Ceritasilat Novel Online

Kasih Diantara Remaja 15


Kasih Diantara Remaja Karya Kho Ping Hoo Bagian 15




Dan semua ini, semua pelajaran yang tinggi dan aneh ini ditulis di antara filsafat-filsafat tinggi dan sajak-sajak indah. Kalau bukan seorang ahli tak mungkin dapat menangkap dan memisahkan sari pelajaran dari filsafat dan sajak itu! Han Sin sekali baca saja sudah dapat membedakan mana pelajaran silat mana filsafat atau sajak indah. Inilah yang membuat ia amat tertarik sampai lupa waktu dan lupa diri. Apalagi ketika mendapat kenyataan bahwa semua filsafat yang terkandung di situ adalah sejalan dengan filsafat yang pernah ia baca, malah peraturan-peraturan tentang cara bersamadhi juga sejalan dengan cara-cara yang pernah ia latih.

Berbeda dengan Han Sin, Kui Lok bukanlah seorang ahli sastra. Huruf-huruf kuno itu baginya amat sukar dimengerti, apalagi berisi filsafat dan sajak. Oleh karena itu, maka selama puluhan tahun itu ia hanya berhasil menangkap sari ilmu silat Thian-po-cin-keng sebanyak dua belas jurus saja! Juga karena sukarnya inilah maka semenjak kitab itu berada di tangan Lie Cu Seng, belum pernah ada orang yang dapat menangkap seluruh inti sari pelajaran itu dengan lengkap, seperti hal Kui Lok.

Padahal, ketika Han Sin membaca habis, pemuda ini mendapat kenyataan bahwa ilmu silat Thian-po-cin-keng, biarpun hanya terdiri dari tiga bagian saja, namun setiap bagian mempunyai tiga puluh enam gerakan sehingga seluruhnya terdapat tiga kali tiga puluh enam menjadi seratus delapan jurus!

Karena semalam suntuk Han Sin terus membaca, Kui Lok yang terluka hebat itu tidak kuat mengawani terus dan tahu-tahu kakek ini sudah tertidur bersandar dinding di ruangan itu. Menjelang pagi, kakek ini kaget dan tersadar karena mendengar angin bersiutan yang amat aneh. Ia membuka mata dan merasa betapa dadanya amat sakit, akan tetapi segera ia melupakan rasa sakit ini ketika melihat apa yang dilakukan oleh Han Sin.

Pemuda ini ternyata sedang menggerak-gerakkan kaki, digeser ke sana ke mari sambil memukulkan kedua tangan secara lambat sekali dan mulutnya menyebut jurus-jurus Thian-po-cin-keng. Hebatnya, biarpun pukulan-pukulan itu lambat saja, namun angin pukulannya bersiutan seperti pedang menyambar!

Ketika melihat pemuda itu melakukan gerakan Jip-hai-siu-to (Masuk Laut Sambut Mustika), sebuah di antara jurus-jurus dari Thian-po-cin-keng yang telah ia pelajari, Kui Lok melompat. "Eh, tahan....., jangan......!"

Akan tetapi terlambat. Han Sin sudah melakukan gerakan itu, yaitu tangan kiri dipukulkan ke depan lurus-lurus kemudian tangan kanan menyambar dari kanan dan ditarik ke arah dada sendiri secara keras dan mendadak. Kui Lok mengeluh dan membelalakkan mata, akan tetapi..... ia tidak melihat pemuda itu roboh. Dengan penuh keheranan ia lalu melompat maju, melihat Han Sin sudah berhenti bersilat dan sedang memandangnya dengan senyum.

Kui Lok dengan muka pucat meraba lengan dan dada Han Sin. "Kau ". Kau tidak terluka "..? Gerakan tadi itu ".., dulu aku hampir mati karena hawa pukulanku membalik menyerang jantung ".."

Han Sin menggeleng kepala. "Tidak apa-apa, locianpwe. Ilmu ini hebat sekali, teecu merasa semua hawa di dalam tubuh bergerak-gerak tegang. Hebat, hebat ".!" Dan pemuda ini lalu bersilat lagi.

Kui Lok mengeluarkan teriakan perlahan dan ".. roboh terguling. Han Sin kaget dan cepat menubruk, akan tetapi ternyata kakek itu telah menghembuskan napas terakhir dalam keadaan tersenyum. Dari mulutnya mengalir darah yang mulai menghitam. Ternyata bahwa setelah menderita luka hebat dari pukulan Bhok Hong yang beracun, dalam keadaan berbahaya ini Kui Lok sekarang menerima getaran jantungnya saking heran dan girang melihat Han Sin dengan mudah dapat mempelajari Thian-po-cin-keng, maka jantungnya menjadi pecah dan mengakibatkan kematiannya.

"Kui-locianpwe ""!" Han Sin memanggil dan mengguncang-guncang tubuh kurus itu beberapa kali. "Ah, dia sudah mati """ Pemuda itu tenang-tenang saja. Ia merasa kasihan kepada kakek ini, akan tetapi tentang mati hidup, bagi pemuda itu bukan apa-apa. Dengan sepenuh hatinya ia yakin bahwa mati atau hidup bagi manusia adalah hal yang sudah semestinya dan wajar.

Manusia mana yang takkan mati kalau saatnya sudah tiba? Tiba-tiba ia teringat bahwa ia tidak tahu akan jalan keluar dari terowongan itu. Ia teringat pula di dalam kitab kuno bahwa ada jalan darah tertentu di belakang otak yang kalau dihidupkan, akan dapat membuat syaraf bagian kepala bekerja sehingga untuk sejenak tubuh yang sudah mati dapat bekerja kembali, sehingga otomatis mata, telinga, hidung dan mulut berikut pikiran dapat bekerja.

Ia lalu mengerahkan seluruh semangat dan hawa saktinya, miringkan kepala Kui Lok dan menotok jalan darah ini, memutar sedikit ke kiri untuk membuka jalan darah dan memberi tenaga pendorong dengan hawa saktinya untuk menghidupkan atau menjalankan darah yang sudah hampir tak bergerak. Karena dorongan hawa sakti dari lweekang yang tinggi, seketika darah di bagian itu menjadi panas dan dapat didorong menggerakkan syaraf-syaraf di bagian kepala. Benar saja, Kui Lok mengeluh perlahan dan bulu matanya bergerak-gerak.

"Locianpwe, mohon petunjuk terakhir. Bagaimana teecu bisa keluar dari sini?" Han Sin membisikkan kata-kata ini di telinga Kui Lok lalu ia menempelkan telinganya sendiri ke mulut Kui Lok untuk mendengarkan jawaban. Kebetulan sekali bagi Han Sin, memang hal inilah yang jadi pikiran Kui Lok pada saat ia menghembuskan napas terakhir tadi, maka begitu syarafnya bekerja ia berkata lemah.

"Di ruang belakang ada Tiat-lo-han ". Dorong ke kiri.... tiga....." hanya sampai di situ Kui Lok sanggup mengeluarkan kata-kata, darah keburu membeku karena tidak mendapat dorongan dari jantung yang sudah tidak bekerja lagi. Han Sin menarik napas panjang, hatinya lega, juga ada keraguan. Terang bahwa ucapan itu masih belum habis, akan tetapi kata-kata "tiga" itu sudah menjadi pegangan yang kuat baginya. Setelah merebahkan mayat Kui Lok, ia lalu cepat menambah kayu kering pada api obor yang hampir padam dan membuat api unggun.

Hatinya makin tenang karena melihat kayu-kayu kering yang terkumpul di situ, ia merasa yakin bahwa tentu ada jalan keluar, selain jalan keluar dari depan yang sudah teruruk oleh batu-batu besar itu. Mengingat jalan keluar ini, hatinya berdebar. Bhok-kongcu adalah seorang yang mempunyai kekuasaan besar. Apakah tidak mungkin dia mengerahkan ribuan orang untuk menyingkirkan batu-batu itu? Ah, tentu mereka akan menyerbu ke dalam, pikirnya.

Setelah tampak sinar matahari, Han Sin lalu menggunakan pedang Im-yang-kiam pemberian Giok Thian Cin Cu yang selalu dipakai sebagai ikat pinggang, untuk membuat lubang kuburan. Digalinya tanah di dalam ruangan itu dan berkat ketajaman Im-yang-kiam serta tenaga lweekangnya yang besar, tak lama kemudian ia sudah dapat menggali lubang dan mengubur jenazah Kui Lok secara sederhana.

Setelah penguburan selesai, pemuda ini lalu memasuki lorong sampai ia tiba di ruang paling belakang dan alangkah girangnya ketika ia melihat sebuah patung besi berdiri di pojok ruangan. Patung itu kecil saja, paling tinggi dua kaki. Tentu inilah patung Tiat-lo-han, pikirnya. Ia melihat patung itu menempel pada dinding karang. Cepat ia menghampiri dan berbisik, "Tiat-lo-han, harap kau suka menunjukkan jalan keluar untukku."

Lalu dengan kuat ia mendorong ke kiri. Patung itu bergerak miring, akan tetapi memantul kembali dan tidak terjadi sesuatu. Ia teringat akan kata-kata "tiga", maka lalu mendorong lagi untuk kedua kalinya. Alangkah herannya ketika patung itu kini sama sekali tidak bergeming! Ia mengerahkan tenaganya, namun tetap saja tidak dapat mendorong patung itu miring.

Han Sin menjadi gelisah. Ia meneliti patung itu dan meraba-raba. Akhirnya jari-jari tangannya menyentuh ukiran-ukiran pada punggung patung. Cepat ia memeriksa dan ternyata di situ terdapat ukiran beberapa buah huruf kecil yang berbunyi,

"Untuk mendorong ke dua dan ke tiga, pergunakan Heng-pai-koan-im (Puja Kwan Im Dengan Tangan Miring) dan Cio-po-thian-keng (Batu Meledak Langit Gempar) dengan tenaga sempurna."

Han Sin girang sekali. Kiranya demikian. Dia sudah membaca Thian-po-cin-keng dan sekali membaca saja dia sudah hafal sebagian besar dari seratus delapan jurus itu. Di antara yang ia ingat adalah dua jurus yang disebut tadi. Segera ia melakukan jurus Heng-pai-koan-im untuk mendorong patung, dilakukan dengan tangan miring. Akan tetapi, tetap saja patung tidak bergerak, hanya bergoyang sedikit saja. Han Sin kecewa dan ia menduga bahwa tulisan "dengan tenaga sempurna" itu tentu ada artinya. Bisa jadi karena karena belum berlatih betul-betul, jurus Heng-pai-koan-im yang ia lakukan tadi tidak menggunakan takaran tenaga sebagaimana mestinya.

"Aku harus berlatih dulu sampai sempurna, baru berusaha mencari jalan keluar," pikirnya dan ia mulai melakukan pemeriksaan di dalam terowongan itu. Alangkah girangnya ketika ia melihat banyak persediaan makanan di situ, buah-buahan dan di situ bahkan ada daging binatang yang sudah dikeringkan. Juga banyak kayu-kayu kering bahan bakar.

"Ah, Kui-locianpwe tentu telah mengambilnya dari jalan depan. Dengan persediaan ini aku dapat berlatih dengan tenang."

Tidak saja bahan makan, malah airpun banyak di situ, karena dari batu karang di atas menetes banyak sekali air jernih. Dengan menggunakan mangkok butut yang tersedia di situ sebentar saja dapat menadahi air semangkok. Dengan hati amat tenang, Han Sin mulai melatih diri dengan ilmu Thian-po-cin-keng, dari jurus pertama sampai terakhir.

Malah peraturan-peraturan melatih lweekang ia pelajari pula sehingga pengetahuannya tentang ilmu ini sekarang menjadi sempurna, tidak lagi ia melatih lweekang secara "tidak sengaja" seperti dulu. Di samping melatih Thian-po-cin-keng, pemuda ini juga melatih Liap-hong Sin-hoat dan Lo-hai Hui-kiam. Gerakan-gerakannya lincah dan mantap, karena memang bahan-bahan ginkang dan lweekang pada dirinya sudah cukup. Makin matang latihannya, makin girang hatinya. Tidak disangkanya sama sekali bahwa latihan-latihan ilmu silat itu membuat ia merasa enak sekali tubuhnya, membuat semangatnya bangun dan timbul sifat gembiranya. Entah mengapa, ia merasa gembira dan tidak lagi ada sifat pendiam tenang dan agak pemurung seperti yang sudah-sudah.

Ia teringat akan adiknya dan tahulah kini ia mengapa adiknya itu selalu berseri dan bergembira jenaka. Agaknya karena latihan-latihan ilmu silat itulah. Tentu saja hal ini hanya dugaan Han Sin. Sebetulnya hal itu tergantung dari pada watak pembawaan masing-masing, hanya harus diakui bahwa latihan ilmu silat memang betul mendatangkan rasa nyaman dan sehat pada tubuh, juga membangun semangat dan mempertebal rasa kepercayaan kepada diri sendiri, mempertinggi harga diri.

Sebulan lebih Han Sin setiap saat melatih diri. Pemuda ini memang termasuk golongan sedikit orang yang memiliki ketekunan luar biasa. Tiada bosannya ia melatih diri dan belum merasa puas kalau belum sempurna gerakan-gerakannya. Setelah berlatih, baru ia mendapatkan kenyataan bahwa biarpun Thian-po-cin-keng termasuk ilmu silat yang paling tinggi tingkatnya, namun dalam ilmu silat Liap-hong Sin-hoat ajaran Ciu-ong Mo-kai, Im-yang-kun dan Lo-hai Hui-kiam ajaran Giok Thian Cin Cu, masing-masing mengandung keindahan dan keampuhan tersendiri.

Harus ia akui bahwa di antara semua ilmu silat yang sudah ia pelajari, Lo-hai Hui-kiam mengandung sifat yang paling ganas mengerikan, maka diam-diam ia berjanji kepada diri sendiri takkan mempergunakan ilmu ini kalau tidak sangat terpaksa.

Pada suatu pagi ketika ia sedang membakar daging kering untuk dijadikan santapan pagi, ia mendengar suara "duk duk duk" yang terus menerus dan makin lama makin keras suaranya. Suara itu datang dari luar, dari timbunan batu-batu yang menutup jalan keluar. Namun ia tidak memperdulikan dan berlatih terus. Sampai tiga hari ia mendengar suara ini dan pada hari keempat, ia mendengar suara itu sudah keras sekali. Tiap kali terdengar suara "duk", lantai terowongan itu tergetar. Menjelang tengah hari, ia malah mulai mendengar suara-suara orang!

"Ah, Bhok-kongcu tentu mengerahkan tenaga membongkar tempat ini. Hampir empat puluh hari aku berada di sini dan baru ia akan dapat menembus timbunan batu. Hebat memang alat rahasia guha ini, akan tetapi lebih hebat semangat tak kenal mundur dari Bhok-kongcu."

Tentu saja Han Sin tidak ingin diserbu oleh Bhok-kongcu dan kawan-kawannya, maka pemuda ini lalu menjatuhkan diri berlutut, memberi hormat untuk pengabisan kali di depan kuburan Kui Lok, kemudian ia menuju ke ruang belakang, tempat Tiat-lo-han berada.

Ia menjura kepada patung kakek tua itu. "Tiat-lo-han, harap kali ini kau tidak pelit dan mau menunjukkan jalan keluar." Ia, seperti dulu, mendorong ke kiri. Patung itu bergerak dan memantul kembali. Kemudian, Han Sin menggunakan Heng-pai-koan-im dan mendorong sambil mengatur tenaganya dengan tepat. Terdengar bunyi "krekk" dan patung itu bergeser selangkah. Pemuda itu girang sekali.

"Terima kasih......, terima kasih......." katanya sambil tersenyum dan terbayanglah wajah Bi Eng. Memang ia sudah amat rindu kepada adiknya itu dan setelah jalan keluar sudah dekat, ia ingin cepat-cepat keluar untuk mencari adiknya yang tercinta itu.

Pada saat itu, sebelum ia melakukan dorongan ke tiga, terdengar suara keras sekali di depan dan ternyata tumpukan batu-batu sudah dapat diruntuhkan. Lalu disusul suara-suara yang ramai-ramai menyerbu ke dalam, di antaranya ia mendengar suara lengking ketawa yang menyeramkan dari Hoa Hoa Cinjin!

Aneh sekali, pada saat itu mendadak timbul semacam pikiran dalam kepala Han Sin untuk menggoda dan mempermainkan orang-orang itu. Dia sendiri merasa heran. Pikiran untuk mempermainkan orang biasanya hanya terdapat dalam kepala kecil Bi Eng! Kenapa sekarang ia seperti ketularan dan bernafsu hendak mempermainkan orang?

Ia tertawa sendiri, kemudian ia melangkah mundur, membalikkan tubuh dan mengeluarkan pekik menyeramkan. Han Sin sudah mempelajari Coan-im-tong-te (Mengirim Suara Menggetarkan Bumi), maka ketika ia keluarkan ilmu ini dan memekik, suara itu menerjang keluar dan menimbulkan getaran serta gema yang amat hebat sampai lantai terowongan itu tergetar karenanya! Sekali gus suara lengking ketawa yang disertai khikang dari Hoa Hoa Cinjin itu tenggelam dan tidak terdengar lagi.

Han Sin mendengar orang-orang menjerit. Dia tidak tahu bahwa suara pekik yang ia keluarkan itu telah merobohkan belasan orang terdepan yang kurang kuat tenaga lweekangnya!

Suara orang-orang yang riuh rendah tadi sirap, untuk sesaat kemudian terdengar kegaduhan seperti orang-orang melarikan diri disertai jerit ketakutan, "Ada setan....! Ada siluman.....!!" Disusul suara orang lari tunggang-langgang.

Han Sin tertawa geli sampai perutnya kaku. "Ah, kiranya begini menyenangkan menggoda orang. Pantas saja Bi Eng suka sekali menggodaku dan suka main-main."

Pemuda ini merasa cukup menakut-nakuti orang yang pada menyerbu ke dalam guha. Ia mendengar gerengan marah dari Hoa Hoa Cinjin, maka ia pikir tidak baik kalau ia berdiam terus di situ. Ia siap melakukan dorongan ketiga pada patung Tiat-lo-han. Segera ia melakukan jurus Cio-po-thian-keng (Batu Meledak Langit Gempar).

Jurus ini dilakukan dengan pengerahan tenaga lweekang, mendorong ke depan sambil membanting kaki kanan dengan keras. Patung itu terdorong ke kiri dan tiba-tiba dinding batu karang sebelah kanan berlubang sebesar tubuh orang.

Selagi Han Sin kegirangan, tiba-tiba lantai yang diinjaknya nyeplos ke bawah dan tubuhnya ikut terbawa turun! Han Sin kaget sekali namun ia masih dapat menguasai diri, dapat dengan tenang mengerahkan ginkangnya. Ia merasa tubuhnya terus melayang ke bawah sampai beberapa lama, baru lantai itu berhenti dan tubuhnya tentu akan terbanting hancur kalau saja ia tidak menggunakan ginkang.

Dengan ilmu ini, kedua kakinya yang menginjak lantai seperti dipasangi per sehingga ketika lantai berhenti, tubuhnya terpental kembali ke atas setinggi tiga kaki, lalu ia melompat turun dengan tenang. Lantai yang nyeplos itu lebarnya dua meter persegi dan ia mulai meraba-raba di tempat gelap. Di empat penjuru semua dinding batu karang yang kasar. Hal ini menggirangkan hatinya, karena ia merasa sanggup untuk merayap naik.

Setelah mengumpulkan semangat dan mengerahkan hawa sinkang di tubuhnya, pemuda ini lalu mulai merayap melalui dinding kasar, seperti seekor cecak saja! Tiba-tiba ia berhenti di tengah-tengah karena mendengar suara orang-orang bicara di atas. Untuk mendapatkan tempat yang enak ia lalu menggunakan pedang Im-yang-kiam, menggores dan membuat lubang pada dinding itu untuk tempat kaki berpijak dan tangan bergantung. Kemudian ia lalu memasang telinga mendengarkan. Mula-mula ia mendengarkan suara Bhok-kongcu.

"Hemm, dia telah lolos dari sini. Yang ditinggalkan hanya harta pusaka. Tidak ada kitab. Cinjin, bagaimana pikiranmu?"

"Bhok-kongcu, pinto sendiri masih sangsi apakah betul ada kitab yang didesas-desuskan orang itu di sini. Kalaupun ada dan terjatuh ke dalam tangan bocah she Cia itu, apa susahnya kelak kita merampasnya?"

"Hoa Hoa Cinjin, kau terlalu memandang rendah kitab itu. Ayah telah terluka hebat, sampai sekarang masih beristirahat dan sakit, itu saja sudah membuktikan betapa hebatnya orang yang tadinya berada di sini dan telah mempelajari isi kitab. Kalau kita bisa mendapatkan itu, terutama sekali ilmu perang, bukankah itu akan menambah kekuatan untuk melakukan rencana kita, sesuai yang dicita-citakan oleh bangsaku? Ah, betapa inginku dapat lekas-lekas menindas dan mengusir bangsa Mancu yang tiada bedanya dengan anjing penjilat itu dari Tiongkok!"

Han Sin terkejut mendengar ini. Setahunya Bhok-kongcu adalah seorang penting dari pemerintah Mancu, bagaimana sekarang bersama Hoa Hoa Cinjin bicara tentang mengusir bangsa Mancu dari Tiongkok?

"Ssttt, harap kongcu berhati-hati. Kalau ada mata-mata Mancu mendengar, bisa celaka......." terdengar suara Hoa Hoa Cinjin.

"Mereka semua di luar, orang-orang pengecut itu. Siapa berani masuk selain kau dan aku? Bangsa Mancu pengecut, setelah menjajah Tiongkok malah menjilat-jilat orang Han. Mengangkat orang-orang Han sebagai pembesar dan pembantu, malah kaisar tolol itu berusaha melebur bangsanya menjadi orang Han. Coba kau lihat, alangkah lucunya mereka itu bersikap seperti orang Han, berbahasa Han, berpakaian Han. Ah, muak aku melihat mereka itu, kaisar dan orang-orangnya seperti monyet-monyet meniru manusia!"

"Memang menjemukan," kata Hoa Hoa Cinjin. "Pinto sendiri yang mempunyai darah campuran, darah Mongol dan darah Han, tetap merasa lebih tinggi dari pada orang-orang Han. Memang, kongcu. Tiongkok harus diperintah lagi oleh bangsa kita, baru beres."

"Tak usah kau sangsi lagi, saat bangunnya kerajaan Mongol pasti akan tiba! Roh nenek moyang kita, roh Yang Mulia Jenghis Khan pasti akan membantu usaha yang kurencanakan. Pangeran Galdan takkan gagal. Kegagalannya hanya dapat dibeli oleh nyawaku!"

"Ssttt....., pangeran....., eh, kongcu. Harap berhati-hati. Ayahmu sendiri tak pernah berani membuka rahasia pribadi."

"Kau betul, Cinjin. Biarlah mulai sekarang takkan kulupakan lagi bahwa sebelum kerajaan Goan (Mongol) bangun kembali, aku adalah Bhok Kian Teng. Biarlah pangeran Galdan bersabar dan baru muncul kalau kerajaan kita sudah bangun."

"Mari kita keluar, kongcu. Jangan sampai harta pusaka itu tercecer. Tentang bocah she Cia, tak usah khawatir. Pinto akan mengejar dan menangkapnya. Lagi pula......." Makin lama suara Hoa Hoa Cinjin makin perlahan karena mereka berdua sudah mulai pergi meninggalkan ruang itu. Akan tetapi setelah mengerahkan tenaga pendengarannya, Han Sin masih dapat menangkap sedikit lanjutannya "... adiknya berada di tanganmu........"

Han Sin menjadi gelisah. Celaka, kalau begitu Bi Eng masih berada dalam tangan Bhok-kongcu atau sebetulnya adalah pangeran Galdan itu. Hemm, dan kongcu seorang pangeran Mongol yang pada luarnya saja membantu pemerintah baru, akan tetapi sebetulnya hendak mengakangi daratan Tiongkok sendiri, hendak membangun kembali kerajaan Goan-tiauw yang sudah hancur, hendak menegakkan kembali kekuasaan Mongol sebagai penjajah di Tiongkok.

"Aduhai tanah airku........, bangsaku......., alangkah buruk nasib kita. Seorang musuh, penjajah Mancu masih belum dapat kita usir, sekarang sudah ada ancaman penjajah baru, orang-orang Mongol yang hendak kembali menindas kita...."

Jiwa patriot yang sudah mulai bersemi di dalam hati Han Sin memberontak. Segera ia melanjutkan usahanya, merayap naik keluar dari "sumur" itu. Diam-diam ia merasa puas bahwa jatuhnya ke situ malah menguntungkan, karena memberi kesempatan kepadanya untuk mendengarkan percakapan yang maha penting. Apakah untuk keperluan macam inikah maka jebakan sumur itu dibuat oleh pencipta gua itu?

Sementara itu, di luar guha juga terjadi hal-hal yang menarik. Untuk mengetahui ini, baiklah kita menengok apa yang terjadi selama Han Sin terkurung di dalam guha terowongan dan mempelajari isi kitab Thian-po-cin-keng. Telah kita ketahui bahwa Pak-thian-tok Bhok Hong, juga terkurung di sebelah luar terowongan karena pingsan dan terluka oleh tenaga gabungan dari Han Sin dan Kui Lok.

Adapun Bhok-kongcu, ketika melihat mulut guha itu tertimbun batu-batu besar, menjadi amat khawatir akan keselamatan ayahnya. Juga nafsunya untuk mendapatkan harta pusaka rahasia dari Lie Cu Seng makin membesar. Cepat ia memberi perintah kepada Tung-hai Siang-mo untuk pergi memanggil bala bantuan. Tak lama kemudian sebuah pasukan terdiri dari ratusan orang datang ke puncak gunung itu dan pembongkaran batu-batu itu mulai dilakukan. Pekerjaan ini memakan waktu lama sekali karena batu-batu besar itu amat berat.

Setelah sepuluh hari, barulah tubuh Bhok Hong dapat ditemukan dalam keadaan terluka dan payah karena selama sepuluh hari tidak makan dan minum. Hanya seorang dengan kekuatan tubuh luar biasa seperti Bhok Hong dapat menahan derita hebat ini dan tidak menjadi mati karenanya. Namun kakek kosen ini harus beristirahat dan berobat untuk memulihkan tenaganya. Oleh puteranya ia segera dikirim ke kota raja untuk beristirahat di gedungnya.

Kemudian Bhok-kongcu memimpin orang-orang untuk melakukan pembongkaran terus. Pekerjaan ini tidak mudah karena ternyata bahwa batu-batu yang menutup guha sebelah dalam ini malah lebih banyak dan lebih sukar disingkirkan dari pada batu-batu yang menutupi sebelah luar.

Bhok-kongcu yang amat bernafsu untuk segera melihat isi guha dan kalau mungkin mendapatkan kitab rahasia yang ia idam-idamkan, memimpin sendiri pekerjaan ini, malah ia menyuruh orang-orangnya membuatkan sebuah pondok kecil di tempat itu untuk dia bermalam! Iapun mengerahkan tenaga orang-orang kang-ouw. Selain Hoa Hoa Cinjin dan Tung-hai Siang-mo, juga kongcu ini mendatangkan Thian-san Sam-sian dan beberapa orang kosen lagi untuk membantu pekerjaan membongkar batu-batu itu.

Pada suatu pagi ketika Bhok-kongcu sedang membongkar batu-batu yang seperti tiada habisnya itu, tiba-tiba ia mendengar bentakan nyaring, "Bhok-kongcu, di mana kakakku?"

Bhok-kongcu berdebar hatinya dan cepat ia menoleh. Ternyata Bi Eng, gadis pujaan hatinya itu, dengan segala kecantikannya telah berdiri di situ, wajahnya agak pucat namun kecantikannya malah makin menonjol.

Selama ini tak pernah Bhok-kongcu dapat melupakan Bi Eng, akan tetapi karena ia menghadapi pekerjaan yang lebih penting, untuk mendapatkan kitab rahasia yang amat ia rindukan maka terpaksa ia menahan hatinya dan tidak pergi mencari Bi Eng yang sudah dibawa pergi oleh suhunya, Ciu-ong Mo-kai. Sekarang, melihat kedatangan gadis ini tentu saja ia merasa kejatuhan bintang. Cepat ia melangkah maju dengan wajah berseri dihias senyum, lalu menjura dengan sikap amat hormat.

"Ah, Cia-siocia....! Alangkah girang hatiku melihat kau dalam keadaan selamat. Betapa gelisahku selama ini karena tidak tahu kau berada di mana dan bagaimana keadaanmu. Cia-siocia, kebetulan sekali kedatanganmu ini....."

"Mana Sin-ko? Kau apakan dia....??" Bi Eng bertanya pula, matanya membayangkan kegelisahan besar.

"Nona Bi Eng, bagaimana kau bisa menyangka yang bukan-bukan? Aku tidak bermusuhan dengan kakakmu, bagaimana aku bisa mencelakakan dia? Andaikata ada apa-apa antara aku dan dia, melihat kau tentu aku takkan tega mengganggu kakakmu itu."

"Bhok-kongcu, tak usah putar-putar omongan! Di mana dia?" Bi Eng tidak sabar dan membanting kakinya.

"Sabar....., sabarlah, nona manis. Dengan baik-baik kakakmu membawaku ke guha ini. Siapa sangka, sesampainya di sini, ketika kakakmu sudah memasuki guha, tiba-tiba saja batu-batu besar dari atas berjatuhan ke bawah dan menutup guha. Sekarang aku sedang memimpin orang-orangku untuk membongkar batu-batu ini dan menolong kakakmu."

Saking pandainya Bhok-kongcu bersandiwara, Bi Eng yang masih hijau itu tentu saja dengan mudah dapat ditipunya. Gadis ini percaya akan semua cerita Bhok-kongcu, karenanya ia merasa sangat berterima kasih dan ikut membantu membongkari batu-batu dengan hati gelisah.

Ia merasa khawatir kalau-kalau kakaknya takkan dapat ditolong lagi. Dengan susah payah dia telah dapat memberi penjelasan kepada Ciu-ong Mo-kai bahwa dia sama sekali bukannya menjadi sahabat baik Bhok-kongcu seperti yang tadinya dikira oleh kakek pengemis ini, sebaliknya Bhok-kongcu malah hendak membantunya bertemu kembali dengan kakaknya di Lu-liang-san. Ciu-ong Mo-kai menggeleng-geleng kepala ketika mendengar penuturan muridnya.

"SEMUA orang kang-ouw hendak menangkap kakakmu karena ingin merampas surat wasiat peninggalan Lie Cu Seng," kata Ciu-ong Mo-kai Tang Pok kepada muridnya ini. "Dan di antara semua orang kang-ouw itu, yang paling berbahaya hanyalah Bhok-kongcu itulah! Bahkan sebagian besar orang kang-ouw itu bekerja untuk dia. Ah, Bi Eng! Kau tidak tahu orang macam apa adanya Bhok-kongcu yang bernama Bhok Kian Teng itu. Dia putera Pak-thian-tok Bhok Hong. Kepandaiannya tinggi sekali dan dia jahat sekali. Kalau melihat wanita..... hemmm, aku tadinya benar-benar gelisah melihat kau bersama orang macam dia itu."

Wajah Bi Eng memerah ketika mendengar omongan suhunya ini. Cepat-cepat dia berkata, "Suhu, teecu bukan tidak tahu dia seorang pemuda yang kurang baik. Akan tetapi, terhadap teecu dia sopan sekali dan teecu..... teecu bukan macam wanita-wanita yang menjadi pelayan-pelayannya!" Sepasang mata gadis ini bersinar-sinar marah ketika ia berkata demikian.

Gurunya tersenyum, mengangguk-angguk, "Aku percaya kepadamu, muridku. Akan tetapi, pendirianmu itu takkan dapat menyelamatkan kau dari pada bahaya besar yang mengancammu kalau kau berdekatan dengan manusia macam dia. Lain kali, melihat bayangannya saja kau harus cepat-cepat pergi jauh-jauh dari padanya."

Bi Eng mengerutkan alisnya yang bagus. "Sebaliknya, suhu. Sekarang teecu ingin sekali kembali ke sana, ke Lu-liang-san."

Ciu-ong Mo-kai kaget. "Apa katamu? Mau apa kau ke sana?"

"Suhu, Sin-ko berada di sana, tidak tahu bagaimana nasibnya. Bagaimana teecu bisa meninggalkan dia? Teecu maklum bahwa suhu hendak menyelamatkan teecu. Akan tetapi sebaliknya, teecu takkan bisa hidup kalau Sin-ko tidak berada di dekatku. Suhu, teecu harus kembali ke sana." Sepasang mata itu sekarang menjadi basah dan suaranya penuh permohonan.

"Bi Eng, apa kau gila? Di sana ada Hoa Hoa Cinjin, ada Tung-hai Siang-mo, ada Bhok-kongcu dan kaki tangannya yang banyak serta lihai. Ke sana sama artinya dengan memasuki guha harimau yang ganas."

"Teecu tidak takut! Untuk menolong Sin-ko, teecu rela mengorbankan selembar nyawa. Kalau... kalau suhu tidak berani, biar teecu pergi sendiri!" Kata-katanya penuh semangat dan kakek pengemis itu tertawa masam.

"Bi Eng.... bocah bodoh. Kau masih terlalu hijau, tidak bisa membedakan antara takut dan bersiasat. Menghadapi lawan banyak yang lebih kuat dari pada kita, kita harus menggunakan siasat. Bukannya nekat saja mengandalkan keberanian, lalu roboh dan gagal. Kalau kita nekat dan roboh, apa kau kira kakakmu masih akan dapat ditolong?"

Bi Eng kaget dan sadar. Ia lalu menjatuhkan diri berlutut dan memohon, "Suhu, kau harus tolong Sin-ko. Teecu mohon petunjuk bagaimana kita harus menolongnya."

Ciu-ong Mo-kai Tang Pok tertawa. "Tanpa kau mintapun, apa kau kira aku akan membiarkan saja dia dicelakai anjing-anjing penjilat penjajah itu? Bi Eng, setelah mendengarkan penuturan tadi, aku mendapat siasat yang baik sekali. Tak dapat disangkal pula, agaknya iblis muda Bhok Kian Teng itu jatuh hati kepadamu."

"Suhu....!" Wajah Bi Eng menjadi merah sekali.

Tang Pok tertawa. "Apa anehnya! Setiap pria muda melihat kau tentu akan berhal demikian. Hanya memang ajaib sekali kalau iblis muda itu betul-betul jatuh cinta kepadamu dengan wajar, dengan murni. Tadinya kukira orang macam dia sudah mati perasaannya. Tidak bisa mengenal cinta murni lagi, hanya menjadi budak dari nafsu buruknya. Ini kebetulan sekali. Melihat sikapnya terhadapmu yang sudah-sudah, sekarang kau boleh kembali ke Lu-liang-san untuk melihat keadaan. Mungkin dengan adanya kau di sana, keselamatan Han Sin lebih terjamin. Sementara itu, secara diam-diam aku akan melindungimu dan mencari kesempatan baik untuk membawa kau dan kakakmu pergi dari sana."

Demikianlah, karena tahu bahwa diam-diam suhunya mengikuti perjalanannya dan melindunginya, dengan berani dan tenang Bi Eng lalu muncul di depan Bhok-kongcu mencari kakaknya. Tentu saja ia kaget sekali dan cepat membantu membongkar batu-batu ketika diberi tahu bahwa Han Sin tertutup di dalam guha. Ketika Bi Eng tiba di situ, pembongkaran batu-batu sebelah luar guha sudah selesai dan tubuh Pak-thian-tok Bhok-Hong sudah ditemukan dalam keadaan terluka hebat dan sudah dikirim ke kota raja untuk berobat dan beristirahat, maka gadis ini tidak tahu akan hal itu sama sekali.

Pada malam kedua, ketika dengan hati gelisah Bi Eng termangu-mangu di depan pondok memandang ke arah guha yang masih tertutup batu-batu, tiba-tiba dari samping melayang sebuah benda kecil yang ringan ke arah dirinya. Gadis ini mengira ada senjata rahasia, maka cepat ia miringkan tubuh dan mengulur tangan menyambar. Dengan gerakan indah ini ia dapat menangkap benda itu yang ternyata adalah segumpal kertas kecil saja.

Cepat ia membawa kertas itu ke bawah lampu yang tergantung di pinggir pondok setelah ia celingukan ke sana ke mari. Akan tetapi tidak melihat bayangan orang. Ia mengira bahwa tentu surat itu datang dari suhunya. Ia membuka surat dan membaca, terheran ketika melihat tulisan tangan wanita yang halus:

Mendekati Bhok-kongcu lebih berbahaya dari pada maut. Harus cepat-cepat menjauhkan diri. Tunggu sampai pagi, aku berusaha mendapatkan kuda dan menjemputmu pergi dari sini. Urusan kakakmu, aku tentu berusaha menolongnya. Bersiaplah!

Thio Li Hoa

Bi Eng terkejut dan terheran. Pernah ia melihat gadis yang bernama Thio Li Hoa ini, malah ketika Han Sin muncul di Lu-liang-san, dia datang bersama Li Hoa sebagai seorang gadis yang amat baik kepadanya. Sekarang gadis ini yang tadinya telah dirobohkan oleh Bhok-kongcu, tiba-tiba muncul hendak mengajak dia pergi dan berjanji hendak menolong Han Sin. Diam-diam Bi Eng dapat menduga bahwa gadis yang cantik jelita itu tentulah jatuh cinta kepada kakaknya.

"Hemmm, karena cinta kepada Sin-ko, maka kau berusaha menolong aku dan kakakku. Akan tetapi dengan kepandaianmu, menghadapi Bhok-kongcu saja kau tidak berdaya, apalagi di sini banyak sekali kaki tangan Bhok-kongcu seperti Hoa Hoa Cinjin, Tung-hai Siang-mo dan lain-lain? Li Hoa, kau mimpi!"

Demikian kata hatinya sambil meremas hancur surat itu. Betapapun juga, ia harus mendengarkan dulu apa yang hendak direncanakan oleh gadis she Thio itu dalam usahanya. Aku akan menanti sampai pagi, siapa tahu dia betul akan dapat menolong Sin-ko, pikirnya. Gurunya sendiri mengatakan bahwa Bhok-kongcu adalah seorang pemuda jahat sekali. Sekarang Li Hoa bilang bahwa Bhok-kongcu lebih berbahaya dari pada maut.

Akan tetapi mengapa terhadap dia pemuda itu begitu baik dan halus? Betulkah pemuda seramah dan sehalus itu akan mengganggunya? Mukanya menjadi merah dengan sendirinya kalau ia teringat betapa suhunya dengan terus terang bilang bahwa Bhok-kongcu cinta kepadanya! Apa itu cinta? Dia tak pernah merasa, kecuali cinta kasihnya terhadap Han Sin. Dia selalu terkenang kepada Han Sin dan selalu ingin berdekatan, merasa sunyi dan hampa kalau berjauhan. Dan dia rela berkorban apapun juga, bahkan nyawanya, untuk kakaknya itu.

Bi Eng lalu teringat kepada Yan Bu. Juga pemuda itu amat baik, amat ramah dan halus. Dan pandang mata pemuda itu..... eh, kok ada persamaannya dengan pandang mata Bhok-kongcu jika memandang kepadanya. Bersinar-sinar, berseri-seri namun mengandung suatu kelembutan dalam sinar mata itu, sesuatu yang mengharap, memohon dan...... seperti mata orang minta dikasihani.

"Aku tidak tahu tentang cinta," pikirnya kemudian, bingung dan tidak perduli lagi. "Apakah Yan Bu dan Bhok-kongcu mencintaiku, masa bodoh. Aku suka kepada Yan Bu, akupun.... tidak bisa membenci Bhok-kongcu, akan tetapi cinta? Entahlah. Akan kutanyakan kepada Sin-ko tentang cinta ini kelak....."

Setelah malam berganti pagi, Bhok-kongcu dan orang-orangnya mulai lagi dengan pekerjaan membongkari batu-batu. Seperti biasa pada setiap pagi, pemuda ini menemui Bi Eng untuk diajak sama-sama ke tempat pekerjaan. Akan tetapi gadis ini masih belum keluar dari kamarnya. Ketika ia mengetuk dan memanggil-manggil, Bi Eng menjawab dari dalam.

"Bhok-kongcu, harap kau berangkat lebih dulu. Nanti aku akan menyusul!"

"Kau kenapakah, nona? Apakah tidak enak badanmu? Ataukah kau terlalu lelah? Biar aku panggilkan Hoa Hoa Cinjin, agar kau diperiksa dan diberi obat....."

Bi Eng menarik napas panjang di dalam kamarnya. Suara pemuda itu begitu halus, lemah lembut dan penuh perhatian, terdengar amat khawatir dan mencinta. Betulkah dugaan Ciu-ong Mo-kai bahwa Bhok Kian Teng ini mencintainya? Buru-buru ia menjawab.

"Tidak usah, Bhok-kongcu. Aku tidak apa-apa, hanya lelah sedikit dan malas bangun. Nanti kalau sudah enakan, tentu aku akan menyusul. Kau pergilah!"

Dari dalam kamar terdengar betapa pemuda itu masih belum mau pergi, agaknya ragu-ragu. Kemudian terdengar suaranya, "Aku.... aku amat khawatir, jangan-jangan kau sakit. Aku ingin sekali melihatmu, nona Bi Eng. Kalau perlu akupun tidak pergi ke tempat pekerjaan. Ataukah aku panggil seorang pelayan untuk menemanimu dan melayanimu?"

"Tak usah...... tak usah, aku betul-betul tidak apa-apa." Untuk melenyapkan kecurigaan orang Bi Eng lalu membuka pintu kamarnya. Ia melihat pemuda itu seperti biasa, sudah berpakaian rapi dan bersih, wajahnya yang putih tampan itu nampak gelisah dengan sepasang mata penuh perhatian memandangnya. "Aku tidak apa-apa, hanya ingin mengaso lebih lama. Kau berangkatlah dulu, nanti aku menyusul."

Bhok Kian Teng dengan penuh kasih sayang dalam pandang matanya menatap wajah gadis itu. Rambut Bi Eng masih kusut, juga pakaiannya kusut karena memang belum berganti pakaian dan belum menyisir rambut. Akan tetapi dalam pandang mata pemuda yang sudah jatuh hatinya itu, ia nampak makin jelita. Melihat betapa sepasang pipi gadis itu kemerah-merahan dan segar, kekuatiran Kian Teng lenyap dan berserilah wajahnya.

"Ah, syukur kau tidak apa-apa, nona. Kalau kau merasa lelah tidurlah lagi. Tak usah kau membantu. Kalau sudah merasa enakan, dan kau ingin melihat, kau datang melihat-lihat saja orang bekerja, tak perlu kau mengeluarkan tenaga membantu mereka. Nah, aku pergi dulu." Ia menjura dan mengundurkan diri.

Bi Eng bernapas lega. Semua orang sudah pergi, leluasa baginya untuk menanti datangnya Li Hoa di situ. Gadis ini sama sekali tidak mengira bahwa Bhok Kian Teng adalah seorang pemuda yang cerdik luar biasa. Ketika melihat gadis yang dikasihinya itu muncul dalam keadaan sehat dan segar dengan pipi kemerahan, malah timbul kecurigaan di dalam hatinya.

Gadis ini amat rindu kepada kakaknya dan saking besar keinginan hatinya melihat sikap kakaknya tertolong dari dalam guha, setiap hari sampai ikut-ikut mendorong batu-batu dengan kedua tangan sendiri. Kecuali kalau jatuh sakit, tak mungkin gadis itu mau menghentikan bantuannya.

Sekarang melihat keadaannya demikian segar dan sehat, kenapa berdiam saja di kamar dan mengajukan alasan tidak enak badan? Akan tetapi di depan Bi Eng ia tidak menyatakan apa-apa, malah segera pergi dan meninggalkan gadis itu seorang diri di dalam pondok.

Belum lama Bi Eng berada seorang diri di dalam pondok yang telah menjadi sunyi itu, ia mendengar suara kaki kuda di depan pondok, disusul suara perlahan seorang wanita, "Adik Bi Eng, lekas keluar!"

Ketika Bi Eng berlari keluar dari pondok kecil itu, ia melihat dua orang gadis cantik yang menunggang dua ekor kuda, seekor putih, seekor hitam. Gadis yang seorang bukan lain adalah si cantik Li Hoa yang sudah pernah dilihatnya. Akan tetapi gadis kedua belum pernah ia melihatnya. Gadis kedua ini lebih muda dari pada Li Hoa, juga cantik dan matanya bersinar gagah.

"Bi Eng, dia ini adalah adikku, Thio Li Goat." Gadis bernama Li Goat itu tersenyum manis kepada Bi Eng, lalu ia melompat turun dari kuda hitamnya dan berkata.

"Enci Bi Eng, kau pakailah kudaku. Biar aku membonceng enci Li Hoa."

Bi Eng ragu-ragu. Hatinya tertarik melihat keramahan dua orang gadis cantik itu, akan tetapi karena dia tidak mengenal mereka, tentu saja dia tidak merasa yakin apakah dia harus ikut mereka. Li Hoa maklum akan isi hati Bi Eng, maka dengan suara perlahan dia berkata cepat,

"Bi Eng, tak usah kau ragu-ragu. Kau berada dalam bahaya besar. Bhok-kongcu sengaja menahanmu untuk memaksa kakakmu menyerahkan kitab rahasia yang berada di dalam guha. Marilah kau ikut dengan kami dan nanti kita berunding bagaimana baiknya untuk menolong kakakmu."

Biarpun masih agak ragu-ragu, akan tetapi Bi Eng dapat merasa dalam hatinya bahwa dua orang ini tak mungkin termasuk orang-orang jahat. Maka sudah dengan sendirinya, ia lalu meloncat naik ke atas punggung kuda hitam yang tangkas itu, sedangkan Li Goat juga meloncat ke atas punggung kuda Li Hoa, dengan sigap tubuhnya melayang dan tahu-tahu ia sudah membonceng di belakang encinya. Melihat gerakan Li Goat yang ringan dan tangkas, diam-diam Bi Eng kagum dan maklum bahwa dua orang enci adik itu memiliki kepandaian silat yang tinggi.

"Mari kita pergi dari sini sebelum mereka mengetahui," ajak Li Hoa. "Kalau kita sudah berhasil lari, mereka takkan mampu mengejar kuda-kuda pilihan kita ini!"

Bi Eng menarik kendali kudanya dan kuda itu melesat ke depan mengejar kuda putih yang ditunggangi oleh Li Hoa dan Li Goat. Akan tetapi pada saat itu, berkelebat bayangan orang dibarengi bentakan,

"Nona Cia Bi Eng, jangan kau percaya bujukan mereka!"

Kuda hitam itu berjingkrak, mengangkat kedua kaki depan ke atas ketika Bi Eng yang terkejut menahan tali kendalinya. Juga dua orang gadis itu kaget sekali. Tadi secara diam-diam mereka telah mengintai dan melihat Bhok Kian Teng bersama pembantu-pembantunya sudah pergi ke guha, kenapa pemuda ini tahu-tahu muncul di situ?

Memang Bhok-kongcu orangnya cerdik. Dia memang pergi ke guha, akan tetapi cepat kembali, secara diam-diam dan bersembunyi di dekat pondok mengintai hingga ia melihat segala yang terjadi di depan pondok.

"Orang she Bhok! Biarkan dia pergi! Dia apamukah maka kau berani menahan seorang gadis? Apa kau tidak malu?" bentak Li Hoa dengan marah.

"Dia tawananku dan kalian ini bocah-bocah nakal tak usah mencampuri urusanku!" jawab Bhok Kian Teng.

"Tawanan......?" Bi Eng berseru kaget. "Aku bukan tawanan! Bagaimana kau berani bilang demikian?"

"Nona yang baik, jangan kau mendengarkan bujukan mereka. Mereka itu dua orang gadis yang jahat, suka mengacau......."

Kasih Diantara Remaja Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo



"Kurang ajar kau! Kau kira kami boleh kau hina sembarangan? Awas senjata!" bentak Li Goat yang menggerakkan tangan kanannya dan dua buah benda yang berkilauan dengan cepat sekali menyambar ke arah tubuh Bhok-kongcu, mengarah dua jalan darah yang berbahaya. Itulah senjata rahasia Lian-hoa-piauw (Piauw Bunga Teratai), yang selain indah bentuknya, menyerupai bunga dengan dironce merah, juga amat cepat sambarannya dan amat berbahaya.

Namun Bhok-kongcu adalah seorang pemuda yang memiliki kepandaian tinggi. Sambil mengeluarkan suara tawa mengejek, dengan mudah saja ia miringkan tubuh dan dua buah senjata rahasia itu menyambar lewat di atas punggungnya.

Sebelum Bi Eng sempat melarikan kudanya lagi, tiba-tiba Bhok-kongcu yang berada di depan kudanya itu menggerakkan tangan menarik kendali kuda. Kuda hitam kesakitan dan merontah-rontah sehingga tak dapat ditahan lagi tubuh Bi Eng terlempar dari punggungnya.

Alangkah kaget dan marah hati Bi Eng ketika tahu-tahu ia telah diterima oleh kedua lengan tangan Bhok-kongcu, dipondong sehingga tidak terbanting jatuh. Ia merontah-rontah dalam pelukan pemuda itu dan berteriak-teriak, "Lepaskan aku! Lepaskan!"

Akan tetapi mana Bhok-kongcu mau melepaskannya? Malah pemuda ini lalu menotok jalan darah gadis itu sehingga membuat Bi Eng lemas tak berdaya lagi. "Bi Eng, kau harus percaya kepadaku, harus! Jangan dengarkan obrolan orang lain."

Kemudian ia berseru kepada orang-orangnya dengan suara tinggi. "Ji-wi lo-enghiong Tung-hai Siang-mo! Tolong tangkap dua orang gadis itu!"

Pada saat itu, mendadak terdengar suara keras, "Bocah she Bhok, jangan kau kurang ajar terhadap muridku!" Muncullah tubuh Ciu-ong Mo-kai dan dari mulutnya tersembur arak ke arah muka Bhok-kongcu.

Pemuda ini maklum akan kelihaian pengemis tua ini. Maka ia lalu melempar tubuh Bi Eng ke bawah pohon sambil mengelak dari serangan semburan arak, tangannya mencabut keluar kipasnya. la masih tersenyum mengejek melihat pengemis itu. "Aha, kiranya Ciu-ong Mo-kai si pengemis kelaparan yang datang. Setelah menerima hajaran, kau masih belum kapok dan berani muncul lagi?"

Ciu-ong Mo-kai mengeluarkan seruan keras dan dengan marah menyerang dengan guci araknya, dihantamkan ke arah kepala Bhok-kongcu. Pemuda ini cepat mengelak dan membalas dengan totokan maut yang dimainkan dengan kipasnya. Sebentar saja dua orang jago tua dan muda ini saling gempur dengan hebatnya.

Bhok-kongcu boleh jadi seorang pemuda yang pada jaman itu jarang dicari tandingnya. Sebagai putera tunggal dari Pak-thian-tok, tentu saja ia memiliki kepandaian yang tinggi juga, berkat kecerdikan otaknya ia telah banyak mempelajari ilmu-ilmu silat yang luar biasa. Sayangnya dia adalah seorang pemuda mata keranjang yang terlalu suka menuruti nafsu hatinya sehingga dalam hal lweekang, tenaganya belum dapat dikatakan sempurna.

Sekarang ia menghadapi seorang tokoh besar seperti Ciu-ong Mo-kai, tentu saja biarpun dengan ilmu silatnya ia dapat melakukan perlawanan dan bahkan dapat membalas dengan serangan-serangan maut, namun perlahan-lahan ia terdesak oleh hawa pukulan-hawa pukulan yang amat kuat dari pengemis sakti itu. la mencoba hendak mempergunakan senjata rahasianya yang beracun, akan tetapi Ciu-ong Mo-kai Tang Pok tidak memberi kesempatan kepadanya.

Sementara itu dua orang iblis laut timur, Tung-hai Siang-mo, setelah mendapat perintah Bhok-kongcu tanpa ragu-ragu lagi lalu melompat maju dan kuda putih yang ditunggangi oleh Li Hoa dan Li Goat kaget dan berdiri di atas kedua kaki belakang ketika sepasang iblis itu menghadang di depannya.

Sambil mempertahankan diri agar jangan jatuh dari atas kuda, Li Hoa membentak, "Tung-hai Siang-lo-enghiong, apakah kalian berani kurang ajar kepada kami? Ayah akan menghukum kalian!"

Tentu saja Tung-hai Siang-mo sudah mendengar tentang kekuasaan Thio-taijin, ayah kedua orang gadis ini, akan tetapi merekapun tahu bahwa kedudukan Bhok-kongcu lebih tinggi dari pada ayah mereka. Maka mendengar ancaman Li Hoa ini, Ji Kong Sek tersenyum. "Heh-heh, nona berdua yang manis, mana kami berani kurang ajar terhadap puteri-puteri Thio-taijin? Kami hanya menerima tugas dan perintah Bhok-kongcu supaya kalian jangan lari pergi. Kalau ayah kalian marah, biarlah marah kepada kongcu. Heh-heh-heh!"

Li Hoa mengeluarkan seruan marah. la tahu bahwa percuma saja menggunakan nama ayahnya untuk menggertak, dan iapun tahu pula bahwa kalau ayahnya tahu akan sepak-terjangnya di sini terhadap Bhok-kongcu dan orang-orangnya, ayahnya malah akan marah kepadanya! Maka tanpa banyak cakap lagi gadis yang berani ini lalu memberi isyarat kepada adiknya. "Li Goat serang!"

Seperti dua ekor singa betina, enci dan adik ini lalu melompat turun dan menerjang Tung-hai Siang-mo dengan pedang mereka. Ji Kong Sek dan Ji Kak Touw tertawa mengejek. Dengan girang mereka lalu melayani dua orang nona muda yang cantik-cantik ini, menghadapi permainan pedang mereka dengan tangan kosong saja. Memang tingkat kepandaian sepasang iblis ini tentu saja jauh lebih tinggi, maka dengan enak dan mudah mereka dapat mempermainkan Li Hwa dan adiknya.

Di lain pihak, Bhok-kongcu yang lihai itu ternyata tidak kuat menghadapi amukan Ciu-ong Mo-kai yang hendak menolong muridnya. Jago tua ini mengeluarkan ilmu silatnya Liap-hong-sin-hoat dan setelah dengan mati-matian mempertahankan diri, akhirnya Bhok-kongcu mulai terdesak dan permainan kipasnya kalang-kabut. Pada jurus ketiga puluh, dengan seruan keras sekali Ciu-ong Mo-kai mengayun guci araknya ke arah Bhok-kongcu sambil membentak, "Pangeran keji, mampuslah!"

Bhok-kongcu terkejut sekali melihat sambaran guci yang amat tidak tersangka-sangka dan cepat sekali ini. la mengangkat kipas menangkis sambil menusukkan jari-jari tangan kirinya ke arah mata lawannya. Akan tetapi mendadak dari mulut guci itu melesat keluar segumpal arak yang menyambar ke arah muka Bhok-kongcu!

Pemuda ini berusaha miringkan kepala, namun masih ada sebagian arak yang mengenai pipi dan matanya, sehingga terpaksa ia meramkan mata. la merasa pipinya pedas sekali dan serangan jari-jari tangan kirinya tidak mengenai sasaran. Adapun kipas di tangan kanannya bertemu dengan guci, mengeluarkan suara keras dan....... senjata istimewa di tangannya itu patah-patah! Otomatis Bhok-kongcu melompat mundur ke belakang dan gerakannya ini amat indah dan baik karena kalau tidak demikian, tentu ia telah tertimpa bencana oleh serangan susulan yang dilakukan oleh Tang Pok.

Pada saat itu, muncul Hoa Hoa Cinjin yang mengeluarkan suara marah, "Tang Pok pengemis kelaparan! Pinto lawanmu, bukan orang-orang muda!"

Angin menyambar dahsyat ketika Hoa Hoa Cinjin menyerang. Tosu ini tidak berlaku sungkan lagi. Tangan kanannya menggerakkan pedangnya yang bersinar hijau, sedangkan tangan kiri dikepal dan menyerang pula dengan pukulan-pukulan jarak jauh.

"Tosu keparat! Siapa takut padamu?" Ciu-ong Mo-kai Tang Pok yang maklum akan kelihaian Hoa Hoa Cinjin, segera melayani tosu ini dengan sungguh-sungguh. Pedang hijau di tangan tosu itu sudah lihai, akan tetapi pukulan-pukulan tangan kirinya lebih berbahaya lagi. Namun, dengan Ilmu Silat Liap-hong-sin-hoat, Tang Pok masih dapat membuat Hoa Hoa Cinjin yang lihai itu menghadapi tembok baja dan sukarlah baginya untuk mengalahkan pengemis sakti ini.

Menyaksikan bahwa kekuatan kedua fihak berimbang Bhok-kongcu menjadi penasaran dan tidak sabar lagi. Li Hoa dan Li Goat kini sudah roboh tertawan oleh Tung-hai Siang-mo, akan tetapi dua orang kakek ini tentu saja tidak sudi membantu Hoa Hoa Cinjin, karena merekapun orang-orang berkedudukan tinggi sehingga memalukan mengeroyok lawan. Maka setelah merobohkan Li Goat, dua orang tua inipun hanya berdiri sambil tertawa-tawa menonton. Bhok-kongcu lalu minta bantuan mereka untuk mengantar Li Hoa, Li Goat, dan Bi Eng ke kota raja.

"Serahkan dua orang gadis Thio itu kepada ayah mereka dan ceritakan semua sepak-terjang mereka yang tidak semestinya, dan nona Cia ini harap ji-wi (kalian) bawa ke rumahku, biar mengaso di sana," pesannya. Tung-hai Siang-mo menjadi girang dengan tugas yang ringan ini, maka mereka segera membawa tiga orang nona muda itu pergi turun gunung.

Setelah membereskan tiga orang nona itu, Bhok-kongcu lalu maju membantu Hoa Hoa Cinjin. Kipasnya sudah rusak, maka kini ia membantu dengan serangan-serangan senjata rahasia ke arah Ciu-ong Mo-kai. Tentu saja serangan-serangan yang cukup dahsyat ini membuat Tang Pok menjadi kewalahan.

Kakek pengemis ini sudah merasa bingung melihat Bi Eng dibawa pergi Tung-hai Siang-mo, dan menghadapi desakan Hoa Hoa Cinjin saja sudah amat berat. Sekarang ditambah lagi dengan serangan-serangan senjata rahasia berupa jarum-jarum halus beracun dari Bhok-kongcu, ia kaget dan cepat menyemburkan arak untuk melindungi dirinya. la tahu bahwa senjata rahasia pemuda ini tak boleh dipandang ringan. Sebagai putera tunggal Pak-thian-tok (Racun Utara), tentu saja senjata rahasia itu mengandung racun yang amat jahat.

Adapun Hoa Hoa Cinjin yang melihat keadaan lawannya terdesak, cepat memperhebat serangannya, malah iapun kini menggunakan jarum-jarum hijau diseling dengan pukulan-pukulan Cheng-tok-ciang!

"Curang.... curang....!" Berkali-kali Ciu-ong Mo-kai Tang Pok berseru sambil membuang diri ke kanan kiri, namun percuma saja karena hujan serangan itu akhirnya membuat pundak kirinya terkena jarum hijau yang dilepas dari jarak dekat oleh Hoa Hoa Cinjin.

Tang Pok menggigit bibirnya menahan sakit. Seluruh lengan kirinya menjadi lumpuh oleh racun jarum itu. Cepat ia menotok jalan darah di leher kiri dan mengerahkan tenaga untuk menahan menjalarnya racun, ia memutar guci araknya dengan pukulan Ciu-san-cam-liong (Dewa Arak Membunuh Naga), jurus terakhir yang paling dahsyat dari Liap-hong Sin-hoat.

Guci arak itu berputar cepat sekali mengarah kepala Hoa Hoa Cinjin dan terus menyerang Bhok-kongcu yang berada agak jauh. Dua orang ini kaget dan cepat meloncat mundur melihat dahsyatnya serangan guci arak ini dan diam-diam Hoa Hoa Cinjin kagum sekali melihat kakek pengemis yang sudah terluka oleh jarum hijaunya itu ternyata tidak roboh malah dapat melakukan serangan balasan demikian hebatnya.

"Mo-kai, kau hebat......!" Tak terasa lagi ia memuji sambil melompat mundur.

Tang Pok hanya tertawa bergelak, lalu tubuhnya melesat jauh, lari dari situ. Bhok-kongcu dengan gemasnya menghujankan senjata rahasia ke arah pengemis itu. Akan tetapi jaraknya sudah terlalu jauh dan dengan sekali mengibaskan ujung lengan baju kanannya, semua jarum itu dapat diruntuhkan.

"Jangan-jangan dia nanti mengejar Tung-hai Siang-mo dan merampas muridnya," kata Hoa Hoa Cinjin.

Bhok-kongcu menggeleng kepalanya. "Selain dia tidak berdaya menghadapi dua orang tua itu, juga mereka diantar oleh sepasukan pengawal bersenjata yang sudah dipilih. Tak usah khawatir, paling baik kita segera mengeluarkan pemuda she Cia itu."

Demikianlah, dengan bekerja siang malam, Bhok-kongcu akhirnya berhasil membongkar semua batu-batu yang menutup terowongan dan seperti telah diceritakan di bagian depan, Bhok-kongcu dan Hoa Hoa Cinjin menyerbu ke dalam, akan tetapi mereka berdua tidak mendapatkan apa-apa, bahkan tidak melihat adanya Cia Han Sin yang sudah bersembunyi di dalam sumur!

Kita kembali kepada Han Sin. Seperti telah kita ikuti bersama, pemuda ini telah menggembleng diri dalam terowongan, mempelajari ilmu silat tinggi Thian-po-cin-keng. Tanpa ia sadari sendiri, ia telah mewarisi ilmu yang hebat dan berkat latihan-latihannya, kini hawa sinkang di dalam tubuhnya menjadi berlipat ganda kuatnya.

Setelah ia mendengar percakapan antara Bhok-kongcu dan Hoa Hoa Cinjin, dan mengerti bahwa Bhok-kongcu sebenarnya adalah Pangeran Mongol yang bercita-cita merampas kembali negara Tiongkok, jiwa patriotnya bergolak. Ia melihat ancaman hebat mengancam tanah air dan bangsanya, yang tidak saja kini dicaplok oleh penjajah Mancu, malah terancam pula oleh orang-orang Mongol yang ingin menjajah kembali.

Akan tetapi saat itu, perhatiannya tertumpah pada nasib adiknya yang ia dengar telah terjatuh ke dalam tangan pangeran Mongol, Bhok-kongcu itu. Maka dengan kemarahan ditahan-tahan, pemuda ini lalu berjalan keluar dari terowongan, tidak jadi melarikan diri!

"Awas kalian kalau adikku diganggu.....!" gerutunya. Kesabaran manusia ada batasnya dan pemuda ini yang biasanya amat sabar, saking seringnya diganggu dan setelah mendapat gemblengan di dalam terowongan, dibangunkan semangatnya oleh Thai-lek-kwi Kui Lok, kini benar-benar menjadi marah.

Pada saat itu Bhok-kongcu dengan kecewa karena pekerjaan berat yang sudah dilakukan itu ternyata tidak mendatangkan hasil yang amat diharapkan, yaitu kitab rahasia yang ia rindukan, sedang mengatur orang-orangnya untuk mengangkuti harta pusaka yang banyak terdapat di dalam guha. Pekerjaan ini dibantu oleh Thian-san Sam-sian, Tok-gan Sin-kai, dan lain-lain jagoannya. Tung-hai Siang-mo sudah pergi mengantar tiga orang nona ke kota raja, sedang Hoa Hoa Cinjin sudah pergi melakukan pengejaran terhadap Cia Han Sin yang mereka sangka sudah kabur dari dalam guha.

DAPAT dibayangkan betapa kaget dan heran hati mereka ketika tiba-tiba mereka melihat Han Sin berjalan keluar dari dalam guha. Wajah pemuda ini merah sekali, sepasang matanya yang luar biasa sinarnya itu menyapu semua orang, amat menyeramkan. Pakaiannya kumal dan compang camping, rambutnya kusut tidak terpelihara. Akan tetapi sekali melihatnya, Bhok-kongcu segera mengenalnya. Pangeran muda ini amat terkejut dan heran, akan tetapi ia segera dapat menekan perasaannya dan dengan wajah tersenyum ia melangkah maju dan menyambut Han Sin dengan suara ramah,

"Ah, kiranya saudara Cia masih selamat. Syukur...., syukur......! Kami telah bersusah payah berusaha menolongmu, membongkar semua batu untuk sebulan lebih lamanya." Akan tetapi Bhok-kongcu menghentikan langkahnya ketika melihat muka pemuda itu yang kelihatan mengancam dan marah.

"Di mana Bi Eng? Di mana adikku itu?" Pertanyaan ini keluar dari mulut Han Sin dengan nada penuh ancaman dan sinar matanya berapi-api.

Cari Blog Ini