Ceritasilat Novel Online

Kasih Diantara Remaja 25


Kasih Diantara Remaja Karya Kho Ping Hoo Bagian 25




Muka yang cantik itu menjadi merah sekali, akan tetapi Hoa-ji menggeleng kepalanya. "Aku mana bisa menerka? Siapa dia?"

Han Sin menghentikan kudanya, meloncat turun sambil menarik tangan Hoa-ji. Dengan kedua tangan adiknya dipegang, pemuda ini menatap wajah Hoa-ji dengan tajam lalu berkata dengan suara sungguh-sungguh,

"Adikku, banyak sekali hal-hal yang harus kujelaskan kepadamu. Setelah kita saling bertemu sebagai saudara kandung, tak perlu ada rahasia lagi di antara kita. Kau sudah mendengar tadi ceritaku tentang keadaanmu semenjak kecil, ditukar-tukar oleh Ang-jiu Toanio, kemudian anak Ang-jiu Toanio ditukar pula oleh Balita puteri Hui. Yang selama ini mengaku dan kuaku pula menjadi adikku bernama Cia Bi Eng, sebetulnya adalah anak Balita! Aku sudah lama tahu akan hal ini."

Sampai di sini dia menarik napas panjang dan wajahnya muram. Teringat ia akan sikap Bi Eng beberapa hari yang lalu, hatinya kecewa dan amat gelisah. Sampai sekarang masih belum tahu dia apa yang menyebabkan Bi Eng bersikap seaneh itu.

"Bi Eng......"

"Sin-ko, lebih baik kau menyebut Hoa-ji padaku. Nama itu kupakai semenjak kecil dan rasanya tidak enak kalau tiba tiba diganti nama baru. Pula, bukankah nama Bi Eng sudah dipakai orang lain?" bantah Hoa-ji dengan sikap manja.

Han Sin tertawa. Memang cocok dengan kehendak hatinya. Rasanya iapun akan merasa kecewa dan janggal kalau harus memanggil Bi Eng dengan sebutan nama lain, apa lagi kalau harus memanggil Bi Eng dengan nama barunya, Tilana! Nama Tilana ini hanya akan mengingatkan dia akan pengalamannya yang amat ruwet dan tidak menyenangkan dengan gadis anak Ang-jiu Toanio itu!

"BAIKLAH, Hoa-moi (adik Hoa). Terus terang tadi kukatakan bahwa ada orang yang menyuruh aku menyelamatkan engkau dan membawa engkau ke kota raja. Karena kau tidak mau mengaku, biarlah kukatakan bahwa orang itu adalah Pangeran Yong Tee...."

"Ahhh....." Hoa-ji mengeluarkan seruan perlahan, wajahnya menjadi makin merah dan ia membuang muka, tak berani menentang pandang mata kakaknya. Bibir yang manis itu tersenyum-senyum, akan tetapi matanya ditundukkan, nampak malu sekali.

Han Sin memegang pundak adiknya. "Hoa-moi, kau tak perlu takut, atau malu-malu. Aku sudah tahu, atau sedikitnya sudah menduga. Pangeran Yong Tee sudah bercerita secara terus terang bahwa ada hubungan kasih antara kau dan dia. Hanya yang amat mengherankan hatiku, bagaimana dia bisa jatuh hati kepada seorang gadis yang selalu berkedok seperti engkau ini. Benar-benar hebat..."

Hoa-ji mencubit lengan kakaknya. "Sin-ko, jangan kau menggoda....."

Han Sin tertawa senang. Sedikit banyak, ada persamaan antara Hoa-ji ini dengan Bi Eng. Akan tetapi tiba-tiba suaranya menghilang karena ia teringat akan keadaan ini yang sebetulnya amat bertentangan dengan hatinya. Hoa-ji adalah adiknya, adik kandungnya. Bagaimana bisa berkasih-kasihan dengan Pangeran Mancu, musuh besar bangsanya? Hoa-ji agaknya merasa akan perubahan ini dan matanya yang bening kini menatap wajah Han Sin menyelidik.

"Hoa-moi, kau sekarang mengetahui bahwa kau dan aku adalah anak dari mendiang Cia Sun, seorang patriot sejati yang sudah mendapat nama besar di dunia, terkenal sebagai seorang pahlawan rakyat yang tidak segan-segan mengorbankan apa saja demi nusa dan bangsa. Aku sama sekali tidak dapat menyalahkan kau yang semenjak kecil dipelihara dan dididik oleh Hoa Hoa Cinjin, yang kemudian menghambakan diri kepada penjajah. Akan tetapi..... setelah sekarang kau bertemu dengan aku, setelah sekarang kau tahu bahwa kau adalah puteri seorang patriot bangsa, sudah tentu sekali kau harus merobah keadaan hidupmu. Kita harus melanjutkan cita-cita ayah. Tentu saja tidak tepat kalau kau membantu Bangsa Mongol yang dulu dimusuhi ayah. Pula amat tidak tepat kalau kita membantu Bangsa Mancu yang menjajah tanah air...." Han Sin melihat perubahan pada wajah adiknya, menjadi pucat ketika ia menyebut kalimat terakhir ini. Ia dapat menyelami jiwa adiknya, akan tetapi apa boleh buat, demi kebaikan adiknya sendiri, ia harus berterus terang.

"Hoa-moi, kuatkan hatimu. Aku tahu bahwa antara kau dan Pangeran Yong Tee ada ikatan kasih. Akan tetapi.... dia seorang pangeran Mancu! Pangeran dari bangsa yang menjajah tanah air kita! Kalau saja dia bukan pangeran, mungkin lain lagi soalnya. Tapi dia pangeran, seorang yang berpengaruh pula di istana, yang aktif mengatur pemerintah Mancu. Pula.... dia mengenalmu dan cinta kepadamu sewaktu kau masih berkedok. Dia belum pernah melihat wajahmu, bagaimana dia bisa menyatakan cinta? Aku tidak percaya akan cinta yang demikian itu!"

"Sin-ko ".!" Dalam jerit tertahan ini terkandung isak.

Han Sin menepuk-nepuk pundak adiknya.

"Aku percaya akan kemurnian cintamu terhadapnya, adikku. Dan..... terus terang saja akupun agaknya tidak meragukan kejujuran hati pangeran itu. Hanya... dia Pangeran Mancu, Hoa-moi dan ini harus kau ingat baik-baik. Bagaimanakah roh ayah dapat tenteram di alam baka kalau melihat puterinya... berdampingan dengan musuh bangsa....?"

"Sin-ko...., kau menghancurkan hatiku...." Gadis itu mengeluh.

Han Sin menarik napas panjang. Tentu saja ia dapat merasai kehancuran hati adiknya. Memang berat menjadi korban cinta kalau gagal di tengah jalan. Akan tetapi Hoa-ji adalah adik kandungnya, untuk mengingatkan, untuk mencegah penyelewengan yang tak disadari.

"Mari kita lanjutkan perjalanan, Hoa-ji."

"Ke mana.....?" Gadis itu bertanya lemah, menyerah.

"Ke Ta-tung."

"Eh, bukan ke Min-san?"

Ada suara girang dalam seruan ini. Han Sin juga maklum. Ta-tung adalah kota yang dekat kota raja dan Pangeran Yong Tee sering kali datang ke Ta-tung yang dijadikan pusat pertahanan dari penyerbuan Bangsa Mongol. Sebetulnya ia lebih suka mengajak Hoa-ji ke Min-san, jauh dari Pangeran Yong Tee, akan tetapi.... Bi Eng! la harus menyelidiki Bi Eng di Ta-tung, harus bertemu dengan gadis itu yang benar-benar menghancurkan perasaannya dan membingungkan hatinya. Karena inilah maka ia hendak mengajak Hoa-ji ke Ta-tung lebih dulu sebelum melanjutkan perjalanan ke Min-san.

"Tidak, Hoa-moi. Kita ke Ta-tung dulu, ada urusan di sana," jawabnya singkat. Hoa-ji juga tidak bertanya lebih lanjut.

Beberapa hari kemudian tibalah mereka di Ta-tung. Alangkah kecewa hati Han Sin ketika melihat perubahan besar sekali di kota ini. Kotanya masih ramai, malah lebih ramai dari pada dahulu. Akan tetapi di sini tidak terlihat lagi orang-orang kang-ouw yang membantu Mancu. Hanya ada beberapa pasukan serdadu Mancu menjaga kota. Agaknya karena tentara Mongol sudah dihancurkan dan dipukul cerai-berai di sana-sini, kota ini dianggap sudah aman dan tidak menjadi pusat pertahanan lagi. Lebih berat rasa hati Han Sin ketika mencari keterangan di sana-sini, tak seorangpun tahu ke mana perginya orang-orang gagah dari selatan yang tadinya membantu pertahanan bala tentara Mancu. Tak seorangpun tahu ke mana perginya Li Hoa, Li Goat, Yan Bu, Bi Eng, para tosu dan lain-lain orang gagah.

Dengan penuh kekecewaan, Han Sin mengajak Hoa-ji bermalam di sebuah rumah penginapan. Tak seorangpun mengenal Hoa-ji karena gadis ini baru sekarang muncul di muka umum dengan muka tidak tertutup. Andaikata dia berkedok seperti biasa, setiap orang serdadu Mancu tentu akan mengenalnya sebagai puteri Hoa Hoa Cinjin yang membantu orang Mongol dan tentu akan timbul urusan hebat!

Kakak beradik ini mendapat sebuah kamar besar dengan tempat tidur dua buah. Tadinya Han Sin hendak minta dua kamar, akan tetapi ternyata kamar yang lain sudah tersewa orang, penginapan-penginapan penuh sehingga terpaksa ia menerimanya juga. Bagaimanapun juga, Hoa-ji adalah adik kandungnya. Apa salahnya tidur sekamar apalagi berpisah pembaringan?

Han Sin malam itu gelisah, tak dapat tidur. Ia melihat Hoa-ji segera tidur setelah membaringkan tubuhnya. Bermacam pikiran mengganggu Han Sin, terutama sekali soal Bi Eng. Agaknya tak dapat disangsikan lagi bahwa gadis itu sudah tahu akan keadaan dirinya yaitu bahwa dia adalah anak Balita dan bernama Tilana. Akan tetapi andaikata sudah tahu akan hal itu, mengapa seakan-akan membencinya dan malah mengeroyoknya? Mengapa pula membantu Bhok Kian Teng? Hal ini benar-benar amat mengganggu hatinya, menggelisahkannya dan ia takkan mau sudah kalau belum dapat membongkar rahasia baru ini. Aku harus bertemu dengannya, harus bicara dengannya dari hati ke hati. Ah,.... Bi Eng...!!" Dengan pikiran ini dan nama gadis ini di bibirnya, akhirnya Han Sin tertidur juga menjelang tengah malam.

Tiba-tiba Han Sin sadar dari tidurnya. Ada suara yang membuat ia terbangun. Otomatis tangan kanannya menggerayang ke gagang pedang Im-yang-kiam yang ia letakkan di sebelah kanannya sambil melirik, alangkah kagetnya melihat pembaringan Hoa-ji di sebelah kanannya telah kosong! Hoa-ji telah meninggalkan kamar itu!

Han Sin cepat-cepat menengok ke kiri, ke arah jendela. Ternyata jendela sudah terbuka. Belum jauh, pikirnya. Ke mana perginya Hoa-ji? Harus kukejar. Akan tetapi sebelum ia meloncat turun, tiba-tiba ia mendengar suara orang mendekati jendela. Lilin di atas meja masih bernyala, kini bergerak-gerak tertiup angin yang masuk melalui jendela. Memang ia sengaja tidak memadamkan lilin karena merasa tidak enak tidur sekamar dengan Hoa-ji tadi. Apakah orang yang mendekati jendela itu Hoa-ji yang datang kembali? Han Sin pura-pura tidur kembali, membuka sedikit matanya untuk mengintai ke arah jendela.

Tak lama kemudian, sesosok bayangan orang melayang masuk melalui lubang jendela itu. Tak dapat disangkal lagi, tubuh seorang wanita!

Tapi bukan Hoa-ji! Siapa dia....? Han Sin memperlebar sedikit matanya ketika melirik. Cahaya penerangan lilin yang suram menimpa wajah wanita itu yang sudah berada di dekat meja dan.... tegang-tegang seluruh urat-syaraf di tubuh Han Sin ketika mengenal wanita ini bukan lain adalah Bi Eng! Hampir tak kuat ia menahan gelombang perasaannya, namun ia cepat mengumpulkan tenaga menindih perasaannya, tinggal berbaring seperti orang tidur pulas, tapi diam-diam memperhatikan gerak-gerik gadis itu.

Memang gadis itu bukan lain adalah Bi Eng! Masih manis, masih cantik jelita seperti biasa, hanya agak pucat dan sinar matanya memancarkan kemarahan di samping kedukaan yang mendalam. Senyum yang dulu setiap saat membayang di bibirnya kini lenyap, terganti oleh bayangan siksa batin yang hebat.

"Bi Eng.... kasihan kau...." demikian keluh hati Han Sin.

Akan tetapi gadis itu sebaliknya. Dengan muka beringas gadis itu mencabut pedangnya, lalu menghampiri ranjang Han Sin! Maut membayang di mukanya, nampak jelas gigi yang dikertakkan itu berkilat ketika bibirnya terbuka sedikit, seakan-akan mengeraskan hatinya. Sepintas gadis itu mengerling ke arah tempat tidur Hoa-ji yang kosong, lalu bibirnya mengejek,

"Laki-laki hidung belang! Mata keranjang....!" Ucapan ini terdesis dari bibirnya, membuat Han Sin diam-diam merasa kaget dan heran sekali. Kenapa Bi Eng menganggapnya laki-laki mata keranjang dan hidung belang? Apakah ada hubungan dengan peristiwa Tilana dahulu?

Bibir Bi Eng bergerak-gerak lagi berbisik-bisik dengan suara menyeramkan.

".... sudah tahu aku bukan adiknya masih berpura-pura.... mencari kesempatan mempermainkanku.... musuh besar yang harus dibasmi sampai ke akar-akarnya.... laki-laki mata keranjang, mempermainkan Kiok Hwa, sekarang punya pacar lain.... keparat....!"

Untuk sedetik Han Sin terheran. Mempermainkan Kiok Hwa....? Tapi pikirannya yang cerdik segera dapat menerkanya. Agaknya Tilana yang disebut Kiok Hwa itu. Mungkin nama aselinya, nama puteri Ang-jiu Toanio adalah Kiok Hwa!

"Lebih baik melihat kau mampus!" Bi Eng mengangkat pedangnya, siap untuk menikam dada Han Sin. Pemuda ini sama sekali tidak merasa takut. Sama sekali tidak mau melawan. Terlalu hancur hatinya untuk mengingat tentang keselamatannya. Biarlah ia mati di tangan Bi Eng. Untuk apa hidup kalau Bi Eng sudah membencinya sedemikian rupa? Jelas sekarang, Bi Eng sudah bertemu dengan Balita, sudah tahu bahwa dia puteri Balita. Sekarang Bi Eng hendak membalas dendam ibunya karena perbuatan Cia Sun. Selain itu, agaknya Bi Eng sudah membencinya karena.... Tilana! Dan Han Sin tak dapat menyangkal pula. Biarlah dia mati di tangan Bi Eng. Han Sin merapatkan matanya dan tersenyum. Aku rela mati di tanganmu, kekasihku!

Tapi ujung pedang yang runcing tidak datang-datang. Malah terdengar jerit tertahan disusul tangis.

".... aku tak bisa..... tak bisa membunuhnya.... ahh......"

Han Sin membuka matanya, melihat Bi Eng menutupi muka sambil menangis terisak-isak, pedangnya tergantung di tangan kanan, tangan kiri menutup muka!

"Bi Eng...." Han Sin memanggil lirih.

Gadis itu terkejut, membuka tangannya. Untuk sesaat dua pasang mata bertemu. Mata Han Sin memancarkan cahaya lembut dan mesra, penuh cinta kasih, mata Bi Eng terbelalak, kaget, malu, duka dan marah. Kemudian gadis itu memutar tubuhnya dan meloncat ke arah jendela.

"Bi Eng..... aku cinta padamu....!" Han Sin berkata sambil bergerak bangun. Akan tetapi Bi Eng hanya memperdengarkan sedu-sedan mendengar kata-kata ini dan menghilang di dalam gelap.

Han Sin meloncat ke jendela, hanya menghadapi malam yang hitam. Tidak nampak lagi bayangan Bi Eng, juga tidak nampak bayangan Hoa-ji. Cepat ia mengambil pedang dan pakaian, lalu melompat keluar dan mencari dua orang gadis itu, atau lebih tepat lagi, mengejar dan mencari Bi Eng, karena dalam saat itu, kekhawatirannya akan Hoa-ji dikalahkan oleh keinginannya untuk mengejar dan bicara dengan Bi Eng.

Sampai menjelang fajar Bi Eng, yang sekarang menggunakan nama Tilana itu, berlari-lari dari Ta-tung sambil menangis sepanjang jalan.

"Aku tidak tega membunuhnya..... dia tersenyum, ah.... Sin-ko, bagaimana aku.... tega membunuhmu......?" demikian terdengar ucapannya di antara isak tangisnya. Setelah tiba di sebuah hutan di selatan kota Ta-tung, ia segera memasuki hutan itu. Tentu saja Bi Eng sama sekali tidak pernah menduga bahwa orang yang hampir dibunuhnya, yang dikenangnya sepanjang perjalanan itu, sejak tadi mengikutinya dari jauh.

Matahari telah mulai menerangi permukaan bumi ketika Bi Eng tiba di sebuah tempat terbuka, tempat indah di mana tumbuh pohon bambu di samping dinding gunung batu yang menjulang tinggi. Di bawah pohon-pohon bambu itu, duduklah seorang pemuda di atas batu licin bersih. Pemuda ini berdiri sambil tersenyum ketika melihat Bi Eng datang. Seekor monyet melompat dan hinggap di pundak Bi Eng.

"Kau baru datang? Duduklah, tentu kau lelah," kata pemuda tampan itu yang bukan lain adalah Bhok-kongcu atau Bhok Kian Teng, juga belum lama ini disebut Pangeran Galdan.

Bi Eng menjatuhkan dirinya di atas rumput, mengusap kepala Siauw-ong monyet itu, lalu menarik napas panjang. Diam-diam Bhok-kongcu melihat bekas air mata di sepanjang pipi gadis itu, maka sambil memandang tajam pemuda itu bertanya,

"Bagaimana, adik Tilana. Selesaikah tugasmu? Berhasilkah kau membunuh musuh besarmu?" berkata demikian pemuda ini duduk di dekat Bi Eng, lalu memegang lengan gadis itu dengan sikap mesra. Bi Eng menarik tangannya seperti tidak sengaja, akan tetapi ketika pemuda itu memegang lagi ia menariknya dengan keras.

"Sudah berkali-kali kukatakan bahwa aku tak suka kau pegang-pegang, harap kau jangan memaksa!"

Bhok-kongcu tersenyum, memperlihatkan giginya yang berderet rapi dan putih. "Adik Tilana, kau tidak tahu betapa hatiku selalu penuh olehmu, betapa aku amat mencintaimu dan ingin selalu berdekatan denganmu. Di antara tunangan dan calon suami isteri yang sudah disyahkan oleh orang tua masing-masing, apa sih halangannya kalau hanya berpegang tangan?"

Sepasang mata gadis itu mengeluarkan sinar marah. "Memang ibuku yang menerima lamaranmu, akan tetapi bukan aku! Aku tidak membantah karena tidak mau menyusahkan hati ibu, kau tahu akan hal ini dan kau sudah berjanji akan memaklumi isi hatiku ini asal aku tidak memusuhimu. Apakah kau hendak melanggar janji?"

Bhok-kongcu menghela napas. "Alangkah kerasnya hatimu, adik Tilana. Kapankah kau dapat bersikap lebih baik kepadaku? Biarlah aku sabar menanti, akan tetapi sedikitnya berlakulah manis kepadaku...."

"Sikapku tergantung pada sikapmu sendiri. Jangan ceriwis, jangan kurang ajar...."

Bhok-kongcu tertawa masam. "Baiklah, aku akan bersikap seperti anak yang baik. Toh akhirnya kau menjadi punyaku. Eh, adikku yang manis, bagaimana dengan tugasmu malam tadi? Berhasilkah..... ?"

Bi Eng menggeleng kepala. "Tak dapat aku membunuhnya....."

"Hee...?? Tak dapat membunuh musuh besar, anak orang yang sudah menghina ibumu? Tilana,..... bagaimana ini? Apakah kau sudah berhasil memasuki kamarnya? Betul tidak bahwa dia tidur bersama seorang gadis cantik?"

Bi Eng mengertak gigi, matanya memancarkan cahaya kemarahan. "Betul....., dia bedebah, mata keranjang! Benar-benar aku malu kalau mengenangkan hal itu........ agaknya bukan perempuan baik. Malam-malam keluar dari kamar dan pergi tanpa pamit, meninggalkan dia sendiri. Aku berhasil masuk ke kamarnya setelah perempuan itu minggat, dia sedang tidur dan aku.... aku.... ah, tak tega aku membunuhnya.... bagaimana aku bisa membunuh seorang yang sejak kecil kupandang sebagai kakak kandungku.....??" Gadis itu lalu menangis.

Tiba-tiba Bhok-kongcu nampak marah sekali. "Kau.... kau mencintai dia! Celaka! Kau malah jatuh cinta kepadanya,..... setan!"

Bi Eng meloncat berdiri serentak, sampai membuat Siauw-ong kaget sekali. "Tutup mulutmu! Jangan kau bicara sembarangan!" Gadis itu berdiri tegak, mukanya pucat, suaranya gemetar.

"Ha ha ha, siapa bicara sembarangan? Kau tadi nampak marah-marah ketika bicara tentang perempuan di kamarnya, tanda bahwa kau cemburu. Hanya orang yang mencinta saja bisa cemburu. Kau tidak tega membunuhnya. Hemm, apa lagi artinya kalau bukan kau sudah jatuh hati kepadanya! Tilana, jangan kau main-main. Kau adalah tunanganku, calon isteriku. Aku yang tidak membolehkan kau tergila-gila kepada laki-laki lain. Kupegang tanganmu saja kau tidak suka dan kau.... kau tergila-gila kepadanya. Mulai sekarang jangan bertingkah lagi, kau harus menjadi isteriku. Kau harus ikut dengan aku." Setelah berkata demikian, tiba-tiba pemuda itu menggerakkan tubuhnya dan di lain saat Bi Eng sudah dipeluknya!

Bi Eng menjerit dan memberontak, tapi mana bisa dia melawan kekuatan Bhok-kongcu. Pada saat itu Bhok-kongcu mengeluarkan seruan kesakitan dan terpaksa melepaskan pelukannya. Kesempatan ini dipergunakan Bi Eng meronta dan melompat ke depan menjauhkan diri. Ternyata Siauw-ong tadi "turun tangan" menyerang dan menggigit pundak Bhok-kongcu ketika melihat nonanya diganggu orang.

"Monyet keparat!" Bhok-kongcu membentak marah dan maju memukul monyet itu. Akan tetapi Siauw-ong bukan monyet biasa, cepat mengelak dan meloncat ke belakang Bi Eng untuk berlindung. Sementara itu, Bi Eng sudah marah sekali. Tanpa pikir panjang lagi ia lalu menggunakan kepalan tangannya, menyerang Bhok-kongcu dengan Ilmu Silat Liap-hong-sin-hoat, malah ketika Bhok-kongcu mendesaknya dengan ilmu silatnya yang lebih kuat, gadis ini menggunakan beberapa jurus dari Thian-po-cin-keng yang pernah ia pelajari dari Han Sin.

"Kau hendak melawan tunanganmu?" Bhok-kongcu membentak. "Tunggu, kelak kuberitahukan kepada Balita, tentu kau akan dihajar!"

Akan tetapi Bi Eng yang sudah marah tidak bisa ditakut-takuti lagi, terus menerjang dengan nekat. Betapapun juga, mana bisa dia melawan Bhok-kongcu yang amat lihai, yang tingkat kepandaiannya jauh lebih tinggi dari pada gadis itu? Segera ia terdesak mundur. Siauw-ong maklum akan bahaya yang dihadapi nonanya, maka sambil memekik-mekik monyet inipun maju membantu Bi Eng. Namun percuma saja, Siauw-ong bahkan dua kali kena ditendang oleh kongcu itu sampai bergulingan. Dasar monyet berani mati dan setia, begitu bangun ia melawan pula sambil memekik-mekik seperti orang memaki-maki. Bi Eng juga melawan dengan nekat, malah kini gadis itu tidak segan-segan menggunakan pedangnya.

"Kau mengajak mati-matian? Keparat!" Bhok-kongcu membentak marah. Ketika pedang Bi Eng berkelebat menusuk dadanya dengan gerakan sungguh-sungguh dalam serangan maut, pemuda ini miringkan tubuh, tangan kirinya bergerak menyambar pedang, tangan kanannya bergerak pula menangkap pergelangan lengan Bi Eng. Di lain saat, Bi Eng tak dapat bergerak pula, pedangnya terlepas dan ia tertangkap!

"Ha ha ha, manisku, apa kau mau memberontak lagi? Benar-benar kau seekor kuda betina yang binal!" Sambil tertawa-tawa Bhok-kongcu menowel pipi Bi Eng. Gadis itu bukan main marahnya, marah dan takut karena pemuda cabul itu agaknya hendak berbuat lebih kurang ajar lagi. Siauw-ong maju hendak menolong, akan tetapi sebuah tendangan membuat monyet itu terguling-guling sampai jauh!

"Toloonggg.....!" Bi Eng tak dapat menahan ketakutannya melihat Bhok-kongcu merangkulnya, sampai mengeluarkan teriakan minta tolong ini.

"Plakk!" Sebuah telapak tangan menepuk pundak kanan Bhok-kongcu, membuat pemuda itu merasa lengan kanannya lemas dan lumpuh dan terpaksa ia tak dapat menahan ketika Bi Eng meronta dan melompat menjauhkan diri.

Dengan kemarahan meluap-luap Bhok-kongcu memutar tubuh dan ia berhadapan muka dengan.... Cia Han Sin! Seketika Bhok-kongcu menjadi pucat mukanya.

"Kau....??"

Han Sin tersenyum. "Pangeran Galdan atau Bhok Kian Teng, nafsu angkara murkamu telah membawa bangsamu ke kehancuran. Kau tidak bertobat dan hidup baik-baik menebus dosa, malah kau menambah dosamu dengan perbuatan-perbuatan yang makin lama makin jahat dan tak tahu malu."

"Kau.... kau hendak membunuhku.....??" Pangeran Mongol itu nampak ketakutan.

Han Sin tersenyum lebar. "Kiranya sudah sepatutnya kalau aku melakukan hal itu. Sudah berapa kali kau berusaha membunuhku? Hanya karena aku tidak sudi mengikuti jejak hidupmu, maka aku belum membunuhmu sampai sekarang. Akan tetapi kali ini......."

Han Sin tak dapat melanjutkan kata-katanya karena secara curang dan tiba-tiba Bhok Kian Teng sudah mengirim serangannya. Akhir-akhir ini ia sudah mempelajari Hek-tok-ciang (Tangan Racun Hitam) dari ayahnya, akan tetapi dasar dalam kecerdikan ia lebih unggul dari pada Pak-thian-tok, ia dapat mengusahakan sedemikian rupa dengan segala macam obat penggosok kedua lengannya sehingga biarpun sudah berhasil memenuhi kedua lengan tangannya dengan hawa beracun dari Hek-tok-ciang, namun kulit kedua lengannya tetap putih mulus, tidak seperti kedua lengan Pak-thian-tok yang menjadi hitam hangus kalau mengeluarkan ilmu yang dahsyat ini!

Han Sin cepat mengelak dan di lain saat kedua orang muda itu sudah bertempur mati-matian dengan tangan kosong. Kaget juga hati Han Sin ketika mendapat kenyataan betapa sambaran kedua tangan pemuda Mongol itu mengandung hawa aneh yang selain kuat, juga seperti mengandung hawa beracun yang dahsyat. Bau amis menyerang hidungnya tiap kali tangan pemuda lawannya itu menyambar, padahal pada kedua lengan itu ia tidak melihat tanda-tanda bahwa lawannya menggunakan pukulan beracun.

"Kau memang manusia keji!" bentaknya dan dengan pukulan-pukulan dari Thian-po-cin-keng, sebentar saja ia sudah berhasil mendesak Bhok-kongcu sampai Pangeran Mongol itu tak mampu membalas, hanya main mundur, main kelit dan loncat saja. Siauw-ong terdengar memekik-mekik gembira ketika monyet ini melihat Han Sin mendesak lawannya. Akan tetapi, tiba-tiba teriakan girangnya terhenti ketika Bi Eng menarik tangannya dan membawa monyet itu lari cepat meninggalkan tempat itu.

"Bi Eng.....!" Han Sin terpaksa menunda desakannya kepada Bhok-kongcu ketika melihat Bi Eng lari pergi. Ia sedang menengok ke arah Bi Eng dan hal ini dipergunakan oleh Bhok-kongcu yang amat curang untuk mengirim serangan lagi, kini menggunakan sebuah kipas yang beracun. Serangannya cepat dan dahsyat, mengarah lambung!

"Pengecut curang!" Han Sin terpaksa membalikkan tubuh dan menanti kipas itu dekat, tiba-tiba tangannya bergerak menyabet dan..... "Prakk!" Kipas itu hancur berkeping-keping terkena sabetan jari-jari tangan Han Sin! Bhok-kongcu terhuyung-huyung mundur dengan muka pucat. Han Sin yang sudah marah sekali melangkah maju.

Mendadak sekali sebuah lengan yang amat panjang tahu-tahu menyelonong ke tempat pertempuran dan mencengkeram pundak Han Sin yang sedang mendesak Bhok-kongcu. Pemuda ini maklum bahwa si jangkung sudah muncul lagi. Ia marah sekali dan cepat menggunakan tangannya menangkis sambil mengerahkan tenaganya. Menurut perhitungan Han Sin, sekali tangkisannya ini tentu akan mematahkan tulang lengan si jangkung.

Akan tetapi, tiba-tiba lengan yang agaknya bisa mulur mengkeret seperti karet itu tiba-tiba ditarik menjadi pendek sehingga tangkisan Han Sin tidak mengenai sasaran. Dan pada saat itu, si jangkung sudah menghadang di depannya, bersama dua orang lain yang segera ia kenal baik karena mereka itu bukan lain adalah dua orang raksasa kembar yang pernah mengeroyoknya dulu, yaitu pembantu-pembantu Pak-thian-tok Bhok Hong. Sekaligus ia menghadapi tiga orang lawan yang aneh dan tinggi ilmu silatnya.

Kalau aku tak dapat menewaskan tiga orang ini, tak mungkin dapat menangkap Bhok Kian Teng, pikir Han Sin yang cepat melakukan serangan-serangan kilat. Tiga orang lawannya juga mendesak maju dan terjadilah pertempuran yang amat hebat.

Han Sin benar seorang pemuda berjiwa gagah. Melihat tiga orang lawannya bertangan kosong, iapun tidak mau mengeluarkan Im-yang-kiam yang terbelit di pinggangnya. Iapun melawan dengan tangan kosong! Malah timbul kegembiraannya karena sekarang ia mendapat kesempatan menguji ilmu silatnya dengan ilmu silat asing yang tak pernah dilihatnya. Dan benar-benar ia mendapatkan kenyataan bahwa ilmu silat tiga orang itu benar-benar aneh.

Si jangkung memiliki ilmu silat seperti dua ekor ular yang menyambar dari atas dan bawah, yaitu kedua lengan tangannya yang panjang dan dapat mulur mengkerut! Adapun sepasang raksasa itu, selain bertenaga besar luar biasa, juga ternyata merupakan ahli-ahli ilmu silat semacam Ilmu Silat Houw-jiauw-kang (Cakar Harimau) atau Eng-jiauw-kang (Cakar Garuda) yang mengutamakan gerakan mencengkeram, menangkap, dan membanting.

Amat berbahaya kalau sampai tertangkap oleh mereka, sungguhpun yang menangkap itu hanyalah dua buah ibu jari dari tangan kanan kiri. Benar-benar aneh dan sukar dipercaya bagaimana orang yang hanya memiliki dua buah jari kanan kiri dapat mempelajari ilmu silat yang mengutamakan mencengkeram dan menangkap!

Setelah melawan tiga orang ini sambil diam-diam memperhatikan ilmu silat mereka, Han Sin mendapat kenyataan bahwa dalam hal menyerang mereka itu tidak begitu berbahaya, akan tetapi pertahanan mereka benar-benar amat mengagumkan. Ia sudah membalas dengan beberapa jurus dari Thian-po-cin-keng akan tetapi setiap kali serangannya akan mengenai sasaran, tentu seorang di antara mereka dapat menolong kawan.

Ternyata mereka itu dapat bekerja sama secara baik dan teratur. Seakan-akan mereka itu melakukan siasat dalam barisan. Benar-benar amat mengagumkan dan kepandaian mereka ini saja sudah membangkitkan rasa simpati di hati Han Sin yang menjadi tidak tega untuk membunuh mereka!

"Kalian pergilah, aku tidak bermusuhan dengan kalian!" katanya dalam bahasa Mongol. Hati Han Sin sudah amat kecewa melihat bahwa selain Bi Eng yang sudah pergi entah ke mana, juga Bhok kongcu sudah tidak kelihatan lagi mata hidungnya. Kongcu yang amat curang dan cerdik itu ternyata sudah menggunakan kesempatan tadi untuk melarikan diri secara diam-diam.

Akan tetapi tiga orang pembantu Bhok-kongcu itu mana mau menyudahi pertempuran itu begitu saja? Mereka adalah tokoh-tokoh besar dari dunia utara dan barat, sekarang mengeroyok seorang pemuda tak dapat menang, benar-benar keterlaluan dan penasaran sekali!

"Belum ada yang kalah atau menang, mana bisa berhenti?" seru si jangkung yang suaranya tinggi kecil seperti bentuk tubuhnya. Han Sin sebagai seorang ahli silat maklum akan perasaan mereka ini, maka cepat ia lalu mengatur langkah langkahnya dengan Ilmu Silat Thian-po-cin-keng, sedangkan kedua tangannya lalu dikepal hanya mengeluarkan dua buah jari tangan untuk mainkan jurus-jurus dari ilmu silat Lo-hai Hui-kiam! Bukan main hebatnya ilmu silat campuran dari dua macam ilmu silat kelas tinggi ini. Mana bisa tiga orang itu mampu menghadapinya? Berturut-turut mereka memekik dan roboh tertusuk jari tangan Han Sin yang hanya melukai mereka saja, tidak tega membinasakan.

Setelah mereka roboh, cepat ia meloncat pergi dan mencari Bhok-kongcu dan Bi Eng. Ia tidak tahu ke mana mereka itu pergi, maka dengan hati berat ia lalu mencari sekehendak hatinya saja. Kemudian, setelah tidak berhasil usahanya mencari di sekitar daerah itu, ia kembali ke Ta-tung.

KE MANAKAH perginya orang-orang gagah yang dulu membantu pertahanan Mancu dan berkumpul di Ta-tung? Yong Tee yang cerdik sekali telah mengatur sehingga mereka ini cerai-berai, ada yang ditarik ke daerah lain untuk membantu pasukan Mancu, ada pula yang diberi hadiah dan disuruh kembali ke tempat masing-masing karena kekuatan Mongol sudah hancur. Ada pula yang ia persilakan datang ke kota raja untuk menjadi tamu agungnya. Pendeknya, secara lihai sekali Pangeran ini mengatur supaya para orang gagah itu tidak berkumpul menjadi satu karena mereka melihat ancaman bahaya lain kalau orang-orang itu berkumpul menjadi satu!

Di antara mereka yang ia undang menjadi tamu agungnya adalah dua saudara Li Hoa dan Li Goat, dan juga Phang Yan Bu. Pangeran Yong Tee maklum bahwa tiga orang muda yang gagah ini termasuk sahabat-sahabat baik dari Bi Eng dan Han Sin oleh karena itu ia mengundang mereka ini menjadi tamunya dan mempersilakan mereka menanti datangnya Han Sin dan Bi Eng di istananya di kota raja. Mereka mendapat pelayanan yang amat manis dan hormat dari Yong Tee sehingga hati orang-orang muda itu mau tidak mau tertarik dan harus mereka akui bahwa pangeran ini berbeda dengan pembesar-pembesar lainnya, peramah dan rendah hati.

Di lain pihak, Yong Tee merasa gelisah selalu karena tidak ada berita dari Han Sin maupun Bi Eng. Bagaimanakah keadaan Han Sin dalam mencari Hoa-ji si gadis berkedok? Ia hanya merasa gelisah sekali, takut kalau-kalau kekasihnya itupun menjadi korban perang. Hatinya perih kalau teringat akan pertemuan-pertemuannya dengan Hoa-ji dahulu, di taman dalam lingkungan istananya.

Pertemuan yang amat romantis, yang mesra dan juga pertemuan antara dua orang muda yang secara rahasia dan aneh sudah saling mencinta padahal dia belum pernah melihat wajah gadis berkedok itu. Hoa-ji yang mengajukan syarat bahwa sebelum mereka bertunangan secara syah, pangeran itu tidak berhak membuka kedoknya dan pangeran itu dengan rendah hati dan sabar menerima syarat ini. Secara membuta, menuturkan perasaan hatinya, Pangeran Yong Tee jatuh cinta kepada seorang gadis yang belum pernah ia lihat wajahnya. Benar-benar aneh sekali kalau cinta sudah meracuni hati seorang muda.

Sudah beberapa lama, setiap malam Pangeran Yong Tee duduk di dalam taman itu, mengenangkan kekasihnya sambil mengharap-harapkan datangnya Han Sin membawa berita baik.

Pada malam hari itu, malam terang bulan, pangeran inipun duduk seorang diri di dalam taman, berkawan arak dan bunga. Ia merenung dan mukanya yang tampan nampak muram oleh kegelisahan. Sampai lama pangeran muda itu merenung sambil menatap bulan yang tampak bergerak dengan megah dan halusnya di antara mega-mega, seakan akan puteri juita sedang berjalan-jalan di tengah malam.

Ia menarik napas panjang. Bulan tetap sama, semenjak dia masih kecil sampai sekarang, mungkin sampai dia mati, sampai semua bunga di taman gugur, sampai dunia kiamat. Bulan akan tetap sama, atau setidaknya, akan lebih lama keadaannya daripada dirinya dan segala di sekitarnya. Tanpa disadari lagi, pangeran ini menggerakkan bibir mengucapkan kata-kata yang pada saat itu terasa di hatinya :

"Kebahagiaan, di mana kau bersembunyi?
Betulkah kata orang pandai jaman dahulu,
bahwa kebahagiaan selalu pergi kalau dicari?
Padahal selalu dalam diri bersatu?
Berhasil membasmi pemberontakan,
mana itu kegirangan? Mana itu kebahagiaan?
Aahhh, hatiku penuh kedukaan
hanya karena seorang perempuan......."

Memang keluhan Pangeran Yong Tee ini merupakan kenyataan pahit dalam kehidupan manusia. Manusia selalu mengejar kebahagiaan, mengkhayalkan kebahagiaan hidup yang disangkanya pasti akan tiba apa bila maksud hati tercapai. Namun khayal tetap khayal, membuyar setiap kali di jangkau. Maksud hati boleh terlaksana, cita-cita boleh tercapai, namun kebahagiaan? Kiranya bukan di situ letaknya, bukan dalam terlaksananya maksud hati, bukan pula dalam tercapainya cita-cita. Mengapa? Karena maksud hati tiada putusnya, cita-cita tiada habisnya.

Terlaksana yang satu, timbul kedua. Tercapainya yang ini, belum pula yang itu, dan begitu seterusnya. Nafsu angkara murka inilah yang selalu menguasai hati manusia yang haus akan kebahagiaan. Padahal tidak perlu dihauskan, karena sudah berada dalam diri sendiri, sudah bersatu dengan diri, hanya tidak terasa bagi yang belum sadar.

Menurutkan kemauan nafsu angkara murka sama halnya dengan mengisi lubang yang tak berdasar, tidak akan pernah tamat. Bahkan makin dituruti, makin terasa kekurangannya, makin diberi minum, makin haus. Aneh tapi nyata. Sekali lagi, menuruti nafsu sama dengan menambah kehausan bagi yang haus, makin diberi makin kurang!

Kalau demikian halnya, pada hakekatnya, apakah gerangan kebahagiaan? Di mana letaknya? Dibilang jauh, amatlah jauh karena dicari sekeliling dunia takkan jumpa. Dibilang dekat, teramat dekat karena sudah ada pada diri setiap orang. Soalnya timbul karena "dicari" itulah, menjadi sulit dan jauh karena timbul setelah "dicari"! Inilah rahasianya. Tidak dicari dia sudah ada, kalau dicari dia menghilang. Itulah kebahagiaan!

Tuhan bersifat Adil dan Kasih. Manusia lahir sudah membawa bahagia. Ingin melihat tinggal membuka mata, ingin mendengar tinggal membuka telinga, semua serba menyenangkan dan karenanya serba bahagia, penuh berkah berlimpahan. Ingin petik tinggal tanam, ingin tanam tinggal cangkul. Tanah tersedia, tangan tersedia, air tersedia. Bayangkan kalau Tuhan meniadakan air, atau tanah, atau tangan atau hawa! Semua takkan jadi sempurna. Tuhan Maha Sempurna Maha Kasih dan Maha Adil. Semua lengkap bagi manusia.

Akan tetapi, kenapa tetap tidak bahagia? Karena DICARI itulah. Manusia mencari YANG TIDAK ADA! Ada ini mencari itu yang tidak ada, sudah ada itu mencari ini yang tidak ada. Memberi makan nafsu, makin diberi makan makin lapar! Karena itu akibatnya, bahagia lenyap bersembunyi, dilenyapkan atau disembunyikan oleh diri sendiri yang menghamba pada NAFSU.

Demikianlah dunia selalu berputar dengan segala persoalannya. Demikian pula Pangeran Yong Tee di dalam taman bunganya yang serba indah namun tidak kelihatan indah baginya itu. Baru saja dia berhasil menghancurkan pemberontak Mongol. Kini beristirahat setelah berhasil usahanya. Semestinya bahagia, semestinya senang. Namun, taman indah tidak kelihatan indah, kesenangan perjuangan tidak menyenangkan hati. Kenapa? Karena pangeran inipun mencari YANG TIDAK ADA, yaitu mencari kehadiran Hoa-ji disampingnya. Menjadi permainan cinta yang amat aneh.

"Hoa-ji....." berkali-kali nama ini dikeluarkan, langsung dari hatinya melalui bibir yang menarik napas panjang pendek berulang kali.

Pangeran Yong Tee sama sekali tidak tahu bahwa sejak tadi, bayangan seorang wanita yang langsing tubuhnya bersembunyi di balik pohon dan memandang kepadanya penuh kebencian. Wanita yang masih muda, cantik jelita dengan kerudung pada kepalanya. Tilana! Gadis ini memang Tilana, yang dengan kepandaiannya sudah berhasil menyelinap memasuki taman di luar tahunya para penjaga istana pangeran itu. Kini dengan pandang mata penuh kebencian, Tilana mengeluarkan tiga buah anak panah, dipasangnya pada gendewanya dan ditariknya tali busurnya......

"Pangeran....!"

Tilana menunda gerakannya, tidak jadi memanah pangeran itu ketika mendengar seruan ini, seruan wanita yang melompat keluar dari tembok taman. Wanita yang baru datang ini bertopeng dan langsung berlari menghampiri Pangeran Yong Tee, lalu menjatuhkan diri berlutut di depan pangeran itu.

"Hoa-ji.....!" seruan yang keluar dari bibir pangeran itu girang bukan main, lalu ia menubruk hendak memeluk gadis berkedok itu.

"Jangan.....! Jangan sentuh aku lagi, pangeran....., jangan.....!"

Yong Tee terkejut dan menahan tangannya. "Hoa-ji, apakah yang terjadi? Apakah kau sudah bertemu dengan saudara Cia Han Sin? Kau datang dari mana dan mengapa kau bersikap begini?" Pertanyaan ini keluar dengan suara halus, mesra, dan penuh cinta kasih.

"Pangeran, ketahuilah bahwa tadinya aku datang dengan maksud membunuhmu! Tapi.... tapi aku tidak tega.... bagaimana aku bisa membunuh seorang yang begini baik? Yang selalu kujunjung tinggi? Yang kuketahui betul-betul isi hatinya yang baik? Ya Tuhan, mengapa aku menjadi anaknya? Mengapa.....?" Hoa-ji lalu menangis.

Yong Tee nampak bingung sekali. Ia meraih tangan gadis berkedok itu, menariknya berdiri dan mengajak duduk di atas bangku. "Duduklah, Hoa-ji, duduklah di sini, di sampingku seperti dahulu. Tidak ada apa-apa yang buruk di antara kita, masih seperti dulu. Tenangkanlah hatimu dan sekarang ceritakan apa yang menyebabkan engkau bersikap seperti ini."

Suara yang sabar, ramah dan penuh kasih sayang ini menenangkan gelora hati Hoa-ji. Gadis ini menghentikan tangisnya, mengusap air mata menahan isak lalu bercerita. Sambil berlinang air mata ia mengulang cerita yang ia dengar dari Han Sin.

"Dahulu, belasan tahun yang lalu, dipuncak Min-san tinggal suami isteri Cia Sun bersama dua orang anaknya, yang sulung laki-laki bernama Cia Han Sin dan yang bungsu, masih bayi, perempuan bernama Cia Bi Eng. Cia Sun dikenal sebagai seorang patriot bangsa, tentu saja sebutan ini hanya berlaku bagi rakyat Tiongkok.


Kasih Diantara Remaja Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo


Pemerintah menyebutnya pemberontak! Pada suatu hari, karena pengacauan puteri Hui bernama Balita, seorang di antara musuh-musuh Cia Sun, suami isteri Cia itu mengalami malapetaka. Isteri Cia Sun cemburu dan membunuh diri, disusul pembunuhan diri Cia Sun yang amat mencinta isterinya."

Pangeran Yong Tee mendengarkan dengan hati berdebar dan amat tertarik karena apakah hubungannya dengan Hoa-ji dengan keluarga Cia? Tidak hanya pangeran ini yang amat tertarik dan terkejut heran, juga Tilana yang diam-diam mendengarkan cerita itu, menjadi berubah air mukanya dan jantungnya berdebar keras. Bukankah gadis berkedok itu sedang menceritakan tentang ayah bundanya dan kakaknya serta dia sendiri?

"Pada malam terjadinya peristiwa hebat itu, terjadi lain peristiwa yang kemudian merupakan rahasia kehidupan tiga orang gadis. Pada malam hari yang malang itu, secara diam-diam muncul seorang wanita kang-ouw bernama Ang-jiu Toanio yang juga memusuhi Cia Sun. Ang-jiu Toanio yang kebetulan mempunyai seorang bayi perempuan, lalu menukarkan bayinya dengan bayi keluarga Cia, yaitu Cia Bi Eng itu. Belum lama seperginya Ang-jiu Toanio, muncul pula Balita puteri Hui itu membawa bayinya dan menukarkan bayinya sendiri dengan bayi yang disangkanya puteri keluarga Cia, padahal adalah anak Ang-jiu Toanio."

Kalau saja Hoa-ji tidak demikian terharu dan Pangeran Yong Tee tidak demikian tertarik dan tegang oleh cerita ini, tentu mereka akan mendengar jerit tertahan dari balik semak-semak, di mana Tilana hampir pingsan mendengar cerita itu.

"Bayi keluarga Cia yang aseli, yaitu Cia Bi Eng tulen, dibawa Ang-jiu Toanio. Akan tetapi di tengah jalan bayi ini dirampas oleh seorang pemelihara macan berbangsa Mongol bernama Kalisang dan di lain waktu dari tangan Kalisang dirampas pula oleh Hoa Hoa Cinjin. Kau tentu dapat menduga, pangeran, bahwa bocah itu, Cia Bi Eng yang tulen....., setelah dipelihara oleh Hoa Hoa Cinjin mendapatkan nama Hoa-ji..... atau aku sendiri."

Hoa-ji terisak-isak kembali dan Pangeran Yong Tee duduk bagaikan patung batu, tak dapat bergerak, tak mampu mengeluarkan kata-kata saking heran dan kagetnya. Yang lebih hebat akibatnya ketika menerima berita ini adalah Tilana dalam tempat persembunyiannya. Gadis ini menangis dan jatuh di atas rumput. Tidak karuan rasa hatinya. Terharu, sedih, bingung, dan girang. la girang karena ternyata bahwa dia bukanlah adik kandung Han Sin! Ini berarti dia dapat menjadi isteri pemuda itu!

Tadi hampir saja ia membunuh Yong Tee karena ia hendak meneruskan perjuangan mendiang ayahnya, hendak membunuh Pangeran Mancu, penjajah bangsanya! Jadi dia sebetulnya anak Ang-jiu Toanio? Pantas saja dahulu Han Sin bilang dia bukan anak Balita. Jadi pemuda itu sudah tahu bahwa dia anak Ang-jiu Toanio? Dia sudah tahu siapa Ang-jiu Toanio. Sudah mendengar pula tentang putera Ang-jiu Toanio yang bernama Phang Yan Bu. Jadi pemuda itu kakaknya?

"Demikianlah, pangeran. Yang sekarang selalu dianggap adik Sin-ko, yang bernama Cia Bi Eng itu, sebetulnya adalah Tilana puteri Balita, sedangkan puteri Balita yang bernama Tilana itu sebetulnya adalah puteri Ang-jiu Toanio. Aku sudah berjumpa dengan Sin-ko kakak kandungku, sudah mendengar bahwa kau menyuruh dia menyelamatkanku, membawaku ke sini.... akan tetapi,......, mendiang ayahku dianggap pemberontak, dan kau.... kau Pangeran Mancu..... bukankah kita berhadapan sebagai musuh besar......?"

Yong Tee tersenyum, lalu memeluk pundak gadis berkedok itu. "Hoa-ji kekasihku. Kau tetap Hoa-ji yang dulu, tak perduli siapa namamu sebetulnya, tidak perduli anak siapa kau dan bangsa apa. Aku tetap mencintaimu, dan hanya kau seorang, Hoa-ji."

Hoa-ji melepaskan pelukan pangeran itu. Tiba-tiba ia berdiri tegak dan berkata, "Pangeran Yong Tee, hubungan kita sudah lama. Aku percaya penuh akan perasaan hatimu. Hanya satu yang meragukan hatiku. Kau selalu mengaku cinta, padahal belum pernah melihat wajahku. Bagaimana mungkin seorang mencinta tanpa melihat wajah? Aku takut kalau sekali kau melihat wajahku, cintamu akan terbang lenyap......"

Yong Tee menjawab dengan suara sungguh-sungguh, "Justeru karena tidak pernah melihat wajahmu, aku yakin bahwa cintaku murni, Hoa-ji. Banyak macam cinta kasih di dunia ini, Hoa-ji. Cinta kasih berdasarkan keindahan bentuk dan rupa, cinta kasih berdasarkan budi, cinta kasih berdasarkan pamrih, dan cinta kasih berdasarkan nafsu berahi. Semua ini adalah cinta kasih yang dijadikan kedok nafsu. Cintaku terhadapmu tidak seperti itu, melainkan cinta yang digerakkan oleh sesuatu yang gaib, tidak memandang rupa, seperti cinta kasih ibu terhadap anaknya. Hoa-ji, apapun juga terjadi di dunia ini, cintaku terhadapmu tak akan berubah. Agaknya memang sudah menjadi Hukum Karma, maka kau jangan ragu-ragu lagi, dewiku......"

Kembali Hoa-ji terisak karena amat terharu hatinya. Tangan kirinya bergerak dan sekaligus merenggutkan kedoknya, terlepas dari mukanya. Mereka berpandangan dan Yong Tee menjadi bengong menyaksikan wajah ditimpa cahaya bulan itu, wajah yang seakan-akan sudah dikenalnya amat lama, yang sering kali ia jumpai dalam alam mimpi. Benar aneh, mengapa wajah di balik kedok itu demikian cocok dengan kiraan dan dugaannya?

"Hoa-ji....."

"Pangeran....."

Dari tempat persembunyiannya, Tilana juga menjadi bengong. Ia melihat persamaan yang tak dapat dibantah lagi antara wajah Hoa-ji dengan wajah Han Sin. Tidak bisa salah lagi, memang Hoa-ji adalah adik kandung Han Sin. Dan dia bukan apa-apanya ataukah betul! Dia isterinya! Dia berhak menjadi isteri Han Sin! Tak kuasa Tilana menyaksikan pertemuan antara sepasang merpati yang amat asyik dan mesra itu. Dan diam-diam ia lalu meninggalkan tempat itu.

Akan tetapi ketika Tilana berlari keluar dari lingkungan istana Pangeran Yong Tee, tiba-tiba tiga bayangan orang yang amat cepat gerakannya berkelebat dan tahu-tahu tiga orang muda yang bukan lain adalah Phang Yan Bu, Li Hoa dan Li Goat sudah berdiri di depannya dengan pandang mata penuh selidik?

"Kau lagi yang datang di sini! Apa maksudmu memasuki lingkungan istana Pangeran Yong Tee? Bukankah kau bernama Tilana puteri Balita yang disebut Jin-cam-khoa?"

Tilana menatap wajah Yan Bu di bawah sinar bulan purnama. Ada sesuatu yang menarik hatinya. Agaknya karena ia tahu bahwa pemuda ini kakaknya, maka timbul simpati besar sekali.

"Kau..... kau bernama Phang Yan Bu putera Ang-jiu Toanio....?" tanyanya gagap.

"Betul sekali," jawab Yan Bu heran. "Eh, di mana adanya Bi Eng? Dulu kau yang membawanya pergi. Tentu kau tidak bermaksud baik!" tegur Li Goat yang tidak percaya kepada gadis berpakaian aneh, berwajah cantik bukan main tapi agak pucat itu.

Tilana menundukkan mukanya sebentar. "Dia.... dia sudah kembali kepada ibu kandungnya....." jawabnya tidak jelas. Jawabannya tentu saja merupakan teka teki bagi tiga orang itu, apa lagi bagi Li Hoa yang amat mengkhawatirkan keselamatan Bi Eng dan terutama Han Sin.

"Di mana Cia Han Sin? Kau tentu tahu di mana adanya pemuda itu," tanya Li Hoa.

Tilana tiba-tiba mengangkat mukanya dan matanya yang indah tajam itu menyambar ke wajah Li Hoa. "Mau apa kau tanya-tanya tentang Cia Han Sin? Dia itu apamu?"

Merah muka Li Hoa. Gugup juga ia ditegur begini. "Bu.... bukan apa-apa, hanya.... hanya sahabat. Di mana dia? Lekas katakan kalau memang kau tidak bermaksud buruk."

Akan tetapi Tilana sudah membuang muka tidak mau melayani Li Hoa, sebaliknya ia kembali memandang Yan Bu. "Kau..... adakah kau mempunyai seorang adik perempuan?"

Yan Bu berdebar jantungnya. "Betul, bagaimana kau bisa tahu?"

"Ibu...... eh...... ibumu sudah meninggal?"

Kembali Yan Bu mengangguk. "Apa maksudmu bertanya tentang semua ini?"

"Dia bukan orang baik-baik!" tegur Li Goat penuh curiga dan cemburu.

"Kau..... kau kakak kandungku......!" Tilana berkata sambil menahan isak, akan tetapi tubuhnya berkelebat dan lenyap dari tempat itu.

"Eh, tunggu.....!" Yan Bu berseru kaget, hendak mengejar. Akan tetapi tangan Li Goat menyentuh lengannya, membuat pemuda itu menengok dan terpaksa menunda niatnya. Pandang mata Li Goat begitu aneh, seperti orang marah.

Akan tetapi tak lama kemudian kedua orang muda ini baru melihat bahwa Li Hoa tidak berada di samping mereka. "Lho, mana cici Li Hoa?" teriak Li Goat kaget.

"Agaknya mengejar dia......" jawab Yan Bu. Mereka berdua mencoba untuk menyusul, akan tetapi karena tidak tahu ke mana arah yang ditempuh dua orang gadis itu, mereka tidak berhasil mengejar dan terpaksa kembali ke istana di mana mereka tinggal menjadi tamu Pangeran Yong Tee.

Memang dugaan Yan Bu tadi tidak keliru. Li Hoa yang menaruh curiga kepada Tilana, diam-diam melakukan pengejaran. Ia merasa yakin bahwa Bi Eng tentu menghadapi bencana di tangan gadis Hui itu, dan mungkin sekali gadis bangsa Hui itu tahu pula di mana adanya Han Sin. Baiknya dalam perjalanan ini, Tilana tidak mengerahkan seluruh kepandaiannya, maka Li Hoa dapat mengikuti terus.

Akan tetapi setelah tiba di luar pintu gerbang sebelah utara kota raja, mereka melalui daerah terbuka. Hal ini membuat Tilana dapat melihat bahwa ada bayangan yang mengikutinya. Namun Tilana berjalan terus, hanya sedikit mempercepat larinya. Ketika melihat bahwa bayangan itupun berlari cepat, gadis ini tersenyum mengejek. Baiklah kutunggu sampai pagi dan kulihat, mau apa dia?

Mereka telah berada di daerah pegunungan dan Tilana berhenti di tepi sungai yang mengalir di sebelah utara kota raja. Malam telah lewat, matahari hampir tampak, didahului cahayanya yang kemerahan. Sambil tersenyum Tilana membalikkan tubuhnya dan melambaikan tangan.

"Sahabat di belakang, kau mengikuti aku dari kota raja, ada maksud apakah? Jangan bersikap seperti pengecut!"

Merah wajah Li Hoa mendengar seruan ini dan melihat sikap yang mengejek dari nona cantik jelita itu. Ia cepat keluar dari tempat sembunyinya dan dengan dua kali loncatan jauh ia sudah berdiri tegak di depan Tilana. Gadis ini mau tak mau kagum juga menyaksikan ilmu meringankan tubuh yang begitu hebat, juga terkejut mendapat kenyataan bahwa yang mengikutinya bukan lain adalah gadis cantik yang di kota raja tadi bertanya tentang Han Sin. Dadanya menjadi panas.

Kalau tadinya Tilana merasa amat berduka tiap kali teringat akan hubungannya dengan Han Sin yang dianggap kakak kandungnya, sekarang ia bahkan merasa girang kalau teringat akan hal itu. Han Sin bukan kakak kandungnya, melainkan suaminya! Dan cinta kasihnya terhadap Han Sin makin mendalam, tentu saja ia menjadi panas dan cemburu sekali melihat seorang gadis jelita seperti Li Hoa bertanya-tanya tentang suaminya itu!

Li Hoa yang merasa malu karena orang yang diikutinya sudah tahu akan perbuatannya, terpaksa muncul dan berkata dengan nada minta maaf, "Aku tidak bermaksud buruk, hanya ingin kauberi tahu di mana adanya adik Bi Eng dan kanda Han Sin......"

Mengenai sebutan "adik Bi Eng" dan terutama sekali "kanda Han Sin" ini, isi dada Tilana makin panas. Namun ia tetap tersenyum manis ketika bertanya,

"Kau tanya-tanya tentang mereka. Apamu sih mereka itu?"

Muka Li Hoa menjadi makin merah. "..... bukan..... bukan apa-apa, hanya sahabat-sahabat baik," jawabnya kemudian, agak gagap karena pertanyaan dari gadis Hui yang aneh ini benar-benar tak disangka-sangkanya.

Makin cemburu hati Tilana, makin lebar senyumnya. Tak percuma gadis ini semenjak kecil menjadi anak dan murid Balita, sedikit banyak sifat Balita sudah menurun kepadanya.

"Ehemm, kau mencinta Cia Han Sin, bukan? Katakan terus terang, kalau tidak, akupun tidak mau memberitahu kepadamu di mana adanya Cia Han Sin dan Bi Eng."

Tentu saja Li Hoa menjadi makin jengah dan malu, malah-malah ia hampir marah. Akan tetapi mengapa tidak berterus-terang saja, pikirnya. Lebih baik mengaku dan kemudian mendengar keterangan gadis aneh ini di mana adanya Han Sin. Kalau ia bersitegang, tentu gadis itupun tidak mau memberi tahu dan mungkin sekali mereka menjadi musuh. Melihat gelagatnya, musuh seperti gadis Hui ini bukanlah musuh ringan!

"Kau tidak keliru menduga. Memang, aku cinta kepadanya. Nah, sekarang harap kau suka memberi petunjuk di mana aku dapat menyusul dia, dan di mana pula adanya adik Bi Eng." Setelah membuat pengakuan ini melalui mulutnya, Li Hoa tidak malu-malu lagi menentang mata Tilana. Ia terkejut melihat betapa sepasang mata indah dari gadis Hui itu seakan-akan bernyala, akan tetapi hanya sebentar, segera berganti pandang berseri dan mulut yang manis itu tersenyum lebar.

"Ha, jadi kau mencinta Cia Han Sin? Kau masih terhitung apakah dengan Phang Yan Bu?"

Li Hoa teringat betapa gadis ini tadi menyebut Yan Bu sebagai kakak kandung, maka tanpa ragu-ragu ia menjawab, "Aku adalah sahabat baiknya juga. Tilana, betulkah kau ini adik kandungnya? Bagaimana kau bisa mengaku begitu?"

"Hal itu bukan urusanmu. Kau tadi bilang mencinta Han Sin?" sambil berkata demikian, Tilana meloloskan pedang dari sarung pedangnya perlahan-lahan!

Melihat gerakan ini, Li Hoa curiga dan siap-siaga. Boleh jadi ia salah duga, boleh jadi dengan pengakuannya ini ia malah menjadikan Tilana sebagai musuh. Apa boleh buat, ia tidak dapat mundur lagi. "Betul," jawabnya tenang, "aku mencinta Cia Han Sin."

"Mampuslah!" seru Tilana tiba-tiba dan "srattt!" pedangnya dicabut serentak lalu secepat itu pula pedangnya sudah meluncur menusuk ke arah muka Li Hoa. Serangan ini seharusnya ditusukkan ke dada atau leher, kalau Tilana sudah menusuk ke arah muka, itu hanya menandakan bahwa ia amat benci dan marah.

Cepat Li Hoa mengelak. Hal ini mudah ia lakukan karena ia memang sudah menaruh curiga dan sudah siap. Sambil melompat ke samping ia mencabut juga pedangnya. Dua orang wanita muda cantik, sama gagah, berdiri berhadapan dengan pedang telanjang di tangan.

"Tilana, seorang gagah tidak bersikap sembunyi-sembunyi. Aku Thio Li Hoa selamanya tidak pernah bermusuhan denganmu, semua pertanyaanmu kujawab sejujurnya. Mengapa tanpa sebab kau menyerang?"

"Li Hoa, buka telingamu baik-baik. Cia Han Sin adalah suamiku, mengerti? Orang lain, menyebut namanya saja tidak boleh, apa lagi seperti kau ini mengaku aku cinta. Cih, tak tahu malu!"

Sepasang mata Li Hoa bersinar marah. "Perempuan rendah, tebal sekali mukamu berani membohong. Cia Han Sin belum menikah, bagaimana bisa mempunyai seorang isteri macam engkau?"

Tilana makin marah, pedangnya berkelebat dan ia menyerang dengan ganas. Li Hoa menangkis dan sebentar saja dua orang gadis cantik itu saling serang dengan nekat dan mati-matian bagaikan dua ekor singa betina bertanding memperebutkan kelinci! Li Hoa adalah murid pertama dari Coa-tung Sin-kai sedangkan Tilana mewarisi kepandaian Jin-cam-khoa Balita. Kepandaian mereka pada waktu itu sudah jarang dapat ditandingi oleh gadis-gadis lain. Watak mereka sama-sama keras dan gagah, tidak kenal takut. Maka pertandingan itu hebatnya bukan main. Dua batang pedang yang runcing tajam itu berkelebatan menyambar-nyambar, sewaktu-waktu dapat merobek perut atau dada, dapat memenggal leher membikin buntung tangan dan kaki!

Puluhan jurus lewat dan biarpun pertandingan masih berjalan seru sekali, namun dapat dilihat bahwa perlahan-lahan Li Hoa makin terdesak. Ilmu pedangnya biarpun sama cepat dan kuatnya, namun kalah ganas dan repot jugalah akhirnya Li Hoa menghadapi rangsekan yang ganas dan dahsyat dari pedang Tilana.

Tiba-tiba Tilana mengeluarkan seruan nyaring, tangan kirinya tahu-tahu sudah menyambar sebatang anak panah di punggungnya dan begitu tangan kirinya itu diayun, anak panah menyambar laksana terlepas dari gendewa, ke arah dada Li Hoa! Tentu saja Li Hoa kaget sekali menghadapi senjata rahasia ini, cepat ia menangkis dengan pedangnya.

"Traang! Anak panah terpukul runtuh, akan tetapi pada saat Li Hoa menangkis anak panah, pedang Tilana sudah "bekerja", membabat leher Li Hoa. Gadis ini terkejut dan merendahkan tubuh, akan tetapi tetap saja pundaknya terserempet pedang, kulitnya terkupas sedikit. Darah mengucur dan tubuh Li Hoa terhuyung ke belakang. Tilana mengeluarkan pekik nyaring dan liar, terus mendesak maju dengan tusukan-tusukan maut. Dua kali ia menusuk dan dua kali Li Hoa berhasil menangkis, akan tetapi ketika menangkis untuk ke tiga kalinya sambil mundur, Li Hoa menginjak batu bulat dan tergelincir, roboh terguling.

Cari Blog Ini