Ceritasilat Novel Online

Pemberontakan Taipeng 3


Pemberontakan Taipeng Karya Kho Ping Hoo Bagian 3




"Jodoh sudah menentukan perjumpaan kita, maka ji-wi jangan menolak, harap keluarkan imu-ilmu simpanan ji-wi untuk saya lihat."

"Orang muda lancang!" Kini Tosu kurus yang bernama Tiong Sin Tojin membentak marah.

"Minggirlah dan biarkan kami melanjutkan perjalanan!" Kembali Song Kim menggeleng kepala.

"Tidak bisa, totiang. Sebelum ji-wi menunjukkan ilmu-ilmu simpanan ji-wi, jangan harap akan dapat melanjutkan perjalanan."

"Siapa yang berani melarang kami!" bentak Tosu tinggi kurus, kini menjadi marah sekali.

"Akulah yang melarang. Bagaimanapun juga, ji-wi harus melayani dulu aku barang seratus jurus!"

"Siancai, orang ini sungguh sombong dan kurang ajar, Suheng. Biar pinto menghajarnya!" kata Tosu kurus.

"Hati-hatilah, Sute. Agaknya dia memang sengaja mencari urusan," kata Tosu gendut. Tiong Sin Tojin, yang tinggi kurus, segera melangkah maju dan karena dia dapat menduga bahwa orang muda yang demikian sombong dan kurang ajar tentu memiliki kepandaian cukup tinggi, begitu menyerang dia mengeluarkan jurus serangan yang ampuh dan dahsyat. Kedua tangannya membentuk paruh burung yang meruncing dan paruh burung ini mematuk-matuk ke arah jalan darah yang berbahaya di kepala, leher dan dada secara bertubi-tubi.

"Hemm, Pek-ho-tok-hi (Bangau Putih mematuk Ikan)...!" seru Lee Song Kim sambil mengelak ke sana-sini. karena dia sudah mengenal gerakan jurus ini, maka tidak sukarlah baginya untuk menghindarkan diri. Tiong Sin Tojin terkejut mendengar seruan pemuda itu yang telah mengenal jurus serangannya. Cepat dia merubah gerakan kaki tangannya dan kini dia menyerang dengan dua buah jari tangan kanan, yaitu telunjuk dan jari tengah, menusuk ke arah leher.

"Sian-jin-ci-lou (Dewa Menunjukkan Jalan)... Kembali Song Kim berseru dan betapapun cepat dan dahsyatnya serangan maut itu, dengan mudah dia dapat menangkis sambil melangkah mundur dua langkah. serangan ini pun gagal.

"Tahan dulu!" bentak Tiong Sin Tojin,

"Siapakah engkau yang mengenal jurus-jurus Kun-Lun-Pai? Apakah engkau seorang murid Kun-Lun-Pai?" Song Kim menggeleng kepalanya.

"Bukan murid, akan tetapi aku suka sekali mempelajari jurus-jurus terlihai dari Kun-Lun-Pai, bukan seperti yang kau perlihatkan tadi, totiang." Tiong Sin Tojin menjadi marah.

"Sudahlah, pinto tidak mempunyai urusan dengan orang gila seperti engkau. Suheng, mari kita pergi."

"Ha, nanti dulu, totiang. Kalau engkau tidak mau menyerang, biarlah aku yang menyerangmu. Lihat ini Hok-thian-hok-te (Membalikkan Langit dan Bumi)!" bentak Song Kim dan diapun sudah menyerang dengan ganas sekali, menggunakan kaki tangannya dan serangan itu datang dari atas dan bawah, amat cepatnya. Melihat betapa pemuda itu menggunakan sebuah jurus Kun-Lun-Pai yang ampuh dan berbahaya, Tiong Sin Tojin terkejut dan cepat diapun menyambut dengan elakan dan tangkisan,

Dan merasa betapa lengannya tergetar setiap kali bertemu dengan lengan lawan. Yang membuat dia penasaran dan kaget sekali ketika melihat betapa lawan itu kini menyerangnya terus dengan jurus-jurus pilihan dari Kun-Lun-Pai! Terpaksa dia harus mengeluarkan jurus-jurus tandingan untuk memunahkan semua serangan itu dan memang inilah yang dikehendaki oleh Song Kim. Diam-diam otaknya yang cerdik itu mencatat semua gerakan lawan yang dapat mematahkan setiap serangannya sehingga dari pekelahian ini dia memperoleh tambahan jurus-jurus pilihan dari Kun-Lun-Pai. Karena merasa tidak dapat menandingi pemuda itu dengan tangan kosong, Tiong Sin Tojin meloncat ke belakang dan mencabut pedangnya. Akan tetapi Suhengnya, Tiong Gi Tojin yang gendut, cepat mencegahnya sambil meloncat ke depan.

"Sute, barlah pinto yang maju." Dia tidak ingin Sutenya menggunakan senjata karena mereka berdua tidak bermusuhan dengan orang she Lee ini, Untuk apa menggunakan senjata? Pantang bagi orang-orang yang menjadi pendeta, apalagi pendeta Kun-Lun-Pai yang terpandang, untuk melukai, apalagi membunuh orang tanpa sebab. Kini, dengan mulut masih tersenyum menyeringai, Tosu gendut ini menghadapi Song Kim.

"Lee-Kongcu (tuan muda Lee), sesungguhnya pinto tidak mengerti mengapa Kongcu memaksa pinto berdua untuk bertanding silat denganmu. Lebih tidak mengerti lagi pinto melihat betapa engkau yang mengaku bukan murid Kun-Lun-Pai, demikian pandai bersilat dengan ilmu silat aliran kami!"

"Tiong Gi Tojin, terus terang saja, aku adalah orang yang paling suka belajar ilmu silat, karena itulah maka aku minta kepada ji-wi untuk memberi petunjuk kepadaku barang seatus jurus. Karena suka ilmu silat, aku mempelajari semua aliran, termasuk Kun-Lun-Pai. Sayang, sangat sedikit yang kupelajari, maka kuharap akan memperoleh barang beberapa jurus dari ji-wi totiang."

"Huh, kau hendak mencuri ilmu orang lain!" bentak Tiong Sin Tojin yang berdiri di pinggir sambil mengepal tinju dengan marah.

"Mencuri...!" Tiba-tiba Tiong Gi Tojin berteriak dan memandang kepada Song Kim dengan mata terbelalak.

"Kalau begitu, dia yang melakukan pencurian kitab Kun-Lun-Pai beberapa tahun yang lalu"

"Benar! Tentu dia inilah pencurinya!" teriak Tiong Sin Tojin, agaknya juga baru sadar dan teringat akan peristiwa menggemparkan tentang hilangnya beberapa buah kitab pusaka Kun-Lun-Pai.

"Pantas dia bukan murid Kun-Lun-Pai namun pandai ilmu silat Kun-Lun-Pai."

Dua orang Tosu itu kini langsung menerjang Song Kim dengan serangan maut karena mereka baru sadar bahwa tentu inilah orang yang telah mencuri kitab dari gudang pusaka Kun-Lun-Pai. Song Kim merasa gembira sekali dan menyambut mereka dengan cepat, memancing mereka untuk mengeluarkan ilmu-ilmu mereka yang paling hebat. Dua orang Tosu ini terpancing dan mereka memang menyerang dengan jurus-jurus pilihan, tidak tahu bahwa sama saja halnya mereka mengajarkan ilmu pukulan aliran mereka yang paling ampuh kepada laki-laki yang amat lihai ini. Dengan serangan dua orang itu, banyak jurus yang tadinya dipahami Song Kim secara teoritis saja, kini dia memperoleh petunjuk bagaimana harus memainkan jurus itu dengan tepat. Dia mempermainkan dua orang Tosu itu sampai lima puluh jurus lebih tanpa merobohkan mereka, hanya menyerang untuk memncing mereka mengeluarkan jurus pilihan aliran Kun-Lun-Pai.

"Tahan dulu!" bentak Tiong Gi Tojin yang melompat mundur diikuti Sutenya. Dia merasa penasaran sekali.

"Sebetulnya siapakah engkau, murid mana dan mengapa memusuhi kami orang Kun-Lun-Pai?" Karena melihat betapa lihainya lawan, Tiong Gi Tojin merasa perlu untuk tahu lebih banyak tentang lawan ini, sedangkan Tiong Sin Tojin kini mencabut pedangnya karena maklum bahwa ilmu silat tangan kosong mereka berdua agaknya tidak akan mampu mengalahkan lawan yang lihai itu. Sementara itu, Song Kim sudah merasa cukup menimba pengetahuan ilmu silat Kun-Lun-Pai dari meraka, dan melihat betapa mereka kini telah mempersiapkan senjata, dia maklum bahwa kalau dia main-main terus, salah-salah dirinya sendiri yang menjadi korban karena bagaimanapun juga harus diakuinya bahwa dua orang Tosu itu amat tangguh. Maka, sambil tersenyum diapun menjawab,

"Mau tahu aku murid mana? Nah, ji-wi totiang (dua bapak pendeta), kiranya ji-wi (kalian berdua) belum buta dan dapat mengenal ilmu silatku!" Berkata demikian, Song Kim memasang kuda-kuda lalu menerjang ke depan, ke arah Tiong Gi Tojin dengan jurus dahsyat dari ilmu silat Houw-kun (Silat Harimau). Tiong Gi Tojin terkejut dan cepat mengelak sambil mencabut sebatang kebutan dari pinggangnya dan mengebut ke samping. Akan tetapi Song Kim sudah menubruk ke samping dan menyerang Tiong Sin Tojin dengan cakaran kedua tangannya, persis gerakan seekor harimau yang mencakar ke samping dengan amat kuatnya. Tiong Sin Tojin juga cepat meloncat ke belakang untuk menghindarkan diri dari terkaman itu dan kedua orang Tosu itu hampir berbareng berseru,

"Murid Siauw-Lim-Pai...??" Mereka berdua mengenal ilmu silat Siauw-Lim-Pai itu, yaitu Houw-kun (Silat harimau). satu di antara ilmu-ilmu silat Siauw-Lim-Pai yang meniru gerakan binatang-binatang buas. Akan tetapi sambil tertawa Song Kim menyerang terus dan biarpun kedua orang lawan itu memegang pedang dan kebutan, tetap saja dia dapat mendesak mereka dengan jurus-jurus maut dari Siauw-Lim-Pai.

Hal ini tidaklah aneh, sama sekali bukan karena dia terlalu mahir dengan ilmu silat Siauw-Lim-Pai, yang seperti juga dengan ilmu-ilmu silat berbagai aliran hasil curian mendiang gurunya, hanya dikuasai beberapa bagian saja yang tergolong tinggi tingkatnya, melainkan karena memang sebelum menguasai berbagai ilmu silat itu, dia sendiri sudah amat lihai sebagai murid Hai-Tok. ilmu silat Siauw-Lim-Pai itu dia pergunakan sebagai kulit luarnya saja, akan tetapi sebenarnya sinkang yang dipergunakan dibalik pukulan dan cengkeraman itu adalah sinkang yang diwarisinya dari Hai-Tok. Dan memang tingkatnya jauh lebih tinggi kalau dibandingkan dengan tingkat dua orang Tosu Kun-Lun-Pai tingkat tiga itu.

"Krrakkk...!" Tiba-tiba cengkeraman tangan kirinya tepat mengenai kepala Tosu itupun terpelanting, pedngnya terlempar dan diapun tidak mampu bergerak lagi. Tempurung kepalanya bagian pelipis kanan Tiong Sin Tojin retak dan tertekan masuk kedalam dan nampak kepala itu berlubang empat, bekas empat buah jari tangan Song Kim yang mencengkeram. Tiong Sin Tojin tewas seketika. Tiong Gi Tojin marah bukan main, menggerakkan kebutannya sehingga terdengar bercuitan dan gulungan putih menyambar-nyambar. Namun, dengan lincahnya Song Kim dapat menghindarkan diri, kemudian kembali tangannya yang ampuh bergerak, kini memukuldengan tangan terbuka ke depan.

"Desss...!" Dada kiri Tiong Gi Tojin terkena hantaman telapak tangn itu.

"Uhhhh!" Tiong Gi Tojin terhuyung, darah segar keluar dari mulutnya dan kebutannya terlempar lepas dari tangannya yang kini keduanya dipakai untuk menekan dadanya yang kena pukul tadi.

"Ha-ha-ha, kiranya tidak berapa hebat kepandaian Tosu tingkat tiga dari Kun-Lun-Pai. Sayang bukan tingkat pertama atau ketuanya sendiri yang dapat kuajak bertanding," kata Song Kim. Tiong Gi Tojin berdiri memandang kepada lawan itu dengan mata tajam dan penuh kemarahan, kemudian tanpa mengeluarkan sepatahpun kata, dia mengambil tubuh Sutenya yang sudah menjadi mayat, memanggulnya dan tanpa pamit diapun pergi diiringi senyum mengejek dari Lee Song Kim.

Begitu Tosu gendut itu memanggul tubuh Sutenya, Song Kim cepat memanggil dua orang pembantu atau juga muridnya untuk membayangi perjalanan Tiong Gi Tojin dan melihat perkembangan siasat yang telah dilaksanakan tadi, yaitu mengadu domba antara Kun-Lun-Pai dan Siauw-Lim-Pai. Dia tahu bahwa di antara aliran-aliran persilatan, dua partai persilatan itulah yang merupakan sumber ilmu silat tinggi. Siauw-Lim-Pai adalah gudang ilmu silat dari para hwesio sakti seperti mendiang Tat Mo Couwsu dan lain-lain, sedangkan Kun-Lun-Pai juga merupakan gudang ilmu silat dari para pertapa dan Tosu di Kun-lun-san, bahkan dari Himalaya. Kalau dia dapat menguasai ilmu-ilmu paling tinggi dari dua partai persilatan itu,

Dia tidak akan gentar lagi menghadapi jagoan-jagoan mereka dan dia akan lebih mudah mencapai cita-cita yaitu mengangkat diri menjadi Thian-He Te-It Bu-Hiap (Jago Silat Nomor Satu di Kolong Langit)! Dengan menahan rasa nyeri pada luka di dadanya, Tiong Gi Tojin berlari sambil memanggul jenazah Sutenya. Tentu saja dia tidak mungkin dapat kembali ke Kun-Lun-Pai yang jauh, dan hanya pergi ke sebuah kuil yang menjadi cabang dari Kun-Lun-Pai. Pada malam harinya, tibalah dia di kuil yang dipimpin oleh seorang Sutenya, yaitu Tiong Le Tojin. Setibanya di pintu kuil, Tiong Gi Tojin tidak kuat lagi dan diapun roboh terguling bersama jenazah Tiong Sin Tojin. Tentu saja Tiong Le Tojin, ketua kuil Kun-Lun-Pai itu, terkejut sekali melihat kedua orang Suhengnya itu. Seorang telah menjadi mayat dan seorang lagi dalam keadaan terluka berat.

"Tiong Gi Suheng, apakah yang telah terjadi?" tanyanya sambil memangku kepala Suhengnya itu yang napasnya sudah empas-empis dan mukanya sudah menjadi pucat kebiruan.

"Orang she Lee... murid Siauw-Lim-Pai..." hanya demikian dia mampu mengeluarkan suara karena diapun terkulai dan tewas menyusul Sutenya. Tentu saja pesan terakhir ini membingungkan hati Tiong le Tojin. Murid Siauw-Lim-Pai she Lee. Agaknya orang she Lee itulah yang membunuh kedua orang Suhengnya.

Karena pentingnya urusan Tiong Le Tojin setelah mengurus kedua jenazah Suhengnya itu sebagaimana mestinya, lalu berangkat menuju ke pusat Kun-Lun-Pai untuk melaporkan tentang kematian dua orang Tosu Kun-Lun-Pai. Disebutnya Siauw-Lim-Pai merupakan hal gawat dan Tiong Le Tojin tidak berani lancang mengurusnya sendiri ke Siauw-Lim-Pai. Para pimpinan Kun-Lun-Pai terkejut mendengar bahwa dua orang tokoh mereka tewas di tangan seorang she Lee murid Siauw-Lim-Pai. Ada beberapa orang tokoh pimpinan yang berwatak keras dan segera menyatakan untuk menuntut balas kepada orang-orang Siauw-Lim-Pai, akan tetapi Tiong Tek Seng-jin, ketua Kun-Lun-Pai pusat yang usianya sudah tujuh puluh tahun dan terkenal bijaksana, sabar dan juga sakti itu, mengangkat kedua tangannya ke atas.

"Siancai, siancai, siancai...! Perbuatan menurutkan nafsu amarah merupakan penyelewengan yang hanya akan mendatangkan malapetaka belaka. Sejak dahulu kita sudah mengenal Siauw-Lim-Pai dan tahu bahwa pusat Siauw-Lim-Pai pusat orang-orang gagah yang berjiwa patriot dan pendekar. Karena itu, kalau ada seorang murid Siauw-Lim-Pai melakukan penyelewengan misalnya, janganlah hendaknya kesalahan itu kita timpakan kepada seluruh anggauta Siauw-Lim-Pai! Yang tidak benar adalah oknumnya, bukan perkumpulannya. Mengingat akan persahabatan antara kita dan Siauw-Lim-Pai, biarlah kita sampaikan saja peristiwa ini kepada Siauw-Lim-Pai untuk menindak murid mereka yang melakukan pembunuhan terhadap dua orang murid kita."

Mendengar ucapan yang halus dan mengandung penuh wibawa ini, semua pimpinan Kun-Lun-Pai menyadari dan mereka pun mentaati pesan itu. segera dikirim utusan ke pusat Siauw-Lim-Pai untuk melaporkan peristiwa pembunuhan atas diri dua orang Kun-Lun-Pai. Pada waktu itu, yang menjadi ketua Siauw-Lim-Pai adalah Thian Tek Hwesio, menggantikan Suhengnya, Thian He Hwesio yang sudah meninggal dunia karena usia tua. Thian Tek Hwesio yang bertubuh pendek kecil itu berusia tujuh puluh tahun lebih dan dia dibantu oleh Thian Khi hwesio yang bertubuh sedang dan berusia tujuh puluh enam tahun. Tentu saja dua orang hwesio tua ini dibanru pula oleh beberapa orang murid-murid kepala. Ketika Thian Tek Hwesio dan Thian Khi hwesio menerima utusan Kun-Lun-Pai dan mendengar pelaporan mereka, keduanya terkejut dan saling pandang.

"Omitohud... pinceng merasa berduka sekali mendengar berita yang buruk ini. Ingin pinceng mengetahui, siapakah nama murid Siauw-Lim-Pai she Lee yang melakukan pembunuhan itu, di mana tempat tinggalnya dan apa pula sebabnya?" Utusan Kun-Lun-Pai memberi hormat dan dengan jelas dia lalu menceritakan bahwa dua orang itu tahu-tahu roboh di depan kuil Kun-Lun-Pai di tai-gu, dan bahwa mendiang Tiong Gi Tojin yang ketika itu masih hidup hanya meninggalkan pesan beberapa patah saja, yaitu : "orang she Lee... murid Siauw-Lim-Pai..."

"Omitohud, jadi pihak Kun-Lun-Pai tidak tahu siapa sebenarnya orang she Lee murid Siauw-Lim-Pai itu dan apa yang menjadi sebab maka dia sampai membunuh dua orang Tosu Kun-Lun-Pai?"

"Benar," jawab utusan itu,

"Ketua kami dengan hormat menyerahkan kepada kebijaksanaan locianpwe di Siauw-Lim-Pai untuk menyelidiki dan bertindak atas perbuatan muridnya, dan Kun-Lun-Pai tidak akan mencampuri."

"Sungguh bijaksana sekali ketuamu itu, to-yu. Akan tetapi bagaimana kami akan dapat bertindak dan
(Lanjut ke Jilid 03)
Pemberontakan Taipeng (Seriall 02 - Pedang Naga Kemala)
Karya : Asmaraman S. Kho Ping Hoo

Jilid 03
menghukum murid kami kalau kami tidak mengetahui siapa dia? Hendaknya diketahui bahwa murid Siauw-Lim-Pai yang berada di luar banyak sekali, dan tak terhitung junlah murid yang she Lee, bahkan mungkin ada cucu murid she Lee yang tidak pernah kami ketahui atau kenal sama sekali."

"Siancai... kami hanya utusan, locianpwe, dan kami sudah menyampaikan laporan dan pesan ketua kami. Kemudian terserah kepada kebijaksanaan Siauw-Lim-Pai. Kun-Lun-Pai hanya akan bertindak sebagai penonton untuk mengagumi keadilan dan ketegasan Siauw-Lim-Pai yang sejak ratusan tahun menjadi sahabat kami, demikian pesan ketua kami."

"Omitohud... betapa sukarnya tugas itu, akan tetapi pinceng akan mencobanya, melakukan penyelidikan itu. Harap sampaikan salam dan hormat kami semua kepada para pimpinan Kun-Lun-Pai." Utusan itupun pergi meninggalkan Siauw-Lim-Pai dan tak lama kemudian, Lee Song Kim juga mendengar akan segala laporan anak buahnya yang melakukan penyelidikan. Hatinya merasa agak kecewa bahwa api yang dinyalakannya antara Kun-Lun-Pai dan Siauw-Lim-Pai tidak jadi berkobar. Kiranya kedua pihak tidak dibakar perasaan marah, bahkan Kun-Lun-Pai menyerahkan penyelidikan tentang perisriwa itu kepada Siauw-Lim-Pai.

Cita-citanya untuk membakar kedua perkumpulan besar itu agar mereka saling serang sehingga dia akan dapat mempelajari gerakan-gerakan ilmu silat mereka yang sedang bertanding, gagal. Ang-Hong-Pai (Perkumpulan Tawon merah) merupakan sebuah perkumpulan sesat yang anggautanya seluruhnya terdiri dari wanita-wanita belaka. Biarpun hanya merupakan sebuah perkumpulan wanita, namun nama Ang-Hong-Pai terkenal di dunia hitam sebagai perkumpulan yang kuat karena para anggauta wanita yang jumlahnya mendekati seratus itu rata- rata memiliki ilmu silat tinggi, ahli pula tentang penggunaan racun dan rata-rata memiliki watak kejam dan buas, mudah membunuh dan tidak segan-segan menyiksa lawan yang tertawan. Juga banyak di antara mereka terkenal sebagai wanita-wanita yang haus akan pria,

Suka menangkapi pria-pria muda dan celakalah pria yang sudah menjadi tawanan mereka karena dia akan dibawa ke sarang Ang-Hong-Pai dan tak seorangpun tahu apa yang menjadi nasibnya karena dia takkan pernah muncul lagi di dunia ramai! Biarpun banyak di antara para anggauta Ang-Hong-Pai merupakan wanita-wanita muda yang berwajah cantik dan bersikap genit, namun kaum pria bergidik ngeri kalau mendengar disebutnya nama Ang-Hong-Pai. Terutama sekali mereka yang tinggal di daerah kota Nan-ping di Propinsi Hok-kian. Kalau ada seorang wanita, betapa cantikpun, mengenakan pakaian serba merah, sebagai tanda bahwa ia anggauta Ang-Hong-Pai, maka para pemuda yang tidak memiliki kepandaian segera cepat-cepat menyembunyikan diri, seperti anak-anak ayam melihat datangnya seekor musang.

Para hartawan di kota Nan-ping dan sekitarnya, tidak ada yang berani menolak untuk memberi sumbangan apabila ada wanita baju merah datang ke rumah mereka, sehingga kehidupan Ang-Hong-Pai terjamin oleh sumbangan-sumbangan itu, di samping hasil perampokan atau pencurian yang mereka lakukan di tempat-tempat yang jauh dari wilayah Nan-ping. Mereka tidak pernah mau mengganggu wilayah itu karena mereka memperoleh sumbangan dengan dalih "menjaga keamanan". Ada memang terjadi beberapa kali munculnya seorang jagoan yang menganggap dirinya cukup mampu utuk menjadi pendekar dan menentang Ang-Hong-Pai, akan tetapi akibatnya, jagoan itu yang tewas dan mayatnya tak pernah dilihat orang. Maka, nama Ang-Hong-Pai menjadi semakin tersohor dan kaum pendekar merasa lebih aman untuk mengambil jalan sendiri dan tidak mencari perkara dengan waita-wanita liar itu.

Yang menjadi ketua dari Ang-Hong-Pai ketika itu adalah seorang wanita berusia kurang lebih enam puluh tahun, akan tetapi melihat bentuk wajahnya yang masih manis, mukanya yang belum dinodai keriput, tubuhnya yang masih padat rampng, ia nampak seperti seorang wanita berusia tiga puluh tahun saja! Para anggauta atau murid Ang-Hong-Pai menyebutnya Theng Toanio dan nama sebenarnya adalah Theng Ci. Wanita ini masih nampak cantik dan pakaiannya selalu mewah, berwarna merah terbuat dari Sutera mahal dengan hiasan kuning emas dan garis biru. Theng Toanio ini melanjutkan kedudukan mendiang subonya (guru wanita) memimpin Ang-Hong-Pai dan karena ia nampak lebih pandai daripada mendiang subonya, maka anak buah Ang-Hong-Pai semua taat dan tunduk kepadanya.

Theng Toanio inilah yang mulai memungut sumbangan dari para hartawan, berbeda dengan mendiang subonya yang dahulu hanya mengandalkan kejahatan untuk membiayai perkumpulannya. Juga kini anggaua Ang-Hong-Pai mendekati seratus orang kesemuanya terdiri dari wanita-wanita cantik dengan usia tidak lebih dari tiga puluh tahun! Theng Toanio mengusir bekas anggauta yang usianya sudah lebih dari tiga puluh tahun. Wanita ini memang lihai sekali, lihai permainan pedangnya dan juga amat pandai mempergunakan senjata rahasia jarum merah yang mengandung racun tawon yang amat kuat. Perlu diketahui bahwa diwaktu mudanya, Theng Ci ini pernah diperkosa oleh datuk sesat Thian-tok, dan agaknya pengalaman inilah membuat Thian-tok tidak melupakan wanita ini.

Pada tahun terakhir menjelang kematiannya, datuk sesat Thian-tok, satu di antara Empat Racun Dunia yang menjadi guru Ong Siu Coan, mencari Theng Ci di sarang Ang-Hong-Pai. Mula-mula, melihat kedatangan datuk sesat yang pernah memperkosanya, Theng Ci menjadi marah dan mengerahkan anak buahnya untuk mengeroyok. Akan tetapi Thian-tok terlalu lihai baginya dan untuk kedua kalinya, wanita ini terpaksa menyerah, bahkan sekali ini ia melayani segala kehendak Thian-tok dengan sukarela karena Racun Dunia itu menjanjikan kepadanya untuk mengajarkan ilmunya yang paling hebat. Demikianlah, selama hampir satu tahun, Thian-tok hidup di antara para wanita di Ang-Hong-Pai, dan mengajarkan Ilmu Silat Ngo-heng Lian-hoan-kun-hoat kepada Theng Ci atau Theng Toanio, juga beberapa ilmu lain.

Setelah Thian-tok merasa bosan tinggal di situ dan pergi, Theng Toanio telah menjadi seorang wanita yang lihai bukan main, jauh lebih lihai daripada sebelum ia digembleng Thian-tok. Dan iapun melatih anak buahnya sehingga mereka juga memperoleh kemajuan pesat. Semakin ditakutilah Ang-Hong-Pai semenjak waktu itu. Ang-Hong-Pai berada di puncak sebuah bukit yang penuh dengan hutan lebat, di luar kota Nan-king dalam Propinsi Hok-kian. Dari jauh, perkampungan Ang-Hong-Pai tidak nampak saking lebatnya hutan di bukit itu. Akan tetapi, bukit yang diberi nama Ang-Hong-Pai atau Bukit Tawon Merah itu terkenal sebagai tempat berbahaya dan tidak ada seorangpun berani mencoba-coba untuk mendudukinya.

Di dalam hutan itu terdapat penuh binatang hutan yang buas, akan tetapi yang membuat orang merasa gentar adalah rombongan tawon-tawon yang bermacam-macam di tempat itu. Banyak di antara tawon- tawon ini berbisa. Sengatannya dapat mengakibatkan maut dalam waktu beberapa jam saja. Dan tentu saja, selain bahaya binatang buas dan tawon, bahaya terbesar yang mengancam mereka yang berani mendaki bukit itu adalah perkumpulan Ang-Hong-Pai sendiri. Pada waktu itu, Kaisar amat lemah dan berenang di dalam kesenangan pemuasan nafsu belaka. Kelemahan Kaisar tentu mengakibatkan kelemahan pemerintahan, pejabat-pejabat tidak terkendali sehingga mereka bagaikan kuda-kuda yang lepas dari kekangan, berubah menjadi raja-raja kecil yang tidak memperdulikan keadaan rakyat,

Melainkan berlomba untuk menumpuk kekayaan dan memperkuat kedudukan. Adanya gangguan kepada rakyat seperti perampok dan golongan hitam macam Ang-Hong-Pai, tidak diperdulikan oleh para pejabat daerah. Bagi mereka, asal kedudukan mereka tidak diganggu, sudahlah. bahkan banyak terjadi penjahat berkomplot dengan pejabat, keduanya memiliki kepentingan yang sama, yaitu makmur dengan jalan menghisap darah rakyat jelata dan tidak saling menentang, Katakanlah bagi hasil! Theng Toanio tidak terkecuali. Iapun melihat kelemahan pemerintah, maka iapun segera mengadakan kontak dengan para pejabat daerah, mengirimkan barang-barang berharga sebagai tanda penghormatan dan hal ini membuat para pejabat segan untuk menentang Ang-Hong-Pai,

Asal perkumpulan itu tidak mengganggu alat-alat pemerintah. Demikianlah kedudukan Ang-Hong-Pai amat kuat di daerah itu, dan para pendekarpun segan untuk menentangnya. Namun, pada suatu pagi yang sunyi dan cerah, nampak sesosok bayangan mendaki bukit Ang-hong-san dengan lenggang seenaknya, seolah-olah dia sedang mendaki sebuah bukit yang indah untuk pergi bertamasya, bukan sedang mendaki bukit yang penuh dengan bahaya yang mengancam nyawanya. Bayangan itu adalah seorang laki-laki yang belum tua, usianya tiga puluh delapan kurang lebih, pakaiannya mewah, wajahnya tampan dan tubuhnya membayangkan kekuatan. Rambutnya tersisir licin dan mengkilap karena minyak, mulutnya tersenyum-senyum.

Seorang pria muda yang tampan menarik dan berpakaian mewah, pesolek dan senyumnya tentu mudah meruntuhkan benteng pertahanan hati wanita! Orang ini bukan lain adalah Lee Song Kim! Tidak mengherankan kalau orang seperti dia sudah tahu bahwa bukit itu adalah sarang Ang-Hong-Pai, karena dia adalah seorang yang amat lihai dan memang dia naik ke puncak bukit dengan maksud mengunjungi Ang-Hong-Pai. Lee Song Kim mendengar berita tentang Ang-Hong-Pai, tentang ketuanya yang masih nampak cantik biarpun usianya sudah setengah abad lebih, tentang para anggautanya yang berjumlah hampir seratus orang, semua wanita muda yang menarik. Timbul keinginan hatinya untuk berkunjung dengan dua macam niat di hatinya. Pertama, untuk menguji ilmu ketua Ang-Hong-Pai, kalau perlu menguasai ilmu silatnya,

Dan kedua, kalau memang benar bahwa anggauta Ang-Hong-Pai terdiri dari wanita-wanita muda yang cantik, dia bermaksud menaklukkan perkumpulan itu. Pertama, agar Ang-Hong-Pai dapat memperkuat kedudukannya, dan kedua, wanita-wanita itu dapat menghibur hatinya dan memuaskan nafsunya. terutama sekali dia harus menyusun kekuatan, karena untuk mempunyai jagoan nomor satu, harus mempunyai kekuatan yang mendukung di belakangnya, untuk menghadapi lawan yang banyak jumlahnya. Ang-Hong-Pai bukanlah perkumpulan yang besar kalau kedatangan orang asing di bukit itu tidak mereka ketahui semenjak orang itu menginjakkan kaki di tanjakan pertama. Mereka selalu memasang penjaga di semua sudut, secara bergilir. Ketika para penjaga melihat munculnya seorang laki- laki yang demikian tampannya,

Jantung mereka sudah berdebar tidak karuan, merasa gembira dan tegang sekali, seperti sekumpulan serigala kelaparan melihat munculnya seekor domba yang gemuk dari dalam semak-semak. Tiga orang penjaga ini ingin sekali segera menubruk pria itu, diperebutkan. Akan tetapi mereka bukan orang-orang yang bodoh dan lancang. Mereka dapat melihat, dari sikap dan langkah pria itu, bahwa yang mendaki bukit ini bukanlah orang sembarangan. Mereka tidak berani sembrono. Sekali bertindak dan gagal, tentu mereka akan mendapat kemarahan ketua mereka. Padahal, kalau sudah marah, Theng Toanio kejam luar biasa. Mudah saja membuntungi lengan atau kaki, atau bahkan leher orang! Maka, sambil menahan getaran hati yang penuh dengan nafsu melihat pria yang demikian gantengnya, tiga orang ini lalu membagi tugas.

Seorang melapor kepada ketua di atas, yang lain tetap mengintai. mereka tidak khawatir pria itu akan dapat pergi dari bukit itu karena bukit itu, di antara pohon-pohon besar di dalam hutan, terdapat jebakan-jebakan dan perangkap-perangkap yang penuh rahasia. Sebelum tiba ditanjakan lereng pertengahan, tentu pria itu sudah akan masuk perangkap dan mudah saja mereka tawan! Demikian pikir mereka, sama sekali tidak mengetahui bahwa calon korban yang mereka sangka seekor domba gemuk yang lunak dagingnya itu ternyata adalah seekor harimau yang tidak akan mudah dikalahkan oleh pengeroyokan segerombolan serigala betina yang kelaparan! Bahkan mungkin segerombolan serigala betina itulah yang akan menjadi korban terkaman sang harimau. Lee Song Kim memiliki ilmu kepandaian yang tinggi sekali.

Penglihatan dan pendengarannya, juga panca-indera yang lain, amatlah peka dan terlatih. Maka, diam-diam dia sudah mendengar dan melihat berkelebatnya tiga bayangan wanita di antara semak-semak belukar itu. Akan tetapi dia hanya tersenyum saja, tidak membuat gerakan mencurigakan, pura-pura tidak tahu saja. Namun dia sudah dapat menduga bahwa tentu bayangan-bayangan itu adalah penjaga-penjaga yang sudah melihat di mendaki bukit dan tentu kini Ang-Hong-Pai telah membuat persiapan untuk menyambutnya. Mengingat akan hal ini, Song Kim tersenyum, penuh kepercayaan kepada diri sendiri. Dia terus melangkah maju dengan gagah, memasuki hutan lebat itu, mendaki tanjakan pertama yang penuh liku. Beberapa kali dia mendapatkan jalan buntu, terhalang jurang yang menganga lebar dan mengerikan.

Bagi orang biasa demikian, akan tetapi dengan mudah Song Kim melompati jurang-jurang itu! Beberapa buah perangkap yang tertutup daun-daun dapat diketahuinya karena sebelum melangkah, dia melemparkan batu-batu kecil dengan tenaga kuat ke atas tanah yang akan diinj aknya. Perangkap itu bekerja dan tebukalah lubang jebakan ketika terkena sambitan keras itu sehingga tidak sampai menjebak tubuhnya. Dari kauh, para anggauta Ang-Hong-Pai mengamati gerak-geriknya dan mereka semua terkejut melihat betapa laki-laki itu mampu melewati semua rintangan. Makin yakin hati mereka bahwa pria itu bukan orang bisa, melinkan orang yang memiliki ilmu kepandaian tinggi. Melihat ini, Theng Toanio cepat mempersiapkan anak buahnya untuk melakukan penghadangan secara bertahap.

Pasukan penghadang pertama muncul ketika Song Kim tiba di lereng pertama. Dia melihat munculnya lima orang gadis yang memegang tali hitam mengepungnya dari belakang batang-batang pohon. Dia melihat betapa lima orang itu mengikatkan ujung tali hitam panjang pada pinggang mereka, sedangkan tali itu mereka gulung dan dipegang di tangan mereka. Ujung lainnya berbentuk lasso dan mengertilah dia bahwa mereka itu adalah ahli-ahli melempar tali untuk menjerat binatang buas, dan kini agaknya pasukan lasso ini hendak menangkapnya dengan tali hitam itu. Dian-diam dia tersenyum dan pura-pura tidak melihat mereka. Benar saja dugaannya. Tiba-tiba lima orang gadis itu menggerakkan tangan, dari lima jurusan yang mengepung Song Kim, dan nampaklah lima sinar hitam ketika tali-tali itu meluncur dengan mulut lasso terbuka lebar menyambar kepalanya.

Tentu saja dengan mudah Song Kim akan dapat melepaskan diri dari ancaman bahaya. Akan tetapi dia sengaja membiarkan tubuhnya, lasso-lasso itu dengan cepat memasuki kepalanya dan menjerat seluruh tubuh dari leher sampai ke kaki! Karena lima orang gadis itu tadi melempar tali melalui di atas cabang pohon di depan masing-masing, hal yang sudah diatur lebih dahulu, kini mereka menarik tali itu dengan harapan agar tubuh Song Kim tertarik dan tergantung di udara, di antara lima batang pohon. Akan tetapi, betapapun kuat mereka membetot dan menarik, tetap saja tubuh Song Kim tidak bergeming, tidak terangkat sedikitpun. Laki-laki itu malah tersenyum lebar dan menoleh ke sana-sini untuk melihat lima orang gadis yang bersitegang menarik tali masing-masing.

Dengan kedua tangannya, Song Kim mengumpulkan lima helai tali yang mengikat tubuhnya itu, mengerahkan tenaga dan tiba-tiba dia mengeluarkan bentakan nyaring sambil terus menarik lima helai tali itu dan akibatnya, dengan sentakan yang mengejutkan, tubuh lima orang gadis iti kini tertarik ke atas dan tergantung kepada cabang pohon di depan masing-masing! Mereka meronta-ronta, akan tetapi tidak mampu melepaskan diri karena ikatan ujung tali pada ikat pinggang mereka, yang sengaja dibuat demikian agar lawan tidak dapat merampas tali, amatlah kuatnya. Song Kim kini melepaskan lasso-lasso itu dari tubuhnya. Dengan satu tangan saja dia menahan tubuh lima orang gadis itu dengan cara memegang ujung tali erat-erat, kemudian mengikat kelima ujung tali menjadi satu, mengikatnya pada sebatang pohon.

Sekarang tubuh lima orang gadis itu tergantung setinggi satu meter dari tanah, mereka masih meronta-ronta, akan tetapi makin meronta, makin kuat saja tali mengikat pinggang mereka. Sambil tersenyum lebar Song Kim menghampiri mereka, mengamati mereka satu demi satu. Rata-rata mereka berusia dua puluh lima tahun, bertubuh padat kuat dan berwajah manis. Bagaikan orang memeriksa dan menilai ternak yang akan dibelinya, tangan Song Kim membelai tubuh gadis-gadis itu, mengelus dagu, pipi dan leher, menowel, mencolek dan mencubit sana-sini sambil tersenyum. Kemudian tangannya meraih dan terdengar bunyi kain robek ketika dia merenggutkan pakaian mereka itu terlepas dari tubuh mereka, satu demi satu sehingga kini lima orang gadis itu tergantung dalam keadaan telanjang bulat!

"Ha-ha-ha, inilah hukuman kalian yang telah berani mencoba untuk menghalangi perjalananku. Sekali lagi kalian berani menggangguku, bukan pakaianmu yang kurobek, melainkan kulitmu!" Setelah berkata demikian, Song Kim melanjutkan perjalanannya mendaki bukit. Melihat sepak terjang pria itu dari tempat persembunyiannya, Theng Toanio terkejut bukan main.

Apa yang diperlihatkan Song Kim tadi merupakan bukti bahwa orang ini memiliki kepandaian tinggi sekali. Maka iapun tidak mau mengambil resiko dan cepat mengerahkan semua anak buahnya, langsung dipimpinnya sendiri melakukan penghadangan. Biasanya, untuk menghadapi lawan yang berani naik ke Ang-Hong-Pai, ada beberapa lapis pasukan yang makin ke atas semakin kuat penjagaannya. Akan tetapi sekali ini Theng Toanio tidak mau menyia-nyiakan waktu dan membiarkan anak buahnya terancam. Ia sendiri memimpin anak buahnya. Lebih dari lima puluh orang gadis dengan pedang di tangan berbaris di belakangnya, sedangkan selebihnya menyusun diri sebagai pengepung dan penjaga tempat-tempat lain karena khawatir kalau-kalau pria yang pandai itu mempunyai teman-teman yang menyerbu dari lain jurusan.

Ada pula beberapa orang yang menolong dan melepaskan lima orang rekan yang tergantung dalam keadaan telanjang tadi. Ketika Song Kim berjalan melalui lorong yang kecil, di kanan kirinya semak-semak belukar, dia bersikap waspada. Penciumannya menangkap bau yang asing, bau binatang buas! Tiba-tiba terdengan suara gerengan yang menggetarkan gunung itu dan Song Kim berhenti melangkah. Dari dalam semak-semak muncullah dua ekor harimau yang besar, sebesar anak sapi! Dia tidak tahu bahwa dua ekor harimau itu memang dikerahkan oleh Theng Toanio untuk menyerangnya. Inilah serangan pertama yang dilakukan oleh pasukan yang dipimpin sendiri oleh Theng Toanio. Melihat Song Kim, dua ekor harimau itu menggereng-gereng dan menghampiri Song Kim dari samping, mata mereka melirik dan penuh kemarahan.

Song Kim berdiri tegak, seluruh urat syaraf di tubuhnya menegang dan siap karena dia tahu betapa kuat dan cepatnya binatang ini. Dia sama sekali tidak merasa gentar karena yakin akan kekuatan sendiri. Tiba-tiba binatang yang berada di sebelah kirinya mengaum dan menubruk dengan terkaman yang tinggi. Song Kim mengelak dengan menyuruk ke samping sehingga tubrukan itu luput. Harimau yang berada di kanan mengikuti gerakan temannya, kini menerjang ke depan dengan cakar kanan kiri menyambar buas. Kembali Song Kim mengelak dengan loncatan ke belakang. Harimau pertama menubruk lagi. Song Kim memiringkan tubuh ke belakang, lalu ketika tubuh harimau itu melayang di sisinya, diapun menggerakkan tangan kanannya, memukul dengan jari terbuka ke arah dada binatang itu.

"Desss!!" Tubuh binatang itu kuat sekali, akan tetapi pukulan Song Kim juga dahsyat sekali sehingga tubuh binatang itu terlempar dan terbanting keras. Harimau kedua menubruk pula dari belakang. Song Kim mendengar sambaran angin dari belakang, lalu membalikkan tubuh sambil mengayun kaki kirinya.

"Bukkk...!" Sebuah tendangan yang amat kuat mengenai perut binatang itu, membuat tubuh binatang itu terlempar dan terbanting pula. Agaknya, pukulan dan tendangan ini membuat dua ekor harimau menjadi ketakutan dan juga kesakitan. Mereka mengeluarkan suara auman takut dan menyusup pergi, lenyap ditelan semak belukar. Lee Song Kim mengebut-ngebutkan jubahnya, berdiri tegak lalu berseru dengan suara melengking tinggi dan nyaring karena dia telah mengerahkan khikangnya sehingga suara itu melebihi getaran auman harimau tadi dan menggema di seluruh permukaan bukit.

"Ang-Hong-Pai...! Kalau masih ada lagi pertunjukanmu, keluarkanlah!"

Mendengar suara melengking ini, dan melihat betapa laki- laki itu dengan mudah mampu mengusir dua ekor harimaunya, Theng Toanio kembali terkejut. Akan tetapi ia memberi isyarat kepada pembantu-pembantunya untuk melanjutkan serangan berikutnya, yaitu menggunakan alat yang paling di andalkan : lebah-lebah beracun! Lebah-lebah yang ratusan banyaknya berada di tabung- tabung bambu yang besar, dan di dalam tabung itulah tinggal ratu lebah dan semua telur yang telah menetas. Lebah-lebah itu buas dan menyerang siapa saja. Akan tetapi para anggauta Ang-Hong-Pai tidak takut karena mereka telah menggunakan semacam minyak yang terbuat dari daun putih. Bau minyak ini ditakuti lebah-lebah itu sehingga tidak seekorpun berani menganggu mereka. Kini tabung-tabung itu dibuka dan ribuan ekor lebah merah berterbangan.

Mula-mula mereka nampak marah dan berterbangan di atas kepala para anggauta Ang-Hong-Pai, akan tetapi karena binatang-binatabg itu mencium bau yang amat ditakutinya,mereka lalu terbang tinggi mencari mangsa lain, dan tentu saja mereka segera terbang menuju ke arah Song Kim yang tidak memakai minyak anti lebah itu! Ribuan lebah merah dengan mengeluarkan suara mendengung riuh kini menyerbu ke arah Song Kim yang berdiri tegak. Dia sudah mendengar akan keganasan lebah-lebah merah ini, maka sebelum naik ke bukit itu, dia sudah siap siaga untuk menghadapinya. Mula-mula dia mempergunakan jubahnya yang dilepas untuk diputar sedemikian rupa sehingga putaran jubah itu mendatangkan angin yang amat kuat. Lebah-lebah itu terseret oleh putaran arus angin yang dibuat oleh putaran jubah.

Mereka ikut pula terputar-putar dan begitu Song Kim mengebutkan jubahnya dengan kekuatan besar, lebah-lebah itupun tertiup sampai pergi jauh. Akan tetapi, lebah-lebah itu kembali lagi. mereka kebingungan dan marah karena tabung-tabung itu ditutup oleh para pembantu Theng Toanio. Mereka kehilangan tempat tinggal mereka. Dengan ditutupnya tabung, maka tidak ada tanda apa-apa lagi bagi mereka untuk menemukan sarang mereka, maka mereka menjadi marah dan kembali kepada Song Kim untuk menyerangnya. Song Kim maklum bahwa tidak baik membunuh lebah-lebah itu. Kalau dia mau, tentu saja dengan mudah dia akan membunuh semua lebah dengan sambaran jubahnya, akan tetapi dia sayang kepada binatang-binatang yang dapat dipergunakan sebagai senjata itu, dan juga dia tidak mau membuat kesan buruk terhadap Ang-Hong-Pai.

Akan tetapi, kalau hanya menggunakan jubah untuk mengusir mereka, tentu mereka akan datang kembali dan akhirnya dia yang akan menjadi lelah sekali, juga menghalangi dia untuk sampai di puncak bukit. Maka dipergunakanlah cara kedua yang sudah dipersiapkan. Setelah untuk kedua kalinya dengan jubah dia membuat lebah-lebah itu tertiup jatuh, dia cepat menyalakan api dan membakar beberapa batang hio biting yang sudah dipersiapkan lebih dahulu. Dia membuat hio itu dari ramuan yang dicampur belerang. Terciumlah bau yang amat menyengat hidung dan nampak asap mengepul tebal berwarna putih kekuningan. Tepat seperti telah diperhitungkan oleh Song Kim, ketika lebah-lebah itu terbang kembali kepadanya, mereka tidak berani mendekatinya, hanya berterbangan saja mengelilingi di atasnya.

Bahkan ketika ada lebah-lebah yang terkena asap itu, mereka terbang kacau balau seperti mabok. Song Kim memegang dupa biting yang mengeluarkan asap itu dan dengan tenang melanjutkan langkahnya mendaki puncak. Lebah-lebah itu mengikutinya, akan tetapi karena asap menjadi semakin banyak, merekapun semakin menjauh. melihat ini, Theng Toanio menyuruh pembantunya untuk membuka tabung-tabung itu. Begitu tabung-tabung dibuka, tercium oleh lebah-lebah itu lalu ditutup kembali setelah semua lebah masuk tabung-tabung itu. Song Kim tiba di bawah puncak dan tiba-tiba muncullah Theng Toanio bersama puluhan orang anak buahnya. Melihat wanita yang gagah dan cantik itu, dikawal puluhan orang gadis yang manis-manis, Song Kim tersenyum dan memandang penuh perhatian dan kekaguman. Tidak salah berita yang didengarnya.

Wanita itu nampak masih muda dan menggairahkan. Wajahnya tetap cantik, kulitnya halus dan tubuhnya nampak padat. Sama sekali tidak dipercaya kalau wanita itu sudah berusia enam puluh tahun! Dan belasan orang wanita muda yang agaknya menjadi pembantu-pembantu utama ketua itu, nampak yang tercantik di antara semua anggauta. Pakaian mereka yang serba merah itu benar-benar mengagumkan, seolah-olah Song Kim merasa berhadapan dengan sekelompok bunga yang sedang mekar dengan indahnya! Di atas puncak, nampak dari situ, terdapat perkampungan dengan bangunan-bangunan yang mungil, cocok untuk menjadi rumah tempat tinggal para wanita manis itu. Song Kim tidak merasa rendah diri berhadapan dengan mereka, maka dengan sikap tenang diapun tersenyum dan menghadapi Theng Toanio.

"Kalau tidak salah duga, aku berhadapan dengan Theng Toanio, ketua Ang-Hong-Pai bersama para anggauta Ang-hong- pai yang cantik-cantik dan gagah perkasa," katanya. Dilihatnya betapa pandang mata para pembantu ketua itu berseri mendengar pujiannya. Akan tetapi Theng Toanio mengerutkan alisnya dan sinar matanya berkilat. Agaknya wanita ini masih merasa penasaran dan marah karena semua serangannya tadi digagalkan dengan mudah oleh pendatang ini.

"Benar dugaanmu, sobat. Akan tetapi siapakah engkau yang demikian berani mendaki bukit Ang-hong-san dan melanggar wilayah kami?"

"Aku bernama Lee Song Kim dan dikenal dengan sebutan Lee Kongcu. Aku sengaja datang ke sini karena mendengar kebesaran nama Ang-Hong-Pai, untuk berkenalan dan menjadi sahabat, juga ingin sekali menguji sampai di mana kelihaian Ang-Hong-Pai."

"Hemmm, dan bagaiaman pendapatmu tentang Ang-Hong-Pai kami?"

"Tempat yang indah, dengan perangkap-perangkap yang berbahaya, harimau buas, lebah-lebah berbahaya, anak buah yang manis-manis dan gagah. Akan tetapi biarpun semua itu cukup mengesankan, aku masih belum merasa puas kalau belum melihat sendiri sampai di mana kelihaian ketuanya!"

"Lee Kongcu, engkau menantangku?" tanya Theng Toanio, mulai tertarik karena pria ini ternyata tidak sombong dan tidak berniat buruk. Seorang pria yang menarik sekali dan selama ini ia sendiri hanya ditemani dan dilayani laki-laki yang lemah walaupun ia boleh memilih orang-orang yang ganteng. Belum pernah ia berdekatan dengan pria segagah ini, kecuali tentu saja ketika ia berada di samping Thian-tok. Akan tetapi Thian-tok hanya tinggi ilmunya saja, sebaliknya ia seorang Kakek tua yang bertubuh gendut tidak menarik sama sekali!

"Theng Toanio, aku hanya ingin membuktikan sendiri sampai di mana kelihaianmu. Ketahuilah bahwa aku paling suka dengan ilmu silat, ingin aku mengenal semua orang yang dikabarkan berilmu tinggi, dan aku ingin menaklukkan mereka semua."

"Ehh? Menaklukkan mereka? Engkau juga ingin menaklukkan aku?"

"Maksudku mengalahkan mereka semua. Aku ingin disebut sebagai Thian-He Te-It Bu-Hiap (jago Silat Nomor Satu di Kolong Langit)."

"Hemmm... engkau masih muda akan tetapi cita-citamu setinggi langit. baiklah, aku akan melayani barang beberapa jurus. Akan tetapi, bagaimana kalau sampai engkau kalah olehku?"

"Kalau aku kalah, biarlah engkau yang akan menentukan apa yang akan kaulakukan terhadap diriku."

"Dan kalau engkau menang?"

"Kalau aku menang, hal yang sudah pasti bagiku, maka Ang-Hong-Pai harus selalu mentaati perintahku dan menjadi taklukanku."

"Engkau ingin menjadi ketua di sini menggantikan aku?"

"Tidak, jangan salah mengerti, Theng Toanio. Aku hanya ingin agar Ang-Hong-Pai memandang aku sebagai sekutu dan setiap saat aku membutuhkan, Ang-Hong-Pai harus membantuku. Yang pertama, Ang-Hong-Pai harus mengakui aku sebagai ketua kehormatan dan tiga belas orang anggautanya akan kupilih untuk menemaniku di perkampunganku, selanjutnya setiap kali kuminta, mengganti tiga belas orang itu dengan orang-orang baru yang pilihan." Theng Toanio tersenyum mengejek, akan tetapi terdengar suara cekikikan karena para gadis itu merasa senang sekali dengan syarat ini. Agaknya mereka akan berebut untuk dapat dipilih karena siapa orangnya tidak akan senang menemani pria yang segagah dan seganteng ini?

"Baiklah, syaratmu itu dapat kuterima. Akan tetapi kalau engkau yang kalah, engkau harus tinggal di sini selama satu tahun untuk menjadi pelayan pribadiku." Song Kim tertawa.

"Ha-ha-ha, betapa senangnya menjadi pelayan pribadimu di sini, Toanio, di antara kembang-kembang merah yang begini cantik dan segar. Baik, kuterima syarat itu dan mari kita mulai."

"Bersenjata ataukah bertangan kosong?" tanya Theng Toanio yang masih memandang rendah lawannya. Biarpun, lawannya tadi sudah memperlihatkan kelihaiannya, namun ia merasa yakin bahwa kalau melawan ia dalam ilmu silat, ia tentu akan dapat mengalahkan laki-laki itu. Selama ini belum pernah ada yang mampu menandinginya setelah ia digembleng ilmu oleh Thian-tok. Song Kim memang ingin menguras ilmu dari manapun juga datangnya, maka mendengar tantangan wanita itu, dia tersenyum.

"Biarlah kita main-main dengan tangan kosong dulu, kalau engkau kewalahan, baru boleh engkau mengeluarkan senjatamu, Toanio." Mendengar ucapan yang memandang rendah ini, lenyap senyum simpul di bibir wanita itu dan sepasang matanya mengeluarkan sinar berkilat.

"Orang sombong, kalau tidak kau jaga mulutmu, aku khawatir sebelum aku mengeluarkan senjata, engkau telah lebih dulu roboh dan mungkin tewas!" Song Kim masih tersenyum.

"Tewas dalam pibu (adu ilmu silat) adalah hal yang lumrah, Toanio dan aku tidak akan merasa menyesal kalau aku tewas di tangan Toanio, walaupun aku menyesal karena tidak sempat bermesraan dengan nona-nona manis yang berada di sini."

"Cukup, tak perlu banyak cakap lagi, orang she Lee. majulah!" Theng Toanio berseru.

"Aku adalah seorang tamu, tidak pantas kalau bergerak lebih dulu. Engkaulah yang menyerang dulu, Toanio, aku hanya melayani saja," kata Song Kim dengan sikap tenang. Diam-diam Theng Toanio merasa kagum juga. Laki-laki ini memang gagah, dan dia merasa gembira sekali kalau dapat memiliki seorang kekasih seperti ini.

"Sambut seranganku!" Theng Toanio membentak dan ia sudah menyerang dengan ganasnya. Dengan gerakan yang amat cepat wanita itu sudah menotok jalan darah di kedua pundak, leher dan dada secara bertubi-tubi. Memang hebat gerakan wanita ini, karena selain cepat bukan main, juga tusukan jarinya yang menotok itu mengeluarkan suara bercuitan saking kuatnya tenaga yang mendorongnya. Diam-diam Lee Song Kim terkejut. Tak disangkanya bahwa ketua Ang-Hong-Pai begini lihainya. Dia lalu mengelak dengan gerakan indah sekali, dan ketika tangan lawan masih terus mengejarnya, dia menangkis dengan kibasan tangannya.

"Plak! Plak!" Dua kali tangannya bertemu dengan ketua Ang-Hong-Pai itu dan keduanya meloncat mundur karena merasa betapa kuatnya tenaga yang keluar dari telapak tangan itu.

"Bagus, agaknya engkau memiliki juga sedikit kepandaian!" bentak Theng Toanio dan wanita ini tidak main-main lagi, maklum bahwa lawannya memang lihai, maka iapun lalu mengeluarkan ilmunya yang ia pelajari dari Thian-tok. Begitu ia menggerakkan kaki tangannya, kakinya bergerak-gerak dengan langkah mengandung perubahan ngo-heng (ilmu unsur), dan kedua tangannya menyerang dengan dahsyat, Song Kim cepat mengelak dan menangkis sambil berseru kaget.

"Heiii! Kiranya Toanio ada hubungan dengan Thain-tok!" kata Song Kim. Wajah Theng Toanio berobah merah. hatinya tidak senang dan ada perasaan malu ketika ia diingatkan akan hubungannya dengan Thian-tok, juga ia terkejut bagaimana laki-laki ini mengetahui akan hal itu, padahal merupakan rahasia dan tidak diketahui orang lain kecuali para anggauta Ang-Hong-Pai yang tak mungkin berani membuka rahasia itu.

"Hemmm, bagaimana engkau menduga demikian, Lee Kongcu?"

"Mudah saja! Bukankah engkau tadi menyerangku dengan Ngo-heng Lian-hoan Kun-hoat? Biarpun gerakanmu dahsyat dan ganas sekali, namun aku masih mengenal silat andalan Thian-tok itu." Lega rasa hati Theng Toanio. Orang she Lee ini tidak mengetahui rahasianya, hanya mengenal ilmu silat yang dipelajarinya dari Thian-tok, maka dengan cepat ia berkata,

"Mendiang Thian-tok adalah guruku."

"Ah, kiranya Toanio ini murid locianpwee itu? Pantas demikian lihai! Kalau begitu, Toanio masih saudara seperguruan dengan Ong Siu Coan?"

"Raja dari kerajaan Sorga di Nan-king itu? Ah, mana aku ada harga untuk menjadi saudara seperguruan orang besar seperti beliau itu? Aku hanya menerima pelajaran selama satu tahun saja dari mendiang Suhu, menjelang kematiannya."

"Akan tetapi ilmu kepandaanmu hebat, Toanio. Mari kita lanjutkan permainan kita." Theng Toanio yang ingin sekali mengalahkan laki-laki ini agar suka menjadi pelayan pribadinya, maju lagi menyerang. Ia mengeluarkan lagi Ilmu Ngo-heng Lian-hoan Kun-hoat untuk menyerang secara bertubi-tubi dan dahsyat.

Namun, tingkat kepandaian Song Kim jauh lebih tinggi sehingga dia mampu mengelak dan menangkis semua serangan itu, sambil mempelajari setiap jurus, mengamati untuk menemukan jurus yang ampuh dan pantas dikuasainya. Wanita itu terkejut setelah lewat lima puluh jurus, ia belum juga mampu mengalahkan lawannya. Jangankan mengalahkan, menyentuh tubuhnya saj apun tak pernah karena semua pukulan dan tendangannya dapat dielakkan atau ditangkis. Sedangkan Lee Song Kim juga sudah merasa puas. Ada beberapa jurus yang penting dan sudah dicatat dalam benaknya. Ketika Theng Toanio menendang dari samping dengan gerakan memutar tubuh, dia sengaja diam saja menanti sampai kaki yang menendang itu menyambar dekat dan tiba-tiba saja dia telah menyambar kaki itu dan sepatu kaki itu telah copot dan berada di tangannya.

"Ihhh...!" Theng Toanio berseru kaget dan mukanya berobah merah sekali. Song Kim mengamati sepatu bersulam merah itu.

"Sungguh indah sekali sepatumu, Toanio," katanya sambil menyerahkan kembali benda itu. Dengan muka merah karena dirampasnya sepatu itu tentu saja menjadi bukti kekalahannya, Theng Toanio menerima sepatunya dan memakai kembali, kemudian ia berkata,

"Lee Kongcu, dalam ilmu silat tangan kosong, engkau lihai sekali dan aku mengaku kalah. Akan tetapi belum tentu aku kalah kalau kita mempergunakan senj ata." Lee Song Kim tersenyum.

"Tentu saja harus dicoba dulu, Toanio. Nah, kaukeluarkan senjatamu, akan kuhadapi dengan tangan kosong saja." Theng Toanio membelalakkan matanya. Orang ini terlalu sombong kalau akan menghadapi senjata-senjatanya dengan tangan kosong, pikirnya. Betapapun lihainya orang ini, bagaimana mungkin dapat melawan senjata-senjatanya? Karena merasa dipandang rendah, Theng Toanio menjadi marah.

"Bagus! Hendak kulihat bagaimana engkau menghadapi senjata-senjataku!" berkata demikian tangan kanannya bergerak dan tahu-tahu sebatang pedang yang berkilauan saking tajamnya telah berada di tangan kanannya, sedangkan tangan kirinya membuka kantung yang tergantung di pinggang.

Lee Song Kim memang sengaja hendak mencari kesan mendalam di perkumpulan ini, ingin memperlihatkan ilmunya agar mereka semua tunduk dan taat kepadanya. Dia bukan sekedar membual atau menyombongkan diri kalau hendak menghadapi Theng Toanio yang bersenjata dengan tangan kosong. Dia sudah tahu betul sampai di mana tingkat kepandaian lawan. ketika tadi mereka bertanding tangan kosong. Dia sudah tahu betul sampai di mana tingkat kepandaian lawan. Ketika tadi mereka bertanding tangan kosong, dia sudah dapat mengukur dan dia merasa yakin bahwa biarpun lawan berpedang, dia sanggup dan akan dapat mengalahkannya. Kinipun dia tahu bahwa selain pedangnya, wanita itu mempersiapkan senjata rahasia dan melihat kantung di pinggang itu tempat penyimpanan senjata rahasia jarum merah beracun yang pernah didengarnya sebagai senjata rahasia andalan ketua Ang-Hong-Pai



Dewi Ular Eps 10 Pedang Naga Kemala Eps 27 Rajawali Hitam Eps 2

Cari Blog Ini