Ceritasilat Novel Online

Pedang Sinar Emas 52


Pedang Sinar Emas Karya Kho Ping Hoo Bagian 52




   Kata-kata Sin-siang to Bhok Coan ini benar-benar tak dapat dihargai oleh para orang gagah di situ, akan tetapi mereka maklum betapa takut dan jerihnya orang she Bhok ini terhadap Thian hwa-kauw Dan melihat sepak terrjang Thian hwa kauw, ketakutan Bhok Coan dapat di mengerti.

   "Bhok enghiong tak usah khawatir," kata Thian Cin Cu tosu Kun-lun-pai dengan suara meng"ejek, "memang kami sudah bersepakat hendak sama-sama membasmi perkumpulan itu. Sudah tentu kami semua berada di belakangmu. "

   "Betul," kata Pek Kong Hosiang, "memang sebaiknya kalau Bhok-sicu memenuhi undangan mereka itu dan kami beramai menjadi pengantar Bhok-sicu agar kita dapat masuk dengan mudah. Setelah sampai di sana, baru kita semua bergerak."

   Demikianlah, perundingan dilanjutkan dan diatur masak-masak untuk bersama menggempur Thian-hwa-kauw yang selain merupakan gangguan bagi rakyat jelata, juga amat merugikan nama baik partai-partai besar karena memikat anak-anak murid partai, persilatan yang ternama.

   Song Bi Hui mengeluh perlahan, kedua ma"tanya masih dipejamkan. Ia merasa kepalanya pening sekali dan biarpun matanya dipejamkan, kepalanya merasa seakan akan segala apa di sekelilingnya berputar-putar.

   "Kepalaku... berdenyut-denyut pusing sekali...." keluhnya tanpa disadarinya.

   Tiba-tiba ia merasa ada tangan mengelus-elus kening dan memijat-mijat kepalanya dengan halus sekali, dan terdengar suara orang berkata perlahan,

   "Kasihan kau, enci Bi Hui......"

   Pijatan pada kepalanya uu sekaligus mengusir rasa peningnya, akan tetapi Bi Hui tidak memperhatikan ini. Ia terlalu kaget mendengar suara, laki-laki, cepat dibukanya matanya, Melihat seorang pemuda tampan berpakaian sederhana sedang memijat-mijat kepalanya, Bi Hui menjerit, melompat berdiri dan tangan kanannya menampar.

   "Plak-plak......." pipi pemuda itu telah ditampar keras-keras akan tetapi tiba-tiba kepalanya pening sekali dan ia terhuyung huyung sambil memejamkan mata.

   "Hati-hati, enci Bi Hui, kau belum sembuh betul......"

   Dua lengan yang kuat menyambar pinggangnya dan dengan halus ia dituntun untuk duduk kembali ke bawah pohon. "Duduk dan mengasolah, jangan terburu nafsu, kau masih lemah.......!"

   Setelah peningnya mereda, Bi Hui membuka matanya dan memandang pemuda itu. Kembali ia cepat-cepat meramkan matanya, mukanya terasa panas saking jengahnya, bibirnya digigit sendiri untuk menekan debaran jantung, yang terasa cemas. Sejak bilakah dia bersama pemuda ini? Hatinya tidak enak sekali.

   "Kau......kau siapakah......7" tanyanya, suara"nya gemetar, penuh bayangan yang bukan-bukan.

   "Enci Bi Hui, kau masih pusing. Nanti kalau kau sudah sadar betul, kau tentu akan mengenal aku...." jawab pemuda itu, suaranya halus dan ramah. Siapakah dia ini? Dia kutampar dua kali, akan tetapi dia tidak marah, bahkan menolongku tidak sampai jatuh. Bi Hui mengingat-ingat, kemudian ia membuka mata kembali.

   Pemuda itu duduk tak jauh dari situ, memandangnya dengan bibir tersenyum dan sinar mata mengandung iba hati. Ketika memandang ke sekeliling, Bi Hui mendapat kenyataan bahwa mereka di dalam sebuah hutan yang sunyi. Hatinya agak lega. Tadi ia mengira bahwa ia sudah terjatuh ke dalam tangan Thian-hwa-kauw. Akan tetapi, hatinya tercekat kembali, siapa tahu kalau kalau pemuda ini anggauta Thian-hwa kauw....?

   "Siapa kau......?"

   la menatap tajam penuh selidik. Serasa ia kenal akan wajah ini, akan tetapi lupa lagi di mana pernah bertemu.

   Pemuda itu tersenyum, "Sukur, kau sudah sembuh, enci Bi Hui. Aku sudah merasa gelisah sekali. Tiga hari tiga malam kau pingsan dan baru sekarang siuman kembali."

   "Tiga hari tiga malam? Dan selama Itu aku di sini.....? "

   Pemuda itu mengangguk.

   "Di tempat ini dengan..... dengan engkau.....?"

   Kembali pemuda itu mengangguk tenang dan mukanya bersih seperti muka orang yang tidak berdosa.

   "Dan kau.....kau ini siapakah, mengapa menjaga aku di sini dan kita berada di mana?" Bi Hui bangkit hendak berdiri akan tetapi kembali ia terduduk karena kepalanya masih pening kalau ia berdiri.

   "Enci Bi Hui, aku kebetulan lewat dan mendapatkan kau rebah pingsan di tengah jalan. Aku lalu membawamu ke tempat ini agar kau dapat tidur di bawah pohon, tak kusangka kau pingsan sampai tiga hari tiga malam. Hutan ini tidak begitu jauh dari tempat kau pingsan."

   "Hem, aku ingat sekarang. Siluman itu menyerangku dengan kembang........ baunya harum bukan main.... lalu aku lupa segala.....eh, kau ini siapakah.?" kembali ia menatap wajah yang ramah dan tampan itu.

   Pemuda itu paling banyak berusia sembilan belas tahun, kulit mukanya putih dan alisnya hitam tebal. Muka yang tampan sekali, akan tetapi yang paling menarik adalah sepasang matanya yang tajam menyambar-nyambar seperu kilat. Mata yang amat berpengaruh dan mengandung kelembutan.

   "Enci Bi Hui, betul-betulkah kau tidak kenal lagi kepadaku? Belum juga begitu lama, baru sepuluh tahun. Bagiku kau masih sama seperti dulu, enci, belum berubah. Apakah kau lupa padaku?"

   Bi Hui teringat dan ia tertegun aejenak. Kemudian ia berkala perlahan.

   "Kau......kau Beng Han....?"

   la ragu-ragu, benarkah pemuda tampan ini Beng Han? Memang ada persamaan pada wajah itu, akan tetapi mungkinkah bocah itu sekarang menjadi seorang pemuda begini...... begini...... ganteng?

   Ketika pemuda ini mengangguk membenarkan ia segera menyambung untuk menutupi perasaan kagumnya dengan teguran penuh curiga.

   "Kau mengapa berada di sini? Kau mau apa dan apa hubunganmu dengan Thian - hwa - kauw?"

   Beng Han tersenyum pahit melihat sikap gadis itu.

   "Enci Bi Hui, agaknya masih belum lenyap keraguanmu terhadap diriku.Telah kuceritakan tadi bahwa tanpa disengaja aku mendapatkan kau pingsan di tengah jalan, maka kau kuba wa ke sini. Adapun aku berada di sini karena..... enci Bi Hui, lupakah kau akan sumpahku dahulu? Aku akan mencari pembunuh-pembunuh suheng berdua dan akan menyeret mereka di depan kakimu! "

   Mendengar ini, Bi Hui tertusuk hatinya, merasa diingatkan bahwa sakit hatinya atas kematian ayah bundanya belam juga terbalas sampai saat itu. Tak terasa lagi dua titik air mata meloncat keluar dan menetes turun ke atas pipinya, la cepat menundukkan mukanya.

   Teringatlah ia akan peris"tiwa dahulu ketika ayah bundanya terbunuh, mereka mendapatkan Beng Han di dalam kamar dengan pedang di tangan. Kemudian teringat pula ia betapa mereka, dia dan para pelayan, menyiksa Beng Han untuk memaksa bocah itu mengakui perbuatannya, yaitu membunuh ayah bundanya. Akhir-akhir ini baru Bi Hui insyaf bahwa sungguh hal yang amat tidak mungkin kalau bocah berusia de"lapan-sembilan tahun itu mampu membunuh ayah bundanya yang berilmu tinggi!.

   Ahli-ahli silat yang kepandaiannya sudah tinggi sekalipun belum tentu akan dapat membunuh ayah bundanya. Apalagi Beng Han. Sungguh fitnahan keji ketika itu dilon"tarkan ke atas kepala Beng Han.

   Kalau ia teringat ia menjadi malu sendiri dan diam-diam ia merasa bersyukur bahwa pada saat ia hendak membunuh Beng Han, muncul Sin-tung Lo-kai yang mence"gahnya. Dan sekarang ia bertemu dengan Beng Han yang sudah menjadi pemuda dewasa yang tam"pan dan pemuda ini masih melanjut kan sumpahnya dulu, hendak membalas sakit hati ayah bundanya!.

   "Beng Han, apakah kau tidak.....tidak sakit hati kepadaku......?" tanyanya perlahan,malu untuk mengangkat muka.

   "Enci Bi Hui, mengapa kau bertanya demi"kian? Kita adalah orang sendiri, kalau ada rasa sakit hati, perasaan itu sepenuhnya kutujukan ke"pada pembunuh-pembunuh ayah bundamu!"

   "Aku dulu...... pernah.......pernah menyiksamu," suara Bi Hu" makin perlahan, belum berani ia mengangkat mukanya.

   "Ah, betulkah? Aku malah sudah lupa lagi; enci Bi Hui. Kalaupun demikian, teatu karena kau menjadi kalap berhubung dengan kematian ayah bundamu itu. Aku tidak menyalahkan engkau, enci."

   "Akan tetapi...... aku telah........ hampir saja kau kubunuh pada waktu itu...., kalau saja tidak dicegah oleh Sin-tung Lo-kai......." suara Bi Hui makin lirih, kepalanya makin menunduk.

   "Aaah, orang tua yang gagah perkasa. Sin-tung Lo-kai....... itu. Sayang......, diapun menemui kematiannya dalam keadaan penasaran, seperti ayah bundamu, enci Bi Hui "

   Kini Bi Hui berani mengangkat muka me"natap wajah pemuda itu setelah mengutarakan hal yang mengganjal di hatinya.

   "Kau sudah tabu....?"

   Beng Han mengangguk.

   "Di samping sum"pahku dulu, kini kutambah lagi janji untuk mencari pembunuh Sin-tung Lo kai dan kubalas"kan sakit hatinya."

   Kata-kata ini diucapkan oleh Beng Han dengan semangat bernyala-nyala. Meli"hat itu diam-diam Bi Hui memuji kesetia kawanan pemuda ini, akan tetapi juga geli hatinya Pemuda ini bisa apakah? Dia sendiri yang memiliki kepandaian tinggi, bahkan sudah digembleng lagi oleh dua orang guru yang sakti, masih belum ber"hasil mencari musuh besarnya.

   Dan orang jahat di dunia ini begini banyak dan lihai. Pemuda ini bisa apa7 Akan tetapi tentu saja dia tidak mau menyatakan perasaan hatinya itu.

   "Beng Han, benar-benar kau mau memaaf"kan semua perbuatanku yang menyakiti hatimu dulu7"

   "Tidak ada yang harus dimaafkan, enci Bi Hui, karena selamanya aku tak pernah sakit hati. kepadamu."

   "Kau harus memaafkan, Beng Han. Kalau tidak, selamanya aku akan merasa berdosa kepada"mu dan tak enak berhadapan denganmu."

   Beng Han menghela napas panjang.

   "Baik"lah. Kalau sekiranya ada kesalahan di antara kita tentu saja aku suka memaafkanmu lahir batin, ensi Bi Hui. Aku sudah hutang budi banyak se"kali kepada ayah bundamu,- terutama sekali aku berhutang budi yang takkan mampu kubalas ke"pada suhu, kong-kongmu. Mengapa engkau begitu sungkan-sungkan antara orang sendiri?"

   Diam-diam Bi Bi Hui kagum juga. Benar-benar Beng Han sekarang bukan Beng Han bocah yang dulu itu. Akan tetapi, tetap saja ia menyang"sikan apakah pemuda ini akan mampu membalas sakit bati yang sampai sekarang belum terlaksana itu.

   "Terima kasih Beng Han. Sekarang aku berani memandangmu dan kalau kau benar hendak mem"balaskan sakit hati keluargaku, mari kita bekerja sama. Terus terang saja sampai sekarang aku belum menemukan jejak pembunuh-pembunuh itu. Kau bagaimana?"

   "Agaknya tak lama lagi kita akan dapat berhadapan muka dengan mereka, enci."

   "Kau maksudkan.......?? "

   Beng Han menyambut tatapan sinar mata Bi Hui dengan berani kemudian ia mengangguk.

   "Tak salah, seperti juga pengakuanku dahulu, pembunuh ayah bundamu bukan lain adalah Liem Kong Hwat dan seorang wanita siluman."

   "Cia Kui Lian....?! "

   "Mungkin demikian namanya."

   "Dan kau sudah ketahui tempat tinggal me"reka?"

   "Sedang kuselidiki, enci. Sekarang lebih baik kau mencari sarang Thian-Hwa-kauw lebih dulu. Perkumpulan ini terlalu jahat......."

   "Kau tahu aku dijatuhkan oleh Thian-Hwa-kauw? " Bi Hui memotong cepat.

   Gadis ini me"mang cerdik dan ia ingin memancing, karena ada dua kemungkinan ia terjatuh ke dalam tangan Beng Han.

   Yaitu ditolong pemuda ini dari tangan orang Thian-hwa-kauw atau memang kebetulan saja ia ditinggalkan oleh mereka. Kalau ditinggal"kan, agak tak mungkin.

   "Aku hanya tahu kau ditinggalkan di pinggir jalan dalam keadaan pingsan dan aku melihat be"berapa orang pemuda dan gadis yang membawa kembang teratai. Sudah lama aku mendengar ten"tang mere ka, itu adalah orang orang Thian-hwa-kauw. Enci Bi Hui, agaknya menang perjalanan ini menuju ke satu jurusan dan niat kita cocok benar. Tidak saja kita sama-sama hendak menca"ri musuh"musuh besar kita, juga kebetulan sekali kau hendak membasmi Thian hwa-kauw, padahal akupun sedang mencari mereka untuk....... kalau mungkin dan kalau tenagaku mencukupi, menyerang sarang mereka."

   Bi Hui tersenyum lemah, ia dapat menduga bahwa tentu Beng Han sudah mempelajari bebe"rapa jurus ilnu silat, mungkin agak lihai, akan tetapi pemuda ini tidak ada artinya kalau diban"dingkan dengan Thian hwa-kauw. Betapapun juga, baik juga mempunyai kawan yang sehaluan.

   "Thian hwa-kauw sudah terlalu tersohor, siapakah yang takkan memusuhinya? Para tokoh terkemu ka sekarang juga sedang bersiap siap me"nyerbu ke sana?"

   Tiba-tiba Bi Hai mengerutkan keningnya.

   "Kau lapar encu Bi Hui? Kebetulan aku mem"bawa roti kering "

   Beng Han menurunkan buntalan dari punggungnya dan dikeluarkan-tiga potong roti kering dan seguci arak ringan.

   "Bagaimana kau tahu aku lapar?". Bi Hui bertanya, mukanya merah karena memang baru saja tadi perutnya berbunyi dan terasa perih sekali. Biarpun ia sudah menekun perut dengan hawa lweekang nya, tetap saja berkeruyuk sedikit.

   Mungkinkah Beng Han dapat mendengar suara itu, Beng Han tersenyum.

   "Bagaimana tidak tahu, enci? Tiga hari tiga malam bukanlah waktu pendek untuk berpuasa dan selama itu kau tidak dapat makan apa apa, hanya sedikit air atau arak yang kuteteskan ke dalam mulutmu." Kata-kata- Beng Han dcmikian wajar, sederhana dan jujur sehingga Bi Hui tidak menderita terlalu malu.

   Diam-diam ia berterima kasih sekali dan terlintas bayangan dalam otakrya betapa selama itu siang malam ia dijaga dan bahkan dirawat oleh pemuda ini. Mukanya menjadi merah sekali, akan tetapi tanpa bicara apa-apa lagi lalu ia menerima roti kering dan mema"kannya. Melibat nona itu makan dengan sungkan-sungkan dan nampak malu-malu, Beng Han lalu ikut makan.

   " Beng Han, kau baik sekali. Terima kasih," kata Bi Hui setelah menghabiskan dua potong roti dan minum dua cawan arak ringan.

   "Aah, enci Bi Hui. baik apanya sih? Biasa saja antara kita, mana perlu sungkan-sungkan? Lagi pula, rotinya keras dan araknya kurang manis."

   "Bukan itu, Beng Han. Aku berterima kasih bukan untuk roti dan arak, melainkan untuk per"tolonganmu, kalau kau tidak menolongku, men"jagaku siang malam sampai tiga hari tiga ma"lam, entah bagaimana jadinya dengan aku, ping"san selama itu di tengah jalan."

   "Tak usah berterima kasih, enci. Sudah ke"wajibanku untuk membantumu. Aku sejak dulu merasa amat kasihan kalau teringat kepadamu, enci. Kau benar-benar seorang yang selalu dirun"dung kemalangan Benar-benar amat buruk nasibmu dan aku doakan semoga selarjutnya nasibmu akan berubah. Apakah...... apakah aku belum mempunyai........cihu ( kakak ipar ), enci? "

   Bi Hui tiba-tiba menundukkan mukanya, menggeleng-geleng kepalanya dan.......... menangis terisak-isak. Kata-kata Beng Han itu benar-benar membuat ia bersedih sekali dan tak tertahankan lagi ia menangis.

   "Maaf, enci Bi Hui.......... aku tidak ber"maksud menyinggung hatimu........" kata Beng Han penuh sesal.

   Akhirnya Bi Hui dapat mengangkat mukanya yang merjsdi kemerahan dan ia menyusuti air mata terakhir. Kemudian nona ini tersenyum!

   "Tidak, Beng Han. Aku hanya lupa diri dan teringat kepada ayah bundaku. Aku......aku masih seperti dulu, aku belum menikah, selama ini aku melanjutkan pelajarn ilmu silatku dari dua orang guru baru, yaitu suhu Bu-eng Lo-kai dan suthai Soat Li Suthai. Baru beberapa pekan saja aku berpisah denga n mereka."

   "Aduh, kalau begitu kau tentu lihai sekali, enci! Biarpun belum begitu luas pengelamanku, namun nama dua orang locianpwe yang sakti itu sudah pernah kudengar. Kali ini musuh-musuh besar kita tentu akan mampus kalau berhadapan dengan kau."

   Kegembiraan Beng Han menggembirakan pula hati Bi Hui, namun ia segera merendah.

   " Kepandaianku masih belum seberapa. Dan kau sendiri bagaimanakah? Siapa gurumu dan selama ini kau belajar di mana saja? "

   "Enci Bi Hut, aku satu kali menjadi murid suhu Thian le Kiam ong Song Bun Sam, mana bisa menjadi murid orang lain? Selama ini aku tanya belajar sendiri memperdalam pelajaran yang kuterima dari suhu," kata Beng Han, setengah menyembunyikan kepandaiannya, akan tetapi sama sekali tidak membohong, karena bukankah memang selama ini ia mempelajari ilmu silat warisan dari Thian-te Kiam-ong gurunya?.

   Diam-diam Bi Hui menganggap bahwa ke"pandaian Beng Han takkan dapat melebihi tingkat"nya dulu sebelum ia belajar pada dua orang gurunya yang baru. Kemudian matanya yang tajam melihat gagang pedang menonjol di balik baju Bang Han yang longgar, maka tanyanya setengah bergurau,

   "Ah, pedangmu tentu bagus, ya?"

   Tiba-tiba sikap Beng Han berubah dan wajah"nya nampak sungguh-sungguh ketika ia berkata,

   "Enci Bi Hui, apakah kau sekarang sudah betul-betul percaya kepadatu, tidak ragu-ragu dan tidak curiga lagi?"

   Bi Hui menggelengkan kepalanya.

   "Tidak, dulu aku kurang pikir dan bodoh, Beng Han. Mengapa kau mengulangi hal ini? "

   "Karena aku akan memperlihatkan sesuatu yang mungkin akau mengejutkan dan mengheran"kan hatimu, enci Bi Hui. Lihatlah! apa kau me"ngenal ini? "

   Cepat ia mengambil pedang Kim-kong-kiam dari balik bajunya dan memperlihatkan pedang itu kepada Bi Hui.

   "Kim-kong-kiam....?" Bi Hui memandang ke arah pedang itu dongan mata terbelalak lebar, tangannya diulur hendak merampasnya.

   Beng Han menghela napas panjang, memberi"kan pedang itu ke tangan Bi Hui hingga gadis ini tak perlu merampasnya.

   "Bang Han, dari mana kau mendapatkan ini, Dulu pedang ini dipalsu orang, yang aselinya hilang dan kini....... tahu-tahu berada di tanganmu"

   Beng Han lagi-lagi tersenyum pahit.

   "Enci Bi Hui, ingatlah, kau tadi menyatakan sudah per"caya penuh kepadaku. Dan pula ketika peristiwa itu terjadi, usiaku baru delapan tahun."

   Wajah Bi Hui menjadi kemerahan, ketegang"an di mukanya mengendur dan ia berkata, suara"nya lemah perlahan,

   "Tidak, Beng Han, aku akan mengusir se"kuat tenaga segala perasaan curiga terhadapmu, aku tahu kau tidak berdosa, hanya aku bernasib malang. Akan tetapi sungguh sungguh aku ingin sekali tahu bagaimana pedang yang disangka hilang itu berada di tanganmu?"

   "Enci, kau baik sekali. Kukira tadinya kau akan marah-marah dan menuduhku mencari pedang. Terma kasih atas kepercayaanmu Ketahuilah bah"wa Kim-kong-kiam palsu itu adalah buatan........ mendiang suhu sendiri."

   Terbelalak mata Bi Hui yang jeli itu, ter"belalak kaget dan heran.

   "Apa kau bilang.....? Kong - kong sendiri yang memalsukan Kim kong kiam? Mengapa dan bagaimana.....7"

   "Enci, kau tentu masih ingat ketika kong kongku Koai Thian Cu datang berkunjung mem"bawa aku dan menyerahkan aku kepada suhu un"tuk diajar ilmu silat? "

   "Aku masih ingat, bukankah kong kongmu tukang gwamia itu? "

   "Itulah asal mulanya. Kong kong telah me"ramaikan bahwa Kim-kong-kiam akan mendatang"kan malapetaka pada keluarga Song. Setelah kong-kong pergi, suhu selalu merasa gelisah karena agaknya suhu percaya betul akan kepandaian kong-kong meramal. Maka diam-diam suhu lalu membuat Kim-kong-kiam palsu untuk diwariskan kepada anak cucunya. Tentu saja hal ini beliau lakukan sebagai cara menolak ramalan itu atau sebagai tumbal. Adapun pedang aselinya, yang di"khawatirkan akan mendatangkan malapetaka itu, oleh suhu disembunyikan di Kim-hud-tah, semua ini suhu ceritakan kepadaku, dengan pesan agar supaya kelak aku mengambil Kim-kong-kiam dan sedapat mungkin
(Lanjut ke Jilid 65 - Tamat)
Pedang Sinar Emas/Kim Kong Kiam (Serial Pedang Sinar Emas)
Karya : Asmaraman S. Kho Ping Hoo

   Jilid 65 (Tamat)
berusaha jangan sampai pedang itu menimbulkan malapetaka Demikianlah, enci, setelah aku meninggalkan Tit-le, aku pergi mencari pedang itu di Kim hud tah dan dengan pedang itu aku berlatih ilmu silat yang pernah kupelajari dari suhu."

   Bi Hui mengangguk-angguk.

   "Kong knng agaknya percaya penuh kepadamu daripada anak cucunya sendiri."

   Merah muka Beng Han. Memang agaknya demikianlah, akan tetapi ia cerdik dan dapat mencari alasan yang kiranya masuk di akal.

   "Agaknya itu adalah pengaruh dari ramalan kong-kong Koai Thian Cu, enci. Karena kong-kong meramalkan bahwa pedang Kim- kong-kiam akan mendatangkan malapetaka pada keluarga Song, tentu saja suhu tidak berani meninggalkan pedang itu kepada anak cucunya, sebaliknya menyerah"kan kepadaku. Akan tetapi seperti kau semua tahu malapetaka itu kiranya datang juga menimpa keluargamu, enci Bi Hui. Oleh karena itu, tak perlu menyingkirkan lagi pedang ini dan boleh kauambil kembali, karena pedang ini memang milikmu."

   "Ah, tidak! Kau yang menerima dari kong-kong, kausimpan sajalah," kata Bi Hui cepat-cepat sambil menyerahkan kembali pedang itu.

   "Akan tetapi itu hakmu, enci."

   Bi Hui tetap menggelengkan kepala dan memaksa Beng Han menerima pedang itu.

   "Apa kaukira aku tadi menyatakan kepercayaanku ke"padamu hanya pura-pura belaka? Kau lebih patut menerima warisan pedang ini, pula......... dengan adanya Kim-kongkiam, kau dapat menjaga diri lebih haik..... "

   Di dalam hatinya Bi Hui berkata bah"wa dia sendiri memiliki kepandaian tinggi maka tak perlu mengandalkan pedang pusaka, sebaliknya orang dengan kepandaian belum tinggi seperti Beng Han memang perlu bantuan pedang tajam dan ampuh seperti Kim kong- kiam.

   Beng Han tidak membantah dan menyimpan kembali Kim-kong- kiam, namun wajahnya memperlihat kan kegembiraan luar biasa. Ini tidak aneh karena ia sekarang yakin bahwa gadis ini betul-betul sudah percaya kepadanya dan tidak mempu"nyai pikiran ragu ragu atau curiga lagi.

   "Enci, marilah kita menyelidiki sarang Tnian-hwa-kauw, siapa tahu dari tempat itu kita akan dibawa kepada musuh-musuh besar kita "

   Pedang Sinar Emas Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   "Baiklah, aku sudah hampir putus harapan mencari jejak musuh-musuh besarku, sekarang bertemu dengan kau, timbul kembali harapanku."

   Sambil berkata demikian, sepasang mata gadis itu mena"tap wajah Beng Hau dengan penuh keper cayaan dan harapan sehingga muka pemuda itu menjadi merah.

   Berangkat dua orang muda itu untuk men"cari musuh besar mereka, yaitu pembunuh-pembu"nuh Song Tek Hong dan Ong Siang Cu ayah bunda Bi Hui. Di sepanjang jalan Bi Hui merasa bingung dengan penjelasan dan kepastian Beng Han bahwa pembunuh ayah bundanya adalah Liem Kong Hwat dan Cia Kui Lian.

   Rasa-rasanya tidak mungkin Liem Kong Hwat melakukan hal itu karena bukankah pemuda itu keponakan ayah bundanya? Akan tetapi kalau ia teringat kepada Kui Lian, wanita yang aneh dan berhawa silu"man itu, kalau ia teringat akan apa yang terjadi di taman bunga rumah bibinya, di mana Liem Kong Hwat mengadakan pertemuan hina dengan Cia Kui Lian, keraguannya lenyap dan ia mulai percaya kepada Beng Han. Kemarahannya, meluap dan ia ingin lekas-lekas bertemu muka dengan Cia Kui Lian dan Liem Kong Hwat, bekas kekasihnya yang kini menjadi musuh besarnya itu.

   Kalau ternyata betul Liem Kong Hwat dan Cia Kui Lian pembunuh ayah bundanya, dia akan memenggal kepalanya dan membelah dada mereka itu dengan tangannya sendiri.

   Siauw Yang dan Pun Hui tinggal dalam hotel terbaik di kota Kwan leng-si. Menurut ren"cana perurdingan para orang gagah, tiga hari lagi baru mereka berangkat mengantar Sin siang-to Bhok Coan menuju ke sarang Thian-bwa-kauw. Masih ada tiga hari lagi dan terpaksa suami isteri ini menanti di dalam hotel.

   Juga Thio Leng Li tinggal di hotel itu, lain kamar. Setiap hari kedua orang nyonya itu bercakap-cakap dan Siauw Yang merasa amat kasihan kepada Leng Li yang tidak saja kematian ayahnya, akan tetapi juga kematian suaminya dan dua orang anaknya entah ke mana perginya! Heran, di dunia ini banyak sekali orang menderita, dan melihat orang lain yang lebih hebat penderitaannya, merupakan obat penawar baik sekali untuk hati sendiri yang menderita.

   Oleh karena itu, Siauw Yang yang biasanya suka termenung dan bersedih memikirkan putera tunggalnya, kini malah menjadi tukang menghibur yang setiap hari berusaha menggembirakan hati Leng Li agar nyonya ini tidak terlalu tertekan hatinya!.

   Pada malam hari ke dua, menjelang tengah malam, ketika Siauw Yang dan suaminya sudah hampir pulas, tiba-tiba mereka mendengar suara gerakan kaki yang ringan di atas genteng kamar mereka. Siauw Yang menyentuh lengan suaminya memberi isyarat dan cepat ia menyambar pedangnya. Akan tetapi pada saat itu, dari atas genteng terdengar suara perlahan,

   "Ayah, ibu, Kong Hwat di sini.......! "

   Siauw Yang dan Pun Hui menjadi bengong dan untuk sesaat tidak dapat percaya akan pen"dengaran sendiri.

   "Apakah kau mendengar apa yang kude"ngar? " tanya Siauw Yang berbisik. Suaminya megangguk.

   " Ayah, ibu, anakmu menanti di sini. Harap keluar "

   Kini tak salah lagi. Itulah suara Kong Hwat Tangan Siauw Yang yang memegang lengan sua"minya menggigil Akan tetapi segera ia menarik suaminya dan keduanya cepat memakai sepatu dan tidak lupa menggantungkan pedang di ping"gang.

   Setelah itu keduanya melompat keluar jendela, Siauw Yang di depan karena kepandaian isteri ini lebih tinggi daripada suaminya Betapapun juga, yang di dengar tadi hanya suara Kong Hwat, belum kelihatan orangnya dan sebagai orang-orang yang sudah banyak pengalaman mereka tidak be"rani main sembrono Siapa tahu kalau-kalau suara itu hanya pancingan musuh yang berniat buruk.

   Ketika mereka sudah keluar hotel dan me"lompat ke atas genteng, di sana di atas genteng dan di bawah cahaya bulan, berdiri seorang pe"muda tinggi kurus. Siauw Yang dan Pun Hui me"nyandang dengan hati berdebar sambil melompat maju menghampiri.

   "Kong Hwat......!" seru Pun Hui, suaranya keren mengandung teguran.

   "Hwat-ji....!" seru Siauw Yang, suaranya tercampur isak tertahan dari keharuan hati.

   "Ayah, ibu, mari kita turun agar jangan membikin kaget tamu-tamu lain di hotel ini."

   Se"telah berkata demikian, tanpa menanti jawaban ayah bundanya, Kong Hwat melompat dan berlari menjauhi tempat itu.

   Sikap ini saja sudah terasa oleh Siauw Yang dan suaminya bahwa putera mereka itu agaknya sudah biasa memberi perintah yang tak harus di"bantahnya. Kemudian mereka mendapat kenyataan lain, yaitu bahwa ilmu ginkang dan lari cepat dari pemuda putera tunggal mereka itu telah menda"pat kemajuan yang hebat. Dengan girang Siauw Yang lalu mengejar.

   Hati ibu ini menduga baik, disangkanya bahwa selama ini puteranya tentu telah belajar ilmu siat lagi kepada orang pandai. Juga Pun Hui melompat dan mengejar.

   Setelah Siauw Yang dan Pun Hai melompat turun dan berada di tempat sunyi, Kong Hwat lalu menjatuhkan diri berlutut di depan mereka.

   "Ayah.......! Ibu.......!" kata pemuda itu, su"aranya agak gemetar.

   "Kong Hwat, selama ini kau minggat ke mana saja? Anak tidak berbakti, kau sudah mem"bikin susah bukan main kepada orang tuamu!" kata Pun Hui dengan nada suara marah.

   "Hwat ji, kenapa begini kurus? Apakah kau banyak menderita?" tanya Siauw Yang. "Apa saja yang kau alami selama ini?"

   "Terlalu panjang untuk diceritakan di sini, ayah dan ibu. Marilah, anak persilahkan ayah dan ibu ikut ke tempat tinggalku, di sana nanti kita bercakap-cakap."

   Selelah berkata demikian, kem"bali tanpa menanti jawaban atau putusan ayah bundanya, Kong Hwat bangun berdiri dan lari cepat ke arah utara.

   Siauw Yaag bertukar pandang dengan suami"nya akan tetapi mereka tidak mempunyai banyak waktu untuk berheran, lalu cepat mengikuti Kong Hwat. Agaknya pemuda ini masih ingat bahwa kepandaian ayahnya tidak begitu tinggi maka ia tidak mengerahkan seluruh kepandaiannya berlari cepat.

   Kalau ibunya tentu saja tidak akan kalah dalam bal ilmu berlari cepat olehnya, karena ibu"nya mewarisi ilmu ginkang yang bebat dari nenek"nya, yaita Can Sian Hwa isteri Thian-te Kim-ong.

   Mereka bertiga berlari cepat tanpa bercakap-cakap. Kong Hwat di depan didampingi ibunya. Pun Hui di belakang. Berkali-kali Siauw Yang me"nengok dan mengamat-amati wajah puteranya dan memancing-mancing bicara.

   Akan tetapi Kong Hwat seperti gagu, mukanya yang kurus meman"dang lurus ke depan dan seakan-akan seluruh per"hatiannya dicurahkan kepada kedua kakinya yang berlari cepat.

   Ternyata kemudian bahwa mereka berlari cepat sampai setengah malam lamanya.

   Setelah pagi dan sinar bulan lenyap dikalahkan oleh caha"ya matahari yang kemerahan, mereka telah tiba di kaki sebuah gunung yang tidak begitu besar namun penuh dengan hutan. Tanpa berkata-kata Kong Hwat lari terus membawa dua orang tua"nya ke dalam sebuah hutan yang penuh dengan pohon-pohon besar sekali.

   Tiba - tiba dari dalam pohon itu terdengar suara harimau mengaum sa"ling sahut, seakan - akan hutan ini penuh dengan harimau-harimau yang ganas.

   Berdiri bulu tengkuk Siauw Yang ketika ia mendengar suara harimau - harimau ini. Teringat ia akan penuturan Sin-siang-to Bhok Coan tentang sebuah hutan yang bernama Koai-bouw-lim (Hutan Macan Siluman) yang berada di kaki Gunung Siu"lan.

   Menurut Sin-siang--to Bhok Coan, tempat itulah sarang perkumpulan Thian - hwa-kauw ke mana Bhok Coan diperintahkan menghadap kauwcu dari perkumpulan itu! Jangan jangan Kong Hwat pu"teranya itu telah......?? Siauw Yang merasa ngeri dan tiba-tiba ia memegang lengan puteranya itu, memaksanya berhenti untuk ditanya.

   Akan tetapi, berbareng dengan berhentinya Kong Hwat, dari tempat tempat yang tidak di"ketahui jelas karena mereka itu seperti tiba-tiba saja muncul, tahu-tahu di kanan kiri jalan telah berdiri puluhan orang pemuda pemudi yang ber"pakaian rapih dan indah, semua can tik cantik dan tampan-tampan, berdiri berbaris di kanan kiri jalan.

   Pakaian mereka dari sutera putih bersih amat tipis sehingga bentuk tubuh mereka memba"yang nyata, bentuk-bentuk tubuh orang orang muda yang indah. Di tangan mereka nam pak bunga-bunga teratai beraneka warna dan begitu mereka muncul, tercium bau harum semerbak yang aneh, sedap dan wangi, namun merangsang sehingga Sauw Yang hampir-hampir berbangkis.

   Kemudian mereka itu menggerakkan tangan kanan dan berhamburanlah daun daun bunga beraneka warna yang harum, menghujani Kong Hwat dan dua orang tuanya. Tangan kiri mereka tetap memegang kembang-kembang teratai.

   "SELAMAT datang Liem loya, twa hujin, dan twa kongcu!" gadis gadis cantik itu berkali kali menyambut dengan kata kata merdu dan wajah berseri seri.

   Terutama sekali lirikan mata para gadis ini kalau ditujukan ke arah Kong Hwat, maka nampak sinar aneh yang membkin hati Siauw Yang berdebar.

   Sekarang mata gadis gadis ini demikian liar dan genit, sungguh tidak sesuai dengan wajah mereka yang cantik lembut dan gerak gerik mereka yang halus.

   "Kong Hwat, kita berada di manakah??!" tanya Siauw Yang hampir berteriak, dan muka nyonya ini berobah pucat, juga Pun Hui memandang wajah putranya dengan tangan terkepal. Kini baru kelihatan olehnya betapa muka puteranya itu kini menjadi pucat dan sepasang matanya kehilangan sinarnya yang dahulu, sebaliknya terganti oleh sinar yang kejam.

   "Ini tempat tinggalku, ibu. Marilah, mari kita ke pondok dan di sana kita bicara panjang lebar. Mari ayah dan ibu kuperkenalkan dengan anak mantumu...."

   "Anak mantu....? Kong Hwat, kau.... kau...."

   Siauw Yang berkata gagap, dua titik air mata keluar dan meloncat di atas pipinya. Akan tetapi Kong Hwat tidak berkata apa apa lagi, melainkan menggandeng tangan ibunya dan diajaknya nyonya itu berjalan terus.

   Pun Hui dengan hati berdebar tidak enak mengikuti dari belakang.Siauw Yang juga tidak mengeluarkan suara lagi karena di kanan kiri mereka terdapat begitu banyak orang, sungguh tidak enak kalau harus ribut ribut di sini. Nanti saja, pikirnya, akan kumaki habis habis bocah ini!

   Tak lama kemudian mereka bertiga, diikuti oleh puluhan orang muda muda yang cantik dan tampan itu, tiba di depan sebuah gedung besar yang amat indah. Benar benar amat mengherankan kalau melihat gedung sepeti itu berada di tengah hutan. Gedung seperti istana ini pantasnya hanya berada di kota raja, menjadi tempat kediaman pangeran pangeran.

   
Di depan istana itu mereka disambut oleh tujuh orang kakek dan nenek tua yang membuat suami isteri ini terkejut sekali. Seorang di antara mereka itu bukan lain adalah Hek tok kwi yang pernah memimpin rombongan siuli dan siulam menyerbu Siang to Bhok Coan.

   Yang mengejutkan hati Siauw Yang dan Pun Hui adalah keadaan tubuh dan air muka orang ini. Mereka itu rata rata sudah tua sekali dan muka mereka buruk buruk menakutkan.

   Inilah mereka tujuh orang iblis yang biarpun hanya menjadi pelayan pelayan di Thian hwa kauw, namun mereka merupakan tokoh tokoh yang paling ditakuti. Hek tok kwi sudah diketahui kelihaiannya, dan enam orang lain juga terdiri dari orang orang tua yang tinggi ilmu kepandaiannya.

   Mereka adalah lima orang kakek dan dua orang nenek.

   Disamping Hek tok kwi adalah See thian mo (Iblis Dunia Barat), Thung thian mo (Iblis Dunia Timur), Pak thian mo (Iblis Dunia Utara), dan Lam thian mo (Iblis Dunia Selatan). Adapun dua orang nenek adalah Tok ciang Kui bo (Biang Iblis Bertangan Racun) dan Tok sim Kui bo (Biang Iblis Hati Beracun).

   Biarpun mereka ini hanya pelayan pelayan dari Kauwcu (Ketua agama), namun dalam setiap gerakan, rombongan atau barisan siuli siulam selalu dikepalai oleh seorang di antara yang tujuh ini.

   Tujuh orang tua ini menyambut kedatangan Liem Kong Hwat dengan penuh penghormatan, menjura dan hampir berbareng dari mulut mereka keluar kata kata sambutan.

   "Selamat datang twa kongcu dan ayah bunda nya yang mulia. Kauwcu sudah menanti sejak tadi. Silahkan masuk,silahkan masuk...."

   Kini rombongan siuli dan siulam yang tadi menyambut, telah berpencar dan berdiri di kanan kiri dengan tegak sementara tujuh orang kakek dan nenek ini menggantikan mereka mengiringkan Siauw Yang, Pun Hui dan Kong Hwat terus memasuki gedung yang seperti istana itu.

   Siauw Yang makin tidak enak hati, juga di kening Pun Hui timbul kerut merut karena dia sudah merasa mendongkol sekali, ingin ayah bunda ini menegur dan menyerang putera mereka dengan kata kata dan pertanyaan, namun keadaan di situ membuat mereka menahan diri, bahkan ingin melihat sampai di mana perkembangan keadaan, ingin pula mereka melihat bagaimana macamnya dia yang disebut isteri oleh Kong Hwat.

   Mereka memasuki sebuah ruangan yang amat indah hiasannya dan begitu mereka masuk ruangan ini, Siauw Yang dan Pun Hui disambut asap kemerahan yang kecerahan yang berbau harum sekali.

   Ternyata asap ini keluar dari pedupaan yang dipasang di tengah ruangan,pedupaan yang terukir amat indah dan yang rupanya sengaja ditaruh di situ untuk membuat kamar ini selalu berbau harum. Setelah mereka dapat membiasakan mata terhadap asap tipis itu, tampaklah seorang wanita muda yang cantik sekali duduk di atas sebuah kursi berukir naga.

   Pakaian wanita itu serba putih, tipis sekali membayangkan bentuk tubuh yang menggairahkan. Juga potongan pakaian itu amat tidak sopan, serba pendek dan kurang. Yang amat menjemukan hati Siauw Yang dan Pun Hui, wanita itu tanpa malu malu dan tidak perduli sedang diapit oleh dua orang aki laki muda yang tampan, kedua lengannya yang seperi ular itu merangkul leher dua orang pemuda itu!

   "Aha, gakhu dan gakbo (ayah dan ibu mertua) selamat datang. Silahkan duduk," kata wanita itu dengan suara merdu dan genit, tanpa melepaskan pelukannya pada dua orang laki laki muda yang nampak sungkan sungkan karena ada tamu datang.

   Begitu mendapat kenyataan bahwa wanita itu bukan lain adalah Cia Kui Lian, meluaplah darah Siauw Yang. Ia merasa mendapat tamparan keras ketika mendengar wanita itu menyebut dia dan suaminya mertua! Seperti seekor singa betina Siauw Yang memutar tubuh menghadapi puteranya dengan mata bernyala.

   "Kong Hwat.... Apa yang telah kau lakukan....?!?!?"

   Muka Kong Hwat sebentar pucat sebentar merah.

   Ingatannya yang sudah mulai suram karena pengaruh ilmu hitam dari Kui Lian, kini membuyar ketika ia berhadapan dengan ayah bundanya. Namun, suasana kotor dan hidupnya yang mengabdi nafsu semata, membuat batinnya lemah dan semangatnya tipis.

   "Ibu, dia.... dia itu Thian hwa kauwcu, dia.... isteriku...." jawabnya sambil menundukkan muka.

   "Plak.....!"

   Kong Hwat terhuyung ke belakang sambil meraba pipinya yang kena tamparan ayahnya.

   "Jahanam rendah memalukan orang tua!" maki Liem Pun Hui.

   Tamparannya tadi ia lakukan dengan sepenuh tenaga, akan tetapi oleh karena memang kepandaiannya tidak begitu tinggi, tamparan itu hanya membuat puteranya terhuyung huyung saja.

   "Anak puthauw lebih baik mampus!"

   Siauw Yang membentak marah dan pedangnya menyambar ke arah dada Kong Hwat dengan tusukan maut! Ibu ini sudah sedemikian marah dan malunya sehingga ia menjadi mata gelap dan lebih baik melihat anak mati di tangan sendiri daripada melihat anak hidup mencemarkan nama keturunan.

   Akan tetapi ilmu kepandaian Kong Hwat sudah meningkat banyak daripada dahulu. Menghadapi serangan maut yang berbahaya ini ia masih sempat membuang diri ke samping sehingga bukan dadanya yang tertembus pedang, melainkan pundaknya. Bajunya robek dan daging pundaknya terluka mengeluarkan banyak darah. Siauw Yang masih mengejarnya dengan serangan selanjutnya.

   "Tangkap mereka!"

   Tiba tiba Cia Kui Lian menjerit, menudingkan telunjuknya ke arah Siauw Yang dan Pan Hui, matanya mendelik penuh kemarahan.

   Tujuh orang tua buruk rupa yang tadinya berdiri diam saja seperti patung, tiba tiba bergerak maju, berbareng menubruk Siauw Yang dan Pun Hui. Kepandaian mereka sudah tinggi maka sebentar saja Pun Hui sudah kena diringkus dan dibikin tak berdaya.

   Akan tetapi tidak demikian dengan Siauw Yang. Nyonya yang gagah perkasa ini mengerjakan pedangnya sedemikan lihai dan ganas sehingga berturut turut See thian mo dan Lam thian mo roboh mandi darah. Lima orang tua yang lain menjadi terkejut dan berhati hati, maklum mereka menghadapi seorang nyonya yang tinggi sekali ilmu pedangnya.

   Tidak percuma Siauw Yang menjadi puteri Thian te Kiam ong. Ilmu pedangnya hebat sekali. Biarpun kini ia dikeroyok oleh lima orang yang lihai, tetap saja ia dapat mendesak mereka. Karena ia sedang marah, kelihaian Siauw Yang menjadi berlipat, pedangnya berkelebat ganas sekali.

   Lima orang tua itu menjadi makin bingung. Kalau saja mereka dapat perintah "membunuh", kiranya mereka akan lebih cepat berhasill, akan tetapi bunyi perintah kauwcu mereka bukan membunuh melainkan menangkap. Inilah yang sukar.

   Tadinya lima orang ini merasa malu kalau harus mempergunakan racun. Masa lima orang, bahkan tadinya tujuh, tokoh tokoh besar Thian hwa kauw menghadapi seorang lawan saja harus mempergunakan racun racun.

   Akan tetapi, ketika kembali seorang diantara mereka, Tung thian mo, roboh dengan pundak terbabat, terpaksa Hek tok kwi bertindak. Ia berseru keras, kembang teratai biru menyambar ke dekat muka Siauw Yang, uap putih mengebul dan nyonya yang gagah itu menjadi limbung.

   Di lain saat Hek tok kwi sudah berhasil menotoknya dan Siauw Yang menjadi lemas, tak berdaya lagi ketika dibelenggu

   "Siluman siluman Thian hwa kauw tak tahu malu!"

   Tiba tiba terdengar bentakan keras dan seorang laki laki tinggi besar yang gagah sekali. Bentuk badan dan sikapnya, melompat keluar dari sebuah pintu. Tangannya memegang sebuah rantai besi yang panjang dan ia memutar mutar rantai ini, mengamuk di ruangan yang indah itu. Tujuannya adalah menyerang Cia Kui Lian, maka ia menubruk maju sambil mengirim serangan.

   "Eh, bagaimana kuda ini bisa terlepas? Tangkap dia!" bentak Kui Lian sambil melompat mundur dari tempat duduknya yang kini mewakilnya menerima pukulan rantai. Sebagian dari kursi indah itu menjadi patah.

   Empat orang iblis tua Thian hwa kauw yang sudah berhasil menawan Siauw Yang, kini serentak menghadapi pemuda itu dan ternyata kepandaian pemuda itu masih jauh untuk dapat mengatasi kelihaian tokoh tokoh Thian hwa kauw ini. Sebentar saja ia telah ditawan dan dikat erat erat dengan rantai besi yang dipergunakannya
mengamuk tadi.

   "Bagaimana dia bisa terlepas?" kembali Thian hwa Kauwcu membentak marah.

   Dari pintu di mana pemuda tadi muncul, kini muncul seorang pemuda tampan, yaitu seorang siulam yang menyeret rambut seorang siuli.

   Siuli ini masih muda dan manis sekali, rambutnya awut awutan karena di tarik oleh siulam itu. Dengan kasar siulam itu mendorongnya berlutut di depan kauwcu.

   "Dia inilah yang melepaskan!" kata siulam itu melapor.

   Sepasang mata Kui Lian berpancar marah.

   "Mengapa kau melepaskan ikatannya?" bentaknya.

   Siuli itu menundukkan mukanya yang menjadi pucat sekali.

   "Hamba.... hamba kagum akan kegagahannya..... hamba.... hamba bertugas menjaga dan.... dan tadinya hamba ingin membujuknya, merayunya... celaka, dia menipu hamba, setelah terlepas dia lalu memberontak...."

   "Keparat, dia itu untuk aku, bukan untukmu! Kau telah berdosa besar di depan kauwcumu, hayo lekas menebus dosa!" kata Kui Lian.

   Siuli itu mengeluarkan tangis tertahan, memandang ke kanan kiri seperti seekor kelinci terjepit, kemudaan mencabut kembang teratai merah yang terselip di kancing bajunya dan menyedotnya keras keras. Ia mengeluh, terhuyung dan roboh, sebelum mati terdengar ia menyebut ayah bundanya.

   Kui Lian nampak mendongkol sekali dengan adanya gangguan gangguan ini.

   "Bawa pergi bangkai ini! Masukkan tiga orang itu ke dalam tahanan, jaga jangan sampai terlepas!"

   Ketika itu, pemuda tadi sudah siuman kembali dan mulai berteriak teriak,

   "Kauwcu siluman! Kau pura pura menjadi kauwcu, siapa tidak tahu bahwa kau sebenarnya seorang pelacur kawakan yang hina dina? Jangan harap aku Kwan Siang Hong seorang laki laki sejati sudi tunduk kepadamu.Hah! Lebih baik mampus! Anjng buduk sekalipun tidak sudi padamu, apalagi aku. Tak tahu malu....!"

   Pemuda ini tentu akan memaki maki terus lebih hebat lagi sambil mendelik ke arah Cia Kui Lian kalau saja ia tidak ditotok pingsan lagi oleh Hek tok kwi dan diseret pergi bersama Siauw Yang dan Pun Hui yang memandang kepada pemuda itu dengan kagum.

   Kini mereka tahu bahwa pemuda itu bukan lain adalah putera Leng Li yang sedang dicari cari ibunya tidak tahunya juga tertawan di sini. Dari keadaan pemuda itu maklumlah Siauw Yang dan suaminya bahwa agaknya Kui Lian suka kepada pemuda ini dan hendak menjadikan pemuda itu seorang siulam dan menjadi kekasihnya, akan tetapi cucu Sin tung Lo kai ini menolak mati matian!

   Memang demikianlah. Pemuda ini benar benar luar biasa sekali. Biarpun sudah beberapa kali ia di loloh racun yang mendatangkan rangsang nafsu dalam dirinya, ia tetap kuat dan teguh mempertahankan kegagahannya, tetap ia menolak bujukan Kui Lian dan setiap kali mendapat kesempatan, ia tentu memberontak dan mengamuk.

   Sementara itu, ketika Kong Hwat melihat ayah bundanya diseret ke kamar tahanan, timbul kebaktiannya. Ia melompat dan mendorong Hek tok kwi, untuk menolong dan melepaskan ayah bundanya.

   "Hwat ko....!"

   Bentakan halus yang keluar dari mulut Kui Lian ini luar biasa sekali pengaruhnya terhadap Kong Hwat. Tersentak pemuda ini menarik kembali tangannya, hanya berdiri memandang ayah bundanya yang terus diseret pergi.

   "Hwat koko, kesinilah.......!" kembali Kui Lian berkata,suaranya merdu, akan tetapi penuh perintah nadanya. Kong Hwat membalikkan tubuhnya perlahan menghadapi Kui Lian, kedua matanya merah dan basah, mukanya berkerut nampak tua, akan tetapi begitu ia bertemu pandang dengan Kui Lian, ia melangkah maju sampai di depan wanita itu.
Kui Lian sudah duduk kembali dengan lembut dan senyum manis memegang tangan Kong Hwat, menariknya sehingga pemuda itu jatuh berlutut di dekatnya. Ketika kauwcu itu membelai rambutnya, Kong Hwat mengeluarkan isak tertahan dan menjatuhkan mukanya di atas pangkuan Cia Kui Lian, lalu ia menangis!

   0oodwoo0

   Pada keesokan harinya, serombongan orang gagah mengiringkan Sin siang to Bhok Coan mengun jungi sarang Thian hwa kauw. Jauh di luar hutan mereka ini telah disambut oleh sebaris siulam siuli yang dikepalai oleh tujuh orang kakek aneh. Ternyata bahwa tiga orang kakek yang terluka oleh pedang Song Siauw Yang, kini telah sembuh kembali.

   "Hanya Sin Siang to Bhok Coan yang diperbolehkan masuk menghadap kauwcu, yang lain harus menanti di luar hutan!" kata Hek tok kwi dengan suara keren.

   Mendengar ini, tentu saja Sin siang to Bhok Coan menjadi mengkeret dan ketakutan. Akan tetapi ia mengangkat dada dan menjawab,

   "Sahabat sahabatku ini harus ikut karena merekapun ingin bertemu dengan Thian hwa kauwcu."

   Sementara itu,para orang gagah yang berada di situ merasa ngeri menghadapi tujuh orang nenek dan kakek yang wajahnya betul betul menyeramkan itu. Diam dam mereka bersiap siap karena maklum bahwa mereka menghadap lawan yang gagah.

   "Tidak bisa. Kauwcu tidak sempat melayni segala orang," jawab Hek tok kwi dan kata katanya ini agaknya merupakan tanda, buktinya kawan kawannya mengatur barisan dan para siuli dan siulam yang duapuluh empat orang itu maju mendekat.
Tiba tiba para tokoh itu mengenal anak murid masing masing. Di antara para siuli dan siulam itu terdapat murid murid Kun lun pai, Siauw lim pai Kim lian pai dan Go bi pai.

   Pak Kong Hosiang dari Siauw lim pai tak dapat menahan sabar lagi melihat dua orang pemuda yang gagah, kini menjadi siulam dan memandang kepadanya seakan akan tidak kenal.

   Padahal dua orang pemuda itu masih terhitung murid keponakannya sendiri. Ia segera memutar toyanya dan melompat ke arah dua orang muda itu sambil membentak.

   "Murid murtad, hayo berlutut dan menyerah!"

   Akan tetapi toyanya yang diayun cepat itu bertemu dengan tongkat butut di tangan See thian mo, seorang di antara tujuh tokoh Thian hwa kauw itu keduanya tergetar tangannya dan melompat mundur.

   "Pak Kong Hosiang, benar benar memalukan sekali seorang hwesio tokoh Siauw lim pai datang datang berlaku kasar. Mana ada tamu macam ini?"

   Hek tok kwi menyindir. Hwesio itu diam diam memuji Thian hwa kauw yang ternyata sudah mengenalnya, tanda bahwa kaki tangan Thian hwa kauw sudah tersebar dan kedatangannya sudah diketahui lebih dulu.

   "Panggil kauwcumu keluar, kami mau bicara. Kalau kalian tidak mau, terpaksa pinceag dan kawan kawan menyerbu ke dalam hutan," kata Pak Kong Hosiang,toyanya melintang di depan dada.

   
Pedang Sinar Emas Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
Pada saat iu tiba tiba dari dalam hutan muncul wanita cantik.

   "Kuda liar! Kau benar besar tidak mengerti cinta kasih orang, apakah kau ingin mampus saja?" terdengar wanita itu membentak sambil mengejar cepat.
"Perempuan lacur! Lebih baik aku mati seribu kali lebih dulu!" jawab laki laki itu yang melihat pengejarnya sudah dekat, tiba tiba membalikkan tubuh dan memukul sekerasnya.

   Akan tetapi dengan mudah wanita itu menyambut tangannya dan sekali totok pemuda tinggi besar itu menjadi lumpuh dan di lain saat ia telah dipanggul oleh wanita itu.

   "Sian Hong....! Lepaskan anakku....!"

   Tiba tiba Leng Li melompat ke dekat wanita itu dan mencoba untuk merampas. Memang pemuda itu bukan lain adalah Kwan Sian Hong yang kembali telah berhasil melarikan diri, kini dikejar kejar oleh Cia Kui Lian sendiri.

   Akan tetapi serangan Leng Li ini di tangkis oleh Kui Lian dengan mudah mempergunakan pedangnya, kemudian sekali melompat Kui Lian sudah berada di tengah rombongannya.

   "Robohkan mereka semua!" perintahnya.

   Sementara itu,melihat Leng Li sudah bergerak, dan melihat nona cantik ini muncul, para orang gagah dapat menduga bahwa tentu inilah kauwcu dari Thian hwa kauw. Serentak mereka mencabut senjata Thian Ci Cu tokoh Kun lun pai mengeluarkan pedang pasangan, Pak Kong Hosiang tokoh Kim lian pai mengeluarkan senjata pian lemas atau joan pian yang panjang.

   Thian Beng Hwesio tokoh Go bi pai membuka kipasnya Ngo heng san, Thio Leng Li sendri yang berjuluk Bi sin tung menggerakkan tongkat merahnya.

   Selain ini masih ada lima orang tokoh kang ouw yang tidak begitu terkenal turut menyerbu.

   Pertempuran hebat terjadi di luar hutan itu antara para orang gagah melawan Thian hwa kauw. Yang amat menggemaskan tokoh tokoh itu adalah ketika mereka melihat betapa anak anak murid mereka yang kini sudah menjadi siulam dan siuli dari Thian hwa kauw, kini bergerak dan melawan para guru sendiri. Hiruk pikuk suara senjata tajam beradu, dibarengi teriakan dan makian, di susul pekik kesakitan dan robohnya korban.

   Pertenpuran ini tentu takkan ramai kalau saja keduanya mempergunakan ilmu silat biasa karena mana bisa orang orang Thian hwa kauw melawan para tokoh kang ouw itu dalam ilmu silat? Di antara para tokoh Thian hwa kauw, yang ilmu silatnya tinggi hanyalah tujuh orang nenek dan kakek itu, juga Kui Lian sendiri, akan tetapi pada saat itu Kui Lian belum mau turun tangan sedangkan para siuli dan siulam memang berkepandaian ilmu silat tidak tinggi.

   Akan tetapi, pihak Thian hwa kauw amat lihai dalam penggunaan senjata senjata rahasia yang beracun, yang sudah terkenal amat sukar dilawan. Sekali saja hidung menyedot hawa beracun dari bunga bunga teratai yang mereka pergunakan sebagai senjata, orangnyapun akan roboh pingsan.

   "Kurang ajar. Lepaskan asap ngo tok (lima racun)!" terdengar perintah Thian hwa Kauwcu mangatasi suatu hiruk pikuk pertempuran.

   Ia mengeluarkan perintah ini setelah melihat betapa para penyerbu itu rata rata berkepandaian tinggi dan banyak anak buahnya yang roboh terluka. Mendengar perintah ini tujuh orang tua itu mengatur barisannya dan sebentar saja Leng Li dan kawan kawannya terkurung dan tiba tiba terdengar letusan letusan hebat. Segala galanya menjadi gelap dan tercium bau busuk menyengat hidung ketika asap beraneka warna bergulung gulung dari benda yang dibanting meledak tadi.

   Orang orang gagah barusaha keluar dari kepungan sambil menahan napas agar mulut atau hidungnya jangan menyedot asap beracun itu. Akan tetapi Hek tok kwi dan kawan kawannya tidak tinggal diam.Mereka menyerbu dan menyerang setiap orang yang hendak keluar dari kepungan dengan senjata atau senjata rahasia mereka.

   Kembali beberapa orang gagah roboh.
Leng Li yang tahu bahwa keadaannya dan kawan kawannya berbahaya menjadi nekad. Sambil memutar tongkatnya ia melompat keluar kepungan menuju ke tempat Thian hwa Kauwcu, ia diserang oleh dua orang siuli, akan tetapi tongkat merahnya dengan mudah merobohkan dua orang ini. Selagi ia mencari di mana adanya ketua Thian hwa kauw, tiba tiba ia diserang oleh Hek tok kwi dengan teratai biru yang amat lihai.

   Leng Li berusaha mengelak, dan biarpun ia dapat meluputkan diri dari serangan itu, namun hawa beracun dari kembang itu sudah menyambar ke hidungnya, membuat nyonya ini mengeluh dan terhuyung huyung, sebuah totokan dari Hek tok kwi membutnya terjungkal.

   Dalam waktu yang tidak terlalu lama, orang orang gagah itu seorang demi seorang kena dirobohkan, kalau tidak terluka oleh senjata, roboh karena asap beracun yang jahat itu! Melengkinglah suara ketawa Cia Kui Lian, mengejek musuh musuhnya yang tak berdaya, ia melompat datang sambil memanggul tubuh Kwan Sian Hong pemuda gagah yang amat disayangnya itu, mendekati Sin siang to Bhok Coan dan sekali kebutannya bergerak, Bhok Coan yang sudah pingsan itu berkelojotan sebentar lalu diam, mati!

   "Inilah anjing yang menjadi biang keladinya."

   Thian hwa Kauwcu bersungut sungut sambil mendupak mayat orang she Bhok yang sial itu.

   "Siluman wanita, lepaskan aku dan mari kita bertanding seribu jurus!"

   Tiba tiba Kwan San Hong yang sudah siuman lagi itu meronta ronta dalam pondongan Kui Lian.

   "Kau lepaskan ibuku itu!"

   Kui Lian tertawa dan mencubit pipi pemuda itu,

   "Sian Hong, tentu saja aku akan membebaskan ibumu asal saja kau berjanji takkan nakal lagi dan tidak akan lari lagi. Selanjutnya kau akan kuangkat menjadi twa kongcu."
"Anjing betina. Siapa sudi mendengar omonganmu? Dosamu sudah bertumpuk tumpuk, sakit hatiku kepadamu sudah ssbesar gunung. Kau sudah membunuh paman Song Tek Hong dan isterinya, sehingga adik Bi Hui menjadi terlunta lunta. Tidak itu saja, kau bahkan membunuh pula kong kong Sin tung Lo kai. Dosa besar seperti itu mana aku Kwan Sian Hong mau habiskan begitu saja? Kau atau aku harus mampus!"

   Wajah cantik manis yang tadi nya tersenyum senyum itu tiba tiba menjadi bengis.

   "Sian Hong, kau benar benar tidak tahu di cinta! Memang mereka itu mati di tanganku, akan tetapi siapa suruh mereka menentangku? Kau mau mampus menyusul mereka! Akan tetapi aku masih menghendaki kau hidup."

   Pada saat itu, tiba tiba berkelebat bayangan putih dan terdengar bentakan keras,

   "Cia Kui Lian, akhirnya aku dapat berhadapan muka dengan pembunuh ayah bundaku! Bersiaplah kau membayar hutang nyawa!"

   Bentakan ini disusul oleh serangan pedang yang luar biasa dahsyat dan cepatnya, pedang yang menyambar ke arah Kui Lian dengan tusukan ke lehernya.

   "Ayaaa....!"

   Kui Lian terkejut bukan main.Tusukan ini luar biasa sekali cepatnya sehingga ia tidak sampai melihat siapa gerangan orang yang menyerangnya.

   Cepat ia melepaskan tubuh Sian Hong dari pondongan dan membanting tubuhnya ke belakang, sementara itu Hek tok kwi dan kawan kawannya sudah melompat maju untuk menghadapi penyerang yang lihai ini.

   Ketika Cia Kui Lian melompat bangun kembali dan melihat siapa orang tadi. Ia terkejut sekali. Akan tetapi ia tenangkan hatinya dan tersenyum sambil menegur orang orangnya supaya mundur.

   "Eh, eh, kiranya kau, Hui moi...?" Bi Hui mencibir.

   " Cih, tak tahu malu! Masih hendak berpalsu muka di depanku, he? Cha Kui Lian manusia hina, kau sudah membunuh ayah bundaku bersama manusia berhati binatang Liem Kong Hwat itu. Di mana dia sekarang? Suruh dia muncul biar aku dapat membunuh kalian untuk membalas dendam orang tuaku!"

   Mata Kui Lian melihat seorang pemuda yang tadi datang bersama Bi Hui, hanya agak terlambat. Melihat pemuda ini, diapun kaget, tapi dapat pula menenangkan hatinya, lalu tersenyum mengejek lagi.

   "Aha, jadi kau datang bersama bocah ingusan itu? Ha,bukankah dia yang dulu membunuh ayah bundamu?" katanya.

   BengHan, pemuda itu, mendongkol sekali.

   "Kau jahat sekali," katanya perlahan. "Sudah membunuh orang, mengapa hendak menimpakan tanggung jawab ke pundakku? Apa sih kesalahanku kepadanu maka kau memfitnahku?"

   Akan tetapi Cia Kui Lian tidak memperdulikannya.

   Diam diam kauwcu ini memberi tanda kepada orang orangnya dan serentak semua anak buahnya dipimpin oleh tujuh orang tokoh besar Thian hwa kauw, bersiap dan membentuk barisan yang seperti seekor kelabang besar.

   Para siuli dan siulam masih ada duapuluh orang lebih yang tidak terluka, ditambah tujuh orang kakek nenek itu keadaan Thian hwa kauw benar benar masih kuat.

   Bi Hui melirik ke sekelilingnya. Orang orang gagah menggeletak di sana sini, ada yang terluka berat, ada yang pingsan dan ada pula yang sudah tewas.

   Di ujung sana kelihatan Sian Hong berlutut di dekat ibunya yang roboh oleh Hek tok kwi. Ia maklum bahwa betapapun juga,keadaan lawan amat kuat.

   Sekian banyaknya tokoh kang ouw masih roboh semua, apakah dia seorang diri, hanya di bantu oleh Beng Han, akan dapat melawan Kui Lian dan anak buahnya? Akan tetapi ia tidak boleh mundur, sekalipun harus bertaruh nyawa.

   "Kui Lian," katanya menyindir, "apakah kau hendak mengeroyokku dengan semua kaki tanganmu ini?"

   Kui Lian maklum bahwa seorang diri, amat berbahaya menghadapi Bi Hui yang agaknya sudah memiliki kepandaian amat tinggi, terbukti dari serangannya pertama tadi. Juga ia tahu apabila ia melakukan pengeroyokan, tentu pihaknya menang, akan tetapi tak dapat disangsikan lagi, tentu para siuli dan siulamnya banyak yang menjadi korban dan hal ini ia tidak suka.

   "Song Bi Hui, kau membuka mulut besar seakan akan kau sudah pasti dapat memenangkan kami. Akupun ingin sekali melihat sampai di mana sih kepandaianmu maka kau bersikap begini sombong. Kalau kau bisa mengundurkan tujuh orang pelayanku ini, baru aku mengaku akan kelihaianmu." ia memberi tanda dan Hek tok kwi bersama enam orang kawannya melompat maju menghadapi Bi Hui.

   Melihat keadaan tujuh orang ini, diam diam Bi Hui terkejut dan ngeri. Mereka memang pantas menjadi penghuni neraka, begitu menyeramkan. Akan tetapi ia tidak takut, sambil melintangkan pedangnya ia berkata.

   

Pemberontakan Taipeng Eps 17 Pedang Naga Kemala Eps 38 Pedang Naga Kemala Eps 9

Cari Blog Ini