Ceritasilat Novel Online

Kisah Si Pedang Kilat 22


Kisah Si Pedang Kilat Karya Kho Ping Hoo Bagian 22




"Semua diam! Kaisar dan Permasuri kami tawan!" kata Ouwyang Toan dengan suara nyaring. Enam orang pengawal yang menjadi kaki tangannya juga tiba-tiba mencabut pedang dan hendak melindungi dua orang itu. Akan tetapi, terjadilah hal yang sama sekali di luar perhitungan Ouwyang Toan dan Bi Moli. Lima orang hwesio yang tadinya melayani kaisar, permaisuri dan dua orang selir, yang nampaknya adalah hwesio-hwesio yang lemah dan lembut, tiba-tiba saja mereka itu menerjang ke arah Bi Moli dan Ouwyang Toan!

Mereka yang lebih dekat dengan kaisar dan permaisuri sehingga mereka dapat menyerang sambil membelakangi kaisar dan permaisuri. Terkejutlah Ouwyang Toan ketika hwesio yang tadi menyerahkan alat penyulut lilin kepada kaisar tiba-tiba menyambutnya dengan serangan tusukan alat penyulut lilin itu. Dan Bi Moli juga terkejut ketika dua orang hwesio sudah menyerangnya dari depan. Karena para hwesio itu menyerang Ouwyang Toan dan Bi Moli dari depan dan sekaligus menghalangi mereka menawan kaisar dan permaisuri, terpaksa kedua orang pengkhianat itu lalu menggerakkan pedang mereka menyerang para hwesio itu! Dan mereka semakin terkejut. Kiranya mereka bukanlah hwesio-hwesio lemah, karena mereka mampu melakukan perlawanan dengan gerakan yang cukup gesit dan tangkas.

Biarpun akhirnya lima orang hwesio itu roboh mandi darah oleh pedang Ouwyang Toan dan Bi Moli Kwan Hwe Li, namun telah memberi waktu yang cukup bagi Kwa Bun Houw untuk turun tangan. Dia dan dua orang rekannya berloncatan.

"Amankan Sribaginda!" teriak Bun Houw kepada dua orang rekannya. Dua orang pengawal pribadi kaisar itu lalu menggandeng kaisar dan permaisuri, menarik mereka keluar dari ruangan sembahyang itu, sedangkan dua orang selir itu menangis dan lari ke sudut ruangan bersama para dayang. Kini tinggal Bun Houw seorang yang berdiri di pintu samping dari mana kaisar tadi menyelamatkan diri dan dia sudah berdiri tegak dengan pedang di tangan.

"Si Pedang Kilat ... !" Ouwyang Toan berseru kaget bukan main melihat pedang yang berkilauan di tangan Bun Houw itu. Juga Bi Moli yang telah merobohkan tiga orang hwesio itu terkejut mendengar teriakan yang mengandung rasa gentar yang amat sangat dari kekasihnya itu.

"Siapa ...?!?" tanyanya.

"Kwa Bun Houw ... murid Tiauw Sun Ong ...!" kata Ouwyang Toan dan diapun sudah memberi isarat kepada enam orang anggauta Thian-te Kui-pang untuk menerjang dan mengeroyok Bun Houw. Enam orang itu-pun maklum bahwa usaha mereka gagal, maka dengan nekat mereka lalu menggerakkan senjata dan menerjang pemuda yang memegang sebatang pedang yang berkilauan itu.

"Moli, kita lari!" teriak Ouwyang Toan kepada kekasihnya dan mereka berloncatan keluar pintu ruangan sembahyang. Akan tetapi, betapa kaget hati mereka melihat bahwa tempat itu telah terkepung ratusan orang pasukan keamanan istana yang entah bagaimana tahu-tahu telah berada di situ. Tahulah mereka bahwa kesemuanya telah gagal sama sekali. Kekecewaan membuat mereka menjadi marah, ditambah lagi dengan rasa takut. Mereka menumpahkan semua kesalahannya kepada Bun Houw dan seperti ada persetujuan tanpa kata, keduanya membalik dan meloncat masuk lagi untuk membuat perhitungan dengan Kwa Bun Houw! Ouwyang Toan memang membenci pemuda itu, dan Bi Moli mengingat bahwa pemuda itu adalah murid Tiauw Sun Ong, maka iapun amat membencinya!

Sementara itu, melihat dia diserang oleh enam orang kaki tangan Ouwyang Toan, Bun Houw tidak mau membuang banyak waktu melayani mereka. Dia tahu bahwa kaisar dan permaisuri sudah selamat, dan dua orang pengkhianat itu tidak akan mungkin dapat lolos dari tempat itu, maka diapun menggerakkan pedang di tangannya. Enam orang itu rata-rata memiliki ilmu kepandaian tinggi karena mereka merupakan para anggauta di-lihan dari Thian-tc Kui-pang. Akan tetapi, berhadapan dengan. Si Pedang Kilat, enam orang itu seperti berhadapan kakek guru mereka! Nampak gulungan sinar pedang berkelebatan menyilaukan mata dan satu demi satu, enam orang itu roboh dan tewas seketika. Nampaknya saja mereka tidak terluka, saking tajamnya pedang pusaka itu sehingga ketika menembus dada atau leher lawan, hampir tidak meninggalkan bekas dan hanya diketahui orang itu terluka setelah darah mengalir keluar dan orang itu tewas seketika!

Ketika Ouwyang Toan dan Bi Moli meloncat kembali memasuki ruangan sembahyang, mereka terbelalak. Di samping mayat lima orang hwesio yang sebenarnya merupakan pengawal-pengawal yang menyamar, nampak mayat enam orang anggauta Thian-te Kui-pang itu rebah malang melintang dalam keadaan tewas. Begitu cepatnya enam orang itu tewas dan hal ini saja sudah membuktikan betapa lihainya pemuda yang masih berdiri dengan pedang berkilauan di tangan itu.

"Kwa Bun Houw! Engkau selalu menjadi penghalang bagiku dan selalu memusuhiku!" bentak Ouwyang Toan marah.

"Engkau keliru, Ouwyang Toan. Engkau tentu tahu bahwa aku menentang siapa saja yang melakukan kejahatan, tak terkecuali engkau. Adalah engkau dan Bi Moli yang sungguh tidak tahu diri, tak mengenal budi. Sribaginda telah memberikan kedudukan yang baik bagi kalian, akan tetapi kalian bahkan mengkhianati dan bersekutu dengan pemberontak dan dengan kerajaan Wei."

'Bocah she Kwa, hari ini engkau harus menebus dosa gurumu kepadaku!" Bi Moli membentak dan ia sudah menggerakkan pedangnya. Ouwyang Toan juga membantu kekasihnya itu dan dia sudah menerjang ke depan dengan pedangnya pula. Akan tetapi, Bun Houw memutar Lui-kong-kiam dan nampak gulungan sinar yang menyilaukan mata dan dua orang itu terpaksa meloncat keluar dari ruangan itu karena tempat itu terlalu sempit dengan adanya sebelas sosok mayat yang bergelimpangan. Bun Houw juga menerjang keluar karena diapun menghendaki agar dapat melawan kedua orang musuhnya itu di tempat yang lebih luas.

Melihat dua orang pengkhianat itu berloncatan keluar, disusul oleh pengawal pribadi yang baru, para pengawal siap untuk mengepung dan mengeroyok.

"Tahan, jangan keroyok, biarkan Si Pedang Kilat sendiri menghadapi dua orang itu." kata Kaisar Siauw Bian Ong.

Kaisar ini tadi telah mendapat laporan yang singkat dan jelas dari Koan Thai-kam tentang diri Kwa Bun Houw yang dijuluki Si Pedang Kilat, mendengar pula bahwa dia dan Hek-tung Kai-pang mengatur agar pendekar itu melindungi kaisar, kemudian tentang persekutuan pemberontak dan betapa dia sudah mengadakan kontak dengan para panglima untuk menanggulangi pengkhianatan itu. Juga dia beritahukan mengapa dia tidak melapor lebih dahulu kepada kaisar, yaitu karena kedua orang pengkhianat itu telah mendapatkan kedudukan, maka dia khawatir kalau-kalau kaisar tidak percaya begitu saja tanpa adanya bukti. Kaisar dapat memaklumi dan mendengar bahwa Kwan Bun Houw yang berjuluk Si Pedang Kilat adalah seorang pendekar yang memiliki ilmu silat tinggi, maka melihat kedua orang pengkhianat itu kini bertanding melawan Si Pedang Kilat, kaisar ini yang juga suka ilmu silat ingin sekali menontonnya.

"Kalau dia terdesak, barulah kalian boleh membantunya," pesannya kepada para pengawal pribadi dan para pengawal yang mengerti apa yang dikehendaki junjungan mereka, mengangguk dan mereka siap dengan senjata di tangan untuk membantu kalau-kalau Si Pedang Kilat terdesak.

Kaisar lalu memberi isarat kepada panglima pasukan keamanan untuk mendesak, lalu berkata,

"Panglima, cepat kerahkan pasukan dan tangkapi semua anggauta gerombolan Thian-te Kui-pang yang berkeliaran di kota raja."

Panglima itu memberi hormat lalu mengundurkan diri untuk melaksanakan perintah itu, berkat latihan yang diterimanya dari Tiauw Sun Ong, gurunya yang buta, Kwa Bun Houw telah dapat melatih pendengarannya menjadi amat tajam, pengganti kedua mata bagi gurunya dan bagi dia, membantu pekerjaan mata, pendengarannya menjadi amat peka dan dengan kepekaan inilah dia dapat pula mendengar perintah kaisar kepada para pengawalnya tadi, walaupun dia menghadapi dua lawan yang tangguh. Bun Houw maklum bahwa tentu kaisar telah mendengar dari Koan Thai-kam siapa dia, maka kini kaisar ingin menyaksikan pertandingan yang seru, maka dia-pun segera mengerahkan tenaganya dan memutar Lui-kong-kiam dengan dahsyat sekali.

Bi Moli Kwan Hwe Li dan Ouwyang Toan sudah maklum bahwa mereka telah terkepung ratusan orang pasukan pengawal. Dengan gagalnya mereka menawan kaisar dan permaisuri, mereka tidak dapat mengandalkan apapun untuk melindungi diri, maka mereka menjadi gelisah, kecewa dan akhirnya membuat mereka menjadi nekat. Semua kemarahan mereka tumpahkan kepada Kwa Bun Houw yang mereke anggap sebagai penghalang dan penghancur semua rencana mereka yang sudah tersusun rapi.

Bi Moli Kwan Hwe Li mengeluarkan suara melengking nyaring dan ia menggerakkan pedangnya secara dahsyat karena selain didorong oleh tenaga sin-kang, juga ada kekuatan sihir dalam gerakannya itu. Karena maklum akan kelihaian murid bekas pacarnya ini, Bi Moli mengerahkan seluruh tenaga sin-kang dan sihirnya untuk membunuh lawan. Biarpun ia tahu bahwa ia tidak akan lolos dari hukuman, namun setidaknya ia harus dapat melampiaskan kemarahannya dengan membunuh Kwa Bun Houw. Demikian pula dengan Ouwyang Toan. Pemuda inipun sudah putus asa, maklum bahwa dia tidak akan mungkin bebas dari hukuman mati, maka dia ingin lebih dulu membunuh Bun Houw sebelum mengamuk sampai titik darah terakhir.

Si Pedang Kilat Kwa Bun Houw juga maklum bahwa dia menghadapi dua orang lawan yang tangguh, tidak berani memandang ringan. Dia tahu bahwa Bi Moli Kwan Hwe Li adalah seorang datuk sesat yang tingkat kepandaiannya sudah amat tinggi, setingkat dengan kepandaian para datuk seperti Suma Koan, Ouwyang Sek, Kwan Im Sianli, bahkan tidak begitu jauh selisihnya dengan tingkat gurunya, Tiauw Sun Ong. Kalau saja dia tidak secara kebetulan minum sari Akar Bunga Gurun Pasir sehingga tubuhnya menjadi kokoh kuat dan tenaga sin-kangnya meningkat secara luar biasa, dan kemudian tidak menemukan ilmu Im-yan Bu-tek Cin-keng secara kebetulan pula, kiranya akan sukar baginya untuk dapat menandingi Bi Moli. Apalagi di situ terdapat pula Ouwyang Toan yang mengeroyoknya dan putera datuk Bu-eng-kiam Ouwyang Sek majikan. Lembah Bukit Siluman inipun termasuk seorang yang tangguh.

Kwa Bun Houw mengandalkan pedang pemberian suhunya. Didorong oleh kekuatan sin-kangnya yang ampuh, diapun menyambut kedua orang lawannya dan sinar pedangnya bergulung-gulung menyilaukan mata, membuat kagum Kaisar Siauw Bian Ong dan pari pengawal dan penonton lainnya.

"Roboh kau ... !" Bi Moli Kwan Hwe Li menjerit dengan suara melengking dan di antara para perajuiit keamanan yang mendengar lengking suara yang mengandung tenaga sihir yang berpengaruh dan berwibawa itu. ada yang merasa kedua lutut mereka lemas dan kalau tidak saling berpegangan, tentu mereka itu akan roboh terguling!

Demikian hebatnya pengaruh yang terkandung dalam lengking itu. Apalagi terhadap Bun Houw yang dijadikan sasaran, dan bentakan itu diikuti pula oleh tusukan pedang yang meluncur bagaikan anak panah lepas dari busurnya. Sungguh merupakan serangan dahsyat yang amat berbahaya, diperhebat oleh kecepatan gerakan, kekuatan sin-kang, dan kekuatan sihir!

Namun, kekuatan sihir itu tidak ada artinya bagi Bun Houw. Lewat begitu saja seperti angin kencang meniup batu karang. Pemuda ini maklum bahwa di antara kedua orang lawannya, yang paling tangguh adalah Bi Moli, maka kepada Iblis Wanita Cantik inilah dia harus mencurahkan perhatian dan perlawanannya. Pada saat itu, Ouwyang Toan juga sudah membacokkan pedangnya dari samping ke arah kepalanya. Dengan gerakan ringan dia memutar tubuh sehingga terlepas dari bacokan pedang, dan pedangnya sendiri dengan cepat menyambar ke arah pergelangan tangan Bi Moli yang menusuknya, gerakan itu memutar dari samping. Bi Moli terkejut, sama sekali tidak mengira bahwa tusukannya akan disambut oleh bacokan dari samping yang mengancam pergelangan tangannya. Kalau ia melanjutkan serangan, maka sebelum ujung pedangnya mengenai dada lawan, lebih dulu pergelangan tangannya akan terbabat pedang yang mengeluarkan sinar kilat itu. Terpaksa ia menarik kembali tusukannya. Ouwyang Toan yang serangannya mengenai tempat kosong, menjadi penasaran sekali karena serangan itu dapat dihindarkan sedemikian mudahnya. Dia menyerang lagi, diikuti oleh Bi Moli dan kedua orang ini agaknya hendak berlumba untuk dapat lebih dulu merobohkan Bun Houw.

Bun Houw memperlihatkan keringanan tubuhnya dan tubuh itu seperti dibungkus gulungan sinar kilat pedangnya dan menyusup di antara sambaran kedua pedang lawan, dan dari gulungan sinar pedangnya kadang mencuat sinar bagaikan kilat menyambar ke arah lawan. Terjadilah serang menyerang yang amat seru dan menyilaukan mata. Kaisar Siauw Bian Ong tersenyum, mengangguk-angguk dan mengelus jen gotnya. Diam-diam dia amat mengagumi Kwa Bun Houw, walapun ada pula perasaan menyesal mengapa dua orang seperti Ouwyang Toan dan Bi Moli, yang memiliki kepandaian demikian hebat pula, telah mengkhianatinya. Sungguh patut disayangkan ilmu kepandaian seperti itu dikuasai orang-orang yang menjadi hamba nafsu angkara murka.

Pertandingan itu memang amat hebat. Jarang mereka semua yang hadir di situ menyaksikan pertandingan sehebat itu, bukan sekedar pengujian ilmu seperti yang sering terjadi di istana, melainkan suatu pertandingan yang merupakan perkelahian sungguh-sungguh! Setiap kali sinar pedang menyambar berarti tangan maut yang haus darah mencari korban.

Diam-diam Kwa Bun Houw mengeluh. Sudah lewat dari tiga puluh jurus, belum juga dia mampu merobohkan dua orang lawannya walaupun mereka sendiri juga tidak pernah dapat mendesaknya. Dia maklum bahwa kalau mengadu ilmu pedang, akan sukarlah baginya untuk dapat merobohkan mereka. Dengan mengeroyok, mereka benar-benar merupakan lawan yang amat tangguh dan sukar dirobohkan. Ilmu pedangnya hanyalah ilmu pedang Lui-kong-kiamsut (Ilmu Pedang Kilat) yang dia pelajari dari gurunya, dan hanya karena dia memiliki kelebihan sin-kang dari pengaruh Akar Bunga Gurun Pasir sajalah maka dia mampu mengimbangi kedua orang pengeroyoknya. Akan tetapi dia merasa yakin bahwa kalau mereka mengadu ilmu tangan kosong, dengan Im-yang Bu-tek Cin-keng, dia pasti akan lebih unggul. Dia sejak tadi tidak berani mengadu pedangnya secara langsung sambil mengerahkan sin-kang. Dengan cara itu, tentu pedang kedua orang pengeroyoknya akan patah-patah, seperti yang sudah sering dia lakukan dengan Lui-kong-kiam itu. Akan tetapi, sekali ini dia merasa khawatir kalau-kalau pedang pusaka pemberian gurunya itu akan menjadi rusak karena dia menduga bahwa kedua orang lawan ini tentu juga memegang pedang pusaka yang ampuh.

Kemudian dia teringat akan persiapan persekutuan pemberontak untuk menyerbu kota raja seperti yang didengarnya dari Koan Thai-kam. Hal ini membuat dia terpaksa harus cepat mengakhiri pertandingan itu agar perhatian dapat dialihkan untuk menghadapi persiapan para pemberontak di luar kota raja. Maka, secara tiba-tiba saja Bun Houw mengubah gerakannya. Kini dia mengerahkan seluruh tenaganya dan menggunakan pedangnya untuk langsung menyambut pedang lawan, sengaja mengadukan pedangnya dengan pedang lawan.

Terdengar bunyi nyaring berdentang dua kali dan kedua orang lawannya itu mengeluarkan teriakan kaget. Bi Moh meloncat ke belakang, demikian pula Ouwyang Toan dan mereka memandang ke arah tangan kanan masing-masing yang kini hanya memegang sebatang pedang buntung! Ternyata pedang mereka telah patah oleh Lui-kong-kiam yang ampuh. Hal ini sesungguhnya bukan terjadi hanya karena keampuhan pedang di tangan Bun Houw karena sesungguhnya, pedang kedua orang lawan itupun terbuat dari bahan yang kuat dan ampuh. Akan tetapi, pedang Bun Houw itu disaluri tenaga sin-kang yang jauh lebih kuat, maka getarannya tak tertahan oleh kedua pedang lawan sehingga menjadi patah. Bun Houw menyimpan pedangnya setelah dengan lega melihat bahwa pedang pusakanya tidak rusak dan kini dia menghadapi kedua orang lawan dengan tangan kosong. Mereka berdua juga melemparkan sisa pedang ke atas tanah dan mereka siap melanjutkan perkelahian itu dengan tangan kosong. Kembali Kaisar Siauw Bian Ong memandang kagum dan memberi isarat kepada para pengawalnya agar jangan mencampuri. Dia sedang menikmati pertandingan yang jarang dilihatnya itu.

Bi Moli dan Ouwyang Toan lega melihat Bun Houw menyimpan pedangnya yang ampuh itu, Hal itu mereka anggap sebagai suatu kesombongan dari Bun Houw, maka keduanya mempergunakan kesempatan setelah Bun Houw menyarungkan kembali pedangnya untuk cepat menerjang dengan pukulan-pukulan mereka.

Akan tetapi sekali ini Bun Houw sudah siap dengan ilmunya yang amat hebat yaitu Im-yang Bun-tek Cin-keng. Bahkan gurunya sendiri tidak mampu menandingi ilmu ini! Begitu melihat kedua orang lawan sudah menyerang, Bun Houw segera menggerakkan kaki tangannya secara aneh dan akibatnya hebat. Kedua orang lawan itu seperti terdorong badai yang amat kuat, membuat mereka terjengkang dan terguling-guling. Keduanya tentu saja terkejut bukan main, akan tetapi karena tidak melihat lain jalan, keduanya sudah mengeluarkan hentakan nyaring dan menerjang lagi. Untuk kedua kalinya, mereka seperti menyerang gelombang dahsyat yang membuat mereka kembali terjengkang dan terbanting. Mereka bangkit lagi, menyerang lagi roboh lagi dan hal ini berulang sampai liga kali dan Ouwyang Toan tidak mampu bangkit kembali karena kehabisan tenaga dan sudah terluka dalam. Bi Moli masih terus menyerang mati-matian akan tetepi dengan menggunakan It-sin-ci (Satu Jari Sakti) Bun Houw berhasil merobohkannya dalam keadaan tertotok dan tidak mampu bergerak lagi. Sorak-sorai menyambut kemenangan Kwa Bun Houw, Kaisar Siauw Bian Ong kagum bukan main karena ternyata pemuda itu tidak membunuh kedua orang lawannya, hanya membuat mereka tak berdaya! Kini maklumlah kaisar itu bahwa kalau dia menghendaki agaknya pemuda itu sudah sejak tadi dapat membunuh kedua orang lawannya. Karena tidak ingin membunuh itulah yang membuat pertandingan berlangsung lebih lama. Kaisar itupun memerintahkan petugas untuk menangkap kedua orang itu dan menjebloskan mereka kepenjara untuk menanti diadili kelak.

Kwa Bun Houw kini menghadap kaisar dan berlutut. Kaisar Siauw Bian Ong tersenyum,

"Orang muda yang gagah, kami sungguh bersukur bahwa negara kita mempunyai seorang pendekar seperti engkau yang gagah perkasa dan bijaksana. Kami ingin melihat wajahmu yang aseli."

Bun Houw terpaksa melepaskan penyamarannya, mencabut alis palsu dan juga kedok tipis seperti kulit yang menutupi mukanya, monggosok-gosok cat dan nampaklah wajah aselinya. Oleh perintah kaisar, dia mengangkat mukanya dan kaisar beserta permaisurinya melihat wajah seorang pemuda yang cukup tampan dan gagah.

"Kwa Bun Houw, kami berterima kasih kepadamu dan kami ingin memberi hadiah yang sesuai dengan kehendak hatimu. Katakanlah, apa yang kau kehendaki? Kedudukan? Atau harta benda?"

"Ampun, Yang Mulia. Hamba sama sekali tidak mengharapkan hadiah dan imbalan, karena apa yang hamba lakukan ini hanya merupakan suatu kewajiban hamba menentang segala bentuk kejahatan. Hamba hanya dimintai bantuan oleh Hek-tung Lo-kai dan Koan Thai-kam." dan maklumlah dia bahwa pemuda itu memang seorang pendekar sejati yang tidak mempunyai keinginan demi kesenangan atau kepentingan diri sendiri. Apa yang diajukan oleh seorang pendekar sejati semata-mata membela kebenaran dan keadilan, menentang kejahatan, tanpa pamrih sedikitpun.

"Hemm, biarlah kita bicarakan lagi hal ini setelah segalanya selesai. Kita masih harus membasmi para pemberontak yang berkeliaran di kota raja, kaki tangan kerajaan Wei, dan juga memadamkan pemberontakan yang dikobarkan oleh bekas kaisar Cang Bu."

Pada saat itu, komandan pasukan keamanan yang bertugas membasmi para anggauta Thian-te Kui-pang yang berkeliaran di luar pintu gerbang istana, datang menghadap dan melapor kepada Kaisar bahwa usahanya gagal karena semua anggauta Thian-te Kui-pang telah melarikan diri dan pasukannya hanya berhasil menangkap tiga orang saja!

"Bawa mereka ke sini! Kami ingin mendengar keterangan mereka tentang ikut campurnya kerajaan Wei dalam pemberontakan ini!" perintah kaisar penasaran.

"Ampun, Yang Mulia. Begitu tertawan, tiga orang anggauta Thian-te Kui-pang itu membunuh diri dengan menelan sebutir racun."

Kaisar mengepal tinju,

"Kirim pasukan dan tundukkan pemberontak bekas kaisar yang tak tahu diri itu. Kami sengaja mengalah dan tidak mengejarnya, akan tetapi dia malah menghimpun pasukan dan hendak memberontak!"

"Yang Mulia, biar hamba yang melakukan pengejaran terhadap Bu-tek Sam-kui yang memimpin Thian-te Kui-pang." kata Bun Houw.

Setelah kaisar menyatakan persetujuannya, Bun Houw meninggalkan istana dan diapun melakukan pengejaran ke sarang Thia-te Kui-pang, di daerah tak bertuan, yaitu di dusun Tai-bun. Dia sudah mendengar tentang dusun ini yang dikuasai oleh Thian-te Kui-pang, sesuai dengan petunjuk yang diperolehnya dari Koan Thai-kam.

Setelah tiba di luar kota raja, Bun Houw bukan langsung pergi ke sarang Thian-te Kui-pang, melainkan menuju ke Kui-cu, ke lembah sungai untuk mengunjungi bekas kaisar Cang Bu! Bagaimanapun juga, kaisar itu adalah bekas kaisar yang kalah perang dan Bun Houw sama sekali tidak dapat menyalahkan kaisar ini kalau hendak berusaha merebut kembali tahta kerajaan yang telah direbut oleh Kaisar Siauw Bian Ong yang mendirikan kerajaan Chi. Dia tidak hendak mecampuri urusan perebutan kekuasaan itu. Akan tetapi, dia merasa tidak enak mendengar bahwa bekas Kaisar Cang Bu bersekutu dengan kerajaan Wei di utara. Ini berbahaya sekali karena mungkin saja kelak kerajaan Wei akan menguasai kerajaan di selatan. itulah sebabnya mengapa dia kini melakukan perjalanan cepat ke pusat gerakan yang dilakukan bekas kaisar itu, mendahului pasukan yang dikirim Kaisar Siauw Bian Ong untuk membasmi pemberontakan ini. Kalau teringat kepada Liu Kiok Lan, puteri adik bekas kaisar itu, dia merasa kasihan karena kalau tempat itu diserbu, tentu gadis bangsawan itu akan menjadi korban pula. Dia ingin menyadarkan bekas Kaisar Cang Bu agar tidak bersekutu dengan kerajaan Wei, dan agar cepat melarikan diri sebelum terlambat.

Pada saat itu, bekas kaisar Cang Bu sudah mendengar laporan dari seorang mata-matanya yang ditugaskan mengamati keadaan di kota raja bahwa usaha membunuh atau menawan kaisar telah gagal! Bahkan mata-mata itu mengabarkan betapa orang-orang Thian-te Kui-pang yang tadinya siap di kota raja, telah pula melarikan diri setelah mendengar kegagalan itu. Juga Suma Koan dan puteranya, Suma Hok, yang tadinya memimpin orang orang kang-ouw dan anak buah mereka sendiri, bersiap-siap untuk membantu gerakan di kota raja kalau penawanan terhadap kaisar berhasil, terpaksa mengundurkan diri dan ayah beserta puteranya itu kini telah kembali ke Kui-cu. Melihat Suma Koan dan Suma Hok kembali dengan wajah lesu, bekas kaisar Cang Bu mengepal tinju dan membanting-banting kaki.

"Celaka, kenapa sampai gagal? Dan kenapa pula paman Suma pulang dengan tangan hampa? Semestinya paman membantu usaha di dalam istana itu sampai berhasil! Ah, aku telah mempercayakan urusan penting kepada orang-orang yang tak dapat diandalkan."

Kaisar Cang Bu benar-benar merasa menyesal sekali karena kegagalan ini memusnakan harapannya untuk dapat menguasi kembali kerajaan yang telah dirampas oleh Siauw Bian Ong.

Kui-siauw Giam-ong mengerutkan alisnya. Dia memang tadinya tidak begitu ingin mencampuri urusan pemberontakan. Hanya karena puteranya telah menjadi adik ipar bekas kaisar itu maka dia mendapat semangat untuk ikut meraih kedudukan yang tinggi. Kini semua telah gagal dan dia kehilangan semangat. Dia menghela napas panjang.

"Sudahlah, Liu-kongcu. Saya tidak mempunyai semangat lagi dan akan pulang ke tempat tinggalku. Selamat tinggal!" Sebelum bekas kaisar itu sempat menjawab, kakek kurus itu telah berkelebat dan pergi dari tempat itu. Puteranya, Suma Hok, maklum bahwa ayahnya tidak pulang karena mereka tadi telah bersepakat untuk bergabung dengan Bu-tek Sam-kui dan mencari kedudukan di kerajaan Wei, di utara sana! Suma Hok sendiri lalu memasuki perkemahan di mana isterinya, Liu Kiok Lan, telah menantinya.

Seolah tidak melihat isterinya yang cantik, Suma Hok langsung saja mengumpulkan pakaian dan barang berharga, berkemas seperti orang yang hendak melakukan perjalanan jauh. Melihat ini, Liu Kiok Lan mengerutkan alisnya dan menghampiri suaminya yang sedang berkemas.

"Aku mendengar bahwa usaha di kota raja itu gagal. Benarkah itu, suamiku?"

Tanpa menoleh Suma Hok menjawab,

"Benar. Sialan! Hancurlah semua cita-citaku."

Hening sejenak. Suma Hok tetap saja mengumpulkan semua barang berharga, emas permata, sisa kekayaan yang dibawa dari istana oleh Liu Kiok Lan ketika lari mengungsi, memasukkan semua itu ke dalam buntalan pakaian.

"Engkau hendak mengajak aku pergi ke manakah?" tanya isterinya.

"Siapa yang hendak mengajak engkau pergi? Aku akan pergi sendiri!" jawab Suma Hok.

Liu Kiok Lan terkejut dan kerut di keningnya semakin dalam.

"Apa maksudmu? Engkau mengemasi semua barang, termasuk perhiasan dan barang berharga milikku, dan engkau akan meninggalkan aku?"

Kini Suma Hok membalik dan isterinya terkejut melihat wajah yang tampan itu kini berubah seperti iblis, begitu bengis dan kasar.

"Sialan! Setelah semua yang kulakukan, hanya barang-barang ini yang kudapatkan! Sungguh rugi besar selama berbulan-bulan ini aku memaksa diri tinggal di sini dan menghambakan diri kepada bekas kaisar yang ternyata kini gagal segala-galanya. Huh!"

Wajah Liu Kiok Lan menjadi pucat.

'"Kau ... kau ...! Bukankah engkau telah menjadi suamiku dan aku ini isterimu? Dan kau mengatakan semua cita-citamu sia-sia? Dan aku ini kau anggap apa? Kalau memang hendak pergi, tinggalkan semua barangku!"

"Ha-ha-ha, barang-barang ini untuk imbalan semua jasaku! Kalau bukan karena aku, engkau akan menjadi seorang gadis yang ternoda aib, gadis yang bukan perawan lagi. Tadinya, aku mengharapkan untuk menjadi seorang yang berkedudukan, akan tetapi melihat keadaannya sekarang, kakakmu sudah tidak ada harapan. Untuk apa aku harus merendahkan diri lebih lama lagi di sisimu?"

"Suma Hok!" Liu Kiok Lan membentak marah dan menudingkan telunjuknya ke arah muka suaminya.

"Setelah semua apa yang kaulakukan terhadap diriku, dan semua itu kuterima dengan perasaan hancur namun terpaksa kudiamkan saja demi menjaga nama baik keluarga kami, dan engkau sekarang hendak meninggalkanku begitu saja? Setelah engkau membunuh Paman Pouw Cin yang setia, kemudian melakukan fitnah pula kepadanya, kemudian engkau membohongi kakakku dan aku, engkau kini tidak mau bertanggung jawab? "

Suma Hok terbelalak.

"Apa ...? Apa yang kaumaksudkan ...?"

Sebelum Kiok Lan menjawab, terdengar langkah kaki dan muncul seorang pengawal sehingga suami isteri yang sedang bertengkar itu menahan kemarahan mereka dan menghentikan pertengkaran.

"Ada keperluan apa engkau datang ke sini tanpa dipanggil?" bentak Suma Hok marah.

"Maaf, tai-hiap. Saya hanya ingin mengabarkan bahwa pemuda yang dulu pernah menjadi buronan, yang bernama Kwa Bun Houw itu sekarang datang dan bercakap-cakap dengan Sribaginda."

Diam-diam Suma Hok terkejut bukan main, sebaliknya Kiok Lan yang mendengar disebutnya nama pendekar itu, nampak girang.

"Pergilah kami tidak ingin diganggu!"' kata Suma Hok dan pengawal itu lalu pergi. Setelah dia pergi, Suma Hok menutupkan kembali daun pintu kamarnya dan menghadapi isterinya.

"Sekarang katakan, apa maksudmu dengan mengatakan semua tadi? Engkau bilang aku melakukan fitnah kepada Paman Pouw Cin? Apa maksudmu?"

"Kaukira aku dapat percaya begitu saja ketika dahulu itu engkau mengatakan bahwa engkau membunuh Paman Pouw Cin karena dia memperkosaku? Aku tidak pernah percaya seujung rambutpun! Paman Pouw Cin adalah orang yang paling setia kepada kakakku dan aku, sudah kukenal sejak aku kecil. Aku tahu dan mengenal betul orang macam apa dia. Bagaimana mungkin dia mendadak saja berubah menjadi demikian keji? Akan tetapi karena engkau bersedia mencuci aib pada diriku dengan menikahiku, akupun hanya menyimpan semua keraguan itu di dalam hatiku. Kemudian, setelah aku mengenal benar watakmu. aku semakin yakin bahwa dahulu engkaulah yang memperkosaku. Engkau membuat aku tidak sadar, kemudian engkau memperkosaku. Ketika Paman Pouw Cin memergoki perbuatanmu, dia kau bunuh, lalu engkau memutar balik kenyataan dan mengatakan bahwa engkau melihat Paman Pouw Cin memperkosaku dan engkau membunuhnya. Kemudian, engkau memperlihatkan kebaikanmu dengan bersedia mencuci aib dan menikahiku. Semua itu kaulakukan dengan pamrih mendapatkan kedudukan! Dan sekarang, setelah usaha kakakku gagal, engkau hendak meninggalkan aku begitu saja? Suma Hok, aku tidak akan tinggal diam, akan ku-laporkan perbuatanmu itu kepada kakakku!"

Wajah Suma Hok berubah pucat ketika dia mendengar kata-kata itu. Kalau bekas kaisar Cang Bu mendengar laporan adiknya ini, tentu dia akan ditangkap dan dihukum berat. Maka, dia lalu pura-pura terkejut setengah mati dan dengan muka dibuat sedih dia mendekati isterinya.

"Isteriku, bagaimana engkau dapat mengeluarkan kata-kata sekeji itu? Tidak kusangkal bahwa aku memang ingin mendapatkan kedudukan, akan tetapi siapakah orangnya yang tidak mempunyai cita-cita tinggi? Akan tetapi, aku sama sekali tidak memperkosamu aku bahkan menikahimu karena aku kasihan padamu, aku cinta padamu. Paman Pouw Cin yang melakukannya, aku berani bersumpah Isteriku, kalau engkau tidak ingin aku pergi akupun tidak akan pergi, akan tetapi jangan menuduhku yang bukan-bukan! Aku yang sudah mengorbankan segalanya untukmu, kini masih menerima tuduhan keji ...

" dan pemuda itu menangis sambil menjatuhkan diri berlutut di depan isterinya.

Kiok Lan terkejut juga melihat suaminya menangis dan berlutut di depan kakinya. Bagaimanapun juga, pria ini telah menjadi suaminya dan iapun sudah pernah berusaha memaksa hatinya untuk mencintainya. Sikap suaminya yang menangis sedih dan berlutut di depan kakinya itu membuat ia sejenak meragukan dugaannya sendiri dan iapun membungkuk untuk membangunkan Suma Hok. Akan tetapi pada saat ia membungkuk untuk membangunkan suaminya, Suma Hok menggerakkan tangan memukul dada istrinya. Pukulan itu datangnya sama sekali tidak terduga-duga oleh Kiok Lan.

"Dukkk!!" Dadanya kena hantaman tangan Suma Hok dan seketika ia muntah darah. Akan tetapi matanya melotot dan wanita itu masih mampu melakukan serangan totokan dengan ilmu totok It-sin-ci, yaitu totokan satu jari. Namun, Suma Hok dapat menangkisnya sehingga jari tangan Kiok Lan hanya mengenai lengan baju dan lengan baju itu berlubang, akan tetapi tubuh wanita muda itu terkulai dan roboh, tewas seketika dengan mulut mengalirkan darah.

Suma Hok berteriak-teriak setelah mendorong jendela kamar itu terbuka dan diapun menangis. Beberapa orang pengawal datang dan melihat adik majikan mereka tewas ditangisi Suma Hok, mereka segera melapor kepada bekas kaisar Cang Bu.

Pada saat itu, Liu Tek atau bekas kaisar Cang Bu sedang menerima kunjungan Kwa Bun Houw. Mula-mula, bekas kaisar itu terkejut bukan main melihat munculnya Kwa Bun Houw di depannya. Akan tetapi karena sikap Bun Houw baik, tidak seperti musuh, diapun mempersilakan tamu itu duduk dan diam-diam dia memberi isarat agar para pengawalnya melakukan penjagaan.

"Kwa Bun Houw, apakah maksud kedatanganmu sekarang ini? Sebagai kawan atau sebagai lawan?" tanya bekas kaisar itu sambil menatap tajam.

"Kongcu, saya datang bukan sebagai kawan maupun lawan karena sesungguhnya saya tidak mempunyai urusan pribadi apapun dengan kongcu. Akan tetapi mengingat akan kebaikan kongcu dan terutama sekali Nona Liu Kiok Lan, saya datang untuk memberi nasihat kepada kongcu. Pertama, sebaiknya kalau kongcu menghentikan hubungan kongcu dengan kerajaan Wei di utara. Dan ke dua sebaiknya kongcu cepat meningalkan tempat ini karena pasukan kerajaan Chi akan melakukan penyerbuan setelah usaha pembunuhan terhadap Kaisar Siauw Bian Ong dapat digagalkan."

Pada saat itulah pengawal datang berlari-larian dan melaporkan dengan napas memburu bahwa adik bekas kaisar itu telah tewas di kamarnya. Mendengar ini, Liu Tek terbelalak dan segera lari ke dalam, diikuti oleh Bun Houw yang juga terkejut bukan main mendengar laporan itu. Dia belum tahu bahwa adik bekas kaisar itu telah menikah dengan Suma Hok.

Ketika mereka tiba di kamar itu, mereka melihat Kiok Lan telah diangkat ke pembaringan dan Suma Hok duduk di tepi pembaringan sambil menangisi kematian isterinya.

"Suma Hok, apa yang telah terjadi?" Liu Tek berteriak ketika memasuki kamar. Bun Houw juga berdiri tertegun memandang ke arah mayat Kiok Lan yang masih nampak mengalirkan darah dari mulutnya.

Suma Hok menoleh dan begitu melihat Kwa Bun Houw, diapun meloncat dan menyerang Bun Houw dengan marah sambil membentak,

"Engkau pembunuh! Engkau telah membunuh isteriku!"

Bun Houw cepat mengelak ketika tangan Suma Hok menyambar ke arah mukanya. Suma Hok yang serangannya luput itu membalik dan sudah menyerang lagi dengan pengerahan tenaga sekuatnya. Namun, Bun Houw menangkis dan Suma Hok terhuyung.

"Suma Hok, hentikan ini! Engkau menuduhku yang bukan-bukan!" kata Bun Houw.

Suma Hok sudah menyambar sulingnya yang tadinya terletak di atas meja.

"Jahanam Kwa Bun Houw, engkau telah membunuh isteriku, aku harus membalas kematian isteriku!"

Mendengar ini, Liu Tek menengahi.

"Nanti dulu, apa artinya ini, Suma Hok? Saudara Kwa Bun Houw ini baru saja datang dan menghadap padaku, bagaimana engkau dapat mengatakan bahwa dia telah membunuh Kiok Lan?"

"Ah, paduka tidak tahu. Jahanam ini memang licik sekali. Sebelum menghadap paduka dia telah menyelinap ke kamar ini dan membunuh dinda Kiok Lan. Saya melihat sendiri ketika saya memasuki kamar, jahanam ini melarikan diri melalui jendela!" Dia menunjuk ke arah daun jendela yang terbuka.

Bekas kaisar ini kini menghadapi Bun Houw dan memandang penuh perhatian dan keraguan. Bun Houw segera berkata,

"Kongcu, harap diteliti dulu peristiwa ini. Mungkinkah saya akan masih berada di sini, mengingatkan kongcu akan datangnya bahaya, kalau benar saya membunuh nona Kiok Lan? Kalau boleh, saya ingin memeriksa jenazah nona Kiok Lan untuk meneliti apa yang menyebabkan kematiannya."

Bekas kaisar itu mengangguk dan bersama Bun Houw dia mendekati jenazah adiknya. Bun Houw memeriksa dan membuka baju di bagian dada. Nampak tanda pukulan membiru di dada itu, pukulan yang amat kuat dan mengandung hawa panas! Akan tetapi bekas pangeran itu lebih tertarik melihat tangan kanan adiknya seperti menekan atau mencengkeram ke arah perut. Ketika dia menarik tangan itu, Bun Houw melihat betapa jari telunjuk tangan kanan itu bengkak dan ketika dirabanya, maka tulang telunjuk itu patah pada buku jarinya. Bekas kaisar Cang Bu melihat ujung lipatan kertas menyembul dari balik baju di pinggang adiknya. Diambilnya benda itu yang ternyata sehelai kertas berlipat yang agaknya disembunyikan di ikat pinggang. Dia membuka dan merabanya. Wajahnya berubah pucat sekali, dan tanpa bicara dia menyerahkan kertas itu kepada komandan pengawalnya. Panglima itu membaca pula dan cepat dia berlari keluar entah apa yang dilakukannya, hanya dia dan bekas kaisar itu yang mengetahuinya.

Sementara itu, Bun Houw yang memeriksa telunjuk, kini memandang kepada Suma Hok yang masih berdiri tegak. Dan diapun menemukan apa yang dicarinya. Lengan baju Suma. Hok berlubang dan tahulah dia bahwa agaknya tangkisan Suma Hok membuat jari telunjuk wanita itu patah buku jarinya dan lubang pada lengan baju itu akibat ilmu totokan It-sin-ci dari mendiang Liu Kiok Lan Suma Hok,

"Engkaulah yang telah membunuh Nona Liu Kiok Lan dengan pukulan Lui-kong-ciang (Tangan Halilintar), dan agaknya Nona Liu menyerangmu dengan totokan It-sin-ci yang mengenai lenganmu ketika kau tangkis. Buktinya, lengan bajumu itu berlubang. Dan engkau masih berani menuduh, aku yang membunuhnya!" kata Bun Houw.

"Ha-ha-ha, Kwa Bun Houw, engkau murid Tiauw Sun Ong, tentu tidak jauh berbeda dari gurunya! Tidak perlu menyangkal atau memutarbalikkan kenyataan. Kenapa aku membunuh isteriku sendiri yang tercinta? Engkaulah yang membunuhnya dan ketika aku memasuki kamar ini, aku masih melihat bayanganmu meloncat keluar melalui jendela!"

Pada saat itu, komandan pengawal tadi muncul lagi bersama tujuh orang perwira, termasuk pengawal yang tadi mengabarkan kepada Suma Hok tentang kedatangan Kwa Bun Houw.

"Yang Mulia." kata panglima itu kepada Liu Tek.

"Pengawal ini menjadi saksi bahwa ketika dia melapor tentang kedatangan tamu, dia melihat Nona itu dan suaminya berada di kamar ini dan agaknya sedang bertengkar."

"Suma Hok, engkau hendak berkata apalagi?" bekas kaisar itu menegur marah.

"Bukan itu saja, bukan hanya engkau membunuh adikku, juga dahulu engkaulah yang berbuat keji terhadap adikku, lalu mengatakan bahwa Jenderal Pouw Cin yang melakukannya!"

Wajah Suma Hok menjadi pucat.

"Sribaginda, semua itu bohong!" katanya membantah.

"Hemm, bohongkah surat yang ditulis sendiri oleh adikku ini? Agaknya adikku telah mendapatkan firasat tidak enak dan membuat pengakuan ini di atas kertas. Sayang sebelum melapor kepadaku, engkau sudah membunuhnya. Engkau manusia iblis!"

"Sudahlah, kalau engkau tidak percaya lagi kepadaku, aku mau pergi!" Suma Hok mencabut sulingnya dan hendak menerjang keluar.

"Nanti dulu, engkau harus mempertanggungjawabkan perbuatanmu yang jahat dan kejam!" kata Kwa Bun Houw dan diapun menghadang di pintu.

"Kwa Bun Houw, pengecut busuk. Engkau, hendak mengandalkan pengeroyokan?" teriak Suma Hok yang tidak melihat jalan keluar lagi dan bersikap gagah untuk menyembunyikan rasa takutnya.

"Siapa hendak mengeroyokmu? Hayo kita bertanding satu lawan satu di luar. Harap Kongcu tidak memerintahkan orang mengeroyoknya, biar saya sendiri melawanuya."

Mendengar ucapan Kwa Bun Houw itu, Li Tek mengangguk, hanya memerintahkan para perwiranya untuk mengatur pasukan mengepung agar Suma Hok tidak sampai lolos. Melihat bahwa tidak mungkin lagi baginya untuk mololoskan diri, maka Suma Hok menjadi nekat. Semuanya sudah gagal dan tidak ada jalan lain kecuali menunjukkan kegagahannya. Maka, melihat Kwa Bun Houw sudah melangkah keluar, diapun dengan mengangkat dada, membawa sulingnya, mengikuti keluar. Mereka saling berhadapan di ruangan terbuka sebelah luar kamar. Maklum bahwa lawannya adalah putera seorang datuk besar dan sama sekali tidak boleh dipandang ringan, Bun-Houw sudah mencabut pula senjatanya, yaitu Lui-kong-kiani (Pedang Kilat)! dan semua orang terkesiap karena pedang itu seperti mengeluarkan sinar kilat ketika dicabut.

"Kwa Bun Houw, sejak dahulu engkau menentangku dan menjadi penghalang bagiku! Sekali ini, engkau atau aku yang mati!" bentak Suma Hok.

"Yang kutentang kejahatanmu, bukan dirimu!" bentak pula Bun Houw akan tetapi dia sudah harus cepat menghindar karena selagi dia bicara, Suma Hok telah menyerang dengan suling mautnya. Suling digerakkan dan ada sinar hitam menyambar dari ujung suling Bun Houw miringkan tubuhnya dan menggerakkan pedang. Beberapa batang jarum beracun halus dapat dipukul runtuh oleh pedangnya dan diapun memutar pedang membalas serangan lawan.

Tok-siauw-kwi (Iblis Suling Beracun) Suma Hok adalah seorang pemuda gemblengan yang sukar dicari tandingannya. Dia telah mewarisi sebagian besar ilmu dari ayahnya dan bahkan dia amat keji mempergunakan racun sehingga dijuluki Suling Beracun. Sulingnya yang disepuh perak itu bukan saja mampu mengeluarkan jarum beracun, juga permukaan suling itu mengandung racun yang amat jahat. Ketika dia mengamuk dan menerjang Bun

Houw, bentuk suling itu lenyap dan yang nampak hanyalah gulungan sinar putih dibarengi suara mendengung-dengung.

Akan tetapi, yang dilawannya adalah Kwa Bun Houw, Si Pedang Kilat yang dalam segala hal jauh lebih tinggi tingkatnya. Bahkan ayahnya sendiri, Kui-siauw Giam-ong Suma Koan, tidak akan mampu menandingi Si Pedang Kilat, apalagi dia! Ketika Bun Houw memainkan pedangnya, nampak sinar kilat bergulung-gulung dan menggulung sinar perak dari suling di tangan Suma Hok. Pemuda ini terkejut bukan main karena ke manapun sulingnya bergerak, selalu bertemu sinar pedang yang bagaikan benteng yang kokoh. Sebaliknya, dari gulungan sinar pedang itu kadang mencuat sinar yang menyambar bagaikan kilat, membuat Suma Hok berulang kali harus melempar tubuh ke belakang dengan muka pucat karena nyaris dia disambar sinar pedang kilat.

Mulailah rasa takut dan panik mencengkeram hati Suma Hok. Dia maklum bahwa dia tidak akan menang bertanding melawan Kwa Bun Houw, maka dari pada melanjutkan perkelahian yang tidak memberi harapan itu. lebih baik dia mencoba menerobos kepungan dan melarikan diri ...

Tiba-tiba dia mengeluarkan bentakan nyaring dan tubuhnya sudah meloncat ke sebelah kiri. Dia disambut todongan golok dan tombak pasukan, akan tetapi Suma Hok menggerakkan sulingnya dan sinar hitam dari jarum-jarum halusnya merobohkan lima orang! Dan diapun mengamuk dengan sulingnya dan berhasil merobohkan lagi lima orang! Dalam sekejap mata saja dia sudah merobohkan sepuluh orang lawan yang tidak mungkin dapat ditolong lagi karena keracunan. Melihat ini, sekali melompat Bun Houw sudah berada di depannya dan menggerakkan pedangnya.

"Trangg ...!!" Nampak bunga api berpijar ketika suling di tangan Suma Hok menangkis dan patah menjadi dua potong! Iblis Suling Beracun ini terkejut dan marah, lalu dengan nekat dia menubruk ke depan dengan sulingnya yang buntung, akan tetapi kaki Bun Houw menyambutnya dengan tendangan.

Kisah Si Pedang Kilat Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo



"Desss ...!!" Dada Suma Hok tertendang dan diapun terjengkang pingsan.

"Tangkap dia hidup-hidup!" bentak bekas kaisar Cang Bu yang sudah marah sekali terhadap bekas adik iparnya itu. Banyak tangan membelenggu Suma Hok yang sudah pingsan itu sehingga kaki tangannya terikat kuat-kuat, membuat dia setelah siuman tak mampu bergerak lagi.

Bun Houw segera menghadapi bekas kaisar itu dan berkata,

"Kongcu, seperti pernah saya katakan dahulu, saya tidak ingin mencampuri urusan perebutan kekuasaan. Kedatangan saya ini hanya untuk memberi tahu agar kongcu suka cepat menyelamatkan diri. Saya ikut bersedih dengan peristiwa terbunuhnya Nona Liu Kiok Lan. Sekarang, perkenankan saya untuk berparait."

Bekas kaisar itu merasa kecewa sekali bahwa seorang yang lihai seperti Si Pedang Kilat itu tidak mau bekerja sama dengan dia. Biarpun dia berterima kasih dengan peringatan dan pemberitahuan bahwa pasukan kerajaan Chi akan menyerbu, namun dia tidak ingin mundur lagi. Dia sudah bersusah payah mengumpulkan tenaga untuk melakukan perang merebut kembali tahta kerajaan, maka dia tidak mau melarikan diri lagi.

"Terima kasih, Kwa-taihiap. Mudah-mudahan kita akan dapat saling bertemu lagi dalam keadaan yang lebih baik. Aku merasa menyesal sekali telah terkena bujukan dan tipuan penjahat macam Suma Hok sehingga pernah memusuhimu."

Bun Houw meninggalkan tempat itu dan benar seperti yang dia peringatkan kepada bekas kaisar itu, dua hari kemudian, tempat itu diserbu pasukan yang amat besar jumlahnya. Terjadi perang karena bekas Kaisar Cang Bu melakukan perlawanan mati-matian. Namun semua usahanya itu sia-sia. Kerajaan Wei di utara juga tidak mengirim bantuan melihat sekutunya diserang itu, hanya memperkuat penjagaan di perbatasan. Pasukan dari bekas kaisar Cang Bu itu dapat dihancurkan setelah pertempuran selama sehari semalam. Kaisar Cang Bu sendiri tidak mau ditawan dan membunuh diri, setelah dia dengan pedangnya sendiri membunuh Suma Hok yang menjadi tawanan.

Perang merupakan puncak merajalelanya nafsu, karena perang memperebutkan kemenangan tanpa menghiraukan pengorbanan banyak nyawa manusia. Mengapa di seluruh dunia ini, kehidupan manusia tidak terbebas dari pada perang, baik perang antara bangsa, antara kelompok, antar keluarga, maupun antar perorangan? Perang terjadi setiap hari, dimulai dari perang atau konflik dalam batin pribadi, mencetus keluar menjadi konflik antar perorangan, membengkak menjadi perang antar kelompok, sampai antar bangsa. Sumbernya terletak kepada si aku yang mengejar kesenangan dengan cara apapun juga. Si aku adalah pikiran yang bergelimang nafsu, dan nafsu selalu memang mengejar kesenangan dan kepuasan.

Memperebutkan kemenangan karena yang menang itu berkuasa, dan yang berkuasa tentu saja selalu benar, selalu berada di atas, karenanya menginjak yang di bawah dan tidak mungkin terinjak karena yang di bawah tidak mungkin dapat menginjak yang berada di atas. Menang, berkuasa, duduk di atas, selalu benar, selalu baik, selalu dapat menentukan apa saja, karenanya, tentu saja senang! Jadi, semua pencarian itu menuju ke arah satu, yaitu kesenangan! Kedudukan diperebutkan karena kedudukan merupakan sarang kesenangan. Segala macam kebutuhan terpenuhi, segala macam keinginan tercapai, dan di dalam kekuasaan itu terdapat segalanya. Kekayaan, identitas, dan kemuliaan.

Betapa kita mudah melupakan kenyataan: yang dapat kita lihat dati sejarah, bahwa makin besar kesenangan yang kita raih dan dapatkan, makin besar pula kesusahan menanti di ambang pintu. Seseorang yang disambut dengan tepuk tangan dan sorak-sorai pendukungan, pada lain keadaan mungkin akan disambut dengan cemooh dan binaan, sebagai korban dari kedudukannya. Seorang yang kaya raya dan menikmati kekayaannya di satu saat, di lain saat mangkin saja akan dicekam ketakutan hebat akan kehilangan kekayaannya, atau disiksa kedukaan besar karena kehilangan kekayaannya. Seorang yang berada di puncak kemashuran dan dipuja-puja, sekali waktu dapat saja jatuh ke bawah dan pujaan itu berubah menjadi ejekan dan kutukan. Bagaikan sebuah biduk kecil dipermainkan gelombang samudera. kitapun dipermainkan oleh hasil dan gagal, kepuasan dan kekecewaan, kesenangan, dan kesusahan, kebosanan, iri hati, iba diri, dan segala macam permainan pikiran yang dicengkeram nafsu daya rendah.

Sekelompok orang yang berada di dalam ruangan besar itu nampak muram, bahkan ada beberapa orang di antara mereka yang marah-marah. Mereka duduk mengelilingi meja besar dan yang duduk di kepala meja adalah tiga orang yang kelihatan berwibawa. Mereka merupakan pimpinan dari pasukan Kerajaan Wei yang kini menduduki dusun Thai-bun dan yang membentuk sebuah perkumpulan bernama Thian-te Kui-pang. Tiga orang pimpinan itu merupakan saudara-saudara seperguruan, yaitu yang pertama berjuluk Pek-thian-kui (Iblis Putih dari Utara) berusia lima puluh tahun dengan tubuh gendut bundar dan mukanya halus. Orang ke dua berjuluk Huang-ho Kui (Iblis Sungai Ku ning) berusia empat puluh sembilan tahun, bertubuh tinggi kurus dengan jenggot dan kumis jarang. Yang ke tiga berjuluk Toar beng-kui (Iblis Pencabut Nyawa) bertubuh sedang, berusia empat puluh tahun dan wajahnya tampan, matanya liar. Mereka inilah yang dikenal sebagai Bu-tek Sam kui (Tiga Iblis Tanpa Tanding) yang menjadi jagoan-jagoan istana kaisar kerajaan Wei dan nama mereka amat terkenal di utara. Kini mereka menerima tugas dari kaisar mereka untuk membawa seratus orang anak buah, menyusup ke selatan untuk membikin kacau kerajaan baru Chi yang nampak semakin berkembang. Di dusun Thai-bun, pasukan itu membunuhi penduduk, menjadikan dusun itu sebagai markas mereka dan mereka tidak lagi memakai seragam pasukan kerajaan Wei, melainkan berpakaian hitam-hitam sebagai anggauta. Thian-te Kui-pang.

Di sisi lain dari meja panjang itu, menghadap tiga orang Bu-tek Sam-kui, duduk tokoh-tokoh persilatan yang dikenal sebaga datuk-datuk persilatan yang lihai. Kui-siauw Giam-ong (Raja Maut Suling Iblis) Suma Koan, datuk besar majikan bukit Bayangan Iblis berada di situ. Juga nampak Bu-eng-kiam (Pedang Tanpa Bayangan) Ouwyang Sek, datuk besar majikan Lembah Bukit Siluman yang berusia lima puluh tiga tahun, beberapa tahun lebih muda dibandingkan Suma Koan.

Di samping Ouwyang Sek duduk pula Kwan Im Sian-li (Dewi Kwan Im) Bwe Si Ni yang biarpun sudah berusia hampir lima puluh tahun akan tetapi masih nampak cantik manis seperti baru berusia tiga puluh tahun saja. Seperti kita ketahui, wanita yang dahulunya merupakan seorang dayang istana ini, yang pernah jatuh cinta dan tergila-gila kepada bekas Pangeran Tiauw Sun Ong, dalam usahanya membalas dendam karena ditolak cintanya oleh bekas pangeran itu, kalah oleh Tiauw Sun Ong dan ia dibantu oleh Ouwyang Sek. Semenjak waktu itu, ia bersahabat dengan Ouwyang Sek dan memang keduanya memiliki watak yang sama, apalagi Ouwyang Sek telah menjadi seorang duda, maka keduanya menjadi akrab. Oleh karena itu, ketika Ouwyang Sek dibujuk oleh Bu-tek Sam kui untuk bekerja sama, dia mengajak pula Kwan Im Sian-li sehingga keduanya sekarang berada di markas Thian-te Kui-pang itu.

Selain tiga pimpinan Thian-te Kui-pang dan tiga orang datuk ini, masih ada lagi lima orang pembantu Bu-tek Sam-kui yang merupakan perwira atau pimpinan pasukan Thian-te Kui-pang. Mereka agaknya nampak murung dan marah, membicarakan sesuatu yang penting dengan penuh semangat.

"Brakk!" Tangan kiri Kui-siauw Giam-ong menggebrak meja di depannya sehingga tergetar.

"Puteraku Suma Hok mati terbunuh! Akan tetapi aku tidak mau melakukan balas dendam karena pembunuhnya, bekas Kaisar Cang Bu, juga sudah mampus. Sungguh membuat hati merasa penasaran sekali!" Kakek yang kecil kurus namun amat lihai ini menyambar cawan araknya dan sekali tuang, arak dalam cawan sudah memasuki perutnya. Agaknya dia masih belum puas dan menyambar guci arak lalu menuangkan isinya, menggelogoknya, seolah arak itu akan dapat mengusir ke marahannya.

"Giam-ong, kenapa penasaran kepada bekas kaisar itu? Yang menjadi biang keladi kematian puteramu bukanlah dia, melainkan orang yang juga menjadi biang keladi puteraku Ouwyang Toan tertangkap dan dihikum mati. Orang itulah yang telah membunuh anakmu dan anakku!"

"Siapakah dia !" Suma Koan bertanya dan memandang kepada rekannya dengan mata merah.

"Siapalagi kalau bukan si jahanam Kwa Bun Houw? Menurut para penyelidik yang berhasil lolos ketika markas bekas Kaisar Cang Bu diserbu pasukan pemerintah, sebelum pasukan pemerintah menyerbu, Kwa Bun Houw datang berkunjung untuk memperingatkan bekas kaisar itu agar tidak bergabung dengan kerajaan Wei dan agar melarikan diri karena akan diserbu pasukan pemerintah. dan dalam pertemuan itulah Kwa Bun Houw menyerang dan merobohkan puteramu. Dia ditangkap dengan tuduhan membunuh isterinya serdiri, adik bekas Kaisar Cang Bu. Kemudian, setelah terjadi penyerbuan dan Kaisar Cang Bu kalah, dia membunuh anakmu yang telah tertawan sebelum membunuh diri. Nah. bukankah kematian anakmu itu gara-gara Kwa Bun Houw? Karena Kaisar Cang Bu sudah mati, engkau harus membalas kematian anakmu kepada Kwa Bun Houw, seperti juga aku akan menuntut balas atas kematian anakku."

"Bukankah Ouwyang Toan, anakmu itu mati karena dihukum mati oleh pemerintah kerajaan Chi?" tanya Suma Koan.

Bu-eng kiam Ouwyang Sek menghela napas panjang sebelum menjawab dengan suara sedih.

"Memang benar, akan tetapi kegagalan Ouwyang Toan dan Bi Moli Kwan Hwe Li juga gara-gara campur tangannya Kwa Bun Houw yang menyamar dan menjadi pengawal pribadi kaisar. Karena dialah maka penyerangan itu gagal dan anakku bersama Bi Moli tertawan dan dijatuhi hukuman mati." Dia mengepal tinju dan berteriak.

"Kwa Bun Houw, aku pasti akan menghancurkan kepalamu untuk membalas kematian anakku!"

Dua orang datuk yang biasanya tidak pernah saling mengacuhkan itu, kini bersatu hati untuk menentang dan membalaskan kematian putera mereka kepada Kwa Bun Houw.

Melihat kedua orang datuk itu marah-marah, Pek-thian-kui, orang pertama dari Bu-tek Sam-kwi, berkata,

"ji wi (kalian berdua) suka bersabar. Kami mengetahui akan dendam kemarahan hati ji-wi, akan tetapi kita harus mengingat bahwa selain Kwa Bun Houw itu memiliki ilmu silat yang amat tangguh, juga agaknya dia memiliki pula kawan-kawan dari golongan kang-ouw yang menentang kita, seperti terbukti ketika dia membantu Thian-beng-pai dan Hek-tung Kai-pang yang tidak mau tunduk kepada kita. Oleh karena itu, harap ji-wi suka bersabar dan bergabung dengan kami. Kalau kita bersatu, dengan kekuatan anak buah kita, kiranya tidak akan sukar untuk membalas dendam kita terhadap Kwa Bun Houw."

"Akupun harus menghajar pemuda sombong itu!" Kwan Im Sian li Bwe Si Ni berkata.

"Beberapa kali diapun berani menentangku!"

"Kalau begitu, bagus sekali! Pek-thian-kui, kami rasa, kami bertiga saja sudah cukup untuk menemukan Kwa Bun Houw dan memenggal lehernya! Tidak perlu kalian Bu-tek Sam-kui ikut-ikut!" kata Ouwyang Sek.

"Apa yang dikatakan Bu-eng-kiam itu benar, Bu-tek Sam-kui." kata pula Kui-siauw Giam-ong Suma Koan.

"Setelah usaha kita bersama gagal, bahkan kami berdua telah mengorbankan putera kami, maka tidak ada gunanya lagi kerja sama ini. Kaisar Cang Bu telah tewas, pasukannya telah hancur, untuk apalagi kita bekerja sama? Kalian adalah petugas dari kerajaan Wei, akan tetapi kami bertiga tidak mempunyai urusan dengan perebutan kekuasaan antara kerajaan di utara dan kerajaan di selatan. Kami bertiga hendak mencari dan menghukum Kwa Bun Houw karena urusan pribadi, tidak ada lagi sangkut-pautnya dengan kerajaan Wei."



Kasih Diantara Remaja Eps 23 Kisah Si Naga Langit Eps 2 Kasih Diantara Remaja Eps 19

Cari Blog Ini