Ceritasilat Novel Online

Kemelut Kerajaan Mancu 8


Kemelut Kerajaan Mancu Karya Kho Ping Hoo Bagian 8




***

Beberapa malam kemudian. Malam itu bulan purnama bersinar cemerlang karena tidak ada awan menghalanginya. Akan tetapi hawa yang amat dingin membuat orang tidak betah lama-lama di luar rumah. Sebelum tengah malam, keadaan sudah sunyi sekali di kota raja.

Akan tetapi justru malam yang dingin sepi namun terang dan indah itu Thian Hwa keluar dari gedung ayahnya. Tadi, ketika ia bercakap-cakap dengan ayahnya, tanpa disengaja ia membicarakan tentang Bouw Hujin yang memiliki ilmu silat tinggi, yang membuat ia kagum.

"Aku merasa heran, Ayah. Pangeran Bouw Hun Ki itu...."

"Dia Pamanmu, Thian Hwa, Paman tuamu (Kakak Ayahmu)!" tegur Pangeran Ciu Wan Kong.

"O ya, Paman Pangeran Bouw itu, bagaimana dapat memiliki isteri yang demikian gagah perkasa dan tinggi ilmu silatnya? Apakah Bibi Bouw itu juga seorang wanita bangsawan Mancu?"

"Bukan, Thian Hwa. Ia seorang wanita pribumi Han, dan memang sejak dulu ia seorang pendekar wanita yang amat terkenal dengan julukan Burung Hong Sakti."

Mendengar julukan ini, Thian Hwa memandang dengan mata terbelalak.

"Sin-hong-cu, Ayah? Julukannya Sin-hong-cu?"

Kini Pangeran Ciu yang memandang anaknya dengan heran.

"Benar, julukannya Sin-hong-cu, kenapa, Thian Hwa?"

Thian Hwa tidak ingin membuka rahasia gurunya, biar kepada ayahnya sekalipun. Akan tetapi ia ingat benar bahwa gurunya Thian Bong Sianjin, pernah bercerita kepadanya bahwa gurunya itu dahulu saling mencinta dengan seorang pendekar wanita berjuluk Sin-hong-cu, akan tetapi kemudian pendekar wanita itu menikah dengan seorang pangeran! Kini ia tidak sangsi lagi bahwa Bouw Hujin yang lihai itulah yang dulu menjadi kekasih gurunya!

"Tidak apa-apa, Ayah. Aku hanya pernah mendengar nama julukan itu."

Ayahnya mengangguk.

"Tidak aneh karena memang dahulu namanya sebagai pendekar wanita terkenal sekali."

Demikianlah, karena hatinya tertarik sekali mendengar bahwa Bouw Hujin adalah Sin-hong-cu bekas pacar gurunya, malam itu Thian Hwa keluar dari gedung ayahnya dengan niat mengelilingi gedung keluarga Pangeran Bouw. Ia memang merasa ikut bertanggung jawab akan keselamatan Pangeran Mahkota yang berada di gedung itu dan setiap pagi ia pasti datang ke gedung itu. Akan tetapi ada baiknya kalau sewaktu-waktu ia berkunjung di waktu malam, menyelidiki dan menjaga kalau-kalau ada bahaya mengancam di waktu malam.

Sementara itu, di malam bulan purnama yang dingin itu, Bouw Hujin keluar dari kamarnya dan menuju ke taman bunga seorang diri. Pangeran Bouw Hun Ki, suaminya, sudah tidur pulas. Ketika melihat sinar bulan melalui jendelanya, ia lalu keluar dari dalam kamar, ingin menikmati malam yang amat indah itu. Biarpun usianya sudah lima puluh satu tahun, Nyonya Bouw atau Souw Lan Hui ini masih tampak cantik dan tubuhnya masih ramping padat. Diterangi sinar bulan purnama, berada di tengah taman bunga itu, ia seolah seorang bidadari yang sedang menghibur diri di taman. Ia berjalan-jalan sebentar lalu duduk di atas bangku dekat kolam ikan, memandangi ikan-ikan yang berenang hilir mudik di kolam air yang jernih itu. Terkadang ada ikan emas yang membalikkan tubuh sekilas dan tampak perutnya mengkilap terkena sinar bulan purnama.

Tiba-tiba kedua tangan Bouw Hujin bergerak menyambit ke arah kiri dan dua sinar perak meluncur cepat sekali ke arah bayangan seorang yang bersembunyi di balik semak-semak pohon kembang. Akan tetapi, bayangan itu miringkan tubuhnya dan dengan kedua tangannya dia menangkap Gin-seng-piauw (Senjata Rahasia Bintang Perak) yang menyambar ke arah tubuhnya itu.

"Gin-seng-piauwmu sungguh masih hebat dan berbahaya sekali!" seru bayangan itu yang ternyata seorang laki-laki berpakaian serba putih bertubuh tinggi kurus, dan dari gelung rambut serta pakaiannya dapat diketahui bahwa dia adalah seorang tosu (Pendeta To), berusia sekitar lima puluh tujuh tahun.

"Kui Thian Bong...!" Bouw Hujin berseru ketika melihat laki-laki itu. Laki-laki itu ternyata adalah Thian Bong Sianjin yang dahulu bernama Kui Thian Bong, guru Huang-ho Sian-li Ciu Thian Hwa.

"Hui-moi (Adik Hui)... eh, maksudku Bouw Hujin, maafkan kalau aku mengejutkan dan mengganggumu," kata Thian Bong Sianjin sambil memberi hormat.

"Bong-ko (Kakak Bong), aku sudah mendengar bahwa engkau menjadi seorang tosu. Ah, aku memang terkejut melihatmu, akan tetapi aku... aku senang melihat engkau sehat. Tapi... tapi... mengapa engkau kini menjadi seorang tosu?" kata Bouw Hujin sambil bangkit dari tempat duduknya. Thian Bong Sianjin melangkah maju menghampiri dan mereka kini berhadapan, dalam jarak sekitar dua tombak. Sejenak mereka saling pandang dan dalam mata mereka terdapat keharuan yang mendalam. Bagaimanapun juga, mereka berdua dahulu adalah sepasang kekasih yang saling mencinta. Akan tetapi, kemudian hati Souw Lan Hui tertarik oleh Pangeran Bouw Hun Ki yang biarpun tidak sangat lihai namun terkenal sebagai seorang yang gagah berani.

Akhirnya Souw Lan Hui menikah dengan pangeran itu yang dianggapnya lebih dapat menjamin kehidupannya kemudian, memberinya kemuliaan dan kehormatan di samping cinta kasih yang mendalam. Jauh lebih meyakinkan daripada keadaan Kui Thian Bong yang hidup sebagai seorang pendekar yang keras dan tidak tentu keadaan dan tempat tinggalnya. Dan ternyata pilihannya itu benar karena ia hidup berbahagia di samping suaminya dan kedua orang anaknya, hidup terhormat dan mulia, juga amat dicinta suaminya yang biarpun seorang pangeran namun tidak mengambil isteri atau selir lain. Biarpun demikian, kini melihat bekas kekasihnya muncul secara tiba-tiba dan telah menjadi seorang tosu, hati Souw Lan Hui merasa terharu sekali.

Mendengar pertanyaan itu, Thian Bong Sianjin tersenyum.

"Siancai.... apa salahnya menjadi seorang tosu, Bouw Hujin? Pinto sekarang bukan Kui Thian Bong yang dulu, melainkan Thian Bong Sianjin, dan engkau adalah Nyonya Pangeran Bouw Hun Ki yang terhormat."

"Akan tetapi... mengapa engkau tidak... menikah dan berumah tangga...?" Hati wanita itu merasa terharu karena kini baru ia merasa betapa ia yang memutus cinta telah membuat laki-laki ini tidak mau menikah dan bahkan menjadi seorang pendeta! Mengingat begini, kedua mata wanita itu menjadi basah. Ia merasa kasihan dan berdosa telah menghancurkan kebahagiaan hidup bekas kekasihnya.

"Maafkanlah aku... Bong-ko...," katanya dan wanita itu terisak.

"Siancai, tidak ada yang perlu dimaafkan, Bouw Hujin. Bahkan pinto harus berterima kasih kepadamu karena keputusanmu itu ternyata membuat kita menjadi orang-orang bahagia. Pinto mendapatkan kebahagiaan sebagai seorang tosu dan pinto mendengar bahwa engkau pun menjadi seorang ibu yang berbahagia. Sungguh pinto patut bersyukur." Ucapan tulus dari Thian Bong Sianjin itu memancing keluarnya air mata lebih banyak lagi sehingga Bouw Hujin terisak.

Pada saat itu terdengar bentakan nyaring.

"Keparat, berani engkau mengganggu ibu kami!"

Tiba-tiba Bouw Kun Liong dan Bouw Hwi Siang sudah melompat dekat dan menyerang Thian Bong Sianjin dengan senjata siang-kiam (sepasang pedang) mereka! Serangan mereka itu dahsyat sekali. Empat batang pedang menyambar ke arah tubuh Thian Bong Sianjin! Tosu itu maklum akan serangan yang cukup berbahaya itu maka sekali berkelebat tubuhnya sudah melompat ke belakang sehingga serangan dua orang muda itu tidak mengenai sasaran. Akan tetapi pemuda dan gadis itu segera berlompatan mengejar dan menyerang lagi dengan hebatnya. Karena serangan itu memang berbahaya sekali, Thian Bong Sianjin terpaksa mencabut pedangnya dan memutar pedang itu sehingga berubah menjadi sinar pedang yang menggulung menyelimuti dirinya.

"Trang-trang-trang-trang...!" Empat batang pedang yang menyerang itu bertemu dengan sinar pedang Thian Bong Sianjin dan tampak bunga api terpijar menyilaukan mata. Dua orang muda itu terkejut karena sepasang pedang mereka terpental oleh tangkisan yang amat kuat itu.

"Kun Liong! Hwi Siang! Berhenti dan mundur!" Tiba-tiba Bouw Hujin membentak dan dua orang muda itu segera menahan pedang mereka dan mundur ke dekat ibunya sambil memandang dengan heran mengapa ibunya melarang mereka menyerang penjahat itu.

"Siancai! Mereka ini tentu putera-puterimu. Hebat, mereka gagah dan lihai seperti ibunya," kata Thian Bong Sianjin sambil menyimpan kembali pedangnya.

"Benar, Totiang (Bapak Pendeta), ini adalah Bouw Kun Liong dan Bouw Hwi Siang, kedua orang anakku. Kun Liong dan Hwi Siang, tosu ini adalah Thian Bong Sianjin, bukan musuh dan tidak boleh kalian menyerangnya."

"Benar sekali, dia bukan penjahat, bukan musuh. Dia adalah sahabat baik ibumu, sahabat baik kami!" Tiba-tiba terdengar suara Pangeran Bouw Hun Ki dan dia pun muncul dan menghampiri isterinya.

Thian Bong Sianjin menjadi merah mukanya dan cepat dia memberi hormat kepada Pangeran Bouw Hun Ki.

"Maafkan pinto, Pangeran, kalau kehadiran pinto di tengah malam ini tidak pantas dan mengganggu."

"Ah, tidak mengapa, Totiang. Totiang adalah sahabat lama kami yang baik dan kedatanganmu akan selalu kami sambut dengan senang hati. Mari, silakan masuk ke dalam di mana kita dapat bicara lebih leluasa," kata Pangeran Bouw Hun Ki dengan ramah.

Dalam hatinya, Thian Bong Sianjin merasa girang melihat bahwa pangeran ini benar-benar berhati bersih dan berbudi baik, sehingga dia yakin bahwa Souw Lan Hui pasti hidup berbahagia di samping suami yang bijaksana itu. Pangeran itu memang telah mengenalnya dahulu.

"Terima kasih, Pangeran. Pinto tidak dapat lama di sini. Kedatangan pinto ini sesungguhnya hendak menyampaikan hal yang amat penting, dan maafkan kalau terpaksa pinto datang malam-malam begini dengan alasan agar tidak diketahui oleh mereka yang akan pinto laporkan. Mereka itu sangat lihai dan kalau mereka tahu pinto datang ke sini melaporkan, tentu usaha pinto akan gagal dan keluarga di sini terancam bahaya besar."

"Thian Bong Sianjin! Siapakah mereka itu dan apa yang telah terjadi?" tanya Bouw Hujin yang terkejut sekali karena tentu saja ia khawatir kalau-kalau ada bahaya mengancam Pangeran Mahkota yang dilindunginya.

"Ketika pinto merantau ke daerah selatan, ke daerah Se-cuan di mana Jenderal Wu Sam Kwi menjadi raja muda, pinto mendengar akan persekutuan antara Jenderal Wu Sam Kwi dengan seorang pangeran di sini yang merencanakan perebutan kekuasaan Kerajaan Ceng dengan cara membunuh Pangeran Mahkota. Pinto mendengar bahwa Pangeran Mahkota yang masih kecil berada dalam perlindungan keluarga Pangeran Bouw Hun Ki, maka pinto sengaja datang ke sini untuk melaporkan ancaman bahaya itu. Jenderal Wu Sam Kwi sudah mengirim dua orang yang amat lihai untuk melaksanakan tugas pembunuhan itu, dan pinto khawatir kalau mereka tahu bahwa pinto melaporkan ke sini, tentu rencana mereka akan diubah dan kita tidak tahu lagi apa yang akan mereka lakukan dan hal itu akan jauh lebih berbahaya daripada kalau kita mengetahui lebih dulu apa yang hendak mereka lakukan."

"Hemm, mereka mau coba-coba membunuh Pangeran Mahkota di sini? Boleh mereka coba!" kata Souw Lan Hui dengan sikap gagah.

"Nanti dulu, Totiang, dapatkah engkau memberitahu kami, siapakah pangeran yang bersekutu dengan Jenderal Wu Sam Kwi itu?" tanya Pangeran Bouw Hun Ki.

"Dia adalah Pangeran Cu Kiong, Pangeran," jawab Thian Bong Sianjin yang lalu menjura dengan hormat kepada ayah ibu dan dua orang anak mereka itu sambil berkata.

"Nah, semua sudah pinto laporkan, legalah hati pinto karena pinto percaya bahwa Pangeran dan Bouw Hujin akan menjaga dan melindungi Pangeran Mahkota dengan baik. Selamat tinggal!" Setelah berkata demikian, tubuh tosu itu berkelebat dan lenyap dari situ.

"Bukan main! Dia lihai sekali!" kata Bouw Kun Liong melihat gin-kang (ilmu meringankan tubuh) yang hebat itu.

"Ibu, tadi saya melihat Ibu menangis, mengapa Ibu tadi menangis terisak-isak ketika bertemu Thian Bong Sianjin sehingga kami berdua mengira dia mengganggu Ibu dan menyerangnya?" tanya Bouw Hwi Siang sambil menatap wajah ibunya.

Mendengar pertanyaan ini wajah Bouw Hujin menjadi kemerahan, akan tetapi sambil tersenyum ia menjawab.

"Aku terkejut sekali dan sama sekali tidak pernah bermimpi akan bertemu dengan dia, Hwi Siang. Dia adalah seorang sahabat baikku dan kami berdua dahulu bersama-sama berjuang menegakkan kebenaran dan keadilan di dunia kang-ouw. Melihat dia muncul dan sudah menjadi seorang pendeta, hatiku terharu maka aku sampai menangis."

"Ibumu benar, dahulu Thian Bong Sianjin adalah seorang pendekar yang gagah perkasa dan menjadi sahabat baik kami." Pangeran Bouw yang bijaksana menolong isterinya. Dia tahu benar bahwa dahulu, hubungan isterinya dengan pendekar itu memang amat dekat, dan dia tahu bahwa Kui Thian Bong amat mencinta isterinya ketika ia masih seorang gadis pendekar. Akan tetapi Souw Lan Hui memilih dia sebagai suaminya, hal yang amat membahagiakan hatinya. Kemudian dia mengalihkan perhatiannya dan percakapan.

"Keterangan Thian Bong Sianjin tadi cukup mengejutkan. Kita mencurahkan perhatian terhadap Pangeran Leng Kok Cun yang jelas berniat memberontak, bahkan kita tidak syak lagi bahwa yang mengirim lima orang pembunuh ke istana untuk membunuh Sribaginda, tentu dia juga. Dia telah berniat membunuh Pangeran Mahkota pula seperti yang diceritakan Kong Liang. Siapa tahu, kini ternyata Pangeran Cu Kiong merupakan ancaman bahaya yang lebih besar karena dia bersekutu dengan Jenderal Wu Sam Kwi."

"Sebaiknya mari kita bicara di dalam saja," ajak Souw Lan Hui atau Bouw Hujin yang merasa tidak enak berada di situ, mengingatkan ia akan pertemuannya dengan bekas pacarnya dulu.

Mereka semua lalu memasuki gedung dan setelah berada di dalam, mereka melanjutkan percakapan, kini ditambah dengan hadirnya Bu Kong Liang dan Gui Siang Lin yang mendengar suara keluarga itu. Mereka duduk di ruangan dalam, mengelilingi meja besar.

Ketika Bu Kong Liang mendengar keterangan Pangeran Bouw Hun Ki akan laporan Thian Bong Sianjin bahwa Pangeran Cu Kiong bersekutu dengan Jenderal Wu Sam Kwi dan mengancam akan membunuh Pangeran Mahkota, dia berseru.

"Ah, sekarang saya ingat, Paman Pangeran! Ketika baru turun gunung, saya bertemu dengan seorang gadis yang lihai ilmu silatnya. Ia adalah seorang gadis yang menjadi kaki tangan Wu Sam Kwi dan ia menuju ke kota raja. Mungkin sekali ia merupakan mata-mata dari Jenderal Wu Sam Kwi dan kedatangannya di kota raja untuk menghubungi Pangeran Cu Kiong!" Pemuda murid Siauw-lim-pai ini lalu menceritakan pertemuannya dengan gadis yang dikenalnya sebagai Ang-mo Niocu itu.

"Hemm, sangat boleh jadi," kata Bouw Hujin.

"Thian Bong Sianjin menceritakan bahwa persekutuan itu mempunyai rencana untuk membunuh Pangeran Mahkota, maka mulai sekarang kita harus lebih berhati-hati dan waspada."

"Ibu benar," kata Bouw Kun Liong.

"Penjagaan kita masih kurang kuat. Kalau ada orang berilmu tinggi masuk, para penjaga tidak dapat mengetahui, seperti ketika Thian Bong Sianjin tadi masuk, tahu-tahu telah berada di taman!"

"Paman Pangeran," kata Bu Kong Liang.

"Kalau boleh saya mengetahui, mengapa para pangeran itu mempunyai niat yang demikian buruk? Padahal, mereka itu semua adalah putera Sribaginda Kaisar. Akan tetapi mengapa seolah saling bermusuhan dan bahkan hendak membunuh Pangeran Mahkota yang masih kecil?"

Pangeran Bouw Hun Ki menghela napas panjang.

"Hal ini sungguh memalukan dan menyedihkan sekali. Aku yang menjadi paman mereka pun merasa sedih. Sesungguhnya, pewaris tahta kerajaan tentu saja adalah Pangeran Mahkota Kang Shi. Akan tetapi dia masih kecil sehingga kalau dia tidak menjadi pengganti kaisar atau sampai terbunuh mati, yang berhak mewarisi tahta adalah Pangeran Cu Kiong yang menjadi putera dari selir ke tiga karena selir ke dua hanya mempunyai seorang puteri. Mungkin karena itulah maka Pangeran Cu Kiong berniat jahat membunuh Pangeran Kang Shi dan karena merasa kurang kuat, ia bersekutu dengan Jenderal Wu Sam Kwi. Adapun Pangeran Leng Kok Cun, biarpun dia itu putera dari selir ke tujuh namun dia merupakan pangeran yang paling tua, maka dia agaknya merasa bahwa dia yang paling berhak mewarisi tahta. Karena Sribaginda Kaisar memutuskan mengangkat Pangeran Kang Shi yang masih kecil menjadi Pangeran Mahkota, maka diam-diam dia merasa penasaran dan berniat memberontak. Demikianlah keadaan yang amat menyedihkan itu. Aku merasa kasihan sekali kepada Kakanda Kaisar, karena beliau yang paling menderita batin melihat keadaan para puteranya."

Setelah bercakap-cakap, Bouw Hujin memerintahkan para panglima yang setia kepada kaisar untuk memperketat penjagaan dan memasang para perwira yang memiliki ilmu kepandaian tinggi untuk bergiliran melakukan penjagaan.

Sementara itu, Thian Bong Sianjin dengan cepat meninggalkan taman gedung Pangeran Bouw. Dengan menggunakan gin-kang yang luar biasa sehingga tubuhnya hanya berkelebat seperti bayang-bayang melompati pagar tembok belakang, dia dapat keluar dari situ seperti masuknya tadi, tanpa dapat terlihat oleh para penjaga yang melakukan perondaan mengelilingi pagar tembok gedung besar itu.

AKAN tetapi sekali ini lain. Baru saja dia tiba di luar pagar tembok, sesosok bayangan menghadangnya dan suara wanita yang nyaring membentaknya.

"Berhenti!"

Thian Bong Sianjin melihat di bawah sinar bulan purnama bahwa yang menghadangnya adalah seorang gadis jelita dengan pedang di tangan.

"Thian Hwa...?!" Tosu itu berseru dengan girang.

"Kong-kong...?" Thian Hwa juga berseru, girang akan tetapi juga kaget dan heran.

"Kong-kong yang memasuki gedung Pangeran Bouw? Akan tetapi... mengapa...? Apakah Kong-kong tahu bahwa... bahwa... Bouw Hujin adalah...."

"Ssst, mari kita pergi menjauh agar jangan kelihatan petugas jaga yang meronda dan bicara di sana," kata kakek itu dan mereka berdua segera melompat dan dua sosok bayangan berkelebat cepat meninggalkan tempat itu.

Setelah tiba di tempat sunyi, Thian Hwa berkata, "Kong-kong, mari kita ke rumah Ayah saja. Aku sekarang tinggal bersama Ayah kandungku, Pangeran Ciu Wan Kong. Kakekku, ayah dari ibuku, juga tinggal di sana. Mari, Kong-kong, marilah kita ke sana dan bicara di sana."

Thian Bong Sianjin tidak dapat menolak ajakan muridnya yang dianggapnya seperti anak atau cucu sendiri itu. Dia amat menyayang Thian Hwa dan dia ikut berbahagia bahwa gadis itu kini telah bertemu dan tinggal bersama ayah kandungnya. Setelah tiba di gedung ayahnya, Thian Hwa menyuruh petugas jaga untuk membuka pintu dan begitu masuk, dia langsung membangunkan ayahnya, juga Lo Sam atau Cui Sam, ayah mertua Pangeran Ciu Wan Kong yang sekarang ikut tinggal di gedung itu sebagai ayah mertua yang terhormat.

Ketika diperkenalkan, Pangeran Ciu Wan Kong segera memberi hormat kepada tosu itu dan berkata terharu.

"Totiang yang bijaksana dan berbudi mulia, perkenankan saya menghaturkan terima kasih yang sedalam-dalamnya kepada Totiang!" Dia hendak berlutut di depan kaki Thian Bong Sianjin, akan tetapi cepat tosu itu memegang kedua pundaknya dan mengangkat bangkit kembali.

"Siancai, jangan begitu, Pangeran. Kalau hendak berterima kasih, marilah kita berterima kasih kepada Yang Maha Kuasa. Pinto hanya melakukan kewajiban pinto, lain tidak."

"Totiang, bagaimana saya tidak berterima kasih kepada Totiang? Totiang telah menyelamatkan anak perempuan saya, dan kembalinya Thian Hwa kepada saya berarti memberi kehidupan baru bagi saya. Totiang bukan hanya menyelamatkannya, bahkan memelihara dan mendidiknya sehingga ia menjadi seorang gadis yang dapat dibanggakan orang tuanya. Terima kasih, Totiang."

Melihat sikap pangeran ini, diam-diam Thian Bong Sianjin bersukur. Kiranya ayah dari Thian Hwa adalah seorang laki-laki yang halus dan baik budi, tidak seperti pangeran lain yang biasanya bersikap congkak dan tinggi hati, memandang rendah orang biasa yang bukan bangsawan atau hartawan.

Cui Sam juga mengucapkan terima kasih kepada Thian Bong Sianjin yang telah menyelamatkan, memelihara dan mendidik cucunya. Setelah itu, kakek yang tahu diri ini, yang merasa tidak tahu mengenai urusan negara, lalu berpamit mengundurkan diri. Kini tinggal Pangeran Ciu dan Thian Hwa yang duduk bercakap-cakap dengan Thian Bong Sianjin.

"Dan sekarang, katakan, Kong-kong. Apakah Kong-kong sudah tahu siapa sebenarnya Nyonya Pangeran Bouw Hun Ki?" tanya Thian Hwa sambil menatap wajah kakek angkatnya. Melihat cara bicara dan sikap Thian Hwa terhadap tosu itu yang demikian akrab bahkan manja, diam-diam Pangeran Ciu Wan Kong merasa terharu dan semakin bersukur bahwa puterinya ditolong seorang tosu yang demikian baik budi.

Thian Bong Sianjin tersenyum dan mengangguk.

"Ia Souw Lan Hui, bukan?"

"Ah, Kong-kong sudah tahu?"

"Tentu saja, Thian Hwa. Sejak dulu juga pinto sudah tahu bahwa Souw Lan Hui menjadi Nyonya Pangeran Bouw Hun Ki!"

"Akan tetapi kenapa engkau pada tengah malam memasuki tempat keluarga Bouw secara menggelap? Apa yang Kong-kong lakukan di sana?" tanya Thian Hwa heran.

"Thian Hwa, bersikaplah sopan terhadap gurumu!" kata Pangeran Ciu Wan Kong menegur puterinya.

Thian Bong Sianjin tertawa.

"Ha-ha-ha...! Tidak mengapa, Pangeran! Thian Hwa memang merupakan cucuku sendiri maka ia sudah terbiasa manja dan bicara terbuka dan jujur. Pertanyaan yang jujur itu perlu jawaban yang jujur pula. Bukankah begitu, Thian Hwa?"

"Tentu saja, Kong-kong. Bukankah sejak dulu Kong-kong mengajarkan agar aku terbuka dan jujur?"

"Akan tetapi urusan ini merupakan rahasia yang menyangkut Kerajaan Ceng, menyangkut keselamatan Pangeran Mahkota."

"Ah, kalau begitu, lebih penting lagi aku harus tahu! Ketahuilah, Kong-kong, aku adalah orang yang ditugaskan Sribaginda Kaisar untuk melindungi Pangeran Mahkota, membantu keluarga Pangeran Bouw, bahkan aku telah diberi Tek-pai oleh Sribaginda Paman Kaisar."

Diam-diam Thian Bong Sianjin terkejut, akan tetapi juga bangga.

"Engkau? Diberi kuasa oleh Sribaginda Kaisar?" Dia menoleh dan memandang kepada Pangeran Ciu Wan Kong seolah minta kesaksiannya.

"Benar, Totiang. Thian Hwa menyelamatkan Kakanda Kaisar dari serangan lima orang penjahat dan ia lalu diberi Tek-pai oleh Kakanda Kaisar dan diberi tugas membantu keluarga Kakanda Pangeran Bouw Hun Ki untuk melindungi Pangeran Mahkota."

"Hebat! Engkau hebat, Thian Hwa dan pinto ikut bangga mendengarnya. Sekarang memang tidak ada rahasia lagi, tentu saja engkau boleh mendengar penjelasanku. Ketika aku merantau ke selatan, ke daerah yang dikuasai Wu Sam Kwi, di Yunnan-hu pinto mendengar bahwa Wu Sam Kwi mengadakan persekutuan dengan Pangeran Cu Kiong di kota raja untuk merebut tahta kerajaan dan rencana pertama mereka adalah mengirim dua orang pembunuh yang amat sakti untuk membunuh Pangeran Mahkota."

"Ih! Pangeran keparat itu!" Thian Hwa berseru, demikian marahnya sehingga ia memaki, membuat ayahnya mengerutkan alisnya memandang kepada puterinya.

"Thian Hwa, perbuatan Pangeran Cu Kiong itu memang tidak benar dan jahat sekali. Kita mengira bahwa Pangeran Leng Kok Cun yang hendak memberontak dan membunuh Pangeran Mahkota, tidak tahunya Pangeran Cu Kiong juga, malah bersekutu dengan Jenderal Wu Sam Kwi! Akan tetapi mengapa engkau membenci dan memakinya begitu kasar?"

Thian Hwa menghela napas panjang, teringat bahwa ia memang tidak menceritakan persoalannya dengan Pangeran Cu Kiong yang hendak memperalatnya dulu. Ia lupa pula bahwa ia kini adalah seorang puteri bangsawan, puteri seorang pangeran, keponakan kaisar, sehingga tidak semestinya mengeluarkan kata makian.

"Maaf, Ayah. Aku benci mendengar orang berniat jahat," katanya.

Thian Bong Sianjin yang sudah mendengar cerita Thian Hwa tentang persoalan gadis itu dengan Pangeran Cu Kong, maklum bahwa gadis itu belum menceritakannya kepada ayahnya. Maka dia pun tidak menanggapi dan melanjutkan ceritanya.

"Nah, mendengar itu aku lalu pergi ke sini untuk menceritakan kepada yang berwenang akan ancaman itu agar Sang Pangeran tidak jadi terbunuh. Akan tetapi aku mendengar bahwa Pangeran Mahkota berada dalam lindungan Pangeran Bouw Hun Ki yang sudah kukenal. Karena itulah maka aku lalu tadi berkunjung ke sana dan telah bertemu dengan Pangeran Bouw, isterinya, dan dua orang anaknya. Sudah kuberi laporan tentang ancaman bahaya itu. Sekarang telah selesai kewajibanku, aku akan melanjutkan perjalananku. Pangeran, maafkan, pinto akan melanjutkan perjalanan pinto."

"Aih, kenapa tergesa-gesa amat, Totiang? Tinggallah di rumah kami agar kami dapat membuktikan rasa sukur dan terima kasih kami kepada Totiang."

"Terima kasih, Pangeran. Sudah pinto katakan tadi, tidak perlu ada rasa terima kasih itu. Pinto sudah merasa bahagia sekali melihat Thian Hwa dapat bertemu dan berkumpul dengan ayah kandungnya dan kakeknya. Pinto akan pergi sekarang juga."

"Tidak...!" Tiba-tiba Thian Hwa bangkit dari tempat duduknya, menghampiri dan merangkul pundak Thian Bong Sianjin.

"Tidak, Kong-kong, engkau tidak boleh pergi begitu saja! Setidaknya, tinggallah di sini selama beberapa hari, aku masih kangen dan banyak hal yang perlu kubicarakan denganmu! Kong-kong, jangan pergi...!" Suara Thian Hwa manja dan seperti hendak menangis.

Thian Bong Sianjin tersenyum dan menggeleng-gelengkan kepalanya, akan tetapi dengan penuh sentuhan sayang dia mengelus rambut kepada gadis itu. Melihat ini, Pangeran Ciu Wan Kong merasa terharu dan dia lalu bangkit dari duduknya dan berkata kepada Thian Bong Sianjin dengan suara agak gemetar menahan haru.

"Totiang, silakan Totiang bicara berdua dengan Thian Hwa, dan mudah-mudahan Totiang tidak segera pergi sekarang melainkan suka tinggal beberapa lamanya di sini. Selamat malam." Pangeran itu lalu masuk ke dalam dan membiarkan puterinya berdua dengan tosu itu.

"Siancai! Anak nakal, engkau memaksa aku merasa tidak enak kepada ayahmu kalau pergi juga. Nah, mari kita bicara. Apa yang ingin kaubicarakan?"

Thian Hwa duduk kembali, berhadapan dengan kakek itu, terhalang meja.

"Aku rindu sekali kepadamu, Kong-kong. Aku ingin mendengar semua pengalaman Kong-kong sejak kita berpisah dan nanti akan kuceritakan semua pengalamanku kepadamu."

"Ha-ha, anak nakal. Apa yang dapat kuceritakan? Aku merantau ke selatan, ke arah Se-cuan dan tiba di Yunnan-hu. Melihat keadaan daerah yang dikuasai Wu Sam Kwi dan para pengikutnya. Di sanalah aku mendengar tentang persekutuan Wu Sam Kwi dengan Pangeran Cu Kiong itu, maka aku segera kembali ke utara untuk melaporkan hal itu agar tidak lagi terjadi perang karena perang hanya mendatangkan kesengsaraan kepada rakyat jelata."

"Kong-kong, ceritakan, bagaimana pertemuan Kong-kong dengan Bouw Hujin?"

Thian Bong Sianjin tertawa.

"Ha-ha, tentu saja pertemuan antara kami itu baik-baik saja. Bouw Hujin hanya merasa terharu melihat aku kini telah menjadi seorang tosu. Akan tetapi kami bertemu sebagai dua orang sahabat, demikian pula suami dan anak-anaknya menganggap aku sebagai seorang sahabat baik. Tidak ada apa-apa yang aneh dan jangan kau membayangkan yang bukan-bukan! Nah, sekarang kauceritakan pengalamanmu sejak kita berpisah, Thian Hwa."

"Nanti dulu, Kong-kong. Ada satu hal yang penting yang belum Kong-kong ceritakan. Siapakah dua orang sakti yang diutus Wu Sam Kwi untuk membunuh Pangeran Mahkota?"

"Yang pertama adalah Koksu (Guru Negara), penasihat dari Wu Sam Kwi sendiri yang disebut Lam-hai Cin-jin (Datuk Laut Selatan)."

"Apakah dia lihai sekali, Kong-kong?"

"Dia adalah datuk dari selatan, tentu saja memiliki ilmu silat yang tinggi. Akan tetapi orang ke dua lebih hebat lagi, karena dia seorang pertapa yang menjadi Susiok (Paman Guru) dari Lam-hai Cin-jin, bernama Ngo-beng Kui-ong (Raja Setan Bernyawa Lima), yang kabarnya selain ahli silat tingkat tinggi juga ahli sihir, sedangkan Lam-hai Cin-jin adalah seorang ahli racun."

"Ih, mengerikan. Apakah Bouw Hujin sudah mengetahui dan mengenal mereka?"

"Aku tadi belum menceritakan kepada keluarga Bouw siapa dua orang pembunuh utusan Wu Sam Kwi itu. Nah, sekarang ceritakan pengalamanmu."

Thian Hwa lalu menceritakan pengalamannya sejak ia meninggalkan gurunya yang disebutnya kong-kong (kakek) itu. Ia menceritakan betapa ia bertemu dengan Bu Kong Liang, pemuda murid Siauw-lim-pai itu dan betapa bersama Kong Liang ia membasmi perampok-perampok jahat dan memberi hajaran kepada Jaksa Bong yang sewenang-wenang.

"Dan ketika aku mengunjungi keluarga Pangeran Bouw, aku bertemu pula dengan Bu Kong Liang. Ternyata dia juga membantu keluarga Bouw melindungi Pangeran Mahkota yang berada di gedung Pangeran Bouw."

Karena Thian Bong Sianjin ingin mendengar secara jelas betapa murid yang diaku cucunya itu menyelamatkan kaisar, gadis itu menceritakan lagi peristiwa itu sehingga Sribaginda Kaisar berterima kasih kepada keponakannya ini dan memberi kepercayaan besar.

Kemelut Kerajaan Mancu Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo



"Aku harus melindungi Pangeran Mahkota dan menjaga agar pelaksanaan pengangkatan dia menjadi kaisar dapat terlaksana tanpa ada gangguan."

"Pangeran Mahkota diangkat menjadi Kaisar? Bukankah dia masih kecil, kabarnya usianya baru sekitar sepuluh tahun!"

Thian Hwa telah terlanjur bicara, akan tetapi kepada gurunya ini ia merasa tidak perlu menyembunyikan rahasia Kaisar Shun Chi. Ia berbisik.

"Kong-kong, ini merupakan rahasia besar dan hanya kepada Kong-kong aku berani memberitahu. Kaisar Shun Chi berduka sekali melihat para puteranya saling memperebutkan tahta, maka beliau mengambil keputusan untuk pura-pura mati."

"Siancai...! Pura-pura mati? Apa maksudmu?"

"Begini, Kong-kong. Paman Kaisar yang menjadi pemeluk Agama Buddha yang taat, ingin diam-diam meninggalkan istana untuk hidup sebagai seorang pendeta Buddha, dan diam-diam beliau akan dikabarkan meninggal dunia. Beliau telah meninggalkan surat wasiat kepadaku untuk diserahkan kepada Pangeran Bouw. Surat itu adalah surat pengangkatan Pangeran Mahkota sebagai pengganti Kaisar."

"Siancai... patut dipuji dan dikagumi keputusan yang diambil oleh Sribaginda Kaisar itu. Engkau mendapatkan tugas yang amat penting dan mulia, Thian Hwa. Maka, lakukanlah itu sebaik mungkin agar engkau dapat mengangkat tinggi nama dan kehormatan ayahmu."

"Kong-kong, tugas ini memang berat dan berbahaya, apalagi mengingat akan niat buruk Pangeran Leng Kok Cun dan Pangeran Cu Kiong yang bersekutu dengan Jenderal Wu Sam Kwi. Karena itu, aku ingin agar engkau suka membantu kami, Kong-kong. Bukankah Kong-kong juga sahabat baik Bouw Hujin dan sudah sepatutnya kalau Kong-kong membantunya?"

Thian Bong Sianjin menghela napas panjang dan menggelengkan kepalanya.

"Sayang sekali, Thian Hwa. Aku tidak dapat mencampuri urusan keluarga Kaisar dan tentu saja tidak mungkin aku membantu Pemerintah Ceng...."

"Maksudmu Pemerintah Mancu, Kong-kong? Engkau tidak mau membantu karena pemerintah ini adalah pemerintah Mancu?"

"Ya, begitulah, Thian Hwa. Bagaimanapun juga, pemerintah Kerajaan Ceng adalah pemerintah penjajah, bukan bangsaku. Maka, tentu tidak mungkin aku membantunya."

"Kalau begitu, Kong-kong akan membantu Jenderal Wu Sam Kwi karena dia adalah seorang pribumi Han?" Thian Hwa mengejar dan suaranya mengandung penasaran.

Thian Bong Sianjin menggelengkan kepalanya.

"Wu Sam Kwi memang seorang Han, akan tetapi dia bukan anggota keluarga Kerajaan Beng. Dia dahulu bahkan memberontak terhadap Kerajaan Beng. Dia seorang petualang yang berjuang untuk dirinya sendiri, sama sekali bukan pejuang untuk menegakkan Kerajaan Beng yang sudah jatuh, dan bukan pula pejuang rakyat. Jelas aku tidak mau membantunya. Dalam keadaan sekarang ini, aku ingin bebas dan tidak mencampuri perang yang hanya akan membuat rakyat kita menderita sengsara."

"Akan tetapi Kong-kong menganjurkan aku untuk membantu Pamanda Kaisar!"

"Tentu saja, Thian Hwa. Jangan lupa, engkau adalah puteri Pangeran Ciu Wan Kong, keponakan dari Sribaginda Kaisar, maka tentu saja sudah menjadi kewajibanmu untuk membelanya, berarti membela keluarga ayah kandungmu sendiri, menentang mereka yang memberontak dan mempunyai niat jahat terhadap Pangeran Mahkota yang juga merupakan saudara misanmu sendiri."

"Akan tetapi, bukankah sahabat Kong-kong, yaitu Sin-hong-cu Souw Lan Hui itu juga seorang wanita pribumi Han? Ia juga membela Pamanda Kaisar dan Kong-kong tidak menentangnya!" bantah Thian Hwa.

Tosu itu tersenyum.

"Aih, Thian Hwa, perlukah kujelaskan padamu? Souw Lan Hui adalah isteri Pangeran Bouw Hun Ki, ia pun telah menjadi keluarga Kaisar, maka tentu saja ia pun berkewajiban untuk membela keluarganya sendiri. Ketahuilah baik-baik, Thian Hwa. Aku tidak membela Kaisar Kerajaan Mancu bukan karena aku membencinya, karena tidak ada permusuhan pribadi antara aku dan dia. Aku tidak dapat membelanya karena itu berlawanan dengan hati nuraniku sebagai anak bangsa yang tidak mau membantu pihak yang menjajah tanah air dan bangsa Han. Akan tetapi aku pun tidak memusuhinya karena dalam urusan kebangsaan ini dia tidak dapat disalahkan, dia pun hanya anggota bangsanya yang melaksanakan tugas. Selama kaisar atau pembesar mana pun, baik bangsa Mancu ataupun bangsa Han sendiri, bertindak bijaksana dan tidak menindas rakyat, aku pasti tidak akan memusuhinya, mengertikah engkau, Thian Hwa?"

Thian Hwa diam sejenak, berpikir dan mengingat-ingat akan apa yang pernah diajarkan gurunya itu.

"Apakah Kong-kong maksudkan hal ini menyangkut kebaktian kepada bangsa seperti yang Kong-kong sering katakan dahulu?"

"Benar, Thian Hwa. Ada tiga kebaktian yang harus kita lakukan dalam hidup ini. Pertama berbakti kepada Thian yang berarti pantang melakukan segala bentuk kejahatan yang dilarang olehNya menurut petunjuk semua kitab suci agama-agama di dunia. Ke dua berbakti kepada orang tua yang berarti membela dan menjunjung tinggi nama dan kehormatan mereka dengan cara hidup sebagai orang yang baik dan budiman. Dan yang ke tiga, berbakti kepada bangsa yang berarti membela negara sebagai seorang pahlawan bangsa. Kalau seseorang melanggar satu di antara tiga kebaktian ini, dia akan menjadi seorang manusia yang tercela dan tidak baik."

"Aku ingat, dahulu Kong-kong mengatakan bahwa yang melanggar kebaktian terhadap Thian adalah orang berdosa. Yang melanggar kebaktian terhadap orang tua disebut orang durhaka. Dan yang melanggar kebaktian terhadap bangsa dan negara disebut seorang pengkhianat."

"Benar, Thian Hwa. Engkau tentu tidak ingin mempunyai guru dan kakek angkat yang disebut pengkhianat, bukan?"

Thian Hwa segera berlutut dan merangkul kedua kaki tosu itu dan ia menangis. Thian Bong Sianjin hanya mengelus rambut gadis itu penuh kasih sayang.

"Kong-kong...., kenapa Kong-kong bukan bangsa Mancu atau aku bukan keturunan Han saja agar kita dapat bersikap, berpendirian dan bertindak yang sama...?" Ia meratap.

"Hentikan tangismu, Thian Hwa dan duduklah. Keluhanmu tadi mungkin dikeluhkan juga oleh banyak sekali manusia yang menghadapi kesulitan dan kebingungan karena adanya bentrokan antara suku atau bangsa. Bentrokan yang sering kali membuat orang-orang yang saling menyayangi terpaksa menjadi terpecah belah, dipecah oleh suku, bangsa, atau bahkan agama yang saling bertentangan. Akan tetapi lahir sebagai suatu warga bangsa merupakan takdir, merupakan kehendak dan rahasia Thian yang tidak dapat dimengerti oleh siapa pun. Mengapa aku dilahirkan sebagai keturunan Han dan mengapa pula engkau dilahirkan sebagai keturunan Mancu? Ini merupakan kehendak Thian dan sesungguhnya tidak ada salahnya sama sekali. Yang bersalah adalah manusianya mengapa dapat bercerai-berai, terpecah-belah dan saling bermusuhan! Sesungguhnya Thian tidak menghendaki yang demikian itu terjadi. Semua itu ulah manusia karena pengaruh nafsu daya rendah dan akibatnya terjadi permusuhan, bunuh membunuh, yang kesemuanya hanya mendatangkan kekacauan di dunia dan penderitaan bagi manusia sendiri."

Thian Hwa tidak dapat membujuk guru atau kakek angkatnya itu untuk ikut membela Kaisar. Akan tetapi ia berhasil menahan Thian Bong Sianjin yang terpaksa menuruti permintaannya untuk tinggal di gedung Pangeran Ciu sampai tiga hari lamanya. Kemudian dia pergi meninggalkan gedung itu, akan tetapi sebelum pergi dia menerima sebuah hiasan rambut berbentuk Burung Hong dari emas permata yang diberikan Thian Hwa kepadanya. Hal ini dilakukan Thian Hwa setelah gurunya itu berjanji akan menyelidiki dan mencari ibu kandungnya yang hanyut di Sungai Huang-ho akan tetapi tak pernah ditemukan mayatnya.

"Aku mempunyai perasaan bahwa ibu kandungmu masih hidup, Thian Hwa. Aku sudah melakukan penyelidikan di sepanjang tepi Sungai Kuning, namun tidak ada penduduk di sepanjang tepi sungai yang pernah menemukan mayat seorang wanita yang hanyut."

"Mimpi Kong-kong yang dulu Kong-kong ceritakan itu benar. Menurut Kakek Cui Sam, Ibu memang mempunyai setitik tahi lalat di atas bibirnya. Aih, betapa akan bahagianya hidupku kalau ternyata Ibu masih hidup dan aku dapat bertemu dengannya!"

"Aku akan mencoba untuk melakukan penyelidikan dan pencarian lagi, Thian Hwa."

Mendengar ini, Thian Hwa lalu mengambil hiasan rambut yang dulu diterimanya dari Kakek Cui Sam itu dan menyerahkannya kepada gurunya.

"Siapa tahu usaha Kong-kong berhasil. Bawalah hiasan milik Ibu ini, Kong-kong, siapa tahu perhiasan ini dapat menuntun Kong-kong kepada pemiliknya."

Thian Bong Sianjin menerimanya, menyimpannya lalu pergi meninggalkan kota raja.

***

Im-yang Sian-kouw duduk termenung seorang diri di depan pondok kayu sederhana di puncak Bukit Kera itu. Beberapa ekor kera kecil bermain-main di atas atap pondok. Burung-burung berkicau riang gembira di pepohonan, suara mereka seperti nyanyian riang dilatarbelakangi suara gemericik air terjun yang berada di sebelah belakang pondok. Matahari pagi bersinar hangat dan cerah, suasana di puncak itu mendatangkan ketenangan dan ketenteraman. Akan tetapi Im-yang Sian-kouw seolah tidak melihat atau mendengar semua itu. Ia tenggelam ke dalam lamunannya. Ia duduk bersila di atas sebuah batu bundar. Batu besar yang sengaja dibentuk menjadi bundar dan rata seperti sebuah meja, buatan Si Han Bun, muridnya. Dilihat dari jauh, Im-yang Sian-kouw yang dalam usianya yang sekitar empat puluh satu tahun itu masih cantik, dalam pakaian serba putih, ia kelihatan seperti Kwan Im Pouwsat (Dewi Kwan Im) sendiri sedang bersila di atas bunga teratai.

Kepekaan panca indera kita menjadi tumpul oleh kebiasaan yang diulang-ulang. Mata ini tidak lagi dapat menikmati keindahan yang setiap saat dilihatnya. Telinga ini tidak lagi dapat menikmati kemerduan suara yang setiap saat didengarnya. Hidung pun tidak lagi dapat menikmati keharuman yang setiap saat diciumnya dan mulut pun tidak dapat menikmati kelezatan yang setiap saat dimakannya! Hal ini adalah karena segala macam kesenangan itu akan berubah menjadi kebosanan setelah terus-menerus dialami. Karena itulah, maka dia yang dapat menikmati segala sesuatu hanyalah orang yang belum memiliki segala sesuatu itu. Berbahagialah orang yang dapat menjaga semua kepekaan panca inderanya dengan menerima segala sesuatu sebagai hal yang baru. Baru setiap hari, baru setiap saat, karena yang baru itu selalu menyenangkan.

Pada saat itu, Im-yang Sian-kouw tidak dapat menikmati segala keindahan yang terbentang di depannya. Wanita yang memiliki ilmu silat dan ilmu pengobatan tinggi itu sedang tenggelam ke dalam lamunan. Pikiran yang disibukkan dengan kesenangan masa lalu, tenggelam ke dalam ingatan dan renungan, kehilangan kewaspadaannya dan selalu mendatangkan kemurungan dan kesedihan. Masa lalu wanita sakti ini memang penuh dengan pengalaman yang amat pahit getir.

Sekitar dua puluh tahun yang lalu Im-yang Sian-kouw adalah seorang wanita muda yang lemah dan sama sekali tidak mengenal ilmu silat. Ia adalah seorang gadis sederhana dan cantik, puteri Cui Sam yang duda dan miskin. Ayah dan anak ini bekerja sebagai pelayan dalam gedung keluarga Pangeran Ciu Wan Kong yang ketika itu berusia sekitar tiga puluh tahun. Pangeran Ciu Wan Kong jatuh cinta kepada Cui Eng, yaitu nama Im-yang Sian-kouw ketika masih gadis. Cui Eng juga membalas cinta pangeran yang baik hati itu. Sebagai seorang pelayan, tentu saja Cui Eng tidak dapat menolak rayuan dan ajakan Pangeran Ciu Wan Kong.

Mereka mengadakan hubungan dan Cui Eng menjadi hamil. Akan tetapi orang tua Pangeran Ciu Wan Kong menjadi marah dan tidak setuju kalau putera tunggal mereka menikahi seorang gadis pelayan. Terjadi pertentangan, akan tetapi Pangeran Ciu Wan Kong tidak berani menentang ayah ibunya. Ketika Cui Eng melahirkan seorang bayi perempuan, orang tua Pangeran Ciu Wan Kong menjadi lebih marah dan kecewa. Andaikata anak itu terlahir laki-laki, mungkin akan berbeda nasib Cui Eng. Akan tetapi anaknya terlahir perempuan dan ia serta ayahnya lalu diusir dari gedung itu!

Sesungguhnya Pangeran Ciu Wan Kong amat mencinta Cui Eng, akan tetapi dia tidak berani menentang kehendak orang tuanya. Dia hanya dapat diam-diam memberi bekal secukupnya kepada Ciu Sam dan Cui Eng. Ayah, anak dan cucu yang masih bayi itu terpaksa meninggalkan kota raja, hendak pulang ke dusun kampung kelahiran mereka. Akan tetapi ketika mereka naik perahu di Sungai Kuning yang ketika itu sedang banjir, terjadilah musibah itu. Perahu mereka terguling dan bayinya terlepas dari pondongannya! Ia hanyut dan menjerit-jerit sekuatnya memanggil anak dan ayahnya yang hanyut terpisah darinya. Akhirnya ia pingsan dan tidak ingat apa-apa lagi!

Ketika ia siuman, tahu-tahu ia telah berada di pondok yang berada di Puncak Bukit Kera ini. Ternyata ia telah diselamatkan oleh seorang datuk besar persilatan, yaitu Bu Beng Kiam-sian (Dewa Pedang Tanpa Nama) yang bertapa di Bukit Kera. Datuk itu menyelamatkannya dari air sungai Huang-ho, mengobatinya sehingga ia selamat dari maut, akan tetapi berada dalam keadaan lupa ingatan dan sering pingsan. Bu Beng Kiam-sian membawanya ke Bukit Kera dan setelah seminggu dirawat, barulah ia siuman dan sadar betul. Sambil menangis ia menceritakan riwayatnya dan mohon kepada penolongnya untuk mencarikan ayahnya dan bayinya yang hanyut pula di Sungai Kuning.

Bu Beng Kiam-sian segera pergi ke Sungai Kuning untuk mencari Cui Sam dan bayi itu, akan tetapi karena peristiwa itu terjadi seminggu yang lalu, dia tidak dapat menemukan apa-apa. Akhirnya dia kembali ke Bukit Kera dan menceritakan kepada Cui Eng bahwa pencariannya tidak berhasil dan sedikit sekali kemungkinannya ayah dan bayinya itu dapat selamat dari air sungai yang sedang banjir itu.

Demikianlah, sejak itu Cui Eng yang sudah kehilangan segala-galanya yang membuat ia terkadang bosan hidup, akhirnya menjadi murid Bu Beng Kiam-sian yang merasa iba kepadanya. Cui Eng seolah menjadi manusia baru. Kalau dulu ia seorang wanita lemah, kini ia menjadi seorang wanita yang sakti. Juga dari Bu Beng Kiam-sian ia mendapat banyak pelajaran tentang hidup dan ini membuat ia dapat melanjutkan kehidupannya. Akan tetapi ia telah menjadi manusia lain. Ia membuang namanya dan sepuluh tahun kemudian, setelah ia menjadi seorang wanita yang benar-benar tangguh, Bu Beng Kiam-sian memberinya nama Im-yang Sian-kouw.

Nama ini diberi mengingat bahwa ia adalah seorang ahli ilmu Im-yang Kiam-hoat (Ilmu Pedang Im Yang) dari Im-yang Posan (Ilmu Kipas Im Yang). Pada waktu itu, Bu Beng Kiam-sian membawa pulang Si Han Bu, anak yatim piatu yang ayah ibunya terbunuh oleh pasukan Wu Sam Kwi. Im-yang Sian-kouw mendidik Si Han Bu menjadi muridnya sampai sekarang. Kini, Bu Beng Kiam-sian telah meninggal dunia karena usia tua selama hampir dua tahun yang lalu. Kini Im-yang Sian-kouw tinggal berdua dengan Si Han Bu di Puncak Bukit Kera, ditemani seorang wanita janda tua dari dusun di kaki bukit. Ia telah berusia empat puluh satu tahun dan Si Han Bu kini telah menjadi seorang pemuda yang gagah perkasa berusia sekitar dua puluh dua tahun!

Im-yang Sian-kouw terusik dari lamunannya ketika seorang wanita tua berusia lima puluh tahun keluar dari dalam pondok membawa sebuah baki berisi poci dan cawan teh.

"Silakan minum Sian-kouw," kata wanita pelayan itu.

Dengan suara lembut Im-yang Sian-kouw menjawab.

"Biarlah, kau taruh di atas meja dalam pondok dulu, Bibi Cong, aku belum ingin minum."

Bibi Cong mengangguk lalu kembali ke dalam pondok. Wanita ini sudah menjadi janda sejak berusia tiga puluh tahun dan begitu Bu Beng Kiam-sian membawa Cui Eng pulang dua puluh tahun yang lalu, orang sakti itu lalu minta bantuan Bibi Cong untuk merawat Cui Eng dan membantu pekerjaan rumah. Sejak itu, Bibi Cong tidak pernah meninggalkannya dan menjadi pembantu atau pelayan yang sudah dianggapnya sebagai bibinya sendiri oleh Cui Eng atau Im-yang Sian-kouw.

Setelah kemunculan Bibi Cong tadi membuyarkan lamunannya, kini Im-yang Sian-kouw mengenangkan ayah dan bayinya. Apakah ayahnya, Cui Sam masih hidup? Dan bagaimana dengan bayinya yang belum sempat ia beri nama itu? Agaknya tidak mungkin bayi yang masih demikian kecil dan lemah itu dapat bertahan hidup hanyut di sungai yang sedang banjir. Ia menghela napas panjang.

"Aih, pagi-pagi begini Subo sudah melamun dan menghela napas panjang! Subo, teecu (murid) ambilkan minum teh, ya?"

Im-yang Sian-kouw tersenyum dan memandang kepada muridnya yang telah berdiri di depannya, pemuda gagah perkasa dan tampan, tanpa memakai baju dan dadanya yang bidang penuh dengan keringat sehingga berkilau terkena cahaya matahari pagi. Segala sesuatu tampak cerah kalau pemuda itu hadir di dekatnya. Melihat wajahnya saja yang penuh senyum cerah, bukan hanya mulutnya yang tersenyum, bahkan sinar matanya pun turut tersenyum, hati terasa gembira. Muridnya inilah yang bagaikan sinar terang terkadang mengusir kegelapan dari hati Im-yang Sian-kouw yang timbul kalau ia teringat akan ayahnya dan puterinya.

"Han Bu, cepat pergi mandi dan bertukar pakaian. Jangan bertelanjang baju seperti ini atau orang akan mengira engkau monyet penghuni Bukit Kera ini."

"Wah, memang sudah ada yang memaki teecu sebagai monyet, Subo."

"Eh, siapa yang berani memakimu sebagai monyet?" tanya Im-yang Sian-kouw, penasaran juga mendengar muridnya dimaki orang.

"Siapa lagi kalau bukan Wan Kim Hui yang galak itu, Subo! Akan tetapi teecu tidak marah lho, teecu malah senang dimaki seperti monyet."

"Hemm, engkau senang dimaki seperti monyet karena yang memaki itu gadis cantik jelita! Bukankah begitu?"

"Yah, bukan cuma itu, Subo. Akan tetapi jauh lebih baik dimaki seperti monyet daripada seperti orang, bukankah begitu? Seperti monyet berarti bukan monyet, akan tetapi kalau dimaki seperti orang berarti bukan orang!"

Im-yang Sian-kouw tertawa, "He-heh, sudahlah, cepat mandi sana. Setelah mandi dan berganti pakaian, baru engkau boleh bawakan teh untukku dan aku ingin bicara penting padamu."

"Baik, Subo. Semua yang Subo ucapkan selalu amat penting bagi teecu!" Dia lalu berlari menuju ke pancuran air yang berada di belakang pondok, diikuti tawa gurunya. Im-yang Sian-kouw amat sayang kepada muridnya itu. Si Han Bu merupakan segala-galanya baginya. Ia telah kehilangan ayahnya, kehilangan suaminya, kehilangan puterinya, kehilangan gurunya. Kini hanya tinggal Si Han Bu yang merupakan pengganti dan ia menganggapnya sebagai anaknya sendiri. Dan ia merasa puas dengan bakat yang dimiliki Han Bu. Semua ilmunya yang ia dapatkan dari mendiang Bu-beng Kiam-sian telah ia turunkan kepada Han Bu. Bahkan juga ilmu pengobatan yang penting telah dikuasai Han Bu. Anak itu pun walau tidak dapat dibilang ahli sastra, namun pengertiannya cukup tentang kehidupan, dan yang penting tidak buta huruf. Kiranya yang dimiliki pemuda itu sudah dapat dipakai sebagai bekal atau modal untuk terjun ke dunia ramai.

Tak lama kemudian, Si Han Bu sudah muncul kembali dalam keadaan segar, sudah mandi dan rambut serta pakaiannya sudah rapi. Dia membawa baki berisi poci dan cawan air teh itu dan dengan lincahnya dia meletakkan baki di atas meja batu di depan gurunya. Dia sendiri lalu duduk di sebuah bangku batu lain yang lebih kecil, di seberang meja, berhadapan dengan gurunya.

"Silakan minum air teh, Subo," katanya sambil menuangkan air teh yang masih panas dari poci ke dalam cawan. Im-yang Sian-kouw mengambil cawan itu lalu minum perlahan-lahan. Memang sedap sekali minum air teh yang pahit sepat dan sedap harum di waktu pagi seperti itu.

Setelah minum dua cawan kecil air teh, Im-yang Sian-kouw memandang muridnya dan berkata dengan suara serius.

"Han Bu, ingatkah engkau, berapa lamanya engkau berada di Puncak Bukit Kera ini dan mempelajari ilmu sejak engkau dibawa mendiang Suhu Bu Beng Kiam-sian ke sini?"

Han Bu memandang gurunya dengan sinar mata heran, akan tetapi dia merasakan kesungguhan dalam suara gurunya itu, maka dia pun menjawab.

"Subo setiap tahun baru yang dirayakan penduduk di kaki bukit, teecu menghitung dan sudah terjadi dua belas kali sejak teecu berada di sini. Berarti sudah dua belas tahun, benarkah itu, Subo?"

Im-yang Sian-kouw mengangguk lalu bertanya lagi.

"Jadi kalau begitu, sekarang ini berapa sudah usiamu?"

"Dulu sepuluh ditambah dua belas, jadi dua puluh dua tahun, Subo. Akan tetapi... mengapa Subo menanyakan umur teecu? Apakah teecu mau di... kawinkan...?"

Im-yang Sian-kouw tersenyum geli.

"Bocah tolol!" Ia terpaksa memaki sayang.

"Kalau kau kawin, cari sendiri jodohmu. Setelah bertemu, baru aku akan mengurus perkawinanmu. Jangan macam-macam, aku mau bicarakan sesuatu yang penting padamu. Buka telingamu lebar-lebar dan dengarkan baik-baik."

"Baik, baik, Subo! Teecu dengarkan!" Dia memiringkan kepalanya dan menghadapkan telinganya kepada gurunya sehingga melihat gaya ini, kembali Im-yang Sian-kouw tidak dapat menahan tawanya,

"Beginikah, Han Bu. Engkau sekarang sudah cukup dewasa, bukan anak-anak lagi. Maka sudah sepantasnya engkau turun gunung, memasuki dunia ramai, memanfaatkan semua ilmu yang telah kaupelajari di sini untuk bertindak sebagai seorang pendekar pembela kebenaran dan keadilan. Tinggalkan tempat ini, Han Bu, dan bersikap serta bertindaklah yang benar, sesuai dengan semua ajaran yang kau terima dari mendiang Suhu Bu Beng Kiam-sian dan dariku."

Mendengar keseriusan sikap dan suara gurunya, tiba-tiba Han Bu bersikap lain. Lenyaplah semua kejenakaannya dan dia lalu turun dari bangku batunya lalu menjatuhkan diri berlutut di depan batu yang diduduki gurunya.

"Subo... bagaimana teecu dapat meninggalkan Subo sendiri di sini? Apakah Subo... mengusir teecu? Lalu, ke mana teecu akan pergi, Subo...?"

Im-yang Sian-kouw tersenyum, lalu mengetuk kepala pemuda itu.

"Anak bodoh, duduklah. Sudah kukatakan tadi, dengarkan aku baik-baik dan jangan menyangka yang bukan-bukan. Duduklah!" Pemuda itu bangkit dan duduk kembali, akan tetapi wajahnya kehilangan kegembiraannya.

"Maaf, Subo. Nah, jelaskanlah mengapa teecu harus pergi, Subo. Teecu akan mendengarkan dengan baik."

"Pertama, engkau telah dewasa dan tidak ada lagi yang dapat kaupelajari di sini, maka sebaiknya engkau menambah pengetahuanmu dengan menimba pengalaman dari luar. Ke dua, sesuai dengan keinginan mendiang Suhu Bu Beng Kiam-sian dan aku sendiri, engkau seyogianya menjadi seorang pembela kebenaran dan keadilan dan untuk itu engkau harus terjun di dunia ramai dan mengamalkan semua kepandaian yang telah kaupelajari dengan susah payah selama sepuluh tahun lebih ini agar tidak sia-sia bagi aku yang mengajar dan engkau yang belajar. Dan ke tiga, aku ingin engkau dapat menolong aku."

Mendengar alasan ke tiga ini, seketika Han Bu menjadi bersemangat sekali.

"Subo, tentu saja teecu selalu siap sedia untuk membantu Subo. Cepat perintahkan Subo, apa yang harus teecu lakukan untuk Subo?"

"Sebelumnya, dengarkan dulu riwayatku, Han Bu. Gurumu ini dua puluh tahu yang lalu mengalami malapetaka yang mengakibatkan aku kehilangan ayah, suami, dan seorang anak perempuan yang masih bayi." Im-yang Sian-kouw menceritakan pengalamannya. Betapa ia dahulu sebagai pelayan keluarga Pangeran Ciu telah diperisteri Pangeran Ciu Wan Kong, akan tetapi setelah melahirkan seorang anak perempuan, terpaksa pergi bersama ayahnya yang juga menjadi pelayan di sana karena orang tua Pangeran Ciu tidak setuju putera mereka menikah dengan seorang pelayan yang melahirkan seorang anak perempuan! Kemudian betapa bersama ayahnya yang duda ia membawa bayinya pergi dengan niat pulang ke kampung halamannya, akan tetapi perahu mereka terbalik di Sungai Kuning sehingga ia kehilangan ayah dan anaknya.

Mendengar kisah ini, wajah Han Bu berubah merah dan sambil mengepal tinju dia berseru.

"Keparat pangeran itu! Mengapa Subo tidak menghajarnya?!"

"Jangan memaki dia, Han Bu!" Im-yang Sian-kouw menegur muridnya.

"Pangeran Ciu Wan Kong sayang kepadaku, akan tetapi dia lemah dan taat kepada orang tuanya. Pada waktu itu, aku adalah seorang wanita yang lemah, tidak mampu melawan dan terpaksa pergi bersama Ayah dan anakku. Akan tetapi... entah bagaimana nasib ayahku dan anakku... ahh, kalau aku ingat, rasanya lebih baik kalau pada waktu itu aku mati saja bersama mereka! Anakku masih bayi, terseret air Sungai Huang-ho yang sedang banjir, tak dapat diharapkan dapat bertahan hidup...." Kedua mata Im-yang Sian-kouw menjadi kemerahan dan basah.



Kisah Si Naga Langit Eps 1 Jodoh Si Naga Langit Eps 1 Kisah Si Pedang Kilat Eps 3

Cari Blog Ini