Pemberontakan Taipeng 13
Pemberontakan Taipeng Karya Kho Ping Hoo Bagian 13
Segala keharuman yang tercium oleh hidung kita, segala kelezatan yang termakan oleh mulut kita. Dan kalau sudah begitu, yang memenuhi batin kita hanyalah perasaan syukur dan terima kasih kepada Tuhan Yang Maha Kasih, perasaan berbahagia yang keluar masuk dalam batin kita melalui pernapasan kita. Kalau sudah begitu, kita bebas dari ikatan duniawi yang bagaimanapun juga. Kalau sudah begitu segala peristiwa yang kita anggap baik maupun buruk hanya merupakan hembusan angin saja yang wajar, karena segala akibat tentu ada sebabnya walaupun sering kita tidak mengetahui adanya sebab itu, karena kita sudah buta oleh pengejaran keinginan. Setelah memeriksa keadaan Sheila dan maklum bahwa wanita itu telah mengalami pukulan batin yang hebat, Bu Beng Kwi tidak berani menyadarkan cepat-cepat.
Keadaan pingsan ini bahkan merupakan penyelamatan diri Sheila sendiri, pekerjaan kekuasaan yang ada dalam tubuh Sheila. Karena pingsan, maka untuk sementara ia terbebas dari rasa ngeri, kaget, marah, kemudian keharuan melihat Bu Beng Kwi, dan selamatlah ia. Kalau tidak pingsan, hantaman batin yang mengguncangkan itu bisa saja membuatnya Sheila menjadi gila, bahkan mati. Karena itu, Bu Beng Kwi membiarkan saja Sheila dalam keadaan pingsan, hanya menotok beberapa jalan darah untuk melapangkan pernapasannya dan membantu kekuatan jantung saja. Ketika Han Le selesai menyediakan air mendidih, dia menggunakan kain yang dibasahi air mendidih itu untuk mencuci muka dan leher Sheila. kemudian, melihat betapa ada tanda-tanda Sheila akan siuman, dia cepat meninggalkan kereta.
"Siapkan pakaian Ibumu, kalau ia siuman agar berganti pakaian dan kau beri minuman air hangat-hangat. Ibumu sedang marah kepadaku, aku tidak mau ia melihatku di sini kalau ia siuman."
"Tapi, Suhu, kenapakah? Mengapa Ibu marah kepada Suhu?" Justeru hal inilah yang ingin sekali diketahui Han Le semenjak dia diajak Ibunya pergi meninggalkan Suhunya itu. Akan tetapi, seperti juga Ibunya, Bu Beng Kwi menggeleng kepala dan tidak menjawab, melainkan pergi meninggalkan kereta. Han Le melanjutkan pekerjaan gurunya tadi, menggunakan kain hangat basah untuk membersihkan tubuh Ibunya. Dengan hati iba dia melihat bekas-bekas tangan tiga orang biadab tadi di lengan dan kaki Ibunya, tanda lembam kebiruan dan bekas jari tangan. Untung Suhunya datang tepat pada saat yang amat berbahaya itu, pikir Han Le. Sheila bergerak lemah, mengeluh panjang dan membuka kedua matanya. Ketika membuka dan melihat Han Le, ia segera bangkit dan merangkul puteranya.
"Henry, apa yang terjadi? Kita di mana?" Ia terbelalak memandang ke kanan kiri dan agaknya heran melihat bahwa ia berada dalam kereta bersama puteranya.
"Tenangkan hatimu, Ibu. Kita telah selamat terhindar dari pasukan jahat itu, mereka telah mati semua dan kita telah selamat. Engkau jatuh pingsan dan baru sekarang siuman, Ibu. Engkau bergantilah pakaian dan minumlah air hangat ini." Karena masih merasa bingung dan belum sadar betul, Sheila menurut saja dan minum air hangat. kesadarannya pulih dan kini ia memandang kepada pakaiannya yang robek-robek, kulit kaki tangannya yang terasa nyeri dan terdapat bekas- bekas tangan membiru dan teringatlah ia akan peristiwa mengerikan yang dialaminya semalam. matanya terbelalak dan kembali ia memandang ke kanan kiri, kemudian ia menubruk puteranya sambil menangis.
"Ahhh... aku teringat sekarang... Henry... Henry, di manakah dia...?" Sheila teringat betapa ia diseret oleh tiga orang dan ia melawan mati-matian ketika tiga orang itu hendak memperkosanya di dalam sebuah kuil tua. Kemudian ia melihat munculnya Bu Beng Kwi yang mengamuk dan menyerang tiga orang itu.
"Siapakah yang Ibu maksudkan?" Han Le bertanya, pura- pura tidak mengerti siapa yang dimaksudkan Ibunya.
"Dia... Suhumu, bukankah dia yang menyelamatkan kita?"
"Benar, Ibu. Akan tetapi mau apa Ibu kini mencari Suhu? Bukankah Ibu marah dan membenci Suhu?"
"Henry...!" Sheila menangis makin mengguguk sambil merangkul anaknya. Biarpun tadinya dia merasa tidak senang karena Ibunya marah dan membenci Suhunya yang demikian baiknya, bahkan kemudian memaksanya pergi meninggalkan gurunya itu, kini melihat Ibunya menangis demikian sedihnya, hati Han Le menjadi lunak dan merasa kasihan. seperti menghibur adiknya saja, dia mengusap rambut di kepala Ibunya, rambut yang seperti benang Sutera emas dan yang selalu dikaguminya itu.
"Ibu, jangan menangis, Ibu. Kita telah selamat dari malapetaka berkat pertolongan Suhu. Ibu, setelah apa yang dilakukan Suhu, setelah dia bersikap demikian baiknya kepada kita, dahulu dia menyelamatkan kita dari serangan pasukan Tai Peng, sekarang dia menyelamatkan kita pula dari perampok- perampok jahat. Setelah semua itu, Ibu, betapapun marahnya engkau, apakah engkau tidak dapat memaafkan Suhu? Ibu, engkau seorang wanita yang berhati mulia, aku tidak percaya bahwa engkau tidak dapat memberi ampun kepada Suhu, apapun kesalahannya kepadamu, Ibu... Kalau perlu, biarlah aku yang memintakan ampun untuknya kepadamu, Ibu." dan tiba- tiba Han Le berlutut di depan kaki Ibunya, berkali-kali menyentuh kaki Ibunya dengan dahi.
Melihat ini, Sheila mengeluarkan rintihan kecil dan merangkul anaknya, diangkatnya bangun anak itu dan ia pun menangis tersedu-sedu di pundak Han le yang juga ikut menangis, bingung melihat kedukaan demikian hebat dari Ibunya. Memang, Sheila merasa betapa hatinya seperti disayat-sayat mendengar kata-kata anaknya dan melihat betapa Han Le berlutut memohonkan ampun bagi gurunya! Haruskah ia memberi tahu puteranya bahwa Bu Beng Kwi adalah Koan J it, pembunuh Ayah kandung anak itu? Bahwa Bu Beng Kwi yang kini dianggap orang paling mulia oleh anaknya itu sesungguhnya adalah musuh besar mereka? Ah, ia tidak tega memberitahukan hal itu kepada Han Le. Ia sendiri mengalami kehancuran hati karena mengetahui rahasia itu, dan ia merasa yakin bahwa Han Le juga akan merasa kecewa dan berduka sekali. Setelah tangisnya mereda, Sheila bertanya dengan suara lirih,
"Henry, di manakah dia sekarang?"
"Dia tadi meninggalkan kereta setelah melihat Ibu tidak apa-apa. Dia bilang... dia bilang bahwa lebih baik ketika siuman Ibu tidak melihat dia karena... dia bilang bahwa Ibu sedang marah kepadanya." Sheila menarik napas panjang. Ia dapat membayangkan betapa tersiksa hati Bu Beng Kwi, mungkin lebih tersiksa darinya. Ia sendiri hanya kecewa melihat kenyataan pahit bahwa Bu Beng Kwi adalah Koan Jit, musuh besarnya. Akan tetapi Bu Beng Kwi atau Koan Jit itu bukan hanya kecewa, melainkan menyesal setengah mati. sebelum membuka rahasianya saja, ia sendiri melihat betapa Bu Beng Kwi menangis semalaman seperti anak kecil, dan hal ini seringkali dilakukannya.
"Dia berada di bawah?" tanyanya sambil berganti pakaian utuh.
"Mungkin, aku tidak tahu pasti, Ibu." Setelah membereskan pakaiannya, Sheila lalu turun dari atas kereta, dibimbing oleh puteranya. Ketika mereka sudah berada di bawah dan memandang ke kanan kiri, di situ sunyi saja. Tidak nampak bayangan Bu Beng Kwi. Dua ekor kuda penarik kereta dilepas dari kendali dan ditambatkan pada batang pohon, dan dua ekor kuda itu kini makan rumput dengan tenangnya. Tidak ada tanda-tanda bahwa di dekat situ ada Bu Beng Kwi atau orang lain. Hanya mereka berdua dan kuda-kuda itu, selebihnya sunyi.
"Dia... dia tidak ada..." kata Sheila suaranya hampa dan ringan. Han Le merasa penasaran. Baru saja Suhunya masih berada di situ. Dia lalu berteriak-teriak memanggil.
"Suhuuu...! Suhuuuuu...!" Berulang kali Han Le memanggil, menghadap ke empat penjuru, namun tidak terdengar jawaban, juga tidak muncul orang yang dipanggilnya itu.
"Dia... sudah pergi lagi..." kata pula Sheila, suaranya lirih dan seperti orang kehilangan semangat atau putus asa. Konflik yang terjadi di dalam batin Sheila membuatnya menjadi lemah sekali, seperti orang kehilangan semangat.
Kita selalu hidup dengan konflik batin yang tiada hentinya. Konflik antara apa yang ada dengan apa yang kita inginkan. Keadaan dan kenyataannya begini, kita ingin begitu. Kita susah, kita ingin melenyapkan kesusahan itu, kalau kita marah, kita ingin tidak marah dan kita ingin sabar. Kita membenci, demikian kenyataannya, namun kita ingin tidak membenci. Kita melihat betapa kita dengki dan iri, akan tetapi kita ingin agar tidak demikian, dan masih banyak lagi pertentangan yang terjadi setiap saat di dalam batin kita. Konflik itu menghamburkan kekuatan batin, konflik itu membuat kita lemah. Bahkan konflik ini memperkuat hal yang buruk itu. Kalau kita marah dan kita ingin agar tidak marah dan bersabar, maka keingian itu sendiri menjadi minyak yang akan menghidupkan terus kemarahan itu!
Kita tidak melihat bahwa marah dan keinginan sabar itu sama saja, timbul dari si aku juga, si aku yang selalu ingin enak, ingin senang. Aku marah karena aku meresa dirugikan, dan aku melihat betapa merugikan marah itu, maka aku ingin tidak marah dan ingin sabar, tentu saja dengan pengertian bahwa sabar itu baik dan menguntungkan! Dalam keadaan marah, mana mungkin sabar? Kalau toh kemarahan itu mereda, hal itu hanya karena pemaksaan diri. Pemaksaan macam ini tidak melenyapkan api kemarahan, melainkan hanya menutupinya saja untuk sementara. Nampaknya saja lenyap, namun api kemarahan itu belum padam, seperti api dalam sekam, sewaktu-waktu akan menyala lagi bahkan lebih besar dan kuat! Kenapa kita tidak mau hidup dan menghayati apa adanya, saat demi saat?
Kalau kita marah, kenapa kita tidak membiarkannya saja sewajarnya dan kita mengamatinya, mempelajarinya, merasakannya, dengan penuh perhatian dan kewaspadaan? Kenapa harus lari dari padanya? Kemarahan adalah kita sendiri, betapa mungkin kita lari dari diri sendiri? Pelarian bukanlah untuk mengatasi kemarahan. Akan tetapi kalau ada pengamatan terhadap diri sendiri di waktu marah, maka pengamatan inilah yang akan melenyapkan api kemarahan, lenyap bukan dipaksa lenyap atau ditutupi, melainkan lenyap sama sekali. Dan kalau sudah tidak ada lagi api kemarahan di dalam batin, apakah kita perlu untuk bersabar lagi? Yang penting adalah lenyapnya kemarahan dari sumbernya, bukan menutupinya dengan kesabaran yang dipaksakan. Demikanlah pula dengan duka, takut dan sebagainya.
Sumber semua perasaan itu berada di dalam diri sendiri, oleh karena itu penyembuhannya dalam diri sendiri, bukan diusahakan dari luar. Siapakah yang menyuruh kita takut, susah, marah dan sebagainya? Tidak ada bukan? Jelas,rahasia sumbernya berada di dalam diri sendiri dan karena itu, untuk mempelajarinya dan mengatasinya, penyelidikan harus ditujukan ke dalam diri sendiri pula. Kita yang susah, kita yang marah, kita yang takut, jadi kitalah yang harus diselidiki! Dengan pengamatan setiap saat, pada saat kita marah, pada saat kita susah, pada saat kita takut dan seterusnya. Setiap saat! Demikianlah pula dengan keadaan Sheila. Kenyataan adalah bahwa ia mencinta Bu Beng Kwi. Akan tetapi ia tidak ingin mencinta, ia ingin agar ia membenci Bu Beng Kwi, karena Bu Beng Kwi adalah Koan Jit, musuh besarnya, pembunuh suaminya. Ia harus membenci! Ia tidak mencinta musuh itu.
Demikian, terjadilah konflik yang terus menerus antara kenyataan yang ada dan keinginan hati yang diciptakan oleh jalan pikirannya. Teringatlah Sheila betapa begitu ia dan puteranya meninggalkan Bu Beng Kwi maka kesukaran dan ancaman bermunculan, dan semua bahaya itu baru dapat terhalau setelah Bu Beng Kwi muncul. Agaknya,... ia tidak akan dapat hidup aman dan bahagia lagi tanpa Bu Beng Kwi. Dan kini pendekar itu telah pergi meninggalkannya. Tak terasa lagi air matanya turun menetes-netes walaupun ia tidak ingin menangis kehilangan Bu Beng Kwi. Han Le juga merasa penasaran ketika teriakan-teriakannya memanggil Suhunya tidak mendapatkan jawaban. Tidak mungkin gurunya meninggalkan mereka begitu saja! Dia teringat betapa Suhunya tidak berani bertemu dengan Ibunya karena Ibunya sedang marah kepadanya. Mendadak timbul sebuah akal.
"Ibu, katakanlah, apakah Ibu mau memaafkan Suhu?" tiba-tiba dia bertanya dengan suara nyaring. Sheila memandang puteranya dengan linangan air mata, kemudian ia mengangguk.
"Ibu, katakanlah dengan jelas agar hatiku menjadi yakin. Apakah Ibu mau memaafkan Suhu, mengampuni semua kesalahan Suhu kepada Ibu?" Dengan bibir gemetar Sheila berkata,
"Aku... aku maafkan dia..."
"Dan apakah Ibu tidak marah lagi kepadanya?" kembali Han Le bertanya, suatanya nyaring. Sambil menggeleng, Sheila menjawab,
"Aku tidak marah kepadanya lagi." Dengan suara girang Han Le lalu berteriak, membentuk corong dengan kedua tangan di kanan kiri mulutnya.
"Suhuuu! Harap Suhu suka ke sini! Ibu tidak marah lagi kepada Suhu!" Dan tiba-tiba saja nampak bayangan putih berkelebat dan tahu-tahu Bu Beng Kwi sudah berdiri di situ, di depan mereka!
"Suhu...!" Han Le berseru dan dia segera menjatuhkan dirinya berlutut menghadap gurunya. Akan tetapi Sheila hanya berdiri dengan tubuh terasa lunglai, dan hanya sebentar ia mengangkat muka memandang kepada Bu Beng Kwi dengan sepasang mata berlinang air mata, kemudian ia menunduk dan air matanya mengalir turun di sepanjang kedua pipinya yang agak pucat. Bu Beng Kwi tak dapat menahan keharuan hatinya. Dia tadi merasa seolah-olah hidup kembali ketika mendengar suara Sheila yang selain menyatakan bahwa wanita itu telah memaafkannya, juga tidak marah lagi kepadanya. Kini, melihat wanita yang dicinta sepenuh jiwanya itu berdiri dalam keadaan demikian menyedihkan, hatinya dipenuhi rasa iba dan sayang diapun cepat melangkah maju lalu menjatuhkan dirinya berlutut di depan kaki Sheila!
"Benarkah engkau dapat mengampuni semua kesalahan dan dosaku, Sheila? Ya Tuhan, betapa mulia hatimu, Sheila, dan betapa jahat dan hinanya diriku ini..." Suara Bu Beng Kwi meng etar penuh perasaan. Bagaikan tiba-tiba lumpuh kedua lututnya, Sheila juga menjatuhkan diri berlutut dan menangis.
"Taihiap..." Mereka bertiga berlutut dan kini Bu Beng Kwi menggunakan kedua lengannya untuk merangkul Sheila dan Han Le. Berkali-kali dia berdongak ke atas, seolah-olah hendak menyatakan terima kasihnya kepada Tuhan dan berkali-kali mulutnya berkata lirih.
"Sheila... Han Le... betapa aku cinta kepada kalian. hanya kalianlah yang kumiliki di dunia ini..." Didekapnya Ibu dan anak itu, rapat-rapat di dadanya seolah-olah dia tidak ingin berpisah lagi dan ingin memasukkan kedua orang itu ke dalam rongga dadanya. Sampai beberapa lamanya mereka berada dalam keadaan yang amat mengharukan itu. Akhirnya Bu Beng Kwi berkata kepada Han Le, lirih,
"Han Le, bagaimana pendapatmu kalau mulai sekarang engkau bukan hanya menjadi muridku, melainkan menjadi anakku?" Han Le mengangkat muka memandang wajah yang buruk namun amat disayangnya itu. Ucapan itu tadi membuat dia bingung, walaupun amat menggirangkan hatinya.
"Suhu, apa... apakah maksud Suhu...?" Akan tetapi Suhunya tidak menjawab, melainkan berkata kepada Ibunya,
"Sheila, sudikah engkau? Kita bukan anak kecil lagi, juga Han Le sudah besar, oleh karena itu biarlah kesempatan ini kupergunakan untuk melamarmu, Sheila. Bolehkah aku menjadi Ayah Han Le? Maukah engkau... sudikah engkau menjadi isteriku?" Han Le terbelalak dan wajahnya berseri gembira. Ingin dia meneriakkan sebutan Ayah kepada gurunya, akan tetapi dia merasa malu dan juga takut kepada Ibunya yang belum menjawab. Sampai lama Sheila hanya menunduk, kemudian menarik napas panjang, lalu berkata dengan suara halus.
"Marilah kita pulang dulu, kita bicarakan urusan ini dirumah." Bu Beng Kwi menarik mereka bangkit berdiri dan diapun tertawa.
"Ha-ha, sungguh aku orang yang kasar dan tidak memakai aturan. Meminang orang di tengah jalan! Mari kita pulang, Sheila! Han Le! Mari kita pulang!" Betapa indahnya kata"pulang" itu bagi Sheila di saat itu. Betapa ia selama meninggalkan Bukit Awan Merah merasa amat rindu kepada rumah tempat tinggal mereka itu, rindu akan "pulang."
Sheila mendapatkan banyak waktu untuk merenungkan pinangan Bu Beng Kwi. Harus diakuinya bahwa ia benar-benar mencinta Bu Beng Kwi, dan iapun melihat kenyataan bahwa orang yang bernama Koan Jit itu telah benar-benar berubah. Bukan baru sekarang berubah, bukan berubah karena kini bertemu dengannya dan jatuh cinta. Bukan berubah karena ingin mengambilnya sebagai isteri. melainkan sudah lama sekali Koan Jit telah berubah menjadi seorang manusia lain yang telah mengubah jalan hidupnya. Sebelum bertemu dengannya, jauh sebelum itu, Koan Jit telah menjadi seorang pendekar budiman yang mengorbankan nyawa demi menolong para pimpinan pejuang yang tertawan.
Dunia menganggapnya sudah tewas dan karena Koan Jit selalu merasa menyesal akan dirinya, akan dosanya, dia sendiri membiarkan dunia menganggap Koan Jit telah mati. Dia bahkan lalu meniadakan Koan Jit, memakai topeng buruk dan menjadi Bu Beng Kwi. Hal ini telah dilakukan jauh sebelum berjumpa dengannya. Kemudian, setelah bertemu dengannya dan saling mencinta, barulah
(Lanjut ke Jilid 12)
Pemberontakan Taipeng (Seriall 02 - Pedang Naga Kemala)
Karya : Asmaraman S. Kho Ping Hoo
Jilid 12
Bu Beng Kwi membuka topengnya. Hal ini menunjukkan bahwa Koan Jit adalah seorang manusia yang kini telah berubah sama sekali, memiliki kejujuran. Kalau tidak begitu, tentu dia akan diam saja, tidak mau membuka rahasianya yang ditutupnya terhadap dunia umum. Akan tetapi tidak, dia tidak mau menipu Sheila. Dia memperlihatkan diri sebagai musuh besar yang dibencinya, dengan mempertaruhkan kebahagiaan dirinya, kehilangan cintanya!
Mempertimbangkan semua ini, dan bertanya kepada batin sendiri, Sheila mendapatkan jawaban. Ia mencinta Bu Beng Kwi atau Koan Jit yang sekarang ini. dan ia pun merasa yakin bahwa mendiang suaminya juga tidak akan dapat membenci bekas toa-Suheng ini, yang telah berubah menjadi seorang manusia yang berhati mulia. Maka diterimalah pinangan itu! Mereka menikah secara sederhana sekali, hanya disaksikan beberapa orang penduduk dusun yang berdekatan. Para penduduk merasa terheran-heran melihat seorang wanita kulit putih yang demikian cantiknya mau menjadi isteri seorang laki-laki tua yang berwajah seperti setan! Namun mereka tidak berani berkata apa-apa. Yang paling bergembira adalah Han Le. Dengan sepenuh hati, Bu Beng Kwi minta kepada Sheila agar keadaan dirinya sebagai Koan Jit dirahasiakan lebih dulu dari Han Le.
"Jangan mengganggu ketenangan perasaannya," demikian dia berkata.
"Biarkan dia hidup tenang dan menganggap aku sebagai gurunya dan Ayahnya, agar dia belajar dengan baik. Kelak, kalau dia sudah tamat belajar dan sesudah dewasa, aku sendiri yang akan membuka rahasia ini. Aku tidak akan mengelak dari tanggung jawab, Sheila. Aku hanya menjaga agar jangan sampai terguncang perasaannya dan hal itu akan mengganggu dia belajar." Sheila merasa semakin kagum dan hormat kepada bekas musuh besar yang kini menjadi suaminya itu. Ternyata di balik topeng buruk itu ia menemukan seorang laki-laki yang jantan, yang lembut, yang penuh cinta kasih, bijaksana dan berhati mulia. Dan ia tidak merasa enyesal dengan keputusannya menerima pria ini sebagai suaminya. Ia merasa yakin benar bahwa demi kebahagaian puteranya, ia telah mengambil langkah yang benar. Ia tahu bahwa di bawah asuhan Bu Beng Kwi, puteranya akan menjadi seorang laki-laki yang berjiwa pendekar dan menjadi seorang manusia yang berguna bagi dunia.
Keadaan negara menjadi semakin kalut. Pemerintah Mancu menjadi semakin lemah dengan adanya pemberontkan Tai Peng. Hanya berkat kegigihan menteri-menteri dan panglima-panglima setia saja maka gerakan Tai Peng terhenti, akan tetapi daerah yang luas di sebelah selatan Sungai Yang-ce telah dikuasai "Kerajaan Sorga", yaitu kerajaan yang didirikan oleh pemberontak Tai Peng di bawah pimpinan Ong Siu Coan itu. Selain rongrongan dari pemberontak Tai Peng, juga pemerintah Mancu selalu dirongrong oleh pasukan orang kulit putih. Kekalahan pemerintah Mancu dalam perang candu membuat orang-orang kulit putih menjadi semakin berani. Mereka makin melebarkan sayap untuk mengeduk keuntungan sebesarnya dari negeri yang luas,
Rakyatnya yang banyak akan tetapi yang lemah karena adanya perang saudara yang terus menerus di sebelah dalam. Dari menyebaran candu, orang kulit putih mengeduk keuntungan yang luar biasa besarnya, dengan mengorbankan rakyat yang menjadi pecandu-pecandu yang tidak ketolongan lagi. Juga orang kulit putih mengeduk keuntungan besar dari pembelian rempah-rempah, teh, Sutera dan barang-barang lain dari pedalaman. Bahkan adanya pemberontakan Tai Peng yang menimbulkan perang saudara besar itupun menjadi sumber penghasilan dan keuntungan bagi orang kulit putih, dengan jalan menjual senjata ke kanan kiri. Pemberontakan Tai Peng yang melemahkan pemerintah Ceng (Mancu), juga menimbulkan pemberontakan daerah-daerah lain yang tentu saja merasa tertarik dan mempergunakan kesempatan selagi pemerintahan menjadi lemah,
Mereka memberontak terhadap pemerintah Mancu. Suku bangsa Nien-fei memberontak dalam tahun 1853, juga disusul suku Miauw di Kwei-couw Barat yang memberontak dalam tahun 1854. Payahlah pemerintah menghadapi pemberontakan-pemberontakan ini. Mereka harus membagi-bagi pasukan untuk memadamkan pemberontakan di sana-sini dan karena kekuatan mereka terpecah, mereka menjadi semakin lemah dan sukar untuk dapat memadamkan pemberontakan- pemberontakan itu. Dalam keadaan yang semakin lemah itu, pihak orang kulit putih menjadi semakin berani. Pada suatu hari dalam tahun 1856, terjadilah peristiwa yang akan mengobarkan perang baru antara pemerintah Mancu dengan pasukan kulit putih. Banyak candu diselundupkan ke dalam daerah yang masih dikuasai oleh pemerintah Mancu,
Karena daerah selatan tidak aman bagi penyelundupan candu. Pemerintah baru dari Tai Peng melarang keras perdagangan candu dan sukarlah menyelundupkan candu di daerah yang dikuasai Kerajaan Sorga itu. Pada suatu pagi, sebuah kapal berlabuh di pantai timur. Kapal itu memakai bendera Inggris dan bernama Kapal Arrow (Anak Panah). Sebetulnya kapal itu milik kongsi pelayaran Cina, segolongan orang yang rela menjadi kaki tangan orang asing demi memperoleh keuntungan besar. Anak buah kapal Arrow itu, kesemuanya orang pribumi, tidak tahu bahwa gerak-gerik kapal mereka itu diamati dengan seksama oleh para penjaga pantai. Ketika kapal itu sudah berlabuh dan berhenti, sepasukan penjaga pantai menyerbu naik kapal. Anak buah kapal tidak berani mengadakan perlawanan dan ketika kapal diperiksa, ternyata membawa barang selundupan, candu dan senapan!
Tentu saja anak buah kapal ditangkap dan kapal itu ditahan di pelabuhan, dan barang selundupan disita. Peristiwa seperti ini sebetulnya biasa saja dan sudah wajar. Kapal ditahan dan anak buahnya ditangkap, barang-barang selundupan disita karena memang perbuatan itu melanggar. Akan tetapi, orang-orang asing kulit putih yang memang selalu menanti kesempatan itu, mempergunakan peristiwa ini sebagai alasan mereka untuk bergerak! Orang Inggris menganggap bahwa penangkapan ini merupakan penghinaan pemerintah Mancu terhadap mereka karena kapal itu berbendera Inggris.Alasan ini cukup bagi mereka untuk"menghukum" pemerintah Mancu! Tentu saja hal ini terjadi karena keadaan pemerintah Mancu yang mulai lemah. Pasukan Inggris mengadakan persekutuan dengan orang- orang asing lainnya, yaitu terutama sekali perancis, Rusia, dan Amerika.
Mereka berempat menggabungkan pasukan mereka dan menyerbu Kan-ton. Kota ini berhasil direbut dan diduduki. Perang yang baru muncul semenjak Perang Madat ini tentu saja menggegerkan Kerajaan Mancu yang sudah dirongrong banyak pemberontakan. Para pejuang rakyat menjadi gelisah dan bingung, merasa serba salah. Mereka itu adalah kaum patriot yang hendak membebaskan rakyat dari cengkeraman penjajah Mancu dan berusaha menggulingkannya, akan tetapi tentu saja mereka sama sekali tidak ingin melihat tanah air mereka terjatuh ke dalam cengkeraman bangsa lain yang lebih asing lagi, yaitu orang-orang kulit putih. Perang yang dikobarkan oleh orang kulit putih ini membuat semua perhatian dicurahkan kepada mereka karena memang kekuatan orang kulit putih yang bersenjata lengkap itu sukar dilawan. Tai Peng tidak diperhatikan lagi.
Kalau saja pihak Tai Peng pada suatu saat itu bergerak, mempergunakan kesempatan itu untuk menyerbu ke utara, tentu dengan mudah Tai Peng akan mampu menguasai seluruh daratan Cina. Akan tetapi, agaknya Ong Siu Coan sudah keenakan menjadi raja di selatan sehingga dia seolah-olah tidak perduli akan gerakan yang dilakukan oleh orang-orang kulit putih itu. Padahal, sepatutnya dia melihat bahaya besar berkembangnya kekuasaan kulit putih ini yang akan mencengkeram tanah air dan bangsanya. Betapa banyaknya sudah tercatat dalam sejarah tentang perjuangan yang dipimpin oleh orang-orang yang menamakan dirinya pahlawan bangsa, patriot dan pejuang. Selagi mereka ini memimpin perjuangan, merebut kekuasaan, mereka mempergunakan slogan-slogan yang muluk untuk membangkitkan semangat rakyat jelata yang menjadi kekuatan mereka.
Segala sepak terjang mereka selalu demi rakyat, demi negara, demi bangsa dan sebagainya. Dan rakyat terbius oleh kata-kata muluk, terbakar semangat mereka oleh slogan-slogan sehingga rakyat dengan sepenuh hati, tanpa pamrih, bergerak mendukung dan terjun membantu gerakan yang dinamakan perjuangan itu. Itu awalnya. Bagaimana akhirnya? Bagaimana kalau perjuangan itu akhirnya berhasil? Yang pasti, para pimpinan rakyat itu setelah perjuangan berhasil, saling memperebutkan kedudukan! Mereka menjadi penguasa- penguasa baru dan hidup bergelimang dalam kemuliaan, kehormatan dan kemewahan. Bagaimana dengan slogan-slogan yang mereka pergunakan untuk membangkitkan rakyat? Yang mengatakan bahwa perjuangan itu dilakukan demi rakyat, menolong rakyat dari penindasan, medatangkan kemakmuran kepada rakyat?
Begitulah! Slogan tinggal slogan dan rakyat tetap dilupakan. Penindasan tetap ada, walaupun kini berganti bentuk dan berganti orang yang menjadi penindasnya. Ong Siu Coan menjadi satu di antara pemimpin-pemimpin semacam itu. Mula-mula memang perjuangannya didengung-dengungkan sebagai perjuangan untuk rakyat. Akan tetapi setelah dia berhasil menjadi raja? Rakyat tetap saja sengsara. Yang makmur jelas dia yang menjadi raja dan teman-temannya, kaki tangannya yang merupakan sekelompok penguasa baru, menggantikan yang telah mereka kalahkan dengan bantuan darah dan keringat rakyat dalam prjuangan. Masih untunglah bagi pemerintah Mancu bahwa pada waktu itu, kekuatan pasukan Inggris terpecah karena adanya pemberontakan kaum Sepoy di India, negara besar yang mulai dicengkeram penjajah Inggris.
Karena ini, maka pasukan Inggris tidak dapat menyerbu dengan kekuatan penuh sehingga terhenti setelah menduduki Kanton dan daerahnya ke barat dan utara. Padahal waktu itu, keadaan pmerintah Mancu sudah lemah sekali. Di utara dan barat terdapat pemberontakan kaum Nien-fei dan suku Bangsa Miauw, dari selatan ada pemberontakan Tai Peng, dan dari timur, dari arah laut, terdapat ancaman orang kulit putih! Kelemahan pemerintah Mancu bukan hanya karena timbulnya banyak pemberontakan, akan tetapi terutama sekali bersumber dari keadaan di dalam istana sendiri. Kaisar yang sejak muda hanya menjadi seorang pengejar kesenangan itu tidak ada perhatian sama sekali atau acuh saja terhadap keadaan negara. Dia seperti telah buta oleh kesenangan, dan tubuhnya menjadi semakin lemah.
Bahkan dia tidak tahu betapa diam-diam selirnya tercinta, Yehonala yang kini telah menjadi permaisuri kedua, bermain gila dengan thaikam (orang kebiri) Li Lian Ying, merupakan perhubungan jina yang tidak wajar. Kaisar tidak tahu akan hal itu, tidak tahu pula bahwa kerajaannya mengalami ancaman akan runtuh. Dia hanya terus mengejar kesenangan biarpun tubuhnya sudah menjadi semakin lemah, dan dia harus mempergunakan banyak obat kuat untuk membangkitkan kembali kegairahannya, tidak tahu bahwa hal ini semakin merusaknya lahir batin. Didalam keadaan negara kacau seperti ini, biasanya menurut sejarah negara di seluruh dunia, selalu ada saja orang gagah sejati yang tampil menjadi pemimpin rakyat. Demikian pula, dalam keadaan kacau itu, muncul dua orang pendekar muda yang berkepandaian tinggi,
Memimpin rakyat petani yang sudah kehilangan segala-galanya karena dusun mereka dilanda perang, membentuk pasukan-pasukan dan melatih pasukan ini dengan ilmu berperang dan bekelahi sehingga mereka berdua berhasil membentuk pasukan rakyat yang makin lama menjadi semakin kuat. Apalagi ketika para pendekar merasa cocok dan suka melihat gerakan ini lalu mendukung dan menggabungkan diri, pasukan rakyat yang dipimpin dua orang tu menjadi semakin kuat. Siapakah mereka itu? Mereka bukan lain adalah Ceng kok Han dan Li Hong Cang, dua orang murid Bu Beng Kwi yang sudah kita kenal! Akan tetapi, pasukan mereka belum bergerak karena mereka, dibantu oleh para pendekar, sedang membangun dan memperkuat pasukan mereka, dan menggembleng para anak buah pasukan.
Mereka baru akan bergerak kalau sudah memiliki pasukan besar yang kuat dan boleh diandalkan. Sementara itu, di Kerajaan Sorga yang dipimpin oleh Ong Siu Coan, juga terjadi kemunduran. Ong Siu Coan yang kini sudah menjadi seorang raja yang hidupnya mulia dan penuh kemewahan, agaknya menjadi semakin gila saja dengan pikiran-pikirannya yang aneh. Dia diganggu oleh pikirannya sendiri, yang menghubungkan isi Alkitab dengan dirinya sendiri. Dia semakin acuh, bahkan dia seperti tidak perduli lagi melihat betapa permaisurinya, Tang Ki, kini terlibat dalam hubungan gelap bersama Lee Song Kim yang menjadi orang kepercayaannya. Satu di antara nafsu yang amat kuat dan besar kekuasaannya terhadap diri manusia adalah nafsu berahi. Tang Ki tadinya merupakan seorang isteri yang mencinta dan setia dari Ong Siu Coan,
Yang sama sekali tidak pernah mempunyai sedikitpun pikiran untuk menyeleweng dan suka menyerahkan dirinya kepada pria lain. Akan tetapi, bagaimanapun juga ia hanyalah seorang wanita biasa saja. Setelah memperoleh kedudukan sebagai raja, tercapainya ambisi dan cita-citanya, Ong Siu Coan mulai kurang memperhatikan isterinya. Apalagi karena Tang Ki tidak dapat memberinya keturunan, kemesraannya terhadap Kiki atau Tang Ki berkurang bahkan hubungan di antara mereka menjadi agak renggang. Dalam keadaan haus akan rayuan dan belaian pria inilah muncul Lee Song Kim, seorang laki-laki yang berpengalaman dan pandai sekali merayu wanita, juga tampan dan gagah. Biarpun dahulu pernah Kiki membenci Suhengnya ini, namun pertemuannya kembali dengan Suhengnya itu membawa perubahan.
Ia sedang haus cinta kasih dan kemesraan seorang pria sebagai pengganti suaminya yang bersikap acuh dan Lee Song Kim yang ahli tentu saja dapat memenuhi kebutuhan ini. Bahkan ternyata bahwa Suhengnya itu dapat memberinya kesenangan dan kepuasan yang jauh melampaui apa yang didapatkannya dari Ong Siu Coan. Song Kim melimpahkan rayuan dan kemesraan pada wanita yang sedang kering kehausan itu. Anehkah kalau Kiki lalu melekat kepadanya? Semenjak dahulu, wanita adalah mahluk yang selalu mendambakan sanjungan, pujian dan cinta kasih pria. Karena itulah maka pada umumnya wanita amat lemah terhadap pujian dan rayuan, dua hal yang memang amat didambakannya. Apalagi kalau yang merayu itu pria yang berkenan di hati mereka. Akan mudah saja jatuh dan lupa diri kalau menghadapi rayuan seorang pria yang menarik dan pandai.
Tahun 1859. Biarpun tadinya terhalang oleh pemberontakan di India yang membuat pasukan kulit putih terhambat penyerbuan mereka dan hanya dapat menduduki Kanton dan sekitarnya, namun kurang dari dua tahun kemudian, yaitu pada tahun 1858, setelah berhasil memadamkan pemberontakan di India, pasukan Inggris yang bergabung dengan pasukan kulit putih Perancis, Rusia dan Amerika, untuk kedua kalinya melakukan penyerbuan kembali. Dengan tenaga sepenuhnya, tentara kulit putih gabungan itu menyerbu lewat teluk Po-hai, menyerbu dan menduduki Tien-cin setelah terjadi perang selama berbulan-bulan. Dan kini mereka bersiap-siap menyerbu ke Peking! Tentu saja keadaan menjadi geger dan kacau. Pemerintah Mancu sudah bersiap-siap mempertahankan Peking dari serbuan pasukan kulit putih.
Pada suatu hari, di sebuah kuil Agama To di luar kota Pao-ting, diadakan pertemuan antara para pendekar yang merasa perlu untuk berunding dan bergerak menyaksikan kekacauan yang timbul karena penyerbuan pasukan kulit putih itu. Nampak di antara mereka pendekar Tan Ci Kong dan isterinya, Siauw Lian Hong. Suami isteri pendekar itu kini tidak muda lagi. Ci Kong sudah berusia empat puluh empat tahun sedangkan isterinya, Lian Hong sudah berusia empat puluh satu tahun. hadir pula suami isteri thio Ki dan Ciu Kui Eng yang usianya sebaya dengan suami isteri pendekar pertama.
Tidak kurang dari dua puluh orang pendekar yang berdatangan di kuil itu, atas prakaesa dan undangan Tan Ci Kong yang merasa delisah menyaksikan keadaan yang kacau akibat penyerbuan pasukan kulit putih. Para Tosu yang berada di kuil itu adalah sahabat Ci Kong, dan merekapun prihatin akan keadaan negara, maka mereka membantu dan memperbolehkan kuil mereka dijadikan tempat pertemuan para pendekar itu. Berkumpullah para pendekar itu di ruangan belakang kuil, di tempat yang tersembunyi dan tidak akan terlihat atau terdengar oleh mereka yang datang berkunjung ke kuil untuk bersembahyang. Pertemuan itu dipimpin oleh Ci Kong. Setelah mereka semua saling memberi hormat dan mengambil tempat duduk mengelilingi meja, Tan Ci Kong lalu bangkit berdiri.
"Selamat datang, Cuwi Enghiong (para pendekar sekalian), selamat bertemu kembali. Cuwi (kalian) tentu dapat menduga mengapa kita harus berkumpul lagi di sini. Semua orang gelisah melihat perkembangan di negara kita. Pasukan kulit putih yang amat kuat menyerbu dan mengancam Peking, sedangkan pemberontak Tai Peng tentu tidak akan menyia-nyiakan kesempatan ini untuk menyerbu pula ke utara. Bagaimana pendapat cuwi dan apa yang harus kita lakukan?" Para pendekar itu menjadi gaduh, saling bicara sendiri dan Ci Kong terpaksa minta agar mereka tenang.
"Apabila di antara cuwi ada yang mempunyai usul, harap suka bicara seorang demi seorang agar dapat kita pertimbangkan bersama." Seorang di antara mereka yang berpakaian tamal-tambalan, seorang tokoh dari perkumpulan Tiat-Pi Kai-Pang (Perkumpulan Pengemis Lengan besi) yang muncul selama beberapa tahun ini sebagai tokoh jembel yang berjiwa pendekar dan patriot, bangkit berdiri dan bicara dengan suaranya yang parau.
"Dahulu kita membantu gerakan Tai Peng, kemudian kita bersama meninggalkannya karena Tai Peng menyeleweng. Apalagi sekarang. Orang she Lee itu telah mengangkat diri menjadi Thian-He Te-It Bu-Hiap dan menghimpun orang-orang golongan sesat untuk membantu Tai Peng. Jelas kita tidak dapat membantu Tai Peng lagi, bahkan harus menentangnya." Semua orang mengangguk dan menyatakan setuju.
"Memang benar demikian, dan kita yang selalu memikirkan kepentingan rakyat jelata yang tertindas, sekarang menjadi serba salah. Jelas tidak dapat membantu Tai Peng, juga tidak mungkin membantu orang kulit putih, dan sejak dahulu kita bercita-cita mengusir penjajah Mancu. Apa yang harus kita lakukan sekarang?" Kini Thio Ki yang telah menjadi ketua Kang-Sim-Pang, bangkit berdiri.
"Dengan penyerbuan orang kulit putih, keadaan menjadi kacau dan rakyat pula yang mengalami pnderitaan. Bagaimanapun juga, orang kulit putih dapat menjadi penjajah yang lebih kejam daripada orang Mancu. Oleh karena itu, untuk sementara kita harus menentang orang kulit putih..."
"Kalau begitu apakah kita harus membantu pemerintah penjajah Mancu?" tanya seorang yang bertubuh tinggi besar bermuka merah. Dia adalah seorang murid Kun-Lun-Pai yang lihai.
"Tidak ada pilihan lain dan kita mau tidak mau harus menyetujui pendapat Thio pangcu dari Kang-Sim-Pang itu." Ci Kong membenarkan.
"Tak mungkin dalam keadaan sekarang kita menentang keduanya. menghadapi dua orang lawan, bahkan tiga orang dengan Tai Peng, kita harus bersikap cerdik. Lebih dulu menghalau lawan yang paling berbahaya, dalam hal ini orang kulit putih dan Tai Peng. Kalau keduanya sudah tidak ada, kiranya tidak sukar merobohkan kekuasaan penjajah Mancu yang sudah semakin lemah itu." Ciu Kui Eng yang juga terkenal di antara para pendekar sebagai seorang pendekar wanita yang pernah memimpin perjuangan, bangkit dan dengan suara lantang ia berkata,
"Kita boleh saja membantu pemerintah Mancu untuk menyelamatkan rakyat dari serbuan orang kulit putih, akan tetapi jelas bahwa kita tidak akan menjadi kaki tangan Mancu! Apakah cuwi belum mendengar akan munculnya pemimpin rakyat yang baru, yang kini telah menghimpun pasukan yang cukup kuat dan didukung oleh banyak pendekar?" Ci Kong mengangguk-angguk.
"Kami juga sudah mendengar, akan tetapi belum jelas benar."
"Aku sudah bertemu dengan mereka dan harus kuakui bahwa dua orang pemimpin itu agaknya akan menjadi pemimpin besar yang gagah perkasa dan tanpa pamrih. Pasukan mereka kini sudah berjumlah puluhan ribu orang, dari para petani dan pengungsi, juga dibantu oleh golongan pendekar. Mereka adalah dua orang pendekar yang muncul begitu saja, entah dari perguruan mana, akan tetapi aku tahu bahwa mereka lihai sekali. Usia mereka sekitar tiga puluh tahun, yang seorang bernama Ceng Kok Han dan yang kedua bernama Li Hong Cang. Mereka telah berhasil menghimpun kekuatan dan sudah mulai merongrong pemerintah Tai Peng di selatan dan bentrokan-bentrokan sering terjadi yang merugikan pihak Tai Peng."
Semua pendekar mendengarkan dengan kagum. Merekapun mendengar akan munculnya dua orang yang memimpin pasukan rakyat baru, akan tetapi para pendekar itu tadinya tidak mengambil perhatian karena pada waktu itu memang banyak sekali orang yang mengangkat diri menjadi"bengcu" (pemimpin rakyat) dan menggerakkan rakyat jelata untuk menjadi anak buahnya, akan tetpi sebagian besar di antara mereka hanyalah orang-orang petualang yang bermaksud memperalat kekuatan rakyat demi kepentingan diri sendiri. banyak di antara para kelompok itu kemudian bahkan hanya menjadi perampok-perampok. Kini mendengar cerita Ciu Kui Eng yang mereka sudah kenal baik sebagai seorang pendekar wanita yang berjiwa pahlawan.mereka merasa kagum dan tertarik.
"Kalau begitu, kiranya tidak keliru kalau kita mengumpulkan teman-teman sehaluan untuk membantu gerkan Ceng Kok Han dan Li Hong Cang itu." kata Ci Kong. Semua orang merasa setuju, akan tetapi Tiat-Pi Kai-Pang tadi segera berkata,
"Akan tetapi bagaimana kita dapat begitu saja membantu pasukan baru itu sebelum mengetahui benar tujuan dari gerakan mereka?"
"Aku dapat menerangkan itu, karena aku sudah bicara panjang lebar dengan kedua orang itu. Mereka tidak hanya pandai sekali ilmu silat, akan tetapi juga memiliki pemikiran yang mendalam dan pandangan yang luas," kata Ciu Kui Eng.
"Mereka menjelaskan bahwa sebagai langkah pertama, pasukan mereka akan membantu pemerintah menenteramkan keadaan, menentang Tai Peng dan membantu untuk memadamkan pemberontakan-pemberontakan yang terjadi di utara dan barat. Baru setelah keadaan tidak kacau lagi, ketika pemerintah penjajah sedang beristirahat dari perang yang melelahkan, selagi mereka lengah, maka pasukan kita akan menyerbu dan menggulingkan kekuasaan Mancu untuk selamanya!"
"Kalau begitu kita berarti akan membantu pemerintah penjajah Mancu!" teriak tokoh Tiat-Pi Kai-Pang itu.
"Hanya nampaknya saja begitu dan hanya untuk sementara saja." Ci Kong berkata.
"Itulah satu-satunya jalan. Membantu pemerintah penjajah untuk menenteramkan keadaan, juga membantu menghadapi orang kulit putih. Setelah itu, tibalah saatnya yang tepat, selagi penjajah lengah, kita bergerak dan menjatuhkan mereka. Bukan berarti kita untuk selamanya menjadi kaki tangan mereka. Ini hanya merupakan siasat belaka. Kalau tidak demikian, bagaimana mungkin kita dapat berhasil kalau sekaligus kita harus menghadapi dan menentang Tai Peng, orang kulit putih, pemerintah Mancu, dan para pemberontak lain itu? Kita tidak akan kuat dan sebelum maju jauh, kita sudah akan tergencet dan dihancurkan oleh musuh yang terlalu banyak dan terlalu kuat." Akhirnya semua orang meyatakan persetujuan mereka setelah mengerti benar akansiasat yang akan dijalankan oleh pasukan rakyat yang dipimpin oleh Ceng Kok Han dan Li Hong Cang, dua orang kakak beradik seperguruan itu.
Pada saat itu, tiba-tiba terdengar suara gaduh di luar. Semua orang bangkit berdiri dan bersiap-siaga, memandang ke luar pintu masuk ke ruangan belakang itu. Tiba-tiba berkelebat bayangan orang dan tahu-tahu di situ berdiri seorang pemuda yang mengempit tubuh seorang laki-laki setengah tua, kemudian pemuda itu melemparkan tubuh orang yang dikempitnya ke atas lantai. Orang itu mengeluh akan tetapi tidak mampu bergerak, tanda bahwa jalan darahnya tertotok sehingga untuk sementara dia menjadi lumpuh, tak mampu menggerakkan kaki tangannya. Semua orang memandang kepada pemuda itu dengan pandang mata penuh selidik dan kedurigaan. Seorang pemuda yang tampan dan gagah, berusia paling banyak delapan belas tahun, dengan wajah berbentuk bulat putih bersih, alisnya tebal menghitam dan sepasang mata mencorong namun lembut, pakaiannya sederhana akan tetapi bersih.
"Bun Hong, apa yang kau lakukan ini? Siapa dia?" tiba-tiba Siauw Lian Hong bertanya kepada pemuda itu.
"Ibu, dia ini seorang mata-mata, entah mata-mata Tai Peng atau pemerintah atau kulit putih, akan tetapi dia mata-mata!" jawab pemuda itu tenang. Tan Ci Kong yang juga sudah bangkit, memperkenalkan pemuda itu kepada semua orang.
"Cuwi, harap diketahui bahwa pemuda ini adalah anak tunggal kami bernama Tan Bun Hong. Harap cuwi maafkan penampilannya dan suka duduk kembali. Nah, Bun Hong, sekarang ceritakan apa yang terjadi dan siapa orang ini."
Tan Bun Hong mengangkat kedua tangan dan memberi hormat kepada semua orang yang hadir, barulah dia bercerita kepada Ayah Ibunya. Memang pemuda ini ikut orang tuanya turun gunung dan mengadakan pertemuan di dalam kuil luar kota Pao-ting. Baru pertama kali itulah dia turun gunung setelah kedua orang tuanya menganggap bahwa ilmu kepandaiannya sudah cukup untuk dapat dipakai membela diri karena Bun Hong mewarisi ilmu-ilmu silat tinggi Ayah dan Ibunya. Bahkan ketika tiba di kuil, Ci Kong yang hendak menggembleng puteranya itu, memberinya tugas yang cukup penting, yaitu agar pemuda itu mengamati dari luar kuil kalau-kalau ada musuh tersembunyi yang hendak mencelakakan para tokoh kang-ouw yang sedang mengadakan pertemuan di dalam kuil. Maksud Ci Kong, kalau tidak terjadi sesuatu, setelah pertemuan itu selesai, barulah dia akan memperkenalkan puteranya kepada mereka.
Ketika Bun Hong melakukan pengintaian dan pengamatan di kuar kuil, dengan penuh perhatian dia mengamati orang-orang yang berdatangan ke kuil itu untuk bersembahyang. Tidak banyak orang yang bersembahyang. Sejak pagi tadi, hanya ada belasan saja yang datang dan pergi lagi. Dia melihat serombongan keluarga membawa alat-alat sembahyang memasuki kuil, diterima oleh Tosu penjaga di pintu depan. Keluarga ini terdiri dari seorang Ayah, Ibu, nenek dan seorang anak laki-laki berusia enam tahun yang pucat dan nampak baru sembuh dari sakit. Dari percakapan antara keluarga itu dengan Tosu penjaga kuil dia tahu bahwa keluarga itu datang membayar kaul, dan menghaturkan terima kasih kepada kuil karena putera mereka yang tadinya sakit keras kini telah sembuh kembali. Ada beberapa orang lagi memasuki kuil dan di antara mereka, yang menarik perhatian adalah seorang anak perempuan, seorang gadis remaja yang usianya paling banyak enam belas tahun.
Bun Hong memandang penuh perhatian, bukan bercuriga melainkan tertarik karena belum pernah dia melihat seorang gadis remaja yang demikian menarik seperti gadis itu. seorang gadis yang jelita dan manis, wajahnya berbentuk bulat telur dengan dagu merincing yang manis sekali karena di sudut bawah dagu itu terdapat sebuah tahi lalat merah yang kecil. Mulutnya indah dan selalu nampak tersenyum, membuat wajah itu nampak cerah selalu, dan terutama sekali sepasang mata yang bening dan taham itu juga selalu bergembira. Pakaiannya ringkas dan rapi. karena tidak ada lagi lain orang kecuali keluarga tadi, tiga orang laki-laki yang datang tidak berbareng, dan gadis remaja itu, Bun Hong yang merasa tertarik, keluar dari tempat dia mengintai dan memasuki kuil itu seperti seorang pelancong. Dia melihat gadis itu bicara dengan seorang laki-laki tinggi kurus yang berusia empat puluhan tahun dan bersikap sopan.
"Apakah nona hendak bersembahyang?" terdengar laki-laki itu bertanya. Gadis remaja itu tersenyum dan nampak kilatan giginya yang putih dan rapi seperti mutiara dijajarkan.
"Ah, tidak, aku hanya melihat-lihat saja. Aku seorang pelancong."
"Aih, engkau seorang pelancong, nona? Kalau begitu engkau belum mengenal kuil ini, sebuah kuil yang amat keramat dan manjur sekali! Sudah banyak orang yang tertolong diobati penyakitnya, diperbesar rejekinya, memperoleh kemujuran, naik pangkat, bahkan ringan jodoh! Kenapa nona tidak mencoba-coba bersembahyang? Meramalkan nasib di Kuil Ban-hok-si (Kuil Selaksa Rejeki) inipun baik sekali!" kata orang itu dengan ramah.
"Kalau nona belum biasa, aku mau memberi petunjuk kepadamu." Gadis remaja itu tetap tersenyum menatap wajah laki-laki itu.
"Terima kasih, paman. Eh, kenapa paman begini baik kepadaku? Apakah paman termasuk orang yang menjadi pengurus kuil ini?"
"Tidak, tidak, pengurusnya adalah para Tosu itu. Aku juga seorang tamu yang ingin bersembahyang. Akan tetapi ketika melihat nona masuk seorang diri ke dalam kuil, hatiku tertarik dan mengira nona tentu berada dalam kesukaran. Ketahuilah, terus terang saja, nona, engkau mirip sekali dengan keponakanku, anak enciku yang tinggal jauh di utara. Aku sudah amat rindu kepada keponakanku itu, sudah bertahun- tahun tidak jumpa dan melihat engkau begini mirip dengannya, kalau sekiranya bisa, aku akan suka sekali menolongmu dalam suatu hal..."
"Ah, begitukah? Terima kasih, engkau sungguh baik, paman. Akan tetapi, aku tidak mau bersembahyang, aku hanya mau melihat-lihat, Kalau paman mempunyai keperluan bersembahyang, silakan."
"Kalau begitu, maafkan aku," orang itu lalu menjura dan meninggalkan gadis itu, masuk ke dalam kuil.
Sejenak Bun Hong mengamati dari jauh dan mendengar percakapan itu, timbul curiga dalam hatinya terhadap laki-laki tadi. Seorang laki-laki berani menegur dan mengajak bercakap-cakap seorang gadis remaja yang tidak dikenalnya, bahkan menawarkan jasa-jasa baiknya, sungguh patut dicurigai karena biasanya, sikap baik itu tentu mengandung pamrih! Dan diapun melihat gadis itu menyelinap masuk ke dalam kuil dengan gerakan cepat. Hal ini mengejutkan Bun Hong. Gerakan seperti itu cepatnya bukan gerakan orang biasa, pikirnya dan diapun cepat meloncat dan menyelinap masuk ke dalam pintu gerbang kuil. Ketika tiba di dalam, ternyata beranda depan kuil itu luas sekali dan begitu memasuki pintu gerbang, hidungnya disambut bau dupa yang memenuhi tempat sembahyang di sebelah dalam dari beranda itu.
Dia celingukan ke sana-sini dan merasa heran. Baik laki-laki tinggi kurus tadi maupun si gadis remaja, tidak nampak bayangannya. Betapa cepat gerakan mereka, terutama gadis itu. Baru saja menyelinap masuk dan diapun sudah mengejar secepatnya, Bagaimana mungkin gadis itu sudah lenyap? Kecurigaannya makin menjadi-jadi, Akan tetapi agaknya di beranda itu tidak pernah terjadi sesuatu yang menarik perhatian orang. Buktinya, beberapa orang yang sedang melakukan sembahyang di situ nampak tenang-tenang saja, demikian pula beberapa orang Tosu yang melayani tamu dan yang melaksanakan pekerjaan mereka. Tidak nampak seorangpun di antara mereka itu seperti pernah melihat kejadian yang tidak wajar. Lalu, kemana menghilangnya gadis remaja tadi, dan orang tinggi kurus tadi?
Bun Hong melakukan penyelidikan dengan cepat dan diapun dapat melihat adanya sebuah pintu kecil di samping beranda, agak jauh dan tertutup oleh tanaman bunga-bunga yang lebat daunnya. Kalau orang menyelinap melalui pintu itu, dengan gerakan secepat yang dilakukan oleh gadis remaja tadi, tentu tidak akan nampak oleh orang lain. Ke sanakah gerangan mereka tadi? Jantungnya berdebar penuh keregangan. Di belakang itu, di dalam ruangan belakang, Ayah dan Ibunya sedang mengadakan pertemuan dengan para pendekar lain untuk membicarakan urusan negara. Jangan-jangan dua orang yang mencurigakan tadi menyelinap masuk untuk memata-matai pertemuan itu! Sangat boleh jadi si tinggi kurus tadiseorang mata-mata, entah mata-mata Tai Peng, mata-mata orang kulit putih, atau mata-mata pemerintah Mancu. Akantetapi gadis remaja tadi? Tidak mungkin juga mata-mata!
Akan tetapi, kenapa gerakannya demikian cepat dan ke mana ia sekarang pergi? Agaknya seorang mata-mata pula, akan tetapi berbeda dengan si tinggi kurus! Dengan gerakan cepat, mempergunakan ilmunya, Bun Hong menyelinap ke samping beranda dan melihat betapa pintu pagar taman yang tidak berapa tinggi, diapun lalu meloncat ke atas pintu itu dan melihat betapa di balik pintu itu benar merupakan sebuah taman yang luas, diapun meloncat lagi turun ke sebelah dalam. Dengan berindap-indap diapun mencari-cari. Tempat itu sunyi. Sebelah kiri menuju ke taman dan kebun sayur, dan sebelah kanan menuju ke ruangan terbuka dari bagian tengah kuil. Bun Hong meloncat ke dalam ruangan ini dan menyelinap di antara pot-pot bunga, menuju ke dalam melalui sebuah pintu yang sudah terbuka daunnya.
Setelah melalui dua ruangan, tiba-tiba dia berhenti dan bersembunyi di balik tiang. Dia melihat si tinggi kurus tadi keluar dari sebuah tikungan dan menyeret seorang Tosu tua yang agaknya sudah lemas tubuhnya, entah pingsan ataukah tertotok jalan darahnya. Dengan cepat si kurus itu menyeret tubuh Tosu itu ke balik meja di sudut, mengikat kaki tangannya dengan pakaian Tosu itu sendiri dan mengikat pula mulutnya, lalu meninggalkan Tosu itu menggeletak di balik meja itu, tersembunyi dan tidak mudah nampak dari luar. Kini Bun Hong tidak ragu-ragu lagi. Jelas bahwa orang itu adalah seorang mata-mata, atau penjahat dan setidak-tidaknya tentu orang yang tidak mempuyai iktikad baik terhadap para Tosu atau para pendekar yang tengah mengadakan pertemuan di ruangan belakang kuil itu.
"Berhenti, siapa engkau?" Bun Hong membentak sambil meloncat keluar, dan tubuhnya sudah berdiri di depan laki-laki tinggi kurus itu. Orang itu terkejut bukan main, sama sekali tidak mengira bahwa perbuatannya diketahui orang. Lebih lagi kagetnya melihat bahwa yang muncul bukan sorang di antara para Tosu kuil itu, melainkan pemuda remaja tampan. Dia memandang rendah dan tersenyum mengejek.
"Bocah setan, mampuslah!" bentaknya dan dia menyerang dengan kecepatan kilat, jari tangan kirinya menotok ke arah jalan darah di pundak sedangkan tangan kanan mencengkeram ke arah lambung. Serangan-serangan itu hebat bukan main dan amat berbahaya. Namun, pada waktu itu, Bun Hong telah mewarisi ilmu kepandaian Ayah bundaya dan dia memang seorang pemuda yang berbakat baik sekali, memiliki gerakan yang tenang namun cepat. Dengan mudah dia mengelak dengan melangkah mudur, dan cepat tubuhnya memutar ke kanan lalu mengirim serangan balasan, yaitu tendangan ke arah lutut lawan dan tangannya menyusul dengan cengkeraman ke arah pundak.
"Ehhh...?" Orang itu nampaknya terkejut melihat betapa pemuda yang dipandang rendah itu bukan saja dapat menghindarkan diri dari serangannya, bahkan dapat membalas dengan cepat sekali sehingga hampir saja lutut kakinya terkena tendangan.
Dia meloncat ke belakang, lalu menyerang lagi, kini karena tahu bahwa lawannya lihai, dia mengerahkan tenaga dan kecepatannya untuk melumpuhkan pemuda yang telah memergokinya itu. Namun dia kecele. Pemuda itu mampu menangkis dan membalas dan mereka terlibat dalam perkelahian yang seru. makin kaget dan gentarlah hati si tinggi kurus dan dia mulai mencari kesempatan untuk melarikan diri. Akan tetapi betapa kagetnya melihat pemuda itu sama sekali tidak memberi kesempatan kepadanya dan dia kehilangan jalan untuk lari karena terus terdesak oleh pemuda itu. Akhirnya, memang karena kalah tingkatnya dan bingung, jari tangan pemuda itu berhasil menotok pundaknya dan diapun roboh terkulai dalam keadaan lumpuh kaki tangannya. Pada saat itu ada bayangan biru berkelebat dan terdengar bentakan halus.
Rajawali Hitam Eps 5 Pedang Naga Kemala Eps 6 Rajawali Hitam Eps 10