Pedang Naga Kemala 30
Pedang Naga Kemala Karya Kho Ping Hoo Bagian 30
"Trangg! Cringgg...!" Dua kali tongkat bertemu pedang, dan kini keduanya nampak berkelebatan dengan cepat sekali. Dua gulungan sinar nampak saling belit dan kakak beradik seperguruan ini sudah saling hantam dengan amat sengitnya. Ceng Hiang menyaksikan dari samping dan diam-diam merasa kagum.
Memang kedua orang itu hebat sekali dan andaikata ia tidak memiliki ilmu-ilmu yang dahsyat dari keluarga Pulau Es, ia sendiripun takkan mungkin dapat mengalahkan mereka ini. Dua orang itu memiliki ilmu silat dari satu sumber dan keduanya memang berbakat. Akan tetapi sekali ini, Song Kim merasa rugi. Tentu saja permainan tongkat Kiki lebih hebat dari pada permainan pedangnya yang digerakkan berdasarkan ilmu Kim-kong-pang pula! Ada beberapa bagian yang membuat dia kalah praktis, terutama karena dengan tongkat itu, Kiki dapat mempergunakan kedua ujung tongkat untuk menusuk, menghantam atau menotok jalan darah. Sebaliknya, dengan pedang, Song Kim hanya mampu menyerang dengan ujung pedang saja, membacok atau menusuk. Bagian gagangnya sama sekali tidak dapat dia pergunakan.
Apalagi di situ terdapat Ceng Hiang yang menonton, hal yang membuatnya menjadi gugup dan juga serba salah. Lalu pikiran yang amat cerdik akan tetapi kejam menyelinap dalam hati Song Kim. Kenapa dia tidak menggunakan kesempatan ini untuk membunuh saja Kiki? Dalam perkelahian adu kepandaian, apalagi kalau tingkat mereka seimbang, soal terluka atau mati bukanlah hal yang aneh! Mereka sudah berkelahi tiga puluh jurus lebih dan dari permainan senjata mereka, mulailah gadis dapat mendesak suhengnya. Walaupun untuk dapat mengalahkan Song Kim masih amat sukar, namun setidaknya ia sudah memperlihatkan bahwa pemuda itu tidaklah sehebat seperti bualannya. Akan tetapi tiba-tiba ada sinar putih berkelebat dan tahu-tahu pemuda itu menubruk maju dengan pisau belati menyambar ke arah perut Kiki!
Ceng Hiang sendiri terkejut bukan main. Akan tetapi Kiki dapat meloncat ke belakang dan gadis ini memang maklum bahwa suhengnya itu pandai memainkan sepasang pisau belati. Tak disangkanya bahwa kini suhengnya yang sudah memegang pedang itu tidak malu-malu untuk membantu pedangnya dengau pisau belati di tangan kiri! Agak terkejut juga Kiki, dan kini ialah yang terdesak ke belakang karena lawan sudah menyerang bertubi-tubi dengan pedang dan pisaunya! Dan di pinggang pemuda itu masih ada sebatang pisau belati lagi. Ceng Hiang merasa serba salah. Untuk membantu, ia segan karena hal itu berarti suatu perbuatan curang. Untuk mendiamkan saja, ia mulai merasa khawatir akan keselamatan Kiki. Ia bermaksud untuk melerai saja, akan tetapi pada saat itu, tiba-tiba terdengar suara seorang laki-laki.
"Hemm, memang jahat sekali. Kembali kau ingin menghina wanita!" Dan muncullah seorang pemuda yang entah dari mana datangnya. Gerakannya demikian ringan dan cepat sehingga, tahu-tahu dia telah berada di situ.
Seorang pemuda yang usianya tentu baru dua puluh tahun lebih sedikit, berpakaian sederhana seperti petani, kuncirnya hitam dan tebal melingkar di leher, wajahnya yang tampan itu amat sederhana, penuh dengan bayangan kehalusan budi dan kesabaran. Melihat munculnya pemuda ini, Song Kim terkejut bukan main. Dia mengenal pemuda yang pernah menggagalkan dia ketika dia hendak memperkosa Kiki di pantai laut dahulu itu! Dan kini pemuda ini muncul, berarti pemuda ini akan membuka rahasianya dan celakalah dia. Maka, melihat betapa Kiki agaknya juga mengenal pemuda itu dan gadis itu meloncat jauh ke belakang, dia lalu tiba-tiba saja menubruk ke kanan, ke arah pemuda itu dan membacokkan pedangnya ke arah leher pemuda itu, sedangkan pisau belatinya disambitkan ke arah dada!
Pemuda itu bukan lain adalah Tan Ci Kong! Dia tadi melihat perkelahian antara dua orang itu dan segera mengenal bahwa yang diserang itu adalah Kiki, dan yang menyerang adalah pemuda yang dulu hampir memperkosa gadis itu. Tentu saja dia marah dan segera menegur, tidak melihat bahwa tak jauh dari situ berdiri seorang gadis lain yang sedang nonton perkelahian hebat itu. Ketika tiba-tiba, tanpa disangkanya, Song Kim menyerangnya, Ci Kong hanya mundur selangkah. membiarkan pedang menyambar, lalu tiba-tiba dia menangkis dari samping, sedangkan pisau belati yang meluncur ke arah dada itu didiamkan saja, akan tetapi dia mengerahkan tenaga sin-kang melindungi dada dan lengan.
"Tak! Tak!"
Pedang itu terpental, tertangkis oleh lengan, sedangkan pisau belati yang mengenai dada Ci Kong juga runtuh ke atas tanah! Bukan hanya Song Kim yang terkejut, melainkan Kiki dan Ceng Hiang juga kagum bukan main. Terutama sekali Kiki. Dia mengenal pemuda itu "hanya" cucu murid dari Siauw-bin-hud, jadi termasuk murid Siauw-lim-pai yang tidak tinggi tingkatnya, akan tetapi bagaimana dapat memiliki kekebalan yang demikian hebat? Dara ini pernah mengenalnya, akan tetapi belum pernah menyaksikan kepandaiannya yang sungguh-sungguh. Padahal ia sendiri tidak akan berani membiarkan pisau belati itu mengenai dadanya, maklum betapa kuatnya Song Kim, apalagi menangkis pedangnya.
Dan Ceng Hiang hanya bengong, tak pernah mengira bahwa dalam satu waktu saja, ia akan berkenalan dengan demikian banyaknya orang-orang muda yang amat lihai. Akan tetapi, Song Kim bukan hanya terkejut, melainkan jerih sekali. Bukan jerih melawan pemuda itu. Akan tetapi kalau pemuda itu membuka rahasia, bukan saja Kiki akan semakin membencinya, gurunya juga akan marah, akan tetapi terutama sekali Ceng Hiang tentu akan membencinya! Tidak akan ada harapan lagi untuk naik pangkat, apalagi memperisteri, Ceng Hiang. Dan untuk melawan? Wah, berat! Baru melawan sumoinya saja, sudah amat sukar dia memperoleh kemenangan, apalagi di situ ada Ceng Hiang yang jelas lebih lihai darinya, dan pemuda tani itu juga memiliki kepandaian hebat.
"Ci Kong!" Kiki sudah berteriak girang juga kagum karena tidak menyangka pemuda Siauw-lim-pai ini demikian tangguhnya.
"Apa maksudmu dia jahat dan menghina wanita?"
"Kiki, kau tidak tahu? Dialah laki-laki dahulu itu yang mengganggumu di pantai..." Wajah gadis itu berubah pucat sekali, kemudian menjadi merah.
"Apa...??" Matanya terbelalak dan membalikkan tubuh, siap untuk menyerang bekas suhengnya, akan tetapi begitu tadi Kiki mengajukan pertanyaan, Song Kim sudah melarikan diri dengan cepat tanpa pamit lagi, meninggalkan tempat itu.
"Iblis keparat... jahanam...!" Kiki membentak.
"Hendak lari kemana kau ?" Dan Kiki pun melakukan pengejaran. Tentu saja Ceng Hiang terkejut dan juga mengejar. Melihat betapa gadis cantik yang baru saja dilihatnya menjadi penonton itu mampu meloncat dan lari secepat itu, sejenak Ci Kong menjadi bengong, lalu dia menggeleng-geleng kepalanya.
"Wahh... di dunia begini banyak gadis-gadis cantik yang memiliki ilmu silat tinggi! Jangan-jangan pada suatu waktu, dunia ini akan dikuasai oleh wanita." Dan diapun cepat melakukan pengejaran karena dia khawatir kalau-kalau Kiki akan terjebak oleh pemuda yang nampaknya tampan dan gagah, akan tetapi ternyata cerdik, curang dan juga jahat itu. Dengan ilmunya berlari cepat, Ceng Hiang dapat menyusul Kiki dan ia berkata.
"Adikku, mari kita cari dia di gedungnya." Baru Kiki teringat. Tadinya ia sudah bingung karena bayangan pemuda jahat itu tidak nampak lagi. Dan diam-diam Ceng Hiang terheran mengapa kedua mata adik angkatnya itu basah dan matanya berapi-api, jelas bahwa adiknya itu marah bukan main. Karena mereka berdua berlari secepatnya, mereka tidak sempat bercakap-cakap, juga mereka tidak tahu bahwa tidak jauh di belakang mereka, Ci Kong masih terus lari membayangi mereka, melihat dan ingin melindungi dari jauh.
Melihat betapa puteri pangeran itu dan seorang gadis lain, juga seorang pemuda di belakang mereka, memasuki pintu gerbang sambil berlari cepat, para penjaga di situ memandang terheran-heran Akan tetapi tidak berniat bertanya, apalagi menegur. Tidak ada prajurit yang tidak tahu siapa adanya Ceng Hiang! Mereka tahu betapa lihainya puteri pangeran dan menganggap bahwa dara itu bersama dua orang kawannya yang juga lihai sekali dan dapat berlari secepat kijang-kijang muda. Akan tetapi, ketika mereka tiba di gedung tempat kediaman opsir Lee Song Kim, pemuda itu sudah terbang pergi. Para penjaga di situ hanya mengatakan bahwa majikan mereka baru saja pergi membawa buntalan besar, bahkan perginya melalui pintu belakang! Kiki hendak melakukan pengejaran, akan tetapi Ceng Hiang memegang lengan adiknya itu.
"Tak perlu dikejar, sukar sekali mencarinya kalau tidak tahu kemana dia pergi." Mereka sudah berada di belakang gedung itu dan tidak nampak bayangan Song Kim. Tiba-tiba terdengar suara seorang laki-laki di belakang mereka.
"Memang tidak ada gunanya dikejar. Berkejaran di kota tentu bahkan akan menimbulkan kekacauan. Di tempat ramai ini amat mudah baginya sembunyi." Ceng Hiang menengok dan melihat pemuda tani yang mengagumkan itu telah berdiri pula di situ. Dara ini semakin kagum. Pemuda itu tidak nampak lelah sama sekali, dan ia tadi juga tidak dapat melihat betapa pemuda ini membayangi mereka. Betapa lihainya pemuda ini. Mendengar suara Ci Kong, Kiki lalu membalikkan tubuhnya dan kini nampak ia menangis. Biarpun tidak terisak-isak, akan tetapi kedua matanya merah dan masih ada air mata mengalir turun.
"Kenapa tidak dari dulu kau beritahu padaku bahwa dia yang melakukan itu!" bentaknya dengan nada suara marah dan memandang kepada pemuda itu dengan mata lebar dan mulut cemberut. Agaknya dalam setiap saat, gadis ini bisa saja mendadak menyerang Ci Kong sebagai tempat peluapan kemarahannya. Ci Kong mengembangkan kedua tangannya.
"Kiki, bagaimana aku dapat memberi tahu kepadamu kalau aku belum pernah mengenalnya. Tadi ketika aku melihat dia berkelahi denganmu, aku segera mengenalnya dan aku bahkan mengira kalau dia berkelahi denganmu karena urusan dahulu itu." Kiki teringat dan tentu saja dara ini tak dapat marah lagi. Memang, bagaimana Ci Kong dapat menceritakan siapa orangnya yang hendak memperkosanya kalau belum mengenal orang itu?
"Adikku, apakah yang telah terjadi antara engkau dan Lee-Ciangkun?" tiba-tiba Ceng Hiang bertanya karena ia sama sekali tidak mengerti apa yang dibicarakan kedua orang itu.
"Ciangkun, Ciangkun apa! Dia penjahat besar... aihh, malu sekali aku menjadi bekas sumoinya!" Gadis ini membanting-banting kaki, dengan kemarahan meluap-luap, ia membayangkan semua yang terjadi. Terkutuk! Kalau begitu, laki-laki yang meraba-rabanya, yang menciuminya dan nyaris memperkosanya di perahu sebelum badai mengamuk itu tentu juga si jahanam itu!
"Dia itu suhengmu?" Kini Ci Kong yang terheran-heran, sama sekali tidak mengira bahwa pria yang dahulu hendak memperkosa Kiki itu malah suhengnya sendiri! Suheng macam apa begitu? Akan tetapi dia teringat bahwa Kiki dan suhengnya itu adalah murid-murid Hai-tok, jadi tidaklah aneh kalau suheng itu hendak memperkosa sumoinya sendiri. Perbuatan jahat apa yang diharamkan oleh orang-orang dari Empat Racun Dunia?
"Kiki, siapakah saudara ini dan apa artinya percakapan kalian ini?" kembali Ceng Hiang menuntut karena ia ingin tahu sekali. Barulah Kiki teringat akan kehadiran Encinya itu, dan cepat ia merangkul Encinya dan kini tak tertahankan lagi ia menangis, menyembunyikan mukanya di pundak Ceng Hiang yang merangkul dan mengelus rambutnya. Setelah meredakan tangisnya, tangis karena marah dan penasaran, Kiki lalu berkata.
"Enci, memang buruk sekali nasib adikmu ini..."
"Baik buruknya nasib hanyalah anggapan kita sendiri saja, adikku. Ceritakanlah, apa yang sesungguhnya pernah terjadi? Atau kalau engkau sungkan tidak menceritakan, akupun tidak akan memaksamu," katanya halus dan lembut. Sejak tadi, Ci Kong tertegun dan terpesona. Dia tidak berani memandang langsung, akan tetapi setiap kali melirik kepada gadis yang dipanggil cici oleh Kiki itu, sinar matanya seolah-olah melekat dan sukar untuk dialihkan ke tempat lain! Gadis itu begitu cantik jelita, begitu halus dan lembut, dan kata-katanya mengandung kebijaksanaan yang demikian mengagumkan.
"Enci, beberapa bulan yang lalu, aku dan suhengku itu oleh Ayah diperintah untuk meninggalkan Pulau Layar untuk mencari Koan Jit, orang yang telah merampas Giok-liong-kiam yang diperebutkan oleh semua orang kang-ouw." Ceng Hiang mengangguk.
"Aku pernah mendengar tentang Giok-liong-kiam itu. Bukankah itu pusaka yang dicuri orang dari Thian-te-pai itu? Kalau tidak salah, pihak istana juga ikut berlumba untuk memperebutkan."
"Benar. Giok-liong-kiam terampas oleh Koan Jit murid pertama dari Thian-tok. Kami, yaitu aku dan bekas suheng itu, berebut siapa yang akan melaksanakan tugas merampas pusaka itu dari tangan Koan Jit. Dan aku mendahului Lee Song Kim itu, malam-malam aku meninggalkan pulau dan naik perahu. Akan tetapi, sungguh tak kusangka, di tengah malam tiba-tiba ada orang menotokku sehingga aku roboh tak berdaya.
"Karena sama sekali tidak mengira ada orang dapat naik ke perahuku di tengah lautan, maka aku dapat dirobohkan. Dan dia... dia... hampir saja dapat memperkosaku. Untung ketika itu tiba-tiba datang badai mengamuk, dia tidak dapat melaksanakan niatnya yang terkutuk, dan aku lalu diikatnya di tiang layar perahuku.
"Akan tetapi badai sedemikian hebatnya sehingga perahu itu membentur batu karang, pecah dan tenggelam. Untung aku diikat di tiang layar sehingga aku tidak ikut tenggelam. Ombak mempermainkan diriku setengah malam, dan menjelang pagi aku terdampar di pantai." Ceng Hiang mendengarkan penuturan adik angkatnya dengan jantung berdebar tegang dan ia memandang adiknya itu dengan sinar mata penuh iba.
"Lalu bagaimana, adikku yang malang?"
"Celakanya, Enci. Ketika aku terdampar, jahanam keparat Lee Song Kim itupun sudah tiba di pantai itu! Dan kembali dia... dia bermaksud untuk memperkosaku!"
"Jahanam busuk!" Ceng Hiang ikut mendamprat, akan tetapi makiannya itu terdengar barusan sama sekali berbeda dengan makian Kiki yang kasar penuh hawa amarah dan kebencian.
"Aku terbelenggu di tiang layar dan tidak berdaya, Enci. Andaikata hal itu terlaksana, aku tentu akan bunuh diri. Akan tetapi tiba-tiba saja muncul dia ini yang menyelamatkan aku. Dia menyerang Song Kim, dan agaknya karena Song Kim tidak mampu mengalahkannya, dia melarikan diri, si pengecut jahanam!"
"Bukan kalah dariku, Kiki, melainkan sekarang aku dapat menduga, pada waktu itu matahari sudah hampir keluar dan tentu dia takut kalau-kalau engkau akan mengenalinya," kata Ci Kong.
"Benar!" Kiki menepuk paha sendiri.
"Wah, sungguh jahanam itu penuh tipu muslihat! Untung engkau tadi muncul, Ci Kong, kalau tidak, sampai detik inipun tentu aku tidak pernah menyangka bahwa dialah jahanam busuk malam itu!"
"Adikku Kiki, kenapa sejak kita bertemu, engkau tidak pernah bercerita tentang peristiwa itu kepadaku?" tiba-tiba Ceng Hiang bertanya, nada suaranya penuh teguran.
"Ah, aku malu, Enci. Biarpun aku belum ternoda, akan tetapi aku malu untuk menceritakan kepadamu."
"Kiki, aku tidak mengira bahwa engkau mempunyai seorang kakak perempuan. Nona, terimalah hormatku, tadi aku melihat betapa nona dapat berlari cepat secara luar biasa sekali, dan aku mengerti bahwa ilmu kepandaian nona tentu lebih hebat dari pada Kiki atau aku sendiri. Kenapa nona tadi tidak turun tangan menghajar orang itu?" Kini Ci Kong yang bertanya kepada Ceng Hiang sambil mengerutkan alisnya. Gadis ini luar biasa, dan jelas lihai, akan tetapi dia merasa heran mengapa tadi membiarkan Kiki didesak oleh Song Kim. Kiki tertawa dan itu tandanya bahwa dara ini sudah melupakan kemarahannya. Memang, seorang gadis lincah jenaka seperti Kiki, wataknya mudah berubah seperti angin. Bisa saja sebentar menangis, sebentar tertawa, mudah marah lalu berbalik ramah.
"Hi-hik, engkau hanya tahu ekorrya tak tahu kepalanya, Ci Kong. Yang kau kira kakak perempuanku ini memang benar Enciku, akan tetapi Enci angkat. Ia ini adalah puteri..."
"Hushhh, jangan mengangkatku terlalu tinggi, Kiki..." kata Ceng Hiang dan tiba-tiba mukanya berubah merah.
"Ci Kong, Enci Hiang ini adalah puteri tunggal dari Pangeran Ceng Tiu Ong, seorang pangeran tua yang arif bijaksana, sasterawan besar, dan mereka, Ayah dan anak itu tidak menyetujui penjajahan dan penindasan. Hebat, bukan? Dan biarpun Ayahnya seorang sasterawan yang hanya pandai membaca menulis, bahkan ahli sastera kuno, akan tetapi jangan mengira Enciku ini yang kelihatan halus lembut seorang lemah! Wah... kepandaiannya tentang silat... selangit deh!"
"Hushhh..." Kembali Ceng Hiang mencela akan tetapi tidak melanjutkan dan tersenyum malu. Aneh sekali, baru sekarang gadis ini merasa girang dipuji-puji di depan orang!
"Kau tahu, Ci Kong, dara cantik jelita seperti bidadari di depanmu ini siapa? Ia adalah pewaris ilmu-ilmu silat dari keturunan keluarga pendekar Pulau Es!" Tentu saja Ci Kong menjadi kaget bukan main. Cepat dia menjura dan berkata.
"Ah, harap Lihiap (pendekar wanita) sudi memaafkan kalau saya bersikap kurang hormat karena tidak tahu bahwa Lihiap adalah murid keluarga Pulau Es!" Wajah cantik itu menjadi semakin merah, dan Ceng Hiang membalas penghormatan pemuda itu dengan menjura.
"Ah, Taihiap (pendekar besar) bersikap terlalu sungkan dan memuji diriku terlampau tinggi. Ini semua gara-gara adik Kiki yang nakal ini!" Kiki tertawa dan bertepuk tangan.
"Hi-hik, yang seorang Lihiap, seorang lagi Taihiap, sungguh cocok sekali!" Melihat betapa kedua orang itu menjadi semakin kikuk oleh godaannya, Kiki berkata.
"Kita adalah saudara dan sahabat, merupakan orang-orang sendiri. Kalian jangan begitu sungkan dengan sebutan yang menyanjung seperti itu. Enci Hiang, aku begitu bertemu dan berkenalan dengan Ci Kong, kami langsung saja menyebut nama masing-masing. Dan begitu kita saling jumpa, bukankah di antara kita juga sudah akrab? Kenapa kalian begini sungkan? Enci Hiang, Tan Ci Kong ini adalah seorang murid yang lihai sekali dari Siauw-lim-pai." Ceng Hiang yang merasa semakin malu oleh godaan adiknya, untuk menutupi rasa kikuknya, lalu berkata.
"Kiranya aku berhadapan dengan seorang pendekar Siauw-lim-pai yang berilmu tinggi." Ci Kong menarik napas panjang.
"Sudahlah, nona Ceng, adik Kiki memang benar. Di antara kita tidak perlu sungkan-sungkan dan saling memuji. Yang penting, harap kalian waspada dan hati-hati sekali terhadap orang yang ternyata adalah suheng sendiri dari Kiki. Siapakah nama suhengmu itu, Kiki...?"
"Tidak sudi aku mempunyai suheng macam dia! Dia sekarang bukan suhengku lagi, melainkan musuhku. Namanya adalah Lee Song Kim, dan kalau dapat berjumpa lagi dengannya, aku akan membunuhnya! Aku akan mencarinya!" Ceng Hiang mengerutkan alisnya dan memegang lengan adiknya.
"Jangan, adikku. Dia memiliki kedudukan yang baik dan kuat, menjadi orang kepercayaan panglima kerajaan, bahkan dia sudah diperkenalkan kepada Ayah. Kalau engkau memusuhinya dengan bertarung, kemudian diketahui bahwa engkau adalah puteri angkat Ayah, maka tentu Ayah akan terlibat. Seorang diri saja memusuhi dia yang mempunyai pasukan besar, tak mungkin engkau akan berhasil."
"Apa yang dikemukakan nona Ceng ini memang tepat dan engkau harus bertindak dengan hati-hati, jangan sembrono, Kiki," kata pula Ci Kong.
"Kau sudah dicap pemberontak-pemberontak, dan orang itu memiliki kedudukan di dalam pasukan pemerintah. Tentu engkau akan celaka dan tidak berhasil kalau berusaha sendiri untuk membasminya. Diperlukan kekuatan yang besar dan perhitungan yang matang." Kiki yang mengepal tinju ketika menyatakan hendak mencari dan membunuh bekas suhengnya itu, menjadi lemas kembali.
"Baiklah, aku akan lapor kepada Ayah, karena memang Ayah sendiri yang akan turun tangan menghukum murid murtad itu."
Ci Kong lalu berpamit dari dua orang gadis itu. Ceng Hiang mengajak Kiki pulang ke gedungnya, dan mulai hari itu, dengan tekun Kiki mempelajari kitab Hui-thian Yan-cu yang sudah diterjemahkan dengan jelas oleh Pangeran Ceng. Setelah ia mengerti benar, baru ia membawa kitab itu dan meninggalkan gedung keluarga Pangeran Ceng, untuk pulang ke Pulau Naga. Sang pangeran yang merasa suka kepada puteri angkatnya itu, memberi banyak nasihat agar gadis itu berhati-hati dan jangan menuruti nafsu dan keberanian saja dalam usaha perjuangan menentang pemerintah lalim dan pasukan orang kulit putih. Ceng Hiang yang juga amat mencinta Kiki, merasa kehilangan dan minta adik angkatnya itu berjanji bahwa Kiki akan segera kembali ke gedung keluarga Ceng itu.
"Kau perempuan sialan, membikin orang menjadi malu saja!" Entah berapa kali sudah Kakek itu mengomel panjang pendek kepada gadis yang berjalan di sampingnya itu.
Gadis yang berkulit putih, bermata biru dan berambut kuning emas itu tidak pernah membantah, hanya berjalan dengan langkah lebar mengimbangi langkah Kakek itu sambil menundukkan mukanya. Ia adalah Diana, dan Kakek yang marah-marah kepadanya itu adalah San-tok. Seperti telah diceritakan di bagian depan, ketika diajak berkunjung ke kuil untuk mengadakan pertemuan dengan Siauw-bin-hud dan Tee-tok, Diana melihat Ci Kong, dan gadis ini yang tidak dapat membendung luapan rasa girang dan terima kasihnya, telah memperlihatkan rasa girangnya secara spontan seperti kebiasaan bangsanya, ia merangkul dan mencium Ci Kong di depan orang banyak. San-tok yang memang tadinya tidak senang kepada gadis yang dianggapnya selalu merupakan gangguan ini, menjadi semakin marah dan kini di sepanjang perjalanan dia mengomel terus.
"Engkau telah mencoreng arang di mukaku, di depan banyak orang. kau melakukan hal yang tidak sopan dan sekarang masih berani mengikuti aku. Apakah kau minta aku turun tangan membunuhmu?"
"Aku adalah murid suhu, kalau tidak mengikuti suhu, habis mengikuti siapa?" Diana akhirnya berkaca sambil memandang wajah Kakek itu dengan sinar matanya yang tajam. Melihat sepasang mata lebar berwarna kebiruan itu menatapnya tanpa rasa takut sedikitpun juga, San-tok yang biasanya amat peramah suka senyum-senyum sendiri itu, kini cemberut dan membuang muka.
"Aku tidak sudi mempunyai murid seperti engkau!"
"Akan tetapi suhu sudah berjanji, dan aku tidak percaya seorang sakti dengan kedudukan seperti suhu akan mau melanggar janji sendiri." San-tok merasa kewalahan dan menjadi semakin uring-uringan.
"Janji apa! Huh, kau membikin aku malu. kau tahu, Ci Kong itu adalah calon jodoh Lian Hong, dan engkau menciuminya di depan orang banyak! Celaka!" Diam-diam Diana terkejut mendengar ini dan memang wajah Kakek itu dengan sinar mata tidak percaya.
"Ah, suci Lian Hong tidak pernah bicara tentang itu, Suhu. Kurasa tidak ada pertalian cinta di antara mereka..."
"Persetan dengan cinta! Aku menghendaki muridku itu berjodoh dengan Ci Kong, dan itu merupakan suatu hal yang tidak boleh dibantah, dan engkau telah menciumi Ci Kong begitu saja!" Diana memiliki watak yang keras dan berani. Kalau saja tidak mengingat bahwa ia sudah menjadi murid Kakek ini, tentu semua ucapan dan sikap Kakek itu akan dicela dan dibantahnya. Kini, mendengar akan pendapat Kakek itu yang agaknya hendak memaksa Lian Hong berjodoh dengan Ci Kong, iapun merasa penasaran.
"Suhu, perjodohan tanpa cinta hanya akan mendatangkan sengsara! Dan tentang perbuatanku mencium Ci Kong itu, hanyalah merupakan luapan kegembiraan hatiku bertemu dengan orang yang pernah menyelamatkan aku. Apa sih artinya ciuman tanda terima kasih seperti itu? Kurasa kulit pipinya tidak lecet dan tidak akan ternoda atau berkurang!"
Hampir saja San-tok tertawa mendengar ini, dan diapun termenung. Dia teringat bahwa biasanya diapun tidak perduli akan segala hai mengenai tata susila dan sopan santun. Memang, dicium begitu saja tidak ada artinya, Ci Kong masih tetap utuh. Kalau dulu hal seperti terjadi, tentu dia malah akan tertawa geli. Akan tetapi sekarang, kenapa dia meributkan soal sepele? Sejak dia berhubungan dengan Siauw-bin-hud, sejak dia ingin menjadi orang baik, ingin menjadi seorang pejuang dan patriot, tiba-tiba saja dia kini meributkan soal sopan santun sepele! Dan dia merasa malu kepada diri sendiri. Rasa malu ini ditutupinya dengan kemarahan besar.
"Sudahlah, jangan cerewet. kau pergilah, jangan mengikuti aku lagi, atau kalau engkau nekat, akan kubunuh kau ?"
"Kalau suhu hendak membunuh aku yang tanpa dosa, silahkan. Sejak dulupun, kalau suhu mau membunuhku, aku tidak akan dapat membela diri." Sepasang mata San-tok mencorong menatap wajah gadis itu, dan melihat betapa sinar mata yang bening itu penuh keberanian ditujukan kepadanya, bukan sekedar membual atau menggertak, dia semakin mendongkol. Gadis ini tidak dapat digertak, pikirnya.
"Tolol! Kalau aku pergi meningalkanmu, apa kau mau menyusulku?"
"Terserah kepada Suhu. Aku akan tetap mengejar. Kalau suhu hendak melanggar janji, silahkan meninggalkan aku." San-tok membanting kakinya.
"Sialan! Kenapa hidupku yang tidak berapa lama lagi ini terganggu oleh kehadiran orang seperti engkau ini Celaka! Nah, kau berjalanlah sendiri, biar dimakan binatang buas!" Sekali berkelebat, Kakek itu lenyap dari depan Diana. Sejenak gadis ini menjadi pucat dan bingung. Akan tetapi teringat akan nasihat Lian Hong bahwa menghadapi seorang Kakek luar biasa seperti guru mereka itu, Diana harus keras hati dan tahan ujian! Maka, kini iapun memberanikan hatinya dan melangkah terus menuju ke utara,
Karena ia sudah tahu bahwa gurunya bertempat tinggal di puncak Gunung Naga putih, sebuah di antara puncak-puncak Wu-yi-san. Kalau perlu, ia akan menyusul suhunya, pergi seorang diri ke puncak itu, kalau tidak mati dimakan binatang buas di tengah jalan. San-tok tidak pergi jauh, melainkan bersembunyi untuk melihat bagaimana sikap gadis itu setelah ditinggalkan. Akan tetapi dia melihat betapa Diana dengan sikap penuh keberanian, masih melanjutkan perjalanan menuju utara! Lambat atau cepat, akhirnya tentu gadis itu akan tiba juga di puncak Naga Putih menyusulnya! Tentu gadis bule ini sudah tahu akan tempat tinggalnya dari Lian Hong! Dia lalu mempunyai akal dan sambil menahan ketawa, San-tok lalu mendahului Diana, lalu bersembunyi ke dalam semak-semak belukar yang akan dilalui gadis itu.
Diana melangkah terus dengan cepat, sambil menggigit bibirnya bertekad untuk berjalan terus dan baru berhenti kalau kakinya sudah mogok. Ketika ia tiba di dekat sekelompok semak belukar yang rimbun, tiba-tiba saja terdengar gerengan keras sekali dan semak-semak itu bergoyang keras! Tentu saja gadis itu terkejut bukan main, ia menjerit kecil. Diana berteriak, akan tetapi lalu teringat bahwa San-tok tidak berada di situ, maka iapun lalu melarikan diri tunggang-langgang. Ia merasa yakin bahwa ada binatang buas yang amat berbahaya dalam semak-semak itu dan ia tidak perduli lagi ke arah mana ia lari. Yang penting adalah menyelamatkan diri sebelum binatang itu keluar. Setelah gadis itu berlari jauh, San-tok muncul dari dalam semak-semak dan tertawa bergelak, membayangkan betapa lucunya gadis itu tadi lari terbirit-birit!
"Rasakan kau sekarang!" katanya, dan melihat betapa Diana tadi melarikan diri ke kiri, berarti ke barat, dia merasa yakin bahwa gadis itu tentu sudah kehilangan arah dan tak mungkin akan dapat keluar dari hutan lebat itu. San-tok lalu melanjutkan perjalanan, tidak tergesa-gesa, melainkan seenaknya karena hatinya merasa senang bahwa dia telah berhasil mengenyahkan Diana dari sampingnya.
Tidak ada lagi yang mengganggu dalam perjalanannya, dan diapun melanjutkan perjalanan seenaknya saja. Tiga hari kemudian, karena kemalaman di jalan, terpaksa San-tok memasuki sebuah rumah kosong yang sudah hampir roboh, yang berdiri di tepi jalan di luar sebuah dusun. Dia tadi berhasil menangkap seekor kijang dan mencuri seguci arak. Sambil bersenandung, Kakek ini menikmati keadaannya waktu itu. Dia membuat sebuah api unggun di ruangan belakang rumah rusak itu, memanggang paha kijang yang sudah diberinya bumbu sehingga panggang daging itu menyiarkan bau yang amat sedap. San-tok yang sejak pagi tadi tidak makan apa-apa, mencium bau ini, memandang dengan mata haus dan air liurnya membasahi mulut.
"Suhu... aku... aku lapar...!" San-tok meloncat dari tempat dia duduk di atas lantai dan dia menengok. Matanya terbelalak ketika melihat tubuh Diana terguling roboh dan ternyata gadis itu telah roboh pingsan, tak jauh dari api unggun! Melihat munculnya gadis ini, San-tok terkejut bukan main, akan tetapi juga rasa kagum menyelinap di hatinya yang keras. Gadis bule ini benar-benar luar biasa sekali, pikirnya. Bukankah tiga hari yang lalu sudah lari tunggang-langgang di dalam hutan itu, menuju ke barat? Bagaimana mungkin kini dapat menyusulnya di pondok bobrok itu?
Dan diapun kini tertarik oleh kekuatan yang luar biasa itu. Dihampirinya tubuh Diana dan memeriksa sebentar saja, tahulah dia bahwa gadis ini roboh pingsan saking lelah dan laparnya! Pakaiannya compang-camping, juga rambutnya awut-awutan. San-tok menarik napas panjang. Tak dapat dia membohongi atau menyangkal hatinya sendiri bahwa dia semakin tertarik dan suka kepada gadis bule yang keras hati ini. Tidak mengecewakan memiliki seorang murid seperti ini, pikirnya. Dan diapun teringat akan janjinya kepada Lian Hong. Muridnya yang amat disayangnya itu memesan dengan sungguh-sungguh agar dia tidak mengganggu Diana, agar dia melindungi gadis bule yang sudah diterimanya sebagai murid itu. Dia lalu mengambil arak, menuangkan sedikit arak ke dalam mulut Diana dan gadis itupun siuman sambil terbatuk-batuk.
"Hemm, anak bandel. kau makanlah ini, dan minum arak ini!" kata San-tok. Diana yang memang sudah kelaparan itu, menerima daging panggang dan makan dengan lahapnya, dan minum arak yang menghangatkan perutnya.
San-tok sendiri lalu makan daging panggang tanpa banyak cakap. Terjadi perang di dalam hatinya. Rasa kasihan sudah lama meninggalkan lubuk hati Kakek ini. Hatinya beku dan keras. Terhadap Diana, dia tidak merasa kasihan, hanya tertarik melihat betapa gadis ini memiliki kemauan yang demikian membaja. Akan tetapi dia masih belum puas benar. Memiliki murid seorang perempuan bangsa kulit putih tidak menyenangkan hatinya. Tentu dia akan menjadi bahan kecaman dan cemooh dunia kang-ouw. Kecuali kalau murid ini memang istimewa. Dan dia harus menguji lagi Diana. Dari tempat itu ke puncak Naga Putih tidaklah jauh lagi. Mereka sudah tiba di kaki pegunungan Wu-yi-san. Melalui perjalanan yang susah payah bagi orang biasa, dalam waktu tiga hari lagi tentu akan sampai ke sana.
"Bagaimana engkau bisa menyusulku ke sini? Apakah engkau mengenal jalanan?" tanya San-tok setelah gadis itu selesai makan dan kedua pipinya sudah memerah lagi tertimpa cahaya api unggun.
"Suci Lian Hong pernah menerangkan perjalanan ke Puncak Naga Putih kepadaku, Suhu." jawab Diana dengan sikap tenang.
"Hemm, aku tidak percaya engkau akan mampu mencapai Puncak Naga Putih. Nah, aku pergi!"
Berkata demikian, kembali San-tok meloncat dan lenyap dari situ. Diana terpaksa melewatkan malam di rumah bobrok itu, dan pada keesokan harinya, pagi-pagi sekali ia sudah pergi meninggalkan tempat itu, tidak perduli walaupun kedua kakinya masih terasa sakit-sakit dan lelah sekali. Tekadnya adalah mencapai Puncak Naga Putih atau mati di jalan! Dengan menggunakan gin-kangnya yang luar biasa, jarak yang jauh itu ditempuh oleh San-tok dalam waktu semalam saja. Pada keesokan harinya, dia sudah tiba di dalam guhanya di Puncak Naga Putih. Dia sudah melupakan lagi Diana karena dia masih tidak percaya bahwa gadis itu akan mampu menyusulnya sampai ke situ. Akan tetapi, tiga hari kemudian, ketika dia sedang duduk bersila di dalam guhanya, Diana muncul di depan guha.
"Suhu!" seru gadis itu dengan wajah berseri penuh kebanggaan dan kegirangan karena akhirnya ia mampu juga mencapai puncak tempat tinggal suhunya.
"Hemm, mau apa engkau menyusulku sampai ke sini?" San-tok membentak dengan sikap acuh. Sampai waktu itu, Diana sudah mengenal benar watak Kakek yang aneh ini dan hatinya tidak tersinggung oleh sikap acuh itu.
"Suhu tentu belum lupa bahwa aku adalah murid suhu. Aku datang ke sini menyusul suhu untuk mempelajari ilmu silat seperti yang sudah suhu janjikan, dan menanti kembalinya suci Lian Hong."
"Heh, enak saja kau bicara. kau kira mudah mempelajari ilmu silat dariku? Engkau takkan kuat menahan, sukar sekali dan kau takkan mampu."
"Suhu, betapapun sukar dan sulitnya, akan kucoba."
"Latihannya berat sekali! Engkau tidak akan kuat!"
"Akan kujalani betapa beratpun." Diana bertekad. Kalau Lian Hong dulu mampu mempelajari ilmu dari Kakek ini, mengapa ia tidak? Menurut Lian Hong, ia memiliki tubuh yang jauh lebih kuat dari pada wanita pada umumnya, dan memiliki daya tahan yang lebih besar. Apa lagi pengalaman-pengalamannya selama ini, bekerja di sawah ladang, bekerja keras, tentu menambah keuletan dan daya tahan tubuhnya.
"Hemm, kalau begitu terserah. Kalau sampai engkau tidak kuat dan mati, itu salahmu sendiri. Nah, mulai hari ini, engkau harus setiap hari mengambil air dari sumber air di bawah puncak, memikul air itu ke puncak, dan juga mencarikan sayur bahan makanan untuk kita berdua. Kalau sampai engkau lalai dan kehabisan makanan dan minuman, engkau akan mati kelaparan..."
"Baik, suhu..." kata Diana dengan gembira. Dan iapun mulai bekerja membanting tulang. Ternyata tidaklah semudah yang diduganya. Sumber air itu berada jauh di bawah puncak, di lereng yang terjal. Membawa diri sendiri saja naik turun tempat itu amatlah sukarnya, apa lagi sambil memikul air! Mula-mula, air sepikul yang dibawanya itu montang-manting ketika dipikul, dan sebagian airnya tumpah sehingga ketika ia tiba di puncak, ia hanya berhasil membawa air yang bersisa sedikit sekali. Namun, gadis ini tidak pernah putus asa, dan dengan gigih ia mencoba terus.
Juga ia berhasil mendapatkan sayur-sayuran yang tumbuh jauh dari puncak, membawanya pulang dan memasak sayuran itu untuk ia dan San-tok. Setelah bekerja selama hampir satu bulan, Diana sudah mulai dapat memikul air ke puncak dan sisa air setengah lebih! Ia tidak lagi mengalami kesukaran dalam mencari bahan makanan maupun air. Pada suatu sore, setelah bekerja hampir sebulan, Diana terpaksa berada di dalam guha, karena di luar hujan turun dengan derasnya, disertai kilat menyambar-nyambar. Ia melihat suhunya duduk bersila dan timbul rasa penasaran di hati Diana. Selama satu bulan, suhunya mendiamkannya saja, jangankan diberi pelajaran ilmu silat, diajak bicarapun tidak! Ia merasa penasaran dan sekaranglah waktunya untuk menegur dan memprotes, pikirnya.
"Suhu..." tegurnya. Sampai tiga kali ia memanggil, barulah San-tok membuka matanya dan memandang dengan alis berkerut. Semenjak ada Diana, Kakek ini jarang tersenyum lagi.
"Ada apa lagi?" bentaknya.
"Suhu, sudah hampir satu bulan aku bekerja di sini, mengerjakan semua perintah suhu tanpa mengenal lelah. Akan tetapi selama ini, suhu belum memenuhi kewajiban suhu. Kewajiban sepatutnya dilakukan kedua pihak, bukan sepihak saja. Aku sudah memenuhi kewajibanku, memenuhi semua perintah suhu, akan tetapi suhu..."
"Aku? Berkewajiban? Eh, Diana, kewajiban apa yang ada padaku!" bentak Kakek itu marah.
"Kewajiban memenuhi janji suhu. Bukankah suhu sudah menerimaku sebagai murid? Mengapa suhu belum juga mengajarkan ilmu silat?"
"Huh, bocah tolol! Apa yang kuajarkan kepadamu selama sebulan ini jauh lebih bermanfaat bagimu dari
(Lanjut ke Jilid 30)
Pedang Naga Kemala (Seri ke 01 - Serial Pedang Naga Kemala)
Karya : Asmaraman S. (Kho Ping Hoo)
Jilid 30
pada kalau engkau belajar ilmu pukul tendang selama tiga bulan! Dan kau masih mengomel bilang aku tidak mengajarkan apa-apa padamu? Belajar ilmu silat tidaklah semudah yang kau duga. Dan sekarang aku mau mengajarkan padamu ilmu yang luar biasa. Mari!"
Kakek itu bangkit dan dengan girang. Diana ikut pula bangkit. Akan tetapi, betapa kagetnya ketika tiba-tiba gurunya menyambar lengannya dan menariknya keluar dari dalam guha, menerjang air hujan lebat. Dan lebih kaget lagi hatinya ketika tiba-tiba gurunya memegang kedua pundaknya dan tahu-tahu tubuhnya sudah melayang naik ke atas batu karang yang berada di depan guha. Kakek itu meloncat lalu mendaki batu karang itu sambil membawa tubuh Diana, seolah-olah batu karang itu datar. Padahal, batu itu meruncing dan menjulang ke atas! Dan tidak mudah memanjat batu karang karena selain terjal juga amat licin. Akan tetapi dalam waktu sekejap, tahu-tahu Kakek itu telah tiba di puncak, lalu meletakkan tubuh Diana di atas puncak.
"Nah, engkau bersila di sini dan berlatih samadhi!" katanya lalu diapun melayang turun kembali jauh di bawah, dan setelah tiba di bawah, Kakek itu memandang ke atas sambil tertawa bergelak. Kemudian diapun masuk ke dalam guha, membiarkan Diana duduk bersila di atas puncak batu karang itu sambil berteriak-teriak dan menangis! Diana merasa takut bukan main. Hujan turun dengan lebatnya.
Air hujan yang menimpa muka dan tubuhnya yang tidak dapat terlindung pakaian yang koyak-koyak itu, seperti ribuan jarum menusuk-nusuknya. Angin yang bertiup kencang seolah-olah mendorong-dorongnya agar jatuh dari atas puncak batu karang. Dan belum lagi kilat yang menyambar-nyambar. Mengerikan! Diana menjerit-jerit memanggil suhunya dan menangis minta diturunkan. Ia sendiri tidak mungkin turun dari situ. Jangankan Diana, biar orang yang pandai ilmu silat sekalipun, takkan mudah turun dari tempat itu. Sekali terpeleset, tentu akan jatuh dan tubuh akan menimpa batu-batu di bawahnya, tentu akan remuk! Dapat dibayangkan betapa tersiksanya badan dan batin Diana. Akan tetapi gadis ini segera melihat kenyataan. Ia sudah ditaruh di situ, ini merupakan sebuah kenyataan yang sudah yang tak dapat lagi, baik oleh ia sendiri maupun oleh siapa juga!
Ia berada di puncak batu karang yang menjulang tinggi, di bawah siraman air hujan, tiupan angin keras dan ancaman kilat yang menyambar-nyambar. Tak dapat di atasi dengan rasa tangis! Juga ia tidak dapat turun sendiri. Ratap tangis hanya akan melemahkan batinnya, dan kalau mempengaruhi tubuhnya, maka ia akan menjadi semakin lemah. Rasa takut hanya datang karena ia membayangkan hal-hal yang mengerikan, membayangkan disambar kilat, membayangkan terjatuh ke bawah. Kalau tidak membayangkan hal-hal itu, tidak ada lagi rasa takut! Dan tersiksa hanya timbul kalau ia melawan dalam batinnya. Mulailah ia merasa tenang dan ia membetulkan letak duduknya bersila. Dari Lian Hong ia sudah mempelajari cara duduk yang benar dalam samadhi. Ia lalu duduk bersila dengan baik, melipat kedua lengan di depan dada.
Pikirannya dibiarkan bebas dan bersatu dengan rasa di tubuhnya, tanpa ada tanggapan batin atau pikiran lagi. Dirasakannya dengan penuh perhatian tiupan angin, jatuhnya air hujan menyiram tubuhnya, didengarkan bunyi kilatan guntur. Dan sungguh aneh! Karena pikirannya tidak membayangkan apa-apa lagi, lenyaplah segala kekhawatiran, hilanglah segala rasa takut! Dan lebih aneh lagi, air hujan yang tadinya menyiksa di samping keruncingannya, kini terasa olehnya kesejukan yang luar biasa. Tiupan angin terasa pula kenyamanannya, dan bunyi kilat menyambar-nyambar itu tidak begitu menakutkan lagi, bahkan menimbulkan rasa kagumnya karena kebesaran alam nampak jelas di sekitar dirinya saat itu. Dan iapun mulai mengatur pernapasannya, duduk dengan diam seolah-olah menjadi bagian dari batu karang itu sendiri, menjadi puncaknya!
San-tok minum arak sambil tertawa-tawa. Rasakan kau sekarang, pikirnya. Besok pagi ia tentu akan merengek minta diturunkan dan dia akan mengajukan syarat, mau menurunkan asal gadis itu berjanji akan meninggalkan tempat itu dan selanjutnya tidak akan mengganggunya lagi! Aha, akhirnya dia yang akan menang dan gadis yang berhati baja itu tentu dapat ditundukkan! Karena hatinya merasa puas dan lega, malam itu San-tok tidur dengan amat nyenyaknya, dan pada keesokan harinya, baru setelah matahari naik tinggi, dia bangun dari tidurnya. Segera dia teringat kepada Diana. Tentu gadis itu kini sudah lemas karena ketakutan dan kalau dia keluar, tentu dara itu akan merengek minta ampun dan minta agar diturunkan dari tempat hukumannya!
"Ha-ha-ha, tikus cilik, pagi ini engkau akan betul-betul minta ampun!"
San-tok tertawa kemudian keluar dari dalam guhanya. Akan tetapi, begitu dia keluar dari guha dan memandang ke arah batu karang meruncing itu, dia terbelalak kaget. Dia tidak melihat seorang gadis yang menangis atau lemas atau atau merengek minta ampun! Sebaliknya, dia melihat Diana duduk bersila di puncak batu karang itu, dengan tubuh tegak, kedua lengan terlipat di depan dada, dalam keadaan samadhi yang tenang! Sama sekali tidak nampak takut, bahkan tubuh itu sedikitpun tidak gemetar, melainkan duduk diam seolah-olah tubuh itu bukan dari kulit daging lagi, melainkan pahatan batu pualam yang amat indah dan yang menjadi satu dengan puncak batu karang! Demikian hebat dan indahnya pemandangan itu, membuat San-tok melongo dan dari mulutnya terdengar ucapan yang dilontarkan di luar kesadarannya,
"Hebat... indah sekali..." Seolah-olah bukan Diana yang dilihatnya, melainkan hasil seni pahat yang amat luar biasa.
"Suhu..." Panggilan ini mengejutkan hati San-tok, dan diapun cepat menoleh. Kiranya Lian Hong datang berlari-lari. Agaknya Lian Hong juga melihat tubuh Diana yang duduk bersila di atas batu karang itu.
"Suhu, kenapa dan bagaimana Diana bisa duduk bersila di sana?" Pertanyaan itu mengandung teguran dan kekhawatiran. San-tok tertawa. Dia seorang yang amat cerdik. Perlakuan yang diberikan kepada Diana itu untuk memaksa Diana menjadi jera dan tidak mengganggunya lagi. Akan tetapi sekarang, Lian Hong sudah kembali dan tentu saja dia tidak dapat bertindak semaunya, ia terlalu sayang sehingga agak takut kepada murid yang dipeliharanya sejak kecil ini.
"Ha-ha-ha, dara bule itu berbakat sekali! Lihat, baru satu bulan ia sudah kuberi latihan samadhi di puncak batu karang itu, padahal dahulu, setelah kepandaianmu cukup tinggi baru engkau berlatih di situ."
"Suhu, berbahaya sekali berlatih di sana. Belum waktunya Diana diberi latihan seberat itu. Biar kuturunkan Diana!" Berkata demikian, Lian Hong lalu memanjat batu karang itu dengan kesigapan seekor monyet. Mendengar suara Lian Hong, Diana membuka matanya. Begitu membuka mata, ia melihat betapa tingginya tempat ia duduk dan ia cepat memejamkan kembali kedua matanya. Pikirannya yang kembali membuat bayangan yang menyeramkan, membuat ia ketakutan lagi. Akan tetapi Lian Hong sudah tiba di dekatnya.
"Diana, mari kita turun. Nah, kau berpegang kepadaku dan mari kuajari bagaimana untuk dapat memanjat turun," kata Lian Hong dengan tenang. Ketenangan dan kesigapan Lian Hong membesarkan hati Diana dan dengan hati-hati ia lalu merangkak turun sambil berpegang kepada Lian Hong. Akhirnya mereka tiba juga di bawah dengan selamat, disambut oleh San-tok yang tertawa-tawa. Begitu tiba di bawah, Diana lalu merangkul Lian Hong dan terisak! Lian Hong membalas rangkulan gadis bule yang telah menjadi sumoinya itu.
"Eh, Diana... kenapa engkau menangis?" Lian Hong bertanya sambil melempar pandang mata tajam ke arah gurunya.
"Sumoi... aku... aku girang sekali melihat engkau pulang, Lian Hong suci! Aku aku rindu sekali padamu..."
"Hong Hong, bagaimana dengan tugasmu?" Kakek yang merasa lega mendengar ucapan Diana yang sama sekali tidak menuntutnya itu, kini bertanya kepada Lian Hong.
"Sudah berhasil baik, suhu. Inilah pedang itu." Lian Hong lalu mengeluarkan sebatang pedang dengan sarungnya yang sudah tua sekali dari balik jubahnya. San-tok menerimanya dengan girang. Pedang itu memang serupa benar dengan pedang Giok-liong-kiam yang palsu, yang mereka ambil dari Koan Jit. Sebuah pedang kecil berukir tubuh naga, terbuat dari batu kemala yang warnanya hijau kemerahan. Buatannya indah bukan main, jauh lebih indah dari pada yang palsu, walaupun bentuknya serupa.
Pedang Naga Kemala Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Ha-ha-ha, tak kusangka bahwa benda seperti ini menjadi rebutan orang sedunia!"
Kakek itu lalu membawa pedang Giok-liong-kiam ke dalam guha, sementara itu Lian Hong mengajak Diana untuk bertukar pakaian. Berhari-hari lamanya Kakek San-tok sembunyi di dalam guhanya untuk meneliti pedang dan mencari rahasia yang disembunyikan. Lian Hong yang mendapat kenyataan bahwa memang kini Diana telah memiliki keuletan dan kekuatan berkat gemblengan yang amat berat selama gadis bule itu berada di situ, mulai memberi latihan-latihan dasar ilmu silat kepada sumoinya, setelah memperoleh perkenan dari San-tok. Tepat sepekan lamanya San-tok dengan tekun melakukan penyelidikan, dan pada suatu pagi, dengan gembira dia keluar dari guhanya. Lian Hong dan Diana yang sedang berlatih silat segera menyambutnya dan ikut bergembira melihat betapa Kakek itu nampak girang bukan main.
"Sudah kudapatkan... sudah kutemukan rahasianya!"
Kakek itu bersorak sambil membuka lipatan kertas dengan hati-hati, karena kertas itu sudah kuning saking tuanya. Dia berhasil menemukan kertas lipatan itu yang disembunyikan secara cerdik sekali di dalam gagang pedang yang berlubang. Dua orang gadis itu segera mendekat dan ikut melihat apa yang tertulis di atas kertas berlipat itu. Ternyata kertas tua itu memuat sebuah gambar pemandangan alam pegunungan. Coretannya kasar dan tak dapat disebut lukisan yang baik, akan tetapi di situ terdapat tanda-tanda dan di puncak pegunungan itu terdapat sebuah kuil. Huruf-huruf kecil yang terdapat di situ hanya menunjukkan ukuran jarak, tidak disebutkan gunung apa itu dan dimana tempat itu.
"Wah, wah... pembuat peta yang ceroboh sekali," Kakek San-tok mengomel, akan tetapi sepasang matanya bersinar-sinar penuh ketegangan dan kegembiraan.
"Suhu, agaknya kita harus mengenal sendiri pemandangan itu, tentu demikian maksud si pembuat peta tanpa menyebutkan dimana tempatnya, yang menujukan peta itu kepada orang-orangnya sendiri yang sudah mengenal lukisan pegunungan itu," kata Diana yang ikut membantu memikirkan.
"Engkau benar, akan tetapi siapa dapat mengenal pemandangan pegunungan seperti ini? Di mana-manapun sama saja..."
"Nanti dulu, suhu!" tiba-tiba Lian Hong berkata dan memandang lebih teliti.
"Aku seperti pernah melihat pemandangan seperti ini. Lihat puncak yang rasanya ujungnya pecah menjadi tiga itu! Dan letak kuil itu... dengan sebatang pohon yang amat besar dan tua di belakangnya. Bukankah itu kuil Siauw-lim-si?
"Aku masih ingat benar, ketika suhu mengajakku mengunjungi kuil itu dan bertemu dengan Locianpwe Siauw-bin-hud. Ketika kita berhenti di lereng untuk makan, kuil itu sudah nampak dari sana, dan aku melihat kuil itu penuh kekaguman karena teringat akan besarnya nama Siaw-lim-pai. Persis seperti dalam lukisan ini, Suhu!"
"Siauw-lim-pai...? Wah, wah... aku tidak ingat lagi. Akan tetapi, siapa tahu dugaanmu itu benar. Urusan besar ini tak dapat kulakukan sendiri. Biar aku akan mengajak Tee-tok dan Hai-tok untuk kuajak bersama-sama. Pusaka itu harus dapat kutemukan..." Dengan gembira sekali, Kakek itu menyerahkan Giok-liong-kiam kepada Lian Hong.
"Aku sengaja menyuruh engkau yang mencari dan mengambil pusaka ini. Rahasia yang dikandungnya adalah pusaka yang akan kita sumbangkan untuk perjuangan, akan tetapi pedang ini menjadi hak milikmu. Jagalah baik-baik. Hari ini juga, aku akan berangkat mencari Tee-tok dan Hai-tok mencari pusaka itu. Hong Hong, engkau menanti aku di sini sambil melatih Diana.
"Kalau ia sudah menjadi muridku, setidaknya ia harus memiliki kekuatan dan kepandaian, jangan sampai kelak menjadi bahan ejekan orang bahwa ia sudah pernah berguru kepadaku. Ajarlah ia dengan keras agar ia cepat dapat menguasai ilmu-ilmu kita, walaupun tidak banyak."
Pada hari juga, San-tok meninggalkan Pegunungan Wu-yi-san. Lian Hong pun semakin giat melatih ilmu silat kepada Diana yang belajar dengan tekun. Dan memang, sebagai seorang kulit putih, Diana memiliki ketekunan dan keuletan yang mengagumkan, dan iapun berbakat sekali karena gerakan-gerakannya tidak kaku. Hal ini mungkin dapat terjadi karena gadis ini telah menyelami kehidupan para petani di negeri itu. Tata kehidupan yang sudah diselaminya itu membuat ia tidak merasa asing dengan kebudayaan di situ, dan pergaulannya dengan para ahli silat membuat ia mampu menerima pelajaran ilmu silat dengan mudah walaupun untuk dapat menguasainya, ia harus berlatih dengan giat dan tekun. Beberapa hari setelah San-tok pergi, pada suatu pagi selagi kedua orang gadis itu berlatih silat, tiba-tiba terdengar suara halus.
"Ahai... kiranya Diana kini telah pandai bermain silat!" Lian Hong cepat menoleh, demikian pula Diana, dan keduanya girang bukan main ketika mengenal siapa yang berseru itu.
"Kui Eng-ci..." Lian Hong berseru girang.
"Wah, kau membikin aku merasa malu saja, Kui Eng!" Diana juga berseru girang. Lian Hong sudah mengenal baik gadis murid Tee-tok itu, bahkan ia pernah menolong Kui Eng ketika gadis itu tertawan oleh Koan Jit. Juga Diana sudah berkenalan dengan Kui Eng ketika mereka bersama guru mereka berkunjung ke kuil dimana Siauw-bin-hud mengadakan perundingan dengan guru mereka.
"Enci Eng, angin baik apakah yang meniupmu sampai ke sini?" Lian Hong bertanya sambil memegang tangan sahabatnya itu.
"Adik Hong, aku diutus oleh suhu untuk menemui suhumu. Dimanakah Locianpwe Bu-beng San-kai?" Girang hati Lian Hong melihat betapa gadis itu menyebut gurunya Bu-beng San-kai, bukan San-tok.
"Suhu sedang turun gunung untuk mengunjungi gurumu, Enci Kui Eng!"
"Ahhh... sayang... aku tidak berjumpa dengan dia di perjalanan. Kalau begitu, perjalananku ini sia-sia belaka..."
"Ada kepentingan apakah, Enci Eng?"
"Suhu ingin sekali mendengar tentang hasil usaha gurumu menemukan pusaka Giok-liong-kiam yang aseli."
"Sudah kudapatkan, Enci!" Karena tahu bahwa antara guru mereka terdapat kerja sama untuk perjuangan, Lian Hong lalu menceritakan dengan terus terang bahwa pedang Giok-liong-kiam telah ditemukannya dan suhunya telah pula mendapatkan peta yang tersembunyi di dalam gagang pedang.
"Peta itu menunjukkan tempat dimana tersimpan pusaka itu, Enci Eng. Dan karena suhu menganggap urusan itu amat penting, maka dia lalu turun gunung untuk mengadakan kerja sama dengan gurumu, juga dengan Locianpwe Hai-tok Tang Kok Bu." Kui Eng ikut merasa girang mendengar cerita itu.
"Ah, mudah-mudahan saja guru-guru kita akan berhasil. Keadaan di tanah air kita sedemikian buruknya sehingga perlu kita semua menyumbangkan tenaga untuk mengusir penjajah Mancu dan juga..." Kui Eng menghentikan kata-katanya dan melirik ke arah Diana. Diana tersenyum dan merangkul pundak Kui Eng.
"Kenapa berhenti? Biar kulanjutkan kata-katamu, Kui Eng. Kita harus mengusir penjajah Mancu dan orang-orang kulit putih! Jangan khawatir, aku sendiripun sama sekali tidak setuju dengan tindakan bangsaku.
"Mereka seharusnya menjadi tamu-tamu terhormat, menjadi rekan-rekan dalam perdagangan yang saling menguntungkan. Aku akan membantu kalian mengusir mereka kalau mereka masih bersikap seperti sekarang, menyelundupkan candu dan menduduki bandar-bandar besar dengan kekuatan kapal-kapal perang mereka!" Lian Hong juga tersenyum.
"Jangan khawatir kepada sumoi Diana, Enci Eng. Biarpun ia berkulit putih, bermata biru dan berambut emas, namun hatinya bersih dan ia memiliki kegagahan."
Karena sudah terlanjur berada di situ dan mendengar bahwa San-tok sedang pergi mencari gurunya, Kui Eng lalu menerima undangan Lian Hong dan Diana untuk tinggal di situ selama beberapa hari. Iapun ingin sekali menikmati keindahan tamasya alam di sekitar Pegunungan Wu-yi-san. Terdapat suara keakraban yang mendalam di antara tiga orang gadis ini. Setiap hari mereka berlatih silat, bercakap-cakap atau berjalan-jalan ke puncak-puncak lain dari pegunungan Wu-yi-san dengan penuh kegembiraan. Sepekan lamanya Kui Eng tinggal di puncak Naga Putih di Pegunungan Wu-yi-san, setiap hari nampak bergembira bersama Diana dan Lian Hong. Hari ke delapan, iapun pamit untuk pulang karena khawatir kalau-kalau ia ditunggu-tunggu oleh suhunya. Biarpun dengan hati berat, Diana dan Lian Hong menyetujuinya dan mengantarnya sampai ke lereng puncak itu.
"Ah, aku ingin agar engkau selalu dapat berada di sini bersama kami, Kui Eng. Senang sekali dekat dengan engkau yang manis dan gagah," kata Diana. Kui Eng tersenyum.
"Engkaulah yang manis, Diana. Dan kelak engKau pun akan menjadi seorang gadis yang gagah perkasa. Mudah-mudahan saja kelak engkau dapat berguna bagi bangsamu, setidaknya dapat menginsyafkan bangsamu yang melakukan kelaliman di tanah air kami."
"Enci Kui Eng... kenapa tergesa-gesa amat? Menanti beberapa hari lagi di sini kurasa tidak ada salahnya," kata Lian Hong.
"Hong-moi, kenapa engkau ingin bersenang saja? Bukankah tenaga kita dibutuhkan oleh tanah air dan bangsa? Kalau kita yang muda-muda ini hanya ingin bersenang-senang saja, lalu sampai kapan bangsa kita tercengkeram oleh penjajah?
"Kurasa sudah terlalu lama kau m muda bangsa kita tertidur sehingga orang-orang Mancu itu seenaknya saja menjajah kita sampai turun-temurun. Aku harus cepat bertemu kembali dengan suhu dan secepatnya menghubungi teman-teman seperjuangan.
"Bukankah suhu kebagian tugas mengabarkan tentang kepalsuan Giok-liong-kiam yang berada di tangan Koan Jit itu agar mereka semua menghentikan perebutan pusaka itu? Nah, cukup sampai di sini saja kalian mengantar, selamat tinggal sampai jumpa pula!" Akan tetapi pada saat itu, Kui Eng dan Lian Hong terkejut. Pendengaran mereka yang terlatih dan peka itu dapat menangkap suara orang berkelahi, jauh di bawah sana. Keduanya saling pandang.
"Ada perkelahian!" kata Lian Hong dan Kui Eng mengangguk.
"Apa yang kalian maksudkan?" tanya Diana yang tidak dapat menangkap suara perkelahian yang dilakukan oleh orang-orang pandai itu.
"Mari, sumoi, di bawah sana ada orang-orang berkelahi. Jangan-jangan suhu yang berkelahi, mari kita turun dan lihat!" Lian Hong lalu merentangkan tangan Diana dan bersama Kui Eng menggandeng tangan diana turun dari lereng itu, menuju ke arah suara perkelahian. Siapakah yang berkelahi di kaki bukit itu? Seorang pemuda yang gagah perkasa sedang menghadapi pengeroyokan dua orang tosu (pendeta Agama To) yang juga lihai sekali. Ci Kong, pemuda itu, setelah beberapa lamanya mewakili Siauw-bin-hud membujuk para pendekar dan perkumpulan silat yang besar untuk dalam keadaan sekacau itu mengadakan Persatuan dengan segala golongan untuk menghimpun kekuatan menghadapi penjajah dan orang kulit putih.
Gelang Kemala Eps 16 Kisah Si Pedang Kilat Eps 24 Kemelut Kerajaan Mancu Eps 9