Ceritasilat Novel Online

Jago Pedang Tak Bernama 4


Jago Pedang Tak Bernama Karya Kho Ping Hoo Bagian 4




Lo Sam tidak sungkan-sungkan lagi, dengan seruan "awas" ia ayun tongkatnya menyerang, dengan cepat Bu Beng memperlihatkan kelincahannya, dan berkelit kesamping sambil menggunakan pedangnya mengait ujung tongkat dan pedang saling serang bagaikan menjadi satu bundaran hingga menyilaukan mereka yang menonton. Tak percuma Lo Sam digelari orang Tongkat Wasiat, karena permainan tongkatnya betul-betul hebat. Dan Bu Beng harus mengeluarkan seluruh kegesitan dan keahliannya untuk dapat mengimbangi permainan pengemis kate ini. tapi sambaran tongkat mendatangkan angin tajam mengiris kulit. Setelah bertempur lebih lima puluh jurus dengan tak tentu siapa yang lebih unggul Bu Beng segera mrubah gerakannya dan kini mencampur ilmu pedangnya dengan pukulan-pukulan Hoa San Pai.

Dalam menyerang ia gunakan Kim Liong Pai dengan denagn campuran Hoa San Pai, sedangkan ketika menangkis ia gunakan campuran Kim Liong Pai dan Go Bi Pai. Lo Sam mengeluarkan seruan "hebat" karena kagum dan heran. Ia kagum sekali melihat ilmu pedang campuran yang hebat dan tak terduga gerakan-gerakannya itu dan heran bagaimana cara menggabungkan ilmu-ilmu itu demikian mahirnya. Tak ia sangka bahwa pemuda itu akan dapat bertahan demikian lamanya melawan ilmu tongkat tunggalnya yang telah menjagoi di seluruh daratan Tiongkok berpuluh-puluh tahun lamanya. Lo Sam merasa penasaran juga, maka kalau tadinya ia hanya menggunakan ilmu tangkisan dengan gerakan Dinding Tebal Ribuan Laksa hingga tongkatnya berputar menutupi seluruh tubuhnya hingga tak memungkinkan pedang Bu Beng dapat melukainya,

Kini ia robah gerakannya bersilat dengan ilmu toya dan tongkat Pat kwa mui yang diandalkan. Gerakan-gerakannya tidak kalah hebatnya dari gerakan Bu Beng, bahkan serangan-serangannya berubah=ubah dari delapan penjuru sambil menangkis serangan pemuda itu dari manapun. Namun biaroun Bu Beng masih muda tapi sudah terlatih hebat dan ilmu silat Pat kwa mui itupun pernah ia pelajari jalan-jalannya di bawah petunjuk gurunya, hingga kini setelah menghadapi ilmu itu ia tak menjadi gentar dan dapat menduga gerakan-gerakan lawan. Hanya saja, belum pernah ia menemukan seorang lawan yang demikian mahir dalam ilmu ini dan gerakan-gerakannya banyak terdapat kembangan-kembangannya yang diciptakannya sendiri,

Maka tak heran kalau Bu Beng harus berlaku hati-hati agar jangan sampai tertipu. Makin lama pertempuran berjalan makin hebat hingga ratusan jurus. Pada suatu saat, ketika pedangnya ditangkis oleh Lo Sam dengan gerakan Dewa Arak Keluar dari Pintu selatan. Bu Beng teruskan ujung pedangnya yang tergempur kesamping itu untuk membabat pinggang lawan dengan sepenuh tenaga. Serangan ini hebatsekali karena pemuda itu menggunakan tenaga dalamnya diiringi bentakan "lihat pokoam" untuk menambah tenaga semangatnya. Melihat datangnya serangan hebat ini Lo Sam terkejut sekali karena saat itu tongkatnya sedang terdorong maju dalam melakukan gerakan tangkisan tadi, maka secepat kilat ia membalikkan tangannya hingga tongkatnya menyambar kesamping,

Terus ia gunakan tenaga sekuatnya untuk menangkis pergi pedang lawan. Dua buah senjata pusaka yang apuh digerakkan oleh dua tangan raksasa yang mengandung tenaga iweekang tinggi beradu di tengah-tengah udara. Terdengar suara keras sekali dan kedua lawan itu masing-masing merasakan telapak tangan mereka tergetar hebat hingga kedua-duanya tak dapat menahan pula, dan kedua senjata itu terlepas dari pegangan! Pada saat itu pula masing-masing meloncat mundur beberapa kaki dan berdiri diam untuk menarik napas. Lo Sam masih berdiri diam sambil memejamkan mata ketika pemuda itu berjalan maju untuk memungut kedua senjata itu. Ketika pengemis kate itu membuka matanya, ia melihat pemuda lawannya telah brdiri di hadapananya sambil menyerahkan tongkatnya dengan sikap hormat sekali.

"Lo-Enghiong sungguh gagah, siauwte tunduk sekali." Lo Sam menghela napas.

"Memang gurunya naga muridnyapun naga. Seumur hidupku dalam perantauan beribu-ribu li belum pernah aku menjumpai lawan semuda dan sehebat kau, anak muda. Kau betul-betul membuat lohu merasa seperti seekor katak melawan ular. Kiam hoatmu luar biasa sekali. Nah, kini berlakulah murah untuk melayaniku dalam ilmu silat tangan kosong beberapa jurus saja." Bu Beng menjura,

"Siauwte bersedia melayanimu, Lo-Enghiong." Demikianlah, jago tua itu kembali bertanding dengan Bu Beng, dan hanya menggunakan kepalan dan tendangan. Tapi dalam ilmu silat tangan kosong, setelah bertempur kurang lebih lima puluh jurus dengan hebat, ternyata bagi Bu Beng bahwa Lo Sam tak berapa kuat dan gerakan-gerakannya tidak semahir ilmu tongkatnya. Hanya orang tua itu memiliki kuletan dan kematangan berlatih saja. Kalau ia mau, dengan mudah ia dapat melanjutkan serangan maut dan menjatuhkan pengemis kate itu, tapi Bu Beng tidak tega berlaku kejam terhadap orang tua itu.

Maka, ia hanya melayani saja permainan Lo Sam sambil mengunakan ginkangnya yang luar biasa sehingga lama-lama Lo Sam merasa lelah dan pening. Dalam keadaan lelah Lo Sam menggunakan kedua telapak tangannya memukul dada Bu Beng dengan tipu dewa menyuguh dua buah tho, ialah gerakan sederhana tapi mengandung tenaga dalam yang kuat sekali. Bu Beng yang melihat bahwa lawannya telah lelah, mengambil keputusan untuk mengakhiri pertandingan ini. dan mereka lalu mengeluarkan kedua tangan mereka dengan kepalan terbuka dan bejabat. Empat tangan beradu tanpa mengeluarkan apa-apa, tapi karena gerakan itu mengandung tenaga dalam, Lo Sam terhuyung ke belakang sampai lima langkah! Raja pengemis kate itu menjuru kearah Bu Beng dan berkata,

"Bu Beng Taihiap sungguh hebat, lohu mengaku kalah." Bu Beng segera membalas memberi hormat.

"Lo-Enghiong sengaja mengalah, siauwte yang sebenarnya kalah. Mendengar kata-kata kedua orang itu. Tan Pangcu dan Lui Im saling pandang, karena mereka sesungguhnya tidak mengerti siapakah yang lebih unggul. Di waktu Lo Sam terhuyung lima langkah tadi, Bu Beng sengaja mundur juga sampai lima langkah! Maka kedua Pangcu itu segera saling menjuru menyatakan maaf dan damailah kedua pihak.

"Ha, ha ha! puas hatiku melihat hal ini dapat dibereskan secara damai! Lebih puas lagi karena aku telah menemukan seorang pendekar muda yang gagah perkasa. Cuwi, contohlah Bu Beng Taihiap yang masih muda ini tapi yang patut dibuat teladan. Ia demikian hebat tapi selalu berlaku mengalah menjauhi permusuhan. Biarlah dengan jalan ini lohu mengundang cuwi sekalian untuk pada permulaan musim Cun tahun depan ini mengunjungi pondokku di Lok Leng Ceng, turut merayakan pesta kecil yang akan lohu adakan guna memperingati tahun ketiga belas dari pendirian perserikatan pengemis seluruh daratan timur. Waktu itu sungai Yang ce sedang tenang dan cuwi tentu akan menikmati pemandangan indah disana." Semua orang menjuru menyatakan terima kasih.

"Kini Taihiap hendak pergi kemanakah?" tiba-tiba Lo Sam bertanya. Dengan singkat Bu Beng menuturkan maksudnya hendak ke pulau Ang Coat Ho atau pulau ular merah. Lo Sam mengerutkan jidat dan menggeleng-gelengkan kepala.

"Perjalanan berbahaya. Ah, betapapun juga lohu percaya bahwa kau pasti akan berhasil mendapatkan obat itu. Tahukah Taihiap cara pengobatan dengan mustika ular itu?" mendapat pertanyaan itu Bu Beng menjadi bingung karena sesungguhnya ia belum tahu cara bagaimana menggunakan obat yang tengah dicari-carinya itu.

"Baiknya lohu pernah mendengar tentang penggunaan obat mustika ular untuk menyembuhkan berbagai penyakit beracun. Baiklah lohu tuliskan resepnya untuk dicampur dengan obat itu." Tan Pangcu segera mengambil kertas dan alat tulis dan Lo Sam segera menulis resep itu.

"Taihiap belilah obat menurut resep ini di took obat dan campurkan dengan mustika ular itu untuk dimakan oleh yang sakit." Bu Beng menerima resep sambil mengaturkan terima kasih. Kemudian Lo Sam meninggalkan tempat itu sungguhpun ditahan oleh Pangcu dari Hong bu pang, Bu Beng juga bermohon diri untuk melanjutkan perjalanannya.

Karena menghadapi urusan Lui Im tadi, Bu Beng terlambat dan tertahan tiga hari. Maka kini ia percepat tindakan kakinya. Ia berjalan langsung kearah utara dan dua hari kemudian tibalah ia di kampung Po Teng dimana mengalir sungai Yang ce kiang yang lebar dan melintasi kampung itu bagaikan seekor naga raksasa. Airnya mengalir perlahan tapi jika musim hujan tiba, air itu akan berubah besar dan deras sekali, merupakan bencana yang dalam beratus-ratus tahun telah membinasakan entah berapa ratus ribu jiwa rakyat. Beberapa perahu tampak hilir mudik, karena di dalam air telah terkenal menjadi gudang ikan yang menjadi sumber penghasilan para nelayan. Ketika mencari perahu, ternyata Bu Beng tak bisa mendapatkan seorangpun yang sanggup membawanya ke samudra.

"Ke laut? Ah, tuan muda siapa yang berani menempuh perjalanan demikian jauh? Jaman sekarang sedang kacau balau dan dimana-mana ada orang jahat. Perjalanan itu jauh sekali dan memakan waktu berminggu-minggu. Semua perahu disini hanya sanggup menyeberangkan ke tepi sana atau mengantarkan ke kampung yang berdekatan saja. Biar dibayar berapapun, saya rasa tiada seorangpun yang akan berani harus menempuh segala macam bahaya dan meninggalkan keluarga untuk berminggu-minggu," demikian keterangan yang ia dapat dari seorang nelayan tua itu.

"Habis, apa yang harus kulakukan untuk dapat mencapai laut?" Tanya Bu Beng dengan suara sedih dan perlahan, seakan-akan tengah berbicara kepada diri sendriri. Nelayan tua itu agaknya kasihan melihat Bu Beng.

"Tuan muda, kalau saja kau bisa membujuk Hek Houw barangkali kau dapat melanjutkan niatmu. Kalau tidak jangan harap kau bisa berlayar ke samudra."

"Hek Houw? Siapakah dia?" Tanya Bu Beng yang mendapat harapan baru.

"Hek Houw nelayan muda. Tapi adatnya sukar diladeni. Sekarang ia tentu sedang membuang-buang uangnya di kedai arak lagi," kata orang tua itu sambil menggeleng-gelengkan kepala. Setelah mengetahui dimana letak kedai arak itu, Bu Beng segera menujukan langkahnya kesitu. Ketika tiba di luar kedai, ia mendengar suara seorang yang kasar dan parau tapi cukup nyaring tengah berteriak-teriak marah.

"Kalian ini semua orang apa! Tak lain dari orang-orang lemah penjilat, dan tak tahu arti hidup! Lihat aku, biar namaku Hek Houw, tapi hatiku tidak kalah tabahnya dengan seekor Hek houw (harimau hitam) tulen. Aku cari uang untuk minum arak, aku bekerja dengan tenaga tak mengandalkan kelicikan seperti kalian. Apakah kalau tidak mencampur arak dengan air kalian tidak bisa hidup kaya? Apakah kalau tidak kaya karena uang tipuan kalian tidak puas? Hayo jawab, kalau tidak akan kuhancurkan kepalamu seorang demi seorang!"

"Jangan marah, Hek twako," terdengar suara lemah.

"Kami tidak menipumu. Arak ini memang arak tulen yang kami beli dari Lo bee chung di barat sana. Entah kalau arak ini dicampur air oleh perbuatnya, karena bukan kami yang membikinnya."

"Ah, alasan saja! Dulu pernah aku beli arak dari sana tapi semua arak tulen, tidak seperti ini. arak palsu, apakah uangku ini juga palsu?" Bu Beng bertindak masuk dan melihat seorang tinggi besar yang bermuka hitam tengah berdiri bertolak pinggang sambil memandang ke kanan kiri dengan mata melotot. Beberapa orang berdiri di sudut dengan takut-takut. Si muka hitam itu masih muda, paling banyak berusia dua puluh tahun.

"Sekarang begini saja. Ganti arakku ini dan keluarkan arak yang tulen, kalau tidak, kalian enam orang ini harus keluar dengan aku dan berkelahi mengeroyokku agar dapat kupersen pukulan satu-satu."

"Kami tidak punya arak tulen selain ini Hek twako."

"Bohong!" dan kepalan tangan di hitam itu memukul meja hingga meja kayu itu menjadi pecah.

"Sabar, saudara, tidak sepatutnya orang beli dengan main paksa?" Hek Houw berpaling cepat dan memandang penegurnya dengan mata melotot. Bu Beng kini dapat melihat wajah orang hitam itu dengan jelas. Wajah yang jujur tapi bodoh, pikiranya.

"Apa? Siapa kau berani menegurku?" Bu Beng tidak menyahut, tapi menghampiri tempat arak dan menggunakan telunjuknya untuk mencoba rasanya.

"Hm, benar-benar bercampur air," katanya sambil memandang kepada tukang warung.

"Tidak adakah yang lebih baik?" Tukang warung yang setengah tua berkata perlahan.

"Ada sih ada, tapi Hek Houw hanya mempunyai uang dua chi sedangkan hutangnya yang kemarinpun belum dibayar. Bagaimana ia dapat kami beri arak tulen yang mahal harganya?" Bu Beng tersenyum.

"Keluarkan arak tulen satu guci biar aku yang bayar. Ini uangnya." Dilemparnya potongan uang perak diatas meja. Dengan tindakan lebar Hek Houw menghampiri Bu Beng.

"Eh, orang sombong! Kau juga orang kaya yang jumawa ya? Kau kira aku sudi minum arakmu? Kau mau andalkan uangmu untuk bertingkah?" tinjunya yang segede buah kelepa diayun-ayunkan di depan hidung Bu Beng.

"Siapa yang menyombong? Aku sengaja datang kesini untuk mejumpaimu dan mengajak minum arak. Apakah itu sombong namanya?"

"Sabar, Hek twako," kata tukang kedai, "tuan ini rupanya mengajak bersahabat denganmu. Bukankah itu baik sekali?"

"Hm, hm," Hek Houw mengeluarkan suara ejekan dari hidung.

"apa maksudmu mencari aku? Ingin membeli ikan? Menyewa perahu?" Bu Beng mengangguk.

"Aku hendak menyewa perahumu."

"Tidak bisa!" Bu Beng heran mendengar jawaban tegas dan singkat ini. benar-benar seorang yang aneh adatnya, ia pikir.

"Mengapa tidak bisa?"

"Tidak bisa, habis perkara. Jangan banyak cakap seperti perempuan!" Tiba-tiba Bu Beng tertawa. Hek houw memandang mukanya dengan tercengang.

"Menhapa kau tertawa?"

"Karena melihat kekhawatiranmu. Kau khawatir aku tak dapat membayar sewanya? Jangan takut, kawan, berapa saja uang sewanya akan kubayar."

"Hm, aku tak butuh uang!" Bu Beng makin heran tapi ia tertawa lagi, kini lebih keras. Hek Houw maju setindak.

"Hati-hati, kawan, kalau sekali lagi kau ketawa, alamat hancur kepalamu kutinju. Mengapa kau tertawa lagi?"

"Karena ternyata kau penakut. Kau takut bertemu bajak sungai."

"Kenapa begitu?"

"Karena aku hendak menyewa perahumu menuju ke laut." Hek Houw terkejut.

"ke laut?? kau...??" Ia maju lagi selangkah, kini tepat di depan Bu Beng.

"Jangan main-main kawan, aku Hek Houw tidak takut siappun juga. Aku tidak takut bajak sungai atau bajak laut yang manapun juga. Tapi... kau sendiri, orang kurus kering dan lemah ini, berani mengatakan aku takut, apakah kau sendiri berani menghadapi bajak sungai?" Bu Beng angkat dada.

"Mengapa aku tidak berani?"

"Ha, agaknya kau mengerti ilmu silat maka berani menghadapi bajak sungai!"

"Sedikit-sedikit aku mengerti," jawab Bu Beng dengan hati geli. Tiba-tiba Hek Houw menepuk-nepuk pundaknya.

"Bagus, bagus! Nah, mari kita adakan perjanjian. Kau yang kurus kering ini mengadu tenaga dengan aku, kalau kau kalah, maka bawalah kesombonganmu itu ke lain tempat dengan segera."

"Kalau kau yang kalah?"

"Aku? kalah olehmu? Ha ha ha kalau aku kalah, baiklah kuantar kau. Jangankan ke laut, ke neraka jahanampun akan kuantar. Dan semua itu tanpa ongkos satu chipun!"

"Baik, mari kita keluar," tantang Bu Beng. Mereka keluar kedaiitu, dibuntuti oleh enam orang tadi yang memandang Bu Beng dengan keheranan. Apakah orang itu mencari mampus? Pikir mereka. Bu Beng berdiri sambil bertolak pinggang.

"Bagaimana kita harus mengadu tenaga? Berkelahi?"

"Tidak. Kalau berkelahi kau akan mampus. Begini saja kita saling pukul tiga kali. Kau pukul dulu padaku tiga kali dan kemudian aku akan memukulmu tigakali. Siapa yang jatuh ia kalah." Bu Beng maju dan menggunakan tangan kanannya meraba-raba dada Hek Houw yang bulat dank eras.

"Ah, dadamu begini lunak. Lebih baik kau saja yang memukul aku dulu. kalau aku memukul dulu, maka kau tentu takkan kuat membalas lagi." Hek Houw terheran-heran, demikian juga enam oranag itu yang memperdengarkan suara ketawa. Hek Houw menengok kearah mereka.

"Ada apa kau tertawa? Orang ini berhati tabah, tidak seperti kamu!" lalu ia menghadapi Bu Beng lagi.

"jangan kau sungkan begitu kawan. Lebih baik kau yang memukul dulu."

"Tidak, kalau kau tidak mau memukul dulu, tidak jadi saja dan kuanggap kau takut."

"Apa katamu? Baik, kalau kau mencari mampus sendiri. Mari bersiaplah!" Bu Beng memasang kuda-kuda dan pasang dadanya.

"Nah, pukullah yag keras." Hek Houw mengayunkan pukulan kanannya kearah dada Bu Beng. Ia hanya menggunakan sebagian tenaganya karena khawatir kalau-kalau orang itu terpukul mampus.

"Duk!" dan Hek Houw heran sekali karena ia rasakan bagaikan memukul karet hingga kepalanya terpental kembali.

"Ah, puulanmu seperti bakpauw saja. Empuk dan lunak," Bu Beng mengejek. Enam orang itu tertawa ditahan. Muka Hek Houw merah dan ia kepalkan tangannya makin keras.

"Awas, terimalah pukulan kedua." Hek Houw memukul lagi, kini sepenuh tenaga.

"Bluk!" dan orang muka hitam ini makin heran karena dada yang terpukul itu bagaikan kapas hingga oukulannya tak berbekas! Ia memandang heran dan menyangka orang itu menggunakan ilmu sihir. Tapi ia masih penasaran dan berkata,

"Hm, coba rasakan pukulan ketiga ini!" Kini ia mengerahkan seluruh tenaga tubuhnya dan memukul sekuatnya.

"Duk!" dan heran sekali, pemuda muka hitam itu meringis-ringis kesakitan sambil memegangi tangan kananya karena ia melihat seakan-akan memukul besi! Ketika ia melihat tangannya ternyata tangan itu menjadi merah biru.!

"Sudah puas?" Tanya Bu Beng.

"Nah, kini tiba giliranku memukul, tidak tiga kali, cukup sekali saja." Mendengar kata-kata sombong ini Hek Houw menjadi marah.

"Boleh, boleh!" kata Hek Houw menahan sakit tangannya.

"Pukullah, pukullah dadaku dengan kepalan tahumu! Jangan tiga kali, boleh kau pukul enam kali." Hek Houw membuka kancing bajunya memperlihatkan dada yang bidang dan berotot, nampak kuat sekali. Sambil tersenyum Bu Beng maju selangkah dan menggunakan tangan kanannya memukul kearah dada kanan pemuda muka hitam itu perlahan. Semua orang yang kini pada datang menonton pada heran karena seketika itu juga Hek Houw menjerit kesakitan dan jatuh terguling. Kedua tangannya memegang dadanya dan ia mengerang-erang kesakitan.

"Aduh... aduh..." kemudian sambil menahan sakitnya, Hek Houw merangkak dan berlutut di depan Bu Beng.

"Suhu... ampunkan aku yang tak mengenal orang pandai. Suhu akan kuantar kemana saja, biarlah aku korbankan jiwa kalau perlu, asal suhu suka memberi pelajaran padaku tentang cara memukul tadi.!" Bu Beng tertawa geli dan merasa kasihan, ia menggunakan telapak tangannya menepuk pundak kanan pemuda hitam itu yang segera membuat sembuh sakit dadanya. Kemudian Bu Beng mengurut tangan yang bengkak matang biru itu hingga perlahan-lahan tangan itu sembuh kembali.

"Nah, jadi orang janganlah sombong. Hayo kita minum dulu sepuasnya, baru berangkat menuju ke laut." Hek Houw tak berani membantah lagi. Sambil mengangguk-angguk ia berkata,

"Baik suhu." Ia mengikuti Bu Beng masuk ke dalam kedai lalu makan minum sepuasnya. Ternyata Hek Houw adalah seorang yatim piatu tak bersanak dan hidup sebatang kara. Ia memiliki sebuah perahu yang sederhana tapi kuat.

Maka setelah makan minum berangkatlah mereka berdua diikuti pandang mata kagum oleh para nelayan di kampung itu. Air sungai Yang ce kiang pada waktu itu tenang. Perahu terbawa aliran air ditambah dengan tenaga pendayung yang kuat dari Hek Houw, maka perahu yang berujung runcing itu meluncur cepat sekali. Lima hari lima malam mereka berlayar dengan cepat, hanya berhenti untuk membeli makanan dan bermalam di kampung- kampung sepanjang sungai. Pada hari kelima mereka tiba di kampung Cin hu chung! Kampung itu besar juga, terlihat dari banyaknya perahu-perahu besar yang berlabuh di tepi sungai. Ketika perahu mereka sampai di situ. Bu Beng tertarik melihat keadaan disitu seakan-akan orang tengah berpesta. Rumah-rumah di tepi sungai dihias dan orang-orang nampak gembira. Bu Beng menyuruh Hek Houw berhenti.

"Kalau suhu sering berhenti, kapankah kita bisa sampai ke laut?" Hek Houw mengomel panjang pendek, tapi Bu Beng tersenyum saja. Mereka mendarat dan Hek Houw menambatkan perahunya pada sebuah tonggakl. Bu Beng lalu bertanya kepada seorang nelayan yangsedang menggulung jala apakah yang sedang dirayakan di kampung itu.

"Kongcu tidak tahu, kami sedang bergembira ria menyambut kedatangan seorang pendekar wanita yang telah berhasil membunuh harimau besar yang sering mengganggu penduduk kampung Cin hu chung. Bahkan chungcu sendiri mengeluarkan semua biaya keramaian ini. lihat panggung itu, sebentar lagi nona pendekar kita akan diarak kesitu menerima penghormatan." Bu Beng makin tertarik dan ingin sekali melihat wajah lihiap yang gagah perkasa itu.

"Siapakah lihiap itu? Dari mana datangnya? Tanyanya.

"Namanya kami tidak tahu, karena ia hanya seorang yang sedang lewat disini. Tapi tentang kehebatannya." Nelayan itu memperlihatkan ibu jarinya.

"Ia membunuh harimau ganas itu hanya dengan dua buah uang tembaga dan beberapa pukulan dan tendangan saja. Ketika lihiap lewat di hutan sebelah barat kampung ini, tiba-tiba terdengar deruman hebat dan harimau itu menerkam tanpa permisi." Nelayan itu meniru gerakan harimau dan dengan kedua tangan merupakan cakar ia hendak menubruk kearah Hek Houw yang mendelikkan matanya hingga nelayan itu terkejut dan mengurungkan gerakannya.

"Tapi lihiap waspada, ia berkelit kesamping. Harimau yang terkenal jahat dan berkulit keras dapat menahan senjata tajam itu, kemudian menubruk lagi secepat kilat hingga lihiap sibuk juga meloncat kesana kemari menghindari terkaman harimau. Kemudian lihiap menjadi marah dan meloncat pergi beberapa tombak jauhnya dan ketika harimau menubruk kembali, lihiap telah siap dengan dua butir uang tembaga di tangan. Dua kali tangannya terayun dan butalah harimau itu. Kedua matanya ditembusi peluru uang. Nah, setelah buta, harimau itu dengan buas menerkam kekanan kekiri secara serampangan. Saat itu digunakan oleh lihiap untuk memperlihatkan tenaganya. Dua kali tendangan and dua kali pukulan cukup membikin harimau itu roboh tak bergerak dan mampus! bukan main hebatnya!" ketika Bu Beng akan mengajukan pertanyaan lagi, tiba-tiba terdengar tambur riuh berbunyi dan dari arah barat datang serombongan orang mengarak seorang gadis, berbaju putih. Kalau yang mengarak rata-rata berwajah gembira dan tertawa-tawa riang, adalah gadis yang diarak itu berwajah muram dan tampak berduka.

"Eng moi!" Bu Beng tiba-tiba berseru keras dan lari ke rombongan itu.

"Ko ko!" gadis itu yang ternyata tidak lain adalah Cin Eng sendiri, lari pula kearah pemuda itu dan mereka saling pegang tangan dengan penuh perasaan haru.

"Eng moi, mengapa kau sampai datang kesini?" Tiba-tiba Cin Eng menangis dengan sedih. Orang-orang kampung yang tadinya mengarak gadis itu menjadi terheran-heran dan mereka merasa tidak senang kepada pemuda baju kuning itu. Lebih-lebih melihat gadis itu kini menangis, mereka menyangka tentu pemuda itu telah mengganggu pahlawan wanita mereka. Maka dengan muka mengancam mereka menghampiri Bu Beng yang masih memegangi tangan kekasihnya. Hek Houw yang memburu juga kesitu dengan heran, melihat sikap orang-orang kampung itu, lalu menghadang mereka sambil mendelikkan kedua matanya, kedua tangan terkepal dan dadanya diangkat bagai lakunya jagoan yang hendak bertanding.

"Kalian mau apa?" tanyanya mengancam. Melihat sikap hebat dari pemuda tinggi besar muka hitam ini yang mengingatkan mereka kepada Thio Hwie pahlawan di jaman Sam Kok, semua orang menahan langkah mereka dengan ragu-ragu. Seorang diantaranya yakni kepala kampung sendiri, bertanya kepada Cin Eng, "Lihiap siapakan orang ini? apakah mereka mengganggu lihiap?" Cin Eng mengusap air matanya dan memaksa diri tersenyum.

"Tidak, tidak. Orang ini adalah keluargaku sendiri." Semua orang gembira kembali, bahkan beberapa orang segera menjuru memberi hormat kepada Bu Beng dan Hek Houw. Melihat sikap mereka yang sungguh dan jujur ini. Bu Beng segera berbisik kepada Cin Eng untuk menerima saja kehendak mereka agar jangan sampai mereka menjadi kecewa. Cin Eng menurut dan naik keatas panggung dimana ia menerima penghormatan dari mereka. Kemudian Bu Beng mengajak kekasihnya ke perahu dan mereka bercakap-cakap.

"Eng moi, kini kau harus menceritakan padaku bagaimana kau sampai berada disini?" Cin Eng menghela napas dan menahan air matanya yang mau keluar saja.

"Koko, aku sengaja menyusul kau. Di kampung Po teng aku mendengar bahwa kau telah menyewa perahu sehari yang lalu. Maka untuk dapat mengejarmu, aku sengaja membeli kuda yangbaik dan memacunya siang malam melalui jalan darat yang lebih dekat. Ternyata aku sampai di kampung ini kemarin dan kau belum lewat. Kebetulan aku bertemu dengan harimau pengganggu kampung dan berhasil membinasakannya. Orang-orang kampung memaksaku untuk menerima pernyataan terima kasih hingga aku tak tega untuk menolaknya."

"Tapi mengapa kau susul aku, Eng moi?" Tanya Bu Beng yang sama sekali tidak ambil peduli tentang Cin Engrita harimau itu. Ditanya demikian, tiba-tiba Cin Eng menundukkan muka dan menangis sedih.

"Kenapa, adikku? Kenapa kau menangis?"

"Koko...bencana besar menimpa rumahku...! ibu...ibu telah mati terbunuh..." Bu Beng meloncat bangun.

"Siapa yang membunuhnya?"

"Yang membunuhnya adalah tiga saudara dari kelima macan dari Tiang-An yang membunuh ayah dulu. mereka sengaja datng mencari jejak ayah, kalau-kalau ayah masih hidup ketiak ditolong oleh Kim Kong Tianglo dulu, tapi ketika mendapat tahu bahwa ayah telah meninggal, mereka bermaksud membasmi seisi rumah..."

"Cin Han... Cin Lan... bagaimana mereka? Dan suheng bagaimana?" Tanya Bu Beng dengan hati penuh kekhawatiran.

"Kedua adikku itu diselamatkan oleh Kim Kong suheng dan dibawa pergi, sedangkan aku sendiri lari karena kami tidak kuat menaham amukan mereka. Karena putus asa maka aku menjadi nekat dan bermaksud menyusulmu. Ibu dan dua pelayan mati terbunuh." Sehabis bercerita, Cin Eng menangis lagi. Bu Beng terharu. Alangkah malangnya nasib kekasihnya ini. menderita penyakit hebat, baru saja ditinggal mati ayah, kini ibu tiri yang sudah menjadi ibu sendiripun terbunuh musuh.

"Adikku, sudahlah jangan bersedih. Soal sakit hatimu ini di belakang hari saja kita balas bersama. Sekarang yang paling perlu mencari obat untukmu. Jika sudah sembuh maka kurasa takkan sukar mencari kelima musuh yang kejam itu." Kemudian Bu Beng memperkenalkan Hek Houw kepada Cin Eng. Setelah tahu bahwa nona itu adalah tunangan suhunya. Hek Houw berkata dengan wajah bingung.

"Suhu, haruskah aku menyebut nona ini subo (ibu guru)?" Muka Cin Eng merah dan Hek Houw buru-buru berkata lagi.

"Biarlah sebelum kawin dengan suhu, aku sebut saja kouwnio, nanti setelah kawin baru kusebut subo."

Bu Beng hanya tersenyum dan mereka lalu melanjutkan perjalanan mereka dengan perahu. Berkat kejenakan Hek Houw dan hiburan-hiburan Bu Beng, Cin Eng tak lama kemudian terhibur juga dan dapat melupakan kesedihannya. Bepergian degan perahu di sepanjang sungai yang indah pemandangan alam di kanan kirinya itu memang sangat menarik hati. Mereka seakan-akan tak merasa lelah dan dimana terdapat kampung yang besar, mereka singgah sebentar untuk membeli ini itu. Beberapa hari kemudian, perahu mereka memasuki daerah hutan yang lebat. Pohon-pohon besar menutup arus sungai hingga air sungai tampak hitam dan keadaan agak gelap. Setelah memasuki hutan itu beberapa puluh li jauhnya, tiba-tiba di satu tikungan tampak lima buah perahu berbaris mencegat mereka.

"Wah, bajak sungai!" kata Hek Houw, tapi dia tidak takut, bahkan berkata dengan sombong.

"Suhu, biarlah kuperlihatkan bahwa aku tidak takut kepada segala cecunguk sungai ini." dan dia terus mendayung perahunya dengan tabah.

"He, tamu yang lewat berhenti dulu! kalian harus bayar uang jalan di daerah kami ini, kalau tidak, jangan harap bisa terus dan jangan harap bisa kembali hidup-hidup." Kata kepala bajak yang masih muda dan berwajah cakap serta berkulit putih.

"Apa katamu?" jawab Hek Houw dengan suara keras.

"Jangan kurang ajar, minggir kamu, kalau tidak, dayungku ini akan menghancurkan kepalamu!" Bajak-bajak yang terdiri dari dua puluh orang lebih diatas lima perahu itu tertawa mengejek.

"Lihat itu tingkahnya orang hutan hitam," seorang diantara mereka menghina. Hek Houw menjadi marah dan dengan berseru keras ia meloncat ke perahu yang terdekat dan mengamuk dengan dayungnya. Sebentar saja ia dikeroyok oleh bajak-bajak yang bersenjatakan golok. Kepala bajak melihat bahwa perahu yang dirampok itu hanya diduduki oleh seorang pemuda yang kelihatan lemah dan seorang nona muda, ia memandang remeh sekali dan dengan satu loncatan cepat ia sudah berada di perahu Bu Beng.

"Anak muda, serahkan semua barang-barangmu dank au akan dapat lewat dengan selamat."

"Eh, mudah amat, kawan. Kau mempunyai kepandaian apa maka berani menjadi kepala perampok?" tiba-tiba Cin Eng yang beradat lebih galak dari Bu Beng segera menegur dan mencabut siang kiamnya.

"Ha, ha " kepala bajak muda itu tertawa geli.

"Kiranya kau juga dapat main-main dengan pedang?" ia menyerang dengan goloknya dan ditangkis oleh Cin Eng. Sebentar saja mereka bertarung dengan sengit. Beberapa orang bajak meloncat pula ke perahu itu hingga perahu menjadi goncang. Bu Beng menggerakkan kaki tangannya dan beberapa orang penjahat terpental masuk kedalam air.

Tapi lain penjahat mendatangi hingga mereka terkepung. Cin Eng tak dapat bersilat dengan baik diatas perahu yang bergoyang-goyang itu maka permainannya kalut. Baiknya Bu Beng dengan gesit bergerak kesana sini, dimana kepalan tangannya menyambar atau kakinya terangkat, erdengar suara mengaduh dan tubuh seorang bajak jatuh tercebur ke air. Dengan sekali loncatan Bu Beng berada di depan kepala bajak itu. Melihat pemuda itu dengan mudah dapat menjatuhkan orang-orangnya dengan tangan kosong saja, kepala bajak menjadi marah dan berbalik menyerang Bu Beng. Bu Beng berkelit hingga golok lewat di sampingnya, kemudian dia mengangkat kaki kirinya dan menendang. Dengan mudah penjahat cakap itu terpental dan masuk ke dalam air. Bu Beng melihat Hek Houw terkepung dan berteriak-teriak.

"Tolong, suhu tolong!" segera meloncat ke perahu itu dan dengan beberapa kali gerak tangan, semua bajak berjatuhan dan ada yang sebelum terpukul segera meloncat ke dalam air. Bu Beng lalu mengajak Hek Houw kembali ke perahu mereka sendiri. Tapi ketika menginjakkan kaki di perahu itu, tiba-tiba menjadi miring dan air masuk kedalamnya.

"Celaka mereka menggulingkan perahu dari bawah!" Teriak Hek Houw yang segera menyambar dayung dan menggunakannya untuk memukul sebuah kepala seorang bajak yang tampak muncul di pinggir perahu. Orang itu berteriak kesakitan dan tenggelam. Perahu makin bergoyang-goncang dan sebentar lagi tentu terbalik, Bu Beng memegang tangan Cin Eng dan mngajak gadis itu meloncat ke salah sebuah perahu yang terdekat dan kosong. Hek Houw ikut meloncat tapi kurang jauh hingga ia tercebur ke dalam air,. Untung ia pandai berenang dan segera naik ke perahu dimana Bu Beng dan Cin Eng telah berada dengan selamat. Tapiusaha mereka ini tak banyak menolong, karena kawanan bajak bagaikan kura-kura berenang di bawah permukaan aira dan kini mencoba menggulingkan perahu itu.

"Loncat ke sana Eng moi!: kata Bu Beng dengan gugup karena perahu itu telah miring. Dengan cepat Cin Eng meloncat ke perahu terdekat, tapi malang baginya, kakinya menginjak pinggiran perahu yang basah dan licin hingga ia terpeleset dan jauh ke air. Hek Houw meloncat mengejar dan berenang hendak menolong, ia dihalang-halangi oleh seodrang bajak hingga sebentar kemudian mereka berdua bergulat dalam air. Kepala penjahat yang muda itu segera menolong Cin Eng dan membawanya berenang. Bu Beng menjadi bingung sekali, karena kalau ia menggunakan senjata rahasia menyambit kearah kepala bajak itu sampai mati, bagaimana nanti nasib Cin Eng? Ia sendiri tak pandai berenang.

Maka ia hanya dapat melihat dengan hati bingung dan khawatir lalau meloncat ke perahu sendiri yang telah ditinggalkan bajak. Hek Houw yang dihalang halangi oleh seorang bajak bertubuh besar, menjadi marah sekali. Lebih-lebih ketika dilihatnya betapa Cin Eng dibawa berenang oleh kepala bajak, ia makin marah. Ia gunakan seluruh kepandaiannya di air dan mencekik leher bajak itu. Tapi ternyata lawannya seorang yang kuat dan kedua tangannya menjambak rambut Hek Houw dengan keras. Karena saling cekik dan saling jambak, keduanya tak dapat menggunakan kaki tangan mereka untuk berenang, dan kedua-duannya lalu tenggelam. Mereka saling meronta-ronta hendak melepaskan pegangan lawan, tapi tak dapat. Maka sudah beberapa kali mereka terpaksa membuka mulut untuk berenapas hingga banyak air sungai memasuki perut.

Hek Houw sudah merasa lemas. Ia lalu mencari akal. Ketika merasa bergulat menjadi seru dan mukanya berada dekat dengan perut lawan, ia gunakan mulutnya menggigit kulit perut yang gendut itu. Karuan saja bajak itu merasa kesakitan sekali dan melepaskan pegangannya untuk menolong perutnya. Saat itu digunakan oleh Hek Houw untuk muncul ke permukaan air dan mengambil napas dengan terengah-engah. Ketika bajak itupun muncul juga di dekatnya, ia segera meukul kepalanya hingga bajak itu kembali tenggelam. Tiap kali muncul, Hek Houw mengetuk kepalanya hingga lama-lama bajak itu menjadi lemas karena tak dapat bernapas. Akhirnya ia tenggelam lagi untuk tidak timbul kembali. Dengan lemas Hek Houw berenang ke perahunya dan naik keatasnya. Bu Beng telah berdiri disitu dengan termenung. Pada waktu itu tak nampak lagi seorang bajakpun di air.

"Bagaimana kouwnio suhu?" Bu Beng hanya mengeleng-gelengkan kepada dan mereka lalu mendayung perahu ke seberang kanan sungai atas kehendak Bu Beng. Karena keadaan agak gelap dengan tenggelamnya matahari, Bu Beng tak berdaya mengejar larinya penjahat.

Namun ia dapat melihat bahwa semua bajak lari kearah pantai kanan. Kemudian ia memesan kepada Hek Houw agar menjaga perahu dan menanti disitu karena ia hendak menyusul dan mencari jejak para bajak sungai yang membawa lari Cin Eng. Sedang keadaan Cin Eng sendiri sangat menyedihkan. Karena tak pandai berenang, ia menjadi lemas dan pingsan dalam pondongan Kwee Ciang, kepala penjahat yang masih muda itu. Kwee Ciang mengumpulkan anak buahnya dan beramai-ramai mereka lari kearah sarang mereka yang berada di tengah-tengah hutan. Ketika sadar, Cin Eng mendapatkan dirinya terbaring diatas tempat tidur kayu dengan tangan dan kaki terikat. Kwee Ciang dan seorang pemuda lain yang berpakaian menterang duduk tak jauh dari tempatnya. Melihat Cin Eng sudah sadar. Kwee Ciang berkata dengan senyum.

"Maaf nona kami terpaksa mengikat kau, karena kau ternyata pandai silat hingga berbahaya kalau tak diikat. Jangan kau khawatir kami takkan mengganggumu. Kau hanya kami tahan untuk menanti datangnya kawanmu itu yang harus menebusmu dengan barang-barang berharga. Ketahuilah kami telah kehilangan banyak anggota, maka kau harus ditebus dengan mahal."

Jago Pedang Tak Bernama Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo



"Hm, kalau dia datang, kamu semua tentu terbunuh mampus," Cin Eng berkata gemas.

"Ha ha ha sudah cantik, kalau marah bertambah manis," kata pemuda berbaju menterang itu sambil menyeringai.

"Kwee Liang! Jangan bicara sembrono!" tegur Kwee Ciang.

"Nona jangan marah. Adikku hanya berkelakar saja. Ketahuilah, aku adalah Kwee Ciang yang memimpin bajak di sini dan ini adalah Kwee Liang misanku." Tapi Cin Eng tak pedulikan perkataan itu dan memalingkan mukanya. Tiba-tiba seorang bajak berlari masuk.

"Tai Ong orang tadi telah datang dan mengamuk!" Kwee Ciang mencabut goloknya dan berkata kepada Kwee Liang.

"Kau menjaga disini jangan sampai nona ini terlepas. Biar kubereskan orang itu dan minta uang tebusan." Kepala bajak yang muda dan cakap itu segera lari keluar membawa goloknya, diikuti oleh bajak yang melaporkan tadi. Kwee Ciang lari keluar dan melihat perkelahian yang hebat dan membuat hatinya berdbar penuh kekhawatiran. Ia melihat betapa Bu Beng dengan tangan kosong dikeroyok bajak empat puluh orang lebih, tapi pemuda itu bagaikan seekor naga terlepas dari kurungan, mengamuk hebat sekali.

Dengan kedua tangan kosong ia menyambar kesana sini dan dimana tubuhnya berkelebat, tentu rebah seorang bajak dengan tak berkutik karena telah tertotok jalan darahnya! Tubuh para bajak bergelimpangan bertumpuk-tumpuk dan teriakan ngeri terdengar disana-sini! Kwee Ciang kaget sekali karena ia mnyangka kawan-kawannya yang roboh itu terbinasa, maka ia segera mengumpulkan kawan-kawannya yang pandai menggunakan senjata rahasia dan beramai-ramai menyambit pemuda itu dengan pisau, pelor besi dan anak panah! Tapi dengan berseru keras Bu Beng mencabut Hwee hong kiam dari punggung dan memutarnya hingga tampak sinarnya berkilau kilauan seperti perak. Semua senjata rahasia dapat dipukul jatuh dan berserakan kesana kemari.

Kemudian tubuh Bu Beng berkelebat kembali ia menggunakan tangan kirinya menotok tipa penjahat yang dapat terpukul olehnya. Bu Beng benar-benar mengamuk hebat, tapi ia masih ingat akan perikemanusianan dan tak mau menjatuhkan tangan maut. Hanya membuat bajak-bajak itu tak berdaya dan lumpuh dengan totokannya yang diwarisinya dari Hoa San Pai yang hebat. Melihat kejadian hebat ini, Kwee Ciang putus asa dan tak berani melawan. Ia segera kembali ke pondoknya untuk membawa lari Cin Eng. Alangkah terkejutnya ketika ia mendengar jeritan seram dari arah pondoknya itu. Buru-buru ia menolak daun pintu, tapi pintu terkunci dari dalam, ia gunakan kakinya menendang pintu, pintu terbuka
(Lanjut ke Jilid 05)
Jago Pedang Tak Bernama (Serial 01 - Jago Pedang Tak Bernama)
Karya : Asmaraman S. Kho Ping Hoo

Jilid 05
dan pemandangan di dalam pondok membuat wajahnya menjadi merah karena marah.

Ternyata ketika ditinggalkan seorang diri untuk menjaga Cin Eng, Kwee Liang yang memang berwatak cabul dan jahat tertarik sekali akan kecantikan Cin Eng dan timbullah maksud buruk hendak mengganggunya. Didekatinya nona itu dan ia mengulurkan tangan. Cin Eng menjerit tapi Kwee Liang segera menekap mulut nona itu dan menyumbatnya. Cin Eng meronta-ronta, tali ikatan kaki tangannya sangat kuat. Nona itu takut sekali, air matanya mengalir dan ia bertekat lebih baik mati daripada terganggu oleh binatang berwajah manusia ini. dengan beringas Kwee Liang memegang baju Cin Eng dan merenggutkannya dengan sekali sentakan. Baju nona itu robek dan tampaklah pundaknya yang berkulit putih halus Cin Eng makin marah dan memberontak keras, dan Kwee Liang makin gila nampaknya. Pemuda bermoral bejat itu segera menuju ke pintu dan menguncinya.

"Nona jangan takut, aku takkan berlaku kasar padamu," katanya menyeringai. Kemudian ia maju menghampiri. Tapi, belum ia bertindak lebih jauh yang melanggar batas-batas perikesopanan dan kesusilaan tiba-tiba pintu ditendang dari luar dan Kwee Ciang berdiri di ambang pintu dengan golok di tangan dan wajah merah sekali. Kwee Liang tersenyum.

"Twako, jangan ganggu aku. Berlakukah baik kali ini dan biarlah aku mendapatkan nona itu. Aku cinta padanya, twako."

"Bangsat rendah! Kau membikin malu aku, membikin malu abu leluhur kita! Biarpun menjadi bajak, tak pernah nenek moyangku menjalankan perbuatan terkutuk itu. Hayo keluar." Kwee Liang menjadi marah.

"Twako, bagus bener sikapmu ini! Kau selalu hendak menang sendiri dan aku selalu harus tunduk kepadamu. Tapi kali ini tidak! pendeknya aku harus mendapatkan nona ini, tak peduli kau melarangnya atau tidak. Aku mau keluar kalau tubuhku sudah terbaring diatas lantai ini."

"Binatang kau!"

"Habis, kau mau apa?" kata Kwee Liang dan mencabut pedangnya yang ditaruh diatas meja. Kwee Ciang menjadi marah dan meloncat menyerang. Kwee Liang menangkis dan mereka berkelahi dengan sengit. Sebenarnya dalam hal kepandaian, Kwee Ciang menang setingkat kalau dibandingkan dengan Kwee Liang. Lebih-lebih karena Kwee Liang jarang melatih diri. Maka setelah bertempur kurang lebih dua puluh jurus, tiba-tiba Kwee Ciang melayangkan tendangannya dan tepat mengenai dada Kwee Liang yang segera roboh dan pingsan! Kwee Ciang masih ada rasa kasihan kepada adik misannya maka ia tidak mau membunuhnya.

Dan karena perbuatan biadab dari Kwee Liang ini maka Kwee Ciang mengurungkan niatnya hendak membawa lari Cin Eng untuk minta uang tebusan kelak, bahkan ia merasa malu sekali. Maka tanpa ragu-ragu lagi ia menggunakan goloknya memutuskan tali pengikat kaki dan tangan Cin Eng, lalu melemparkan sehelai baju luar kearah Cin Eng untuk dipakai menutupi sebagian tubuh atasnya yang robek. Sebagai seorang laki-laki, Kwee Ciang berdiri membelakangi Cin Eng untuk memberi kesempatan kepada gadis itu memakai pakaian yang diberikannya itu. Tapi sungguh tidak nyana, setelah mengenakan baju luar Cin Eng melompat ke depan, menyambar pedang Kwee Liang dan menggunakannya untuk menyabet leher Kwee Liang. Dan kepala penjahat cabul itu menjadi terpisah dari lehernya. Kwee Ciang kaget sekali dan mukanya menjadi pucat.

"Ah, kau keterlaluan nona." Cin Eng menuding kearah mayat Kwee Liang.

"Keterlaluan? Sudah sepatutnya binatang macam ini dibinasakan. Kalau kau merasa sakit hati, belalah adikmu itu aku tidak takut." Kwee Ciang tak menjawab, tapi dengan bercucuran air mata ia berjongkok dan menyelimuti mayat adik misannya sambil berkata lemah,

"Ah Kwee Liang, Kwee Liang... mengapa kau tidak mau menurut nasehatku! Ah, sekarang kau terbunuh mati, aku malu kalau kelak berjumpa dengan paman di alam baka..." Cin Eng melihat keadaan pemuda itu menjadi kesima dan juga terharu. Tiba-tiba dari luar berkelebat bayangan orang dan Bu Beng berdiri disitu dengan Hwee hong kiam di tangan. Sikapnya galak dan gagah sekali. Mukanya pucat tanda khawatir dan matanya menyinarkan cahaya menakutkan! Wajah yang pucat menjadi merah dan terdengar ia bernapas lega ketika melihat nona kekasihnya berdiri disitu dengan pedang berlumuran darah di tangan! Tapi ia heran melihat baju luar yang dipakai gadis itu. Kemudian ia melihat Kwee Ciang yang sedang berjongkok.

"Bangsat tak tahu malu! Kau harus mampus!" seru Bu Beng dengan marah. Kwee Ciang meloncat berdiri dan ketika Bu Beng menyerangnya, ia menangkis. Tapi goloknya terlepas putus oleh Hwee hong kian! kwee Ciang menjadi pucat dan ia hanya memejamkan mata ketika Hwee hong kiam meluncur kearah lehernya. Tiba-tiba Cin Eng meloncatdan menangkis Hwee hong kiam dengan kerasnya! Pedangnya menjadi putus. Bu Beng kaget dan meloncat mundur sambil memandang kepada kekasihnya dengan heran.

"Sabar, koko," kata Cin Eng.

"Kau salah sangka. Kwee Ciang bukanlah seorang jahat. Bahkan ia telah menolong jiwaku." Kemudian dengan singkat ia menceritakan tentang kekurangajaran Kwee Liang dan betapa Kwee Ciang menolongnya hingga ia dibebaskan dan dapat membunuh Kwee Liang. Bu Beng menjuru dan berkata.

"Maaf, tai ong. Tak kusangka seorang kepala bajak seperti kau ini masih mempunyai sifat satria dan gagah." Kwee Ciang membalas hormat dan air matanya turun kembali membasahi pipinya.

"Taihiap, sungguh aku merasa malu. Aku dengan saudara misanku telah tersesat menjadi kepala bajak, walaupun kami tak pernah berlaku sewenang-wenang, tapi betapapun juga, bajak tetap penjahat dan dikutuk orang. Aku telah berlaku salah terhadap Taihiap maka tak lain mohon maaf dan semoga Taihiap juga sudi menyembuhkan semua kawan-kawanku yang menjadi korban karena aku. Kalau Taihiap hendak menghukum, hukumlah aku yang menjadi kepala mereka, boleh aku kau bunuh atau kau serahkan kepada pembesar negri, tapi sembuhkan kawan-kawanku." Mendengar ucapan dan melihat sifat setia kawan dari kepala bajak itu, Bu Beng merasa terharu dan juga girang karena dari sikapnya itu Kwee Ciang menunjukkan kejantanannya dan bahwa hatinya belum rusak. Maka Bu Beng segera menghampiri para bajak yang rebah tak bergerak karena totokan ketika mengamuk tadi dan sebentar saja tiga puluh orang lebih anak buah bajak telah dibebaskan dari pengaruh totokan.

"Saudara, Kwee Ciang," katanya kemudian kepada Kwee Ciang, "Tadi kau sanggup memikul semua tanggung jawab. Nah, kuharap kau suka sadar akan kesesatan ini. Kau masih muda dan memiliki kepandaian tinggi. Buat apa menjadi bajak hingga membusukkan nama sendiri! Harimau mati meninggalkan kulit, manusia mati harus bisa meninggalkan nama baik! Selagi hidup mengapa kau tak gunakan kepandaianmu menolong sesame hidup dan melakukan kebajikan hingga hidupmu tidak kosong dan sia-sia? Kau bukan orang jahat, juga kau adalah seorang cerdik, kurasa kata-kataku ini sudah cukup kau mengerti. Apa yang akan kau lakukan selanjutnya, terserah kepada kebijaksanaanmu sendiri." Kwee Ciang merasa terharu dan menghaturkan terima kasih sambil berlinang air mata. Kemudian Bu Beng mengajak Cin Eng ke tepi sungai dimana Hek Houw menanti dengan tidak sabar.

Tapi ketika melihat bahwa Cin Eng telah tertolong dan selamat, ia menjadi girang. Mereka lalu berlayar lagi dengan cepat. Kwee Ciang yang merasa berterima kasih dan kagum kepada Bu Beng, mengirim orang-orang berkuda dan mendahului Bu Beng untuk meberi kabar kepada kawan-kawan bajak agar mereka jangan mengganggu Bu Beng Kiam Hiap. Demikianlah, dua minggu kemudian, setelah menikmati pelayaran di sepanjang sungai yang mempunyai tamasya, alam indah permai itu, mereka telah mendekati laut. Air sungai menjadi liar dan buas. Sungai menjadi lebar dan dalam dan alirannya cepat sekali hingga Cin Eng merasa ngeri. Tapi karena Bu Beng bertenaga besar dibantu oleh Hek Houw yang setia, mereka dapat meluncurkan perahu mereka dengan selamat memasuki lautan. Berbeda dengan air sungai, air laut tenang seakan-akan tak bergerak sama sekali.

Bu Beng dan Hek Houw yang tadinya tidak menggunakan tenaga sama sekali untuk mendayung perahu karena perahu telah laju terbawa aliran sungai hingga mereka hanya mengerahkan tenaga untuk menjaga keseimbangan dan tujuan perahu, kini merasa seakan-akan badan perahu berat sekali karena harus menempuh air diam. Sebetulnya air laut tidak diam sama sekali bahkan dibawah permukaan air terdapat alunan gelombang, tapi permukaan laut karena luasnya tak tampak bergoyang. Pula karena mata mereka yang diatas perahu tadinya menyaksikan air sungai yang berlomba dan dengan buasnya menyerbu kearah laut, kini melihat air laut biru luas itu menjadi berkunang-kunang. Bu Beng dan Cin Eng menggunakan tangan melindungi mata karena matahari bersinar panas berkilauan, dan mencari-cari dimana letak pulau yang dicari itu. Tiba-tiba Cin Eng menunjuk kearah timur laut.

"Koko, lihat itu!" cepat Bu Beng memandang dan nampaklah olehnya sebuah pulau panjang kecil yang berwarna hitam kehijauan.

"Tidak salah lagi, itulah Ang Coat Ho." Kata Bu Beng gembira ketika samara-samar ia melihat puncak sebuah bukit menjulang tinggi di pulau itu.

Tapi tiba-tiba air laut yang tadinya diam bergelombang hebat. Anehnya yang bergelombang hanya air di depan mereka saja, seakan-akan air itu digerakkan dari bawah dan seperti ada apa-apa yang sengaja mencegat mereka! Bu Beng dan Cin Eng bersiap dengan pedang di tangan. Gelombang makin membesar dan alangkah terkejut mereka ketika tiba-tiba dari permukaan air tersembul keluar sebuah kepala ular air yang berwarna hitam! Tapi kalau ular air di sungai paling besar hanya sepaha orang, ular air yang muncul ini sedikitnya tiga kali lebih besar dari yang biasa. Ular air itu menyemburkan air dari mulutnya dan dengn lidah terjulur panjang, ia naik sampai sebatas leher sambil memandang kearah perahu dengan mata berkilat. Kemudian ular itu menyelam kembali, tapi kini ekornya tampak makin mendekati perahu, tanda bahwa ia sedang berenang kearah perahu!

Tiba-tiba ular itu membentur perahu hingga terputar-putar, kemudian ia mengeluarkan kepala yang mengerikan itu di samping perahu, siap untuk menelan penumpangnya. Hek Houw mengangkat dayungnya dan dengan sekuat tenaga ia memukul kepala ular itu, tapi kulit ular itu licin dan keras sekali hingga dengan diiringi suara keras dayungnya patah bahkan gagangnya terlepas dari tangan karena ia merasakan telapak tangannya pedih dan panas. Hek Houw adalah seorang pemuda berangasan dan tak kenal takut. Kejadian ini tak membikin ia kapok bahkan ia mengulurkan tangan mengambil dayung yang tadi digunakan Bu Beng dan siap hendak memukul lagi, tapi Bu Beng yang teringat bahwa dayung itu adalah dayung terakhir yang akan membawa mereka ke pulau segera merebut dayung itu.

"Jangan pukul, kau mau menghancurkan dayung ini lagi?" Bentaknya. Sementara itu, ular laut yang menerima pukulan dayung tadi seakan-akan tak merasa apa-apa, bahkan kini meletakkan kepada dan lehernya di pinggiran perahu hingga perahu menjadi miring! Binatang itu lalu bergerak hendak masuk ke dalam perahu. Cin Eng berseru keras, lalu dengan cepat ia menyambar dan mengayunkan pedangnya membacok. Tapi pedangnyapun terpental kembali, karena leher ular itu tertutup oleh sisik yang keras bertumpuk-tumpuk lagi sangat licin hingga mata pedangnya tidak dapat melukainya. Tapi tenaga Cin Eng cukup membuat ular itu kaget dan bergerak cepat dengan mulut terbuka kearah Cin Eng, Bu Beng secepat kilat menyerang sambil berkata kepada Cin Eng.

"Jangan bacok, tusuk saja!" dan ia gunakan pokiamnya menusuk leher kanan ular itu dengan gerakan Panah Wasiat Menembus Baja.

Sementara itu Cin Eng yang tadinya hendak membacok pula, setelah mendengar nasehat Bu Beng segera merobah gerakannya dan menusuk dari kiri kearah leher ular itu. Benar saja dugaan Bu Beng, ujung pedang yang tajam walaupun tak dapat menembus sisik yang sangat licin dan keras itu, tapi dapat menerobos diantara sisik dan menancap di kulit ular itu! Merasa betapa lehernya tertusuk dari kanan kiri hingga mengeluarkan darah dan sakit sekali, ular itu berontak dan menyentak-nyentakkan kepalanya ke kanan kiri. Tenaganya besar sekali hingga dengan kaget Cin Eng terpaksa melepaskan pedangnya yang masih menancap di leher ular. Tapi Bu Beng yang berkepandaian tinggi cepat menggunakan kegesitan dan tenaganya mencabut pedang yang merah karena darah ular.

Ular itu mendesis dan dari lubang hidungnya keluar asap hitam menyambar. Untung Cin Eng dan Bu Beng dapat berkelit jauh ke belakang. Kemudian ular itu menggerak-gerakkan kepada dan matanya melirik kearah pedang Cin Eng yang masih menancap di lehernya dan ronce pedang warna merah itu melambai-lambai tertiup angin . Ular itu menjadi marah sekali dan menggigit-gigit kearah gagang peadang di leher. Tapi mulutnya tak dapat mencapainya. Ia menjadi bagaikan gila dan mencebur ke dalam air terus berenang kesana kemari setelah menimbulkan gelombang besar dan kacau yang membuat perahu itu terayun-ayun, ia menyelam kedalam air dan lenyap dari pemandangan, hanya meninggalkan darah merah diatas perahu dan gelombang-gelombang kecil, akibat dari amukannya tadi. Bu Beng menghela napas lega dan Hek Houw menelan ludah.

"Sungguh hebat dan berbahaya!" kata Hek Houw sambil menjulurkan lidah. Tapi akhirnya pedang kouwnio tentu dapat membunuhnya."

"Mengapa begitu?" Tanya Cin Eng yang masih berdebar-debar karena kaget tadi.

"Ular itu kebingungan tak dapat melepaskan pedang yang menancap di lehernya hingga ia akan sibuk menggigit-gigit kearah pedan dan lupa makan lupa tidur dan akhirnya ia tentu mati kelaparan!" Bu Beng dan Cin Eng tertawa mendengar obrolan ini.

"Untung kau tadi tidak menggunakan dayung ini untuk memukul lagi," kata Bu Beng, "Kalau dayung ini patah bagaimana kita bisa sampai ke pulau itu?"

kemudian Bu Beng menggunakan dayung itu untuk mendayung sekuat tenaga agar mereka dapat sampai ke pulau yang dituju secepat mungkin. Biarpun pulau itu dari situ tampak dekat saja, tapi setelah mendayung setengah hari baru mereka sampai di pantai pulau sebelah selatan. Mereka segera mendarat dan Hek Houw menarik perahunya ke darat. Mau tak mau Bu Beng merasa ngeri juga ketika memandang keatas pulau yang merupakan bukit dengan puncak yang meruncing keatas karena pulau itu ternyata penuh dengan hutan yang agaknya belum pernah didatangi orang dan masih sangat liar. Karena pada waktu itu matahari telah bersembunyi di balik puncak dan cuaca telah mulai gelap, Bu Beng mengajak Cin Eng dan Hek Houw beristirahat di bawah pohon-pohon Siong yang besar. Tapi Cin Eng berkata,

"Dulu ayah menceritakan padaku bahwa ia ketika datang ke pulau itu telah membuat sebuah pondok kecil dari bamboo di tepi pantai sebelah selatan. Mari kita cari pondok itu agar dapat mengaso dengan tenang." Maka mulailah mereka bertiga mencari pondok itu. Dan benar saja, di tempat yang agak tinggi terdapat sebuah pondok dengan kaki bamboo panjang di empat sudut.

Dengan ringan Bu Beng dan Cin Eng dapat meloncat keatas, memasuki pondok diatas yang terbentang lebar. Tapi Hek Houw yang belum tinggi kepandaiannya telah mencoba beberapa kali belum juga dapat berhasil mencapai pintu karena kaki pondok itu tingginya tak kurang dari dua tombak. Terpaksa sambil tertawa Bu Beng mengulurkan tangannya dan ketika Hek Houw meloncat lagi, ia tangkap lengan Hek Houw dan menariknya keatas. Malam itu mereka sukar untuk dapat tidur nyenyak karena setelah hari menjadi gelap, banyak sekali binatang-binatang buas turun dari bukit dan keluar dari hutan menuju ke pantai. Binatang-binatang itu mengeluarkan suara hiruk-pikuk dan beberapa ekor diantara mereka bahkan jalan hilir mudik di bawah pondok. Tapi setelah fajar menyingsing, semua binatang buas itu kembali keatas bukit memasuki hutan.

"Kita harus berhati-hati nanti kalau naik bukit, tentu banyak pengganggu akan kita hadapi," kata Bu Beng yang bersiap-siap hendak mulai mencari obat untuk tunangannya.

Mereka bertiga mulai naik bukit dengan senjata siap di tangan. Hek Houw membawa sebilah golok besar dan menggunakannya untuk membabat pohon-pohon kecil yang merintangi jalan. Dua kali mereka diganggu binatang buas. Pertama kali seekor harimau besar menyerang Hek Houw tapi harimau itu dengan mudah dapat dibunuh mati oleh Bu Beng. Yang kedua kalinya seekor orang hutan hitam sebesar manusia mencoba menyerang mereka. Tapi kembali binatang ini dapat ditewaskan. Hampir saja mereka melawan mati-matian ketika kawan-kawan orang hutan itu sebanyak seratus ekor lebih datang menyerbu membela kematian kawannya. Tapi tiba-tiba Hek Houw mendapat akal. Ia membuat api dan dengan obor kayu-kayu kering di tangan ia berteriak-teriak keras sehinggga orang-orang hutan itu lari bercerai berai ketakutan.

Setelah melewati tiga buah hutan yang berbahaya dengan selamat akhirnya mereka sampai juga di tempat yang dituju. Mereka mendengar suara air bergemuruh. Ketika dicari, ternyata bunyi itu adalah sebuah air terjun yang curam dengan airnya yang putih bersih. Dan di kanan air terjun itu, di kaki puncak bukit, tampaklah goa yang mereka cari-cari. Hek Houw yang biasanya berhati tabah, menjadi ngeri dan seram juga ketika ia berdiri di depan goa itu. Bu Beng memandang dengan penuh perhatian. Goa itu lebarnya tiga kaki lebih, lubangnya bundar dan gelap. Dinidng luar goa merupakan kepala ular besar dan lubang itu menjadi lubang mulutnya. Batu cadas yang berbentuk kepala ular besar itu mungkin terjadi karena alam,

Tapi bentuknya demikian sempurna seakan-akan ukiran seorangpemahat pandai atau seolah-olah memang tadinya seekor ular tulen yang telah berubah menjadi batu karena lamanya. Ketika Bu Beng hendak masuk, dengan obor kayu kering di tangan, tiba-tiba ia mencium bau amis dan terdengar suara berkeresekan di dalam goa. Ia cepat mundur kembali dan memungut beberapa butir batu lalu melemparkannya kuat-kuat ke dalam. Terdengar batu-batu itu menghantam cadas tapi tidak terdengar suara lain. Bu Beng lalu menyuruh Hek Houw mengumpulkan kayu kering dan membakarnya di mulut goa. Ia kipas-kipas asapyang bergulung-gulung hingga masuk ke dalam goa. Usahanya ini ternyata berhasil baik. Karena terserang asap yang memedihkan mata dan menyesakkan napas itu, penghuni goa terpaksa keluar untuk mencari hawa baru yang segar.

Ketika penghuninya itu keluar dari lubang, terdengar suara mendesir-desir keras dan bau amis makin tajam menusuk hidung. Bu Beng cepat menyuruh Cin Eng dan Hek Houw menyingkir jauh, sedangkan ia sendiri dengan pedang di tangan menanti di luar goa. Tiba-tiba terdengar desis keras sekali dan asap kayu yang tadinya menyerang ke dalam goa, tiba-tiba berbalik dan buyar bagaikan tertiup angin dan kini bergulung-gulung ke atas di luar goa. Maka tampaklah oleh Bu Beng makhluk yang dinanti-nantikannya itu. Seekor ular sebesar batang pohon liu bergerak perlahan keluar goa. Kulit ular itu indah sekali, berwarna merah dan merupakan kembang-kembang dengan bintik-bintik biru dan hitam.

Panjangnya tak kurang dari dua puluh kaki. Kepalanya agak kecil tapi di tengah-tengah kepala itu tersembul sebuah tanduk daging yang dapat bergerak-gerak. Melihat Bu Beng berdiri disitu dengan sikap menantang ular yang sedang marah mencari pengganggunya itu, memandangnya dengan mata tajam, sedangkan lidahnya yang hitam sebentar-sebentar menjilat bibir atas. Tiba-tiba tubuh ular itu mengkerut menjadi oendek dan dengan loncatan kilat bagaikan anak panah besar meluncur dari busurnya, tahu-tahu ia menyerang Bu Beng! Hebat sekali serangan itu karena sambil menerjang mulutnya terbuka memperlihatkan taring-taring tajam dan dari dalam mlut keluar uap hitam yang berbau amis menimbulkan rasa muak. Mak Bu Beng cepat berkelait dan meloncat ke samping.

Heran sekali, tubuh ular yang begitu besar ketika turun keatas tanah dapat diatur sedemikian rupa hingga seakan-akan tubuhnya itu ringan sekali. Bu Beng tidak mau menyia-nyiakan waktu. Sebelum ular dapat membalik, ia maju dan menyabetkan pedangnya. Tapi ular aneh itu tanpa berpaling mengangkat ekornya dan menangkis pedang itu. Tenaganya besar sekali hingga hampir saja pedang Bu Beng terlepas dari pegangannya! Bu Beng terkejut sekali. Pantas saja ayah ibu Cin Eng tak dapat melawan ular ini, karena ia demikian hebat. Bu Beng diam-diam mengakui bahwa tenaganya yang terlatih kalah jauh oleh ular merah ini! Maka ia berlaku hati-hati sekali. Manusia dan binatang itu saling serang mati-matian. Tubuh Bu Beng berkelit kesana kemari dan pedangnya berputar-putar secepat kilat menyambar. Tapi ular merah tak kalah cepat.

Cari Blog Ini