Pemberontakan Taipeng 1
Pemberontakan Taipeng Karya Kho Ping Hoo Bagian 1
Pemberontakan Taipeng (Seriall 02 - Pedang Naga Kemala)
Karya : Asmaraman S. Kho Ping Hoo
Jilid 01
Dua orang penunggang kuda itu amat gagah dan mengagumkan semua orang yang kebetulan bersimpang jalan dengan mereka. Dua ekor kuda tunggangan mereka juga merupakan kuda-kuda pilihan, tinggi besar dan kuat. Kuda-kuda itu berlari congklang ketika mereka memasuki sebuah dusun. Laki-laki itu berusia kurang lebih tiga puluh delapan tahun, bertubuh tinggi besar, wajahnya tampan dan gagah, dan sikapnya anggun berwibawa seperti sikap yang biasa nampak pada diri seorang bangsawan tinggi, sikap seseorang yang merasa akan kebesaran dan kepentingan pribadinya. Mulut dan matanya selalu nampak tersenyum ramah, namun di balik sinar mata yang ramah itu kadang-kadang kelihatan sinar mencorong yang aneh. Dia menunggang kuda berbulu hitam yang nampak ganas dan liar, namun penurut di bawah kendali kedua tangannya yang kokoh kuat itu.
Adapun wanita yang menunggang kuda berbulu putih di sampingnya adalah sorang wanita berusia kurang lebih tiga puluh enam tahun, tubuhnya masih seperti seorang gadis yangbaru berusia dua puluh tahunan saja, masih padat dengan pinggang yang ramping. Wajah wanita inipun masih cantik dan manis sekali dengan setitik tahi lalat di pipinya, dan seperti juga pria itu, ia menunggang kuda dengan tubuh yang tegak dan lemas, sikap seorang penunggang kuda yang mahir. Pakaian sepasang suami isteri yang anggun dan gagah ini cukup mewah, dan keduanya mengenakan sepatu kulit yang mengkilap, model sepatu boot yang biasa dipakai oleh orang-orang kulit putih, dan mereka melindungi tubuh dari hawa dingin dengan mantel tebal yang berkibar di belakang mereka. Suami isteri itu melewati sebuah kedai arak dan keduanya saling pandang.
"Bagaimana kalau kita beristirahat sebentar sambil minum arak agar kuda kita tidak terlalu lelah?" tanya si wanita bertahi lalat itu kepada suaminya. Sang suami tidak menjawab, melainkan memandang ke arah dua ekor kuda yang mereka tunggangi. Memang kuda-kuda itu nampak lelah, penuh keringat karena mereka telah melakukan perjalanan jauh, sejak pagi adi dan kini sudah lewat tengah hari. Dia mengangguk dan keduanya lalu turun dari punggung kuda, menuntun kuda mereka menghampiri kedai arak, mengikat kendali kuda di depan kedai, lalu memasuki kedai itu, disambut oleh seorang pelayan yang membungkuk-bungkuk penuh hormat melihat datangnya dua orang berpakaian mewah itu.
"Selamat siang, tuan dan nyonya!" katanya penuh hormat,
"Silakan duduk dan kami akan menghidangkan masakan yang paling lezat. Arak kami paling terkenal di seluruh daerah ini!"
"Sediakan masakan dan arak yang terbaik untuk kami, dan sediakan pula air dan rumput yang baik untuk dua ekor kuda kami." Pelayan itu mengerutkan alisnya, memandang ke arah dua ekor kuda di luar.
"Akan tetapi, tuan... kami tidak biasa mencarikan makan minum untuk kuda..."
"Carikan saja, kami akan membayar berapa saja yang kau minta!" kata si wanita dan pelayan itu mengangguk-angguk dan tersenyum. Kesempatan baik untuk mendapatkan hasil tambahan, pikirnya.
"Baik, nyonya. Silakan duduk...!" pelayan itu mengantar mereka ke sebuah meja di ujung bagian dalam yang menghadap keluar. Suami isteri itu duduk menghadapi meja, saling berhadapan, yang pria menghadap keluar sedangkan yang wanita menghadap ke dalam. dengan demikian, keduanya dapat meneliti pintu luar dan pintu dalam. Dua buah buntalan yang tadi mereka turunkan dari punggung kuda dan mereka bawa masuk, mereka letakkan di atas meja. Tak lama kemudian mereka melihat seorang pelayan memberi rumput dan air kepada kuda mereka di luar, dan setelah pelayan datang membawa hidangan berupa masakan yang masih panas mengepul dan juga nasi dan arak, mereka lalu makan minum tanpa banyak cakap.
Selagi suami isteri ini makan dan minum di dalam kedai arak ang tidak berapa besar itu, dan tidak ada tamu lain kecuali mereka di siang hari itu, tiba-tiba terdengar suara hiruk pikuk dan banyak orang bergerak di sekeliling rumah makan. Para pelayan kelihatan ketakutan dan mereka lari keluar dari rumah makan, Hal ini tentu saja diketahui oleh suami isteri yang sedang makan, akan tetapi keduanya hanya saling pandang sejenak, kemudian melanjutkan makan minum seolah-olah mereka tidak tahu akan gerakan banyak orang yang mengepung rumah makan. Suasana yang tadinya hiruk pikuk menjadi hening, tanda bahwa orang-orang yang berada di luar itu telah mengepung dan siap siaga. Kini muncullah seorang laki-laki bertubuh gendut di ambang pintu depan, sikapnya berwibawa dan angkuh, dan dia memandang ke arah suami isteri itu sambil berseru dengan suara nyaring.
"Pemberontak Ong Siu Coan! Engkau telah dikepung, menyerahlah untuk kami tangkap!" Mendengar disebutnya nama ini, orang-orang yang tadinya nonton di luar rumah makan itu menjadi terkejut dan mereka lari ketakutan untuk bersembunyi.
Juga para tetangga yang tadi mengintai di balik jendela, terkejut dan tak seorangpun berani keluar dari pintu rumah. Nama Ong Siu Coan sudah terkenal sekali di daerah Nan-king itu. Dusun itu berada di sebelah selatan kota Nan-king dan siapakah yang tidak mengenal nama pemimpin dari pasukan pemberontak Tai Peng itu? Nama Ong Siu Coan sebagai pimpinan pemberontak Tai Peng amat terkenal sebagai seorang pejuang yang berusaha menumbangkan pemerintah Mancu, dan terkenal pula sebagai pelindung rakyat jelata. Kini orang-orang itu bukan takut terhadap Ong Siu Coan, melainkan mereka takut karena maklum bahwa yang mengepung rumah makan itu adalah pasukan pemerintah yang berpakaian preman dan karena yang dikepung adalah Ong Siu Coan, maka tentu akan terjadi pertempuran yang hebat di tempat itu.
Laki-laki tinggi besar yang gagah dan sedang makan di dalam kedai arak itu memang benar Ong Siu Coan, pemimpin pasukan Tai Peng yang tadinya memakai nama perkumpulan Pai Sang-ti Hwee (Perkumpulan Pemuja Tuhan), semacam perkumpulan agama yang berdasarkan Agama Kristen namun sudah tidak asli lagi, bercampur dengan Agama To dan pelajaran Khong Hu Cu. Perkumpulan itu makin lama menjadi semakin besar dan kuat, lalu membentuk balatentara yang disebut balatentara Tai Peng (Perdamaian Besar) yang bertujuan untuk menentang dan menumbangkan kekuasaan pemerintah penjajah Mancu. Gerakan yang bersifat perjuangan inilah, bukan agamanya, yang menarik banyak orang dari rakyat jelata untuk datang bergabung, terutama sekali kaum petani yang merasa tertindas oleh pemerintah Mancu.
Pria gagah itu adalah pemimpin Tai Peng. Namanya Ong Siu Coan, bukan hanya terkenal sebagai seorang pemimpin pejuang yang disegani dan dikagumi rakyat, namun terkenal pula di dunia persilatan sebagai seorang ahli silat yang pandai. Dia adalah murid seorang datuk sesat yang terkenal sekali, yaitu Thian-tok (Racun Langit), seorang di antara Empat Racun Dunia, tokoh-tokoh sesat yang amat terkenal diwaktu-waktu yang lalu. Adapun wanita cantik bertahi lalat di pipinya itu juga bukan orang sembarangan. Ia bernama Tang Ki, dan ia adalah puteri tunggal dari Hai-Tok (Racun Lautan), seorang di antara Empat Racun Dunia pula. Dalam hal imu silat kiranya tingkat kepandaian Tang Ki ini tidak kalah oleh suaminya, karena selain menerima gemblengan dari Ayahnya sendiri,
Juga wanita perkasa ini secara kebetulan telah menemukan sebuah kitab kuno ciptaan Tat Mo Couwsu yang terisi pelajaran ilmu silat tinggi berdasarkan gin-kang (ilmu meringankan tubuh) yang luar biasa. Sudah kurang lebih dua belas tahun mereka menjadi suami isteri di luar kehendak dan pesetujuan Hai-Tok dan mereka berhasil menghimpun kekuatan untuk memberontak terhadap pemerintah Mancu. (Baca Giok-Liong-Kiam bagian pertama). Ong Siu Coan bergasil membangun balatentara besar, bukan saja karena dia lihai, berilmu tinggi dan agama barunya menarik perhatian banyak orang, terutama sekali karena dia mempunyai banyak harta benda untuk membiayai perkumpulannya. Dialah yang berhasil menemukan harta pusaka yang tersembunyi dalam rahasia pedang pusaka ini dia berhasil membentuk balatentara dan sanggup membiayainya.
"Ong Siu Coan, meyerahlah sebelum kami terpaksa mempergunakan kekerasan!" Kembali perwira gendut yang berpakaian preman itu membentak. perwira ini dengan anak buahnya yang kini mengepung restoran, berjumlah kurang lebih tiga puluh orang, adalah pasukan penyelidik atau mata-mata pemerintah yang bertugas di sekitar Nan-king.
Sejak pagi tadi dia dan anak buahnya tahu akan munculnya pemimpin Tai-Peng di tempat umum, maka dia sudah mempersiapkan anak buahnya untuk menghadang di dusun itu. Kebetulan sekali suami isteri itu berhenti di rumah makan, memudahkan mereka untuk mengepung dalam usaha menangkap pemberontak itu. Akan tetapi Ong Siu Coan dan Tang Ki masih enak-enak makan, melanjutkan makan tanpa menghiraukan si gendut. Melihat sikap suami isteri itu, si gendut menjadi marah. Dia segera mencabut sebuah pistol yang tersembunyi di ikat pinggangnya, lalu melangkah maju, diikuti oleh tiga orang perwira pembantu yang mencabut pedang. Si gendut sambil menodongkan pistolnya maju menghampiri Ong Siu Coan dan Tang Ki, berseru kepada anak buahnya yang berada di luar rumah makan.
"Serbu dan tangkap mereka!" Pada saat itu, Ong Siu Coan dan Tang Ki saling pandang dan pria perkasa itu berbisik,
"Kuambil si gendut, yang lain untukmu!" Isterinya mengerti dan mengangguk. Pada saat itu terdengar suara gaduh di luar rumah makan itu dan ternyata dua puluh orang lebih yang menjadi anak buah si gendut dan tadi mulai bergerak hendak menyerbu, secara tiba-tiba diserang oleh belasan orang yang memiliki gerakan yang tangkas sehingga dalam gebrakan pertama saja beberapa orang anggauta pasukan itu telah roboh!
Peristiwa itu mengejutkan si gendut dan diapun cepat melangkah ke depan sambil menodongkan pistolnya kepada Ong Siu Coan, diikuti tiga orang pembantunya yang siap menyerang dengan pedang mereka. Pada saat itu, mendadak Ong Siu Coan menggerakkan sepasang sumpit yang tadi dipakai untuk makan dan meluncurlah dua sinar yang cepat buan main ke arah si gendut. Sebatang sumpit menancap di tangan yang menggenggam pistol, dan sumpit ke dua menghunjam ulu hati! Si gendut sama sekali tidak menyangka akan datangnya serangan itu, maka diapun terkejut dan pistol di tangannya meledak, akan tetapi karena pada saat itu dia sudah berada dalam keadaan sekarat oleh sumpit yang menembus jantungnya,
Peluru yang melincur keluar dari pistol itu hanya menembus langit-langit dan genteng dan tubuhnya lalu terjengkang dan terbanting lalu berkelojotan. Sementara itu, nampak bayangan berkelebat dan tahu-tahu Tang Ki sudah menerjang dan menyambut tiga orang pembantu perwira yang berpedang. Wanita ini tiak bersenjata, namun gerakannya sedemikian cepatnya. Walaupun tiga orang perwira berusaha menyerangnya dengan pedang, namun bayangan tubuh wanita itu berkelebatan di antara tiga batang pedang dan kedua tangannya bergerak menampar. Tiga orang itupun menjerit kesakitan dan roboh terpelanting, tak mampu bangkit kembali karena Tang Ki telah melakukan tamparan-tamparan maut dengan kedua tangannya yang ampuh, dan yang dijadikan sasaran adalah pelipis kepala tiga orang itu!
Pertempuran yang terjadi di luar rumah makan itupun tidak berlangsung lama. Dua puluh orang lebih perajurit yang berpakaian preman itu bukanlah lawan seimbang bagi belasan orang yang rata-rata memiliki ilmu silat tinggi itu dan dalam waktu singkat saja mereka semua telah roboh dan tewas! Dua orang pimpinan rombongan yang menyerbu para mata-mata pemerintah itu menerobos masuk dan memberi hormat kepada Ong Siu Coan dan Tang Ki. Kiranya mereka adalah anggauta pemberontak yang tersebar di mana-mana dan yang tadi melihat pimpinan mereka terancam lalu turun tangan membantu. Ong Siu Coan mengangguk acuh kepada dua orang itu dan isterinya yang menghadapi mereka.
"Terima kasih atas bantuan kalian," kata Tang Ki, mewakili suaminya yang kini telah menjadi seorang pemimpin tinggi sehingga suaminya merasa terlalu tinggi untuk berwawancara dengan anak buah tingkat rendahan seperti dua orang pemimpin rombongan pasukan kecil itu.
"Cepat singkirkan semua mayat dari dusun ini, lempar ke dalam hutan dan ajak semua pria dari dusun ini untuk menggabung agar mereka terbebas dari hukuman pemerintah." Dua orang itu mengangguk dan menyatakan mentaati perintah, lalu mengundurkan diri. Ong Siu Coan dan isterinya lalu meninggalkan dusun, menunggang kuda mereka melanjutkan perjalanan dengan cepat keluar dari dusun itu.
Para anak buah pejuang itu telah mengumpulkan para penduduk dan menganjurkan agar para penghuni laki-laki bergabung dengan mereka karena peristiwa itu tentu akan berekor panjang. Pemerintah tentu akan mengirim pasukan besar untuk mengadakan pembersihan di dusun itu di mana perajurit pemerintah sebanyak kurang lebih tiga puluh orang telah tewas pada hari itu. Ong Siu Coan dan Tang Ki membalapkan kuda menuju ke sebuah dusun yang berada di luar kota Nan-king, sebuah dusun yang cukup besar dan mereka langsung menuju ke sebuah rumah yang nampak bersih dan rapi walaupun sederhana saja. Kedatangan mereka disambut oleh sepasang suami isteri yang berpakaian sederhana sepeti para petani, dengan anak mereka, seorang anak laki-laki berusia kurang lebih sebelas tahun. Melihat siapa yang datang, suami isteri itu kelihatan terkejut dan heran, akan tetapi juga girang sekali.
"Aihhh, angin apakah yang meniup kalian datang ke sini? Sungguh merupakan kehormatan besar sekali bagi keluarga kami yang sederhana menerima kunjungan pemimpin besar balatentara Tai Peng yang semakin terkenal itu!" seru tuan rumah dengan wajah berseri dan pandang mata penuh kagum. Sementara itu, nyonya rumah juga saling rangkul dengan Tang Ki seperti dua sahabat baik yang sudah lama tidak saling berjumpa.
"Tan Ci Kong, engkau mengangkatku terlalu tinggi dan menurunkan dirimu terlalu rendah!" kata Ong Siu Coan sambil tertawa setelah memberi hormat. kemudian memandang kepada anak laki-laki itu dan berseru,
"Ahh, apakah dia ini puteramu? Sungguh seorang anak yang berbakat baik sekali!"
"Benar, dia anak tunggal kami. Bun Hong, cepat beri hormat kepada paman Ong Siu Coan dan bibi Tang Ki. Mereka ini suami isteri yang amat lihai dan patut kau hormati!" Anak laki-laki yang bermata tajam itu cepat maju memberi hormat dan menyebut paman dan bibi.
"Marilah kita bicara di dalam," kata tuan rumah dan mereka lalu masuk ke dalam rumah sederhana yang nampak bersih dan rapi itu.
Suami isteri yang menjadi tuan rumah itupun bukan orang-orang sembarangan. Tan Ci Kong adalah seorang pendekar besar, seorang tokoh Siauw-Lim-Pai yang menerima gemblengan langsung dari Siauw-Bin-Hud. seorang datuk Siauw-Lim-Pai yang selalu bertapa dan mengasingkan diri, bahkan akhir-akhir ini bertapa sampai meninggal dunia, tak pernah lagi keluar dan mencampuri urusan dunia.Isterinya bernama Siauw Lian Hong, juga seorang wania sakti karena ia adalah murid terkasih dari San-tok (Racun Gunung), seorang di antara Empat Racun Dunia sehingga tingkat ilmu kepandaiannya seimbang dengan tingkat Ong Siu Coan dan isterinya. Dua pasang suami isteri ini sudah saling mengenal karena belasan tahun yang lalu mereka adalah teman-teman seperjuangan walaupun jalan hidup mereka bersimpang.
Kalau Ong Siu Coan dan isterinya merupakan sepasang suami isteri perkasa yang bercita-cita besar, bertekad untuk meggulingkan pemerintah penjajah Mancu, maka Tan Ci Kong dan Siauw Lian Hong adalah sepasang suami isteri pendekar yang suka akan hidup sederhana, dan selama belasan tahun semenjak menikah tidak pernah menonjolkan diri di dunia persilatan maupun mencampuri urusan perjuangan, melainkan hidup tenteram di dusun itu mendidik putera mereka, Tan Bun Hong yang merupakan anak tunggal. Mereka sudah banyak mendengar akan sepak terjang Ong Siu Coan yang merupakan ancaman bagi pemerintah Mancu, dan diam-diam mereka berdua merasa kagum bukan main, oleh karena itu tentu saja mereka terkejut dan heran ketika secara tiba-tiba saja tokoh pimpinan yang amat terkenal itu muncul mengunjungi mereka. Empat orang pendekar sakti yang dulu pernah menjadi rekan-rekan seperjuangan itu kini duduk di ruangan dalam.
Tan Bun Hong, anak kecil itu oleh Ayah Ibunya disuruh bermain di luar dan dilarang untuk masuk ke dalam ruangan pertemuan. Setelah mereka duduk berhadapan, Ci Kong dan isterinya memandang dua orang tamunya dengan penuh perhatian, sebaliknya Ong Siu Coan dengan matanya yang bersinar aneh dan tajam juga mengamati dua orang bekas rekan seperjuangan itu penuh selidik. Dalam usinya yang tiga puluh enam tahun, Tan Ci Kong masih kelihatan muda. Tubuhnya nampak tegap dan kulitnya agak gelap sebagai tanda bahwa sebagai orang yang suka bekerja di ladang dia banyak tertimpa sinar matahari. pakaiannya tetap sederhana dan wajahnya yang jelas membayangkan kegagahan itu kelihatan penuh kesabaran dan penuh pengertian. Juga Siauw Lian Hong masih nampak cantik manis dengan mukanya yang berbentuk bulat dan matanya yang lebar jernih, lembut dan tajam.
"Ong-toako," kata Ci Kong dengan sikap hormat dan menyebut toako (kakak) kepada rekan yang lebih tua itu,
"Sudah bertahun-tahun kami mendengar bahwa engkau telah menjadi seorang panglima dan pemimpin besar balatentara pejuang yang amat kuat. Kami kagum sekali dan merasa heran melihat toako berdua datang berkunjung dan merasa yakin bahwa kunjungan ini tentu mengandung maksud yang amat penting." Ong Siu Coan saling pandang dengan isterinya, kemudian melayangkan pandang matanya kepada tuan dan nyonya rumah, lalu menarik napas panjang.
"Sungguh menyenangkan sekali bicara dengan suami isteri yang gagah perkasa dan ucapanmu tadi langsung menyentuh persoalan yang sebenarnya, saudara Tan Ci Kong. Memang sesungguhnyalah, kedatangan kami ini mengandung maksud yang teramat penting yang mempunyai hubungan erat sekali dengan perjuangan rakyat menumbangkan kekuasaan penjajah Mancu." Tentu saja Tan Ci Kong dan Siauw Lian Hong menjadi tertarik sekali, akan tetapi Ci Kong yang menduga bahwa tentu Ong Siu Coan datang untuk menarik dia dan isterinya agar suka membantu gerakannya, mendahuluinya,
"Ong-toako, sebelumnya harap toako ketahui bahwa selama ini kami berdua hidup sebagai petani dan hidup tenteram di dusun ini, tidak pernah mencampuri urusan perjuangan bahkan tidak pernah mencampuri urusan dunia persilatan. Kami berdua ingin mendidik putera yang merupakan anak tunggal kami dan belum ingin melibatkan diri dengan perjuangan." Ucapan ini mengandung peringatan bahwa dia dan isterinya tidak akan mau ikut membantu perjuangan Ong Siu Coan. Akan tetapi Ong Siu Coan menggeleng kepala.
"Membantu perjuangan dengan menerjunkan diri merupakan keputusan pribadi. Memang, sesungguhnya kami datang untuk mohon bantuanmu, saudara Ci Kong. Akan tetapi bukan minta bantuan tenaga." Lega rasa hati Ci Kong, akan tetapi dia pun heran. Kalau bukan bantuan tenaga, lalu bantuan apalagi?
"Bagaimana kami dapat membantumu, Ong-toako?"
"Tuhan sendiri yang telah memberi petunjuk kepadaku, saudara Tan Ci Kong. Tuhan sendiri yang telah memberi penerangan dan penglihatan kepadaku di waktu aku tidur beberapa hari yang lalu..."
"Maksudmu... engkau mimpi, Ong-toako?" tanya Ci Kong yang merasa heran dan tidak mengerti.
"Ah, tidak... tidak...! Aku berada dalam keadaan sadar dan aku mendengar sendiri suara Tuhan berbisik-bisik kepadaku, amat jelas bunyinya dan beginilah bisikan Tuhan itu kepadaku : Anakku Ong Siu Coan, perjuanganmu akan berhasil kalau engkau memegang Giok-Liong-Kiam di tanganmu karena pusaka itulah lambang kejatuhan kerajaan Mancu. Nah, demikianlah bisikan Tuhan kepadaku, saudara Ci Kong. Karena itulah, aku dan isteriku kini datang berkunjung untuk minta pertolongan kalian berdua, meminjam Giok-Liong-Kiam."
Siauw Lian Hong mengerutkan alisnya. Pedang pusaka Giok-Liong-Kiam pernah dijadikan rebutan di dunia persilatan. Pedang itu tadinya dicuri oleh seorang pencuri pandai dari gudang pusaka istana Kaisar, kemudian menjadikan rebutan banyak orang gagah di dunia persilatan. Pedang pusaka itu dahulu diperebutkan karena pedang itu mengandung rahasia penyimpanan harta pusaka yang amat besar nilainya. Dan akhirnya dalam perebutan itu, ialah yang berhasil mendapatkan pedang pusaka Giok-Liong-Kiam. Akan tetapi usahanya bersama gurunya untuk memperoleh harta pusaka itu gagal karena setelah tempat penyimpanan rahasia itu ditemukan, ternyata harta pusaka itu telah lenyap didahului orang lain.
Setelah itu, tentu saja tidak ada lagi orang yang memperebutkan Giok-Liong-Kiam, sebatang pedang terbuat dari batu Giok berbentuk naga yang tidak dapat menjadi senjata yang ampuh walaupun memang merupakan barang mahal harganya. Giok-Liong-Kiam kini hanya menjadi semacam benda indah atau hiasan saja, dan ia telah menyerahkan kepada Tan Ci Kong, sebagai tanda cintanya sebelum mereka menikah dahulu. Bagi ia dan suaminya, Giok-Liong-Kiam merupakan tanda jalinan cinta kasih di antara mereka, maka, mana mungkin memberikannya kepada orang lain? Akan tetapi karena ia telah menyerahkan pusaka itu kepada suaminya, tentu saja benda itu telah menjadi hak suaminya dan hanya dialah yang berhak memutuskan dalam menghadapi permintaan Ong Siu Coan. Ci Kong memandang tamunya dengan sinar mata tajam penuh selidik, kemudian dia menjawab,
"Ong-toako, memang benar bahwa Giok-Liong-Kiam ada padaku, sebagai hadiah dari isteriku. Pusaka itu merupakan lambang cinta kasih antara kami dan kami simpan sebagai pusaka keluarga."
"Bagus sekali kalau begitu!" Ong Siu Coan berteriak girang dan mengangguk-angguk.
"Kalian berdua pejuang-pejuang yang gagah perkasa, patriot-patriot sejati yang sudah membuktikan setia baktinya kepada tanah air dengan perjuangan kalian di masa lalu. Kalau kini lambang cinta kasih antara kalian yang sudah menjadi suami isteri menjadi lambang perjuangan menumbangkan kekuasaan penjajah laknat yang menekan rakyat, bukankah pusaka itu menjadi semakin terhormat? Kami hanya meminjamnya saja, saudara Tan Ci Kong berdua. Kami hanya meminjam, bukan untuk kepentingan kami, melainkan untuk perjuangan. Dengan pusaka itu di tangan kami, tentu akan mendatangkan dukungan dari para pendekar dan mereka akan lebih suka membantu perjuangan kita. Kalau sudah berhasil perjuangan kita, pusaka itu akan kami kembalikan kepada kalian, karena untuk apakah pusaka itu bagi kami pribadi? Kami pribadi tidak membutuhkannya. dan kamipun datang karena petunjuk langsung dari Tuhan, saudara Ci Kong. Menolak perintah Tuhan merupakan dosa yang teramat besar, dan kalau perintah itu tidak dilaksanakan, tentu kita semua terkena hukumannya yang amat berat."
Ci Kong saling pandang dengan isterinya, dan keduanya merasa bimbang. Tentu saja pusaka itu sebenarnya tidaklah begitu penting sekali bagi mereka, hanya menjadi benda peringatan saja. Dan ucapan Siu Coan tadi terlampau berat menekan batin mereka, karena dihubungkan dengan perjuangan. Tentu saja di lubuk hati mereka, suami isteri pendekar ini condong untuk membantu Siu Coan menentang pemerintah penjajah Mancu yang mereka benci pula. Agaknya Ong Siu Coan yang pandai membaca isi hati orang melalui pandang mata dan sikapnya, maklum bahwa suami isteri itu biarpun masih ragu-ragu, namun condong membantunya.
"Kami harap saudara Ci Kong berdua dapat berpikir dengan adil dan mengingat akan asal-usul pusaka itu. Pusaka itu dicuri orang dari gudang pusaka istana, dan sebelum itu, tidak ada hubungannya sama sekali dengan kita semua. Lenyapnya pusaka itu dari istana merupakan lambang kejatuhan Kerajaan Mancu! Dan kini tidak diperebutkan orang lagi karena harta pusaka itu telah lenyap. Kiranya orang yang telah menemukan harta pusaka itulah yang lebih berjodoh dengan Giok-Liong-Kiam, tidaklah kalian berpendapat demikian?"
Ci Kong dan Lian Hong terpaksa mengangguk karena memang kenyataannya demikian. Pusaka Giok-Liong-Kiam berasal dari istana Kaisar dan benda itu keluar dari istana karena dicuri orang, kemudian diperebutkan oleh tokoh-tokoh kang-ouw. Biarpun kini Giok-Liong-Kiam berada di tangan mereka, namun harus diakui bahwa sebetulnya merekapun tidak berhak, karena benda itu bukan pusaka yang diturunkan oleh nenek moyang mereka, melainkan merupakan benda curian! Dan perebutan berakhir setelah harta pusaka yang disimpan rahasianya oleh Giok-Liong-Kiam ternyata telah diambil orang lain, maka memang tepatlah kalau dikatakan bahwa yang berhasil mendapatkan harta pusaka itu lebih berjodoh dengan Giok-Liong-Kiam.
"Akan tetapi siapakah yang telah mendapatkan harta pusaka itu?" tanya Siauw Lian Hong dan Ci Kong mengangguk karena pertanyaan yang sama mengaduk hatinya. Sepasang mata Ong Siu Coan bersinar-sinar aneh ketika dia menatap wajah kedua orang di depannya, dan suaranya terdengar halus namun penuh wibawa ketika dia bicara.
"Apakah kalian tidak dapat menduganya? Aku telah berhasil membangun balatentara yang amat besar jumlahnya, tidak kurang dari seratus ribu orang! Dari mana aku dapat membiayai semua itu? Dari mana aku dapat memberi makan kepada orang sebanyak itu, membelikan pakaian, senjata dan sebagainya? Saudara Ci Kong, bayangkan saja berapa banyak harta yang harus dipergunakan untuk semua itu, untuk menghimpun ratusan ribu orang?" Ci Kong dan Lian Hong saling pandang dan mata mereka terbelalak penuh keheranan, kekagetan dan juga kekaguman.
"Jadi... kau maksudkan... engkaulah orangnya yang telah mengambil harta pusaka Giok-Liong-Kiam itu?" tanya Ci Kong. Siu Coan mengangguk dan tersenyum.
"Tidak sepenuhnya. hanya tinggal seperempat bagian saja, namun cukup besar untuk dapat membiayai balatentara yang ratusan ribu jumlahnya. Semua orang memperebutkan harta pusaka itu untuk kesenangan dan kepentingan pribadi, akan tetapi aku ingin mendapatkan harta itu bukan untuk kepentingan pribadiku, melainkan untuk kepentingan perjuangan. Karena itulah, Tuhan selalu memberi perlindungan dan bimbingan kepadaku sampai saat ini. Dan kami sungguh mengharapkan agar saudara Ci Kong berdua membantu pula pelaksanaan perintah dan kehendak Tuhan." Ci Kong dan Lian Hong kembali saling pandang. Orang ini telah mengerahkan seluruh tenaga, pikiran dan harta miliknya untuk perjuangan! Kalau sekarang, mereka menolak memberi pinjam Giok-Liong-Kiam, yang sebetulnya bukan milik mereka melainkan sebuah benda curian yang setelah perebutan terjatuh ke tangan mereka, sungguh hal ini amat berlawanan dengan jiwa kepatriotan mereka! Akan tetapi, biarpun Giok-Liong-Kiam itu telah diberikan oleh isterinya kepadanya, menjadi haknya, namun Ci Kong tidak mau melampaui isterinya, oleh karena itu dia lalu berkata kepada Ong Siu Coan.
"Ong-toako, perkenankan aku berunding lebih dulu dengan isteriku di dalam." Tanpa menanti jawaban, Ci Kong lalu bangkit dan mengajak isterinya meninggalkan ruangan itu untuk berunding empat mata di dalam kamar mereka. Ong Siu Coan hanya mengangguk sambil tersenyum.
Setelah berada di dalam kamar, Ci Kong lalu bertanya,
"Bagaimana pendapatmu, Hong-moi?" Lian Hong memandang suaminya.
"Dan engkau bagaimana?" Ci Kong yang sudah mengenal baik isterinya maklum bahwa dengan jawaban itu, isterinya sudah setuju walaupun masih meragu dan menantikan keputusannya. Kalau isterinya tidak setuju, tentu langsung saja isterinya mengatakan tidak setuju. Isterinya setuju, akan tetapi tidak berani lancang karena pusaka itu telah diberikan kepada suaminya.
"Aku tidak keberatan. Bagaimanapun juga, pusaka itu adalah benda curian dari kerajaan, dan pula, kalau hanya dipinjam untuk memeperkuat perjuangan dan menarik lebih banyak orang kuat membantu perjuangan, apa salahnya?"
"Akupun berpikir demikian," kata Lian Hong dengan hati lega.
"Kalau begitu, kita serahkan pusaka itu sekarang juga." Ci Kog lalu mengajak isterinya keluar sambil membawa Giok-Liong-Kiam yang dibungkus dalam kain kuning. Ong Siu Coan menyambut mereka dengan wajah berseri.
"Sungguh bijaksana sekali bahwa kalian telah menyetujui dan suka memenuhi permintaan kami," katanya, seolah-olah dia telah tahu lebih dulu bahwa suami isteri pendekar itu tentu akan memenuhi permintaannya. Ci Kong menyerahkan buntalan kain kuning itu dan berkata,
"Kami memang suka sekali menyerahkan pusaka Giok-Liong-Kiam untuk kau pinjam, Ong-toako, mengingat bahwa engkau meminjamnya untuk keperluan perjuangan. Mudah-mudahan saja dengan adanya Giok-Liong-Kiam, balatentaramu akan menjadi semakin besar dan kuat sehingga kekuasaan penjajah Mancu akan dapat segera dihancurkan." Ong Siu Coan menerima pusaka sambil tersenyum.
"Bukan hanya itu, juga kami mengharapkan agar kalian berdua sewaktu-waktu suka datang membantu mengulurkan tangan untuk menghancurkan penjajah yang menyiksa rakyat jelata." Diapun membuka buntalan dan bersama Tang-ki, dia mengagumi Giok-Liong-Kiam yang memang teramat indah itu. Ukiran batu halus sekali berbentuk naga itu indah bukan main, halus sekali sehingga benda itu merupakan sebuah pusaka yang tentu amat mahal harganya. Terutama sekali orang kulit putih yang haus akan benda-benda kuno, tentu akan membayar pusaka ini dengan harga yang luar biasa tingginya. Setelah mendapat kenyataan bahwa pusaka itu benar Giok-Liong-Kiam yang asli Ong Siu Coan membuntalnya lagi dengan kain kuning, lalu menyelipkannya di ikat pinggangnya.
"Mari kita berdoa mohon berkah Tuhan agar pusaka ini benar-benar akan membawa kita kepada kemenangan atas kaum penjajah Mancu." Mendengar ini, Kiki lalu merangkap kedua tangan, menundukkan muka dan meletakkan kedua tangan di meja, memejamkan kedua matanya. Ong Siu Coan sendiri bersedekap, menyilangkan kedua lengan di depan dadabdan menundukkan mata, kemudian terdengar dia berdoa dengan kata-kata yang bergetar penuh perasaan. Ci Kong dan Lian Hong hanya saling pandang, tidak tahu harus berbuat apa, hanya memandang suami isteri yang bersembahyang di depan mereka. Baru saja Siu Coan selesai bersembahyang, tiba-tiba terdengar suara bersuit lirih yang terdengar dari depan rumah itu. mendengar ini, Siu Coan lalu berkata kepada Ci Kong,
"Ada seorang pembantu kami memberi tanda di depan rumah, harap kau suka mengajaknya masuk, saudara Ci Kong. Tentu dia membawa berita penting sekali maka berani menggangguku di sini." Ci Kong bergegas keluar dan benar saja, di luar telah berdiri seorang laki-laki gagah perkasa yang usianya sekitar empat puluh tahun, berpakaian seperti petani, serba hitam. melihat Ci Kong, orang itu menjura dengan hormat.
"Tan-Taihiap, bolehkah saya bertemu dan menghadap Ong-bengcu (pemimpin rakyat Ong)?" katanya dengan sikap hormat. Diam-diam Ci Kong kagum. Anak buah Ong Siu Coan ini gagah dan juga telah mengenalnya.
"Engkau dipanggil untuk menghadapnya di dalam," kata Ci Kong dan tanpa banyak cakap orang itu lalu ikut bersama Ci Kong memasuki ruangan dalam rumah itu. begitu melihat Siu Coan, laki-laki itu memberi hormat dengan berlutut sebelah kaki seperti perajurit dan berkata dengan suara lantang.
"Lapor kepada bengcu bahwa pasukan besar anjing Mancu telah datang ke arah dusun ini. Agaknya ada mata-mata yang telah melaporkan tentang peristiwa di dusun sebelah tadi. Mohon petunjuk." Ong Siu Coan mengerutkan alisnya.
"Berapa jumlah mereka?"
"Menurut penyelidik, tidak kurang dari dua ratus orang."
"Dan kekuatan kita yang berada di sini?"
"Hanya ada dua puluh orang, bengcu. Semua penduduk yang bergabung dengan kita telah berangkat ke selatan."
"Ah, mereka belum terlatih. Dan dua puluh orang cukup untuk memancing musuh keluar dari dusun ini. dengar baik-baik. Dua orang dari kalian menyamar sebagai kami berdua, meggunakan dua ekor kuda kami dan pancing pasukan itu agar menuju ke hutan di sebelah timur. Setelah tiba di sana, tentu hari telah menjadi gelap. Kalian masuk hutan dan berpencar. Kalau mereka berani mengejar, kalian lanjutkan perjalanan dan meloloskan diri. Kami sendiri akan menggunakan kuda lain, sediakan kuda baru, dan mengambil jalan lain. Ingat, jangan memaksa suatu pertempuran dalam keadaan berat sebelah. Nah, laksanakan perintahku. Ambil kuda kami dan tukar dengan yang baru."
"Baik, bengcu!" Orang itu memberi hormat, juga memberi hormat kepada Ci Kong dan Lian Hong, lalu cepat keluar dari dalam rumah itu.
"Apakah yang telah terjadi?" tanya Ci Kong."Ketika kami menuju ke sini, di dusun sebelah kami diserbu oleh tiga puluh lebih pasukan pemerintah. Untung ada anak buahku yang bertugas di sini, dan kami telah membunuh seluruh pasukan pemerintah yang tiga puluh orang lebih itu. Mayat-mayat mereka telah dilempar ke dalam hutan dan semua laki-laki muda di dusun itu telah meninggalkan dusun dan bergabung dengan kami. Akan tetapi celakanya, agaknya ada mata-mata musuh yang berhasil lolos dan memeberi lapoan ke Nan-king dan kini datang pasukan dua ratus orang lebih dari Nan-king."
"Ah, celaka! Kalau begitu tentu mereka tahu bahwa kalian telah datang ke rumah kami, Ong-toako!" kata Ci Kong dan wajahnya berubah khawatir. Ong Siu Coan mengangguk, wajahnya tetap dingin.
"Itu sudah resiko pejuang, saudara Ci Kong. Maka, kukira sebaiknya kalau kalian bergabung saja dengan kami dan sekarang juga meninggalkan rumah ini."
"Tapi..." Ci Kong teringat akan puteranya. Bagi dia dan isterinya, tidak ada keberatan apapun kalau ikut berjuang, karena memang merekapun menghendaki agar tanah air mereka terbebas dari cengkeraman orang-orang Mancu. Akan tetapi lalu bagaimana dengan pendidikan putera mereka? Pada saat itu, Tan Bun Hong datang berlari memasuki ruangan itu, sepasang matanya yang lebar bening itu terbelalak dan memandang Ayahnya penuh ketegangan.
"Ayah, ada pasukan menyerbu dusun kita, membunuhi orang-orang dusun".
"Ah, begitu cepat mereka tiba!" Ong Siu Coan berseru dan seperti dikomando saja, mereka berempat, dua pasang suami isteri perkasa itu sudah berloncatan keluar rumah. Benar saja, di ujung dusun sebelah utara terdengar suara ribut-ribut dan teriakan-teriakan wanita ketakutan. Mereka cepat menyelinap dan melihat betapa perajurit-perajurit dari Nan-king itu membunuhi orang seenaknya sendiri, Ci Kong dan Lian Hong sudah siap untuk mengejar mereka. Akan tetapi Siu Coan mencegah dan berkata lirih.
"Jangan tergesa-gesa. Lihat, tentu anak buahku akan segera bergerak memancing mereka keluar dari sini." Benar saja, sepasukan orang lain yang menunggang kuda dan berpakaian petani secara tiba-tiba menyerbu. Tentu saja pasukan pemerintah itu menjadi marah dan cepat menyambut serangan balasan orang itu, yang dipimpin oleh seorang laki-laki dan seorang wanita yang menunggang dua ekor kuda besar hitam dan pitih, kuda-kuda tunggangan Ong Siu Coan dan isterinya tadi. bahkan pakaian yang dikenakan dua orang pemimpin pasukan kecil itupun serupa dengan pakaian yang dipakai Ong Siu Coan dan isterinya.
Melihat dua orang pemimpin pemberontak ini, komandan pasukan pemerintah berteriak-teriak untuk menangkap mereka yang dianggapnya adalah pemimpin besar kaum pemberontak Tai Peng dan isterinya. Pertempuran itu terjadi berat sebelah karena mana mungkin belasan orang pemberontak itu melawan dua ratus lebih pasukan dari Nan-king.Segera mereka melarikan diri ke timur, dikejar oleh pasukan karena komandan pasukan bernapsu sekali untuk menawan dua orang pemimpin besar pemberontak Tai Peng itu. Sudah terbayang olehnya hadiah yang amat besar dari istana kalau dia mampu menangkap Ong Siu Coan dan isterinya! Setelah pasukan besar itu mengejar belasan orang pemberontak yang melarikan diri ke timur, Siu Coan lalu keluar dari tempat prsembunyiannya. Segera dua orang anak buahnya yang tinggal di situ menghampirinya dan memberi hormat.
"Bujuk para peduduk untuk bergabung dengan kita," pesan Ong Siu Coan.
"Mereka harus cepat dibawa ke selatan agar tidak keburu dikejar oleh pasukan penj ajah."
Dua orang itu memberi hormat dan mereka segera menemui para penduduk, dan seperti juga penduduk dusun pertama, kini peduduk dusun inipun, terutama yang laki-laki dan masih muda, tidak ragu-ragu lagi untuk bergabung dengan para pejuang Tai Peng. Tidak ada pilihan lain lagi bagi mereka. Kalau mereka pergi mengungsi begitu saja, akan mengungsi ke mana? Dan tentu akan dapat dikejar oleh pasukan pemerintah dan mereka tetap saja akan dibunuh sebagai pemberontak-pemberontak. Satu-satunya jalan untuk menyelamatkan diri hanyalah bergabung dengan pasukan Tai Peng, dan dengan demikian mereka bahkan dapat membalas dendam kepada pemerintah penjajah yang selama ini telah menekan keluarga mereka turun-temurun.
Demikian siasat yang dipergunakan oleh Ong Siu Coan, satu di antara siasat-siasatnya untuk mengumpulkan kekuatan dan memperbesar jumlah anggauta pasukannya! Kini diapun membujuk Ci Kong yang kebingungan. seperti para penghuni lainnya di dusun itu, Ci Kong juga maklum bahwa tidak mungkin lagi dia tinggal di dusun itu bersama keluarganya, tentu akan diancam oleh pasukan pemerintah. Apalagi dia adalah orang yang dikunjungi oleh pimpinan besar pasukan pemberontak Tai Peng! Tan Ci Kong cepat mengambil keputusan setelah berunding dengan isterinya. Dia akan bergabung dengan Ong Siu Coan, membantu perjuangan sambil melarikan diri dari dusun itu, sedangkan isterinya akan membawa putera mereka lari mengungsi ke pegunungan Wu-yi-san, yaitu ke puncak Pek-liong-kwi-san (Puncak Iblis Naga Putih), tempat kediaman gurunya, yaitu San-tok (Racun Gunung).
Kepada isterinya Ci Kong berjanji bahwa dalam waktu setahun dia akan menyusul ke puncak itu. Dengan tergesa-gesa, keluarga Tan itupun berkemas, membawa barang-barang yang berharga dan yang perlu saja, kemudian mereka saling berpisah. Ci Kong menunggang kuda bersama Ong Siu Coan dan TangKi, meninggalkan dusun itu menuju ke selatan. Siauw Lian Hong bersama puteranya Tan Bun Hong, juga menuju ke selatan, ke Pegunungan Wu-yi-san, berboncengan menunggang kuda pula. Berakhirlah sudah kehidupan penuh damai dan ketenteraman bagi keluarga Tan Ci Kong. Mereka mulai kehidupan baru penuh kekerasan dan tantangan, dan terpaksa pula suami isteri itu saling berpisah. Semua ini gara-gara Ong Siu Coan yang datang ke dusun mereka. Mereka mengira bahwa hal itu terjadi kebetulan saja,
Sama sekali tidak mengira bahwa memang Ong Siu Coan sudah memperhitungkan kemungkinan ini dan mengatur siasat yang menguntungkan pihaknya dalam segala kesempatan. Buktinya, peristiwa di kedua dusun itu amat menguntungkan dirinya, memperkuat pasukan Tai Peng dengan ratusan orang penduduk dusun, yang terutama sekali, selain memperoleh Giok-Liong-Kiam, juga memperoleh bantuan seorang pendekar yang boleh diandalkan, yaitu Tan Ci Kong! Dan perhitungan Ong Siu Coan memang tepat sekali. Setelah dia melalui orang-orangnya menyiarkan bahwa pusaka Giok-Liong-Kiam kini berada di tangannya dan menjadi lambang kekuatan Tai Peng juga lambang kehancuran pemerintah penjajah Mancu, banyak pendekar merasa tertarik. Apalagi ketika mereka mendengar bahwa pendekar Tan Ci Kong, pendekar Siauw-Lim-Pai yang amat terkenal itu, kini bergabung dan bahkan menjadi pembantu utama Ong Siu Coan,
Berbondong-bondong kaum pendekar datang menggabungkan diri membantu perjuangan balatentara Tai Peng! Dan Ong Siu Coan-pun mulai bergerak menyerang ke utara. Tujuannya adalah merebut dan menduduki kota besar Wu-chang, kemudian Nan-king dan setelah menguasai wilayah lembah Yang-ce sampai ke muara, akan melanjutkan serangan menyerbu terus ke utara dan menduduki Peking, menggulingkan pusat pemerintahan Mancu. Demikianlah rencananya. gerakannya didukung oleh banyak petani dan pimpinan pasukan diserahkan ke tangan pendekar yang memiliki ilmu silat tinggi. Bagaimana alasan muluk yang dikemukakan orang yang kebetulan duduk di tingkat atas untuk membersihkan diri, tidak dapat disangkal lagi bahwa apa yang dinamakan pemerintah sesungguhnya hanyalah sekelompok orang yang sedang berkuasa pada saat itu.
Baik buruknya sebuah pemerintahan, kuat atau lemahnya, tergantung sepenuhnya kepada keadaan batin sekelompok orang yang sedang berkuasa itu, dan akibat daripada sebuah pemerintahan itu menyeret keadaan hidup rakyat banyak yang tunduk kepada pemerintahan itu. Di dalam sebuah kerajaan, kekuasaan mutlak berada di tangan Kaisar, sehingga kuat lemahnya kerajaan itu yang digantungi nasib rakyatnya dapat dilihat dari keadaan Kaisarnya. Pada waktu itu, yang menjadi Kaisar adalah Kaisar Sian Feng yang naik tahta dalam usia sembilan belas tahun (1851-1861). Jatuh bangunnya setiap dinasti tidak ada bedanya dengan jatuh bangunnya setiap orang manusia. Sebab seseorang terjatuh dari kedudukannya, hal itu disebabkan oleh ulah dirinya sendiri, dan jatuhnya sebuah negara disebabkan oleh pemimpinnya.
Akan tetapi kalau kita melihat sejarah, seolah-olah ada Kekuasaan Tertinggi yang sudah menentukan dan mengatur semua itu. Kalau sudah tiba saatnya seorang manusia harus mati, ada saja yang menjadi sebab-sebabnya pula. Kerajaan Mancu atau dinasti Ceng yang sepenuhnya menguasai daratan Cina dimulai dalam tahun 1663 dengan Kaisar pertamanya Kang Si, setelah mengalami masa jayanya yang gemilang selama kurang lebih dua ratus tahun lamanya, mulailah menyuram ketika Kaisar Sian Feng dinobatkan menjadi Kaisar. Kaisar muda Sian Feng ini berbeda jauh dibandingkan dengan Kaisar-Kaisar Mancu sebelumnya, bahkan amat jauh berbeda dari Kakek buyutnya yaitu Kaisar Kian Liong. Kaisar Sian Feng ini selalu mengejar kesenangan, terutama sekali kesenangan mengumbar nafsu berahi, bermain-main dengan wanita-wanita cantik.
Pengejaran kesenangan merupakan suatu penyakit yang akan menyeret kita ke dalam lingkaran setan yang berakhir dengan kesengsaraan, bahkan awal dan akhirnyapun sudah berada dalam keadaan yang sengsara, tak puas, tak dapat menikmati keadaan hidup. Bukan berarti bahwa kita harus menjauhi kesenangan, harus menolak dan menghindari kesenangan. Kesenangan adalah suatu keadaan hati, dan sudah menjadi hak setiap orang manusia untuk dapat senang. namun, kalau kita sudah diperbudak, maka kita selalu mengejarnya dan pengejaran inilah yang jahat! Pengejaran inilah yang menyeret kita kepada segala macam perbuatan kemaksiatan dan kejahatan. Pengejaran terdorong oleh keinginan untuk memperoleh sesuatu yang lebih banyak, lebih baik, dan lebih segalanya daripada keadaan yang sudah ada.
Pengejaran membuat mata kita selalu memandang ke depan, kepada khayan, kepada suatu keadaan atau kesenangan yang belum terdapat. Dengan demikian, yang nampak besar, indah dan menyenangkan hanyalah sesuatu yang kita kejar dan kita ingin dapatkan itu, dan dengan sendirinya, segala seuatu yang ada pada kita tidak lagi nampak keindahannya, tidak lagi menyenangkan! Dan di dalam pengejaran inilah terdapat bahaya penyelewengan, karena pengejaran membuat mata kita buta terhadap baik buruknya tindakan atau langkah kita. Kita terjang saja segala yang menjadi perintang atau penghalang dalam pengejaran kita, kita tendang, kita langkahi, kalau perlu kita injak! Semua demi memperoleh sesuatu yang kita anggap akan mendatangkan kesenangan dan kepuasan kepada kita.
Dan, sekiranya yang dikejar itu berhasil kita dapatkan, benarkah kita akan senang dan puas, seperti yang kita idamkan? Memang senang, memang puas, namun inipun biasanya hanya bertahan dalam waktu singkat saja. Karena penyakit itu membuat mata kita mengejar lagi, mengejar sesuatu yang kita anggap lebih baik dan lebih menyenangkan daripada yang sudah terdapat itu! Yang sudah terdapat itu menjadi masa lalu dan kita ingin mendapatkan sesuatu yang masih berada di masa depan lagi. Hal begini akan terus menguasai kehidupan kita, menjadi lingkaran setan dari masa lampau dan masa depan, dan kita tidak pernah benar-benar hidup karena hidup adalah saat ini, sekarang ini. Masa lalu telah mati dan tidak perlu dikenang lagi, masa depan hanyalah khayal yang belum ada.
Kaisar Sian Feng hidup berenang didalam lautan kesenangan. Semenjak muda, dia memang tidak tertarik oleh pemerintahan, akan tetapi sejak remaja dia sudah mengenal kesenangan dengan wanita. Dia diangkat menjadi Kaisar dalam tahun 1851, di dalam masa keributan dan di waktu pemerintahan Mancu sedang kacau, baik menghadapi orang-orang kulit putih yang mulai menanam kuku-kukunya di daratan Cina, maupun menhadapi pemberontakan di dalam negeri. Kaisar Sian Feng tidak menghiraukan semua ini, menganggap ringan dan menganggap tak mungkin ada kekuatan yang akan mampu menghancurkan kekuasaannya. bahkan pemberontakan Tai Peng juga dianggap sepi saja oleh Kaisar muda ini. Urusan pemerintahan tidak ditangani langsung oleh Kaisar Sian Feng, melainkan diserahkan kepada Pangeran Kung dan para menteri. Kaisar sendiri sibuk mencari perempuan-perempuan baru,
Berpuluh selir yang muda-muda dan cantik-cantik berada di sekelilingnya setiap saat, namun dia masih belum juga merasa cukup atau puas. Kesukaannya mengejar kesenangan membuat dia menjadi mudah bosan. Dia bergairah dengan kaki kecil perempuan Han, maka seringkali Kaisar muda ini menyamar dengan pakaian biasa, dengan pengawalan rahasia, mengunjungi rumah-rumah pelacuran di Peking. Kelemahan seorang Kaisar tentu saja merupakan hal yang amat penting bagi para pembesar penjilat karena mereka dapat mempergunakan kelemahan Kaisar ini untuk kepentingan diri sendiri. melihat kesukaan Kaisar terhadap wanita-wanita Han ini, kepala thaikam (orang kebiri) yang menjabat sebagai kepala Taman Yuan-beng-gwan (Taman Terang Sempurna), yaitu taman musim panas, segera bertindak dengan cerdiknya.
Dia menghubungi Kaisar dan berjanji akan mencarikan gadis-gadis Han yang cantik dari selatan. Tentu saja Kaisar merasa gembira sekali dan menyetujuinya. Oleh karena pada masa itu terdapat peraturan istana yang melarang wanita bukan Bangsa Mancu dimasukkan istana maka gadis-gadis Bangsa Han itu ditaruh di dalam Taman Yuan-beng-gwan. Oleh pembesar thaikam itu, dicarikanlah gadis-gadis yang muda belia dan cantik jelita dari daerah Nan-king, Hang-couw dan So-chouw dan dibawalah mereka itu ke dalam taman yang amat indah itu. Taman Terang Sempurna merupakan istana taman musim panas yang amat indah berbau bangunan asing karena taman dan istana ini dibangun oleh seorang pendeta Italia bernama Castiglione di jaman Kaisar Kian Liong.
Bukan main gembiranya hati Kaisar muda itu. Setiap hari dia berada di taman musim panas, bersenang-senang dengan selir-selir baru Bangsa Han yang mengelilinginya dan lupa akan segala. Para pejabat yang mengelilinginya adalah penjilat-penjilat yang hanya berusaha menyenangkan hati Kaisar agar mereka memperoleh hadiah atau kenaikan pangkat. Atas petunjuk mereka, di taman musim panas itu dipelihara lebih dari tiga ratus ekor menjangan. Ramuan tanduk menjangan dan darah segar binatang itu menjadi obat kuat bagi sang Kaisar. Darah itu ditaruh dalam mangkok kemala sebagai minuman setiap hari untuk menjaga kekuatan Kaisar muda yang setiap hari dikeroyok oleh puluhan orang selir itu!
Nafsu memang tidak ada puasnya, seperti api yang makin diberi umpan semakin berkobar. Biarpun sudah mempunyai selir yang kini menjadi ratusan jumlahnya, masih saja Kaisar Siang Feng tidak mau melepaskan perempuan-perempuan baru yang belum pernah disentuhnya. Dayang-dayang istana yang terdiri dari gadis-gadis cantik, perawan-perawan jelita, banyak yang menjadi korban keganasan Kaisar ini. Kalau melihat seorang dayang cantik, bisa saja dia timbul gairah dengan tiba-tiba dan langsung diterkamnya gadis itu. Kaisar yang menjadi budak nafsu ini tidak segan-segan untuk menggauli seorang dayang di depan selir-selirnya, hanya sekedar memamerkan kekuatannya. Permaisuri Kaisar adalah seorang wanita cantik yang baik hati namun teramat lemah. Melihat keadaan suaminya, mulai timbul perasaan khawatir di dalam hati permaisuri,
Apalagi melihat betapa Kaisar mengumpulkan demikian banyak selir berbangsa Han di Taman Terang Sempurna. Lebih-lebih kalau ia mengingat bahwa Kaisar belum mempunyai keturunan putera yang akan menjadi pangeran mahkota. Maka ia lalu membujuk Kaisar untuk mengambil gadis-gadis Mancu tercantik untuk dijadikan dayang-dayang baru di dalam istana. Kaisar yang mata keranjang itu tak perlu ditanya kedua kalinya. Tentu saja dia tertawa dan menyatakan persetujuannya atas usul sang permaisuri. Ratusan orang perawan remaja didatangkan para petugas. Akan tetapi setelah dipilih oleh permaisuri, yang diterima sebagai calon hanya enam puluh empat orang perawan yang disuruh membersihkan diri, mengenakan pakaian-pakaian baru yang indah, diajar pula tata cara dan sopan santun istana.
Pendeknya, enam puluh empat orang gadis ini digembeng secara kilat agar menjadi dayang-dayang yang mengenal peraturan dan menyenangkan. Demikianlah, pada suatu pagi yang cerah, setelah Kaisar bangun tidur dan dilayani para dayang untuk mandi dan bertukar pakaian, Kaisar menghadapi santapan pagi dengan pertunjukan istimewa yang sengaja diadakan oleh permaisuri. yaitu pertunjukan lomba kecantikan yang dilakukan oleh enam puluh empat orang perawan remaja yang pilihan! Gadis-gadis Mancu yang cantik-cantik itu berbaris melenggang di depan Kaisar, dengan bermacam gaya dan lagak, dan semua adalah wanita-wanita yang cantik sekali. Kaisar memandangi mereka satu demi satu dengan mata terbelalak dan mulut menyeringai senang, seperti seorang anak kecil yang diberi mainan yang banyak dan menyenangkan hatinya.
Berulang-ulang keluar pujian dari mulut Kaisar terhadap gadis-gadis itu dan sukarlah baginya untuk memilih mana yang paling cantik dan siapa di antara mereka yang akan dipilihnya untukmelayaninya dan menemaninya malam hari itu. Akan tetapi tiba-tiba pertunjukan yang amat menggembirakan itu terganggu dengan pelaporan pengawal bahwa Pangeran Kung dan seorang panglima yang bertugas memimpin pasukan besar di selatan minta menghadap karena ada urusan penting sekali. Kaisar menggerakkan tangannya dengan hati tak senang, minta agar pertunjukan itu dilangsungkan sampai habis. Gadis-gadis itu terus melangkah satu demi satu, akan tetapi gangguan itu membuyarkan perhatian Kaisar sehingga dia hampir tidak melihat adanya seorang di antara para perawan itu, seorang gadis yang memiliki kecantikan yang khas dan pembawaan yang amat menarik.
Gadis ini nampak menyolok sekali dan jauh berbeda dari yang lain. Kalau gadis-gadis lain itu kelihatan takut-takut dan malu-malu, ia sama sekali tidak demikian. Dengan anggunnya ia lewat di depan Kaisar, bahkan di dalam setiap gerak-geriknya, lirikan matanya, lenggak-lenggoknya, senyumnya, ada pengendalian dan kepribadian yang khas. Akan tetapi Kaisar sudah merasa tak senang dengan gangguan tadi sehingga dia tidak lagi memperhatikan gadis-gadis itu. Akhirnya, setelah gadis terakhir lewat, Pangeran Kung dan panglima itu dipersilakan masuk.dengan wajah dingin Kaisar bertanya mengapa sang pangeran itu mengganggunya di waktu sepagi itu. Pangeran Kung sambil berlutut berkata dengan penuh hormat, dengan wajah mengandung kegelisahan dan keprihatinan besar.
"Mohon Sri Baginda sudi mengampunkan hamba yang berani mengganggu dengan menghadap tanpa dipanggil. Akan tetapi hamba membawa laporan berita yang amat buruk, Sri Baginda." Kerut di dahi Kaisar makin mendalam. Celaka, pikirnya, sudah mengganggu kesenangannya, masih membawa berita buruk lagi.
"Hemm, berita apakah? katakan!"
"Panglima Thung ini datang membawa laporan bahwa pasukan kerajaan yang berjaga di selatan telah dipukul mundur dan kini pemberontak Tai Peng telah menduduki Nan-king dan Wu-chang. Kekuatan mereka besar sekali, didukung oleh rakyat setempat dan dibantu oleh para petani, juga para pendekar." Berita itu tentu akan mengejutkan setiap orang, namun Kaisar yang hanya mementingkan pengejaran kesenangan itu hanya nampak kaget sebentar saja.
"Sungguh menyebalkan!" kata Kaisar tak senang.
"Kita sudah membuang banyak harta untuk membiayai pasukan-pasukan itu, akan tetapi sekarang menghadapi segerombolan pemberontak saja tidak becus membasminya!" Panglima Thung mengerutkan alisnya dan mukanya berubah merah sekali. Sambil berlutut dan memberi hormat dia berkata,
Pedang Naga Kemala Eps 2 Rajawali Hitam Eps 5 Rajawali Hitam Eps 10