Ceritasilat Novel Online

Kisah Si Naga Langit 20


Kisah Si Naga Langit Karya Kho Ping Hoo Bagian 20




"Lo-cianpwe, kami suami isteri merasa heran dan tidak mengerti mengapa lo-cianpwe membunuh dua ekor kuda kami? Apakah kesalahan kami?" tanya Han Si Tiong, menahan kemarahannya.

Kakek itu terkekeh dan menudingkan tongkatnya ke arah Han Si Tiong lalu memukul-mukulkan tongkat itu ke atas tanah.

"He-he-he! Dia bertanya apa kesalahannya? Kalian adalah Han Si Tiong dan Liang Hong Yi yang duabelas tahun lalu memimpin Pasukan Halilintar di bawah mendiang Jenderal Gak Hui, bukan?"

Karena kakek itu sudah mengetahui hal itu, Han Si Tiong tidak menyangkal lagi.

"Benar, kalau begitu, kenapa?"

Wajah yang tadinya tertawa itu tiba tiba berubah cemberut dan tambah menyeramkan. Sepasang mata itu semakin lebar melotot dan sinarnya berapi-api.

"Han Si Tiong! Engkau dan isterimu membuat hidupku merana selama belasan tahun ini. Engkau mempermalukan aku, membuat aku tampak rendah di mata dunia kang-ouw dan terutama di dalam pandangan Kaisar Kerajaan Kin sehingga aku tidak berani menemuinya. Selama belasan tahun ini kerjaku hanya merantau untuk mencari kalian berdua dan membalas dendam! Hari ini aku dapat bertemu kalian dan memang aku sengaja menghadangmu di tempat sepi ini. Sekarang tiba saatnya bagiku untuk membalas dendam. Kalian harus mati di tanganku!"

Han Si Tiong dan Liang Hong Yi adalah suami isteri gagah perkasa yang pernah maju perang, bahkan menjadi pemimpin dari Pasukan Halilintar, pasukan yang terkenal gagah berani sebagai bagian dari bala tentara yang dulu dipimpin Jenderal Gak Hui. Mereka berdua sering terancam maut dalam perang melawan pasukan Kin. Tentu saja mendengar ancaman itu mereka sama sekali tidak merasa gentar. Bagi bekas pejuang seperti mereka, mati dalam pertempuran bukan hal aneh yang perlu ditakuti. Akan tetapi mereka merasa penasaran sekali karena mereka sama sekali tidak tahu mengapa kakek ini mendendam kepada mereka, dan mengancam akan membunuh mereka. Padahal, mereka sama sekali tidak pernah mengenalnya!

"Nanti dulu, lo-cianpwe. Sebetulnya siapakah lo-cianpwe ini dan apa sebabnya maka lo-cianpwe mendendam kepada kami suami isteri, padahal kami sama sekali tidak kenal dengan lo-cianpwe? Apa artinya ketika lo-cianpwe mengatakan bahwa kami membuat hidup lo-cianpwe merana selama belasan tahun? Kami sungguh tidak mengerti dan tidak pernah merasa bermusuhan dengan lo-cianpwe," kata Han Si Tiong dengan suara dan sikap masih menghormat.

"Ha-ha-ha, baik! Kalian memang berhak mengetahui agar jangan mati menjadi setan-setan penasaran. Aku adalah Ouw Kan datuk dari Uigur yang lebih dikenal dengan julukan Toat-beng Coa ong (Raja Ular Pencabut Nyawa)! Aku adalah orang yang dekat dengan Kaisar Kerajaan Kin dan dihormati olehnya. Belasan tahun yang lalu, ketika kalian memimpin Pasukan Halilintar dalam perang di perbatasan, dalam sebuah pertempuran kalian telah membunuh Pangeran Cu Si, putera Kaisar Kerajaan Kin. Nah, Kaisar Kin minta kepadaku untuk mencari kalian yang sudah kembali ke selatan dan membunuh kalian untuk membalas dendam atas kematian Pangeran Cu Si yang kalian bunuh dalam pertempuran."

"Akan tetapi peristiwa itu terjadi dalam perang. Kami tidak membunuh orang karena urusan pribadi. Dalam perang, semua orang hanya melaksanakan tugasnya sebagai perajurit dan pertempuran dalam perang berarti membunuh atau dibunuh. Bagaimana kematian dalam perang bisa mendatangkan dendam pribadi?" bantah Han Si Tiong.

"Hemm, yang kalian bunuh itu bukan perajurit biasa, melainkan pangeran, putera Kaisar Kin! Kaisar Kin lalu memanggil aku dan minta kepadaku agar aku membunuh kalian. Akan tetapi ketika aku tiba di rumah kalian, di Lin-an (Hang chouw) kota raja Kerajaan Sung, kalian tidak berada di rumah dan belum kembali dari perbatasan. Yang ada hanyalah puteri kalian, maka aku lalu menculik puteri kalian itu."

"Kakek jahat! Kiranya engkau yang menculik anak kami dan membunuh Lu-ma! Hayo katakan, di mana sekarang Bi Lan anakku!" Liang Hong Yi berseru marah sekali.

"Aku menculiknya untuk menyerahkan anak itu kepada Kaisar Kin agar dia puas dan boleh melakukan apa saja terhadap anak dari suami isteri yang telah membunuh puteranya. Akan tetapi di tengah perjalanan, anak itu lolos dari tanganku. Hal ini membuat aku merasa malu sekali kepada Kaisar Kin. Aku cepat kembali ke Lin-an, akan tetapi kalian sudah pergi. Peristiwa itu membuat aku merasa malu untuk bertemu Kaisar Kin. Aku selama bertahun-tahun ini merantau ke mana-mana, hanya untuk dapat menemukan kalian dan membunuh kalian agar aku ada muka untuk bertemu dengan Kaisar Kin yang sudah mempercayaiku dan baru hari ini dapat menemukan kalian. Karena itu, bersiaplah kalian umtuk mampus di tanganku!"

"Nanti dulu, Toat-beng Coa-ong!" kata Han Si Tiong.

"Sebelum engkau menyerang kami, katakan dulu di mana adanya anak kami itu sekarang!"

Tentu saja datuk itu merasa malu untuk menceritakan bahwa Jit Kong Lhama telah merampas anak itu dari tangannya setelah dia kalah melawan pendeta Lhama dari Tibet yang lihai itu.

"Sudah kukatakan bahwa ia lolos dari tanganku dan aku tidak tahu di mana ia berada. Sambutlah ini! Hyaaaattt......!!"

Toat-beng Coa-ong sudah menyerang dengan tongkat ular kobra kering. Gerakannya cepat dan kuat bukan main sehingga tongkat itu mengeluarkan suara bersuitan ketika menyambar ke arah Han Si Tiong. Pendekar ini melompat ke belakang dan mencabut pedangnya. Liang Hong Yi juga sudah mencabut pedangnya. Melihat suaminya diserang, ia lalu menggerakkan pedangnya dan menyerang datuk Uigur itu dari samping. Pedangnya berkelebat membacok ke arah kepala Ouw Kan. Datuk ini menggerakkan tongkat ularnya dari bawah untuk menangkis sambil mengerahkan senjatanya.

"Singg...... tranggg......!!" Pedang itu terpental dan Liang Hong Yi melompat ke belakang dengan kaget sekali. Hampir saja pedangnya terlepas dari pegangan karena ketika pedangnya tertangkis tongkat ular, telapak tangannya terasa panas dan pedih sekali. Tahulah ia bahwa kakek itu merupakan lawan yang amat lihai.

Melihat isterinya melompat ke belakang dengan wajah menunjukkan kekagetan, Han Si Tiong cepat melompat ke depan dan menusukkan pedangnya ke arah lambung Ouw Kan. Namun, datuk itu memutar tubuh ke kanan menghadapi Han Si Tiong. Tongkat ular kobra itu diputar cepat membentuk gulungan sinar hitam yang menangkis pedang Han Si Tiong yang menyerangnya.

"Cringgg......!" Kembali terdengar dentingan nyaring ketika dua senjata bertemu dan Han Si Tiong juga merasa betapa tangan kanannya tergetar hebat. Diapun maklum bahwa kakek itu sungguh lihai dan dalam adu senjata tadi dia mendapat kenyataan bahwa dia kalah kuat dalam hal tenaga sakti.

Maklum bahwa kepandaiannya kalah jauh dibandingkan Ouw Kan, Liang Hong Yi terpaksa tidak berani mendekat, hanya membantu saja suaminya dengan sekali-kali menyerang lawan dari belakang atau samping. Yang menghadapi Ouw Kan dari depan adalah Han Si Tiong. Suami isteri itu maklum bahwa mereka berdua tidak akan mampu mengalahkan lawan, akan tetapi mereka tidak mempunyai pilihan lain kecuali melawan dan membela diri mati-matian. Tidak mungkin melarikan diri dari lawan yang amat tangguh itu.

Han Si Tiong mengeluarkan segala kemampuannya, dibantu oleh Liang Hong Yi, namun setelah lewat limapuluh jurus, perlahan-lahan suami isteri itu terdesak hebat dan agaknya kematian mereka hanya menunggu beberapa saat lagi saja. Mereka sudah kewalahan dan hanya dapat melindungi diri dengan memutar pedang, sama sekali tidak mampu menyerang lagi. Keadaan mereka gawat sekali.

Melihat suaminya terdesak hebat, Liang Hong Yi menjadi nekat dan ia menyerang dengan pedangnya, menusuk ke arah lambung Ouw Kan sambil membentak nyaring.

"Haiiiittt......!" Pedangnya meluncur seperti anak panah terlepas dari busurnya. Ouw Kan miringkan tubuhnya, tongkatnya menangkis dengan gerakan memutar sehingga pedang itu terpental dan terlepas dari tangan Liang Hong Yi. Tiba-tiba kaki kiri Ouw Kan mencuat dan menendang ke arah perut wanita itu. Liang Hong Yi miringkan tubuh mengelak, akan tetapi ujung tongkat Toat-beng Coa-ong Ouw Kan menyerempet pahanya dan wanita itu terpelanting jatuh.

Ouw Kan maju menghantamkan tongkat ularnya.

"Trang......!!" Pedang di tangan Han Si Tiong menangkis untuk menyelamatkan nyawa isterinya. Akan tetapi pertemuan dua senjata itu membuat Han Si Tiong terpaksa melepaskan pula pedangnya karena tangannya terasa panas sekali.

Kembali tongkat itu berkelebat untuk membunuh Liang Hong Yi yang masih duduk di atas tanah karena pahanya yang terkena tongkat ular itu terasa panas dan nyeri bukan main. Melihat berkelebatnya sinar hitam ke arah dadanya, wanita itu tak dapat mengelak lagi dan sudah siap menerima datangnya maut.

"Singgg...... tranggg......!" Toat-beng Coa ong Ouw Kan terkejut bukan main.

Tangkisan pada tongkatnya itu membuat tongkatnya terpental dan dia melompat jauh ke belakang. Ketika dia memandang, di sana telah berdiri seorang pemuda yang memegang sebatang pedang dan agaknya pemuda itu yang tadi menangkis tongkatnya dengan pedang yang dipegangnya. Di samping pemuda itu berdiri seorang gadis yang cantik jelita, yang memandang kepadanya dengan penuh perhatian. Juga gadis itu membawa sebatang pedang di punggungnya.

Puteri Moguhai memang sengaja menyamar sebagai seorang gadis Han dan karena pedang bengkok sebagai tanda kekuasaan pemberian kaisar itu tidak akan ada gunanya bagi orang-orang di Negeri Sung, maka ia tidak membawanya dan sebagai gantinya ia membawa sebatang pedang biasa untuk melengkapi penyamarannya.

Melihat kakek itu, Puteri Moguhai atau Pek Hong Nio-cu segera mengenalnya. Walaupun sudah sepuluh tahun lebih tidak pernah berjumpa, akan tetapi ia masih ingat. Ketika itu ia baru berusia kurang lebih delapan tahun dan ia sering melihat kakek itu datang berkunjung menghadap ayahnya. Iapun masih ingat bahwa kakek bangsa Hui itu adalah seorang datuk persilatan yang lihai dan bernama Ouw Kan. Akan tetapi tentu saja ia tidak mau memperkenalkan diri karena ia sedang menyamar sebagai seorang gadis Han dan pula urusan datuk itu sama sekali tidak ada hubungannya dengan dirinya. Ketika tadi ia dan Thian Liong datang ke tempat itu dan melihat seorang wanita terancam bahaya maut, Thian Liong segera melompat dan menyelamatkannya dengan menangkis tongkat ular maut itu.

Toat Beng Coa-ong Ouw Kan marah bukan main. Dengan tongkat ular kobranya, dia menuding ke arah Thian Liong dan Pek Hong Nio-cu lalu membentak marah.

"Hemm, bocah-bocah lancang! Berani betul kalian hendak menentang aku, Toat-beng Coa-ong?" Kakek itu hendak menggertak dengan nama julukannya yang terdengar menyeramkan dan sudah amat terkenal di dunia kang-ouw itu.

Thian Liong menjawab dengan sikap tenang.

"Lo-cianpwe, kami sama sehali tidak menentangmu."

"Tidak menentang? Engkau sudah mencampuri urusanku dan berani menangkis tongkatku dan kaubilang tidak menentang?"

"Maaf, lo-cianpwe. Maksudku bukan menentang, hanya karena melihat ada seorang wanita hendak dibunuh dengan kejam, maka kami tidak mungkin membiarkan saja hal itu terjadi tanpa turun tangan mencegahnya."

"Heh! Berarti kalian berani mencampuri urusanku, menghalangi tindakanku dan itu sama saja dengan menentangku. Karena itu, kalian juga akan mampus bersama mereka berdua, akan tetapi sebelum mati, beritahukan dulu nama kalian agar jangan mati tanpa meninggalkan nama!" Ouw Kan membentak dengan sikap galak!
Pek Hong Nio-cu tidak dapat menahan kesabarannya lagi. Ia hanya tahu bahwa Ouw Kan suka menjadi tamu ayahnya dan hubungan mereka tampak akrab, akan tetapi ketika itu ia masih kecil dan tidak tahu orang macam apa adanya Ouw Kan. Akan tetapi melihat sikapnya sekarang, ia dapat menduga bahwa Ouw Kan seorang yang berwatak kejam dan sombong. Maka ia lalu maju dan berkata dengan nyaring.

"Hei, tua bangka sombong! Kamu sudah tua hampir mati tidak mencari jalan yang terang, malah kejam dan sombongnya setengah mati. Apa kaukira nama Raja Ular Pencabut Nyawa itu membikin kami merasa takut ? Bukalah mata dan telingamu lebar-lebar dan dengarkan. Aku bernama Sie Pek Hong dan dia ini bernama Souw Thian Liong. Lebih baik kamu cepat pergi dari sini dan jangan ganggu paman dan bibi ini kalau kamu tidak ingin lebih cepat mampus!"

Thian l.iong sendiri terkejut mendengar kata-kata Pek Hong Nio-cu yang demikian pedas dan menusuk perasaan. Dia mengenal gadis itu sebagai seorang yang keras hati dan tak mengenal takut, akan tetapi sekali ini, ucapannya sungguh membuat orang menjadi marah sekali dan dia tahu bahwa kakek ini bukan lawan sembarangan melainkan seorang yang sakti. Akan tetapi karena ucapan itu sudah dikeluarkan, dia diam saja dan hanya dapat menunggu dan melihat reaksi kakek itu. Juga dia merasa heran mengapa tiba-tiba Pek Hong Nio-cu atau Puteri Moguhai itu menggunakan nama Sie Pek Hong.

Ouw Kan kini memandang kepada Pek Hong Nio-cu dan bertanya dengan pandang mata penuh selidik.

"Kamu bukan orang selatan. Kamu tentu dari kerajaan Kin di utara! Siapa kamu sebenarnya?"

Pek Hong Nio-cu tersenyum mengejek.

"Tidak perduli aku datang dari mana, dari utara, selatan, barat maupun timur, yang jelas aku benci kepada orang kejam dan sombong macam kamu!"

Ouw Kan yang sudah marah itu kini menjadi semakin geram. Kemarahannya memuncak karena dia dihina oleh gadis muda itu. Maka dia cepat mengerahkan kekuatan sihirnya, menudingkan tongkat ular itu ke arah Pek Hong Nio-cu dan terdengar suaranya membentak nyaring penuh wibawa.

"Pek Hong! Aku adalah Toat-beng Coa-ong Ouw Kan, junjunganmu! Hayo cepat berlutut dan menyembah kepadaku!"

Dalam suara itu terkandung kekuatan sihir yang amat kuat dan Pek Hong Nio-cu tidak mampu bertahan lagi. Semua perlawanan dalam batinnya seperti lumpuh dan kedua kakinya seperti dipaksa untuk berlutut. Akan tetapi sebelum ia berlutut di atas tanah, baru bergetar dan bergoyang tubuhnya, terdengar suara Thian Liong memasuki telinganya dan menembus ke dalam batinnya bagaikan secercah sinar memasuki ruangan batinnya yang mendadak gelap tadi.

"Nio-cu, bangkit dan mundurlah!"

Pek Hong Nio-cu sadar kembali dan ia cepat melangkah mundur karena menyadari betapa berbahayanya lawan yang selain tinggi ilmu silatnya, juga memiliki ilmu sihir yang amat kuat itu. Thian Liong melangkah maju menghadapi Ouw Kan dan mereka berdua saling pandang. Biarpun mereka berdua hanya berdiri saling berhadapan dan saling berpandangan, namun sesungguhnya terjadi adu kekuatan batin antara kedua orang ini. Ouw Kan mencoba untuk mempengaruhi pemuda itu melalui pandang matanya, dan Thian Liong melawannya dengar kekuatan batinnya.

Akhirnya Ouw Kan merasa pemuda itu tidak dapat dikuasainya dengan ilmu sihirnya, bahkan tadi pemuda itu telah berhasil melumpuhkan serangan sihirnya yang ditujukan kepada gadis itu. Karena itu, dia lalu mengerahkan lagi kekuatan batinnya, lalu melemparkan tongkatnya ke atas dan dia berseru kepada Thian Liong.
"Sambut seranganku!" Tongkat itu melayang ke atas, lalu menukik dan seolah ular kobra itu hidup kembali, meluncur ke arah Thian Liong. Tadi, dengan ilmu ini tongkat itu telah membunuh dua ekor kuda sebelum "terbang" kembali ke tangan Ouw Kan. Serangannya yang masih menggunakan ilmu sihir ini memang berbahaya sekali. Tadi Ouw Kan tidak mempergunakan ilmu ini menghadapi Han Si Tiong dan Liang Hong Yi karena dia merasa yakin bahwa dua orang itu bukan lawannya dan lebih memuaskan baginya kalau dia membunuh mereka dengan tangannya sendiri, tidak melalui sihir. Akan tetapi lawannya sekarang, pemuda itu adalah lawan yang tangguh sekali, maka dia hendak mencoba menyerangnya dengan keampuhan tongkat ularnya didorong kekuatan sihirnya.

Thian Liong maklum bahwa serangan tongkat ular itu bukan serangan yang wajar, melainkan mengandung kekuatan sihir. Oleh karena itu dia maklum bahwa kalau mempergunakan kekerasan dia akan terancam bahaya. Maka dia lalu mengerahkan tenaga saktinya, dikumpulkan di kedua tangannya lalu dia mendorong ke depan, menyambut luncuran tongkat ular itu sambil berseru nyaring.

"Hyaaaatt...... blarrr......!!" Tongkat yang berubah menjadi ular hidup itu diterjang gelombang hawa pukulan dahsyat dan terpental ke atas, lalu terjatuh kembali ke tangan Ouw Kan dalam bentuk semula, yaitu seekor ular kobra kering yang menjadi tongkat!

"Keparat busuk, mampuslah!" Ouw Kan kini yang sudah marah sekali melompat dan menerjang ke arah Thian Liong dengan serangan tongkatnya.

"Tranggg......!" Kini pedang Pek Hong Nio-cu yang menangkis tongkat itu dan Ouw Kan juga mendapat kenyataan bahwa gadis muda itupun memiliki tenaga yang amat kuat, bahkan dapat mengimbangi tenaganya sendiri! Begitu menangkis tongkat, pedang di tangan Pek Hong Nio-cu sudah membalik ke bawah menusuk ke arah perut lawan. Ouw Kan terkejut dan cepat memutar tongkat ularnya ke bawah sehingga kembali pedang dan tongkat beradu sehingga mengeluarkan suara berdencing nyaring.

Ouw Kan kini menyerang dengan tongkatnya, menyambar ke arah kepala gadis itu, dan tangan kirinya juga memukul dengan dorongan ke arah Thian Liong.

Thian Liong menyambut pukulan jarak jauh itu dengan dorongan tangannya sendiri, sedangkan Pek Hong Nio-cu kembali menangkis dengan pedangnya.

"Tranggg......!" Tubuh Ouw Kan terhuyung oleh dorongan tangan Thian Liong yang menyambut serangannya tadi. Tentu saja dia kalah kuat, apalagi karena pada saat itu, dia membagi tenaganya, yang kanan memegang tongkat menyerang Pek Hong Nio-cu sedangkan yang kiri menyerang Thian Liong dengan pukulan jarak jauh.

Toat-beng Coa-ong Ouw Kan kini maklum benar bahwa kalau dia nekat melawan dua orang muda remaja ini, dia akan kalah, belum lagi diperhitungkan kalau Han Si T'iong dan Liang Hong Yi membantu dan mengeroyoknya. Maka, begitu terhuyung, dia sengaja menjatuhkan diri dan bergulingan. Tangan kirinya mencengkeram tanah dan pasir lalu dia menyambitkan pasir itu ke arah dua orang lawannya. Thian Liong berseru kepada Pek Hong Nio-cu.

"Nio-cu, awas......!" Gadis itupun cepat mengelak ketika ada sinar lembut hitam menyambar. Thian Liong menduga bahwa kakek yang julukannya Raja Ular itu tentu ahli racun dan bukan mustahil kalau pasir yang disambitkannya itu mengandung racun pula.

Ketika dua orang muda yang lihai itu mengelak dengan meloncat ke samping, Ouw Kan lalu meloncat berdiri dan lari secepatya meninggalkan tempat itu.

Pek Hong Nio-cu yang marah kepada kakek itu hendak mengejar, akan tetapi pada saat itu terdengar suara wanita mengaduh dan Thian Liong tidak jadi mengejar.

"Nio-cu, tidak perlu dikejar, orang itu curang dan licik sekali, berbahaya kalau engkau mengejar seorang diri."

Pek Hong Nio-cu tidak jadi mengejar dan ketika dara ini menengok ia melihat Thian Liong sudah berjongkok di dekat laki laki setengah tua yang merangkul wanita yang mengaduh-aduh itu. Ternyata sedikit luka di paha Liang Hong Yi itu kini membuat pahanya menghitam dan membengkak dan terasa nyeri dan panas bukan main.

Melihat ini, Thian Liong segera berkata kepada laki-laki itu.

"Paman, biarkan aku mencoba untuk mengobatinya. Luka ini mengandung racun ular yang berbahaya!"

Han Si Tiong mengangguk dan Thian Liong sudah mencabut lagi Thian-liong-kiam lalu berkata kepada Han Si Tiong.

"Harap paman robek saja celana itu di bagian yang terluka."

Dalam keadaan seperti itu, Han Si Tiong dan Liang Hong Yi tidak memperdulikan tentang kesopanan lagi. Keadaan yang membahayakan nyawa Liang Hong Yi itu merupakan keadaan darurat, maka Han Si Tiong lalu merobek celana di bagian paha yang terluka. Lukanya sebetulnya tidak besar, bahkan hanya tergores dan pecah kulitnya sehingga berdarah. Akan tetapi racun pada tongkat ular kobra itu membuat kulit pahanya berubah menghitam dan membengkak.

Souw Thian Liong lalu mempergunakan pedang Thian-liong-kiam seperti yang diajarkan gurunya. Dia menggores luka kecil itu sehingga melebar dan mengeluarkan darah menghitam. Lalu pedang itu ditempelkan pada luka yang berdarah.

Pedang itu memang merupakan benda pusaka yang mengandung daya sedot terhadap racun. Perlahan-lahan, pedang yang putih bersih itu mulai berubah hitam dan paha itupun perlahan-lahan berubah putih mulus seperti semula. Ini berarti bahwa hawa beracun itu telah dihisap oleh Thian-liong-kiam (Pedang Naga Langit) yang kini berubah hitam. Setelah paha yang terluka itu tidak ada tanda hitam lagi, Thian Liong menghentikan pengobatannya. Han Si Tiong dan Liang Hong Yi merasa girang sekali.

"Ini aku mempunyai obat luka yang manjur sekali. Pakailah ini, bibi," kata Pek Hong Nio-cu sambil membuka sebuah bungkusan obat bubuk putih. Ketika bubuk putih itu ditaburkan di atas kulit paha yang robek oleh ujung Thian-liong-kiam tadi, Liang Hong Yi merasa betapa luka itu kini sejuk dan rasa nyerinya lenyap sama sekali. Setelah pengobatan selesai, Han Si Tiong dan Liang Hong Yi mengucapkan terima kasih kepada Souw Thian Liong dan Pek Hong Nio-cu.

"Kalau kalian berdua orang-orang muda yang berkepandaian tinggi tidak muncul, tentu sekarang kami berdua sudah menjadi mayat, terbunuh oleh Toat-beng Coa-ong Ouw Kan itu. Kami berterima kasih sekali kepada kalian yang sudah menyelamatkan nyawa kami." kata Han Si Tiong.

"Perkenalkan, Souw-sicu dan Pek-siocia, aku bernama Han Si Tiong dan ini adalah isteriku bernama Liang Hong Yi. Kami tinggal di dusun Kian cung, tak jauh dari telaga ini. Mari, kami mengundang kalian berdua untuk singgah di rumah kami. Di sana kita dapat bicara dengan leluasa."

Thian Liong saling pandang dengan Pek Hong Nio-cu dan pemuda itu melihat kawannya mengangguk.

"Baiklah, paman Han. Kamipun ingin sekali mengetahui akan peristiwa tadi," kata Thian Liong dan dia bersama Pek Hong Nio-cu lalu mengikuti kedua orang suami isteri itu.

Pondok tempat tinggal suami isteri itu berada di tengah dusun Kian-cung dan merupakan pondok yang cukup mungil, dengan taman bunga di sebelah kiri rumah yang terpelihara baik. Han Si Tiong memberi tahu seorang pembantunya, laki-laki berusia sekitar limapuluh tahun, agar mengajak beberapa orang tetangga untuk mengubur dua ekor kuda mereka yang mati di dekat telaga. Kemudian dia dan isterinya mempersilakan dua orang tamu muda itu memasuki ruangan dalam dan mereka duduk mengelilingi meja bundar dari marmer. Liang Hong Yi lalu menghidangkan arak, akan tetapi karena Thian Liong tidak biasa minum arak, nyonya rumah itu atas permintaan Thian Liong lalu menghidangkan air teh.

"Nah, paman dan bibi, sekarang ceritakanlah tentang penyerangan yang dilakukan Toat-beng Coa-ong Ouw Kan tadi. Mengapa dia hendak membunuh paman dan bibi? Kami ingin sekali mengetahui sebabnya," kata Pek Hong Nio-cu setelah minum secawan arak.

Han Si Tiong menghela napas panjang sebelum menjawab.

"Kami sendiri tadinya juga merasa heran. Ketika kami berdua menunggang kuda, berjalan-jalan di sekeliling telaga, tiba-tiba dua ekor kuda kami diserang ular dan roboh mati.

Ular itu kembali ke tangan kakek itu dan berubah menjadi tongkat. Kami baru tahu setelah dia memperkenalkan dirinya dan menceritakan mengapa dia hendak membunuh kami. Sebelumnya kami sama sekali tidak pernah mengenalnya dan belum pernah berjumpa dengannya."

"Toat-beng Coa-ong itu adalah seorang datuk suku bangsa Hui yang tinggal jauh di utara, bagaimana dia dapat mendendam kepada paman dan bibi?" tanya Pek Hong Nio-cu.

"Peristiwa itu sebenarnya terjadi kurang lebih sebelas tahun lebih yang lalu, Ketika itu kami berdua ikut berjuang memimpin Pasukan Halilintar di bawah mendiang Jenderal Gak Hui. Pasukan kami bertempur melawan pasukan Kin di perbatasan dan dalam sebuah pertempuran, kami berhasil menewaskan seorang pangeran Kin yang bernama Pangeran Cu Si."

"Hemm, begitukah?" kata Pek Hong Nio-cu. Ia masih ingat. Ketika itu ia berusia kurang lebih delapan tahun. Pada suatu hari, pasukan membawa pulang jenazah Pangeran Cu Si, kakak tirinya yang tewas dalam perang melawan pasukan Sung. Seluruh keluarga istana berkabung.

Thian Liong merasa tidak enak mendengar cerita itu karena dia dapat menduga bahwa Pangeran Cu Si itu pasti masih ada hubungan keluarga dengan Pek Hong Nio-cu!

Akan tetapi karena perasaan kedua orang muda itu tidak mengubah sikap dan air muka mereka, Han Si Tiong melanjutkan ceritanya.

"Kami sama sekati tidak mengira bahwa kematian pangeran itu dalam perang telah membuat Raja Kin mendendam kepada kami. Dia menyuruh Ouw Kan tadi untuk mencari kami di Lin-an dan membunuh kami. Akan tetapi ketika dia mendatangi rumah kami, kami masih belum kembali dari perbatasan. Dia lalu menculik anak tunggal kami yang bernama Han Bi Lan, ketika itu ia berusia tujuh tahun, dan membunuh pengasuhnya. Ketika kami pulang, kami terkejut dan sejak itu kami lalu meninggalkan Lin-an, meninggalkan pekerjaan kami sebagai perwira dan kami pergi merantau untuk mencari anak kami yang diculik. Akan tetapi semua usaha kami sia-sia dan akhirnya kami menetap di sini untuk hidup dengan tenang di tempat sunyi ini."

Kembali Han Si Tiong menghentikan ceritanya, karena terkenang kepada puterinya, dia merasa berduka. Melihat suaminya menundukkan muka dengan sedih, Liang Hong Yi lalu melanjutkan cerita suaminya itu.

"Tadi ketika kami berjalan-jalan, kuda kami dibunuh Ouw Kan dan dia memperkenalkan dirinya. Dia bercerita bahwa setelah menculik anak kami itu, di dalam perjalanan anak kami itu lolos dari tangannya. Dia tidak mau menceritakan bagaimana lolosnya dan di mana anak kami sekarang. Dia hanya bilang bahwa karena gagal membunuh kami dan gagal pula membawa anak kami, dia merasa malu kepada Raja Kin dan selama sebelas tahun ini dia mencari-cari kami tanpa hasil. Akhirnya dia menemukan juga tempat ini dan sengaja datang untuk membunuh kami. Begitulah ceritanya."

Thian Liong dan Pek Hong Nio-cu mendengarkan penuh perhatian. Setelah suami isteri itu selesai bercerita, Thian Liong diam saja karena dia masih merasa tidak enak terhadap Pek Hong Nio cu. Gadis itupun sejenak diam saja, lalu berkata, suaranya wajar dan lantang.

"Gugurnya seseorang dalam perang tidak semestinya mendatangkan dendam pribadi! Paman dan bibi hanya menjalankan tugas sebagai perwira dalam perang dan kematian Pangeran Cu Si itu adalah hal yang wajar dan dapat terjadi kepada siapa saja yang maju perang. Tidak perlu disesalkan, apalagi dijadikan dendam pribadi. Dalam hal ini, Raja Kin tidak benar kalau merasa sakit hati dan hendak membalas dendam. Apalagi Ouw Kan itu, dia yang telah menculik puteri paman dan bibi malah kini hendak membunuh, sungguh jahat dan kejam dia!"

Thian Liong merasa lega dan senang sekali hatinya mendengar ucapan Pek Hong Nio-cu. Sungguh seorang gadis yang berwatak adil dan membela kebenaran dan keadilan! Setelah mendengar pendapat gadis itu, baru dia berani bicara.

"Paman Han Si Tiong berdua, karena sekarang Toat-beng Coa-ong Ouw Kan sudah mengetahui bahwa paman tinggal di sini, maka keselamatan paman berdua tentu terancam. Bagaimana kalau dia sewaktu-waktu datang lagi dan menyerang paman berdua? Lebih baik paman berdua meninggalkan tempat ini dan pindah ke tempat lain."

Han Si Tiong menghela napas panjang.

"Berpindah-pindah dan selalu bersembunyi ketakutan? Tidak, Souw-sicu. Kami bukan pengecut yang melarikan diri ketakutan dikejar-kejar orang jahat. Kalau dia datang lagi dan menyerang, akan kami hadapi dan lawan mati-matian! Kami sudah menderita sebelas tahun lebih karena kehilangan anak tunggal kami. Kami tidak takut mati!"

"Benar sekali ucapan suamiku. Bi Lan anak kami sudah hilang belasan tahun lamanya, entah masih hidup ataukah sudah mati. Kematian bukan hal menakutkan bagi kami. Akupun tidak mau menjadi pelarian, bersembunyi ketakutan dikejar-kejar iblis itu," kata Liang Hong Yi dengan sikap gagah.

Pek Hong Nio-cu merasa kagum bukan main. Jelaslah bahwa suami isteri ini benar-benar orang gagah perkasa, pendekar sejati. Ia lalu pinjam alat tulis dan kain putih kepada Liang Hong Yi, kemudian ia membuat tulisan corat-coret di atas kain putih dan melipat kain itu, menyerahkannya kepada Liang Hong Yi.

"Bibi dan paman memang orang-orang gagah perkasa, membuat aku merasa kagum sekali. Kain bertulis ini harap diperlihatkan kepada Toat-beng Coa-ong kalau dia berani mengganggu lagi. Mudah mudahan melihat kain putih ini, dia takkan berani mengganggu lagi kepada paman berdua."

Suami isteri itu tentu saja merasa heran dan tidak mengerti, akan tetapi mereka merasa tidak enak kalau menolak pemberian penolong mereka. Mereka berdua hanya memandang saja kepada Pek Hong Nio-cu dengan sinar mata penuh pertanyaan yang tidak berani mereka keluarkan dengan ucapan. Melihat ini, Thian Liong berkata kepada mereka.

"Paman Han Si Tiong berdua, harap paman terima saja dan simpan pemberian Pek Hong itu. Percayalah kain putih bersurat itu kelak akan berguna sekali dan besar kemungkinannya akan menyelamatkan paman berdua dari ancaman Toat-beng Coa-ong."

Mendengar ucapan pemuda yang amat lihai itu, Han Si Tiong dan Liang Hong Yi tidak ragu lagi.

"Nona Pek Hong, banyak terima kasih atas segala kebaikanmu."

Pek Hong Nio-cu tersenyum manis.

"Tidak perlu berterima kasih, bibi. Sudah sewajarnya, bukan, kalau kita saling tolong menolong?"

Liang Hong Yi mengamati wajah gadis itu dan menghela napas panjang lalu berkata,

"Aahhh...... kalau saja kami dapat menemukan Bi Lan anak kami, tentu sudah sebesar engkau inilah"""

"Bibi, kami akan membantu mendengar-dengar dalam perjalanan kami, siapa tahu kami akan bertemu dengan puteri bibi dan akan kami beritahukan kepadanya bahwa bibi dan paman tinggal di dusun Kian-cung ini," kata Thian Liong yang merasa iba kepada wanita itu.

Han Si Tiong adalah seorang yang berwatak jujur dan kejujurannya ini menyebabkan dia terkadang bersikap begitu terbuka sehingga dapat mendatangkan kesan kasar. Sejak kemunculan dua orang muda penolongnya itu, dia merasa heran sekali terhadap gadis itu. Biarpun wajahnya memang wajah gadis Han yang amat cantik, akan tetapi nada bicaranya asing, jelas menunjukkan bahwa gadis itu datang dari utara. Selain sikapnya juga begitu pemberani dan berwibawa, juga apa yang diberikannya tadi, sehelai kain bersurat yang katanya dapat mencegah Ouw Kan mengganggu mereka, benar-benar mendatangkan kecurigaan kepadanya. Bukan merupakan prasangka buruk karena sudah jelas gadis itu menolongnya, akan tetapi kejanggalan itulah yang membuat dia penasaran.

"Terima kasih atas kebaikan sicu (tuan muda gagah) Souw Thian Liong dan siocia (nona) Sie Pek Hong. Setelah kami menceritakan semua riwayat kami, maka kami harap kalian, terutama Nona Sie Pek Hong, suka menceritakan siapa sebetulnya nona ini. Nona Sie, siapakah sebenarnya nona?"

Pek Hong Nio-cu tersenyum.

"Aku adalah Sie Pek Hong, lalu engkau kira aku ini siapa, Paman Han Si Tiong?" Gadis ini memang suka bergurau dan menggoda orang.

"Han-koko, kenapa engkau mendesak Nona Sie? Apakah engkau mencurigainya? Itu tidak pantas sekali!" Liang Hong Yi mencela suaminya.

"Aku tidak berprasangka buruk," bantah Han Si Tiong, lalu dia memandang wajah Pek Hong Nio-cu.

"Aku curiga melihat penampilanmu, bicaramu, dan lebih-lebih setelah engkau memberi kain bersurat itu kepada kami untuk diperlihatkan kepada Toat-beng Coa-ong."

"Hemm, lalu menurut paman, siapakah aku ini? Katakan saja, paman, aku juga suka kejujuran dan keterbukaan dan aku tidak akan marah."

"Logat bicaramu jelas menunjukkan bahwa engkau datang dari utara, nona. Penampilanmu, gerak gerik dan cara bicaramu menunjukkan bahwa nona adalah seorang bangsawan. Dan Ouw Kan menurut pengakuannya adalah seorang kepercayaan Kaisar Kin yang tentu saja memiliki kekuasaan besar di kerajaan Kin. Kini, nona meninggalkan tulisan yang akan dapat mencegah Ouw Kan mengganggu kami. Itu berarti bahwa dari tulisan itu Ouw Kan akan mengenal nona dan kalau dia menaati surat nona, berarti nona memiliki kekuasaan yang lebih tinggi daripada dia. Semua kenyataan ini membuat aku mengambil kesimpulan bahwa nona tentu seorang puteri bangsawan tinggi sekali, bahkan aku tidak akan heran kalau nona ini seorang puteri kaisar......"

Liang Hong Yi terkejut dan berseru,

"Ia puteri Kaisar Kin? Kalau begitu...... ia...... ia saudara dari Pangeran Cu Si? Kalau begitu celaka......"

Pek Hong Nio-cu tertawa.

"Hi-hik, jangan khawatir, bibi. Aku tahu siapa yang bersalah dan siapa yang benar. Thian Liong, Paman Han Si Tiong ini hebat sekali. Kupikir tidak perlu merahasiakan diriku di depan mereka. Paman Han Si Tiong dan Bibi Liang Hong Yi, biarlah aku mengaku terus terang sebagai pernyataan kagumku terhadap kecerdikan Paman Han Si Tiong. Semua dugaan paman tadi memang benar. Aku adalah Puteri Moguhai, puteri Kaisar Kerajaan Kin di utara, akan tetapi di luar istana aku terkenal dengan sebutan Pek Hong Nio-cu."

"Ah, kalau begitu maafkan kami. Kami bersikap kurang hormat terhadap Tuan Puteri......" Liang Hong Yi berseru sambil memberi hormat dengan membungkuk dalam sekali. Han Si Tiong juga memberi hormat, lalu berkata ragu.

"Kalau begitu, paduka adalah saudara dari mendiang Pangeran Cu Si!"

"Akan tetapi aku tidak berpikir sepicik orang lain. Biar ayahku sendiri, aku menganggap beliau itu keliru. Pangeran Cu Si memang kakakku, berlainan ibu. Aku menganggap dia gugur dalam perang membela negara. Dia tewas sebagai seorang patriot. Aku tidak perduli siapa yang membuatnya tewas dalam perang. Tidak ada alasan untuk mempunyai dendam pribadi. Adapun tentang Ouw Kan, aku memang sudah tahu bahwa dia orang yang licik dan kejam. Karena itu, dalam urusannya dengan paman dan bibi, tentu saja aku berpihak kepada paman berdua. Nah, aku sudah bicara secara jujur. Harap paman dan bibi sekarang menganggap aku sebagai Sie Pek Hong sahabat Souw Thian Liong dan tidak menyebut nyebut lagi tentang Puteri Kerajaan Kin."

Han Si Tiong mengangguk-angguk.

Kisah Si Naga Langit Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo



"Baiklah, nona Sie, kami akan memenuhi permintaanmu." Dia lalu menoleh kepada Thian Liong.

"Akan tetapi, Souw-sicu, bagaimana engkau mengajak...... nona Sie ini ke daerah ini? Hal itu tentu saja berbahaya sekali baginya."

"Hemm, bahaya tidak mengancamnya, paman. Bahkan sebaliknya, aku yang terancam bahaya di mana-mana. Aku sekarang menjadi orang buruan pemerintah kita."

"Eh, kenapa begitu sicu?" tanya Liang Hong Yi heran.

"Semua ini tentu akal muslihat si jahanam Chin Kui, perdana menteri busuk itu!" kata Pek Hong Nio-cu gemas.

"Wah, agaknya kalian dimusuhi oleh Chin Kui? Kalau begitu kita berada di pihak yang sama. Kami juga tidak suka kepada perdana menteri jahat yang telah menyebabkan kematian Jenderal Gak Hui. Kami juga menentang Chin Kui. Akan tetapi bagaimana engkau juga bermusuhan dengan dia, nona?"

"Panjang ceritanya, paman," kata Thian Liong.

Kemudian dia menceritakan tentang pemberontakan Pangeran Hiu Kit Bong di Kerajaan Kin. Dia sedang berada di sana dan terlibat dalam pembelaan Kerajaan Kin dari usaha pemberontakan Pangeran Hiu Kit Bong. Pangeran pemberontak itu bersekutu dengan Perdana Menteri Chin Kui yang diwakili oleh Cia Song. Akhirnya pemberontakan itu dapat dihancurkan.

"Akan tetapi Cia Song dapat melarikan diri dan dia tentu melaporkan kepada Perdana Menteri Chin Kui bahwa saya telah berkhianat kepada Kerajaan Sung dan menjadi kaki tangan Kerajaan Kin. Melihat betapa para pejabat dan perajurit berusaha menangkap saya, maka mudah diduga bahwa Perdana Menteri Chin Kui tentu berhasil membujuk Kaisar untuk mengeluarkan perintah agar saya dijadikan orang buruan dan ditangkap, mati atau hidup. Padahal, saya membantu Kerajaan Kin hanya dalam menghadapi pemberontak yang bersekutu dengan Chin Kui. Demikianlah ceritanya. Kaisar Kerajaan Kin menganggap saya berjasa, maka ketika saya meninggalkan utara untuk menentang Chin Kui, dan Puteri Moguhai atau Pek Hong Nio-cu menyatakan hendak membantu saya, Raja Kin menyetujui. Nah, itulah sebabnya puteri...... eh, Pek Hong Nio-cu ini sekarang berada di sini. Kami tidak jadi memasuki kota raja setelah beberapa kali kami diserang pasukan kerajaan yang hendak menangkap kami."

"Aih"..! Penasaran sekali! Ini semua tentu gara-gara fitnah yang disebarkan si jahanam Chin Kui, pengkhianat itu! Jangan khawatir, Souw-sicu. Aku akan membantumu. Aku mempunyai banyak kawan seperjuangan di kota raja dan kami semua menentang Chin Kui. Akan kami beberkan semua rahasia jahatnya, bersekongkol dengan pemberontak di Kerajaan Kin dan sekiranya pemberontakan itu berhasil, tentu dia akan mempunyai rencana jahat lainnya.

"Terima kasih, paman. Akan tetapi kami harap paman tidak merepotkan diri karena berarti paman juga terjun ke dalam bahaya," kata Thian Liong.

"Kita sama lihat saja nanti. Yang jelas, kita bersatu hati menyelamatkan Kerajaan Sung dari pengaruh Chin Kui yang amat jahat!" kata pula Han Si Tiong.

Setelah menginap satu malam di rumah bekas pemimpin pasukan Halilintar itu, pada keesokan harinya, pagi-pagi sekali Thian Liong dan Pek Hong Nio-cu meninggalkan dusun Kian-cung. Setelah matahari naik tinggi, mereka sudah jauh meninggalkan Telaga Barat dan mereka berhenti di bawah pohon tepi jalan yang sepi itu. Mereka melepaskan lelah, juga memberi kesempatan kepada dua ekor kuda mereka untuk mengaso dan makan rumput. Ketika berada di rumah Han Si Tiong, pendekar yang memelihara belasan ekor kuda itu memberi mereka dua ekor kuda yang baik sekali sebagai pengganti dua ekor kuda mereka yang sudah kelelahan karena melakukan perjalanan jauh.

"Thian Liong, sekarang kita akan ke mana?" tanya Pek Hong Nio-cu sambil menatap wajah Thian Liong yang agak suram.

"Aku sedang memikirkan hal itu baik-baik, Nio-cu. Tugasku sekarang adalah mencari gadis pencuri kitab milik Kun-lun-pai dan membantu Kerajaan Sung agar terlepas dari cengkeraman si jahat Chin Kui. Kiranya akan sukar sekali mencari gadis pakaian merah itu karena kita tidak tahu di mana tempat tinggalnya dan ke mana ia pergi. Maka, tinggal tugas kedua yang paling penting itu, ialah menentang Chin Kui. Untuk itu, aku harus pergi ke kota raja!"

"Akan tetapi engkau menjadi buruan pemerintah, Thian Liong dan kalau engkau ke kota raja, bukankah hal itu sama saja dengan mencari penyakit?"

"Ucapanmu itu memang benar, Nio-cu......"

"Thian Liong, jangan sebut aku Nio-cu di sini. Orang akan menjadi curiga. Sebut saja Pek Hong. Namaku Sie Pek Hong, kau ingat?"

Thian Liong tersenyum.

"Hemm, aku heran bagaimana engkau tiba-tiba memakai she Sie!"

"Ketika memperkenalkan diri kepada Paman Han, aku teringat bahwa aku harus mempunyai she (marga), aku lalu ingat Paman Sie yang amat baik dan yang kuanggap sebagai guruku, maka aku lalu menggunakan nama marganya. Dan aku menggunakan nama julukanku sebagai nama, menjadi Sie Pek Hong. Bagus, bukan?"

"Hemm, bagus sekali nama itu, Nio-cu......"

"Heitt! Lupa, lagi!"

"O ya, biar kusebut kau Hong-moi (adik Hong) saja, bagaimana?"

"Ah, aku senang sekali. Dan aku menyebut engkau Liong-ko, bukankah kita menjadi seperti kakak dan adik?"

"Kakak dan adik seperguruan? Ah, aku masih heran dan bingung memikirkan, Nio...... eh, Hong-moi. Ketika suhu muncul menolong kita, engkau menyebutnya Paman Sie. Siapakah yang salah lihat? Engkau atau aku? Menurut penglihatanku, itu suhu. Jelas sekali. Aku tidak mungkin salah lihat!"

"Dan akupun tidak mungkin salah lihat, Liong-ko. Dia itu jelas Paman Sie yang pernah kulihat di taman istana ketika bertemu dengan ibuku. Dia jelas Paman Sie yang memberi tiga buah kitab dan hiasan rambut ini kepadaku!" gadis itu berkata kukuh.

"Hemm, apakah mungkin Paman Sie itu adalah guruku, Tiong Lee Cin-jin yang dijuluki Yok-sian (Tabib Dewa)? Akan tetapi kalau memang keduanya itu satu orang, kenapa ilmu silatmu berbeda dengan ilmu silatku?"

"Liong-ko, engkau sendiri bercerita padaku bahwa gurumu itu menyuruh engkau membagi-bagikan kitab pelajaran ilmu silat kepada partai-partai persilatan......"

"Bukan membagi-bagi, Hong-moi, melainkan kitab-kitab itu yang memang menjadi hak milik partai-partai itu yang kehilangan kitab mereka puluhan tahun yang lalu."

"Itu berarti bahwa gurumu memiliki banyak kitab pelajaran ilmu silat, maka apa anehnya kalau dia juga memberi aku tiga kitab pelajaran ilmu silat yang lain daripada yang diajarkan padamu? Aku hampir yakin bahwa Paman Sie itu juga Tiong Lee Cin-jin gurumu itu!"

"Kemungkinan itu ada saja, Hong-moi, atau ada dua orang yang mirip satu sama lain. Sekarang kita bicara tentang perjalanan kita, Hong-moi. Seperti kukatakan tadi, aku harus pergi ke kota raja. Kalau tidak, bagaimana aku dapat membantu kerajaan agar terbebas dari pengaruh kekuasaan Chin Kui?"

"Akan tetapi engkau sedang dikejar-kejar, Liong-ko! Tentu sebelum engkau dapat memasuki kota raja, engkau sudah dikepung dan ditangkap pasukan pemerintah!"

"Aku dapat menyamar, Hong-moi. Dengan memasang jenggot dan kumis palsu, aku dapat memasuki kota raja. Bagaimanapun juga, hanya namaku yang menjadi buruan pemerintah. Wajahku tidak ada yang mengenal, kecuali tentu saja Cia Song. Mungkin para perwira pasukan hanya mendengar gambaran tentang diriku, maka kalau aku mengubah sedikit wajahku, tentu tidak ada yang mengenalku."

"Hei, kebetulan sekali, Liong-ko. Aku dulu pernah mempelajari merias wajah para pemain panggung. Aku dapat memasang jenggot dan kumis palsu pada wajahmu dan ditanggung tidak dapat dilepas kecuali memakai obatku karena rambut-rambut itu menempel kuat di wajahmu! Akan tetapi kalau kita sudah dapat memasuki kota raja, lalu apa yang akan kaulakukan?"

"Hal itu bagaimana nanti saja kalau kita sudah berhasil memasuki kota raja, Hong-moi."

Mereka lalu memasuki hutan di depan dan di tempat tersembunyi itu Pek Hong merias wajah Thian Liong dengan kumis dan jenggot palsu yang diambil dari ram-but pemuda itu sendiri.

Tak lama kemudian mereka melanjutkan perjalanan dan kini Thian Liong telah berubah menjadi seorang yang berkumis dan berjenggot, membuat dia tampak lebih tua daripada biasanya. Mereka menunggang kuda menuju ke arah kota raja Lin-an.

"Engkau harus mengganti namamu, Liong-ko."

"Benar sekali, Hong-moi. Mulai sekarang aku bernama San Lam dengan nama marga Mou."

Pek Hong tersenyum.

"Mou San Lam berarti Putera Gunung Mou? Kenapa memakai nama begitu, Liong-ko?"

"Eh, jangan sebut Liong-ko lagi. Sebut Lam-ko agar tidak terbuka rahasiaku. Ketahuilah, di waktu kecil aku tinggal di lereng Mao-mao-san (Gunung Mao-mao), jadi tepat kalau aku memakai nama Putera Gunung Mou, bukan?"

Pek- Hong tertawa.

"Heh-heh, engkau pandai mencari nama yang tepat, Liong"" eh, Lam-ko. Mari kita cepat melanjutkan perjalanan."

Mereka lalu membalapkan kuda mereka dan benar saja, setelah Thian Liong mengubah mukanya dan menggunakan nama Mou San Lam, tidak ada yang men-curigainya sampai akhirnya mereka tiba juga di Lin-an, kota raja Kerajaan Sung.

Dua hari setelah Thian Liong dan Pek Hong Nio-cu pergi meninggalkan rumah mereka, Han Si Tiong dan isterinya, Liang Hong Yi, segera berkemas, membawa bekal pakaian dan uang, lalu keduanya menunggang kuda berangkat menuju ke Lin-an. Telah hampir duabelas tahun mereka meninggalkan kota raja, maka perjalanan menuju ke Lin-an merupakan perjalanan yang membangkitkan kenangan masa lalu. Mereka masih, mengenal jalan raya menuju kota raja dengan baik dan diam-diam merasa sedih melihat betapa dusun-dusun bukan saja tidak ada kemajuan.

Rumah-rumah rakyat sama sekali tidak tampak mendapat perbaikan, bahkan di mana-mana mereka mendengar rakyat berkeluh kesah, wajah-wajah para petani yang muram dan hampir setiap orang yang mereka tanyai mengeluh tentang beratnya pajak yang harus mereka bayar. Hampir setiap kepala dusun menekan dan memeras penduduknya dan kalau Han Si Tiong dan isterinya menyelidiki kepala dusun itu, mereka mendapat kenyataan bahwa kepala dusun itupun ditekan dan diperas oleh atasannya dengan ancaman dicopot kedudukannya kalau mereka itu tidak dapat menyetorkan hasil yang sudah ditentukan banyaknya.

Han Si Tiong maklum bahwa semua ini akibat pemerasan yang dilakukan Perdana Menteri Chin Kui dan para pembesar yang menjadi kaki tangannya. Dia merasa sedih sekali karena agaknya Kaisar sudah tidak mempunyai wibawa lagi, sehingga semua rakyat membenci Kaisar yang dianggap menindas rakyat dengan peraturan-peraturan yang menekan itu. Padahal, Han Si Tiong dan isterinya tahu betul bahwa semua peraturan yang menindas rakyat ini adalah buatan Perdana Menteri Chin Kui dan kaki tangannya. Pajak yang ditentukan oleh Kaisar, yang cukup adil bagi rakyat yang berpenghasilan besar, ditambah sedemiklan rupa oleh Chin Kui, bahkan mereka yang berpenghasilan kurang sekalipun tetap saja dikenakan pajak, dan semua kelebihan yang ditambahkan itu tentu saja masuk kantong Chin Kui dan para pembesar yang menjadi kaki tangannya.

Setelah memasuki kota raja, Han Si Tiong dan Liang Hong Yi bermalam di sebuah rumah penginapan. Mereka tidak mencari bekas rumah mereka karena mereka tahu bahwa bekas rumah pemberian pemerintah itu kini tentu ditinggali perwira lain. Juga mereka belum berkunjung kepada sahabat baik mereka, Kwee-ciangkun (Panglima Kwee) yang menjadi komandan penjaga keamanan kota raja. Mereka hendak melihat keadaan dulu, baru akan berkunjung ke rumah sahabat baik mereka itu.

Han Si Tiong dan Liang Hong Yi merasa aman. Sebetulnya mereka berdua sama sekali tidak mempunyai musuh, kecuali tentu saja Chin Kui. Mereka mendengar bahwa perdana menteri itu amat membenci mendiang Jenderal Gak Hui dan kabarnya malah selalu berusaha untuk membasmi semua pengikut setia jenderal besar itu. Han Si Tiong merasa sudah berjasa terhadap Kerajaan Sung, maka tidak semestinya kalau dia dan isterinya takut berada di kota raja. Apa lagi mereka sudah hampir duabelas tahun meninggalkan kota raja.

Dahulu ketika mereka masih memimpin Pasukan Halilintar, maka mereka terkenal dan hampir semua perajurit kerajaan mengenal mereka. Akan tetapi sekarang siapa yang mengenal mereka? Wajah mereka telah menjadi lebih tua. Kalau dulu, duabelas tahun yang lalu wajah Han Si Tiong bersih tanpa kumis atau jenggot, sekarang dia berkumis dan berjenggot. Juga Liang Hong Yi lebih tua dan sekarang wanita itu agak kurus karena selama bertahun-tahun prihatin memikirkan puterinya yang hilang.

Selama dua hari Han Si Tiong dan Liang Hong Yi mencari keterangan dan mereka mendengar bahwa sahabat baik mereka, Panglima Kwee Gi masih menduduki jabatannya yang lama, yaitu komandan pasukan penjaga keamanan kota raja. Biarpun di dalam hatinya Kwee-ciangkun ini tidak suka, bahkan membenci Chin Kui seperti banyak pejabat tinggi yang setia kepada Kaisar lainnya, namun dia tidak memperlihatkan sikap tidak suka ini secara berterang sehingga Chin Kui tidak menyangka bahwa Kwee-ciangkun membencinya. Chin Kui tidak mengganggunya, apa lagi Kwee-ciangkun merupakan panglima yang dipercaya Kaisar karena jasanya sudah banyak sekali.

Setelah mendengar keterangan tentang sahabatnya itu, Han Si Tiong lalu mengajak isterinya untuk pergi mengunjungi sahabatnya itu. Pada hari ketiga, pagi-pagi mereka keluar dari rumah penginapan dengan jalan kaki, hendak mengunjungi Kwee-ciangkun.

Han Si Tiong dan isterinya sama sekali tidak menyangka bahwa semenjak mereka memasuki kota raja, beberapa pasang mata telah memperhatikan mereka dan beberapa orang telah membayangi dan mengawasi setiap gerak-gerik mereka. Empat orang ini adalah kaki tangan Perdana Menteri Chin Kui yang memang disebar di seluruh kota raja untuk menyelidiki setiap orang yang memasuki kota raja! Maka, tidak mengherankan apa bila dalam waktu satu hari saja, Chin Kui sudah mengetahui Han Si Tiong dan Liang Hong Yi, bekas pimpinan Pasukan Halilintar yang terkenal setia kepada mendiang Jenderal Gak Hui itu kini telah kembali ke kota raja. Tentu saja dia tidak tinggal diam dan cepat memerintahkan tiga orang jagoannya yang dapat diandalkan, yaitu Hwa Hwa Cin-jin, bekas jagoan guru mendiang Ciang Bun putera mendiang Ciang Sun Bo atau Jenderal Ciang.

Seperti kita ketahui, Jenderal Ciang dan puteranya itu tewas di tangan Han Bi Lan dan Hwa Hwa Cin-jin berhasil lolos. Lalu tosu sesat ini ditampung oleh Chin Kui. Selain Hwa Hwa Cin-jin, ada lagi orang kakak adik seperguruan yang menjadi jagoan andalan Perdana Menteri Chin Kui. Mereka adalah Bu-tek Mo-ko (Iblis Jantan Tanpa Tanding) Teng Sui yang bertubuh tinggi kurus berusia sekitar limapuluh tahun, dan Bu-eng Mo-ko (Iblis jantan Tanpa Bayangan) Gui Kong yang bertubuh pendek gendut.

Mereka bertiga itu mendapat tugas untuk membunuh Han Si Tiong dan Liang Hong Yi. Karena Chin Kui juga sudah tahu akan kemampuan ilmu silat suami isteri itu, maka dia merasa yakin bahwa tiga orang jagoannya itu pasti akan dapat membina-sakan mereka. Dia tidak mau mengirim banyak pasukan, karena hal itu akan me-nimbulkan kegemparan. Suami isteri itu telah dikenal rakyat dan dahulu nama mereka banyak dipuji-puji, bahkan Kaisar sendiri pernah menyatakan kekaguman-nya kepada suami isteri pimpinan Pasukan Halilintar itu. Kalau mereka berdua itu dikeroyok pasukan, tentu akan menimbulkan kegemparan.

Suami isteri itu berjalan santai menuju ke rumah gedung tempat tinggal Panglima Kwee Gi. Ketika mereka tiba di bagian jalan yang sunyi, tiba-tiba mereka melihat tiga orang berdiri menghadang di tengah jalan. Suami isteri itu memperhatikan dan merasa belum pernah mengenal mereka. Yang seorang berpakaian seperti seorang tosu. Jenggotnya panjang dan tubuhnya agak pendek dengan perut gendut. Mukanya berwarna kekuningan dan mulutnya tersenyum mengejek. Di punggungnya tergantung sebatang pedang. Orang kedua bertubuh jangkung kurus, mukanya seperti tengkorak dan diapun mempunyai sebatang pedang yang digantung di pinggang. Orang ketiga bertubuh pendek gendut dan membawa golok yang digantung di punggung. Kakek pertama itu berusia sekitar enampuluh lima tahun sedangkan orang terakhir berusia antara limapuluh dan empatpuluh delapan tahun.

Mereka itu adalah Hwa Hwa Cin-jin, Bu-tek Mo-ko, dan Bu-eng Mo-ko yang sengaja menghadang di jalan sepi itu.

Setelah suami isteri itu melangkah dan tiba di depan mereka, Hwa Hwa Cin-jin menegur sambil tersenyum mengejek dan memandang rendah.

"Bukankah kalian berdua ini suami isteri Han Si Tiong dan Liang Hong Yi?"

Karena tidak menduga buruk, dan memang dia seorang yang jujur, Han Si Tiong menjawab.

"Benar sekali. Totiang (bapak pendeta) siapakah dan ada keperluan apakah sam-wi (anda bertiga) menghadang perjalanan kami?"

Begitu mendengar jawaban itu, tiga orang yang ditugaskan membunuh suami isteri itu segera mencabut senjata mereka dan Hwa Hwa Cin-jin berseru,

"Kalian harus mati di tangan kami!" Tiga orang itu sudah menyerang dengan cepat dan ganas sekali. Suami isteri itupun cepat mencabut pedang mereka dan sambil melompat ke belakang mereka menangkis serangan itu.

Liang Hong Yi menangkis pedang Hwa Hwa Cin-jin yang menyambar ke arah lehernya sedangkan Han Si Tiong memutar pedangnya untuk menangkis sambaran pedang dan golok dua orang jagoan yang di dunia kang-ouw dikenal sebagai Siang Mo-ko (Sepasang lblis Jantan).

"Tranggg......! Trangggg!!" Bunga api berpijar dan suami isteri itu terhuyung ke belakang. Terutama sekali Liang Hong Yi. Pertemuan pedang itu hampir saja membuat pedangnya terlepas dan ia merasa betapa telapak tangannya menjadi panas dan pedih sekali. Hampir saja wanita itu terjengkang, akan tetapi Han Si Tiong yang juga kalah kuat dan terhuyung dan menyambar tangannya dan mencegah isterinya terjatuh.

Tiga orang jagoan itu tertawa senang. Tadinya mereka khawatir kalau-kalau suami isteri itu memiliki kepandaian yang terlalu kuat bagi mereka sehingga sukar dibunuh. Akan tetapi ternyata dalam segebrakan saja, suami isteri itu telah terhuyung dan hampir roboh! Mereka bertiga tertawa dan mendesak lagi. Suami isteri itu repot sekali berloncatan ke sana-sini menghindarkan diri dan terkadang mereka terpaksa menggunakan pedang menangkis.

Liang Hong Yi jelas bukan lawan Hwa Hwa Cin-jin. Tingkatnya kalah jauh sehingga ia repot sekali harus menghindarkan diri dari desakan pedang Hwa Hwa Cin-jin yang seolah hendak mempermainkan calon korbannya. Sementara itu, kalau dibuat perbandingan, tingkat kepandaian Han Si Tiong seimbang dengan Bu-tek Mo-ko atau Bu-eng Mo-ko.

Kalau bertanding melawan seorang dari mereka tentu akan ramai sekali dan belum tentu dia kalah. Akan tetapi dikeroyok dua, dia menjadi kerepotan dan seperti isterinya, diapun hanya mampu mengelak dan menangkis.

"Cringgg...... trak......! Trakk......!"

Suami isteri itu melompat ke belakang dengan wajah berubah pucat. Tiga orang itu tertawa-tawa melihat betapa pedang suami isteri itu telah patah. Mereka siap untuk mengirim serangan maut.

"Tahan!" bentak Han Si Tiong.

"Kami bukan orang-orang yang takut mati. Akan tetapi katakan dulu, siapa kalian dan mengapa kalian hendak membunuh kami?"

Tiga orang pembunuh itu saling pandang lalu tertawa bergelak. Mereka memang dipesan agar jangan memberitahukan hal itu, khawatir kalau didengar orang lain dan mereka yang kagum terhadap suami isteri itu tentu akan merasa tidak senang kalau mendengar bahwa suami isteri itu dibunuh atas perintah Perdana Menteri Chin Kui. Maka, tiga orang itu hanya tertawa lalu mereka menerjang ke depan untuk mengirim serangan maut dengan senjata mereka kepada suami isteri yang sudah tidak berdaya itu.

Pada saat yang amat gawat bagi keselamatan nyawa suami isteri itu, tiba tiba tampak dua sosok bayangan berkelebat bagaikan dua ekor burung garuda menyambar.

"Tranggg......! Cringgg"" !!"

Hwa Hwa Cin-jin terkejut bukan main ketika pedangnya terpental karena ditangkis sebatang pedang lain yang gerakannya amat cepat dan kuat sekali. Dia cepat memandang dan ternyata yang menangkisnya adalah seorang gadis yang cantik jelita dan kini gadis itu berdiri di depannya dengan pedang di tangan kanan. Sementara itu, Siang Mo-ko juga terkejut bukan main karena senjata mereka bertemu dengan pedang yang demikian kuat dan tajam sehingga ketika mereka melihat, ujung pedang Bu-tek Mo ko dan ujung golok Bu-eng Mo-ko telah rompal!

Kasih Diantara Remaja Eps 23 Pedang Ular Merah Eps 7 Kisah Sepasang Naga Eps 1

Cari Blog Ini