Ceritasilat Novel Online

Pedang Ular Merah 5


Pedang Ular Merah Karya Kho Ping Hoo Bagian 5




"Memang sebaiknya demikian, koko. Akan tetapi, hal ini perlu kita beritahukan kepada keluarga Gu, agar mereka tidak menjadi terkejut dan gelisah, dan mengerti akan siasat kita."

Menjelang malam, kedua orang muda ini mendatangi rumah keluarga Gu, dan memberi-tahukan siasat mereka itu. Karena keluarga Gu tidak melihat jalan keluar dari pada ancaman ini, maka tentu saja mereka menurut segala petunjuk dan kehendak penolong mereka!

Dan pada malam hari ini, datanglah serombongan orang laki-laki yang bertubuh tinggi besar berpakaian seragam dengan sorban merah. Mereka ini adalah anak buah dari Hek-pacu yang datang membawa sebuah tandu untuk mengambil Loan Li. Jumlah mereka lima belas orang, semuanya nampak seram dan galak. Penduduk kampung itu yang sudah mendengar tentang kehendak Hek pa cu untuk mengambil Loan Li, siang-siang sudah menutup pintu dan yang berani keluar hanyalah orang-orang lelaki yang berdiri di depan rumah dengan sikap menghormat. Mereka memandang kepada rombongan orang-orang itu dengan ketakutan, bagaikan melihat serombongan macan tutul yang galak.

Dengan hati tidak karuan rasa, Gu Seng dan istrinya menyambut kedatangan rombongan itu dan dengan memaksa diri menarik muka manis dan ramah tamah, mereka lalu menghidangkan minuman dan makanan. Akan tetapi pemimpin rombongan itu menolak hidangannya sambil berkata,

"Orang she Gu tak perlu menyambut kami. Yang penting segera suruh anakmu berias dan masuk ke dalam tandu, ikut dengan kami. Twako sudah tidak sabar lagi, dan besok siang kau boleh datang ke hutan sebelah barat untuk menerima penghormatan dari twako serta hadiah-hadiah!"

Dengan wajah pucat dan kedua kaki gemetar, loan Li lalu berjalan keluar, dibimbing oleh ibunya, lalu setengah memaksa ibunya menyuruh gadis itu memasuki tandu yang sudah tersedia di depan rumah. Rombongan itu sambil tertawa-tawa melihat gadis ini dan kemudian tandu lalu dipanggul dan dibawalah gadis itu keluar dari dusun memasuki hutan sebelah barat!

Diam diam dua bayangan orang mengikuti gerak gerik rombongan Sorban Merah ini. Mereka bukan lain adalah Tiong Kiat dan Kui Hwa. Mereka mengikuti rombongan itu memasuki hutan dan ternyata bahwa rombongan itu membawa loan Li ke sebuah rumah besar yang terdapat di dalam hutan itu. Akan tetapi, ketika Kui Hwa dan Tiong Kiat mengintai dari atas genteng, mereka melihat bahwa gadis itu dimasukkan ke dalam kamar yang terjaga kuat, sedangkan di tempat itu tidak nampak bayangan Hek-pa cu! Kemudian mereka mendengar dari pembicaraan para penjaga itu bahwa Hek-pa-cu sebetulnya tinggal di kota Heng-yang dan keesokan harinya baru akan datang menjemput calon bini mudanya!

Terpaksa sepasang orang muda ini melewatkan malam itu di dalam hutan, akan tetapi karena mereka berdua dapat saling menghibur maka malam itu dilewatkan dengan penuh kegembiraan. Pada saat seperti itu dalam bujuk dan cumbu rayu Tiong Kiat yang tampan dan manis bahasa, lenyaplah segala keraguan hati Kui Hwa dan cinta kasihnya terhadap Tiong Kiat makin mendalam.

Pada keesokan harinya, baru saja matahari muncul dan burung-burung berkicau riuh rendah menyambut datangnya siang, terdengarlah suara gemuruh dari luar hutan. Suara ini ternyata adalah sorak-sorai yang penuh kegembiraan dari serombongan anggauta-anggauta Sorban Merah terdiri dari empat puluh orang lebih. Mereka mengiringkan seorang laki-laki tinggi besar yang berusia hampir empat puluh tahun, berbaju biru, bercelana hitam dan sorbannya merah sekali. Orang ini berjalan dengan langkah yang gagah dan yang mendatangkan rasa seram pada orang yang melihatnya, adalah sepasang matanya yang liar dan senjatanya yang luar biasa. Senjatanya ini adalah sebuah penggada yang aneh dan mengerikan bentuknya, bulat memanjang dengan ujung tiga meruncing. Penggada ini nampak berat sekali, akan tetapi biarpun senjata besar ini tergantung pada pinggangnya, ia berjalan dengan enak saja, seakan-akan senjata itu hanya merupakan benda yang ringan saja. Inilah dia Teng Sun yang berjuluk Hek pa cu Si Macan Tutul Hitam, kepala dari gerombolan Sorban Merah yang amat terkenal dan ditakuti oleh orang!

Ketika Hek.pa cu dengan rombongan telah tiba di dekat rumah besar itu, tiba tiba dari atas pohon melayang turun dua orang muda yang dengan tenang berdiri di depan kepala gerombolan ini. Teng Sun tercengang melihat seorang gadis cantik dan seorang pemuda tampan berdiri di depannya maka ia membentak keras,

"Jiwi siapakah dan ada keperluan apa kiranya menghadang perjalanan kami?"

"Kaukah yang bernama Hek pa cu Teng Sun?" tanya Tiong Kiat.

"Benar dugaanmu saudara muda yang gagah. Siapakah kalian ini dan keperluan apakah yang membawamu datang ke tempat ini?"

"Hek pa cu! Tak usah kau tahu siapa kami, akan tetapi kedatangan kami ini untuk menamatkan riwayatmu yang buruk! Kau telah memaksa gadis she Gu untuk menjadi bini mudamu! Apakah ini laku seorang jantan? Kau mempergunakan pengaruhmu untuk menakut-nakuti penduduk dusun, untuk mengganggu anak bini orang. Sungguh tidak patut!"

Tiba-tiba Hek-pa-cu Tang Sun terbahak-bahak tertawa mendengar makian-makian ini. la anggap sangat lucu seorang pemuda yang tampak lemah bersama dengan seorang gadis cantik ini berani memaki dan menentangnya! Bahkan orang orang kang-ouw yang ternama saja masih akan berpikir-pikir dulu untuk menantangnya bagaimana dua orang muda yang masih seperti kanak-kanak ini berani berlaku kurang ajar kepadanya?

"Ha, ha, ha, bocah yang masih hijau! Kau perduli apakah dengan segala urusan dan kesenanganku? Kalau kau mau mengambil gadis she Gu itu, ambillah. Aku rela melepaskannya asal saja kau tinggalkan kawanmu itu sebagai gantinya!"

Bukan main marahnya Tiong Kiat mendengar ini, akan tetapi ia kalah dulu oleh Kui Hwa yang juga menjadi luar biasa marahnya.

"Jahanam besar, kau sudah bosan hidup!" teriak Kui Hwa dan tahu-tahu ia telah menyerang Hek-pa-cu dengan pedangnya! Gerakannya amat cepat bagaikan kilat menyambar sehingga kepala perampok itu terkejut sekali. Ia cepat mengelak, akan tetapi ujung sorbannya masih terbabat! Tak disangkanya bahwa gadis cantik ini mempunyai kepandaian demikian hebatnya, maka tahulah dia bahwa ia menghadapi lawan yang tangguh. Cepat ia menarik senjatanya yang hebat itu dan bertempurlah mereka dengan seru.

Sementara itu, Tong Kiat juga sudah mencabut pedang Ang coa-kiam dan sekali ia memutar pedangnya, dua orang anggauta Sorban Merah roboh mandi darah! Anak buah gerombolan Sorban Merah itu berteriak teriak marah dan semua mencabut golok mereka, akan tetapi kembali beberapa orang roboh oleh Tiong Kiat ketika pemuda ini menerjang ke depan! Dalam waktu yang amat singkat saja sudah ada delapan orang yang binasa di ujung pedang Ang coa-kiam! Penjahat-penjahat itu menjadi gentar juga dan merasa ragu-ragu untuk mengeroyok Tiong Kiat.

"Moi moi, kau uruslah anjing-anjing ini, biar aku menolong nona Gu!" Tiong Kiat berseru dan tanpa menanti jawaban kekasihnya, ia lalu berlari ke arah rumah besar di mana Loan Li ditahan. Di situ ia disambut oleh beberapa orang penjaga, akan tetapi mereka bukanlah lawan Tiong Kiat yang lihai, maka bertumpuk-tumpuklah mayat anak buah Sorban Merah, ketika pemuda ini mengamuk sambil menyerbu ke dalam rumah. Sementara itu, pertempuran yang terjadi antara Kui Hwa dan Teng Sun berjalan amat serunya, Hek pa-cu Teng Sun ternyata memang pandai dan kosen. Senjatanya yang besar dan berat itu diputar sedemikian rupa, mendatangkan angin besar dan celakalah Kui Hwa kalau satu kali saja senjata itu mengenai tubuhnya! Senjata ini beratnya sedikitnya ada dua ratus kati dan dimainkan dengan tenaga yang luar biasa kuatnya. Akan tetapi Kui Hwa mempergunakan ginkangnya yang luar biasa sehingga tubuhnya seakan-akan merupakan seekor burung yang menyambar-nyambar dari segala jurusan. Pedangnya berkelebat-kelebat merupakan segulung sinar putih dan tubuhnya kadang kadang mumbul ke atas, melayang dan menyambar dari atas dengan kecepatan luar biasa!

Setelah bertempur lima puluh jurus lebih, Teng Sun merasa terdesak hebat. Pedang di tangan dara manis itu benar-benar amat lihai. Gerakan pedang yang cepat, ditambah pula oleh ginkang yang luar biasa membuat gadis itu kadang-kadang lenyap dari depan matanya. Kalau saja Teng Sun tidak bersenjata penggada yang besar dan berat yang diputar-putar sedemikian rupa sehingga Kui Hwa harus berlaku hati-hati, tentu kepala gerombolan ini sudah roboh sejak tadi!

"Kawan-kawan, bantulah menangkap gadis liar ini!" Teng Sun berseru keras kepada kawannya karena la benar-benar telah kewalahan sekali. Beberapa orang tauwbak (pemimpin gerombolan pembantu-pembantunya) yang semenjak tadi berdiri bengong menonton pertempuran itu, bergerak maju hendak mengeroyok. Mereka adalah empat orang yang bertubuh tinggi besar yang dipilih oleh Hek-pa cu Teng Sun sebagai pembantu-pembantunya. Akan tetapi belum juga mereka dapat menggerakkan golok, tiba-tiba Kui Hwa berseru nyaring dan keras. Tubuhnya melompat ke atas sampai hampir dua tombak, dan dengan gerakan Merak Sakti Mematuk Ular, pedangnya meluncur dari atas ke bawah, melakukan serangan yang luar biasa cepat dan kuatnya! Gerakan ini benar benar mengandalkan ginkang yang sempurna, sehingga tidak terduga sama sekali oleh Hek-pacu Teng Sun. Percuma saja ia mengangkat penggadanya untuk menghantam tubuh yang melayang ke atas itu, karena baru saja ia mengangkat penggadanya, pedang di tangan Kui Hwa telah menyambar dan menancap di tenggorokannya!

Hek-pacu Teng San mengeluarkan suara seperti seekor babi disembelih, tubuhnya terhuyung-huyung, penggadanya terlepas dari pegangan dan ia lalu roboh tak bernapas lagi! Dengan wajah keren, Kui Hwa menghadapi empat orang tauwbak dan para anak buah gerombolan dengan pedang di tangan.

"Siapa telah bosan hidup? Hayo majulah! Biarlah hari ini pedangku membasmi gerombolan Sorban Merah sampai ke akar akarnya!" Sikapnya demikian gagah dan garang sehingga empat orang tauwbak itu saling pandang dan kemudian mereka berempat lalu menjatuhkan diri berlutut di depan Kui Hwa! Kawan kawannya yang puluhan banyaknya ketika melihat empat orang pemimpin itu berlutut, segera menjatuhkan diri pula berlutut sambil meletakkan senjata di atas tanah. Inilah tanda menyerah dan takluk terhadap gadis yang gagah perkasa itu.

"Lihiap yang gagah perkasa. Sepak terjangmu demikian gagah dan amat mengagumkan hati kami seluruh anggauta Sorban Merah. Lihiap jauh lebih gagah dari pada Hek-pa-cu Teng Sun, maka kami seluruh anggauta Sorban Merah menyerah dan mohon ampun dari lihiap. Sudilah kiranya lihiap memimpin kami orang orang bodoh menggantikan kedudukan Hek-pa cu!"

Untuk sesaat, gadis itu berdiri bengong. Tak disangkanya sama sekali bahwa orang-orang yang tinggi besar dan galak itu kini semua berlutut memberi hormat kepadanya, bahkan memilihnya sebagai kepala mereka! Ia tak dapat menjawab, dan akhirnya ia berkata perlahan,

"Aku Can Kui Hwa bukanlah keturunan perampok bagaimana kalian mau mengangkat aku menjadi kepala perampok?"

"Lihiap, harap jangan salah sangka," berkata seorang diantara empat orang tauwbak itu,

"Sesungguhnya rombongan Sorban Merah bukanlah gerombolan perampok. Perkumpulan kami dulunya merupakan perkumpulan orang orang gagah yang bekerja dengan cara jujur, menjaga keamanan kampung-kampung dari serbuan perampok, mengawal pengiriman barang barang atau orang-orang hartawan yang melakukan perjalanan Jauh, dan di samping pekerjaan itu, kami memperdalam kepandaian silat. Semenjak Hek pa-cu datang dan merampas kedudukan ketua, kami diselewengkan dan terpaksa mengikuti jejaknya. Kami kini telah bertobat, dan asal saja lihiap sudi memimpin kami, perkumpulan Sorban Merah akan menjadi perkumpulan yang baik lagi."

Akan tetapi pada saat itu, Kui Hwa teringat kepada Tiong Kiat, maka ia segera bertanya,

"Di manakah adanya kawanku tadi? Dan bagaimanakah dengan nasib nona Gu Loan Li?"

"Kawanmu itupun hebat dan ganas sekali lihiap. Banyak kawan kami telah mati di dalam tangannya. Nona Gu yang ditahan di dalam kamar, telah dirampas dan dibawa lari oleh kawanmu itu."

"Kalau begitu biarlah urusan pengangkatan ketua ini nanti saja dibicarakan lagi setelah aku dapat bertemu dengan kawanku. Dia adalah suhengku dan kalau kalian hendak mencari seorang pemimpin, dialah orangnya, bukan aku!" setelah berkata demikian, sekali ia menggerakkan kedua kakinya, Kui Hwa telah lenyap dari situ, membuat para anggota Sorban Merah menjadi makin kagum saja.

Dengan cepat Kui Hwa berlari kembali ke dusun tempat tinggal Loan Li. Akan tetapi, ketika ia tiba di rumah keluarga Gu Seng, ternyata bahwa keluarga itu masih menanti-nanti dan Tiong Kiat bersama nona Gu belum juga tiba di rumah itu!

Kui Hwa menjadi heran dan juga bercuriga. Tanpa berkata sesuatu kepada keluarga yang memandang penuh kegelisahaan itu, ia melompat pergi dan kembali ke dalam hutan. Ia mencari-cari sampai hari menjadi gelap, akan tetapi ia tak melihat bayangan suhengnya dan nona Gu yang ditolongnya itu. Akhirnya ia kembali lagi ke dusun dan menuju ke rumah keluarga Gu. Lalu apakah yang didengarnya? Keluh kesah dan tangis yang memilukan! Kui Hwa merasa tak enak hati sekali dan cepat ia masuk ke dalam rumah itu lalu menuju ke ruang belakang. la melihat Gu Seng duduk sambiI menangis dan ketika melihat Kui Hwa datang, kakek itu berkata,

"Tidak ada gunanya pertolonganmu nona. akhirnya anakku tertimpa bencana juga!" Kui Hwa terkejut sekali. Ia memegang lengan kakek itu dengan keras sehingga Gu Seng memandangnya dengan kaget dan kesakitan.

"Hayo lekas ceritakan apa yang terjadi dan di mana adanya suhengku!"

Kakek itu memandang heran.

"Nona, benar-benarkah kau tidak tahu? Suhengmu telah mengantarkan Loan Li pulang dengan selamat, akan tetapi begitu masuk ke kamarnya Loan Li telah menggantung diri sampai mati! Ternyata........ kau dan suhengmu........ datang terlambat..... dan dia .... anakku itu telah menjadi korban keganasan Hek pa cu.......!" Kakek itu mendekap mukanya dan menangis lagi.

Kui Hwa menjadi pucat air mukanya, dan setelah termenung sebentar, mengerahkan otak untuk berpikir, ia lalu memegang lagi tangan kakek itu dan berkata,

"Apakah yang terjadi? Mengapakah Loan Li menggantung diri!"

"Inilah suratnya, lihiap. Kau bacalah sendiri""." Kakek itu memperlihatkan sehelai kertas yang ditinggalkan oleh Loan Li yang bernasib malang. Surat itu ternyata ditulis dengan tangan gemetar, merupakan empat baris pantun sederhana yang berbunyi demikian: Mengusir harimau dengan pertolongan srigala Apa bedanya? Hanya satu Jalan membebaskan diri dari noda. Tinggalkan raga!

"Aku juga tidak tahu apakah artinya tulisan ini lihiap. Akan tetapi ia menyebut tentang membebaskan diri dari noda, maka mudah sekali diduga bahwa ia tentu telah menjadi korban keganasan Hek-pa-cu!" kata Gu Seng dengan suara sedih. Akan tetapi wajah Kui Hwa makin pucat. Jari-jari tangan yang memegang surat itu menggigil sehingga surat itu terlepas dan melayang turun.

"Di mana suhengku!" tanyanya dengan suara berat dan bibir gemetar.

Gu Seng yang baru berduka tidak melihat perobahan ini dan ia berkata,

"Taihiap tentu sedang beristirahat di ruang depan. Maafkanlah kami yang tidak dapat menghormat dan menjamu kalian yang telah menolong kami."

Akan tetapi Kui Hwa telah pergi, tanpa menanti habisnya ucapan itu. Dan ketika ia berdiri di depan Tiong Kiat yang duduk menghadapi arak di ruang depan, Kui Hwa merupakan seekor singa betina yang marah sekali!

"Moi-moi, kau baru datang? Bagaimana dengan Hek pa cu? Sudah kau kirim ke neraka?" Ia bertanya sambil tersenyum manis.

Akan tetapi Kui Hwa memandang bagaikan hendak menelan suhengnya itu. Matanya memancarkan sinar berapi dan ia berkata tegas dan singkat,

"Ji-suheng, mari kita keluar. Tidak perlu kita ribut-ribut di rumah orang!" Setelah berkata demikian, Kui Hwa melompat keluar dan menanti suhengnya di tempat sunyi dalam dusun itu.

Tak lama kemudian, tampak bayangan Tiong Kiat berkelebat dan pemuda ini berdiri di hadapannya dengan tenang sungguhpun senyumnya yang tadi telah lenyap.

"Ada apakah, sumoi? Sikapmu aneh sekali."

Sebagai jawaban Kui Hwa menghunus pedangnya.

"ji-suheng, ingatkah kau bahwa aku telah mengorbankan segalanya karena setiaku kepadamu? Aku telah mengorbankan guru, ayah, keluargaku, kehormatan dan namaku jiwa ragaku, semua kukorbankan demi cintaku kepadamu. Kau, tentu tahu, bukan?"

"Tentu saja, moi-moi, kita memang sudah saling mencinta dan......."

"Jangan sebut-sebut tentang cintamu!" Kui Hwa memotong marah.

"Kau tentu masih ingat akan sumpahmu untuk bersetia? Dan sekarang apakah yang telah kaulakukan kepada gadis she Gu itu?"

Di dalam kegelapan senja Tiong Kiat mencoba untuk bersenyum.

"Apa maksudmu, sumoi? Gadis she Gu itu sudah kutolong dan kukembalikan kepada orang tuanya."

"Bohong! Pengecut yang berani berbuat tak berani mengaku! Telah lama semenjak siang hari kau membawa Loan Li kembali ke rumahnya akan tetapi sampai senja baru kau datang bersama dia! Sebelum kau membawanya pulang, ke mana kau bawa dia dan apa yang telah kau perbuat! Mengapa Loan Li datang-datang lalu membunuh diri? Apa kaukira aku begitu bodoh, ji suheng? Kau telah menyalahi janji, melanggar sumpah. Kau seorang laki-laki mata keranjang, berhati cabul, menjadi hamba nafsu jahat! Kau laki-laki tak beriman. perusak kehidupan orang lain, kaulah yang membunuh Loan Li!"

Tiong Kiat terdesak sekali oleh tuduhan-tuduhan ini, dan tiba-tiba dengan suara gagah ia berkata,

"Sumoi kau terlalu sekali! Apakah dengan adanya hubungan antara kita, aku harus mengikatkan kakiku kepadamu? Apakah aku tidak boleh hidup dengan bebas lagi? Harus selalu menurut dan menjadi budakmu? Memang kuakui bahwa aku telah mengadakan perhubungan dengan Loan Li! Akan tetapi, dia juga mencintaiku! Su moi, ketahuilah, seorang laki-laki tak dapat mengikat hatinya kepada seorang perempuan saja! Ini memang sudah menjadi sifat jantan, lihatlah buktinya. Lihatlah sifat jantan pada seekor ayam, pada binatang-binatang lain yang jantan! Lihat pula kepada raja dan para bangsawan. Cukupkah dengan seorang saja perempuan disampingnya? Ha, ha, moi-moi yang manis jangan kau cemburu, aku akan tetap mencintamu, moi-moi!"

"Bangsat besar!" Kui Hwa menjadi marah sekali.

"Aku sudah bersumpah akan membunuh perempuan yang main gila dengan kau dan karena perempuan she Gu itu sudah mati sekarang kaulah gantinya!" Setelah berkata demikian, Kui Hwa menyerang Tiong Kiat dengan hebatnya! Tiong Kiat terkejut sekali, akan tetapi juga menjadi penasaran dan marah.

Ia mencabut pedangnya dan berkata,

"Sumoi, kau ikut aku meninggalkan perguruan bukan karena kupaksa! Sekarang kau hendak memisahkan diri dari aku, bukan pula atas paksaanku. Kau memang berkepala batu! Tidak tahu dicinta orang!" Sambil berkata demikian, ia mainkan pedangnya dengan gerakan yang paling lihai. Memang, kepandaian Kui hwa masih kalah jauh apabila dibandingkan dengan ilmu silat Tiong Kiat. Apalagi pedang di tangan Tiong Kiat adalah pedang pusaka Ang.coa-kiam yang amat tajam dan kuat. Baru beberapa jurus saja terdengar suara keras dan pedang di tangan Kui Hwa terlempar kesamping. Tiong Kiat masih berlaku murah dan sengaja tidak mau mematahkan pedang bekas kekasihnya itu.

Biarpun telah kehilangan pedangnya, dengan nekad Kui Hwa masih maju menubruk, Tekadnya hendak membunuh atau dibunuh! Namun Tiong Kiat telah melompat pergi sambil mentertawakannya. Kui Hwa mengejar, akan tetapi pemuda itu telah menghilang di dalam gelap! Kui Hwa menjatuhkan diri di atas tanah dan menangis. Sampai setengah malam ia menangis sedih, terisak-isak mendekam di atas tanah itu.

Ia merasa menyesal sekali,menyesal, kecewa dan juga bersedih. Betapapun juga ia amat mencinta pemuda itu yang kini sudah meninggalkannya. Pada keesokan harinya, Kui Hwa yang saking hampir putus asa dan tidak tahu harus pergi ke mana, ia teringat akan permintaan anggauta Sorban Merah agar ia suka memimpin mereka. Timbul harapan baru padanya dan ia lalu menjumpai para tauwbak dan anak buah Sorban Merah yang menerimanya dengan gembira sekali. Semenjak hari itu, Kui Hwa diangkat menjadi kepala dari gerombolan Sorban Merah!

Adapun Tiong Kiat yang kini telah dapat memisahkan diri dari Kui Hwa, melanjutkan perantauannya seorang diri. Pada hari-hari pertama ia memang kesepian dan merasa amat rindu kepada Kui Hwa. Beberapa kali ia ingin kembali kepada sumoinya itu, ingin minta maaf dan berbaik kembali, akan tetapi keangkuhan hatinya menahannya melakukan hal yang dipandangnya lemah ini.

Akan tetapi, lambat laun dapat juga ia menghilangkan rindunya. Apalagi setelah ia melihat wanita-wanita lain dan dapat menghibur hatinya dengan mereka ini. Tiong Kiat adalah seorang pemuda yang sebetulnya tidak mempunyai hati buruk. Ia cukup berwatak gagah dan budiman. akan tetapi sayang sekali, ia gila perempuan! Dan kegilaannya dalam hal ini kadang-kadang merangsangnya sedemikian kuatnya sehingga hati nurani dan kebijaksanaannya tertutup! Di dalam perantauannya, tiap kali bertemu dengan kejadian yang tidak adil, dengan kekejaman-kekejaman dan penindasan, selalu ia turun tangan membela fihak yang tertindas. Dengan kejam sekali ia membasmi orang-orang jahat tanpa mengenal ampun lagi karena sesungguhnya ia amat benci akan kejahatan. Pernah ia membasmi sampai habis rombongan perampok yang dua puluh orang jumlahnya. Semua ia bunuh dan tak seorangpun anggauta perampok terlepas dari pada Ang-coa-kiam di tangannya!

Banyak hartawan yang kikir dan yang suka mengandalkan pengaruh uangnya untuk berlaku sewenang-wenang ia bakar rumahnya, dan merampas harta bendanya untuk dibagi-bagikan kepada rakyat miskin! Banyak pula bangsawan dan pembesar yang korup dan tidak bijaksana, ia datangi dan ia ancam sambil mencukur rambutnya atun bahkan memotong sebuah telinganya!

Akan tetapi, di samping semua kebaikan ini, banyak pula ia melakukan pelanggaran kesusilaan. Di mana saja ia berada, la selalu mengadakan perhubungan dengan wanita-wanita, baik perempuan golongan pelacur maupun wanita baik-baik, dan tidak perduIi apakah hubungan itu berjalan atas dasar sama suka ataupun dengan paksaan! Banyak pula wanita yang jatuh hati kepadanya, karena memang Tiong Kiat memiliki wajah yang tampan dan gagah. Pendeknya, ia menuntut penghidupan sebagai seorang hiapkek (pendekar) yang gagah dan cabul!

Sungguh amat sayang betapa seorang pemuda gagah perkasa yang memiliki dasar amat baik seperti Tiong Kiat, dapat terjerumus sampai demikian dalam. Perbuatan-perbuatan baik yang dilakukannya telah dinodainya sendiri. Kebajikan dan kejahatan tak dapat berjalan sama. Kebaikan akan lenyap sifatnya apabila dilakukan di samping kejahatan, seperti sebuah lukisan indah yang terkena noda kotor. Sebaliknya, kejahatan takkan lenyap sifatnya biarpun disampingnya orang melakukan pula kebaikan, seperti sebuah lukisan yang buruk takkan menjadi baik biarpun akan diberi pigura yang betapa indahpun.

Demikianlah, pada suatu hari dengan kebetulan sekali ia bertemu dengan Suma Eng, atau Eng Eng, gadis gagah perkasa yang roboh pingsan terkena pukulan Pek-lek-jiu dari Ban Yang Tojin yang telah dikalahkannya. Melihat keadaan gadis itu, timbullah rasa kasihan dalam hati Tiong Kiat dan segera ia memondong tubuh Eng Eng dan dibawanya ke tempat tinggalnya di dalam hutan itu. Memang telah beberapa pekan ia tinggal di hutan ini.Dengan sungguh-sungguh ia lalu mengohati gadis yang ternyata menderita luka berat didalam dadanya itu. Tiong Kiat memang pernah mempelajari sedikit ilmu pengobatan, yakni pengobatan yang khusus untuk mengohati luka-luka di sebelah dalam, ilmu pengetahuan yang amat penting bagi orang perantau dan ahli silat. la dapat menolong nyawa Eng Eng akan tetapi sebagaimana telah dituturkan di bagian depan, pemuda yang mata keranjang ini mana dapat tahan menghadapi kecantikan Eng Eng yang memang luar biasa sekali? Melihat wajah yang cantik Jelita dan manis, melihat tubuh yang menggiurkan, tidak kuatlah ia menahan nafsu jahatnya. Melihat luka di dada gadis itu, Tiong Kiat dapat menduga bahwa gadis ini tentu berkepandaian tinggi sekali karena kalau tidak memiliki Iweekang yang tinggi, pasti orang akan mati terkena pukulan sehebat itu!

Sampai setengah malam pemuda ini termenung. Perang hebat terjadi di dalam hatinya, perang antara nafsu jahat dan hati nuraninya. Nafsu jahat mendorongnya agar ia melakukan perbuatan jahat terhadap gadis cantik yang ditolongnya ini, sedangkan hati nuraninya berbisik agar ia tidak mengganggu gadis ini. Akhirnya hati nuraninya kalah dan Eng Eng telah menjadi korban kelemahan hati pemuda itu!

Pada keesokan harinya, Tiong Kiat amal menyesal atas perbuatannya. Ia maklum bahwa gadis ini bukanlah gadis sembarangan, dan baru sekarang ia merasa takut akan perbuatannya sendiri. Ia melarikan diri, meninggalkan Eng Eng yang masih pingsan di dalam kuil itu. Baru kali ini Tiong Kiat melarikan diri karena ketakutan. Ia tidak tahu akan kepandaian Eng Eng, tidak tahu apakah gadis itu memiliki ilmu silat yang luar biasa. akan tetapi entah bagaimana, ia merasa takut dan menyesal sekali. Mungkin karena ia merasa amat kasihan kepada Eng Eng, merasa betapa hatinya amat tertarik kepada gadis yang tidak berdaya dan pingsan itu! Biasanya, ia mengenangkan wanita-wanita yang menjadi korbannya dengan hati senang dan gembira. Akan tetapi, kali ia mengenangkan wajah Eng Eng dengan menyesal dan amat malu!

Sementara itu marilah kita ikuti perjalanan Eng Eng. Ketika pagi-pagi itu ia sadar dari pingsannya, ia mendapatkan dirinya berada di kuil bobrok seorang diri. Hancurlah rasa hati dan pikirannya, dan ia menangis tersedu-sedu. Ingin ia mencabut pedang dan membunuh diri akan tetapi tiba-tiba ia menghentikan isaknya dan pandangan matanya menjadi liar. kalau ada orang yang melihat pandangan matanya ini, tentu orang itu akan menjadi terkejut sekali. Nafsu membunuh terbayang pada matanya.

"Aku akan bunuh dia...... aku akan bunuh dia......." ucapan ini terulang beberapa kali oleh bibirnya yang gemetar. Wajahnya pucat sekali dan ia merasa tubuhnya lemah. Ketika meraba dadanya, ia menyentuh ampas daun-daun obat yang ditempelkan pada lukanya.

Dengan gemas ia merenggut obat itu dan membantingnya di atas tanah. Sesungguhnya, iapun maklum bahwa orang telah menoIongnya dan kini lukanya di dalam dada sudah sembuh, hanya tinggal bekasnya saja. Akan tetapi oleh karena ia marah, jengkel, gemas dan berduka, dadanya terasa amat sesak lagi. Kini rasanya jauh lebih sakit dari pada ketika ia terpukul oleh Ban Yang Tojin. Yang terasa perih bukan kulit dan daging dada, melainkan dalam sekali, jauh di dalam dada dan kepalanya!

Dengan air mata bercucuran, Eng Eng jalan terhuyung huyung keluar dari dalam kuil bobrok. ia mengerahkan tenaga kakinya dan berlari untuk menyusul atau mencari orang yang telah menolongnya akan tetapi juga yang telah menghancurkan hidupnya. Nafsu membunuh menyesakkan nafasnya dan kepalanya menjadi panas dan pening sekali. Setelah ia berlari cepat beberapa lamanya, rasa panas dari kepalanya itu menjalar turun dan membuat seluruh tubuhnya terasa panas membara, seakan api di dalam tubuhnya bernyala-nyala!

Akhirnya dara yang sengsara itu tidak kuat menahan lagi. Kepalanya berdenyut-denyut, pandangan matanya berkunang, segala sesuatu dihadapannya serasa terputar-putar, bumi yang diinjaknya bergoyang-goyang bagaikan air laut terayun-ayun. la mencoba untuk mempertahankan dirinya, akan tetapi sia-sia. Tubuhnya terguling dan tanpa mengeluarkan sedikitpun suara Eng Eng jatuh pingsan lagi! Kali ini bukan roboh pingsan karena Iuka pukulan, melainkan oleh pukulan yang datang dari hatinnya sendiri sehingga luka akibat pukuIan Ban Yang Tojin telah merekah kembali.

Sampai berapa lama ia pingsan, Eng Eng tak dapat ingat lagi. Ketika ia siuman dan membuka matanya perlahan, ia merasa betapa kepala dan mukanya menjadi basah. Ternyata hujan turun di dalam hutan itu dan biarpun hari masih siang, namun hutan nampak gelap oleh mendung. Sukarlah baginya untuk membuka mata karena air hujan menyerang kedua matanya dari atas. Ia melindungi matanya dengan tangan dan memandang ke atas. Alangkah herannya ia ketika melihat seorang Iaki-Iaki tengah berlutut di dekatnya dan ternyata bahwa tubuhnya telah ditutupi selimut. Ketika Eng Eng memperhatikan, penutup tubuhnya itu bukan selimut melainkan sehelai mantel warna biru. Orang itu sendiri kini telah menjadi basah kuyup karena air hujan!

Untuk sesaat Eng Eng tidak mengenal orang ini, karena air hujan manghalangi pandangan matanya. Akan tetapi ketika ia memandang dengan penuh perhatian, tiba-tiba ia melompat bangun.

"Kau.......! Manusia jahanam, bagus kau datang mengantarkan nyawa! Setelah berkata demikian, Eng Eng lalu mencabut pedangnya dan menyerang dengan hebat!" Laki-laki itu adalah seorang pemuda yang tampan sekali dan pakaiannya berwarna biru.

Tidak salah lagi pikir Eng Eng. inilah laki-laki yang telah mendatangkan malapetaka atas dirinya! Biarpun ia merasa heran mengapa laki-laki ini berani muncul lagi, namun ia tidak banyak pikir dan cepat menyerang sambil mengerahkan seluruh kepandaiannya. Hujan yang turun telah membuat tubuhnya terasa segar dan karena yang membuat ia menderita adalah hati dan pikirannya, maka ketika pingsan tadi, keadaannya sudah menjadi banyak baik. Apa lagi ketika ia masih siuman, pemuda yang tadi berlutut di dekatnya telah menotok dan mengurut pundaknya berkali-kali kemudian pemuda itu untuk beberapa lama telah memegang tangannya dan menyalurkan hawa di dalam tubuh untuk membantu gadis itu pulih kembali jalan darahnya.

Pemuda itu sesungguhnya mirip sekali dengan Tiong Kiat, karena dia adaIah Tiong Han! Ketika tadi melihat seorang dara jelita rebah pingsan di dalam hutan, ia menjadi terkejut dan merasa kasihan sekali. Sekali memandang saja maklumlah Tiong Han bahwa gadis itu menderita luka, maka ia cepat maju untuk memberi pertolongan. Ketika hujan turun dengan lebatnya, pemuda ini tidak pergi dari situ hanya mengangkat tubuh Eng Eng ke bawah pohon besar dan mempergunakan mantelnya untuk menyelimuti tubuh orang dan berusaha mengohati gadis itu yang ternyata berhasil baik sekali. Tidak disangkanya sama sekali setelah siuman gadis itu menyerangnya dengan demikian ganasnya!

Tiong Han telah berbulan-bulan mencari jejak Tiong Kiat untuk minta kembali pedang Ang.coa kiam sesuai dengan perintah suhunya. Di sepanjang jalan, ia tidak pernah Iupa untuk mempelajari ilmu pedang dari kitab Ang-coa-kiam coansi. Dengan bantuan kitab ini, maka ilmu pedangnya banyak mendapat kemajuan.

Ia mendengar keterangan orang-orang yang di jumpai di jalan, bahwa ada seorang pemuda yang serupa benar dengannya memasuki hutan itu, maka cepat-cepat Tiong Han mengejar ke dalam hutan. Tidak disangkanya bahwa ia tidak bertemu dengan adiknya, sebaliknya melihat seorang gadis cantik yang rebah terluka hebat di dalam hutan.

Melihat serangan Eng Eng, Tiong Han terkejut bukan main. Serangan itu menunjukkan bahwa gadis ini memiliki ilmu pedang yang amat luar biasa. Cepat Tiong Han mengelak, akan tetapi sinar pedang gadis itu mengejarnya bagaikan kilat cepatnya sehingga ia cepat melompat ke sana ke mari untuk menghindarkan diri dari bencana. Namun pedang itu terus mengejarnya dan menyerang dengan serangan berbahaya yang bertubi tubi datangnya!

"Eh, eh, tahan dulu nona! Mengapa kau menyerangku tanpa sebab? Apakah salahku terhadapmu?" tanya Tiong Han sambil melompat ke belakang dengan gerak tipu Le-hi-ta teng (Ikan Le Melompat Tinggi) Dengan cara mengelak ini ia dapat menjauhkan diri dan untuk sementara dapat bernafas karena terlepas dari serangan yang bertubi-tubi itu.

"Keparat jahanam!" Dengan nafas terengah-engah saking marahnya, Eng Eng menudingkan pedangnya.

"Kau masih bertanya-tanya lagi? Anjing bermuka manusia kalau aku tidak membunuhmu sekarang juga, aku tidak bernama Suma Eng lagi! Akan kuhancurkan tubuhmu menjadi makanan srigala!" Kembali ia menubruk maju dan menyerang dengan cepat kembali.

Tiong Han terpaksa mencabut pedangnya dan menangkis. Ia maklum bahwa kalau ia menghadapi gadis ini dengan tangan kosong saja, ia pasti akan roboh dan benar-benar akan dicincang sampai hancur oleh gadis berotak miring ini. Akan tetapi ia merasa kasihan sekali. Mungkin gadis ini tiba-tiba menjadi gila karena telah menderita luka hebat, pikirnya.

"Nona, aku tidak kenal padamu. Baru sekarang kita bertemu muka, kau telah salah lihat, nona!"

"Bangsat rendah! Pengecut besar! Kau lebih pengecut daripada anjing! Anjing yang menggigit masih melingkarkan ekornya (karena takut) akan tetapi kau berpura-pula baru sekarang bertemu denganku. Bagus, akan kuantar kau ke neraka, hendak kulihat apakah di sana kau masih akan dapat menyangkal pula!" kembali ia menyerang, dan Tiong Han yang merasa makin terkejut melihat gerakan pedang yang luar biasa anehnya itu, dengan cepat menangkis dan melindungi dirinya. Ia makin terheran-heran karena gerakan pedang gadis ini pada dasarnya hampir bersamaan dengan Ang coa.kiamsut yang dipelajarinya akan tetapi yang aneh sekali adalah perkembangannya, karena ilmu pedang gadis itu benar benar ilmu pedang yang aneh. Sama sekali terbalik daripada ilmu pedang yang pernah dipelajarinya!

"Nona, nona..... kau tenang dan sabarlah! Aku bersumpah, selama hidupku, aku Sim Tiong Han belum pernah bertemu dengan kau. belum pernah aku mendengar nama Suma Eng! Bagaimanakah kau bisa menuduhku yang bukan-bukan? Kesalahan apakah yang telah kuperbuat terhadapmu?"

"Bagus! Namamu yang hina dina akan teringat selalu olehku sehingga kalau kali ini aku tidak berhasil, lain kali aku masih ada kesempatan untuk mencari dan membunuhmu! Kau tak perlu bersumpah, sumpah laki-laki hina dina macam engkau tiada harganya!

Mampuslah!" Eng Eng menyerang lagi, kali ini dengan gerak tipu yang paling berbahaya! Hujan masih turun dengan lebatnya dan pertempuran berjalan makin seru. Tiong Han yang hanya menangkis dan mengelak saja, terdesak hebat. Selain ilmu pedang nona ini benar benar aneh dan berbahaya, juga pedang di tangan Eng Eng yang mengeluarkan sinar merah amat Iihai! Beberapa kali pedang Tiong Han bertemu dengan pedang Eng Eng dan ketika pemuda itu memperhatikan, ia terkejut sekali karena pedangnya telah gompal di beberapa bagian!

"Nona, sabarlah, kau masih terluka! Berbahaya bagimu kalau terus mengerahkan tenaga lweekang!" Ia masih berseru memperingatkan biarpun ia berada dalam bahaya. Betapa pun juga Tiong Han merasa amat kasihan kepada gadis ini yang masih disangkanya gila.

Akan tetapi jawaban dari Eng Eng adalah serangan yang mengganas. Tiong Han menangkis akan tetapi pedangnya terbabat putus menjadi dua dan pedang di tangan Eng Eng menyambar cepat ke arah lehernya dibarengi seruan girang dari gadis itu! Tiong Han menjatuhkan diri, pundaknya terserempet pedang sehingga terluka. Akan tetapi ia lolos dari bahaya maut karena begitu ia menjatuhkan diri ia lalu menggelundung dengan gerakan Trenggiling Turun dari Lereng! Setelah dapat menjatuhkan diri, ia cepat melompat dan lari secepat mungkin!

"Jahanam hina dina, jangan lari!" Eng Eng berseru mengejar, akan tetapi ia mengeluh kesakitan dan terpaksa duduk di bawah sebatang pohon karena dadanya terasa sakit dan napasnya sesak. Betul seperti yang dikatakan Tiong Han tadi, pengerahan tenaga dalam membuat lukanya kambuh kembali, ia merasa amat sakit pada dadanya dan cepat gadis ini lalu berjungkir balik, kepala di atas tanah dan kaki di atas lalu mengerahkan tenaga dan mengatur nafas.

Beginilah caranya melatih lweekang dan pernafasan sebagaimana yang dipelajarinya dari suhunya, yakni Hek Sin-mo! Sampai beberapa lama ia berjungkir balik dan baru ia berhenti mengatur pernafasannya setelah merasa dadanya ringan dan tidak sakit lagi. Barulah ia duduk beristirahat dan ia mempergunakan tenaga hatinnya untuk melawan keinginannya hendak menangis saking sedihnya.

"Aku tak boleh terlalu bersedih, aku harus sembuhkan luka ini, aku harus dapat hidup beberapa lama lagi untuk membalas penghinaan ini! Tiong Han... Tiong Han... sebelum aku dapat menghancur-leburkan tubuhmu mencincang kepalamu, aku takkan berhenti berusaha....... Tiong Han...!" Ia mendekap dadanya dan cepat mengatur nafasnya panjang-panjang karena kesedihan membuat dadanya terasa sesak dan sakit lagi.

Menjelang senja, hujan berhenti dan nampaklah tubuh seorang wanita yang layu dan lemah lunglai berjalan keluar dari hutan itu. Wanita ini adalah Eng Eng.

Sementara itu, Tiong Han berlari cepat meninggalkan tempat itu. Ia masih merasa terharu, kagum dan juga heran. Ia merasa terharu, melihat keadaan nona yang benar-benar kenal ilmu pedangnya itu. Tiada hentinya sambiI berlari ia memikirkan gadis itu. Siapakah gadis itu? Alangkah cantik manisnya dan alangkah lihai ilmu silatnya. Kalau saja ia membalas serangan gadis itu dan memiliki pedang yang baik, agaknya kepandaian mereka berimbang. Belum tentu ia akan dapat menangkan gadis itu karena ia dapat membayangkan betapa hebat dan lihainya gadis itu kalau tidak sedang terluka dadanya. Ia benar-benar merasa kagum sekali, dan hatinya tertarik. Bayangan gadis itu tak dapat ia usir dari depan matanya. Akan tetapi ia merasa heran sekali, karena mengapakah gadis itu marah-marah dan membencinya? Mengapa gadis itu berusaha sekuat tenaga untuk membunuhnya?

Mengapa ia disangka telah berbuat sesuatu yang amat jahat kepada gadis Itu? Apakah ia disangka orang yang telah melukai dada gadis itu? Ah, Tiong Han menghadapi teka-teki yang amat sulit dalam diri Eng Eng. Namanya Suma Eng, alangkah indah nama itu. Akan tetapi mengapa sikap gadis itu demikian aneh? Gilakah dia? Tak mungkin, gadis yang bicara demikian jelas dan yang dapat bersilat demikian Iihai, sungguhpun ilmu silatnya amat aneh tak mungkin gila!

Demikianlah Tiong Han benar-benar menjadi bingung. Akan tetapi ia tidak berani mendekati gadis itu, karena ia yakin bahwa gadis itu takkan berhenti sebelum dapat membunuhnya. Hal yang amat menyakitkan hati dan membuatnya berduka. Setelah berlari jauh, barulah Tiong Han merasa betapa pundaknya perih karena pundak itu sudah terluka dan lecet kulitnya. Terasa amat panas luka itu dan ketika ia memandang, ia menjadi terkejut sekali. Ternyata luka itu kini menjadi bengkak.

"Ah, lihai sekali! Agaknya pedang itu mengandung bisa pula!" Katanya dalam hati.

Cepat-cepat ia membuka bungkusannya dan mengeluarkan obat pemunah bisa. Setelah menelan dua butir pel putih dan menghancurkan obat bubuk dengan arak yang dibawanya dalam sebuah guci kecil untuk dipergunakan sebagai obat luar, ia merasa lega. Ternyata bisa yang terkandung oleh pedang gadis itu tidak berapa jahatnya.

Beberapa hari kemudian ketika ia tiba di luar sebuah dusun, Tiong Han mendengar suara ribut-ribut dan ketika ia telah tiba di tempat itu, ia melihat seorang laki-laki tinggi kurus yang hidungnya seperti burung kakaktua dan bersenjata sepasang besi kaitan sedang dikeroyok oleh banyak orang. llmu silat laki laki itu benar-benar lihai dan tujuh orang yang berpakaian seragam piauwsu (pengawal barang kiriman) itu biarpun mengeroyok dengan senjata golok dan pedang, sama sekali tidak berdaya menghadapinya.

Tiong Han yang sedang merasa sedih dan menyesal karena pikirannya masih penuh dengan bayangan Suma Eng, tadinya tidak begitu tertarik hatinya. Akan tetapi karena ia melihat betapa di atas tanah menggeletak tubuh seorang wanita cantik yang sudah menjadi mayat dan ada pula dua orang piauwsu yang merintih-rintih dengan tubuh terluka berat, ia menjadi tertarik dan segera melompat menghampiri. Pada saat itu ia tiba di tempat pertempuran, laki-laki bersenjata kaitan itu sedang mendesak para pengeroyoknya dengan senjatanya yang luar biasa dan dengan satu sabetan keras, ia kembali telah merobohkan seorang pengeroyok!

"Ha, ha, ha! Buka matamu lebar-lebar, hendak kucongkel matamu!" kata laki laki itu dan kaitannya cepat menyambar ke arah mata orang yang telah roboh terlentang itu! Akan tetapi tiba-tiba laki-laki itu berseru keras dan tubuhnya terjengkang ke belakang. Ia cepat berpaling untuk melihat siapa orang yang dapat mendorongnya tanpa ia ketahui lebih dulu itu.

Ternyata di depannya telah berdiri seorang pemuda tampan yang robek baju pada pundaknya dan pundak itu terluka karena masih tampak tanda-tanda darah dan kulit pundak tertutup oleh obat.

"Sabar dulu, kawan " kata Tiong Han kepada orang tinggi kurus yang bukan lain adalah Ban Hwa Yong orang ketiga dari Thian-te Sam kui!

"Bangsat rendah! Kau berani sekali mencampuri urusan Ban Hwa Yong, tokoh besar dari Thian-te Sam-kui?" teriak Ban Hwa Yong marah dan cepat kaitannya menyambar ke arah leher Tiong Han! Pemuda ini melihat gerakan lawannya yang cepat dan kuat, segera melompat mundur dengan marah sekali. Akan tetapi Ban Hwa Yong tidak memberi kesempatan kepadanya dan cepat melangkah maju mengejar dan menyerangnya secara bertubi-tubi.

Sepasang kaitannya menyambar-nyambar dan senjata ini memang berbahaya sekali, karena penyerangannya berbeda dengan senjata-senjata lain, bukan dari depan bahaya yang datang, melainkan dari belakang dan dari samping. Senjata ini dipergunakan untuk menggali dan sekali saja tubuh tergait oleh kaitan yang kuat dan runcing sekali itu, akan robeklah kulit dan daging!

Diam-diam Tiong Han merasa terkejut sekali. Tak disangkanya lawan ini demikian lihainya. Ia pernah mendengar nama Thian-te Sam kui, tiga orang iblis bumi langit yang terkenal jahat, maka kini menghadapi seorang diantara iblis ini, la tahu bahwa ia harus turun tangan! Akan tetapi, dengan pundak terluka dan bertangan kosong, bagaimana ia bisa menghadapi seorang tokoh dari Thian- te Sam-kui yang berkepandaian tinggi?

Akan tetapi, Tiong Han mengerahkan ginkangnya dan mengandalkan kelincahan gerakan tubuhnya untuk menghindarkan setiap serangan lawan. Sampai tiga puluh jurus Tiong Han dapat menghadapi lawannya dan dapat juga melakukan serangan balasan dengan pukulan-pukulan dari ilmu silat Kim-liong pai. Ban Hwa Yong merasa penasaran sekali. Betulkah dia tidak dapat merobohkan seorang pemuda bertangan kosong yang sudah terluka dan tampaknya lemah? Ia berseru marah dan mempercepat gerakan senjatanya, menyerang dengan gerak tipu yang paling dahsyat. Kewalahan jugalah Tiong Han menghadapi Jai-hwa-cat (penjahat penculik bunga) ini!

Tiba tiba seorang piauwsu yang paling tua usianya, melemparkan sebatang pedang ke arah Tiong Han sambil berseru,"Hohan (orang gagah) silakan kau menggunakan pedangku ini!"

Bukan main girangnya hati Tiong Han melihat berkelebatnya pedang ini. Ban Hwa Yong juga melihat pedang yang dilemparkan ini, maka ia cepat mendesak Tiong Han dengan pukulan kaitan kiri, sedangkan kaitan kanan dipergunakan untuk memukul ke arah pedang itu! Tiong Han cepat mempergunakan gerak tipu Dewa Awan Menyambut Pelangi. Ia miringkan tubuh untuk menghindari sabetan senjata kiri lawan, kaki kanannya bergerak cepat menendang pergelangan tangan kanan Ban Hwa Yong dan dengan tangan kiri diulur cepat menangkap pedang itu! Ban Hwa Yong terpaksa menarik kembali kaitannya yang tadi hendak dipergunakan untuk memukul pedang karena ujung sepatu lawannya mengancam pergelangan tangan dan sementara itu, Tiong Han telah melompat ke belakang dan kini pemuda ini telah memegang sebatang pedang yang berkilauan tajamnya!

Semua piauwsu dan orang orang dusun yang menonton pertempuran itu bersorak memuji melihat ketangkasan dan keindahan gerakan Tiong Han tadi. Akan tetapi Tiong Han sebaliknya memandang kepada pedang yang dipegangnya sambil berkata kagum,

"Pokiam (pedang pusaka) yang bagus!"

Baru saja ia menutup mulutnya, angin yang keras menyambar dari kanan-kiri dan kini sepasang kaitan di tangan Ban Hwa Yong telah menyambarnya dengan gerak tipu Menutup Pintu Menggencet Lawan! Akan tetapi, dengan gerakan indah sekali Tiong Han menggerakkan pedang di tangan kanannya, memutarnya merupakan sinar melengkung dari kanan ke kiri.

"Trang! Trang!" Bunga bunga api memancar keluar ketika sepasang kaitan itu sekaligus terbentur oleh pedang ini dan Ban Hwa Yong merasa betapa telapak tangannya kesemutan. Ia menjadi terkejut sekali, apalagi ketika tlba-tiba matanya silau oleh sinar pedang Tiong Han yang kini membalas dengan serangan-serangan hebat!

Harus diketahui semenjak turun gunung dan mempelajari ilmu pedang Ang coa-kiam sut dari kitab peninggalan sucouwnya, ilmu kepandaian pemuda ini telah maju pesat sekali. Apalagi kini yang dimainkannya adalah sebatang pedang pusaka, maka tentu saja gerakannya amat hebat dan pedangnya bergulung-gulung merupakan sinar putih yang menyilaukan mata.

Ban Hwa Yong mempertahankan diri sampai dua puluh Jurus, akan tetapi sekarang ia bertempur sambil mundur teratur, terus terdesak hebat tanpa dapat berdaya lagi. Akan tetapi, betapapun keuletannya boleh dipuji. Ia telah puluhan tahun merantau dan menjagoi di dunia kang-ouw, sudah mengalami banyak sekali pertempuran, maka ia telah dapat mempertahankan diri dengan amat kuatnya.

Pedang Ular Merah Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo



Baru setelah bertempur selama dua puluh tujuh jurus terdengar suara keras dan kaitan di tangan kanan Ban Hwa Yong terpental jauh ke atas! Penjahat cabul ini mengeluarkan teriakan keras dan tiba-tiba la merogoh sakunya dengan tangan kanan dan tiga buah senjata rahasia berbentuk paku hitam menyambar kearah jalan darah di tubuh Tiong Han!

Pemuda ini cepat memutar pedangnya untuk menangkis paku-paku itu akan tetapi kesempatan itu dipergunakan oleh lawannya untuk melompat dan berlari pergi secepat mungkin seperti orang dikejar setan! Tiong Han yang tidak ingin mencari permusuhan, melihat lawannya berlari ketakutan, tidak mau mengejar, bahkan lalu menghampiri piauwsu tua yang memberi pinjam pedang itu.

"Lo-enghiong. pedangmu ini benar-benar bagus sekali. Terima kasih atas bantuanmu "

Tiong Han mengembalikan pedang itu. akan tetapi piauwsu itu memegang lengannya dengan muka girang sekali dan berkata,

"Tak usah berlaku sungkan, hohan. Pedang pusaka ini telah berpuluh tahun berada di tanganku dan sesungguhnya aku tidak berharga untuk memiliki pedang ini. Biarlah untuk pertolonganmu kepada kami, pedang ini kami persembahkan kepadamu!"

Tentu saja Tiong Han menjadi terkejut sekali. Ia merasa malu dan sungkan, karena bagaimanakah ia dapat menerima pemberian pedang mustika begitu saja dari orang yang tak dikenalnya?

Piauwsu itu melihat keraguannya, maka ia lalu berkata,"Orang muda yang gagah. Marilah kau ikut kami dan mari kaudengarkan penuturan kami agar kau dapat mengerti betapa besar jasamu tadi! Kau telah menghindarkan penyembelihan besar-besaran terhadap keluarga piauwkiok (perusahaan ekspedisi) kami!"

Karena ia merasa letih dan juga pundaknya terasa perih, terutama sekali karena ia ingin mendengar siapakah adanya wanita cantik yang mati di situ dan mengapa tokoh Thian. te Sam-kui itu sampai bentrok dengan kawanan piauwsu ini, maka Tiong Han tidak menampik undangan ini, dan beramai ramai mereka lalu pergi ke rumah piauwkiok yang tidak jauh dari situ. Seperti telah kita ketahui, ketiga Thian-te Sam kui setelah berhasil membasmi dan membunuh semua keluarga Pak eng piauwkiok di kota Hun-leng, tiga manusia iblis ini lalu melarikan diri sambil menculik Lo Kim Bwe atau nyonya Ouw Tang Sin yang cantik jelita dan genit. Atau lebih tepat lagi, yang membawa lari Kim Bwe adalah Ban Hwa Yong si penjahat cabul.

Oleh karena memang ketiga orang penjahat ini mempunyai kesukaan sendiri-sendiri maka setelah keluar dari kota Hun leng mereka lalu berpisah dan mengambil Jalan masing-masing, Ban Hwa Yong yang membawa Kim Bwe lalu melanjutkan perjalanannya. Girangnya bukan main, ketika ia mendapat kenyataan bahwa wanita yang diculiknya ini tidak seperti yang lain-lainnya. Biasanya wanita yang diculik dan dipermainkannya selalu melawan dan berduka atau bahkan ada yang nekad membunuh diri, akan tetapi Kim Bwe tidak demikian. Perempuan ini tidak nampak bersedih meskipun keluarganya telah terbasmi semua, bahkan ia nampaknya suka melakukan perjalanan dengan Ban Hwa Yong!

"Sayang kau dan suheng-suhengmu tidak mau menunggu dulu kedatangan dara yang cantik jelita seperti bidadari!" katanya kepada penjahat cabul itu, dan ia lalu menceritakan perihal Eng Eng kepada Ban Hwa Yong. Penjahat ini hanya tertawa saja dan berkata.

"Betapapun juga, ia tidak mungkin secantik engkau manisku!"

Demikianlah sampai sebulan lebih Kim Bwe melakukan perjalanan menurut saja ke mana penjahat itu membawanya. Ban Hwa Yong nampaknya amat sayang kepadanya dan sebaliknya Kim Bwe juga memperlihatkan kasih sayangnya. Padahal semua sikap Kim Bwe ini hanya dilahir saja. Ia merasa melawan tiada gunanya, dan berarti sama dengan membunuh diri. Sesungguhnya ia amat benci kepada laki-laki ini, bukan hanya karena Ban Hwa Yong telah membunuh semua keluarganya termasuk ayah dan adiknya yang tercinta, akan tetapi terutama sekali karena Ban Hwa Yong berwajah buruk. Kalau saja laki-aki yang menculiknya ini seorang laki laki muda yang tampan, bukan tak mungkin Kim Bwe akan dapat menerimanya dan melupakan sakit hatinya! Diam diam Kim Bwe selalu mencari kesempatan baik untuk membunuh jai hwa cat ini. Pertama-tama karena Ban Hwa Yong amat tinggi ilmu kepandaiannya, kedua kalinya karena penjahat cabul itu selalu berlaku hati-hati sekali.

Pada suatu hari, ketika mereka berdua sedang berjalan hendak memasuki dusun Cia-keng-bun, mereka melihat serombongan piauwsu menyusul mereka dan mendahului masuk ke dalam dusun itu. Mereka itu terdiri dari sembilan orang dan karena mereka ini menunggang kuda mengiringi sebuah kereta barang, maka mudah dilihat dari bendera di atas kereta bahwa mereka adalah piauwsu-piauwsu dari perusahaan Gin-houw piauwkiok (Perusahaan Ekspedisi Macan Perak). Piauwsu yang termuda ketika lewat, berpaling dan memandang ke arah Kim Bwe dengan penuh perhatian, lalu tersenyum. Kim Bwe melihat wajah piauwsu muda yang tampan itu, membalas senyum ini. la melakukan hal ini dengan sengaja, bahkan ketika rombongan piauwsu itu telah lewat, Kim Bwe mengeluarkan saputangan dari dalam bajunya dan melambaikan ke arah piauwsu muda tadi!

Tentu saja Ban Hwa Yong menjadi cemburu dan marah sekali. Hampir saja ia memukul muka kekasihnya itu, akan tetapi Kim Bwe segera berkata,

"Mengapa kau marah-marah? Gin houw piauwkiok adalah piauwkiok yang amat terkenal, dan orang-orangnya memiliki ilmu kepandaian yang amat lihai. Mereka pernah datang di tempat tinggalku dan mengenal mendiang suamiku. Sebagai kenalan-kenalan lama, tidak bolehkah aku memberi salam kepada mereka?" Kemudian ia sengaja membikin panas hati Ban Hwa Yong.

"Kurasa lebih baik kita jangan masuk ke dusun itu dan melewatinya saja dengan mengambil jalan lain, karena kalau para piauwsu itu melihat aku berjalan bersamamu, mereka tentu akan merasa curiga dan kalau mereka menyelidiki celakalah kau!"

Benar saja, usahanya memancing-mancing dan membikin panas hati Ban Hwa Yong untuk mengadudombakan penjahat ini dengan para piauwsu itu, telah mendapat hasil baik. Ban Hwa Yong yang merasa cemburu menjadi benci kepada piauwsu-piauwsu itu, apalagi mendengar Kim Bwe memuji-muji. Kini mendengar ucapan nyonya muda ini, mukanya menjadi merah saking marahnya,

"siapa yang celaka? Aku? Mengapa aku yang celaka?" tanyanya penasaran.

"Karena kepandaian mereka benar-benar tinggi! Mendiang suamikupun tidak dapat mengalahkan ilmu silat pemimpin-pemimpin Gin-houw-piauwkiok," kata Kim Bwe pula.

Ban Hwa Yong hampir saja membanting-banting kakinya.

"Suamimu? Hm, cacing tanah itu bisa apa sih! Kau lihat saja nanti, akan kubasmi habis pemimpin-pemimpin Gin houw-piauwkiok dan kuratakan dengan bumi perusahaan mereka seperti halnya Peng eng-piauwkiok! Akan tetapi kalau di situ terdapat wanitanya yang cantik seperti engkau, engkau harus mengalah dan membiarkan aku membawanya!"

Bukan main girangnya hati Kim Bwe mendengar bahwa usahanya mengadu domba ini berhasil, akan tetapi ia berpura-pura memperlihatkan muka marah mendengar ucapan terakhir dari Ban Hwa Yong.

"Dasar mata keranjang! Orang yang selalu mencari wanita cantik seperti kau, mana bisa menangkan piauwsu-piauwsu dari Gin-houw piauwkiok?"

Ucapan ini merupakan minyak yang menyiram api kemarahan Ban Hwa Yong sehingga tanpa banyak Cakap lagi penjahat cabul ini lalu memegang lengan tangan Kim Bwe dan membawanya lari cepat memasuki dusun itu!

Memang sesungguhnya dalam kata-kata Kim Bwe kepada Ban Hwa Yong tadi, tidak semuanya bohong. Pemimpin Gin houw-piauwkiok memang kenal dengan Pak.eng piauwkiok milik suaminya. Ketua dari Gin-houw-piauwkiok itu adalah seorang piauwsu setengah tua, berusia lima puluh tahun akan tetapi masih nampak gagah dan kuat. Piauwsu ini bernama Lai Siong Te seorang gagah yang amat pandai bermain pedang. Oleh karena kegagahannya, nama Gin-houw-piauwkiok amat terkenal dan tidak sembarang perampok berani mengganggu barang-barang yang dikawal oleh piauwsu-piauwsu dari Gin-houw-piauwkiok. Bendera piauwkiok yang bersulam lukisan harimau dari benang perak itu merupakan tanda yang ditakuti oleh para perampok.

Lai Siong Te memang pernah berkunjung ke Hun leng dan berkenalan dengan Ouw Teng Sin dan Ting Kwan Ek, kedua piauwsu dari Pek-eng-piauwkiok itu. Bahkan pernah ia melihat Kim Bwe yang ketika itu masih menjadi nyonya Ouw Teng sin. Di dalam perjalanan tadi, Lai Siong Te tidak ikut karena piauwsu tua ini sekarang jarang sekali mengantar sendiri barang-barang yang dilindungi oleh piauwkioknya. Cukup dilakukan oleh anak buahnya dan murid-muridnya saja. Tentu saja untuk mengawal barang-barang amat berharga kadang-kadang ia sendiri turun tangan.

Cari Blog Ini