Pedang Sinar Emas 5
Pedang Sinar Emas Karya Kho Ping Hoo Bagian 5
Dia bernama Coa Hwa Hwa, akan tetapi lebih terkenal dengan sebutan Hwa Hwa Niocu. Hwa Hwa Niocu ini tidak mau menikah dan biarpun ia kelihatan manis, akan tetapi sesungguhnya ia berwatak ganas dan galak sekali! Dua gagang sepasang pedang tipis nampak menjenguk dari belakang pundaknya, membuat ia kelihatan gagah.
Lima orang aneh ini mengambil tempat duduk mengelilingi meja terbesar di atas loteng. Meja itu memang yang paling besar di restoran Lok thian, disediakan khusus untuk perjamuan banyak orang. Kalau ada rombongan tidak lebih dari duabelas orang saja, cukup duduk di sekeliling meja itu, di atas bangku bagku kecil yang diukir dan dicat indah.
"Terlalu banyak meja kursi di sini. Sungguh sempit dan tidak leluasa!" kata Hwa Hwa Niocu sambil menyapu ruang loteng itu dengan sepasang matanya yang tajam, ia maksudkan bahwa tempat ini karena banyak terdapat meja kursi, tentu saja kurang leluasa untuk tempat mengadu kepandaian silat.
"Apakah kau tidak memikir begitu, twa suheng?" sambungnya sambil memandang kepada Hwa ti sianjin Bouw Ek Tosu.
Pendeta tua tinggi kurus yang berpakaian kembang kembang ini hanya mengangguk angguk aja. Melihat anggukan ini, Hwa Hwa Niocu lalu menggerakkan kedua kaki tangannya dengan cepat.
Tidak tahu bagaimana ia menggerakkan kaki tangannya akan tetapi tiba tiba dua buah meja dan enam buah bangku yang berada di sebelah maja besar itu terlempar ke sudut ruangan bagaikan tertiup angin.
Tentu saja terdengar suara hiruk pikuk ketika meja dan bangku itu jatuh tunggang langgang.
Lam san siang mo si hwesio kembar gelak tertawa, meras geli melihat perbuatan adik seperguruan yang bungsu ini, akan tetapi si Pacul Kilat Kui Hok, mengerutkan kening.
Pada saat itu kembali Hwa Hwa Niocu sudah menggerakkan kakinya dan sebuah meja yang besar juga terlempar. Kalau dibiarkan saja, meja itu tentu akan menabrak meja dan bangku bangku lain dan kesemuanya akan terbawa ke sudut tadi oleh tenaga tendangan hebat ini, akan tetapi tiba tiba meja yang tertendang itu berhenti dan tahu tahu kaki meja telah terkait oleh gagang pacul yang bengkok di tangan Kui Hok, orang ke empat dari Sin beng Ngo hiap.
"Hwa Hwa!" tegur si Pacul Kilat, "apakah kau masih belum dapat mengurangi watakmu yang kasar? Sungguh tidak cocok dengan wajahmu yang makin manis, sumoi. Kita harus ingat bahwa pemilik restoran ini, Lo kun gu, telah berlaku baik dan menerima kita dengan ramah tarnah. Sebagai tamu tamu yang dihormati, kita tidak boleh berlaku sewenang wenang terhadap tuan rumah dan merusak perabot rumahnya,"
Hwa Hwa Niocu tersenyum mengejek "Kui suheng masih selalu berwatak lemah lembut. Maafkanlah aku yang kasar, suheng."
"Aku dapat iuga bersikap kasar, sumoi hanya melihat dengan siapa kita berhadapan. Lo kun gu yang menerima kita baik baik dan yang sebentar lagi hidangannya kita nikmati, tidak seharusnya diperlakukan kasar. Lihat, perlahan lahan juga dapat kita singkirkan meja dan bangku yang menghidangi kita."
Sambil berkata demikian, ia menggerakkan paculnya dan meja yang tadi tertengang oleh Hwa HwaNioncu dan yang ditahannya, kini berputar di udara dan melayang ke sudut tadi.
Akan tetapi sungguh aneh, ketika meja itu melayang turun, benda itu tidak jatuh tunggang langgang dan tidak menerbitkan suara gaduh, melainkan jatuh dengan kaki di bawah seperti diletakkan oleh tenaga orrang saja.
Hwa Hwa Niocu tertawa kagum dan sesungguhnya kalau ia sudah tertawa, wajahnya amat cantik menarik. Ia lalu berkata,
"Suheng, benar hebat kepandaianmu. Biarlah aku mencoba untuk menirumu"
Iapun lalu menggunakan kedua tangan, memegang dua buah bangku dan dilontarkannya dua bangku itu menuju ke sudut dengan menggerakkan pergelangan tangannya sehingga bangku bangku itu melayang sambil berputar putar cepat sekali dan ketika turun, hanya menerbitkan sedikit suara saja,
"Hm, kalian ini selalu ribut ribut.... anak saja. Ayoh bekerja dan jangan banyak ribut!" kata Bouw Ek Tosu. Sambil berkata demikian, iapun menghampiri sekumpulan meja dan bangku.
Bagaikan orang melempar lemparkan benda kecil dan ringan, ia memunguti bangku dan meja itu satu demi satu, dilempar lemparkan ke arah sudut dan bukan main! Meja dan bangku bangku itu bertumpuk tumpuk dengan rapinya, seperti di susun oleh beberapa orang yang bekerja dengan hati hati.
Kedua hwesio gundul sambil tertawa tawa juga ikut melempar lemparkan meja kursi, sehingga sebentar saja ruang loteng itu kosong dan hanya terisi sebuah meja besar di tengah tengah dengan dua buah bangkunya mengelilingi meja itu. Mereka lalu mengambil tempat duduk.
"Kata kata Kui sute tadi benar," kata seorang diantara Lam san sian mo si hwesio gundul. "Memang kita tidak perlu mengganggu pemilik restoran yang ramah tamah. Kita harus menyiapkan tenaga untuk menghadapi Mo bin Sin kun yang lihai!"
"Aku merasa heran sekali mengapa untuk menghadapi seorang Mo bin Sin kun saja, twa suheng harus mengumpulkan kita di tempat ini. Sebetulnya apakah yang terjadi dan sampai di manakah kelihaian Mo bin Sin kun ini twa suheng?" tanya Hwa Hwa Niocu kepada Bouw Ek Tosu dan orang memandang kepada twa suheng mereka karena seperti juga Hwa Hwa Niocu mereka itu belum tahu dengan betul apakah sebetulnya yang terjadi antara twa suheng mereka dan Mo bin Sin kun (Kepalan Sakti Muka Iblis) itu.
Ketika Bouw Ek Tosu hendak menjawab, terdengnr suara tindakan kaki melangkah anak tangga, maka tosu ini menunda pembicaraannya.
Empat orang pelayan dengan muka takut takut dan sikap menghormat sekali, naik ke loteng sambil membawa arak dan hidangan yang mengebul panas. Tadi mereka mendengar hiruk pikuk di atas loteng akan tetapi majikan mereka, sambil menghapus keringat yang mengalir di mukanya yang bulat sungguhpun hari maih sepagi dan sedingin itu, memberi sanda agar mereka jangan ikut carnpur.
Memang sesungguhnya Lo kun gu Lai Seng sudah kenal baik dengan lima orang lihai ini, maka ia menjadi demikian takutnya. Ia sendiri duduk di atas bangku menjaga pintu dan dengan muka manis ia selalu menolak datangnya para tamu dengan alasan bahwa hari itu ia tidak buka karena tidak bisa mendapatkan barang belanjaan dari luar kota.
Yang sibuk dan penasaran adalah para tukang masak dan pelayan. Yang datang hanya lima orang tamu yang aneh, akan tetapi mereka semua harus bekerja keras, mempersiapkan masakan masakan yang termahal dalam waktu cepat.
Namun, kalau majikan mereka saja demikian takut terhadap lima orang tamu itu, bagaimana mereka berani memperlihatkan ketidaksukaan hati mereka?
Dan para pelayan mulai saling mendorong dan akhirnya, empat orang pelayan yang paling berani saja yang mau mengantarkan arak dan hidangan ke atas loreng.
Mereka ini hanya mengerling sedikit saja ke sudut ruang loteng dimana meja meja dan bangku bangku telah bertumpuk tumpuk dalam keadaan rapi sekali dan ruangan itu menjadi kosong.
Tanpa banyak cakap dan tidak berani memandang langsung kepada wajah para tamu, empat orang pelayan itu lalu mengatur arak, hidangan, cawan mangkuk, sendok dan supit ke atas meja besar itu.
Seorang di antara meraka, nelayan termuda, amat gugup dan ketakutan sehingga kedua tangan nya menggigil.
Ketika tanpa sengaja ia menengok dan memandang ke arah muka Hwa Hwa Niocu, dengan heran ia melihat bahwa nona ini sama sekali bukanlah seorang yang menakutkan, bahkan sebaliknya manis sekali.
Maka ia lalu memberanikan diri, untuk menetapkan hatinya yang gelisah, untuk memandang kepada Hwa Hwa Niocu dengan muka manis dan memperlihatkan senyum di bibirnya.
Tidak tahunya, Hwa Hwa Niocu adalah seorang nona yang paling benci kalau melihat laki laki tersenyum senyum dan bermuka manis kepadanya. Kini melihat pelayan muda yang melayaninya ini terseyum senyum dan memadang dengan mata penuh arti, ia menjadi gemas.
Dengan kening berkerut ia mengambil sebatang sumpit dan seperti seorang main main ia menancapkan sumpit itu amblas dan tembus pada meja yang tebal itu, seakan akan meja itu bukan terbuat daripada kayu yang keras melainkan terbuat daripada agar agar saja.
Pelayan muda yang masih tersenyum itu tiba tiba menjadi pucat sekali, apa lag i ketika pandang matanya bertemu dengan pandang mata Hwa Hwa Niocu, hampir saja cawan mangkok yang dipegang nya terlepas.
Sepasang mata wanita itu bagaikan ujung tombak tajamnya menyerang kedua matanya, sehingga menembus ke ulu hati dan mendatangkan rasa seram.
Pelayan itu cepat menundukkan mukanya dan dengan bulu tengkuknya serasa berdiri semua ia melanjutkan pekerjaannya cepat cepat untuk segera bersama kawan kawannya meninggalkan tempat berbahaya itu.
Setelah para pelayan itu pergi, barulah Bouw Ek Tosu menarik nafas panjang dan melanjutkan niatnya bercerita tadi,
"Kalian tentu telah mendengar nama Mo bin Sin kun, biarpun mungkin belum pernah bertemu."
Empat orang adik seperguruannya mengangguk. Siapakah orangnya yang tidak mengenal nama Mo bin Sin kun? Sebelum pemerintah Goan tiauw berdiri, sudah amat terkenal nama dari lima orang tokoh persilatan yang sering kali disebut "Lima Besar".
Mereka itu ialah Kim Kong Taisu, tokoh yang paling dihormati dan disegani oleh karena memang menganut penghidupan sebagai seorang suci yang selain berilmu tinggi juga memiliki ilmu bathin yang tinggi pula.
Ke dua adalah Seng Jin Sian Su yang disebut Lam Hai Lo mo (Iblis Tua Laut Selatan), tokoh yang paling ditakuti dan di benci oleh karena memang terkenal luar biasa dan jahat, selain memiliki ilmu silat yang luar biasa tingginya, juga mahir dalam ilmu hoatsut (sihir).
Orang ketiga adalah Mo bin Sin kun seorang yang menurut berita berwajah amat buruk seperti iblis sendiri, akan tetapi jarang sekali ada orang dapat melihatnya karena sepak terjang Kepalan Sakti Muka Iblis ini amat cepat dan hanya bayangannya saja yang nampak oleh orang.
Akan tetapi ilmu silatnya juga tinggi sekali dan celakalah mereka yang bentrok dengan Mo bin Sin kun.
ORANG Keempat dari "Lima Besar" itu bukan lain adalah Pat jiu Giam ong Liem Po Coan atau jenderal Liem, adik seperguruan Seng Jin Siansu yang karena kedudukannya menjadi makin disegani orang orang kangouw.
Ilmu silaat dari Raja Maut Tangan Delapan ini diberitakan orang tidak kalah oleh kepandaian Seng Jin Siansu.
Adapun orang ke lima merupakan tokoh yang penuh rahasia, puluhan tahun yang lalu orang mengenal tokoh ini dengan nama julukan Bu tek Kiam ong (Raja Pedang Tanpa Tandingan).
Akan tetapi nama ini terkenal kurang lebih tigapuluh tahun yang lalu sedangkan pada waktu itu, Bu tek Kiam ong ditaksir orang usianya sudah ada lima puluh tahun. Masih hidupkah raja pedang itu? Tak seorangpun dapat menjawabnya, karena orang tua itu tak pernah muncul lagi dan orang tidak tahu di mana dia berada.
Betapapun juga, julukan "Lima Besar" tetap terdengar dan tidak seorangpun di antara empat besar itu berani meniadakan nama Bu tek Kiam ong sebagai seorang tokoh di antara Lima Besar.
Empat orang adik seperguruan dari Bouw Ek Tosu ketika mendengar pertanyaan apakah mereka sudah mendengar nama Mo bin Sin kun, tentu saja menganggukkan kepalanya. Akan tetapi, Hwa Hwa Niocu yang berwatak keras dan berani, segera berkata.
"Twa suheng, biarpun Mo bin Sin kun amat terkenal dan boleh kita sebut sebagai tokoh tinggi, akan tetapi perlu apa kita harus takut kepadanya? Kita berlimapun bukanlah orang orang yang boleh ditakut takuti begitu saja dan kurasa mendiang suhu kita masih setingkat lebih tinggi kedudukannya daripada Mo bin Sin kun!"
Mendengar ucapan sumoinya ini, Bouw Ek Tosu mengerutkan kening dan diam diam ia melirik ke sana ke mari. "Sumoi, jangan berkata demikian. Memang di dalam urusan orang orang seperti kita, tidak ada kata kata takut, akan tetapi harap kau berlaku lebih hati hati dan jangan memandang rendah kepada lawan yang bagaimanapun juga, apalagi seorang di antara Lima Besar!"
"Twa suheng, cukuplah membicarakan keadaan lain orang," tiba tiba Si Pacul Kilat Kui Hok mencela. "Lebih baik kau jelaskan, mengapa suheng memanggil kami berempat supaya berkumpul di sini dan mengapa pula Mo bin Sin kun kita tunggu kedatangannya?"
Kembali Bouw Ek Tosu menarik napas panjang dan berkata,
"Murid keponakanmu Ngo jiauw eng Lui Hai Siong yang menjadi gara gara. Kalian tahu bahwa muridku Hai Siong itu telah menjadi seorang pemimpin pasukan Ang bi tin beberapa tahun yang lalu dan agaknya dalam sepak terjangnya Ang bi tin yang membasmi bekas bekas perwira Han ini, terdapat sesuatu yang tidak menyenangkan hati Mo bin Sin kun! Dua pekan yang lalu, pada suatu malam aku mendengar suara nyaring di atas genteng kuilku dan ternyata bahwa yang datang adalah Mo bin Sin kun.
"Apa yang dikatakannya, suheng?" tanya Kui Hok dan yang lain lain juga mendengarkan dengan amat tertarik.
"Ia hanya berkata singkat saja. yaitu bahwa hari ini aku harus menanti di sini, kalau tidak, muridku Hai Siong akan dibunuhnya! Oleh karena itulah, maka aku dapat menduga bahwa kemarahannya ini tentu timbul karena muridku Hai Siong itu."
"Urusan Ang bi tin mengapa harus marah kepada muridmu Ngo jiauw eng, suheng? Bukan Lui Hai Siong yang mendirikan Ang bi tin dan kuanggap Mo bin Sin kun tidak adil. Kalau dia memang tidak suka dengan Ang bi tin mengapa tidak mencari Pat jiu Giam ong saja?" kata Kui Hok.
"Barangkali dia takut kalau harus mengganggu Pat jiu Giam ong!" kata Hwa Hwa Niocu sambil tersenyum menyindir. "Sudah sepatutnya ia berurusan dengan Pati jiu Giam ong, sama sama seorang di antara lima besar!"
"Sumoi. jangan bicara sembarangan. Kita tunggu saja dan lihat bagaimana sikap Mo bin Sin kun. Sementara menanti, mari kita makan minum lebih dulu."
Sementara kelima orang Sin Beng Ngo hiap ini makan minum di atas loterng sambil diam diam memasang telinga dan mata dan selalu bersikap waspada, ternyata di bawah loteng, di depan rumah makan itu terjadi pula peristiwa yang cukup menarik hati.
Lo kun gu Lai Seng si pemilih restoran, dengan peluh mengalir membasahi pakaiannya, menanti dan menjaga di depan pintu restoran. Sudah banyak langganan yang hendak masuk, dicegahnya dan diberi alasan bahwa hari ini restoran tidak buka.
Diam diam ia merasa gelisah dan berkata dalam hati bahwa kalau lima orang tamu aneh di atas loteng itu berlama lama, ia akan keshilangan banyak langganan, bagaimana kalau ada pembesar yang datang hendak makan?
Semua orang yang hendak memasuki restorannya, ia tolak dengan tergesa gesa. Akan tetapi ketika tiba tiba ia menghadapi dua orang yang baru datang, ia menjadi gelagapan dan mukanya menjadi makin pucat. Ia berdiri bagaikan patung dan dengan mulut celangap dan mata terbelalak, ia berdiri memandang kepada dua orang tamu baru yang hendak memasuki restorannya.
Dua orang itu baru saja datang dan melihat pakaian mereka yang penuh debu, dapat diduga bahwa mereka berdua baru saja datang dari tempat jauh sekali.
Yang seorang adalah seorang pemuda remaja berusia paling banyak tujuhbelas tahun, bermuka tampan, dan gagah sekali, akan tetapi sikapnya lemah lembut. Dengan amat hormat, pemuda ini menjura di depan Lai Seng sambil berkata,
"Tuan, bolehkah kami membeli makanan di restoran ini?"
Akan tetapi Lai Seng seakan akan tidak mendengar pertanyaan anak muda itu karena ia sedang memandang kepada orang yang berdiri di sebelah anak muda itu.
Orang ini pakaiannya hitam seluruhnya, tidak bersepatu dan mukanya benar benar menyeramkan, seperti muka tengkorak, seperti muka" iblis!
Teringatlah Lai Seng bahwa lima orang tokoh kangouw di atas loteng itu sedang menanti datangnya tokoh besar yang disebut Mo bin Sin kun atau Kepalan Sakti Muka Iblis!
Ia belum pernah melihat bagaimana macamnya Mo bin Sin kun yang amat tersohor itu, akan tetapi adakah orang yang mukanya lebih buruk daripada orang berpakaian hitam yang kini berdiri di hadapannya? Ini tentulah orang yang disebut Kepalan Sakti Muka Iblis itu!
Dengan amat hormat dan ramah tamah, Lai Seng lalu menjura kepada si muka iblis atau muka tengkorak itu sambil berkata.
"Silahkan, locianpwe! Silakan naik saja ke loteng, lima orang locianpwe telah menanti di atas semenjak tadi!" Ia bicara sambil tersenyum ramah dan diam diam ia bergidik ketika memandang kepada muka itu.
Bagaikan kedok mati, orang baju hitam itu memandangnya tanpa berkata sesuatu, bahkan orang muda itupun memandangnya dengan terheran.
Akan tetapi si baju hitam itu tanpa berkata apa apa lalu menggandeng tangan anak muda itu dan masuklah mereka ke dalam restoran itu.
Siapakah si baju hitam yang mukanya seperti tengkorak itu? Dan siapa pula anak muda yang tampan dan sopan santun ini? Mereka itu bukan lain adalah Yap Bouw dan Bun Sam yang sudah lama kita kenal.
Sudah sepuluh tahun lamanya Bun Sam mendapat gemblengan ilmu kepandaian dari Kim Kong Taisu, gurunya Yap Bouw yang menjadi penolongnya, juga gurunya, dan akhir akhir ini lebih tepat menjadi suhengnya, sudah tidak sanggup mengajarnya dua tahun yang lalu, karena kepandaian anak muda itu sudah menyusul kepandaiannya sendiri.
Oleh karena itu, semenjak dua tahun yang lalu, Bun Sam menerima latiban langsung dari Kim Kong Taisu, Beberapa kali Yap Bouw disuruh turun gunung oleh gurunya dan dalam kesempatan itu, Bun Sam diperbolehkan ikut untuk memperluas pengetahuan dan pengalaman.
Kali inipun Bun Sam disuruh ikut suhengnya oleh Kim Kong Taisu, Yap Bouw hendak pergi ke kota raja. Dahulu, di luar tahu siapapun juga, bahkan isterinya sendiripun tidak tahu, ia menyimpan sepeti harta pusaka terdiri dan emas dan batu permata, hasil rampasan ketika ia menang perang melawan orang orang Tartar.
Sekarang atas perinlah Kim Kong Taisu, ia diharuskan menyelidiki dan kalau mungkin mengambil harta pusaka itu untuk menolong rakyat yang banyak menderita kelaparan di daerah selatan dan timur.
Sebetulnya Yap Bouw enggan pergi ke kota raja, akan tetapi ia tidak berani membantah perintah suhunya. Yap Bouw tidak takut, hanya ia khawatir kalau ia teringat kepada anak isterinya yang dulu tinggal di kota raja. Kalau ia sampai mendengar nasib buruk mereka, tentu hatinya akan hancur dan kesedihan baru akan menyerangnya.
Akan tetapi, justeru inilah yang dikehendaki oleh Kim Kong Taisu, yakni agar Yap Bow suka mencari keluarganya kembali dan kalau mungkin bertemu dan berkumpul, ia merasa amat kasihan melihat muridnya yang bernasib buruk itu.
Dan selain maksud ini, juga Kim Kong Taisu menghendaki agar supaya Bun Sam dapat meluaskan pengalaman di kota raja. Siapa tahu kalau kalau anak ini berjodoh dengao tokah tokoh lain, pikir kakek sakti yang waspada ini.
Di dalam perjalanan itu, Yap Bouw yang hendak menyembunyikan keadaan dirinya dan merahasiakan namanya, telah memberi pesan kepada Bun Sam agar jangan memberitahu kan namanya kepada siapapun juga. Dan bekas jenderal ini selalu menghindarkan diri dari bentrokan bentrokan dan pertemuan yang tidak enak dengan orang orang kang ouw.
Ketika pada hari itu mereka tiba di Lok yang, Bun Sam merasa amat gembira melihat kota yang ramai ini. Dan jauh dari restoran Lok thian. Bun Sam sudah menuding dengan jari tangan nya sambil berkata,
"Suheng. lihat alangkah indahnya rumah makan berloteng itu. Hm, seperti telah tercium olehku bau sedap yang keluar dari dapurnya."
Yao Bouw di dalam hatinya tersenyum dan timbul rasa kasihan terhadap anak muda ini, ia amat sayang kepada Bun Sam dan tidak hanya menganggap pemuda itu sebadai sutenya, bahkan ada perasaan seorang ayah terhadap puteranya.
Dengan jari jari tangannya ia lalu memberi tanda kepada Bun Sam, mengajak pemuda itu untuk mampir di restoran itu untuk membeli makanan. Ditambahkannya pula dengan bahasa gerak jari bahwa restoran ini amat terkenal serta tersohor lezat masakannya.
Demikianlah, ketika keduanya menghampiri pintu restoran kemudian disambut dengan cara yang amat mengherankan oleh pemilik restoran yang gendut, tentu saja Bun Sam terheran heran dan tidak mengerti sama sekali.
Akan tetapi Yap Bouw sebagi seorang tokoh kang ouw yang sudah ulung telah mengenal wajah Lo kun gu Lai Seng. Ia dapat melihat pula sikap aneh dari Lo kun gu dan melihat sinar mata pemilik restoran yang gugup dan gelisah, timbullah niat Yap Bouw untuk menyelidikinya ia maklum bahwa Lai Seng adalah seorang yang tidak tercela, maka sudah sepatutnya kalau dia membantunya apabila si gemuk ini mengalami kesukaran.
Ketika ia mendengar Lai Seng menyebut nyebut tentang "lima orang locianpwe" yang menantinya di loteng, ia menjadi makin tertarik. Kalau saja Yap Bouw tahu bahwa yang dimaksudkan dengan Lima orang tua gagah iru adalah Sin beng Ngo hiap tentu ia akan menyingkir dan lebih baik tidak bertemu dengan orang orang ini yang terkenal suka mencari perkara.
Sementara itu, kelima orang yang berada di atas loteng, ketika Lai Seng mempersilakan Yap Bouw dan Bun Sam masuk, telinga mereka yang terlatih dan tajam telah mendengarnya.
Berobahlah wajah orang orang itu kecuali Hwa Hwa Niocu yang memang bernyali besar sekali. Mereka menunda makan minumnya dan memasang pendengaran dengan penuh perhatian ke arah anak tangga yang menuju ke loteng. Terdengar tindakan kaki melangkah tetap di atas anak tangga dan Bouw Ek Tosu saling memandang dengan adik adik seperguruannya.
Mereka merasa heran sekali mengapa tindakan kak Mo bin Sin kun ternyata seperti tindakan kaki orang biasa saja, demikian berat dan kasar. Hwa Hwa Niocu sudah menarik mulut mengejek ketika mendengar tindakan kaki dua orang yang naik melalui anak tangga itu. Tindakan kaki orang orang macam ini saja apanya yang harus ditakutkan?
Memang Yap Bouw dan Bun Sam selalu bersikap merendah, sesuai dengan ajaran Kim Kong Taisu, Kalau tidak perlu, mereka tidak sudi nyombongkan atau memperlihatkan kepandaian mereka. Oleh karena itu, dalam keadaan biasa, mereka jua berlaku dan bergerak seperti orang orang biasa saja agar tidak menarik perhatian orang orang, terutama sekali agar jangan sampai terlihat oleh orang orang kang ouw bahwa mereka itu "berisi".
Ketika Yap Bouw dan Bun Sam muncul dari pintu anak tangga loteng itu, Sin beng Ngo hiap dan Yap Bouw terkejut sekali Yap Bouw yang mukanya sudah rusak dan tidak berkulit lagi itu, tentu saja tidak kentara bahwa dia terkejut ia hanya memandang sekilas saja dan ketika melihat bahwa yang berada di situ adalah Sin beng Ngo hiap lengkap lima orang, diam diam ia berlaku hati hati dan waspada, lalu menggandeng tangan Bun Sam menuju ke sudut ruang loteng di mana meja dan kursi bertumpuk tumpuk
Dengan gerakan biasa saja, Yap Bouw lalu menurunkan dua buah bangku dan menyeret sebuah meja untuk tempat duduk mereka.
Adapun Sin beng Ngo hiap amat terkejut ketika menyaksikan orang yang mukanya begitu menyeramkan. Bahkan Hwa Hwa Niocu sendiri yang terkenal tabah merasa bulu tengkuknya berdiri ketika ia memandang wajah Yap Bouw.
Kelima orang ini belum pernah melihat muka Mo bin Sin kun, maka melihat Yap Bouw, seperti juga Lai Seng, mereka tidak ragu ragu lagi bahwa tentulah dia ini orangnya yang berjuluk Kepalan Sakti Muka Iblis!
Satu satunya orang yang tidak terkejut dan tidak mengalami perobahan sesuatu hanya Bun Sam seorang. Anak muda ini tidak kenal siapa adanya lima orang aneh yang duduk mengelilingi meja di atas loteng dan yang menatap mereka dengan pandangan tajam.
Bun Sam terlalu gembira untuk memperhatikan mereka ini. Baru sekali itu Bun Sam naik loteng sebuah rumah makan, yang dianggap suatu kemewahan yang berlebih lebihan. Maka ia menurut saja ketika Yang Bouw mengajaknya duduk. Dengan sengaja Yap Bouw duduk berhadapan dengan Bun Sam dan meja lima orang itu berada di samping kanannya atau di samping kiri Bun Sam.
Dengan mengambil kedudukan seperti ini ia tidak usah merasa khawatir kalau kalau ada serangan curang atau gelap datang dan fihak lima orang itu. Selain untuk maksud ini, juga mengambil kedudukan seperti ini berarti menghormati kepada lima orang itu, karena berarti tidak membelakangi.
Sin beng Ngo hiap menanti nanti dengan hati berdebar dan akhirnya menjadi keheran heranan dan saling memandang ketika orang yang disangka nya Mo bin Sin kun itu diam saja tidak memperdulikan mereka.
Mereka berlima telah bersiap siap, semua urat di dalam tubuh telah menegang dan sedikit saja gerakan mencurigakan dari orang bermuka iblis itu mereka tentu akan bergerak menyerang.
Akan tetapi, Yap Bouw hanya duduk diam seperti patung. Adapun Bun Sam yang sudah beberapa kali masuk restoran, merasa heran dan tidak sabar ketika dinanti sampai beberapa lama tidak ada seorangpun pelayan datang; menghampiri mereka seperti biasa dalam setiap rumah makan.
"Eh, mengapa tidak ada pelayan datang melayani kita?" akhirnya Bun Sam berkata perlahan kepada Yap Bouw "Apakah di sini tidak ada pelayannya?"
Yap Bouw hanya menudingkan jarinya ke bawah, memberitahukan dengan isyarat bahwa pelayan berada di bawah loteng. Akan tetapi pada saat itu terdengar kata kata dari Bouw Ek Tosu,
"Jiwi, mengapa tidak makan minum saja dengan kami? Hidangan cukup banyak arak berlimpah limpah, meja kami besar dan masih banyak bangku kelebihan."
Bun Sam cepat berdiri dari bangkunya dan menjura ke arah Bouw Ek Tosu sambil tersenyum dan menjawab,
"Banyak terima kasih atas kebaikanmu, lotiang. Akan tetapi kami berdua tidak suka mengganggu ngo wi." Setelah berkata demikian, ia duduk kembali. Akan tetapi Yap Bouw pura pura tidak melihat dan tetap saja duduk sambil menundukkan mukanya.
Bun Sam habis kesabarannya dan ia lalu menghampiri anak tangga. Dari atas anak tangga, melalui pintu, ia berseru keras ke bawah,
"Pelayan, lekas sediakan arak dan sayur! Cepat"!"
Dari bawah terdengar jawaban dan tak lama kemudian, dua orang pelayan naik melalui anak tangga sambil membawa baki berisi masakan dan arak.
Karena meja besar tempat duduk Sin beng Ngo hiap berada di tengah ruangan loteng, maka ketika mengantarkan masakan dan minuman itu ke meja Bun Sam, dua orang pelayan itu terpaksa harus melalui meja besar tadi.
"Tamu tamu pertama harus mendapat pelayanan terlebih dulu!" tiba tiba Hwa Hwa Niocu berkata perlahan dan sekail tubuhnya bergerak sambil mengulurkan kedua tangan, tahutrahu dua baki yang dibawa oleh dua orang pelayan itu telah berpindah ke tangan Hwa Hwa Nioca yang dengan tenangnya lalu menaruh isi baki ke atas mejanya sendiri!
Dua orang pelayan itu hanya bisa berdiri bingung dan memandang kepada Bun Sam dengan bingung, "Mengapa berdiri seperti patung?" Si Pacul Kilat Kui Hok membentak dua orang pelayan itu.
"Ahh kalian ambilkan ke sini arak wangi dalam guci terbesar. Kami hendak menjamu seorang gagah dan muridnya!"
Sambil berkata demikian, Kui Hok melirik ke arah Yap Bouw yang masih saja bersikap tenang dan pura pura tidak melihat semua itu.
Setelah kedua orang pelayan itu berlari turun, Bun Sam menjadi merah mukanya. Ia maklum bahwa lima orang itu mencari perkara dan ia merasa heran sekali.
Baru sekarang ia memperhatikan mereka seorang demi seorang, kemudian ia memandang Yap Bouw. Aneh sekali! Suhengnya ini malah memberi tanda dengan gerak jari agar supaya mereka pergi saja dari tempat itu! Akan tetapi Bun Sam yang lebih muda dari Yap Bouw, tentu saja merasa tidak puas dan penasaran sekali kalau harus melarikan diri begitu saja.
"Kitapun mempunyai uang untuk bayar makanan dan minunan, apa salahnya kalau kita makan minum di sini," kata Bun Sam perlahan kepada Yap Bouw. Akan tetapi, Yap Bouw tetap saja memberi tanda dengan jari jari tangan agar mereka pergi saja, bahkan si muka iblis itu telah bangkit berdiri!
"Lain muka lain kepalan, sungguh seperti bumi langit perbedaannya. Muka terkenal seperti iblis, kepalan tersohor seperti malaikat, akan tetapi baru sekarang aku tahu bahwa nyalinya hanya sebesar nyali ayam," kata kata ini diucapkan oleh Hwa Hwa Niocu dan ketika Bun Sam menengok ke arah nyonya itu, Hwa Hwa Niocu menatapnya dengan pandangan tajam dan galak.
Akan tetapi Bun Sam tidak merasa takut, hanya mengangkat kedua alisnya yang hitam dan tebal itu ke atas, tanda bahwa dia tidak mengerti apa yang dimaksudkan oleh nyonya muda itu. Betepapun juga, Bun Sam menjadi mendongkol karena muka buruk seperti iblis di bawa bawa, mudah saja diduga bahwa ini merupakan sindiran bagi suhengnya.
Akan tetapi Yap Bouw tetap saja tidak ambil perduli dan bahkan melangkahkan kaki sambil memberi isyarat kepada Bun Sam untuk menuruni anak tangga. Bun Sam terpaksa mergikuti suheng nya, akan tetapi sebelum mereka tiba di anak tangga, Bouw Ek Tosu telah menggerakkan tubuhnya dan tahu tahu tubuhnya yang tinggi kurus seperti batang pohon bambu itu telah menghadang Yap Bouw.
"Mo bin Sin kun, sungguh pinto tidak mengerti sikapmu ini. Kau yang mengundang kepada pinto untuk datang ke sini dan sekarang kau bersikap seperti tidak mengenal kepada Bouw Ek Tosu. Apa kau sengaja hendak mempermainkan pinto?"
Pedang Sinar Emas Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Twa suheng sih yang membawa bawa kami berempat, tentu saja melihat Sam beng Ngo hiap lengkap di sini, Mo bin Sin kun kehilangan keberaniannya." Kata kata ini disusul oleh ketawa mengejek dari Hwa Hwa Niocu.
Yap Bouw memberi isyarat kepada Bun Sam untuk mewakilinya menjawab. Bun Sam cepat menjura kepada Bouw Ek Tosu dan berkata,
"Totiang, kau tadi begitu baik hati untuk menawari kami makan minum mengapa sekarang berbalik menghalangi kami yang hendak pergi? Apakah benar kata kata orang bahwa tabiat seorang pertapa itu seperti angin dan mega (mudah berobah). Juga totiang telah salah lihat, dia ini bukanlah orang yang bernama Mo bin Sin kun."
Biarpun wajah Bun Sam amat tampan dan gagah, sedangkan sepasang matanya membayangkan kekuatan yang besar dan suaranya juga bening dan nyaring, namun ia tidak dipandang sebelah mata oleh Bouw Ek Tosu.
Pendeta ini mengira bahwa anak muda ini paling banyak tentulah murid dari Mo bin Sin kun, maka tidak usah dikhawatirkan akan menimbulkan banyak kesukaran.
"Anak muda, jangan kau mencampuri urusan orang tua! Pergilah, biarkan aku bicara sendiri dengan Mo bin Sin kun!" Sambil berkata demikian, Bouw Ek Tosu lalu mempergunakan tangan kirinya untuk mendorong Bun Sam ke pinggir, dengan sikap tidak memandang mata sama sekali.
Biarpun hanya dengan tangan kiri dan dilakukan perlahan saja, namun dorongan dari seorang seperti Hwa ie sianjin Bouw Ek Tosu tidak boleh dipandang ringan.
Dengan dorongan yang perlahan lahan ini, tenaganya sudah cukup besar untuk dapat mendorong roboh sebatang pohon yang lima kali lebih besar daripada tubuh Bun Sam!
Ia merasa pasti bahwa dorongan ini sudah cukup untuk membikin terguling dan jerih murid Mo bin Sin kun yang lancang ini.
Akan tetapi, ternyata terjadi hal yang membuat Bouw Ek Tosu untuk pertama kalinya selama hidupnya melongo! Ketika merasa angin dorongan yang luar biasa menyerang dadanya, sambil tersenyum Bun Sam lalu mengerahkan tenaga khikangnya ke dada. kemudian membarengi mengangkat kedua tangan dari bawah dengan sikap menyoja ( memberi hormat) sambil menyalurkan tenaga Lweekang ke arah kedua lengannya itu.
Dengan cara ini, pada saat angin dorongan tosu itu terpental oleh tangkisan khikang pada dadanya, kedua tangannya telah sampai mendorong dari bawah, sehingga tangan kiri tosu yang mendorong itu lalu berbalik terdorong ke atas!
Bouw Ek Tosu hanya merasa betapa tangan kirinya yang mendorong itu meleset seperti sebuah palu yang dipukulkan pada permukaan batu yang kuat, bulat dan licin berminyak! Tenaga dorongan nya tadi menjadi menceng arahnya dan dengan sendirinya menjadi lenyap.
"Totiang," kata Bun Sam tanpa memperdulikan keheranan pendeta itu, "sesungguhnya, dia ini belum pernah menggunakan nama Mo bin Sin kun dan dalam hal percakapan dengan totiang, dia telah mewakilkannya kepadaku. Maka harap totiang suka memaafkan kami dan membiarkan kami pergi dari sini."
Kalau tadinya Bouw Ek Tosu merasa heran mengapa dorongannya tidak berhasil, kini ia mulai menjadi marah, ia dapat menduga bahwa pemuda ini tentulah murid Mo bin Sin kun yang sudah memiliki tenaga lumayan, maka dapat menangkis dorongannya.
"Apakah Mo bin Sin kun tiba tiba menjadi gagu? Sungguh lucu, dua pekan yang lalu ketika ia mengundang pinto ke sini, ia dapat bicara dan suaranya nyaring sekali. Atau, barangkali betul dugaan sumoiku tadi bahwa Mo bin Sin kun merasa jeri melihat Sin beng Ngo hiap lengkap berkumpul di sini?"
Biarpun Bouw Ek Tosu menatap wajah Yap Bouw yang hanya diam saja, akan tetapi kembali Bun Sam yang menjawab,
"Mungkin sekali, totiang. Mungkin sekali orang yang bernama Mo bin Sin kun itu takut kepada Sin beng Ngo hiap. Siapa tahu??"
Tiba tiba terdengar suara ketawa bergelak dan dua tubuh gemuk pendek dari Lam san Siang mo si hwesio kembar telah berada di kanan kiri Bouw Ek Tosu.
"Ha, ha, ha, jadi benar benar Mo bin Sin kun takut menghadapi Sin beng Ngo hiap? Benar benar kalian takut kepada kami berlima? Ha, ha!"
"Siapa yang takut kepada ngo wi? Kami tidak takut!" tiba tiba Bun Sam berkata dengan tegas, sehingga hwesio kembar yang sedang tertawa iiu tiba tiba menghentikan suara keiawanya seperti jam:kerik terpijak. Juga Bouw Ek TOSU memandang dengan tajam, laiu bertanya,
"Anak muda, jangan kau main main denpan kami! Bukankah tadi kau menyatakan bahwa mungkin sekali Mo bin Sin kun merasa jeri terhadap kami?"
Bun Sam mengangguk anggukkan kepalanya.
"Memang, mungkin sekali orang yang bernama Mo bin Sin kun merasa jeri terhadap Sin beng Ngo hiap. Akan tetapi kami berdua tidak takut, jangankan kepada Sin beng Ngo hiap (lima pendekar), biarpun terhadap ngo koai (lima siluman) sekalipun kami tidak takut."
"Kurang ajar! Orang muda, kau benar benar bermulut lancang. Tidak tahukah kau bahwa kami berlima adalah Sin beng Ngo hiap? Apakah kau tidak takut kepada kami?"
"Mengapa takut, totiang? Pernah siauwte (aku yang muda) mendengar nasehat bijaksana bahwa apabila kita berada di fihak benar dan tidak berbuat salah, tak perlu kita takut kepada siapapun juga. Hanya orang yang mempunyai kesalahan saja yang patut merasa takut dan sepanjang ingatanku, kami berdua tidak bersalah terhadap ngo wi (tuan berlima)!"
Kini Kui Hok dan Hwa Hwa Niocu juga sudah datang menghampiri, sehingga lima orang Sin beng Ngo hiap lengkaplah kini menghadang di depan Yap Bouw dan Bun Sam.
Bouw Ek Tosu saling memandang dengan adik adik seperguruannya dengan sikap mulai ragu ragu.
"Anak muda, benar benarkah orang ini bukan Mo bin Sin kun?"
"Bukan, aku berani bersumpah," kata Bun Sam.
"Kalau bukan Mo bin S n kun, siapa dia? Siapa namanya? Ayoh lekas kau beri tahu kepadaku!" kata Kui Hok yang juga merasa ragu ragu dan tidak sabar lagi.
"Kawanku ini tidak biasa memperkenalkan namanya kepada sembarang orang dan juga tidak perlu mengetahui nama orang lain. Kami adalah orang orang perantau yang tidak mempunyai sangkut paut dengan ngo wi atau dengan siappun juga."
"Namanya! Siapa namanya?" Hwa Hwa Niocu yang berangasan itu mendesak dan membentuk.
Bun Sam tersenyum, "Namaku? Namaku Bun Sam, tidak berarti, bukan?"
"Bangsat, siapa tanya namamu? Nama gurumu ini yang kutanyakan!"
Hwa Hwa Niocu membentak. Akan tetapi Bun Sam masih tersenyum dan menggeleng gelengkan kepalanya.
"Tak perlu kau ketahui"
Dua orang ini saling berhadapan dengan lima orang tokoh besar itu, saling menatap bagaikan ayam ayam jago berlagak. Yap Bouw bersikap hati hati dan waspada, akan tetapi tenang.
Bun Sam tersenyum senyum biarpun matanya tajam memperhatikan gerak gerik lima orang yang menghadangnya. Kelima orang Sin beng Ngo hiap ragu ragu dan memandang dengan mata menduga duga siapa gerangan orang bermuka iblis di depan mereka itu.
Mereka masih ragu ragu untuk segera turun tangan, karena kalau belum orang ini Mo bin Sin kun, tidak baik berlaku sembrono.
Pada saat itu empat orang pelayan naik melalui anak tangga itu dengan sukar, karena mereka memikul segentong arak. Melihat besarnya gentong itu, maka berat gentong yang penuh arak itu sedikitnya tentu ada duaratus kati. Berempat memikul gentong arak duaratus kati memang tidak begitu berat, akan tetapi kalau sambil menaiki anak tanga ke loteng, berat juga!
Dengan napas terengah engah, akhirnya empat orang pelayan itu sampai juga di atas. Hwa Hwa Niocu lalu melangkah maju dan nona muda ini menggunakan kaki kanannya untuk menendang atau mendorong dari bawah gentong itu ke atas.
Tiba tiba empat orang pelayan ini merasa pikulan mereka ringan sekali karena ternyata gentong itu telah terbang ke atas. Pelayan pelayan itu menjadi ketakutan dan cepat melarikan diri ke bawah, bahkan orang ke empat saking gugupnya telah menggelinding saja ke bawah seperti sebuah bal dan setibanya di bawah, kepalanya benjol benjol.
Ketika gentong arak ini terlempar ke atas. Hwa Hwa Niocu lalu mempergunakan kedua tangannya untuk menyambut bawah gentong lalu dengan tenaga sepenuhnya ia mendorong gentong arak itu ke arah kepala Yap Bouw.
Si muka tengkorak ini adalah murid dari Kim Kong Taisu dan seorang bekas jenderal yang berkepandaian tinggi maka melihat datangnya serangan gentong arak ini tentu saja ia tidak menjadi gugup sama sekali.
Ia mengulur tangan kanannya, menyangga dasar gentong dan menurunkan luncuran gentong itu melanjutkan luncuran ke bawah, lalu mendorongnya ke depan lagi, sehingga kini gentong itu melayang kembali ke arah kepala Hwa Hwa Niocu.
Terdengar suara ketawa bergelak, "Siapa lagi kalau bukan Mo bin Sin kun?" Ucapan ini disusul dengan uluran gagang pacul dan ternyata Si Pacul Kilat Kui Hok telah dapat "memetik" gentong arak itu dan atas kepala Hwa Hwa Niocu, yakni dengan jalan menyangga dasar gentong dengan ujung paculnya.
Benar benar amat mengagumkan kepandaian Kui Hok. Ia menggerak gerakkan pergelangan tangannya dan gagang pacul itupun bergerak sedikit saja, akan tetapi kalau orang memandang kepada gentong arak yang berat itu, orang akan merasa heran karena gentong itu telah berputar putar cepat sekali di atas ujung gagang paculnya.
"He, muka iblis, minumlah arak ini!" teriak Si Pacul Kilat dan tiba tiba ketika ia menggerakkan gagang paculnya, gentong arak yang berat itu melayang ke arah kepala Yap Bouw kembali, akan tetapi kini bukan seperti ketika tadi Hwa Hwa Niocu melemparkannya, gentong arak itu menyerang ke arah kepala dengan beputar putar.
Tentu saja tidak mudah untuk menyambut datangnya gentong seberat itu, apabila tidak berputar masih belum hebat, akan tetapi kini gentong itu berputar putar cepat, tentu saja jauh lebih berat dan sukar menyambutnya daripada tadi.
Akan tetapi, tentu saja biarpun tidak mau memperkenalkan diri, Yap Bouw tak mau menyeah mentah mentah terhadap permainan seperti ini dari Si Pacul Kilat. Ia cepat mengulurkan tangan kanannya dengan jari telunjuk menuding dan sebelum gentong yang berputar putar itu menimpa kepalanya, ia mendahuluinya dengan menyentil dasar gentong itu.
Aneh sekali karena tiap kali telunjuknya mendorong dasar gentong gentong yang masih berputar putar cepat itu bagaikan disendal ke atas dan membuat lompatan kecil. Oleh lompatan ini, maka sedikit arak terpercik keluar dari gentong dan dengan tenang Yap Bouw lalu menengadah dan membuka mulutnya untuk menerima percikan arak itu!
Sampai tiga kali ia melakukan hal ini dan tiga kali ia minum arak itu seperti yang diminta oleh Si Pacul Kilat. Kemudian, tiba tiba ia mengulur kedua tangan dengan sepuluh jari tangan terbuka dan dengan gerakan memantul, sepuluh jarinya itu menendang bawah guci arak besar itu, sehingga gentong ini terpental tinggi sekali hampir mengenai langit langit loteng. Kini gentong mi meluncur turun ke arah kepala dua orang hwesio kembar!
"Sute, biarkan aku menyambutnya!" tiba tiba Bouw Ek Tosu berseru keras, ia maklum bahwa sutenya belum tentu akan kuat menyambut datangnya gentong yang jatuh dari tempat begitu tinggi. Bahkan Lam san Siang mo sendiripun telah dapat mengetahui akan bahaya ini dan tadinya mereka hendak menyambut gentong itu bersama sama.
Sebagai orang tertua dan Sin beng Ngo hiap Bouw Ek losu tentu saja tidak akan memikirkan kedua sutenya maju bareng, karena hal ini akan mencemarkan nama besar mereka! Pula, tosu tinggi kurus ini ingin sekaligus memperlihatkan kelihaiannya kepada si muka iblis yang lihai ini, siapapun juga adanya si muka iblis.
Dengan kedua kaki terpentang dan kedua tangan bertolak pinggang, Bouw Ek Tosu berdiri tepat di bawah gentong yang sedang meluncur ke arah kepalanya dengan kecepatan luar biasa itu! Diam diam Bun Sam memandang dengan penuh perhatian, hendak melihat apa yang akan diperlihatkan oleh tosu tinggi ini yang tentu lihai sekali dan memiliki lweekang yang sempurna, karena kalau tidak, mana berani ia menerima gentong dengan cara demikian?
Yap Bouw sendiripun diam diam merasa khawatir karena sesungguhnya ia telah dapat menduga kehendak tosu yang berbahaya ini. Memang benar dugaan Yap Bouw bahwa tosu itu tidak hendak mempergunakan kedua tangannya, karena ketika gentong itu meluncur turun, Bouw Ek Tosu menerimanya dengan" kepalanya yang berambut putih!
"Bagus"!!" Tak terasa lagi Bun Sam berseru memuji, karena gembiranya.
Kalau orang tidak memiliki ketenangan serta perasaan yang halus di barengi tenaga Lweekang yang tinggi, kepala orang yang menerima gentong arak berat seperti itu pasti akan remuk! Akan tetapi dengan gerakan lemas dan indah namun kuat sekali, leher tosu itu bergerak dan kepalanya membuat gerakan melengkung ke bawah kemudian ke atas lagi dan gentong arak itu tetap saja menempel di atas kepalanya.
Gerakan ini dilakukan dengan amat tenang dan tetap sehingga setitikpun arak tidak tertumpah keluar dari gentong!
Diam diam Yap Bouw memuji kepandaian tosu ini dan ia maklum bahwa apabila terjadi pertempuran, belum tentu ia akan dapat menangkan tosu tinggi kurus ini. Akan tetapi ketika ia melirik ke arah sutenya. ia melihat Bun Sam memandang dengan mata berseri, ia melihat alis kiri sutenya yang masih muda itu bergerak gerak dan giranglah hatinya.
Berkat hidup berdekatan semenjak Bun Sam masih kanak kanak, Yap Bouw telah dapat mengetahui tanda tanda anak ini. Apabila bibirnya tersenyum senyum dan lubang hidungnya berkembang kempis itu adalah tanda bahwa Bun Sam sedang marah hebat yang ditahan tahannya. Apabila alis kiri pemuda tampan ini bergerak gerak, itulah tanda bahwa pemuda itu sedang memikirkan akal yang amat nakal dan bahwa ia merasa aman.
Tiba tiba terdengar Bun Sam tertawa geli yang disambung dengan kata kata keras,
"Yah totiang, kau mengingatkan daku kepada tukang menjual gentong kosong. Seperti itu pulalah ia membawa gentong kosongnya! Apakah totiang dahulu juga penjual gentong kosong, maka totiang pandai menggunakan kepala untuk mengangkat gentong?"
Kata kata ini memang disengaja oleh Bun Sam untuk memanaskan hati tosu itu dan untuk memindahkan perhatian tosu kepadanya. Dan akalnya ini berhasil karena Bouw Ek Tosu menjadi
(Lanjut ke Jilid 07)
Pedang Sinar Emas/Kim Kong Kiam (Serial Pedang Sinar Emas)
Karya : Asmaraman S. Kho Ping Hoo
Jilid 07
marah sekali mendengar ucapan yang dianggapnya merupakan penghinaan itu.
"Bocah tidak tahu aturan! Tadi kau bilang bahwa kau tidak takut kepada Sin beng Ngo hiap? Bagus untuk nyali yang demikian besar, kau patut diupah minum arak wangi. Terimalah!"
Sambil berkata demikian, tosu ini mengerahkan tenaganya dan tiba tiba gentong arak yang tadi terletak di atas kepalanya, kini melayang dengan amat cepatnya ke atas dan jatuh menimpa ke arah kepala Bun Sam!
Memang nampaknya saja gentong itu melayang sendiri, akan tetapi sesungguhnya tosu lihai ini telah menggunakan kepandaiannya dan menggerakkan leher dan kepalanya dalam getaran yang penuh mengandung hawa melontarkan yang hebat yang timbul dari tenaga dalamnya.
"Siauwte ingin mempelajari ilmu menyunggi gentong yang totiang perlihatkan tadi!" Bun Sam berkata penuh senda gurau dan tepat seperti gerakan Bouw Ek Tosu tadi, iapun dapat "menerima" gentong arak itu dengan kepalanya!
"Ah, siauwte lupa...." kata Bun Sam pula, "bukankah totiang tadi menawarkan siauwte minum arak kalau gentongnya berdiri di atas kepalanya?" Setelah berkata demikian, tiba tiba tubuh pemuda yang baru berusia tujuhbelas tahun itu roboh terlentang dengan cepat sekali. Tahu tahu tubuhnya telah telentang di atas lantai dan gentong arak yang tadinya berada di atas kepalanya, kini cepat meluncur turun akan menimpa perutnya!
Hampir saja Yap Bouw melompat maju untuk menolong nyawa sutenya dari bahaya, akan tetapi ternyata bahwa kekhawatirannya itu tiada gunanya karena dengan gerakan cepat sekali Bun Sam telah mengangkat kedua kakinya ke atas dan menerima gentong itu dengan kedua kakinya.
"Totiang, mari minum arak!" kata pemuda ini. "Maafkan karena tidak ada cawan, terpaksa siauwte minum lebih dulu tiga teguk"
Sambil berkata demikian, Bun Sam menggerakkan kedua kakinya dan gentong arak ini menjadi miring. Sedikit arak tumpah dan dengan tepat sekali memasuki mulut Bun Sam yang dibuka sedikit. Tiga kali anak muda ini miringkan gentong arak dan tiba tiba ia melontarkan gentong arak itu ke atas dan ia sendiri lalu melompat berdiri. Dengan kedua tangannya ia menerima gentong itu dan memeluk gentong seakan akan merasa amat berat. Kedua kakinya terhuyung huyung dan kedua tangannya yang memeluk gentong menggigil.
"Totiang berlima, silakan minum. Gentong ini terlalu berat untukku!"
Dengan ucapan ini, Bun Sam melemparkan gentong arak itu kepada Bouw Ek Tosu dan adik adiknya. Bouw Ek Tosu sudah mengulur kedua tangan untuk menyambut gentong ini, akan tetapi tiba tiba terdengar bunyi aneh di atas kepalanya dan gentong itu sambil mengeluarkan suara berkeretak, pecah dengan araknya muncrat berhamburan.
Bouw Ek Tosu dan adik adiknya dengan kagetnya cepat melompat untuk menyingkir, akan tetapi tetap saja pakaian mereka terkena noda arak dan rambut mereka menjadi basah!
Tentu saja Sin heng Ngo hiap menjadi marah sekali, terutama Hwa Hwa Niocu. Wanita galak ini belum pernah dihina orang, apalagi dipermainkan oleh seorang pemuda tanggung. Dengan pipinya yang berkulit halus itu berobah merah dan matanya bersinar marah, ia lalu mencabut pedangnya dan membentak.
"Anjing kecil, berani sekali kau main gila di depan Hwa Hwa Niocu!"
Secepat kilat, bentakan ini dibarengi oleh berkelebatnya tubuhnya yang didahului oleh sinar pedang, menusuk ke arah tenggorokan Bun Sam!
"Aih, aih,... galak amat!" Bun Sam berseru sambil tertawa dan dengan gerakan yang lincah dan seperti orang mabok ia terhuyung ke belakang, Bouw Ek Tosu dan adik adiknya terkejut dan khawatir juga melihat gerakan pemuda, itu.
Ternyata pemuda ini tak memiliki kepandaian tinggi dalam ilmu silat dan kalau Hwa Hwa Niocu sudah marah, bukankah pemuda ini akan mati? Hal itu kurang baik bagi mereka, karena membunuh seorang muda yang biasa saja merupakan salah satu pantangan bagi Sin beng Ngo hiap. Memalukan sekali dan merendahkan nama besar mereka dalam dunia kang ouw.
"Sumoi, jangan melayani pemuda tolol ini"."
Si Pacul Kilat Kui Hok menegur adik seperguruannya. Akan tetapi terlambat karena ketika melihat betapa Bun Sam dapat mengelak ke belakang dengan gerakan kaku, Hwa Hwa Niocu menjadi girang dan cepat mengejar dengan dua langkah dan pedangnya bagaikan halilintar menyambar kembali telah menyerang dengan sebuah bacokan ke arah leher Bun Sam!
Kui Hok terkejut sekali. "Celaka...." seru nya, Sumoinya telah mempergunakan gerak tipu Seng thian jip te (Naik Ke Langit, Masuk Ke Tanah) semacam tipu serangan yang luar brasa sekali ganasnya, mana pemuda itu dapat menghindarkan diri? ia tidak keburu turun tangan menghalangi serangan sumoinya, maka ia lalu cepat menubruk maju hendak menyambar tangan Bun Sam dan di tariknya agar dapat terlepas dari bahaya maut. Akan tetapi terjadilah hal yang amat tidak terduga duga baik oleh Hwa Hwa Niocu maupun oleh Kui Hok atau lain anggauta dari Sin beng Ngo hiap.
Ketika pedang di tangan Hwa Hwa Niocu menyambar leher Bun Sam, pemuda ini cepat melemparkan diri ke kanan sambil menekuk kedua lutut kakinya. Pedang tadi telah melakukan bagian gerak tipu seng thian (naik ke langit), maka ketika bacokan bagian atas ini meleset, lalu cepat dilanjutkan dengan gerakan jip te (masuk ke bumi). Pada saat pedangnya diluncurkan ke bawah menuju ke perut Bun Sam yang hendak disate, datanglah Kui Hok yang hendak menangkap tangan pemuda itu untuk ditarik pergi dari ancaman ujung pedang Hwa Hwa Niocu.
Tiba tiba Bun Sam membuat dua macam gerakan dengan berbareng. Ia membiarkan lengannya disambar oleh tangkapan Kui Hok, akan tetapi setelah dekat, ia lalu memutar tangannya dan bahkan menjambret ujung lengan baju Si Pacul Kilat itu dan ditariknya ke depan.
Adapun kaki kanannya dengan amat cepat, tepat dan berani sekali, dari samping melayang ke arah pergelangan tangan Hwa Hwa Niocu yang memegang pedang. Nyonya ini terpaksa membatalkan maksudnya menusuk perut dan pedangnya berobah tujuan.
Karena Kui Hok yang terbetot ujung lengan bajunya itu tidak dapat mempertahankan diri dan terhuyung ke depan, maka hampir saja dia yang termakan oleh pedang Hwa Hwa Niocu!
Kui Hok cepat melompat ke belakang dan berjumpalitan, adapun Hwa Hwa Niocu juga cepat menarik kembali pedangnya. Keduanya merasa kaget dan heran sekali. Lebih lebih Kui Hok. Tadi ketika ia tertarik ujung lengan bajunya, ia merasa tenaga yang luar biasa besarnya mencengkeram dan menarik baju itu. Kalau berkeras melawan tarikan ini. tentu saja ia sanggup, akan tetapi lengan bajunya tentu akan tersobek dan hal ini tidak mau ia alami. Maka ia menurut saja dan hanya terhuyung maju. Tidak tahunya gerakan pedang sumoinya berobah dan bahkan mengancamnya.
Ketika Kui Hok dan Hwa Hwa Niocu memandang kearah pemuda itu, mereka melihat Bun Sam sudah berdiri jauh sambil tersenyum senyum.
Makin panaslah hati Hwa Hwa Niocu dan merah jugalah muka Kui Hok. Mereka, dua orang anggota dari Sin beng Ngo hiap, dengan berbareng maju menghadapi seorang pemuda, biarpun Kui Hok tadi maju bukan dengan maksud buruk. Akan tetapi, kedua nya dapat dipermainkan oleh pemuda itu, benar benar satu hal yang amat memalukan hati mereka.
"Bangsat kecik kau layak dihajar!" Hwa Hwa Niocu memaki dan melangkah maju lagi. Akan tetapi tiba tiba berkelebat bayangan Bouw Ek Tosu yang mencegah sumoinya.
"Sumoi. jangan turun tangan. Biarkan aku sendiri mencoba gurunya. Tak perlu kita ribut ribut melawan murid Mo bin Sin kun!"
Setelah berkata demikian, Bouw Ek Tosu lalu menghadapi Yap Bouw dan berkata,
"Mo bin Sin kun, kau ini sebenarnya mempunyai niat bagaimanakah? Kau sendiri yang memanggil dan mengundang pinto untuk datang ke sini dan telah mengancam muridku. Hai Siong. Nah, pinto dan saudara saudara telah datang, apakah kehendakmu? Apa kesalahan muridku, maka kau mengancam hendak membunuhnya?"
Tentu saja Yap Bauw tak dapat menjawab dan Bun Sam yang merasa khawatir kalau kalau Yap Bouw akan terbuka rahasianya, lalu melompat maju ke depan Bouw Ek Tosu.
"Totiang, sudah berkali kali kukatakan tadi bahwa kawanku ini namanya bukan Mo bin Sin kun dan sama sekali tidak mempunyai urusan dengan orang yang bernama Hai Siong! Totiang janganlah mengganggu kami lagi dan biarkan kami pergi dari sini dengan aman."
Bouw Ek Tosu dengan mendongkol sekali mengerling ke arah Bun Sam.
"Anak muda, sejak tadi aku masih bersabar terhadap kau, karena kau hanyalah seorarg murid muda dari Mo bin Sin kun. Akan tetapi kau selalu lancang mulut. Murid macam apakah kau ini? Mengapa suhumu ini diam saja dan tidak mau menjawab percakapan kami? Apakah dia gagu? Atau". apakah kiranya dia takut terhadap kami Sin beng Ngo hiap??"
Kini Bun Sam yang merasa mendongkol.
"Ngo wi taihiap (tuan pendekar besar berlima) sungguh terlalu! Ketahuilah bahwa mungkin sekali setan yang bernama Mo bin Sin kun itu takut menghadapi Sin beng Ngo hiap, akan tetapi aku dan kawanku ini bukanlah Mo bin Sin kun dan karenanya kami berdua tidak takut sedikitpun juga terhadap ngo wi. Mengapa kami mesti takut? Ngo wi boleh berurusan dengan Mo bin Sin kun atau siapapun juga di dunia ini, akan tetapi jangan mengganggu kami, dan biarkan kami pergi!"
Setelah berkata demikian Bun Sam menggandeng tangan Yap Bouw dan hendak mengajaknya pergi.
Akan tetapi Bouw Ek Tosu yang masih merasa penasaran, mana mau membiarkan mereka pergi?
"Kawan, perlahan dulu. Tak boleh pergi sebelum pinto tahu pasti bahwa kau bukanlah Mo bin Sin kun. Siapa tahu kalau benar benar dia yang kini merasa tidak kuat menghadapi kami dan menggunakan akal ini untuk melarikan diri? Hm tidak mudah, kawan. Kau telah mengundang kami dan tanpa melayani kami, itu berarti tidak memandang kami."
Sambil berkata demikian, ia mengulurkan tangan kanannya ke arah pundak Yap Bouw sambil mengerahkan tenaganya.
Inilah serangan tiam hwat dari ilmu menotok jalan darah yang menjadi kepandaian tunggal terlihai dari Bouw Ek Tosu, yakni Ilmu Silat Pek tiauw thiam hwe louw (Ilmu Menotok Jalan Darah Rajawali Putih)! Serangan yang keluar dari ilmu totokan ini memang lihai dan luar biasa sekali, karena tidak saja sepuluh buah jari tangan tosu itu yang pandai menotok dan melumpuhkan jalan darah, juga setiap kali serangannya selalu disusul oleh dua ujung lengan bajunya yang merupakan alat alat totok yang hebat sekali!
Yap Bouw sebagai seorang ahli silat tinggi, tentu saja tahu akan kelihaian serangan ke arah pundaknya ini, maka cepat sekali ia mengelak kekiri. Si muka tengkorak ini yang maklum bahwa melawan lima tokoh itu bukanlah hal yang mudah dan tidak baik mencari permusuhan tanpa alasan dengan mereka, masih berlaku sabar dan tidak mau membalas serangan Bouw Ek Tosu.
Akan tetapi ketika tosu itu melihat betapa totokannya dengan mudah dielakkan oleh si muka tengkorak, menjadi makin tebal keyakinannya bahwa inilah tentu orang yang bernama Mo bin Sin kun ia tidak menghentikan serangannya.
Kalau tadi ia hanya menyerang ke arah pundak sebagai coba coba saja, kini tangan kirinya menyusul cepat dan menotok ke arah tulang rusuk sebelah kanannya dari Yap Bouw. Serangan ini ber bahaya sekali karena kalau mengenai sasarannya dapat melayangkan nyawa yang di serang!
Kini Yap Bouw mulai marah dan sepasang matanya yang tajam dan berpengaruh itu mulai bercahaya. Ia tidak mau mengelak lagi, bahkan lalu mengerahkan tenaga pada lengan kanannya, kemudian ia menyabetkan lengan itu ke bawah untuk menangkis serangan lawan.
"Duk" dua batang lengan beradu keras dan keduanya merasa tulang lengannya sakit, tanda bahwa tenaga mereka seimbang. Akan tetapi Yap Bouw terkejut sekali ketika merasa betapa ujung lengan baju dari lawannya itu, bagaikan seekor ular hidup tahu tahu telah melilit pada pergelangan tangannya!
Si muka tengkorak ini cepat mengadakan serangan balasan. Kepalan tangan kirinya menonjok ke depan, mengarah ulu hati Bouw Ek Tosu. Sungguh hebat kalau dua orang ahli silat tinggi bertempur. Dari jurus jurus pertama saja sudah saling menukar bahaya maut!
Bouw Ek Tosu juga maklum bahwa kalau dadanya terkena tonjokan ini pasti ia akan menyusul mendiang nenek moyangnya, maka dia yang masih suka hidup lalu menggerakkan tangan kanannya dan tahu tahu ujung lengan bajunya telah meluncur mendahului jari jari tangannya untuk menangkis pukulan lawan dan bahkan untuk membelit pergelangan tangan pula!
Pedang Naga Kemala Eps 32 Pedang Naga Kemala Eps 40 Pedang Naga Kemala Eps 40