Ceritasilat Novel Online

Kisah Si Naga Langit 7


Kisah Si Naga Langit Karya Kho Ping Hoo Bagian 7




Tiong Lee Cin-jin tersenyum,

"Begitulah aku dahulu ketika untuk pertama kali mendengar engkau menyebutkan namamu. Seperti juga engkau sekarang ini, aku terheran-heran. Apalagl ketika itu, ketika kita pertama kali bertemu, aku memandang ke angkasa mellhat awan-awan membentuk seekor naga yang sedang melayang di angkasa. Sungguh sua-tu kebetuian yang menakjubkan. Aku telah menemukan pedang yang namanya Thian-liong-kiam, kemudian aku mendengar namamu juga Thian Liong dan melihat Thian-liong (Naga Langit) terbang di angkasa. Karena itu, maka aku mengambil keputusan untuk memberikan pedang ini kepadamu."

"Akan tetapi, untuk apakah pedang ini, suhu? Suhu selalu mengajarkan bah-wa semua anggauta tubuh kita dapat dimanfaatkan untuk melindungi diri, dan benda apapun juga yang tampak dapat kita pergunakan untuk rnembantu dan menjadi senjata kita."

"Benar sekali dan kenyataannya memang masih seperti itu, Thian Liong. Akan tetapi, pedang ini sudah kutemukan dan benda ini buatan orang sakti, merupakan benda pusaka yang langka. Juga, melihat pedang ini tumpul, tidak taJam dan tidak runcing, aku yakin pembuatnya dahulu tidak mempunyai maksud agar pedang ini dipergunakan untuk melukai atau membunuh orang. Ambillah dan engkau dapat mernanfaatkamiya bila perlu. Ketahuilah, bahwa selain pedang ini terbuat dari batu bintang yang lebih kuat daripada baja, juga air rendamannya dapat menawarkan segala macam racun."

"Terima kasih, suhu. Kapah teecu ha-rus berangkat, suhu?" Dalam pertanyaan ini terkandung keharuan karena mengi-ngatkan dia bahwa sebentar lagi dia akan berpisah dari orang yang selarna ini bukan saja menjadi gurunya, akan tetapi Juga menjadi pengganti orang tuanya, menjadi satu-satunya orang yang menyayang dan disayangnya di dunia ini. Selain merasa berat untuk berpisah dari orang yang dihormati dan disayangnya itu, dengan siapa selama sepuluh tahun dan hidup bersama, juga ada perasaan iba mepyelubungi hatinya mengingat bah-wa gurunya yang sudah tua itu akan dia tinggalkan dan hidup seorang diri, tidak akan ada yang membantu bekerja di kebun, tidak ada yang melayaninya lagl. Akan tetapi dengan batinnya yang telah menjadi kokoh kuat Thlan Liong dapat menguasai perasaannya sehingga perasaan haru itu tidak tampak pada wajahnya dan tidak terdengar pada suaranya.

"Berkemaslah karena engkau harus berangkat hari ini juga. Hari ini cerah, indah dan baik sekali untuk memulai perjalananmu. Bungkus semua kitab ini dalam buntalan kain agar mudah kau gendong. Jangan lupa bawa semua pakaianmu, juga semua uang hasil penjualan hasil kebun dan sumbangan orang-orang yang berobat itu boleh kaubawa sebagai bekal dalam perjalanan."

"Baik, suhu." Thian Liong segera ber-kemas, mengumpulkan semua kitab dan pakaiannya menjadi satu buntalan kain kuning. Juga pedang Thian-liong-kiam yang bergagang dan bersarung sederhana itu dia masukkan dalam buntalan, demi-kian pula uang pemberian suhunya. Sete-lah selesai, dia menggendong buntalan kain kuning di pungungnya dan menjatuhkan dirinya berlutut lagi di depan kaki suhunya.

"Suhu, haruskah teecu berangkat sekarang?"

"Berangkatlah sekarang juga, Thian Liong."

"Suhu, teecu mohon pamit."

"Mendekatlah, Thian Liong. Blarkan aku memelukmu."

Pemuda itu mendekat dan Tiong Lee Cin-Jin lalu merangkulnya. Thian Liong balas merangkul. Dalam rangkulan itu guru dan murid ini merasakan betapa kasih sayang mereka menggetar menjalar dl seluruh tubuh mereka, membuat tubuh mereka gemetar.

"Berhati-hatilah dalam perantauanmu, Thian Liong. Ingatlah selalu kepada Tuhan dan dasari semua tindakanmu dengan penyerahan sepenuhnya atas Kekuasaan Tuhan, waspadalah selalu gerak-gerik la-hir batinmu sendiri."

"Akan teecu Ingat semua itu, suhu. Harap suhu menjaga diri baik-baik. Selamat tinggal, suhu."

"Selamat jalan, muridku."

Thian Liong bangkit dan melangkah keluar, diikuti pandang mata gurunya. Dia melangkah terus, keluar dari pekarangan, beberapa kali menengok dan melihat gurunya berdiri di ambang plntu depan. Thian Liong melihat gurunya tersenyum. Diapun tersenyum dan seketika rasa sedih dari haru karena perpisahan itu larut dalam senyum. Dla melangkah lebar dan dengan cepat meninggalkan Puncak Pelangi.

Tiong Lee Cin-jin memandang bayangan muridnya sampai lenyap ditelan pohon-pohon. Dia masih tersenyum, akan tetapi kedua matanya basah. Dia berkejap sehingga ada dua titik alr mata turun di atas kedua pipinya. Diusapnya air mata itu dengah tangan kanan, kemudi-an dipandangnya tangan yang basah terkena air mata dan Tlong Lee Cln-jin tiba-tiba tertawa bergelak. Dia mentertawakan ulah nafsu yang mendatangkan iba diri dan mentertawakan kelemahan itu. Kemudian sambil masih tertawa dla masuk lagi ke dalam rumah dan duduk bersila di atas pembaringan, lalu bernyanyi dengan suara lantang.

"Setelah mengenal keindahan
dengan sendirinya mengenal keburukan,
setelah Cahu akan kebaikan
dengan sendirinya tahu pula akan keJahatan.

Sesungguhnya
ada dan tlada saling melahlrkan
sukar dan mudah saling melengkapi
panjang dan pendek saling mengadakan

tinggi dan rendah saling menunjang sunyi
dan suara saling mengisi dahulu dan kemudian saling menyusul.

Itulah sebabnya para bijaksana
bekerja tanpa pamrih mengajar tanpa bicara.

Segala terjadi tanpa dia mendorongnya tumbuh tanpa dia ingin memilikinya
berbuat tanpa dia menjadi sandarannya.

Walau berjasa dia tidak menuntut
Justeru tidak menuntut maka takkan musna".

Suara nyanyian Tiorig Lee Cin-jin yang mengambil ayat-ayat dari kitab To-tek-keng ini perlahan saja, akan tetapi karena suara itu didorong tenaga khi-kang yang amat kuat, maka suara itu mengandung getaran kuat dan terdengar pula oleh Thian Liong yang sedang melangkah cepat menuruni Puncak Pelangi. Mendengar nyanyian yang sudah dikenalnya itu Thian Liong tersenyum dan dia mempercepat langkahnya menuruni puncak.

* * *

Untuk memenuhi tugas dari gurunya, Thian Liong lalu melakukan perjalanan ke Kun-lun-san. Tempat ini yang paling jauh di antara yang lain, maka dia lebih dulu hendak pergi ke Kun-lun-pai untuk menyerahkan Kitab Ngo-heng Lian-hoan Kun-hoat yang berada dalam buntalan kain kuning di punggungnya. Setelah itu, baru dia akan pergi ke Bu-tong-pai dan Siauw-lim-pai. Kemudian yang dia akan pergi ke kota raja Hang-chou, menghadap Kaisar Sung Kao Tsu dan menyerahkan tiga belas buah kitab. Setelah semua kitab dapat dia serahkan ke-pada mereka yang berhak menerimanya, baru dia akan menyelidiki tentang Perdana Menteri Chin Kui dan kalau ternyata pembesar itu masih merupakan pembesar lalim yang mengancam keselamatan kerajaan, dia akan menentangnya sekuat tenaganya.

Setelah melakukan perjalanan yang amat jauh dan melelahkan, melalui gurun dan pegunungan, akhirnya pada suatu hari dia tiba di kaki pegunungan Kun-lun. Ada sebuah jalan raya yang cukup lebar menuju ke barat dan jalan ini yang biasa dipergunakan para rombongan peda-gang yang membawa barang dagangan mereka dari dan ke daerah barat, menuju Tibet, terus ke selatan ke Kerajaan Bhutan Nepal, dan India. Jalan itu seringkali sunyi, baru ramai kalau musim panas tiba dan para pedagang banyak yang rnelakukan perjalanan dalam rombongan yang dikawal dengan kuat. Pada hari-hari biasa, yang melewati jalan itu hanyalah penduduk dusun-dusun sekltarnya, para petani, pemburu, dan pencari hasil hutan.

Pagi harl itu Thian Liong berjalan diatas jalan besar, menanti-nantl kalau ada orang yang dapat dia tanyal tentang Kun-lun-pai. Dia sudah kehabisan bekal. Uangnya yang dia dapat dari gurunya tidak berapa banyak dan sudah habis untuk membeli makanan dalam. perjalanan selama ini. Gurunya pernah ber-pesan kepadanya untuk kebutuhan hidupnya dia harus mencarl uang dengan bekerja. Bekerja apa saja asalkan tidak merugikan orang. Tentu saja dengan mempergunakan ilmu kepandaiannya, dengan mudah dia akan dapat mengambil uang milik orang tain, akan tetapi hal itu berarti merugikan orang lain dan tentu saja dia tidak akan sudi melakukan perampokan atau pencurian. Akan tetapi pagi ini uangnya sudah habis sama sekali, maka dia tidak dapat membeli bekal makanan ketika melewatl sebuah dusun pagi tadi.

Ketika dia tlba dl sebuah Jalan yang terletak di tempat tinggi, dia melihat jauh di depan ada debu mengepul dan terlihat gerakan banyak orang sedang bertempur. Mellhat adanya beberapa buah gerobak berdlrl tak Jauh dari tempat pertempuran itu, Thian Liong dapat menduga bahwa sepihak dari mereka yang bertempur itu tentu rombongan pedagang. Teringatlah dia akan cerita gurunya bahwa para pedagang jarak jauh itu biasanya dlkawal oleh orang-orang yang pandal ilmu silat karena banyak penJahat yang berusaha untuk merampok barahg dagangan yang berharga mahal itu. Thian Llong lalu berlari cepat menurunl lereng Itu dan sebentar saja dia sudah tiba dl tempat pertempuran. Dia melihat lima orang yang berpakalan sebagai saudagar berdiri ketakutan dekat lima buah kereta penuh barang, bersama lima orang kusir kereta yang juga menon-ton perkelahian dengan sikap ketakutan.

Thlan Liong memandang ke arah mereka yang berkelahi. Ternyata yang berkelahi hanya dua orang laki-laki yang dikeroyok oleh belasan orang yang berpakaian sebagai pengawal. Akan tetapi dua orang yang bersilat pedang itu lihai bukan main. Dikeroyok belasan orang, mereka sama sekali tidak terdesak, bahkan para pengeroyok yang kocar-kacir dan sudah ada iima orang di antara mereka roboh mandi darah.

Karena tidak tahu persoalannya, Thian Liong merasa ragu untuk bertindak. Dia tidak tahu slapa yang berada di pihak yang jahat sehingga dia meragu siapa yang harus dibelanya. Thian Llong lalu menghampiri lima orang saudagar yang bersama lima orang sais berdiri diekat kereta.

"Sobat-sobat, apakah yang terjadi?" dia bertanya. Para saudagar yang tadinya takut melihat Thlan Liong mendekati mereka karena mengira karena pemuda itu kawan para perampok, menjadi lega mendengar pertanyaan itu. Akan tetapi karena pemuda itu tampak hanya seperti seorang pemuda dusun yang bersahaja dan lemah, merekapun tldak dapat mengharapkan bantuan darlnya.

"Orang muda, pergilah cepat. Dua orang itu adalah perampok yang hendak merampas barang kami dan belasan orang itu adalah para piauwsu (pengawal barang) yang melindungi kami." jawab seorang kusir yang berdiri paling dekat dengan Thian Liong.

Mendengar ini, Thian Liong tldak ragu lagi pihak mana yang harus dia bantu" Dia memandang ke arah perkelahian. Dua orang itu memang lihai sekali. Para piauwsu yang juga mempergunakan pedang sebagai senjata, sudah kewalahan dan terdesak ke belakang. Dua orang itu berusia kurang lebih einpat puluh tahun, orang pertama bertubuh tinggi kurus dengan muka berbentuk meruncing seperti muka tikus dan orang ke dua bertubuh pendek gendut namun gerakannya tidak kalah cepat dibandingkan kawannya. Kedua orang itu mengenakan pakaian yang sama, seluruhoya berwarna hitam dari sutera halus dan di bagian dada ada, gambar seekor burung rajawali putih.

Thian Liong lari menghampiri pertempuran itu dan mengerahkan tenaga sakti lalu berseru,

"Hentikan pertempuran dan tahan senjata!"

Seruannya ini mengandung kekuatan yang memaksa mereka yang sedang bertempur itu masing-masing menahan gerakan dan berlompatan mundur sehingga otomatis pertempuran itu terhenti. Dan orang berpakaian hitam itupun berlompatan ke belakang dengan wajah terheran-heran. Mereka semua kini memutar tubuh menghadapi Thian Liong dengan sinar mata heran dan juga penasaran.

Seorang di antara dua orang perampok itu, yang bertubuh tinggi kurus dan bermuka tikus membawa sebuah kantung kain biru yang diikatkan di punggungnya. Dia yang kini membentak kepada Thian Liong,

"Heh, orang muda! Mau apa engkau menghentikan perkelahian kami?"
Thian Liong berkata dengan sabar,

"Sobat, aku mendengar bahwa kalian berdua merampok para saudagar ini sehingga di antara kalian semua terjadl perkelahian yang mengaklbatkan luka bahkan mungkln kematian. Kenapa kalian berdua melakukan kejahatan ini? Kalau memang kalian rnembutuhkan sumbangan, saya kira kalian dapat memlntanya darl para saudagar ini dan mereka tentu tldak akan menolak kalian untuk memberi sumbangan."

Dua orang perampok itu terbelalak keheranan, keduanya saling pandang kemudian mereka tertawa geli melihat ulah pemuda yang mereka anggap tolol itu.

"Hei, bocah tolol! Menggelindinglah pergi dan jangan mencampuri urusan kami. Kami adalah orang-orang Pek tiauw-pang (Perkumpulan Rajawali Putih) dan kami akan membunuhmu pula kalau engkau tidak cepat pergi dari sini!"

Setelah berkata demikian, dua orang itu audah menerjang lagi, menyerang pa-ra piauwsu yang tinggal berjumlah tiga belas orang itu. Para piauwsu juga menggerakkan pedang mereka dan kembali mereka berkelahi. Suara pedang bertemu pedang berdentlngan dan dua orang yang mengaku sebagal orang-orang Pek-tiauw-pang itu mengamuk.

Thian Liong tertegun, kecewa bahwa dua orang itu Udak mendengar nasihat-nya. Akan tetapi sebelum dia turun tangan, tiba-tiba tampak bayangan merah muda berkelebat dan tahu-tahu di situ telah berdiri seorang gadis yang mengenakan pakaian serba merah muda. Gadis itu berusia kurang lebih tujuh belas tahun, cantik jelita seperti dewi, dan sepasang matanya mengeluarkan sinar mencorong dan mata itu jeli dan tajam bukan main. la berdiri disitu, tangan kiri bertolak pinggang, tangan kanan memegang sebatang ranting pohon yang masih ada daunnya, lalu terdengar suaranya melengking.

"Sudah lama kudengar akan kejahatan Pek-tiauw-pang! Sekarang aku melihat sendiri dua orang Pek-tiauw-pang merampok. Nonamu ini tidak akan mengampuni kalian!" Setelah berkata demikian, tubuhnya bergerak cepat sekali seperti seekor burung terbang dan ia sudah melayang dan menyerang dengan ranting pohon itu ke arah si pendek gendut! Biarpun ranting itu hanya sebesar ibu Jari kaki, dan panjangnya hanya satu meter, akan tetapi ketika menyambar ke arah kepala perampok pendek gendut, terdengar suara bercuitan dan ranting itu berubah menjadi slnar kehijauan yang menyambar ke arah jalan darah di leher si pendek gendut. Jagoan Pek-tiauw-pang ini terkejut bukan main karena dia dapat, merasakan, sambaran angin serangan yang dahsyat mengarah lehernya. Itu merupakan serangan maut' Cepat' dia mengelak dan melompat ke belakang, akan tetapi ada sehelai daun yang terlepas dari ran-ting itu dan terbang menampar pipinya,

"Plakk!" Biarpun hanya sehelai daun basah yang mengehai pipinya, akan tetapi terasa cukup nyeri, panas dan pedih. Si pendek gendut menjadi marah sekali. Dia mengeluarkan gerengan dan memu-tar pedangnya, menyerang ke arah gadis berpakaian merah muda itu. Pedangnya menjadi stnar putih bergulung-gulung yang menyerbu ke arah gadis itu. Akan tetapi dengan indahnya gadis itu beriompatan menghindar dan terdengar ia mengeluarkan suara tawa merdu yang mengejek.

"Hi-hik, manusia macam katak buduk beranl melawan nonamu? Engkau sudah boaen hldup!" Rantlng dl tangan pdii itu membalaa, rnenyambar-nyambar, akan tetapl si pendek gendut Itupun lihai. Dia dapat menangkls dengan pedang dan ba-las menyerang. TerJadi perkelahian seru di antara mereka.

Sementara itu, tiga belas orang piauwsu yang melihat betapa si pendek gendut sudah berkelahi melawan gadis baju merah muda yang membantu mereka, kini menyerbu dan mengeroyok si muka tikus!

Perampok tinggi kurus bermuka tikus ini mengerutkan alisnya, memutar pedang melindungi dirinya. Dia tahu bahwa ka-lau dia seorang diri harus menghadapi pengeroyokan tiga belas orang piauwsu itu, dirinya dapat terancam bahaya. Dia melirik ke arah temannya dan mendapat kenyataan bahwa gadis muda itu llhai sekali, bahkan dengafl sepotong rantlng agaknya dapat membuat kawannya repot sekali. Tiba-tiba sl tingg! kurus melompat Jauh ke belakang dan melarikan diri!

Terdengar teriakan yang keluar dari kelompok saudagar itu.

"Tolong! Dia membawa semua uang kami dalam kantung biru itu! Kejar dia.....!!"

Para piauwsu mengejar, akan tetapi ternyata orang tinggi kurus itu larinya cepat sekali. Melihat dan mendengar ini, Thian Liong lalu melompat ke depan dan melakukan pengejaran. Para piauwsu menghentikan pengejaran mereka karena mereka teringat akan keselamatan lima orang saudagar yang harus mereka lindungi. Mereka kembali ke tempat itu dan melihat gadis berpakaian merah muda itu masih bertanding melawan perampok gendut pendek, mereka menonton sambil bersiap-siap. Sebagian dari mereka merawat lima orang kawan yang terluka.

Sementara itu, dengan mempergunakan ilmu berlari cepat yang nsenibuat tubuhnya meluncur seperti terbang ketika melakukan pengejaran, sebentar saja Thian Liong sudah dapat menyusul perampok tinggi kurus bermuka tikus yang melarikan diri itu.

"Perlahan dulu, sobat!"

Si tinggi kurus itu terkejut bukan main mendengar ucapan ini dan dia melihat bayangan orang berkelebat, tahu-tahu di depannya telah berdiri pemuda yang tadi mencela dia dan temannya karena melakukan perampokan! Tadinya dia terkejut mengira bahwa yang dapat menyusulnya adalah gadis yang amat lihai itu. Akan tetapi ketlka mendapat kenyataan bahwa pengejarnya hanyalah pemuda tadi yang tampak biasa saja, dia menjadi marah sekali.

"Mampuslah" Bentaknya dan dia sudah menyerang dengan bacokan pedangnya ke arah leher Thian Liong. Orang itu sudah membacok dengan sekuat tenaga dan sudah merasa cepat sekali. Namun bagi mata dan telinga Thian Liong yang terlatih baik, bacokan itu datangnya lambat dan lemah saja. Maka dengan mudah dia mengelak dengan miringkan tubuhnya sehingga bacokan meluncur lewat mengenai tempat kosong.

"Sobat, aku tidak mau berkelahi denganmu. Aku hanya menghendaki agar engkau menyerahkan buntalan biru itu. kata Thian Liong tenang.

Si tinggi kurus itu menghentikan gerakannya.

"Apa? Engkau juga menghendaki uang ini? Kalau begitu, kita adalah rekan segolongan, mengapa engkau menggangguku? Kalau engkau minta bagian, katakan saja dan aku pastl akan memberimu."

Thlan Liong menggeleng kepalanya.

"Tldak, aku tldak menginginkan uang itu Akan tetapi uang itu harus dlkemballkan kepada pemlliknya yang merasa kehllangan. Serahkan buntalan itu kepadaku dan aku tidak akan menahanmu lagi."

"Engkau minta ini? Nah, terimalah!" Si muka tikus membentak akan tetapl bukan buntalan itu yang dia berikan, melainkan pedangnya sudah menyambar lagi dengan cepat karena dia mengerahkan seluruh tenaganya. Akan tetapi dengan tenang namun jauh lebih cepat Thian Liong miringkan tubuhnya, membuat langkah ke depan mengitari tubuh lawan, tangan kirinya menepis tangan lawan yang memegang pedang sedangkan tangan kanannya meraih ke arah punggung perampok muka tikus itu.

"Dukk.....! Aduhh..... brettt'!" Tubuh perampok itu terhuyung dan buntalan yang tadinya tergantung di punggungnya telah berpindah ke tangan Thian Liong.

Perampok itu marah sekali. Tentu saja dia tidak rela buntalan biru berisi uang emas dan perak itu direbut begitu saja. Biarpun tangan kanannya terasa ngilu ditepis tangan Thlan Llong tadi, namun kemarahan membuat dla tldak merasakan Ini dan dla sudah menerjang lagi seperti kesetanan.

"Kembalikan bungkusan itu!" terlaknya.

"Benda ini bukan milikmu." kata Thian Liong dan tubuhnya bergerak cepat mengelak dari sinar pedang yang menyambar-nyambar. Sampai belasan kali pedang itu menyambar namun tak pernah dapat menyentuh ujung baju Thian Liong. Melihat kenekatan orang itu, Thian Liong menyadari bahwa penjahat seperti ini sukar untuk diharapkar kesadarannya tanpa memberi hajaran kepadanya.

"Slnggg....!" Pedang menyambar lagl membabat ke arah pinggang kiri Thian Liong. Pemuda Itu menggerakkan kaki kirinya yang mencuat ke depan menyambut serangan itu. Ujung kakinya menendang pergelangan tangan yang memegang pedang. Pedang terlepas dan terpental jauh dan sebelum si muka tikus hilang kagetnya, kaki kanan Thian Liong mencuat.

"Dukkk!" Kaki itu menyambar dada dan tubuh perampok bermuka tikus itu terjengkang dan terbanting roboh. Sambil meringis kesakitan dia merangkak bangun. Kini maklumlah dia bahwa pemuda ini lihai sekali dan kalau dia melawan terus, berarti dia mencari penyakit. Maka setelah dapat bangkit berdiri dan kepeningan kepala serta kesesakan napasnya mereda, dia lalu melarikan diri meninggalkan Thian Liong yang masih berdiri dengan sikap tenang. Setelah melihat penjahat itu pergi, diapun lalu meninggalkan tempat itu dan kembali ke tempat di mana terjadi perampokan tadi.

Sementara itu, Bi Lan masih bertanding seru melawan perampok yang bertu-buh gendut. Dia termasuk seorang tokoh Pek-tiauw-pang dan tingkat kepandaianya sudah cukup tinggi. Ilmu pedangnyapun lihai. Pedangnya berubah menjadi sinar putih bergulung-gulung. Namun, dia merasa penasaran sekali karena betapapun cepatnya dia memutar pedangnya, sama sekall tidak pernah dapat menyentuh ujung baju gadls remaja yang menjadl lawannya. Tentu saja dia menjadi penasaran sekali. Bagaimana mungkln dia, seorang jagoan darl perkumpulan Pek-tiauw-pang, kini tidak mampu mengalahkan seorang gadis yang usianya baru kurang lebih tujuh belas tahun dan yang hanya menghadapi pedangnya dengan sebatang ranting kecil? Dia sama sekali tidak tahu bahwa gadis remaja itu adalah murid manusia saktl Jit Kong Lama" pendeta Lama dari Tibet yang amat sakti dan yang telah menggembleng murid perempuannya itu selama sepuluh tahunl Kalau Bi Lan menghendakl, dalam satu dua jurus saja ia tentu mampu merobohkan lawannya. Akan tetapi dasar ia memiliki watak yang llncah gemblra, jenaka dan nakal, di samping galak dan cerdik, gadis itu sengaja hendak mempermainkan lawannya.

"Singg....!" Pedang sl gendut menyambar ke arah lehernya. Bi Lan denganmudah mengelak ke belakang dan ujung rantingnya menyambar.

"Brettt....!!" ujung ranting itu menebas dari atas ke bawah dan rontoklah semua kancing baju si gendut sehingga baju itu seketika terbuka memperlihat-kan dada dan perutnya yang gendut se-kali dan berkulit putih.

"Hiiih, seperti babi kamu!" Bi Lan berkata mengejek dan belasan orang piauwsu yang menonton perkelahian itu tak dapat menahan tawa mereka. Si gendut menjadi marah bukan main. la merasa dipermainkan, dihina dan dijadikan buah tertawaan semua orang itu.
"Bocah jahanam, mampus kau!" bentaknya dan kembali pedangnya menyambar dahsyat, kini menusuk ke arah ulu hati gadis itu. Bi Lan menekuk lutut, merendahkan tubuhnya dan ketika pedang meluncur lewat atas kepalanya, dari bawah ranting di tangannya meluncur ke depan.

"Bret....!" Kini tali celana si gendut itu yang putus semua dan tak dapat dicegah lagi, celana itu lepas dari perut yang gendut dan melorot turun!

"Hihhh! Menjijikkanl" Bi Lan memejamkan mata dan memutar tubuh membelakangi lawannya yang kini telanjang sambil menutupl mukanya dengan tangan kiri. Suara tawa meledak bahkan ada yang terpingkal-pingkal mellhat Si gendut kedodoran dan repot mengangkat celananya ke atas.

Muka Si gendut menjadl merah sekali seperti kepiting direbus. Akan tetepi ketika dia melihat Bi Lan berdiri membelakanginya, ia tak mau menyia-nyiakan kesempatan balk untuk membalas penghinaan yang luar biasa itu, Cepat sekali dengan tangan kiri menahan celananya agar jangan merosot turun, tangan kanannya menggerakkan pedangnya hendek memenggal leher gadis itu dari belakang.

"Wuuutt...,. crott!!" Tubuh si gendut terkulai roboh dan darah bercucuran muncrat dari dadanya yang berlubang tertusuk ujung ranting yang tadi secepat kilat ditusukkan Bi Lan sambil membalikkan tubuh, tepat memasuki dada si gendut selagi pedangnya masih terangkat ke atas. Gerakan Bi Lan cepat bukan main sehingga lawannya tidak sempat mengelak atau menangkis tagi. Karena ranting itu telah menembus jantungnya, maka begitu terkulai roboh si gendut segera tewas tanpa dapat mengeluh lagi. Bi Lan membuang rantingnya yang berlumur darah dan sama sekali tidak melirik lagi ke arah lawan yang telah tewas itu.

Lima orang pedagang yang usianya sudah setengah tua kini berani keluar dari dalam kereta dan mereka menghampiri Bi Lan dengan sikap hormat. Pada saat itu Thian Liong datang berlari cepat dan dia membawa sebuah kantung kain berwarna biru yang tampaknya berat. Thian Liong menghampiri lima o-rang pedagang itu. Dia dapat menduga bahwa tentu lima orang itu yang memiliki barang-barang yang dikawal karena pakaiannya berbeda jauh dari para piauwsu.

"Ini rnlllk kalian yang tadi dilarikan perampok, Terimalahl" Lima orang pedagang itu tampak girang sekall. Seorang dari mereka menerima kantung biru itu dan mereka berlima segera memberi hormat kepada Thian Liong dan Bi Lan. Mereka semua menyangka bahwa pemuda dan gadis itu tentu merupakan pasangan karena mereka datang pada saat yang sama dan keduanya merupakan orang-orang lihai yang telah menolong mereka.

Seorang dari lima orang saudagar itu mewakili ternan-temannya dan berkata kepada sepasang muda mydi itu dengan sikap hormat.

"Tai-hiap (pendekar besar) dan li-hiap (pendekar wanita) berdua telah menyelamatkan nyawa dan harta kami. Untuk itu kami semua mengucapkan banyak terima kasih dan kami harap tai-hiap berdua sudi menerima sedikit sumbangan dari kami ini sebagai tanda terima kasih kami." Saudagar yang berjenggot panjang itu membuka kantung blru dan mengeluarkan segenggam uang emaa, dlserahkan kepada Thian Liongl

Thian Liong mengerutkan alisnya dan menggoyang tangan kanan menolak.

"Tidak, apa yang kami lakukan sudah merupakan kewajiban kami, kami tidak mengharapkan upah!"

Akan tetapi Bi Lan sudah melangkah maju dan sekali tangannya bergerak, ia. sudah menampar tangan yang menggenggam uang emas itu sehingga saudagar itu berteriak kesakitan dan uang emasnya berhamburan di atas tanah.

"Engkau ini sungguh seorang yang sama sekali tidak mengenal budi, sudah ditolong malah balas menghina dengan menyerahkan segenggam uang! Lupakah kalian bahwa kami berdua bukan hanya telah menyelamatkan harta bendamu akan tetapi juga nyawa kalian berlima dan belasan orang pengawal kalian? Apakah nyawa kalian semua harganya hanya segenggam uang emas ini? Betapa murahnya nyawa kalian!"

Lima orang saudagar itu terkejut sekali dan menjadi ketakutan. Si Jenggot panjang yang agaknya menjadl pemimpln mereka, cepat membungkuk-bungkuk kepada Bi Lan, memberl hormat dan berkata dengan suara mengandung penuh penyesalan.

"Ampunkan kami, li-hiap. Kami memang bersalah. Sekarang katakanlah apa yang li-hiap kehendaki dan kami pasti akan memenuhi permintaan li-hiap untuk niembalas budi li-hiap."

"Sebetulnya kami tidak mengharapkan apa-apa seperti dikatakan tai-hiap ini. Kami bukan pengawal kalian yang kalian gaji. Kami membunuh dan mengusir penjahat, menyelamatkan kalian hanya karena hal itu sudah merupakan kewajiban para pendekar! Akan tetapi mengingat bahwa nyawa kalian telah diselamatkan, apakah tidak sepantasnya kalau nyawa kalian dihargai sedikitnya. Separuh dari isi kantung uang itu?"

Mendengar ini, Thian Liong mengerutkan alisnya akan tetapi dia tidak dapat berkata apa-apa. Sementara itu, lima orang saudagar itu membungkuk-bungkuk dan si jenggot panjang cepat berkata,

"Tentu saja, li-hiap! Tuntutan itu lebih darl pada pantasl" Dia lalu mengambil sebuah kantong kosong lalu memindahkan sebaglan isi kantung biru ke kantung yang kosong, bahkan dla sengaja memlllh emasnya saja. Setelah emas separuh kantung biru itu dlpindahkan, dia lalu meletakkan kantung yang teriri emas itu ke atas tanah di depan Bi Lan sambil berkata,

"Silakan, li-hlap. Bingkisan yang tldak seberapa ini kaml berikan kepada jl-wl (kallan berdua) dengan hati rela dan ikhlas. Sekarang kami mohon dlri hendak melanjutkan perjaianan kami."

Tergesa-gesa lima orang saudagar yang ketakutan melihat Bi Lan marah tadi lalu memberi isarat kepada para piauwsu dan tak lama kemudian kereta mereka bergerak meninggalkan tempat itu.

Thian Liong masih berdiri berhadapan dengan Bi Lan. Kantung berisi uang emas itu masih tergeletak di atas tanah, di antara mereka. Mereka saling padang dan baru sekarang Thian Liong dapat mengamati Wajah gadis berpakaian serba merah muda itu. Dan dia menjadi kagum dalam hatinya walaupun kekaguman itu tidak tampak pada wajahnya yang tetap tenang. Siapa yang tidak kagum melihat gadis remaja yang jelita itu?

Usianya paling banyak baru tujuh belas tahun, akan tetapl ilmu silatnya sungguh hebat! Pakaian sutera serba merah muda itu sesuai sekali dengan tubuhnya yang ramping dan kulitnya yang putlh mulus itu tampak semakin bersih dan lembut dlpadu dengan sutera merah yang membungkusnya. Rambut di kepalanya hitam lebat dan panjang, digelung dengan indahnya dan dihias tusuk sanggul dari emas berbentuk burung kecil bermata merah. Sinom (anak rambut) lembut halus melingkar-lingkir di dahi dan pelipisnya. Sepasang telinga yang Indah bentuknya itu terhias anting-anting membuatnya tampak lucu dan kekanak-kanakan. Dahi yang halus putlh itu tampak semakin mulus karena sepasang alisnya amat hitam, menjelirit kecil melengkung, melindungi sepasang mata yang seperti bintang kejora, pandangannya tajam dan penuh gairah hidup, penuh semangat. Hidungnya yang mancung serasi sekali dengan mulutnya yang menggairahkan, dengan bibir yang indah dan kemerahan tanpa glncu, dihias pula sepasang lesung pipit di kanan kiri. Dagunya meruncing. Kulitnya putih mulus dan tubuh yang mulai dewasa itu seperti bunga se-dang mekar atau buah sedang ranum, dengan lekuk lengkung yang menggiurkan. Pendeknya, seorang gadis remaja yang cantik jelita! Akan tetapi pandang mata Thian Liong tampak tak senang ketika dia melirik ke arah kantung uang. Sungguh sayang, gadis secantik itu ter-
nyata mata duitan!

"Memalukan," katanya lirih namun penuh teguran,

"Menerima upah untuk menolong orang. Seperti tukang pukul saja."

Gadis itu membelalakan matanya dan kini matanya tampak lebar sekali, membuat wajahnya tampak lucu. Akan tetapi setelah melebarkan mata, ia lalu menge-rutkan alisnya dan matanya mencorong, bibirnya cemberut. Jelas sekali tampak bahwa ia marah!

"Apa kau bilang? Memalukan? Engkau munafik!" la memaki.

"Munafik? Aku?" Thian Ltong melongo heran dan kaget dimaki munafik.

"Ya engkau munafik. Coba Jawab, apakah engkau memillki banyak uang?"

Thlan Liong menggeleng kepalanya. 'Tldak sama sekali."

"Jawab lagi, Apakah engkau tldak membutuhkan makan, pakaian, dan tempat tinggal untuk melewatkan malam?"

"Tentu saja aku membutuhkan."

"Jawab lagi. Kalau engkau lapar, apakah engkau mengemis makanan ataukah mencuri makanan? Kalau pakaianmu rusak, kulihat sepatumu itu sudah butut sekali dan perlu diganti, dari mana engkau akan mendapatkan semua itu? Mencuri? Dan kalau engkau menginap dl rumah penglnapan, apakah setelah bermalam paglnya engkau lalu minggat tanpa membayar? Hayo jawab! Untuk semua itu engkau membutuhkan uang ataukah tidak?"

Diberondong begitu dan melihat sikap gadis itu membusungkan dadanya seperti menantang, Thian Uong gelagapan dan menelan ludah sebelum menjawab

"Ya.... eh, tentu saja untuk semua itu aku membutuhkan uang."

"Bagus, ya? Engkau butuh uang pada hal engkau tidak punya uang, dan seka-rang ada orang yang memberimu uang, engkau pura-pura menolak dan berani mengatakan i-nemalukan. Apa lagi nama-nya itu kalau bukan inunafik?"

"Akan tetapi aku menolong mereka bukan untuk mendapatkan bayaran uang!" Thian Liong membantah.

"Berlagak suci! Kita tidak rninta uang. Mereka yang memberikan kepada kita karena mereka hendak membalas jasa. Uang ini sudah sepantasnya menjadi milik kita. Apa artinya uang sebegini dibandingkan dengan harta kekayaan dan nyawa mereka berlima itu? Ini adalah uang halal, sama sekali tidak haram, tahu?" Bi Lan lalu membuka kantung1 itu, menuangkan isinya ke atas tanah la-lu membagi potongan-potongan emas itu menjadi dua. Yang setengah bagian ia masukkan ke dalam buntalan kuning berisi pakaiannya, dan yang setengahnya lagi ia masukkan kembali ke dalam kantung biru.

"Nah, yang itu bagianmu. Ambillah!" katanya sambil menudingkan telunjuk kirinya yang kecil mungil ke arah kantung biru itu. Akan tetapi Thian Liong tidak mengacuhkan kantung itu, melainkan menghampiri mayat perampok gendut yang tewas oleh ranting di tangan Bi Lan tadi. Dia membungkuk untuk memungut pedang milik perampok gendut yang tewas itu dan mulailah dia menggunakan pedang itu untuk menggali tanah.

Melihat pemuda itu tidak mengacuhkannya dan malah menggali lubang di tanah, Bi Lan menjadi penasaran. la menghampiri pemuda itu dan menegur,

"Hei, apa-apaan yang kaulakukan ini?"

Thian Liong yang sejak tadi menahan kedongkolan hatinya terhadap gadis Itu, menghentikan pekerjaannya dan dia berdiri menghadapi Bi Lan, memandang dengan slnar mata tajam mengaridung marah dan berkata, suaranya maslh lirih dan lembut, namun mengandung nada suara teguran keras.

"Nona, engkau masih amat muda namun telah memillkl llmu kepandalan tlnggi. Sungguh sayang sekali bahwa engkau terlalu kejam!"

Kini gadis itu yang terbelalak, ka"et dan heran, lalu alisnya berkerut dan la, inenjadi marah.

"Aku kejam?"

"Ya, engkau kejam! Engkau telah memburiuh orang ini padahal tanpa membunuhnyapun, dengan mudah engkau akan dapat mengalahkannya!" kata Thian Uong penasaran, lalu melanjutkan pekerjaannya menggali lubang kuburan.

"Kalau engkau bilang aku kejam, maka aku katakan engkau ini tolol! Tolol, bodoh, munafik!" Gadis itu memaki-maki karena ia menganggap pemuda itu memakinya kejam.

"Aku membunuhnya kau katakan kejam? Apa kaukira dia itu orang lemah-lembut dan baik hati? Ketahuilah, tolol, bahwa diapun berusaha membunuh para piauwsu dan saudagar itu dan kalau tidak ada aku, tentu semua orang itu celah dlbunuhnya! Dia itu pembunuh kejaml"

Thlan Llong menunda penggaliannya dan manoleh kepada gadis itu, klni suaranya terdengar tegas.


Kisah Si Naga Langit Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo


"Dia pembunuh orang dan jahat? Akan tetapi engkau juga membunuhnya. Apa bedanya antara kalian berdua? Apa kau ingin kusamakan dengan perampok yang kau bunuh ini?"

"Jelas beda! Tolol dan bodoh sekali kalau tidak melihat bedanya! Dia menyerang dan membunuh orang-orang yang tidak bersalah, dia menggunakan kepandaiannya untuk melakukan kekerasan dan mencelakai1 orang! Sedangkan aku, aku menggunakan kepandaian untuk menentang kejahatan, aku membunuh orang yang jahat berbahaya bagi orang-orang lain yang tidak berdosa! Dia penjahat dan aku pendekar, itulah perbedaannya!" Bi Lan membentak marah dan ia mem-banting-banting kaki saking jengkelnya disamakan dengan perampok jahat!

Akan tetapi Thiah Liong juga sudati' merasa jengkel dan tidak mau mengalah.

"Engkau dapat berbuat lebih baik dari itu, nona. Engkau akan benar-benar ber-Jasa besar kalau engkau hanya mengha-Jar penjahat ini, 'membuatnya jera dan berhasil menasehatlnya agar dia kembali ke jalan benar. Akan tetapl membunuhnya? Engkau tldak mampu memberi hidup, maka juga tldak berhak mematikan.

Setelah berkata demikian, Thian Liong melanjutkan pekerjaannya menggali iubang kuburan. Bi Lan membantlng-banting kaki dengan gemas, kedua tangannya terkepal akan tetapi tidak menyerang karena ia melihat pemuda itu sibuk bekerja.

"Engkau.... cerewet dan bawel! Huh, aku muak dan benci melihatmu!!"

Thian Liong tertawa dan kembali menunda pekerjaannya, lalu menoleh ke arah gadis itu.

"Akan tetapl aku suka dan kasihan padamu."

Bl Lan mendengus dan memutar tubuhnya, terus melangkah pergi, diikuti suara tawa Thian Liong yang dapat menguasai perasaannya dan kini melihat betapa lucu keadaan mereka. Baru bertemu, bekerja sama menolong rombongan saudagar menentang penjahat, lalu bercekcok! Padahal mereka belum saling memperkenalkan dlri, namanyapun tidak tahu. Setelah gadls itu pergi, baru dia teringat betapa jelita dan menariknya gadis itu dan betapa lihai ilmu silatnya. Berwatak pendekar pula, atau setidak-nya merasa menjadi pendekar. Sayang, galaknya bukan kepalang, seperti seekor harimau betina! Dia masih tersenyum-senyum ketika melanjutkan pekerjaannya. Setelah lubang itu cukup dalam, dia lalu mengubur jenazah penjahat gendut itu, menimbuni jenazah dalam lubang, menancapkan pedang itu di atas gun-dukan tanah kuburan, baru dia membersihkan kedua tangannya, mengambil bun-talannya yang tadi dia letakkan di bawah pohon tak jauh dari situ. Dia tidak menengok ke arah kantung biru yang berisi setengah jumlah uang emas yang ditinggalkan gadis itu. Ketika membungkuk hendak mengambil buntalan pakaian dan kitab-kitabnya, dia melihat buntalannya itu menonjol dan tampak lebih besar dari biasanya. Dia merasa heran lalu membuka ujung kain buntalan yang tadi-nya diikat. Ternyata buntalan atau kan-tung biru berisi uang emas itu telah berada dalam buntalannya! Cepat dia menoleh ke arah tempat; di inana kantung biru tadi ditinggalkan gadis itu dafi kantung itu telah lenyap. Kiranya diam-diam kantung itu telah dimasukkan ke dalam buntalannya oleh gadis itu! Bukti bahwa gadis itu dapat melakukan inl . tanpa diketahuinya, agaknya ketika dial?, sedang asik menggali lubang, menunjuk- te kan bahwa gadis itu memang lihai sekali. Sejenaki Thian Liong termangu dan ragu-ragu apakah akan menerima uang itu ataukah tidak. Kalau dia tidak meneri-manya dan meninggalkan di tempat itu,y apa gunanya? Jangan-jangan malah dlte-iK mukan orang-orang Jahat, karena yang berkeliaran dalam tempat liar dan sunyl sepertl itu biasanya hanyalah orang-orangSs sesat. Kalau diterimanya dan menjadi miliknya, apa salahnya? Gadis itu benar juga. Harus diakui bahwa dia membutuhkan uang untuk membeayai perjalanannya. Dia butuh uang untuk membeli pengganti pakaian, untuk membeli makan setiap hari, dan untuk membayar sewa kamar untuk bermalam. Dan uang itu memang bukan uang haram, melainkan pemberian para saudagar yang memberinya dengan rela dan senang hati. Dla menghela nepas panjang lalu menglkat-kan ujung buntalannye kemball, kemudian menggendong buntalan itu dan mulai mendaki sebuah puncak yang menurut keterangan penduduk di lereng bawah, adalah tempat tinggal Kun-lun-pai.

Tiba-tiba dia menahan langkahnya. Dia hendak ke Kun-lun-pal, kemudian ke Bu-tong-pai dan ke Siauw-lim-pai untuk menyerahkan kitab-kitab atas perintah gurunya. Kitab-kitab itu menurut gurunya amat penting bagi ketiga partai persilatan itu. Kitab-kitab itu dia simpan da-lam buntalan pakaiannya dan tadi bun-talan pakaiannya telah dibuka oleh gadls itu! Ah, siapa tahu? Banyak tokoh persi-latan yang menginginkan kitab-kitab itu. demikian gurunya berpesan dan agar dia berhati-hati menjaganya karena bukan tidak mungkin akan ada tokoh-tokoh kang-ouw yang lihai akan mencoba merampasnya kalau mereka mengetahui bahwa dia membawa kitab-kitab itul Ah gadis itu! Siapa tahu?

Dengan jantung berdebar dan perasaannya tegang Thian Liong lalu menurunkan buntalannya dan membukanya. Dia cepat memeriksa isinya dan. Wajahnya tiba-tiba menjadi pucat ketika melihat bahwa yang berada dalam buntalannya kini hanya ada dua buah kitab, yaitu Kitab Sam-jong Cin-keng untuk diberikan kepada ketua Siauw-lim-pai dan Kitab Kiauw-ta Sin-na untuk Bu-tong-pai. Kitab ke tiga, yaitu Kitab Ngo-heng Lian-hoan Kun-hoat untuk Kun-lun-pai telah lenyap! Dia mencari-cari, membolak-balik pakaiannya, namun tetap saja kitab kuno itu tidak dapat ditemukan! Dia teringat bahwa tadinya kitab itu berada paling atas di antara tiga buah kitab itu karena memang kitab itu tadinya akan dia serahkan paling dulu kepada Kun-lun-pai!

"Celaka!" Dia berseru dan mengepal tinju. Siapa lagi kalau bukan gadis galak itu yang mengambilnya? Agaknya ketika membuka buntalan dan memasukkan kantung uang, ia melihat kitab itu berada paling atas dan gadis itu lalu mengambilnya dan membawanya pergi.

"Bocah liar! Kalau bertemu, akan kutampari pinggulnya sedikitnya sepuluh kali!" kata Thian Liong gemas. Akan tetapi dia lalu tertegun. Bagaimana mungkin bisa bertemu? Ke mana dia harus mencari? Gadis itu asing sama sekali. Dia tidak mengetahui namanya, apalagi tempat tinggalnya! Sialan! Tiga tugas pertama telah gagal satu! Apa yang akan dikatakan kepada gurunya? Ah, dia merasa kecewa dan malu. Akan tetapi dia harus bertanggung jawab! Dia harus mencari gadis itu dan merampas kembali kitab untuk Kun-lun-pai, tidak lupa menghukum gadis itu dengan sepuluh kali tamparan pada pinggulnya! Sekarang, tugas utamanya, dia harus menemui Ketua Kun-lun-pai dan melaporkan tentang kehilangan kitab itu. Dia harus bertanggung jawab dan siap menerima celaan dan teguran dari ketua Kun-lun-pai. Dia memang bersalah, tidak hati-hati dan lengah sehingga kitab yang amat penting dan berharga itu dapat dicuri orang. Dia mengikatkan kembali buntalannya, menggendongnya dan mengerahkan tenaga mempergunakan ilmu berlari cepat sehingga larinya seperti terbang mendaki puncak menuju ke kompleks kuil dan bangunan Kun-lun-pai yang berada di puncak itu.

Karena Thian Liong menggunakan gin-kang (ilmu meringankan tubuh) untuk berlari cepat mendaki puncak sebentar saja dia sudah tiba di puncak dan dia melihat sekumpulan bangunan besar yang luas, dikelilingi pagar tembok yang cukup tinggi dan kokoh. Dia lalu berlari ke depan, di mana terdapat sebuah pintu gerbang yang besar. Baru saja dia berhenti berlari, tiba-tiba terdengar bentakan nyaring di belakangnya.

"Siapa kau? Mau apa kau berkeliaran di sini?"

Thian Liong terkejut. Dia tidak mendengar ada orang datang. Ini membuktikan bahwa orang itu tentu memiliki ginkang hebat. Cepat dia memutar tubuh dan berhadapan dengan seorang wanita berusia kurang lebih lima puluh tahun. Rambutnya sudah bercampur uban dan digelung ke atas diikat kain kumng yang lebar hampir menutupi seluruh kepalanya. Pakaiannya sederhana seperti pakaian seorang pertapa atau pendeta. Juga pakaiannya terbuat dari kain kuning yang kasar dan murah. Sebatang pedang tergantung di punggungnya, pedang dengan ronce-ronce berwarna putih.

Thian Liong yang selain menerima pendidikan ilmu silat tinggi juga menerima pendidikan kerohanian yang mendalam disertai tata susila tinggi, cepat memberi hormat karena dia maklum bahwa dia berhadapan dengan seorang wanita sakti.

"Locianpwe (orang tua gagah), maafkan saya. Saya sengaja datang berkunjung untuk menghadap Ketua Kun-lun-pai." Dia merangkap kedua tangan depan dada sambil membungkuk hormat.

Akan tetapi wanita itu, yang wajahnya membayangkan kegalakan dan sinar matanya mencorong masih mengerutkan alisnya.

"Huh, kamu seorang laki-laki berani mendatangi bagian asrama wanita, tentu mengandung niat kurang sopan. Kamu mengandalkan kepandaianmu untuk berlaku kurang ajar, ya?'

"Ah, tldak lama sekali, locianpwe!" seru Thian Liong dengan kaget.

"Saya tldak tahu bahwa ini asrama wanlta....!"

"Bohong! Hendak kulihat sampai dl mana kelihaianmu maka kamu berani muncul di depan asrama kami! Sambutlah!" Setelah berkata demikian, tiba-tiba saja wanita itu sudah menyerang dengan tamparan tangan kirinya. Tamparan tangan terbuka itu cepat sekali dan membawa angin pukulan yang kuat, mengarah pelipis Thian Liong sehingga merupakan serangan berbahaya yang dapat mendatangkan maut!

Diam-diam Thian Liong merasa heran dan juga penasaran. Bagaimana seorang wanita yang berpakatan seperti pertapa atau pendeta, tabiatnya demikian keras, berprasangka buruk dan menyerang orang tak bersalah dengan serangan maut? diapun cepat mengelak mundur sehingga tamparan itu luput.

"Locianpwe, saya bukan musuh dan tldak berniat buruk." Thian Liong mencoba untuk mengingatkan wanita itu.

"sambut ini....!!" Wanita itu bahkan menyerangnya lagi, kini menggunakan pukulan yang mengandung sin-kang (tenaga aakti). Pukulan jarak Jauh ini cukup dahsyat. Angin menyambar dan hawa pukul-an yang kuat menerpa ke arah Thian Liong. Melihat bahaya ini, terpaksa pe-muda itu mengerahkan tenaga dan mendorong ke depan untuk menyambut se-rangan lawan.

"Syuuuuttt.... dessss....!!" Dua tenaga yang kuat bertemu di udara dan akibatnya, tubuh pendeta wanita itu terdorong ke belakang dan la terhuyung-huyung, sedangkan Thian Llong maslh berdlri tegak.

Wanita Itu terkejut. la adalah tokoh Kun-lun-pai tingkat tiga, kepandaiannya hanya di bawah tingkat ketua dan wakil ketua. Akan tetapi dalam adu tenaga sakti melawan seorang pemuda, ia terdorong dan terhuyung! la terkenal berwatak, keras, maka kekalahan dalam adu tenaga ini bahkan membuatnya penasaran dan semakin marah.

"Sratt ....." tampak sinar putih berkelebat menyilaukan mata dan sebatang pedang mengkilat telah berada di tangan kanan wanita itu. Cara ia mencabut pedang dari punggung sedemikian cepatnya, menunjukkan bahwa ia adalah seorang ahli pedang yang pandai.

"Cabut pedang atau senjatamu yang lain! Mari kita mengadu kemahiran memainkan senjata!" kata wanita itu dengan ketus.

"Locianpwe, sekali lagi saya harap jlocianpwe tidak salah sangka. Saya bukan musuh Kun-lun-pai. Kalau locianpwe masih berkeras hendak menyerang dan membunuh orang tidak bersalah, silakan!"

Setelah berkata demikian, Thian Liong berdiri tegak, memejamkan mata, menenggelamkan segala kegiatan jasmani ke dalam kehampaan, hati akal pikirannya tidak bekerja, lahir batin menyerah kepada Kekuasaan Tuhan seperti yang telah dilatihnya bertahun-tahun di bawah bimbingan Tiong Lee Cin-jin.

"Engkau menantang maut? Apa kau kira aku tldak berani membunuh orang luar yang melanggar pantangan, mengunjungi asrama murid-murid wanita Kun lun-pai? Sambut ini! Nenek itu menerjang maju dan pedangnya berkelebat ke arah leher Thlan Llong.

"Slnggg....!" saklng kuatnya pedang dlgerakkan, terdengar suara berdesing ketika senjata Itu menyambar ke arah leher Thian Llong.

"Wuuutt....!" Wanita itu terkejut bu-kan main karena ketika pedangnya me-nyambar ke arah leher pemuda itu, tiba-tiba pedangnya terpental sepertl tertolak tenaga tak tampak yang lentur dan kuat sehingga tenaganya yang mendorong pedangnya itu memballk! Pemuda itu masih berdiri sambll menundukkan muka dan kedua matanya terpejam, mulutnya tersenyum dan wajahnya tampak demiklan tenang dan tenteram, seperti wajah orang yang sedang tidur pulaa. la merasa penasaran sekali dan mepyerang lagi dengan pedangnya. Namun setiap kali membacok atau menusuk, pedangnya selalu terpental. Makiri kuat ia menyerang, semakin kuat lagi tenaga yang membuatnya terpental karena tenaga membalik.

Tiba-tiba terdengar seruan lembut.

"Ngo-sumoi (adik seperguruan ke lima), hentikan itu!"

Mendengar seruan im, nenek itu melompat mundur, napasnya terengah dan wajahnya merah sekali. Thian Liong membuka matanya memandang dan dia melihat seorang pendeta wanita berpakalan serba putih berdlri di depannya. Wanita ini usianya sudah enam puluh lebih, namun wajahnya masih tampak segar dan slnar matanya lembut. Begitu bertemu pandang, Thian Liong merasa tunduk dan tahulah dia bahwa dia berhadapan dengan seorang nenek yang sakti dan yang telah mampu mengendalikan nafsu-nafsunya sendirl. Maka dia cepat memberi hormat, mengangkat kedua tangan ke depan dada.

"Loclanpwe, saya mohon maaf sebanyaknya kalau kunjungan saya kesini hanya mendatangkan keributan dan gangguan."

Pendeta wanita itu tersenyum dan wajahnya tampak jauh leblh muda ketl" ka la tersenyum.

"Ah, slcu (orang muda gagah), kamilah yang sepatutnya mlnta maaf atas slkap sumol Biauw In yang keras terhadapmu tadi. Akan tetapi siapakah engkau, sicu? Dan ada keperluan apakah engkau datang ke tempat kaml ini?"

"Nama saya Souw Thian Liong dan kedatangan saya ini untuk memenuhl perintah guru saya."

"Hemm, kaml melihat tadl bahwa engkau telah mencapal tingkat tertinggl dari tenaga sakti. Siapakah gurumu?"

"Suhu disebut Tiong Lee Cin-jin."

"Sian-cai (damai)....!" Nenek itu berseru dan wajahnya tampak terkejut dan berseri.

"Kiranya Tiong Lee Cin-jin yang bijaksana yang mengutus muridnya datang berkunjung?" Nenek itu menoleh kepada sumoinya yang galak tadi.

"Biauw In Sumoi, lihat apa yang telah kau lakukan tadi? Engkau menyerang murid Tiong Lee Cin-jin'"

Wanita galak itu tampak kaget dan wajahnya menjadi agak pucat.

"Aku.... aku tidak tahu...."

"Loclanpwe, kejadian tadi harap dilupakan saja, Sayalah yang bersalah dan mlnta maaf." kata Thlan Liong yang merasa tldak enak mendengar teguran itu.

"Souw-sicu, sikapmu ini menunjukkan bahwa engkau pantas menjadi murid Tiong Lee Cin-jin yang bijaksana. Katakanlah, tugas apa yang diberikan gurumu kepadamu sehingga engkau datang ke slni?"

"Maaf, loclanpwe. Sesual dengan perintah suhu, saya hanya dapat membicarakan urusan itu kepada para pimpinan Kun-lun-pai, yaitu Kui Beng Thai-su atau Hui In Slan-kouw saja."

Nenek itu tersenyum.

"Kui Beng Thai-su adalah ketua umum Kun-lun-pai dan Hui In Siankouw adalah sumoinya yang memimpin para murid wanita. Akulah Hui In Siankouw dan ia ini seorang sumoiku bernama Biauw In Suthai."

"Ah, kiranya locianpwe adalah Hui In Sian-kouw. Terimalah hormat saya." Thian Liong memberi hormat lagi,

Hul ln Sian-kouw tersenyum dan berkata.

"Souw-sicu, harap kelak sampaikan maaf kami kepada suhumu dan jangan menertawakan kami. Kami rnempunyai peraturan bahwa laki-laki tidak boleh memasuki asrama para murid wanita Kun-lun-pai. Oleh karena itu, terpaksa kami tidak dapat mempersilakan engkau memasuki asrama dan hanya dapat menyambutmu di sini saja."

"Tidak mengapa, locianpwe. Saya menghormati peraturan itu."

"Kalau begitu, mari kita duduk dan bercakap-cakap di sana." Hui In Sian-kouw menunjuk ke arah kiri di mana terdapat sekumpulan batu yang putih bersih. Agaknya batu-batu itu memang dira-wat dan dijadikan tempat untuk duduk bersantai. Thian Liong mengikuti dua orang pendeta wanita itu dan mereka lalu duduk di atas batu sallng berhadapan.

"Nah, sekarang sampaikan pesan Tiong Lee Cln-Jln itu kepadaku, Souw-sicu. Aku yang akan menyampaikan kepada suheng (kakak seperguruan) Kui Beng Thaisu."

Thian Llong menghela napas panjang "Sungguh! sayang sekali. Saya yang semestinya membawa kabar gembira untuk locianpwe, karena kelalaian saya, telah membuat kabar itu berubah menjadi tldak menyenangkan."

Hul In Slankouw tetap tersentum.

"Apapun yang terjadl, terjadilah, Souw-slcu. Tidak ada kejadian baik atau buruk, sebelum pikiran kita menilai didasari kepentingan pribadi. Ceritakanlah tanpa ragu. Kaml siap menerima yang ,dianggap paling buruk sekallpun."'

Thian Libng mengangguk kagum. Tak salah penilaiannya tentang pendeta wani-ta ini. Seorang yang arlf bijaksana. Maka diapun bercerita dengan lapang dada.

"Saya dlutus suhu untuk mengantarkan sebuah kltab untuk Kun-lun-pal yeng harus saya serahkan sendlri kepada Kui Beng Thai-su atau kepada Hui In Slan-kouw dan kebetulan sekall kini saya berhadapan dengan locianpwe sendiri."

"Ah, sebuah kltab dari Tiong Lee Cin-Jin untuk Kun-lun-pai? Souw-sicu, apakah nama kitab itu?" Tiba-tiba Biauw In Suthai bertanya dengan nada suara gembira. Agaknya ia tetah melupakan kemarahannya tadi dan kini merasa gembira sekali mendengar bahwa Kun-lun-pai akan mendapatkan sebuah kitab dari Tiong Lee Cin-jin yang namanya terkenal di antara semua tokoh besar dunia persilatan itu.

"Nama kitab Itu Ngo-heng Lian-hoan Kun-hoat." kata Thian Liong.

"Alhh! Itu kitab pelajaran ilmu silat tinggi yang khusus diciptakan untuk murid wanita dan kitab itu lenyap ratusan tahun yang lalu, kabarnya dicuri seorang pertapa sakti yang jahat!" seru Hui In Sian-kouw kagum.

"Dan sekarang Tiong Lee Cin-jin dapat menemukannya kembali dan hendak mengembalikan kepada Kun-lun-pai? Betapa bijaksananya Tiong Lee Cin-jin."

"Souw-sicu, cepat keluarkan kitab itu dan berikan kepada Hui In Suci (kakak perempuan seperguruan Hui In)!" kata Biauw In Suthai tidak sabar lagi karena ingin segera melihat kitab pusaka Kun luni-pai itu.

"Bersabarlah, sumoi. Berilah waktu kepada Souw-sicu, agaknya dia masih hendak bercerita." kata Hui In Sian-kouw dengan tenang dan sabar.

"Sesungguhnya banyak yang harus saya ceritakan, locianpwe. Akan tetapi yang terpenting unluk saya beritahukan adalah bahwa kitab Ngo-heng Lian-hoan Kun-hoat itu, ketika saya berada dl lereng bawah pegunungan Kun-lun-san ini lenyap dicurl orang."

"Apa....??" Biauw In Suthal melompat berdiri.

"Tidak mungkin!" Tentu engkau bohong dan ingin menguasai kitab itu untukmu sendiri!"

"Sumoi, Jangan sembarangan bicara!" Hui In Sian-kouw menegur adik seperguruannya.

"Suci, semua laki-laki di dunia ini mana ada yang dapat dipercaya? Dia memiliki ilmu kepandaian tinggi, mana mungkin kitab itu dicuri orang? Coba kuperiksa buntalannya!" Biauw In Suthai melompat ke arah buntalan pakalan Thian Liong yang tadi diturunkan pemuda itu ketlka hendak duduk di atas batu.

Melihat ini, Thian Liong membiarkan saja. Hui In Sian-kouw juga tidak keburu melarang sumolnya yang sudah membuka buntalan pakaian itu.

"Suci ini ada dua buah kitab!" seru Biuaw In Suthai sambil memperlihatkan dua buah kitab tua yang diambilnya dari buntalan itu.
"Itu adalah Kitab Sam-jong Cin-keng milik Siauw-lim-pai dan kitab Kiauw-ta Sin-na milik Bu-tong-pai. Kedua kitab itu harus saya serahkan kepada pemilik masing-masing, seperti juga kitab milik Kun-lun-pai yang hilang."

"Sumoi, kembalikan dua buah kitab itu. Kita tidak berhak menyentuhnya." perintah Hui In Sian-kouw dan Blauw In Suthai mengembalikan dua buah kitab itu. Akan tetapi ia terus mencari dan membuka kantung biru.

"Hei, lihat, suci! Banyak emas di sini, Tentu dia telah menjual kitab klta itu dan mendapatkan banyak emas. Hayo kau mengaku saja! Kepada siapa kltab kami itu kau jual!" Biauw In Suthai sudah mencabut lagi pedangnya dan mengancam Thian Liong.

"Sumoi, sirnpan pedangmu dan mundur!" Hui In Sian-kouw menegur sumoinya dan Biauw In Suthai menyarungkan lagi pedangnya dan melangkah mudur dengan mulut cemberut dan matanya mencorong galak memandang Thian Liong. Hui In Sian-kouw memandang pemuda Itu.

Pedang Ular Merah Eps 5 Pedang Ular Merah Eps 5 Kisah Sepasang Naga Eps 5

Cari Blog Ini