Ceritasilat Novel Online

Kasih Diantara Remaja 9


Kasih Diantara Remaja Karya Kho Ping Hoo Bagian 9




"Cukup, duduklah anakku yang baik!"

Suaranya ramah dan gembira sekali sehingga Han Sin ikut menjadi girang ketika ia membalikkan tubuhnya dan duduk di depan kakek itu. "Apa kau pernah makan buah aneh atau barang luar biasa selama ini?"

Muka Han Sin menjadi merah. "Ketika hendak memasuki terowongan ini, Siauw-ong diserang ular kulit putih, aku membantunya dan dalam pertarungan itu, aku telah minum darah ular banyak sekali, lalu karena penasaran padanya dan lapar perutku, kumakan dagingnya.

Kakek itu kini bengong, matanya terbelalak mulutnya terbuka seperti guha. "Kau bilang ular ". Ular kulit putih ". Matanya seperti bola api".?"

"Memang mata ular itu mencorong seperti bernyala-nyala..........."

"Pek-hiat-sin-coa....... Pek-hiat-sin-coa..... (ular ajaib darah putih).....!" kakek itu berseru berkali-kali sambil menggoyang-goyang kepala, kemudian ia mendongak dan berkata, "Cia Sun tai-hiap, kau benar-benar mempunyai putera yang selalu diberkati Thian, agaknya Thian hendak membalas jasa-jasamu dengan memberimu seorang putera yang besar untungnya.... ha ha ha...!"

Kakek ini girang sekali dan diam-diam ia kagum bukan main. Bocah ini benar-benar tak pernah belajar ilmu silat, pikirnya, karena terlampau dalam mempelajari filsafat kebatinan sehingga tidak suka akan ilmu silat yang dianggapnya kejam dan kasar. Akan tetapi latihan-latihan samadhinya itu membawa dia tersesat ke dalam puncak kesempurnaan ilmu lweekang yang menjadi inti ilmu silat malah!

Dan darah ular Pek-hiat-sin-coa itu, menambah lagi kekuatannya. Bukan main! Agaknya bocah ini dituntun oleh arwah ayahnya datang ke sini untuk mewarisi ilmu yang baru kulatih selesai. Bukan main girangnya kakek itu sampai napasnya menjadi makin memburu dan tiba-tiba ia merasa seluruh tubuhnya lemas seperti ditinggalkan oleh tenaganya. Ia kaget dan tahu apa artinya ini. Maut benar-benar sudah tidak sabar dan agaknya tidak mau mernunggu lebih lama lagi.

"HAN SIN, ketahuilah. Aku sudah tua dan setiap saat aku akan mati. Maukah kau memenuhi permintaan seorang tua yang hampir mati?"

Han Sin kaget sekali. Dia terharu dan karena memang hatinya amat welas asih, mana dia bisa menolak permintaan orang?

"Orang tua yang baik, mati hidup di tangan Thian, bagaimana kau bicara tentang mati? Kalau saja permintaanmu itu dapat kulakukan, tentu aku akan memenuhinya."

Jangan bicara plintat-plintut, pendeknya maukah kau memenuhi permintaan seorang yang mau mati, seperti aku ini atau tidak?"

"Asal saja........"

"Sebutkan syarat-syaratnya."

"Asal jangan disuruh membunuh orang, asal jangan disuruh melakukan segala macam kejahatan, aku Cia Han Sin berjanji akan memenuhi permintaan kau orang tua."

Kakek itu nampak girang sekali.

"Bagus, bicaranya seorang laki-laki......"

"Sekali keluar takkan dijilat kembali." Han Sin menyambung, agak penasaran karena orang tidak percaya kepada janjinya.

"Benar! Kau kira aku orang apa hendak menyuruh kau melakukan kejahatan dan membunuh orang? Han Sin, ketahuilah, aku adalah ketua Cin-ling-pai dan namaku Giok Thian Cin Cu. Ahhh, segala nama kosong, memalukan saja. Permintaanku kepadamu hanya satu yakni kau kuminta menjadi muridku, murid yang hendak kuwarisi ilmuku Lo-hai-hui-kiam."

Karena sudah berjanji, biarpun di dalam hatinya ia tidak begitu suka kalau hanya mewarisi ilmu silat yang memang tidak disenanginya, maka Han Sin lalu berlutut dan berkata. "Teecu Han Sin memberi hormat kepada suhu Giok Thian Cin Cu."

Bukan main girangnya kakek itu. "Bagus, kau benar-benar laki-laki sejati yang patut menjadi muridku. Sekarang, sebagai muridku kau harus segera menurut petunjukku mempelajari ilmu yang hendak kuturunkan kepadamu."

"Ilmu Lo-hai-hui-kiam itu, suhu?"

"Benar."

"Maaf, suhu. Sebetulnya teecu........ teecu sudah hafal, kiranya tidak perlu melelahkan suhu untuk mempelajarinya pula."

"Benar-benar sudah hafal? Coba kau sebutkan satu-satunya jurus dan katakan bagaimana pergerakkannya."

Han Sin duduk bersila dan mengerahkan tenaga ingatannya. Sambil menyipitkan mata melakukan pemusatan pikiran, ia lalu mulai menyebut jurus-jurus itu disertai penjelasannya. "Jurus pertama Hui-kiam Thian-sia, dengan kedua tangan miring yang kanan menjaga leher yang kiri dibacokkan ke bawah mengarah titik merah di ubun-ubun. Jurus kedua Hui-kiam-ci-tiam, dengan jari-jari terbuka menusuk ke arah kedua titik biru di pundak." Demikianlah, satu persatu ia menyebutkan dan melukiskan tiga puluh enam jurus dari Lo-hai-hui-kiam, demikian cocok dan tepat sehingga kakek itu mendengar sambil melongo!

Setelah pemuda itu selesai membaca semua jurus Lo-hai-hui-kiam, kakek itu lalu berkata. "Sekarang kau duduklah bersilah di sebelahku, kumpulkan semua pikiran seperti kalau bersamadhi dan turut segala perintahku sambil melihat titik-titik pada patung itu. Lekas aku hampir tidak kuat lagi. Lekas, kau harus mempelajari semua jalan darah dan titik-titik hawa dalam tubuh."

Karena tadi sudah berjanji menjadi murid kakek ini, tentu saja Han Sin tidak berani membantah lagi. Mana ada aturannya seorang murid membantah petunjuk gurunya? Ia lalu duduk bersila dan memenuhi perintah kakek itu. Matanya memandang ke arah patung dan telinganya dibuka untuk mendengarkan petunjuk suhunya.

Setelah melihat muridnya siap, dengan suara perlahan, lambat dan jelas kakek itu lalu mulai memberi pelajaran tentang jalan darah di tubuh manusia. "Kau lihat, pada tubuh patung itu, terdapat dua belas jalan darah yang disebut Ki-keng-meh, Keng-siang-meh ditandai garis merah dengan pusat di bagian masing-masing dengan tanda titik merah dan Ki-keng-meh bertanda hitam. Semua jalan darah itu mengalir dari atas ke bawah yang di lambung itu, dengan titik di kanan kiri dan jalannya memutari pinggang, disebut Tai-meh....."

Demikianlah, kakek itu memberi petunjuk kepada Han Sin yang didengarkan dengan penuh perhatian oleh pemuda ini. Han Sin merasa girang sekali karena pelajaran itu baginya tidak ada hubungannya dengan "ilmu membunuh", maka sebentar saja ia telah dapat menghafalnya baik-baik.

"Kau sudah mengerti dan hafal semuanya?" tanya gurunya.

Han Sin mengangguk dan Giok Thian Cin Cu berkata lagi, "Sekarang kau rasakan, bukankah di pusarmu terdapat hawa yang terasa hangat dan bergerak-gerak?"

Han Sin merasa heran bukan main. Bagaimana kakek ini bisa tahu apa yang terasa olehnya di dalam pusar? Memang semenjak kecil ia mempunyai perasaan seperti ini dan makin dewasa perasaan itu makin hebat seakan-akan hawa di pusar yang bergerak-gerak itu makin menjadi kuat dan tidak terkendalikan lagi. Kembali ia mengangguk.

"Nah, kau ingatlah pada jalan Tai-meh di lambung yang mengitari pinggang dan kau pergunakan kemauanmu untuk memaksa hawa hangat itu untuk melalui jalan darah itu."

Secara membuta Han Sin menurut. Mula-mula hawa yang hangat di pusarnya itu karena tidak biasa dikendalikan, amat sukar untuk dipaksa bergerak. Akan tetapi setelah ia mengerahkan semangat, ia mulai dapat mendesak hawa itu dan benar saja, setelah pikirannya dan kemauannya bulat, hawa yang panas itu perlahan-lahan mulai bergerak mengitari pinggangnya menurut jalan darah Tai-meh!

"Berhasilkah? Kalau sudah berhasil, kau mengangguk!" kata kakek itu, suaranya perlahan tapi jelas. Han Sin mengangguk dan pemuda ini tidak melihat betapa gurunya memandang kepadanya dengan penuh kekaguman dan keheranan. "Sekarang, kau desak lagi hawa panas itu dari jalan darah Tai-meh melalui Keng-siang-meh menuju ke titik di dada kanan. Awas, jangan main paksa dengan kekerasan, pergunakanlah kekuatan pikiran dan sewajarnya saja."

Demikianlah, Han Sin yang memang sudah memiliki sinkang tanpa ia ketahui sendiri sehingga ia tidak dapat mengendalikan dan mempergunakan hawa murni yang masih "liar" ini, perlahan-lahan dituntun oleh guru besar Cin-ling-pai yang sakti ini untuk dapat menguasainya. Inilah tingkat pelajaran yang tertinggi bagi seorang ahli lweekeh. Karena Han Sin memang memiliki darah dan tulang yang bersih, sebentar saja ia sudah dapat menguasai sinkangnya dan sudah dapat menjalankan hawa murni di tubuhnya berputar-putar di seluruh anggauta tubuhnya.

Bahkan tiga jam kemudian, ke mana saja ia menghendaki, hawa panas itu secepat kilat telah berada di tempat yang ia kehendakinya! Memang tadinya iapun sudah bisa mencapai tingkat ini dan ke mana pikirannya menuju, hawa itu otomatis "terbang" ke tempat yang ditujunya. Akan tetapi hal ini terjadi secara liar dan tidak teratur, bahkan sukar baginya untuk menyimpan kembali tenaga mujizat itu. Sekarang, berkat petunjuk Giok Thian Cin Cu, ia malah dapat menyimpan hawa ini di dalam pusarnya dan tidak sembarangan hawa murni itu bergerak tanpa tujuan.

"Bagus.... bagus....." kakek itu terengah-engah, payah dan lelah sekali akan tetapi puas. "Sekarang kau sudah menjadi ahli Lo-hai-hui-kiam yang sukar dicari tandingannya di dunia ini! Dengar baik-baik, nama ilmu pedang yang diturunkan oleh susiok Hui-kiam Koai-sian kepadaku ini disebut Lo-hai-hui-kiam (Ilmu pedang pengacau lautan). Jalan darah di tubuh manusia diumpamakan lautan luas, maka serangan-serangan ilmu ini adalah untuk mengacau lautan atau jalan darah di tubuh lawan.

Misalnya jurus pertama Hui-kiam-thian-sia dipergunakan untuk menotok jalan darah di ubun-ubun kepala membuat lawan menjadi tewas atau sedikitnya menjadi rusak otaknya dan gila. Jurus kedua Hui-kiam-ci-tiam itu dipergunakan untuk menotok jalan darah kedua pundak lawan, membuat musuh jadi lumpuh kedua tangannya atau terlepas sambungan tulang-tulang pundaknya dan jurus ketiga......."

"Celaka......!" tiba-tiba Han Sin mengeluh dengan suara kaget sekali.

Giok Thian Cin Cu memandang dan melihat muridnya menatap wajahnya dengan muka pucat dan mata terbelalak. Ia tahu apa yang membuat pemuda itu terkejut. Biarpun keadaan kakek ini sudah payah, melihat muridnya ia tertawa geli. "Bocah bodoh, jangan mengira bahwa Lo-hai-hui-kiam adalah ilmu kejam. Kejam tidaknya bukan menjadi sifat kepandaian, melainkan sifat kepribadian seseorang. Yang kuceritakan itu hanyalah untuk menunjukkan kelihaian Lo-hai-hui-kiam dalam menghadapi musuh yang jahat dan lihai."

Namun diam-diam Han Sin tetap menyesal sekali telah mempelajari ilmu yang demikian ganas. "Sekarang kau telah menguasai sinkangmu dan dapat menjalankan tenaga murni di tubuhmu menurut suara hati atau jalan pikiran. Maka dalam menghadapi lawan tangguh, kau tak usah khawatir lagi. Sekarang masih ada sebuah permintaan dariku yang kuharap kau tidak akan menolaknya."

"Permintaan apalagi, suhu? Teecu tentu akan mentaati perintah suhu?"

"Aku mempunyai banyak murid, akan tetapi tidak ada yang berhasil menuruni Lo-hai-hui-kiam dan tidak ada yang cukup kuat untuk melindungi Cin-ling-pai yang sudah kubangun dengan susah payah. Maka setelah kau menjadi muridku, kau kuberi tugas menjaga nama baik Cin-ling-pai dan mengawas-awasi tingkah laku para anak murid Cin-ling-pai. Sekarang ini dunia luar banyak terjadi pengkhianatan dan aku kuatir sekali kalau pada suatu hari Cin-ling-pai akan terjerumus ke dalam jaring kaum penjajah setelah aku mati......."

"Suhu........"

"Berjanjilah kau akan menuruti permintaanku terakhir ini," suara kakek itu makin lemah.

"Teecu berjanji."

"Aaahhh, puas hatiku. Cia Sun, kau sungguh baik......, kau mengirim puteramu ke sini. Terima kasih..... terima kasih, tunggulah, kita akan saling berkumpul...... Han Sin muridku, kau ambil pedangku ini....."

Han Sin menerima pedang yang diberikan, pedang yang amat tipis dan lemas sekali sehingga dapat dibelitkan di pinggang seperti sabuk. Itulah pedang Im-yang-kiam yang sudah puluhan tahun berada di tangan Giok Thian Cin Cu dan telah membuat nama besar bagi tosu itu.

Pada saat itu, terdengar suara orang ramai-ramai dari luar dan mendadak dua orang tosu menerobos masuk. Mereka adalah It Cin Cu dan Ji Cin Cu yang mukanya pucat dan keringatnya membasahi jidat. Begitu masuk mereka berlutut di depan Giok Thian Cin Cu. "Hemmm, ada perlu apa kalian masuk tanpa kupanggil?" bentak Giok Thian Cin Cu. Dua orang tosu itu melihat adanya Han Sin dan monyetnya dan mereka memandang kepada pemuda ini dengan mata mendelik.

"Suhu, Cin-ling-san diserbu oleh kaki tangan pemerintah Ceng. Teecu sekalian sudah melakukan perlawanan, banyak sute yang gugur, akan tetapi musuh terlampau kuat, dibantu orang-orang pandai. Suhu, kita menghadapi kehancuran dan semua ini adalah gara-gara..... bocah ini! Mohon keputusan."

Tiba-tiba kakek yang sudah amat payah itu serentak berdiri. Suaranya keras. "It Cin Cu, Ji Cin Cu, ketahuilah. Bocah ini adalah putera Cia Sun Taihiap, dia sudah menjadi muridku. Dia inilah sutemu yang kelak akan mewakili aku menjaga nama baik Cin-ling-pai. Eh, Cia Han Sin, pemerintah penjajah Ceng mengirim kaki tangannya menyerang kita, menurut pikiranmu, bagaimana baiknya?"

Semenjak kecil Han Sin tidak pernah belajar silat, juga tidak suka akan kekerasan. Akan tetapi ia lebih tidak suka lagi kepada penjajah yang amat dibencinya. Maka ia menjawab tenang. "Setiap usaha penjajah harus dilawan, suhu. Penjajah harus dihancurkan. Akan tetapi dalam hal ini kita mengingat kekuatan sendiri. Kalau tidak kuat melawan, lebih baik menyelamatkan diri untuk menghimpun kekuatan baru dan kelak baru membalas."

"Bagus, bagus..... dasar turunan pahlawan, masih menempel juga siasat perang leluhurmu kepadamu." Tiba-tiba kakek ini teringat bahwa biarpun Han Sin memiliki tenaga sinkang dan pengertian yang mendalam tentang ilmu silat Lo-hai-hui-kiam, namun belum pernah dilatihnya dan akan celakalah kalau menghadapi musuh berat. Cepat-cepat ia berkata, "Muridku, kau tidak boleh mencampuri urusan pertempuran ini. Lekas kau pergi melalui terowongan ini setibanya di persimpangan, kau belok ke kiri. Kau akan tiba di balik gunung dan selanjutnya kau harus melarikan diri. Cepat!"

Han Sin berlutut, menghaturkan terima kasih lalu dengan Siauw-ong di pundaknya, ia memasuki terowongan yang tadi dan terus melarikan diri. Adapun Giok Thian Cin Cu lalu bersama dua orang muridnya keluar dari guha dalam tanah itu dan kakek yang sudah berada di ambang pintu kuburan karena sudah amat tua ini bersama murid-muridnya lalu mengamuk, melawan para penyerbu yang terdiri dari serdadu-serdadu Ceng yang dipimpin oleh perwira-perwira yang kosen dibantu oleh orang-orang gagah yang sudah menjadi kaki tangan pemerintah Ceng. Terutama sekali banyak pimpinan dari partai Coa-tung Kai-pang.

Akan tetapi perlawanan ini sia-sia saja, selain Giok Thian Cin Cu sudah amat tua dan lemah, juga pihak musuh lebih banyak dan kuat sehingga akhirnya kakek yang gagah ini tewas dalam medan pertempuran, tewas bukan oleh senjata musuh melainkan karena kehabisan tenaga. Mentaati perintah gurunya sebelum tewas, It Cin Cu dan Ji Cin Cu bersama Cin-ling Sam-eng membawa sute-sute mereka melarikan diri meninggalkan gunung Cin-ling-san dan banyak di antara mereka yang tewas dalam pertempuran itu.

Bagaimanakah tentara Ceng bisa menyerbu ke Cin-ling-san? Bukan lain adalah karena Tok-gan Sin-kai dan dua orang sutenya bersama Thio Li Hoa setelah dikalahkan dan dipukul mundur oleh Cin-ling Sam-eng dibantu It Cin Cu dan Ji Cin Cu dalam memperebutkan Han Sin, lalu mereka lari turun gunung. Akan tetapi pada keesokan harinya mereka kembali membawa tentara dan pembantu sehingga terjadi pertempuran itu.

Han Sin mendengar teriakan-teriakan ramai dari orang-orang yang bertempur. Akan tetapi ia mentaati perintah gurunya dan terus melarikan diri melalui terowongan. Sampai di simpang empat ia membelok ke kiri dan tak lama kemudian betul saja, terowongan itu membawanya keluar ke sebuah guha yang berada di belakang gunung. Suara orang bertempur tidak kedengaran lagi dan pemuda ini berjalan perlahan-lahan sambil mengenangkan semua pengalamannya.

"Ilmu silat...... lagi-lagi ilmu silat diajarkan orang kepadaku. Ciu-ong Mo-kai menjadi guruku yang pertama, mengajarkan Liap-hong Sin-hoat, kemudian Giok Thian Cin Cu menjadi guruku kedua. Mengajarkan Lo-hai-hui-kiam. Hemmm, ilmu silat.....! Bagiku untuk apakah? Han Sin, Han Sin, kau tidak suka ilmu silat tapi orang memaksa-maksamu mempelajarinya. Ilmu silat itu mana bisa kau mainkan?"

Berpikir demikian, pemuda ini lalu menggerakkan kaki tangannya mencoba untuk memainkan beberapa jurus ilmu silat Liap-hong Sin-hoat. Akan tetapi begitu memukulkan tangan ke depan, ia teringat bahwa dengan kepalan tangan itu ia harus memukul dada orang, maka cepat-cepat ia menarik kembali tangannya, berhenti bersilat dan menghela napas panjang. Ia menggeleng-gelengkan kepalanya dan berkata seorang diri. "Tidak bisa aku pukul orang...."

Siauw-ong yang berjalan di sampingnya, melihat pemuda itu bersilat menjadi girang sekali. Ia cecowetan karena selama hidupnya belum pernah ia melihat Han Sin bersilat. Dianggapnya lucu sekali maka ia ikut mencak-mencak. Melihat pemuda itu tiba-tiba berhenti, ia menjadi kecewa dan monyet ini melanjutkan gerakan-gerakan Han Sin tadi, bersilat ilmu silat Liap-hong Sin-hoat dan menyerang sebatang pohon. Hebat monyet ini. Tiap kali tangannya memukul pohon, daun-daun pohon itu rontok dan cabang-cabang pohon bergoyang-goyang! Inilah akibat dari racun darah ular yang membuat tenaga monyet itu menjadi sepuluh kali lebih kuat!

Melihat ini, Han Sin berpikir. "Bersilat memukul pohon saja sih tidak ada jahatnya, asal jangan memukul orang. Kenapa aku tidak akan coba-coba? Barangkali akupun bisa membikin rontok beberapa helai daun seperti perbuatan Siauw-ong itu."

Setelah berpikir demikian, ia meloncat ke dekat sebatang pohon besar dan menjalankan jurus Hui-kiam-kan-goat, dua jari tangannya menusuk ke depan. "Cuss!" Dua jari tangannya itu amblas ke dalam batang pohon yang dirasakannya empuk seperti bubur saja! Ia kaget dan menarik kembali jari-jari tangannya, lalu menyusul dengan pukulan Hui-kiam-ci-tiam, kedua tangannya memukul ke arah pohon dari kiri kanan.

"Blukk!" Ia tadi menggunakan daya pikirannya mengerahkan hawa sinkang ke arah kedua lengannya untuk melakukan pukulan itu, akan tetapi begitu mengenai pohon, ia hanya merasa kedua telapak tangannya enak dan hawa dari kedua tangan itu seakan-akan menembusi pohon. Akan tetapi akibatnya tidak ada apa-apa! Jangankan daunnya berguguran, malah bergoyang sedikitpun tidak.

Terdengar suara ketawa dari Siauw-ong yang mentertawakan tuannya. Han Sin menjadi panas hatinya. Dua jari tangannya tadi dapat melubangi pohon, kenapa pukulan kedua tangannya malah tidak mengakibatkan sesuatu? Ia mendongkol juga karena ditertawai monyetnya, maka karena gemas ia menyalahkan pohonnya yang dianggap terlalu kuat.

Sambil lalu ia mendorong pohon itu dan.... batang pohon itu mengeluarkan suara keras lalu patah dan tumbang, tepat di bagian yang tadi terpukul oleh kedua tangannya. Kagetnya Han Sin bukan alang kepalang. Ia tahu bahwa pukulannya Hui-kiam-ci-tiam tadi adalah pukulan disertai tenaga lweekang yang ampuh sehingga biarpun pohon itu sendiri tidak bergoyang, akan tetapi sebelah dalam batangnya sudah hancur oleh tenaga pukulan Han Sin, maka ketika didorong lalu tumbang!

Han Sin menjadi pucat malah, sebaliknya dari pada girang. "Celaka," pikirnya. "Menjadi manusia apa aku? Seperti iblis. Pohon saja kupukul tumbang. Kalau aku memukul orang bukankah berarti aku membunuhnya? Celaka, iblis sudah menguasai diriku......"

Pada saat itu berkesiur angin dan tahu-tahu di depannya berdiri seorang wanita yang amat menyeramkan. Wanita itu pakaiannya aneh dan asing. Rambutnya riap-riapan, matanya liar dan tajam sedangkan pada tangan kanannya kelihatan sebuah senjata yang aneh, yaitu tulang seekor ular!

"Benar-benar aku melihat iblis....." Han Sin berdiri melengak dan tak dapat bergerak saking kagetnya. Siauw-ong cecowetan takut lalu melompat dari pundak Han Sin dan memanjat pohon. Agaknya tulang ular di tangan wanita itulah yang membuat ia menjadi ngeri, mengingatkan dia akan pengalamannya ketika dibelit dan diserang ular.

"Kau putera Cia Sun....?" tiba-tiba wanita itu berkata, suaranya nyaring dan sinar matanya mengeluarkan cahaya.

Melihat keadaan orang aneh ini, tahulah Han Sin bahwa ia berhadapan dengan seorang yang berkepandaian tinggi. Maka ia tidak berani membohong, dan sambil menjura ia menjawab, "Betul dugaan cianpwe, aku adalah putera ayah Cia Sun dan namaku Cia Han Sin. Tidak tahu siapakah cianpwe dan apakah kenal dengan mendiang ayah?"

"Kenal? Kenal kanda Cia Sun?" Wanita aneh itu tertawa. Suara tawanya merdu dan nyaring menyeramkan, akan tetapi diam-diam Han Sin harus mengakui bahwa dibalik keliaran dan keanehan wanita ini, masih dapat dilihat dengan jelas bahwa dahulunya wanita ini tentu cantik bukan main. Bahkan sekarang pun kulit tangan dan mukanya, masih putih dan halus sekali tidak kalah oleh gadis-gadis muda. "He, orang muda, ayoh kau lekas ikut pergi dengan aku jangan membantah lagi!"

"Aku tidak kenal siapa cianpwe ini dan aku mempunyai keperluan lain yang amat penting. Tak dapat aku ikut pergi sekarang. Kalau cianpwe sudi memberi tahu nama dan alamat, tentu lain kali aku akan mengunjungi cianpwe."

Kembali wanita itu tertawa. "Muka sama, bicara sama, benar-benar kanda Cia Sun hidup kembali. Sayang ketolol-tololan, tidak segagah ayahnya! Eh, bocah, apa kau ingin aku mengambil jalan kekerasan?"

"Aku..... aku tidak mengerti maksud cianpwe...." Baru bicara sampai di sini tiba-tiba tulang ular di tangan wanita itu menyambar dan jalan darah di pundak Han Sin telah ditotok. Tadinya Han Sin hendak menyalurkan hawa sinkang ke pundaknya. Akan tetapi ia segera teringat bahwa ia menghadapi seorang wanita, lagi sudah agak tua, benar tidak pantas kalau ia melawan. Apalagi ia masih ngeri kalau mengingat betapa tadi tenaganya telah menumbangkan sebatang pohon. Bagaimana kalau ia salah tangan lagi membunuh wanita ini seperti ketika merobohkan Ban Kim Cinjin?

Karena pikiran inilah maka ia tidak jadi menyalurkan tenaganya. Kalau dahulu sebelum ia menerima petunjuk Giok Thian Cin Cu, di serang begini tentu otomatis sinkangnya yang masih liar akan bergerak sendiri ke pundak melindungi jalan darahnya. Akan tetapi sekarang, ia telah dapat menguasai sinkangnya sehingga kalau tidak ia salurkan, hawa itu tetap berkumpul di pusarnya.

Tentu saja Han Sin yang belum punya pengalaman itu tidak tahu hebatnya wanita itu. Begitu ujung tulang ular itu menyentuh pundaknya, ia merasa tubuh bagian atas lemah sekali. Bukan main kagetnya, namun sudah terlambat. Kembali tulang ular menyambar, kini ke arah kedua kakinya dan robohlah Han Sin, terguling ke atas tanpa dapat bergerak lagi, seluruh tubuhnya lemas dan tidak dapat digerakkan! Siauw-ong yang tadinya takut-takut melihat wanita yang memegang tulang ular itu, kini melihat Han Sin diserang, timbul keberanian dan kemarahannya. Ia mengeluarkan pekik marah dan dari atas pohon ia meloncat dan menyambar ke arah kepala wanita itu.

Wanita itu mengeluarkan suara ketawa dingin, tubuhnya mengelak dan tulang ular menyambar ke arah kepala Siauw-ong. Hebat sekali sambaran ini dan kalau mengenai sasaran, tentu kepala monyet itu akan remuk. Akan tetapi Siauw-ong bukanlah sembarang monyet. Merasai datangnya hawa sambaran senjata lawan, biarpun tubuhnya masih di udara, ia dapat membuat salto dua kali ke belakang dan terlepas dari ancaman.

Wanita itu diam-diam merasa kaget sekali. Seorang ahli silat yang tangguh jarang bisa menghindarkan diri dari satu kali serangannya seperti tadi, kenapa monyet kecil ini sanggup? Malah sekarang Siauw-ong sudah menyerang lagi dengan gerakan-gerakan aneh seperti pandai bersilat! Wanita itu timbul kegembiraannya.

"Monyet yang dibawa Cia Sun dulu tidak seperti ini. Aneh..... aneh......!" Ia lalu memutar senjatanya dan sinar kelabu bergulung-gulung mengurung diri Siauw-ong yg tentu saja segera terdesak hebat. Monyet ini mengeluarkan suara cecowetan dan menjadi jerih namun ia terus melawan dan kegesitannya yang luar biasa membuat senjata lawan belum juga berhasil menggores kulitnya.

Pada saat itu berkelebat bayangan putih dan seorang pemuda yang memegang golok sudah tiba di situ. "Menggunakan kepandaian tinggi menghina yang lemah, benar-benar memalukan!" seru pemuda itu yang segera menggerakkan goloknya menerjang maju. Sekali goloknya berkelebat, terdengar suara "cring! cring!" keras sekali dan gulungan kelabu dari senjata tulang ular itu dapat dibuyarkan. Siauw-ong yang melihat jalan keluar segera meloncat dan menubruk tubuh Han Sin, mengguncang-guncangnya sambil mengeluarkan bunyi seperti menangis.

Sementara itu, wanita setengah tua yang rambutnya riap-riapan menjadi marah sekali melihat datangnya pemuda tampan yang memegang golok. "Bocah sombong, kau berhadapan dengan Jin Cam Khoa (Algojo Manusia), berani menjual lagak? Ayoh, menggelinding pergi!"

Pemuda itu bukan lain adalah Phang Yan Bu, pemuda yang memenuhi permintaan Bi Eng untuk membebaskan Han Sin, menjadi kaget bukan main mendengar disebutnya nama Jin Cam Khoa. Sudah sering kali ia mendengar nama hebat ini, malah ibunya sendiri pernah memberi tahu bahwa di antara orang-orang berbahaya yang lebih baik dihindarinya, termasuk Jin Cam Khoa inilah. Siapa kira sekarang ia malah berhadapan dengan iblis wanita ini sendiri dengan senjata di tangan.

Kalau saja ia tidak melihat Han Sin roboh dan monyetnya tadi terancam, ia tentu akan mengalah dan pergi meninggalkan wanita itu. Akan tetapi ia telah melihat Han Sin, melihat monyet. Ia yakin bahwa inilah tentu kakak dari Bi Eng. Ia ingin berjasa terhadap Bi Eng, juga ingin mengikat persahabatan dengan kakak beradik ini, menghapuskan permusuhan dan dendam lama. Sekarang melihat Han Sin agaknya terluka dan keselamatannya terancam oleh Jin Cam Khoa, bagaimana dia bisa tinggal diam saja? Apa yang akan ia katakan terhadap Bi Eng?

Segera ia menjura dan berkata. "Ah, kiranya aku berhadapan dengan Jin Cam Khoa cianpwe yang terkenal. Harap maafkan Phang Yan Bu kalau mengganggu cianpwe. Ibuku, Ang-jiu Toanio sering kali menyebut-nyebut nama cianpwe dan memesan agar supaya aku memberi hormat kalau bertemu dengan cianpwe."

Jin Cam Khoa mengeluarkan suara mengejek. Dia tadi sudah menduga bahwa pemuda ini tentulah bukan pemuda sembarangan, melihat dari ilmu goloknya yang hebat. Kiranya putera Ang-jiu Toanio! Mana dia takut menghadapi orang seperti Ang-jiu Toanio? Dia, puteri Hui yang biasanya dihormat setiap orang! Memang, Jin Cam Khoa ini bukan lain adalah Balita puteri Hui cantik jelita yang dulu pernah menggoda Cia Sun.

Kini dia telah menjadi tua, namun ilmu kepandaiannya sudah beberapa kali lebih hebat dari pada dahulu. Kalau dahulu di waktu mudanya saja Balita sudah lihai sekali, apalagi sekarang! Kepandaiannya tinggi juga keganasannya memuncak sehingga ia mendapat julukan Jin Cam Khoa atau Algojo Manusia karena entah sudah berapa ratus orang ia bunuh dengan kejam!

"Aku pernah melihat Ang-jiu Toanio. Mengingat mukanya, baik kau pergi dan aku ampunkan kelancanganmu," katanya sambil lalu dan matanya kembali memandang ke arah Han Sin. Pemuda ini hanya roboh tertotok, tidak pingsan maka ia dapat mendengar semua percakapan itu. Ia merasa heran melihat seorang pemuda gagah datang menolongnya, akan tetapi ia lebih heran dan kaget sekali ketika mendengar bahwa wanita itu adalah Jin Cam Khoa Balita, seorang di antara mereka yang mungkin membunuh ayah bundanya. Seorang yang dianggap berbahaya oleh Ciu-ong Mo-kai dan terhadap siapa ia harus berhati-hati.

Sementara itu, Yan Bu dengan masih hormat dan tenang berkata, "Harap cianpwe suka memaafkan aku. Aku datang untuk menjemput saudara Cia ini bersama monyetnya karena ditunggu oleh seorang di tepi sungai. Aku sudah berjanji untuk menjemputnya."

"Gila! Aku yang akan membawa dia pergi!"

"Maaf, terpaksa aku melindunginya."

Merah wajah Jin Cam Khoa, matanya seperti bernyala. "Bocah, ibumu boleh menakuti anak kecil dengan tangan merahnya. Akan tetapi jangan kira aku takut! Kau tidak tahu aku sudah mengalah, kalau begitu kau sudah bosan hidup. Mampuslah!"

Tiba-tiba sekali tulang ular itu menyambar ke arah muka Yan Bu. Baiknya pemuda ini memang sudah bersiap sedia, dan memiliki ketenangan luar biasa, maka melihat sinar kelabu menyambar ia segera berkelit sambil melompat mundur dan menggoyang goloknya. Tahu bahwa ia berhadapan dengan lawan yang amat kuat, ia tidak mau mengalah dan cepat menggerak-gerakan goloknya membalas dengan serangan-serangan yang hebat pula. Jin Cam Khoa Balita mengeluarkan teriakan mengerikan, setengah tertawa setengah menangis dan tubuhnya berkelebatan seperti burung.

"Celaka," pikir pemuda ini. "Namanya Jin Cam Khoa, ia tak pernah meninggalkan lawan tanpa lebih dulu membunuhnya. Kalau aku sampai tewas, siapa yang akan memberitahukan kepada nona Cia tentang keadaan kakaknya? Dan melihat gelagatnya, ia hanya hendak menawan Cia Han Sin, bukan hendak membunuhnya."

Pemuda ini tidak takut menghadapi ancaman maut, hanya kuatir tidak akan dapat memenuhi janjinya terhadap Bi Eng! Benar-benar cinta itu lebih kuat dari pada maut, orang berani menentang maut akan tetapi takut menghadapi kegagalan cinta. "Ah, lebih baik kupancing dia dari sini," pikir lagi Yan Bu yang amat cerdik. "Melawan sampai menang aku tak sanggup, akan tetapi mempertahankan diri kiranya masih kuat beberapa jurus lagi." Setelah berpikir demikian, pemuda ini lalu menyerang hebat sekali. Selagi lawan melompat mundur, ia lalu melarikan diri sambil berkata.

"Biarpun namamu Jin Cam Khoa, tak mungkin kau bisa membunuhku karena selain ilmu lari cepatku lebih tinggi, kaupun takut kepada ibu!" Yan Bu sengaja memanaskan hati iblis wanita itu. Jin Cam Khoa memekik marah.

"Kubunuh kau.....! Kubunuh kau sampai di manapun juga......!" Dan betul saja, pancingan Yan Bu berhasil baik dan iblis wanita itu dengan rambut berkibar-kibar mengerikan terus saja mengejar. Celakanya bagi Yan Bu, ilmu lari cepat iblis wanita itu ternyata hebat sekali dan sebentar saja sudah hampir dapat disusul!

Akan tetapi Yan Bu memiliki ketabahan luar biasa dan semangat besar, juga ilmu goloknya yang ia warisi dari Yok-ong bukanlah sembarangan ilmu golok. Dengan hebat ia menyerang lagi sehingga biar Balita jauh lebih unggul dari padanya, terpaksa wanita ini mengelak lagi dari sambaran golok yang mengaung dan berubah menjadi segulung sinar putih yang berbahaya. Saat wanita itu mengelak dipergunakan lagi oleh Yan Bu untuk meloncat jauh dan lari terus. Demikianlah, makin lama kejar mengejar itu makin jauh meninggalkan tempat di mana Han Sin masih menggeletak tak berdaya, ditangisi oleh monyetnya.

Akan tetapi hanya sebentar Han Sin tidak berdaya. Ketika ia tadi mendengar bahwa wanita itu adalah Jin Cam Khoa Balita, timbul semangatnya. Itulah orang yang mungkin menjadi pembunuh ayah bundanya. Timbullah semangat ini menggerakkan hawa sinkang di pusarnya, makin lama makin panas dan akhirnya ia berhasil juga menyalurkan hawa ini ke arah jalan darah yang tertotok sehingga dalam sekejap mata saja ia sudah berhasil membuyarkan totokan! Pada saat ia hendak bangun, tiba-tiba ia mendengar suara kaki berlari-larian dan muncullah It Cin Cu dan Ji Cin Cu, berlari tak jauh dari tempat itu, dikejar oleh beberapa orang panglima Ceng.

Baiknya mereka itu semua tidak melihat Han Sin dan sekarang pemuda ini dapat mendengar percakapan yang membuat ia terheran-heran.

"Tak perlu kalian mengejar terus," terdengar suara It Cin Cu. "Lekas kalian pergi mengejar tiga orang sute kami Cin-ling Sam-eng. Kepada Thio-ciangkun katakan bahwa tiga hari lagi kami diam-diam akan mengunjunginya dan kami menerima semua syaratnya."

"Terima kasih," terdengar suara seorang di antara para panglima pemerintah Ceng itu. "Ji-wi totiang ternyata dapat melihat jauh dan suka bersekutu dengan pemerintah kami. Selamat berpisah." Dua rombongan itu berpencar dan sebentar pula mereka sudah pergi dari situ.

Jantung Han Sin berdebar, kemarahannya timbul. Ia teringat akan pesan Giok Thian Cin Cu supaya ia mengawasi gerak-gerik para tosu Cin-ling-pai dan menjaga nama baik Cin-ling-pai. Apakah maksud dua orang tosu tertua dari Cin-ling-pai itu? Betul-betulkah mereka mau bersekutu dengan pemerintah penjajah? Kemudian ia teringat lagi akan Balita, teringat akan adiknya.

"Paling perlu aku harus menemui Bi Eng, jangan-jangan diapun terancam bahaya," pikirnya. Ia lalu bangun berdiri dan mengajak Siauw-ong pergi secepatnya dari tempat berbahaya itu. Diam-diam ia makin kecewa karena lagi-lagi ia bertemu dengan orang-orang jahat. Balita yang datang-datang menyerangnya, ditambah lagi dengan penghianatan It Cin Cu dan Ji Cin Cu terhadap partainya sedemikian rupa. Ia menarik napas panjang. Baru satu orang saja yang melakukan perbuatan baik terhadapnya, yaitu pemuda bergolok yang gagah perkasa. Akan tetapi ia tidak kenal pemuda itu. Lapat-lapat ia tadi mendengar pemuda itu menyebut-nyebut Ang-jiu Toanio.

Tiba-tiba ia berhenti berlari dan terbelalak. Teringatlah ia sekarang setelah nama Ang-jiu Toanio memasuki benaknya. Bukankah pemuda itu pemuda yang dulu mendorong kereta di mana duduk seorang wanita sakit? Ah, tak salah lagi! Dan Ang-jiu Toanio, nama yang disebut oleh Ciu-ong Mo-kai sebagai seorang yang ikut menyerbu orang tuanya, apakah wanita yang sakit itu?

"Banyak orang jahat di dunia ini, benar-benar tidak kusangka sebelumnya! Ah, kalau begitu apakah suhu Ciu-ong Mo-kai lebih benar tentang mempelajari ilmu silat?" Demikian pemuda ini mulai ragu-ragu dan di dalam perjalanannya menyusul adiknya, ia makin bersemangat menghafal dan mempelajari gerakan-gerakan dalam ilmu silat yang ia peroleh dari Ciu-ong Mo-kai dan Giok Thian Cin Cu.

Bahkan ia mencoba kecepatan larinya dan dengan heran dan girang sekali ia mendapat kenyataan bahwa kalau ia mau sebetulnya ia dapat berlari cepat sekali, malah ketika ia mencoba untuk mengejar Siauw-ong dalam berlompat-lompatan, ia dapat melompat lebih cepat lebih ringan dan gesit dari pada binatang peliharaannya itu. Makin terbuka mata pemuda ini akan kepandaian-kepandaian yang tersembunyi di dalam tubuhnya. Ia girang bukan karena mendapat kenyataan bahwa ia pandai, hanya girang karena ia dapat melakukan perjalanan lebih cepat.

Karena melihat kemajuan-kemajuan yang diperolehnya, ia mencoba-coba untuk melakukan ilmu silat Lo-hai-hui-kiam yang dipelajari dari Giok Thian Cin Cu dengan pedang Im-yang-kiam yang selama ini ia belitkan di pinggang tertutup bajunya. Ia merasakan pedang itu ringan sekali, namun ketika ia gerakkan, terdengar suara angin bersiutan dan pedang lenyap berubah gulungan sinar yang menyilaukan mata! Siauw-ong sampai lari ketakutan menyaksikan kehebatan pedang ini.

"Ah, aku takkan menggunakan pedang. Tubuh manusia mana kuat menahan bacokan pedang? Tentu akan putus dan darahnya menyembur keluar." Pemuda itu bergidik dan menyimpan kembali pedangnya. Betapapun juga, ia telah melakukan tiga puluh enam jurus Lo-hai-hui-kiam dengan pedangnya dan mendapat kenyataan bahwa amat enak terasa olehnya mainkan ilmu silat itu dengan menggunakan pedang.

Tiap kali teringat kepada adiknya, Han Sin mempercepat perjalanannya. Ia sudah merasa rindu sekali kepada Bi Eng, juga merasa kuatir tentang keselamatan gadis itu. Maka dapat dibayangkan betapa girang rasa hatinya ketika ia tiba di tepi sungai Wei-ho. Dari jauh ia melihat seorang gadis baju merah duduk di pinggir sungai membelakanginya. Adiknyalah itu, tak salah lagi. Bi Eng juga mempunyai baju warna merah seperti itu, pikirnya. Untuk menggoda adiknya, Han Sin meringankan langkah kakinya dan memberi tanda kepada Siauw-ong supaya jangan mengeluarkan suara. Siauw-ong hanya memandang aneh kepada majikannya dan tidak mengeluarkan suara.

Berindap-indap Han Sin menghampiri gadis itu dari belakang, lalu cepat ia menggunakan kedua tangannya mendekap dari belakang menutupi kedua mata gadis itu dengan telapak tangannya.

"Coba terka aku siapa........??" katanya sambil merobah suaranya agar jangan dikenal.

GADIS itu mengeluarkan seruan tertahan dan tiba-tiba dengan gerakan cepat kedua sikunya dikerjakan ke belakang menghantam dada Han Sin. Pemuda ini terjengkang karena tidak menjaga diri, akan tetapi dia tidak merasa sakit dan hanya tertawa bergelak sedangkan Siauw-ong sudah melompat ke atas tanah.

"Ha ha ha, Eng-moi, kau lihai sekali. Apa kau tidak mengenalku?" tegurnya.

Gadis itu memutar tubuh dan tangan kirinya menutupi sebagian mukanya. Sepasang mata jeli yang kemerahan seperti habis menangis memandang Han Sin dan pemuda ini melongo. Ternyata gadis ini sama sekali bukan Bi Eng! Celaka, pikirnya. Pantas saja Siauw-ong memandangnya dengan aneh. Kurang ajar, kenapa binatang itu diam saja tidak memberi tahu kepadanya? Pikiran ini dibantahnya sendiri. Mana ada monyet bisa memberi tahu? Adalah dia sendiri yang lebih bodoh dari monyet!

"Kau... kau bukan Bi Eng? Maafkan, nona, aku..... aku tadi salah lihat....."

Mendengar disebutnya nama ini, muka nona yang masih ditutupi tangan bagian hidungnya itu menjadi merah sekali. "Kau.... Cia Han Sin....? Suaranya perlahan dan karena tangannya menutupi hidung, maka suaranya menjadi agak bindeng dan sumbang.

Han Sin merasa heran mengapa banyak sekali orang mengenalnya. Hal ini sudah amat mengherankan hatinya ketika ia melakukan perjalanan dan ia sudah memikirkan keadaan yang menyolok ini. Dasar ia cerdik, ketika ia melihat betapa Balita juga mencarinya, ia dapat menarik kesimpulan bahwa orang-orang kang-ouw itu mencari karena ada hubungannya dengan surat wasiat peninggalan Lie Cu Seng. Sekarang melihat gadis yang selalu menutupi hidungnya ini juga mengenalnya, ia tersenyum.

"Betul, nona. Dan siapakah nona? Apakah nona melihat adikku yang bernama Cia Bi Eng? Dia menanti kedatanganku di sini."

Tiba-tiba suara gadis itu berubah geram. "Karena aku mengenal dia dan kau kakaknya, maka kau harus mati!" Setelah berkata demikian, dengan tangan kiri masih menutupi mukanya, tangan kanannya mencabut sebatang pedang.

Han Sin memandang dengan mata terbelalak dan kembali hatinya tertusuk oleh perasaan kecewa. Benar-benar manusia mahluk paling jahat di dunia, pikirnya. Sudah banyak aku bertemu orang yang tanpa sebab mau saling bunuh dengan kejam, sekarang gadis ini yang sama sekali tidak kukenal, begitu berjumpa juga mau membunuhku! Memikir sampai di sini, ia menjadi geli dan tertawa.

"Nona, tidak kusangka sama sekali bahwa Giam-lo-ong (Raja Akhirat) ternyata adalah seorang gadis cantik dan muda seperti kau!"

BIARPUN nona itu sudah marah sekali dan pedang di tangannya sudah menggetar hendak menyerang, mendengar ucapan ini ia toh menjadi tertarik dan ingin tahu maksudnya. "Kau bilang apa?" Mata yang jeli memandang tajam dan diam-diam Han Sin merasa sayang sekali mengapa tangan kiri itu selalu menutupi bagian tengah muka yang berkulit putih itu. Ia ingin gadis itu melepas tangannya, ingin melihat kecantikan orang. Han Sin memang seorang pemuda yang suka akan apa yang indah, tentu saja ia suka melihat kecantikan seorang gadis, bukan karena nafsu-nafsu yang tidak sehat, melainkan suka seperti orang menyukai dan menikmati kecantikan sekuntum bunga.

Mendengar pertanyaan orang, Han Sin tersenyum. "Kau tadi bilang mau membunuhku, kurasa hanya Giam-lo-ong saja yang suka mencabut nyawa. Apakah kau bukan Giam-lo-ong?"

"Siapa bercanda denganmu? Lihat pedang!" Gadis itu lalu menusukkan pedangnya ke arah dada Han Sin. Pemuda ini secara otomatis lalu mengelak dengan langkah kaki dalam jurus ilmu silat Liap-hong Sin-hoat sambil berseru, "Eh, eh, tiada hujan tiada angin kenapa mau membunuh orang?"

Kasih Diantara Remaja Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo



Gadis itu tidak perduli dan hendak menyerang lagi. Tiba-tiba ada bayangan berkelebat dan tahu-tahu Siauw-ong dengan cecowetan dan menepuk-nepuk dada menantang berkelahi telah berdiri di depan gadis itu! Binatang ini memang amat setia, setiap kali melihat Han Sin terancam bahaya atau diserang orang, tentu ia akan turun tangan membelanya.

Melihat sikap monyet ini, gadis itu makin marah dan kini pedangnya menyambar ke arah Siauw-ong. Namun dengan amat lincahnya monyet itu mengelak sambil meringis, bibirnya yang tebal dijebi-jebikan dan mulutnya mengeluarkan suara cecowetan seperti orang memaki-maki. Makin gencar serangan gadis itu, makin cepat pula ia mengelak sambil berusaha membalas dengan pukulan, cakaran, dan hendak merampas pedang. Han Sin yang sudah menyaksikan gerakan-gerakan gadis itu dan kelincahan Siauw-ong, hanya berdiri memandang sambil tersenyum. Ia tahu bahwa gadis itu takkan dapat melukai Siauw-ong.

Makin penasaran dan marah gadis itu. Gerakannya memang agak kaku karena tangan kirinya tak pernah terlepas dari mukanya. Akhirnya, dengan jurus yang mirip dengan jurus Po-in-gan-jit, jurus ketiga belas dari Liap-hong Sin-hoat. Siauw-ong memekik dan tangan kirinya berhasil mencakar pundak gadis itu dan lain saat tangan kanannya sudah berhasil merampas pedang!

"Siauw-ong, bodoh kau!" Han Sin mengomel. "Gerakanmu tadi kurang tepat. Kalau dia tadi memutar pedang ke kiri, bukankah tangan kananmu akan menjadi buntung?"

Siauw-ong hanya menyeringai dan membawa pedang itu menjauhi si gadis, lalu membacokkan pedang itu pada sebatang pohon yang sebesar paha orang. Hebatnya, sekali bacok saja pohon itu tumbang. Dari sini saja dapat dibuktikan bahwa tenaga monyet kecil ini sudah melebihi tenaga seorang manusia kuat!"

Melihat dirinya kalah oleh seekor monyet kecil, gadis itu menjadi putus harapan lalu menjatuhkan diri di atas tanah sambil menangis sedih. Kini bukan hanya tangan kiri yang menutupi muka, juga tangan kanannya menyusuti air mata.

Watak Han Sin memang penuh kesabaran dan welas asih. Melihat keadaan gadis itu, ia melangkah maju dan berkata halus. "Nona, kau dan aku tidak kenal satu kepada yang lain, kenapa kau datang-datang hendak membunuhku? Siauw-ong monyetku telah berlaku kurang ajar. Harap nona suka memaafkan. Eh, Siauw-ong, kembalikan pedang nona ini!"

Sebetulnya Siauw-ong tidak suka mentaati perintah ini, akan tetapi karena ia tidak berani membantah, maka dengan suara cecowetan seperti mengancam, ia membawa pedang itu dan menggeletakkannya di depan nona baju merah itu. Nona itu lalu menyambar pedangnya dan Han Sin sudah bersiap-siap, mengira nona itu akan menyerangnya lagi. Akan tetapi alangkah kagetnya ketika tiba-tiba nona itu membacokkan pedangnya ke arah leher sendiri.

Baiknya Han Sin berlaku cepat. Melihat gerakan orang, ia sudah dapat menduga dan ketika tangan kirinya disabetkan ke bawah, telapak tangannya dengan tenaga lweekang sudah membabat pedang itu dan..... "krak!" pedang itu terlempar dan patah menjadi dua potong! Sekarang nona itu tidak menutupi mukanya lagi, memandang kepada Han Sin dengan air mata bercucuran dan berkata lemah, "Kau bunuhlah aku.... bunuh aku........"

Han Sin berdebar jantungnya. Gadis itu mempunyai wajah yang manis sekali, matanya jeli, mulutnya mungil, akan tetapi.... gadis itu tidak punya hidung. Hidungnya telah buntung!

"Nona....." katanya dengan perasaan terharu. "Kau.... kenapa kau menderita sampai begini hebat.....?"

Makin deras air mata nona itu mengucur. "Adikmu...... siluman betina Bi Eng itulah yang membuat aku menjadi begini.....!

Han Sin menjadi pucat dan secepat kilat ia memegang kedua pundak nona itu dan mengguncang-guncangnya keras. "Kau bohong! Tak mungkin Bi Eng adikku berbuat begini. Tak mungkin dia sekejam ini, memotong.... hidungmu. Tak mungkin!"

Gadis itu tak berdaya biarpun mencoba meronta melepaskan pegangan pemuda ini sehingga tubuhnya terguncang-guncang. Ia mengangkat tangan kanan dan "plak! Plak!" pipi Han Sin ditamparnya. "Lepaskan tanganmu dari pundakku!" teriak gadis itu.

Han Sin sadar. Cepat ia melepaskan kedua tangannya dengan muka merah lalu berkata perlahan, "Kau sih yang membohong. Adikku Bi Eng seorang baik, mana dia berlaku kejam kepadamu?"

Gadis itu yang bukan lain orang adalah Ang-hwa bekas kekasih Bhok-kongcu, menundukkan kepalanya. "Memang dia tidak melakukan dengan tangan sendiri. Akan tetapi dia yang menjadi gara-gara, apa bedanya?"

Girang mendengar tentang adiknya, Han Sin lupa akan penderitaan orang dan mendesak. "Nona, bagaimana kau bertemu dengan Bi Eng? Dan di mana dia sekarang?" Kekhawatirannya terdengar jelas dalam suaranya.

Tiba-tiba nona itu tertawa mengejek. Ketawanya manis sekali dan Han Sin mengakui bahwa nona ini tentu cantik sekali kalau saja hidungnya tidak buntung. Wajah yang cantik manis sekarang menjadi menjijikan. Benar-benar keterlaluan orang yang telah membuntungi hidung nona ini. Dan ia yakin yang melakukannya pasti bukan Bi Eng.

"Kau mencari adikmu, Bi Eng itu? Hi hi, dia telah menjadi korban Bhok-kongcu dan hendak kulihat apakah dia dapat mempertahankan kedudukannya, hendak kulihat apakah kelak diapun tidak mengalami nasib dibuntungi hidungnya oleh Bhok-kongcu?"

Terkejut dan gelisah hati Han Sin mendengar ini. "Menjadi korban bagaimana? Siapa itu Bhok-kongcu?"

Ang-hwa kecewa juga mendengar pemuda ini belum mengenal nama Bhok-kongcu. Tadinya ia mengharap pemuda ini gelisah setengah mati mendengar adiknya menjadi korban Bhok-kongcu, karena siapakah orangnya belum pernah mendengar nama Bhok-kongcu? Ternyata pemuda ini begini hijau!

"Bhok-kongcu adalah Bhok Kian Teng, putera raja muda Bhok Hong yang berjuluk Pak-thian-tok, kau tidak tahu?" Ia menegaskan. Kaget juga Han Sin mendengar julukan Pak-thian-tok (Racun dari Utara) itu.

"Aku tidak kenal segala orang she Bhok atau racun yang manapun juga. Bagaimana dengan adikku, dan di mana dia?"

Ang Hwa putus asa. Tidak ada gunannya menakut-nakuti pemuda yang tidak tahu apa-apa ini. Sambil menarik napas panjang ia lalu bercerita.

"Setelah bertemu dengan Bi Eng, Bhok-kongcu membenciku. Dapat yang baru lupa yang lama, ah, itulah watak laki-laki. Malah dia menyiksaku begini macam.... aku, yang dulu dia cinta, dia siksa sampai begini......" Wanita itu menangis lagi. Han Sin tidak sabar. Ia tidak ingin mendengar tentang wanita ini, tentang hidung yang dipotong, ia ingin mengetahui di mana adanya Bi Eng.

"Apakah Bi Eng dia bawa? Dia tawan? Ke mana dibawanya pergi?" tanyanya bernafsu.

"Ke mana lagi? Tentu ke kota raja. Hik hik hik," ia tertawa lagi. "Mula-mula dijadikan kekasih baru, lama-lama menjadi bujang, dan akan dilupakan kalau mendapat yang baru."

Setelah berkata demikian, Ang-hwa meloncat dan lari pergi. Dari jauh terdengar suaranya memekik nyaring, setengah tertawa setengah menangis.

Han Sin menggeleng-geleng kepalanya, merasa seram. Lagi-lagi ia bertemu orang-orang jahat. Perempuan ini biarpun patut dikasihani, ternyata bukan orang baik, pikirnya. Apalagi orang yang disebut Bhok-kongcu. Teringat kepada Bhok-kongcu yang menawan adiknya, tiba-tiba timbul kemarahan hati Han Sin.

Dia tidak pernah marah dan selalu dapat bersabar dan memaafkan orang kalau dia sendiri yang diganggu. Akan tetapi sekarang orang mengganggu adiknya dan hal ini tak dapat ia biarkan begitu saja. Tak dapat ia maafkan. Apalagi kalau ia ingat betapa orang she Bhok itu dengan amat kejinya telah membuntungi hidung seorang gadis cantik, bekas kekasihnya pula. Ia bergidik kalau teringat akan hal ini. "Awas kau Bhok-kongcu, kalau sampai adikku kau ganggu.... hemmm, awas kau, akan.... akan ku...."

Dia akan berbuat apa? Tak dapat ia memikirkan ini, akan tetapi ia marah sekali. Han Sin saking marahnya mengeluarkan seruan keras, meloncat ke depan dan sekali pukul ia merobohkan sebatang pohon, lalu melompat lagi, memukul lagi dan setelah merobohkan belasan batang pohon barulah panas pada dadanya mereda. Ia berdiri bengong, malu kepada diri sendiri mengapa seperti gila ia menghajar pohon-pohon sampai roboh malang-melintang.

Bahkan Siauw-ong sampai ketakutan dan bersembunyi di belakang sebatang pohon agak jauh. Han Sin menarik napas panjang, lalu memanggil Siauw-ong dan berlarilah ia dengan monyet itu di pundaknya, mengubah tujuan perjalanannya, tidak menuju ke Lu-liang-san, melainkan ke kota raja untuk menyusul Bi Eng. Di dunia ini hanya Bi Eng seoranglah yang ia cinta, adiknya yang ia sayang lebih dari pada jiwanya sendiri.

"Bi Eng........ semoga kau selamat........"

Ia tidak dapat membayangkan apa yang akan ia lakukan kalau adiknya itu sampai tertimpa malapetaka. Terlalu ngeri ia memikirkan hal ini.

Beberapa pekan kemudian ketika Han Sin sedang berjalan dengan cepat di atas jalan besar menuju ke Tai-goan, dari depan ia melihat seorang gadis cantik menunggang kuda dengan cepat. Gadis itu berpakaian mewah dan kudanya pun kuda besar yang dapat berlari cepat. Di punggung gadis ini terdapat sepasang pedang dan dari gerak-geriknya mudah diduga bahwa gadis cantik ini pandai ilmu silat. Usianya mendekati tiga puluh tahun akan tetapi harus diakui bahwa dia cantik manis, seperti gadis remaja. Ketika bersimpang jalan, gadis itu mengerling tajam dan tiba-tiba mukanya berubah. Adapun Han Sin yang sedang sibuk memikirkan keselamatan adiknya, mana ada waktu untuk melihat-lihat gadis cantik?

Baru ketika ia mendengar suara kaki kuda besar itu datang lagi dari jurusan belakang dan melewatinya, ia mengangkat mukanya memandang dan lebih heran hatinya ketika ia melihat gadis itu menghentikan kudanya, memutar kuda dan menghadang di depannya. Karena ia tidak merasa kenal gadis ini, ia tidak memperdulikan dan tidak berani memandang lama-lama, malah hendak menyimpang.

"Tunggu dulu, bukankah kau she Cia bernama Han Sin?" tiba-tiba gadis itu menegur dengan suaranya yang merdu.

Berdebar hati Han Sin. Benar-benar dunia ini aneh, pikirnya. Sudah terlalu sering ia bertemu orang yang sama sekali tidak dikenalnya akan tetapi yang sudah mengenal namanya! Ingin ia membohong dan tidak mengaku agar tidak menimbulkan banyak kesukaran dan halangan dalam perjalanannya menyusul adiknya. Akan tetapi justeru pemuda ini tidak biasa membohong sehingga ia "tidak sampai hati" untuk membohong. Maka dengan mendongkol ditahan-tahan, ia menjawab juga.

"Benar, aku Cia Han Sin. Tidak tahu siapakah cici (kakak) ini dan ada apa menahan perjalananku?"

Dari sinar matanya, gadis itu kelihatan girang dan lega, akan tetapi wajahnya yang keren dan nampak galak itu tidak berubah. "Bukankah kau mencari adikmu yang bernama Cia Bi Eng?"

Kini lenyap sama sekali kemendongkolan hati Han Sin. "Betul!" jawabnya setengah bersorak. "Cici yang baik, apakah kau tahu di mana adanya adikku itu?"

"Tak baik bicara di tengah jalan. Kalau kau ingin tahu tentang adikmu, mari ikut aku!"

Girang sekali hati Han Sin. "Terima kasih, cici. Baik, aku akan ikut kau."

"Naiklah!"

Han Sin bingung. Naik kemana? Kuda hanya seekor. Karena betul-betul tidak mengerti, ia bertanya, "Kau maksudkan.... naik ke mana, cici?"

Gadis itu kelihatan geli, akan tetapi tidak memperlihatkan senyumnya. "Tentu saja ke sini, di belakangku. Naiklah!"

"Ah, mana aku berani....? Aku...... lebih baik aku jalan kaki saja, cici naikilah sendiri kuda itu."

"Hemm, rumahku tidak dekat, sedikitnya ada dua puluh li dari sini. Kudaku pun larinya cepat. Apa kau kira kau mampu lari sejauh itu membarengi larinya kuda?" gadis itu bertanya, nada suaranya tak sabar dan ketus.

Tentu saja aku bisa, jawab pikiran Han Sin. Selama ini dia sudah dapat menguasai tenaga dalamnya, malah ia sudah tahu bagaimana caranya berlari cepat, cepat sekali melebihi larinya kuda. Dan dia selama berpekan-pekan ini sudah berlari cepat, kadang-kadang dalam satu hari sampai ratusan li tanpa merasa lelah. Apa artinya tiga puluh atau bahkan dua puluh li? Akan tetapi ia harus menyembunyikan kepandaiannya.

"Tentu saja aku tidak bisa, cici."

"Kalau begitu jangan banyak rewel. Naiklah di belakangku!"

"Akan tetapi, cici....." Han Sin masih ragu-ragu. Masa ia harus duduk di belakang orang , bersentuhan tubuh di atas kuda? Benar-benar hal itu kurang ajar sekali dan ia mana berani melakukannya?

"Rewel, pendeknya kau mau mendengar tentang adikmu atau tidak?" Gadis itu menjadi tak sabar dan bertanya marah. Orang lain, apa lagi laki-laki muda, bahkan akan mengharapkan dapat duduk berdua di atas kuda dengan dia. Eh, bocah ini begini... begini.... hijau!

Diingatkan tentang adiknya, Han Sin menjadi nekat dan ia lalu naik ke atas kuda. Bukan melompat, hanya naik sambil berpegang pada lengan gadis itu yang membantunya, naik kuda seperti seorang yang lemah agar tidak menimbulkan kecurigaan yang bukan-bukan. Siauw-ong melompat ke atas pundaknya dan baru saja ia duduk. Kuda itu sudah melompat ke depan dengan cepatnya. Dengan lweekangnya, tentu saja Han Sin dapat duduk dengan tegak, akan tetapi ia sedang bersandiwara, maka ia cepat-cepat memegang pundak orang di depannya sambil berseru ketakutan, "Cici yang baik, jangan cepat-cepat........!"

Gadis itu mengeluarkan suara ketawa kecil mengejek, akan tetapi benar saja, ia menahan kudanya agar berlari biasa. Di sepanjang jalan gadis itu tidak bicara apa-apa dan yang paling merasa tidak enak adalah Han Sin. Ia tidak enak duduk dan berusaha sedapat mungkin menggeser ke belakang agar jangan terlalu mepet dengan tubuh gadis itu.

Celakanya, dia duduk di bagian belakang maka kalau ia terlalu menggeser ke belakang, ia menduduki punggung belakang yang menonjol ke atas sehingga sukar baginya untuk duduk dengan enak. Sebaliknya, gadis itu tidak perduli sama sekali dan Siauw-ong bertepuk-tepuk tangan saking gembiranya. Naik kuda merupakan pengalaman baru bagi monyet ini.

Seperti telah kita ketahui, Bhok-kongcu ketika bertemu Bi Eng di sungai Wei-ho, menyuruh seorang selir atau pembantunya yang lihai, Yo Leng Nio, untuk menyusul Han Sin di Cin-ling-san dan mengajak pemuda itu datang ke Wei-ho. Akan tetapi ketika sampai di bukit itu, yang dilihat oleh Yo Leng Nio hanyalah kehancuran di Cin-ling-san dan banyak mayat para tosu Cin-ling-pai dan beberapa mayat pengemis-pengemis anggauta Coa-tung Kai-pang. Dia tidak melihat Han Sin. Maka cepat-cepat ia kembali ke perahu dan melaporkan hal ini kepada Bhok-kongcu.

Cari Blog Ini