Ceritasilat Novel Online

Dewi Sungai Kuning 2


Dewi Sungai Kuning Karya Kho Ping Hoo Bagian 2




"Tapi, Suhu. Mereka ini masih belum berpengalaman. Teecu merasa khawatir kalau-kalau mereka akan terjebak oleh tipu muslihat buaya itu."

"Jangan cemas, aku sendiri akan mengamat-amati mereka, sekalian melihat siapakah sebenarnya orang kurang ajar itu." Mendengar bahwa orang tua itu sendiri hendak ikut pergi dengan kedua anak muda itu, tenanglah pikiran Ui Hauw. Tetapi, biarpun dia dan anak buahnya tak berani membantah, namun di dalam hati mereka itu kurang puas karena tidak dapat menghantam musuh yang dibenci itu dengan tangan sendiri. Sementara itu, Yan Bun dan Thian Hwa segera pergi ke sungai bersama Thian Bong Sianjin.

Mereka bertiga naik perahu kecil yang biasa dinaiki Thian Bong Sianjin dan Thian Hwa. Kakek tua itu duduk di tengah-tengah sambil berpeluk tangan dan memejamkan mata, sedangkan Yan Bun di belakang dan Thian Hwa di depan mengayuh biduk kecil itu dengan cepat sekali menuju ke Tikungan Maut. Kedatangan biduk kecil yang ditumpangi oleh seorang kakek dan dua orang anak muda itu cepat sekali diketahui oleh Ma Tek San yang telah menyebar mata-matanya di sepanjang sungai. Dia lalu bersiap karena mendengar bahwa yang datang itu adalah utusan-utusan dari Ui Hauw, hingga dia dapat menduga bahwa mereka tentulah orang-orang yang memiliki kepandaian. Tetapi sedikit pun dia tidak takut, karena sesungguhnya yang membuat dia berani mengganggu anak buah Ui Hauw adalah karena kedatangan suhengnya yang ikut menggabungkan diri padanya.

Suhengnya ini adalah seorang hwesio gundul bernama Lauw Keng Hwesio. Karena melakukan pekerjaan terkutuk, di antaranya mengganggu anak bini orang dan merampok, dia dimusuhi oleh orang-orang gagah dari kotanya sehingga terpaksa dia melarikan diri. Kemudian pendeta palsu ini mendengar tentang adik seperguruannya yang kini menjadi kepala bajak yang makmur, maka segera dia menyusul dan ikut membonceng adik seperguruannya itu. Tentu saja Ma Tek San merasa girang sekali karena dengan adanya suhengnya ini, kedudukannya semakin kuat sehingga dia tak perlu lagi takut kepada Ui Hauw. Thian Bong Sianjin dan kedua anak muda yang naik biduk kecil itu tahu bahwa biarpun tikungan itu nampak sunyi-sunyi saja, namun di kedua tebing sungai yang curam itu,

Di atas batu-batu karang yang tinggi di kanan kiri, tampak bergerak orang-orang bersembunyi di balik batu. Tetapi baik kakek tua itu dan kedua anak muda itu, mereka tenang-tenang saja seakan-akan tidak ada sesuatu yang mengancam keselamatan mereka. Kalau dulu Thian Hwa masih harus menggunakan seluruh kepandaian untuk membawa biduknya melalui Tikungan Maut itu dengan selamat, kini gadis itu sudah biasa lewat di situ dan dapat melalui segala bahaya tikungan itu dengan mudah. Apalagi sekarang ada Yan Bun yang membantunya, maka ketika biduk kecil melewati tikungan itu, biarpun air datang menghantam dari depan sangat cepat dan kuatnya, namun keduanya dapat membawa biduk menerjang aliran air dan menikung dengan selamat. Bahkan putaran-putaran air itu tak berdaya mengganggu biduk yang didayung oleh dua orang muda yang memiliki kepandaian dan tenaga yang terlatih hebat.

Melewati sungai yang penuh batu-batu karang, biduk itu sedikit pun tidak bergoncang hingga Thian Bong Sianjin yang tampak tidur sambil duduk di tengah-tengah perahu sama sekali tidak merasa apa-apa! Puluhan pasang mata mengintai biduk kecil itu dari kedua tebing sungai, di atas batu-batu karang yang tinggi. Mereka kagum dan heran sekali mengapa ada biduk kecil yang dapat menerjang arus sungai dan mudik melalui tikungan yang demikian berbahaya, sedangkan untuk membawa perahu dengan selamat ke hilir saja adalah pekerjaan yang dapat mendatangkan maut! Tiba-tiba dari kedua tebing tinggi jatuh batu-batu berhamburan menimpa biduk kecil itu. Ini adalah akal keji dari Ma Tek San yang hendak menghancurkan utusan musuhnya dengan sekali serang.

Memang keadaan mereka bertiga dalam biduk itu sangat berbahaya. Datangnya batu-batu yang dilemparkan ke bawah bagaikan hujan! Jangan kata mereka dapat bahaya, terkena batu saja pun tidak. Andaikata biduknya sampai terbalik, sukarlah menolong jiwa penumpangnya di tempat bahaya itu. Tetapi biarpun keadaan demikian berbahaya, Thian Bong Sianjin masih saja berpeluk tangan dan memejamkan mata, sedangkan kedua anak muda itu dengan tenang lalu memperlihatkan kepandaiannya. Thian Hwa melepaskan ikat pinggangnya yang panjang dan lebar, lalu menggunakan sutera ini untuk diputar sedemikian rupa di atas kepala mereka bertiga, sehingga dari atas putaran sabuk itu merupakan perisai putih berbentuk bundar yang kuat sekali, karena setiap batu yang jatuh menimpa putaran itu lalu terpental jauh!

Inilah tenaga lweekang yang tinggi, hingga sabuk sutera itu merupakan senjata penangkis yang sangat kuat dapat menangkis setiap batu yang datang menimpa mereka. Dengan adanya payung sabuk ini, maka Yan Bun dapat bekerja dengan tenang. Dia dayung terus biduk kecil itu lewat di antara batu-batu karang yang menonjol. Akhirnya anak buah Ma Tek San yang menghujani batu itu menghentikan serangan mereka dan kini tiba-tiba di depan biduk kecil itu muncullah puluhan perahu cat hitam dipasang malang-melintang memenuhi permukaan sungai. Mereka muncul dari belakang rumput sungai yang tumbuh di kanan kiri sungai. Di tiap perahu duduk empat orang yang semuanya berikat kepala hitam dan berbekal senjata tajam. Sikap mereka ganas dan menakutkan. Thian Bong Sianjin membuka kedua matanya dan memandang sambil tersenyum. Dia lalu berkata kepada Yan Bun dan Thian Hwa.

"Lebih baik tinggalkan aku sendiri di dalam perahu dan kalian boleh menyambut mereka." Habis berkata demikian, Thian Bong Sianjin mengambil tombak pendek dan diikatnya dengan tali yang kuat yang sudah tersedia di dalam biduk. Kemudian dengan menjepit tombak itu di antara dua jarinya, dia luncurkan tombak ke bawah. Tombak itu meluncur cepat ke dalam air dan menancap di dasar sungai. Inilah cara Thian Bong Sianjin melepas jangkar perahu untuk menahan perahu itu hanyut terbawa air. Kemudian kakek itu duduk saja di situ dengan seenaknya, sambil memandang sepak terjang kedua muridnya. Yan Bun dan Thian Hwa lalu mengeluarkan papan terompah air mereka dan sebentar kemudian semua anggauta bajak itu berseru kaget dan terheran-heran ketika melihat betapa pemuda dan gadis yang di dalam perahu itu kini berlari-lari cepat di atas air menuju ke tempat mereka!

Memang dari jauh papan di bawah kaki kedua anak muda itu tidak tampak dan mereka seolah-olah berlari atau melayang di permukaan air. Ketika sudah datang dekat, tahulah mereka bahwa kedua anak muda itu menggunakan papan sehingga mereka menjadi takjub sekali. Dari dalam perahu bajak yang terbesar, berdirilah dua orang yang bertubuh tinggi besar. Seorang di antaranya adalah Ma Tek San yang berpakaian serba hitam dengan golok besar di tangannya, sedang di sebelahnya berdiri seorang hwesio gundul yang matanya jelalatan ke sana kemari, sedangkan mulutnya tersenyum menyeringai. Kedua orang ini biarpun kagum juga melihat pertunjukan ginkang luar biasa ini, namun mereka tidak mau memperlihatkan kekagumannya seperti anak buah mereka.

"Hai, kalian anak-anak muda yang berada di depan apakah utusan dari Ui Hauw Si Ular Air?" terdengar Ma Tek San membentak dengan sombong.

"Kami memang utusannya." jawab Yan Bun, tetapi Thian Hwa lalu menambahkan cepat-cepat.

"Kami datang mewakili Ui Peh-peh untuk menyeret buaya kecil yang mengotorkan perairan Huang-ho!"
Kata-kata ini disambut oleh luncuran enam batang tombak ke arah kedua anak muda itu dari kanan kiri!

"Bagus!" seru Thian Hwa dan Yan Bun berbareng, dan Yan Bun segera miringkan tubuh berkelit dari serangan sebatang tombak, kemudian menangkap sebatang tombak ke dua dan yang ke tiga ia sampok dengan tangan kanan jatuh ke dalam air! Tetapi Thian Hwa tidak mau berlaku sungkan. Gadis ini menggunakan kedua tangan menangkap dua batang tombak dan tombak ke tiga yang menyerang perutnya ia tendang hingga terpental ke atas dan ketika tombak itu meluncur turun, ia sabet dengan tombak yang terpegang olehnya hingga meluncur cepat kembali ke tempat ia dilepas dan menancap ke sebuah perahu dengan kencangnya! Tentu saja ketangkasan kedua anak muda itu tak tersangka-sangka oleh mereka semua, maka kembali dari mulut para anak buah bajak itu terdengar seruan kagum.

"Dan kau yang berbaju hitam apakah buaya kecil she Ma?" Thian Hwa balas bertanya. Ma Tek San mengangkat dada dan berkata,

"Aku adalah Tiat-thou-kim-go Ma Tek San dan ini adalah suhengku Lauw Kang Hwesio!"

Dan kata-kata ini disambut oleh Yan Bun dan Thian Hwa dengan lontaran tombak di tangan mereka. Yan Bun melontarkan tombaknya ke arah perahu yang memuat pelontar tombak yang menyerangnya tadi, sedangkan Thian Hwa pun menggunakan sebatang tombak untuk mengirim kembali kepada penyerangnya tadi. Lemparan mereka jauh lebih cepat dan hebat daripada tadi, juga gerakan mereka sangat cepat hingga tidak terduga, maka segera terdengar teriakan-teriakan ngeri dari kedua perahu itu yang menyatakan bahwa serangan itu mendatangkan korban! Bukan main marahnya Ma Tek San melihat hal ini. Dia perintahkan orangnya mendayung maju perahunya dan sambil menggunakan golok untuk menuding ia berseru,

"Bangsat kecil tak tahu diri! Kalau belum mampus kalian kena golok ini aku belum akan puas!"

"Kau bangsat besar yang bermulut besar pula! Terimalah tombak ini!" Thian Hwa melempar tombaknya ke arah orang she Ma itu dengan keras. Tetapi ternyata bahwa Buaya Emas Kepala Besi itu tangkas dan kuat juga. Dengan goloknya yang berat dan besar dia tangkis tombak itu hingga meleset ke pinggir dan masuk ke dalam air. Melihat kepala mereka mulai beraksi, semua perahu bajak bergerak cepat dan mengurung kedua anak muda itu.

"Bangsat-bangsat kecil, sebelum darahmu mengalir dengan air Sungai Huang-ho, beritahukan dulu nama kalian," teriak Ma Tek San. YAN BUN menjawab dengan tenang,

"Aku adalah Ui Yan Bun, putera dari Ui Hauw, dan aku datang mewakili Ayahku. Dan ini..." Tetapi Thian Hwa mendahuluinya.

"Dan aku adalah Huang-ho Sian-li, Dewi Sungai Huang-ho yang datang hendak menangkap buaya kecil berkepala busuk!"

"Perempuan rendah, kau akan kubunuh lebih dulu!" teriak Ma Tek San dengan marah sekali. Yan Bun yang lebih berhati-hati dan tahu bahwa dengan sampokan ketika menangkis lontaran tombak Thian Hwa tadi maka ternyata bahwa kepala bajak itu memiliki tenaga besar dan kepandaian yang luar biasa juga, maka dia merasa bahwa kalau harus melayani pengeroyokan itu di atas papan terompah air, mereka tidak akan leluasa sekali. Maka dia lalu berkata kepada Thian Hwa,

"Thian-moi, marilah kita mendarat saja." Sebenarnya, gadis itu tidak jerih sama sekali walaupun harus melayani mereka semua di atas papan terompah air, tetapi karena ia maklum bahwa Yan Bun memang belum mahir seperti dia menggunakan kepandaian itu, dan untuk membantahnya ia takut kalau-kalau membikin malu Yan Bun, maka ia lalu berkata keras,

"Hei, bajak-bajak kecil, kalau mau tahu kegagahan kami, kalian naiklah ke darat!"

"Kalian telah terkurung, bagaimana hendak mendarat?" Ma Tek San tertawa mengejek dan memberi isyarat untuk menyerbu.

Maka perahu-perahu itu meluncur datang dan ujung-ujung senjata mereka digerakkan untuk menyerang Thian Hwa dan Yan Bun. Kedua anak muda itu telah bersiap dan keduanya telah mencabut pedang mereka. Dengan beberapa kali gerakan pedang saja, Yan Bun dan Thian Hwa telah membuat empat orang bajak tercebur ke dalam air, maka kedua anak muda itu lalu menggerakkan tubuh dan melompati perahu yang telah kosong itu untuk melepaskan diri dari kepungan, lalu dengan enak sekali mereka menuju ke tepi! Ma Tek San dengan marah mengejar ke tepian bersama suhengnya. Ketika kepala bajak itu dan suhengnya serta orang-orangnya telah berada di tepi sungai, tiba-tiba seorang anak buah bajak menunjuk ke arah perahu Thian Bong Sianjin. Ma Tek San yang memang berwatak curang dan licin segera memberi perintah kepada orang-orangnya,

"Tangkap orang tua itu dan bawa dia ke sini, tapi jangan lukai dia!"

Kepala bajak she Ma ini telah dapat menduga bahwa kedua anak muda utusan dari Ui Hauw itu adalah orang-orang yang memiliki kepandaian hebat, maka ia telah mengambil keputusan jika dia dan suhengnya kalah, akan mengeroyoknya. Tetapi orang tua dalam perahu itu mungkin akan kabur dan (Lanjut ke Jilid 02)
Dewi Sungai Kuning/Huang Ho Sianli (Seri ke 01 " Dewi Sungai Kuning)
Karya : Asmaraman S Kho Ping Hoo

Jilid 02
memberi laporan kepada Ui Hauw, hingga datang bala-bantuan. Karena itu, lebih baik orang tua itu ditawan lebih dulu! Mendengar perintah Ma Tek San ini, beberapa orang bajak dalam tiga buah perahu segera mendayung perahu ke arah perahu kecil di mana Thian Bong Sianjin masih duduk berpeluk tangan tak bergerak. Ui Yan Bun dan Thian Hwa melihat hal ini hanya tersenyum saja dan saling pandang. Para bajak segera mengurung kedua anak muda itu dan merupakan lingkaran besar, sedangkan kedua anak muda itu berdiri di tengah-tengah dengan sikap tenang sekali. Ma Tek San lalu maju dan membentak.

"Apakah kalian masih berkeras kepala dan ingin mampus di sini?" Ui Yan Bun pun maju dan berkata sabar,

"Orang muda she Ma! Kau ini benar-benar tidak memakai peraturan dan kesopanan sesama kaum sungai telaga! Tanpa alasan dan sebab kau telah memusuhi ayahku, bahkan kaubunuh dua orang kami yang sedang mencari ikan. Bukankah hal ini sangat merendahkan namamu?"

"Memang aku sengaja membunuh orangmu, habis kau mau apa?" kata Ma Tek San ketus, sedangkan suhengnya dan para anak buahnya terkekeh menertawakan.

"Perbuatanmu itu berarti kau menantang fihak kami, maka sekarang aku mewakili ayah datang ke sini hendak mencoba sampai di mana kekuatanmu, maka kau berani berlaku sewenang-wenang. Apakah kau hendak melakukan pengeroyokan atau kau berani melayani aku secara laki-laki?" Marahlah Ma Tek San mendengar tantangan ini.

"Eh, anak kecil sombong, jangan Kau kira kepandaianmu sudah tiada lawannya dengan hanya memiliki ginkang dan permainan kanak-kanak di atas air itu saja! Majulah kau kalau hendak berkenalan dengan Tiat-thou-kim-go!" Setelah berkata demikian orang she Ma itu mencabut golok besarnya yang berkilauan karena tajamnya. Tetapi sebelum kedua musuh itu bertempur, tiba-tiba terdengar suara ramai-ramai dari arah sungai. Mereka semua memandang dan terkejut melihat bahwa yang ramai-ramai itu adalah beberapa orang anak buah bajak datang sambil memikul biduk kecil di atas mana Thian Bong Sianjin masih saja duduk bersedakap tak bergerak sambil memejamkan mata!

"Eh, mengapa kalian berbuat segila ini?" Ma Tek San membentak kepada seorang bajak yang berjalan paling depan. Bajak itu segera minta maaf kepada pemimpinnya dan menceritakan bahwa dia dan kawan-kawannya tidak sanggup mengeluarkan kakek itu dari perahunya! Telah dicoba oleh banyak orang tetapi tak seorang pun sanggup menggerakkan tubuh yang bagaikan membatu itu keluar dari perahu. Maka, untuk mentaati perintah Ma Tek San, dia dan kawan-kawannya lalu menggusur saja biduk itu ke tepi lalu mengangkat kakek itu dengan perahunya! Yan Bun dan Thian Hwa tertawa geli. Ma Tek San marah sekali dan mendekati Thian Bong Sianjin di dalam perahunya yang kini telah diletakkan di atas tanah.

"He, orang tua, siapakah engkau sebenarnya?" Thian Bong Sianjin membuka matanya perlahan dan menjawab dengan tak acuh,

"Namaku Thian Bong, kalian hendak membawaku ke manakah?" Thian Hwa dengan keras berkata,

"Orang she Ma, ketahuilah, dulu kakekku ini disebut orang Huang-ho Sui-mo!" Terkejutlah Ma Tek San mendengar ini, juga semua anak buah bajak.

Lebih-lebih para bajak yang tadi memaksa Thian Bong Sianjin mendarat, mereka ini menggigil dan wajah mereka pucat sekali, bahkan tiga orang anak buah bajak yang telah lama menjalankan pekerjaan itu dan cukup kenal dengan nama Huang-ho Sui-mo, segera maju dan menjatuhkan diri berlutut di depan Thian Bong Sianjin sambil mengangguk-anggukkan kepala minta ampun! Lauw Keng Hwesio melihat lagak tiga orang bajak itu menjadi sangat sebal dan dia yang belum pernah mendengar nama Huang-ho Sui-mo lalu memajukan kaki dan tiba-tiba kedua tangannya memukul ke arah kepala Thian Bong Sianjin dari kanan kiri! Lauw Keng Hwesio hendak memperlihatkan kepandaiannya dan ingin sekali memukul mati kakek yang agaknya terkenal dan ditaati itu, maka datang-datang dia mengirimkan serangan maut dalam gerak tipu Dewa Mabuk Menuangkan Arak!

Tetapi, kakek tua yang tampak tenang-tenang saja itu tiba-tiba mengebutkan kedua lengan bajunya ke arah tangan Lauw Keng Hwesio yang meluncur maju dan tepat sekali ujung lengan bajunya menyambar ke arah jalan darah di pergelangan lengan hwesio itu! Bukan main terkejutnya Lauw Keng Hwesio sehingga dia buru-buru menarik kembali kedua tangannya, karena kalau diteruskan, belum sampai kepalannya mendarat di kepala lawan, dia akan tertotok terlebih dulu. Dia tahu betapa hebat ujung lengan baju itu, karena anginnya telah terasa dan membuat urat tangannya kesemutan. Diam-diam dia mengeluarkan keringat dingin karena maklum bahwa kakek itu benar-benar berilmu tinggi sekali. Thian Bong Sianjin tersenyum sabar sambil berkata perlahan,

"Eh, hwesio, kau mau apakah?" Lauw Keng Hwesio meloncat mundur dengan malu, dan pada saat itu Thian Hwa maju dan memakinya.

"Bangsat gundul, jangan kau berani mengganggu kakekku!" Kepala gundul itu menjadi marah dan dia melepaskan sabuknya yang ternyata terbuat daripada baja lemas dan merupakan joan-pian yang kuat.

Tanpa banyak kata lagi dia lalu menyerang Thian Hwa yang sudah siap dengan pedang di tangan. Dan pada saat itu juga, Ma Tek San juga sudah mulai bertempur dengan Ui Yan Bun. Ma Tek San dan Lauw Keng Hwesio memang memiliki kepandaian yang tinggi dan ganas, ditambah lagi tenaga mereka besar. Tetapi kini mereka menghadapi dua orang muda gemblengan Thian Bong Sianjin yang telah menurunkan ilmu silat tinggi kepada kedua muridnya itu, maka baru bertempur beberapa puluh jurus saja keduanya telah terdesak hebat oleh pedang Thian Hwa dan Yan Bun! Ma Tek San yang selalu berpikir jahat, ketika mendapat kenyataan bahwa kedua lawannya itu benar-benar lihai, segera berseru kepada anak buahnya yang masih berdiri mengelilingi lapangan pertempuran itu.

"Hayo kamu semua lekas bantu menangkap dua setan ini!" Suara Ma Tek San yang keras terdengar berpengaruh dan tidak seorang pun di antara anak buahnya yang berani menentang atau mengabaikan perintah ini, karena mereka sudah mengenal kekejaman Ma Tek San. Dengan senjata-senjata tajam di tangan, mereka bergerak maju untuk mengeroyok. Tiba-tiba terdengar suara bentakan keras sekali.

"Kalian semua mundur!" Inilah bentakan Thian Bong Sianjin yang masih duduk di dalam perahunya. Suaranya lebih keras dan nyaring dibanding suara Ma Tek San, sehingga para bajak terkejut dan sebagian besar mundur. Tapi sebagian lagi tetap maju karena mereka lebih takut kepada pimpinan mereka yang kejam.

"Mundur kalian! Kalau tidak, tangan Huang-ho Sui-mo ikut berbicara!" Ancaman ini berhasil juga, karena lebih dua puluh orang yang pernah mendengar nama ini segera mundur dan melihat ke arah orang tua itu dengan hormat, tapi masih ada juga yang berani maju dengan maksud mengeroyok Thian Hwa dan Yan Bun.

Tapi Thian Bong Sianjin mengangkat tangan dan mengayunkan tangannya ke arah mereka dan pada saat itu juga beberapa orang bajak berteriak-teriak sambil melepaskan senjata mereka, karena ternyata sambil duduk di perahunya kakek itu telah meraup segenggam pasir kasar dan mempergunakan pasir itu sebagai senjata rahasia! Ternyata pasir kasar yang hampir menyerupai kerikil itu telah memecahkan kulit tubuh mereka yang tersambit sehingga mengeluarkan darah dan rasanya perih sekali! Melihat kelihaian orang tua itu, para bajak menjadi ketakutan dan tidak berani maju lagi. Sementara itu, Thian Hwa yang memainkan pedangnya secara cepat sekali telah berhasil mengurung Lauw Keng Hwesio sehingga hwesio itu hanya dapat menangkis saja tanpa dapat membalas sedikitpun juga.

"Thian Hwa, jangan membunuhnya!" Thian Bong Sianjin berteriak dan Thian Hwa lalu mengubah gerakan pedangnya dengan secepat kilat! Dia menggunakan ujung pedang menusuk ke arah jalan darah di tenggorokan lawan dengan gerak tipu Burung Kepinis Mematuk Ikan. Karena gerakan ini cepat sekali, maka Lauw Keng Hwesio hampir saja tak dapat mengelakkan diri, tetapi masih ingat untuk melempar diri ke belakang sehingga dia terjengkang, tapi terhindar dari maut.

Pada saat dia belum dapat memperbaiki kedudukannya, sepasang kaki Thian Hwa bergerak cepat dan joan-pian-nya terlempar karena tendangan kaki kiri Thian Hwa, sedangkan ujung sepatu kanan gadis itu mampir di pundaknya menendang jalan darahnya sehingga dia berteriak keras dan merasa betapa pundaknya sakit sekali sampai meresap ke ulu hati! Masih untung bagi Lauw Keng Hwesio bahwa Thian Bong Sianjin dalam saat yang tepat telah mencegah cucunya untuk menghabiskan jiwa hwesio itu sehingga gadis itu tidak menggunakan ujung sepatu untuk menendang tempat kematian, maka hwesio itu hanya menderita luka dalam dan patah tulang pundak saja. Tapi rasa sakit cukup membuat dia roboh pingsan! Sementara itu, Ui Yan Bun juga berhasil merobohkan lawannya. Pemuda ini merasa sakit hati dan marah sekali kepada Ma Tek San yang telah berlaku kejam membunuh dua orang anak buah ayahnya, maka dia tidak mau memberi hati sedikit pun.

Dia mengeluarkan ilmu pedangnya yang hebat dan mendesak terus sehingga lawannya bertempur sambil mundur berputar-putar. Napas Ma Tek San telah terengah-engah dan wajahnya telah menjadi pucat. Pada saat yang tepat, Yah Bun memutar pedangnya sedemikian rupa dalam gerak tipu Air Ombak Menampar Karang dan serangan yang dahsyat dan ganas ini datang bergulung-gulung bagaikan ombak samudera sehingga tak dapat ditangkis lagi oleh Thiat-thou-kim-go Ma Tek San. Dengan teriakan menyeramkan, kepala bajak yang jahat itu roboh terguling setelah tertembus pedang Yan Bun! Maka binasalah orang she Ma ini! Para anak buah bajak laut melihat betapa kedua kepala mereka dengan mudah terbunuh oleh Thian Hwa dan Yan Bun segera mengangkat senjata hendak mengeroyok, tapi lagi-lagi Thian Bong Sianjin membentak keras.

"Kalian masih belum takluk? Siapa melawan berarti mati!" setelah berkata demikian, kakek itu berdiri dan tubuhnya yang tinggi tampak angker menakutkan. Memang nama Huang-ho Sui-mo sudah merupakan sesuatu yang menakutkan mereka, apalagi melihat betapa kepandaian tiga orang itu hebat sekali, maka para bajak itu segera menjatuhkan diri berlutut meminta ampun!

"Kalian dengarkan baik-baik! Berpuluh tahun yang lalu aku telah adakan aturan-aturan dan larangan-larangan bagi para bajak di Huang-ho untuk bekerja dengan mengenal aturan dan memilih orang yang patut dijadikan korban! Tapi orang she Ma ini telah melanggarnya, dan lihat, apa yang menjadi akibatnya saat ini! Harus kalian ketahui bahwa jika ada yang tidak mentaati aturan dan bertindak sewenang-wenang, tak usah aku sendiri turun tangan, pasti ada saja yang akan mewakili aku memberi hajaran kepada pelanggar itu! Ketahuilah bahwa di dunia ini banyak sekali terdapat orang-orang gagah yang kesemuanya siap sedia membasmi kejahatan! Nah, kalian sekarang boleh memilih kepala baru, tapi awas, jangan sekali-kali pelanggaran seperti yang telah dilakukan orang she Ma ini kalian ulangi!" Setelah memberi nasehat-nasehat kepada para bajak, Thian Bong Sianjin mengajak Thian Hwa dan Yan Bun untuk kembali ke kampung.

Mereka disambut Ui Hauw yang mendengarkan cerita puteranya dengan girang dan bangga sekali. Setelah bermalam di situ beberapa hari lagi, Thian Bong Sianjin lalu mengajak cucunya meninggalkan kampung itu. Mereka berdua memang tidak mempunyai tempat tinggal yang tetap, berpindah-pindah dan sebagian besar dari waktu mereka digunakan untuk mendayung perahu, menangkap ikan dan mengunjungi kawan-kawan dan orang-orang kampung yang tinggal di sepanjang Sungai Huang-ho yang panjang itu. Beberapa bulan kemudian, ketika Thian Bong Sianjin dan Thian Hwa sedang menjalankan biduk mereka perlahan di sepanjang tepi sungai yang airnya tenang dan hawa udara pada pagi hari itu sangat baiknya, Thian Hwa kembali mengulangi pertanyaannya yang telah berkali-kali diajukan kepada kakeknya itu.

"Kong-kong, kuharap kali ini Kong-kong menaruh kasihan kepadaku. Dulu Kong-kong berjanji akan membuka rahasia ini kepadaku setelah aku dewasa dan memiliki kepandaian. Nah, sekarang aku telah berusia tujuh belas tahun, dan tentang kepandaian, kiranya tidak sia-sia Kong-kong mengajar padaku. Kong-kong, beritahukanlah kepadaku siapa sebenarnya Ayah dan Ibuku..." Pada kalimat terakhir ini suara Thian Hwa menjadi perlahan dan mengharukan sehingga Thian Bong Sianjin menghela napas sedih, karena dia bingung sekali. Bagaimana dia harus menceritakan kalau dia sendiri pun tidak mengenal dan tidak tahu siapa orang tua gadis itu? Dia teringat betapa dulu pernah bertemu dengan wanita cantik dalam mimpi, maka karena tiada jawaban lain, dia menjawab.

"Thian Hwa, cucuku! Sebetulnya kalau menurut kehendakku, tak usah kau pergi mencari orang tuamu karena aku sangat merasa ragu apakah kau akan berhasil. Tapi, kalau aku larang kau melakukan hal ini, berarti bahwa aku adalah seorang yang tidak berbudi dan hanya mementingkan diri sendiri saja." Kakek itu menghela napas lagi dan melanjutkan kata-katanya sambil menatap wajah cucunya yang sangat dikasihinya itu.

"Thian Hwa, terus terang saja aku ulangi, bahwa aku selama hidup belum pernah bertemu muka dengan kedua orang tuamu. Tapi aku pernah bermimpi dan melihat Ibumu..." Sepasang mata gadis itu berkilat dan wajahnya berseri.

"Ibuku...!" kata-kata "ibu" ini sangat asing baginya dan sangat mesra.

"Bagaimana rupanya dan di mana dia, Kong-kong?" tanyanya cepat.

"Ibumu adalah seorang wanita yang cantik sekali dan di atas bibirnya sebelah kiri terdapat sebuah tanda tahi lalat hitam yang kecil. Wajah Ibumu itu seperti... seperti... kau sendiri, Thian Hwa. Dan melihat dari pakaian yang dipakainya, ia adalah seorang bangsawan."

"Kong-kong, kemanakah aku harus mencarinya?" tanya Thian Hwa.

"Thian Hwa, inilah yang sangat menyusahkan hatiku. Kalau aku sendiri mengetahui dimana adanya orang tuamu, agaknya sudah dulu-dulu kucari mereka. Tapi aku hanya bertemu dengan Ibumu dalam mimpi, dan aku tidak tahu di mana tempat tinggal mereka." Kakek tua ini lalu menundukkan muka dan tidak berani menentang wajah cucunya, karena dia maklum betapa kata-katanya ini sangat menusuk hati dan menghancurkan pengharapan gadis itu. Dia hanya mendengar isak tangis Thian Hwa yang berusaha sekuat tenaga menekan perasaan dan menahan tangisnya.

"Kong-kong... bukankah para bangsawan... bertempat tinggal di kota raja saja?" akhirnya gadis itu bertanya setelah mereka diam untuk beberapa lama. Kini barulah kakek itu berani mengangkat muka memandang wajah cucunya dan hatinya seperti dikerat pisau ketika melihat betapa wajah cucunya tampak pucat dan di kedua pipinya mengalir air mata yang bening.

"Thian Hwa, memang di kota raja banyak sekali terdapat bangsawan tinggi, tapi di antara ribuan para bangsawan itu, yang manakah keluarga yang kita maksudkan? Ahh, seakan-akan mencari setitik air dalam Sungai Huang-ho!" Semenjak terjadinya percakapan ini, wajah Thian Hwa nampak suram-muram dan tidak bergembira sedikit pun seperti biasanya, sehingga diam-diam Thian Bong Sianjin merasa khawatir sekali.

Malam hari itu mereka bermalam dalam sebuah bio rusak yang telah lama kosong, dan yang berdiri di pinggir sungai dalam sebuah hutan yang sunyi. Karena hatinya sedih dan terharu melihat cucunya, maka Thian Bong Sianjin tekun bersamadhi untuk menenteramkan hati dan pikiran sehingga seakan-akan mati duduk dan tak bergerak bagaikan sebuah patung batu. Ketika pada keesokan harinya dia sadar, dia merasa tidak enak hati seakan-akan ada sesuatu yang terjadi. Dan benar saja, karena Thian Hwa, cucunya yang semenjak berusia tiga hari tak pernah terpisah darinya itu, telah pergi dengan diam-diam! Gadis yang dikasihinya itu pergi dengan nekad hendak mencari orang tuanya, dan hanya meninggalkan sepucuk surat yang kini dia pegang di dalam kedua tangannya yang gemetar dan keriputan, sambil dibacanya dengan terharu.

Kong-kong,
Mohon beribu ampun bahwa aku terpaksa pergi karena tak tahan melawan desakan hati untuk mencari Ibu dan Ayahku. Aku pergi ke kota raja dan takkan kembali sebelum bertemu dengan mereka!
Cucumu Thian Hwa

Thian Bong Sianjin menghela napas dalam-dalam. Hasrat hatinya hendak segera menyusul, tapi dia menggeleng-geleng kepala tanda tidak menyetujui kehendak hati sendiri ini. Kalau dia menyusul, maka gadis itu tentu akan kecewa dan menganggap dia menghalang-halangi maksudnya. Pula, Thian Hwa sudah memiliki kepandaian tinggi dan dia tak perlu mengkhawatirkan keselamatannya. Yang dia cemaskan adalah bahwa gadis itu takkan mungkin bertemu dengan kedua orang tuanya, karena dia sendiri tidak percaya bahwa wanita yang dilihatnya dalam mimpi itu benar-benar ibu Thian Hwa!

Gadis itu tentu takkan dapat menemukan orang tuanya di kota raja dan akan kecewa hati. Inilah yang dikhawatirkan. Kini Thian Bong Sianjin merasa sunyi. Sunyi sepi yang biasanya mengamankan hati menyedapkan perasaan itu kini berubah menjadi sunyi yang menyayat hati, yang menimbulkan kenangan-kenangan sedih, kesunyian seorang yang kehilangan sesuatu atau seseorang yang sangat dikasihaninya! Kakek tua yang gagah perkasa itu akhirnya menundukkan kepala dan memejamkan mata sambil menahan napas untuk melawan gelora yang mengamuk di dalam dirinya dan membuatnya lemas. Kira-kira setengah bulan kemudian, Thian Bong Sianjin mengunjungi Ui Hauw dan kepala bajak ini kaget sekali mendengar tentang perginya Thian Hwa.

"Ah, mengapa Suhu tidak menahannya? Ke manakah anak itu pergi? Ahh, bagaimana kalau terjadi sesuatu?" Thian Bong Sianjin hanya tersenyum. Setelah beberapa hari lewat, orang tua ini dapat juga menetapkan hatinya dan melenyapkan rasa sedih yang menyerangnya.

"Ia akan selamat. Kepandaiannya cukup untuk menjaga diri."

Sementara itu, ketika mendengar tentang perginya Thian Hwa ke kota raja, Yan Bun merasa terkejut sekali. Ia merasa seakan-akan hatinya terbawa pergi oleh gadis itu. Dengan lemas ia meninggalkan Thian Bong Sianjin dan ayahnya, tanpa berkata sesuatu, dan masuk ke kamarnya. Tiba-tiba saja dia merasa bahwa gadis itu sungguh merupakan arti yang besar sekali baginya. Dan pada keesokan harinya, semua orang kaget dan bingung karena Yan Bun tahu-tahu telah pergi dengan sebuah biduk tanpa memberitahukan sesuatu kepada semua orang. Tapi Ui Hauw dan Thian Bong Sianjin saling pandang dengan penuh pengertian. Mereka ini tanpa mengeluarkan sepatah kata pun, telah dapat menduga bahwa Yan Bun tentu pergi menyusul Thian Hwa, dan mereka tahu pula apa artinya perbuatan pemuda itu. Diam-diam Ui Hauw menarik napas dan dia berkata kepada Thian Bong Sianjin.

"Alangkah baiknya kalau dulu-dulu kita jodohkan kedua anak itu!" Thian Bong Sianjin hanya tersenyum dan berkata perlahan.

"Ui Hauw, jodoh tak dapat dipaksakan. Kita orang-orang tua menunggu saja dan melihat perkembangan terlebih jauh. Sementara itu, biarlah kita doakan agar mereka dapat bertemu dan dijauhkan dari segala bencana." Thian Hwa pergi melakukan perjalanannya dengan hanya membawa sebungkus pakaian dan sebatang pedang. Ia pernah diberitahu kakeknya bahwa letak kota raja adalah di sebelah utara, maka ia langsung menuju ke utara dengan menggunakan ilmu lari cepat.

Karena ia biasanya melakukan perjalanan dengan berperahu dan di sepanjang Sungai Huang-ho, kini melalui gunung-gunung dan lembah-lembah yang penuh dengan tamasya alam yang jauh bedanya dengan pemandangan di sepanjang sungai, hatinya tertarik dan gembira sekali, seperti seorang kanak-kanak yang mendapat barang permainan baru. Setelah berjalan dua hari, ia tiba di sebuah kampung yang makmur, dengan rumah-rumah yang bagus. Ternyata bahwa tanah di sekitar kampung itu subur dan menghasilkan banyak palawija sehingga memakmurkan para petani di kampung itu. Tanah-tanah di sekitar kampung itu terbagi rata di antara para petani sehingga di situ tiada terjadi pemerasan tenaga seperti halnya di kampung-kampung yang terdapat tuan tanah yang menguasai seluruh sawah ladang dan para petaninya hanya buruh tani belaka.

Di kampung Lun-cwan ini, para petani memiliki sedikit tanah yang hasilnya cukup untuk menghidupkan semua keluarga dan mereka hidup dengan rukun dan damai, saling tolong, dan membuat kampung itu menjadi sebuah tempat kediaman yang sangat menyenangkan. Kampung itu hanya didiami keluarga-keluarga Tan dan Ong yang masih terikat kekeluargaan pula, karena pemuda-pemudi kedua turunan ini banyak yang terikat sebagai suami isteri. Ada juga pendatang dari keturunan lain, tapi pendatang-pendatang baru ini pun taat dan tunduk kepada kerukunan yang telah ada dan menambah kekuatan dan persatuan kampung. Kepala kampung di situ adalah seorang tua bernama Tan Hok San yang terkenal adil dan bijaksana, sehingga dicintai dan dihormati orang-orang kampung.

Akan tetapi, beberapa pekan ini terjadi perubahan hebat sekali di kampung itu. Sebetulnya yang sangat berubah dan membuat orang-orang kampung merasa heran dan penasaran adalah kepala kampung itu sendiri. Tanpa mengetahui sebab-sebabnya, orang-orang kampung melihat betapa Tan Hok San sekarang berubah menjadi pemeras rakyat yang luar biasa. Kepala kampung yang bertahun-tahun dianggap sebagai seorang pemimpin yang cakap dan baik, tiba-tiba berubah menjadi seekor srigala yang ganas. Dia menetapkan pajak hasil sawah yang sangat berat, karena tujuh bagian hasil sawah harus diserahkan kepadanya dengan alasan untuk disetorkan kepada pembesar atasan di kota raja. Juga peternak-peternak dikenakan pajak besar sekali, sehingga dalam beberapa pekan saja keadaan kampung itu menjadi berbeda sekali.

Kegembiraan lenyap digantikan oleh kedukaan dan keheranan. Tiada seorang pun berani menegur, karena pernah seorang mencoba untuk menegur kepala kampung itu tapi hasilnya orang itu sendiri ditahan dan katanya dikirim ke kota raja karena dianggap memberontak terhadap pemerintah! Ketika hendak memasuki kampung itu, Thian Hwa melewati sebuah hutan dan di situ ia melihat mayat seorang laki-laki tua yang sudah rusak karena diganggu binatang hutan. Karena pemandangan ini, maka ia berlaku hati-hati dan menganggap bahwa kampung yang dimasukinya ini tentu bukan kampung yang aman dan baik. Ia mencoba mencari rumah penginapan, tapi sungguh mengherankan, dua buah rumah penginapan kecil yang biasa dibuka, kini tertutup dan tidak menerima tamu.

"Maaf, Nona, rumah penginapan tidak dibuka lagi," kata seorang bekas pelayan rumah penginapan itu.

"Mengapa tidak?"

"Kami tidak kuat membayar pajak!" Demikian pun, ketika Thian Hwa hendak pesan makanan di sebuah rumah makan yang telah ditutup, ia mendapat jawaban serupa. Keadaan kampung itu membuat ia merasa curiga dan menduga pasti ada apa-apa. Ia bertanya kepada seorang yang tampak muram dan duduk di depan rumahnya.

"Maaf, Lopeh, aku baru saja mendengar bahwa orang-orang takut berusaha karena dikenakan pajak. Sebetulnya siapakah yang mengadakan pajak-pajak besar itu, Lopeh?" Orang tua itu memandangnya dengan mata terbelalak, kemudian setelah ia menengok ke kanan kiri, dia segera mempersilakan Thian Hwa masuk, lalu mengunci pintu rumahnya!

"Siocia, kau agaknya seorang luar kampung dan agaknya kau seorang yang biasa merantau, karena kau membawa-bawa pedang di punggung. Di kampung ini jangan kau bicara sembarangan saja."

"Ada apakah, Lopeh?" tanya Thian Hwa heran. Orang tua itu lalu menceritakan betapa kepala kampung yang tadinya berbudi dan adil itu kini berubah menjadi pemeras rakyat yang kejam. Thian Hwa lalu menceritakan bahwa ia telah melihat mayat di dalam hutan. Ketika empek itu mendengar tentang hal ini, dia segera bertanya tentang keadaan mayat itu, tentang pakaian dan lain-lain. Setelah mendengar keterangan Thian Hwa bahwa mayat itu memakai baju biru dan celana abu-abu, orang tua itu menjadi pucat dan berseru.

"Kalau begitu, dia adalah Cun Sam!"

"Cun Sam? Siapakah Cun Sam itu, Lopeh?" Tiba-tiba kakek itu menangis, dan isterinya yang juga berada di situ ikut pula menangis.

"Cun Sam adalah adikku..." Kemudian kakek itu menceritakan betapa Cun Sam ditangkap karena berani mencela kepala kampung dan katanya dikirim ke kota raja, diadukan karena dianggap pemberontak.

"Kalau begitu semua itu bohong belaka..." kakek itu mengeluh.

"Cun Sam bukan dibawa ke kota raja, tapi dibawa ke hutan dan dibunuhnya." Kemudian kakek itu lalu berlari keluar untuk mengajak kawan-kawan mengambil dan mengubur mayat adiknya itu. Sementara itu, Thian Hwa merasa gemas dan marah sekali. Ia menganggap perbuatan kepala kampung itu sewenang-wenang dan mau tidak mau ia harus turun tangan dan mencampuri perkara penasaran ini. Dengan hati panas, ia lalu mencari rumah kepala kampung itu. Tapi ternyata bahwa gedung kepala kampung yang bercat kuning itu pun tertutup pintunya. Ia mengetuk dengan keras dan pintu dibuka oleh seorang pengawal bersenjata golok yang bertubuh tinggi besar dan membentaknya.

"Bangsat kurang ajar dari mana berani mengganggu rumah kami?" Tapi ketika ia telah membuka pintu dan melihat bahwa yang datang adalah seorang gadis yang cantik sekali, wajah yang tadinya tampak kejam itu berubah dan kini orang tinggi besar itu tersenyum-senyum ceriwis dan menyebalkan.

"Eh, Nona... kau hendak mencari siapakah?" Thian Hwa merasa curiga sekali melihat orang ini. Terang bahwa ia bukan orang baik-baik, mengapa bisa menjadi pengawal di tempat ini? Pula, orang ini tadi menyebut "rumah kami" yang sudah tidak selayaknya bagi seorang pengawal menyebut rumah seorang kepala kampung. Ia hendak menerjang, tapi dapat mengendalikan nafsu marahnya, lalu bertanya.

"Kau siapakah?" Orang tinggi besar itu memperlebar senyumnya.

"Aku adalah seorang penjaga keamanan di sini. Apakah Nona hendak bertemu dengan Chungcu?" Thian Hwa mengangguk.

"Ya, tolong panggil keluar Chungcu kampung ini, aku hendak bertemu dengan dia." Orang tinggi besar itu tersenyum lagi.

"Tunggu sebentar, Nona, hendak kulaporkan ke dalam." Setelah berkata demikian, dia masuk ke dalam dan tak lama kemudian keluar dan berkata, "Kau dipersilakan masuk menghadap di dalam, Nona." Thian Hwa mengikuti penjaga itu memasuki ruang dalam dan berlaku hati-hati karena ia tetap menaruh kecurigaan besar. Mereka tiba di ruang dalam yang cukup luas dan di atas sebuah kursi di belakang mejanya duduk seorang laki-laki tua. Dengan memandangnya sekilas saja Thian Hwa tahu bahwa orang itu adalah seorang terpelajar dan baik hati, tapi sepasang matanya redup dan layu seakan-akan menderita hebat di dalam batinnya. Ketika melihat ia datang, orang tua itu bersikap sombong dan angkuh, tapi Thian Hwa yang bermata tajam sering menerima wejangan dari kakeknya dapat mengenal wajah dan sifat manusia, maka tahulah ia bahwa sikap itu adalah paksaan belaka.

"Siocia, kau siapakah, datang dari mana dan ada keperluan apa mencari aku?" tanya Tan-chungcu dengan suara angkuh.

"Chungcu, maafkan kalau aku mengganggumu. Aku adalah seorang perantau yang kebetulan lewat di kampung ini, tapi keadaan ganjil yang terjadi di kampungmu membuat aku merasa tidak enak dan aku harus menegurmu." Wajah kepala kampung itu berubah pucat. Agaknya merasa cemas dan marah.

"Siocia, kau seorang muda janganlah mencampuri urusan pemerintahan. Lebih baik pergilah dari kampungku dengan aman."

"Tan-chungcu! Kau berlaku kejam sekali dengan memeras rakyatmu sendiri, menghisap orang-orang kampung yang mengangkatmu menjadi kepala! Tidak tahukah kau bahwa dengan peraturanmu yang sewenang-wenang menjatuhkan pajak besar itu membuat banyak orang-orangmu menderita kelaparan? Tidak dengarkah kau betapa mereka mengeluh dan menangis karena peluh dan darah yang mereka peras di ladang ternyata kaurampas hasilnya? Apakah ini adil? Kau sebagai seorang pemimpin seharusnya membimbing mereka ke jalan kebahagiaan, tapi kau bahkan menggunakan hak dan kekuasaanmu untuk memburu nafsu, mengenakkan diri sendiri tanpa mempedulikan keadaan orang lain!"

"Diamlah... diamlah! Kau... kau keluar dari sini!" Tan-chungcu berteriak keras sedangkan wajahnya makin pucat.

"Tidak! Aku takkan keluar sebelum bicara habis, sebelum kau mengubah kelakuanmu yang tiada bedanya dengan seorang perampok rendah! Kau bahkan berani menangkap seorang kampung yang memperingatkanmu dan membunuhnya!"

"Apa? Kau membohong! Aku tak pernah membunuh orangku." Bibir gadis itu tersenyum sindir.

"O, begitukah? Di manakah Cun Sam sekarang? Coba kauterangkan!" kata Thian Hwa. Tan-chungcu berkata sungguh-sungguh.

"Cun Sam? Ah, dia... dia telah memberontak, maka dikirim ke kota raja agar diadili."

"Ah, jangan berpura-pura! Kau bukan mengirim dia ke kota raja, tapi kau mengirim dia ke hutan dan kau bunuh dia di sana. Kau telah menyuruh orang-orangmu membunuhnya. Aku sendiri melihat jenazahnya di hutan!"

"Apa?" Tan-chungcu berteriak dengan wajah pucat dan mata terbelalak.

"Dia... di... dibunuh...?" Dan pada saat itu, dari balik pintu sebelah dalam keluarlah berloncatan lima orang, dan orang tinggi besar yang tadi membuka pintu untuk Thian Hwa terdapat juga di antara mereka. Seorang pendek gemuk yang matanya juling berkata,

"Chungcu, budak perempuan ini kurang ajar dan memberontak, apakah harus ditawan?" Tapi Tan-chungcu berdiri dengan tubuh gemetar dan bahkan bertanya kepada... Si Gemuk Pendek itu.

"Kau... kau apakan Si Cun Sam?" Si Gemuk Pendek tersenyum dingin.

"Nanti saja kita bicarakan soal itu, sekarang kita bereskan dulu budak hina ini!" katanya.

"Tidak, tidak! Kau... kau pembunuh kejam... kau perampok jahat...!" Si Gemuk Pendek itu membelalakkan matanya dan secepat kilat tubuhnya yang gemuk itu bergerak dan pedangnya berkilauan meluncur ke arah dada Tan-chungcu! Tapi Thian Hwa telah siap sedia, maka ia mendahului Si Gemuk itu, dan sekali berkelebat ia berhasil menyambar tangan Tan-chungcu dan menariknya sehingga terluput dari tusukan Si Gemuk Pendek. Tan-chungcu segera bersembunyi di belakang tubuh gadis itu karena tahu bahwa Thian Hwa adalah seorang gadis pendekar yang mungkin akan dapat menolongnya.

"Lihiap, kau berhati-hatilah. Mereka adalah perampok-perampok kejam dan ganas yang telah lama menguasai dan mengancamku!" kata Kepala Kampung itu. Thian Hwa mengangguk-angguk dan bertolak pinggang sambil menghadapi lima orang yang berwajah ganas itu.

"Hm, hm! Sudah kuduga begitu. Jadi kamu perampok-perampok hina ini dengan secara pengecut sekali telah memaksa Chungcu melakukan semua pemerasan ini? Sungguh rendah, tapi hari ini aku tentu akan menamatkan riwayatmu yang kotor ini!"

"Budak hina! Tidak tahukah kau dengan siapa kau berhadapan?" teriak orang tinggi besar yang menjadi pengawal tadi.

"Tentu saja aku tahu. Kalian berlima adalah calon-calon makanan api neraka!"

"Perempuan sombong! Kau masih begini muda tapi mau besar kepala. Ketahuilah, kami adalah Bweesan Ngo-heng, Lima Raja dari Gunung Bweesan, maka jangan harap kau akan dapat keluar dari gedung ini dengan selamat!" kata Si Gemuk Pendek yang agaknya menjadi pemimpin mereka. Thian Hwa tersenyum menyindir.

"Siapa takut pada siluman dari Bweesan? Hari ini kalian lima ekor siluman bertemu dengan aku, Huang-ho Sian-li, dan akulah yang akan mengirim kalian pulang ke asalmu!"

"Bangsat perempuan sombong!" Si Tinggi Besar meloncat maju kedua tangan terulur dengan maksud hendak menubruk dan memeluk gadis jelita itu dan membuatnya malu.

Tapi dengan cepat Thian Hwa meloncat berputar ke kiri dan kaki kanannya cepat menendang ke arah lambung kanan lawan. Si Tinggi Besar terkejut sekali karena sama sekali tidak menduga bahwa gadis cilik itu dapat bergerak secepat itu sehingga hampir saja lambungnya berkenalan dengan ujung sepatu. Cepat tangan kanannya bergerak hendak menyaut dan menangkap kaki Thian Hwa, tapi ternyata tendangan itu hanya pancingan belaka. Ketika tangan kanan Si Tinggi Besar itu bergerak hendak menangkap kakinya, ia cepat memutar ujung kakinya dan dengan dua jari tangan dikembangkan ia menusuk kedua mata lawan! Sekali lagi Si Tinggi Besar terkejut dan buru-buru meloncat mundur dengan keringat dingin membasahi jidatnya!

Melihat betapa anak perempuan itu benar-benar lihai, Kelima Raja Gunung Bweesan itu mencabut senjata mereka dan maju menyerang! Kini mereka tidak ada hasrat untuk menangkap gadis cantik itu lagi, mereka hanya ingin membunuhnya secepat mungkin karena gadis ini merupakan bahaya dan halangan besar bagi usaha mereka! Tapi Thian Hwa tidak menjadi takut, bahkan ia merasa gembira sekali melihat berkeredepannya senjata-senjata musuh. Ia cepat mencabut pedangnya sendiri dan sebentar saja sinar pedangnya menari-nari dan bergulung-gulung mengurung kelima perampok itu! Dengan ilmu pedang Kwan Im Kiam-hoat, ia dapat melayani kelima lawannya dengan baik, bahkan dapat membuat mereka itu repot sekali. Kemudian Thian Hwa mengubah permainannya dan mainkan ilmu pedang gubahan kakeknya yang disebut Huang-ho Kiam-hoat.

Ilmu pedang ini tampaknya tenang-tenang saja tapi mendatangkan tenaga yang luar biasa kuatnya, dan kadang-kadang tampak buas dan bergulung-gulung, lalu tenang-tenang lagi, sehingga sama dengan sifat dan pergerakan aliran air sungai Huang-ho, tapi yang di dalamnya mengandung gerak tipu mematikan. Dengan gerak tipu baru ini sebentar saja Thian Hwa dapat merobohkan tiga orang pengeroyok. Sementara itu, melihat bahwa lima orang yang selalu mengancamnya dan membuatnya tidak berdaya itu kini bertempur melawan Thian Hwa, diam-diam Tan-chungcu berlari keluar dan berteriak-teriak minta tolong kepada orang-orang kampung. Semua orang kampung ketika mengetahui bahwa di gedung kepala kampung ada perampok, lalu datang membawa senjata masing-masing dan menyerbu. Mereka melihat betapa tiga orang perampok telah roboh mandi darah dan yang dua sudah terdesak hebat.

Tanpa ampun lagi tiga orang perampok yang belum mampus tapi sudah terluka oleh pedang Thian Hwa itu, lalu dikeroyok dan tubuh mereka hancur di bawah hantaman dan bacokan orang-orang kampung! Dua orang perampok yang belum roboh, yakni Si Tinggi Besar dan Si Gemuk Pendek, yang ternyata memiliki kepandaian lumayan juga, melihat nasib ketiga kawannya, lalu menjadi ngeri dan takut. Mereka hendak melarikan diri, tapi pedang gadis yang gesit itu mengurung dan menahan mereka. Kemudian Si Gemuk Pendek menggunakan akal busuk dan memperlihatkan kekejaman dan kejahatannya. Dia meloncat ke belakang kawannya Si Tinggi Besar, lalu mendorong kawannya itu dengan keras ke arah Thian Hwa! Sehabis melakukan ini, dia meloncat ke atas melalui jendela dan kabur!

Thian Hwa cepat berkelit menghindar diri dari tubrukan dan langsung menusuk ke arah dada Si Tinggi Besar yang dikorbankan oleh kawannya sendiri sehingga Si Tinggi Besar roboh dan menjadi korban orang-orang kampung pula. Sementara itu Thian Hwa yang merasa gemas dan benci kepada kepala perampok yang curang dan pengecut itu, segera menggerakkan tubuh mengejar keluar jendela. Ketika tiba di atas genteng, ia melihat bayangan kepala perampok itu bergerak-gerak jauh di depan, maka segera ia mengeluarkan kepandaian mengejar cepat. Ternyata dalam hal kepandaian ginkang ia masih menang jauh, maka sebentar saja ia dapat mengejarnya. Si Pendek Gemuk itu dengan gemas lalu berlaku nekad dan melawan mati-matian,



Dewi Sungai Kuning Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo



Kisah Si Naga Langit Eps 3 Kisah Si Pedang Kilat Eps 12 Kisah Si Pedang Kilat Eps 2

Cari Blog Ini