Ceritasilat Novel Online

Pemberontakan Taipeng 2


Pemberontakan Taipeng Karya Kho Ping Hoo Bagian 2




"Ampun, Sri Baginda. hamba sekalian, seluruh pasukan yang berjaga di selatan, sudah mengerahkan tenaga dan mengorbankan banyak nyawa ketika menghadapi serbuan pemberontak Tai Peng. Akan tetapi kekuatan mereka amat besar, dan yang lebih menyulitkan lagi, rakyat membantu mereka, juga para pendekar yang berkepandaian tinggi. Akan tetapi, kalau hamba mendapatkan bala bantuan dari kota raja, dengan pasukan-pasukan pilihan dan perwira-perwira yang berilmu tinggi, hamba akan mencoba untuk merebut kembali Wu-chang dan Nan-king." Kaisar menoleh kepada Pangeran Kung.

"Bagaimana pendapatmu, pangeran?" Hal ini memang sudah diperhitungkan oleh Pangeran Kung.

"Sri Baginda, agaknya tidak akan menguntungkan kalau kita mengerahkan seluruh tenaga untuk menggempur pemberontak Tai Peng di selatan, karena kita harus pula berjaga-jaga terhadap pemberontakan dari utara dan barat, juga terhadap gerakan orang-orang kulit putih. Kalau kita mengerahkan tenaga ke selatan, tentu kedudukan kotaraja menjadi lemah, memudahkan lawan untuk menyerbu. sebaiknya kini kalau pasukan di selatan dikerahkan untuk menjada tapal batas saja agar pemberontak tidak dapat maju dan sementara kita biarkan mereka menduduki kedua kota itu sampai kita merasa kuat untuk merebutnya kembali. Hamba akan memerintahkan agar dibentuk pasukan-pasukan baru untuk memperkuat pertahanan kita." Kaisar mengerutkan alisnya dan menggerakkan kedua tangan dengan tidak sabar lagi. Kepalanya menjadi pening harus memikirkan urusan pemberontakan itu.

"Begitu juga baik, kau aturlah saja semua itu, pangeran, dan aku hanya menanti berita yang baik-baik saja darimu. Nah, kalian keluarlah dan laksanakan tugas sebaiknya." Dua orang pembesar itu tidak berani membantah lagi, keduanya keluar dan baru setelah mereka tiba di luar, keduanya saling pandang dan menggeleng kepala.

Tanpa bicarapun kedua orang pembesar ini memiliki pendapat dan pandangan yang sama terhadap Kaisar yang sama sekali tidak menaruh perhatian terhadap urusan pemerintah, melainkan menenggelamkan diri ke dalam kesenangan pribadi belaka. Memang hebat sekali gerakan Tai Peng. Dalam tahun 1853, setahun saja setelah Ong Siu Coan memperoleh Giok-Liong-Kiam, pasukannya yang amat kuat itu menyerbu ke utara dan dengan kekuatan penuh menduduki Wu-chang dan Nan-king dan menguasai seluruh daerah sepanjang lembah Yang-ce bagian timur sampai ke muaranya! Akan tetapi, sudah menjadi ciri hampir seluruh pemimpin di dunia ini, bahkan menjadi ciri umum manusia, kemenangan selalu mendatangkan guncangan kepada batin, membuat pertimbangan menjadi miring dan orang yang merasa menjadi pemenang itu akan dihinggapi penyakit mabok atau gila kemenangan! Lupa diri!

Mabok kemenangan ini menimbulkan bermacam-macam sikap dan perbuatan. Ada yang lalu mengangkat diri setinggi-tingginya, ada yang memperkuat kedudukannya, ada pula yang berebutan kekuasaan seperti segerombolan serigala yang memperebutkan bangkai lembu yang mereka bunuh bersama, ada yang lalu berfoya-foya untuk berpesta pora atas kemenangannya, secara berlebihan dan tidak mengenal puas. Ada yang melampiaskan dendamnya dan dengan kekuasaan yang ada pada dirinya, membalas dendam dengan cara yang luar biasa kejamnya. Ong Siu Coan agaknya tidak terkecuali. Bahkan sebagai seorang pemenang yang berhasil baik, dia bukan hanya mabok, melainkan sudah menjadi gila dalam arti yang sedalam-dalamnya! Ong Siu Coan bahkan mengangkat diri sendiri menjadi Kaisar dari Kerajaan Sorga yang didirikannya,

Bahkan dia mengaku secara resmi bahwa dia adalah putera Tuhan yang kedua, adik dari Yesus! Betapapun juga, harus diakui bahwa gerakan Tai Peng (Perdamaian Besar) yang dipimpin oleh Ong Siu Coan itu memperoleh sukses yang gemilang. Mula-mula, sepak terjang Tai Peng mendatangkan rasa suka dan memperoleh dukungan para pendekar karena gerakan itu membela kepentingan rakyat kecil. mengusahakan penghapusan kemiskinan para petani, mengangkat derajat kaum wanita dan menghapuskan peraturan-peraturan dan tradisi-tradisi yang merendahkan martabat wanita. Selain Tan Ci Kong yang menjadi orang kepercayaan dan pembantunya, juga banyak sekali orang-orang pandai dan pendekar-pendekar perkasa bergabung dengan Ong Siu Coan. ketika dia mula-mula memberi nama Kerajaan Sorga Tai Peng kepada balatentaranya,

Dia sudah dibantu oleh banyak orang pandai, di antara pemdekar-pendekar itu terdapat nama-nama besar yang tercatat dalam sejarah seperti Lin Feng Siang, Li Kai Fang, Si Ta Kai, Wei Chang Hui, Yang Siu Cing, dan terutama sekali Li Siu Ceng dan Tan Yu Ceng. mereka ini tercatat di dalam sejarah sebagai tokoh-tokoh yang memperkuat pimpinan Tai Peng dan menjadi pembantu-pembantu utama dari Ong Siu Coan. Ong Siu Coan berhasil menduduki Nan-king, lalu menyuruh dua orang pembantunya, yaitu Lin Feng Siang dan Li Kai Fang untuk memimpin pasukan menuju ke utara, mempersiapkan penyerbuan besar-besaran yang tujuannya adalah penyerbuan ke kotaraja Peking! Akan tetapi, ada suatu hal yang membuat banyak pendekar merasa kecewa dengan gerakan Tai Peng. meraka melihat betapa Ong Siu Coan membuat pengakuan-pengakuan aneh,

Seperti "putera Tuhan" dan "adik Yesus" dan bahwa dia dapat membuat hubungan langsung dengan Tuhan, menerima petunjuk-petunjuk yang kesemuanya itu menuju ke arah ketidaknormalan. Yang lebih daripada segalanya adalah melihat betapa Ong Siu Coan membiarkan anak buah pasukannya melakukan segala macam perbuatan kejam, bukan hanya membunuhi orang-orang yang dicurigai tanpa diperiksa, akan tetapi juga merampok dan memperkosa wanita! Ong Siu Coan terlalu memanjakan anak buahnya, dan tentu saja di antara mereka terdapat banyak orang yang memang berwatak penjahat. Karena perbuatan-perbuatan kejam seperti memperkosa wanita dan merampok itu tidak dijatuhi hukuman, tentu saja yang lain-lain juga terseret karena perbuatan-perbuatan jahat yang menguntungkan dan menyenangkan diri sendiri mudah sekali menular dan dicontoh orang lain.

Melihat kenyataan-kenyataan pahit ini, mulailah para pendekar mengundurkan diri setelah mereka itu dengan gagah perkasa membantu penyerbuan Wu-chang dan Nan-king sampai kedua kota itu berhasil diduduki. Yang mengundurkan diri banyak sekali termasuk pula Tan Ci Kong. Akan tetapi karena sudah merasa berhasil dan kekuasaannya mulai nampak sebagai hasil perjuangannya, Ong Siu Coan tidak perduli. Masih banyak orang yang suka menjadi pembantunya, pikirnya, apalagi setelah kini dia mengangkat diri menjadi pemimpin besar, bahkan raja dari Kerajaan Sorga Tai Peng! Kalau saja Ong Siu Coan tidak berwatak sombong dan tinggi hati, kalau saja kesempatan yang amat baik setelah balatentaranya memperoleh kemenangan itu dia pergunakan sebaiknya dengan memperkuat pasukan,

Bersekutu dengan para pemberontak lain yang pada waktu itu juga bermunculan di utara dan barat, atau kalau saja dia mau bersekutu dan mempergunakan kekuatan orang-orang kulit putih yang agaknya akan suka membantunya mengingat bahwa dia mengaku sebagai penyiar Agama Kristen, agaknya sejarah akan membuat catatan lain dan mugkin sekali Tai Peng ini akan menguasai seluruh daratan dan berhasil pula menumbangkan kekuasaan penjajah Mancu! Akan tetapi Ong Siu Coan terlalu tinggi hati dan mabok kemenangan, merasa bahwa balatenataranya tidak ada yang akan dapat mengalahkannya karena dia memperoleh bimbingan dari Tuhan sendiri! Kemenangan demi kemenangan yang dicapai oleh balatentara Tai Peng membuat Ong Siu Coan tinggi hati dan lengah sehingga hampir saja kelengahannya itu menewaskannya pada malam hari itu.

Malam itu gelap dan sunyi. Karena merasa aman dan tidak mungkin ada orang yang berani mengganggunya, Ong Siu Coan dan isterinya tidur di dalam istana mereka tanpa pengawalan pribadi. Mereka mengambil istana di Nan-king yang merupakan istana tua namun megah menjadi tempat tinggal mereka, hidup bagaikan seorang raja, megah dan mewah. Karena tidak ada pasukan pengawal pribadi yang melakukan penjagaan, ketika suami isteri ini sudah tidur, tidak ada orang
(Lanjut ke Jilid 02)
Pemberontakan Taipeng (Seriall 02 - Pedang Naga Kemala)
Karya : Asmaraman S. Kho Ping Hoo

Jilid 02
dalam istana itu yang melihat berkelebatnya bayangan orang bergerak cepat sekali melayang turun dari atas genteng istana setelah tadi dia berlompatan seperti seekor burung terbang atau kucing saja. Para pelayan di istana itu terdiri dari orang-orang yang tidak berkepandaian silat, maka mereka tidak mendengar atau melihat sesuatu.

Bayangan itu menyelinap dan akhirnya mengintai dari jendela kamar di mana Ong Siu Coan tidur bersama Tang ki, isterinya. Sebagai seorang yang berasal dari sebuah dusun di Hwa-sian, propinsi Kuang-tung, yang baru saja mengangkat diri menjadi Kaisar, Ong Siu Coan belum dapat hidup sebagai layaknya seorang raja atau seorang pembesar tinggi. Dia masih belum mengerti dan masih hidup sebagai orang biasa, tidur sekamar dengan isterinya tanpa ada penjagaan ketat seperti yang biasa bagi seorang raja. Juga dia tidak memiliki selir. Hal ini bukan hanya karena dia mencinta isterinya, akan tetapi juga karena satu di antara peraturan agama barunya adalah melarang pria beristeri lebih dari seorang. Maka, di luar tempat tidurnya itu tidak nampak adanya pengawal dan hal ini membuat bayangan yang mengintai di luar kamar, mengeluarkan suara ketawa lirih mengejek.

Bayangan yang dapat bergerak seperti setan itu bertubuh sedang dan tegap, pakaiannya indah seperti pakaian seorang pelajar, rambutnya mengkilap terpelihara rapi, akan tetapi mukanya tertutup saputangan Sutera hitam sehingga tidak dapat dikenal, hanya sepasang matanya saja yang nampak dari dua buah lubang pada saputangan itu, sepasang mata yang tajam dan kadang-kadang mencorong! Pada tubuhnya tidak nampak adanya senjata. Hal ini saja menunjukkan bahwa dia bukan seorang pencuri biasa, melainkan seorang yang sudah terlalu percaya kepada diri sendiri, tidak membutuhkan senjata lagi karena kaki dan tangannya sudah merupakan senjata yang tidak kalah ampuhnya dengan senjata dari baja.

Atau juga menjadi petunjuk bahwa dia adalah seorang yang sombong dan menganggap kepandaian sendiri terlampau tinggi sehingga memandang rendah orang lain. Ketika sepasang mata yang mencorong itu mengamati keadaan di dalam kamar yang remang-remang karena hanya diterangi lampu minyak yang dikerudungi kain hijau dan melihat benda yang dicarinya, sepasang mata itu mengeluarkan sinar berkilat. Benda itu adalah Giok-Liong-Kiam yang diletakkan berdiri di atas sebuah meja, bersandar pada dinding yang dihias indah dan di atas dinding terdapat gambar Yesus. Ada dua buah lilin kecil bernyala di kedua ujung meja yang diberi tilam Sutera putih yang dipinggirnya berenda. Giok-Liong-Kiam seolah-olah menjadi sebah benda keramat, benda pujaan di bawah gambar Yesus! Dan memang Ong Siu Coan selalu menonjolkan Pedang Naga Kemala itu sebagai benda keramat,

Sebagai pusaka dan lambang kejayaan Tai Peng. Senyum simpul agaknya menghias pada mulut yang tertutup saputangan itu karena matanya juga membayangkan kegembiraan ketika dia melihat pedang itu. Setelah meneliti beberapa saat lamanya dan merasa yakin bahwa di sekitar tempat itu tidak ada orang, dan dari suara pernapasan di dalam kamar itu dia dapat mengetahui bahwa orang-orang yang tidur di balik kelambu itu tentu sudah pulas, orang itu lalu menggunakan kedua tangannya untuk membuka daun jendela. Daun jendela itu terkunci dari dalam dan terbuat dari papan kayu yang tebal dan terukir indah, karena daun jendela itu dipasang di kamar induk dari istana itu. Tidak akan mudah orang membongkarnya dari luar, karena engsel dan kunci jendela terbuat dari besi, buatannya kokoh bukan main.

Akan tetapi, dengan jari-jari tangannya yang amat kuat, orang itu dapat membuka daun jendela tanpa mengeluarkan banyak suara! Hal ini membuktikan bahwa orang berkedok ini memang benar lihai sekali. Setelah daun jendela terbuka, dia meloncat ke dalam kamar melalui lubang jendela, gerakannya tiada bedanya dengan gerakan seekor kucing meloncat, ketika kedua kakinya turun ke lantai kamar, sama sekali tidak terdengar suara berisik. Harus diingat bahwa dua orang yang tidur di balik kelambu tempat tidur itu adalah Ong Siu Coan dan Tang Ki, dua orang yang memiliki ilmu kepandaian tinggi sekali, yang telah melatih diri sedemikian rupa sehingga panca indera mereka demikian pekanya dan biarpun tertidur nyenyak, kalau ada suara sedikit saja yang mencurigakan sudah cukup untuk menggugah mereka!

Akan tetapi sekali ini, mereka tidak mendengar sesuatu dan tetap tidur nyenyak, seperti dapat diketahui oleh orang itu dengan mendengarkan pernapasan mereka yang panjang dn halus tak terkendali. Hal ini kembali membuktikan kelihaian orang itu. Sesaat lamanya dia berdiri saja memandang ke arah kelambu, sambil mendengarkan pernapasan dan melihat kalau-kalau kelambu itu bergoyang. Akan tetapi semuanya tetap hening dan dia menganggu-angguk girang, melihat ke arah dua pasang sepatu di bawah pembaringan, sepasang sepatu pria dan sepasang sepatu wanita. Kemudian dia menoleh ke arah meja di mana terdapat Giok-Liong-Kiam yang berada dalam sarungnya. Dia melangkah maju, langkahnya juga lembut tanpa suara, dan dilain saat dia telah mengambil pedang pusaka itu,

Mencabutnya dari dalam sarung dan matanya kembali mencorong dan berkilauan ketika dia melihat bahwa benda itu benar Giok-Liong-Kiam yang dicarinya. Tak disangkanya bahwa benda itu akan dapat dia temukan sedemikian mudahnya! Dia lalu menyelipkan pedang itu ke balik jubahnya, di ikat pinggangnya, dan kakinya melangkah mendekati jendela. Akan tetapi, dia berhenti dan menoleh ke arah ranjang, lalu kakinya bergerak menghampiri. Agaknya timbul suatu keinginan yang membuatnya menghampiri ranjang, menggunakan tangan kiri menyingkap kelambu dan dia menjenguk ke dalam. Ong Siu Coan tidur miring membelakangi isterinya yang tidur terlentang. Keduanya tidur pulas. Orang itu berdiri memandangi wajah dan tubuh Tang Ki yang tertutup pakaian tidur yang tipis, dan sejenak sepasang mata itu mengeluarkan sinar lembut.

Tangan kirinya masih menyingkap kelambu dan kini tangan kanannya bergerak ke depan, dengan lembut meraba dan mengusap kaki Tang Ki di bagian paha. Rabaan halus ini cukup bagi Tang Ki untuk merasakan sesuatu yang tidak wajar dalam tidurnya. Ia membuka mata dan seketika ia mengeluarkan teriakan nyaring dan tubuhnya sudah meloncat dan menerjang ke arah orang berkedok itu! Tang Ki adalah seorang wanita yang memiliki kepandaian tinggi sekali, mungkin tidak kalah lihai dibandingkan suaminya. Ia adalah puteri tunggal Hai-Tok, seorang di antara Empat Racun Dunia, dan selain telah mewarisi ilmu-ilmu silat yang hebat dari Ayahnya, juga ia telah mewarisi ilmu meringankan tubuh yang istimewa ciptaan Tat Mo Couwsu yang ditemukan di dalam sebuah kitab yang bernama Hui-thian-yan-cu (Burung Walet terbang ke Angkasa)!

Maka, terjangannya tadi, biarpun dilakukan dalam keadaan baru saja terbangun dari tidur nyenyak, dan dari keadaan rebah terlentang, berlangsung cepat bukan main dan tahu-tahu tubuhnya sudah melesat naik, ke depan dan kedua tangannya telah melancarkan pukulan maut ke arah kepala dan dada orang berkedok! Orang itu sudah cepat meloncat ke belakang dia menghadapi terjangan Tang Ki dengan tenang saja! Padahal ketika tubuhnya melayang dan memukul, Tang Ki telah menggunakan Ilmu Pukulan Thai-lek Kim-kong-jiu, ilmu pukulan warisan dari Ayahnya yang mengandung tenaga bagaikan geledek menyambar. Akan tetapi orang itu menyambutnya dengan gerakan yang sama sehingga kedua tangannya bertemu dengan kedua tangan Tang Ki, saling bentur di udara dengan tenaga yang sama-sama kuat.

"Dessss...!" Akibat benturan tenaga dahsyat itu, tubuh Tang Ki terlempar kembali ke atas pembaringan, sedangkan orang berkedok itu mengeluarkan suara mengejek menyerupai tawa tertahan. Sementara itu, Siu Coan sudah terbangun oleh suara dan gerakan isterinya dan terkejutlah dia melihat seorang berkedok menyambut pukulan isterinya yang ampuh dan membuat isterinya terjengkang dan terbanting ke atas pembaringan.

"Maling hina yang sudah bosan hidup!" bentaknya dan diapun sudah meloncat turun dari atas pembaringan dan langsung menyerang orang berkedok itu.

Karena dia dapat menduga bahwa orang itu tentu lihai, maka begitu menyerang dia sudah menggunakan jurus dari ilmu silat yang paling diandalkan di antara ilmu-ilmu silat lain, yaitu Ngo-heng Kuan-hoan-kun yang dipelajari dari gurunya, yaitu Thian-tok (Racun Langit). Akan tetapi, dari balik kedok kain Sutera itu terdengar suara tawa mengejek dan orang itu menyambut serangannya dengan ilmu silat yang sama. Bahkan orang itu membalas serangan Siu Coan dengan jurus-jurus Ngo-heng Lian-hoan-kun pula! Demikian hebat serangan orang itu membuat Siu Coan terpaksa cepat meloncat ke belakang dengan kaget bukan main. Karena kakinya tidak bersepatu, maka gerakannya menjadi terganggu. Kaki yang tidak biasa telanjang itu agak kaku ketika dipakai bersilat.

"Siapa kau...!" Dia membentak karena heran melihat betapa orang itu dapat bersilat dengan Ilmu Ngo-heng Lian-hoan-kun! Dialah satu-satunya murid Thian-tok sekarang. Kedua orang saudara seperguruannya, yaitu Koan Jit dan Gan Seng Bu sudah tewas. Rasanya tidak mungkin gurunya telah diam-diam mengambil murid lain sebelum gurunya itu mengambil dia sebagai murid. Akan tetapi orang berkedok itu hanya menjawab dengan suara ketawa bergelak kemudian sekali melompat, dia sudah menerobos keluar jendela dan melarikan diri.

"Tangkap penjahat!!" Siu Coan berteriak, juga Tang Ki yang tadi terkejut oleh kekuatan orang itu, berteriak-teriak. Keduanya tidak dapat langsung melakukan pengejaran karena harus mengenakan sepatu yang sebelum tidur mereka lepas, dan membereskan pakaian. Para pelayan datang berlarian dan di antara mereka ada yang melihat berkelebatnya orang berkedok itu. mereka menjerit-jerit dan datanglah perajurit pengawal yang berjaga di luar. Akan tetapi ketika Siu Coan dan Tang Ki keluar, penjahat itu sudah tidak nampak lagi bayangannya. Barulah Ong Siu Coan sadar bahwa dia lengah dan malam itu juga dia memerintahkan agar istananya dijaga ketat, baik di sebelah luar maupun di sebelah dalam. Kemudian dia kembali ke dalam kamar bersama isterinya.

Dapat dibayangkan betapa kaget dan marah hatinya ketika dia mendapat kenyataan bahwa Giok-Liong-Kiam telah lenyap dari atas meja! Baru dia mengerti apa yang dikehendaki penjahat tadi memasuki kamarnya. Mencuri Giok-Liong-Kiam! Betapa beraninya! Masuk ke dalam kamarnya mencuri Giok-Liong-Kiam! Dan berhasil pula. Ong Siu Coan mengepal tinju, marah sekali. Akan tetapi diapun maklum bahwa peristiwa ini tidak boleh tersiar karena tentu akan mengurangi semangat para pembantunya. Maka, diam-diam dia lalu menyuruh buat sebatang Giok-Liong-Kiam palsu, hanya meniru gagang dan sarungnya saja dan menaruh Giok-Liong-Kiam itu di atas meja untuk menggantikan yang hilang.

"Aku tahu siapa maling itu!" kata Tang Ki ketika mereka berdua membicarakannya. Suaminya memandang tajam.

"Engkau tahu? Siapa jahanam itu?"

"Menurut dugaanku, dia tentulah Lee Song Kim, bekas Suhengku itu!" Memang Ayahnya, Hai-Tok Tang Kok Bu, mempunyai seorang murid yang amat disayangnya, yang bernama Lee Song Kim, seorang yang memiliki kepandaian dan kecerdikan luar biasa. Bahkan karena Lee Song Kim maka Tang Ki sampai jauh dari Ayahnya. Ayahnya menghendaki agar dia menikah dengan Song Kim, akan tetapi Tang Ki mencinta Ong Siu Coan dan tidak suka, bahkan benci kepada Song Kim. Hal ini membuat Ayahnya marah dan Ayahnya agaknya lebih suka kepada murid itu daripada kepada puterinya.

"Lee Song Kim?" Siu Coan mengerutkan alisnya.

"Bagaimana engkau dapat menyangka demikian?"

"Ketika aku menyerangnya, dia menangkis dengan gerakan dari jurus Ilmu Silat Thai-kek Kim-kong-jiu, dan siapa lagi kalau bukan dia yang pandai melakukan ilmu pukulan itu?"

"Ah, engkau juga?" Siu Coan berseru kaget.

"Akan tetapi ketika dia menghadapi seranganku, dia juga mempergunakan jurus dari ilmu silatku, yaitu Ilmu Silat Ngo-heng Lian-hoan-kun! Tak mungkin kalau Lee Song Kim dapat memainkan silat perguruanku itu. Yang dapat melakukannya selain Suhu dan aku, juga Gan Seng Bu dan Koan Jit. Akan tetapi, Gan Seng Bu telah mati dan Suheng Koan Jit... ahhh..." Tiba-tiba Siu Coan terbelalak, memandang isterinya seperti orang terkejut dan teringat akan sesuatu.

"Ada apakah?" tanya Tang Ki, hatinya merasa tidak enak.

"Suheng Koan Jit... jangan-jangan dia orangnya...

"Koan Jit?" Tang Ki bertanya, matanya terbelalak dan wajahnya berobah.

"Akan tetapi, bukankah dia telah tewas tertimpa batu-batu ketika ledakan itu membuat terowongan runtuh dan menimpa dirinya " Ia membayangkan peristiwa yang mengerikan itu.

Ketika itu, para pendekar muda, pejuang-pejuang yang menentang pemerintah Mancu, berusaha membebaskan para pimpinan pejuang dan tokoh-tokoh tua yang ditawan karena terjebak oleh tipu muslihat yang diatur Lee Song Kim. Di dalam usaha mereka itu, mereka tidak berhasil, bahkan mereka sendiri terjebak dan terancam untuk tertawan, mati atau hidup, dan sudah tidak ada jalan keluar lagi ketika mereka terjebak dalam terowongan di bawah tanah yang menghubungkannya dengan tempat para pimpinan yang ditawan. Dalam keadaan tersudut dan tertodong senapan-senapan para perajurit kulit putih yang bersekongkol dengan pasukan pemerintah Mancu, tiba-tiba muncul Koan Jit yang dengan gagah perkasa menolong mereka dengan jalan menghadapi

para perajurit dengan alat-alat peledak di tangan! Dan Koan Jit meledakkan terowongan itu, membuat terowongan tertutup dan para serdadu tidak dapat mengejar mereka yang berhasil menyelamatkan diri, lolos bersama para pimpinan pejuang, akan tetapi Koan Jit sendiri tertimbun batu-batu terowongan yang runtuh menimpa dirinya. Benarkah Koan Jit teruruk batu-batu itu? Mereka tidak dapat melihatnya karena ketika ledakan-ledakan terjadi, debu dan asap menggelapkan tempat itu. Akan tetapi yang ditemukan hanyalah sebuah sepatu Koan Jit dan agaknya tubuh Koan Jit sudah hancur lebur atau mungkin juga tertimbun runtuhan batu-batu itu. Bagaimana mungkin sekarang Koan Jit dapat hidup kembali dan mencuri Giok-Liong-Kiam?

"Akan tetapi, andaikata benar dia Koan Jit, berapapun lihainya, bagaimana dia mampu menangkisku dengan Thai-lek Kim-kong-jiu?" Tang Ki membantah.

"Itulah yang membingungkan dan meragukan..." Siu Coan menggeleng kepalanya dengan heran.

"Bagaimanapun juga,kita harus mencari pusaka itu dan merampasnya kembali," kata Tang Ki.

"Tidak mungkin... kita berdua mana bisa pergi begitu saja seperti yang sudah-sudah? Aku adalah seorang raja dan engkau permaisuriku, tak mungkin pergi merantau untuk mencari pencuri pedang pusaka."

"Kita mempunyai banyak pembantu yang pandai, kita dapat mengerahkan anak buah, mengerahkan pasukan istimewa untuk mencarinya sampai dapat." Ong Siu Coan menggeleng kepala.

"Kita harus bertindak cerdik. Kita tidak membutuhkan Giok-Liong-Kiam, yang kita perlukan hanyalah namanya saja. dan sekarang Giok-Liong-Kiam bahkan tidak kita perlukan lagi. Bukankah pusaka itu telah berhasil menarik perhatian dan mengundang orang-orang gagah yang telah membantu gerakan kita sehingga berhasil? Kini kita tidak memerlukannya lagi. Biarlah saja ia dibawa pergi orang lain."

"Tapi... kita meminjamnya dari Ci Kong! Bagaimana kalau dia memintanya kembali?"

"Kalau dia datang memintanya kembali, barulah kepadanya kita berterus terang bahwa pusaka itu dicuri orang. Akan tetapi kita mendapatkan banyak pusaka rampasan dan kita boleh menggantinya dengan pusaka lain atau mengganti kerugian dengan benda berharga lainnya. Biarlah dia yang akan berusaha mencari kembali pusaka itu. Kita tidak membutuhkan Giok-Liong-Kiam lagi." Demikian Ong Siu Coan menyuruh isterinya menyimpan peristiwa pencurian Giok-Liong-Kiam itu sebagai suatu rahasia. Dia tidak ingin semua orang tahu bahwa Giok-Liong-Kiam yang dipandang sebagai lambang kejayaan Tai Peng itu dicuri orang! Biarlah semua orang mengira bahwa Giok-Liong-Kiam masih berada dengan aman di dalam istananya. Memang Ong Siu Coan ini amat cerdik dan selalu bertindak dengan penuh perhitungan demi keuntungan sendiri.

Gadis itu memang cantik sekali, cantik dan manis, dengan bentuk muka bulat telur, dagu meruncing, sepasang alis yang hitam tebal panjang seperti juga rambutnya, sepasang mata yang tajam dan bening, hidung kecil mancung dan mulut yang amat manis dengan bibir yang selalu merah basah dan menantang. Akan tetapi, kadang-kadang nampak sifat dingin dan kejam pada mulut itu. Untuk melengkapi keindahan tubuh gadis itu, bentuk tubuhnya juga amat menarik, dengan pinggang yang kecil ramping, tinggi semampai dan lekuk lengkung tubuh yang menggairahkan. Gadis berusia tujuh belas tahun ini memang amat cantik manis, bagaikan setangkai bunga yang mulai mekar. pembawaannya lincah jenaka dan segala yang nampak di sekitarnya menjadi cerah menggembirakan. Dari bentuk pakaiannya mudah diketahui bahwa ia adalah seorang gadis berbangsa Mancu yang pada saat itu menjadi dayang istana Terang Sempurna di taman Yuan-beng-yuan,

Dan sebagai seorang di antara para dayang yang berada di situ, ia ditugaskan untuk menjaga dan mengurus sebuah pondok kecil di sudut taman. Gadis itu bernama Yehonala, sebuah nama Mancu yang berarti Anggrek Kecil. Ia adalah seorang di antara enam puluh empat orang perawan Mancu yang didatangkan oleh permaisuri Kaisar untuk menggantikan selir-selir berbangsa Han karena permaisuri khawatir bahwa kelak suaminya akan mempunyai keturunan putera dari bangsa Han. Akan tetapi biarpun Yehonala amat menonjol dalam kecantikan dan sikapnya di antara semua perawan yang dibawa ke istana, ketika Kaisar memeriksa gadis-gadis itu, datang berita yang amat tidak menyenangkan mengenai didudukinya Wu-cang dan Nan-king oleh pasukan pemberontak Tai Peng.

Maka perhatian Kaisar yang terpecah dan terganggu membuat Kaisar Sian feng tidak melihat Yehonala. Yehonala adalah puteri sulung seorang pejabat menengah berbangsa Mancu. Gadis ini sudah banyak mengunjungi banyak tempat, mengikuti Ayahnya ketika Ayahnya bertugas dan dipindah-pindahkan ke banyak kota. Hal ini membuat Yehonala lebih berpengalaman daripada gadis-gadis Mancu yang lain, dan ia memiliki banyak kelebihan. Bukan hanya kecantikan wajah dan kepadatan tubuhnya, juga ia pandai merias diri dan pandai pula menyanyi dengan suara merdu. Ia banyak mengenal lagu-lagu rakyat berbagai daerah dan pandai menyanyikannya dengan suara yang merdu. Selain itu, juga Yehonala berakal, cerdik dan pandangan luas dan jauh. Mula-mula ia memang merasa kecewa karena agaknya Kaisar mengacuhkannya dan tidak memilihnya menjadi selir,

Bahkan semenjak ia berada di taman itu, belum pernah satu kalipun Kaisar menaruh perhatian terhadap dirinya. Akan tetapi, ia menekan kekecewaannya dan kecerdikannya membuat ia berusaha sedapatnya untuk menarik perhatian Kaisar. Mula-mula, selama berbulan-bulan ia mengecat, menghias dan memperbaiki pondok kecil yang dijaganya. Ia melukis banyak bunga anggrek, bunga kesayangannya yang menjadi namanya, dan menggantungkan lukisan-lukisan itu di dalam pondoknya. Juga dengan uang saku yang ditabungnya, ia mulai menyuap thaikam (orang kebiri) yang bertugas menjaga taman dan istana Yuan-beng-yuan sehingga bersahabat baik dengan mereka. Dua tahun lamanya Yehonala bersabar dan berusaha. Sementara itu ia telah menjadi seorang gadis yang masak dan semakin cantik saja.

Hubungannya dengan para thaikam sudah semakin erat dan para thaikam itu suka membantunya, mencari kesempatan agar Kaisar dapat melihatnya. Kesempatan itu tiba pada suatu sore hari yang hawanya panas. Pada waktu itu, Kaisar Sian Feng duduk di dalam tandu yang dipikul oleh delapan orang thaikam. Kaisar sedang dalam perjalanan mengunjungi seorang selir bangsa Han yang menjadi kesayangannya. Para thaikam yang sudah mengadakan kontak dengan Yehonala, sengaja memikul tandu itu dengan berputar, lewat di bawah pohon-pohon wu-tung yang teduh dan melalui pondok yang didiami Yehonala. Pada saat itu, sesuai dengan rencana yang sudah diatur oleh Yehonala, Kaisar yang duduk melenggut oleh kantuk karena panasnya hawa, mendengar suara nyanyian merdu. Tentu saja dia tertarik sekali dan menyingkap tirai tandu di depannya.

"Berhenti...!" kata Kaisar, tertarik sekali karena begitu dia menyingkap tirai, dia melihat sebuah pondok yang dihias amat indah, dicat baru dan di depan pondok penuh dengan tanaman bunga beraneka warna. Sungguh merupakan sebuah pondok yang terbagus di antara pondok yang berada di taman itu.

"Ah, sungguh mungil sekali pondok ini," kata Kaisar dan dibantu oleh para thaikam, diapun turun dari atas tandu, lalu menghampiri pondok dan karena daun pintu pondok terbuka, Kaisar lalu masuk ke dalam. Setibanya di dalam pondok, kembali dia tertegun. Di dalam pondok tergantung lukisan-lukisan bunga anggrek beraneka bentuk dan warna, indah sekali dan perabot pondok itupun dicat dan diatur penuh dengan kerapian yang nyeni. Kaisar masih mendengar suara wanita bernyanyi, maka diapun menjenguk jendela belakang dan ia semakin terpesona. seorang gadis Mancu dengan baju Mancu Sutera merah muda sedang duduk di dekat kolam ikan kecil di belakang pondok.

Gadis itu sedang mengipasi tubuh yang kegerahan dengan kipas sambil menyanyikan sebuah lagu rakyat daerah Soo-chouw. Suaranya merdu sekali dan nyanyian itu adalah nyanyian rakyat tentang seorang gadis yang sedang menanti datangnya sang kekasih. Romantis sekali sehingga Kaisar merasa terharu, hanyut oleh nyanyian itu dan terpesona oleh kecantikan gadis itu. Heran dia mengapa selama ini dia tidak pernah melihat dayang yang manis dan mempesona ini? Setelah Yehonala berhenti bernyanyi, Kaisar Sian Feng lalu menghampiri gadis itu dari belakang. Tentu saja Yehonala sudah tahu akan kehadiran Kaisar, akan tetapi dengan cerdik ia berpura-pura terkejut, membalikkan tubuh dengan sikap semenarik mungkin. Ia nampak terkejut ketika melihat bahwa yang memujinya itu adalah Kaisar sendiri. cepat ia menjatuhkan diri berlutut di depan kaki Kaisar.

"Mohon Paduka sudi mengampuni hamba, karena tidak tahu akan kunjungan yang mulia Sri Baginda, maka hamba tidak menyambut dengan selayaknya." Suaranya penuh dengan kemerduan, dengan kata-kata yang teratur dan sopan sehingga Kaisar menjadi girang bukan main. Tak disangkanya di tempat yang indah itu dia akan bertemu dengan seorang gadis secantik dan sepintar ini. Dia tertawa bergelak.

"Nona manis, angkat mukamu dan biarkan aku melihatnya," katanya sambil tertawa. Yehonala tersipu malu sehinga wajahnya yang putih bersih, mulus dan cantik itu menjadi kemerahan, menambah kemanisan wajahnya. Dengan malu-malu, senyum dikulum ia mengangkat mukanya menengadah sambil berlutut dan Kaisar Sian Feng menjadi girang bukan main. Kini dia dapat melihat wajah itu dengan jelas dan memang sebuah wajah yang amat menggairahkan hatinya. Dia lalu menglur tangannya, membelai pipi dan leher yang berkulit halus dan hangat itu.

"Siapakah namamu?" Dengan sikap tersipu malu sehingga daya tariknya menjadi kuat, gadis itu menjawab lirih,

"Nama hamba Yehonala... sudah dua tahun hamba mengabdi di.."

"Dua tahun?" Kaisar Sian Feng terkejut dan memaki kebodohannya sendiri. Selama dua tahun dia membiarkan setangkai bunga yang demikian indahnya tanpa pernah menyentuhnya, apalagi memetiknya, melihatpun belum pernah.

"Yehonala, nama indah, seindah lukisan-likisanmu. Yehonala, hari amat panas dan aku merasa gerah sekali. Aku ingin mandi di dalam pondokmu..." Tentu saja Yehonala menjadi girang bukan main. Tidak sia-sia semua kesabaran selama ini, tidak sia-sia semua rencana yang telah dilakukannya. dengan girang ia lalu mempersilahkan Kaisar memasuki pondok, ia lalu mempersiapkan air harum untuk mandi junjungannya itu dan dengan sikap malu-malu seperti layaknya seorang anak perawan yang belum pernah berdekatan dengan pria, ia membantu Kaisar mandi di sore hari yang panas itu. Setelah merasa puas mandi, juga puas membelai dan menciumi dara itu, Kaisar mengenakan pakaiannya dan berbisik,

"Yehonala, bersiaplah engkau untuk melayani dan menemaniku malam nanti." Yehonala berlutut dan menyatakan kesanggupannya dengan sikap malu-malu, namun di dalam hatinya ia bersorak penuh kemenangan. Ia harus dapat menundukkan hati junjungannya ini, ia harus berhasil memenuhi cita-citanya, yaitu menjadi selir terkasih Kaisar,

Kalau mungkin menjadi Ibu dari putera Kaisar agar kelak ia dapat menjadi Ibu suri! Cita-citanya amat besar, dikandung semenjak ia dipilih untuk dibawa ke istana Kaisar. Karena pertemuannya dengan Yehonala, Kaisar tidak jadi mengunjungi selirnya dan langsung pulang ke istana. Dia telah menemukan seorang gadis baru yang amat mempesona dan dia harus mempersiapkan diri untuk bersenang-senang malam nanti dengan gadis itu. Diminumnya darah segar menjangan yang dicampur dengan tanduk menjangan dan ramuan lain untuk memperkuat tubuhnya. Sementara itu, setelah Kaisar meninggalkannya, Yehonala bersenandung dengan gembira, lalu ia pun mempersiapkan diri, mandi dengan air bunga yang harum, kemudian menggosok-gosokkan ramuan yang dapat membuat kulit tubuhnya menjadi halus lunak, bersih dan segar.

Ia sudah bersiap siaga ketika pada malam harinya muncul dua orang thaikam yang diutus Kaisar untuk menjemputnya. Pada jaman itu, terdapat peraturan istana yang luar biasa. Setiap orang selir atau wanita yang dipilih Kaisar untuk melayaninya, selalu akan dijemput oleh dua orang thaikam dan dibawa kepada Kaisar dalam keadaan telanjang dan digulung selimut, kemudian dipanggul ke kamar Kaisar. Hal ini terutama sekali untuk menjamin keamanan Kaisar karena di jaman dahulu pernah terjadi Kaisar dibunuh oleh seorang wanita yang dipaksa menjadi selirnya. Peraturan ini berlaku bagi semua selir atau dayang yang dipanggil Kaisar, kecuali, tentu saja, Permaisuri yang sudah mendapatkan kepercayaan sepenuhnya dari Kaisar, yang mempunyai kedudukan tinggi sehingga tidak sepatutnya mengalami perlakuan yang merendahkan itu.

Yehonala juga diharuskan bertelanjang lalu digulung dalam selimut dan dipanggul oleh dua thaikam, dibawa ke kamar Kaisar dalam istana. Dan pada malam hari itu, Yehonala melayani Kaisar Sian Feng. Gadis ini memang cerdik bukan main. Walaupun ia seorang perawan yang selama hidupnya belum pernah berdekatan dengan pria, namun ambisinya yang besar mendatangkan kecerdikan dan ia mampu membuat Kaisar merasa terbuai dalam kenikmatan yang belum pernah dialaminya sebelum ini. Dia sudah mulai merasa bosan dengan wanita-wanita Han yang menjadi selirnya karena wanita Han selalu bersikap lembut, malu-malu dan pasrah sebagaimana layaknya seorang wanita yang ingin disebut sopan. Akan tetapi Yehonala tidak demikan. Dalam usahanya untuk menyenangkan dan memuaskan hati junjungannya, ia mau dan sanggup melakukan apapun juga! Ia bagaikan seekor kuda yang binal dan liar, dan hal ini merupakan pengalaman baru bagi Kaisar.

Apalagi, hal yang amat diharapkannya terjadilah. Ia mulai mengandung dan yang lebih penting daripada segalanya, setelah kandungannya terlahir, ternyata seorang bayi laki-laki! Seorang putera Kaisar, calon putera mahkota! Tentu saja hal ini bukan hanya amat menggirangkan hati Yehonala, bahkan juga amat membesarkan hati Kaisar dan para keluarganya. Kelahiran putera ini sekaligus mengangkat derajat Yehonala yang tadinya hanya seorang dayang dan kemudian menjadi selir, kini otomatis menjadi seorang permaisuri kedua, dengan kekuasaan yang di bawah Sang Permaisuri sendiri. Agaknya sudah menjadi hal yang sukar untuk dibantah lagi bahwa di dalam cinta asmara antara pria dan wanita, terdapat perbedaan yang amat besar. Walaupun tidak berani pengarang mengatakan bahwa kenyataan ini berlaku bagi semua orang, namun kebanyakan terbukti bahwa cinta seorang pria terhadap seorang wanita banyak sekali dipengaruhi oleh nafsu berahi,

Sedangkan cinta seorang wanita terhadap pria banyak sekali dipengaruhi oleh kemuliaan harta benda. Karena cinta yang dipengaruhi oleh keinginan untuk bersenang ini, baik bagi pria melalui kepuasan berahi, dan wanita melalui kepuasan harta benda, namun jelaslah bahwa cinta kasih seperti ini hanya akan menimbulkan bermacam masalah dan pertentangan saja. Kepuasan nafsu berahi dan kepuasan harta benda erat hubungannya dengan kebosanan dan kekecewaan, dan kalau sudah demikian maka selalu akan terjadi pertentangan di mana cinta kasih dapat berbalik sama sekali menjadi kebencian! Adakah cinta kasih antara pria dan wanita yang tanpa pamrih sehingga benar-benar merupakan cinta kasih yang murni tanpa dikotori keinginan pribadi untuk bersenang-senang? Kalaupun ada, jarang sekali kita melihatnya dan hal ini sungguh patut disayangkan.

Kaisar Sian Feng terlalu sibuk dengan pengejaran kesenangan, terutama sekali kesenangan melalui pengumbaran nafsu berahi sehingga dia hampir tidak perduli sama sekali tentang pemerintahannya. Padahal, di waktu itu, pemberontakan terjadi di mana-mana. Bukan hanya pemberontakan-pemberontakan Tai Peng yang kini sudah menduduki Wu-cang, Nan-king dan lembah Sungai Yang-ce sampai ke muaranya, juga terdapat pemberontakan-pemberontakan lain yang cukup besar di sebelah utara dan barat. Pada waktu pasukan-pasukan pemberontak Tai Peng menyerbu dan menduduki Nan-king, yaitu pada tahun 1853, di utara terjadi pemberontakan Nian-fei, sedangkan di Kwei-cow barat terjadi pemberontakan Suku Bangsa Miau. Jelas nampak betapa kebesaran dan kejayaan Kerajaan Ceng-tiauw yang dikendalikan oleh Bangsa Mancu itu mulai menyuram,

Dan kelemahan dinasti itu bersumber kepada lemahnya orang yang menjadi Kaisar pada waktu itu. Desakan para pemberontak yang seolah-olah mengepung Peking, ditambah lagi dengan makin besarnya kekuasaan ang ditanam oleh orang kulit putih, benar-benar membuat Kerajaan Ceng terancam keruntuhan, hal yang diacuhkan saja agaknya oleh Kaisar Sian Feng. Dan pada jaman itu, para pembesar negeri berlomba untuk membesarkan perut, masing-masing dengan jalan korupsi, suap menyuap, dan hanya mementingkan diri sendiri dan kesenangan pribadi belaka, tentu saja mencontoh langkah yang diambil oleh Kaisar mereka. Bagaikan sebatang pohon, betapapun kokoh kuat dan besarnya pohon itu, kalau sudah dihinggapi penyakit sejak dari akarnya sampai ke ujung-ujung daunnya, maka tak lama kemudian pohon itu tentu akan menjadi rusak dan roboh juga.

Di lereng Pegunungan Luliang-san, di lembah Sungai Fen-ho yang sunyi, terdapat sebuah perkampungan yang tentu akan menarik perhatian orang yang kebetulan lewat di situ. Sejak dari pintu gerbang tembok pagar yang mengelilingi perkampungan itum sampai kepada bangunan rumah-rumah di dalamnya, nampak kemewahan yang tidak sesuai dengan kedaan di tempat sunyi terpencil itu. Pantas perkampungan itu berada di kota, dimiliki oleh orang-orang atau keluarga yang kaya raya. Sebuah bangunan besar seperti istana berada di tengah perkampungan, dikelilingi bangunan-bangunan yang lebih kecil dan di belakang bangunan besar itu terdapat sebuah taman yang luas dan indah. Di tengah taman terdapat sebuah panggung beratap kayu yang besar dan luas, tanpa dinding. Bagi penduduk dusun-dusun di sekitar Pegunungan Luliang-san,

Pemilik atau majikan perkampungan itu mereka kenal sebagai Lee-Kongcu atau mereka cukup menyebutnya Kongcu (Tuan Muda) saja, karena di seluruh pedusunan tidak ada orang lain yang disebut Kongcu. Orang yang menjadi majikan pekampungan itu adalah seorang laki-laki yang usianya sudah tiga puluh enam tahun lebih, dan orang-orang menyebutnya Kongcu hanya karena mereka tahu bahwa dia itu masih perjaka, dalam arti kata masih belum menikah. Namanya adalah Lee Song Kim! Orang ini memang memiliki banyak keunggulan. selain terkenal sebagai majikan kampung yang kaya raya, juga Lee Song Kim terkenal sebagai seorang ahli silat yang berilmu tinggi sehingga seluruh penghuni dusun-dusun di daerah pegunungan itu merasa takut kepadanya, juga segan dan hormat karena Lee Song Kim seringkali mengulurkan tangan membantu kepada para petani miskin. Wajahnya tampan pesolek dengan pakaian yang selalu indah dan mewah seperti seorang pelajar yang kaya raya.

Sikapnya selalu periang dan senyum simpul yang selalu menghias bibirnya itu mengandung ejekan dan pandangan meremehkan kepada semua orang. Tidak mengherankan kalau Lee Song Kim tinggi hati dan meremehkan orang lain karena memang dia seorang yang memiliki ilmu kepandaian tinggi! Lee Song Kim adalah murid terkasih dari mendiang Hai-Tok Tang Kok Bu, seorang di antara Empat Racun Dunia, Ayah kandung dari Tang Ki yang kini menjadi "permaisuri" dari raja kecil Ong Siu Coan pemimpin pemberontak Tai Peng. Dari Suhunya, Lee Song Kim telah mewarisi seluruh ilmunya dan hal ini masih belum memuaskan hatinya. Sebagai seorang murid, juga anak angkat, juga kekasih yang amat dimanja oleh Hai-Tok, Lee Song Kim minta kepada gurunya itu untuk merampaskan dan mencurikan kitab-kitab pelajaran ilmu silat tinggi dari aliran-aliran dan perkumpulan-perkumpulan besar,

Sehingga ketika gurunya itu berusaha mencuri kitab di kuil Siauw-Lim-Pai, gurunya dikeroyok oleh pendeta-pendeta lihai dan tewas. Sebagai ahli waris Pulau Naga yang dimiliki Hai-Tok, Lee Song Kim menjadi seorang yang kaya raya. Akan tetapi diapun maklum bahwa perbuatan gurunya mencuri kitab-kitab dari berbagai aliran persilatan telah ketahuan, maka diapun lalu menyelamatkan diri dari Pulau Naga membawa semua harta benda yang ditinggalkan gurunya, juga semua kitab yang telah dicuri oleh gurunya untuknya. Dia menyembunyikan diri dan menggembleng diri selama bertahun-tahun dengan ilmu-ilmu dari kitab-kitab curian itu sehingga tentu saja ilmu kepandaiannya menjadi semakin hebat. Kini tingkat ilmu kepandaiannya sudah sedemikian majunya sehingga jelas melampaui tingkat mendiang gurunya sendiri!

Akhirnya, setelah merasa dirinya kuat, Lee Song Kim berani muncul kembali. Sebagai seorang yang mewarisi harta benda yang banyak, dia hidup sebagai seorang yang kaya raya, membangun perkampungan itu dan biarpun dia belum juga beristeri, namun sebagai seorang pria yang mata keranjang, di dalam gedungnya terdapat puluhan orang pelayan wanita muda-muda dan cantik-cantik yang selalu siap melayaninya karena mereka itu menjadi pelayan merangkap selir. Juga untuk memperkuat diri, Lee Song Kim mengumpulkan orang-orang muda yang memiliki ilmu silat, bahkan dididiknya, sebanyak tiga puluh orang lebih yang menjadi anak buahnya dan tinggal di dalam rumah-rumah yang mengelilingi gedungnya di dalam perkampungan itu. Lee Song Kim adalah seorang yang memiliki ambisi besar.

Pernah dicobanya belasan tahun yang lalu untuk mencari kedudukan dan kemuliaan melalui Kerajaan Ceng. Dia bahkan pernah mengabdikan dirinya kepada penjajah, mengkhianati para pejuang. Akan tetapi akhirnya ia gagal dan sebaliknya dikejar-kejar oleh pemerintah! Dia tidak sanggup lagi mencari kedudukan melalui pangkat, maka kini ambisinya mencari cara lain. Dia ingin menjadi seorang yang akan disebut Thian-He Te-It Bu-Hiap (Pendekar Silat Nomor Satu di Dunia)! Karena itu, dia menggembleng diri setiap hari dengan ilmu-ilmu dari semua aliran. Bahkan kitab-kitab yang telah dicuri gurunya untuk dirinya, dari perkumpulan-perkumpulan besar seperti Thian-He Te-It Bu-Hiap, Kun-Lun-Pai, Kong-tong-pai dan lain-lainnya, masih belum memuaskan hatinya. Dia berpikir bahwa untuk dapat menjadi jagoan nomor satu di dunia,

Dia harus menguasai semua ilmu silat dari aliran manapun juga agar dia dapat menghadapi dan menguasai jago-jago dari semua aliran silat yang ada! Dan diapun perlu menguji ilmu-ilmu yang sudah dipelajari dan dikuasainya itu, untuk melawan tokoh-tokoh dari aliran-aliran itu sendiri. Baru setelah dia memiliki secara lengkap ilmu berbagai aliran itu dan merasa yakin akan mampu mengalahkan semua tokohnya, dia akan mengumumkan bahwa dialah Thian-He Te-It Bu-Hiap! Dan untuk pengangkatan diri menjadi jagoan nomor satu di dunia itupun sudah dia dapatkan lambangnya, yaitu Giok-Liong-Kiam! Ya, tidak keliru dugaan Tang Ki. Lee Song Kim inilah pencuri Giok-Liong-Kiam! Setelah dia mendengar berita bahwa Giok-Liong-Kiam terjatuh ke tangan Ong Siu Coan sebagai pimpinan pemberontak Tai Peng,

Dia lalu mengirim anak buahnya melakukan penyelidikan tentang Ong Siu Coan. Dan ketika dia mendengar laporan anak buahnya betapa istana Ong Siu Coan di Nan-king tidak terjaga dengan ketat, dia lalu turun tangan sendiri, pergi ke Nan-king dan berhasil mencuri Giok-Liong-Kiam dengan amat mudahnya. Akan tetapi dasar mata keranjang dan cabul, setelah berhasil mencuri pedang pusaka itu, dia tidak segera pergi melainkan menyingkap kelambu untuk melihat sepasang manusia yang tidur di balik kelambu. dan melihat wanita yang pernah menjadi sumoinya, yang pernah dicintanya, tidur terlentang dalam pakaian yang tipis, dia tidak dapat menahan diri dan meraba pahanya membuat wanita itu terbangun dan menyerangnya, juga membangunkan Ong Siu Coan yang menyerangnya. Namun, dengan kepandaiannya yang tinggi, dia mampu meloloskan diri.

Kalau dia menghendaki, tentu saja dia akan mampu membunuh Ong Siu Coan dan Tang Ki selagi mereka masih tidur. Akan tetapi dia tidak mau melakukannya. Hal itu tentu akan menimbulkan geger besar dan kalau sampai dia dimusuhi oleh Tai Peng, celakalah dia! Dia cukup cerdik untuk menggunakan kedok sehingga suami isteri yang berhasil menjadi raja kaum Tai Peng itu tidak melihat bukti bahwa dia pencurinya. Sore hari itu, Lee Song Kim makan minum ditemani tiga orang pelayan wanita yang paling cantik dan yang menjadi tiga orang kesayangannya. Tiga orang wanita muda yang cantik-cantik ini seperti berlomba untuk mengambil hati Kongcu mereka, bersikap manis dan genit, menemaninya makan minum sambil bersenda gurau.

Lee Song Kim minta disediakan masakan-masakan yang serba istimewa karena dia hendak merayakan keberhasilannya mencuri Giok-Liong-Kiam, walaupun hal itu masih dirahasiakannya, baik terhadap anak buahnya sekalipun. Belum tiba saatnya untuk menyiarkan bahwa dia kini yang memiliki Giok-Liong-Kiam, karena hal itu selain akan memancing datangnya banyak tokoh yang tidak ditakutinya, namun juga memancing datangnya Ong Siu Coan dengan pasukannya yang sama sekali yidak boleh dipandang ringan. Selama beberapa bulan ini, dia sudah mengalahkan banyak ahli silat dari berbagai aliran, dengan mempergunakan ilmu silat dari aliran itu sendiri dan hal ini menambah kegembiraan hatinya. Hanya aliran-aliran silat yang besar-besar saja yang belum dicoba ilmu silatnya.

Setelah merasa kenyang, Lee Song Kim melanjutkan pestanya di dalam kamarnya, minum arak ditemani tiga orang kekasihnya. Dua orang memijit-mijit seluruh badannya, memilih otot-otot yang kalau dipijit dapat melenyapkan rasa lelah, sedangkan seorang pelayan lain duduk di atas pangkuannya, tertawa-tawa ketika dibelainya. Tiba-tiba daun pintu diketuk orang dari luar dan terdengar seorang anak buah minta diterima menghadap karena ada laporan penting. Pelayan wanita yang duduk di atas pangkuan Lee Song Kim segera meloncat turun dan atas isyarat majikannya ia membuka pintu, Lee Song Kim mengerutkan alisnya, memandang kepada anak buahnya itu dengan hati tak senang karena dia merasa terganggu selagi bersenang-senang dengan tiga orang kekasihnya.

"Ada urusan penting apakah yang mendorongmu untuk menemuiku?" tanyanya, siap untuk marah-marah kalau pemuda yang bermuka hitam itu tidak memiliki alasan yang kuat.

"Harap Kongcu suka memaafkan saya," kata pemuda itu.

"Akan tetapi mentaati perintah Kongcu, saya melapor bahwa di kaki bukit ada dua orang Tosu tua yang berjalan menuju perkampungan kita. Melihat sikap dan dandanan mereka, juga bahwa seorang dari mereka membawa pedang di punggung, saya dapat menduga bahwa mereka bukan Tosu-Tosu biasa, Karena itu saya cepat lari untuk melapor kepada Kongcu." Wajah yang tadinya membayangkan kemarahan kini berubah cerah gembira.

"Bagus, aku harus menemui mereka!" katanya dan diapun sudah meloncat turun dan membereskan sebatang pedang di balik jubahnya dan berkelebat keluar.

Gerakannya cepat sekali seolah-olah dia mempergunakan ilmu terbang saja. Dua orang Tosu itu berusia kurang lebih enam puluh tahun. Seorang di antara mereka bertubuh kurus tinggi dan membiarkan rambutnya tergerai di kedua bahunya. Di punggungnya nampak sebatang pedang bersarung butut, dan jubah Tosu yang menutupi tubuhnya berwarna kuning lusuh. Wajahnya agak muram dan jarang senyum, wajah yang kurus nampak lonjong, sesuai dengan tubuhnya yang tinggi kurus. Adapun Tosu kedua bertubuh gendut, tidak setinggi temannya, juga jubahnya kuning dengan bagian dada terbuka. Agaknya dia selalu kegerahan. tidak nampak dia membawa senjata dan wajahnya yang bundar itu selalu dihias senyum, sepasang matanya yang lebar bersinar dan berseri. Mereka melangkah tanpa berkata-kata.

Lee Song Kim memperhatikan mereka. Pengetahuannya tentang tokoh-tokoh berbagai aliran silat memang luas. Walaupun dia belum pernah bertemu sendiri dengan dua orang Tosu ini, namun menurut hasil penyelidikannya selama beberapa tahun ini, sejak dia masih hidup di Pulau Naga bersama Hai-Tok, membuat dia tahu bahwa dua orang ini adalah dua tokoh Kun-Lun-Pai tingkat tiga yang memiliki ilmu kepandaian tinggi! Bukan main girang rasa hatinya. Terbuka kesempatan baginya untuk menguji ilmu silatnya yang didapat dari kitab pelajarannya! Diapun cepat keluar menghadang perjalanan dua orang Tosu itu. Ketika si tempat sunyi itu tiba-tiba muncul seorang laki-laki tampan yang berpakaian mewah seperti seorang pelajar kaya, dua orang Tosu itu memandang heran dan memperlambat langkah mereka karena laki-laki itu berdiri di tengah jalan, nampaknya sengaja menghadang mereka.

"Jiwi totiang (bapak pendeta berdua), harap perlahan dulu berjalan, karena saya ingin sekali bicara dengan jiwi (anda berdua)," kata Lee Song Kim dengan sikap sopan dan ramah. Tosu tinggi kurus yang berwajah muram itu diam saja, akan tetapi Tosu gendut tertawa ramah.

"Ha-ha, ada keperluan apakah si-cu (orang gagah) menahan perjalanan dua orang Tosu seperti kami?" Diam-diam Song Kim memuji ketajaman mata Tosu gendut ini. Begitu bertemu Tosu ini sudah dapat melihat bahwa dia bukan seorang pelajar biasa, melainkan pandai ilmu silat maka Tosu itu menyebut "sicu". Akan tetapi Song Kim memperlihatkan wajah biasa saja.

"Totiang, kalau saya tidak salah duga, ji-wi totiang adalah tokoh-tokoh dari Kun-Lun-Pai, bukan?" Dua orang Tosu itu saling pandang dan kerut di antara kedua alis Tosu kurus menjadi semakin dalam. Akan tetapi Tosu gendut segera menjawab sambil tertawa,

"Siancai... pinto berdua hanyalah Tosu-Tosu perantau biasa saja..." Song Kim tersenyum.

"Totiang tidak perlu merendahkan diri. Bukankah totiang berjuluk Tiong Gi Tojin dan totiang yang kurus ini adalah Tiong Sin Tojin? Tokoh-tokoh Kun-Lun-Pai tingkat tiga yang berilmu tinggi dan lihai sekali!" Dua orang Tosu itu kini nampak terkejut, bahkan Tosu gendut kehilangan senyumnya.

"Sicu, siapakah engkau dan apa kepeluanmu menghadang perjalanan kami, apalagi setelah engkau mengenal siapa adanya kami?" tanya Tosu gendut, wajahnya serius.

"Saya hanya seorang laki-laki biasa saja, orang menyebut saya Lee Kongcu dan saya paling suka dengan ilmu silat walaupun kepandaian saya masih rendah sekali. Sudah lama saya mendengar akan kelihaian ji-wi totiang, maka setelah sekarang ada jodoh untuk bertemu di sini, saya harap ji-wi tidak terlalu pelit untuk mempertunjukkan ilmu-ilmu ji-wi yang tinggi untuk membuka mata saya." Dua orang Tosu itu mengerutkan akisnya.

"Orang muda, kami hanyalah Tosu-Tosu yang selalu mendambakan kedamaian dan tidak suka berkelahi. Ilmu yang kami pelajari hanya untuk menjaga diri saja. Karena tidak ada urusan apapun di antara kita, bagaimana mungkin kami mengeluarkan ilmu silat? Kami bukan tukang jual obat di pasar yang suka memamerkan ilmu silat," kata pula Tosu gendut. Lee Song Kim menggeleng kepala.



Pedang Naga Kemala Eps 21 Rajawali Hitam Eps 15 Rajawali Hitam Eps 3

Cari Blog Ini