Ceritasilat Novel Online

Amanat Marga 3

Amanat Marga Karya Khu Lung Bagian 3


h didengar oleh So-so. Keruan pikirannya
tertekan dan memandangi bayangan punggung si
nona yang baru menghilang di balik batu karang
sana. Hanya Liong Hui saja yang berwatak jujur dan
serba terbuka, sama sekali ia tidak melihat
perbuatan jahat di dalam urusan ini. Ia cuma
melenggong saja dan coba bertanya, "Samte,
sesungguhnya ada apa?"
"Aku pun tidak tahu," Ciok Tim menunduk,
sungguh ia merasa malu bertatap muka dengan
sang Suheng yang jujur dan suka terus terang ini.
Setelah tercengang sejenak, mendadak Liong Hui
bergelak tertawa, "Haha, urusan anak perempuan
sungguh sangat membingungkan. Sudahlah, aku
pun tidak mau pusing mengurusnya."
Lalu berpaling kepada Ciok Tim dan berkata
pula, "Samte, ingin kukatakan padamu, betapa
pun memang lebih tenteram dan bebas hidup
bujangan. Sekali engkau tersangkut urusan orang
perempuan, bisa pusing kepalamu."
Kagum, hormat dan juga malu Ciok Tim
terhadap Suheng yang polos ini, ia tahu biarpun
ada rasa curiga dalam benak lelaki yang lugu ini
sekarang pun sudah lenyap terbawa oleh gelak
tertawanya itu.
Meski hati merasa lega, namun diam-diam Ciok
Tim tampak malu diri.
Saat itu Giok-he dan So-so telah membelok ke
balik batu besar sana, mendadak Giok-he berhenti.
"Ai, ada apa, Toaso?" tanya So-so.
"Hm, memangnya kau kira aku tidak tahu
permainanmu," jengek Giok-he.
"Apa yang Toaso maksudkan, sungguh aku tidak
tahu?" jawab So-so dengan agak keder juga
terhadap sang Toaso yang berwibawa ini.
Bola mata Giok-he berputar, ucapnya, "Sesudah
turun nanti, bila mereka sudah tidur aku akan
bicara denganmu."
"Boleh," sahut So-so.
Tiba-tiba terlihat Liong Hui dan Ciok Tim
menyusul tiba. Sesudah dekat, Liong Hui bersuara heran, "He,
apa yang kalian lakukan di sini?"
"Memangnya kau kira kami datang ke sini untuk
mencari angin?" ujar Giok-he dengan tersenyum.
Belum habis ucapannya tiba-tiba Liong Hui
berseru pula, "Hah, kiranya di sini juga ada
tulisan." Kiranya di situ tertulis: "Liong Po-si, jika cuma
tujuh gerak perubahan ini yang dapat kau lihat,
lebih baik lekas kau pulang saja."
Setelah membaca tulisan itu, Liong Hui jadi
melenggong. Kiranya perubahan jurus ini tidak
cuma tujuh macam saja.
Dalam pada itu Ciok Tim juga sudah mendekat,
katanya sambil menatap tulisan di dinding itu,
"Gan-loh-peng-sah, Lip-coan-im-yang .... Hah,
ketujuh gerak perubahan yang disebut Sumoay
tadi ternyata cocok dengan tulisan di sini."
"Sungguh sukar dipercaya hanya sejurus yang
sederhana ini bisa membawa gerak perubahan
lebih dari tujuh macam," gerutu Liong Hui.
Tiba-tiba terlihat di samping tulisan ini masih
ada beberapa huruf lagi, cuma ukiran ini lebih
cetek, juga kurang teratur, bila tidak diperhatikan
sukar menemukannya.
"He, bukankah ini tulisan tangan Suhu?" seru
Giok-he. "Betul," tukas So-so.
Serentak keempat orang berkerumun lebih
dekat, tertampak di situ tertulis, "Dengan pedang
sebagai senjata utama, dibantu dengan kaki, ilmu
pedang sakti, tendangan negeri asing, untuk
mematahkan jurus serangan ini, cara yang tepat
adalah lain daripada cara biasa."
Kecuali tulisan tersebut, ada lagi tulisan lain
yang lebih kasar lagi dan berbunyi, "Kebagusan
jurus seranganmu ini terletak pada lengan kirimu
yang merapat pada tubuhmu serta sepatu aneh
yang kau pakai ini, memangnya kau kira aku tidak
tahu. Hahaha ...."
"Haha, coba lihat, kehebatan jurus serangan ini
justru terletak pada sepatunya yang aneh, tadi kau
bilang dandanannya tidak ada sangkut pautnya
dengan ilmu pedang," Liong Hui juga tertawa
senang. Kening Ciok Tim bekernyit, gumamnya, "Untuk
mematahkan jurus ini harus memakai cara lain
daripada cara biasa .... Apa artinya kata-kata ini?"
Giok-he melirik Liong Hui sekejap, lalu
memandang Ciok Tim pula, katanya, "Letak
kehebatan ilmu padang ini rasanya sukar
dipecahkan biarpun kita peras otak tiga hari tiga
malam lagi."
"Tapi aku ...." kata Liong Hui.
"Biarpun secara kebetulan dapat kau terka
sebagian, tapi dapatkah kau ketahui di mana letak
keajaiban sepatunya ini?" potong Giok-he.
Liong Hui jadi melenggong.
"Masih ada sesuatu yang mencurigakan, tapi
tidak kalian lihat," kata Giok-he.
"Hal apa?" tanya Liong Hui.
"Dapatkah kalian menerka cara bagaimana
huruf ini ditulis di sini?"
"Seperti dengan tenaga jari," ujar Ciok Tim
setelah mengamati lagi.
"Ini kan tidak perlu diherankan, tenaga jari
Suhu memang mahakuat," kata Liong Hui.
"Hm, bagaimana dengan kau?" jengek Giok-he.
"Aku mana sanggup," sahut Liong Hui.
"Setelah Suhu menyusutkan tenaganya tujuan
bagian, kekuatannya bukankah sebanding
denganmu?"
"Ah, betul," seru Liong Hui sambil menepuk dahi
sendiri. "Jika begitu, pada waktu menulis ini
kekuatan Suhu tentu sudah pulih. Sungguh aneh
dan sukar dimengerti" Dalam keadaan begini dan
di tempat seperti ini siapakah yang membuka Hiatto
Suhu yang tertutuk itu?"
Giok-he menghela napas, lalu bertutur, "Urusan
bertanding Kungfu sebenarnya adalah kejadian
biasa, sebelum mendaki Hoa-san kukira urusan ini
pasti tidak ada sesuatu keajaiban meski ada
bahayanya juga. Tapi setelah naik ke atas gunung,
setiap kejadian yang kita lihat ternyata melampaui
kewajaran umum, dari zaman dulu hingga
sekarang rasanya tidak ada urusan pertandingan
yang lebih aneh daripada apa yang kita alami ini."
Ia berhenti sejenak dan memandang
sekelilingnya, lalu menyambung, "Perempuan she
Yap itu menggunakan berbagai jalan agar Suhu
mau menyusutkan tenaga dalam sendiri dan Suhu
ternyata menyanggupi, begitu saja, inilah kejadian
aneh yang belum pemah terdengar di dunia
persilatan. Lalu si Tojin berjubah hijau yang
berusaha rebut sebuah peti mati kosong juga tidak
kurang anehnya. Semua ini sudah membuat
hatiku tidak enak, siapa tahu kemudian timbul lagi
hal-hal aneh yang lebih banyak lagi. Jika
kupikirkan sekarang, di balik pertandingan di Hoasan
ini pasti terkandung macam-macam lika-liku
dan rahasia, bisa jadi ada sementara orang telah
mengatur rencana sekian lama dan memasang
sesuatu perangkap untuk menjebak Suhu, tapi
Tan-hong Yap Jiu-pek yang ditonjolkan sebagai
pelakunya. Coba kalian pikirkan ...."
Belum habis ucapannya, sekonyong-konyong
Liong Hui berlari ke depan sana.
"He, ada apa?" seru Giok-he.
Liong Hui menjawab sambil menoleh, "Kita
sudah berada di sini, biarpun bicara tiga hari lagi
juga tidak ada gunanya, yang penting lekas kita
mencari dan membantu Suhu. Pantaslah Suhu
suka bilang engkau memang pintar, cuma terlalu
banyak bicara dan sedikit berbuat."
Air muka Giok-he berubah kecut.
"Tunggu, Toako?" seru So-so dan segera ikut
berlari ke sana.
Ciok Tim ragu sejenak dan memandang Giok-he
sekejap, lalu menyusul juga ke sana.
Giok-he mencibir memandangi bayangan
punggung mereka, cepat ia pun menyusulnya,
Siapa tahu, mendadak Liong Hui berhenti lagi.
Kiranya beberapa tombak jauhnya di depan situ
terdapat lagi sepotong batu karang dan juga terukir
gambar seorang Tokoh, hanya gayanya agak
berbeda. Jika gambar yang pertama tadi bergaya
bertahan, gambar yang ini bergaya menyerang.
Juga gambar yang pertama berdiri kukuh, gambar
yang ini mengapung di udara dengan pedang
menebas, lalu di samping gambar ada tulisan:
"Liong Po-si, jika jurus bertahan tadi dapat kau
patahkan, dapatkah kau hindarkan jurus serangan
ini?" Liong Hui hanya membaca sekadarnya dan
segera memutar lagi ke sana, benar juga, di
belakang batu ada tulisan lagi.
"Huh, lagu lama!" jengek Ciok Tim yang
menyusul tiba. "Untuk apa membacanya?" Liong Hui pun
mengejek dan segera mendahului melangkah lagi
ke depan. Sementara itu Giok-he telah menyusul sampai di
sebelah sang suami. Liong Hui memandangnya
sekejap sambil menghela napas, katanya, "Tadi aku
telanjur omong, jangan kau marah padaku."
Giok-he seperti mau bicara, tapi segera terlihat
ada gambar lagi di batu karang di depan sana,
cuma gambarnya sudah dirusak orang, batu kerikil
bertebaran di sekitar situ.
Liong Hui saling pandang sekejap dengan Giokhe,
waktu ia memutar lagi ke balik batu, tulisan di
belakang juga telah dirusak dan tak terbaca lagi.
Kening Liong Hui bekernyit, "Suhu ...."
"Ya, selain Suhu siapa pun tidak memiliki
Lwekang sehebat ini," kata Giok-he.
"Mengapa beliau berbuat demikian, mungkinkah
beliau tidak ... tidak mampu mematahkan jurus
serangan ini?" ucap Liong Hui setengah bergumam.
Giok-he hanya menggeleng tanpa bicara, mereka
coba menuju ke depan lagi, tanah batu mulai
curam, beberapa tombak lagi jauhnya kembali
sepotong batu karang mengadang di depan, di atas
batu ada tulisan besar: "Kakek usia 61 Liong Po-si
berdendang sampai di sini!"
Tulisan ini jelas terukir dengan tenaga jari, di
bawahnya terdapat lagi empat huruf yang
mengejutkan, bunyinya: "Tidak pulang untuk
selamanya!"
Goresan keempat huruf ini tidak sama dengan
tulisan di atas, goresannya lebih halus, tenaganya
lebih tajam, jelas diukir dengan senjata sebangsa
pedang atau golok.
Dengan beringas mendadak Liong Hui
menghantam, "blang", batu kerikil munerat, Liong
Hui juga tergetar mundur dan jatuh terduduk.
Meski dia terkenal Sebagai "Si kepalan besi", apa
pun juga tubuhnya terdiri dari darah dan daging.
"Ai, kenapa kau marah terhadap sepotong batu,
simpan tenaga saja untuk menghadapi musuh
nanti," kata Giok-he sambil menarik bangun sang
suami. "Hm, kau ...." karena mendongkol Liong Hui jadi
tidak sanggup bicara.
Segera Giok-he mendahului menuju ke depan
sana. "Toako sangat baik terhadap siapa pun,
terutama terhadap Toaso," kata So-so sambil
melirik Ciok Tim sekejap.
Muka Ciok Tim menjadi merah dan menunduk.
Pada saat itulah mendadak terdengar suara
seruan Giok-he di balik batu sana, cepat mereka
memburu maju. Di balik batu karang ini adalah tepi jurang,
justru di tepi tebing yang curam ini dibangun
sebuah gubuk bambu secara gaib. Wama bambu
sudah berubah kuning kering, waktu angin meniup
bambu lantas menerbitkan suara keriat-keriut dan
bergoyang seperti mau runtuh.
Di depan pintu gubuk tidak ada sesuatu tanda
apa pun, di kanan kiri juga tidak ada sesuatu
hiasan, gubuk ini berdiri menyendiri di puncak
tebing yang terjal.
Liong Hui berhenti di samping Giok-he dengan
melenggong, mendadak ia berteriak, "Suhu!"
Secepat kilat ia menerjang maju dan mendorong
pintu gubuk. "Toako! ...." seru Ciok Tim khawatir dan segera
bermaksud menyusulnya.


Amanat Marga Karya Khu Lung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Tapi Giok-he lantas menarik baju Ciok Tim dan
berkata, "Tunggu dulu!"
"Tunggu apa?" jengek So-so. "Jika Toako
menghadapi bahaya apakah kita juga mesti
menunggu?"
Dia bicara dengan tajam, nona yang lembut ini
mendadak bisa bicara ketus begini, hal ini
membikin Giok-he jadi terkesiap. Tanpa
menghiraukan orang lagi segera So-so memburu
maju. Dilihatnya Liong Hui berdiri di ambang pintu
dengan termangu, di dalam rumah gubuk tiada
terlihat seorang pun, yang aneh adalah di tengah
rumah gubuk yang luang ini terlihat ada lima biji
mutiara, gubuk ini ada empat pintu, tiga comot
noda darah, dua bekas kaki dan sebuah kasur
bundar yang biasa digunakan orang berduduk
semadi. Kelima biji mutiara terbingkai di atap rumah
yang dianyam dengan bambu hijau, keempat buah
pintu tidak sama besarnya, pintu tempat Liong Hui
masuk itu paling kecil dan sukar dimasuki dua
orang berjajar.
Di kanan kiri gubuk juga ada pintu yang lebih
besar, sedangkan pintu yang terbesar berada di
seberang Liong Hui berdiri, dan kasur bundar yang
sudah butut itu terletak di depan pintu.
Yang paling tidak sepadan dengan kelima butir
mutiara mestika itu adalah kasur butut ini, kasur
bundar ini sudah pipih saking lamanya dipakai, di
samping kasur tua inilah terdapat tiga comot darah
segar, secomot darah segar itu terletak di samping
bekas telapak kaki sana.
Bekas darah lain terletak di sebelah kiri bekas
kaki dan ada lagi bekas darah di belakang kasur
butut, dari situ ada lagi tetesan darah yang menuju
ke pintu paling besar itu. Sedangkan daun pintu
semuanya tertutup rapat sehingga orang yang
semula berada di dalam gubuk ini seolah-olah
menerobos keluar begitu saja melalui celah bambu.
Ketika angin meniup masuk melalui celah
bambu, tanpa terasa Liong Hui menggigil, di bawah
cahaya mutiara yang kontras suasana demikian
terasa cukup seram, semuanya serba misterius,
terutama tiga comot darah itu semakin menambah
seramnya keadaan rumah gubuk ini.
Setelah melenggong sejenak, mendadak Liong
Hui melompat ke pintu sebelah kiri, pintu
ditariknya terbuka, tertampaklah sebuah jalan
berliku menuju ke bawah tebing.
So-so juga coba membuka pintu sebelah kanan,
di luar juga terdapat sebuah jalan berliku menuju
ke bawah. Lebar jalan berliku ini sama sempitnya,
hanya berbeda derajat kelandaiannya.
Tiba-tiba terpikir oleh Liong Hui, "Kedua jalan ini
mungkin adalah jalan yang dimaksudkan pada
tulisan di dinding tebing tadi. Tempat tujuan cuma
satu, tapi jalan untuk mencapainya ada tiga,
tentulah penghuni rumah gubuk ini sengaja
menggunakan cara ini untuk menjajaki Kungfu
Suhu, begitu beliau masuk rumah gubuk ini, tanpa
bergebrak pun penghuni di sini sudah dapat
mengukur sampai di mana kelihaian Kungfu
Suhu." Hendaklah maklum, watak Liong Hui cuma jujur
dan lugu, tapi bukan bodoh, meski ceroboh, tapi
tidak kasar. Dalam hal-hal tertentu bukannya dia
tidak mengerti melainkan cuma tidak mau
menggunakan pikiran saja.
Kini setelah dipikirnya berulang, mau tak mau ia
menjadi prihatin, pikirnya pula, "Jika penghuni
gubuk ini ialah Yap Jiu-pek, mengingat
hubungannya dengan Suhu serta kedudukannya di
dunia persilatan, tentu dia takkan menjebak Suhu
dengan cara licik dan keji. Lantas apa maksud
tujuannya berbuat demikian" Bila penghuni gubuk
ini bukan Yap Jiu-pek, lalu siapa lagi" Melihat
kasur butut ini, dia pasti sudah lama tinggal di
sini, bangunan gubuk bambu ini juga sangat
kasar, bahkan hujan angin pun tidak tahan ...."
Begitulah dia terus berpikir kian kemari dan
tetap tidak menemukan kesimpulan. Dilihatnya Soso
telah mendekati pintu yang paling besar itu,
segera ia hendak membuka pintu.
Sambil memandang bayangan punggung So-so,
Giok-he menjengek dengan suara tertahan, "Hm,
apa yang diketahui genduk ini sudah terlalu
banyak ...."
"Jika Toaso tahu ...." suara Ciok Tim menjadi
gemetar dan tidak sanggup meneruskan.
"Orang yang tahu terlalu banyak terkadang suka
mengalami bencana tiba-tiba," gumam Giok-he.
Sekilas lirik Ciok Tim melihat sorot mata Giok-he
penuh nafsu membunuh, tanpa terasa ia berseru,
"Toaso ...."
Giok-he menoleh, ucapnya, "Aku masih tetap
Toasomu?" "Aku ... aku takut ...." Ciok Tim menunduk dan
bergemetar. Mendadak Giok-he tertawa cerah, ucapnya
dengan lembut, "Takut apa" Tidak perlu takut,
biarpun banyak yang diketahuinya pasti tak berani
disiarkannya sepatah kata pun."
"Tapi ...." Ciok Tim tampak ragu.
"Jangan khawatir, ia sendiri pun ada rahasia
yang tidak ingin diketahui orang lain, asalkan
kugunakan sedikit akal lagi .... Hmk!" jengek Giokhe
dengan menyeringai.
Ciok Tim termangu memandangi wajahnya yang
cantik itu, entah bingung dan entah takut.
Sekonyong-konyong terdengar jeritan So-so di
dalam rumah gubuk itu.
"Lekas!" seru Giok-he sambil mendahului
menerobos ke dalam gubuk.
Dilihatnya So-so berdiri di samping Liong Hui
menghadapi sebuah pintu yang besar dan sama
menunduk ke bawah. Di ambang pintu situ ada
sebuah telapak tangan kurus kering berwama
hitam. Dari celah kaki Liong Hui dan So-so dapatlah
Giok-he dan Ciok Tim melihat tangan yang kurus
kering itu mencengkeram erat ambang pintu
terbuat dari bambu, kuku jari sama amblas ke
dalam bambu, kuku yang putih kelabu terembes
darah. Cepat Giok-he memburu maju dan menyelinap
ke tengah Liong Hui dan So-so, serunya, "He, sia ...
siapakah dia?"
Di luar sana adalah tebing yang terjal dengan
gumpalan awan membelit di pinggang tebing,
sesosok tubuh yang kurus kering tampak
bergelantungan di luar pintu, bilamana tangannya
tidak meraih ambang pintu, mungkin sudah
terjerumus ke jurang yang tak terkirakan
dalamnya. Orang ini mendongak ke atas, matanya melotot,
kulit daging pada wajahnya berkerut dan beringas,
penuh rasa dendam dan juga memohon, rasa
dendam dan memohon sebelum ajalnya ini lantas
terukir pada wajahnya lantaran membekunya
darah dan otot daging, serupa juga telapak
tangannya yang masih tetap mencengkeram
ambang pintu sebelum dia mati.
Liong Hui berempat memandangi wajah yang
beringas ini dengan tercengang, sampai sekian
lama barulah Liong Hui bersuara, "Dia sudah
mati!" Lalu ia berjongkok untuk menarik mayat ini ke
atas setelah lebih dulu jari orang yang
mencengkeram ambang pintu itu dilepaskan,
mayat itu lantas diletakkan di lantai.
Tertampaklah tubuhnya yang kurus kering itu
memakai baju hitam ringkas, meski wajah
beringas, namun jelas usianya belum lanjut,
paling-paling baru 30-an tahun saja.
Perlahan Liong Hui meraba kelopak mata orang
yang tak terpejam sampai mati itu, ucapnya
dengan menyesal, "Entah siapa orang ini, mestinya
dari dia dapat diketahui ...."
"Coba geledah bajunya, mungkin ada barang
tinggalannya," tukas, Giok-he.
"Jangan," seru Liong Hui sambil berdiri, "kita
tidak kenal dia, juga tidak ada permusuhan apa
pun, sekalipun dia musuh kita juga tidak boleh
mengganggu jenazahnya setelah, dia mati. Selama
hidup Suhu bertindak luhur dan tetap
mempertahankan kehormatannya, mana boleh kita
mengingkari beliau dan bertindak kurang
bijaksana begini?"
Sekali ini dia bicara dengan tegas dan mantap
tak terbantahkan.
Terpaksa Giok-he mengalah, "Baiklah menurut
padamu!" Ciok Tim berdehem, lalu berkata, "Menurut
tanda-tanda yang terlihat sepanjang jalan, jelas
Suhu sudah datang ke sini. Cukup dilihat dari
tapak kaki ini saja kan jelas bekas kaki beliau ....
Jika tenaga Suhu sudah pulih, maka bekas kaki
yang kita lihat di bawah sana pasti juga tinggalan
beliau. Namun, lantas ke mana perginya Suhu
sekarang?"
Dia seperti bergumam dan juga lagi bertanya
akan pendapat orang. Tapi tidak seorang pun yang
menjawabnya. Seketika ia jadi termangu sendiri.
Di tengah kesunyian kemudian Ciok Tim
bergumam pula, "Di sini ada tiga comot genangan
darah, dapat dibayangkan yang terluka di sini
tidak cuma satu orang saja, sebaliknya pada mayat
ini tidak terlihat luka, lantas siapakah yang terluka
dan siapa pula yang melukainya" ...."
"Toako," So-so ikut bicara. "Untuk mencari jejak
Suhu, kalau kita tidak memeriksa orang ini ...."
"Tidak, justru demi kebesaran Suhu, kita tidak
boleh berbuat sesuatu yang memalukan beliau."
ucap Liong Hui dengan tegas. "Sumoay, kutahu,
biarpun banyak urusan yang dapat diperbuat
seorang tanpa diketahui orang lain, tapi hati
nurani sendiri tetap tercela, bahkan menanggung
sesal selama hidup. Misalnya menemukan harta
karun atas kehilangan orang lain, menemui
perempuan cantik di ruang tersendiri, melihat
musuh terancam bahaya, semua ini adalah batu
ujian bagi hati nurani setiap orang. Sebabnya
orang jahat zaman ini sedemikian banyak adalah
karena pada waktu orang melakukan kejahatan
selalu berusaha di luar tahu orang lain dan tidak
mau tahu apakah tidak malu terhadap hati nurani
sendiri. Sumoay, kita adalah anak murid pendekar
luhur budi, mana boleh berbuat sesuatu yang
melanggar hati nurani"!"
Dia bicara dengan perlahan, mantap dan tegas,
meski bicara terhadap So-so, tapi juga seperti lagi
memperingatkan yang lain.
Tangan Ciok Tim terasa gemetar, darah bergolak
dalam rongga dadanya, mendadak ia berseru,
"Toako, aku ... aku ingin bicara padamu ....
Sungguh aku ...."
Ia tidak sanggup bicara lebih lanjut, air mata
berlinang dan menyurut mundur dengan
menunduk. Sesal dan malu hatinya membuatnya
tidak berani mengangkat kepala sehingga tidak
diketahuinya wajah Ong So-so yang jauh lebih
menderita daripadanya itu.
Hati So-so seperti terlebih menanggung malu
daripada Ciok Tim, bahkan air matanya lantas
menitik. Keruan Liong Hui tercengang, "Hei, kenapa
menangis, Sumoay?"
So-so mendekap mukanya dan meratap, "Toako,
aku ... aku bersalah padamu, berdosa terhadap
Suhu ...." mendadak ia menuding mayat yang
kurus kering itu dan berkata, "Sebenarnya kukenal
orang ini, aku pun kenal banyak orang lain lagi,
juga banyak urusan kuketahui ...."
Karena rangsangan emosi sehingga ucapannya
menjadi agak kacau.
"Bicaralah perlahan, Sumoay, ada urusan apa
boleh kau katakan saja kepada Toako," ucap Liong
Hui. Ciok Tim terbelalak melihat perubahan sikap Soso
itu, sinar mata Giok-he juga gemerdep, tampak
agak gugup. Perlahan So-so lantas menyambung, "Toako, kau
tahu sesungguhnya segenap anggota keluargaku
adalah musuh bebuyutan Suhu, semuanya
dendam dan ingin membunuh Suhu. Sebabnya
kumasuk ke perguruan Sin-liong juga karena
bermaksud menuntut balas terhadap Put-si-sinliong
atas kematian anggota keluargaku."
Ia berganti napas, lalu melanjutkan, "Aku tidak


Amanat Marga Karya Khu Lung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

she Ong, juga tidak bemama So-so, yang benar aku
bemama Koh Ih-hong, keturunan Coat-ceng-kiam
Koh Siau-thian yang tewas di bawah pedang Put-sisinliong." Belum habis ucapannya tubuhnya lantas
terhuyung-huyung dan begitu berhenti bicara
segera ia jatuh terduduk di atas kasur buntut dan
dekil itu. Dalam sekejap itu dia telah kehilangan
beribu kati tekanan batin yang ditahannya selama
ini, perubahan besar ini sukar ditahan oleh lahirbatinnya
sehingga ia jatuh terkulai di tanah,
sampai sekian lama .... lalu ia menangis lagi.
Namun tekanan batin itu dengan keras kini telah
memukul hati Ciok Tim dan Kwe Giok-he.
Sungguh tak terpikir oleh Ciok Tim bahwa
Sisumoay yang biasanya lemah lembut itu
sesungguhnya adalah agen rahasia musuh yang
mengemban tugas sedemikian besar, lebih-lebih
tak terpikir olehnya bahwa Sisumoaynya yang
paling disayang dan berhubungan paling rapat
dengan sang guru sebenarnya adalah putri musuh
yang menanggung dendam kesumat terhadap
gurunya itu. Seketika ia terbelalak dan menyurut mundur ke
sudut sana sambil memandang So-so dengan
melongo. Meski sebelumnya Giok-he juga sudah dapat
menduga asal-usul So-so pasti ada sesuatu rahasia
yang belum terungkap, tapi tak terduga olehnya
gadis yang kelihatan lemah ini mempunyai
keberanian untuk membeberkan rahasia
pribadinya. Mestinya Giok-he bermaksud menggunakan
rahasia orang untuk memerasnya, tapi sekarang
terasa timbul rasa ngeri dalam hatinya, sebab
modal yang diandalkannya sekarang telah berubah
tidak berguna sama sekali. Jika So-so berani
membeberkan rahasia pribadi sendiri, mustahil dia
tidak berani membongkar rahasia hubunganku
dengan Ciok Tim"
Rasa ngeri yang timbul dari lubuk hatinya ini
membuat Kwe Giok-he yang biasanya cerdas dan
cekatan itu menjadi bingung dan berubah menjadi
lemah, mukanya menjadi pusat dan sampai sekian
lama tidak sanggup bicara.
Hanya Liong Hui saja, sekarang ia berbalik jauh
lebih tenang daripada biasanya, perlahan ia
mendekati Ong So-so alias Koh Ih-hong, ia
menghela napas dan membelai rambutnya
perlahan, tidak sedih juga tidak marah, ia
memanggil lirih, "Sumoay ...."
Namun panggilan yang lirih ini membuat hati
Koh Ih-hong bertambah pedih dan haru. Dengan
menangis ia bertutur pula, "Empat puluh tahun
yang lalu, kakek pulang dengan terluka parah dan
akhirnya meninggal dunia. Kasihan ayahku yang
tidak tahan oleh pukulan berat ini, beliau sangat
berduka dan akhirnya kurang waras pikirannya,
sepanjang hari dia cuma berduduk mengelamun di
bawah pohon di depan rumah, apa pun tidak
dikerjakan dan juga tidak bicara, berulang-ulang
ayah cuma bergumam apa yang diucapkan kakek
sebelum mengembuskan napas penghabisan, yaitu
kata, 'Apabila jurus seranganku Thian-ce-keng-hun
(mengejutkan arwah di ujung langit) lebih keras
sedikit ....' Kata-kata inilah berulang-ulang
disebutnya. Sejak aku mulai tahu urusan aku
selalu mendengar gumaman ayah itu sampai
meninggalnya ayah. Hatiku sangat sedih setiap kali
mendengar ayah mengulangi kata-kata itu."
Suaranya semakin lemah dan agak gemetar,
Liong Hui mengikuti ceritanya itu dengan cermat.
Mendadak Giok-he seperti mau bicara, tapi segera
dicegah oleh Liong Hui.
Terdengar Koh Ih-hong menyambung lagi,
"Dendam kesumat selama 40 tahun ini, membuat
hati setiap anggota keluarga kami tak pemah lupa
untuk menuntut balas, setiap saat mereka
berusaha memperdalam kepandaian, sebab mereka
pun tahu Kungfu Put-si-sin-liong kini sudah tidak
ada tandingannya di dunia ini."
Ia memandang kegelapan malam di luar dan
berucap pula, "Sang waktu terus berlalu dengan
cepat dan kami tetap tidak tahu cara bagaimana
harus menuntut balas. Sebab itulah dendam
kesumat ini pun kian hari kian tambah mendalam.
Ayah-bundaku loksun (sakit tebece) karena
menanggung dendam tak terbalas ini dan tersia-sia
hidupnya, selama hidup mereka merana dan tidak
pemah gembira."
Air matanya bercucuran dan tak diusapnya.
Darah Liong Hui bergolak, sungguh sukar
dibayangkan seorang yang hidup tanpa senyum
gembira, tanpa kebahagiaan keluarga, yang ada
cuma dendam dan menuntut balas, betapa pedih
dan menakutkan kehidupan demikian"
Dengan tersendat Koh Ih-hong menyambung lagi
ceritanya, "Waktu ayah-bundaku meninggal usiaku
masih kecil, famili yang dapat kuandalkan cuma
kakak saja, tapi setengah tahun kemudian kakak
juga pergi secara mendadak, maka setiap hari aku
pun duduk melamun di bawah pohon yang biasa
diduduki ayah itu untuk menunggu pulangnya
kakak dan merenung sakit hati ayah, hidupnya
tidak pemah mendapatkan cinta kasih, tapi telah
belajar cara bagaimana mendendam dan menuntut
balas ...."
Hati Liong Hui tergetar, dapat dibayangkan
betapa merana anak yang dibesarkan di tengah
keluarga yang penuh dendam itu. Kehidupan anak
itu sendiri sudah cukup dibuat berduka.
Namun So-so alias Ih-hong menyambung lagi,
"Setahun kemudian kakak pun pulang, dia
membawa pulang sekian banyak sahabatnya,
meski rata-rata usia mereka masih muda, tapi
bentuk rupa dan dandanan mereka sangat berbeda
satu sama lain, logat bicara mereka juga jelas
bukan datang dari suatu tempat yang sama.
Namun mereka sama mahir ilmu silat, meski tinggi
rendah Kungfu mereka juga tidak sama, namun
selisihnya tidak jauh. Kakak pun tidak
memperkenalkan mereka kepadaku dan langsung
membawa mereka ke sebuah ruangan rahasia,
selama tiga hari mereka tidak keluar, selama tiga
hari itu entah apa yang mereka bicarakan dan
entah berapa banyak arak yang telah mereka
minum ...."
Tangisnya mulai reda, suaranya juga mulai jelas,
cuma sorot matanya tetap buram serupa orang
yang tenggelam dalam lamunan masa lalu, masa
lalu yang memilukan.
"Tiga hari kemudian," sambungnya, "aku
menjadi tidak tahan. Kucoba mencuri dengar di
luar pintu ruang rahasia itu, siapa tahu
kelakuanku telah diketahui orang di dalam dan
pintu mendadak terbuka. Aku terkejut, kulihat
seorang tinggi kurus berdiri di depan pintu, begitu
tinggi perawakannya sehingga kepalanya hampir
menyundul kosen pintu, mukanya juga pucat pasi.
Aku ketakutan dan ingin lari, siapa tahu baru saja
aku bergerak segera terpegang olehnya, gerak
tangannya sungguh secepat kilat."
Liong Hui berkerut kening, pikirnya, "Janganjangan
kakaknya mencari bala bantuan untuk
menuntut balas?"
Terdengar Koh Ih-hong menyambung lagi,
"Waktu itu kurasakan tangannya sekuat tanggam
menjepit tanganku, untung kakak lantas keluar
dan memberitahukan dia siapa diriku. Kemudian
baru kutahu dia adalah Boh-hun-jiu (si tangan
pembelah langit) yang disegani di dunia persilatan.
Ayahnya juga dikalahkan Put-si-sin-liong dan
hidup merana. Kecuali dia, semua orang yang
berkumpul di ruang rahasia situ juga keturunan
musuh Put-si-sin-liong, semula mereka tersebar di
berbagai tempat dari tidak saling kenal, tapi kakak
telah menghubungi mereka satu per satu dan
dikumpulkan."
Kening Liong Hui bekernyit lagi, pikirnya, "Jika
demikian, tentu kakaknya juga tokoh yang lihai,
mengapa tidak terkenal di dunia persilatan?"
"Begitulah mereka telah berunding secara
rahasia selama tiga hari dan memutuskan
beberapa hal penting, pertama, akan berusaha
mengirim diriku ke dalam perguruan Sin-liong-bun
untuk mengawasi gerak-gerik Put-si-sin-liong serta
belajar Kungfunya, jika ada kesempatan juga ...."
"Jika ada kesempatan Suhu akan kau bunuh,
begitu bukan?" tanya Giok-he.
Dengan perasaan tertekan Ciok Tim menatap
Koh Ih-hong dan dilihatnya nona itu mengangguk
dan berkata, "Ya, memang betul."
Alis Giok-he menegak, bentaknya. "Dosa
berkhianat terhadap perguruan tidak
terampunkan, untuk apa orang semacam ini
dibiarkan hidup"!"
Segera ia menubruk maju dan bermaksud
menghantam batok kepala Koh Ih-hong, dia sudah
bertekad akan membunuhnya untuk menjaga
segala kemungkinan, maka pukulannya ini tidak
kenal ampun sedikit pun.
Siapa tahu mendadak Liong Hui lantas
menangkisnya sambil membentak, "Nanti dulu!"
Giok-he tercengang dan tergetar mundur,
dengan gusar ia menegur, "Toako, kenapa kau ...."
"Toaso," kata Koh Ih-hong dengan tenang, "jika
hari ini kubeberkan seluk-beluk urusan ini,
sebelumnya aku memang sudah siap untuk mati
bila perlu, maka hendaknya Toaso jangan tergesagesa
bertindak."
Tangisnya sudah berhenti malah dan berkata
dengan sangat tenang, sambungnya, "Jika aku
tidak dapat berbakti kepada ayah-bunda, juga
tidak setia terhadap perguruan, bagiku memang
tiada pilihan lain lagi kecuali mati. Selama
beberapa tahun ini boleh dikatakan Suhu sangat
baik padaku, tapi semakin beliau baik padaku,
semakin sedih hatiku. Tidak cuma satu kali saja
ingin kubeberkan persoalan ini kepada beliau
secara terus terang, namun ...."
Ia menghela napas panjang, lalu menyambung,
"Namun aku juga tidak dapat melupakan wajah
ayah sebelum mengembuskan napasnya yang
terakhir."
"Selama ini apakah engkau tidak pemah berbuat
sesuatu yang mengkhianati perguruan?" tanya
Giok-he dengan tajam.
Koh Ih-hong menjawab dengan menunduk,
"Selama beberapa tahun ini aku memang sering
berbuat hal-hal yang berkhianat, tidak cuma satu
kali saja kuberi tahukan kepada kakak atau orang
suruhannya rahasia ilmu silat yang kubelajar dari
Suhu." "Hm, masa cuma itu saja?" jengek Giok-he.
"Juga pada pertandingan di Hoa-san ini aku pun
tahu komplotan kakak telah merancang perangkap
di sini." "Tapi hal ini sama sekali tidak kau katakan
kepada Suhu!" jengek Giok-he.
"Tidak kukatakan sebab antara budi dan
dendam mempunyai bobot yang sama di dalam
hatiku," kata Koh Ih-hong. Mendadak ia
mendongak dan bertanya kepada Liong Hui,
"Toako, jika engkau menjadi diriku, apa yang akan
kau lakukan?"
Kening Liong Hui berkerut, air mula kelam dan
tidak menjawab.
Koh Ih-hong menuding mayat yang menggeletak
di lantai itu dan berkata pula, "Orang ini adalah
keturunan keluarga Peng yang juga menjadi
korban pedang Suhu. Dia, kakak, ada lagi Bohhunjiu dari Kun-lun-pay dan murid Tiam-jong-pay
serta keturunan keluarga Liu, merekalah yang
merencanakan perangkap di Hoa-san ini, untuk itu
entah berapa banyak tenaga dan pikiran yang telah
mereka peras."
"Dan sekarang terkabul juga cita-cita kalian,
Suhu ... Suhu benar telah ...." sampai di sini Giokhe
tidak sanggup meneruskan lagi, ia mendekap
muka sendiri dan menangis.
Kembali Ih-hong menunduk, air mata pun
bercucuran pula, ratapnya, "O, Tuhan, mengapa
aku dilahirkan menjadi keturunan Coat-ceng-kiam,
lalu membuatku utang budi terhadap Put-si-sinliong
.... O, Thian, betapa pedih rasa hatiku setiap
kali setelah aku berbuat khianat terhadap Suhu,
tapi ... tapi jika hal itu tidak kulakukan,
bagaimana pula aku harus berbakti terhadap
kakek, terhadap ayah ...."
Karena terharu, Ciok Tim juga menitikkan air


Amanat Marga Karya Khu Lung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

mata. Mendadak Giok-he mengusap air mata dan
membentak, "Jika kau tahu sukar lagi berbakti
terhadap orang tua dan tidak setia terhadap
perguruan, untuk apa lagi hidup di dunia ini?"
"Untuk apa lagi hidup di dunia ini," Ih-hong
mengulang kata-kata itu dengan pedih, kembali ia
menengadah, memandang kegelapan malam di luar
dengan nanar, serupa lagi memandang kejap
terakhir atas kehidupan yang terasa berat
ditinggalkan ini.
Habis itu mendadak ia meraba bajunya, belati
naga emas dilolosnya dan secepat kilat menikam ke
ulu hati sendiri sembari meratap pula, "Suhu,
Toako, maafkan dosaku ...."
Syukurlah pada detik terakhir itu mendadak
Liong Hui membentak dan tangan keburu
mengetuk pergelangan tangan Koh Ih-hong yang
memegang belati itu, "trang" belati tergetar jatuh.
"Apa maksudmu ini?" bentak Giok-he dengan
beringas. "Apakah sengaja hendak kau bela murid
durhaka ini?"
Hendaknya maklum, menurut hukum
persilatan, dosa yang paling besar adalah
berdurhaka terhadap perguruan. Murid yang
khianat dianggap tak terampunkan dan setiap
orang Kangouw boleh membunuhnya, sekalipun
sanak famili juga tidak berani membelanya.
Dengan sendirinya sekarang Kwe Giok-he
beralasan untuk menyalahkan sikap Liong Hui
yang lunak terhadap Koh Ih-hong.
Liong Hui kelihatan prihatin, dipegangnya
tangan Koh Ih-hong, tanpa memandang Giok-he
lagi ia berkata, "Sumoay, janganlah terburu nafsu,
dengarkan dulu ...."
"Apa yang ingin kau omong lagi" ...." potong
Giok-he, karena merasa bersalah, ia berharap
orang yang mengetahui rahasia perbuatannya ini
lekas mati saja.
Tak terduga mendadak Liong Hui berpaling dan
membentaknya, "Diam!"
Bentakan keras ini membuat Giok-he
melenggong, mukanya berubah pucat. Sejak
menikah hingga sekarang belum pemah Liong Hui
bersikap keras padanya, selalu menurut dan
memanjakan dia. Tapi sekarang sang suami
membentaknya sebengis ini, tentu saja hatinya
kebat-kebit, disangkanya mungkin Liong Hui telah
mengetahui perbuatannya yang tercela itu.
Koh Ih-hong tampak menggigit bibir, air mata
bercucuran, ratapnya sedih, "Toako, aku memang
pantas mampus, perkataan Toaso memang benar,
selama ini aku telah menipu Suhu meski beliau
sangat baik padaku ...."
Liong Hui menarik napas panjang, katanya
kemudian, "Tidak, engkau tidak menipu beliau."
Giok-he, Ciok Tim dan Koh Ih-hong sama
melengak dan bingung.
Dengan menyesal Liong Hui berkata pula, "Tiga
hari setelah kau masuk perguruan Suhu lantas
mengetahui asal-usulmu."
"Hahh?" Koh Ih-hong menjerit kaget.
Giok-he dan Ciok Tim juga melenggong.
Dengan tenang Liong Hui menengadah, air
mukanya menampilkan rasa hormat dan kagum,
seperti lagi mengenangkan kebesaran pribadi sang
guru, katanya kemudian dengan perlahan, "Kau
tahu biasanya Suhu sangat ketat dalam hal
memilih murid. Aku dan Toasomu adalah anak
yatim piatu, bahkan sejak kecil aku sudah
diangkat anak oleh Suhu. Samsute adalah cucu
seorang sahabat karib Suhu, hubungan keluarga
Gote dan Suhu juga sangat erat ...."
Ia berhenti sejenak, lalu menyambung, "Maka
bilamana Suhu mau, menerima dirimu tanpa
mengusut asal-usulmu adalah karena beliau
sebelumnya sudah mengetahui seluk-beluk dirimu.
Waktu Suma-lopiauthau membawamu kepada
Suhu ...."
"Suma-lopiauthau sendiri tidak tahu kepalsuan
diriku," sela Koh Ih-hong, "tapi kakak dan
sahabatnya yang merencanakan tipu muslihat ini
agar Suma-lopiauthau mengira diriku adalah putri
yatim piatu yang telantar dan rebah kelaparan di
depan rumah Suma-lopiauthau. Karena kasihan
padaku, Suma-lopiauthau lantas membawaku ke
Ci-hau-san-ceng."
Air muka Liong Hui yang kereng tiba-tiba
menampilkan secercah senyuman, katanya, "Di
dunia ini tidak ada sesuatu urusan yang dapat
dirahasiakan selamanya, juga tidak ada seorang
pun yang dapat mendustai orang lain sekalipun
orang lain itu agak lebih bodoh daripadanya."
Tergetar hati Giok-he, diam-diam sebenarnya ia
merogoh saku dan tiga batang jarum siap
dihamburkan ke punggung Koh Ih-hong, demi
mendengar ucapan Liong Hui ini, tangannya rada
gemetar dan jarum jatuh kembali ke dalam saku.
Perlahan Liong Hui berkata pula, "Jangan kau
kira Suma-lopiauthau telah kalian tipu, yang
benar, sebabnya beliau mau membawamu ke Cihausan-ceng adalah karena dia melihat ada
sesuatu yang janggal pada keteranganmu. Coba
kau pikir, seorang anak yatim piatu mengaku ingin
belajar ilmu silat, mengapa yang dituju adalah Cihausan-ceng" Padahal Suma-lopiauthau sendiri
juga termasyhur kelihaiannya, bila ingin belajar
kenapa tidak kau angkat guru saja padanya, tapi
engkau minta beliau membawamu ke Ci-hau-sanceng?"
Koh Ih-hong jadi melenggong.
Maka Liong Hui menyambung lagi, "Dari dahulu
hingga sekarang memang sering ada orang pintar
berbuat keblinger. Kakakmu mengira dirinya
teramat pintar, tapi tak terpikir olehnya akan
kejanggalan ini."
Kepala Koh Ih-hong tertunduk terlebih rendah.
Hati Giok-he juga tergetar pula, pikirnya. "Dia
sengaja bicara demikian, apakah ada maksud lain
dan sengaja diperdengarkan padaku?"
Didengarnya Liong Hui menghela napas dan
bertutur pula, "Setelah engkau dibawa datang oleh
Suma-lopiauthau, beliau lantas mengadakan
pembicaraan rahasia dengan Suhu, akhirnya Suhu
menarik kesimpulan engkau pasti putri musuh.
Sebagai orang yang ikut bertanggung jawab,
apalagi Suma-piauthau memang seorang yang
berwatak keras dan tegas, saat itu juga beliau
menyatakan, 'Bila sudah jelas asal-usulnya, bila
perlu babat rumput sampai akar-akarnya'."
Tergetar tubuh Koh Ih-hong.
Liong Hui menggeleng dan menyambung lagi,
"Tapi waktu itu Suhu hanya tersenyum saja dan
menyatakan penyesalannya karena selama hidup
beliau telah banyak mengikat permusuhan dan
dengan sendirinya akan banyak menimbulkan
sakit hati orang lain, maka beliau menegaskan
takkan menyesal andaikan pada suatu hari ada
keturunan musuhnya akan mencari balas padanya
dan bahkan membunuhnya. Ia anggap balas
membalas, utang harus bayar, hal ini sangat
lumrah dan adil."
Setelah berhenti sejenak mengenang kebesaran
jiwa sang guru, kemudian Liong Hui menyambung
lagi, "Walaupun kuharap janganlah kumati secara
tidak wajar di kemudian hari, tapi aku pun tidak
mau bertindak membabat rumput sampai akarakarnya,
membunuh keturunan musuh habishabisan.
Kuharap permusuhan dapat diakhiri,
maka tidak peduli anak perempuan ini putri
musuhku yang mana, betapa pun dia adalah anak
yang punya cita-cita tinggi, bakatnya juga tidak
jelek, dengan susah payah ia berusaha masuk ke
perguruanku, mana boleh kubikin dia kecewa.
Umpama kelak setelah dia berhasil menguasai ilmu
silat ajaranku dan berbalik aku dibunuhnya, tetap
aku takkan menyesal, bahkan kalau dengan
demikian akan dapat mengakhiri dendamnya
padaku sehingga permusuhan ini dapat dihapus,
kan semuanya jadi baik?"
Mendengar sampai di sini, tangis Koh Ih-hong
yang tak bersuara mendadak pecah lagi menjadi
tangis keras. Liong Hui berkata pula dengan menyesal,
"Waktu itu kuladeni Suhu di samping, maka
semua percakapan mereka dapat kudengar dan
kuingat benar. Malam itu juga Suhu menerimamu
sebagai murid dan pada malam itu juga beliau ...."
Tanpa terasa ia memandang Giok-he sekejap,
lalu menyambung, "Malam itu juga beliau
mengumumkan pemikahanku dengan Toasomu."
Ia termenung pula sejenak seperti lagi
mengenangkan kebahagiaan pada malam itu,
kemudian lanjutnya, "Apakah engkau masih ingat
pada esok pagi berikutnya Suhu lantas berangkat
pergi, pada malam ketiga Suhu baru pulang dan
mengatakan padaku bahwa dirimu adalah
keturunan Koh Siau-thian Koh-locianpwe, aku
disuruh menjaga rahasia ini dan menyuruhku
harus memperlakukan dirimu dengan baik."
Tambah sedih tangis Koh Ih-hong, banyak isi
hatinya yang ingin diungkapkannya, tapi sepatah
kata saja tidak sanggup berucap.
Dalam pada itu pikiran Kwe Giok-he tambah
kusut dan gelisah, maklum, ia merasa bersalah,
perempuan yang tidak setia terhadap sang suami
betapa pun tetap menanggung tekanan batin.
Demikian pula dengan Ciok Tim, ia pun
menyadari betapa kotor dan rendah perilakunya
itu, terutama hal ini menyangkut istri Suheng yang
dihormatinya. Cuma hati nuraninya sering
terpengaruh oleh bujuk rayu yang memabukkan
dan membuatnya lupa daratan.
Liang Hui tidak menghiraukan mereka, perlahan
ia bertutur lagi, "Pada suatu hari, malam sudah
larut kulihat engkau menyelinap keluar taman
belakang perkampungan, kutahu Ginkangku tidak
mampu mengimbangi dirimu, maka aku cuma
mengintai dari kejauhan, kulihat engkau
mengadakan pembicaraan rahasia di dalam hutan
dengan seorang lelaki jangkung. Sekarang dapat
kuterka orang itu tentulah kakakmu."
Koh Ih-hong mengangguk perlahan.
"Semua itu sudah kuketahui sejak dulu, cuma
ada sesuatu yang sukar kupahami, entah .... Ai,
sudahlah, kutahu keadaanmu yang serbasusah,
sesuai pesan Suhu, tidak perlu kudesak ...."
Mendadak Ih-hong mengusap air mata dan
berucap tegas, "Urusan apa pun pasti akan
kukatakan dan akan kuanggap Toako yang
memaksaku bicara."
"Kukira tidak perlu, engkau ...."
"Aku memang tidak pemah melupakan sakit hati
orang tua," tukas Ih-hong. "Tapi ... tapi Suhu ...
kini Suhu sudah ...."
"Suhu pasti takkan mati," tukas Liong Hui
dengan penuh keyakinan.
"Apa pun juga kini sudah tiba saatnya harus
kubalas budi kebaikan Suhu," kata Ih-hong.
"Tapi bila akibat tindakanmu ini akan membikin
susah kakakniu sendiri" ...."
"Sedapatnya akan kuusahakan menghapuskan
permusuhan ini, bukankah Suhu sudah
menyatakan permusuhan lebih baik dihapus dan
jangan diperdalam."
"Dan kalau tidak dapat dihapus, lantas
bagaimana?"
"Jika tidak kuselesaikan, biarlah kumati di
depan kakak, biarlah kugunakan darahku untuk
mencuci permusuhan kedua pihak," kata Ih-hong
dengan tegas. Mendadak Liong Hui menengadah dan terbahak,
"Haha, bagus, bagus! Tidak percuma Suhu
menerimamu sebagai murid. Bakti dan setia
memang sukar terlaksana sekaligus, budi dan
benci juga sulit terselesaikan bersama. Menghadapi
perkara serbasulit begini, bagi seorang lelaki sejati
hanya mati saja yang dapat menyelesaikan tugas
ini." Mendadak ia berhenti tertawa dan menyambung
sambil menatap Koh Ih-hong, "Jika aku menjadi
dirimu, tentu demikian pula tindakanku."
Kedua orang lantas saling pandang dengan
penuh saling pengertian.
Melihat itu, hati Giok-he tambah tidak enak,
bilamana di antara mereka tambah akrab, bukan
mustahil pada suatu hari rahasianya pasti akan
dibeberkan oleh Koh Ih-hong. Ia menjadi serba
susah. Ia coba memandang Ciok Tim, anak muda
itu kelihatan menunduk, tampaknya juga tertekan
batinnya.

Amanat Marga Karya Khu Lung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Pada saat itulah sekonyong-konyong di atas
rumah ada suara orang bergelak tertawa nyaring,
"Hahaha! Sungguh lelaki yang gagah dan
perempuan yang bijaksana!"
Semua orang sama kaget.
"Siapa?" bentak Liong Hui.
Waktu ia berpaling, tahu-tahu sesosok bayangan
kelabu melayang tiba.
Agaknya orang ini sudah sekian lama berada di
atas rumah bambu ini, namun tiada seorang pun
yang mengetahuinya, gerak tubuhnya yang ringan
waktu melayang turun juga sedemikian gesitnya,
tentu saja semua orang tambah terkejut.
Waktu Liong Hui berempat mengamatinya,
terlihat orang yang melayang tiba ini masih muda,
berdahi lebar bersinar mata tajam, meski wajahnya
tidak terlalu cakap, tapi cukup cerah dan menarik.
Perawakannya juga tidak terlalu tinggi, kelihatan
agak gemuk, namun gerak-geriknya tangkas dan
cekatan. Wajahnya yang agak kehitaman selalu
mengulum senyum dan membuat setiap orang
yang baru bertemu tidak merasa jemu padanya.
Sekali pandang saja Liong Hui lantas berkesan
baik juga terhadap orang ini.
Pemuda cerah ini pun langsung mendekati Liong
Hui dan memberi hormat, katanya, "Selamat,
Toako!" Nada dan sikapnya scakan-akan sudah kenal
baik kepada Liong Hui.
Tentu saja Giok-he dan Ciok Tim merasa heran,
mereka sama memandang Liong Hui.
Waktu Koh Ih-hong mengenali pendatang ini, air
mukanya juga berubah.
Meski sangsi, Liong Hui adalah seorang yang
simpatik, cepat ia balas hormat orang dan
menjawab, "Selamat, sama-sama selamat!"
Dengan tertawa cerah pemuda itu berucap pula,
"Kutahu Toako tidak kenal diriku, tapi aku justru
kenal Toako, dan ...." mendadak ia berpaling dan
menatap Koh Ih-hong dengan tajam, lalu
menyambung, ".... juga adik cilik ini."
"Kau ... kau ...." Ih-hong tampak gugup, tanpa
terasa menyurut mundur.
"Siapa kau sebenarnya"!" bentak Ciok Tim.
"Siapa aku, rasanya sulit untuk kujawab," kata
pemuda cerah itu. "Tadi adik Koh ini mengatakan
kakaknya telah menghimpun serombongan
keturunan musuh Liong-loyacu, aku termasuk
satu di antaranya, aku pun ikut bersama mereka
merencanakan cara bagaimana menuntut balas."
"Jika sahabat ini ternyata lawan dan bukan
kawan, harap bicara terus terang apa maksud
kedatanganmu ini," kata Liong Hui segera sambil
membusungkan dada. "Anak murid Ci-hau-sanceng
sudah siap menghadapi segala sesuatu."
"Haha, lawan dan bukan kawan," pemuda cerah
itu mengulangi ucapan Liong Hui. "Bilamana aku
lawan, mana mungkin kupanggil Toako padamu.
Jika lawan, mana kusediakan obor dan memasang
tali panjang bagimu."
Mendadak sikapnya berubah kereng dan
menyambung pula, "Meski aku ikut serta dalam
muslihat mereka, tapi aku tidak pemah ikut bicara,
tidak mengajukan sesuatu usul .... Haha, makanya
mereka menganggap diriku ini sebagai orang tolol,
orang linglung yang tidak berguna lagi."
"Obor, tali, semua itu ...." Liong Hui berkerut
kening, ia coba berpaling ke arah Koh Ih-hong,
kelihatan nona itu mengangguk perlahan.
Pemuda cerah tadi bergelak tertawa dan berkata
pula, "Namun bagiku justru mereka itulah
kawanan orang tolol, mereka tidak mau berpikir
bahwa tokoh yang pemah menggetarkan dunia
Kangouw Kiu-ih-hui-eng (elang terbang bersayap
sembilan) Tik Bong-peng masakah bisa mempunyai
seorang anak yang goblok."
"O, kiranya Tik-kongeu," cepat Liong Hui
memberi hormat. "Sering kudengar cerita guruku
bahwa di antara lawannya dahulu, tokoh yang
paling dihormati dan disegani beliau adalah Tiklocianpwe?"
Wajah pemuda cerah itu tampak prihatin ia
membalas hormat dan berucap, "Mendiang ayahku
...." "O, apakah Tik-locianpwe sudah wafat" Mengapa
tidak terdengar berita ini di dunia Kangouw?" kata
Liong Hui. Pemuda itu tersenyum murung, jawabnya,
"Belasan tahun ayah mengasingkan diri di Thiansan
yang jauh sana, dengan sendirinya tidak ada
kabar berita mengenai beliau di dunia Kangouw."
Liong Hui tahu sejak Kiu-ih-sin-eng Tik Bongpeng
dikalahkan oleh gurunya, nama
kebesarannya lantas runtuh dan sejak itu
menghilang dari dunia Kangouw.
Dilihatnya pemuda cerah itu bicara pula dengan
bersemangat, "Sebelum meninggal, ayah juga
sering bicara tentang kegagahan Put-si-sin-liong,
beliau tidak pemah menyesal karena kalah di
bawah pedang si naga tak termatikan."
"Tapi guruku juga sering mengatakan
seharusnya Tik-locianpwe menang dalam
pertarungan itu, sebab lebih dulu guruku telah
tertusuk oleh pedang Tik-locianpwe," kata Liong
Hui. "Salah, bukan begitu halnya," ujar si pemuda
cerah. "Ayah telah menceritakan semua kejadian
pada waktu itu. Waktu itu Liong-loyacu
berkunjung ke Thian-san di bawah hujan salju dan
angin badai, beliau menunggu lagi sehari semalam
di puncak Thian-san. Padahal Liong-loyacu datang
dari daerah Kanglam yang beriklim hangat, mana
tahan akan dingin salju dan angin di puncak
Thian-san, karena itulah kaki dan tangan beliau
tentu saja kaku kedinginan, dengan begitu barulah
ayahku bisa menarik kcuntungan. Tapi ketika
ujung pedang ayah menyentuh badan Liongloyacu,
pedang Liong-loyacu juga sudah
mengancam di dada ayah. Apabila Liong-loyacu
tidak bermurah hati, tentu .... Ai!"
Diam-diam Koh Ih-hong menghela napas,
terpikir olehnya betapa sempit jalan pikiran kakek
sendiri dibandingkan kebesaran jiwa Kiau-ih-sineng
Tik Bong-peng. Didengarnya pemuda she Tik itu bertutur pula,
"Sebelum ayah meninggal, berulang beliau
memberi pesan padaku bahwa Liong-loyacu
sesungguhnya berbudi kepada beliau, maka kelak
aku harus membalas budi dan bukannya
membalas dendam. Pesan ini setiap saat selalu
kuingat dengan baik. Setelah ayah wafat, aku
lantas meninggalkan Thian-san dan datang ke
Tionggoan sini, waktu itu aku gemar minum ...." ia
tersenyum, lalu menyambung, "Sampai saat ini
aku tetap suka minum arak hingga lupa daratan."
Liong Hui tersenyum, ia tertarik kepada pemuda
yang suka terus terang ini.
Terdengar pemuda she Tik menyambung lagi,
"Suatu hari aku mampir minum arak di sebuah
rumah minum kecil di luar kota Tai-beng-hu,
sekaligus kuhabiskan dua guci Tik-yap-jing
simpanan pemilik rumah minum itu. Tik-yap-jing
memang arak yang sedap, waktu diminum tidak
terasa keras, sesudah masak perut, bekerjanya
justru sangat lama. Aku sudah terbiasa minum
arak keras daerah Kwan-gwa, maka sekali ini aku
terperangkap, tidak jauh meninggalkan rumah
minum itu aku lantas mabuk dan mengaco-belo
tak keruan ...."
Sampai di sini, ia tertawa kikuk, lalu
melanjutkan, "Kemudian baru kuketahui, dalam
keadaan mabuk aku telah membual tentang ilmu
pedangku yang tidak ada tandingan, kubilang Putsisin-liong juga bukan tandinganku, kukatakan
pula Thian-san-kim-hoat tidak ada tandingannya
di dunia, ilmu pedang daerah Tionggoan sama
sekali tidak ada artinya bagiku."
Liong Hui tersenyum, ia tambah senang
terhadap anak muda yang suka bicara blak-blakan
ini. "Esok harinya ketika aku sadar, kulihat di
sampingku seorang pemuda ganteng sibuk
melayani diriku," tutur lagi pemuda she Tik. "Dia
itulah kakak adik Koh ini, Koh Kang. Selama tiga
hari kami pesiar bersama dan menghabiskan lagi
beberapa guci Tik-yap-jing. Akhirrya Koh Kang
membeberkan rencananya kepadaku, katanya dia
telah mengumpulkan, segenap keturunan musuh
Put-si-sin-liong dan bermaksud menagih utang
berdarah kepada jago nomor satu itu."
Malam tambah larut, cahaya mutiara semakin
terang, semua orang scakan-akan lupa lapar dan
lelah dan asyik mendengarkan ceritanya.
"Waktu itu aku terkejut, sebab dari
keterangannya kutahu orang-orang yang telah
dikumpulkannya adalah keturunan jago-jago
terkemuka belasan tahun yang lalu, betapa tinggi
kepandaian Put-si-sin-liong pasti juga akan repot
menghadapi jago muda yang dihimpunnya ini."
Ia terdiam sejenak, lalu menyambung, "Mau tak
mau mengiang lagi pesan ayahku bahwa aku harus
membalas budi kepada Liong-loyacu, maka ajakan
Koh Kang kuterima. Adapun apa yang terjadi
selanjutnya tentu sudah dituturkan oleh adik Koh
tadi yang tidak diketahui oleh Toako mungkin
adalah mengapa orang-orang ini bisa berkaitan
dengan pertandingan antara Tan-hong dan Sinliong
di Hoa-san ini dan cara bagaimana disiapkan
perangkap ini?"
"Ya, memang urusan ini membuatku bingung
...." kata Liong Hui. "Tapi sebelum kau bicara lagi,
maukah kau beri tahukan lebih dulu namamu?"
"Tik Yang!" kata si pemuda cerah sambil
memberi gerakan melayang-layang di udara.
"Namaku Yang, yang melayang. Nama ini tidak
menonjol di dunia Kangouw sebab beberapa tahun
ini aku selalu berlagak bodoh dan pura-pura
dungu." Liong Hui tersenyum, juga Koh Ih-hong merasa
geli. Hanya Ciok Tim saja yang bungkam dengan
muka cemberut. Giok-he memandangnya beberapa kejap,
katanya kemudian, "Tik Yang, sungguh nama
bagus!" "Terima kasih, Toaso," Tik Yang memberi
hormat. Pemuda ini ternyata pandai bergaul dengan
siapa pun, dalam suasana bagaimana pun dia
dapat menempatkan dirinya secara riang dan
penuh humor. Diam-diam Ciok Tim mendongkol, ia melengos
ke sana dan tidak mau memandangnya lagi.
Sebenarnya watak Ciok Tim tidaklah jelek,
hanya dalam hal urusan perempuan telah
membuatnya kehilangan pribadinya. Sikap Tik
Yang terhadap Koh Ih-hong tadi telah membuatnya
mendongkol, sekarang Giok-he bersikap manis lagi
kepada Tik Yang, tentu saja dia tambah cemburu,
tapi tidak dapat berbuat sesuatu.
Terdengar Tik Yang bicara lagi, "Meski ada
maksudku hendak bekerja bagi Liong-loyacu, tapi
mengingat ada persekutuanku dengan Koh Kang
dan lain-lain, terpaksa aku tidak dapat tampil
melainkan cuma berusaha secara diam-diam saja."
"Sudah banyak bantuanmu dengan obor, tali
dan sebagainya," kata Liong Hui. "Semula kami
tidak tahu orang kosen dari mana yang diam-diam
memberi bantuan, tak tersangka adalah jasa baik
Tik-hiante. Sungguh kami sangat gembira dapat
bertemu denganmu."
Tik Yang menghela napas, "Sejak berkelana di
daerah Tionggoan lantas kudengar cerita di dunia
Kangouw bahwa murid utama Sin-liong-bun, si
lelaki baja Liong Hui adalah kesatria yang jujur
dan berbudi luhur, hari ini dapat bertemu sendiri
dengan Toako, ternyata memang tidak bemama
kosong." "Ah, Tik-hiante terlalu memuji," kata Liong Hui.
Dengan serius Tik Yang berucap pula, "Bilamana
tadi aku tidak menyaksikan sendiri tindak tanduk
Toako, tentu aku takkan menemui Toako di sini."
Ia berpaling dan memandang sekejap mayat
menggeletak di lantai itu, lalu berkata pula dengan
menyesal, "Meski orang ini tidak ada hubungan
erat denganku, tapi jelek-jelek kami sudah
berkawan. Walau dia sudah mati Toako tetap
menghormatinya tanpa memperlakukan kasar
padanya. Kupikir bilamana terhadap orang mati
saja Toako bersikap demikian, apalagi terhadap
yang hidup. Kalau dapat bersahabat dengan
kesatria semacam ini sungguh tidak sia-sia


Amanat Marga Karya Khu Lung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

kunjunganku ke Tionggoan ini. Sebab itulah aku
lantas melompat turun kemari ...."
"Kiranya sejak mula Tik-hiante sudah
bersembunyi di atas rumah, sungguh tidak becus
kami ini, ternyata tidak ada seorang pun yang
mengetahui jejakmu," kata Liong Hui dengan
tersenyum. "Memangnya siapa yang tidak pemah mendengar
Sam-hun-sin-kiam dan Jit-kim-sin-hoat dari
Thian-san-pay, setelah melihat Ginkang Tik-hiante
tadi nyata Kungfu Thian-san yang termasyhur itu
memang tidak omong kosong," kata Giok-he
dengan tersenyum, agaknya ganjalan hati tadi
sudah terlupakan.
"Ah, Sam-hun-kiam-hoat dan Jit-kim-sin-hoat
hanya kupelajari serba sedikit saja, kalau ada
sedikit kemajuanku, paling-paling lantaran setiap
hari berlarian di tanah pegunungan bersalju
sehingga tubuhku lebih ringan dan kakiku lebih
kuat, mana pantas dipuji oleh Toaso. Apalagi kalau
dibandingkan Sin-liong-kiam-hoat, sungguh aku
merasa malu sendiri."
"Sin-liong-kiam-hoat memang cukup
membanggakan, namun sayang di antara anak
muridnya seperti kami ini tidak ada seorang pun
mampu mewarisi kepandaian Suhu," kata Liong
Hui dengan gegetun. "Hanya Gote saja yang
berbakat dan punya dasar yang kuat, cuma sayang
dia belum lama belajar dengan Suhu dan belum
kelihatan sesuatu yang menonjol. Sebaliknya
diriku yang paling lama ikut Suhu justru teramat
bodoh." "Gote yang disebut Toako itu apakah keturunan
keluarga Lamkiong yang kaya raya dan belum lama
masuk perguruan Sin-liong itu" tanya Tik Yang.
Liong Hui membenarkan.
"Pemah juga kudengar pemimpin grup hartawan
Lamkiong cuma mempunyai seorang putra tunggal
yang sejak kecil gemar belajar silat dan entah
berapa banyak mengangkat guru serta membuang
biaya, cuma sayang yang didapatkan semuanya
bukan tokoh yang tepat. Baru akhir-akhir ini ia
diterima ke dalam perguruan Sin-liong. Heran juga
putra keluarga hartawan yang biasanya cuma suka
foya-foya ternyata mau tekun belajar silat segala."
"Hubungan keluarga Lamkiong dengan
perguruan kami memang sangat erat dan cukup
panjang untuk diceritakan," tutur Liong Hui. Lalu
ia mengacungkan ibu jari dan berkata pula, "Meski
Gote kami ini putra keluarga hartawan temama,
tapi dia bukan pemuda keluarga kaya umumnya.
Selain bakatnya tinggi dan otaknya cerdas, dia juga
berbakti kepada orang tua, setia terhadap guru dan
berbudi terhadap kawan. Tidak bingung
menghadapi perempuan cantik, tidak gugup
menghadapi bahaya. Ia pun serba pandai dan giat
belajar. Kuyakin hanya dia saja yang dapat
mengembangkan nama baik Sin-liong-bun kelak."
Biasanya Liong Hui tidak pandai bicara, tapi apa
yang diuraikan ini adalah sesuatu yang menjadi
kebanggaannya, maka nadanya lantang dan wajah
berseri. Ciok Tim tetap berdiri menghadap ke sana.
Sedangkan Giok-he ikut mendengarkan dengan
tersenyum simpul.
Koh Ih-hong lagi memandang langit-langit
rumah, entah asyik mendengarkan atau sedang
melamun. "Dan berada di manakah Lamkiong-toako itu
sekarang?" demikian Tik Yang bertanya.
"Gote saat ini seharusnya juga berada di sini,
tapi ...." segera Liong Hui menceritakan apa yang
terjadi dan yang telah dilakukan Lamkiong Peng.
Tik Yang tampak tertarik, katanya, "Wah, bila
mendengar cerita Toako ini, sungguh rasanya aku
ingin segera menyusul ke bawah gunung untuk
menemui Lamkiong-heng yang hebat itu ...."
"Bukan cuma engkau saja, kami juga ingin
segera bertemu lagi dengan Gote," kata Liong Hui.
"Tapi urusan di sini tentu saja lebih penting,
apalagi kalau Tik-hiante tidak menjelaskan lebih
lanjut persoalan ini, ke mana lagi akan kami cari
jejak guru kami?"
"Ya, betul juga." ucap Tik Yang dengan tertawa.
"Kita asyik bicara urusan lain sehingga melupakan
urusan penting."
Ia menengadah dan memandang kelima biji
mutiara yang terbingkai di belandar rumah bambu
itu, lalu berkata pula, "Toako, engkau sudah lama
berkelana di dunia Kangouw, apakah kau tahu
asal-usul kelima biji mutiara ini"
Liong Hui tertegun, jawabnya, "Tidak."
"Dahulu, setelah pertemuan Wi-san, nama Tanhong
Yap Jiu-pek sangat termasyhur, tatkala mana
beliau belum pindah ke Hoa san sini melainkan
tinggal di kaki gunung Wi itu dengan
perkampungan yang bemama Sip-tiok-san-ceng
...." "Ya, ini kutahu," kata Liong Hui.
"Dan Toako pasti juga tahu peristiwa besar yang
terjadi di Sip-tiok-san-ceng pada sepuluh tahun
yang lalu?"
"Apakah yang kau maksudkan itu adalah
pertemuan besar orang persilatan yang disebut
'Pek-niau-tiau-hong' (beratus burung menghadap
Hong) itu?"
"Betul," kembali Tik Yang tertawa cerah. "Waktu
itu aku masih kecil, meski jauh tinggal di daerah
perbatasan sana, tapi kudengar juga keramaian
pada pertemuan besar itu. Konon senjata setiap
tamu harus ditanggalkan, arak yang disuguhkan
kalau dituang ke Thay-oh akan menambah air
danau itu naik pasang tiga senti ...."
"Aku sendiri hadir dalam pertemuan itu, meski
sangat ramai, tapi juga tidak terlalu luar biasa,"
ujar Liong Hui dengan tersenyum.
"Betul juga ucapan Liong-toako mengingat jauh
30 tahun sebelumnya pertemuan besar yang
diadakan Liong-loyacu di Sian-he-nia ketika
meresmikan nama gelar beliau."
Tersembul senyuman bangga pada ujung mulut
Liong Hui, katanya "Dalam pertemuan itu, Suhu
tidak menyediakan pondokan, juga tidak ada
perjamuan, setiap tamu yang hadir sama
membawa arak dan makanan sendiri dan
diperbolehkan membawa senjata ...."
"Haha, hadir dengan membawa arak dan
santapan sendiri, juga tidak dilarang membawa
senjata, pertemuan bebas begini sungguh tidak
pemah terjadi dalam sejarah dunia persilatan.
Orang yang mengusulkan pertemuan cara ini pasti
seorang kesatria perkasa, sayang usiaku terlalu
muda dan tidak dilahirkan pada zaman itu," seru
Tik Yang dengan tertawa.
"Peristiwa itu disponsori oleh 13 jago tua dari ke13 propinsi, tapi yang memimpin pertemuan itu
adalah Thian-ah Tojin yang paling disegani waktu
itu." "Thian-ah Tojin?" Tik Yang menegas. "Hah,
sungguh luar biasa."
"Pertemuan yang disebut Ho-ho-tai-tian (pesta
pengukuhan) itu berlangsung sehari semalam,
sampai fajar keesokannya, beribu hadirin sama
mengacungkan pedang sambil bersorak Put-si-sinliong,
naga sakti tak termatikan. Betapa semarak
pertemuan itu jelas tidak dapat disamakan dengan
Pek-niau-tiau-hong, apalagi sifat dan nilainya juga
tidak sama."
"Oo"!" Tik Yang jadi ingin tahu.
"Ho-ho-tai-tian ini diadakan oleh orang
persilatan demi menghormati jasa guruku, jadi
guruku termasuk orang undangan, sebelumnya
tidak mengetahui akan urusan ini. Sedangkan Pekniautiau-hong diselenggarakan sendiri oleh Yap
Jiu-pek, setiap tokoh dunia persilatan yang
terkenal, baik lelaki maupun perempuan, semua
diundang hadir ke Sip-tiok-san-ceng. Di antara
hadirin ini tentu juga ada yang enggan datang, tapi
karena jeri terhadap Yap Jiu-pek sehingga terpaksa
hadir. Pertemuan demikian mana dapat
dipersamakan dengan Ho-ho-tai-tian bagi guruku
itu?" Tik Yang tersenyum, ia tahu antara Tan-hong
dan Sin-liong sudah retak, makanya Liong Hui
dapat bicara seperti ini.
Tiba-tiba Kwe Giok-he menyela dengan tertawa,
"Eh, sesungguhnya apa yang kalian perbincangkan
tadi, kenapa melantur hingga urusan Ho-ho taitian
segala?" "Haha, betul juga, maaf Toaso," seru Tik Yang
dengan tertawa. "Tentang asal-usul kelima biji
mutiara ini, yaitu merupakan kado yang dibawa
lima saudara perempuan Hing-san-pay ketika ikut
hadir di Sip-tiok-san-ceng."
"Hah, kiranya begitu, jadi rumah bambu ini
memang tempat kediaman Yap Jiu-pek?" seru
Liong Hui. "Betul," kata Tik Yang.
"Aneh juga," ujar Giok-he dengan kening
bekernyit. "Asalnya Yap Jiu-pek juga putri keluarga
kaya, mengapa dia sudi tinggal di tempat seburuk
ini?" "Memang sangat sedikit orang Bu-lim yang
mengetahui urusan ini," tutur Tik Yang dengan
gegetun. "Bahwa Yap Jiu-pek dan Liong-loyacu
dahulu sebenarnya, adalah pasangan pendekar
yang dikagumi di dunia Kangouw zaman itu ...."
"Antara guru kami dan Yap Jiu-pek memang
sudah kenal sejak kecil, cuma keduanya tidak
pemah terikat menjadi suami-istri, malahan karena
sesuatu urusan sepuluh tahun yang lalu kedua
orang lantas bersengketa dan tidak pemah bertemu
lagi," tukas Giok-he. "Karena sengketa itu,
terjadilah janji bertanding pedang sepuluh tahun
kemudian, hal ini cukup diketahui oleh setiap
orang persilatan."
"Betul, karena janji pertandingan itu, Yap Jiupek
berkeras ingin mengalahkan Liong-loyacu,
maka dia giat berlatih, untuk itu dia sedang
meyakinkan semacam Lwekang dari negeri Thiantiok
(Hindu), konon tanpa sengaja ia menemukan
sejilid kitab pelajaran Lwekang, karena hasratnya
ingin menang, tanpa bimbingan ia berlatih sendiri
secara cepat, siapa tahu akibatnya setelah berlatih
dua tahun dia mengalami kelumpuhan ...."
"Hah, rupanya setelah Yap Jiu-pek
menghabiskan harta bendanya di Sip-tiok-san-ceng
dan menyerahkan tempat kediamannya itu kepada
sahabatnya si Nikoh sakti Ji-bong Taysu, lalu dia
mengasingkan diri di sini, tak tersangka lantaran
dia mengalami kesesatan dalam latihan ilmunya."
"Ya, dengan wataknya yang angkuh, terutama
bila teringat kepada janji pertandingan dengan
Liong-loyacu, dengan sendirinya sukar dilukiskan
betapa penderitaan batinnya setelah mengalami
kelumpuhan itu," tutur Tik Yang. "Kebetulan waktu
itu Ji-bong Taysu berkunjung padanya, melihat
sahabat tersiksa, anak murid yang meladeni juga
selalu mendapat omelan, perangainya menjadi
pemarah, maka Ji-bong lantas membujuknya
berpindah ke suatu tempat tirakat yang terpencil
untuk istirahat, bukan mustahil sebelum sepuluh
tahun kesehatannya akan pulih dan mungkin juga
sekaligus akan berhasil meyakinkan semacam
Lwekang yang mahasakti."
"Ternyata selama sepuluh tahun dia tinggal di
gubuk buruk ini di bawah tiupan angin dingin dan
hujan salju, tujuannya tidak lebih hanya ingin
mengungguli guruku saja," kata Liong Hui dengan
gegetun. Malam hampir berakhir, hawa tambah dingin,
semua orang sama membayangkan betapa siksa
derita yang dialami Yap Jiu-pek selama hampir
sepuluh tahun tinggal di gubuk reyot.
Terdengar Tik Yang menyambung ceritanya lagi,
"Yap Jiu-pek menerima nasihat Ji-bong Taysu,
dibawanya murid kecil yang baru diterimanya serta
empat pelayan pribadi ke Hoa-san sini dan hidup
terpencil di rumah gubuk ini, kasur inilah tempat
ia duduk bersemadi, setiap hari cuma muridnya itu
datang mengawani dia selama beberapa jam,
mengantarkan makanan dan juga belajar ilmu
silat." "O, jadi perangkap ini memang dipasang oleh
Yap Jiu-pek sendiri." kata Liong Hui.
Tik Yang menggeleng dan bertutur pula, "Dengan
susah payah Koh Kang berusaha menuntut balas,
setelah dia menyelundupkan adik perempuannya
ke Ci-hau-san-ceng, lalu bersama kami mendatangi
Sip-tiok-san-ceng yang kini telah menjadi tempat


Amanat Marga Karya Khu Lung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

kediaman Ji-bong Taysu itu untuk minta bantuan
...." Kening Liong Hui bekernyit terlebih erat, dengan
heran ia menyela pula, "Masakah Ji-bong Taysu
juga ada permusuhan dengan guruku?"
Kembali Tik Yang menggeleng, katanya, "Meski
Ji-bong Taysu tidak ada permusuhan dengan
Liong-loyacu, tapi dia ada hubungan erat dengan
murid Kun-lun-pay, Boh-hun-jiu Tok Put-hoan.
Mungkin Liong-toako juga tidak tahu seluk-beluk
hubungan mereka?"
"Ya, tidak tahu," kata Liong Hui.
"Pemahkah Toako mendengar seorang murid
Kun-lun-pay pada beberapa puluh tahun yang lalu,
seorang pendekar pedang perempuan bemama Li
Ping." Dengan tersenyum Giok-he menimbrung,
"Memang pemah kami dengar nama ini, menurut
cerita Suhu, tingkah-laku Li Ping ini terlebih kejam
daripada Leng-hiat Huicu yang terkenal pada 30
tahun yang lalu itu, cuma setelah membikin geger
dunia Kangouw, kemudian orang ini lantas lenyap
secara mendadak."
"Ya, orang Kangouw tak ada yang menyangka Li
Ping yang cantik dan berhati kejam itu dapat
mencukur rambut dan menjadi Nikoh, bahkan
terkenal sebagai Ji-bong Taysu yang saleh.
Rupanya Li-locianpwe itu sengaja menghindari
pencarian musuh dan mengasingkan diri. Ia
merasa segala perbuatan masa lampau serupa
orang mimpi, maka setelah menjadi Nikoh ia
memakai gelar Ji-bong, artinya serupa mimpi."
"O, jadi Ji-bong Taysu dan Boh-hun-jiu Tok Puthoan
berasal dari perguruan Kun-lun," kata Giokhe.
"Ya, makanya Ji-bong Taysu telah menyarankan
kepada Tok Put-hoan agar bersama kami datang
saja ke Hoa-san sini untuk mencari Yap Jiu-pek,"
tutur Tik Yang. "Waktu itu Yap Jiu-pek sedang
tersiksa dan penuh rasa benci tak terlampiaskan,
setelah mendengar maksud kedatangan kami,
tanpa bicara ia terus melancarkan pukulan
terhadap Koh Kang dan Tok Put-hoan. Meski tokoh
kosen ini dalam keadaan lumpuh tapi tenaga
pukulannya tetap sangat dahsyat, meski aku
berdiri jauh di belakang juga merasakan angin
pukulannya yang keras."
Ia menghela napas, lalu menyambung, "Ketika
angin pukulan dahsyat itu menyambar tiba, segera
Koh Kang menghindar, sebaliknya Tok Put-hoan
tetap berdiri di tempatnya dan menerima pukulan
itu. Kulihat Tok Put-hoan tetap berdiri tegak,
kusangka Lwekangnya mampu melawan pukulan
Yap Jiu-pek yang lihai itu, tak terduga dia lantas
jatuh terduduk di lantai."
"Rupanya meski Tok Put-hoan sanggup
menahan pukulan Yap Jiu-pek itu, tapi juga telah
menguras seluruh tenaganya sehingga tidak
sanggup berdiri lagi. Ia lantas mencaci maki Yap
Jiu-pek yang kejam itu, bilamana tidak mau
membantu juga tidak layak menyerang kaum muda
yang jelas bukan tandingannya."
"Diam-diam kami siap siaga kalau-kalau Yap
Jiu-pek menyerang lagi oleh karena caci maki Tok
Put-hoan itu. Tak terduga Yap Jiu-pek tidak
meladeni makian orang, ia cuma menghela napas
dan berucap, 'Hanya mengandalkan kepandaian
kalian ini mana mungkin dapat menuntut batas
kepada Liong Po-si.'"
"Lalu ia memberi tanda agar kami pergi saja
sambil memejamkan mata dan tidak menggubris
kami lagi. Tapi Koh Kang lantas menjelaskan
tujuan kami yang cuma ingin menuntut batas
kepada Put-si-sin-liong dan bukan untuk
bertanding dengan dia, maka kami akan
menggunakan segala macam cara asalkan tujuan
tercapai. Ia beberkan pula rencana yang telah kami
atur, terutama agen yang sudah diatur di Ci-hausanceng, jadi setiap gerak-gerik Liong Po-si dapat
diketahui dengan jelas, terutama bila ada Kungfu
baru yang berhasil diciptakannya."
"Bagaimana ilmu silat Koh-toako kita ini tidak
kuketahui, yang jelas dalam hal putar lidah
memang dia nomor satu. Rupanya Yap Jiu-pek jadi
tertarik, perlahan ia membuka mata dan
memancarkan sinar mata yang aneh. Semua itu
dapat kulihat dari samping, tahulah aku urusan
pasti beres."
Liong Hui menghela napas, katanya, "Watak Yap
Jiu-pek angkuh dan suka menang, tak tersangka
dia juga mau menggunakan cara yang tak jujur
untuk mencapai maksud tujuannya."
"Maklumlah, sudah sekian tahun Yap Jiu-pek
duduk bersemadi dan setiap hari tersiksa oleh
hawa dingin yang merasuk tulang, sedangkan
jangka waktu bertanding dengan Liong Po-si
sepuluh tahun kemudian sesuai perjanjian sudah
semakin dekat, sebaliknya kesehatannya tidak
tampak ada harapan akan pulih, dengan
sendirinya pikirannya waktu itu menjadi agak
kurang normal, maka dia telah terima gagasan
yang diajukan Koh Kang."
"Apa gagasannya?" tanya Liong Hui.
"Selama lima tahun kami berdiam di Hoa-san,
selama itu kami bergiliran turun gunung untuk
mencari berita keadaan dan kemajuan Kungfu
Liong-loyacu, di samping itu kami juga giat berlatih
di atas gunung. Ai, tak kusangka dendam kesumat
Koh Kang terhadap Liong-loyacu ternyata
sedemikian mendalam, hidupnya seolah-olah
hanya untuk menuntut balas saja. Padahal dia
masih muda, tapi dia rela hidup terasing di
pegunungan sunyi. Nama, kedudukan, kekayaan,
segala kenikmatan hidup scakan-akan telah
dilupakan olehnya. Dan begitulah kehidupan
selama lima tahun yang kesepian itu telah kami
lalui dengan susah payah. Akhirnya mereka
mengatur suatu rencana yang rapi, rencana yang
mutlak harus berhasil dan tidak boleh gagal."
Akhirnya dia bereerita mengenai titik pokoknya,
semua orang sama mendengarkan dengan cermat.
"Rencana ini secara terperinci berdasarkan enam
titik," tutur Tik Yang perlahan. "Pertama,
menggunakan berita kematian Yap Jiu-pek untuk
membikin kacau pikiran Liong-loyacu, untuk
melemahkan kewaspadaannya. Semua orang tahu
kisah masa lalu antara Liong-loyacu dengan Yap
Jiu-pek, bila mendadak Liong-loyacu menerima
berita duka itu, dengan sendirinya hatinya akan
sedih dan menyesal sehingga melengahkan segala
kemungkinan lain."
"Kedua, murid Yap Jiu-pek diminta
menggunakan kata-kata tajam dan sikap angkuh
untuk memancing kemarahan Liong-loyacu,
dengan watak Liong-loyacu yang tidak sudi
dipandang rendah, dengan sendirinya akan
terpancing oleh usul Yap Man-jing yang minta
Liong-loyacu menyusutkan tenaga sendiri. Dan bila
usul ini diterima Liong-loyacu berarti rencana kami
sudah tercapai separuh."
Giok-he menunduk dan menghela napas, "Waktu
itu memang sudah kurasakan keadaan tidak
menguntungkan, maka kubujuk Suhu agar jangan
mau terjebak, siapa tahu Gote ...."
"Bilamana Gote tidak melakukannya waktu itu,
tentu akulah yang akan melakukannya," teriak
Liong Hui tegas. "Seorang lelaki sejati mana boleh
takut ini dan khawatir itu serupa orang
perempuan. Terkadang sekalipun tahu akan ditipu
orang juga tetap akan kuterjang daripada terhina.
Apalagi biarpun dibodohi orang satu kali apakah
mungkin akan tertipu lagi untuk kedua kalinya."
Tik Yang mengangguk tanda memuji akan
kegagahan orang, Giok-he menunduk pula dan
berucap, "Dan yang ketiga?"
"Ketiga, bila Lwekang Liong-loyacu sudah susut,
selanjutnya harus melemahkan kekuatannya,
dalam hal ini diusahakan agar beliau terpencar
dengan kalian ...."
Liong Hui memandang sekejap kepada sang istri,
ia pikir dugaannya ternyata juga tidak salah.
Maka terdengar Tik Yang menyambung lagi,
"Apabila ketiga titik pokok ini sudah berhasil, tiga
titik rencana selanjutnya jelas akan berjalan
dengan baik, keadaan Liong-loyacu berarti lebih
banyak celaka daripada selamatnya. Semula aku
berjaga di tengah jalan, ku lihat Yap Man-jing itu
benar telah berhasil membawa Liong-loyacu
sendirian ke atas gunung. Diam-diam aku merasa
ngeri, kupikir sekarang inilah saatnya kubalas budi
kebaikan Liong-loyacu. Segera kusiap
membereskan Yap Man-jing dan menuturkan
duduk perkara yang sebenarnya kepada Liongloyacu."
"Atas maksud baik Tik-hiante ini kami harus
berterima kasih padamu," kata Liong Hui.
"Ah, Liong-toako jangan tergesa mengucapkan
terima kasih padaku, yang harus menerima
penghormatanmu ini justru ialah nona Yap Manjing
itu," kata Tik Yang.
"O, mengapa begitu?" Liong Hui merasa bingung.
"Sebab pada waktu timbul maksudku akan
menyerang nona Yap itu, siapa tahu begitu
berhadapan denganku tanpa bicara nona Yap itu
lantas mendahului menusukku dengan cara tanpa
kenal ampun, tentu saja aku kaget, untung sempat
kuhindari serangannya. Aku menjadi sangsi
jangan-jangan nona Yap itu dapat mengetahui
maksudku dan mendahului hendak
membinasakanku?"
"Nona Yap melancarkan serangan lagi terusmenerus,
setiap tusukan selalu mengincar tempat
mematikan, kukhawatir kawan yang lain keburu
datang, maka sembari mengelak kubeberkan tipu
muslihat mereka kepada Liong-loyacu dan minta
beliau lekas bertindak. Siapa tahu, setelah
kubongkar rahasia ini, nona Yap berbalik berhenti
menyerang."
Liong Hui menghela napas, "Jangan-jangan nona
Yap itu juga bermaksud membantu guruku?"
"Memang betul," tutur Tik Yang. "Kiranya orang
tua nona Yap ini dahulu juga pemah mendapat
pertolongan Liong-loyacu, dia juga tidak
menyetujui tipu muslihat keji mereka, mestinya dia
belum mengambil sesuatu keputusan, tapi setelah
berhadapan dengan kalian dan mengetahui pribadi
Liong-loyacu, ia bertekad akan membantu Liongloyacu
melepaskan diri dari perangkap ini
sekalipun dia akan dituduh berkhianat kepada
gurunya." "Ai, sungguh tidak kuduga nona Yap itu adalah
gadis berbudi luhur," ucap Liong Hui.
Tik Yang tersenyum, "Ya, dan yang paling
terkejut ialah Liong-loyacu sendiri. Beliau seorang
jujur dan berhati lapang, mana diketahuinya orang
akan bertindak keji dan curang padanya. Begitulah
kami lantas mengajak beliau ke tempat kediaman
kami sehari-hari di pinggang gunung, di situ kami
ceritakan seluk-beluk urusan ini."
"Siapa tahu, setelah mendengarkan keterangan
kami, segera Liong-loyacu minta alat tulis kepada
kami, beliau menulis sepucuk surat wasiat dan
diserahkan kepada Yap Man-jing dengan pesan
agar diserahkan kepada kalian, kemudian Liongloyacu
minta kubawa beliau ke atas gunung lagi."
"Tentu saja aku dan nona Yap melenggong,
melihat keraguan kami, Liong-loyacu bergelak
tertawa dan berkata, 'Biarpun di atas sana ada
sarang harimau atau kubangan naga tetap juga
akan kuterjang. Hidup setua ini, mati bagiku
sudah bukan soal lagi. Justru persoalan budi dan
benci yang belum terselesaikan ini harus
kubereskan dengan tuntas, aku tidak ingin
membawa urusan yang belum selesai ini ke
akhirat.'"
"Berbareng dengan ucapan beliau itu, mendadak
kudengar ruas tulang Liong-loyacu sama berkeriatkeriut,
perawakan beliau yang memang kekar itu
mendadak scakan-akan bertambah lebih tinggi
besar. Aku tidak berani menatap wajahnya, aku
tertunduk, tapi sudah kulihat di tengah gelak
tertawanya dia telah membuka Hiat-to sendiri yang
tertutuk sehingga pulih seluruh Lwekangnya.
Sungguh tidak kepalang rasa kagumku terhadap
kegagahan dan kehebatan Kungfu beliau."
Setiap anak murid Liong Po-si yang mendengar
ucapan Tik Yang ini sama ikut merasa bangga,
rumah gubuk yang sunyi dan dingin ini seketika
seperti berubah menjadi hangat.
Sambil membusungkan dada Tik Yang
menyambung lagi, "Melihat kegagahan Liongloyacu
itu, aku dan nona Yap tidak berani


Amanat Marga Karya Khu Lung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

mencegahnya lagi. Ketika nona Yap mau pergi,
Liong-loyacu menyerahkan pula pedangnya agar
diserahkan kepada kalian. Nona Yap tampak
tertegun, aku sendiri juga tidak sanggup bicara apa
pun." "Nona Yap itu ternyata seorang yang simpati,
semula kusangka dia berhati dingin," ucap Liong
Hui. "Kami terharu menyaksikan keperkasaan Liongloyacu,
sungguh kami tidak ingin Liong-loyacu
menghadapi bahaya, meski Kungfu beliau tidak
ada tandingan, tapi di atas gunung sedang menanti
berbagai jeratan yang licik yang khusus dirancang
sesuai dengan watak Liong-loyacu yang luhur itu,
sampai lama akhirnya nona Yap membalik tubuh
dan melangkah pergi, memandangi bayangan
punggung nona Yap, tertampil juga perasaan haru
dan duka Liong-loyacu yang sukar ditutupi ...."
"Termangu kupandang orang tua itu, kulihat
Liong-loyacu juga sedang menatap tajam padaku,
sampai sekian lama mendadak beliau berkata
dengan tegas, 'Seorang lelaki sejati, hidup dan
bekerja bagi sesamanya, asalkan meraba perasaan
sendiri tidak bersalah, andaikan mati juga tidak
perlu disesalkan. Ayahmu juga seorang tokoh
besar, engkau dilahirkan di keluarga kaum
kesatria, seharusnya kau pun tahu apa artinya
menepati janji bagi seorang kesatria.'"
"Habis berucap, beliau mengentak kaki perlahan,
lalu perawakannya yang tinggi besar itu melayang
ke atas gunung dan akhirnya lenyap dalam
kegelapan. Ketika aku menunduk, kulihat sebuah
bekas kaki tercetak dengan jelas di atas batu,
kupandang bekas kaki ini dan mengingat lagi
ucapan Liong-loyacu sebelum pergi, sampai lama
kurasakan suara beliau masih mengiang di tepi
telingaku ...."
"Ya, bekas kaki itu pun sudah kami lihat," ucap
Liong Hui dengan nada berat.
"Tapi sejauh ini kami tidak tahu mengapa Suhu
meninggalkan bekas kaki seperti itu," tukas Giokhe.
"Banyak urusan di dunia ini sukar dimengerti
sekalipun oleh orang yang pandai," ujar Tik Yang
dengan pandangan hampa. "Misalnya saja,
sekarang juga aku tidak tahu apa yang terjadi
setelah Liong-loyacu naik ke atas gunung dan di
mana beliau berada saat ini."
"Hah, engkau pun tidak tahu?" seru Liong Hui
terkesiap. "Ya, aku pun tidak tahu," Tik Yang menggeleng.
"Setelah beliau pergi, sampai lama aku
menimbang, akhirnya kuputuskan turun ke bawah
untuk mencari kalian. Tapi waktu itu kalian sudah
mendaki ke atas malah, maka diam-diam kukuntit
perjalanan kalian dan banyak mendengar macammacam
percakapan kalian. Ketika kudengar kalian
bicara tentang obor, segera kukembali ke tempat
tinggal kami untuk mengambil obor dan tali,
kuputar ke depan dan menyalakan obor, kunaik
lagi ke atas tebing dari jalan lingkar yang lain dan
menjulurkan tali ke bawah. Adapun mengenai apa
yang terjadi di rumah gubuk ini, seperti juga
kalian, aku pun tidak tahu sama sekali."
Suasana menjadi sunyi, semua orang saling
pandang dengan termenung. Namun apa yang
dipikirkan mereka tidak sama.
Liong Hui dan Koh Ih-hong berpikir
sesungguhnya apa yang terjadi di sini" Ke mana
perginya Suhu" Selamat atau celaka"
Sedangkan yang dipikirkan Ciok Tim dan Giokhe
justru mengenai urusan pribadi mereka, timbul
keraguan mereka jangan-jangan apa yang
dilakukan mereka tadi telah dilihat juga oleh Tik
Yang. Malahan Ciok Tim berpendapat sebabnya Tik
Yang bersikap ketus padanya jelas lantaran orang
telah melihat perbuatannya tadi.
Tiba-tiba Giok-he bertanya, "Tik-siauhiap, apa
yang terjadi di rumah gubuk ini tentu kau lihat
juga, mengapa engkau bilang tidak tahu?"
Mendadak Tik Yang menengadah dan tertawa,
"Haha, bagus, bagus, maksud baikku agaknya
telah menimbulkan salah sangka kalian."
"Tik-siauhiap, jangan engkau menyesal bila
kusalah omong," kata Giok-he pula dengan
tersenyum. "Cuma engkau jelas sudah datang ke
sini lebih dulu, kami ketinggalan lantaran cukup
lama menyelidiki ukiran pada ketiga potong batu
karang itu. Apalagi waktu engkau masuk kemari
tiada kelihatan rasa kaget atau heran sedikit pun,
memangnya apa sebabnya?"
Ciok Tim berdehem dan juga menatap Tik Yang
dengan tajam. Agaknya Liong Hui juga mempunyai
pikiran yang sama.
Namun Tik Yang cuma tersenyum saja.
Perlahan Giok-he menyambung, "Ketiga langkah
yang kalian rancang sudah kau jelaskan tadi. Lalu
ketiga perangkap selanjutnya belum kau katakan,
namun tanpa kau jelaskan juga kutahu. Pertama
kalian sengaja mengukir tulisan di dinding tebing
untuk memancing guruku naik kemari, supaya
tenaga guru kami terkuras habis sebelum
bertanding. Malahan bukan mustahil ada pikiran
kalian semoga beliau tidak sanggup mendaki ke
atas dan jatuh tergelincir, dengan begitu kalian
menjadi tidak perlu turun tangan lagi."
Tik Yang tetap diam saja, bahkan lantas
memejamkan mata.
Maka Giok-he bicara lagi, "Kedua, selama
beberapa tahun ini kalian sudah menerima info
dari Sumoay kami ini dan cukup mengetahui
kehebatan Kungfu guru kami, sebab itulah kalian
sengaja menciptakan tiga jurus istimewa dan
diukir pada batu karang. Agaknya cuma teori saja
ketiga jurus ciptaan kalian ini dapat diterima, tapi
bila digunakan dalam praktik belum tentu dapat
dimainkan dengan baik. Dengan demikian tujuan
kalian hanya untuk menguji Suhu, supaya
sebelum berhadapan dengan Yap Jiu-pek beliau
sudah patah semangat lebih dulu."
la berhenti sejenak, lalu melanjutkan,
"Kukatakan ketiga jurus ciptaan kalian itu pada
hakikatnya cuma teori belaka dan sukar
dipraktikkan, sebagai seorang tokoh kelas top
tentu saja Suhu dapat menyelaminya, sebab itulah
dengan gusar beliau telah menghantam remuk
batu karang itu."
"Dan ketigam" sambung Giok-he, "tiga jalan
tembus dan empat daun pintu, inilah cara kalian
menjajaki betapa tinggi Kungfu guru kami. Ada lagi
satu hal yang jelas sangat aneh bahwa Yap Jiu-pek
diketahui sudah lumpuh, lantas ke mana perginya
dia sekarang?"
Liong Hui juga menatap Tik Yang dengan sangsi.
Dilihatnya Tik Yang membuka mata perlahan
lalu berkata, "Liong-toaso, engkau memang sangat
pintar, ketiga hal ini ternyata dapat kau terka
dengan tepat."
Dia bicara dengan dingin, sikapnya juga kaku,
sambungnya, "Memang, ketiga jurus yang terukir
di batu karang itu memang cuma bicara secara
teori saja, praktiknya memang sukar dimainkan."
Tiba-tiba tersembul senyumannya yang
mengejek, "Apa yang kalian bicarakan di depan
ketiga potong batu karang itu dapat kudengar
dengan jelas. Cuma sayang waktu itu terlalu
banyak urusan yang dipikirkan Toaso sehingga
tidak tahu di atas batu ada orang bersembunyi."
Hati Giok-he terkesiap.
Liong Hui lantas berkata dengan menyesal,
"Karena berbagai kejadian yang membikin bingung
kami ini, bilamana Toaso salah omong mengenai
dirimu hendaknya engkau jangan marah."
"Aku mengerti, jika aku jadi Toaso tentu juga
akan merasa sangsi," ujar Tik Yang dengan
tertawa. "Kedatanganku ke rumah gubuk ini
memang lebih dini daripada kalian, tapi apa yang
terjadi di sini sudah lalu, apa yang disangsikan
Toaso serupa juga apa yang sangsikan. Jejak
Liong-loyacu dan juga Yap Jiu-pek, Koh Kang, Tok
Put-hoan dan lain-lain saat ini telah menjadi tekateki
...." Pandangannya perlahan beralih ke lantai,
katanya sambil membalik mayat yang menggeletak
itu, "Di sini ada bekas darah, tapi pada satusatunya
mayat ini tidak ada sesuatu tanda luka
cara bagaimana kematiannya ...."
Waktu semua orang mengawasi lagi mayat itu,
tertampak kulit daging pada wajah mayat itu
berkerut serupa mati ngeri dan kaget, juga serupa
mati oleh karena semacam Lwekang yang lihai
yang menggetar putus urat nadinya.
"Ya, semua ini memang teka-teki, kuharap Tiklaute
sudi bekerja sama dengan kami untuk
menyingkap tabir teka-teki ini," kata Liong Hui.
Tik Yang tersenyum, ia angkat mayat itu dan
berkata, "Teka-teki ini pada suatu hari pasti akan
terjawab, tatkala mana tentu semua orang baru
akan percaya bahwa apa yang kuceritakan
memang betul."
Ia pandang Liong Hui sekejap, tiba-tiba ia
berseru, "Toako, sampai berjumpa pula."
Habis berkata ia terus melayang keluar.
"Nanti dulu, Tik-laute ...." teriak Liong Hui
sambil memburu keluar, namun bayangan jago
muda ahli waris Thian-san-pay ini sudah
menghilang dalam sekejap, meski mengangkat
sesosok mayat, namun Ginkangnya sungguh luar
biasa cepatnya.
Liong Hui berdiri termangu sambil memandang
jauh ke sana, gumamnya, "Sungguh pemuda yang
suka terus terang ...."
"Tapi menurut pandanganku, tampaknya ada
sesuatu yang tidak beres ...."
Belum lanjut ucapan Giok-he, mendadak Liong
Hui berpaling dan membentak, "Tutup mulut!"
Selagi Giok-he melenggong, didengarnya Liong
Hui berucap pula dengan bengis, "Semuanya garagaramu,
jika bukan karena cara bicaramu yang
menyinggung perasaannya, mana bisa dia pergi
begitu saja. Tampaknya kehormatan Ci-hau-sanceng
selanjutnya bisa tamat di tanganmu."
Biasanya Liong Hui jarang sekali marah, kini dia
kelihatan marah benar, Ciok Tim dan Koh Ih-hong
sama sekali tidak berani ikut bicara.
Giok-he tercengang sejenak, mendadak ia
menjerit sambil mendekap mukanya terus berlari
keluar. "Toaso!" seru Ciok Tim dan Ih-hong bersama.
Melongo juga Liong Hui melihat istri tercinta lari
pergi dengan marah, betapa pun timbul juga rasa
menyesalnya. "Lekas kau susul Toaso dan membujuknya,
Toako," kata Ih-hong.
Liong Hui menunduk, "Memang perkataanku
tadi agak keras!" ia berpaling dan berkata kepada
Ciok Tim, "Kukira Samte saja yang menyusul dan
membujuknya."
Tanpa disuruh lagi segera Ciok Tim melompat
keluar. Sampai lama Liong Hui termenung, lalu
menghela napas dan berkata pula, "Ya,
perkataanku memang terlalu keras. Padahal
maksudnya juga demi kebaikan orang banyak ...."
Dia tidak menyalahkan orang lain, tapi mencela
diri sendiri lebih dulu.
Memandangi wajah Liong Hui yang lesu, tibatiba
timbul rasa kasihan Koh Ih-hong padanya.
Lantaran inilah, mestinya dia merasa malu lagi
tinggal dalam perguruan Sin-liong, tapi entah
mengapa sekarang sukar untuk menyatakan
niatnya untuk pergi.
Akhirnya ia bersuara perlahan, "Toako, apakah
kita akan tetap tinggal di sini atau turun gunung
saja?" "Ya, pergi saja," jawab Liong Hui sesudah
berpikir sejenak, "Kukira Toaso toh pasti akan
pulang ke Ci-hau-san-ceng, pula ... saat ini Gote
mungkin sedang menunggu kita di kaki gunung.
Ai, kejadian hari ini memang serba aneh, untuk
apakah Tojin itu membawa lari peti mati itu"
Sungguh hal ini pun sukar untuk dimengerti atau
... atau akulah yang terlalu bodoh ...."
Koh Ih-hong diam saja tanpa menanggapi.
"Tapi semua teka-teki ini akhirnya pasti akan
tersingkap ...." demikian Liong Hui teringat kepada
ucapan Tik Yang tadi.
Ufuk timur sudah remang-remang, fajar hampir
tiba, kabut tipis mengelilingi lereng gunung,
perlahan mereka meninggalkan puncak Hoa-san


Amanat Marga Karya Khu Lung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

yang sunyi ini ....
***** Di kaki gunung sana Lamkiong Peng dan Bwe
Kim-soat lagi saling tatap, sudah sekian lamanya
kedua sama-sama tidak bergerak.
Akhirnya Bwe Kim-soat menjulurkan tangan
untuk membetulkan rambut yang kusut pada
pelipisnya, katanya, "Apakah engkau harus
menunggu mereka?"
Lamkiong Peng mengiakan tanpa sangsi.
Ia tidak tahu bilamana orang perempuan meraba
rambut sendiri, biasanya pikiran tentu lagi resah.
"Baik, kuturut padamu," kata Bwe Kim-soat
kemudian, segera ia melayang ke peti mati sana,
lalu berpaling pula dan menambahkan, "Cuma
sekali ini saja!"
Di bawah kerlip bintang peti mati tidak terlihat
sesuatu perubahan, Bwe Kim-soat duduk
bersandar pohon. Sedangkan Lamkiong Peng
berdiri tegak di sana, lalu berjalan mondar-mandir,
jelas pikirannya juga kusut.
Mendadak ia berhenti di depan Bwe Kim-soat
dan berkata, "Ingin kutanya padamu ...."
"Urusan apa?" berputar bola mata Bwe Kim-soat.
"Tadi ... waktu kubuka peti mati itu, mengapa
kulihat kosong?"
Bwe Kim-soat tertawa, "Di dasar peti ada satu
lapisan rahasia, masa tidak dapat kau lihat?"
"Oo!?" Lamkiong Peng melenggong.
"Kukira yang hendak kau tanya bukanlah
urusan ini," kata Kim-soat pula.
Kembali Lamkiong Peng melenggong, katanya
kemudian, "Betul, tapi ... tapi sekarang kutidak
ingin tanya lagi."
Ia lantas menyingkir lagi ke sana.
Tampak Bwe Kim-soot juga termenung, lalu
berucap dengan sayu. "Tadi kalau aku tidak
bereermin di air sungai, pasti kukira diriku sudah
tua." Dilihatnya Lamkiong Peng berpaling, tapi tidak
memandang ke arahnya, maka ia bergumam pula,
"Pada usia 14 aku sudah berkelana di dunia
Kangouw, setiap orang yang bertemu denganku
tidak pemah ada seorang yang tak acuh padaku
seperti dirimu sekarang ...."
Lamkiong Peng mendengus sambil meraba tutup
peti mati kayu cendana yang berukir indah itu,
bilamana saat ini tutup peti itu dibukanya, maka
dunia persilatan pasti takkan terjadi macammacam
persoalan lagi. Tapi ia cuma meraba tutup
peti dengan perlahan, sama sekali tiada maksud
hendak membukanya.
"Sudah banyak kulihat anak muda yang sok
anggap dirinya lain daripada yang lain," kata Kimsoat
pula sambil membelai rambut sendiri. "Aku
pun banyak melihat jago, dan tokoh temama yang
anggap dirinya luar biasa. Sampai sekarang aku
masih ingat dengan jelas sorot mata mereka yang
memandang padaku, sungguh aku merasa geli dan
juga kasihan kepada mereka ...."
"Blang", mendadak Lamkiong Peng menghantam
tutup peti dengan keras, jengeknya, "Kisah masa
lampau yang membuatmu bangga ini kenapa tidak
kau simpan saja dalam hatimu?"
Karena hantamannya itu, peti mati itu
berguncang cukup keras, di dalam peti ada suara
keluhan yang sangat lirih, karena anak muda itu
lagi kesal dan gelisah sehingga suara keluhan itu
tak didengarnya.
"Jika engkau tidak suka mendengarkan, boleh
menyingkir agak jauh ke sana," ujar Bwe Kim-soat
dengan tersenyum dan tetap menyambung
ucapannya. "Di mana-mana orang selalu
menyanjung puji diriku, di mana-mana selalu
kulihat wajah dari sorot mata yang menggelikan
dan pantas dikasihani. Hampir sepuluh tahun aku
berkelana, banyak juga lelaki iseng yang tergila-gila
padaku, banyak pula yang mengalirkan darah dan
duel lantaran diriku hanya disebabkan karena
kupemah melirik dan tersenyum kepadanya.
Akibatnya mulailah orang persilatan sama mencaci
maki diriku, katanya aku ini gadis berdarah dingin
dan pembuat onar. Padahal bukan salahku,
kawanan lelaki itu yang mau berbuat begitu,
kenapa aku yang disalahkan" Coba, betul tidak?"
Lamkiong Peng hanya mendengus saja tanpa
menjawab. Bwe Kim-soat tertawa, semakin mendongkol
Lamkiong Peng, semakin senang dia.
"Sepuluh tahun yang lalu, akhirnya dapat
kutemukan seorang yang sangat istimewa," tutur
pula Kim-soat. "Jika lelaki lain, suka
memandangku seperti orang linglung, dia tidak.
Bila orang lain suka mengintil di belakangku, dia
tidak. Kebanyakan orang kalau bukan menyanjung
puji padaku tentu mencaci maki padaku, namun
dia hanya bicara denganku sewajarnya, bahkan
cukup memahami pribadiku. Ia sendiri gagah dan
ganteng, ilmu silatnya tinggi, perguruannya
terhormat, ditambah lagi serba pintar dalam
berbagai bidang, baik kesusastraan, seni lukis,
seni catur, seni musik dari lain-lain juga dia
seorang penyair. Namanya di dunia Kangouw juga
cukup gemilang, suka melarai perselisihan orang
lain dan berbuat sesuatu yang luhur dan menolong
sesamanya. Maka, lambat-laun aku mengikat
persahabatan dengan dia."
Dia bereerita dan penuh pujian terhadap orang
itu sehingga mau tak mau Lamkiong Peng juga
tertarik, pikirnya. "Tokoh hebat seperti itu, bila
bertemu denganku pasti juga aku akan bersahabat
dengan dia."
Karena pikiran itu, tanpa terasa ia bertanya.
"Siapa dia" Apakah sekarang dia masih berkelana
di dunia Kangouw?"
"Kau kenal orang ini," jawab Bwe Kim-soat
dengan tersenyum manis. "Cuma sayang, untuk
selamanya dia takkan muncul lagi di dunia ini ...."
Lamkiong Peng ikut menghela napas menyesal.
Dilihatnya senyum Bwe Kim-soat hilang
mendadak, sebaliknya menyambung ucapannya
dengan dingin, "Sebab orang ini telah mati di
bawah pedangmu!"
Lamkiong Peng terkesiap, dadanya serupa
dihantam orang satu kali. "Ap ... apa katamu?" ia
menegas dengan tergagap.
Bwe Kim-soat seperti tidak mendengar
pertanyaannya dan menyambung ucapan sendiri,
"Meski lahiriah orang ini kelihatan orang baik,
padahal, hmk! Pada satu hari ketika hujan salju
lebat, aku bersama dia dan seorang sahabatnya
yang juga cukup terkenal di dunia persilatan asyik
minum arak di rumah orang, setelah dua-tiga
cawan arak kuminum bara kurasakan ada yang
tidak beres di dalam arak, kulihat gerak-gerak
mereka juga tidak baik, Maka aku lantas berlagak
mabuk, kudengar sahabatnya berkeplok tertawa,
'Aha, roboh, robohlah dia! Sebentar bila berhasil
kau tunggangi kuda binal ini, jangan kau lupakan
jasaku.' Kudengar dengan jelas ucapannya, maka
aku sengaja berlagak tidak sadar, ingin kulihat apa
yang akan dilakukan mereka atas diriku."
Jelas kisah ini cukup menarik perhatian
Lamkiong Peng, ia tidak menyela lagi melainkan
cuma mendengarkan.
Terdengar Bwe Kim-soat bereerita lagi, "Keparat
berwajah manusia dan berhati binatang ini tertawa
senang, aku diangkatnya ke tempat tidur, baru
saja dia mau membuka pakaianku, aku tidak
tahan lagi, begitu melompat bangun segera
kuhantam mukanya. Namun orang yang berjiwa
kotor ini memiliki ilmu silat yang tinggi, pukulanku
tidak mampu mengenai sasaran, dia sempat
membuka jendela dan kabur.
"Waktu itu sebenarnya aku sudah minum arak
bius dua-tiga cawan, sekujur badan kehilangan
tenaga, maka pukulanku tidak mampu melukai dia
dan dengan sendirinya juga tidak dapat
mengejarnya," ia pandang tangan sendiri lalu
menyambung dengan penuh rasa benci, "Dengan
Lwekangku dapatlah kudesak keluar racun dalam
arak yang kuminum itu, sungguh tidak kepalang
gemas hatiku, kulari keluar, kubinasakan
kawannya yang kotor itu, kutikam tujuh-delapan
kali tubuhnya dengan pedangku pada bagianbagian
yang mematikan!"
"Keji amat!" ucap Lamkiong Peng.
"Keji?" jengek Bwe Kim-soat. "Hm, bilamana aku
kurang berpengalaman dan tubuhku jadi dinodai
oleh mereka, lalu orang Kangouw siapa yang akan
percaya kepada keteranganku" Semua orang tentu
akan menganggap aku yang memikat mereka. Lalu
siapa yang akan dikatakan keji?"
Lamkiong Peng tercengang, tanpa bersuara ia
menunduk dan merasa menyesal.
Maka Bwe Kim-soat bicara lagi, "Esoknya aku
lantas menyiarkan berita bahwa bila orang itu
kulihat lagi, lebih dulu akan kucungkil matanya
dan memotong daun telinganya, lalu mencencang
tubuhnya. Dan karena orang Kangouw tidak tahu
sebab musababnya, seketika timbul macammacam
desas-desus, dengan sendirinya desasdesus
itu sama merugikan nama baikku."
Mendengar sampai di sini, kembali Lamkiong
Peng merasa penasaran, serunya, "Sebenarnya
siapakah orang ini?"
"Dengan sendirinya orang ini cukup temama di
dunia Kangouw," jengek Kim-soat. "Dia terkenal
sebagai 'Kongeu-kiam-khek' atau 'Kiam-khekkongeu'
(pemuda jago pedang atau jago pedang
muda) ...."
Lamkiong Peng terkesiap, "Hah, bukankah dia
...." "Ya, dia saudara sepupu Tan-hongYap Jiu-pek
yang terkenal itu," jengek Kim-soat pula. "Aku
tidak menghadiri pertemuan yang diprakarsai Yap
Jiu-pek sendiri secara tidak tahu malu itu sudah
dipandang sebagai kesalahan yang tak
terampunkan, apalagi sekarang aku hendak
membunuh saudara sepupuYap Jiu-pek, orang lain
masih mendingan, orang pertama yang tidak dapat
menerima ialah Put-si-sin-liong Liong Po-si."
"Di dunia Kangouw kebanyakan adalah manusia
yang lebih suka menjilat yang tinggi dan memuja
yang besar, siapa yang mau tahu pihak mana yang
benar, dengan sendirinya mereka lebih percaya
kepada Kongeu-kiam-khek yang jujur dan berbudi
itu, siapa yang mau percaya kepada 'iblis
perempuan' macam diriku ini" Apalagi satusatunya
saksi hidup juga telah kubunuh, tentu
lebih sulit lagi bagiku untuk membuktikan
kebersihanku. Maka Put-si-sin-liong lantas
mengeluarkan Sin-liong-tiap (kartu naga sakti) dan
mengundang kedatanganku ke Kiu-hoa-san untuk
menyerahkan nyawa kepadanya."
Makin emosional suaranya, sedangkan kepala
Lamkiong Peng tertunduk lebih rendah.
Terdengar Bwe Kim-soat menyambung lagi,
"Tentu saja kupenuhi undangannya. Waktu itu
usiaku baru 20-an, tinggi hati dan bersikap
angkuh, kuyakin Kungfuku tidak ada
tandingannya, biarpun jago nomor satu Put-si-sinliong
juga tidak terpandang olehku. Maka setiba di
Kiu-hoa-san serentak kuajukan empat macam cara
bertanding. Tanpa pikir dia lantas terima
tantanganku. Kau tahu, waktu itu ilmu silatku
belum pemah menemukan tandingan, bahkan jago
pedang temama seperti Kongeu-kiam-khek itu juga
kabur menghadapiku, tentu saja aku sangat
senang tantanganku itu diterima begitu saja oleh
Put-si-sin-liong."
Ia menghela napas, lalu menyambung, "Siapa
tahu, pertandingan pada babak pertama aku lantas
kalah, bahkan kalah secara mengenaskan. Dalam
babak kedua, kuminta bertanding kekuatan lunak,
kupikir dia tinggi besar, tentu tak bisa bergerak
lunak, siapa tahu kembali aku kalah lagi."
"Babak ketiga kutantang, bertanding Am-gi
(senjata rahasia), karena gelisah lantaran sudah
kalah dua babak, pada babak ketiga ini aku
berbuat curang, selagi dia tidak berjaga,
kuhamburkan Am-gi dulu. Siapa tahu sekujur
badan Put-si-sin-liong seolah-olah penuh tumbuh
mata, meski kusergap tetap tiada gunanya."
Pujian yang datang dari mulut lawan dengan
sendirinya adalah pujian yang paling berharga.
Diam-diam Lamkiong Peng merasa bangga,
pikirnya, "Nyata gelaran Suhu sebagai jago nomor
satu yang tak termatikan memang tidak bemama
kosong."

Amanat Marga Karya Khu Lung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Didengarnya Bwe Kim-soat bertutur lebih lanjut,
"Ketika babak keempat dimulai lagi, jelas Put-sisinliong menjadi gusar dam menyatakan tidak
memberi ampun lagi padaku, sebab aku telah main
sergap, hal ini lebih membuktikan desas-desus
yang tersiar tentang tindakanku terhadap Kongeukiamkhek itu pasti tidak salah lagi dan aku
dipandangnya sebagai perempuan kotor, rendah,
hina dina dan jahat."
Mendadak Lamkiong Peng tergerak, teringat
olehnya makian si Tojin berjubah hijau kepada
Bwe Kim-soat, juga teringat akan ...."
Terdengar Bwe Kim-soat menyambung lagi,
"Walaupun begitu dia tetap mengalah lagi tiga
jurus padaku, aku tetap diberinya kesempatan
untuk menyerang lebih dulu, habis itu barulah dia
balas menyerang, melulu tujuh jurus, ya, cuma
tujuh jurus saja pedangku lantas tergetar lepas,
aku terdesak di batang pohon, pedangnya lantas
menusuk ke mukaku, kulihat sinar pedang
menyambar tiba, karena tidak berdaya,
kupejamkan mata ...."
Perlahan ia benar-benar memejamkan mata
seperti terbayang pada kejadian dahulu, bulu
matanya yang panjang menghiasi kelopak
matanya, ia menghela napas perlahan dan berucap
lagi, "Siapa tahu, sampai sekian lama kutunggu,
hanya kurasakan angin tajam menyambar lewat di
sisi telingaku, lalu tidak terjadi apa-apa lagi. Waktu
kupentang mataku, kulihat pedang Put-si-sin-liong
menancap pada batang pohon di belakangku.
Pedang itu hampir amblas seluruhnya serupa
menusuk pada benda yang lunak sehingga tidak
menerbitkan sesuatu suara."
Ia membuka mata, bola matanya berputar, lalu
menyambung, "Waktu itu aku tercengang,
kudengar Put-si-sin-liong berkata padaku,
'Kukalahkan dirimu dengan pedangku tentu orang
Kangouw akan bilang lumrah, rasanya kau pun
takkan rela mengalami kekalahan ini,', mendadak
ia menyimpan pedangnya dan melompat mundur,
ia tepuk tangan dan berkata pula, 'Nah, jika
dengan pedangmu dapat kau kalahkan kedua
tanganku ini akan kubiarkan kau pergi dari sini.'."
"Karena sudah terdesak, tanpa pikir lagi aku
menerjang maju, kulancarkan serangan maut,
kutahu akan kelihaiannya, yang kuharapkan
adalah luka bersama dan tidak menaruh ilusi akan
mengalahkan dia."
"Siapa tahu, belum ada 20 jurus, tenagaku
sudah lemah. Pada saat itulah tangannya sedang
meraih ke mukaku dengan jurus 'In-liong-tam-jiau'
(naga menjulurkan cakar dari balik awan), kulihat
iga kirinya tak terjaga, dengan girang segera
kugeser langkah dan melancarkan tusukan ke
iganya." "Padahal tusukanku ini adalah salah satu jurus
serangan Kong-jiok-kiam (ilmu pedang merak) yang
disebut Kong-jiok-tian-ih (merak pentang sayap),
serangan keji tanpa kenal ampun. Serangan tanpa
menghiraukan keselamatan sendiri asalkan dapat
melukai musuh, masih ada lagi jurus ikutan lain
bila perlu akan gugur bersama musuh."
"Siapa duga, baru saja pedangku menutuk,
mendadak kedua telapak tangannya digunakan
menjepit batang pedangku, berbareng itu ia terus
menggeser maju dan menyodok pinggangku dengan
sikunya. Kurasakan semacam hawa hangat timbul
dari bagian pinggang, dalam sekejap lantas tersalur
ke seluruh badan, menyusul lantas terasa enak
sekali, badan enteng scakan-akan terbang, dan
akhirnya aku lantas roboh terkulai dengan lemas."
Terkesiap juga Lamkiong Peng, pikirnya, "Waktu
itu Suhu sangat membenci padanya, maka
menggunakan Sin-liong-kang (tenaga naga sakti)
untuk membuyarkan seluruh kekuatannya."
Terdengar Bwe Kim-soat menghela napas, lalu
bertutur pula, "Betapa hebat dan di mana letak
keistimewaan gerak serangannya itu, meski sudah
kurenungkan selama sepuluh tahun di dalam peti
mati tetap tidak dapat kupahami. Sejak kecil aku
giat berlatih, dengan susah payah akhirnya
berhasil kukuasai Kungfu setaraf itu, tapi dalam
sekejap saja telah dihancurkan olehnya, tatkala
mana hatiku tidak kepalang sedihnya di samping
kejut, gusar, takut dan berduka."
"Sungguh kekalahanku itu jauh lebih
menyakitkan hati daripada aku dibunuhnya saja,
aku lantas mencaci maki, dengan sedih
kubeberkan pula apa yang terjadi sebenarnya dan
perbuatan kotor Kongeu-kiam-khek itu, kutanya
apakah itu salahku" Dengan hak apa dia bertindak
padaku" Berdasarkan apa dia membela bajingan
yang rendah dan kotor itu untuk menganiaya
seorang perempuan macam diriku?"
Sikapnya memperlihatkan rasa dendam dan
benci yang tak terhingga, kejadian yang
membuatnya berduka dan murka itu scakan-akan
terbayang lagi di depan matanya.
Semakin banyak yang didengar Lamkiong Peng,
semakin besar rasa simpatiknya terhadap orang.
Bwe Kim-soat menyambung lagi, "Setelah
mendengar ucapanku, muka Put-si-sin-liong
menjadi pucat, sampai sekian lama baru dia
berucap dengan agak gemetar, 'Mengapa tidak kau
katakan sejak tadi"' Kulihat dia sangat menyesal,
ia mengeluarkan obat luka dan suruh kuminum,
tapi kutolak. Apa gunanya kuminum obat lukanya,
andaikan sementara takkan mati, tapi selama ini
musuhku sudah sekian banyak, bilamana mereka
tahu tenagaku sudah buyar, ilmu silatku sudah
punah, mustahil mereka takkan mencari balas
kepadaku?"
"Tapi Put-si-sin-liong memang seorang pendekar
yang berhati mulia, ia lantas memohon dengan
sangat kepadaku agar mau minum obatnya, ia
bilang bila aku mati, tentu dia akan menyesal
selama hidup, ia ingin menebus dosa, ingin
memperbaiki kesalahannya, akan melindungi
diriku selama hidup, juga akan mencari Kongeukiamkhek yang rendah itu untuk membalaskan
dendam bagiku."
"Aku masih juga menolak, maka dia mencekoki
aku dengan obatnya, lalu dengan Lwekangnya
berusaha menyembuhkan lukaku. Sebab itulah
meski cuma sehari saja dia bertanding denganku,
tapi tiga hari kemudian baru turun gunung. Orang
Bu-lim yang menunggu di bawah gunung melihat
kemunculannya dalam keadaan lelah dan lesu
sehingga mengira dia bertempur denganku selama
tiga hari tiga malam, semua orang bersorak bagi
kemenangannya .... Ai, padahal siapa yang tahu
akan kejadian yang sebenarnya?"
Diam-diam Lamkiong Peng berpikir, "Wah ketika
mendengar sorakan orang banyak waktu itu, entah
betapa pedih perasaan Suhu."
Didengarnya Bwe Kim-soat menyambung lagi,
"Sebelum turun gunung dia telah menutuk Hiattoku
dan disembunyikan di dalam sebuah gua
rahasia. Malam kedua, dia datang lagi dengan dua
lelaki kekar yang membawa sebuah peti mati, aku
dimasukkan ke dalam peti mati, maksudnya jelas
untuk menghindari mata-telinga orang, terutama
mata telinga Yap Jiu-pek tentunya."
"Sebab apa?" tanya Lamkiong Peng.
"Masa engkau tidak tahu," Bwe Kim-soat
tertawa. "Yap Jiu-pek cantik dan tinggi ilmu
silatnya, dia memang awet muda, maski waktu itu
usianya sudah 50-an, tapi tampaknya serupa
berumur 30-an, sebab itulah orang Kangouw
menyebutnya sebagai Put-lo-tan-hong (si burung
hong yang tidak pemah tua), dengan tepat
merupakan satu pasangan dengan Put-si-sin-liong.
Sebenarnya dia serbabaik, hanya satu hal, yaitu
dia terlalu cemburu."
"Berada di suatu ruang yang sempit dan gelap,
dari tuturan Put-si-sin-liong dapat kuketahui
banyak urusan yang menyangkut diri Yap Jiu-pek,"
Kim-soat meneruskan ceritanya. "Coba kau pikir,
apabila bukan lantaran perangai Yap Jiu-pek
kelewat aneh, kan seharusnya dia menikah dengan
Put-si-sin-liong. Yang seorang adalah 'jago nomor
satu', yang lain adalah 'perempuan paling cantik',
betapa mengagumkan pasangan ini. Akan tetapi
mereka tidak berbuat demikian, hidup mereka
justru berlalu dalam kesepian ...."
Mendadak ia menunduk terharu sehingga
wajahnya tertutup oleh rambutnya yang ikut
terurai. Lamkiong Peng termangu-mangu sejenak, timbul
juga perasaan bimbang yang sukar diuraikan.
"Kesepian", sekejap ini mendadak ia mengerti
kesepian yang dialami orang banyak. Perempuan
yang terkenal sebagai "Leng-hiat Huicu" atau si
putri berdarah dingin ini mengalami kesepian. Yap
Jiu-pek yang mahacantik itu juga mengalami
kesepian, pendekar nomor satu yang dipujanya
selama hidup, gurunya yang berbudi, Put-si-sinliong
juga menderita kesepian.
Perjalanan orang hidup memang berliku-liku dan
panjang, semakin tinggi menanjak ke atas,
semakin besar pula rasa kesepiannya. Bilamana
dia sudah menanjak sampai puncaknya, mungkin
baru akan diketahuinya apa yang terdapat di
puncak selain keemasan nama dan kejayaan atas
kesuksesannya, hanya kesepian yang serbakelabu
belaka. Hati Lamkiong Peng terkesiap, mendadak dapat
dipahaminya mengapa wajah sang guru yang
berbudi luhur itu selalu membawa semacam sikap
yang kereng dan jarang memperlihatkan senyum
gembira. "Sejak hari itu," demikian Bwe Kim-soat
menyambung lagi, "aku tidak mendarat
kesempatan untuk melihat cahaya matahari lagi.
Sepuluh tahun .... selama sepuluh tahun Put-sisinliong ternyata tidak melaksanakan janjinya, dia
tidak membersihkan tuduhan orang padaku, tidak
menuntut belas bagiku, dengan sendirinya kutahu
apa sebabnya ...."
Mendadak ia berhenti bertutur dan menengadah
memandang langit. Kesunyian yang mendadak ini
serupa sebuah godam menghantam hati Lamkiong
Peng, sebab ia tahu di balik kesunyian ini betapa
mengandung rasa dendam dan kecewa orang.
Demi Yap Jiu-pek, lantaran Kongeu-kiam-khek
itu adalah saudara Yap Jiu-pek, gurunya, tidak
dapat membekuknya dan tidak sanggup mencuci
bersih fitnahan orang terhadap Bwe Kim-soat.
Sebaliknya si putri berdarah dingin ini juga tidak
memaksa gurunya melaksanakan janjinya, dengan
sendirinya hal ini disebabkan antara mereka juga
telah timbul jalinan perasaan yang mendalam.
Bwe Kim-soat Golok Halilintar 15 Pendekar Kelana Karya Kho Ping Hoo Kisah Sepasang Rajawali 17

Cari Blog Ini