Ceritasilat Novel Online

Kisah Si Naga Langit 15


Kisah Si Naga Langit Karya Kho Ping Hoo Bagian 15




Pek Hong Nio-cu atau Puteri Moguhai meninggalkan kota Leng-ciu menunggang kudanya. Biarpun ia puteri Kaisar, namun ia berjiwa pendekar. Hal ini berkat ibunya yang sering menceritakan tentang sepak terjang para pendekar persilatan yang selalu berjuang untuk menegakkan keadilan dan kebenaran, selalu menentang kejahatan, melawan para penindas dan membela rakyat kecil yang tertindas. Karena itulah, ia seringkali meninggalkan istana dan merantau ke daerah-daerah. Setiap bertemu kejahatan, ia pasti menantang yang jahat dan memberi hajaran keras. Banyak pembesar yang korup menerima hajaran keras darinya dan banyak gerombolan penjahat dibasminya. Kaisar yang mendengar akan sepak
terjang puterinya ini, merasa kagum dan bangga, maka lalu menghadiahkan pedang bengkok berukir naga emas yang menjadi tanda kuasaan besar. Semua pembesar maklum bahwa pemilik pedang naga emas itu berkuasa seperti kaisar sendiri, boleh menghukum atau membunuh siapa saja tanpa ijin kaisar!

Ketika Pek Hong Nio-cu menjalankan kudanya dengan santai keluar kota Leng-ciu, tiba-tiba ada bayangan berkelebat dari belakangnya dan tahu-tahu di tengah jalan berdiri seorang pemuda. Jalan itu sepi, tidak ada orang lain kecuali mereka berdua. Pemuda itu berdiri tegak di tengah jalan, jelas menghadang perjalanan kudanya.

Pek Hong Nio-cu mengerutkan alisnya. Ia memperhatikan seorang pemuda biasa saja, menggendong buntalan seperti orang-orang yang melakukan perjalanan jauh, pakaiannya sederhana dan wajah pemuda itupun biasa saja walaupun dapat dibilang tampan namun tidak ada yang terlalu menonjol atau mencolok. Seorang pemuda dusun biasa!

"Hei, minggir kamu! Apa tidak melihat kudaku hendak lewat? Apa ingin tertubruk kuda!" tegurnya.

Pemuda itu adalah Thian Liong. Dengan tenang dia lalu mengangkat kedua tangannya ke depan dada sambil membungkuk sedikit sebagai penghormatan.

"Maafkan aku, Pek Hong Nio-cu......"

"Eh! Dari mana engkau mengenal nama julukanku?" Pek Hong Nio-cu menegur, agak kesal karena perjalanannya terganggu.

"Aku mendengar dari orang-orang yang menyaksikan engkau menghajar orang pembesar brengsek di kota Leng-ciu tadi! Sungguh hebat sekali perbuatanmu tadi, nona. Aku merasa kagum sekali kepadamu!"

"Hemm, aku tidak butuh pujianmu!" bentak Pek Hong Nio-cu karena sudah sering ia mendengar laki-laki memujinya yang sebetulnya hanya merupakan rayuan untuk menyenangkan hatinya. Ia sudah mendapatkan kenyataan bahwa semua adalah perayu-perayu gombal kalau sudah berhadapan dengan wanita cantik!

"Aku tidak memuji kosong, nona, melainkan bicara sebenarnya!"

"Sudahlah, aku tidak mau mendengar ocehanmu. Apa maksudmu menghadang perjalananku? Minggir, atau kutabrak engkau!"

"Maaf, Pek Hong Nio-cu. Tadi, ketika melihat engkau beraksi, aku mengira bahwa engkau adalah seorang gadis yang pernah kukenal, gadis yang mencuri pusakaku."

"Tikus busuk!" Pek Hong Nio-cu yang pada dasarnya berwatak keras dan galak itu sudah melompat turun dari punggung kudanya. Agar kuda itu tidak melarikan diri, ia mengikatkan kendali kuda pada sebatang pohon di tepi jalan dan cepat ia kini berdiri menghadapi Thian Liong dengan sikap menantang.

"Kurang ajar, berani engkau mengira aku sebagai pencuri?"

Thian Liong kini memandang dengan mata terbelalak. Bukan, gadis ini bukanlah gadis berpakaian merah, pencuri kitab Ngo-heng Lian-hoan Kun-hoat milik Kun-lun-pai itu. Hanya bentuk tubuhnya saja yang sama, juga sama-sama cantik jelita.

Setelah Pek Hong Nio-cu turun dari kuda dan Thian Liong memandang wajahnya dengan penuh perhatian, dia terbelalak. Wajah yang bulat itu, pandang mata tajam dan senyum mengejek itu, dan terutama tahi lalat di ujung bibir kanan itu! Tak salah lagi! Siapa, lagi kalau bukan Ang Hwa Sian-li Thio Siang In? Memang benar, Ang Hwa Sian-li berpakaian serba hijau, akan tetapi pakaian mudah saja diganti, dari yang berwarna hijau kini menjadi yang berwarna putih. Tahi lalat itu, tak salah lagi! Thian Liong tertawa dan melangkah maju lalu menudingkan telunjuknya ke arah hidung gadis itu.

"Hei! Bukankah engkau Thio Siang In?"

"Ngawur! Siapa itu Thio Siang In?" Pek Hong Nio-cu membentak kehilangan kesabaran karena menganggap pemuda itu main-main.

"Aih, In-moi (adik In), masa engkau sudah lupa kepadaku? Atau pura-pura lupa? Aku Souw Thian Liong! Jangan marah kepadaku dan lupakanlah hal yang lalu. Kitab itu sudah kukembalikan yang berhak, yaitu Siauw-lim-pai yang menjadi pemilik sah. Maafkan kalau dulu aku tidak dapat meminjamkannya kepadamu, In-moi."

"Ngaco! jangan kira engkau dapat main-main dan kurang ajar kepadaku. Sambut ini!" Bentak Pek Hong Nio-cu ia sudah menerjang dengan pukulan kilat ke arah ulu hati Thian Liong.

Melihat pukulan yang cepat dan kuat sekali itu, Thian Liong cepat mengelak mundur.

"In-moi, aku tidak main-main, dan aku tidak ingin berkelahi denganmu."

Akan tetapi Pek Hong Nio-cu, malah menyerang semakin ganas dan gencar. Serangan-serangan gadis itu sungguh tak boleh dipandang ringan karena pukulannya mengandung tenaga sakti yang amat kuat.

Thian Liong menjadi terkejut dan timbul kegembiraannya untuk menguji kembali kepandaian gadis ini yang dulu pernah dia kalahkan. Siapa tahu Siang In sudah mempelajari ilmu-ilmu baru yang lebih lihai. Maka dia cepat mengelak dan membalas serangan lawan dengan tamparan-tamparannya yang kuat.

Pek Hong Nio-cu yang kini merasa terkejut dan heran. Pemuda yang disangkanya pemuda dusun biasa itu ternyata bukan main. Tidak saja dapat menghindarkan serangannya yang cepat dan bertubi, bahkan mampu membalas dengan tamparan yang mengandung tenaga sakti yang kuat. Pek Hong Nio-cu menjadi penasaran sekali lalu mengerahkan seluruh tenaga sin-kangnya dan menyerang dengan dorongan telapak tangannya. Thian Liong ingin mengukur tenaga gadis itu maka diapun menyambut dengan tangkisan sambil mengerahkan sinkangnya pula.

"Wuuuttt...... dukkk!" Tubuh Pek Hong Nio-cu terdorong ke belakang sampai lima langkah! Ia terbelalak dan menjadi marah karena melihat pemuda itu hanya mundur selangkah saja. Dalam adu tenaga sakti ini jelas bahwa ia kalah kuat.

"Srettt......!!" Tampak gulungan sinar merah berkelebat dan setelah sinar itu bergulung-gulung, lalu sinar itu mencuat dan menyambar ke arah kepala Thian Liong. Itulah senjata sabuk merah yang telah diloloskan Pek Hong Nio-cu dari pinggangnya.

"Hyaattt""!" Sinar merah itu menyambar cepat sekali, akan tetapi Thian Liong yang maklum akan berbahayanya senjata sabuk sutera merah itu, sudah cepat merendahkan dirinya sehingga sabuk itu lewat di atas kepalanya. Begitu sinar itu lewat di atas kepala, tangan Thian Liong menyambar dan ujung sabuk sudah dapat dipegangnya!

Pek Hong Nio-cu terkejut. Ia mencoba untuk menarik sabuknya, namun tetap saja ujung sabuk berada di tangan Thian Liong, tak dapat terlepas dari pegangannya. Pek Hong Nio-cu marah sekali cepat ia maju dan mengirim tendangan berantai ke arah tubuh Thian Liong. Pemuda ini menggunakan tangan kanannya yang bebas untuk menangkis tendangan-tendangan itu sehingga gadis itu merasa kakinya nyeri bertemu dengan tangan Thian Liong. Ia membetot sekuat tenaga.

Thian Liong khawatir kalau-kalau sabuk sutera merah itu putus. Dia tidak mau merusak senjata lawan, maka tiba-tiba dia melepaskan pegangannya dan otomatis tubuh Pek Hong Nio-cu terjengkang ke belakang. Thian Liong terkejut karena gadis itu tentu akan terbanting jatuh. Akan tetapi ternyata tidak. Tubuh yang padat langsing itu membuat pok-sai (jungkir balik) ke belakang sampai lima kali dengan indahnya dan tidak terbanting sama sekali, dan kembali berdiri dengan tegak, bahkan sabuk sutera itu telah dilibatkan kembali ke pinggangnya. Agaknya sambil berjungkir balik tadi ia masih sempat menyimpan kembali sabuknya.

"Hebat!" Thian Liong memuji kagum.

Gadis itu memiliki gin-kang (ilmu meringankan tubuh) yang bagus. Akan tetapi yang dia puji malah semakin marah. Pek Hong Nio-cu menganggap pujian Thian Liong itu sebagai ejekan dan kini begitu tangan kanannya bergerak, ia sudah mengeluarkan pedang bengkoknya yang mengeluarkan cahaya berkilauan saking tajamnya!

"Manusia sombong!" bentak gadis itu, kemarahannya memuncak karena dua kali ia telah kalah, pertama dalam ilmu silat tangan kosong, bahkan kedua kalinya, ia yang bersenjatakan sabuk sutera merah tidak mampu mengalahkan pemuda yang bertangan kosong itu.

"Kalau memang engkau gagah, cabut pedangmu dan lawan pedangku ini!"

Thian Liong mulai menyesal mengapa dia jadi menimbulkan permusuhan yang berlarut-larut dengan gadis yang galak, lihai dan jelas berjiwa pendekar yang tadi menentang pembesar-pembesar jahat sewenang-wenang itu. Dan diapun mulai curiga. Dia sama sekali tidak merasa salah lihat. Gadis ini jelas Thio Siang In yang berjuluk Ang Hwa Sian-li yang rambutnya dihias mawar merah dan pakaiannya serba hijau. Akan tetapi selain tanda-tanda itu, juga Ang Hwa Sian-li bersenjata sepasang pedang.

Akan tetapi gadis ini, yang wajahnya serupa benar, pakaiannya serba putih, bersenjata sabuk sutera merah, dan pedangnya bukan sepasang pedang melainkan sebatang pedang bengkok! Selain itu, ketika tadi bertanding, dia melihat ilmu silat mereka juga sama sekali berbeda. Ilmu silat yang dimainkan Thio Siang itu memiliki dasar ilmu silat dari daerah barat, bahkan ganas dan keji seperti yang biasa dipergunakan orang-orang golongan sesat. Akan tetapi sebaliknya ilmu silat yang dimainkan Pek Hong Nio-cu ini memiliki dasar yang bersih. Ternyata ilmu silat antara kedua orang gadis itu sama sekali berbeda, walaupun tingkatnya kira-kira hampir sama.

Setelah mempertimbangkan semua ini, dia lalu menjura dengan hormat.

"Maafkan aku, nona, kalau aku telah salah mengenal orang. Biarpun nona serupa benar, bahkan persis, seorang gadis bernama Thio Siang In yang berjuluk Ang Hwa Sian-li, namun senjata dan ilmu silat nona sama sekali berlainan. Karena itu aku mulai yakin bahwa aku telah salah mengenal orang. Karena itu, harap engkau suka maafkan aku karena aku tidak bermaksud buruk terhadap dirimu."

Pek Hong Nio-cu memandang dengan sinar mata mencorong. Mulutnya merengut dan kembali jantung Thian Liong berdebar. Kalau cemberut marah seperti itu, sungguh persis sekali gadis ini dengan Thio Siang In. Ang Hwa Sian-li, Thio Siang In dulu juga cemberut seperti ini ketika dia marah kepadanya!

"Engkau sudah memamerkan kepandaian mengalahkan aku dua kali dan masih bilang tidak berniat buruk terhadap aku? Hayo cabut pedangmu dan jangan kepalang kalau hendak mengujiku. Sebelum engkau dapat mengalahkan pedangku ini, aku masih belum mengaku kalah!"

"Nona, sungguh aku tidak ingin bermusuhan denganmu. Aku Souw Thian Liong mengaku bersalah dan mohon maaf," kembali pemuda itu berkata.

"Hemm, aku tahu, engkau tentu Si Naga Langit yang selama ini disohorkan orang maka engkau menjadi begini sombong! Kalau engkau tidak mau mencabut pedangmu, terpaksa aku akan menyerangmu juga! Lihat pedang!" Pek Hong Nio-cu sudah menerjang dengan pedang bengkoknya dan begitu menyerang, ia sudah mengeluarkan jurus yang lihai dari ilmu pedang Sin-coa Kiamsut, yaitu jurus Sin-coa-jut-thong (Ular Sakti Keluar Guha) dan pedangnya berubah menjadi sinar terang meluncur ke arah dada Thian Liong!

Thian Liong terkejut. Tadi, serangan tangan kosong dan sabuk sutera merah gadis itu baginya masih belum merupakan serangan terlalu berbahaya. Akan tetapi serangan pedang bengkok ini sama sekali tidak boleh dipandang ringan. Maka, dia cepat melompat ke belakang sambil mencabut Thian-liong-kiam.

Melihat pemuda itu sudah mencabut pedangnya, Pek Hong Nio-cu menyerang lagi, lebih ganas dari pada tadi. Pedangnya membuat gerakan seperti seekor ular dan tahu-tahu pedang itu "mematuk" dari samping. Serangannya tak terduga-duga dan gerakannya selain cepat juga aneh. Beberapa kali Thian Liong mengandalkan gin-kang untuk mengelak dan berlompatan ke sana-sini. Akan tetapi bayangan tubuhnya dikejar terus oleh gulungan sinar mengkilat pedang bengkok itu. Ketika pedang bengkok itu menyambar ke arah lehernya dengan bacokan dari samping, terpaksa Thian Liong menangkis dengan pedangnya.

"Tranggggg""!" Bunga api berpijar terang ketika dua batang pedang bertemu. Thian-liong-kiam adalah sebatang pusaka ampuh, akan tetapi ternyata pedang bengkok pemberian kaisar itupun ampuh sekali sehingga tidak menjadi rusak. Akan tetapi Pek Hong Nio-cu merasa betapa tangannya yang memegang pedang gemetar dan terguncang hebat.

Kembali ia terkejut dan diam-diam ia harus mengakui bahwa lawannya yang berjuluk Si Naga Langit itu benar-benar lihai sekali. Akan tetapi dasar ia seorang gadis yang keras kepala, ia tidak mau mengaku kalah dan menyerang terus dengan mengeluarkan semua kemampuannya.

Thian Liong mengimbangi permainan pedang gadis itu. Dia mendapat kenyataan bahwa ilmu pedang gadis itu benar-benar merupakan ilmu pedang tingkat tinggi yang hebat sekali. Hanya sayang, agaknya gadis ini belum menguasai benar ilmu pedang itu, belum matang permainannya. Andaikata gadis itu sudah menguasai sepenuhnya, Thian Liong maklum bahwa pedangnya itu akan merupakan bahaya besar bagi lawannya.

Memang sesungguhnya demikian. Pek Hong Nio-cu atau yang nama aselinya Puteri Moguhai ini menerima ilmu pedang itu dari "pamannya", yaitu yang oleh ibunya disebut sahabat she Sie, yang memberikan tiga kitab ilmu silat kepadanya, juga hiasan rambut burung Hong Perak. Sayang ia hendak menyembunyikan ilmu pemberian "Paman Sie" itu dari orang lain, terpaksa melatihnya sendiri secara diam-diam, tidak di bawah pimpinan seorang ahli sehingga ia tidak dapat menguasai ilmu itu sepenuhnya.

Thian Liong mengimbangi permainan pedang gadis itu. Dia tidak ingin membuat gadis itu sakit hati, tidak mau mengalahkan secara mutlak, apa lagi melukainya. Maka setelah bertanding ramai selama tigapuluh jurus, tiba-tiba Thian Liong mengerahkan sin-kangnya, membuat pedang lawan melekat pada pedangnya. Pek Hong Nio-cu terkejut dan mencoba membetot lepas pedangnya, namun tanpa hasil, dan tiba-tiba Thian Liong membentak.

"Lepas!" Dia menggerakkan pedangnya dengan sentakan dan Pek Hong Nio-cu tidak dapat mempertahankan pedangnya lagi. Pedang itu seperti direnggut lepas dari tangannya, lalu melayang ke atas. Akan tetapi Thian Liong sengaja melompat ke belakang sehingga ketika pedang meluncur turun, Pek Hong Nio-cu dapat menangkapnya dengan tangan kanannya. Wajahnya berubah merah sekali dan ia menyimpan lagi pedangnya di sarung pedangnya.

Thian Liong cepat menghampiri dan dia menjura dengan kedua tangan dirangkap di depan dada dan membungkuk hormat.

"Harap engkau suka maafkan aku, nona. Sesungguhnya aku tidak bermaksud untuk bertanding denganmu dan aku tadi tidak berbohong ketika mengatakan bahwa engkau sungguh serupa benar dengan seorang pendekar wanita bernama Thio Siang In yang berjuluk Ang Hwa Sian-li, karena itu, maafkan kesalahanku mengenal orang, nona."

Sikap yang sopan dari Thian Liong sedikitnya menurunkan kadar kemarahan dan rasa penasaran di hati Pek Hong Nio-cu. Ia memandang pemuda itu dengan penuh perhatian, diam-diam merasa kagum karena pemuda itu benar-benar telah mengalahkannya. Begitu sederhana dan rendah hati, akan tetapi sesungguhnya memiliki ilmu silat yang amat tinggi.
"Hemm, engkau tentu hendak mengatakan bahwa ilmu kepandaian gadis pendekar sahabatmu itu jauh lebih tinggi daripada kepandaianku, bukan?" kata Pek Hong Nio-cu dengan suara mengandung kepahitan.

"Ah, tidak sama sekali, nona! Tingkat kepandaian kalian berimbang, bahkan, aku mau berterus terang, kalau ilmu pedangmu tadi sudah kaukuasai sepenuhnya dan kaulatih dengan sempurna, jangankan Ang Hwa Sian-li, bahkan aku sendiri belum tentu dapat menang melawanmu."

Pek Hong Nio-cu mulai tertarik, selama beberapa bulan ini ia sudah mendengar akan ketenaran nama Si Naga Langit yang disohorkan sebagai seorang pendekar yang selalu menentang kejahatan. Akan tetapi biasanya, begitu yang ia dengar, para pendekar itu selain menjadi pembela kebenaran dan keadilan, juga bersikap memusuhi pemerintahan Kerajaan Kin. Sebagai seorang yang berjiwa pendekar, Pek Hong Nio-cu tentu saja merasa cocok dengan sepak terjang para pendekar itu yang selalu menentang kejahatan. Akan tetapi sebagai seorang puteri Kaisar Kerajaan Kin, sebagai bangsa Nuchen yang mendirikan wangsa Kin, tentu saja ia merasa tidak senang kalau para pendekar menentang dan memusuhi pemerintah bangsanya! Memang, iapun tahu bahwa ibunya adalah seorang pribumi, seorang wanita berbangsa Han, akan tetapi ayahnya adalah Kaisar berbangsa Nuchen, Kaisar Kerajaan Kin!

"Souw Thian Liong, benarkah engkau yang disohorkan orang dengan sebutan Si Naga Langit?" Pek Nio-cu bertanya sambil menatap tajam wajah pemuda itu.

Wajah Thian Liong berubah kemerahan. Dia merasa rikuh juga dengan namanya yang disohorkan orang itu. Semua sepak terjangnya hanya didorong sebagai kewajibannya semata, sama sekali bukan untuk mencari ketenaran nama.

"Yah, begitulah orang-orang menyebut saya, padahal itu adalah nama aseli saya," katanya malu-malu.

"Jadi engkau seorang pendekar yang malang melintang di dunia kang-ouw, menentang kejahatan dan membela kebenaran dan keadilan?"

"Akan kuusahakan semampuku untuk membela kebenaran dan keadilan yang sudah menjadi kewajibanku, Pek Hong Nio-cu. Memang untuk itulah aku dengan susah payah mempelajari ilmu silat."

"Dan sebagai seorang Han, engkau berkewajiban pula untuk menentang dan memusuhi pemerintah Kerajaan Kin?" gadis itu mendesakkan pertanyaan ini.

Akan tetapi Pek Hong Nio-cu memandang heran ketika pemuda itu menggeleng kepalanya lalu menghela napas.

"Kerajaan Sung Utara telah kalah dan kekalahan itu harus diakui. Urusan negara diselesaikan oleh negara melalui perang. Apa artinya bagi perorangan untuk melawan balatentara negara? Tidak, Pek Hong Nio-cu, aku tidak mencampuri urusan negara. Mungkin kalau negaraku berperang, bisa saja aku membantu dan menjadi perajurit. Akan tetapi di luar itu, aku tidak mencampuri. Aku menentang bangsa apa saja yang bertindak sewenang-wenang dan jahat. Biar bangsaku sendiri, kalau dia melakukan kejahatan tentu akan kutentang dan biar bangsa apapun kalau dia berada di pihak benar dan tertindas, akan kubela. Aku setuju sekali dengan tindakanmu di kota Leng-ciu tadi, Pek Hong Nio-cu."

"Tindakan yang mana?" tanya gadis itu, semakin tertarik.

"Engkau telah membela seorang gadis pribumi dengan keluarganya ketika diganggu pemuda-pemuda putera pembesar, bahkan menghajar para pengawal mereka, kemudian engkau memberi hajaran keras kepada dua orang pembesar Kerajaan Kin. Tindakanmu itu membuktikan bahwa engkau berjiwa pendekar dan bertindak membela kebenaran dan keadilan tanpa pandang bulu sehingga para pembesarmu sendiri, kalau-kalau mereka bersalah, kauhukum berat! Karena itulah aku merasa kagum sekali kepadamu, Pek Hong Nio-cu."

Pek Hong Nio-cu mengerutkan alisnya.

"Pembesarku? Apa maksudmu dengan kata itu, Souw Thian Liong?"

'Thian Liong tersenyum.

"Engkau tidak perlu bersembunyi lagi, Pek Hong Nio-cu. Aku sekarang dapat menduga siapa engkau sebenarnya."

"Hemm, begitukah? Coba katakan, siapa aku?" kata gadis itu dengan kepala ditegakkan, anggun menantang.

"Engkau tentu seorang puteri bangsawan yang berkedudukan tinggi sekali, dan kalau aku tidak keliru menduga, engkau tentu puteri dari istana, puteri Kaisar Kerajaan Kin sendiri."

Sepasang alis itu berkerut, sepasang mata itu berkilat, dan hati Pek Hong Nio-cu semakin tertarik. Selama ini tidak ada orang yang tahu bahwa ia adalah puteri kaisar. Ketika ia memperlihatkan pedang bengkok, dua orang pembesar itupun hanya tahu bahwa ia mempunyai kekuasaan dari kaisar untuk menghukum siapa saja yang bersalah akan tetapi merekapun tidak tahu sama sekali bahwa ia sesungguhnya adalah puteri kaisar.

"Bagaimana engkau dapat menduga begitu, Souw Thian Liong?" tanyanya.

"Mudah saja. Sikapmu, begitu anggun dan agung dan sikap seperti ini jelas menunjukkan bahwa engkau seorang puteri bangsawan tinggi. Kemudian, setelah engkau memperlihatkan pedang bengkok itu kepada dua orang pembesar brengsek, mereka berlutut ketakutan. Berarti pedang itu menjadi tanda kekuasaanmu yang amat tinggi. Setelah engkau mencabut pedang itu dan kita bertanding, aku melihat ukiran naga emas pada pedang bengkok itu dan ternyata pedang itu juga merupakan pedang pusaka yang mampu beradu dengan pedangku. Ukiran naga emas hanyalah patut dimiliki seorang kaisar, maka mudah menduga bahwa tentu engkau mendapatkan pedang itu dari Kaisar sendiri. Demikianlah, aku dapat menduga bahwa engkau adalah puteri Kaisar Kerajaan Kin, melihat bahwa pakaianmu adalah pakaian seorang puteri bangsa Kin, Pek Hong Nio-cu."

Pek Hong Nio-cu kini memandang kagum kepada pemuda itu. Harus ia akui bahwa dalam hal ilmu silat, ia masih kalah jauh dibandingkan pemuda itu dan ternyata pemuda itu juga cerdik sekali sehingga dapat menduga bahwa ia adalah puteri kaisar sendiri.

"Hemm, kiranya engkau selain lihai ilmu silatmu, juga mempunyai pikiran yang amat cerdik, Souw Thian Liong. Aku girang dapat berkenalan dengan seorang pandai sepertimu, apa lagi aku sudah mendengar bahwa engkau adalah seorang pendekar penentang kejahatan yang dikenal sebagai Si Naga Langit!"

Puteri itu kini memandangnya dengan senyum manis. Hilang kini kesan angkuh dan galak dan wajah itu menjadi cantik jelita dan manis sekali. Kembali Thian Liong terheran-heran karena dia ingat benar bahwa gadis di depannya itu adalah wajah Ang Hwa Sian-li Thio Siang In! Pandang mata penuh keheranan dan penasaran dari mata pemuda itu agaknya dapat terlihat oleh sang puteri.

"Hei, Souw Thian Liong! Kenapa engkau memandangku seperti itu?" ia menegur, alisnya berkerut.

Thian Liong menyadari keadaannya dan ia cepat menjura dengan hormat.

"Maafkan saya, tuan puteri......!"

"Hushh......, jangan sebut aku seperti itu. Biarpun engkau sudah mengetahui siapa aku sebenarnya, jangan sebut-sebut itu dan anggap saja engkau berhadapan dengan Pek Hong Nio-cu, seorang pendekar wanita biasa, bukan seorang puteri kaisar!"

Thian Liong tersenyum maklum.

"Baiklah, Pek Hong Nio-cu, dan maafkan aku tadi yang memandangmu dengan penuh perasaan heran dan juga penasaran. Sesungguhnyalah, wajahmu, gerak-gerikmu, tiada bedanya sedikitpun dengan Ang Hwa Sian-li Thio Siang In. Kalau engkau mengaku bahwa engkau adalah Thio Siang In yang menyamar, aku tentu percaya sepenuhnya."

Pek Hong Nio-cu memandang penuh selidik dan tampaknya ia tertarik sekali.

"Hemm, coba perhatikan dengan seksama. Sama benarkah aku dengan gadis bernama Ang Hwa Sian-li Thio Siang In itu?"

"Sungguh mati, sama sekali tidak ada bedanya. Bahkan tahi lalat di ujung bibir itu sama benar! Wajah dan bentuk tubuh serupa, sedikitpun tiada bedanya. Yang beda hanyalah pakaian dan ilmu silat berikut senjatanya, juga gaya bahasanya."

"Bagaimana perbedaannya?"

"Ang Hwa Sian-li Thio Siang In itu berpakaian serba hijau dan rambutnya terhias bunga mawar merah. Senjatanya juga sebatang pedang dan gerakan silatnya sungguh berbeda dengan gerakanmu, ilmu silatnya bersifat keji seperti biasa dimiliki golongan sesat. Akan tetapi ia sendiri bukan seorang gadis jahat yang sesat. Bukan, ia juga berjiwa pendekar, hanya agak keras dan galak dan gaya bicaranya seperti logat orang-orang dari daerah barat."

"Ia itu seorang...... sahabat baikmu?" tanya Pek Hong Nio-cu yang kini duduk di atas sebuah batu di tepi jalan. Thian Liong juga duduk di atas sebatang akar pohon yang menonjol di atas tanah.

"Tidak juga, secara kebetulan saja kami saling jumpa ketika aku berkunjung ke Bu-tong-pai dan melerai perkelahian antara ia dan pihak Bu-tong-pai karena salah paham." Dengan singkat dia lalu menceritakan tentang perjumpaannya dengan Ang Hwa Sian-li di Bu-tong-pai di mana gadis itu berselisih dengan orang-orang Bu-tong-pai karena kesalahpahaman mereka.

"Hemm, kalau begitu gadis itu jelas bukan aku karena aku belum pernah pergi berkunjung ke Bu-tong-pai," kata Pek Hong Nio-cu.

"Akan tetapi tadi engkau mengira aku seorang gadis yang mencuri kitab pusakamu. Apa artinya itu? Apakah Thio Siang In itu mencuri kitab pusakamu?"

"Bukan, bukan Ang Hwa Sian-li Thio Siang In yang mencuri kitab itu. Akan tetapi seorang gadis cantik lain. Tadinya aku mengira engkau adalah ia karena perawakan kalian mirip. Gadis itu berpakaian serba merah muda, juga cantik jelita, cerdik, galak. Gerakan ilmu silatnya seperti berdasarkan ilmu silat Tibet. Ia lihai sekali dan ia telah mencuri kitab pusaka Ngo-heng Lian-hoan Kun-hoat, kitab pusaka yang seharusnya kuserahkan kepada pemiliknya yang sah, yaitu Kun-lun-pai. Akan tetapi kitab itu dicurinya dan aku sekarang sedang mencari gadis itu untuk merampas kitab itu kembali."

"Wah, Souw Thian Liong! Agaknya di mana-mana engkau selalu bentrok dengan gadis-gadis cantik yang lihai! Tadi engkau juga mengatakan bahwa engkau bentrok dengan Thio Siang In itu karena ia juga ingin pinjam kitab!"

Thian Liong menghela napas panjang.

"Memang nasibku yang buruk. Thio Siang In hendak memaksa pinjam kitab Sam-jong Cin-keng yang harus kuserahkan kepada Siauw-lim-pai. Maka kami bertanding dan aku menyesal sekali kenapa aku harus selalu bertanding dengan gadis cantik yang lihai. Dan sekarang di sini aku harus bertanding pula melawan engkau, Pek Hong Nio-cu. Aahhh, agaknya sudah nasibku harus dibenci semua gadis cantik yang lihai."

"Akan tetapi aku tidak benci padamu, Souw Thian Liong. Aku bahkan kagum padamu. Akan tetapi untuk apa sih engkau membagi-bagikan kitab? Kepada Bu-tong-pai dan kepada Siauw-lim-pai, mungkin kepada partai persilatan lain? Kenapa engkau membagi-bagikan kitab kepada mereka?"

Mendengar kata-kata itu, Thian Liong tersenyum dan hatinya merasa girang. Gadis baju merah itu telah mencuri kitab milik Kun-lun-pai sehingga dia kini harus bersusah payah mencarinya, pada hal dia tidak tahu siapa nama gadis itu dan di mana tempat tinggalnya. Dan Ang Hwa Sian-li Thio Siang In juga hendak memaksa pinjam kitab yang bukan miliknya sehingga terpaksa mereka harus bertanding dan gadis itu pergi dengan menangis dan benci kepadanya. Akan tetapi gadis ini, puteri kaisar Kerajaan Kin tidak benci kepadanya bahkan mengatakan kagum!

"Terima kasih, Pek Hong Nio-cu. Senang hatiku mendengar bahwa engkau tidak benci kepadaku. Baiklah kuceritakan mengapa aku membagi-bagi kitab kepada para pimpinan partai persilatan. Semua itu adalah atas perintah guruku. Ketika aku turun gunung, suhu menyerahkan tiga buah kitab kepadaku untuk diberikan kepada pemiliknya, masing- masing, yaitu kitab Sam-jong Cin-keng kepada Siauw-lim-pai, kitab Kiauw-ta Sin-na kepada Bu-tong-pai, dan kitab Ngo-heng Lian-hoan Kun-hoat kepada Kun-lun-pai. Tiga buah kitab itu tadinya dicuri orang dari pemiliknya masing-masing dan kebetulan suhu yang dapat menemukannya kembali dan menyuruh aku mengembalikannya kepada yang berhak. Akan tetapi di tengah jalan, gadis baju merah yang tidak kukenal itu telah mencuri Ngo-heng Lian-hoan Kun-hoat milik Kun-lun-pai. Kitab Sam-jong Cin-keng sudah kuserahkan kepada Siauw-lim-pai dan demikian pula kitab Kiauw-ta Sin-na kukembalikan kepada Bu-tong-pai. Tadinya Ang Hwa Sian-li Thio Siang In hendak pinjam kitab Sam-jong Cin-keng milik Siauw-lim-pai dengan paksa kepadaku, akan tetapi kutolak sehingga kami bertanding dan ia pergi dengan meninggalkan kebencian kepadaku. Sekarang, terpaksa aku harus mencari gadis baju merah untuk minta kembali kitab milik Kun-lun-pai itu."

"Hemm, siapakah gurumu itu, Thian Liong?"

"Guruku dikenal sebagai Yok-sian (Tabib Dewa) bernama Tiong Lee Cin-jin."

"Ahh, manusia sakti yang dikabarkan setengah dewa itu? Aku sudah mendengar akan nama besarnya! Pantas engkau begini lihai, kiranya engkau murid Si Tabib Dewa itu. Kau tahu, Thian Liong, ketika di istana ayahku berjangkit penyakit yang amat berbahaya sehingga banyak yang sakit pagi sorenya mati dan sakit sore paginya mati, Si Tabib Dewa itu melayang di atas kota raja dan membagi-bagikan obat penawar penyakit. Tak seorangpun melihatnya dengan jelas, hanya melihat bayangannya saja berkelebat ketika dia meninggalkan obat itu."

Thian Liong mengangguk-angguk. Dia percaya cerita itu karena memang gurunya sering melakukan hal-hal yang aneh dan dia tahu bahwa bagi gurunya, semua manusia itu, bangsa apapun juga, sama saja dan siap menjulurkan tangan menolong.

"Suhu memang selalu siap menolong siapapun juga," katanya pendek.

"Wah, melihat engkau membagi-bagikan ilmu silat, aku jadi teringat kepada Paman Sie!"

Thian Liong memandang wajah yang cantik jelita itu dan bertanya,

"Paman Sie? Siapakah dia?"

Pek Hong Nio-cu menggeleng kepala dan tersenyum.

"Entahlah, kata Ibuku, dia sahabat baik ibuku dahulu dan dia juga guruku karena seperti juga engkau, dia membagi tiga buah kitab kepadaku. Akan tetapi dia jauh lebih tua daripada engkau, Thian Liong."

"Nio-cu, setelah aku mengetahui bahwa engkau sesungguhnya puteri kaisar Kerajaan Kin, bolehkah aku mengetehui siapa namamu?"

"Namaku adalah Puteri Moguhai."

"Dan gurumu?"

"Sudah kukatakan, guruku terakhir adalah Paman Sie yang memberi tiga buah kitab kepadaku dan aku melatih sendiri ilmu-ilmu dari tiga kitab itu. Guru-guruku yang pertama, yang mengajarkan ilmu silat dasar kepadaku adalah jagoan-jagoan istana."

Thian Liong mengangguk-angguk.

"Pemanmu itu tentu seorang yang berilmu tinggi. Terus terang saja, Pek Hong Nio-cu, kalau ilmu sabuk dan ilmu pedangmu itu kau latih di bawah bimbingan seorang guru pandai, tentu engkau akan menguasainya dengan baik dan kurasa dengan itu akan sukar dicari orang yang akan mampu menandingimu. Ilmu-ilmumu itu kulihat tadi amat hebat, dahsyat dan sulit sekali diduga perubahannya, hanya sayang engkau belum menguasainya secara matang.

"Tepat,sekali dugaanmu, Thian Liong. Aku merasa girang bertemu denganmu dan kuharap eagkau dapat memberi petunjuk kepadaku."

"Ah mana mungkin, Nio-cu? Yang dapat memberi petunjuk tentu hanya pamanmu itu yang tentu sudah menguasai tiga kitab yang diberikan kepadamu."

"Sekarang, engkau hendak pergi ke mana, Thian Liong?"

"Sudah kukatakan tadi, aku haruslah mencari gadis baju merah yang telah mencuri kitab Ngo-heng Lian-hoan Kun-hoat milik Kun-lun-pai. Dan mengingat ilmu silatnya berdasar aliran Tibet, aku akan mencari ke barat."

"Ah, kebetulan sekali, Thian Liong. Akupun akan melakukan perjalanan ke sana. Di dekat perbatasan Sin-kiang terdapat seorang pamanku, Pangeran Kuang yang memimpin pasukan yang berjaga di perbatasan. Aku akan menemui dia untuk suatu keperluan penting sekali dan mungkin saja dia yang mempunyai banyak pengalaman akan dapat memberi petunjuk kepadamu tentang gadis baju merah yang mencuri kitab itu. Kita dapat melakukan perjalanan bersama."

Dalam hati Thian Liong timbul perasaan rikuh. Melakukan perjalanan bersama seorang gadis yang demikian cantik jelita, puteri kaisar pula?

''Akan tetapi".." dia meragu.

"Hemm, apakah engkau tidak suka melakukan perjalanan bersama seorang puteri kerajaan bangsa Nuchen yang memusuhi bangsa Han? Katakan saja terus terang!" kata Nio-cu sambil memandang tajam.

Thian Liong menggeleng kepalanya.

"Tidak, Nio-cu. Permusuhan antara kerajaan tidak berarti permusuhan perorangan. Aku tidak memusuhimu, akan tetapi"" apa akan kata orang kalau aku, seorang pemuda, melakukan perjalanan berdua dengan engkau, seorang gadis......?" Dia menahan mulutnya tidak mengatakan cantik jelita.

Kisah Si Naga Langit Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo



"Apa salahnya? Yang penting kita bersahabat dan tidak melakukan sesuatu yang tidak pantas. Kalau ada mulut usil bicara sembarangan, biar kupukul hancur mulut itu!"

Thian Liong menghela napas. Bagaimana dia dapat mencari alasan untuk menolaknya? Dia tidak berdaya menghadapi gadis yang berhati keras namun tidak dapat dibantah karena ucapannya memang benar itu.

"Baiklah kalau engkau memang menghendaki demikian. Akan tetapi kuperingatkan, melakukan perjalanan bersama aku tidak akan menyenangkan karena aku seorang yang miskin dan biasa hidup sederhana, terkadang harus melewatkan malam di tempat terbuka, di kuil-kuil kosong, di guha-guha, bahkan di bawah pohon. Mana mungkin engkau dapat melakukan perjalanan seperti itu?"

Pek Hong Nio-cu tertawa, suara tawanya mengingatkan Thian Liong kepada Ang Hwa Sian-li. Alangkah miripnya. Sama-sama begitu bebas kalau tertawa, tidak ditutup-tutupi atau malu-malu seperti gadis Han pada umumnya. Bebas membuka mulut sehingga tampak deretan gigi yang putih rapi seperti mutiara, bagian dalam mulut yang merah dan lidah yang merah muda.

"Tentu saja aku tidak sudi tidur di tempat-tempat kotor seperti itu!" katanya setelah tawanya reda.

"Akan tetapi akupun tidak perlu harus sengsara seperti itu. Kau tahu, aku membawa cukup banyak emas untuk membeli segala keperluan kita di dalam perjalanan, dan pedangku ini dapat membuat semua pembesar di daerah bertekuk lutut dun melayani segala keperluanku. Maka, kalau kita melakukan perjalanan bersama, perlu apa kita harus bersusah payah seperti yang kaugambarkan tadi? Mari kita berangkat. Tak jauh dari sini, di depan sana terdapat sebuah dusun dan kita dapat membeli seekor kuda untukmu."

Thian Liong merasa rikuh kalau selalu dibiayai gadis itu, akan tetapi dia tidak dapat membantah. Bagaimanapun juga, gadis itu adalah puteri kaisar, tentu saja kaya raya dan memiliki kekuasaan tinggi. Diapun lalu berjalan cepat di samping kuda yang ditunggangi Pek Hong Nio-cu.

Dua orang gadis itu melewati perbatasan kerajaan Sung Selatan dan memasuki daerah Kerajaan Kin utara. Keduanya berjalan kaki dan melihat langkah mereka yang tegap dan gesit, apalagi melihat pedang yang tergantung di punggung mereka, mudah diduga bahwa mereka berdua adalah gadis-gadis kang-ouw yang pandai ilmu silat. Yang seorang berusia duapuluh tahun, bermuka bulat dan cantik, bertubuh tinggi ramping. Yang kedua lebih pendek, juga cantik dengan wajahnya yang berbentuk bulat telur, usianya sekitar sembilanbelas tahun. Keduanya memiliki wajah cantik dan bentuk tubuhnya yang menggiurkan sehingga di dalam perjalanan mereka, banyak mata pria mencuri pandang dengan kagum. Namun jarang ada yang berani mengganggu mereka, melihat pedang yang tergantung di pungung mereka.

Mereka memang bukan gadis sembarangan, melainkan dua orang murid Kun-lun-pai yang pandai ilmu silat, terutama lihai ilmu pedang mereka. Yang pertama adalah Kim Lan dan yang kedua adalah su-moinya (adik seperguruannya) Ai Yin.

Seperti telah diceritakan di bagian depan, karena dikalahkan oleh Thian Liong, sesuai dengan sumpah yang diharuskan oleh guru mereka, Biauw In Su-thai, Kim Lan harus menjadi isteri Thian Liong dan kalau Thian Liong menolak, Kim Lan harus membunuhnya! Sakit hati karena cintanya ditolak pria, membuat Biauw In Su-thai mengambil sumpah para murid wanitanya seperti itu. Kemudian ia menyesal ketika ditegur Kui Beng Thaisu ketua Kun-lun-pai dan ia dihukum harus bertapa di pondok pengasingan. Akan tetapi Kim Lan sudah terlanjur pergi untuk mencari dan membunuh Thian Liong yang menolak menjadi suaminya. Ai Yin yang amat mencinta sucinya (kakak seperguruannya) ikut pergi bersama Kim Lan.

Demikianlah, setelah melakukan perjalanan selama hampir dua bulan Kim Lan belum juga dapat menemukan Thian Liong. Ia lalu mengajak su-moinya untuk pergi mengunjungi bibinya yang tinggal di dusun Lui-touw di Propinsi Shantung, di lembah Sungai Huang-ho. Ai Yin menurut saja kepada sucinya.

"Suci, kalau sekiranya tinggal di dusun tempat tinggal bibimu itu enak, lebih baik kita tinggal saja di sana dan tidak usah ke Kun-lun-pai, tidak perlu bersusah payah mencari Souw Thian Liong. Mencari seseorang yang tidak diketahui ke mana perginya, mana mungkin? Ke mana kita harus mencarinya? Kita hidup di dusun saja bertani, suci," kata Ai Yin.

Mereka melepaskan lelah di bawah pohon besar di pinggir sebuah hutan. Siang itu hawa udara amat panasnya dan mereka telah melakukan perjalanan sejak pagi tadi.

Kim Lan menyusut keringat dari lehernya, memandang wajah su-moinya dengan alis berkerut dan pandang mata sedih. Lalu ia menghela napas panjang.

"Aih, mana bisa begitu, su-moi? Kita berdua sudah yatim piatu dan sejak kecil kita dirawat dan dididik oleh subo Biauw In Su-thai penuh kasih sayang. Subo menganggap kita seperti anaknya sendiri ia menjadi pengganti orang tua kita. Bagaimana kita dapat menjadi murid murtad? Apa lagi kita sudah bersumpah dan sungguh memalukan seorang gagah mengingkari sumpahnya sendiri!"

Tiba-tiba tampak debu mengepul tinggi dan terdengar derap kaki banyak kuda mendatangi dari utara. Setelah dekat ternyata mereka adalah sepasukan perajurit terdiri dari duapuluh empat orang, dipimpin oleh dua orang perwira. Dari pakaian seragam mereka mudah diketahui bahwa mereka adalah pasukan Kerajaan Kin yang menguasai daerah sebelah utara Sungai Yang-ce. Ketika dua orang perwira itu melihat dua orang gadis yang duduk di tepi hutan pinggir jalan itu, mereka segera mengangkat tangan memberi isyarat agar pasukannya berhenti. Semua kuda berhenti dan tentu saja hal ini menimbulkan debu mengepul tinggi di siang hari terik itu.

"Menyebalkan!" kata Kim Lan yang pemarah dan ia bangkit berdiri sambil menutupi hidung dan mulutnya dengan sehelai saputangan. Ai Yin juga menutupi hidung dan mulut, dan bangkit berdiri pula.

Dua orang perwira dan anak buah mereka itu telah melihat bahwa dua orang gadis itu cantik dan hanya berdua saja, maka timbul keisengan mereka. Dua orang perwira itu segera saling bicara, kemudian sambil tertawa keduanya melompat turun dari atas kuda masing-masing dan melangkah dengan gagah menghampiri Kim Lan dan Ai Yin. Dua losin perajurit itupun berlompatan dari atas kuda mereka, tertawa-tawa melihat tingkah kedua orang pimpinan mereka yang mereka anggap lucu. Sudah berbulan-bulan mereka meronda di perbatasan dan haus akan hiburan maka peristiwa ini mereka anggap sebagai hiburan yang menarik.

Kim Lan berbisik kepada su-moinya.

"Su-moi, hati-hati, mereka itu agaknya mencari perkara."

Dua orang gadis itu memandang penuh perhatian. Dua orang perwira itu berusia empatpuluh tahun lebih, yang seorang bertubuh tinggi besar bermuka merah halus, sedangkan yang kedua bertubuh lebih pendek gempal dengan muka penuh brewok. Dengan langah gagah dibuat-buat kedua orang perwira itu menghampiri dua orang gadis itu. Kini Kim Lan dan Ai Yin sudah melepaskan tangan dari muka mereka sehingga tampaklah wajah mereka yang cantik. Dua orang perwira itu memandang penuh gairah dan menyeringai lebar.

Setelah mereka berhadapan, dua orang perwira itu cengar-cengir memandang kepada dua orang gadis itu dan yang tinggi besar itu bertanya kepada Kim Lan.

"Nona berdua siapakah dan mengapa berada di sini?"

Kim Lan mengerutkan alisnya dan memang pada dasarnya Kim Lan berwatak galak dan angkuh, maka ia menjawab dengan sikap galak dan suara ketus.

"Kami berada di tempat umum dan tidak ada sangkut pautnya dengan kalian. Ada urusan apa engkau bertanya-tanya?"

"Ha-ha-ha!" Perwira tinggi besar itu tertawa dan menoleh kepada temannya yang brewokan.

"Lihat, betapa galaknya nona ini! Wah, aku suka yang galak-galak begini, makin liar semakin menyenangkan. Ha-ha-ha! Biarlah engkau mendapat yang satunya itu, Koan-te (adik Koan)!"

"Ha-ha-ha!" Yang brewokan juga tertawa senang.

"Aku lebih suka yang sikapnya halus ini!"

"Nona, jangan galak-galak. Marilah kalian ikut dengan kami, bersenang-senang daripada kesepian di sini!" Setelah berkata demikian, perwira tinggi besar menjulurkan tangannya hendak mengusap pipi Kim Lan.

Bukan main marahnya Kim Lan.

"Wwuutt...... plak!" Tiba-tiba Kim Lan sudah maju menampar dengan tangannya, mengenai pipi si perwira tinggi besar sehingga orang itu terhuyung ke belakang. Agaknya perwira itu memiliki tubuh yang kuat maka tamparan itu hanya membuatnya terhuyung.

"Jahanam, engkau bosan hidup!" Kim Lan membentak dan sekali tangannya bergerak, ia sudah mencabut pedangnya. Ai Yin juga sudah mencabut pedangnya dan kedua orang gadis itu sudah siap memasang kuda-kuda dengan gagahnya!

Dua orang perwira itu marah sekali. Terutama si tinggi besar yang kena ditampar pipinya. Dia juga mencabut golok yang tergantung di pinggangnya, diikuti perwira yang brewok.

"Berani kalian melawan kami! Kalian tentu mata-mata dari pemberontak di Kerajaan Sung Selatan!" kata si perwira tinggi besar.

"Kalau kami laporkan kepada Perdana Menteri Chin Kui, kalian tentu akan ditangkap dan dihukum berat!" kata pula perwira brewokan dan mereka berdua memberi isyarat kepada para anak buahnya. Dua losin perajurit itu sudah bergerak maju mengepung dengan senjata tajam di tangan.

"Hayo kalian dua orang gadis Han cepat membuang pedang kalian dan menyerah, atau kalian akan mati dengan tubuh hancur!" bentak pula perwira tinggi besar.

"Jahanam busuk, kalian semua yang akan mampus oleh pedang kami!" bentak Kim Lan dan iapun sudah menerjang maju dengan gerakan pedangnya, menyerang Perwira tinggi besar.

Ai Yin tidak tinggal diam, iapun menggunakan pedangnya Menyerang perwira brewokan. Gerakan pedang dua orang gadis murid Kun-lun-pai ini hebat bukan main, cepat dan dahsyat karena mereka mainkan Tian-lui-kiamsut (ilmu Pedang Kilat Guntur). Dua orang perwira itu cepat menggerakkan golok mereka menangkis sambil berlompatan ke belakang, terkejut menghadapi serangan kilat yang dahsyat itu. Perajurit-perajurit lalu bergerak mengeroyok dan dua orang gadis itu menghadapi pengeroyokan duapuluh empat orang perajurit yang dipimpin dua orang perwira itu.

Dengan memainkan pedang mereka menggunakan ilmu pedang andalan mereka, yaitu Tian-lui-kiamsut, Kim Lan dan Ai Yin mengamuk bagaikan dua ekor singa betina yang haus darah. Para murid wanita Kun-lun-pai yang langsung di bawah bimbingan Biauw In Su-thai memang sudah terbiasa dengan sifat galak dan keras guru mereka itu sehingga mereka sendiri rata-rata memiliki sifat yang keras. Berbeda dengan para murid wanita yang langsung ditangani Hui In Sian-kouw yang berwatak lembut, merekapun rata-rata berwatak lembut.

Kim Lan dan Ai Yin sebagai murid-murid kesayangan Biauw In Su-thai berwatak keras walaupun Ai Yin lebih lembut dibandingkan Kim Lan yang galak. Mereka berdua mengamuk dengan pedang mereka dan sebentar saja sudah ada empat orang perajurit terjungkal mandi darah dan pedang kedua orang gadis itu sudah mulai berlumuran darah. Akan tetapi, dua orang perwira itu kiranya bukan orang-orang lemah. Mereka berdua merupakan lawan yang lumayan tangguhnya dan dibantu oleh banyak perajurit cukup merepotkan Kim Lan dan Ai Yin yang mulai terdesak karena hujan serangan para pengeroyoknya yang jauh lebih banyak itu.

Biarpun mereka dapat merobohkan dua orang perajurit lagi, namun Kim Lan dan Ai Yin kini merasa lelah sekali. Mereka terpaksa harus saling membelakangi agar tidak dapat diserang dari belakang dan mereka hanya dapat mempertahankan diri, memutar pedang untuk menghalau semua senjata yang datang menyerang seperti hujan itu.

Kim Lan dan Ai Yin mulai merasa lelah sekali Mereka kehabisan tenaga. Untuk melarikan diri, mereka tidak mempunyai kesempatan lagi. Pula, andaikata mereka dapat melarikan diri, pasukan itu dapat mengejar mereka dengan naik kuda. Tidak ada jalan lain, mereka harus melawan terus mempertahankan diri sampai akhir.

Akan tetapi dua orang perwira itu agaknya tidak menghendaki mereka berdua mati begitu saja.

"Kepung terus, jangan bunuh mereka. Tangkap hidup-hidup!" teriak dua orang perwira itu.

Inilah yang ditakuti dua orang gadis murid Kun-lun-pai itu. Membayangkan tertawan hidup-hidup oleh segerombolan orang ini, mereka berdua menjadi ngeri. Lebih baik mati daripada tertawan hidup-hidup, pikir mereka sambil mengamuk terus.

Pada saat yang amat gawat bagi kedua orang gadis itu, tiba-tiba terdengar bentakan nyaring.

"Ji-wi Li-hiap (Dua Nona Pendekar) jangan khawatir, mari kita basmi tikus-tikus busuk ini!"

Sesosok bayangan berkelebat dan tahu-tahu beberapa orang perajurit Kin terpelanting, diterjang seorang pemuda yang gerakannya amat dahsyat. Pemuda itu berusia sekitar duapuluh enam tahun, berkulit putih, wajahnya bundar dan tampan dengan alis tebal dan sepasang mata tajam, sikapnya gagah. Tubuhnya sedang dan tegap dan pakaiannya bersih rapi. Dia memegang sebatang pedang dengan ronce merah. Begitu dia menerjang dengan pedangnya, empat orang perajurit berpelantingan.

Para pengeroyoknya terkejut sekali, apalagi ketika pemuda itu dengan gerakan pedangnya yang amat dahsyat kini menerjang kepada dua orang perwira dan dalam beberapa jurus saja dua orang perwira itu terjungkal mandi darah dan tewas! Tentu saja para perajurit menjadi terkejut dan gentar. Sebaliknya, Kim Lan dan Ai Yin menjadi girang dan bersemangat. Mereka berdua mengamuk dan sudah merobohkan empat orang pengeroyok lagi.

Akhirnya, sisa pasukan itu ketakutan dan mereka lalu melarikan diri, berloncatan ke atas punggung kuda mereka dan membalapkan kuda meninggalkan tempat yang berbahaya itu, meninggalkan mayat-mayat dua orang perwira dan kawan-kawan mereka.

Kim Lan dan Ai Yin kini berhadapan dengan pemuda yang telah menyelamatkan mereka dari ancaman bahaya yang bagi mereka lebih mengerikan dari pada maut itu.

Kim Lan merangkap kedua tangan ke depan dada memberi hormat kepada pemuda itu, diturut oleh Ai Yin.

"Terima kasih atas bantuan tai-hiap (pendekar besar) yang telah menyelamatkan kami berdua dari pengeroyokan pasukan itu."

Pemuda itu membalas penghormatan mereka lalu dengan sikap halus dan senyum ramah dia menjawab,

"Harap ji-wi lihiap (pendekar wanita berdua) tidak bersikap sungkan. Sudah menjadi kewajiban kita untuk saling bantu menentang kejahatan. Mari kita bicara di tempat lain. Tempat ini tidak nyaman untuk bicara, pula kalau sisa pasukan tadi datang membawa bala bantuan yang besar jumlahnya, kita bisa repot."

Setelah berkata demikian, pemuda itu dengan sikapnya yang hormat mengajak kedua orang gadis meninggalkan tempat itu dan memasuki hutan. Kim Lan dan Ai Yin mengerti bahwa ucapan pemuda itu memang benar, maka merekapun mengikuti pemuda itu dan sebentar saja mereka bertiga yang mempergunakan ilmu berlari cepat sudah meninggalkan tempat di mana mayat-mayat para perajurit bergelimpangan itu. Mereka berhenti di bagian terbuka dalam hutan itu.

"Nah, di sini kita dapat bicara dengan lebih nyaman," kata pemuda itu.

"Perkenalkan, nona berdua, namaku Cia Song, seorang murid Siauw-lim-pai. Kalau aku tidak salah lihat, permainan pedang kalian tadi adalah dari Kun-lun-pai. Benarkah?"

"Tidak salah dugaanmu, Cia-taihiap (pendekar besar Cia)......"

"Aih, nona. Harap jangan sebut tai-hiap padaku. Kita murid-murid dua partai persilatan besar yang segolongan, jadi seperti saudara saja. Kalian seperti adik-adikku seperguruan sendiri."

"Ah, engkau baik sekali, Cia-twako (kakak Cia)!" kata Ai Yin kagum.

"Baiklah, Cia-twako. Perkenalkan, aku bernama Kim Lan dan ini su-moiku (adik seperguruanku) bernama Ai Yin, murid-murid Kun-lun-pai."

"Hemm, Lan-moi dan Yin-moi, senang sekali dapat bertemu dan berkenalan dengan kalian di sini. Akan tetapi, bagaimana sampai kalian berdua dikeroyok tikus-tikus tadi?" tanya Cia Song, murid Siauw-lim-pai yang pernah kita kenal.

Dia adalah murid Hui Sian Hwesio yang pernah bertemu dengan Thian Liong ketika Thian Liong berkunjung ke Siauw-lim-pai untuk menyerahkan kitab Sam-jong Cin-keng kepada Hui Sian Hwesio. Cia Song inilah yang dulu menangkap kemudian membunuh Hui-houw-ong Giam Ti yang dituduh sebagai pemerkosa Kwee Bi Hwa, puteri Kwee Bun To.

"Kami berdua sedang melakukan perjalanan dan tiba di sini ketika rombongan pasukan itu muncul dan mereka hendak ganggu kami, maka kami melawan dan dikeroyok," kata Ai Yin. Gadis ini diam-diam kagum kepada Cia Song yang tampan dan gagah, dan yang telah menyelamatkan ia dan sucinya itu.

"Akan tetapi, kalian berdua jauh-jauh datang ke sini, ada urusan apakah, kalau aku boleh bertanya? Siapa tahu, aku dapat membantu kalian," kata Cia Song dengan sikapnya yang lemah lembut dan ramah.

Kim Lan dan Ai Yin saling berpandangan dan mereka setuju untuk berterus terang kepada pemuda yang menarik hati dan menyenangkan itu. Siapa tahu dia dapat membantu dan menemukan orang yang mereka cari-cari.

"Cia-twako sesungguhnya aku sedang mencari seseorang dan su-moi ini ikut denganku. Susahnya, aku tidak tahu ke mana harus mencari seseorang itu," kata Kim Lan.

"Hemm, siapakah orang yang kaucari itu, Lan-moi? Barangkali saja aku mengenalnya," tanya Cia Song sambil lalu karena sesungguhnya dia tidak tertarik kepada orang yang dicari kedua orang gadis cantik ini.

Akan tetapi jawaban Kim Lan sungguh tak disangka-sangka dan amat mengejutkan hatinya.

"Cia-twako, engkau tentu tidak mengenalnya. Dia adalah seorang pemuda yang bernama Souw Thian Liong."

"Souw Thian Liong......?" tanya Cia Song, tertarik sekali.

"Apakah engkau mengenal dia, Cia-twako?" Tanya Ai Yin.

"Hemm, bukankah yang kalian maksudkan itu, Souw Thian Liong murid dari Tiong Lee Cin-jin?"

"Benar sekali, twako!" seru Kim Lan girang.

"Apakah engkau tahu di mana dia?"

Cia Song mengerutkan alisnya. Tentu saja dia tahu di mana Thian Liong berada! Di Siauw-lim-si dia sudah bergaul akrab dengan Thian Liong dan ia mendengar bahwa sebuah di antara kitab-kitab pelajaran ilmu silat, yaitu Ngo-heng Lian-hoan Kun-hoat yang merupakan kitab pusaka Kun-lun-pai, yang seharusnya oleh Thian Liong dikembalikan kepada Kun-lun-pai, telah dicuri seorang gadis berpakaian merah yang tidak diketahui siapa nama dan di mana tempat tinggalnya. Dia tahu pula bahwa setelah pergi dari Siauw-lim-si, Thian Liong tentu akan mencari gadis pencuri kitab itu sampai dapat ditemukan untuk merampas kembali kitab pusaka Kun-lun-pai.

Diam-diam tanpa diketahui Thian Liong, Cia Song membayangi pemuda itu karena timbul keinginannya untuk menguasai kitab pusaka Kun-lun-pai itu! Dia tahu bahwa Thian Liong berada di kota Kiang-cu, tak jauh dari tempat itu dan Thian Liong dilihatnya telah menyewa sebuah kamar di rumah penginapan. Karena memang niatnya hendak mendahului Thian Liong menemukan gadis yang mencuri kitab pusaka Kun-lun-pai, maka selagi Thian Liong berada di kota itu, dia sengaja keluar kota untuk menyelidiki kalau-kalau gadis berpakaian merah itu berada di sekitar daerah itu dan kebetulan dia melihat Kim Lan dan Ai Yin yang dikeroyok perajurit Kin.

"Mungkin aku dapat membantu kalian mendapatkan Souw Thian Liong. Akan tetapi aku juga ingin sekali mengetahui, mengapa kalian mencari dia?"

"Suci Kim Lan yang mencarinya, twako. Dia adalah calon suami suci!" kata Ai Yin.

Cia Song terkejut dan memandang wajah Kim Lan yang berubah kemerahan.

"Ah, jadi engkau telah bertunangan dengan Souw Thian Liong, Lan-moi? Sungguh tidak kusangka! Kalau begitu, kiong-hi (selamat)!" Cia Song memberi selamat dengan menjura.

"Akan tetapi, kenapa sekarang engkau mencari dia sampai ke sini? Apakah dia pergi tanpa pamit dan ada urusan yang amat penting? Katakanlah terus terang karena aku adalah kenalan baiknya dan aku pasti akan dapat menemukan untukmu."

Dengan muka masih kemerahan, Kim Lan berkata,

"Sebetulnya, dia...... memang melarikan diri dan aku ingin bertemu dengan dia untuk minta keputusannya apakah dia mau menjadi suamiku atau kalau tidak......"

"Hemm, kalau tidak bagaimana?" kejar Cia Song yang menjadi semakin heran.

"Kalau tidak aku...... aku harus membunuhnya!"

Cia Song terbelalak heran.

"Bagaimana pula ini?" tanyanya dengan heran.

"Apa yang terjadi, Lan-moi?"

"Pendeknya, bagiku hanya ada dua pilihan. Dia mau menjadi suamiku atau kalau dia menolak, aku harus membunuhnya!" kata pula Kim Lan.

Cia Song mengerutkan alisnya, lalu dia mengangguk-angguk.

"Hemm, begitukah? Jadi dia dan engkau...... hemm, dia telah......"

"Tidak, tidak begitu, Cia-twako!" bantah Ai Yin yang tahu apa yang diduga pemuda itu.

"Tidak pernah ada hubungan apapun antara Souw Thian Liong dan suci. Akan tetapi suci harus melakukan itu untuk memenuhi sumpahnya, sumpah kami."

"Sumpah? Aku tidak mengerti......" kata Cia Song, semakin heran.

Kim Lan menghela napas panjang lalu berkata,

"Begini, Cia-twako. Karena engkau bersikap baik kepada kami, biarlah kami anggap saudara sendiri dan engkau boleh mengetahui persoalannya. Kami, murid-murid subo, sudah disumpah oleh subo bahwa kami tidak boleh menikah dengan pria kecuali kalau ada pria yang mengalahkan kami dalam pertandingan dan kalau pria itu menolak, kami harus membunuhnya. Kebetulan Souw Thian Liong mengalahkan aku dalam pertandingan, akan tetapi dia menolak untuk menjadi suamiku, bahkan lalu melarikan diri. Karena itu aku harus mencarinya dan minta kepastian darinya."

Cia Song mengangguk-angguk, diam-diam dalam hatinya dia tertawa mendengar tentang sumpah yang aneh itu.

"Hemm, begitukah? Apakah semua murid wanita Kun-lun-pai harus bersumpah seperti itu?"

"Tidak, twako," kata Ai Yin.

"Hanya subo Biauw In Su-thai yang mempunyai peraturan seperti itu dan kami sebagai murid-muridnya harus memenuhi sumpah kami."

"Hemm, aku pernah mendengar bahwa Souw Thian Liong datang ke Kun-lun-pai untuk menyerahkan sebuah kitab pusaka. Benarkah begitu?" tanya Cia Song.

"Ah, engkau tahu juga akan hal itu, Cia-twako?" kata Kim Lan.

"Memang benar, akan tetapi menurut pengakuannya, kitab Ngo-heng Lian-hoan Kun-hoat itu telah dicuri orang."

"Hemm, itu menurut pengakuannya, ya? Aku sudah curiga kepadanya, aku sudah menduga bahwa Souw Thian Liong sebetulnya bukan orang baik-baik. Kitab pusaka Kun-lun-pai itu tentu ingin dia kuasai sendiri dan dia berbohong mengatakan bahwa kitab itu dicuri orang agar mendapat kesempatan untuk mempelajarinya sendiri. Dan kalau dia memang seorang gagah, tentu dia menghormati sumpahmu, Lan-moi. Bukankah mengalahkanmu lalu meninggalkan pergi, membiarkan engkau kebingungan dengan sumpahmu. Dan sementara ini, apa kalian tahu apa yang sedang ia lakukan? Hemm, aku melihat dia berhubungan dengan seorang puteri bangsawan Nuchen."

Kasih Diantara Remaja Eps 1 Kasih Diantara Remaja Eps 20 Pedang Ular Merah Eps 3

Cari Blog Ini