Pemberontakan Taipeng 17
Pemberontakan Taipeng Karya Kho Ping Hoo Bagian 17
"Akan tetapi kau dimusuhi mereka?"
"Benar, karena aku disangka mata-mata Tai Peng."
"Dan kami adalah tokoh-tokoh pimpinan pasukan Tai Peng. Kenapa engkau yang kami tolong malah tidak mau membantu kami?" kini Seng-jin Sin-touw mencela. Han Le memandang orang tinggi besar itu penuh perhatian beberapa saat lamanya sebelum dia menjawab.
"Kalian bukan menolongku. Kalian adalah orang-orang Tai Peng dan tentu saja kalian memusuhi mereka yang menentang Tai Peng. Akan tetapi aku? Aku mereka serang karena mereka menyangka aku seorang mata-mata Tai Peng. Padahal aku bukan mata-mata Tai Peng. Kalau sudah jelas kedudukanku di Tai Peng, tanpa diminta lagi tentu tadi aku sudah membasmi mereka!" Tiat-Pi Kim-Wan dan Seng-jin Sin-touw saling pandang. Orang muda ini lihai, hal itu dapat mereka saksikan tadi ketika pemuda ini dapat bertahan dikeroyok oleh demikian banyaknya orang lihai. Namun, mengeluarkan kata-kata bahwa dia mampu membasmi mereka, sungguh amat sombong. Pek-Gan Lo-Kai dan kawan-kawannya tadi amat lihai, dan pemuda itu dikeroyok banyak orang tentu hanya mampu membela diri saja, mana mungkin membasmi mereka? Dapat meloloskan diripun sudah untung.
"Hemm, orang muda. Musuh-musuhmu tadi amat lihai, bagaimana engkau seorang diri, kalau tidak ada petolongan kami, akan mampu membasmi mereka" tanya Tiat-Pi Kim-Wan sambil tersenyum mengejek.
"Dengan kedua tanganku, kalau aku mau, aku dapat membasmi mereka tadi," hawab Han Le sejujurnya, bukan dengan maksud untuk menyombongkan diri. Jawaban ini membuat Tiat-Pi Kim-Wan menjadi penasaran sekali.
"Orang muda, engkau boleh jadi memiliki ilmu slat yang tinggi, akan tetapi tidak mungkin dapat membasmi banyak orang pandai yang mengepung dan mengeroyokmu demikian ketat. Andaikata kami ini musuh-musuhmu dan kini mengepungmu, bagaimana mungkin engkau dapat membasmi kami?" Tiat-Pi Kim-Wan memberi isyarat dan dua puluh orang pasukan telah mengepungnya, di antara mereka ada pula yang menodongkan bedil! Dua orang anak buah Lee Song Kim itupun sudah menodongkan senjata maisng-masing dengan sikap mengeroyok Han Le. Akan tetapi mereka tersenyum dan tahulah Han Le bahwa mereka memang hanya main-main atau ingin mengujinya saja. Diapun tersenyum,
"Tidak benar sama sekali!" katanya dan tiba-tiba tubuhnya berkelebat, tahu-tahu dia telah berada di belakang tubuh Tiat-Pi Kim-Wan, mencengkeram leher bajunya dengan tangan kirinya sedangkan tangan kanan menekankan mulut pistol kecilnya di lambung pemimpin pasukan Tai Peng itu.
"Semua lempar senjata atau pimpinan kalian ini akan mati di ujung pistolku lebih dulu!" bentaknya. Semua anak buah Tai Peng terbelalak. Mereka tidak berani menyerang karena tubuh pemuda itu terlindung oleh tubuh Tiat-Pi Kim-Wan, sedangkan perwira tinggi kurus inipun terbelalak karena sama sekali tidak dapat mengikuti gerakan pemuda baju putih, bahkan tidak melihat bagaimana pemuda itu tahu-tahu telah mencabut sebuah pistol. Pasukan itu masih ragu-ragu, dan tiba-tiba Han Le berkata lagi.
"Kalian masih belum yakin akan kemahiranku menembak pistol kecil ini? Lihat dua ekor cecak di atas itu." dan diapun cepat sekali menggerakkan tangan kanannya yang memegang pistol.
"Dar! Dar!" Semua orang memandang dan mereka terkejut dan kagum bukan main melihat jatuhnya dua buah kepala cecak yang tubuhnya sudah hancur dilanggar pistol! Han Le melepaskan cengkeramannya pada leher baju Tiat-Pi Kim-Wan, dan pistolnya telah lenyap lagi seperti disulap saja dan kini dia menghadapi dua orang tokoh Tai Peng itu dengan sikap tenang,sama sekali tidak memperlihatkan kebanggaan karena perbuatannya tadi bukan untuk membanggakan kepandaian melainkan untuk medatangkan kesan agar terpandang oleh orang-orang Tai Peng. Dua orang itu sejenak terbelalak, kemudian bertepuk tangan memuji, diikuti oleh para anggauta pasukan mereka yang merasa kagum sekali.
"Bukan main! Orang muda perkasa, engkau bukan hanya pandai ilmu silat, bahkan ahli memainkan senjata api pula! Siapakah namamu, orang muda?"
"Namaku Gan Han Le..."
"Ah, benar! Tadi aku merasa sudah mengenalnya. Dia adalah murid keponakan dari raja kita!" terdengar teriakan seorang perajurit yang usianya sudah empat puluh tahun. Perajurit ini pernah menjadi perajurit pengawal dan dia pernah melihat Han Le ketika dia bersama Ibunya tinggal di istana Ong Siu Coan. Mendengar ini, terkejutlah dua orang perwira itu. mereka mengenal akan kekerasan hati Raja Ong Siu Coan terhadap anak buah yang bersalah dan mereka tadi bersikap kurang hormat kepada murid keponakan raja itu!
"Benarkah... engkau murid keponakan raja kami?" tanya Tiat-Pi Kim-Wan. Han Le mengangguk.
"Benar, mendiang Ayahku adalah Sute dari Sri Baginda Raja Ong Siu Coan." Dua orang itu segera memberi hormat dengan sikap merendah, diikuti pula oleh anak buah mereka.
"Harap Gan-Taihiap sudi memaafkan kami yang tidak tahu dan tidak mengenal Taihiap. Marilah kami mengiringkan Taihiap untuk menghadap Sri Baginda di istana."
Han le mengangguk. Memang dia berniat untuk menghadap supeknya yang kini telah menjadi raja itu. Dahulu supeknya bersikap baik terhadap dia dan Ibunya, dan kini, selagi dia kehilangan pegangan, sebaiknya kalau dia menghambakan diri kepada raja Tai Peng itu. Bukankah dengan membantu Tai Peng meruntuhkan kekuasaan penjajah Mancu, sama saja dengan garis tujuan yang pernah diperjuangkan mendiang Ayahnya, yaitu menumbangkan kekuasaan penjajah Mancu? Untuk apa dia membantu kedua Suhengnya yang kini menjadi pimpinan rakyat itu? Mereka agaknya telah menyeleweng, melakukan persekutuan dengan Pemerintah Mancu! Kaki tangan Lee Song Kim yang merupakan pasukan rahasia. Walaupun Lee Song Kim dan kaki tangannya bekerja membantu pemerintah Tai Peng, bahkan Lee Song Kim kini menjadi kaki tangan Ong Siu Coan,
Dan kekasih dari Kiki atau Tang Ki permaisuri dari raja Tai Peng itu, namun Lee Song Kim dan kaki tangannya merupakan kelompok rahasia tersendiri yang memiliki gerakan cepat, penuh rahasia, dan teratur sekali. Oleh karena itu, walaupun mereka mengajak Han Le sebagai seorang tamu kehormatan pergi ke istana menghadap Sri Baginda Raja, namun diam-diam Tiat-Pi Kim-Wan dan Seng-jin Sin-touw tekah mengutus seorang kepercayaan untuk lebih dulu pulang ke Nan-king dan menyampaikan laporan kepada Lee Song Kim tentang peristiwa yang terjadi di kota Cu-sian di perbatasan itu, dan tentu saja tentang Gan Han Le yang kini ikut bersama pasukan untuk pergi mengadap Sri Baginda. Mendengar laporan itu, Lee Song Kim langsung saja pergi menghadap Raja Ong Siu Coan, dan bersama permaisuri tang Ki mereka lalu membicarakan pemuda itu.
"Tidak disangka bahwa anak itu kini telah menjadi seorang pemuda dewasa yang lihai," kata Ong Siu Coan.
"Sungguh menguntungkan sekali kalau dia mau menyumbangkan tenaga membantu kita. Dia harus diterima denga baik, disenangkan hatinya dan diberi kedudukan tinggi sesuai dengan kepandaiannya."
"Akan tetapi, walaupun pendapat Paduka itu benar sekali, namun hamba kira sebaiknya kalau Paduka lebih dahulu menguji sampai di mana tingkat kepandaiannya, dan apakah dia memang cukup lihai untuk diangkat menjadi pembantu Paduka yang boleh diandalkan," kata Lee Song Kim, bagaimanapun juga sudah memandang pemuda itu sebagai calon saingannya. Raja Ong Siu Coan tersenyum lebar, sepasang matanya yang mempunyai sinar aneh itu mencorong, wajahnya berseri menunjukkan bahwa hatinya bergembira saat itu.
"Tentu saja dia pandai sekarang. Anak itu memang berbakat, dan lupakah engkau kepada si muka buruk yang mengaku mata-mata orang kulit putih dan yang telah menukar Han Le dan Ibunya dengan dua ratus pucuk bedil itu? Ha, dia itu ternyata telah merampas senjata-senjata itu dari mata-mata yang sesungguhnya, dan dia itu lihai sekali. Agaknya Han Le menerima ilmu silat dari orang rahasia itu."
"Betapapun juga, kita harus berhati-hati," kata Tang Ki.
"Kita ingat siapa orang tua anak itu. Ayahnya adalah seorang pemberontak yang gigih, dan siapa tahu diapun condong untuk bersekutu dengan para pemberontak yang dipimpin oleh Li Hong Cang dan Ceng Kok Han itu. Dan ingat pula siapa Ibunya. Seorang wanita kulit putih. Tidak akan mengherankan kalau diam-diam kini dipergunakan oleh orang kulit putih untuk mengamat-amati kita,
Raja itu mengangguk-angguk. Dia merasa girang mendengar usul-usul dari permaisurinya dan tangan kanannya itu, dan makin yakinlah hatinya bahwa mereka berdua inilah sesungguhnya pembantu-pembantunya yangpalig setia dan boleh diandalkan. Ong Siu Coan bukan orang bodoh, tentu saja dia tahu apa yang telah terjadi antara kedua orang ini, apa yang mereka lakukan di belakang punggungnya. Biarlah, pikirnya. Dia tidak membutuhkan lagi Tang Ki sebgai isteri atau kekasih, untuk itu dia dapat meguasai setiap orang wanita muda cantik yang disukainya. Dia membutuhkan Tang Ki sebagai sekutu, sebagai pembantu dan dia melihat bahwa Tang Ki amat berguna untuk mengikat Lee Song Kim! Biarlah mereka itu berjina sesuka hati mereka, sepuas hati mereka, karena hal ini merupakan kelemahan mereka yang menjadi senjata baginya untuk menundukkan mereka berdua!
"Selama ada kalian berdua membantuku, hatiku akan selalu tenang. Sebaiknya kalian berdua rundingkan bagaimana untuk menghadapinya, Lee-Ciangkun, engkau bertugas untuk menguji kepandaian Gan Han Le itu, dan kalian berdua atur saja siasat untuk menguji kesetiaannya. Nah, tinggalkanlah aku sendiri, aku hendak bersembahyang dan menghadap Bapa di Surga untuk memohon petunjuk-Nya." Tang Ki dan Lee Song Kim saling lirik, kemudian mengundurkan diri karena raja itu selalu mempergunakan alasan yang sama kalau hendak menyendiri, dan untuk melakukan apa saja di luar tahu permaisurinya atau orang lain, kecuali yang dikehendakinya. Ketika mereka keluar dari dalam ruangan itu, Lee Song Kim berbisik,
"Apakah dia tahu akan hubungan antara kita" Tang Ki tersenyum.
"Kau kira dia bodoh? Tentu saja dia tahu..."
"Aihhh...!" Wajak Song Kim berubah agak pucat. Tang Ki menggandeng tangannya dan menariknya memasuki sebuah di antara kamanya pribadi. setibanya di dalam, ia menutup daun pintu dan merangkul leher kekasihnya itu.
"Jangan khawatir! Dia sudah tidak membutuhkan aku sebagai isteri atau kekasih lagi. Masa itu sudah lama berlalu. Dia hanya membutuhkan aku sebagai sekutu dan pembantu yang setia." Mereka berdua tenggelam ke dalam kemesraan di dalam kamar itu, mencurahkan kasih sayang masing-masing menurutkan gairah nafsu mereka yang tak kunjung kering dan puas itu. Setelah itu, mereka lalu duduk di tepi pembaringan, seperti dua orang sahabat yang sedang berbincang-bincang, membicarakan tentang Han Le dan mengatur siasat untuk menghadapi pemuda itu. Begitulah, ketika Gan Han Le dibawa menghadap raja oleh dua orang perwira pembantu Lee Song Kim itu, dia diterima oleh Raja Ong Siu Coan dengan gembira, namun tidak terlalu lama.
"Ah, engkau tentu Gan Han Le, putera Sheila dan mendiang Gan-Sute itu!" kata Ong Siu Coan sambil tersenyum memandang pemuda yang berlutut di depannya itu.
"Selama ini, engkau telah menuntut ilmu silat, kepada siapa saja engkau berguru, Han Le?" Han Le tidak ingin menyebut-nyebut nama gurunya yang kini amat dibencinya itu, dan pula, gurunya ternyata adalah Koan Jit, Suheng dari raja ini sendiri yang tadinya sudah disangka mati, tentu kalau dia mengaku, hal itu akan mengejutkan raja dan membuat dia repot saja.
"Harap Paduka sudi mengampuni hamba yang selama ini hamba tidak ada kesempatan untuk datang menghadap. Selama ini hamba merantau dan hamba belajar silat di mana-mana, dari siapa saja tanpa guru tertentu. Ong Siu Coan mengerutkan alisnya. Dia seorang yang cerdik dan diapun tahu bahwa orang muda ini hendak menyembunyikan nama gurunya. Tentu ada alasannya yang kuat, maka diapun tidak mau mendesak.
"Bagaimana dengan Ibumu? Di mana Ibumu sekarang?" Ditanya tentang Ibunya, Han Le menjadi semakin berduka, akan tetapi ditahannya agar dia tidak terbayang pada wajahnya.
"Ibu... Ibu telah meninggal dunia..." Suaranya mengandung haru dan kesedihan, sedih karena dia harus membohong dan mengatakan bahwa Ibunya telah mati, atau lebih baik mati saja daripada hidup menjadi isteri dari musuh besar yang membunuh Ayah kandungnya! Keharuan dan kedukan Han Le itu diterima sebagai pengakuan yang sebenarnya oleh Ong Siu Coan.
"Ah, engkau anak yang malang," katanya.
"Jangan berduka, Tuhan mencinta orang-orang yang malang."
"Terima kasih, Sri Baginda."
"Gan Han Le, menurut laporan orang-orangku, engkau bertemu dengan mereka ketika engkau berkelahi melawan orang-orang yang memusuhi Tai Peng. Dan engkau sekarang datang menghadap padaku, sesungguhnya, apa yang kau kehendaki?"
"Kalau Paduka sudi menerima, hamba ingin mengabdi kepada Paduka." Dia berhenti sejenak lalu cepat menyambung kembali.
"Hamba ingin seperti mendiang Ayah, ingin memebela tanah air dan bangsa, mengusir penjajah Mancu!"
"Bagus!" Ong Siu Coan tertawa girang.
"Engkau tepat sekali datang kepadaku kalau ingin menjadi seorang patriot. Mari kita hancurkan penjajah Mancu! Dan engkau akan kuangkat menjadi panglima sesuai dengan kepandaianmu. Untuk mengukur sampai di mana tingkat kepandaianmu, engkau harus menghadap Lee-Ciangkun yang bertugas untuk menguji para perwira baru. Bawa dia menghadap Lee-Ciangkun!" kata raja itu kepada Tiat-Pi Kim-Wan dan Seng-jin Sin-touw yang mengantar Han Le menghadap. Han Le menghaturkan terima kasih dan pergi bersama dua orang itu ke tempat tinggal Lee Song Kim yang berada di bangunan sayap kiri.
Dia disambut dalam sebuah ruangan yang luas di mana dia melihat seorang wanita berusia empat puluhan tahun yang masih nampak cantik jelita, dengan tahi lalat di pipi, pakaian yang amat mewah dan indah walaupun nampak ringkas dan agaknya ia merupakan orang yang paling dihormati di situ. Kursinya paling tinggi, dan belasan orang yang berpakaian panglima dan perwira duduk di kanan kiri dan belakangnya, nampak bersikap hormat terhadap wanita itu, dan terhadap seorang panglima yang duduk di sebelah kiri wanita itu. Sekali pandang saja Han Le mengenal mereka. Wanita itu adalah Panglima Lee Song Kim, seorang panglima baru yang datang belum lama setelah dia dan Ibunya berada di istana itu. kiranya panglima itu kini telah menjadi seorang panglima besar yang tentu tinggi kedudukannya, kalau tidak, tidak duduk sejajar dengan Permaisuri.
Karena di situ terdapat Sang Permaisuri, melihat betapa dua orang pengantarnya memberi hormat sambil berlutut, diapun memjatuhkan diri berlutut memberi hormat kepada Tang Ki sebagai seorang permaisuri. Sepasang mata wanita ini berkilat. Ia membenci Ibu anak ini karena Ibu itu terlalu cantik sehingga menjatuhkan hati suaminya, bahkan juga menjatuhkan hati Lee Song Kim yang kini menjadi kekasihnya. Akan tetapi, ia tidak membenci anak ini. Seorang pemuda yang memiliki ketampanan yang aneh, dengan sepasang matanya yang kebiruan dan tubuhnya yang tinggi besar dan tegap gagah. Apalagi kalau pemuda ini memiliki kepandaian tinggi dan dapat membantu Tai Peng, tentu saja ia tidak membencinya. Ia tahu bahwa Han Le memberi hormat dengan berlutut untuk menghormatinya, maka hatinya merasa senang.
"Bangkitlah, orang muda dan duduklah di kursi yang kosong itu. Engkau berada di antara tokoh-tokoh pimpinan pasukan, tidak perlu terlalu banyak penghormatan seperti di dalam istana."
Setelah menghaturkan terima kasih, Han Le lalu duduk, ikut menghadapi sebuah meja besar dan dia berhadapan dengan Lee Song Kim dan Tang Ki. Dengan pandang matanya Han Le menyapu mereka yang hadir dan ternyata ada tiga belas orang berpakaian perwira tinggi duduk di situ, jadi ada lima belas orang dengan Lee Song Kim dan Permaisuri. Dan ruangan itu dijaga ketat oleh kepungan pengawal, baik yang nampak terang-terangan maupun yang bersembunyi. Yang terakhir sekali, pandang mata Han Le bertemu dengan wajah Lee Song Kim dan mereka saling pandang dengan sinar mata tajam penuh selidik. Seorang pria berusia empat puluh lima tahun yang memiliki sepasang mata mencorong tajam dan membayangkan kecerdikan dan kelicikan, pikir Han Le. Dia harus berhati-hati terhadap orang seperti ini.
"Gan Han Le, kami mendapat tugas dari Sri Baginda untuk mengenal dirimu lebih baik," kata Lee Song Kim dengan suara tegas dan pandang mata penuh selidik.
"Oleh karena itu, harap semua pertanyaan akan kau jawab dengan sejujurnya. Engkau datang untuk menghambakan diri kepada Kerajaan Sorga dari pasukan besar Tai Peng, benarkah?" Han Le mengangguk, tanpa menjawab.
"Apa yang mendorongmu bekerja membantu kami di sini?"
"Saya ingin membantu gerakan Tai Peng yang hendak menghancurkan kekuasaan pemerintah penjajah Mancu, dan membebaskan tanah air dari cengkeraman penjajah," kata Han Le dengan jujur, tanpa ragu sedikitpun.
"Hemm, tahukah engkau siapa Ayahmu, orang macam apa dia?" tanya pula Lee Song Kim. pertanyaan-pertanyaan ini memang sudah diatur sebelumnya, dirundingkan dengan Tang Ki.
"Mendiang Ayah adalah seorang pahlawan, seorang pendekar dan patriot sejati!" jawab Han Le dengan suara lantang.
"Benar sekali, siapa yang tidak pernah mendengar nama pendekar dan pahlawan Gan Seng Bu semenjak Perang Madat? Kalau engkau ingin melanjutkan perjuangan mendiang Ayahmu, mengapa engkau tidak mengikuti gerakan mereka yang enamakan diri pejuang takyat, yang dipimpin oleh Ceng Kok Han dan Li Hong Cang, dan diikuti pula oeh banyak pendekar?" Pertanyaan ini merupakan pancingan yang berbahaya sekali. Kalau saja Han Le tidak merasa begitu membenci gurunya otomatis juga membenci kedua orang Suhengnya itu, dan kalau saja dia disangka wakil pihak kulit putih sehingga dia melihat bahwa kelompok pejuang rakyat itu kini bersekongkol dengan pemerintah Mancu dan orang kulit putih, tentu dia akan terjebak oleh pertanyaan Lee Song Kim itu.
"Tidak!" jawabnya tegas.
"Kelompok pejuang itu telah menyeleweng, bahkan kini bekerja sama dengan penjajah Mancu, dan dengan orang kulit putih. Saya lebih setuju dengan perjuangan Tai Peng yang jelas menentang penjajah Mancu." Lee Song Kim dan Tang Ki saling lirik, nampaknya puas dengan jawaban itu. Lee Song Kim malah tertawa.
"Ha-ha-ha, engkau memang benar sekali, Gan Han Le. Ceng Kok Han dan Li Hong Cang itu sesungguhnya hanyalah pengkhianat-pengkhianat bangsa yang menjadi anjing penjilat bangsa Mancu. mereka bergerak membantu penjajah untuk menentang kami, dengan dalih perjuangan untuk membohongi dan memikat rakyat. Akan tetapi, Han Le, engkau tentu ingat bahwa Ibumu adalah seorang wanita berkulit putih..."
"Saya harap Ciangkun tidak bicara tentang Ibuku yang sudah... sudah meninggal...". kata Han Le tak senang.
"Maaf, bukan maksudku untuk mengingatkan engkau kepada Ibumu yang telah tiada, hanya... karena engkau berdarah orang barat, bahkan melihat warna matamu juga mudah dilihat bahwa di dalam tubuhmu ada darah orang kulit putih, apakah engkau tidak mempunyai pikiran untuk mengabdi kepada pasukan kulit putih yang kini berkuasa di seluruh bandar pelabuhan?" Pertanyaan yang memikat dan juga menjemukan hati Han Le. Dia paling tidak suka diingatkan bahwa matanya biru, bahwa ada darah campuran mengalir di tubuhnya.
"Saya terlahir di atas tanah ini, minum air dari tanah ini, biarpun Ibuku sorang wanita kulit putih, namun beliau juga tidak suka kepada penjajah Mancu. Tanah airku adalah di sini, dan saya bersedia membelanya dengan taruhan nyawa." Tang Ki mengangguk-angguk.
"Akan tetapi Gan Han Le, ketahuilah bahwa semua tokoh pasukan Tai Peng, para panglima yang kini berada di sini, semua memiliki kelebihan dalam kepandaian khas mereka masing-masing. Untuk menjadi seorang perwira yang memimpin ribuan orang tentara, dia harus memiliki ilmu kepandaian tinggi, baik dalam ilmu silat ataupun dalam ilmu perang. Dia harus gagah perkasa dan berani mati. bersediakah engkau untuk diuji kepandaianmu dalam suatu pertandingan? Akan tetapi ingat, pertandingan silat dapat saja berakibat luka parah atau kematian!" Han Le sudah menduga bahwa tentu dia akan diuji kalau hendak mengabdi kepada seorang raja.
"Hamba bersedia," jawabnya singkat. Kini Lee Song Kim yang bicara,
"Gan Han Le, di antara perwira tinggi, ada tiga tingkat yang biasanya diuji di sini, dan di sini pula diputuskan tingkat mana yang dapat menerimanya. Tingkat ketiga diuji menandingi seorang perwira tinggi dan harus dapat bertahan sampai lima puluh jurus. Ujian tingkat kedua dihadapkan kepada dua orang perwira tinggi dan dia harus dapat bertahan sampai lima puluh jurus pula, sedangkan untuk tingkat pertama, dia harus bertahan selama lima puluh jurus menghadapi pengeroyokan tiga orang perwira tinggi. Tidak tahu tingkat mana yang akan kau tempuh?" Kalau memang akan menjadi perwira, harus yang tingkat pertama, pikir Han Le. Pula, di sini dahulu Ibunya hanya menjadi seorang pekerja di dapur. bagaimanapun juga, dia harus mengangkat nama Ibunya, dan Ayahnya pula! Dan agaknya tidak percuma selama ini dia digembleng mati-matian oleh gurunya, juga Ayah tirinya, juga musuh besarnya!
"Saya ingin mengikuti ujian untuk tingkat pertama!" jawabnya dengan suara tegas.
Tiga belas orang perwira tinggi itu, yang rata-rata memiliki ilmu silat lebih tinggi daripada para pembantu Lee Song Kim, saling pandang dan tersenyum mengejek. Orang muda itu terlalu sombong, pikir mereka. melawan seorang di antara mereka saja mana mungkin bisa menang? Apalagi harus dkeroyok tiga! Di antara mereka semua, mungkin hanya Sang Raja, Sang Permaisuri, dan Lee-Ciangkun saja yang akan mampu menang menghadapi pengeroyokan tiga orang di antara mereka! Juga Lee Song Kim dan Tang Ki terkejut mendengar keberanian Han Le itu. Mereka sudah mendengar bahwa pemuda ini memang lihai, bahkan lihai memainkan pistol, tetapi menghadapi pengeroyokan tiga orang perwira tinggi? Sukar untuk dapat menang! Akan tetapi Lee Song Kim sudah berkata kepada tiga orang di antara tiga belas perwira tinggi itu.
"Kok-Ciangkun, Song-Ciangkun, dan Bhe-Ciangkun, harap kalian bertiga menguji Gan Han Le ini selama lima puluh jurus!" Tiga orang perwira tinggi itu bangkit dan senyum mengejek membayang di wajah mereka. Perwira she Kok bertubuh tinggi besar dengan perut gendut dan kepala botak, kedua lengannya panjang dan besar, dia kelihatan seperti seekor biruang ketika bangkit berdiri. Song-Ciangkun bertubuh tinggi kurus, mukanya kuning, kumisnya hanya beberapa lembar berjuntai ke kanan kiri mulutnya, matanya sipit dan mukanya meruncing model muka tikus, mulutnya tersenyum mengejek buruk sekali. Perwira ketiga, Bhe-Ciangkun, bertubuh tegap dengan lengan dan leher dilingkari otot-otot yang besar, kelihatan kokoh kuat seperti batu karang.
"Orang muda, marilah kita main-main sebentar," kata Kok-Ciangkun dan mendengar ini, Han Le bangkit berdiri dan mengikuti mereka ke tengah ruangan. Para perwira yang lain pindah ke kursi lain untuk menonton pertandingan ujian itu. Tang Ki dan Lee Song Kim, sebagai dua orang yang berilmu tinggi, keduanya telah mewarisi ilmu-ilmu silat tinggi dari Hai-Tok, menonton denga mata bersinar-sinar penuh perhatian. Ingin mereka mengenal ilmu silat yang akan diperlihatkan oleh pemuda ini. dari ilmu silatnya, mereka berdua tentu akan dapat mengetahui diapa gerangan guru pemuda ini, atau dari perguruan dan cabang persilatan mana dia memperoleh kepandaiannya. Kini Han Le sudah berdiri di tengah dan tiga orang pengujinya itu berdiri di depan, dan kanan kiri agak ke belakang, membentuk kepungan segi tiga. Tiba-tiba Lee Song Kim teringat akan sesuatu dan dia berkata,
"Gan Han Le, dalam pertandingan ini boleh dipergunakan senjata, akan tetapi sama sekali tidak boleh mempergunakan senjata api!" Han Le tersenyum memandang kepada tiga orang yang telah mengepungnya dan diapun menjawab,
"Pistol saya tidak akan saya pergunakan selama mereka inipun tidak mempergunakan senjata rahasia, Ciangkun." Kepada tiga orang pembantunya, Lee Song Kim memperingatkan,
"Sam-wi (kalian bertiga) harap jangan mempergunakan am-gi (senjata gelap), karena dia memiliki pistol yang tak dapat dilawan oleh senjata gelap apapun. Jangan sam-wi mencari kematian konyol." Tiga orang perwira itu tersenyum, bahkan Kok-Ciangkun tertawa.
"Ha-ha-ha, menghadapi seorang muda yang pantas menjadi anak atau murid kami, kami sudah maju bertiga, bagaimana kami sampai hati menggunakan senjata gelap? Orang muda, bersiaplah dan jaga serangan kami!"
Mula-mula Bhe-Ciangkun yang menyerang dari samping kiri. Pukulan perwira yang tubuhnya kokoh kuat ini cepat dan terutama sekali kuat bukan main. Terdengar bunyi berkerotokan dari otot-ototnya ketika lengannya meluncur dengan tangan membentuk cakar, mencengkeram ke arah pundak Han Le dan serangan ini mendatangkan angin yang mengeluarkan suara mengiuk. Tahulah Han Le bahwa dia menghadapi sorang ahli tenaga luar, tenaga otot yang terlatih baik dan dia dapat menduga betapa jari-jari tangan itu dapat menjadi keras seperti baja! Maka dengan lincah dan dengan gerakan tubuh yang ringan dia melakukan langkah pat-kwa seperti yang dipelajarinya dari Bu Beng Kwi dan dengan mudahnya dia menghindarkan diri dari cengkeraman itu, tubuhnya berputar ke kanan dan kini dia disambut oleh jotosan dari depan yang dilakukan oleh Song-Ciangkun.
Sungguh berbeda sekali serangan Song-Ciangkun yang tinggi kurus ini. Tangannya juga terbuka, akan tetapi tidak mencengkeram melainkan menampar, akan tetapi walaupun nampaknya saja lengan kecil panjang itu bergerak perlahan dan tangan itupun melakukan tamparan yang tidak keras ke arah kepalanya, namun Han Le terkejut karena dia melihat betapa telapak tangan orang tinggi kurus ini mengeluarkan warna menghijau, tanda bahwa perwira tinggi yang seorang ini menguasai ilmu pukulan beracun yang sudah terkandung di dalam telapak tangannya! Diapun tidak berani sembrono menerima atau menangkis tamparan itu, melainkan membuat langkah Pat-kwa-pouw dan diapun lolos dari tamparan ini dengan mudah.
"Sambutlah...!" Tiba-tiba menyambar angin keras dan kini Kok-Ciangkun sudah menyambut dengan totokan yang keras dilakukan dengan kedua tangan susul-menyusul. Kok-Ciangkun tadi melihat betapa pemuda itu telah berhasil menghindar dengan mudah dari serangan kedua orang rekannya, berarti telah melewati dua jurus,
Maka diapun maklum bahwa pemuda itu memang lihai, dan diapun segera maju menerjang dengan totokan-totokan bertubi. Dalam sejurus saja dia telah menyerang ke arah lima jalan darah terpenting di bagian depan tubuh Han Le! Pemuda itu masih melanjutkan langkah pat-kwa, dan dengan lincahnya diapun berhasil mnghindarkan diri dari totokan-totokan itu. Akan tetapi, kini Song-Ciangkun dan Bhe-Ciangkun menyambutnya dari dua jurusan dengan serangan yang lebih berbahaya lagi. Song-Ciangkun melakukan tendangan ke arah lutut Han Le yang dihindarkan oleh Han Le degan loncatan, akan tetapi Bhe-Ciangkun yang memiliki lengan keras seperti baja itu telah menyambutnya dari belakang dengan pukulan beruntun ke arah punggung dan lambung. Terpaksa Han Le kini menggerakkan tangan menangkis.
"Duk! Dukk!" Dua pasang lengan bertemu dan akibatnya, tubuh Han Le terpental saking kuatnya tenaga lawan, akan tetapi tubuh Bhe-Ciangkun tergetar hebat oleh tenaga sinkang yang terkandung dalam sepasang lengan Han Le. Perwira ini seperti menggigil, kemudian menggoyang tubuhnya memulihkan keadaan tubuhnya, lalu menyerbu lagi lebih hati- hati. Kok-Ciangkun si perut gendut sudah akan menyerang lagi dengan totokannya yang berbahaya. Orang she Kok ini memang terkenal sebagai ahli totok yang lihai. Setiap totokannya dengan cepat dan tepatnya mengarah jalan darah yang melumpuhkan.
Namun, dengan kelincahan gerakannya, Han Le selalu dapat mengelak atau menangkis biarpun totokan-totokan dari Kok-Ciangkun itu masih dibantu oleh cengkeraman Bhe-Ciangkun dan tamparan-tamparan Song-Ciangkun. Dikeroyok tiga orang perwira tinggi yang memiliki tiga macam serangan yang berbeda-beda gayanya itu, Han Le tidak menjadi gugup. Dia mengandalkan kelincahan gerakannya, kecepatan dan juga ketenangannya sehingga dia selalu dapat menghindarkan dirinya. Sampai tiga puluh jurus dia hanya membela diri, kemudian mulailah dia mengeluarkan seruan panjang dan tubuhnya bergerak lebih cepat lagi, kini dia mulai membalas! Dan begitu dia membalas serangan tiga orang pengeroyoknya, mereka menjadi repot! Tang Ki memandang heran dan kagum, berbisik kepada Lee Song Kim,
"Gerakannya mirip gerakan suamiku!" Lee Song Kim mengangguk-angguk.
"Tentu saja, bukankah Ayahnya masih Sute dari suamimu?"
"Akan tetapi Ayahnya telah mati ketika dia dalam kandungan!" bisik pula Tang Ki.
Song Kim teringat akan hal ini dan diapun memandang heran. Kalau Ayah anak itu telah mati ketika dia berada dalam kandungan, jelas bukan Ayah itu yang mengajarkan ilmu silatnya. lalu siapa? Satu-satunya saudara seperguruan yang tinggal hanyalah Sri Baginda Raja! Thian-tok sendiri, guru Gan Seng Bu dan Ong Siu Coan, telah lama meninggal dunia. Lalu dari mana anak itu belajar ilmu silat aliran itu? Agaknya, satu-satunya orang yang dapat mengajarkan ilmu-ilmu itu hanyalah Sri Baginda. Hal ini tidaklah mengherankan kalau diingat bahwa Han Le memperoleh semua ilmu silatnya dari Bu Beng Kwi. Adapun Bu Beng Kwi adalah Koan Jit, murid pertama dari mendiang Thian-tok yang tentu saja memiliki dasar ilmu aliran dari datuk persilatan ini. Hanya bedanya, setelah Koan Jit sadar dari kesesatannya semenjak menjadi murid Siauw-Bin-Hud,
Dan dia berganti nama menjadi, semua ilmu silatnya telah berubah sifatnya, tidak lagi mengandung kelicikan dan kekejaman seperti aslinya. Bu Beng Kwi telah memperhalus ilmu-ilmu silatnya sehingga biarpun dasarnya masih saja merupakan ilmu silat yang diajarkan oleh Thian-tok, namun memiliki perkembangan lain dan sifatnya lebih halus dan indah. Karana dasarnya masih sama, maka tentu saja Tang Ki yang sudah mengenal benar ilmu silat suaminya, segera melihat persamaan itu. Tiga orang pengeroyok itu kini menjadi kewalahan dan biarpun mereka mengeroyok, namun desakan-desakan Han Le yang membagi-bagi serangan membuat mereka lebih banyak menangkis daripada menyerang. Han Le menggunakan akal yang membuat dia terlepas dari kepungan ketat. Begitu ada yang menyerang, dia tidak menanti sampai dua orang yang lain juga ikut menyerang,
Melainkan dia membuat gerakan cepat menyambut penyerang itu dan meloncat ke belakang si penyerang yang terpaksa membalikkan tubuh dan dengan sendirinya, dua orang kawannya juga berada di belakangnya dan Han Le mendesak satu orang saja tanpa yang dua orang lagi dapat membantu. Kalau kemudian mereka mengejar dan datang membantu, dia melompat ke belakang pengeroyok lain dan mendesak orang ini dan dengan demikian, dia tidak pernah dikurung dan tidak pernah harus menghadapi tiga orang pengeroyok sekaligus. Dia berloncatan dari satu ke lain orang, mendesaknya dan dengan cara ini, tiga orang perwira tinggi itu menjadi repot sekali dan setelah lewat lima puluh jurus, mereka bertiga sudah mandi keringat dan baju di bagian dada masing- masing telah dapat terobek oleh jari tangan Han Le.
"Cukup lima puluh jurus!" teriak Tang Ki yang menghitung dan pertandingan itu memang sudah ada enam puluh jurus lebih. Para perajurit pengawal yang berjaga di luar, ikut pula menonton dan mereka itu terheran-heran dan kagum bukan main melihat betapa orang muda itu mampu menandingi pengeroyokan tiga orang perwira tinggi! Dan tiga orang perwira inipun, melihat terobeknya baju di dada, melihat pula betapa setelah pertandingan dihentikan mereka mandi keringat dan napas mereka terengah-engah sedangkan pemuda itu masih nampak enak-enak saja, maklum bahwa mereka bertemu dengan lawan yang amat angguh!
"Gan Han Le, engkau lulus dan kami akan memilihkan kedudukan yang tepat untukmu. Yang jelas mulai saat ini engkau adalah seorang panglima kami!" kata Tang Ki dengan suara gembira memeperoleh seorang pembantu yang demikian lihainya.
"Kionghi (selamat), Gan-Ciangkun!" kata Lee Song Kim langsung saja menyebut Ciangkun kepada Han Le.
"Kalau boleh aku bertanya, dari siapakah engkau mempelajari ilmu- ilmu silat yang tinggi itu? Apakah pernah engkau dilatih secara diam-diam oleh Sri Baginda sendiri?"
Han Le terkejut mendengar pertanyaan ini walaupun dia harus berpikir keras menghadapi pertanyaan yang tiba-tiba itu. Dia tahu bahwa bagaimanapun juga, ilmu silatnya yang dia dapatkan dari Bu Beng Kwi, sudah pasti mirip atau banyak persamaan, bahkan sama dasarnya dengan ilmu silat yang dimiliki oleh Sri Baginda Ong Siu Coan. Ayahnya sendiri telah meninggal dunia, juga Koan Jit dikabarkan telah tewas, jadi dalam perguruan itu yang tinggal hanya Ong Siu Coan. Dari siapa lagi dia dapat mempelajari ilmu silat itu kalau bukan dari Sri Baginda? Dia tidak mau membuka rahasia Koan Jit, musuh besar yang menjadi gurunya itu. Dia cerdik dan dapat mencari jawaban tepat dalam waktu sebentar saja.
"Saya tidak pernah dilatih oleh yang mulia Sri Baginda. Ilmu silat yang saya miliki adalah peninggalan mendiang Ayah kandung saya. Ibu telah menyimpan kitab-kitab pelajaran yang ditulis Ayah, dan setelah saya besar, saya mempelajari kitab-kitab itu di bawah petunjuk guru-guru silat yang saya hubungi. Saya belajar sendiri dengan tekun, Ciangkun!" Lee Song Kim mengerutkan alisnya, tidak puas dengan jawaban itu. belajar sendiri dari kitab, mana mungkin dapat menguasai sedemikian baiknya? pula, ilmu silat dari Thian-tok, mana mungkin dapat dimengerti secara baik oleh segala guru silat biasa saja? Akan tetapi, diapun tidak mendesak karena Tang Ki sudah bicara lagi.
"Ciangkun, untuk menjadi seorang perwira tinggi seorang panglima yang baik dan dapat dipercaya, bukan hanya bermodalkan ilmu kepandaian silat tinggi. Yang terutama bagi kami adalah kesetiaan. Oleh karena itu, sebelum engkau membuktikan kesetiaanmu, tentu saja kami belum dapat menentukan kedudukan apa yang akan kami serahkan kepadamu. Akan tetapi mengingat bahwa engkau masih murid keponakan sendiri dari yang mulia Sri Baginda, hal itu sudah banyak menjamin. Karena itu, kami memberi tugas kepadamu untuk melakukan pembersihan tehadap para mata-mata pihak musuh, baik mata-mata Kerajaan Mancu, mata-mata para pemberontak yang menentang kami, dan mata-mata pihak kulit putih, yang beraksi di sepanjang perbatasan di utara. Bagian itu perlu dibersihkan untuk memperlancar gerakan kita menyerang ke utara. Bagaimana, sanggupkah engkau? Kami akan memberi pasukan secukupnya untuk keperluan itu."
"Saya sanggup!" kata Han Le.
"Hanya hamba minta agar pasukan itu dipilihkan pasukan istimewa, tidak perlu terlampau banyak, dan mengenakan pakaian preman."
Demikianlah, mulai hari tu, Gan Han Le diterima sebagai seorang panglima muda oleh Raja Ong Siu Coan, bekerja di bawah Tang Ki dan Lee Song Kim, dan diberi tugas untuk membersihkan mata-mata musuh yang bergerak di bawah tanah di daerah perbatasan utara. Semenjak Han Le melakukan tugas ini, banyak mata-mata yang dapat dibunuh atau ditangkap, dan dalam waktu beberapa bulan saja daeah perbatasan itu menjadi bersih. Nama Gan Han Le dikenal oleh kalangan mata-mata, baik dari Kerajaan Mancu, dari para pejuang rakyat, maupun dari pasukan kulit putih dan dia ditakuti. Tentu saja hal ini amat menggirangkan hati Tang Ki dan Lee Song Kim, karena selain mereka memeproleh seorang pembantu yang cakap, juga Raja Ong Siu Coan menjadi girang dan puas.
Akan tetapi dalam melaksanakan tugasnya ini, jelas sikap keras tanpa ampun terhadap mata-mata Kerajaan Mancu, akan tetapi dia lunak terhadap mata-mata orang kulit putih atau mata-mata para pejuang rakyat. Bahkan kalau ada mata-mata pejuang rakyat yang tertawan, dia membujuk agar mereka itu sadar dan maklum bahwa Tai Peng adalah rekan seperjuangan untuk menumbangkan kekuasaan penjajah Mancu, bukan musuh atau saingan. Dan dia agak lunak terhadap mata-mata orang kulit putih mengingat bahwa Ibunya adalah bangsa kulit putih pula. Yang menjadi sasaran utamanya adalah Kerajaan Mancu. Banyak orang, di antara mereka bahwa orang-orang bangsa Mancu sndiri, apalagi orang-orang Han yang merasa terjajah, merasa muak dengan kehidupan yang diisi dengan cara-cara yang tak tahu malu oleh Ibu Suri Cu Si. tak dapat disangkal bahwa ia adalah seorang wanita yang penuh ambisi, keras hati, cerdik, berani dan pandai.
Untuk mempertahankan kedududannya sebagai orang nomor satu yang mewakili Kaisar bocah, puteranya sendiri, ia tidak segan-segan menyingkirkan satu demi satu lawannya secara kejam dan tak mengenal ampun. Kedudukannya menonjol dan semua pejabat dari yang paling tinggi sampai yang paling rendah, tahu belaka bahwa bagi mereka, tidak ada pilihan lain kecuali mentaati segala perintah yang dikeluarkan oleh Ibu Suri Cu Si sebagai wakil Kaisar. Tidak taat berarti dipecat atau bahkan mungkin saja dihukum berat. Ada kabar yang bocor dari istana bahwa karena dalam suatu permainan catur, seorang abdi berani mengalahkan Ibu Suri Cu Si, langsung saja dia dihukum penggal kepala! Dosanya adalah meremehkan, merendahkan dan menghina Ibu Suri Cu Si! Dan ini sama pula dengan menghina Kaisar karena Ibu Suri Cu Si adalah Ibu kandung Kaisar!
Akan tetapi yang membuat Yu Bwee merasa muak dan tidak betah lagi tinggal di kotaraja, apalagi di dalam istana, adalah melihat cara Ibu Suri Cu Si mengejar kesenangan, memuaskan nafsu berahinya! Melihat betapa wanita ini tidak malu-malu untuk berjina dengan seorang thaikam, kemudian berhubungan gelap dengan pamannya sendiri, Yu Bwee tidak betah lagi dan iapun meninggalkan kotaraja dan pulang ke rumah orang tuanya. Ayah Ibunya menyambut pulangnya sang puteri dengan gembira dan mendengarkan semua cerita dari pengalaman Yu Bwee. Ketika Yu Bwee menceritakan tentang peristiwa di dalam perjalanan melarikan diri keluarga Kaisar ke Yehol, dan pertemuannya dengan seorang pemuda yang bernama Gan Han Le. kedua orang tuanya saling pandang dan mengerutkan alisnya. dari ucapan Yu Bwee, Ayah Ibunya ini dapat menduga bahwa puteri mereka tertarik kepada pemuda itu.
"Hemmm, engkau belum tahu benar akan keadaan pemuda itu, bagaimana engkau dapat mengatakan bahwa dia seorang pendekar perkasa yang lihai sekali?"tanya Ceng Hiang kepada puterinya.
"Ah, tentu saja aku tahu bahwa dia lihai bukan main, Ibu. Ketika rombongan keluarga Kaisar dihadang perampok, dialah yang menyelamatkan keluarga itu dan aku hanya membantu setelah dia hampir selesai membasmi perampok. Kemudian dia diminta oleh Ibu Suri Cu Si untuk mengawal rombongan."
"Dan sampai sekarang dia masih mengabdi kepada Ibu Suri?" tanya Ceng Hiang yang sudah mengenal benar watak para pendekar. Kalau benar pemuda itu seorang pendekar, tentu dia tidak sudi mengabdi kepada Ibu Suri Cu Si yang akhir-akhir ini ia dengar pula berita busuk tentang dirinya.
"Tidak, dia terkena fitnah, Ibu, dan hampir saja aku bentrok dengan dia."
"Hemm, apakah yang telah terjadi, Yu Bwee?" tanya Yu Kiang, Ayahnya. Dengan panjang lebar Yu Bwee lalu menceritakan betapa pada suatu hari, ia diutus oleh Ibu Suri Cu Si untuk mengejar dan menangkap atau membunuh Gan Han Le karena pemuda itu berani kurang ajar terhadap Ibu Suri. Tentu saja ia tidak berani membantah dan iapun lalu melakukan pengejaran sampai akhirnya ia dapat berhadapan dengan pemuda itu.
"Dan engkau tentu berhasil menangkap pemuda yang kurang aj ar itu, bukan?" tanya Ayahnya.
"Tidak, Ayah. Dia tidak bersalah. Bukan dia yang kurang ajar, bahkan dia melarikan diri karena Ibu Suri Cu Si marah kepadanya setelah dia menolak kehendak Ibu Suri terhadap dirinya."
"Kehendak Ibu Suri? Apa kehendaknya?" tanya Ceng Hiang, belum mengerti. Dengan kedua pipi berubah merah Yu Bwee berkata,
"Ia... ia mengajak pemuda itu berbuat yang tidak sopan. Dia menolak dan Ibu Suri Cu Si marah, memerintahkan pengawal menangkapnya akan tetapi dia dapat meloloskan diri."
"Hemmm, sungguh tidak tahu malu...!" Ceng Hiang berkata dan kedua pipinya juga menjadi merah.
"Akan tetapi, anakku. Bagaimana kalau pemuda itu berbohong? Siapa tahu kalau dia memutar-balikkan kenyataan?"
"Akupun sudah menduga demikian dan dia menyatakan bahwa kalau dia yang mempunyai niat busuk itu, apa sukarnya bagi dia untuk memaksa Ibu Suri? Aku percaya, Ibu, karena memang dia lihai sekali, maka alasannya itu memang tepat. Selain itu, diapun bukan orang sembarangan, dia putera seorang pendekar dan pahlawan yang terkenal."
"Siapa namanya tadi?" tanya pula Ceng Hiang, tidak enak hatinya melihat betapa puterinya nampaknya benar-benar tertarik.
"Namanya Gan Han Le dan dia adalah putera tunggal dari mendiang pendekar Gan seng Bu..."
"Ahhh...!" Ceng Hiang berseru kaget "Yang isterinya orang kulit putih itu...?"
"Benar, Ibu. Ibu kandung Gan Han Le adalah seorang kulit putih."
"Hemmm, jangan engkau lupa betapa jahatnya orang-orang kulit putih, Yu Bwee. Lihat betapa mereka telah menyerbu kotaraja dan merampok istana, membunuh banyak orang, selain merampok juga memperkosa wanita, dan kini mereka menguasai pelabuhan-pelabuhan di negara kita. Mereka jahat sekali, menyebar candu kepada rakyat..."
"Aku mengerti, Ibu. Akan tetapi Ibu sendiri pernah berkata bahwa kebusukan suatu pemerintahan sama sekali tidak mencerminkan watak bangsanya. Pemerintahan hanya dikuasai oleh segelintir orang saja, dan rakyat tidak bertanggung jawab akan segala hal yang dilakukan oleh beberapa orang yang bertanggung jawab itu. Kurasa Ibu dari Gan Han Le tidak ada sangkut pautnya dengan kejahatan pasukan kulit putih, buktinya ia menikah dengan seorang pendekar pribumi." Ibu dan Ayahnya saling pandang dan Ceng Hiang menarik napas panjang.
"Betapapun juga, aku selalu tidak suka dan curiga kepada orang kulit putih bule..."
"Han Le tidak bule, Ibu."
(Lanjut ke Jilid 16)
Pemberontakan Taipeng (Seriall 02 - Pedang Naga Kemala)
Karya : Asmaraman S. Kho Ping Hoo
Jilid 16
"Dan matanya yang biru..."
"Memang matanya agak kebiruan." Makin tidak enak rasa hati Ceng Hiang dan suaminya. Jelaslah bahwa puteri mereka amat tertarik kepada pemuda peranakan yang matanya kebiruan itu.
"Akan tetapi, benarkah dia lihai sekali,? Bagaimana kalau dibandingkan dengan kepandaianmu?"
"Aku kalah, Ibu."
"Ehhh?" Ceng Hiang terkejut. Ia tahu bahwa puterinya ini lihai, hampir seluruh ilmu kepandaiannya telah diwarisinya.
"Apakah engkau sudah bertanding melawannya?" Yu Bwee mengangguk.
"Biarpun aku percaya kepadanya atas semua keterangannya, aku ingin menguji kepandaiannya, Ibu. Maka aku memaksanya untuk bertanding." Yu Kiang mengerutkan alisnya. Dia bukan seorang ahli silat sepeti isterinya, dan berdarah bangsawan, maka mendengar akan ulah puterinya itu, tentu saja dia terkejut dan tidak senang. Tak patut seorang gadis, puteri berdarah bangsawan pula, menantang berkelahi seorang pemuda begitu saja, padahal pemuda itu tidak bersalah!
Pemberontakan Taipeng Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Bagus sekali perbuatanmu, ya?" bentaknya. Akan tetapi Ceng Hiang tidak melihat sesuatu yang buruk dalam kelakuan anaknya itu.
"Ayah, aku hanya ingin menguji sampai di mana kelihaiannya, karena aku tertarik sekali melihat dia mengamuk ketika dia menyelamatkan keluarga Kaisar yang dirampok itu. Kami bertanding, dan agaknya kami seimbang, Ibu. Akan tetapi akhirnya aku berhasil merobek bajunya di bagian dada."
"Hemm, kalau begitu dia tidak berapa hebat! Perbuatanmu itu merupakan tanda bahwa engkau masih menang setingkat, karena kalau kau kehendaki, tentu bukan bajunya yang robek dan dia akan terluka parah." Yu Bwee tersenyum dan memandang Ibunya dengan sinar mata nakal.
"Akupun tadinya berpendapat seperti itu, Ibu, akan tetapi ternyata pedapatku seperti itu keliru dan dia jauh lebih lihai dariku."
"Eh? Maksudmu...?" tanya Ceng Hiang heran.
"Tanpa kuketahui, dia telah berhasil mengambil tusuk sanggulku!"
"Wah...!"
"Dan dia minta kepadaku untuk diperbolehkan menyimpan tusuk sanggul itu sebagai tanda peringatan..."
"Dan kau perbolehkan?"
"Tentu, Ibu. Dia lihai dan baik sekali. Dalam adu ilmu ini, ternyata dia sengaja mengalah." Kembali Ceng Hiang dan suaminya saling pandang dan diam-diam mereka merasa khawatir. Tidak kelirukah pilihan hati puteri mereka itu? Gadis itu telah berusia tujuh belas tahun, cukup dewasa. Bagaimanapun juga, hubungan antara puteri mereka dan pemuda peranakan itu masih belum terlalu mendalam, dan merekapun sudah bersiap untuk meninggalkan kotaraja.
"Yu Bwee, ada hal penting yang ingin kami bicarakan denganmu." kata Ceng Hiang.
"Ayah dan Ibumu telah mengambil keputusan yang mungkin akan mengejutkan hatimu." Yu Bwee memandang kepada kedua orang tuanya itu dengan sinar mata penuh prtanyaan.
"Ada urusan apakah, Ibu?"
"Begini, sesuai dengan rencana kami berdua, Ayahmu telah mengundurkan diri dari pekerjaannya kepada pemerintah." Hal ini memang mengejutkan dan mengherankan hati Yu Bwee.
"Ah, apa sebabnya dan bagaimana selanjutnya?"
"Kami melihat betapa pemerintah semakin lemah, bukan saja karena ulah Ibu Suri seperti yang kau lihat sendiri, akan tetapi juga di istana selalu terjadi perebutan kekuasaan karena Kaisar masih bocah. Sungguh tidak enak menjadi seorang pejabat di bawah pemerintah seperti sekarang ini. yang setia dan jujur akan hancur, sedangkan yang dapat hidup hanya mereka yang penjilat dan korup. Melihat beberapa orang sahabat dan rekannya yang jujur dijatuhi gukuman karena ingin meluruskan keadaan, maka Ayahmu mengambil keputusan untuk mengundurkan diri saja. Kita semua akan meninggalkan kotaraja dan untuk sementara waktu, selagi keadaan pemerintah masih begini kacau, kita akan hidup sebagai petani yang sederhana di dusun. Ayahmu memiliki sebidang tanah yang cukup luas untuk dijadikan pertanian dan peternakan, di selatan." Yu Bwee mengangguk.
"Aku juga ikut girang, Ayah dan Ibu. Aku pun muak melihat keadaan kehidupan yang bobrok dan busuk di dalam istana." Demikianlah, beberapa hari kemudian, keluarga ini meninggalkan kotaraja, dalam sebuah kereta besar yang ditarik empat ekor kuda. Yu Kiang menjual semua barang-barang berharga yang besar, dan hanya membawa barang-barang berharga yang kecil saja, dan hasil penjualan barang-barang miliknya itu dijadikan emas dan perak dan dibawanya pergi, menggunakan peti-peti yang ditaruh di dalam kereta.
Tidak seperti bangsawan atau hartawan lain, yang kalau pergi keluar kota tentu mempergunakan pengawalan pasukan ataupun pengawalan para petugas perusahaan pengawalan, keluarga ini tidak mempergunakan pengawal. Apa perlunya pengawal kalau Ceng Hiang dan Yu Bwee, Ibu dan anak itu sendiri merupakan dua orang wanita yang memiliki ilmu kepandaian tinggi? Mereka berdua saja lebih kuat dibandingkan dengan sepasukan pengawal yang besar jumlahnya! Akan tetapi karena pada waktu itu, negara berada dalam keadaan kacau, pemberontakan terjadi di mana-mana dan kedudukan pemerintah Mancu menjadi lemah sekali dengan penyerbuan pasukan orang kulit putih yang lalu dan kekuasaan Tai Peng di selatan, maka di mana-mana bermunculan gerombolan-gerombolan pengacau dan penjahat yang mempergunakan kesempatan selagi pemerintah dalam keadaan lemah itu untuk merajalela.
Ketika kereta yang mereka tumpangi, yang dikendalikan oleh seorang kusir tua, kusir mereka yang sudah menjadi pembantu mereka sejak Ceng Hiang masih kanak-kanak, baru saja meninggalkan kotaraja, semua orang mengenal nyonya Yu Kiang yang berilmu tinggi, juga puterinya yang lihai, maka tidak ada yang berani mncoba untuk mengganggu kereta mereka. Akan tetapi, setelah mereka meninggalkan kotaraja beberapa hari lamanya dan kini sudah jauh dari daerah kotaraja, mulailah terjadi gangguan-gangguan terhadap kereta mereka. Sebelum terjadi gangguan, Ceng Hiang maklum bahwa perjalanan yang cukup jauh itu tentu akan mendatangkan gangguan yang cukup banyak, apalagi kalau diketahui oleh para penjahat bahwa keluarganya membawa cukup banyak emas dan perak.
"Kita tidak perlu menanam bibit permusuhan dengan orang kang-ouw," katanya kepada puterinya.
"Oleh karena itu kalau ada gerombolan yang hendak mengganggu, lebih dulu kita menawarkan sumbangan. kalau mereka tidak mau dan memaksa hendak merampok, barulah kita turun tangan melawan mereka. Akan tetapi, jagalah agar jangan sampai engkau melukai terlalu berat, apalagi membunuh. Cukup kalau membuat meeka ketakutan dan tidak mengganggu lagi."
"Akan tetapi, Ibu. Kenapa kita harus bersikap halus terhadap penjahat yang kejam?" Yu Bwee membantah.
"Perjalanan kita masih panjang, Yu Bwee. Tidak baik kalau menanam bibit permusuhan sehingga perjalanan kita selanjutnya akan terus mengalami gangguan." Setiap kali mereka bermalam di kota atau dusun, mereka tentu menurunkan barang-barang berharga dari atas kereta dan membawanya ke dalam kamar, sehingga kereta itu kosong dan cukup dijaga oleh kusir. Pada suatu malam, ketika mereka beristirahat dalam sebuah rumah penginapan, datanglah gangguan yang pertama. Seperti biasa, mereka menyewa dua buah kamar, sebuah untuk Yu Kiang dan Ceng Hiang, dan sebuah lagi, dekat dengan kamar mereka, untuk Yu Bwee. Peti-peti berisi emas dan barang-barang berharga ditumpuk di kamar Yu Kiang.
Malam itu, menjelang tengah malam, Yu Bwee terbangun dari tidurnya karena ia mendengar suara yang tidak wajar di atas genteng kamarnya. Cepat ia turun dari pembaringan, di dalam gelap meraba-raba dan mencari sepatunya, mengenakan pakaian luar, kemudian iapun keluar dari dalam kamarnya itu melalui jendela kamar yang ia buka perlahan-lahan. Kemudian, ia berindap-indap naik ke atas genteng. Ketika ia mengintai, ia melihat dua bayangan hitam sedang berjongkok di atas kamar orang tuanya, agaknya sedang mengintai dari genteng yang mereka buka. Yu Bwee marah dan ingin turun tangan memberi hajaran, akan tetapi ia teringat akan pesan Ibunya dan iapun tersenyum nakal. Tangannya mencengkeram genteng dan menghancurkannya, lalu menggunakan pecahan kecil dari genteng itu untuk menyambit dua kali. Dua butir benda kecil menyambar dengan amat kencangnya.
"Tuk! Tuk!"
"Aduhh...!" Dua orang itu memegang belakang kepala mereka dan menahan pekik kesakitan, lalu menengok ke belakang dan kanan kiri.
"Apa yang mengenai kepalaku?" tanya yang seorang sambil mengelus belakang kepalanya yang benjol sebesar kacang tanah.
"Aku juga! Apakah ada yang menyambit?"
"Ah, tidak ada orang... tentu semacam lebah yang menyengat kita." Mereka mengintai lagi, tangan mereka masih terus mengelus bagian kepala yang kena sambit tadi, yang terasa cukup neyeri. Kemudian mereka dengan hati-hati sekali berloncatan turun, lalu menghampiri jendela kamar Yu Kiang dan isterinya.
"Peti-peti itu tertumpuk di dalam..." kata yang seorang.
"Kita congkel jendela, engkau yang mencari dan mengambil peti yang paling berharga, aku menjaga sumai isteri itu, kalau ada yang terbangun akan kubacok mampus sebelum sempat berteriak," kata orang kedua yang agaknya menjadi pemimpin. Temannya mengangguk dan mereka lalu menggunakan golok yang sejak tadi mereka bawa untuk mencongkel daun jendela.
"Tak! Tak!"
"Aduuhhh...!" Kini seruan itu lebih kuat daripada tadi, dan mereka berdua meraba kepala bagian kanan dan di situ nampak benjolan sebesar telur ayam.
"Ada yang menyambit kita!" bisik yang seorang dan mereka berdua sudah meloncat berdiri, golok di tangan.
"Tidak ada orang! Apa setan yang mengganggu...?" kata yang kedua.
Mereka berloncatan menuju pekarangan belakang dari mana tadi tentu ada benda yang menyambar dan mengenai kepala mereka karena mendengar jatuhnya benda-benda kecil itu ke atas lantai setelah mengenai kepala mereka. Mereka memandang ke dalam kebun itu, namun gelap dan tidak nampak bayangan manusia lain. Tiba-tiba, seorang di antara mereka menunjuk dengan mata terbelalak dan tubuh gemetar. Temannya menengok dan keduanya kini berdiri menggigil, muka pucat dan mata terbelalak ketika melihat ujud yang menakutkan sekali, mahluk yang berkerudung putih, tidak nampak mukanya atau kedua lengannya, karena tertutup kain putih dan mahluk itu melayang menuju ke arah mereka!
"Celaka... se... setan...!" kata yang seorang. Akan tetapi, orang kedua yang menjadi pemimpin, agaknya lebih tabah.
"Setan atau bukan, kalau mengganggu akan kubunuh!" dan diapun menyambut dengan tusukan goloknya ke arah dada "setan" itu.
Rajawali Hitam Eps 10 Pedang Naga Kemala Eps 30 Pedang Naga Kemala Eps 16