Pemberontakan Taipeng 9
Pemberontakan Taipeng Karya Kho Ping Hoo Bagian 9
"Wuuutt! Wuuutt!" Pukulan-pukulan mereka yang dilakukan amat kerasnya itu mengenai angin kosong belaka! Han Le amat lincah dan gesit, dapat mengelak dengan geseran-geseran kaki kanan kiri. Sementara itu si mata juling sudah menubruk Sheila dengan penuh nafsu. Sheila menjerit melihat puteranya dikeroyok dua. Ia lebih mengkhawatirkan anaknya daripada dirinya sendiri dan karena ia memperhatikan puteranya, dengan mudah si mata juling dapat merangkul dan memeluknya, kemudian mencoba untuk menciumnya penuh nafsu. Sementara itu, Han Le yang dapat mengelak beberapa kali itu, berhasil pula menyelinap dan meloncat melalui bawah ketiak si muka hitam dan melihat Ibunya meronta-ronta dalam pelukan si mata juling yang belum juga berhasil menciumnya, Han Le menjadi marah sekali.
"Desss...!" dari belakang, Han Le memukul punggung si mata juling.
"Hekkk...!" Si mata juling terkejut dan untuk sejenak napasnya menjadi sesak. Terpaksa dia melepaskan rangkulannya dari tubuh Sheila, membalik dan marah bukan main.
"Apakah kalian tidak mampu membunuh binatang cilik itu?" bentaknya kepada dua orang pembantunya. Dua orang itu menjadi malu, juga penasaran maka mereka berdua mencabut golok dan menghampiri Han Le dari kanan kiri.
"Henry, larilah...!" Sheila menjerit ketika melihat puteranya diancam dengan golok oleh dua orang itu. Akan tetapi, si juling sudah menubruknya lagi. Kini Sheila dapat meloncat ke belakang dan lari ke belakang sebatang pohon, dikejar oleh si mata juling. Pada saat dua orang yang mengepung Han Le menggerakkan golok, tiba-tiba mereka menjerit kesakitan dan golok mereka terlepas dari tangan! Tangan kanan mereka terasa nyeri dan kaku, seperti terkena tototkan. mereka tidak melihat datangnya batu kerikil yang tadi menyambar dan mengenai lengan mereka. Pada saat yang hampir bersamaan, ketika si mata juling berhasil menangkap kembali lengan Sheila,
Tiba-tiba diapun menjerit dan melepaskan kembali lengan itu karena tangan kanan yang menangkap itu menjadi kaku dan nyeri seperti ditotok! Sesaat dia dan dua orang kawannya terkejut, akan tetapi karena tidak melihat sesuatu, si mata juling kembali mengulang terjangannya menubruk Sheila, sedangkan dua orang pembantunya sudah mengambil kembali golok mereka dan siap menyerang dan membunuh Han Le. Pada saat itu, secara beruntun menyambar sinar-snar hitam kecil ke arah tiga orang itu dan merekapun berteriak kesakitan. Topi mereka terjatuh dan di kepala mereka tiba-tiba saja muncul benjolan-benjolan sebesar telur ayam yang matang biru! Rasa nyeri yang hebat membuat mereka memegangi kepala sambil mengaduh-aduh, tidak tahu apa yang menyebabkan kepala mereka terasa demikian nyeri sehingga benjol-benjol, tidak tahu,
Saking cepatnya betapa ada batu-batu kerikil secara beruntun menyambar dengan kecepatan yang sukar diikuti pandang mata dan mengenai kepala mereka. Rasanya bagaikan disengat lebah besar sehingga kepala mereka berdenyut-denyut, pening dan badan menjadi panas dingin, pandang mata menjadi kabur berkunang. Tiga orang itu maklum bahwa kalau bukan Ibu dan anak itu yang sesungguhnya merupakan orang-orang lihai, juga tentu ada orang pandai yang secara sembunyi melindungi mereka, maka tiga orang itupun lari tunggang langgang. Mereka berada di daerah musuh, maka mereka tidak berani banyak tingkah lagi. Melihat betapa tiga orang itu melarikan diri, Sheila dan Han Le menjadi lega dan girang. Han Le memandang ke kanan kiri, lalu tiba-tiba berseru nyaring.
"Suhu...! Suhu!!" Namun, hanya gema suaranya saja yang sahut menyahut, dan tidak nampak seorangpun manusia. Keadaan sunyi, tidak ada yang bergerak kecuali rumput dan daun-daun pohon yang bergoyang tertiup angin. Sheila Juga memandang ke kanan kiri, mengerutkan alisnya ketika ia baru sadar bahwa besar sekali kemungkinan mereka mendapat pertolongan dan perlindungan dari Bu Beng Kwi. Benarkah orang itu yang melindungi mereka, seperti juga yang mengirim selimut dan buntalan pakaian? Kelinci dan ayam hutan yang demikian mudah dirobohkan puteranya? Dan garam itu? Hatinya merasa tidak enak. Sungguh tidak menyenangkan dilimpahi budi oleh Koan J it, musuh besarnya!
"Sudahlah, mari kita lanjutkan pergi ke dusun di sana itu, khawatir kalau keburu malam," katanya sambil menggandeng tangan puteranya. Han Le masih memandang ke kanan kiri penuh harapan, namun dia tidak membantah ketika Ibunya mengajaknya mendaki pegunungan itu, menuju ke dusun yang nampak dari bawah tadi. Ibu dan anak ini sama sekali tidak tahu bahwa mereka telah memasuki daerah perbatasan antara daerah yang dikuasai pasukan Tai Peng dan daerah yang sebelah utara masih dalam kekuasaan pemerintah Mancu. Juga mereka tidak mengira bahwa daerah itu merupakan semacam medan laga antara tiga kelompok mata-mata, yaitu mata-mata pemerintah Mancu, mata-mata pasukan Tai Peng, bahkan mata-mata yang disebar oleh pasukan asing kulit putih!
Seringkali di sekitar daerah itu terjadi pertempuran-pertempuran, penculikan-penculikan atau pembunuhan yang penuh rahasia karena para mata-mata itu tentu saja merupakan orang-orang yang berkepandaian tinggi dan semua tindakan mereka mengandung rahasia. Pada waktu itu, kekuasaan Tai Peng masih besar dan menguasai daerah Nan-king dan sekitarnya. Pemerintah Ceng atau Mancu tidak kuasa untuk mengusirnya, melainkan hanya berjaga-jaga di tapal batas. Akan tetapi sebaliknya, balatentara Tai Peng tidak dapat maju ke utara. Sementara itu, pihak asing kulit putih masih menarik keuntungan sebesarnya dari konflik itu dengan menyelundupkan senjata gelap, dan candu. Membantu sana-sini untuk membuat perang semakin berkobar karena dari perang saudara,
Yang mendapat keuntungan terbanyak adalah orang asing kulit putih. Perang saudara membuat bangsa itu menjadi lemah, akhirnya mereka tinggal mudah menundukkan pihak yang menang namun yang sudah penuh dengan luka parah itu. Maka mata-mata yang dikirim oleh pasukan asing ke daerah pergolakan itu bertugas selain untuk menyelidiki keadaan kedua pihak, juga untuk mengadakan hubungan perdagangan senjata api, membantu sana-sini dan berusaha untuk memperhebat perang saudara. Dengan tergesa-gesa, karena selain khawatir malam keburu tiba dan juga khawatir kalau-kalau ada orang jahat mengejar mereka Sheila dan Han Le mendaki gunung itu. Senja telah mendatang ketika mereka akhirnya tiba di depan pintu gerbang perkampungan itu. Tiba-tiba terdengar bentakan orang dari belakang mereka.
"Heii, berhenti! Siapa kalian berani berkeliaran di sini?" Sheila dan Han Le berhenti dan memutar tubuh. Mereka melihat dua orang berdiri tegak dengan pedang di tangan, dan sikap mereka mengancam. Akan tetapi ketika mereka berdua itu melihat bahwa yang mereka bentak adalah seorang wanita cantik kulit putih dan seorang anak laki-laki, pedang mereka yang tadi menodong itu diturunkan dan keduanya saling pandang.
"Heii, perempuan kulit putih! Engkau mata-mata dari pasukan orang asing kulit putih, ya?" tanya seorang di antara mereka dengan sikap hati-hati. Bagaimanapun juga. dia dan kawan-kawannya belum mengenal siapa wanita kulit putih itubdan sudah sering orang kulit putih mengadakan kontak dengan kawanan mereka, untuk menjual senjata api. Dengan sikap tenang namun ada kekhawatiran di dalam hatinya melihat bahwa dua orang ini, seperti tiga orang yang menyerangnya tadi, jelas bukanlah orang-orang dusun, bukan petani-petani sederhana yang jujur, Sheila menjawab.
"Kami adalah Ibu dan anak yang sedang perhi mengungsi karena perang, mencari tempat baru yang aman. Kami sama sekali bukanlah mata-mata, kami adalah rakyat biasa."
"Ha-ha, kami bukanlah anak-anak kecil yang mudah dibohongi. Di mana ada wanita kulit putih berkeliaran sebagai rakyat biasa? Engkau dan anak ini menyerahlah untuk kami bawa menghadap komnadan kami. hayo masuk!" Mereka berdua kembali menodongkan pedang mereka ke arah Sheila dan Han Le dan mendorong mereka memasuki pintu gerbang. Ibu dan anak itu tidak berdaya lagi. Sheila menggandeng tangan puteranya, menariknya agar ikut masuk karena melawanpun tidak ada gunanya. Ternyata ia telah salah masuk, pikirnya. Ini bukan perkampungan orang dusun! Rumah-rumah itu baru dan nampak sunyi, tidak ada keluarga petani, dan di sana-sini ada beberapa orang laki-laki yang sama kasarnya dengan dua orang yang menangkap mereka. Ketika mereka digiring masuk, para pria itu bangkit dan memandang, ada yang bersuit, ada yang memuji kecantikannya secara kurang ajar.
"Heii, Cun-ko, darimana kau mendapatkan mawar putih itu? Berikan saja padaku, biar kubeli dengan satu bulan gaji!"kata seorang di antara mereka yang mukanya brewok. Teman-
temannya tertawa.
"Hushh, jangan main-main. Siapa tahu ia ini mata-mata pasukan kulit putih. Biar komandan kita yang memutuskan nanti!" kata seorang di antara mereka yang menangkap Sheila dan Han Le. Ibu dan anak itu digiring terus memasuki sebuah bangunan yang paling besar yang berada di situ. Di dalam rumah itu telah dipasang lampu-lampu yang cukup terang. Akan tetapi rumah inipun nampak kosong, perabot-perabotnya kasar dan agaknya baru saja dibuat. Di dalam ruangan yang besar, mereka dihadapkan kepada seorang laki-laki berusia kurang lebih lima puluh tahun. Seorang laki-laki yang bertubuh tinggi besar seperti raksasa, perawakannya gagah, wajahnya bengis dan matanya lebar melotot kini menatap wajah Sheila penuh perhatian.
"Hemm, darimana kalian mendapatkan wanita ini?" komandan itu bertanya kepada dua orang anak buahnya tanpa memandang kepada mereka.
"Lai-Ciangkun, kami melihat mereka ini berkeliaran di luar secara mencurigakan sekali, maka kami menangkap mereka dan menghadapkan mereka kepadamu," jawab dua orang itu. Orang yang disebut Lai-Ciangkun (perwira Lai) itu mengangguk-angguk senang. Semetara itu, wajah Sheila berobah pucat. Seorang Ciangkun? Seorang perwira? Kalau begitu, orang-orang ini adalah anggauta-anggauta pasukan! Dan segera ia sadar bahwa ia dan puteranya telah jatuh ke tangan pasukan Tai Peng yang tidak mengenakan pakaian seragam! Ia sudah pernah mendengar bahwa pasukan Tai Peng yang tidak berseragam adalah pasukan mata-mata yang lihai dan yang kejamnya melebihi pasukannya yang seragam! Celaka, pikirnya, akan tetapi ia berusaha untuk menenangkan hatinya.
"Eh, perempuan kulit putih, siapakah namamu dan siapa pula anak laki-laki ini?" tanya si tinggi besar yang matanya lebar.
"Namaku Sheila dan ini anakku bernama Gan Han Le. Ciangkun, harap bebaskan kami kembali karena seperti yang telah kuberitahukan kepada dua orang anak buahmu, kami adalah rakyat biasa yang sedang mencari tempat tinggal baru setelah kami lari mengungsi dari perang. Kami bukan orang jahat dan tidak mempunyai kesalahan apapun."
"Ha-ha-ha-ha," komandan itu tertawa, bukan tawa ramah melainkan tawa mengejek.
"Mudah saja engkau minta dibebaskan. Engkau amat mencurigakan, seorang perempuan kulit putih berkeliaran sampai di sini. Katakan, apakah engkau utusan pasukan kulit putih yang harus menghubungi kami untuk menawarkan senjata api?" Sheila menggeleng kepala.
"Tidak, sama sekali tidak. Aku tidak mempunyai hubungan dengan pasukan kulit putih, bahkan tidak tahu siapa kalian dan pasukan apa!"
"Hemm, ketahuilah bahwa kami adalah pasukan rahasia Tai Peng yang besar dan gagah perkasa! Hayo kau mengaku saja daripada harus kami siksa, apa maksudmu berkeliaran di sini? Siapa mengutusmu? Lebih baik mengaku terus terang. Aku tidak ingin menyiksa seorang wanita cantik seperti engkau."
"Heh-heh, Lai-Ciangkun, serahkan saja perempuan ini kepadaku. Tanggung ia akan mengakui semuanya, ha-ha!" kata seorang di antara dua perajurit tadi.
"Tidak, kepadaku saja, Ciangkun. aku lebih pandai menjinakkan wanita!" kata orang kedua.
"Hemm, diam kalian, mata keranjang! Ia terlalu penting untuk diurus oleh orang-orang mata keranjang macam kalian!" Lai-Ciangkun itu membentak dan bentakan ini melegakan hati Sheila. Kiranya si raksasa ini bukan seorang laki-laki yang suka menggagahi wanita seperti banyak pria lain di dunia yang kejam ini.
"Sesungguhnya, Ciangkun. Aku sama sekali tidak berbohong. Aku memang seorang wanita kulit putih, akan tetapi aku menikah dengan seorang laki-laki Han, dan ini anak kami. Aku hidup sebagai seorang wanita dusun biasa, dan terpaksa kami berdua melarikan diri ketika terjadi perang, Kani pengungsi-pengungsi yang tidak berdosa, Ciangkun. Harap suka bebaskan kami."
"Ha-ha, tidak begitu mudah. Engkau harus kami tahan dulu dan akan kulaporkan kepada atasanku. Terserah kepada atasan kami bagaimana keputusan mereka tentang dirimu. Engkau bukan orang biasa, engkau seorang wanita kulit putih. Hei, kalian berdua, bawa ia ke dalam kamar tahanan. Akan tetapi awas, ia tawanan penting, tak seorangpun boleh mengganggunya. Ia harus diperlakukan dengan baik sampai aku menerima keputusan dan jawaban dari atasan. mengerti?"
"Baik, Ciangkun!" kata dua orang itu yang tadi sudah kena dihardik sehingga mereka tidak berani bersikap sembarangan lagi. Tiba-tiba Han Le yang sejak tadi hanya mendengarkan saja, berkata dengan suara lantang.
"kalian tidak boleh menawan kami! Kalian adalah orang-orang Tai Peng, bukan? Ketahuilah bahwa kami masih ada hubungan keluarga dengan pemimpin kalian! pemimpin kalian yang bernama Ong Siu Coan itu masih keluarga dekat dengan mendiang Ayahku!" Sheila hendak mencegah anaknya bicara namun sudah terlambat, maka iapun hanya dapat menanti dengan jantung berdebar sambil memandang kepada raksasa itu dengan mata terbelalak.
"Tunggu dulu perwira Lai yang tinggi besar itu membentak dua orang anak buahnya yang hendak menangkap lengan Ibu dan anak itu, dan mereka berdua mundur lagi karena merekapun terkejut mendengar ucapan anak itu tadi.
"Eh, bocah, apa artinya kata-katamu tadi?" Dia membentak sambil melotot kepada Han Le. Anak ini sama sekali tidak merasa takut.
"Bukankah pemimpin pasukan Tai Peng bernama Ong Siu Coan? Nah, dia itu adalah uwa seperguruanku! Karena itu, jangan kalian menganggu aku dan Ibuku, karena pemimpin kalian tentu akan marah dan menghukum kalian kalau mendengarnya." Perwira raksasa itu menoleh kepada Sheila.
"Benarkah apa yang dikatakan oleh anakmu ini? Coba jelaskan kepadaku." Karena sudah terlanjur, terpaksa Sheila mengaku, dan iapun mengharapkan bahwa nama Ong Siu Coan akan membuat mereka takut untuk mengganggu ia dan anaknya.
"Memang benar apa yang dikatakannya. Mendiang suamiku bernama Gan Seng Bu, seorang pejuang besar yang pernah menentang pemerintah penjajah Mancu sampai dia tewas. Tentu kalian pernah mendengar nama Gan Seng Bu, kalau belum ketahuilah bahwa mendiang suamiku itu adalah adik seperguruan dari pemimpin kalian, yaitu Ong Siu Coan. Laporkan saja kepadanya dan dia akan tahu."
Mendengar keterangan yang dilakukan dengan sikap tenang ini, si raksasa tertegun. Memang dia pernah mendengar nama besar Gan Seng Bu, seorang pejuang walaupun tidak pernah bekerja sama dengan Tai Peng. Keluarga seperguruan dari pemimpinnya yang kini menjadi Maharaja di Nan-king! Perwira Lai ini bukan seorang yang haus wanita, tidak memiliki kebiasaan memperkosa wanita. Akan tetapi menengar bahwa Ibu dan anak ini keluarga dekat dengan pemimpinnya, timbul suatu keinginan yang amat baik menurut anggapannya. Kalau dia dapat memperisteri wanita ini, berarti dia memiliki hubungan dekat dengan pemimpin yang kini menjadi raja besar itu dan tentu pangkatnya akan naik dengan cepat dan mudah! Dia lalu memberi isyarat kepada kedua orang anak buahnya.
"Kalian keluarlah dulu, biar aku menangani sendiri urusan Ibu dan anak ini." Dua orang anak buahnya saling pandang, akan tetapi tidak berani membantah dan merekapun keluarlah. Setelah daun pintu ditutup dan dia berada bertiga saja dengan Sheila dan Han Le, si komandan tinggi besar merubah sikap. Dia bangkit dari tempat duduknya dan dengan mempersilahkan Ibu dan anak itu duduk diatas bangku di depannya.
"Maaf, karena tidak tahu bahwa engkau adalah Gan-Toanio, maka kami bersikap kurang hormat dan anak buah kami menangkap Toanio dan anakmu." Lega dan girang rasa hati Sheila. Bagaimanapun juga, pengakuan Han le itu telah untuk sementara menolong mereka. walaupun ia tidak dapat membayangkan bagaimana sikap Ong Siu Coan kalau sampai bertemu dengan mereka. Iapun sudah mendengar bahwa Suheng dari mendiang suaminya itu kini telah menjadi seorang raja besar. Ia mengajak puteranya duduk menghadapi raksasa itu yang kii tidak lagi nampak menakutkan, melainkan ramah dan mendatangkan harapan
"Nyonya, aku merasa kasihan sekali kepadamu. Aku sudah mendengar akan kebesaran nama Gan Seng Bu sebagai seorang pendekar dan pejuang yang amat gagah perkasa. Dan betapa nyonya telah menderita sejak dia tewas. Dapat kubayangkan betapa banyak bahaya yang mengancam diri nyonya sebagai seorang janda muda yang cantik. Bahkan sekarangpun nyonya masih belum terbebas dari ancaman bahaya. Siapa dapat menjamin bahwa di dalam hati para anak buahku tidak terdapat niat yang buruk terhadap diri nyonya yang cantik?"
"Kami percaya akan ketulusan dan kebaikan hati Ciangkun yang tentu akan melarang anak buahnya untuk berbuat jahat terhadap kami," kata Sheila. Komandan itu tersenyum. Dia berusia kurang lebih empat puluh tahun, tubuhnya yang besar itu membuat dia nampak gagah walaupun berpakaian preman.
"Nyonya tidak tahu. Mereka adalah pria-pria yang sudah terbiasa hidup dalam kesukaran, kekerasan dan bahaya. Semua itu membuat mereka menjadi keras. Mereka meninggalkan keluarga dan siapapun tidak akan dapat menyalahkan mereka kalau mereka menjadi haus dan buas kalau melihat wanita, apalagi wanita cantik." Sheila mengerutkan alisnya. Teringat ia betapa setahun yang lalu, sepasukan orang Tai Peng membasmi serombongan pengungsi dan kalau saja tidak muncul Bu Beng Kwi, iapun tentu sudah menjadi korban kebuasan mereka terhadap wanita itu.
"Ah, kami hanya dapat mengharapkan pertolongan Ciangkun." Perwira itu menyeringai, memperlihatkan deretan gigi yang besar-besar, lalu dia menatap wajah yang cantik itu.
"Kiranya tidak mungkin kalau di antara kita tidak ada hubungan apapun, Toanio. Mereka tentu bahkan akan mencurigai aku, menganggap aku melindungi orang kulit putih. Satu-satunya jalan adalah kalau Toanio mau menjadi isteriku dengan sah. Nah, sebagai suamimu dan Ayah tiri anakmu ini, tentu saja tidak ada seorangpun yang akan berani menganggu isteri dan anakku."
"Ahh...!" Sheila terbelalak dan memandang dengan wajah pucat. Kiranya raksasa inipun bukan baik dengan sewajarnya, melainkan baik karena mengandung pamrih. dan pamrihnya sama saja dengan laki-laki lain yang hendak mendapatkan dirinya. hanya bedanya, Lai-Ciangkun ini menggunakan cara halus, memperisterinya! Memperisteri dengan ancaman bahwa kalau tidak, maka sang perwira tidak dapat melindunginya. Sheila bangkit berdiri dan menggandeng tangan puteranya.
"Terima kasih atas kebaikanmu dan maakan aku, Ciangkun. Akan tetapi terpaksa aku tidak dapat menerima usulmu itu. Biarlah kami pergi saja dari sini, karena tadinya kami datang ke sini mengira bahwa di sini merupakan sebuah dusun di mana kami dapat tinggal dan hidup sebagai petani biasa. ijinkan kami pergi dengan aman dari tempat ini." Wajah perwira itu berubah merah. Dia merasa malu karena ditolak pinangannya dan juga merasa kecewa dan marah.Sepasang mata yang lebar itu melotot seperti hendak melompat keluar dari pelupuk matanya.
"Toanio, apakah engkau tidak tahu bahwa begitu engkau keluar dari pintu gerbang perumahan kami, engkau tentu akan disergap dan diperkosa orang? Anakmu akan dibunuh dan engkaupun akan mati akhirnya?"
"Hemm, aku tidak percaya bahwa orang-orang yang menamakan dirinya pejuang akan melakukan perbuatan terkutuk sepeti itu, dan aku yakin bahwa Ciangkun juga tidak akan membiarkannya saja. Ingat, pemimpin kalian yang kini menjadi raja itu tentu tidak akan tinggal diam karena kami adalah keluarga Sutenya!" Sheila hendak menggunakan nama Ong Siu Coan untuk mengancam. Akan tetapi, kalau tadi nama Ong Siu Coan yang disebutnya membuat sikap perwira itu berubah, kini raksasa itu malah tertawa bergelak.
"Ha-ha-ha! Apa artinya kalian menjadi keluarga raja kami kalau beliau tidak tahu tentang kalian di sini? Semua orang yang berada di perkampungan ini adalah anak buahku, dan kalian akan lenyap seperti ditelan bumi. dan berita tentang kalian takkan diketahui orang luar sama sekali." Sheila merasa ngeri. Celaka, pikirnya, ia dan puteranya terjatuh ke tangan orang-orang yang tidak kalah jahat dan buasnya dibandingkan tiga orang pasukan pemerintah yang mengganggunya tadi. Orang-orang Tai Peng ini memang jahat dan kalau ia teringat akan gerombolan orang Tai Peng yang pernah dibasmi Bu Beng Kwi, ia bergidik. Ia seperti terlepas dari mulut serigala memasuki guha harimau.
"Lai-Ciangkun, kasihanilah kami Ibu dan anak yang tidak berdosa. Kami hanya ingin dibebaskan dan jangan diganggu, dan kami akan mengambil jalan kami sendiri." Ia memohon dan memandang kepada raksasa itu dengan sinar mata penuh permohonan dan harapan. Namun, raksasa itu adalah seorang yang sudah mengeras batinnya. Segala sepak terjangnya dalam hidup hanyalah terdorong nafsu, dan semua ini, nafsu untuk memperoleh keuntungan sebesarnya dengan adanya Sheila, menutup semua pertimbangan lain.
"Nyonya, hanya ada dua pilihan bagimu. memenuhi permintaanku, menjadi isteriku dengan sah dan kelak memperkenalkan aku kepada raja kami sebagai suamimu, atau kalau engkau menolak, engkau akan kuserahkan kepada anak buahku. Ingat, anak buahku di sini tidak kurang dari dua puluh orang, mereka semua seperti harimau-harimau kelaparan dan engkau tentu akan diperebutkan, dagingmu dirobek-robek dan engkau akan mati dalam keadaan yang menyedihkan, dan lebih dulu anakmu akan mereka bunuh di depan matamu. Bagaimana, engkau pilih yang mana?"
"Engkau... engkau manusia jahat!" Tiba-tiba Han Le membentak marah sekali melihat Ibunya hanya terbelalak dengan muka pucat, dan anak ini sudah menerjang maju dan menggunakan kepalan tangannya untuk memukul dada perwira yang tinggi besar itu.
"Bukkk!" Pukulan itu tidak ditangkis dan mengenai dada sang perwira, akan tetapi Han Le seperti memukul dinding yang kokoh kuat, bahkan kepalan tangannya yang terasa nyeri.
"Ha-ha-ha, engkau setan cilik, pergilah!" Dan tangan raksasa itu menampar mengenai pundak Han Le sehingga anak itu terbanting roboh.
"Henry..." Sheila menubruk anaknya.
"Sekali lagi, pertimbangkan baik-baik. Pilih menjadi isteriku dan hidup mulia ataukah mampus di tangan anak buahku!" bentak sang perwira dengan sikap galak kepada wanita yang kini berlutut sambil memeluk puteranya itu.
Sheila tidak takut mati. kehidupan demikian pahit baginya setelah melihat kenyataan bahwa Bu Beng Kwi, pria yang dipuja dan dicintanya itu, bukan lain adalah Koan Jit, pria yang dibencinya setengah mati. Baginya, kematian merupakan pelepasan dari derita batinnya. Akan tetapi, biarpun ia tidak takut mati, ia takut menghadapi kematian puteranya! Agaknya tidak ada pilihan lain baginya untuk menuruti permintaan Lai-Ciangkun. Agaknya hanya kalau ia mau menjadi isteri Lai-Ciangkun, puteranya akan dapat diselamatkan. Akan tetapi, betapa mungkin ia melakukan hal itu? Baginya, lebih baik mati daripada disentuh pria lain! Saking bingungnya, Sheila kini hanya bisa menangis sambil merangkul puteranya.
"Ibu, jangan mau, jangan sudi, aku tidak takut mati!" Han Le berkata, agaknya mengerti akan kebingungan hati Ibunya. Pada saat itu, terdengar suara ribut-ribut dan kaki kuda di luar rumah itu disusul suara kaki bersepatu yang berat dan ketika tiba di depan pintu rumah itu, terdengar suara nyaring.
"Hemm, di mana adanya Lai Hok?" Mendengar suara ini, Lai-Ciangkun nampak terkejut dan dia terbelalak, memandang ke arah pintu.
"Saya... saya berada di sini..." Akan tetapi daun pintu sudah didorong keras dari luar dan nampaklah seorang laki-laki yang bertubuh jangkung dan bermuka kekuningan. Usianya kurang lebih lima puluh tahun dan orang ini mengenakan pakaian tebal dengan sepatu kulit yang berat. Pembawaannya penuh wibawa dan melihat orang ini, Lai-Ciangkun yang tadinya bersikap garang itu kelihatan takut-takut, berdiri dengan penuh hormat.
"Lai Hok, apa saja yang kau kerjakan di sini? Kami menanti-nanti pengiriman senjata api yang telah dijanjikan itu dan sampai sekarang belum juga muncul. Dan... eh, siapa ini?" Orang itu agaknya baru melihat Sheila yang berlutut sambil merangkul puteranya.
"Tai-Ciangkun, ia... ia adalah seorang tawanan yang sedang saya periksa." Lai-Ciangkun lalu bertepuk tangan dan dua orang pengawal masuk.
"Bawa dua orang ini ke dalam kamar tahanan dan jaga baik-baik jangan sampai mereka lolos!"
"Baik, Ciangkun!" kata dua orang itu, akan tetapi sebelum mereka menyeret tubuh Sheila dan Han Le, perwira yang baru tiba itu menggerakkan tangannya.
"Nanti dulu!" Dan dia menghampiri Sheila, memandang penuh perhatian.
"Bukankah ia... ia seorang wanita kulit putih? Bagaimana kalian menawan seorang wanita kulit putih?" Perwira she Tang itu terkejut sekali memandang kepada Lai-Ciangkun dengan sinar mata tajam penuh selidik. Dia adalah seorang di antara tangan kanan Ong Siu Coan, bahkan dia memperoleh kepercayaan untuk mengepalai pasukan yang mengurus pembelian senjata-senjata api dari orang kulit putih, juga mengepalai barisan mata-mata yang disebar di daerah timur. Melihat betapa tawanan anak buahnya itu seorang wanita kulit putih, tentu saja ia terkejut dan heran, maklum betapa gawatnya menawan seorang kulit putih!
"Tang-Ciangkun, kami dapatkan ia berkeliaran di luar perkampungan kita, dan anak buahku menangkapnya. Saya sedang memeriksanya ketika Ciangkun tiba, dan kami khawatir bahwa ia adalah seorang mata-mata yang melakukan penyelidikan terhadap keadaan kita." Dalam percakapan mereka itu, Sheila maklum bahwa orang yang baru tiba ini adalah atasan Lai-Ciangkun, maka kembali ia memperoleh harapan.
"Dia bohong!" katanya sambil bangkit berdiri dan menggandeng tangan anaknya.
"Aku bersama anakku adalah rakyat biasa yang melarikan diri dari perang, pergi mengungsi, kemudian ditangkapnya dan dia mengancam agar aku menjadi isterinya, kalau tidak, aku akan diserahkan kepada anak buahnya dan anakku ini akan dibunuh!" Perwira tinggi yang baru tiba itu kini menghadapi Lai-Ciangkun dengan alis dikerutkan. Tentu saja dia mengenal watak anak buahnya dan hal inilah yang selalu merisaukan hatinya. Dia adalah seorang pendekar yang bersama para pendekar lain membantu perjuangan Tai Peng. Kalau para pendekar banyak yang pergi meninggalkan Tai Peng setelah pasukan itu berhasil menguasai Nangking, karena melihat kegilaan dan kejahatan para pasukan Tai Peng yang dibiarkan oleh Ong Siu Coan, Tang Ci yang merupakan pendekar dari utara ini, tetap tinggal.
Dia memang tidak senang melihat ulah para pasukan Tai Peng, juga tidak suka melihat sikap Ong Siu Coan yang kini menjadi raja besar yang seperti orang gila, mengaku putera Tuhan dan kakak Yesus. Akan tetapi karena dia merasa berhak memperoleh pangkat dan kemuliaan setelah ikut berjuang, dia menekan saja rasa tidak sukanya dan tetap menjadi tangan kanan Ong Siu Coan. Apalagi karena raja baru itu bersikap baik kepadanya, melimpahkan anugerah bahkan memberi kedudukan tinggi. Maka, mendengar teriakan Sheila yang melaporkan ulah Lai-Ciangkun itu, dia percaya dan tidak merasa heran. Sebaliknya, dia merasa heran melihat seorang wanita kulit putih begini pandai bicara dalam bahasa daerah, dan anaknya itu jelas tidak seperti anak kulit putih, kecuali matanya yang agak biru.
"Engkau, siapakah, nyonya? Dan mengapa pula seorang wanita kulit putih seperti engkau berada di daerah ini?Ceritakan dengan jelas, dan percayalah, tak seorangpun akan kubiarkan mengganggumu dan engkau akan memperoleh perlakuan patut dan adil. Aku adalah Tang Ci yang datang dari kotaraja Nan-king dan menjadi kepercayaan Sri Baginda Kaisar di Nan-king." Mendengar bahwa perwira tinggi yang baru datang ini adalah seorang kepercayaan Kaisar Nan-king, Han Le segera berseru,
"Ah, kebetulan sekali kalau begitu. Bukankah Kaisar itu bernama Ong Siu Coan?" Tang Ci memandang anak itu dengan kaget.
"Benar sekali, bagaimana engkau bisa tahu?"
"Karena dia adalah supekku (uwa guruku)! Mendiang Ayahku adalah Sutenya!"
"Eh? Siapakah engkau? Siapakah kalian?" Sheila menarik tangan puteranya lalu menghadapi perwira itu, setelah ia bangkit berdiri. Sejenak mereka saling pandang.
Diam-diam Tang Ci harus mengakui bahwa wanita kulit putih yang rambutnya keemasan dan matanya biru ini, yang mengenakan pakaian daerah sederhana dan mukanya tanpa riasan, rambutnya juga kusut, adalah seorang wanita yang amat cantik. Sebaliknya, Sheila juga memperhatikan pria itu. Seorang yang berusia lima puluh tahun, bertubuh tinggi kurus, wajahnya lonjong dengan sepasang mata yang amat ajam. Wajah itu cerah dan amat berwibawa, wajah seorang yang berkedudukan tinggi dan yang yakin akan kepentingan dirinya dan kekuasaannya. Munculnya orang ini mendatangkan harapan baru, setidaknya menolongnya lepas dari cengkeraman Lai-Ciangkun dan anak buahnya, walaupun ia tidak tahu orang macam apa perwira tinggi yang baru tiba ini. Maka iapun bercerita dengan terus terang, seperti yang dilakukannya kepada Lai-Ciangkun tadi.
"Namaku Sheila dan ini anakku Gan Han Le. mendiang suamiku adalah pendekar pejuang Gan Seng Bu..."
"Ahhh...! Aku mengenal mendiang Gan-Taihiap. Kiranya nyonya adalah isterinya? Sungguh luar biasa sekali. Aku mendengar betapa Gan-Taihiap tewas, isterinya yang sedang mengandung membawa jenazahnya ke pedusunan dan isterinya hidup di antara rakyat petani. Nyonya Gan, bagaimana engkau bisa sampai di tempat ini? Dan inikah puteramu, putera Gan- Taihiap?" kata Tang Ci penuh kagum dan juga girang. Memang pernah dia bertemu dengan pejuang itu yang pernah berjuang bersama para pendekar lainnya menentang pemerintah penjajah. Sheila menghapus dua butir air matanya. Ia merasa terharu bertemu dengan orang yang telah mengenal suaminya.
"Kami tinggal di dusun sampai suatu hari kami terpaksa pergi mengungsi karena adanya perang. Ini hari kami tiba di sini, dari bawah gunung kami melihat perkampungan ini, mengira ini sebuah dusun para petani maka kami datang ke sini. Kami mohon kebaikan hati Ciangkun, mengingat bahwa Ciangkun pernah mengenal mendiang suamiku, agar suka membebaskan kami dan mengijinkan kami pergi dari sini."
"Akan tetapi, ke manakah engkau hendak pergi, Toanio? Daerah ini berbahaya sekali, menjadi medan pertempurn antara tiga pasukan, yaitu pasukan Tai Peng, pasukan Mancu, dan kaki tangan pasukan asing. Engkau akan menemui bahaya."
"Saya sudah usulkan...
"Diam kau!" bentak Tang Ci kepada raksasa itu.
"Apakah matamu sudah buta maka engkau berani sekali bersikap kurang ajar terhadap Gan-Toanio? Kalau Sri Baginda mengetahui kekurangajaranmu, engkau akan dihukum cincang tubuhmu!"
"Ampun, Tang-Ciangkun..." Raksasa itu berkata dengan muka pucat.
"Sesungguhnya saya tadi tidak percaya akan keterangannya maka..."
"Tutup mulutmu! Untung aku mengenal watak kalian yang busuk sehingga tidak merasa heran mendengar akan perbuatan kalian yang kotor. Cepat sediakan sebuah kereta dengan empat ekor kuda terbaik untuk Gan-Toanio dan puteranya, dan persiapkan dua belas orang pasukan yang kuat untuk menjadi pengawal. Juga tukar kudaku yang sudah lelah. Aku sendiri yang akan mengawal Gan-tonio."
"Baik, Ciangkun, baik...!" Perwira tinggi besar itu lalu pergi meninggalkan pondok itu untuk melaksanakan perintah atasannya.
"Tapi... tapi, Ciangkun... kami hendak dibawa ke manakah?" Sheila bertanya setelah perwira raksasa itu keluar. Si tinggi kurus itu menarik napas panjang.
"Toanio, kalau aku membiarkan engkau dan puteramu pergi, belum sampai dua li jauhnya, kalian tentu sudah akan menemui bahaya. Anak buah Tai Peng amat jahat, demikian pula anak buah pasukan Mancu yang banyak berkeliaran di sini. satu-satunya tempat yang aman bagi engkau dan puteramu adalah istana di Nan-king
"Ahhh...! Ke istana Kaisar baru Nan-king...?"
"Ke istana Ong-supek?" Han Le juga berseru, kaget, girangan juga bingung, karena belum pernah dia membayangkan akan pergi berkunjung kepada supeknya yang telah menjadi Kaisar itu.
"Ya, satu-satunya tempat yang aman dan tepat bagi kalian adalah di istana Kaisar. Toanio adalah isteri Sute dari Sri Baginda, berarti masih ipar seperguruan Sri Baginda Kaisar sendiri, sudah sepatutnya kalau Toanio juga memperoleh kemuliaan di sana. Apalagi mengingat betapa mendiang Gan-Taihiap sudah banyak jasanya dalam perjuangan."
"Tapi... tapi kami tidak ingin pergi ke sana, kmi ingin menjadi rakyat biasa, hidup sebagai petani di dusun..."
"Ibu, kenpa kita tidak ke sana saja? bukankah Ibu menghendaki tempat yang aman? Dan kabarnya, ilmu kepandaian supek amat tinggi. Tentu beliau akan suka mengajarkan ilmu silat kepadaku," kata Han Le yang masih merasa kehilangan Suhunya yang amat disayanginya dan yang diharapkan akan menurunkan ilmu slat tinggi kepadanya.
"Ah, Henry, supekmu itu kini bukan orang biasa, melainkan seorang Kaisar! Mana mungkin mengajar silat kepadamu? Pula, datang begitu saja ke sana tanpa diundang, aku merasa seperti orang yang mengganggu...
"Toanio, harap jangan berpendapat demikian. Ketahuilah, bahwa pernah Sri Baginda berbincang-bincang tentang diri Toanio dan mengharapkan agar kami dapat menemukan Toanio dan mengundangnya ke istana! Adapun tentang ilmu silat, kalau puteramu ingin belajar, di istana banyak terdapat jagoan- jagoan silat yang amat lihai. Dia dapat belajar sepuasnya!" Sheila kehilangan alasan lagi untuk menolak. Dan pula, mengapa ia harus menolak? Apalagi yang diharapkan hidup di pegunungan, di dalam dusun? Siapa yang dipandang dan siapa yang diharapkan? Apakah ia akan membiarkan puteranya tumbuh menjadi seorang pemuda dusun yang bodoh? Memang, terdapat bahaya bahwa sikap Ong Siu Coan tidak akan baik terhadap dirinya dan puteranya, akan tetapi setidaknya, ia dan puteranya terlepas lebih dahulu dari ancaman anak buah Tai Peng yang jahat-jahat ini. Soal nanti akan dihadapinya nanti saja, dan pada saatnya ia akan menetukan sikap dan mengambil tindakan yang dianggap baik.
"Baiklah, tidak ada pilihan lain karena kami berada dalam kekuasaan Ciangkun dan pasukan Ciangkun. Aku menyerah dan suka ikut," akhirnya ia berkata dan Han Le merangkul Ibunya dengan girang. Sheila terharu. Anak ini membutuhkan kesenangan, membutuhkan pendidikan. Anak ini berhak memperoleh pendidikan yang baik, berhak hidup dalam kemuliaan, bukan selalu hidup serba kekurangan dan dalam kesukaran.
Tak lama kemudian, pada keesokan harinya, pagi-pagi sekali, sebuah kereta yang ditarik oleh empat ekor kuda dikawal oleh Tang Ci sendiri bersama selosin pasukan berkuda, meninggalkan bukit itu menuju ke Nan-king. Tak jauh dari situ, sesosok tubuh manusia yang mengintai dari balik batang pohon besar, menarik napas dalam. Dia bukan lain adalah Bu Beng Kwi, semenjak Ibu dan anak itu pergi selalu mengikuti dan membayangi dengan diam-diam, bahkan telah menolong mereka secara diam-diam pula dari ancaman tiga orang perajurit pemerintah Mancu. Kini, melihat Ibu dan anak itu pergi dalam sebuah kereta besar, dia menghela napas. Dia telah menggunakan kepandaiannya mengintai dan mengikuti semua peristiwa, sejak Sheila diperiksa oleh perwira Lai yang tinggi besar, sampai munculnya Tang Ci. Dia sudah siap untuk menolong dan membebaskan Sheila ketika diperiksa Lai-Ciangkun.
Akan tetapi mendengar penawaran Tang Ci yang akan membawa Ibu dan anak itu ke istana Kaisar dari Kerajaan Sorga, yaitu Ong Siu Coan, dan melihat kesediaan Sheila, diapun hanya berdiam diri. Apapun yang akan diputuskan dan dilakukan oleh Sheila, dia tidak akan menghalanginya. Dia hanya berkewajiban untuk melindungi Ibu dan anak itu, hal inipun dilakukan diam-diam dan jangan sampai kelihatan oleh mereka. Setelah kereta pergi jauh, barulah dia menggunakan ilmunya berlari cepat, membayangi kereta itu dari jauh. Wajahnya pucat, matanya cekung dan sayu, membayangkan kekosongan hatinya, kosong dan sunyi, kehidupan seperti sudah mati baginya setelah Ibu dan anak itu meninggalkannya. Kini, satu-satunya keinginan yang bernyala di dalam hatinya, yang memberinya semangat untuk tinggal hidup,
Hanyalah melindungi Sheila dan Han Le, menjaga mereka agar mereka itu hidup dengan aman dan selamat, agar mereka itu dapat menemukan bahagia. Dia akan menjaga mereka dengan diam-diam, menggunakan seluruh kekuatan dan kepandaiannya, kalau perlu siap berkorban nyawa untuk mereka! Biarpun pada waktu itu, negara sedang kacau, kehidupan rakyatpun selalu diganggu oleh keadaan perang, namun peristiwa yang terjadi di dunia persilatan itu amat menarik perhatian para tokoh persilatan, baik para pendekar maupun para tokoh kang-ouw. Siapa orangnya tidak akan tertarik menerima undangan, baik secara langsung maupun tidak langsung, dari seseorang yang mengundang semua tokoh persilatan untuk menjadi saksi pengangkatan diri orang itu sebagai Thian-He Te-It Bu-Hiap (Jago silat Nomor Satu di Kolong Langit)? Peristiwa yang sungguh luar biasa sekali.
Belum pernah ada orang, baik dari golongan putih maupun golongan hitam, yang berani mengangkat diri sendiri menjadi jagoan nomor satu di dunia! Dan orang itu memakai nama Lee-Kongcu! Orangpun bertanya-tanya, siapa gerangan tokoh yang demikian sombong dan tinggi hati, yang berani mengundang tokoh-tokoh persilatan untuk menyaksikan dia mengangkat diri seperti itu? Dia menantang seluruh tokoh persilatan yang ada, karena pengangkatan itu sama dengan pengumuman bahwa tidak ada orang di dunia ini yang akan mampu menandinginya! Betapa takaburnya! Dan pesta pengangkatan diri itu diadakan di sebuah bukit di lembah Yang-ce-kiang, di sebelah utara sungai itu, di sebuah dusun yang bernama Cu-sian, tak jauh dari Nan-king, hanya dibatasi Sungai Yang-ce-kiang dan beberapa belas li saja di lembah Yang-ce!
Dan tempat inipun merupakan daerah perbatasan antara wilayah yang diduduki tentara Tai Peng dan yang masih dikuasai pemerintah Mancu, dan daerah itu terkenal sebagai daerah di mana seringkali terjadi pertempuran, baik antara pasukan Tai Peng dan Mancu, maupun antara mata-mata dari kedua pihak! Sungguh berani sekali orang yang menyebut dirinya Lee-Kongcu itu! Lebih gila lagi, Lee-Kongcu juga mengundang pembesar-pembesar dari Kerajaan Ceng, terutama sekali pembesar militer, seolah-olah dia mengharapkan pengakuan dari pemerintah bahwa dialah jagoan nomor satu di dunia! Apa gerangan keinginan orang itu, demikian banyak tokoh kang-ouw berpikir, merasa tertarik sekali sehingga ketika hari yang ditentukan tiba, banyaklah orang datang membanjiri lembah Yang-ce bagian utra itu.
Memang ada tokoh-tokoh besar dunia persilatan, seperti ketua-ketua partai persilatan besar, tidak sudi melayani undangan orang yang mereka anggap gila itu, dan tidak datang sendiri. Namun, karena merekapun tertarik dan ingin mengetahui siapa gerangan orang itu, mereka mengirim juga utusan untuk sekedar meninjau dan mencatat peristiwa yang menggemparkan dunia persilatan itu. Bermacam-macam reaksi yang timbul akibat undangan yang disebar oleh Lee-Kongcu itu. Partai-partau persilatan besar mengadakan rapat-rapat memperbincangkan soal itu, dan ramailah nama Lee-Kongcu menjadi bahan percakaan setiap pertemuan antara orang kang-ouw menjelang pesta itu. Dan pada saat hari itu tiba, tidak mengherankan kalau daerah lembah Sungai Yang-ce-kiang itu menjadi ramai sekali, didatangi orang bermacam bentuk, baik sikap maupun pakaian mereka.
Orang-orang aneh, bahkan pendeta-pendeta Agama To, juga hwesio-hwesio tua, orang-orang yang berpakaian compang-camping seperti pengemis, dan banyak pula orang-orang yang sikapnya bengis dan kasar, tanda bahwa mereka itu jelas sekali datang dari golongan hitam atau penjahat-penjahat. Ada pula orang-orang yang berpakaian pendekar, halus dan bersih, yang pria tampan dan wanita cantik jelita, namun mereka itu membayangkan sikap yang gagah perkasa sehingga membuat orang merasa segan dan tidak ada yang berani mencari perkara. Mencari perkara di tempat berkumpulnya semua orang gagah dari empat penjuru itu sama dengan mengundang penyakit untuk diri sendiri. Peristiwa itu ada juga segi yang mendatangkan kegembiraannya, yaitu bagi mereka yang bertemu dengan wajah-wajah lama para sahabat.
Karena keadaan negara yang dilanda perang, maka banyak di antara para tokoh persilatan itu tidak saling bertemu selama bertahun-tahun. Kini, karena sama-sama tertarik oleh ulah Lee-Kongcu, mereka dapat bertemu di tempat itu. Maka terjadilah petemuan-pertemuan yang menggembirakan di lembah yang subur itu. Lee-Kongcu mengundang pembesar-pembesar militer penting, juga ketua-ketua perkumpulan silat yang besar-besar dan tidak lupa mengirim undangan pribadi kepada murid para datuk sesat yang sudah tidak ada, yaitu murid-murid dari Empat Racun Dunia karena dia menganggap mereka itu sebagai wakil dari dua golongan. Guru-guru mereka adalah orang-orang golongan sesat, akan tetapi mereka sendiri, yang menjadi murid-muridnya, terkenal sebagai orang-orang gagah dan pejuang-pejuang perkasa.
Maka tidaklah mengherankan kalau di tempat itu muncul pendekar-pendekar perkasa seperti murid dari Tee-tok (Racun Tanah) bersama suaminya yang juga seorang pendekar bernama Thio Ki putera ketua Kang-Sim-Pang. Suami isteri pendekar ini pernah pula membantu Ong Siu Coan seperti para pendekar lain ketika tentara Tai Peng mulai bergerak, akan tetapi merekapun meninggalkan Ong Siu Coan ketika melihat kegilaan orang itu dan kejahatan pasukan Tai Peng. Pasangan ini sudah berusia tiga puluh delapan tahun dan tiga puluh enam tahun, dan mereka mmempunyai seorang anak perempuan yang kini berusia kurang lebih sebelas tahun dan bernama Thio Eng Hui. Thio Ki kini melanjutkan pimpinan perkumpulan Kang-Sim-Pang (Hati Baja) yang cukup terkenal.
Mereka datang berdua saja, meninggalkan puteri mereka di rumah karena mereka khawatir kalau-kalau di tempat pesta itu akan terjadi hal-hal yang akan membahayakan keselamatan puteri yang baru berusia sebelas tahun itu. Selain pasangan ini, datang pula pasangan yang dihormati banyak orang karena mereka datang dari kota raja dan kalau isterinya merupakan seorang wanita bangsawan yang lihai ilmu silatnya, suaminya juga seorang bangsawan yang memiliki kedudukan tinggi. Mereka ini bukan lain adalah Ceng Hiang, puteri seorang pangeran yang bernama Ceng Tiu Ong, juga murid keturunan keluarga Pulau Es yang ilmu silatnya tinggi sekali.Suaminya adalah Yu-kiang, seorang bangsawan tinggi di istana yang juga menerima undangan pribadi dari Lee-Kongcu yang kita ketahui bukan lain adalah Lee Song Kim.
Suami isteri yang usianya juga sudah mendekati empat puluh tahun itu mempunyai pula seorang anak perempuan yang usianya sudah sepuluh tahun, bernama Yu Bwee. Seperti juga pasangan pertama tadi, Yu-kiang dan Ceng Hiang meninggalkan puteri mereka. Mereka datang naik kereta dan dikawal oleh pasukan pengawal istana yang berpakaian indah sebanyak dua losin orang sehingga kedatangan mereka itu menarik perhatian. Masih ada lagi pasangan suami isteri yang tidak kalah menariknya, karena sepasang suami isteri ini pernah menggegerkan duna persilatan dengan sepak terjang mereka yang gagah perkasa. Mereka ini bukan lain adalah Tan Ci Kong dan isterinya, Siauw Lian Hong. Seperti kita ketahui, mereka ini telah mempunyai pula seorang putera yang diberi nama Tan Bun Hong, berusia dua belas tahun.
Ketika Tan Ci Kong membantu perjuangan Tai Peng, isterinya, Siauw Lian Hong, tidak ikut berjuang melainkan mengajak puteranya untuk menyingkir di puncak Naga Putih karena rumah mereka telah terancam oleh pasukan pemerintah akibat kunjungan Ong Siu Coan yang menjadi buronan pemerintah. Ketika Tan Ci Kong meninggalkan Ong Siu Coan karena melihat penyelewengan Tai Peng, dia juga menyusul isterinya ke puncak itu dan selanjutnya mereka tinggal di tempat itu, hidup sebagai petani dan pemburu. Hidup di antara penduduk gunung yang sederhana itu mereka merasa tenteram dan semenjak meninggalkan perjuangan, baru Ci Kong turun gunung ketika dia dikunjungi oleh Thian Khi Hwesio, dimintai bantuannya untuk menyelidiki tentang pembunuhan terhadap orang-orang Kun-Lun-Pai yang didesas-desuskan dilakukan oleh orang Siauw-Lim-Pai.
Kemudian Tan Ci Kong berhasil melerai dan menggagalkan perkelahian yang hampir saja terjadi antara tokoh-tokoh Kun-Lun-Pai dan Siauw-Lim-Pai, karena adu domba yang dilakukan oleh Lee Song Kim. Kemudian, dia pulang ke puncak Naga Putih karena maklum bahwa dalam pelaksanaan tugasnya kali ini, dia perlu dibantu oleh isterinya yang juga lihai sekali. Mereka berdua meninggalkan putera mereka dan berangkat turun gunung karena pada waktu Ci Kong tiba di rumah, telah lebih dulu tiba undangan dari Lee-Kongcu itu. Suami isteri inipun tertarik sekali dan merekapun langsung saja menuju ke lembah Yang-ce-kiang dan di situ mereka bertemu dengan kawan-kawan lama sehingga terjadilah pertemuan yang amat menggembirakan.
"Siapakah sebenarnya orang yang menamakan dirinya Lee-Kongcu ini?" tanya Ciu Kui Eng. Mereka berenam duduk di tepi anak sungai yang airnya jernih dan yang mengalir ke arah Sungai Yang-ce-kiang yang besar.
"Akupun ingin sekali tahu siapa dia. berani sekali dia mengangkat diri menjadi Thian-He Te-It Bu-Hiap dan agaknya dia mengundang semua orang gagah di dunia. Bahkan ada beberapa orang jenderal dia undang. Sungguh orang yang memiliki kebernian besar sekali!" kata Ceng Hiang. Ci Kong dan isterinya saling pandang. Mereka berdua sudah menduga siapa adanya orang yang dibicarakan itu. Ci Kong lalu bertanya,
"Agaknya kalian akan lebih heran lagi kalau tahu siapa dia. Akupun baru menduga saja, akan tetapi agaknya tidak akan meleset dugaanku ini. Dia itu tentulah Lee Song Kim!"
"Eh? Si keparat yang berhati palsu itu? Dia pernah mengkhanati para pimpinan pejuang sehingga mereka semua ditawan oleh pemerintah Ceng! Dan kini dia berani membuat ulah seperti ini? Sungguh tak tahu diri!" kata Thio Ki kaget dan heran.
"Hemm, kulihat kepandaiannya biasa saja, paling tinggi hanya setingkat dengan aku! Bagaimana dia berani bertingkah mengangkat diri menjadi jagoan nomor satu di dunia?" kata pula Ciu Kui Eng merasa penasaran.
"Hemm, diapun menjadi buronan pemerintah. Kini dia berani mengundang para tokoh militer, apakah dia sudah bosan hidup?" Yu-kiang bernata.
"Harap kalian jangan memandang rendah orang ini," kata Siauw Lian Hong yang sudah mnerima keterangan dari suaminya tentang dugaan suaminya bahwa Lee Song Kim inilah orangnya yang telah mengadu domba antara Kun-Lun-Pai dan Siauw-Lim-Pai, bahkan membunuh tokoh-tokoh pandai dari Siauw-Lim-Pai dan Kun-Lun-Pai.
"Kita mengenal Lee Song Kim, murid Hai-Tok yang amat licik itu. Kita semua tahu betapa liciknya dia, sehingga mudah saja dia mengkhianati dan menjebak para pucuk pimpinan para pejuang. dan murid-murid Hai-Tok memang hebat. Lihat saja Kiki, nukankah gadis yang dulu kekanak-kanakan itu sekarang telah pula menjadi permaisuri seorang Kaisar? Kurasa, kalau Lee Song Kim sekarang berani mengangkat diri sendiri menjadi Thian-He Te-It Bu-Hiap, tentu dia memiliki andalan yang kuat."
"Benar, kita tidak boleh memandang rendah orang bernama Lee-Kongcu yang aku yakin tentu Lee Song Kim itu. Sebelum mengangkat dirinya menjadi jagoan nomor satu di dunia dengan mengundang banyak tokoh persilatan, orang yang bernama Lee-Kongcu itu telah membuat kegemparan. Bayangkan saja, dia telah mengadu domba antara Kun-Lun-Pai dan Siauw-Lim-Pai sehingga hampir saja tokoh-tokoh kedua perkumpulan besar itu saling hantam sendiri karena saling menyangka lain pihak membunuh tokoh-tokoh mereka. Dan yang membunuhnya bukanlain adalah Lee-Kongcu itulah. Dia telah membunuh orang-orang terkenal Kun-Lun-Pai seperti tiong Gi Tojin, Tiong Sin Tojin, dan juga Huang-ho Sin-to Kwa Ciok Le, dan dia telah membunuh pula Thian Khi Hwesio wakil ketua Siauw-Lim-Pai."
"Ahhh...!" Semua orang berseru kaget.
"Agaknya dia telah mempelajari ilmu-ilmu tinggi selama belasan tahun ni, dan siap tahu kita jauh ketinggalan dari dia," kata Ceng Hiang sambil mengepal tinju. Ia pribadi mempunyai kenangan pahit dengan Lee Song Kim, dan orang itu merupakan seorang di antara musuh yang dibencinya.
"Semua itu hanya dugaan saja dari suamiku," kata Lian Hong,
"walaupun dugaan itu agaknya pasti benar. sebaiknya kita tunggu saja sampai saatnya tiba."
Demikianlah, dengan hati tegang enam orang itu lalu ikut bersama rombongan tamu memasuki perkampungan baru yang dibangun oleh Lee-Kongcu untuk keperluan pesta itu. Pesta diadakan pada pertengahan musim semi sehingga udaranya cerah dan pemandangan indah sekali, pohon-pohon penuh daun dan bunga, dan air anak sungai mengalir jernih. Di tempat terbuka yang merupakan kebun, di bawah pohon-pohon besar, terdapat meja kursi yang sudah diatur sedemikian rupa sehingga mengitari sebuah panggung di mana diatur pula meja kursi untuk tamu kehormatan. Anak buah Lee-Kongcu yang berpakaian rapi dan seragam biru putih, menyambut para tamu dengan penuh kehormatan, dan agaknya memang sudah diatur sebelumnya oleh Lee-Kongcu. Tanpa ragu-ragu para penyambut ini mengiringkan orang-orang penting, di antaranya para panglima dari kota besar dan kota raja,
Pemberontakan Taipeng Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Termasuk Yu Kiang dan Ceng Hiang, dan juga para kepala perkumpulan besar dan orang-orang golongan tua yang pantas dihormati karena usia dan kedudukannya, menuju ke panggung kehormatan. Tan Ci Kong, Siauw Lian Hong, Thio Ki dan Ciu Kui Eng yang tidak dipersilahkan ke panggung kehormatan, mengambil tempat duduk tak jauh dari panggung agar mereka dapat menyaksikan dari dekat ulah dari tuan rumah yang belum memperlihatkan diri itu. Dua pasang pendekar ini duduk diam saja, akan tetpi mereka memasang mata dan memperhatikan siapa yang datang berkunjung. Diam-diam mereka merasa kagum juga melihat betapa para tamu itu terdiri dari tokoh-tokoh pesilatan yang penting, ketua atau wakil partai-partai besar, bahkan banyak pula terdapat pembesar penting dari daerah dan dari kota raja!
Mereka kagum karena ternyata orang she Lee yang menamakan diri Lee-Kongcu dan mereka duga tentu Lee Song Kim itu ternyata memiliki keberanian besar dengan mengundang demikian banyak tokoh penting. Banyak di antara para tamu yang tidak mereka kenal. Mereka tidak tahu bahwa di antara banyak tamu yang jumlahnya kurang lebih dua ratus orang itu, terdapat beberapa orang mata-mata, baik dari pemerintah Mancu, dari Tai Peng, maupun mereka yang bekerja untuk orang
(Lanjut ke Jilid 09)
Pemberontakan Taipeng (Seriall 02 - Pedang Naga Kemala)
Karya : Asmaraman S. Kho Ping Hoo
Jilid 09
kulit putih. Para mata-mata itu memperoleh kesempatan baik untuk menyusup sebagai tamu. Dengan pandang mata mereka yang tajam dan pengalaman mereka berkecimpung dalam dunia kang-ouw selama belasan tahun, dua pasang pendekar ini dapat melihat bahwa kalau dibuat perbandingan, di antara yang hadir itu jauh lebih banyak golongan sesatnya daripada golongan pendekar, sehingga diam-diam mereka waspada.
Bahkan di antara para penyambut yang mewakili Lee-Kongcu, Ci Kong melihat seorang wanita cantik yang nampak berusia tiga puluh tahun lebih, anggun dan berwibawa, Dia merasa heran sekali, karena dia mengenal wanita itu yang bukan lain adalah Theng Ci, tokoh dari Ang-Hong-Pai! Pernah dia bersama gurunya, yaitu Kakek sakti Siauw-Bin-Hud, mendatangi perkumpulan Ang-Hong-Pai untuk menemui Theng Ci, tokoh perkumpulan itu. Ketika itu gurunya, yaitu Kakek sakti Siauw-Bin-Hud, mencari perampas pedang pusaka Giok-Liong-Kiam karena dialah yang disangka perampasnya. Theng Ci merupakan seorang di antara mereka yang memperebutkan pedang pusaka itu dan yang mengenal perampasnya. Biarpun belasan tahun telah terlewat, ternyata wanita itu masih nampak sehat dan muda, padahal usianya sudah mendekati enam puluh tahun.
Kalau orang she Lee itu mempuyai pembantu seperti Theng Ci, tentulah dia bukan orang baik-baik, pikir Ci Kong. Akhirnya tamu terakhir datang dan hampir semua bangku di kebun itu telah diduduki tamu yang merupakan setengah lingkaran menghadap ke arah panggung di mana duduk kurang lebih dua puluh orang tamu kehormatan. sejak tadi, serombongan pemain musik meramaikan suasana, dan beberapa orang gadis penyanyi membuka mulut menyanyikan lagu-lagu merdu sehingga ada semacam kegembiraan seperti yang biasa terdapat dalam sebuah pesta. Tiba-tiba suara musik dan nyanyian itu menjadi lirih dan akhirnya berhenti. Lalu rombongan pemusik itu memukul kembali alat musik mereka, kini dengan nyaring dan di antara suara tambur dan canang itu terdengarlah teriakan orang.
Rajawali Hitam Eps 9 Pedang Naga Kemala Eps 16 Pedang Naga Kemala Eps 18