Dewi Sungai Kuning 4
Dewi Sungai Kuning Karya Kho Ping Hoo Bagian 4
"Kongcu, bagaimana bisa tahu bahwa aku telah bertempur dengan iblis tua itu?" tiba-tiba Thian Hwa bertanya, karena ia tadi memang heran mendengar kata-kata pangeran itu yang seakan-akan tahu akan kejadian-kejadian yang dialaminya di gedung Pangeran Leng.
"Tentu saja aku tahu, Nona. Bahkan aku tahu pula bahwa kau diperintah oleh Pangeran Leng untuk membunuhku!" katanya dengan senyum.
"Aku... aku tidak menyanggupinya!" Thian Hwa cepat memotong. Cu Kiong perlihatkan senyumnya yang menarik.
"Tentu saja. Aku pun takkan percaya bahwa seorang seperti kau ini dapat berwatak sekejam itu, membunuh aku yang tak kau kenal sama sekali!" Mendengar pujian ini, kembali Thian Hwa merasa dadanya berdebar.
"Tapi, bagaimana kau bisa mengetahui semua itu, Kongcu?"
"Kau ingin tahu? Nah, mari kuperkenalkan kau dengan para pembantuku!" Dia bertepuk tangan tiga kali dan tiba-tiba dari segenap penjuru, melalui pintu, jendela dan juga melayang turun dari atas genteng, muncullah tujuh orang setengah tua yang mempunyai gerakan gesit dan ringan sekali. Thian Hwa terkejut karena maklum bahwa kepandaian ketujuh orang ini sangat tinggi!
"Perkenalkanlah, inilah Kam-keng-chit-sian, Tujuh Dewa dari Kamkeng!" kata Cu Kiong dan ketujuh orang itu dengan tersenyum menjura di depan Thian Hwa yang segera berdiri membalas hormat mereka. Ia belum pernah mendengar nama ini, tapi ia dapat menduga bahwa mereka ini tentu tokoh-tokoh ternama di daerah utara.
"Lihiap, ilmu pedangmu sungguh membuat kami takluk dan tidak kosonglah nama Huang-ho Sui-mo, Suhumu yang tersohor itu!" kata seorang di antara mereka. Pangeran Cu Kiong lalu mempersilakan mereka semua duduk dan malam itu diadakan perjamuan makan minum untuk menghormat Thian Hwa.
Mereka bercakap-cakap gembira sekali dan Thian Hwa mendapat kesan baik dari mereka. Ia menganggap bahwa ketujuh orang itu bersikap baik dan sopan, sedangkan pangeran muda yang tampan itu betul-betul telah memikat hatinya dan membuat ia tertarik sekali. Pada kesempatan ini ia diberitahu bahwa Cu Kiong banyak dimusuhi bangsawan-bangsawan yang menjadi durna dan penjilat kaisar, dan bahwa pangeran muda ini telah beberapa kali hendak dibunuh. Oleh karena inilah maka ia mempelajari ilmu silat dan bahkan mengundang Kamkeng-chit-sian untuk menjadi pengawalnya. Kemudian pangeran yang masih muda dan tampan itu memerintahkan para pengawalnya untuk mengundurkan diri dan dia bercakap-cakap berdua dengan Thian Hwa. Sikapnya selalu ramah tamah dan sopan sehingga Thian Hwa merasa betah di situ.
"Lihiap, kau seorang gadis muda yang berasal dari daerah selatan, mengapa sampai bisa datang di kota raja? Dan mengapa pula kau sampai dapat berhubungan dengan orang-orang macam Pangeran Leng itu?" Thian Hwa lalu menceritakan riwayatnya dengan terus terang. Ia menganggap bahwa pangeran ini sangat baik dan jujur, maka pantaslah kalau ia minta tolong dan mendapat kepercayaannya.
"Demikianlah," ia mengakhiri ceritanya.
"Aku yang muda dan bodoh ini sampai menjadi nekad dan datang ke kota besar ini untuk mencari kedua orang tuaku." Cu Kiong memandangnya dengan penuh keheranan terbayang pada wajahnya yang putih.
"Kau katakan tadi bahwa orang tuamu adalah bangsawan di kota raja ini?" Thian Hwa mengangguk.
"Demikianlah menurut penuturan Kakekku. Katanya bahwa Ibuku adalah seorang puteri bangsawan yang cantik dengan tanda bintik kecil hitam di atas bibir sebelah kiri. Sayang sekali Kakekku tidak tahu siapa Ibuku atau Ayahku..." kata Thian Hwa sedih. Ketika ia menceritakan hal ini, kebetulan sekali pelayan laki-laki yang sudah tua dan sangat hormat sikapnya sedang membersihkan meja dan mengangkut semua sisa makanan atas perintah Cu Kiong. Tadinya kakek tua ini bekerja sambil menundukkan muka, tapi ketika ia mendengar cerita Thian Hwa, agaknya dia menjadi terharu dan mengangkat mukanya memandang. Kebetulan Thian Hwa tak sengaja memandangnya. Untuk sesaat pelayan itu membelalakkan matanya, kemudian dia menunduk kembali dan Thian Hwa melihat wajah yang baik dan sabar, bahkan ia merasa seakan-akan wajah orang tua itu tidak asing baginya. Setelah orang tua itu mengangkut pergi semua sisa makanan, Cu Kiong berkata,
"Nona, percayalah kau kepadaku. Aku akan memerintahkan orang-orangku untuk mencari keterangan perihal puteri bangsawan yang mempunyai tahi lalat kecil di bibir kiri, barangkali saja usahaku ini akan berhasil baik." Thian Hwa buru-buru berdiri dan menjura sambil mengucapkan terima kasih.
"Sekarang harap Kongcu maafkan aku, karena aku harus pergi. Tidak baik kalau mengganggumu dan besok sore aku akan datang lagi mendengar hasil pertolonganmu itu." Cu Kiong buru-buru mencegah.
"Jangan kau pergi, Nona. Apakah bedanya kalau kau menginap di dalam gedung ini? Pula, kau telah menjadi musuh Pangeran Leng, dan kau tidak akan aman tinggal di luar. Kau tinggallah untuk sementara waktu di gedung ini sampai kau dapat bertemu dengan orang tuamu. Jangan khawatir, aku mempunyai banyak kamar di sini dan kau akan terjamin. Anggaplah ini sebagai rumah sendiri atau sebagai rumah saudaramu!" Sambil berkata demikian, pangeran itu tersenyum ramah. Setelah dibujuk-bujuk, akhirnya Thian Hwa tak dapat menolak lagi, dan dengan girang sekali Cu Kiong memanggil pelayan,
"Losam...!" Pelayan tua yang tadi membersihkan meja muncul dari pintu samping dan menghampiri mereka.
"Losam, tolong kauantar Nona ini ke kamar tamu di bagian kiri. Berikan kamar yang paling baik di ujung itu, dan selanjutnya suruh pelayan-pelayan wanita melayani segala keperluannya. Ingat Siocia ini harus dilayani baik-baik agar betah tinggal di sini." Thian Hwa menghaturkan terima kasih dan ikut pelayan itu menuju ke bangunan sebelah kiri yang besar dan di depannya penuh kembang-kembang indah di dalam taman kecil yang mengitari bangunan itu.
Ketika mereka tiba di situ, Losam disambut oleh beberapa orang pelayan yang muda-muda dan cantik-cantik dan dihujani pertanyaan. Losam dengan suara sabar memperkenalkan Thian Hwa dengan menyampaikan pesan majikannya. Pelayan-pelayan wanita itu dengan hormat dan ramah lalu mengajak Thian Hwa memasuki kamarnya sehingga gadis itu merasa malu dan berterima kasih sekali. Pangeran Cu Kiong demikian baik hati terhadap Thian Hwa sehingga dia memerlukan mengirimkan beberapa stel pakaian yang indah kepada gadis itu, dan dia minta kepada Losam untuk mengantarkannya. Thian Hwa merasa malu dan tak enak hati melihat segala kebaikan ini. Ia terima pakaian itu tapi tidak mau memakainya dan tetap memakai pakaiannya sendiri yang sederhana.
Ketika malam hari itu Thian Hwa keluar dari kamarnya dan berjalan-jalan di taman bunga, ternyata bahwa di belakang semua bangunan besar itu masih terdapat sebuah kebun bunga yang sangat luas dan indah, bahkan di tengah-tengah terdapat kolam air yang lebar dan dalam serta airnya jernih sekali. Thian Hwa adalah seorang gadis yang semenjak kecil tumbuh besar di atas air Sungai Huang-ho, maka kini melihat air yang jernih itu, tak dapat nenahan lagi keinginan hatinya untuk mandi. Ia melihat betapa keadaan di situ sunyi tiada orang, maka segera ia tanggalkan pakaian luar dan kini hanya memakai pakaian mandi yang ringkas. Setelah itu, ia lalu terjun ke dalam air yang dingin itu! Ia berenang ke sana ke mari dan menangkapi ikan emas yang menjadi kaget dan ketakutan karena tiba-tiba saja tempat mereka terganggu oleh suatu mahluk aneh yang menangkapi mereka lalu dilepas lagi berulang-ulang!
Thian Hwa merasa gembira sekali dan ia tersenyum-senyum sambil memetik setangkai bunga teratai putih yang mekar berseri di permukaan kolam itu. Ia tidak tahu mengapa hatinya begitu girang dan bahagia. Ia merasa seakan-akan ada sesuatu yang mendatangkan rasa nikmat di dalam hatinya dan bayangan Pangeran Cu Kiong yang tampan dan tersenyum-senyum itu tak pernah meninggalkan bulu matanya! Ah, alangkah baiknya orang-orang bangsawan ini, pikirnya. Tentu ayah ibunya juga sebaik Cu Kiong, dan dia percaya penuh pangeran yang baik hati itu tentu akan sanggup mencari keterangan tentang ayah ibunya. Ia tidak tahu bahwa dari balik sebatang pohon, sepasang mata memandangnya dengan penuh gairah dan kagum. Kemudian orang yang mengintai itu keluar, seakan-akan tak dapat menahan dorongan hatinya lagi. Ia bertindak mendekati kolam, lalu berseru kaget.
"Ah, Thian Lihiap! Kiranya kau. Sungguh aku kaget sekali. Kukira siapa yang pada malam sekali begini mandi di sini!" Thian Hwa terkejut sekali dan menengok. Ternyata Cu Kiong sedang berdiri dan memandangnya dengan mata kagum. Biarpun pada saat itu yang tampak hanya kepalanya saja, namun Thian Hwa merasa begitu malu sehingga buru-buru ia menyelam! Cu Kiong tertawa geli dan membalikkan tubuh memandang ke lain jurusan, tapi masih berdiri di tempat itu. Di dalam air, Thian Hwa merasa betapa dadanya berdebar keras dan napasnya terengah-engah. Ia merasa malu sekali untuk muncul lagi. Tapi akhirnya ia tidak kuat menahan napasnya lalu munculkan kepalanya dengan perlahan dan hati-hati di belakang daun dan bunga teratai. Ia melihat betapa Cu Kiong berdiri membelakanginya dan pemuda itu berkata,
"Nona, kalau kau sudah muncul lagi, katakan apakah aku harus pergi? Sebenarnya aku ingin sekali bicara dengan kau! Tapi kalau kau menghendaki supaya aku pergi, aku akan segera meninggalkan tempat ini." Thian Hwa berkata dengan suara lemah.
"Kongcu, jangan kau melihat ke sini dulu!" Terdengar pemuda itu tertawa dan menjawab,
"Kau anggap aku orang rendah macam apakah?" Thian Hwa girang sekali mendengar ini. Ternyata bahwa pemuda itu benar-benar orang sopan dan baik. Maka tanpa ragu-ragu lagi ia keluar dari air dan cepat-cepat berganti pakaian di balik pohon kembang dekat kolam itu. Pakaiannya yang basah ia letakkan di atas sebuah batu yang merupakan patung barongsai. Kemudian, setelah mengenakan pakaiannya, ia keluar dan berkata sambil tertawa.
"Sekarang kau boleh melihat, aku sudah selesai." Cu Kiong cepat memutar tubuhnya dan memandang gadis itu dengan mata kagum. Sinar bulan telah menyinari wajah yang ayu itu. Thian Hwa menggunakan teratai yang dipetiknya tadi untuk menghias rambutnya yang diikat secara sembarangan ke atas sehingga kecantikannya yang asli benar-benar mempesonakan. Cu Kiong maju beberapa tindak dengan perlahan. Setelah dekat dengan gadis itu, dia berhenti dan menatap wajahnya sambil berkata berbisik,
"Nona kau... kau... cantik sekali..." Kalau saja yang berkata itu orang lain, tentu Thian Hwa akan marah sekali. Tetapi yang memujinya adalah pemuda yang memang selalu membayang di depan matanya, pula Cu Kiong telah mengucapkan pujian itu dengan sungguh-sungguh, bukan dengan maksud kurang ajar, maka Thian Hwa hanya menundukkan muka dengan malu-malu. Cu Kiong maju setindak lagi dan tahu-tahu dengan halus perlahan ia pegang kedua tangan Thian Hwa dan berkata,
"Sungguh, Nona, selama hidupku belum pernah aku melihat seorang secantik kau..." Thian Hwa merasakan betapa seluruh tubuhnya menggigil dan dadanya berdebar. Mukanya terasa panas dan kepalanya pening. Ia hendak menarik tangannya, tapi tak kuasa menggerakkan tangan itu dan terasa olehnya betapa lembut dan mesra tangan pemuda itu memegang tangannya. Tiba-tiba telinganya yang tajam dapat menangkap tindakan kaki orang, maka cepat sekali Thian Hwa menarik tangannya dan meloncat menghadapi orang yang datang itu. Alangkah kagetnya melihat bahwa yang datang adalah Pat-chiu Lo-mo dan tiga orang lain dengan senjata di tangan dan sikap mengancam. Melihat ini, terkejutlah Cu Kiong dan dia segera bertepuk tangan tiga kali. Tapi para pembantunya tidak muncul dan Iblis Bongkok itu tertawa mengejek.
"Ha, ha! Kaki tanganmu tak mungkin datang, mereka sendiri sibuk membela diri dan menjaga agar nyawa mereka jangan melayang!" Kemudian Pat-chiu Lo-mo segera maju dan menggerakkan tongkatnya ke arah Cu Kiong. Tapi Thian Hwa berseru nyaring dan ia maju menotok iga iblis itu dengan hebat. Terpaksa Si Bongkok menarik kembali tongkatnya dan melayani Thian Hwa. Kemudian tiga orang lainnya yang bersenjata pedang maju pula mengeroyok Thian Hwa sehingga gadis itu sibuk sekali, tapi ia masih ingat berseru kepada Cu Kiong.
"Kongcu, lekas kau pergi, biar aku menahan mereka ini!" Thian Hwa khawatir kalau-kalau pangeran itu mendapat celaka karena ia maklum bahwa kepandaian pemuda itu masih terlampau rendah untuk melayani para penyerbu yang ternyata berkepandaian tinggi ini. Tapi Cu Kiong tidak mempedulikan teriakan Thian Hwa, bahkan dia lalu mengangkat sebuah bangku yang terdapat di kolam itu dan menggunakan barang ini sebagai senjata. Dia meloncat menerjang pengeroyok Thian Hwa sambil berseru.
"Niocu, jangan takut, aku bantu kau!" Thian Hwa menjadi sibuk sekali karena untuk menjaga diri sendiri dengan tangan kosong terhadap empat pengeroyok saja sudah sukar baginya, apalagi kini dengan ikut campurnya Cu Kiong, gerakannya makin kalut karena ia harus menjaga pemuda itu pula!
"Kongcu, pergilah kau!" teriaknya sekali lagi, tapi Cu Kiong bahkan menyerang Pat-chiu Lo-mo dengan hebat! Si Bongkok itu melihat datangnya serangan bangku, cepat menangkis dengan tongkatnya sedemikian rupa sehingga bangku itu terpental kembali dan menghantam dada Cu Kiong yang terpental jauh dan tercebur ke dalam kolam! Melihat ini, hampir saja Thian Hwa menjerit ngeri dan ia lalu mengeluarkan pukulan Kwan Im yang hebat. Dengan gerakan yang tak terduga sama sekali oleh lawan-lawannya, tubuhnya bergerak secepat kilat sehingga mata para lawannya kabur dan tahu-tahu seorang pengeroyok kena tertotok pundaknya sehingga tubuhnya menjadi lemas dan roboh. Pengeroyok yang lain menjadi terkejut dan meloncat mundur, dan kesempatan ini dipergunakan oleh Thian Hwa untuk meloncat terjun ke dalam kolam.
Ia menyelam dan memegang tubuh Cu Kiong yang telah lemas dan tenggelam dan cepat mengangkat pemuda itu keluar dari kolam. Karena para lawannya tidak pandai berenang, maka mereka hanya menanti dengan senjata di tangan. Melihat ini, Thian Hwa lalu melihat ke kanan kiri dan ia melihat sebuah besi tempat gantungan lampu di tengah kolam. Besi itu sengaja dipasang untuk dipakai menggantung lampu dan memperindah kolam itu. Thian Hwa lalu menggunakan tangan kanannya mencabut besi itu dan dengan tangan kiri memeluk tubuh Cu Kiong yang pingsan, ia lalu berenang ke tepi kolam. Tapi musuh-musuhnya telah menanti di situ dengan senjata mengancam sehingga ia menjadi sibuk sekali. Tiba-tiba Thian Hwa membawa tubuh pemuda itu menyelam sehingga tidak tampak oleh musuhnya.
Tahu-tahu ia telah muncul di lain tepi dan mengangkat tubuh Cu Kiong ke pinggir dan ia sendiri meloncat ke tepi dengan besi itu melintang di kedua tangan. Pat-chiu Lo-mo dan kawan-kawannya lalu mengejar dan kini Thian Hwa dapat melayani mereka dengan baik, karena besi itu merupakan sebatang tongkat yang hebat. Karena bingung dan marah sekali melihat Cu Kiong terluka, ia mengamuk hebat dan mengeluarkan seluruh kepandaiannya. Dengan gerakan-gerakan kilat akhirnya ia berhasil menyerampang kaki seorang lawan dan sebelum mereka hilang kagetnya, tahu-tahu ujung besi di tangannya dengan gerak tipu Heng-cia-jip-te atau Kauw-ce-thian Masuk ke Dalam Tanah ia menyerang lutut Pat-chiu Lo-mo dari atas. Serangan ini hebat sekali karena menyambarnya besi sukar untuk ditangkis.
Terpaksa Si Bongkok yang menjadi kaget sekali itu meloncat tinggi untuk menghindarkan kaki atau lututnya dari serangan orang, tapi pada saat tubuhnya masih di tengah udara, Thian Hwa yang menjadi sengit telah memutar tongkatnya dan menggunakan ujung yang sebelah lagi menghantam dada Si Bongkok yang lihai itu. Pat-chiu Lo-mo tak dapat berkelit maupun menangkis, sudah tidak keburu karena gerakan gadis itu luar biasa cepatnya, maka dia lalu mengumpulkan lweekangnya di bagian dada sambil menahan napas.
"Buk!" ujung besi yang melanggar dada itu menjadi bengkok! Tapi tubuh Si Bongkok itu terpental jauh dan roboh pingsan karena dia mendapat luka di dalam dadanya! Kedua pengeroyok lain melihat hal ini lalu meloncat mundur karena jerih, tapi Thian Hwa tidak mempedulikan mereka lagi. Ia lalu menghampiri Cu Kiong yang masih rebah dengan memejamkan mata.
"Kongcu... Kongcu..." Thian Hwa dengan bingung menggoyang-goyang tubuh Cu Kiong, tapi pemuda itu tidak bergerak dan wajahnya pucat sekali. Thian Hwa tidak tahu bahwa kedua musuhnya yang belum roboh masing-masing memondong seorang kawan yang terluka dan telah meninggalkan tempat itu karena jerih terhadapnya. Dengan bingung dan sedih gadis itu lalu memondong tubuh Cu Kiong dan membawa lari ke dalam kamarnya. Ia merebahkan tubuh itu di atas pembaringan dan memeriksa dadanya setelah merobek baju pemuda itu.
Ia bernapas lega karena dada itu hanya mendapat luka di kulit saja sehingga mengeluarkan sedikit darah dan menjadi matang biru. Yang membuat pemuda itu pingsan adalah tenggelam ke dalam air tadi. Thian Hwa memanggil-manggil pelayan tapi tak seorang pun muncul, karena semua pelayan agaknya telah lari bersembunyi! Ia lalu melenyapkan semua perasaan malu dan menggunakan kain tilam pembaringan yang dirobeknya untuk membalut dada pemuda itu. Ia bingung sekali karena pakaian pemuda itu dan pakaiannya sendiri basah kuyup. Pada saat itu Cu Kiong siuman dari pingsannya. Dia heran dan bingung sekali, tapi dia segera teringat akan kejadian tadi. Cepat sekali dia meloncat bangun dan melihat ke arah dadanya yang telanjang dan yang kini telah dibalut. Lalu memandang Thian Hwa yang juga basah kuyup pakaiannya, sama dengan pakaiannya sendiri.
"Thian Hwa... Nona... kau... kau telah menolong jiwaku...?"
"Sudahlah jangan ribut-ribut, kau perlu istirahat," kata Thian Hwa dengan wajah merah dan mendekati pemuda itu yang segera ia pegang pundaknya untuk didorong agar tidur kembali.
"Eh, di manakah Kamkeng-chit-sian, mengapa mereka tidak muncul?" tiba-tiba Cu Kiong teringat akan para pengawalnya yang benar saja tidak muncul. Thian Hwa lalu teringat juga.
"Bukankah Si Bongkok tadi berkata bahwa mereka juga diserang? Tentu terjadi pertempuran hebat di atas gedung! Biar aku pergi melihatnya!" Tapi Cu Kiong cepat memegang tangan Thian Hwa sambil berkata lirih,
"Biarlah, Moi-moi, jangan tinggalkan aku lagi..." Sekali lagi gadis itu menjadi lemas dan kepalanya terasa pening, tak kuasa melepaskan diri dari pegangan tangan pemuda itu.
"Kongcu, kau perlu berganti pakaian yang kering, kau bisa sakit dalam pakaian basah ini," katanya perlahan.
"Kau sendiri bagaimana?" kata Cu Kiong berbisik.
"Pakaianmu juga basah kuyup." Suaranya mengandung kasih sayang yang memabukkan kepala Thian Hwa. Pada saat itu terdengar suara seorang di antara Kamkeng-chit-sian di luar pintu kamar.
"Thaijin, apakah kau selamat saja?" Tanpa membuka pintu atau bangun dari pembaringan Cu Kiong menjawab,
"Aku tidak apa-apa, bagaimana kalian?"
"Musuh telah terusir pergi, hanya seorang di antara kami mendapat luka."
"Sudahlah, besok saja kita bicarakan!" pangeran itu berkata dan semua pengawal itu pergi lagi ke kamar masing-masing. Keesokan harinya, ketika matahari telah naik tinggi, Thian Hwa bangun dari tidurnya dengan kepala terasa berat. Tapi ia lalu duduk bersamadhi dan mengatur napas sehingga sebentar saja ia merasa sehat dan segar kembali. Pintu kamarnya diketuk dari luar dan ia lalu turun membuka pintu. Pelayan-pelayan yang kemarin itu masuk sambil membawa segala keperluan untuk mandi dan berganti pakaian. Thian Hwa minta mereka keluar dan ia sendiri lalu berganti pakaian dan mencuci muka. Kemudian ia keluar dan ternyata hidangan pagi telah disediakan. Para pelayan itu dengan ributnya bercerita betapa malam tadi datang orang-orang jahat yang baiknya dapat diusir oleh para pengawal.
"Kalian ke mana saja malam tadi, mengapa tidak muncul?" Thian Hwa bertanya.
"Siapa yang berani keluar, Siocia. Kami bersembunyi di bawah pembaringan kami, menjadi satu dan tak berani bergerak," jawab seorang pelayan dan yang lain menyambung, "Jangankan bergerak, bernapas pun kami tidak berani." Setelah selesai makan, tiba-tiba datang Losam, kakek pelayan yang kemarin melayaninya. Setelah memberi salam dan memberes-bereskan makanan, Losam berkata kepada Thian Hwa,
"Siocia, harap kau suruh pergi dulu semua pelayan ini. Aku ingin bicara empat mata dengan Siocia." Thian Hwa heran, tapi ia menyuruh semua pelayan pergi. Pelayan-pelayan itu setelah melotot secara main-main kepada Losam, lalu pergi meninggalkan mereka berdua.
"Siocia, kalau aku tidak salah, kau kemarin berkata kepada Thaijin bahwa kau mencari Ibumu?" Thian Hwa berdebar hatinya dan ia segera mengangguk.
"Coba kau katakan lagi riwayatmu secara singkat, mungkin aku dapat memberi keterangan padamu." Dan kedua mata yang tua itu memandang Thian Hwa dengan mesra dan terharu. Thian Hwa lalu menceritakan riwayatnya, betapa ia ditolong oleh Thian Bong Sianjin dari bencana air dan bahwa ibunya adalah seorang puteri bangsawan yang cantik dengan tahi lalat kecil di atas bibir kiri. Tiba-tiba Losam gemetar bibirnya dan pucat wajahnya.
"Benar... benar... tidak salah lagi... kau... kau adalah anak Cui Eng... kau adalah cucuku sendiri..." Terkejutlah Thian Hwa mendengar ini. Ia meloncat berdiri dan memegang kedua lengan orang tua itu.
"Apa katamu? Hayo kauceritakan yang betul!" Wajah gadis itu pucat, matanya bersinar-sinar.
"Benar, benar! Seperti pinang dibelah dua! Cui Eng juga begini ketika masih gadis dulu, sama benar dengan kau!" Setelah dapat menenteramkan gelora hatinya, kakek itu bercerita. Dulu, sebelum dia menjadi pelayan dari Pangeran Cu Kiong, dia adalah seorang kepala pelayan dari seorang pangeran she Ciu. Selain itu, anak perempuannya yang bernama Cui Eng dan sangat cantik, juga menjadi pelayan di gedung itu.
Ternyata antara Cui Eng dan Pangeran Cui yang masih muda belia dan cakap, terjalin tali asmara yang erat, sehingga mereka telah berjanji sehidup semati. Tapi sungguh celaka, orang tua Pangeran Ciu tidak suka menerima Cui Eng sebagai menantu mereka. Pangeran Ciu yang sangat mencintai Cui Eng mempertahankan kekasihnya dan membujuk orang tuanya untuk menerima gadis itu sebagai selir. Orang tuanya, terutama ibunya, berkeras tidak setuju karena dianggap rendah sekali jika puteranya mengambil selir dari keluarga pelayan sendiri. Kemudian, setelah diberitahu bahwa dari hubungannya itu Cui Eng telah mengandung, ibu Pangeran Ciu berjanji bahwa jika Cui Eng melahirkan seorang anak laki-laki, maka ia diterima menjadi selir, jika melahirkan anak perempuan, ia harus pergi dari gedung itu! Celakanya, ternyata Cui Eng melahirkan seorang anak perempuan!
Gadis yang malang nasibnya itu terpaksa diusir keluar dari gedung dan membawa anaknya yang masih bayi! Losam sebagai ayahnya tidak tega melihat Cui Eng dan mengantar gadis itu untuk pulang saja ke kampung, yaitu di selatan. Tapi nasib memang sangat kejam. Ketika menyeberangi Sungai Huang-ho, ternyata tempat itu merupakan kuburan bagi Cui Eng dan anaknya, karena pada saat itu Sungai Huang-ho sedang buas dan besar sehingga perahu yang ditumpanginya terbawa air dan terbalik! Untung Losam masih dapat menyelamatkan diri dan dengan hati sedih kembali ke kota raja dan bekerja pada keluarga Pangeran Ciu, sedang Cui Eng dan anaknya ia anggap telah mati! Setelah mendengar cerita ini, Thian Hwa tidak ragu lagi. Ia menubruk kakeknya itu dan menangis terisak-isak. Kemudian ia menjadi marah sekali dan berkata,
"Kong-kong, lekas kau tunjukkan aku di mana adanya Pangeran Ciu yang telah merusak hidup Ibuku itu. Orang macam itu harus dibunuh mampus!"
"Kau benar, Cucuku. Memang aku pun sangat sakit hati terhadap mereka! Tapi Ayah Ibu pangeran itu telah meninggal, dan yang ada kini hanya Pangeran Ciu itu saja. Dia tetap saja tidak beristeri, hanya biasa saja sebagaimana semua pangeran, ia memelihara selir." Pada saat itu muncullah Cu Kiong dengan pakaian yang indah. Lukanya agaknya telah sembuh, karena wajahnya berseri-seri dan sepasang matanya yang jernih itu bersinar-sinar, tampak cakap sekali. Ketika melihat pangeran ini, Thian Hwa lalu menundukkan muka, tapi matanya mengerling dan bibirnya tersenyum.
"Moi-moi, biarlah hari ini aku akan mengerahkan semua orang mencari keterangan tentang orang tuamu."
"Koko... eh, Kongcu..." Thian Hwa buru-buru mengubah sebutan itu sambil memandang kepada kakeknya, "Tak usah Kongcu repot-repot karena aku telah mendapat keterangan yang sangat penting dari Kakekku ini." Kemudian ia menceritakan kembali cerita Losam tadi. Cu Kiong girang sekali.
"Ah, kau hendak membalas dendam ibumu? Memang, memang jahat sekali mereka itu, jahat kejam terhadap Ibumu. Sudah sepantasnya kalau mereka itu kau bunuh! Tapi..." Pangeran itu mengerling ke arah Losam dan menyuruh pelayan itu pergi. Setelah Losam pergi, Cu Kiong memegang kedua tangan Thian Hwa.
"Moi-moi, perkara membalas dendammu kepada keluarga Ciu adalah soal mudah karena Pangeran Ciu itu adalah seorang yang tidak mau memelihara pengawal sehingga mudah saja memasuki gedungnya. Tapi yang membuat aku selalu bingung adalah keadaan Pangeran Leng. Dia ini jahat sekali dan banyak kaki tangannya. Kau sendiri telah mengetahui betapa ia membenci dan memusuhiku. Aku ingin sekali minta pertolonganmu, Moi-moi." Thian Hwa memandang wajah yang tampan itu dengan pandangan mesra.
"Katakanlah, Koko. Apa yang Kau kehendaki?"
"Moi-moi, aku menghendaki serupa barang dari Pangeran Leng itu. Yakni sebuah kotak berisi surat-surat penting yang akan dapat membuka rahasianya dan menjatuhkannya di hadapan Kaisar. Kalau kau bisa menolong aku mendapatkan barang itu, ah... Moi-moi, selama hidupku aku akan selalu berterima kasih kepadamu!" Kembali gadis itu runtuh menghadapi kecakapan Cu Kiong dan sikap yang lemah lembut penuh kasih mesra dari pemuda itu.
Ia dimabuk cinta dan agaknya untuk membalas dan menyenangkan hati Cu Kiong, ia rela mengorbankan apa saja. Pada malam harinya, setelah mendapatkan petunjuk-petunjuk yang perlu, Thian Hwa lalu pergi menuju gedung Pangeran Ciu yang berada di sebelah utara kota raja. Gedung itu sederhana, tapi cukup besar dan kokoh kuat. Benar saja, di situ tidak terdapat pengawal-pengawal bersenjata sebagaimana biasa terdapat di gedung-gedung pangeran dan bangsawan tinggi. Dan gedung itu sunyi saja. Thian Hwa melihat sebuah kamar yang masih terang sinar lampunya, maka ia segera mengintai dari jendela. Tampak olehnya seorang laki-laki setengah tua duduk membelakanginya dan laki-laki itu sedang memandang sehelai gambar, yakni gambar seorang wanita yang kertasnya sudah kuning, tapi gambar itu tidak tampak nyata dari luar jendela.
Laki-laki itu lalu menjatuhkan kepalanya di atas meja dan tampak susah sekali, karena berkali-kali dia menghela napas panjang. Melihat pakaian orang itu, Thian Hwa tidak ragu-ragu lagi bahwa inilah Pangeran Ciu yang telah merusak kehidupan ibunya dulu. Ia lalu menggunakan kedua tangan menolak daun jendela dan sekali meloncat ia telah berada dalam kamar itu. Laki-laki itu mendengar suara jendela terbuka, cepat meloncat bangun dan berdiri, lalu membalikkan tubuh memandang Thian Hwa. Tiba-tiba kedua matanya terbelalak dan mulutnya ternganga heran. Dia mengucek-ucek mata seakan-akan takut kalau-kalau telah menipunya, tapi benar-benar yang berada di depannya adalah seorang gadis muda yang cantik jelita dan sedang menatapnya dengan mata tajam dan berapi-api.
"Kau... kau...?" laki-laki itu berkata dan Thian Hwa juga heran terkejut karena mengenal bahwa orang ini bukan lain Pangeran Ciu Wan Kong yang dulu pernah ditolongnya dari serangan ular air! Tapi pada saat itu Thian Hwa tidak mempunyai perasaan apa-apa selain benci dan dendam terhadap orang tua ini! Ia tersenyum mengejek dan berkata perlahan.
"Ya... aku... dan kenalkah kau kepada Cui Eng...?" Wajah pangeran itu tiba-tiba menjadi pucat bagaikan mayat dan ia terhuyung-huyung limbung lalu berpegang pada sebuah kursi. Bibirnya gemetar dan matanya terbelalak.
"Kau... Cui Eng... ah... sudah kuduga... gadis itu... gadis itu tentu Cui Eng sendiri, Cui Engku... Cui Eng kau... kau datang padaku...?" Makin gemaslah hati Thian Hwa.
"Ya, aku Cui Eng dan aku hendak membalas dendamku karena perbuatanmu yang pengecut!" Sambil berkata demikian, Thian Hwa mencabut pedangnya dan perlahan-lahan bertindak maju. Tapi sebaliknya dari takut pangeran itu kini tampak segar kembali. Dia berdiri gagah dan memajukan dadanya kepada Thian Hwa.
"Cui Eng, boleh... boleh...! Kau tusuklah dadaku, awas jangan meleset, tusuklah sebelah kiri, ke arah jantung ini agar aku lekas mati! Ha, ha, ha, Cui Eng, kenapa kau ragu-ragu? Tusuklah, kekasihku, tusuklah dadaku, memang aku tahu pasti kau akan datang membawaku ke sana. Cui Eng... ha, ha, ha!" Tiba-tiba wajah orang tua itu berubah, ia tertawa terbahak-bahak dan kedua matanya memandang seakan-akan
(Lanjut ke Jilid 04 - Tamat)
Dewi Sungai Kuning/Huang Ho Sianli (Seri ke 01 " Dewi Sungai Kuning)
Karya : Asmaraman S Kho Ping Hoo
Jilid 04 (Tamat)
Thian Hwa tidak berada di situ lagi, seakan-akan benar-benar dia melihat Cui Eng di situ. Pangeran Ciu Wan Kong telah menjadi gila! Melihat keadaan orang yang sebenarnya ayahnya sendiri ini, Thian Hwa tidak kuat menahan gelora keharuan hatinya. Ia memasukkan pedangnya di sarung pedang kembali dan ia menubruk ayahnya. Tapi ayahnya membentak,
"Pergi kau! Jangan halang-halangi aku bertemu dengan Cui Eng. Eh, Cui Eng...! Tunggu...! Mau ke mana, kekasihku?" Dan dengan terhuyung-huyung orang tua itu meninggalkan gadis yang tadi berlutut memeluk kakinya. Thian Hwa segera berdiri dan melihat ke atas meja. Ternyata yang tadi dipandang ayahnya adalah gambar seorang wanita cantik yang serupa benar dengan dia dan di atas bibir kiri terdapat sebuah tahi lalat kecil yang menambahkan manisnya!
"Ibu... Ibuku... kau telah membalas dendammu sendiri..." demikian ia berbisik dan setelah menggulung lukisan itu ia lalu keluar dan meloncat ke atas genteng dan meninggalkan tempat itu! Ia hendak kembali ke gedung Pangeran Cu Kiong, tapi tiba-tiba ia teringat akan pesan pemuda itu. Ia berhenti di atas sebuah wuwungan rumah dan termenung. Cu Kiong adalah seorang pemuda yang baik dan sangat mencintainya, ia juga mencintai pemuda bangsawan itu. Tapi bukankah ia telah berlaku sembrono menyerahkan cintanya begitu saja kepada seorang pemuda yang samasekali belum diketahuinya? Apakah pemuda itu benar-benar patut menjadi jodohnya?
Ah, ia tak perlu ragu-ragu karena ia tahu pasti bahwa pemuda itu sangat mencintanya! Dengan hati ringan dan gembira ia lalu menuju ke gedung Pangeran Leng untuk menjalankan pesan kekasihnya. Gedung itu masih terjaga ketat, tapi karena Pat-chiu Lo-mo yang paling lihai telah terluka dan pulang ke tempat sendiri untuk berobat maka mudah saja bagi Thian Hwa untuk mencuri masuk. Ia menotok seorang penjaga dan menyeretnya ke dalam kebun dan di situ ia memaksa untuk mendapat keterangan tentang kotak terisi surat-surat penting. Dengan kecewa ia mendapat keterangan bahwa kotak itu telah dititipkan kepada Pat-chiu Lo-mo yang pulang ke kampungnya dan ia tahu dari pengawal ini bahwa surat-surat itu adalah surat-surat untuk menghubungi orang-orang yang disiapkan untuk segera bergerak dari segenap penjuru bila waktunya tiba untuk merebut mahkota kerajaan!
Thian Hwa lalu meninggalkan tempat itu dan ia menjadi bingung. Mengapa ada segala macam urusan yang ruwet ini? Dan mengapa pula Cu Kiong ikut campur dalam perkara ini? Ia menganggap perkara berebut kekuasaan di antara kalangan bangsawan ini sangat menjemukan dan kotor, maka ia kecewa sekali mendapat kenyataan bahwa kekasihnya agaknya juga ikut bermain dalam persaingan itu. Ketika ia telah tiba di atas genteng gedung Cu Kiong, tiba-tiba ia ingin menyelidiki keadaan rumah kekasihnya ini. Ia tidak lekas meloncat turun, tapi dengan hati-hati sekali ia membuka genteng dan mengintai. Kebetulan sekali yang ia buka adalah genteng di atas ruang dalam di bangunan tengah yang belum pernah dilihatnya. Di situ ia melihat Cu Kiong bersama ketujuh pengawalnya sedang duduk mengelilingi meja dan bercakap-cakap.
"Thaijin, mengapa kau menyuruh dia yang pergi melakukan pencurian itu? Dan mengapa pula ia harus membunuh Pangeran Ciu, ayahnya sendiri?" seorang di antara Kamkeng-chit-sian berkata, "Kami rasa Thaijin terlalu mempercayainya. Ia masih sangat muda dan orang baru, bagaimana kalau ia nanti membuka rahasia kepada orang lain?" Wajah Cu Kiong yang tampan itu tertawa manis sekali.
"Kalian jangan khawatir. Gadis itu lihai ilmu silatnya dan dia bisa dipercaya. Pula, ia akan menjadi seorang selirku yang tercinta! Ia harus membunuh Pangeran Ciu karena pangeran itu terlalu jujur sehingga tidak mau memihak kepada kita. Ia tak dapat dipercaya maka lebih baik ia mati, dan oleh tangan anaknya sendiri pula! Tentang pencurian barang di gedung Pangeran Leng, itu memang kusengaja. Gadis itu mencintaiku, tapi aku hendak menguji kesetiaannya dulu. Kalau ia benar-benar setia, maka pantaslah ia menjadi selirku nomor satu." Ketujuh pengawal itu mengangguk-angguk dan pada saat itu Thian Hwa merasa betapa tubuhnya menjadi lemas.
Hampir saja ia tidak dapat menahan tangisnya karena semua kata-kata yang keluar dari mulut Cu Kiong itu terdengar oleh telinganya bagaikan kata-kata yang sangat keji dan menghina, sehingga rasanya bagaikan ujung pisau yang menusuk-nusuk jantungnya. Tapi ia dapat menguasai dirinya dan dengan hati-hati sekali ia turun ke kamarnya. Ia segera memanggil pelayan dan memerintahkan memberitahu pada Pangeran Cu Kiong bahwa ia telah datang dan meminta bertemu. Dengan wajah pucat Thian Hwa menanti datangnya Cu Kiong ke kamarnya. Ia merasa terhina sekali. Menjadi selir yang tercinta? Diuji kesetiaannya baru pantas menjadi selir? Selir? Bangsat benar! Alangkah hinanya! Ia masih dapat menetapkan gelora hatinya ketika Cu Kiong bertindak masuk ke dalam kamarnya sambil tersenyum-senyum dan ketika pemuda itu hendak memeluknya, ia segera mencegahnya.
"Koko, coba katakan dengan terus terang, apakah kau sudah kawin?" tanyanya dengan suara sedapat-dapatnya dibuat tenang. Cu Kiong terkejut sekali melihat perubahan sikap gadis ini. Dia tersenyum dan duduk di atas sebuah kursi sambil memandang wajah Thian Hwa yang bersandar ke dinding.
"Kau tahu bahwa aku belum kawin."
"Tapi... tapi kau sudah mempunyai selir?" Cu Kiong tertawa keras.
"Ha, ha, Niocu! Apakah kau cemburu? Itu kan hal biasa, tiap pangeran mempunyai selir! Tapi selirku tidak sebanyak mereka, hanya ada lima orang dan kau..."
"Dan aku akan kaujadikan selir? Selir ke berapakah?" Suaranya terdengar menyeramkan dan tangis telah memenuhi kerongkongannya. Cu Kiong berdiri dan hendak memegang tangannya, tapi Thian Hwa menolaknya sehingga pangeran itu duduk lagi.
"Thian Hwa, kau tahu bahwa aku cinta padamu. Kau tentu akan menjadi selirku nomor satu!"
"Dan kau kata akan menjadi isterimu."
"Apakah bedanya, Niocu? Untuk menjadi isteri pertama, tak mungkin, karena aku sudah bertunangan semenjak kecil dengan puteri seorang bangsawan dalam keraton." Merahlah wajah Thian Hwa.
"Bagus sekali! Jadi kau pun hanya seorang bangsat rendah yang berkedok bangsawan belaka!"
"Moi-moi! Apa katamu? Mengapa demikian? Sudah lazimnya seorang pangeran mempunyai banyak selir, kau tak perlu cemburu!"
"Bangsat, siapa yang cemburu?" Thian Hwa mengulur tangan menampar dan karena tak sempat berkelit, maka pipi Cui Kong kena tampar keras sekali.
"Kalau aku tidak ingat bahwa semua ini terjadi karena kebodohanku sendiri, kau tentu akan kubunuh!"
"Niocu, jangan begitu. Bukankah kita saling mencinta? Kalau kau kehendaki, biarlah kau menjadi selirku yang sah, isteri ke dua!" Thian Hwa merasa tertusuk sekali hatinya dan ia tak tahan lagi sehingga air matanya mengucur deras.
"Kau... kau... menghinaku! Kau kira aku ingin mendapat kedudukan sebagai isteri pangeran? Kau kira aku mencinta kau karena pangkatmu, karena hartamu? Ah... manusia rendah budi, kukira tadinya bahwa cintamu semurni cintaku, tak tahunya, kau hanya tukang mempermainkan hati wanita belaka. Kau gunakan wajahmu yang tampan itu untuk menutup wajah aslimu yang sebenarnya hanyalah seekor srigala yang kejam dan jahat! Nasib Ibu terulang lagi..." Cu Kiong maju dan hendak merayu, tapi Thian Hwa mencabut pedangnya.
"Pergi! Pergi sebelum kutebas batang lehermu!" Tapi Cu Kiong berkata,
"Thian Hwa, aku cinta padamu dan harus menahanmu. Aku cinta padamu dan aku akan mendapatkan dirimu, biarpun harus kugunakan kekerasan untuk itu!"
"Bangsat besar!" Tapi pada saat itu Cu Kiong sudah meloncat keluar dan bertepuk tangan. Ketika Thian Hwa tiba di luar, ketujuh pengawal berada di situ mengurungnya.
"Thian Hwa, kau tidak boleh pergi."
"Cu Kiong, dengarlah baik-baik! Aku tidak membunuhmu karena aku menyesali kebodohanku sendiri. Aku pun cinta padamu, biarlah ketujuh kaki tanganku ini mendengar dan menjadi saksi. Tapi aku bukanlah perempuan serendah yang kauduga. Aku lebih baik mati daripada duduk di sampingmu dan menderita karena pengertian bahwa kau hanya mempermainkan diriku! Terkutuklah semua lelaki semacammu ini!"
"Thian Hwa, aku sudah berlaku baik kepadamu, apakah kau ini akan mengkhianatiku? Manakah barang yang kau rampas dari Pangeran Leng?"
"Hm, kau masih menduga serendah itu! Aku tidak sudi mencampuri urusanmu yang kotor! Barang yang hendak kaurampas itu telah dibawa pergi oleh Pat-chiu Lo-mo! Kaucarilah sendiri. Nah, aku pergi dan selama hidup akan kukutuk kepalsuanmu!" Thian Hwa lalu meloncat ke atas, tapi Cu Kiong berteriak kepada pengawalnya.
"Tangkap dia!" Thian Hwa lalu dikurung oleh ketujuh pengawal itu. Ternyata kepandaian ketujuh orang itu hebat juga dan tidak heran mereka dijuluki Kamkeng-chit-sian atau Tujuh Dewa dari Kamkeng. Pedang mereka dimainkan bergabung menjadi satu dan benar-benar Thian Hwa sibuk dan terdesak. Apalagi pada saat itu, perasaan hati gadis itu sedang hancur luluh karena asmara gagal, maka gerakannya menjadi lemah dan kurang gesit. Kedukaan hatinya yang patah cinta itu membuat Thian Hwa kurang bersemangat. Maka ia segera terdesak hebat oleh ketujuh orang pengeroyoknya yang tangguh. Selagi ia terdesak dan keadaannya gawat sekali, terancam maut, tiba-tiba terdengar bentakan nyaring.
"Moi-moi, aku datang membantumu!" Sesosok bayangan hitam berkelebat dan dengan gerakan yang amat cepat dan kuat dia memutar pedangnya sedemikian rupa sehingga kepungan tujuh orang Kamkeng-chit-sian menjadi kacau, apalagi ketika seorang pengeroyok tertusuk pundaknya roboh sambil menjerit. Akan tetapi pedang Si Bayangan Hitam itu berkelebat dan orang itu pun tak dapat bergerak lagi, lehernya terbabat pedang dan dia tewas seketika! Thian Hwa menjadi girang sekali ketika mengenal bayangan itu yang bukan lain adalah Ui Yan Bun, putera Ui Hauw, pemuda yang menjadi sahabat dan juga kakak seperguruannya karena pemuda itu juga menerima gemblengan Thian Bong Sianjin.
"Bun-ko (Kakak Bun), kau datang?" seru Thian Hwa dan kini semangatnya bangkit kembali. Mereka berdua lalu menggerakkan pedang dengan dahsyat sehingga permainan pedang lawan yang tinggal enam orang itu menjadi kacau. Dalam waktu yang tidak terlalu lama, pedang di tangan Thian Hwa sudah merobohkan dua orang pengeroyok dan pedang Yan Bun telah merobohkan seorang lagi. Melihat betapa dalam waktu singkat empat orang kawan mereka roboh dan tewas, tiga orang yang lain menjadi jerih dan mereka berlompatan melarikan diri. Yan Bun melompat dan mengejar Pangeran Cu Kiong yang hendak lari ke dalam. Dia dapat mencengkeram lengan pangeran yang tampan itu. Akan tetapi sebelum ia turun tangan lebih lanjut, tiba-tiba terdengar Thian Hwa berseru keras.
"Twako, jangan bunuh dia!" Yan Bun melepaskan lengan pemuda itu dan memandang kepada Thian Hwa dengan heran.
"Bukankah dia majikan mereka?" tanya Yan Bun. Akan tetapi Thian Hwa tidak menjawab, hanya melompat ke depan Pangeran Cu Kiong dan menatap wajah pangeran itu. Pemuda bangsawan itu menjadi pucat sekali, tubuhnya menggigil ketakutan, sedangkan Thian Hwa memandang dengan kedua mata penuh air mata dan ia menggigit bibir sendiri menahan tangis. Kemudian, setelah memandang lama sekali, ia lalu membalikkan tubuh dan meloncat ke atas genteng sambil berkata dengan suara terisak.
"Twako... hayo... kita pergi!" Mendengar ini, Yan Bun segera melompat dan mengikuti gadis itu dengan hati menduga-duga.
Thian Hwa dan Yan Bun berdiri di atas air Sungai Huang-ho. Mereka seakan-akan berdiri di atas air, padahal sebenarnya mereka menginjak sepasang papan terompah air. Thian Hwa, seperti biasa mengenakan pakaian serba putih seperti pakaian berkabung. Biarpun ia sudah bertemu dengan ayah kandungnya, namun ia masih menganggap dirinya yatim piatu sehingga ia akan berkabung selama hidupnya. Yan Bun mengenakan pakaian serba biru, warna kesukaannya sejak dulu. Wajah Thian Hwa yang cantik jelita itu muram, diliputi kesedihan. Memang hati gadis itu mengalami kenyataan yang menyedihkan. Pertama ia sudah menemukan ayah kandungnya, akan tetapi ayah kandung macam apa! Ayah kandungnya adalah seorang pangeran, namun seorang laki-laki yang menyia-nyiakan ibunya sehingga ibunya diusir dan hanyut di Sungai Huang-ho!
Dan kini ayah kandungnya itu malah menjadi gila! Pukulan batin ini ditambah pukulan lain yang lebih menyakitkan hatinya. Ia jatuh cinta kepada Pangeran Cu Kiong yang ternyata merupakan laki-laki yang sama palsunya dengan Pangeran Ciu Wan Kong, ayah kandungnya yang telah menyia-nyiakan ibunya! Pangeran Cu Kiong yang dicintanya itu pun ternyata hanya ingin memanfaatkan dirinya, untuk dijadikan seorang selir yang tenaganya dapat membantunya untuk bersaing dan saling berebut kekuasaan dengan para pangeran lain. Ia merasa terhina sekali dan terjadi pertentangan hebat dalam hatinya antara cinta dan benci terhadap Pangeran Cu Kiong. Dalam usianya yang delapan belas tahun ini, baru pertama kalinya ia jatuh cinta, yaitu kepada Pangeran Cu Kiong, namun ternyata ia telah salah pilih dan kegagalan cintanya ini sungguh menyakitkan sekali!
"Hwa-moi (Adik Hwa), benar-benarkah engkau akan meninggalkan aku dan tidak akan kembali?" tanya Yan Bun dengan alis berkerut membayangkan kekecewaan dan kedukaan atas keputusan gadis yang dicintanya itu. Thian Hwa mengangguk.
"Benar, Bun-ko, aku hendak mencari Kong-kong (Kakek) Thian Bong Sianjin dan mengajak dia merantau sepanjang Sungai Huang-ho."
"Hwa-moi... maafkan kalau aku bicara lancang, akan tetapi... sesungguhnya... aku dan Ayahku mengharapkan agar engkau... dapat menjadi... kawan hidupku untuk selamanya." Thian Hwa memandang wajah pemuda itu dengan terharu. Dalam hatinya ia harus mengakui bahwa Yan Bun adalah seorang pemuda yang baik sekali. Sulitlah mencari seorang pemuda sebaik dia. Akan tetapi luka di hatinya karena kegagalan cinta pertama masih terasa nyeri dan ia tidak ingin mengulang kesalahannya telah jatuh cinta kepada seorang pemuda kepada seorang laki-laki setelah melihat betapa palsunya cinta laki-laki seperti cinta ayah kandungnya terhadap ibunya dan cinta Pangeran Cu Kiong terhadap dirinya.
"Maafkan aku, Twako. Menyesal sekali bahwa terpaksa aku tidak dapat menerimanya. Bun-twako, engkau adalah seorang pemuda yang tampan dan gagah dan berbudi mulia, sedangkan aku... aku tidak berharga... aku yatim piatu, tidak pantas menjadi pendampingmu..."
"Ah, jangan merendahkan diri seperti itu, Hwa-moi. Kata-katamu menikam perasaanku. Bagiku, engkau adalah seorang gadis yang paling mulia di dunia ini. Dan engkau tentu mengetahui dan merasakan bahwa aku... aku mencintamu, Hwa-moi."
"Ah, Twako. Harapanku, agar engkau jangan berpikir tentang itu karena aku... aku sama sekali belum berpikir tentang cinta dan jodoh, Twako. Maafkan aku."
"Hwa-moi, harap engkau suka berterus terang. Apakah engkau... mencinta pangeran muda itu? Katakanlah terus terang, aku akan dapat memaklumi dan tidak menyalahkanmu!" Wajah pemuda itu berubah agak pucat ketika dia menyambung,
"Maaf, Hwa-moi, aku tidak bermaksud menyinggung perasaanmu," Thian Hwa tersenyum getir, menghela napas lalu berkata dengan suara tegas.
"Memang benar, Twako. Aku cinta padanya, akan tetapi aku juga benci padanya! Nah, selamat tinggal, Twako!" Thian Hwa menggerakkan tubuhnya dan papan terompah yang menjadi semacam papan selancar itu meluncur dengan cepatnya, mengikuti aliran Sungai Huang-ho dan sebentar saja sudah jauh dan hanya tampak seperti sebuah titik putih.
Yan Bun berdiri memandang ke arah titik putih itu sampai akhirnya titik itu menghilang. Ketika dia membalikkan tubuhnya untuk kembali ke perkampungan ayahnya, kedua mata pemuda itu basah dan mukanya pucat!
TAMAT
Dewi Sungai Kuning Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
JanTena, http://indozone.net/literatures/literature/1029
29 Mei 2011 jam 7:08pm
Kisah Si Naga Langit Eps 17 Kisah Si Pedang Kilat Eps 2 Jodoh Si Naga Langit Eps 5