang Siauw-Lim-Pai, akan tetapi kamipun bukan pengecut-pengecut yang tidak berani menghadapi kalian. Kita tua sama tua, majulah dan rasakan kelihaian tongkatku!" Berkata demikian, Tiong Tek Seng-jin melangkah maju dan tongkatnya sudah siap untuk menyerang.
"Tosu jahat!" seorang pembantu dari ketua Siauw-Lim-Pai itu memaki dan menyerang dengan kepalan tangannya, akan tetapi terj angannya itu disambut oleh seorang Tosu lain. Melihat begini, tanpa diperintah lagi, Thian Tek Hwesio dan Tiong Tek Seng-jin sudah saling terjang pula. Tiong Tek Seng-jin menggunakan sebatang tongkat putih yang panjang, diputar cepat dan Thian Tek Hwesio, ketua cabang Siauw-Lim-Pai itu menggunakan seuntai tasbeh panjang di tangan kanan, dibantu ujung lengan kedua bajunya yang lebar dan panjang. Belasan orang Tosu dan hwesio kedua pihak juga sudah saling serang tanpa diperintah lagi dan terjadilah pertempuran antar belasan orang itu di tengah hutan!
Tak jauh dari tempat pertempuran itu, Lee Song Kim melakukan pengintaian dan ia tersenyum lebar, penuh kepuasan melihat betapa siasatnya telah berjalan dengan baik dan lancar. Kini dia mencurahkan perhatiannya kepada pertempuran itu, terutama sekali perkelahian antara Tiong Tek Seng-jin dan Thian Tek Hwesio. ketua dari kedua cabang perkumpulan besar itu yang tentu saja memiliki ilmu kepandaian tertinggi di antara mereka. Dia memperhatikan dan mencatat dalam ingatannya gerakan yang mereka lakukan, untuk menambah perbendaharaan ilmu silatnya. Akan tetapi, belum sampai ada yang roboh dalam pertempuran itu, tiba-tiba terdengar suara yang amat nyaring, suara yang mengandung tenaga khikang yang kuat sekali dan menggetarkan jantung,
"Cuwi harap mundur dan menghentikan pertempuran ini!" Semua orang tidak dapat melawan pengaruh seruan ini masing-masing menahan serangan lalu berloncatan mundur, menghentikan perkelahian dan semua orang memandang ke arah datangnya suara. Di bawah pohon, tak jauh dari situ, mereka melihat seorang laki-laki yang gagah perkasa, berusia kurang lebih tiga puluh delapan tahun, berpakaian sederhana seperti seorang petani, namun wajahnya tampan gagah dan tubuhnya sedang namun tegap. Wajahnya yang tampan itu membayangkan kelembutan, namun penuh wibawa. Melihat laki-laki ini, para hwesio Siauw-Lim-Pai menjadi girang dan Thian Tek Hwesio berseru,
"Tan-Taihiap...!" Laki-laki itu adalah Tan Ci Kong, seorang murid dan tokoh Siauw-Lim-Pai yang amat terkenal. Menurut tingkat, sebetulnya dia masih terhitung murid keponakan dari Thian Tek Hwesio,
Akan tetapi karena Ci Kong pernah digembleng sendiri oleh mendiang Siauw-Bin-Hud, yaitu tokoh sakti dari Siauw-Lim-Pai dan Kakek ini masih terhitung paman guru ketua Siauw-Lim-Pai itu, maka hubungan kekeluargaan antara mereka menjadi kacau. Karena tidak enak kalau memanggil pendekar ini sebagai murid keponakan, padahal tingkat kepandaian Ci Kong jauh lebih tinggi, maka Thian Tek Hwesio menyebutnya Tan- Taihiap (Pendekar Besar Tan). Juga para Tosu Kun-Lun-Pai mengenal siapa adanya tokoh ini. Mereka semua maklum bahwa Tan Ci Kong adalah seorang tokoh besar Siauw-Lim-Pai, akan tetapi juga seorang pendekar budiman yang gagah perkasa. Maka mereka mengharapkan keadilan dari pendekar besar ini yang dalam kegagahan dan keadilannya pasti tidak akan bertindak berat sebelah.
"Cuwi semua adalah dari satu golongan, mengapa kini bertempur sendiri? Kalau ada persoalan, mari kita bicarakan dengan kepala dingin. Tidak ada masalah yang timbul di antara dua kelompok bersahabat yang tak dapat diselesaikan dengan musyawarah."
"Thian Tek Hwesio dikeroyok dan dibunuh oleh para Tosu Kun-Lun-Pai...
" kata Thian Tek Hwesio. Ci Kong mengangkat kedua tangan.
"Harap susiok bersabar dan biarlah pihak Kun-Lun-Pai yang lebih dulu memberi keterangan agar jangan disangka bahwa saya berpihak kepada Siauw-Lim-Pai, Nah, totiang yang terhormat, apakah sebabnya terjadi pertentangan yang tidak semestinya antara Siauw-Lim-Pai dan Kun-Lun-Pai ini?" Thian Tek Hwesio tidak berkata-kata lagi dan melihat kebenaran ucapan pendekar itu. kini Tiong Tek Seng-jin yang melangkah maju menghadapi ci Kong.
"Tan-Taihiap, kami dari Kun-Lun-Pai bukanlah orang-orang yang suka mencari permusuhan, apalagi terhadap Siauw-Lim-Pai yang kami anggap sebagai saudara segolongan. Akan tetapi kesabaran ada batasnya. baru-baru ini, dua orang anggauta kami, Tiong Gi Tojin dan Tiong Sin Tojin, dibunuh oleh orang she Lee yang mengaku sebagai murid Siauw-Lim-Pai. Hal ini masih kami terima dengan kesabaran dan kami mendatangi para pimpinan Siauw-Lim-Pai agar mereka menghukum murid itu. Akan tetapi, belum juga ada kabarnya tentang Siauw-Lim-Pai she Lee itu, terjadi lagi pembunuhan atas diri seorang murid kami, yaitu Huang-ho Sin-to Kwa Ciok Le, dibunuh oleh wakil ketua Siauw-Lim-Pai sendiri, yaitu Thian Khi Hwesio. Bagaimana kami harus bersabar lagi? Kami bermaksud mendatangi Siauw-Lim-Pai untuk menuntut keadilan, akan tetapi di sini kami bertemu dengan rombongan pimpinan Siauw-Lim-Pai, dan mereka bahkan menjatuhkan fitnah kepada kami, mengatakan bahwa kami mengeroyok dan membunuh Thian Khi Hwesio. Apakah ini tidak mendatangkan penasaran besar?" Ci Kong mengerutkan alisnya.
Pedang Naga Kemala Eps 3 Pedang Naga Kemala Eps 22 Pedang Naga Kemala Eps 34