Ceritasilat Novel Online

Pedang Sinar Emas 46


Pedang Sinar Emas Karya Kho Ping Hoo Bagian 46




   "Siocia.....! Bangunlah.......!!"

   Bi Hui mclompat dari tempat tidurnya, kepalanya masih agak pening. Seperti beberapa orang pelayan penjaga di depan, iapun terkena pengaruh sihir yang membuat ia tertidur seperti mati, tidak mendengar suara ribut-ribut lagi. Kini ia memlompat kc pintu, dibukanya dan mukanya pucat sekali ketika mendengar kata-kata "Pembunuhan"!

   Tanpa bertanya lagi ia lalu menerjang pelayan-pelayan itu dan berlari cepat ke kamar ayah bundanya la melihat kamar itu sudah penuh pelayan dan ketika ia menerjang masuk, ia melihat ayah bundanya menggeletak dalam gelimangan darah sudah kaku dan mati, dan di sudut kamar, dua orang pelayan laki laki sedang memegangi Beng Han yang diikat erat-erat.

   "Ayaaaaah........! Ibuuuuu........! "

   Bi Hui memekik dengan suara melengking tinggi, mcnubruk ke depan dan roboh pingsan di antara jenazah ayah bundanya!.

   Bi Hui menerima pukulan batin yang hebat sekali ketika melihat keadaan ayah bundanya yang sudah tewas itu.

   Ia pingsan sampai lama, tubuhnya seperti sudah menjadi mayat. Sia-sia saja para pelayan mencoba untuk menyadarkan sehingga terpaksa para pelayan wanita mengangkat tubuhnya dan membaringkannya di atas tempal tidur di kamaraya sendiri.

   Hari sudah siang ketika akhirnya Bi Hui dapat siuman kembali dari pingsannya. Mukanya pueat dan tubuhnya panas sekali. Begitu siuman, ia lalu membuka mata dan mengeluh,

   "Ayah..... ibu......! "

   Menangislah gadis ini tersedu-sedu. Air matanya membanjir seakan-akan air bah memecah kan bendungan.

   Para pelayan mendiamkannya saja karena maklum bahwa pada saat seperti itu, tangis meru pakan obat terbaik bagi Bi Hui. Kemudian gadis itu teringat dan ma"tanya terbelalak lebar. la memandang kepadi pelayan-pelayan itu dan bertanya,

   "Siapa membunuh ayah dan ibu? Siapa.......?? "

   " Entahlah, siocia," kata pelayan ini takut-takut. "Hanya sekarang para pelayan laki laki Sedang mendesak Beng Han untuk mengaku. Kita mendapatkan loya dan toanio sudah tewas di lantai kamarnya sedangkan di dalam itu terdapat pula Beng Han yang memegang pedang pendek penuh darah dan sebungkus emas permata milik toanio berada di dekat nya. Agaknya....... agaknya iblis telah memasuki pikiran anak itu dan..... menggunakan kesempatan selagi loya dan toanio pulas, memasuki kamar dan....."

   Belum habis pelayan ini bicara, Bi Hui sudah melompat, menyambar pedangnya di tembok dan berlari cepat keluar kamar. Sesampainya di ruangan belakang, ia melihat Beng Han duduk di ban gku dengan muka pucat, rambut awut-awutsn dan muka yang biru biru bekas pukulan.

   Di depannya berdiri dua, orang pelayan laki laki yang marah-marah dan sedang mendesaknya memberi keterangan.

   "Bukan aku......., bukan aku.......!! "

   Bi Hui mendengar Beng Han menggeleng-gelengkan kepala membantah.

   "Apa kalian sudah gila? Bagaimana aku bisa membunuh suheng sendin? Aku bukan orang gila dan kalian tentuunya belum gila umuk mendakwa begitu keji!"

   Bi Hui meiompat ke depan Beng Han dan sekali tangan kirinya terayun, pipi Beng Han sudah ditamparnya sedemikian keras sehingga anak itu mencelat dan membentur dinding, pipi kanannya menjadi bengkak seketika dan giginya copot copot!

   "Bukti apa yang ada padanya?" tanya Bi Hui kepada dua orang pelayan itu.

   "Dia berada di kamar loya, tangannya memegang pedang pendek yang berlumur darah, baju, tangan dan mukanya penuh darah dan dia membawa pula sebungkus uang emas dan barang perhi asan toanio. Sudah terang setan cilik ini hendak mencuri dan membunuh loya dan toanio selagi mereka tidur pulas, siocia. Terserah kepada siocia bagaimana hendak menghukumnya. Apakah ki ta harus menyeretnya ke pengadilan?"

   "Biar aku adili anjing ini!" kata Bi Hui penuh kemarahan ketika ia menghampiri Beng Han yang sudah bangun dan mengusap usap pipinya.

   "Bi Hui cici, aku bersumpah bahwa aku tidak membunuh suheng dan suci," kata Beng Han sambil menatap wajah gadis itu dengan tabah.

   "Apa kau bilang?" Bi Hui menjambak rambut anak itu dan menyeretnya

   "Aku sudah tahu bahwa kau adalah seekor anjing yang tak kenal budi. Kau disayang ayah dan ibu dan kau membalas dengan perbuatan terkutuk. Anjingpun tidak sekeji engkau."

   Bi Hui terus menyeret rambut Beng Han, dibawa ke ruang tengah di mana jenazah ayah bundanya telah dimasukkan peti.

   MELIHAT dua peti itu., Beng Han me"nangis. Juga Bi Hui menangis, mendorong tubuh Beng Han di depan meja sembahyang, Beng Han jatuh berlutut dan menangis di depan meja.

   Bi Hui juga berlutut lalu menangis. Dilihat begitu saja narnpaknya dua orang ini sedang sama-sama ber"kabung,me"nangis di depan dua peti mati suami isteri Song.

   "Ayah dan ibu.......... anak telah membawa anjing ini.......... menghadap ayah dan ibu........ untuk mcngakui dosanya........ " Bi Hui berbisik.

   Beng Han menangis keras dan berkata lantang,

   "Suheng dan suci, siauwte Beng Han bersum"pah bahwa siauwte kelak pasti akan dapat me nangkap dan membalaskan dendarn suheng berdua kepada bangsat laki wanita jahanam itu."

   Bi Hui berbangkit dan mernbentak marah. "Tutup mulut! Hayo kau lekas mengakui dosa-"dosa mu di depan ayah dan ibu! "

   "Cici Bi Hui, aku tidak berdosa " kata Beng Han, suaranya bercampur isak.

   "Jangan coba menyangkal. Ataukah kau harus kusiksa lebih dulu?" Bi Hui menodongkan Ujung pedangnya di dada Beng Han. Ujung pedang itu menembus baju dan melukai kulit dada. Akan tetapi Beng Han tidak merasa takut.

   "Tusuklah dan belek dadaku agar kau dapat melihat bahwa hatiku tidak keji seperti yang kausangka, cici. Aku benar- benar tidak pernah melakukan dosa itu. Aku sama sekali tidak mem bunuh suheng dan suci. Percayalah! "

   "Mengapa pedang pendekmu berlumuran da -rah dan mengapa tubuh dan pakaianmu juga bcr lumuran darah.......ayah dan ibu?"

   "Aku.......aku bergumul dengan pembunuh-pembunuh itu, aku kalah....... terpelanting di lantai
yang penuh darah......"

   Bi Hui tersenyum sindir,"Hemm, kau mau jadi jagoan, ya? Dan bagaimana kau dapat menjelas kan tentang bungkusan barang-barang berharga itu?"

   "Itu..... itu aku tidak tahu, cici."

   "Ouk!" Tubuh Beng Han terjengkang kena tendangan Bi Hui dan dari malut anak ita keluar darah.

   "Hajo mengaku!"Bi Hui membentak. "Kalau tidak, hemm, kupenggal lehermu!

   "Aku aku tidak memburuh merekaa....... "

   Beng Han terengah-engah, bernapas. Tendangan tadi hebat sekali dan telah mendatangkan luka di dalam dadanya.

   "Kau tidak membunuh? Habis siapa yang membunuh ayah dan ibu menurut pendapatmu?" Bi Hui mengejek.

   'Pembunuhnya adalah........... Liem Kong Hwat......"

   Bi Hui tersentak kaget, akan tetapi kemarahannya memuncak. Tangan kinnya bcrgerak, leher Beng Han kena dipukul dan bocah itu terpelanting tak dapat bangun lagi. la telah pingsan

   "Guyur dia dengan air dingin!" seru Bi Hui tak puas melihat Beng Han menjadi pingsan ka"rena ia masih hendak bertanya.

   Dua orang pelayan laki-laki itu mengambil air dan mengguyur kepala Beng Han, Anak itu siuman kembali, ke"palanya serasa berputaran, lehernya sakit sekali. Ia lalu berlutut lagi di depan peti-peti mati.

   "Beng Han, manusia laknat Kau tentu ta"hu bahwa semua kata-katamu tadi tidak ada artinya. Kau sudah berlaku jahat dan melakukan pembunuhan mengapa harus membawa-bawa orang lain yang tidak berdosa?"

   "Betul, cici- Aku tidak membohong. Pembunuh suheng dan suci adalah Liem Kong Hwat. Tak salah lagi."

   "Keparat Japa percaya akan obrolanmu? Melawan aku saja belum tentu dia menang, bagaima na dia bisa merobohkan ayah dan ibu? Kau bohong!"

   "Dia dibantu oleh...... oleh seorang siluman wanita, muda dan cantik, tetapi jahat...... siluman itulah yang mengalahkan suheng dan suci....."

   "Kaulah silumannya! Biar ada seribu orang siluman perempuan muda, tak mungkin dapat mengalahkan ayah dan ibu. Kalau kau yang berbuat selagi ayah dan ibu tidur pulas, itu sangat boleh jadi! Kau masih tidak mau mengaku?"

   Beng Han yang dihajar sejak tadi oleh dua orang pelayan kemudian oleh Bi Hui, mendengar ini menjadi panas juga.

   "Cici, kau tetap menuduh aku dan bahkan membeka Liem Kong Hwat yang memang berdosa. Biarpun aku tahu bahwa kau membelanya karera kau mcncinta pemuda itu, akan tetapi kelak kau akan menyesal, cici, dan arwah suheng berdua akan mengutukmu."

   Bukan main marahnya Bi Hui mendengar ini.

   "Buki-bukti sudah jelas menyatatan bahwa kau hendak mencuri barang berharg dan mernbunuhayah ibu, masih banyak cerewet berani sekali kau menghinaku dengan kata-kata kotor!? Benar-benar kau harus mampus di depan peti mati ayah ibu untuk menebus dosa. Bersiaplah menghadap arwah ayah dan ibu!"

   Bi Hui mengangkat pedangnya tinggi-tinggi hendak memenggal leher Beng Han sedangkan bocah itu sambil berlutut memejamkan mata menanti binasa. Bi Hui mengajun pedangnya dan........r

   " Traaanngg...:..!!"

   Bi Hui melompat mundur cepat-cepat kare"na tangau yang memegang pedang tergetar hebat dan hampir sa ja pedangnya terlepas dari pegangan. Di depannya sudah berdiri seorang kakek pengemis yang memegang tongkat merah yang pendek dan tongkat inilah yang tadi dipakai menangkis pedang Bi Hui sebelum mengenai leher Beng Han.

   Kakek ini sudah tua sekali, pakaiannya tembel-tembellan dan biarpun semua rambutnya sudah putih dan mukanya sudah penuh kcriput, namun sepasang matanya memancarkan pengaruh luar biasa.

   "Nona, kau pernah apa dengan Thian-te Ki-am-ong? Dan peti mati siapakah ini? Mengapa pula kau hendak membunuh bocah ini?"

   Bi Hui maklum bahwa ia berhadapan de"ngan scorang sakti,maka ia menjawab kaku.

   "Thian te Kiam- ong adalah kong-kongku, aku Song Bi Hui dan ini adalah peli mati ayah bundaku yang malam tadi dibunuh oleh anjing cilik ini. Maka aku hendak memhunuhnya di de"pan peti mati ayah dan bundaku. Kau ini orang tua yang menolong pembunuh, siapakah?"

   Kakek pengemis itu membelalakkan kedua matanya, sebentar memandang kepada Bi Hui, ke"mudian kepada dua buah peti mati itu, lalu kepa"da Beng Han.

   ''Apa kau bilang.........? Tek Hong dan Siang Cu mati terbunuh malam tadi? Oleh bocah ini......! n

   Kakek itu melangkah maju, menjambak rambut Beng Han dan mengangkat anak itu untuk memeriksa mukanya, seperti seorang jagal memeriksa seekor kelinci, lalu melemparkan tubuh Beng Han ke bawah schingga anak yang sudah setcngah mati itu kembali jatuh di depan peti mati.

   'Tak mungkin dia ini becus membunuh Song Tek Hong putera Thian-te Kiam-ong dan Ong Siang Cu murid Larn-hai Lo-mo," kata kakek pengemis itu.

   Mendengar kakek itu menyebut-nyebut nama ayah bundanya, kakeknya dan guru ibunya, Bi Hui makin terkejut dan la segera berkata lebih hormat.

   "Locianpwe, bukti - bukti sudah ada yang menyatakan bahwa bocah inilah pembunuh ayah ibu selagi tidur. Akan tetapi siapakah locianpwe ini.....?"

   "Kau ini tentu cucu Titian-te Kiam ong puteri Song Tek Hong, bukan? Jadi kau ini yang hendak di jodohkan dengan cucuku Kwan Sian Heng, sungguh tidak kebetulan sekali, ke"datanganku disambut oleh peti-reti mati. Mengapa tidak kernarin aku datang hingga dapat mence"gah terjadi nya hal menyedihkan ini? Benar-tenar. sudah nasib, sudah karma......... "

   "Bukankah locianpwe ini Sin-tung Lo-Kai?" Bi Hui bertanya mendengar kata-kata itu.

   Kakek itu mengangguk angguk. "Benar, akulah Sin-tung Lo- kai, sabahat baik kong - kongmu, juga besannya karena paturinya Song Siauw Yang berjodoh dengan putera angkatku Liem Pun Hui."

   Bi Hui lalu menjatuhkan diri berlutut di depan kakek itu. dan menangis tersedu-sedu, ter"ingat akan nasib orang tuanya. Pada saat itu ma"suklah sepasang suami isteri setengah tua, yang laki - laki berpakaian seperti sasterawan, yang wanita nampak gagah dan rnemegang seba tang tongkat merah. Di belakang mereka berjalan seorang pemuda tampan dan gagah, tinggi besar dan wajah nya jujur mcnggandeng seorang bocah perempuan berusia enam tahun yang mungil dan manis.

   Sepasang suami isteri itu tukan lain adalah puteri Sin tung Lo kai Thio Houw yang ber"nama Tnio Leng Li dan berjuluk Bi - sin - tung ( Nona Cantik Tongkat Sakti ) bersama suaminya, seorang sasterawan bernama Kwan Lee kawan se"kolah Liem Pun Hui.

   Adapun pemuda gagah tinggi besar itu adalah Kwan Sian Hong putera mereka dan bocah perempuan itu adiknya, Kwan Li Hwa.

   Kctika mereka ini mendengar penuturan singkat dari Sin - tung Lo kai tentang peristiwa hebat yang merimpa keluarga Song, semua memandang kepada Beng Han dengan mata terterkejut. heran juga marah. Bi - sin - tung Thio Lcng Li segera memeluk Bi Hui dan hiburnya dengan nasihat bahwa mati hidup ditentukan oleh Thian Yang Maha Kuasa.

   Beng Han yang menjadi "tontonan" merasa betapa semua orang membencinya. Darah yang mengucur dari luka di jidatnya memasuki matanya, membuat matanya pedas sekali. Dengan canggung dan kaku ia mencoba untuk menghapus darah campur peluh ini, akan tetapi tidak berhasil. la meraba-raba saku mencari-cari, tetapi tidak men"dapatkan saputangannya.

   Tiba-tiba sebuah tangan yang mungil menyerahkan sehelai saputangan jam bon kepadanya, diikuti kata-kata halus,

   "pakai saputanganku untuk menghapus darah di mukamu itu. Mengerikan sekali..... ".

   Beng Han memaksa matanya yang pedas Itu rnemandang dun melihat seorang gadis cilik yang manis. Dengan perasaan terima kasih ia meneri"rna saputangan itu dan menghapus darah di mu"ka dan matanya.

   "Siapa namamu?" Galis cilik itu bertanya. "Aku Thio Beng Han...."

   "Eh, kau seketurunan dengan kong-kong! Kong kong juga ber - she Thio!"

   "Li Hwa, mundur kau!" bentak Sin-tong Lo - kai Thia Houw yang melihat cucunya bercakap - cakap dan memberi saputangannya kepada Beng Han, bocah yang didakwa menjadi pembu nuh itu.

   "Locianpwe, perkenankan saya melaksanakan hukuman kepada pembunuh ayah bundaku agar sakit hati dan penasaran ayah ibu dapat terbalas sekarang juga," Kata Bi Hui kepada Sin - tung Lo "kai Pengemis Tua Bertongkat Sakti, lalu ber"diri dan dengan pedang di tangan menghampiri Beng Han.

   "Nanti dulu, kau mau apakan dia?" tanya Thio Houw.

   "Saya hendak membunuhnya di depan meja sembahyang," jawab Bi Hui tenang.

   "Jangan bunuh dia kasihan.... " tiba-tiba Li Hwa menjerit dan Beng Han kembali me"mandang kepada gadis cilik ini dengan kagum dan terima kasih.

   Selama hidupnya ia takkan dapat melu pakan gadis canti ini yang pada saat itu merupakan satu- satunya orang yang menaruh kasihan dan perhatian kepada dirinya.

   "Nona Bi Hui, nanti dulu, jangan kau ter"gesa-gesa. Aku masih meragukan apakah benar benar bocah ini mampu rnembunuh ayah bundamu, biarpun dalarn keadaan tidur pulas. Apakah kau sudah bertanya kepada semua pelayan dan mereka itu tidak melibat apa-apa malam tadi?"

   "Sudah, locianpwe. Tak seorangpun di an"tara mereka melihat orang lain kecuali Beng Han,".jawab Bi Hui. Memang pelayan- pelayan yang semalam melihat Kui Lian dan dirobohkan sudah tak ingat apa lagi hanya lapat lapat merasa seperti mimpi. Tentu saja menghadapi pe"ristiwa hebat itu tak seorangpun di antara mereka berani bicara tentang mimpi yang tak masuk akal itu.

   "Nona Bi Hui, kuharap kau suka bersabar dulu dan berpikir lebih dalam. Andaikata kau se"karang membu nuh bocah ini, lalu kelak terbukti bahwa dia itu tidak berdosa bukankah kau akan menjadi pembunuh kejam. Tidak, aku tidak ingin cucu mantuku membunuh bocah tidak berdosa Nona Bi Hui, ayah bundamu mengi rim surat ke"pada kami, mengusulkan perjodohan antara kau dan cucuku Kwan Sian Hong. Oleh karena itu, kuanggap bahwa aku boleh mewakili orang tua"mu mengamat-amati segala hal yang terjadi di si"ni dan kiranya aku tidak akan terlalu lancang un"tuk mengarnbil keputusan pula dalam urusan bo"cah ini."

   Memang kalau dipikir-pikir, Bi Hui juga masih ragu-ragu apakah betul Beng Han dapat membunuh ayah bundanya.

   Tadi karena terlampau bcrduka, pula tidak melihat bukti lain, ditambah rasa tidak sukanya kepada Beng Han maka buat ia kukuh menuduh Beng Han yang menjadi pembunuh ayah bundanya. Sekarang ia mendengar kata-kata kakek pengemis itu, hanya menangis dan berkata,

   "Terserah pada locianpwe......" la lalu me"nubruk peti mati ibunya dan menangis tersedu-"sedu, segera ditolong dan dipeluk serta dihibur oleh Bi-sin-tung Thio Leng Li, calon ibu mertua"nya.

   Sin - tung Lo - kai rnenghadapi Bang Han dan berkata, "Beng Han, bukti - bukti menyatakan bahwa kau bersalah. Sekarang hendak bicara apa?"'

   "Terserah kepada kalian apakah aku bersa"lah atau tidak. Membela diri tidak ada gunanya, tetap takkan dipercaya. Aku hanya mau bicara begini, bahwa apabila umurku panjang aku akan mencari dan menyeret pembunuh - pembunuh su"heng dan suci dan memenggal leher mereka di depan makang suheng dan suci!"

   Sin - tung Lo - kai mengangguk, Kakek pengemis sakti ini sekelebatan saja tabu bahwa anak di depannya bukannya bocah sembarangan, maka ia makin sangsi apakah benar bocah ini yang menjadi pernbunuhnya.

   "Baiklah, atas nama keluarga Song aku aku membebaskan kau,akan tetapi jangan kira bahwa kami akan menutup mata begitu saja. Kelak masih belum terlambat untuk menghu kummu apabila ternyata kau yang bersalah dalam pembunuhan ini "

   Beng Han tidak menjawab, sebaiknya ia lalu berlutut di depan meja sembabyang dan ber"kata dengan suara lantang dan air mata bercucuran,

   " Suheng dan suci, siauwte hersumpah untuk membalaskan sakit hati ini.Biar siauwte menebus dengan nyawa kalau siauwte sampai gagal menyeret dua pembunuh itu di depan makam suheng berdua. Harap suheng berdua mengaso dengan tenang."

   Setelah berkata demikian, la menjura kepada Bi Hui dan berkata,

   "Cici Bi Hui, aku tidak menyesal kepadamu karena aku maklum betapa hancur hatimu kehilangan ayah bunda.Juga aku terima kasih sekali atas kebaikan keluargamu selama aku berada di sini. Cici, baik-baiklah menjaga dirimu sendiri Kelak kita bertemu kembali!"

   Pergilah Beng Han ke kamarnya, mengam"bil pakaian lalu keluar dari rumah itu dengan tubuh sakiit semua dan jalannya terhuyung huyung,

   air matanya bcrcucuran karena ia merasa amat kasihan kepada keluarga Song yang selama ini ia junjung tinggi. benar-benar bocah luar biasa. Setelah menerima siiksaan yang menyakitkan semua tubuh, dalam meninggalkan rumah itu ia masih bisa melupakan keadaan diri sendiri dan sebalik"nya merasa amat kasihan kepada Bi Hui.

   Setelah Beng Han pergi, seperti kepada diri sendiri Sin - tong Lo - kai berkata, "Bocah luar biasa........ ah, ah, ingin sekali aku dapat menyaksikan terlaksananya sumpahnya tadi."

   Kedatangan Sin - tong Lo - kai Thio Houw dan anak cucunya merupakan hiburan besar bagi Bi Hui. Sin-lung La-kai mengurus segalanya, juga mengutus seorang pelayan untuk pergi ke Liokcan memberi tahu tentang peristiwa hebat itu kepada Liem Pun Hui dan Song Siauw Yang.

   Dapat dibayangkan betapa kagetnya hati Siauw Yang dan Pun Hui mendengar berita itu. Siauw Yang rnenangis menjerit-jerit. Biarpun ia pernah ribut dengan Siang Cu, akan tetapi seba"gai adik ipar, tentu ia merasa berduka sekah men"dengar kematian kakak dan iparnya. Cepat ia meng"ajak suaminya pergi ke Tit- le.

   Siauw Yang menubruk petimati-petimati itu dan menangis sampai jatuh pingsan. Bi Hui menangis bersama bibinya, dan setelah Siauw Yang sa"dir, dua orang wanita ini saling berpelukan sambil menangis.

   Lenyap kcmaraban lama. Ketika mendengar bahwa Beng Han dibebaskan oleh Sin-tung Lo-kai, Siauw Yang mengerutkan kening dan berkata,

   "Kalau bukti-bukti meayatakan bahwa anjing cilik itu yang melakukan pembunuhan, mengapa ia di bebaskan dan tidak dihukum menebus nya"wa di sini?"

   Sin- tung Lo-kai berkata, "Kesalahannya be"lum nyata betul, bahkan dipikir-pikir, aku berani bertaruh nyawaku yang sudah tua bahwa anak itu tidak bardosa. Selain itu, apabila kelak ternyata dia yang berdosa, akulah yang akan sanggup menye"retnya di depanmu.."

   Pun Hui menghibur isterinya sehingga akhirnya Siauw Yang mengalah dan ia sendiri bersum"pah hendak menjadi orang pertarna yang menu"sukkan pedang ke dada pembunuh kakaknya dan kakak iparnya.

   Ketika Siauw Yang bercakap-cakap dengan Leng Li sahabat lamanya, Leng Li bertanya meng"apa Kong Hwat tidak ikut datang.

   "Ia di sebut - sebut oleh mendiang kakakmu yang katanya rnenurut pesan Song- lo-enghiong, ha"rus dijodohkan dengan puteriku. Kau lihat, puteriku masih kecil, baru berusia enern tahun, agaknya ayahmu itu lupa dan merngira bahaa anak perem"puanku sudah dewasa."

   Siauw Yang menarik napas panjang dan ter"ingatlah ia akan segala peristiwa yang lalu di ru"mah kakaknya ini, sehingga mengakibatkan Kong Hwat minggat dari rumah.

   "Anak itu pergi merantau untuk meluaskan pengalaman, tentang perjodohan, ah, mana! mana bisa orang tua sekarang memaksa putcrama? Kalau dia belum mempunyai niat, kita ini bisa berbuat apakah?"

   Juga sambil lalu Sin-turtg Lo kei bertanya tentang pemuda itu, ketika dijawab bahwa Kong Hwat sedang merantau untuk rneluaskan penga"laman, ia mengangguk angguk dan berkata,

   "Memang buik sekali bagi seorang muda un"tuk merantau meluaskan pengalaman. Apa gunanya kepandaian tinggi tanpa pengalaman? Akan mu"dah tertipu orang dan kadang-kadang kapandaian, tinggi sama sekali tidak ada gunanya, sebaliknya pengalaman membikin orang menjadi waspada dan tidak mudah tertipu. Sayang dia tidak mengetahui tentang nasib paman dan bibinya yang buruk....."

   Setelah selesai menguruskan penguburan je"nasah Song Tek Hong dan isterinya di mana Bi Hui menangis sampai beberapa kali pingsan, me"reka lalu berunding.

   Sin-tung Lo-kai Thio Houw tadinya mengharapkan supaya Bi Hui ikut tinggal di rumah calon mertuanya, yakni Kwan Lee dan Thio Leng Li di kota Leng-Ling. Akan tetapi Si"auw Yang minta dengan sangat supava keponak"annya itu untuk sementara tinggal bersama dia di Liok-can.

   Ternyata Bi Hui memilih tinggil bersa"ma bibinya, karena ia rnerasa sungkan dan malu "malu harus tinggal di rumah calon suaminya, apa"lagi karena ia belum mengenal mereka semua ke"cuali Kwan Li Hwa yang ternyata adalah seorang bocah perempuan yang lucu dan pandai bergaul.

   Dalam keadaan setengah mati Beng Han melakukan perjalanan keluar dari kota Tit-le. Tempat yang ia tuju adalah Gunung Kui-san. Ia hendak memenuhi pesan gurunya, untuk pergi ke menara Kim-hud-tah di puncak Kui-san dan mengambil pedang Kim-kong-kiam serta kitab pelajaran ilmu pedang dari Thian te Kiam-ong, mempelajari itu sampai sempurna baru turun gunung dan membalas dendam terhadap pembunuh-pembunuh suheng dan sucinya!

   Pikiranna sudah bulat, disaat itu tidak ada lain cita-cita melainkan mempelajari ilmu silat tinggi peninggalan gurunya lalu membalas dendam terhadap Liem Kong Hwat dan siluman wanita itu!

   Akan tetapi Kui-san bukanlah tcmpat dekat, ia harus melakukin perlanan ratusan li, dan keadaannya sungguh tidak baik untuk melakukan pejalanan jauh selain ia tidak mempunyai uang sekepingpun, tubuhnyapun terasa sakit-sakit. Mukanya bengkak-bengkak dan matang biru, lehernya seperti salah urat dan dadanya masih sakit, kadang-kadang ia muntah-muntah darah segar!

   
Pedang Sinar Emas Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
Betapapun juga sengsaranya, anak ini bukan anak sembarangan. la mempnyai kekerasan hati seperti baja, nempunyai ketejadan jang mtiiga-gumkan. Tak p:rnah-terdengar kcluhan dari n.ui-lutnya. Bibirnya sampai berdarah-darah karena ia menggigit-gigitnya mcnahan rasa sakit yang kadang kadang merangsang dengan hebat nya.

   la melakukan perjalanan sebagai seorang pengemis, mengisi perutnya dengan cara minta-min"ta. bahkan kadang-kadang mencuri, tadinya memang berat sekali baginya untuk minta - min"ta, apalagi mencuri.

   Ketika untuk pertama kalinya, yaitu tiga hari kemudian semenjak melarikan diri, saking tak kuat menahan lapar ia mencoba untuk minta makan pada pintu rumah orang, ia dibentak- bentak dan diusir. Ada yang memaki-makinya, ada juga yang menyuruh anjing mengusirnya!

   Beng Han menuju ke sebuah restoran di mana banyak terdapat orang orang berpakaian mewah scdang makan minum.

   Akan tetapi, bclum juga muhitnya tcrbuka viengeluarkan suara, baru saja kedua kakinya sam-pai di arnbang pintu, seorang tamu gendut yang menghadapi sepiring besar masakaa ikan sebesar paha dan tadinya kclihatan brrseri gembira, menjadi marah - marah dan membentaknya,

   "Pergi kau, jembel hina! Membikin jijik saja pada orang makan!"

   Mendengar bentakan ini, para pelayan datang membawa tongkat dan mengusirnya setelah memberi pukulan beberapa kali pada kepalanya persis seperti orang mengusir anjing!

   Sakit di hati Beng Han lcbih hebat daripada rasa sakit di kepalanya ketika la duduk di bawah pohon di pinggir jalan. Akan tetapi ia tidak putus asa. Mungkin orang tadi kebetulan sedang marah - marah atau mcmang kebetulan ia bertemu dengan orang yang berhati kejam, pikirnya. Kalau aku bertemu dengan orang - orang yang baik hati, seperti mendiang suhu dan suheng berdua yang tak pernah mcnolak seorang pengemis, tentu aku akan mendapat makan.

   Dengan pikiran ini Beng Han kembali pergi ke rumah makan lain, Melihat beberapa orang sedang makan di dekal jendela, ia lalu berkata perlahan,

   "Mohon kasihan dan bantuan, sudah tiga hari sava tidak makan....."

   Lima pasang mata menatapnya, di susul suara-suara menyindir dan memaki.

   "Anak malas! Kalau kau tidak mau bekrja, biar setahun kau takkan makan. Tak tahu malu, mesih m uda sudah mengemis. Hayo pergi, kuketok kepalamu nanti!".

   Beng Han menundukkan mukanya dan pcrgi. Kerja....??? Kalau ia bekcrja kapan ia bisa sampai di Kui- san? Karena hinaan dan ejakan ini lah maka Beng Han lalu bertaku nekad, yaitu mcncuri makanan! Dengan modal kepandaiannya yang ia dapat dari Koai Thian Cu dan Thian-te Kiam-ong, ia sudah lebih daripada orang-orang biasa.

   Mencuri makanan dari pelayan - pelayan resloran baginya mudah sja. Sekali sambar dan lari, para pelayan restoran tak seorangpun yang mampu mengejarnya. Andaikata ada yang dapat mengejarnya dengan kepandaiannya Beng Han dapat merobohkannya dan lari lagi.

   Demikianlah. dengan cara minta-minta atau kalau perlu mercuri makanan, Beng Han dapat melanjut kan perjalanannya ke Kui-san. Dengan bertanya-tanya ia dapat mengetahui di mana letaknya gunung itu.Akan tetapi celakanya, keadaan tubuhnya makin lama makin payah, biarpun mukanya kini sudah tidak bengkak - bengkak lagi dan matang birunya sudah hilang akan tetapi rasa sakit pada leher dan dadanya makin menghebat.

   Bekal pakaiannya telah dijualnya semua untuk makan, karena kadang-kadang ia tidak mempunyai kesempatan untuk mencuri dan terpaksa menukar pakaian dengan makanan.

   Pakaian yang menempcl di tubuhnya sudah kotor dan compang-camping sepaturya sudah dibuang karena sudah rusak semuanya. Beng Han benar-benar menjadi seorang jembel muda!

   Pada suatu hari ia liba di kota Liang-kc. Kota ini berada di kaki gunung Kui san. Dari kota itu nam pak gunung Kui San menjulang tinggi dan bentuknya seperti raksasa atau iblis yang menakutkan.

   Dari bawah saja sudah kelihatan bahwa gunung ini amat kaya akan hutan hutan liar dan amat sukar didaki. Akan tetapi ini semua tidak membi kin gentar hati Beng Han, bahkan hatinya girang bukan main melihat gunung ini. Setelah melakukan perjalanan jang amat sengsara selama setengah tahun baru ia sampai di kaki gunung itu.

   Tubuhnya sudah menjadi kurus kering, bukan saja karena kurang makan, terutama sekali karena luka di dilam dadanya. Mukanya selalu pucat dan hanya sepasang matanya saja yang masih kelihatan hidup, bercahaya penuh semangat dan keberanian hidup.

   Setelah bertanya-tanya ia mendapat keterangan dari penduduk Liang - ke yang ramah tamah. Memang ada sebuah menara kuno sekali di puncak Kui-san. sebuah menara yang mcnurut dongeng dahulu pcrnah dipergunakan oleh Kiang Cu Ge ( seorang tokoh besar dalam dongeng Hong - sin - pong, yang mendapat kekuasaan sebagai pembcri pangkat kepada roh - roh ) untuk mengurung dan menghukum tiga ekor naga!.

   Kemudian, menurut dongeng itu, dalang Ji Lai Hud (Budha) membebaskaa naga-naga itu, dari hu-kuman mereka. Untuk tanda terima kasih, tigi ekor nagi sakti itu lalu membuat sebuah patung Buddha daripada emas murni, ditaruh di dalam menara sebagai pujaan.

   "Apakah sampai sckarang patung itu masih ada?" tanya Beng Han kepada kakek penjual kipas di pinggir jalau itu.

   "Tentu saja masih ada, akan tetapi siap yang dapat melihatnya!? Gunuig itu sendiri sudah amat sukir didaki. pernuh jurang, hutan-hutan liar dan belum lagi binatang binatang buas. Bahkan kabarnya masih ada ular besar seperti liong di dekat puncak. Setelah orang berhasil sampai di sini misalnya, tetap saja pcrcuma, karna lidak mungkin dapat memasuki menara,apa lagi memanjat naik."

   "Mengapa, lopek?"

   "Pintu menara di sebelah dalam sampai keatas berlapis tujuhbelas buah, semuanya dari baja yang amat kuat dan selalu terkunci rapat. Selain ini, di dalam kabarnya ada siluman-siluman yang menjaga nya, entah siluman entah pertapa pertapa, hal ini banyak yang rnenduga duga.Pendeknya, selama aku tinggal disini sudah puluhan tahun, belum pernah aku mendengar ada orang masuk ke dalam.-"

   Hati Beng Han menjadi kecil mendengar ini. Bagaimana kalau dia sendiri tidak bisa masuk. Apakah waktu setengah tahun dibuang begitu saja secara sia - sia? Hampir ia menangis mendengar penutu ran itu, akan tetapi ia lalu menenteramkan hatinya. Tak mungkin. Suhu adalah Thian - te Kiam ong, Tak mungkin dia menibohongiku. Kakek ini hanya berceritera karena mendengar dongeng-dongeng yang tidak karuan ujung pangkal-nya. Ingin sekali Beng Han kalau dapat terbang ke puncak gunung itu, akan tetapi tak dapat ia segera melakukan pendakian. Perutnya telah kosong semenjak kemarin.

   Salain harus diisi, juga dia harus membawa bekal. karena ia dapat menduga bahwa pendakian itu memelurkan waktu lama dan takkan mungkin ia mendapatkan makanan di tengah perjalanan itu.

   Setelah menghalurkan terima kasih kepada kakek yang menganggapnya seorang jembel yang baru datang, ia lalu pergi menuju ke pasar di mana banyak terdapat warung-warung nasi dan kedai-kedai arak.

   Kctika ia tiba di depan sebuah restoran besar yang penuh tamu, ia berhenti. Hidungnya kembang kempis ketika ia mcncium bau masakan yang amat sedap sehingga bebcrapa kali menelan ludah.

   "Aduh enaknya......." katanya perlahan.

   Timbul pikirannya untuk merasakan masakan yang amat enak baunya ini. Kalaau in mengemis di situ, tak mungkin ia akan mendapatkaa masakan yang baunya membuat ia makin lapar itu.Paling pa"ling hanya akan mendapat makanan - makanan be"kas atau makanan basi. Jalan satu satunya un"tuk dapat rnerasai masakan itu hanya satu, mencuri!

   Cepat bagaikan seekor kucing ia menyelinap dan pura pura mencari sisa sisa makanan di belakang restoran itu. Ia mendengar seorang yang suaranya parau membentak bentak pelayan,

   "Hayo cepat bawa bebek panggang itu ke sini Aku sudah lapar!"

   Yang bicara itu adalah seorang hwesio gun"dul yang gemuk sekali. Di atas meja di depannya sudah nampak piring-piring bekas yang sudah ko"song, dan ia tengah makan sepiring mie yang ba"nyak sekali. Di sudut kiri terdapat guci arak beaar. Benar - benar aneh sekali melihat seorang hwesio makan minum dalam restoran!.

   Pelayan cepat-cepat membawa bebek pang gang yang baunya membuat mulut Beng Han bcrliur tadi, dari dapur hendak dibawa kemeja hwe"sio itu. Bebek itu rnasih ketihatan utuh berikut kepatanya, seperti bebek tak berbulu sedang du"duk di atas piring yang diletakkan di atas penam"pan lebar. Kulit bebek itu merah kekuningan ma"sih mengebul hangat dan kelihatan menantang setiap orang kelaparan!

   Beng Han menyelinap maju dan sekali melompat dari belakang telah dapat menyambar bebek itu dan diba wanya lari. Gerakannya cukup cepat dan gesit sehingga pelayan itu sama sekali tidak merasa! Setelah ia tiba di dekat meja si gundul dan menurunkan baki dari purdaknya baru ia melongo melihat piring telah kosong, bebek sudah lenyap.

   "Mana bebek panggangnya?" hwesio itu membentak sambil manggebrak meja.

   Pelayan itu bengong seketika, lalu menjawab gagap.

   "Tadi......tadi bebek, itu.......ada........duduk di piring.......sekarang........apa dia terbang pergi?"

   Hwesio itu menggereng sepcrti harimau, bangkit berdiri dengan kasar sampai bangku yang di dudukinya terpelanting, kemudiar sekali ia menendang tubuh pelayan itu melayang seperti bebek terbang..

   Tubuh pclayan itu melayang dan hendak jatuh menimpa meja penuh hidangan di mana seorang tosu beserta dua or"ng laki-laki gagah sedang duduk makan minum..

   Tosu itu mengibaskan ujung lcngan bajunya dan.... tubuh pelayan itu terbang balik seperti bola,ditendang kembali ketempat hwesio itu.

   "Bagus!" Hwesio gemuk berseru sambil melirik ke arah tosu, dan sekali ia mengulur tangan ia telah menjambak laher baju pelayan tadi.

   "Hayo bilang sungguh - sungguh, ke mana perginya bebek panggangku?^

   "Ampun......losuhu........ampun. Sesungguhnya tadi aku sudah membawanya dari dapur. Entah bagaimana dia bisa.......terbang....."

   Hwesio itu melempar pandang ke arah mcja tosu tadi dengan curiga. Ia tidak melihat ada bebek panggang di situ. Lalu sepasang matanva yang besar - besar itu memandang keluar restoran.

   Tiba-tiba ia berkata.

   "Aku sudah melihat pencurinya. Hayo sediakan lagi bebek panggang lain, aku hendak rnenangkap peneuri peneuri cilik itu!" Dengan langkah lebar ia meninggalkan restoran itu. Langsung mengejar Beng Han yang berlari- lari kecil sambil menggerogoti bebek nanggang.

   "Pencuri, kau hendak lari ke mana?"

   Beng Han kaget sekali, apalagi ketika tiba-tiba saja pundaknya dipegang orang dan tubuhnya diputar sehingga ia menghadapi seorang hwesio gemuk dan bermuka menyeramkan.

   "Kau mencuri babek panggangku!" bentak hwesio itu marah.

   "Maaf, losuhu, teecu, merasa lapar sekali dan bau bebek panggang itu membuat teecu tak dapat menahan keinginan hati lagi. Harap losuhu sudi memaafkan. Kalau teecu tahu nama besar losuhu,kelak kalau ada rej ki teecu akan mengundang losuhu dan menjamu seratus ekor bebek panggang sebagai gantinya."

   Mendengar ini, tiba-tiba hwesio itu tertawa bergelak.

   "Ha. ha. ha, ha, kau serigala cilik! Kau tentu murid orang pandai. Siapa gurumu?"

   Melihat keadaan hwesio tahulah Beng Han bahwa ia berhadapan dengan seorang berilmuu, maka ia tidak berani membohong.

   "Teecu adalah murid dari Thian-te Kiam-ong Song Bun Sam." Ucapan ini ia keluarkan dengan suara bangga.

   Akan tetapi alangkah kagetnya ketika tiba tiba hwesio itu kelihatan beringas, matanya terbelalak dan lain saat tubuh Beng Hantelah dilemparkan ke atas. Tenaga lemparan ini demikian hebatnya sehingga tubuh anak itu melayarg dan jatuh di puncak wuwungan rumah yang amat tinggi, Beng Han memegangi balok melintang di dekat wuwungan, dipegangnya erat-erat karena takut kalau jatuh ke bawah. Bebek panggang yang baru dimakan sedikit itu entah terlempar ke mana.

   "Ha, ha, ha, kau murid Thian-te Kfam-ong? Biar kau tunggu suhumu di sana untuk menurunkanmu. Ha, ha, hal" Hwesio gemuk itu berjalan kekenyangan kembali ke rumah makan.

   Biarpun keadaan Beng Han begitu tak berdaya dan berhahaya, anak itu tetap tidak mau berteriak-teriak minta tolong. Orang-orang yang melihat kejadian ini hanya berkerumun di pinggir jalan, menuding-nuding ke atas dan sebagian ribut-ribut menceriterakan kepada pendatang-pendatang baru bahwa anak itu adalah seorang jembel yang mencuri bebek panggang dan dihajar olah seorang hwesio lihai.

   Beng Han yang sudah lemas tubuhnya itu tentu sebentar lagi akan jatuh ke bawah dan akan patah patah tulangnya karena ia sudah hampir ti"dak kuat mempertahankan diri. Kedua lengannya yang memeluk balok itu sudah gemetar kelelahan dan ia sudah memejamkan kedua mata untuk menghadapi kematian.

   Tiba tiba pada saat itu berkelebat bavangan putih dan tahu-tahu Beng Han sudah direnggut orang. Para penonton di jalan mengeluarkan seruan kagum melihat seorang kakek tua melayang ke atas seperti seekor burung garuda, kemudian dengan mudahnya menyambar tubuh Beng Han, menjejak kan kaki ke wuwungan dan mclompat kembali ke bawah membawa tubuh pengemis cilik itu.

   Ketika Beng Han memandang, ternyata yang menolongnya adalah seorang tosu tua yang ia tadi tidak melihat telah lama duduk bersama dua orang muda gagah di dalam restoran.

   Melihat tosu tua ini, scgera Beng Ban mengenaluya karena tosu itu bukan lain adalah Pat-pi Lo-cu, tosu Tibet lihai yang pernah rnengunjungi Tit-le dengan maksud menantang pibu ( mengadu kepandaian ) Thian-te Kiam-ong akan tetapi karena kakek sakti itu telah meninggal, lalu menyerang makam dan ber-tempur melawan Song Tek Hong dan Song Siauw Yang.

   Melihat orang yang memusuhi keluarga Song ini, Beng Han yang tadinya hendak menghaturkan terima kasih, menelan kembali kata-katanya dan memandang dengan mata tajam terbelalak.

   "Ha, ha, ha, aaak baik, kita saling berjumpa pula di sini Kau hendak ke manakah?"

   Biarpun tidak suka kepada tosu ini, karena merasa bahwa dirinya sudah ditolong dari bahaya maut, Beng Han merasa tidak enak kalau tidak menjawab scjujurnya. Tidak menghaturkan terima kasih atas pertolongan tadi kiranya sudah cukup nemperlihatkaa rasa tidik sukanya kepada Pat-pi Lo-cu. Kalau ia tidak mau menjawab pertanyaan yang diajukan dengan ramah, ia anggap kurang ajar.

   "Aku hendak pergi ke gunung itu." katanya sambil memutar tubuh dan menudingkan telunjuknya ke arah Kui-san yang nampak puncaknya da"ri tempat itu.

   Sementara itu, dua orang gagah yang tadi duduk makan minum bersama Pat-pi Lo-cu sudah sampai di situ pula. Beng Han juga mengenal mereka,bukan lain dua orang murid Pat-pi Lo-cu yang mukanya sama benar, dua saudara kembar See-thian Siang-cu Ma Thian dan Ma Kian, yang pemah bertempur melawan Kong Hwat dan Bi Hui.

   "Hindak ke Kui san?" Pat-pi Lo-cu mendesak dengan penuh perhatian.

   Beng Han mengangguk.

   "Heran, kau pergi ke gunung liar itu hendak mengunjungi siapakah?"

   Beng Han mulai tak senang. Kakek ini keterlaluan, pikirnya, mendesak-desak dan ingin tahu urusan orang. Tentu saja tak mungkin ia mau rnenceriterakan tentang niatnya yang dirahasiakan.

   "Aku hendak pergi ke Kim-hud tah di puncak gunung itu dan selanjutnya harap totiang ti"dak banyak tanya-tanya lagi karena totiang tidak ada sangkut pautnya dengan urusanku."

   Pat-pi Lo-cu bertukar pandang dengan ke"dua orang muridnya kemudian ia tertawa-tawa dan berkata,

   "Aha, jadi kau hendak ke Kim - hud - tah? Eh, anak baik, siapakah yang menyuruhmu ke Sa"na? Tentu Thian-te Kiam-ong yang mengutusmu, bukan?"

   Beng Han makin mendongkol. Kakek Tibet ini sudah tahu bahwa suhunya telah meninggal dunia, bahkan kakek ini melihat pula makamnya. Bagaimana sekarang masih pura - pura bcrtanya bahwa dia
(Lanjut ke Jilid 58)
Pedang Sinar Emas/Kim Kong Kiam (Serial Pedang Sinar Emas)
Karya : Asmaraman S. Kho Ping Hoo

   Jilid 58
diutus oleh Thian - te Kiam - ong? mengingat ini, ia berkata mendongkol, setengah menyindir,

   "Banar, guruku menyuruh aku ke sana."

   Wajah Pat-pi Lo-cu berseri. "Bagus! Sudah kuduga! Memang Thian - te Kiam - ong tukang membohong dan menipu. Peti mati itu ten"tu kosong dan orangnya masih hidup! Jadi dia juga hendak datang ke Kim-hud-tah dan kau disuruh mengamat-amati lebih dulu dan disuruh menanti disana?"

   Karuan saja hati Beng Han menjadi makin gemas. Gilakah tosu ini? Atau sengaja hendak mempermainkan dia? Baik, diapun akan main-main terus!

   "Memang begitulah kiranya........" jawabnya,lalu dilanjutkan, "dan kalau nanti suhu melihat kau menggang guku tcrus, aku tidak bertanggmg jawab untuk keselamatanmu, totiang."

   Pat-pi Lo-cu tertawa lagi, nampaknya gembira betul.

   "Siapa mau mengganggumu? Aku bahkau hendak mempermudah tugasmu. Kalu kau naik sendiri ke Kui-san, kiranya baru sampai di tengah jalan saja kau akan diterkam harimau. Lebih ba"ik mari ikut dengan kami. Kita sama-sama menanti munculnya Thian - te Kiam- ong di sana.

   Sebelum Beng Han sempat menjawab, lengannya sudah disambar oleh Pat pi Lo-cu dan di lain sa"at ia telah dibawa lari seperti terbang cepatnya memuju ke Gunung Kui-san!

   Mula-mula Beng Han terkcjut dan menycsal mengapa dia mempermankan kakek ini, akan tetapi ketika melihat betapa sukar perjalanan mendaki Bukit Kui san itu, diam-diam ia merasa girang. Memang betul. andaikata dia harus mcndaki sendiri, belum tentu ia akan sanggup.

   Apa lagi di sepanjang jalan banyak ia melihat binatang-binatang buas yang tidak berani berbuat sesuatu terhadap Pat pi Lo-cu dan dua orang murid nya yang dapat bergerak secepat kijang itu.

   Betapapun cepatnya Pat-pi Lo-cu dan dua orang muridnya mempergunakan ilmu lari cepat berlari mendaki Kui - san tetap saja gunung yang penuh jurang dan hutan liar itu tak mudah begitu saja mereka daki dan setelah hari menjadi gelap barulah mereka tiba di puncak, di mana terdapat sebuah menara di dalam taman bunga yang amat indahnya. Menara itu menjulang tinggi se"perti raksasa aneh, merupakan pagoda besar bertingkat tujuhbelas, terbuat daripada batu batu putih yang keras.

   Pat-pi Lo cu menurunkan Beag Han dan mereka duduk di atas batu- batu putih yang ba"nyak terdapat di taman itu seperti bangku-bangku yang enak diduduki karena licin dan halus permukaannya. See-thian Siang-cu mengeluarkan buntalan makanan dan mereka mulai makan kue kering dan minum arak.

   Beng Han juga ditawari dan anak yang kelaparan ini tanpa sungkan-sungkan lalu makan sekenyangnya karena persediaan kue kering itu memang cukup banyak. Beng Han tidak biasa minum arak wargi maka setetah habis lima cawan anak ini menjadi merah mukanya dan segala apa terputar-putar di depan mukanya. Akan tetapi, tctap saja pikirannya tcrang dan sadar sehingga bicaranya tidak mengacau.

   "Anak baik, kau bilang kapankah gurumu itu akan tiba di sini?"

   "Aku tidak pernah bilang kapan dia datang di sini," jawab Beng Han, suaranya lantang dan berkumandang di dalam taman yang dikclilingi pohon kembang itu.

   "Thian-tc Kiam-ong gurumu itu datang hen"dak mengambil Kim-hud ( Buddha Emas), bukan? Dan kau disuruh menyelidiki siapa - siapa yang datang di tempat ini?" kembali Pat-pi Lo-cu memancing dan mendesak.

   Sekarang Beng Han benar benar tidak mengerti Tak mungkin kakek ini main-main, pikirnya. Benar bcnar kah kakek gila ini mengira bahwa suhu-nya masih hidup dan dahulu yang dimakamkan itu hanya peti kosong? Benar benar gila!

   "Totiang, sebenarnya apakah kehendak totiang? Bukankah totiang sudah melihat sendiri makam suhuku? Suhu Thian-tc Kiam ong sudah me"ningeal dunia, hampir setahun yang latu. Bagaimana totiang mengharap kan bertcmu dengan dia di sini""

   "Jangan kau bohong! Thian-te Kiam-ong masih hidup!" tosu itu membentak.

   " Totiang, entah aku sudah gila, entah kau yang tidak beres pikiran. Aku bersumpah bahwa aku yang mmjaga suhu sampai datang maut merenggut nyawanya. Aku jug selalu berada di samping suhu sampai suhu meninggal dunia. Suhu Thian te Kiam-ong benar-benar telah meninggal-kan dunia ini!"

   Suara Beng Han lantang karena ia gemas sekali.

   Pat pi Lo-cu dan murid - muridnya menjadi tertegun, bahkan seorang di antara murid- muridnya mengeluarkan seruan kecewa.

   "Kalau betul begitu. mengapa kau tadi menipu kami? Apa maksudmu naik ke puncak Kui-san? Kau mau apakah hendak pergi ke Kim-hud-tah? Hayo bilang scbelum kupatahkan batang lehermu!" beniak Pat-pi Lo-cu.

   Beng Han tentu saja tidak mau mengaku, Kalau ia mengaku, tentu pedang dan kitab peninggalan suhunya akan jatuh di tangan lain orang dan ia lebih baik mati daripada membuka rahasia ini.

   "Aku.......... aku mcndcngar akan keindahan puncak gunung ini maka aku datang hendak bertapa di sini," jawabnya.

   "Bchong! Kau setan cilik pandai membohong "

   "Kalau totiang tidak percaya, sudahlah "

   "Kau bohong! Mengapa kau bocah sekecil ini hendak bertapa? Mengapa? Hayo jawab."

   "Itu urusanku sendiri."

   Pada saat itu, Pat-pi Lo-cu berseru kepada dua orang muridnya,

   "Awas ada tiga orang datang!"

   Akan letapi terlambat, dua orang muridnya itu mengeluarkan saruan kaget karena mereka di serang oleh dua orang di malam gelap. Mereka menangkis karena merasa ada angin menyambar dan tubuh mereka terpental jauh ketika lengan mereka bertemu dengan lengan lawan yang amat tangguh.

   Juga Pat pi Lo - cu diserang orang dan telah menangkis. Tangkisannya membuat orang itu mengeluh, akan tetapi juga Pat-pi Lo-cu sendiri merasa lengannya sakit dan pedas. la tahu bahwa panyerangnya itu memiliki lweekang yang hanya kalah sedikit olehnya.

   Setelah penyerangam ini, keadaan menjadi sunyi lagi dan ternyata Beng Han telah lenyap dari situ!

   "Anak setan, dia telah lari ketika terjadi ribut " Pat pi Lo - cu menggerutu, kcmudian ia terkejut rnendengar keluhan dua orang muridnya. Dalam keadaan remang-rcmang karena bulan hanya muncul sepotong, ia memeriksa lengan dua orang muridnya yang ternyata telah membengkak. Segera ia mengobati mereka dan merasa penasaran sekali.

   "Siapakah siluman yang berani main gila?" teriaknya keras-keras.

   "Suhu, jangan-jangan Thian-te Kiam-ong yang muncul dan menolong muridnya," kata Ma Kian.

   Pat-pi Lo-cu terkejut. Mungkm benar, kare"na siapakah orangnya yang begitu berani dan lihai sehingga dapat merampas bocah itu di depan dia dan dua orang muridnya?

   "Thian-te Kiam-ong, kulau kau memang su"dah datang, jangan bcrsikap seperti pengecut. Keluarlah dan mari kita bicara!" teriaknya berulang-ulang akan tetapi hanya angin malam mempermainkan daun dan bunga yang menjawab teriakan-teriakannya itu.

   Sementara itu, Beng Han tadi ditotok orang sehingga lumpuh dan tak dapat mengeluarkan suara, kemudian ia dibawa lari oleh tiga orang hwe"sio tua yang gcrakarnya seperti iblis saja. Tiga orang hwesio ini berlari memutari menara, lalu masuk dari sebuah pintu rahasia yeng dapat menutup sendiri sctelah mereka memasuki menara itu.

   Setelah tiba di dalam, Beng Han dibebaskan dari totokan, akan tetapi masih dikempit oleh se"orang hwesio dan mereka bertiga lalu berjalan melalui anak tangga yang tiada habisnya.

   Beng Han merasa heran melihat betapa di dalam menara itu tidak segelap di luar menara. Di situ terdapat anak tangga yang melcnggok-lenggok seperti ular, terus naik dalam bentuk memutar di scpanjang dinding menara dan di tiap tikungan terdapat lampu penwrangan. Setelah tiba di tingkat ke sembilan, ketiga orang hwesio itu melangkah ke kiri di mana terdapat sebuah ruangan duduk yang lebar.

   Mercka menurunkan Beng Han dan pergi duduk di atas bangku, berdampingan.

   Beng Han baru sekarang melihat wajah mereka dengan jelas kerena di situ digantungi tiga buah lampu penerangan. Temyata bahwa mereka itu adalah tiga orang hwesio gundul yang sudah amat tua, dan muka mereka kehitaman dan angker sekali. Beng Han teringat akan dongeng tentang tiga ekor naga yang dikurung di menara ini dan diam diam ia bergidik. Siapa tahu kalau-kalau tiga orang kakek ini adalah tiga ekor naga yang telah menjadi siluman dan menjelma menjadi manasia? Baru sekarang ia merasa seram dan ia menjatuhkan diri berlutut tanpa dapat mengeluarkan suara.

   "Siapa namamu?" tanya seorang di antara tiga hwesio itu, yang tertua.

   "Teecu bernama Thio Beng Han, sebatang-kara dan tidak mempunyai tempat tinggal tetap."

   "Apa betul kau murid Thian-te Kiam-ong Song Bun Sam?"

   Pedang Sinar Emas Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   "Betul, losuhu. Mendiang Thian-te Kiam-ong Song Bun Sam adalah suhuku."

   "Hemm, jadi benar benar sudah meninggal dunia?" hwesio itu menarik napas panjang tanda kecewa,

   "Ji-wi sute, kalau begitu kita bctul-betul berada dalam bahaya," katanya kepada dua orang hwesio yang lain.... Kemudian ia berpahng kembali kepada Beng Han.

   "Kalau kau betul murid Thian te Kiam-ong, coba kau buktikan, pelajaran apa yang sudah kau terima dari suhumu sebelum suhumu meninggal."

   Beng Han tahu bahwa tiga orang hwesio ini adalah penjaga menara seperti yang dimaksud kan oleh suhu nya, yaitu orang-orang yang harus ia serahi surat suhunya. Dan ia maklum pula bahwa mereka tidak percaya kepadanya. Maka ia lalu berdiri dan mulai menggerak- gerakkan kakinya mainkan Chit-seng - pouw, dasar dari pada kedudukan Ilmu Pedang Kim-kong Kiam-sut.

   "Cukup....... cukup....... kau memang murid Thian-te Kiam ong. Thio Beng Han, kalau kau murid Thian-te Kiam-ong dan gurumu itu sudah meninggal, bagaimana kau sampai terjatuh ke dalam tangan Pat-pi Lo-cu dan datarg ke sini bersama dia 7"

   Beng Han lalu menuturkan pengalamannya, bahwa ia telah rmjakukan peij lman setengah ta"hun dari Tit-le sampai di kaki Kui-san. Kcrau dian bagaimana ia disertng oleh seorang hwesio gemuk karena mencun bebek panggangnya, kemu-dian ditolong < 'eh Pat-pi Lo - cu dan di jak ber-sama-aama naik ke puncak Kui-san sampai di roe-nara Kim kui tab.

   Tiga orang hwesio itu mengangguk angguk.

   "Dasar sudah jodohnya kau harus tiba di tem"pat ini. Kalau kau seorang diri naik ke puncak, kiranya kau akan tewas d tengah jalan. Akan tetapi, apa maksudmu jauh jauh datang ke puncak Kui-san."

   "Teecu hendak memenuhi perintah suhu di waktu masih hidup. Suhu meninggalkan pesan ke"pada teeeu untuk mcaghadap samwi losuhu di menara Kim-hud-tah ini, dan menyerahkan sepucuk suratnya."

   Ia lalu mengeluarkan surat dari Thian-te Kiam-ong yang selalu disimpannya baik-baik di sebelah dalam b junya, tak pernah terpisah dari tubuh seperti sebuah jimat yang keramat. Surat itu sampai kumal dan kotor.

   Segera hwesio tua itu membuka dan membaca dari Thian-te Kiam - ong dan surat itu berpin dah-pindah tangan di antara tiga orang hwesio tadi. Meraka mengangguk - angguk dan memandang kepada Beng Han dengan mata penuh selidik. Kemudian mereka berdiri, hwesio tertua berkata,

   -"Beng Han,di dalam suratnya suhumu mengangkatmu mcnjadi ahli warisnya dan meninggal kan kitab pelajaran dan pedang kepadamu. Kitab itu harus kau pelajari sampai tamat dan setelah kau dapat melawan kami dengan pedang Kim - kong kiam barulah kau diperbolehkan turun menara ini. Hayo kau kuantar ke atas tempat suhumu menitipkan barang-barang warisannya itu."

   Dengan hati girang sekali Beng Han lalu mengikuti tiga orang hwesio itu, berjalan melalui anak tangga yang melingkar-lingkar ke atas. Me"nara itu tinggi sekali, setiap tingkat tidak kurang dari limabelas kaki, jadi tujuh belas tingkat tidak kurang dari dua ratus limapuluh kaki!

   Di puncak menara yarg tinggi itu ternyata merupakan sebuah kamar yang bersih dan bcrhawa sejuk dan di situ selain terdapat sebuah pembaringan, juga terdapat meja dan beberupa buah kursi. Dan di atas pembaringan itu terletak sebuah peti panjang berwarna hitam.

   "Itulah barang peninggalan Thian-te Kiam-ong yang dititipkan kepada kami, sekarang jadi milikmu. buka dan lihatlah."

   Dengan kaki menggigil saking terharu dan girang, Beng Han menghampiri pembaringan dan rembuka peti hitam itu. Di dalamnya terdapat pedang Kim - kong kiam tulen, bercahaya kuning mas menyilaukan mata.

   Di dekat pedang itu, terdapat sebuah kitab tulisan suhunya. Pada sampul kitab tebal itu tertulis.

   Menurunkan ilmu yang kudapat dari para su"hu Kim Kong Taisut Mo-bin Sin-kun dan Bu Tek Kiam ong kepada murid Thio Beng Han.

   Bukan main girangnya hati Beng Han. Setelah meletakkan pedang dan kitab di dalam peti kembali, ia lulu menjatuhkan diri berlutut di depan tiga orang hwesio itu sambil berkata,
"Boanseng telah menerima budi besar dari sam - wi loeaapwe. Harap sam-wi sudi memberi tahu siapakah sam-wi locianpwe agar selama hidup boanseng takkan lupa."

   Hwesio tertua menarik narpas panjang lalu berkata,

   "Setelah kau diretapkan menjadi ahli waris Thian-te Kiam-ong dan tinggal di sini sampai ber- tahun-tahun, kau terhitung orang sendiri yang harus mengetahui segala urusan disini."

   Kakek ini berpaling kepada dua orang hwesio lain. "Sute, kalian turunlah dan amat- amati mereka yang di luar itu. Biar pinceng meadongeng dulu kepada bocah ini."

   Dua orang hwesio itu menjura lalu, ke- luar dari ruang puncak itu dan menuruni anak tangga. Hwesio tua itu lalu menyuruh Beng Han duduk di atas bangku, dan iapun duduk menghadapi bocah itu. Waklu itu sudah menjelang tengah malam dan hwesio tua ini mulai berceritera, didengarkan dengan penuh perhatian eleh Beng Han.

   Hwesto tua ini adalah Gwat Kong Hosiang dan dua orang sutenya adalah Gwat Liong Hosiang dan Gwat San Hosiang. Meraka ini sudah puluhan tahun tinggal di dalam menara Kim-hud tah, diwajlbkan menjadi penjaga menara dan penjaga serta perawat patung emas Buddha yang berada di tingkat kesembilan.mereka melanjutkan pekcrjaan guru mereka, yaitu Thian Le Hwesio tokoh Go-bi-pai.

   Biarpun cerita bahwa patung Buddha emas itu dibuat oleh tjga ekor naga hanya merupakan dongeng, namun tak seorangpun dapat menceriterakan bagaimana asal usul patung emas itu. Yang Scmenjak terang turon - menurun tokoh tokoh Go-bi pai melakukan penjagaan pada patung dan menara ini, dan tempat itu dianggap sebagai tempat keramat. Kakek guru dari Go bi pai pernah meninggalkan pesanan bahwa jangan sampai patung emas itu dicuri orang karena kalau sampai di tangan orang ja hat, akan timbul huru-hara besar dan dunia takkan aman. Oleh karena kepercayaan pada kakek guru ini, maka pihak Go - bi - pai selalu menu gaskan hwesio - hwesio berilmu tinggi untuk melakukan penjagaan.

   Ketika Thian Le Hwesio yang menjadi penjaga, maka hwesio ini mendatangkan tiga orang muridnya, yaitu tiga orang hwesio tersebut yang sekarang melanjutkan pekerjaan guru mereka yang sudah tewas dalam pertempuran ketika orang orang jahat mencoba merampas patung emas. Dan tiga orang hwesio ini menerima pemberitahuan rahasia dari suhu mereka bahwa patung emas itu mungkin akan dijadikan rebutan oleh orang orang kang ouw karena di dalam patung itu terdapat kitab pelajaran ilmu silat yang luar biasa, peninggalan dari Tat Mo Couwsu (Sang Budha) sendiri ketika pertama kali berkelana ke Go bi san.

   Dengan Thian te Kiam ong, tiga orang hwesio ini kenal baik karena Thian te kiam ong Song Bun Sam pernah naik ke Kui san dan mengunjungi menara yang terkenal ini. Pertemuan pendekar besar itu dengan tiga orang hwesio penjaga menara menimbulkan tali persahabatan yang erat, sehingga Thian te Kim ong sudah menyanggupi untuk membantu tiga orang hwesio penjaga itu apabila sewaktu waktu Kui san dikunjungi orang orang jahat dan menara Kim hud tah diserbu orang yang ingin mencuri patung emas. Di lain pihak, tiga orang hwesio itu bersedia pula membantu Thian te Kiam ong sehingga pendekar sakti ini bahkan diperbolehkan menyimpan Kim kong kiam dan kitabnya di menara itu, tingkat paling atas. Inilah sebabnya mengapa tiga orang hwesio itu menjadi amat kecewa mendengar bahwa Thian te Kiam ong benar benar sudah tewas.

   "Kalau suhumu masih hidup dansekarang beradadi sini, kami tidak perduli apakah di luar itu ada seratus orang hendak menyerbu Kim hud tah." Gwat Kong Hosiang menutup ceriteranya.

   Beng Han adalah seorang cerdik. Setelah mendengar penuturan tadi, ia dapat menarik kesimpulan bahwa kedatangan Pat pi Lo cu dan murid muridnya di tempat itu bukan sekedar mengantarnya atau hendak bertemu dengan suhu nya saja, tentu ada hubungannya dengan kekhawatiran Gwat Kong Hosiang ini.

   "Losuhu, selain Pat pi Lo cu dan dua orang muridnya, teecu tidak melihat orang lain di luar. Kalau hanya tiga orang ini saja, apakah sam wi losuhu tidak dapat menghadapi mereka?"

   Gwat Kong Hosiang tersenyum. "Tentu saja kami tidak takut menghadapi Pat-pi Lo-cu dan murid-murid nya. Buktinva kami sudah berhasil merampasmu dari tangannya. Biarpun Pat-pi Lo-cu sendiri lihai, akan tetapi banya dergan dua orang muridnya saja dia tidak berdaya menghadapi kami bertiga. Sayangnya yang datang bukan hanya bertiga. Hwesio gemuk yang marah-marah karena kau colong bebek panggangnya juga sudah datang, dan selain itu masih ada beberapa belas orang lain. Besok pagi - pagi tentu akan terjadi keributan di sini."

   

Pedang Naga Kemala Eps 8 Pedang Naga Kemala Eps 8 Pedang Naga Kemala Eps 19

Cari Blog Ini