Amanat Marga Karya Khu Lung Bagian 2
ereget, mendadak ia mendesak maju
selangkah dan menatap Lamkiong Peng dengan
tajam, sampai sekian lamanya barulah ia berkata,
"Memangnya kau ingin kukatakan terus terang
seluk-beluk urusan ini baru akan kau serahkan
peti ini?"
"Biarpun kau beberkan seluk-beluk urusannya
juga takkan kulepaskan," jawab anak muda itu.
Tojin itu menengadah memandang jauh ke langit
seperti tidak mendengar ucapan Lamkiong Peng
itu, perlahan ia berkata pula, "Ada sementara
orang selama hidupnya giat bekerja dan keras
berusaha, selalu berbuat baik, tidak berani
bertindak salah selangkah pun, tapi sekali dia
salah langkah, dalam pandangan umum lantas
berubah menjadi orang berdosa yang tak
terampunkan. Sebaliknya ada sementara orang lagi
yang selama hidupnya berbuat jahat melulu, tapi
pada suatu kesempatan secara kebetulan ia telah
berbuat sesuatu kebaikan sehingga orang pun
sama memaafkan segala dosanya yang telah
diperbuatnya ...."
Dia bicara dengan perlahan dan lirih, seperti
bergumam, seperti juga lagi berkeluh kesah
terhadap yang Mahakuasa.
Sampai di sini mendadak ia tertawa latah dan
berseru, "Coba katakan, apakah adil Thian
memperlakukan manusia sesamanya?"
Lamkiong Peng melongo bingung, ia heran Tojin
bersanggul tinggi yang misterius ini mengapa
dalam keadaan begini bisa bicara hal-hal yang
tidak ada sangkut pautnya dengan kejadian tadi.
Waktu ia memandang ke sana, dilihatnya air
muka si Tojin yang menampilkan rasa sedih dan
kecewa tadi mendadak berubah menjadi gusar,
dengan tangannya yang kurus dan rada gemetar ia
tuding Lamkiong Peng dan membentak, "Kau bela
peti mati ini senekat ini, memangnya kau tahu
siapa orang yang membujur di dalam peti ini?"
Keajaiban yang timbul dari peti mati ini tadi
sebenarnya sudah dirasakan Lamkiong Peng, pasti
ada sesuatu misteri yang belum terungkap, lamatlamat
memang juga dirasakannya peti ini sangat
mungkin adalah satu orang.
Yang membuatnya tidak percaya adalah tindaktanduk
gurunya selama hidup terkenal gilanggemilang,
tidak ada sesuatu perbuatan sang guru
yang perlu dirahasiakan, tidak ada sesuatu
tindakannya yang merugikan orang.
Sebab itulah ia tetap tidak percaya kepada
ucapan si Tojin, jawabnya, "Memangnya peti ini
terisi seorang?"
Tojin itu tertawa dingin, katanya, "Di dunia
persilatan terkenal 'pemberani nomor satu, Put-sisinliong, membawa peti mati untuk mencari kalah'
hal ini selama beberapa puluh tahun telah menjadi
buah bibir orang Kangouw, sekarang Put-si-sinliong
telah mati, apakah cerita ini akan dapat
turun-temurun di tengah khalayak ramai belum
lagi diketahui, namun ...."
Sampai di sini mendadak ia menengadah dan
tertawa keras, lalu melanjutkan, "Padahal duduk
perkara yang benar siapa yang tahu?"
Suara tertawanya itu penuh rasa ejek dan
menghina, hal ini membuat Lamkiong Peng kurang
senang, dengan lantang ia tanya, "Duduk perkara
apa?" "Hm, memangnya kau kira Put-si-sin-liong selalu
membawa peti dalam perjalanan benar-benar cuma
bertujuan mencari lawan untuk bertanding, supaya
dia sekali tempo mengalami kekalahan dan ingin
mati" Huh, peti mati ini dibawanya kian kemari
tidak lain adalah karena di dalam peti mati ini
tersembunyi satu orang!"
"Orang apa?" tanya Lamkiong Peng dengan air
muka berubah. "Orang apa" .... Hahahaha!" kembali si Tojin
bergelak tertawa keras. "Seorang perempuan! Ya,
seorang perempuan! Seorang perempuan
mahajahat, perempuan jalang, tapi juga secantik
bidadari!"
Seketika hati Lamkiong Peng tergetar, dadanya
serasa digodam orang dengan keras, dengan
mendelik ia membentak, "Apa katamu?"
"Apa kataku?" si Tojin menegas dengan tertawa
latah. "Kubilang gurumu Put-si-sin-liong Liong Posi
meski mendapat nama kehormatan sebagai jago
nomor satu yang membawa peti mati untuk
mencari kalah, yang benar perbuatannya itu hanya
karena membela seorang perempuan jalang!"
Suara tertawanya tambah keras, ucapannya juga
tambah lantang, seketika kumandang suara
bergema dari berbagai penjuru lembah gunung dan
bergemuruh kata "perempuan jalang ... perempuan
jalang." Gema suara yang menusuk telinga itu serupa
sebilah belati tajam menikam hati Lamkiong Peng.
Maklum, hal ini menyangkut orang yang paling
dihormatinya. Meski sedapatnya ia menahan perasaannya,
namun darah panas yang bergejolak sukar
ditahan, mukanya yang putih berubah menjadi
merah padam, mendadak ia berteriak, "Diam!
Berani kau singgung lagi kehormatan guruku
segera ku ...."
"Hahaha, kehormatan gurumu?" potong si Tojin
dengan menjengek. "Hm, apa yang kukatakan tadi
justru berdasarkan fakta, semuanya kejadian
nyata. Jika engkau tidak percaya, boleh coba kau
buka dan periksa peti itu, segera akan kau ketahui
sesungguhnya siapa yang tersembunyi di situ."
"Memangnya siapa?" tanya Lamkiong Peng.
"Meski usiamu masih muda, tapi sebagai orang
persilatan tentu pemah kau dengar nama ...." si
Tojin merandek, lalu sekata demi sekata menyebut,
"Kong-jiok Huicu Bwe Kim-soat!"
Seketika Lamkiong Peng merinding dan tidak
bersuara. Didengarnya si Tojin berucap pula seperti orang
berpantun, "Segala makhluk di dunia ini mana
yang paling berbisa, ialah Kong-jiok Huicuempedu
si merak ...."
Suaranya menjadi lemah dan terputus, air
mukanya juga pucat dan tampak berkerut-kerut
penuh derita. Dengan suara berat Lamkiong Peng bertanya.
"Kong-jiok Huicu apakah sama orangnya dengan
Leng-hiat Huicu?"
Si Tojin mendengus, tanpa memandangnya ia
menyambung lagi ucapannya tadi, "Seratus burung
sama menyembah Tan-hong, cuma sang merak
sendiri tetap jaya ...."
Dengan mendongkol Lamkiong Peng memotong,
"Apakah tidak kau dengar pertanyaanku?"
Namun si Tojin tetap menengadah dan
berdendang pula, "Kong-jiok Huicu darahnya
sudah dingin (Leng-hiat), si cantik berdarah dingin
tidak diketahui orang, saking marah naga sakti
turun ke bumi, terjadilah pertempuran sengit di
Hoa-san, naga sakti terkenal tak termatikan,
seratus kali tempur seratus kali menang, betapa
pun sayap sang ratu merak tak terbentang lagi,
sejak itu hilanglah bisul dunia persilatan, naga
sakti semakin tangkas tak termatikan!"
Selesai mendengarkan dendang si Tojin,
Lamkiong Peng menegas, "Jika begitu, jadi Kongjiok
Huicu memang sama dengan Leng-hiat
Huicu?" Dengan sorot mata tajam si Tojin menjawab
"Betul, Bwe Kim-soat memang sama dengan Bwe
Leng-hiat."
Mendadak ia menengadah dan tertawa dingin
pula, katanya, "Hm, Kim-soat, Leng-hiat! Hehe,
indah benar namamu! Aku Kong ... aku sungguh
penasaran."
"Kong apa katamu?" tanya Lamkiong Peng.
"Untuk apa kau tanya, peduli apa denganmu?"
jawab si Tojin ketus.
"Hm, jika engkau sengaja main sembunyi kepala
unjuk ekor dan tidak mau memberitahukan
namamu yang sebenarnya, huh, aku pun tidak
sudi bertanya," jengek Lamkiong Peng.
Kembali si Tojin cuma mendengus dan
memandang ke langit.
Dengan suara bengis Lamkiong Peng berteriak,
"Tadi kau bilang seorang disembunyikan di dalam
peti dan orang ini ialah Kong-jiok Huicu Bwe Kimsoat,
begitu bukan?"
"Ya, ada apa?" jengek si Tojin.
"Lalu kau dendangkan pantun yang dahulu
tersiar di dunia Kangouw, masakah engkau tidak
tahu kisah yang terkandung di dalam pantun itu?"
"Masa aku tidak tahu?"
"Jika tahu, kenapa kau hina guruku dengan
macam-macam perkataanmu tadi" Padahal dahulu
Kong-jiok Huicu Bwe Kim-soat malang-melintang di
dunia Kangouw, dengan Kungfunya yang tinggi dan
kecerdasan dan kecantikannya, entah betapa
banyak orang persilatan yang telah menjadi
korbannya sehingga orangnya mati dan keluarga
berantakan, akan tetapi toh tetap tidak sedikit
orang yang terpikat oleh kecantikannya dan
berlutut di bawah kakinya."
"Hm, ternyata kau pun tahu kisahnya!" jengek si
Tojin. Lamkiong Peng melototinya sekejap, lalu
menyambung, "Meski orang persilatan sama benci
padanya, tapi juga terpikat oleh kecantikannya dan
jeri terhadap Kungfunya sehingga tidak ada yang
berani bertindak padanya. Guruku menjadi gusar
dan tampil ke muka untuk menyelesaikan urusan
ini, di puncak Hoa-san terjadi pertempuran selama
tiga hari, akhirnya dengan ilmu pedang yang tidak
ada taranya guruku berhasil menumpasnya.
Tatkala mana tidak sedikit jago persilatan sama
menanti kabar di kaki gunung, ketika melihat
guruku turun sendirian tanpa cedera, semua orang
bersorak gembira, betapa senang mereka waktu itu
sampai belasan li jauhnya dapat mendengar suara
sorak-sorai mereka."
Ia berhenti sejenak, wajahnya menampilkan rasa
kagum dan juga bangga, lalu menghela napas dan
berkata, "Cuma sayang waktu itu aku belum
masuk ke perguruan Suhu sehingga tidak dapat
ikut menyaksikan adegan berjaya itu. Namun
kejadian ini cukup diketahui setiap orang
persilatan, meski guruku tidak pemah bereerita,
dapat juga kudengar kisah ini dari orang lain. Tapi
sekarang engkau justru bilang Kong-jiok Huicu
Bwe Kim-soat belum mati, malahan mengatakan
dia bersembunyi di dalam peti mati ini,
sesungguhnya apa maksud tujuanmu" Hm, kalau
tidak kau jelaskan sekarang juga, jangan menyesal
bila terpaksa aku harus bertindak."
Si Tojin mendengarkan dengan diam, wajahnya
menampilkan sikap menghina. Setelah Lamkiong
Peng selesai bicara barulah ia menanggapi dengan
gelak tertawa, "Hah, murid membual bagi sang
guru, wahai Liong Po-si, jika kau tahu di alam
baka tentu kau pun akan merasa malu."
Alis Lamkiong Peng menegak, bentuknya, "Kau
bilang apa?"
Segera ia putar pedangnya dan siap menusuk.
Namun si Tojin tetap tenang saja tanpa gentar,
ucapnya, "Tampaknya engkau sedemikian kagum
dan hormat kepada gurumu, biarpun kuceritakan
lagi seratus kali juga tidak ada gunanya."
"Ya, engkau memang tidak perlu lagi putar lidah
...." "Tapi meski tidak kau percayai keteranganku,
mengapa tidak coba kau buka peti mati itu,
lihatlah apakah yang tersembunyi di situ bukan
Bwe Kim-soat, perempuan jalang yang diludahi
setiap orang persilatan itu," teriak pula si Tojin
dengan gemas. Mau tak mau hati Lamkiong Peng menjadi
goyah, ia pikir orang bicara secara begini, apakah
mungkin dia berdusta" Tapi lantas terpikir bila
orang tidak berdusta,kan hal itu berarti gurunya
memang benar telah menyembunyikan Kong-jiok
Huicu yang terkutuk itu di dalam peti mati untuk
mengelabui mata telinga orang persilatan. Padahal
tindak tanduk sang guru selama hidup selalu
gilang-gemilang, mana mungkin melakukan hal
tercela begini"
Begitulah mulai timbul pertentangan batin anak
muda itu. Didengarnya si Tojin berkata pula,
"Asalkan kau mau membuka tutup peti itu,
bilamana isinya bukan Leng-hiat Huicu, segera aku
akan membunuh diri, mati pun aku sukarela dan
Amanat Marga Karya Khu Lung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
takkan menyesali dirimu."
Kening Lamkiong Peng bekernyit, ia menunduk
dan berpikir menahan pertentangan batin. Jika dia
membuka tutup peti berarti dia tidak lagi
memercayai sang guru yang biasanya sangat
dihormatinya itu. Tapi kalau peti tidak dibuka,
rasanya sukar menghilangkan rasa curiga sendiri.
Melihat air muka Lamkiong Peng yang tampak
serbasusah itu, si Tojin mendengus pula, "Jika
engkau tidak berani membuka peti itu, hal ini pun
menandakan engkau tidak percaya sepenuhnya
terhadap pribadi gurumu."
"Tutup mulut!" bentak Lamkiong Peng dengan
gusar. Si Tojin anggap tidak mendengar dan tetap
bicara, "Kalau peti itu kosong umpamanya,
gurumukan juga tidak pemah melarang engkau
membuka peti ini. Lantas apa sebabnya engkau
tidak berani membukanya?"
Diam-diam Lamkiong Peng merasa ragu, dengan
kereng ia berteriak pula, "Kalau di dalam peti tidak
tersembunyi orang, apakah betul engkau akan ...."
"Ya, seketika juga aku akan membunuh diri di
depanmu, pasti takkan kujilat ludahku sendiri,"
seru si Tojin tegas.
"Baik," bentak Lamkiong Peng mendadak sambil
membalik kesana menghadapi peti mati yang
tergeletak di tanah itu.
Tojin itu lantas melompat maju ke samping peti,
ucapnya, "Engkau yang membukanya atau aku?"
Lamkiong Peng ragu dan berpikir, "Jika benar
peti ini terisi orang, tentu dia telah mendengar
percakapan kami, mana mungkin sejauh ini tidak
memperlihatkan sesuatu gerak-gerik."
Karena pikiran ini, dia tambah yakin pada
pendirian sendiri, dengan lantang ia menjawab,
"Barang tinggalan guruku mana boleh dikotori oleh
tanganmu, dengan sendirinya harus aku yang
membukanya."
"Jika begitu, tidak perlu banyak omong lagi,
lekas buka!" seru si Tojin sambil memandangi peti
itu tanpa berkedip, nadanya juga penuh yakin
pada apa yang dikatakannya, scakan-akan begitu
peti terbuka segera akan terlihat Leng-hiat Huicu
membujur di dalam peti dalam keadaan hidup,
padahal di dunia Kangouw perempuan jalang itu
disiarkan sudah lama mati.
Perlahan Lamkiong Peng mengangkat pedang
hijau untuk dimasukkan ke sarungnya, gemerdep
sinar pedang mengingatkan dia sarung pedang itu
telah dihilangkan olehnya, segera pula terlihat
olehnya pada pangkal pedang terikat sepotong kain
sutera kuning muda, maka teringat lagi olehnya
ucapan Yap Man-jing tentu inilah pesan tinggalan
sang guru yang khusus ditujukan kepadanya.
Maklumlah, bukan dia pelupa, soalnya kejadian
seharian ini benar-benar membuat pikirannya
kusut sehingga hal ini terlupakan seketika. Maka
buru-buru ia melepaskan kain kuning itu dan
disimpan di dalam baju
Selesai pedang dimasukkan ke dalam sarung,
perlahan Lamkiong Peng memegang ujung peti
mati dan diam-diam mengerahkan tenaga.
Dengan mata melotot si Tojin bergumam, "Wahai
Bwe Kim-soat, betapa pun kini dapat kulihat
dirimu pula ...."
Dilihatnya Lamkiong Peng telah mengangkat
tutup peti, ujung peti terangkat dua-tiga kaki ke
atas, tapi tutup tidak terbuka melainkan tetap
lengket dengan bagian bawah peti.
Lamkiong Peng melengak dan menaruh kembali
peti itu, ucapnya perlahan, "Peti ini sudah
dipantek, sukar terbuka!"
"Hm, ini suatu bukti lagi, jika peti kosong,
kenapa mesti dipantek" jengek si Tojin, lalu dia
mengitari peti itu dengan perlahan sambil
mengawasi dengan teliti.
Tiba-tiba ia mengangkat telapak tangan kanan
terus menabok pangkal peti mati.
"Tahan!" bentak Lamkiong Peng cepat, pedang
dilolos terus menebas ke kuduk si Tojin, jika orang
tidak menarik tangan dan menghindar, kepalanya
pasti akan terpenggal.
Terpaksa si Tojin mendak ke bawah sambil
menggeser ke samping, pedang menyambar lewat
hampir menebas sanggulnya. Dengan gusar ia
mendamprat, "Huh, menyerang dari belakang,
terhitung kesatria macam apa?"
"Peti pusaka guruku mana boleh sembarangan
dikotori oleh tanganmu!" jengek Lamkiong Peng.
Muka si Tojin sebentar merah sebentar pucat, ia
melototi Lamkiong Peng sekejap, mendadak ia
melengos dan mendengus, "Hm, kau tahu apa"
Kedua biji mata naga yang terukir di pangkal peti
itulah merupakan kunci untuk membuka peti!"
Walaupun tidak percaya, tidak urung Lamkiong
Peng mengamat-amati juga bagian peti yang
disebut itu, dilihatnya memang benar kedua biji
mata naga yang terukir di atas peti itu tampak
sangat mencolok, meski peti ini terbuat dari kaya
cendana yang sangat mahal tapi karena kehujanan
dan kepanasan sekian lama, peliturnya sudah
luntur sehingga peti kelihatan tua, hanya biji mata
naga ini masih mengilat, hal ini menandakan
bagian ini sering dipegang dan diraba.
Diam-diam Lamkiong merasa gegetun,
pengamatan sendiri memang kalah teliti
dibandingkan orang lain. Perlahan ia lantas
menjulurkan tangan untuk memegang biji mata
naga dan diputar.
Terdengarlah suara "kreekk", nyata bagian
putaran sudah bekerja.
"Coba angkat lagi!" kata si Tojin.
Kedua orang saling pandang dengan tegang,
jantung mereka sama berdebar. Tangan Lamkiong
Peng agak gemetar, mendadak ia membentak,
"Naik! ...."
Dan .... Begitu tutup peti mati terbuka, seketika kedua
orang berdiri melongo seperti patung.
Butiran keringat tampak berketes dari dahi si
Tojin, dengan muka pucat ia bergumam, "Ini ... ini
... dia ... dia ...."
Kiranya peti mati itu kosong melompong tiada
terisi sesuatu.
Muka Lamkiong Peng berubah pucat, mendadak
ia membentak, "Kau berani main gila ...."
Ia putar pedangnya terus menusuk si Tojin.
Saat itu si Tojin lagi memandangi peti kosong
dengan linglung, tusukan Lamkiong Peng seolaholah
tidak dilihatnya, tertampak bibirnya bergerak
seperti mau bicara, tapi hanya sempat terucapkan,
"Peti ini tentu ...." tahu-tahu dada kiri sudah
tertusuk oleh pedang Lamkiong Peng.
Dada kiri tepat di atas jantung, bagian yang
mematikan, keruan darah lansas munerat
membasahi jubah pertapaannya. Tojin itu tampak
melongo kaget, ia mengerang dan meraih batang
pedang, tubuh bergoyang, dengan sinar mata
buram ia pandang Lamkiong Peng, dengan suara
terputus-putus ia berucap, "Suatu ... suatu hari
kelak kau pasti akan ... akan menyesal ...."
Suaranya serak, pedih dan penuh rasa
penasaran, tapi lemah dan akhirnya roboh terkulai.
"Bluk", tutup peti juga menutup kembali terlepas
dari pegangan Lamkiong Peng, ia pandang jenazah
yang menggeletak tak bergerak itu, lalu
memandang pedang yang dipegangnya dengan
terkesima, tetes darah terakhir pada ujung pedang
baru saja menitik.
Karena guncangan emosinya, hampir saja ia
lemparkan pedang itu ke jurang, ia berdiri
termenung dan bergumam, "Akhirnya aku ... aku
membunuh orang ...."
Untuk pertama kalinya ia membunuh orang,
sungguh tidak enak perasaannya. Padahal Tojin ini
baru saja bertemu dengan dia, bahkan nama
masing-masing saja tidak tahu, namun jiwa orang
yang tak dikenalnya ini sekarang telah melayang di
bawah pedangnya.
Dengan bimbang ia angkat peti mati itu dan
melangkah ke arah datangnya tadi, kembali ke
puncak Jong-liong-nia, tiba-tiba teringat olehnya,
"Seyogianya kukubur mayat Tojin itu ...."
Cepat ia berlari lagi kesana . Tapi aneh, darah
masih kelihatan bereeceran di tanah, namun
jenazah si Tojin yangmalang itu sudah menghilang
entah ke mana. Suasana sunyi senyap, angin meniup kencang,
gumpalan awan mengambang di udara, Lamkiong
Peng berdiri bingung di situ, ia memandang ke
jurang yang tak terkirakan dalamnya itu, ia
mengira mayat si Tojin mungkin tertiup angin ke
dalam jurang, diam-diam ia berdoa semoga roh si
Tojin mendapatkan tempat yang lapang di alam
baka. Entah berapa lama lagi, akhirnya ia merasakan
hawa tambah dingin, ia angkat peti mati dan
menuruni puncak gunung itu, setiba di pinggang
gunung, angin dingin rada mereda, suasana lereng
pegunungan semakin sunyi.
Pikiran Lamkiong Peng juga tambah kusut,
selain rasa penyesalannya terhadap si Tojin yang
terbunuh olehnya itu, dalam hati juga penuh tanda
tanya yang belum terpecahkan.
Yang aneh dan membingungkannya adalah peti
mati kayu cendana yang dibawanya ini
sesungguhnya mengandung rahasia apa sehingga
mendiang sang guru perlu memberi tugas khusus
kepadanya untuk menjaga peti mati ini.
Ia mencari tempat sepi di bawah pohon yang
rindang, perlahan ia menaruh peti mati itu di atas
tanah rumput yang mulai layu. Ia coba
menyingkap lagi tutup peti, jelas kosong tanpa
sesuatu isi apa pun. Ia coba meneliti lagi, ia
merasakan dipandang dari luar peti ini cukup
besar, namun bagian dalam peti ternyata sangat
dangkal dan sempit. Pada papan peti yang
berwama gelap itu seperti ada beberapa titik noda
minyak, kalau tidak diperiksa dengan cermat sukar
mengetahuinya. Namun tetap tidak ditemukannya
sesuatu tanda mencurigakan pada peti mati itu.
Ia duduk di bawah pohon dan mengelamun
dengan bertopang dagu, sukar baginya
memecahkan tanda-tanda tanya ini, ia sampai lupa
mencari tahu sebab apa para saudara
seperguruannya sampai saat ini belum kelihatan
menyusulnya. Ia coba mengeluarkan kain kuning tinggalan
sang guru, ikut terogoh keluar bangkai burung
yang mati menumbuk dinding tebing dan hampir
menimpanya itu.
Kain sutera kuning itu dibentangnya,
tertampaklah tulisan tangan yang sudah
dikenalnya dengan baik, yaitu tulisan sang guru, ia
coba membacanya.
"Selama hidupku memang tidak sedikit kubunuh
orang, namun orang yang kubunuh itu adalah
orang yang pantas dibunuh, sebab itulah hidupku
boleh dikatakan tidak ada yang perlu disesalkan
...." Tulisan sang guru ini mengingatkan Lamkiong
Peng kepada si Tojin yang dibunuhnya itu,
pikirnya, "Apakah aku pun tidak perlu menyesal
setelah membunuh Tojin itu?"
Lalu teringat juga oleh uraian si Tojin tentang
pribadi gurunya, jika hidup sang guru tidak ada
sesuatu yang perlu disesalkan, apa yang dikatakan
si Tojin pasti tidak betul.
Maka dengan penuh keyakinan ia membaca lagi,
"Namun selama hidupku toh ada juga sesuatu
yang membuatku menyesal ...."
Terkesiap Lamkiong Peng, segera ia membaca
lebih lanjut, "Belasan tahun yang lalu, di dunia
persilatan tersiar berita tentang kelakuan buruk
seorang, sudah cukup lama kubenci kepadanya,
kebetulan seorang kawanku dicederai olehnya aku
lantas mencarinya dan kubinasakan dia di bawah
pedangku. Namun setelah kejadian ini barulah
kutahu kesalahan sebenarnya terletak pada diri
sahabatku, sebaliknya orang yang biasanya banyak
melakukan kejahatan itu justru tidak bersalah,
sebab itulah aku ...."
Tulisan selanjutnya mendadak sukar terbaca
karena tertutup oleh darah bangkai burung.
Dengan sendirinya Lamkiong Peng mendongkol
karena bagian yang penting itu tak terbaca, namun
darah burung sudah kering, umpama dicuci juga
tulisan itu tetap sukar dibacanya, ia coba
membaca bagian bawah yang tertulis, "Maka
Amanat Marga Karya Khu Lung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
kuserahkan orang ini kepadamu, hendaknya kau
jaga dia dengan baik ...."
Bekernyit kening Lamkiong Peng gumamnya
heran, "Dia" .... Dia siapa?"
Setelah termenung sejenak, ia membaca pula,
"Karena terburu-buru harus berangkat sehingga
tidak sempat kuberi tahukan urusan ini
kepadamu, namun pada suatu hari kelak pasti
dapat kau ketahui duduk perkara yang
sebenarnya. Selama ini tidak ada sesuatu
kebaikanku terhadapmu, hal ini pun membuatku
menyesal. Semoga selanjutnya engkau berusaha
maju dan menjadi manusia berguna sehingga tidak
mengecewakan harapanku atas dirimu."
Lamkiong Peng membaca ulang beberapa baris
terakhir ini dengan terharu, air mata pun
berlinang-linang.
"Apakah ... apakah benar Suhu sudah
meninggal" .... Pada suatu hari kelak pasti akan
tahu duduk perkara yang sebenarnya ...." selain
duka Lamkiong Peng jadi tambah curiga.
Dengan bimbang ia menggali sebuah lubang
kecil, lalu bangkai burung ditanamnya, gumamnya
pula, "Betapa pun antara kita ada jodoh juga.
Dunia seluas ini, mengapa engkau justru jatuh
menimpa diriku" Hendaknya kau pun dapat
istirahat dengan tenang di liang yang kecil ini ...."
Ia menghela napas menyesal ketika teringat pula
Tojin yang terbunuh olehnya mungkin mayatnya
takkan terkubur selamanya di dasar jurangsana .
Ia memejamkan mata, ia inginkan ketenangan,
kelelahan pun terasa menjalari sekujur badannya.
Karena harus menghadapi pertarungan pagi tadi,
setiap anak murid Ci-hau-san-ceng hampir
semalam suntuk tidak tidur, apalagi Lamkiong
Peng harus menempur lagi si Tojin sehingga
hampir seluruh tenaganya terkuras.
Kelelahan fisik membuat ketegangan batinnya
agak mengendur, lamat-lamat ia tenggelam dalam
kantuknya .... Sisa cahaya senja menyinari pucuk pepohonan,
hari sudah hampir gelap. Mendadak di tengah
pepohonan rindang terdengar suara "krekk", terjadi
sesuatu pada peti mati kayu cendana yang
misterius itu, tutup peti mati perlahan terbuka ke
atas. Meski suara ini sangat lirih, namun di tengah
pegunungan yang sunyi cukup membuat jantung
Lamkiong Peng berdetak, mendadak ia membuka
matanya dan kebetulan dapat melihat adegan yang
mengejutkan itu. Tutup peti mati kosong itu
diangkat oleh sebuah tangan yang putih halus.
Lenyap seketika rasa kantuk Lamkiong Peng,
dilihatnya makin tinggi tutup peti mati itu
terangkat. Menyusul lantas tertampak sebuah
wajah yang putih pucat dengan rambut hitam
panjang terurai.
Betapa tabahnya Lamkiong Peng, mengirik juga
melihat kejadian luar biasa ini, dengan suara
gemetar ia menegur, "Sia ... siapa kau?"
Saat itu si cantik telah mulai menegakkan
tubuhnya dari dalam peti mati, perawakan yang
menggiurkan itu terbungkus oleh jubah putih
bersih serupa wajahnya itu.
Perlahan si cantik melangkah keluar dari peti
mati dan mendekati Lamkiong Peng, air mukanya
tidak ada senyuman sedikit pun, juga tidak ada
wama darah, sampai bibirnya yang mungil juga
putih pucat. Melihat dia di pegunungan sunyi ini
secara mendadak, siapa pun akan menyangka dia
datang dari alam halus.
Lamkiong Peng mengepal tinjunya erat-erat,
tangan sendiri terasa dingin, ia coba membentak
lagi, "Siapa kau?"
Selagi Lamkiong Peng hendak melompat bangun,
sekonyong-konyong si cantik dari peti mati itu
tertawa dan berkata dengan lembut, "Kau takut
apa" Memangnya kau sangka aku ini ...."
mendadak ia tidak meneruskan kecuali cuma
tersenyum saja.
Suaranya begitu lembut serupa sepoi angin
musim semi, senyumnya begitu menggiurkan dan
dapat merontokkan perasaan seorang yang berhati
baja. Rasa seram yang dibawanya ketika keluar
dari peti mati itu seketika lenyap oleh suara
tertawa dan kelembutan ucapnya itu.
Lamkiong Peng melenggong, ia merasa senyum si
cantik dari peti mati ini terlebih menggiurkan
daripadaYap Man-jing, senyum yang lebih
mendebarkan bagi siapa pun yang melihatnya.
Segera Lamkiong Peng berbangkit dan berdiri
berhadapan dengan si cantik, dapat dilihatnya
dengan jelas wajah orang, pulih kembali rasa
percaya atas diri sendiri, kembali ia menegur,
"Siapa kau?"
Si cantik memandangnya dua kejap, mendadak
tertawa geli dan berucap, "Meski usiamu masih
muda belia, tapi ada bagian tertentu memang lain
daripada yang lain, pantas Liong-loyacu
menyerahkan diriku di bawah perlindunganmu
tanpa merasa khawatir."
Lamkiong Peng lantas teringat kepada tulisan
pada kain sutera kuning yang antara berbunyi,
"Maka kuserahkan orang ini kepadamu,
hendaknya kau jaga dengan baik ...."
Sekarang dapat diketahuinya bahwa "si dia"
yang dimaksudkan itu tidak lain ialah si
mahacantik berwajah pucat dan berbaju putih
mulus yang berdiri di hadapannya ini.
Namun tanda tanya yang lain tetap belum
terjawab, diam-diam ia merasa menyesal mengapa
setiap urusan terkadang bisa begini kebetulan,
mengapa bagian yang penting dari tulisan gurunya
itu bisa kebetulan dikotori oleh darah burung
sehingga tidak terbaca.
Dilihatnya si cantik dari peti mati ini mengulet
kemalasan, lalu berduduk di sebelah Lamkiong
Peng dengan gaya yang memesona, lalu
menengadah memandang langit dan bergumam,
"Sang waktu sudah berlalu dengan cepat, malam
sudah hampir tiba pula, padahal hidup manusia
bukankah berlalu dengan cepat, sejak dahulu kala
hingga kini siapa yang dapat mencegah makin
meningkatnya usia."
Nada ucapannya seperti menyesali kehidupan
sendiri, mestinya tidak pantas seorang perempuan
muda secantik bidadari bicara demikian melainkan
lebih mirip suara seorang janda atau perawan tua
yang menyesali nasibnya yang terlampaui secara
sia-sia. Memandangi profil si cantik yang memesona itu,
tanpa terasa Lamkiong Peng bertanya, "Apakah
nona .... O, nyonya ...."
Tiba-tiba si cantik tertawa dan menukas,
"Masakah tak dapat kau bedakan diriku ini nona
atau nyonya" Sungguh aneh juga."
Lamkiong Peng tergagap, "Tapi aku ... aku tidak
kenal ...."
"Jika Liong-loyacu telah menyerahkan diriku di
bawah perlindunganmu, masa beliau tidak pemah
berbicara denganmu mengenai diriku?"
Kening Lamkiong Peng bekernyit pula, benaknya
terbayang kembali apa yang telah dibacanya, diamdiam
ia membatin, "Mungkinkah dia ini Leng-hiat
Huicu yang disebut-sebut si Tojin itu" Tapi Lenghiat
Huicu alias Kong-jiok Huicu itu konon sudah
terkenal pada belasan tahun yang lalu, jika begitu
usianya sekarang sedikitnyakan di atas 30,
mengapa dia ...."
Waktu ia berpaling, dilihatnya si cantik dari peti
mati ini lagi menatapnya dengan kerlingan mata
yang memikat, wajahnya putih halus, kalau
ditaksir usianya paling-paling juga baru 20-an
saja. "Bagaimana, kenapa tidak kau jawab
pertanyaanku?" kata si cantik dengan tertawa
sambil membelai rambutnya yang hitam panjang
terurai sebatas pinggang itu. Lalu menambahkan.
"Ah, tentu ada yang sedang kau pikirkan mengenai
diriku, apalagi kau sangsi mengenai umurku?"
Muka Lamkiong Peng menjadi merah, ia
menunduk dan menjawab, "Ya, memang sedang
kupikirkan usiamu."
"Tentang usiaku, lebih baik jangan kau terka
saja," ujar si cantik dari peti mati sambil menghela
napas hampa. Selagi Lamkiong Peng tercengang, terdengar si
cantik telah menyambung lagi, "Orang scusia
diriku sesungguhnya tidak ingin orang berbicara
lagi mengenai umurku."
Lamkiong Peng tidak berani menatapnya lagi,
dalam hati ia heran mengapa nada ucapan si
cantik serupa seorang nenek saja. Tanpa terasa ia
berkata pula, "Tapi engkaukan masih muda belia,
mengapa ...."
Belum lanjut ucapannya, mendadak si cantik
berbangkit sambil meraba wajah sendiri dan
berucap dengan heran, "Kau bilang aku masih
muda belia?"
"Masa muda adalah masa bahagia orang hidup,
mengapa engkau tampak kesal dan tidak bergairah
hidup, jangan-jangan dalam hatimu menanggung
kesedihan sesuatu urusan yang sukar diatasi ...."
Lamkiong Peng berhenti sejenak, lalu berucap pula
dengan serius, "Jika guruku telah menugaskanku
untuk menjaga nona, maka sudilah nona
memberitahukan kesedihan hatimu kepadaku,
mungkin akan dapat kubekerja sesuatu bagimu."
Hati Lamkiong Peng suci mumi, walaupun dia
tidak mengerti sebab apa gurunya menyerahkan
seorang nona muda jelita di bawah
perlindungannya, tapi sekali menerima amanat
sang guru yang demikian itu, biarpun dia disuruh
terjun ke lautan api juga takkan ditolaknya.
Tak tersangka, mendadak si cantik berucap pula
perlahan, "Apa betul begitu" ...." dan segera ia
membalik tubuh dan berlari pergi dengan cepat.
Keruan Lamkiong Peng terkesiap, teriaknya,
"Hei, mau ke mana kau?"
Tapi si cantik seperti tidak mendengar
seruannya, tanpa berpaling ia terus berlari ke
depan secepat terbang, dalam sekejap orangnya
sudah melayang jauh, sungguh luar biasa
Ginkangnya. Meski heran dan sangsi, terpaksa Lamkiong
Peng tidak sempat memikirkannya lagi, sampai peti
mati itu pun tidak dihiraukan, segera ia ikut
berdiri kesana sambil berseru, "Suhu sudah
menyerahkan dirimu kepadaku, kalau ada urusan
...." Namun cuma sekejap saja bayangan si cantik
sudah menghilang, ia coba mencari lagi lebih jauh
ke depan dan tetap tidak terlihat bayangan orang.
"Wah, kalau dia pergi begitu saja, lalu
bagaimana aku harus bertanggung jawab terhadap
pesan Suhu?" demikian ia membatin dengan
gegetun. Pegunungan sunyi, malam sudah hampir tiba,
ke mana lagi akan dapat menemukan s nona
misterius tadi"
Terpaksa Lamkiong Peng cuma berlari melintasi
lereng gunung itu, nama orang saja tak
diketahuinya, tentu saja ia tidak dapat bersuara
memanggilnya. Di tengah desir angin tiba-tiba didengarnya
gemercik air, dia memang merasa haus, segera ia
mencari dan menuju ke arah suara air,
Dilihatnya sebuah sungai kecil mengalir
darisana , di bawah remang cahaya bulan yang
baru menongol sungai itu serupa tali perak.
Setelah menyusuri hutan, sungai itu sudah
kelihatan membentang di depan. Cepat ia
memburu kesana , begitu tiba di tepi sungai,
segera ia meraup air untuk diminum.
Tapi baru saja ia minum dua teguk, tiba-tiba
didengarnya dari hulusana berkumandang suara
ngikik tawa orang perempuan.
Terbangkit semangat Lamkiong Peng, cepat ia
menyusul ke hulusana mengikuti tepi sungai, tidak
jauh terlihatlah sesosok bayangan putih sedang
berjongkok di tepi sungai, seperti lagi memandangi
air sungai, seperti juga sedang bereermin pada air
sungai. Tanpa ragu Lamkiong Peng mendekatinya
dilihatnya si cantik tadi masih berjongkok tanpa
bergerak dengan tertawa, lalu bergumam, "Hah,
ternyata memang benar, ternyata memang betul!
...." Meski Lamkiong Peng sudah berada di
sampingnya si cantik masih juga belum tahu,
Amanat Marga Karya Khu Lung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
masih tetap memandangi air sungai dengan
terkesima. Sungguh tak terpikir oleh Lamkiong Peng bahwa
nona misterius ini berlari ke sini hanya untuk
mengelamun memandangi air sungai, ia jadi
melenggong juga, ia berdiri di samping si nona,
ketika ia pun melongok permukaan air sungai,
tertampaklah bayangan wajah seorang bidadari
yang mahacantik serupa lukisan saja.
Bayangan dalam air sungai dari seorang berubah
menjadi dua, hal ini tidak dirasakan oleh si cantik
dari peti mati itu, dalam pandangannya saat ini
kecuali bayangannya sendiri agaknya tidak ada
barang lain yang diperhatikan olehnya.
Berulang-ulang ia meraba raut wajah sendiri
dengan tangannya yang putih halus sambil
bergumam, "Ternyata sungguh, ternyata benar aku
masih semuda ini ...." lalu dia tertawa keras,
tertawa senang, serunya. "Hah, untung memang
sukar diraih danmalang sukar ditolak, siapa tahu
tanpa sengaja aku telah mendapatkan ilmu awet
muda yang sukar dicari dan diimpi-impikan setiap
orang perempuan di dunia ini."
Mendadak ia berbangkit dan berputar-putar
sambil mengebaskan lengan bajunya sehingga
rambutnya yang panjang ikut bertebaran di udara,
rupanya saking gembiranya ia sampai menari-nari.
"Haha, sejak kini siapa lagi yang dapat
mengenali aku, siapa pula yang dapat menerka aku
inilah Kong-jiok Huicu ...."
Terkesiap Lamkiong Peng, tegurnya, "Hei, jadi
engkau benar Bwe Kim-soat?"
Si cantik yang sedang menari itu mendadak
menggeser dan berhenti di depan anak muda itu
dan menjawab, "Betul!"
Lamkiong Peng melenggong sejenak, katanya
kemudian dengan menyesal, "Ai, tak tersangka
keterangan Tojin itu ternyata benar, aku ...
sungguh aku pantas mampus!"
Melihat anak muda itu merasa menyesal dan
sedih, Kong-jiok Huicu Bwe Kim-soat tersenyum,
perlahan ia pegang pundak Lamkiong Peng dan
bertanya dengan suara halus, "Jadi kau kenal
namaku?" "Ya, kukenal namamu," sahut Lamkiong Peng
dengan pikiran kusut.
"Jika begitu, apakah kau tahu orang macam
apakah aku ini?"
"Ya, kutahu," Lamkiong Peng mengangguk.
"Suhu telah memberi pesan agar kujaga dirimu
baik-baik, dengan sendirinya akan kulaksanakan
perintah beliau. Siapa yang hendak
mengganggumu harus berhadapan dulu denganku.
Kupercaya penuh terhadap Suhu, apa yang
dikatakan dan diperbuat beliau pasti tidak salah."
Bwe Kim-soat termenung sejenak, katanya
kemudian dengan menghela napas, "Ai, Liongloyacu
sungguh teramat baik kepadaku."
Tangannya yang memegangi pundak Lamkiong
Peng itu dari putih tadi telah berubah agak
kehijauan dan kini kembali berubah putih lagi dan
ditarik kembali. Anak muda itu tidak menyadari
bahwa dalam waktu singkat itu sesungguhnya dia
telah lolos dari bahaya maut.
Ia pandang orang dengan bimbang dan tidak
tahu apa yang harus dibicarakan pula.
"Tampaknya engkau masih sangsi terhadap
diriku," kata Bwe Kim-soat dengan tersenyum.
"Apakah gurumu hanya menyerahkan peti cendana
kepadamu tanpa menceritakan hubungannya
denganku?"
"Tidak, hanya ini saja ...." Lamkiong Peng
mengeluarkan kain sutera kuning itu, "Boleh kau
baca sendiri."
Dengan kuning bekernyit Bwe Kim-soat
menerima kain kuning itu dan dipandangnya
sekejap, tiba-tiba ia tanya, "Bekas darah siapakah
ini?" "Darah burung mati!" tutur Lamkiong Peng.
"Burung mati apa?" melengak juga Bwe Kimsoat.
Lamkiong Peng menceritakan apa yang
dialaminya secara ringkas.
"O, kiranya begitu, semula kusangka darah
gurumu," ujar si cantik dengan tertawa.
Dengan agak emosi Lamkiong Peng merampas
kembali kain sutera itu dan berucap dengan
mendongkol, "Aku pun ingin tanya padamu,
sampai ajalnya guruku tetap memikirkan
kepentingan dirimu, maka dia memberi pesan
padaku agar menjaga dirimu dengan baik.
Sebaliknya kau, setelah mengetahui nasibmalang
guruku engkau sama sekali tidak berdukacita bagi
beliau, sungguh terlalu ...."
Bwe Kim-soat memandangnya beberapa kejap
seperti melihat sesuatu yang lucu, mendadak ia
bergelak tertawa pula dan berkata, "Duka" Apa
artinya duka! Selama hidupku belum pemah
berduka bagi apa dan siapa pun, memangnya kau
minta aku berduka untuk menipu dirimu dan
diriku sendiri?"
Lalu dia tertawa terkial-kial lagi.
Mata Lamkiong Peng menjadi merah, tidak
kepalang rasa gemasnya, tapi segera teringat
olehnya akan julukan orang.
Leng-hiat Huicu, si putri berdarah dingin!
Akhirnya Lamkiong Peng menghela napas,
pikirnya, "Ya, pantas orang Kangouw menyebutnya
si putri darah dingin, kiranya dia tidak kenal apa
artinya berduka segala ...."
Teringat untuk selanjutnya entah berapa lama
dirinya masih harus mendampingi perempuan
cantik berdarah dingin ini, ia jadi sedih.
Tiba-tiba Bwe Kim-soat berkata pula, "Jangan
kau kira aku sengaja tidak menghiraukan
kematian gurumu, malahan seharusnya aku
gembira bagi kematiannya itu."
Gusar sekali Lamkiong Peng oleh ucapan orang
yang keji itu, dampratnya, "Kalau saja guruku
tidak menyuruhku menjaga dirimu, bisa jadi akan
ku ...." "Hm, apakah kau tahu sebab apa gurumu
menyuruhmu menjaga diriku?" jengek Bwe Kimsoat.
"Apa pun juga, yang jelas Suhu telah salah
menilai orang," jawab Lamkiong Peng dengan
mendongkol, "jika beliau memiara seekor kucing
atau seekor anjing akan lebih baik ...."
"Hm, kau tahu apa?" jengek Bwe Kim-soat pula.
"Sebabnya gurumu berbuat demikian padaku
adalah karena dia ingin menebus dosa, ingin
membalas budi. Tapi biarpun begitu dia tetap
bersalah padaku, maka dia mengharuskan
muridnya ikut menebus dosanya yang belum lunas
itu, untuk membalas budi yang belum sempat
dilakukannya."
Lamkiong Peng jadi tercengang, mendadak ia
balas mendengus, "Hm, menebus dosa dan
membalas budi apa segala" Memangnya guruku
bisa ...."
Tapi lantas teringat olehnya tulisan pada kain
kuning itu antara berbunyi "urusan ini memang
salahku ....", seketika ia urung bicara lebih lanjut,
pikirnya, "Jangan-jangan Suhu memang berbuat
sesuatu kesalahan terhadap dia."
"Hm, kenapa engkau tidak bicara lagi?" jengek
Bwe Kim-soat. "Agaknya kau pun dapat merasakan
dosa yang diperbuat gurumu, bukan?"
Lamkiong Peng menunduk, mendadak ia
mengangkat kepala pula dan berseru, "Barang
siapa bicara kasar terhadap guruku, tentu takkan
kuampuni ...."
"Huh, jangankan di depanmu, sekalipun di
depan Put-si-sin-liong juga aku berani bicara
demikian, sebab aku berhak!"
"Hak apa?" teriak Lamkiong Peng saking tak
tahan. "Meski guruku menyuruhku menjaga
dirimu, tapi engkau tidak berhak bicara sesukamu
di depanku."
"Aku berhak bicara, sebab tanpa berdosa nama
baikku telah dicemarkan olehnya dan tubuhku
dilukainya. Aku berhak bicara, sebab Kungfu yang
kulatih dengan susah payah telah dipunahkan
olehnya dengan sekali pukul. Aku berhak bicara
karena kebodohan dan kebandelannya telah
mengorbankan masa remajaku, telah menyianyiakan
sepuluh tahun masa hidupku yang paling
indah, akibatnya setiap hari, siang dan malam,
senantiasa berbaring di dalam peti mati yang
terisolir dari dunia luar, hidup tersiksa melebihi
orang hukuman ...."
Makin bicara makin emosi, nadanya yang
semula dingin kini berubah menjadi teriakan
serak. Tanpa terasa Lamkiong Peng jadi ngeri, tubuh
yang semula tegak menjadi agak lemas dan tidak
berani bersikap keras lagi.
Mendadak Bwe Kim-soat menarik tangan
Lamkiong Peng terus dibawa lari secepat terbang
kesana . Ilmu silat Lamkiong Peng mestinya tidak lemah,
Ginkangnya juga sangat tinggi, tapi sekarang tanpa
berdaya tangannya seperti terisaps oleh semacam
tenaga mahakuat dan ikut lari terlebih cepat
daripada Ginkang sendiri.
Selagi ia bermaksud meronta untuk melepaskan
diri, dilihatnya lari orang sudah mulai mengendur,
tempat yang dituju ternyata hutan tadi, di situ peti
mati masih tertinggal.
Begitu tiba di depan peti mati, segera Bwe Kimsoat
membuka tutup peti dan berteriak, "Nah, di
dalam peti inilah kuhidup selama sepuluh tahun.
Kecuali pada malam hari gurumu mengangkatku
keluar untuk memenuhi kebutuhan hidup
manusia yang perlu, boleh dikatakan tidak pemah
kukeluar dari sini."
Dia berhenti sejenak, lalu menyambung, "Nah,
boleh coba kau bayangkan, kehidupan macam
apakah selama sepuluh tahun ini, bagimu
mungkin sepuluh hari saja tidak tahan, apa lagi
sepuluh tahun ...."
Lamkiong Peng memandang ruang peti yang
sempit dan gelap itu, lalu bergumam seperti
mengigau, "Sepuluh ... sepuluh tahun ...." Tanpa
terasa ia bergidik.
Cahaya bintang yang redup menyinari wajah
Bwe Kim-soat yang pucat, ia menarik napas
panjang, lalu berucap pula dengan hampa, "Yang
kuharap selama mengeram di dalam peti adalah
datangnya malam, saat kebebasanku yang tidak
panjang itu, walaupun cuma sebentar saja gurumu
membawaku ke ruang yang tidak berlampu,
namun bagiku saat itu serupa hidup di surga."
Tergerak pikiran Lamkiong Peng, "Pantas kamar
tidur Suhu terletak pada pojok perkampungan
yang paling terpencil. Pantas juga pada malam hari
beliau tidak suka memasang lampu, kamarnya
juga tanpa jendela. Pantaslah setiap malam Suhu
membawa peti mati ini masuk kamarnya dan
ditaruh di samping tempat tidurnya ...."
Ia menghela napas panjang dan tidak berani
memikirnya lebih lanjut.
Sorot mata Bwe Kim-soat bergeser di antara
remang cahaya bintang dan kegelapan hutan itu
seperti lagi membayangkan penderitaannya
dahulu, lalu bertutur pula, "Untunglah setiap hari
datang harapanku serupa itu, kalau tidak, lebih
baik kumati daripada hidup tersiksa cara begini.
Dan harapan dan menanti itu sendiri pun
menimbulkan derita yang tak terhingga. Pemah
satu hari tanpa sengaja gurumu membuka pintu
kamar sehingga ada cahaya bulan menembus
masuk ke kamar, sungguh girangku tak
terkatakan. Tapi di bawah sinar bulan kulihat
keadaan gurumu yang semakin tua, aku menjadi
sedih, sang waktu terus berlalu, kupikir aku
sendiri tentu juga tambah tua ...."
Suaranya berubah menjadi lembut dan rawan,
tanpa terasa Lamkiong Peng juga ikut terharu
kepada sifatnya yang berdarah dingin dan mulai
menaruh simpati terhadap nasibnya yangmalang ,
ia menghela napas dan berkata, "Yang sudah lalu
biarlah lalu, jangan kau ...."
"Sudah lalu" .... mendadak Bwe Kim-soat
bergelak tertawa pula. "Put-si-sin-liong sudah mati,
secara ajaib aku tetap awet muda, aku tidak perlu
terkurung lagi di dalam peti mati. Malahan orang di
dunia tidak ada yang tahu asal-usulku yang
sebenarnya ... kecuali kau!"
"Secara ajaib engkau telah bertahan awet muda,
secara ajaib pula telah pulih kehidupanmu yang
bebas, untuk itu seharusnya engkau bersyukur
Amanat Marga Karya Khu Lung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
dan berterima kasih dan bukan merasa dendam,
meski aku ...."
"Aku berterima kasih apa?" jengek Bwe Kim-soat.
"Berterima kasih kepada Thian yang maha
pengasih," jawab Lamkiong Peng.
"Hmk!" dengus Bwe Kim-soat sambil
mengebaskan lengan baju dan melangkah kesana .
Seperti orang linglung Lamkiong Peng
memandangi bayangan punggung orang yang
ramping dengan gayanya yang memesona itu,
ketika bayangan orang hampir menghilang di
kegelapansana , cepat ia memburu maju dan
menegur, "Nona Bwe, engkau hendak ke mana?"
Mendadak Bwe Kim-soat berpaling dan berkata
kepadanya dengan dingin, "Kau tahu, orang bodoh
di dunia ini sangat banyak, tapi tidak ada yang
lebih bodoh daripadamu."
Dengan bingung Lamkiong Peng menjawab
dengan gelagapan, "Iy ... iya ...."
Sorot mata Bwe Kim-soat yang dingin itu tibatiba
timbul secercah cahaya kelembutan, namun di
mulut dia tetap bicara dengan ketus, "Jika engkau
bukan orang bodoh, tadi waktu kubilang 'kecuali
kau', seharusnya kau lari segera!"
"Tapi mana boleh kutinggalkan dirimu?" jawab
Lamkiong Peng tegas. "Suhu telah menyerahkan
dirimu di bawah penjagaanku, jika kutinggal pergi,
lalu cara bagaimana aku harus bertanggung jawab
terhadap beliau?"
"Tanggung jawab apa" Put-si-sin-liongkan sudah
mati"!" jengek Kim soat.
Lamkiong Peng menarik muka, jawabnya tegas,
"Tidak peduli beliau sudah meninggal atau tidak
tetap tidak dapat kulanggar amanat tinggalan
beliau." "Lantas cara bagaimana akan kau jaga diriku?"
tanya Bwe Kim-soat.
Bibir Lamkiong Peng bergerak, namun sukar
untuk menjawab.
Bwe Kim-soat membetulkan rambutnya yang
terurai di depan dadanya ke belakang punggung,
lalu mendengus, "Hm, jika engkau tidak mau pergi
dan tetap ingin 'menjaga' diriku, apakah
selanjutnya engkau akan selalu mengikuti aku?"
"Ya, memang begitulah perintah guruku," jawab
Lamkiong Peng. "Sungguh begitu?" Bwe Kim-soat menegas
dengan tertawa.
Lamkiong Peng tidak berani memandang tertawa
orang yang menggiurkan itu, dengan prihatin ia
menjawab, "Menurut pesan Suhu, aku diharuskan
menjaga peti mati dan tidak boleh
meninggalkannya, maksud beliau dengan
sendirinya aku diharuskan menjaga dirimu setiap
saat." Setelah bicara demikian, diam-diam timbul juga
rasa sangsinya, "Ilmu silatnyakan jauh lebih tinggi
daripadaku, mengapa Suhu menugaskanku
menjaga dia" Jika Kungfunya begitu tinggi, setiap
saat mestinya dia dapat membobol peti mati dan
pergi sesukanya, mengapa hal ini tidak
dilakukannya?"
Selagi dia merasa heran, terdengar Bwe Kim-soat
berkata pula dengan tertawa, "Jika demikian,
bolehlah kau ikut diriku, ke mana pun kupergi
boleh kau ikut."
Habis berkata ia lantas melangkah ke depan.
Jantung Lamkiong Peng berdetak dan entah
bagaimana rasanya, pikirnya, "Apa benar harus
kuikut dia ke mana pun juga?"
Tapi tidak urung kakinya ikut melangkah ke
sana, katanya, "Demi melaksanakan amanat guru,
biarpun kau pergi ke ujung langit juga akan
kuikuti." "Ujung langit ...." perlahan Bwe Kim-soat
mengulang kata itu dengan tersenyum.
Tanpa terasa muka Lamkiong Peng menjadi
merah. Perasaan kedua orang itu sungguh sukar diraba
oleh siapa pun juga, hubungan mereka yang aneh
juga sukar dilukiskan. Bwe Kim-soat berjalan di
depan dan Lamkiong Peng ikut di belakang,
berulang Bwe Kim-soat membelai rambutnya yang
panjang, agaknya dia juga banyak menanggung
pikiran. Malam tambah larut, di suatu sudut yang paling
gelap di tengah hutan sana mendadak melayang
keluar sesosok bayangan orang berbaju hitam
tanpa suara, dia memondong seorang pula yang
agaknya terluka parah.
Dalam kegelapan wajah orang itu tidak terlihat
jelas, juga tidak jelas siapa orang terluka yang
dibawanya itu, hanya terdengar dia membisiki
telinga yang terluka, "Apakah engkau merasa agak
baikan?" Yang luka itu menjawab lemah, "Ya, sudah
baikan, kalau bukan Anda ...."
"Sungguh aku tidak mampu membawamu turun
dari Hoa-san sini," potong orang berbaju hitam itu,
"dalam keadaan terluka parah engkau juga tidak
dapat ditinggalkan di tengah pegunungan sunyi ini.
Terpaksa engkau harus menahan sakit dan jangan
bersuara, minumlah obat yang kutaruh di dalam
bajumu itu menurut waktunya, dalam beberapa
hari saja kesehatan tentu akan pulih, tatkala mana
engkau tentu sudah berada di bawah gunung dan
dapat mencari kesempatan untuk melarikan diri."
Dengan mengertak gigi orang yang luka itu
merintih kesakitan, lalu berkata dengan lemah,
"Budi pertolonganmu pasti akan ...."
"Sudahlah, jangan banyak bicara lagi," potong si
baju hitam. "Saat ini mereka pasti takkan
membuka lagi peti mati ini, Bwe Kim-soat juga
pasti tak mau masuk lagi ke dalam peti. Asalkan
dapat kau tahan rasa sakit pada saat tubuh
berguncang, tentu engkau dapat mencapai kaki
gunung dengan aman."
Sembari bicara ia lantas membuka tutup peti
cendana itu, orang luka itu dimasukkannya
dengan perlahan, lalu berkata pula, "Obatku ini
selain dapat menyembuhkan luka, juga dapat
membuatmu tahan lapar, maka jangan khawatir!"
Si luka yang sudah berbaring di dalam peti
bertanya, "Bila tidak keberatan, sudilah
memberitahukan nama Anda ...."
"Namaku tentu akan kau ketahui kelak," si baju
hitam memberi tanda supaya jangan bicara lagi,
perlahan tutup peti lantas dirapatkannya kembali.
Setelah menyapu pandang sekejap sekeliling situ
lalu membalik tubuh dan berlari cepat ke arah
Jong-liong-nia.
Saat itu Bwe Kim-soat dan Lamkiong Peng
sedang melangkah tanpa tujuan serupa orang
mimpi menjalan.
Setelah berjalan sekian lama, mendadak Bwe
Kim-soat berkata, "Engkau berasal dari keluarga
terhormat dan perguruan temama, jika engkau
berjalan bersamaku seperti ini, apakah tidak takut
menimbulkan desas-desus umum yang
mencemarkan namamu?"
Dia bicara tanpa berpaling sehingga tidak
diketahui bagaimana air mukanya.
Langkah Lamkiong Peng agak merandek,
jawabnya dengan tegas, "Asalkan hati kita tidak
merasa berdosa, pula semua ini atas amanat
guruku, hanya desas-desus orang iseng saja
takkan menjadi soal bagiku, apalagi ...."
Ia berdehem dan tidak melanjutkan.
"Apalagi usiaku sedikitnya belasan tahun lebih
tua daripadamu sehingga pada hakikatnya tidak
perlu khawatir dicurigai orang, begitu bukan
maksudmu?" tanya Bwe Kim-soat mendadak
sambil berpaling.
Lamkiong Peng melenggong sejenak, jawabnya
kemudian dengan menunduk, "Ya, begitulah."
"Jika demikian, harus kau terima suatu
syaratku," kata Kim-soat pula.
"Syarat" ...."
"Ya, yaitu tidak boleh kau katakan nama asliku
terhadap siapa pun."
"Sebab apa?"
"Jika namaku diketahui orang bahwa aku masih
hidup segar bugar di dunia persilatan, sekalipun
gurumu sendiri tidak mampu melindungi diriku
apalagi engkau?"
"Oo," melengak Lamkiong Peng. Pikirnya, "Dia
pasti banyak musuh di dunia persilatan, bilamana
musuhnya mengetahui dia belum mati pasti akan
mencari dia dan menuntut balas padanya."
Seketika seperti terngiang pula di tepi telinganya
kata-kata si Tojin, "... Perempuan jalang,
perempuan jahat ...."
Mendadak timbul pertentangan batinnya,
masakah dirinya harus membela seorang
perempuan semacam ini" Tapi lantas teringat lagi,
"Jika Suhu sendiri membelanya, tugas ini lalu
diserahkan lagi kepadaku, kuyakin tindakan beliau
pasti benar, mana boleh kulanggar amanat guru?"
Selagi terjadi pergolakan pikirannya,
didengarnya Bwe Kim-soat bertanya pula, "Kau
terima syaratku?"
"Ya," jawab Lamkiong Peng segera.
Bwe Kim-soat memandangnya sekejap sambil
tertawa lembut, katanya, "Meski di mulut kau
terima dengan baik, tapi di dalam hati enggan,
betul tidak?"
Waktu Lamkiong Peng mengangkat kepalanya, di
bawah malam tertampak wajah Bwe Kim-soat yang
cantik laksana bidadari itu, seketika hatinya
bergetar, pikirnya, "Perempuan secantik ini
mengapa bisa berbuat jahat dan jalang?"
"Betul tidak?" kembali Bwe Kim-soat menegas
sambil mendekati anak muda itu.
"Apa yang kuucapkan sama dengan apa yang
kupikirkan," jawab Lamkiong Peng sambil
menunduk, terendus bau harum semerbak,
tahulah dia orang telah berada di sampingnya.
Didengarnya Bwe Kim-soat bicara pula dengan
lembut, "Kutahu sekali kau terima syaratku,
selamanya tentu akan kau pegang teguh. Akan
tetapi perlu kuberi tahukan pula bahwa
perangaiku sangat aneh, terkadang bisa
membikinmu tidak tahan, dalam keadaan begitu
lantas bagaimana tindakanmu?"
Kening Lamkiong Peng bekernyit, "Asalkan
engkau tidak berbuat sesuatu yang membikin
susah orang, urusan lain aku pasti tahan."
Tiba-tiba dirasakannya bila dirinya terus
mendampinginya cara begini, kecuali
melaksanakan amanat sang guru dapat juga setiap
saat mencegahnya berbuat sesuatu yang tidak
baik. Jangan-jangan maksud tujuan amanat sang
guru yang menugaskan dia menjaganya justru
demikianlah adanya"
Berpikir sampai di sini, mendadak dadanya
terasa lapang, apa alangannya mengalami sedikit
hinaan asalkan dapat memperbaiki watak seorang
jahat menuju ke jalan yang benar"
Segera ia angkat kepala dan memandang orang
dengan ikhlas. "Sudah malam, tentu kita tidak dapat tinggal di
sini," kata Bwe Kim-soat dengan tersenyum
lembut. "Ya, kita turun saja ke bawah," kata Lamkiong
Peng. Tapi belum jauh mereka berjalan, tiba-tiba
Lamkiong Peng berseru, "Nanti dulu, nona Bwe!"
"Ada apa?" tanya Bwe Kim-soat sambil berpaling.
"Harap nona menunggu sebentar, ada urusan
yang perlu ku ...."
"Ah, tentu mengenai peti mati itu, bukan?" tukas
Bwe Kim-soat. "Ya, kecuali itu, beberapa saudara
seperguruanku juga masih ketinggalan di atas
gunung dan entah sudah pergi atau belum, betapa
pun harus kutunggu mereka."
"Jika saudara seperguruanmu melihat dirimu
selalu mendampingiku, lantas apa yang akan
mereka katakan" Apalagi sudah sekian lamanya,
kukira mereka sudah lama meninggalkan gunung
ini," ujar Kim-soat. "Mengenai peti mati itu, kukira
sekarang tidak ada gunanya lagi, buat apa mesti
kau bawa kian kemari pula. Lebih baik kita
mencari suatu tempat istirahat yang tenang, nanti
akan kuceritakan berbagai hal yang belum kau
ketahui." "Tapi ... tapi peti itu adalah barang tinggalan
guruku, betapa pun harus kubawa pergi," setelah
berhenti sejenak, dengan tegas ia menyambung
pula, "Dan mengenai saudara seperguruanku, apa
Amanat Marga Karya Khu Lung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
pun juga perlu kutunggu mereka dulu sekadar
memenuhi kewajibanku sebagai sesama saudara
seperguruan."
"Ah, apa yang kukatakan tampaknya tidak kau
turut sama sekali," omel Bwe Kim-soat sambil
memandangi anak muda itu dengan lembut seolaholah
dengan sorot matanya yang hangat itu ingin
mencairkan hati Lamkiong Peng yang keras.
Kedua orang kembali beradu pandang, sampai
lama sekali keduanya tidak berkedip dan tetap
bertahan, entah di antara mereka siapa yang lebih
kuat. Kerlip bintang di langit bertambah terang,
sebaliknya malam bertambah larut.
Di bawah cahaya bintang dan suasana malam
yang sama, apa yang dihadapi Liong Hui saat itu
juga pandangan yang sama lembut dan sama
hangatnya. Saat itu dia sedang berjalan di balik lereng Hoasan
sana, di antara batu padas yang terjal dan
pepohonan yang rimbun serta malam yang tambah
kelam. Tangan Kwe Giok-he yang halus memegangi
lengan sang suami yang kekar, tubuh Giok-he yang
kecil mungil juga setengah menggelendot di bahu
sang suami, meski Ginkangnya terlebih tinggi
daripada suaminya, Kungfunya juga tidak lebih
lemah, tapi sikapnya yang manja itu scakan-akan
kalau tidak ada perlindungan sang suami akan
sukar bergerak di lereng gunung ini.
Yang ikut di belakang mereka adalah Ong So-so
yang cantik itu, dia malah tidak menghendaki
bantuan Ciok Tim meski wajahnya sudah dihiasi
butiran keringat.
Terpaksa Ciok Tim ikut berjalan di belakangnya
dengan hati-hati.
Mereka berempat sudah hampir menjelajahi
seluruh pegunungan ini, namun tidak menemukan
sesuatu bekas tinggalan sang guru.
Di tengah kesunyian perjalanan, akhirnya Kwe
Giok-he berucap, "Rupanya tiada sesuatu yang
dapat kita temukan."
"Ya," sahut Liong Hui sambil berpaling.
Ong So-so mengangguk perlahan, Ciok Tim juga
menghela napas dan berkata, "Ya, tidak
menemukan apa pun."
"Ayolah kita pulang saja," kata Giok-he pula
dengan menyesal.
"Ya, pulang saja," kata Ciok Tim.
"Tapi ... tapi mungkin dia sedang mencari atau
menunggu kita," kata So-so tiba-tiba.
Air muka Ciok Tim agak berubah, sebab ia tahu
"si dia" yang dimaksudkan So-so, yaitu Lamkiong
Peng, Sute mereka yang termuda.
"Tanjakan di depan sana tampak lebih curam,
kita sudah mencari sampai di sini, marilah kita
coba periksa sana sekalian," ajak Giok-he.
Tidak ada yang membantah, dengan menunduk
So-so ikut berjalan ke depan. Liong Hui agak
bingung melihat kelakuan anak dara itu.
Makin ke depan langkah mereka bertambah
lambat karena terjalnya tempat. Maklumlah,
puncak selatan Hoa-san ini juga disebut Lok-ganhong
atau puncak menjatuhkan burung belibis,
puncak tertinggi pegunungan Hoa, biasanya sangat
jarang didatangi manusia, burung saja sering
menubruk tebing yang tinggi ini, keadaan di sini
sangat sepi, apalagi di malam yang sunyi ini.
Kwe Giok-he menggelendot terlebih erat di bahu
Liong Hui, sebaliknya So-so semakin jauh jaraknya
dengan Ciok Tim.
Pembawaan seorang gadis yang lemah tentu saja
berharap akan dibantu dan dibela oleh seorang
yang gagah dan kuat, tapi hasrat ini hanya
disembunyikan di dalam batin saja oleh So-so.
Kecuali "dia", rasanya tidak mau menerima cinta
orang lain lagi. Tapi di manakah si dia sekarang"
Makin dipikir makin sedih, tanpa terasa air mata
pun berlinang-linang. Tapi ia tidak berani
mengusapnya, sebab ia tidak mau Ciok Tim
melihat kesedihannya.
Sekonyong-konyong So-so berhenti melangkah
sambil menjerit.
Cepat Liong Hui dan Giok-he berpaling, Ciok Tim
juga lantas memburu maju sambil berseru, "Ada
apa?" Di tengah remang malam terlihat wajah Ong Soso
yang terkejut dan air mata berlinang lagi
memandang permukaan tanah dengan tercengang.
Permukaan tanah yang kelam, tampaknya tiada
sesuatu yang mengherankan.
Ketika Giok-he dan lain-lain ikut memandang ke
tempat yang membuat So-so tercengang itu,
ternyata di atas batu di situ ada bekas kaki yang
mendekuk cukup dalam. Serentak mereka pun
berseru kaget. Tanah berbatu di sini sangat keras, orang biasa
biarpun menggunakan senjata tajam juga sukar
membuat bekas kaki sedalam ini, akan tetapi
orang ini cuma menginjak begitu saja lantas
meninggalkan tapak kaki sedalam ini.
Bekas kaki itu tidak lurus, tapi miring ke kiri,
ujung kaki tepat mengarah sebuah jalan simpang
yang membelok ke kiri.
So-so memandangnya dengan tercengang, sekian
lama baru dia berkata dengan tergagap, "Bekas ...
bekas kaki ini apakah mirip dengan kaki ... kaki
Suhu" ...."
Kemudian Giok-he menjawab, "Bekas kaki ini
bukan kaki Suhu! Hanya tampaknya memang
mirip ...."
"Ya, bukan saja besar-kecilnya sama, sampai
bentuk sepatunya juga sama," tukas So-so.
"Saat ini orang persilatan sudah jarang yang
memakai sepatu bersol tebal semacam sepatu
Suhu ini," kata Ciok Tim.
Supaya diketahui, orang Kangouw umumnya
suka memakai sepatu tipis ringan untuk
memudahkan gerak-gerik mereka, jarang yang mau
menggunakan sepatu bersol tebal seperti yang
biasa dipakai kaum pembesar negeri. Apalagi kalau
digunakan menempuh perjalanan di tanah
pegunungan, jelas sepatu tebal ini tidak cocok.
Perlahan Giok-he mengangguk, katanya,
"Memang benar jarang ada orang Kangouw yang
mau memakai sepatu tebal begini. Tapi di dunia
Kangouw sekarang siapa pula yang memiliki tenaga
dalam sehebat ini ...."
"Betul juga, bekas kaki yang ditinggalkan beliau
pasti untuk menunjukkan ke arah mana beliau
pergi," tukas Liong Hui.
"Ya, kukira begitu," kata So-so berbareng dengan
Ciok Tim. "Tapi kalian sama melupakan sesuatu," jengek
Giok-he mendadak.
"Sesuatu apa?" tanya Ciok Tim heran.
"Meski bekas kaki ini mirip kaki Suhu,
dipandang dari dekukan sedalam ini juga cuma
Suhu saja yang mampu, akan tetapi bekas kaki ini
pasti bukan ditinggalkan oleh Suhu, sebab ...."
Giok-he sengaja merandek, lalu menyambung
sekata demi sekata, "Sebab saat ini Suhu tidak lagi
mempunyai tenaga dalam sekuat ini."
Liong Hui, Ciok Tim dan So-so sama melengak,
tapi segera mereka pun sadar persoalannya dan
berseru serentak, "Ya, betul!"
Liong Hui lantas menambahkan, "Suhu sudah
melemahkan tenaga sendiri tujuh bagian untuk
memenuhi tuntutan gadis she Yap itu,
kekuatannya sekarang tidak lebih hanya sebanding
dengan kita, mana beliau sanggup meninggalkan
bekas kaki sedalam ini di atas batu."
Ia pandang Giok-he dengan penuh rasa kagum,
lalu bergumam pula, "Hal ini sama diketahui kita,
tapi mengapa cuma engkau saja yang
mengingatnya."
"Soalnya kalian sudah lelah, lapar dan juga
tegang, dalam keadaan demikian orang memang
sering melupakan sesuatu," ujar Giok-he dengan
tersenyum. Mendadak So-so mengangkat kepala dan berkata
pula, "Tapi kalau bekas kaki ini bukan bekas kaki
Suhu, lantas bekas kaki siapa" Di dunia Kangouw
zaman ini, kecuali Suhu siapa pula yang memakai
sepatu model begini dan berjalan di lereng
pegunungan yang curam dan sepi ini" Siapa pula
yang memiliki Lwekang setinggi ini?"
Seperti telah diceritakan, sejak pertemuan Hoasan
dahulu, hampir segenap inti kekuatan dunia
persilatan telah gugur bersama, selama ini belum
terdengar di dunia persilatan ada tokoh yang
berkuatan sebanding dengan Tan-hong dan Sinliong,
sebab itulah pertanyaan So-so ini benarbenar
sangat tepat. Mereka saling pandang dengan bingung sampai
sekian lamanya, akhirnya Liong Hui bergumam,
"Jangan-jangan di dunia persilatan sekarang telah
muncul tokoh kelas tinggi baru."
"Jangan-jangan Suhu ...." mendadak Ciok Tim
urung meneruskan ucapannya.
"Suhu kenapa?" tanya Liong Hui dengan gelisah.
Ciok Tim memandang kiri-kanan, dilihatnya
Giok-he dan So-so juga sedang memandangnya
seperti ingin tahu lanjutan ucapannya itu.
Akhirnya ia berdehem dan berkata pula, "Kukira
bisa jadi ... bisa jadi bekas kaki itu di ...
ditinggalkan Suhu waktu ... waktu ...."
"Maksudmu mengkhawatirkan Suhu mengalami
luka parah setelah bertanding dengan orang dan
bekas kaki ini ditinggalkan beliau waktu buyarnya
Lwekang sebelum ajal?" tukas Giok-he tak sabar.
"Ya ... ya, kukhawatir begitulah adanya," sahut
Ciok Tim dengan menunduk.
"Hah, apakah benar Suhu ... Suhu telah
meninggal?" teriak Liong Hui dengan cemas.
Hendaknya maklum, orang yang menguasai
Lwekang tinggi, pada sebelum ajalnya setiap jurus
yang dikeluarkannya dengan sepenuh tenaga pasti
lihai luar biasa. Begitu pula bila tenaga dalam itu
dibuyarkan pada waktu menghadapi ajal, setiap
gerakan kaki atau tangan tentu luar biasa kuatnya.
Sejak kecil Liong Hui telah belajar silat dengan
guru temama, dengan sendirinya ia cukup paham
dalil ini, maka dia pula yang paling berduka, tanpa
terasa air mata lantas berlinang.
"Mungkin itu cuma dugaanku saja, hendaknya
Toako jangan ...." ucap Ciok Tim dengan gelagapan.
"Betul, ucapanmu memang ngawur," kata Giokhe
tiba-tiba. "Masa ucapannya tidak berdasar?" tanya Liong
Hui sambil mengusap air mata.
"Kusangsikan bila betul ini bekas kaki Suhu,
mengapa di sekitar sini tidak ada sesuatu tanda
waktu dia bertempur dengan lawan?" ujar Giok-he.
"Selain itu pesan yang ditinggalkan Suhu apakah
mungkin ditulis di sini?"
"Betul, bila betul Suhu membuyarkan
Lwekangnya menghadapi ajalnya, mana beliau
dapat meninggalkan pesan sejelas itu?" seru Liong
Hui. "Habis bekas kaki siapakah ini?" kata So-so
dengan gegetun.
Giok-he memandang anak dara itu dengan
tersenyum, mendadak ia berkata dengan suara
lantang, "Siapa yang meninggalkan bekas kaki ini
sekarang belum dapat diketahui, yang jelas orang
yang meninggalkan bekas kaki ini pasti ada
hubungannya dengan Suhu ...."
"Apa dasarnya?" tanya Liong Hui.
Giok-he memandang sang suami sekejap, lalu
menyambung malah, "Dan pasti juga
mengisyaratkan sesuatu rahasia."
Liong Hui tambah bingung, "Kenapa kau bilang
bekas kaki ini ada sangkut pautnya dengan Suhu?"
"Sebab kalau bukan urusan yang menyangkut
Tan-hong dan Sin-liong, mana bisa ada tokoh Bulim
kelas tinggi berkeliaran di pegunungan Hoa
yang sunyi ini," tutur Giok-he.
"Kau bilang bekas kaki ini mengisyaratkan
sesuatu rahasia, kalau begitu bolehlah kita tunggu
saja di sini, coba lihat sesungguhnya apa
persoalannya?" ujar Liong Hui.
Tiba-tiba Ciok Tim menanggapi, "Kukira Toaso
tidak bermaksud menghendaki kita tinggal di sini,
cuma aku pun tidak tahu apa yang harus kita
lakukan." "Jika begitu, lebih baik kita ... kita pulang saja,"
tukas So-so. "Tampaknya Sumoay telah merindukan rumah,"
Giok-he berseloroh. "padahal kita tentu juga ingin
Amanat Marga Karya Khu Lung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
cepat pulang. Cuma kebetulan dapat kita temukan
petunjuk yang menyangkut diri Suhu, mana boleh
kita tinggalkan begini saja. Saat ini memang belum
diketahui sesungguhnya apa arti bekas kaki ini
serta rahasia apa yang terkandung di dalamnya,
tapi dapat kupastikan satu hal, yakni arah yang
ditunjuk ujung kakinya ini pasti arah kepergian
Suhu." "Jika begitu, marilah kita mengikuti arah yang
ditunjuk," kata Ciok Tim.
"Setuju!" seru Liong Hui.
Giok-he tersenyum, segera Liong Hui
mendahului membelok ke arah kiri.
Pegunungan Hoa memang sunyi dan kelam,
jalan setapak ini terlebih curam dan sukar dilalui,
jika mereka tidak menguasai Ginkang yang tinggi
tentu satu langkah saja sulit meneruskan
perjalanan. "Alangkah baiknya jika membawa obor," gumam
Ciok Tim. Kening Ong So-so tetap bekernyit, ia berjalan
dengan lesu. Mendadak ia mengertak gigi terus
melompat maju dan malah mendahului di depan
Liong Hui. "Sumoay memang tidak mau kalah, coba lihat
dia ...." Belum lanjut ucapan Giok-he, tiba-tiba So-so
berseru terkejut lagi. Menyusul Giok-he bertiga
juga bersuara kaget.
Kiranya tidak jauh di depan So-so sana
mendadak ada cahaya api, di tengah pegunungan
sepi ini, nyala api ini jelas buatan manusia.
Dengan terkejut mereka coba mengawasi depan
sana, tertampak di depan sebuah tebing menegak
mengadang jalan mereka. Karena nyala api itu
dirasakan seperti timbul mendadak, maka dinding
tebing itu scakan-akan juga muncul secara ajaib.
Dinding tebing itu ternyata halus licin, sama
sekali tidak ada tumbuhan apa pun. Waktu mereka
melongok ke atas, karena tidak tercapai oleh
cahaya api, bagian atas tebing kelihatan gelap
gulita sehingga sukar diraba betapa tingginya.
Angin mendesir, sinar api bergoyang menambah
seramnya keadaan.
Setelah tertegun dan ragu sejenak akhirnya Soso
mendekati tempat obor itu diikuti oleh Liong Hui
bertiga. Jarak obor yang tidak jauh ini dirasakan oleh
mereka makan waktu sekian lamanya baru dapat
dicapai. Sesudah dekat baru terlihat jelas obor itu
terbuat dari empat tangkai kayu cemara yang
terikat menjadi satu.
Terkesiap Ciok Tim, "Hah, obor, ternyata ada
obor!" Tadi dia menggerundel alangkah baiknya jika
ada obor, sekarang obor yang disebutnya benarbenar
muncul. Liong Hui saling pandang sekejap dengan Giokhe
dengan melenggong.
"Jangan-jangan gerak-gerik kita telah ... telah
diawasi orang"!" kata Liong Hui.
Giok-he berpikir sejenak, katanya kemudian,
"Urusan ini memang aneh, memangnya siapakah
yang mampu mengikuti kita secara diam-diam
tanpa ketahuan. Sesungguhnya apa maksud
tujuannya, kawan atau lawan" ...."
Ucapannya terhenti ketika ia memandang ke
arah dinding tebing yang licin itu, sebab mendadak
ditemukan sebaris tulisan yang sangat
mengejutkan di dinding tebing itu.
Semua orang ikut memandang ke sana dan
sama terkejut. Ternyata tulisan itu berbunyi:
"Liong Po-si, bagus sekali kedatanganmu! Di
ketinggian tebing sana ada tulisan yang ingin kau
baca, apakah kau berani naik ke sana?"
Tulisan yang bemada menantang, gaya tulisan
yang kuat! Memangnya siapa yang berani menantang
terhadap Put-si-sin-liong yang namanya
menggetarkan dunia persilatan itu" Siapa yang
memiliki Lwekang selihai ini sehingga sanggup
meninggalkan ukiran tulisan di dinding batu yang
keras ini"
Liong Hui menarik napas dingin, ia coba
melompat maju untuk mengamati ukiran tulisan
yang luar biasa itu.
Sedangkan pandangan Kwe Giok-he lagi tertarik
oleh bagian lain daripada dinding tebing, yaitu
suatu tempat bersih agak jauh di sebelah sana, ia
termangu-mangu sejenak, tiba-tiba bergumam
perlahan, "Ucapanmu memang betul, Gote, Suhu
... Suhu memang benar tidak meninggal!"
Nadanya ternyata lebih banyak mengandung
rasa kecewa daripada rasa gembira, memangnya
dia kecewa akan urusan apa" Karena iri terhadap
kecerdikan Lamkiong Peng atau urusan lain" Tapi
apa pun juga dalam keadaan dan di tempat begini
tentu saja tidak ada orang yang memerhatikan
maksud yang terkandung dalam ucapannya itu.
Serentak Liong Hui bertanya dengan gembira
dan bersemangat, "Hah, kau bilang ucapan Gote
benar dan Suhu tidak meninggal dunia?"
Giok-he mengangguk sambil menuding bagian
batu gunung yang agak bersih sana, katanya, "Ya,
Suhu tidak meninggal, setiba di sini beliau melihat
tulisan ini, segera beliau menggunakan Ginkang
dan naik ke atas."
Dia bicara dengan mantap scakan-akan melihat
sendiri apa yang terjadi, katanya pula, "Jika tulisan
yang terukir ini ditujukan kepada Suhu, dengan
sendirinya orang yang meninggalkan tulisan ini
sudah memperhitungkan Suhu pasti akan datang
kemari, dan kalau dipandang pada bagian tebing
ini, orang yang naik ke atas pasti tidak
menggunakan Kungfu sebangsa 'cecak merayap
dinding' segala, sebab Kungfu ini harus dilakukan
dengan merayap ke atas dengan punggung
menempel dinding. Tapi dari bekas telapak tangan
yang terlihat di sini jelas orang naik ke atas dengan
muka menghadap dinding. Kalian sama tahu, di
kolong langit ini hanya Kungfu 'Sui-hun-hu'
(mengapung mengikuti awan) dari Sin-liong-bun
kita yang merupakan Ginkang mahahebat untuk
merayap ke atas dengan muka menghadap dinding.
Berdasarkan semua ini, orang yang mendaki ke
atas siapa lagi kalau bukan Suhu"!"
Serentak Liong Hui bersorak gembira, "Ya, Suhu
tidak meninggal ...."
Ciok Tim juga bergirang.
"O, Suhu tidak ..." saking girangnya So-so lantas
menangis malah.
Sebaliknya Giok-he lantas menghela napas
menyesal. "Jika Suhu jelas tidak meninggal, apa yang kau
sesalkan?" tanya Liong Hui.
"Kau tahu apa?" sahut Giok-he sambil
memandang lagi tulisan tadi, "Setiba di sini Suhu
memang tidak mengalami sesuatu, tapi setelah
beliau naik ke atas berarti akan menghadapi
bahaya, masakah tidak kau lihat bahwa semua mi
pada hakikatnya cuma sebuah perangkap."
"Perangkap?" Liong Hui menegas.
"Ya, perangkap," kata Giok-he. "Lebih dulu orang
menjangkitkan emosi dengan kata-katanya yang
menantang, lalu menyusutkan Lwekang Suhu,
kemudian memancingnya ke sini. Ketiga hal ini
satu per satu telah diatur dengan sangat rapi ...."
ia menghela napas pula dan menyambung,
"Pantaslah Suhu lantas terjebak."
Seketika rasa girang Liong Hui bertiga berubah
menjadi khawatir lagi.
Dengan prihatin Ciok Tim berkata, "Jika
demikian, jadi keterangan nona she Yap yang
mengatakan Tan-hong sudah mati mungkin juga
dusta belaka."
"Ya, sangat mungkin," ujar Giok-he sambil
mengangguk. "Dengan alasan ini dia minta Suhu
menyusutkan Lwekangnya, juga berdasarkan ini
melemahkan pengaruh Suhu sehingga beliau
terpencil sendirian lalu dipancing lagi ke sini. Ai,
setiba di sini, menuruti watak beliau yang keras,
biarpun di depan sana sudah menanti gunung
golok dan lautan minyak mendidih juga akan
diterjangnya. Maka ... maka beliau pun terjebak!"
Belum habis ucapannya, mendadak So-so
melompat ke kaki dinding tebing terus merayap ke
atas dengan cepat. Dipandang dari bawah, bajunya
mengembung perlahan ke atas sehingga mirip
gumpalan awan yang mengapung.
"Sumoay, biarkan aku saja yang naik ke sana!"
seru Ciok Tim sambil menyusul ke sana.
Namun So-so sudah cukup tinggi merayap ke
atas. Giok-he lantas mencegah Ciok Tim, katanya,
"Tempat belasan tombak tingginya mungkin tidak
menjadi soal bagi Sumoay, jangan khawatir.
Biarkan Sumoay melihat apa yang tertulis di atas!"
Ciok Tim tidak membantah lagi, ia mendongak
ke atas dengan rasa khawatir.
Semakin tinggi semakin gelap, gerak tubuh Soso
juga mulai lamban.
"Sudah kau lihat sesuatu, Sumoay?" seru Giokhe
sambil menengadah.
"Ya, dapat kulihat dengan jelas," jawab So-so.
"Hati-hati, Sumoay!" seru Ciok Tim.
So-so tidak menjawab.
"Setelah membaca lekas turun kemari," seru
Giok-he pula. Belum lenyap suaranya, dilihatnya So-so malah
merayap perlahan ke atas lagi.
"Ha, Sumoay, untuk apa naik ke atas lagi" teriak
Liong Hui. Sampai di sini mendadak ia menjerit
khawatir, "Wah, celaka!"
Tertampaklah tubuh So-so baru merayap sedikit
ke atas lantas tidak tahan lagi dan segera merosot
ke bawah. Dengan khawatir Ciok Tim berlari maju dan siap
di bawah. Liong Hui dan Giok-he juga berteriak, "Awas,
Sumoay!" Sementara itu tubuh So-so sudah jatuh ke
bawah, meski dia berusaha mengimbangi dengan
Ginkangnya, tapi terperosot dari tempat setinggi itu
tetap sangat berbahaya.
Dengan memasang kuda-kuda yang kuat,
sepenuh tenaga Ciok Tim menahan tubuh So-so
yang anjlok ke bawah itu, ia tergetar mundur
sempoyongan, akhirnya dapat berdiri tegak lagi.
Siapa tahu begitu kaki menyentuh tanah, So-so
lantas mendorongnya sehingga Ciok Tim tertolak
dua-tiga tindak lagi, keruan ia melenggong, di
bawah cahaya obor kelihatan mukanya sebentar
merah sebentar pucat, jelas sangat tidak enak
perasaannya. So-so memandangnya sekejap, mendadak
menghela napas dan menunduk, ucapnya
perlahan, "Maaf, terima kasih atas pertolonganmu!"
Hatinya bajik dan tidak suka melukai perasaan
orang lain, apalagi tindakan Ciok Tim itu adalah
karena ingin menolongnya, dengan sendirinya ia
merasa tidak enak juga.
Giok-he memandang kedua muda-mudi itu,
sedangkan Liong Hui sama sekali tidak
memerhatikan persoalan pelik antara anak muda
itu, ia lantas bertanya, "Sumoay, apa yang tertulis
di atas, kan sudah kau lihat dengan jelas?"
"Ya, sudah kulihat dengan jelas," jawab So-so
lirih sambil mengangkat kepala, tampaknya sangat
kesal. "Apa yang tertulis di sana?" tanya Liong Hui tak
sabar. Perlahan So-so lantas menguraikan apa yang
dibacanya tadi, "Liong Po-si, engkau jadi naik ke
sini" Jika demikian jelaslah Kungfumu tidak
telantar. Turunlah kembali lurus ke bawah, lalu
melangkah tujuh belas tindak ke kiri, di kaki
tebing ada tetumbuhan akar-akaran, singkap
tetumbuhan itu akan terlihat celah-celah yang
cukup diterobos tubuh seorang, langsung masuk
ke sana, setiba di ujung dapatlah kau lihat diriku!
...." So-so berhenti sejenak, tapi Liong Hui lantas
melangkah ke sebelah kiri sana sambil berhitung,
"Satu, dua, tiga ...."
Cepat So-so memanggilnya, "Nanti dulu, Toako,
masih ada ...."
"Ada apa" Maksudmu belum-habis tulisan yang
kau baca itu?" tanya Liong Hui sambil menoleh.
So-so mengangguk, "Ya, masih ada satu baris
yang berbunyi: Dan bila engkau masih ada sisa
Amanat Marga Karya Khu Lung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
tenaga, naik lima tombak lagi ke atas, di situ juga
ada tulisan, apakah kau ingin tahu?"
"Menuruti watak Suhu, biarpun mengadu jiwa
juga pasti akan naik ke atas," ujar Giok-he dengan
gegetun. "Tapi ... tapi aku tidak sanggup lagi naik ke
atas!" ucap So-so dengan menunduk, tampaknya
sangat kecewa. Liong Hui tertegun, katanya kemudian, "Ginkang
Sumoay jauh lebih hebat daripadaku, jika dia tidak
mampu naik ke atas apalagi aku."
"Biar kucoba," seru Ciok Tim.
"Ginkang Toaso lebih bagus daripadamu,
biarkan dia saja yang naik ke atas," ujar Liong Hui.
"Tidak perlu dicoba lagi," sela So-so, "Toaso juga
takkan mampu naik ke atas. Setelah mencapai
ketinggian sana, untuk merayap sejengkal lagi
rasanya terlebih sulit daripada merayap setombak
dari bawah sini, kalau ingin mendaki lima tombak
yang disebutkan itu, biarpun kulatih sepuluh
tahun lagi juga tidak sanggup."
"Ya, dapat kupahami keteranganmu ini," kata
Giok-he sambil mengangguk.
Hendaknya diketahui, Ginkang sebagai "cecak
merayap" dan "awan mengapung" segala itu pada
dasarnya cuma dorongan tenaga yang dikerahkan
seketika. Bilamana sudah mencapai ketinggian dari
tenaga yang dikerahkan, untuk naik lebih tinggi
lagi jelas sangat sulit.
Dengan sendirinya Liong Hui dan Ciok Tim juga
dapat memahami dalil ini.
"Lantas bagaimana?" tanya Liong Hui kemudian.
"Jika tidak ada jalan lain, betapa pun harus
kucoba!" ujar Ciok Tim.
"Bila tidak ada jalan lain, biarpun kau coba juga
percuma," kata Giok-he. "Lebih baik kita periksa
celah-celah di sebelah kiri yang disebutnya itu."
"Betul, harus kita periksa sesungguhnya
siapakah yang meninggalkan tulisan itu," seru
Liong Hui. Giok-he tersenyum, "Tanpa melihatnya juga
kutahu siapa dia."
"Oo, memangnya siapa?" tanya Liong Hui.
"Kecuali Tan-hong Yap Jiu-pek masakah ada
orang lain" Selain Yap Jiu-pek masakah ada orang
berani bicara seketus itu terhadap Suhu?"
"Tapi ... bukankah Yap Jiu-pek sudah mati?"
Liong Hui merasa sangsi.
"Kan sudah kukatakan sejak tadi bahwa semua
ini cuma perangkap saja," kata Giok-he. "Cuma di
mana letak ujung tali jeratan ini sejauh ini belum
kita ketahui, kecuali ... kecuali dapat kulihat
sebenarnya apa yang tertulis di tempat paling atas
sana." Belum lenyap suaranya sekonyong-konyong dari
ketinggian tebing yang tak terlihat jelas itu terjulur
seutas tali panjang.
Keruan So-so berempat berteriak kaget mereka
memandangi tali yang terjulur di depan mereka ini
dengan melongo dan tak dapat bersuara sampai
sekian lamanya.
Keempat orang itu saling pandang dengan sangsi
dan ngeri. Ternyata di atas tebing yang tak terlihat
jelas itu terdapat jejak manusia.
Dengan suara tertahan akhirnya Ciok Tim
berkata, "Yang melemparkan tali ke bawah ini
entah apakah juga orang yang menyalakan obor
ini?" Giok-he mengangguk, "Ya, kukira orang yang
sama." Kening Ciok Tim bekernyit rapat, katanya pula,
"Tapi orang ini sebenarnya kawan atau lawan,
sungguh sukar untuk diraba. Jika maksud orang
ini tidak jahat, dengan sendirinya boleh kita naik
ke atas dengan memanjat tali, kalau sebaliknya ...
wah, keadaan kita saat ini sungguh sangat
berbahaya."
Giok-he tersenyum dan menggeleng, "Jika
dipandang dari kelihaian orang ini, jika dia
bermaksud membikin susah kita, untuk apa
membuang tenaga percuma cara begini?"
"Jika begitu biarlah kucoba naik dulu ke atas,"
sela So-so. "Biar kutemanimu naik ke atas, jika terjadi apaapa
jadi dapat saling membantu," tukas Ciok Tim,
agaknya dia telah melupakan kemungkinan
bahaya. "Bukankah kau bilang berbahaya?" kata So-so,
tiba-tiba ia menyesal karena ucapannya terlalu
menyinggung perasaan, maka cepat ia
menyambung, "Jika ada bahayakan lebih baik
dihadapi seorang saja."
Ciok Tim menunduk kikuk.
Giok-he lantas menyambung, "Sumoay sudah
naik satu kali, sekali ini biar aku saja yang naik ke
atas." "Betul, sekali ini giliran kita," tukas Liong Hui.
Mendadak Ciok Tim membusungkan dada dan
berseru, "Biar kutemani Toaso ke atas!"
Agar kelihatan gagah berani di depan orang yang
dirindukannya, biarpun sekarang di atas sana
terpasang perangkap maut juga tak terpikir lagi
olehnya. "Boleh juga Site ikut bersamaku," ucap Giok-he.
Segera ia melompat ke atas setinggi dua tiga
tombak, diraihnya tali itu dengan kuat lalu ia
berpaling ke bawah dan berseru, "Toako, bila aku
jatuh harus kau tangkap diriku dengan baik!"
"Jangan khawatir," segera Liong Hui siap
memasang kuda-kuda di bawah.
Waktu Ciok Tim ikut melompat ke atas, akhirnya
So-so berucap juga, "Hati-hati!"
Mesti lirih suaranya, namun cukup jelas
didengar Ciok Tim, seketika ia berbesar hati dan
semangat terbangkit, serunya, "Jangan khawatir!"
Di tengah remang malam kelihatan bayangannya
semakin cepat naik ke atas, hanya sebentar saja
lantas menghilang dalam kegelapan.
Liong Hui mendongak sampai sekian lama,
mendadak ia berkata, "Apakah tidak ada sesuatu
bahaya di atas?"
"Bukankah Toaso sudah bilang, kepandaian
orang itu jauh di atas kita, jika dia mau membikin
susah kita buat apa dia bersusah payah menjebak
kita," ujar So-so.
"Tapi sudah sekian lama mereka tidak
kelihatan," kata Liong Hui, segera ia berteriak,
"Hei, adakah kalian menemukan sesuatu."
Namun suasana sunyi senyap tiada sesuatu
suara jawaban. Bekernyit kening Liong Hui, gumamnya, "Wah,
masakah mereka tidak mendengar suaraku?"
Sekali ini dia berteriak terlebih keras sehingga
anak telinga So-so yang berdiri di sampingnya ikut
mendengung. Namun puncak karang di atas tetap
sunyi tanpa sesuatu jawaban, hanya desir angin
yang mengumandangkan suara Liong Hui itu ke
empat penjuru. So-so juga mulai gelisah, ia sangsi, biarpun
puncak tebing ini sangat tinggi dan menjulang ke
tengah awan, namun sekeliling tiada barang
pengalang lain, masakah suara teriakan mereka
tidak terdengar.
Diam-diam ia berkhawatir bagi mereka, tapi
tidak berani diutarakannya. Ia coba melirik Liong
Hui, di bawah cahaya obor yang redup air muka
Liong Hui kelihatan juga berubah.
"Coba, kau bilang Toaso berdua takkan
menemukan bahaya, tapi ... tapi mengapa mereka
tidak menjawab suaraku?" kata Liong Hui
kemudian. So-so tidak tahu cara bagaimana harus
menjawab, sampai sekian lama baru ia menghela
napas perlahan dan berucap, "Jika ada bahaya
seharusnya mereka juga bersuara
memberitahukan kepada kita, tapi sampai
sekarang tetap tiada sesuatu gerak-gerik apa pun
di atas, sungguh sangat aneh ...."
"Ya, sungguh aneh," tukas Liong Hui sambil
memegang tali panjang yang terjulur itu,
mendadak ia melenggong, tangan pun agak
gemetar. So-so menjadi heran, "He, Toako, ada apa?"
Liong Hui berpaling dengan wajah penuh rasa
kejut dan khawatir, "Coba kau lihat!"
Berbareng tangannya bergerak, tali yang terjulur
itu dapat diayunnya hingga jauh seperti tidak
dibebani sesuatu.
Cepat So-so ikut memegang tali itu dan
digoyangkan dua-tiga kali, betul juga, di atas tidak
terasa diganduli sesuatu, dengan gugup ia
menyurut mundur dan mendongak ke atas,
ucapnya dengan suara gemetar, "Ya, mengapa tali
ini bebas lepas, ke ... ke manakah mereka?"
"Bukankah kau bilang tidak ada bahaya"!" seru
Liong Hui dengan air muka kelam.
So-so tertegun, mendadak ia mengertak gigi dan
meloncat ke atas, dengan cepat ia pun merambat
ke atas .... Kiranya tadi Ciok Tim terus ikut Giok-he
merambat ke atas dengan cepat dan gesit, hatinya
terasa hangat ketika mendengar pesan So-so
kepadanya agar hati-hati, ia pikir, "Betapa pun dia
tetap memerhatikan diriku."
Karena itulah caranya merambat pun bertambah
semangat dan juga tambah cepat, ketika mencapai
belasan tombak tingginya, tiba-tiba terdengar Kwe
Giok-he berkata di atas, "Tulisan inilah yang dilihat
Sumoay tadi. Ai, daya ingatnya sungguh sangat
kuat, dia dapat menghafalkan tanpa kurang satu
huruf pun."
"Ya, daya ingatnya memang hebat," sahut Ciok
Tim, Sekilas ia baca tulisan yang dimaksud di dinding
tebing, lalu merambat lagi ke atas dan diam-diam
membatin pula, "Betapa pun Sumoay tetap
memerhatikan diriku. Mesti terkadang dia suka
bersikap kasar padaku, hal itu hanya karena
kcangkuhan seorang gadis saja. Apa pun juga
sudah lima tahunan kami tinggal bersama,
mustahil dia tidak menaruh sesuatu perasaan
padaku?" Berpikir demikian, tersembul juga senyuman
pada ujung mulutnya.
Selagi dia tenggelam dalam perasaan bahagia,
mendadak dahinya menyentuh sesuatu, ia terkejut
dan mendongak, kiranya kaki Kwe Giok-he.
Kaki yang bersepatu kain sutera hijau bersulam
bunga ungu kecil, indah dan serasi membungkus
kakinya yang putih, ujung sepatu yang agak
mencuat ke atas itu dihiasi sebiji mutiara mengilat.
Sekarang kedua biji mutiara itu tepat berada di
depan mata Ciok Tim, semacam bau harum yang
sukar dilukiskan sayup-sayup terbawa angin
tercium oleh hidung Ciok Tim.
Lebih ke atas lagi adalah ujung kaki celana yang
juga bersulam bunga kecil menutupi permukaan
kaki. Seketika sorot mata Ciok Tim terhenti di situ.
Baru sekarang ia tahu sebab apa sang Toaso yang
kecantikannya termasyhur di dunia Kangouw ini
tidak suka memakai sepatu bersol tipis yang
biasanya digunakan orang perempuan kalangan
Kangouw atau sejenis sepatu yang bagian
bawahnya tersembunyi senjata tajam. Hal ini
serupa kebiasaan guru mereka yang tetap suka
memaki sepatu sol tebal yang biasa dipakai kaum
pembesar negeri itu. Hal ini disebabkan sepatu sol
tinggi dapat melambangkan kebesaran dan
kewibawaannya dan jelas-jelas menggariskan
perbedaannya dengan orang persilatan umumnya.
Hanya sepatu bersol tipis yang ringan inilah
dapat menonjolkan kcindahan kaki seorang
perempuan. Melihat sepatu bagus dengan kaki yang indah
ini, seketika Ciok Tim jadi terkesima.
Tiba-tiba terdengar Giok-he menegur dengan
tertawa, "Apa yang kau lihat?"
Muka Ciok Tim menjadi merah.
"Lekas naik kemari dan bacalah tulisan di sini,"
terdengar Giok-he berseru lagi sambil merambat ke
atas. Waktu Ciok Tim menengadah, dilihatnya di
tengah keremangan wajah yang cantik itu sedang
tersenyum kepadanya, dengan kikuk ia berdehem
dan menjawab, "Apa ... apa yang tertulis di situ?"
"Naiklah dan baca sendiri," kata Giok-he sambil
merapatkan tubuhnya ke dinding tebing,
Dengan begitu ada tempat luang untuk Ciok Tim
naik ke situ.
Amanat Marga Karya Khu Lung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Segera Ciok Tim ikut merambat ke atas, ia tidak
berani memandang langsung kepada Giok-he, tapi
lantas membaca tulisan yang terukir di dinding, di
situ tertulis: "Liong Po-si, akhirnya kau datang juga
ke sini. Bagus sekali. Kungfumu memang tidak
telantar, kini jika kau naik lagi sedikit dan berjalan
lima belas langkah ke kanan juga terdapat sebuah
celah-celah, jalan tembus ini terlebih dekat, cuma
lebih sulit dilalui, namun bila engkau mendaki
tujuh tombak lagi ke atas akan kau temukan
sebuah jalan yang terlebih dekat, cuma engkau
jangan memaksakan kemauanmu untuk
menempuh jalan yang sukar ditempuh, ambil saja
jalan yang mudah dilalui, akhirnya kan tetap dapat
berjumpa denganku."
Meski keadaan cukup kelam namun dapatlah
Ciok Tim membaca jelas dan cepat tulisan di
dinding itu. Malahan berbareng dengan itu
dirasakan bau harum pun semakin menusuk
hidung. Tanpa terasa terkenang olehnya kejadian masa
lampau. Waktu itu dia baru masuk perguruan Sinliong,
baru berumur sepuluh, usia Kwe Giok-he
lebih tua dua-tiga tahun. Pada masa emas anakanak
mereka itu, meski berada di bawah asuhan
guru yang keras, mereka pun pemah bermain-main
sebagaimana layaknya anak-anak umumnya.
Karena pergaulan dekat dan teman bermain
setiap hari itu, diam-diam ia mencintai kakak
seperguruan yang lebih pintar dan juga lebih tua
dua tahun daripadanya itu. Cuma cinta itu boleh
dikatakan cinta suci mumi anak-anak, cinta antara
kakak dan adik, suci bersih tanpa noda, sampai
dia sudah agak lebih besar rasa cinta itu tetap
disimpannya di dalam hati.
Pada waktu dia berumur 15 barulah Ong So-so
juga masuk perguruan. Itulah suatu hari yang
cerah, biarpun kejadian itu sudah lima tahun
berselang, namun Ciok Tim masih ingat betapa
cemerlang cahaya bintang pada malam itu.
Malam itu Put-si-sin-liong Liong Po-si
mengadakan beberapa meja pesta dan
mengumumkan dua peristiwa menggembirakan,
pertama ialah diterimanya seorang murid
perempuan baru, kedua sekaligus diumumkan
perjodohan murid utamanya, yaitu Liong Hui
dengan murid kedua, Kwe Giok-he.
Pada malam itu juga diam-diam Ciok Tim
mengucurkan air mata di kamarnya sendiri. Sejak
itu sedapatnya dia ingin melupakan cintanya yang
suci mumi itu, sebab si dia sudah dipersunting
oleh Toasuheng yang dihormat dan diseganinya itu,
selanjutnya si dia telah menjadi Toaso (kakak ipar)
dan bukan lagi Suci (kakak guru) kecilnya, dia
terpaksa harus melupakan perasaannya itu.
Maka sedapatnya ia berusaha menjauhi si dia
serta menghindari bicara dengan mereka, karena
itulah lambat-laun Ciok Tim berubah menjadi
pendiam dan suka menyendiri.
Pada suatu pagi hari ketika mereka bertemu di
lapangan latihan, kebetulan Ciok Tim bertemu
sendirian dengan Giok-he, ia ingin
menghindarinya, tapi Giok-he sempat
memanggilnya dan menegur, "Mengapa akhir-akhir
ini engkau selalu menghindari diriku, memangnya
aku bukan lagi Suci cilikmu?"
Ciok Tim hanya menggeleng saja tanpa bicara
dan orang lain pun keburu datang. Untuk
seterusnya mereka pun tidak pemah bertemu
berduaan lagi, sampai kini ....
Kini peristiwa lampau scakan-akan terbayang
kembali dalam benak Ciok Tim, rasanya Kwe Giokhe
seperti menggelendot di sampingnya dengan
baunya yang harum itu dan membuatnya lupa si
dia adalah "Toaso"-nya.
Ketika ia berpaling, kedua orang beradu
pandang, tanpa terasa ia menghela napas dan
memanggil perlahan, "Siausuci ...."
Panggilan ini sangat perlahan, namun serupa
sepotong batu raksasa dilempar ke tengah laut dan
menimbulkan gelombang dalam hati Kwe Giok-he
yang tenang itu.
Giok-he mengerling sayu wajah Ciok Tim dan
entah apa yang terpikir olehnya, ia cuma perlahan
meraba sekali muka Ciok Tim dan berkata,
"Engkau agak kurus!"
Bergolak juga hati Ciok Tim, namun di luarnya
sedapatnya ia berlagak tenang, katanya, "Suhu ...
Suhu tentu naik ke atas!"
Ia tidak berani memandangnya lagi, tapi lantas
mendahului merambat tali ke atas.
Jarak yang tidak sampai sepuluh tombak itu
dengan cepat dapat dicapainya. Di atas memang
sudah sampai ujungnya, tanpa pikir ia melompat
ke atas, puncak tebing ini sungguh sangat aneh,
lapang, datar, serupa ditabas oleh senjata tajam.
Selagi Ciok Tim merasa heran, tiba-tiba dari
belakang sudah berjangkit bisikan Giok-he yang
perlahan, mana Ciok Tim berani menoleh, meski
timbul juga hasratnya, namun dia tetap
memandang lurus ke depan.
Angin meniup menerbangkan rambut di pelipis
Giok-he ke tepi telinga dan bawah dagu Ciok Tim,
terdengar keluhan Giok-he perlahan, "Kutahu sejak
kuikut Toakomu, senantiasa engkau lantas
menghindari diriku. Hari itu waktu kita bertemu di
tempat latihan, bahkan engkau tidak berani bicara
padaku, mengapa engkau tidak berani bicara
padaku, mengapa engkau tidak serupa dulu ...."
Pada saat itulah terdengar gema suara Liong Hui
dari bawah, "Adakah melihat sesuatu di atas"!"
Ciok Tim terkesiap dan berpaling, seketika
bibirnya menyentuh ujung mulut Giok-he yang
manis dan hangat.
Keduanya tidak bersuara, juga tidak bergerak
lagi, keduanya tidak ada yang menjawab suara
Liong Hui itu. Giok-he mengembus napas panjang dan berbisik
pula, "Apakah masih ingat waktu di bawah pohon
mangga di belakang perkampungan dahulu ...."
Ciok Tim mengangguk, "Ya, waktu itu ku ...
kupeluk dirimu dan minta engkau bermain
pengantin baru denganku ...."
"Kau minta aku menjadi mempelai perempuan
dan masuk kamar pengantin bersamamu, tapi aku
tidak mau ...."
"Ya kau bilang usiamu lebih tua daripadaku,
hanya dapat menjadi Ciciku dan tidak dapat
menjadi pengantinku ...."
"Dan lantas kau peluk diriku, kau paksa dan ....
dan aku ...."
Sekonyong-konyong terdengar lagi bentakan dari
bawah, "Hei, kalian mendengar suaraku tidak?"
Hati Ciok Tim terkesiap pula, mendadak
dirasakan bibir yang hangat menyentuh bibirnya
.... Lalu terdengar Giok-he berkata pula perlahan,
"Waktu itu serupa sekarang ini, engkau telah
mencium aku ...."
"Namun kemudian engkau menikah dengan
Toako dan menjadi Toaso ...." ia tidak bergerak,
sebab pergolakan darah panas anak muda
membuatnya hampir tidak tahan.
"Meski kunikah dengan Toakomu, tapi ....
masakah engkau tidak tahu hatiku?"
"Hati ... hatimu ...."
"Dalam hal apa aku tidak membelamu"
Terkadang aku pun ikut bicara bagimu bila ucapan
Sumoay terlalu keras padamu, masakah engkau
tidak tahu sebab apa aku berbuat demikian?"
"Jika ... jika begitu, mengapa engkau mau
menikah dengan Toako?" tanya Ciok Tim.
Giok-he mengerling sendu, ucapnya lirih,
"Usiaku lebih tua, juga Sucimu, sekalipun aku
mau menikah denganmu juga takkan diluluskan
oleh Suhu."
"Semula kukira engkau ingin menjadi istri murid
pewaris Sin-liong-bun, karena ingin berkuasa
mewarisi Ci-hau-san-ceng kelak, maka engkau
menikah dengan Toako, sebab ... sebab kutahu
benar watakmu sama sekali berbeda daripada
pribadi Toako yang keras itu."
Air muka Giok-he tampak berubah, seperti isi
hatinya tepat kena diungkap orang, serupa juga
orang yang merasa penasaran, ia menghela napas
panjang dan bertanya, "Apa benar semula engkau
berpikir demikian."
"Ya, tapi sekarang kutahu pikiranku itu keliru,"
jawab Ciok Tim sambil mengangguk.
Giok-he tersenyum, mendadak ia berbisik lagi,
"Meski kita tidak dapat menjadi suami-istri, tapi ...
tapi selanjutnya kalau setiap saat kita masih dapat
ber ... bertemu, kan sama saja."
Terguncang juga perasaan Ciok Tim, ia pandang
orang dengan termangu, sampai sekian lama napas
pun scakan-akan terhenti.
Mendadak terdengar lagi kumandang suara di
bawah, "Sumoay, mungkin ada bahaya di atas,
biarlah aku naik dulu!"
Ciok Tim terkejut, cepat ia melompat mundur
dan berdiri di samping sepotong batu karang di
tepi puncak tebing itu.
Hampir pada saat yang sama bayangan Ong Soso
yang ramping pun melayang ke atas, menyusul
tubuh Liong Hui yang kekar juga melompat tiba.
Di bawah cahaya bintang sorot mata keempat
orang saling pandang sekejap, masing-masing
sama mengunjuk rasa tercengang. Dengan
sendirinya pada sorot mata Ciok Tim juga tertampil
rasa kikuk dan takut.
Liong Hui dan So-so sama bersuara heran,
"Kiranya kalian baik-baik saja di atas"!" ucap Liong
Hui. Ketika dilihatnya Ciok Tim berdiri di sana
dengan sikap kikuk, betapa pun lugasnya Liong
Hui timbul juga rasa curiganya, "Ada apa kalian?"
Giok-he lantas menarik muka, "Aneh
pertanyaaanmu ini, memangnya kau kira ada
apa?" "Seruanku dari ... dari bawah tadi masa tidak
kalian dengar?" tanya Liong Hui dengan agak
tergagap. "Tentu saja dengar," jawab Giok-he.
"Jika dengar mengapa tidak menjawab, bikin
cemas orang saja," keluh Liong Hui dengan
menyesal. "Huh, kau linglung, masakah orang lain harus
ikut linglung?" jengek Giok-he.
"Aku linglung apa?" tanya Liong Hui dengan
melongo. "Masa kau lupa betapa bahaya keadaan kita,
musuh di tempat gelap dan kita di tempat yang
terang, tapi engkau sengaja gembar-gembor,
memangnya kau khawatir musuh tidak tahu
tempat kita berada dan sengaja memberitahukan
padanya" Huh masih berani kau tegur, kami
segala?" Liong Hui tercengang, akhirnya menunduk.
"Ai, memang pikiran Toaso jauh lebih cermat
daripada kita," ucap So-so dengan gegetun.
Rasa gugup Ciok Tim tadi sudah mulai tenang
kembali, namun air mukanya lantas bertambah
kecut. Terhadap Giok-he selain kagum juga timbul
rasa takutnya. Sungguh tak terpikir olehnya
seorang sudah berbuat dosa malah berani
mengomeli orang lain.
Terhadap Liong Hui timbul juga rasa kasihan
dan juga malunya, dilihatnya Liong Hui menunduk
sejenak, mendadak mendekatinya dan tepuk-tepuk
bahunya sambil berucap, "Maafkan kesalahanku."
Berdetak hati Ciok Tim, sahutnya dengan
gelagapan, "Meng ... mengapa Toako minta maaf
padaku" ...."
"Tadi aku salah mengomelimu," ujar Liong Hui
dengan menyesal. "Meski tidak kukatakan terus
terang, sebenarnya dalam hatiku agak curiga. Ai,
aku pantas mampus, masakah mencurigaimu."
Ciok Tim terkesima, darah panas bergolak hebat
dalam rongga dadanya, menghadapi lelaki yang
tulus, jujur dan berjiwa terbuka ini, sungguh ia
merayakan dirinya sendiri sedemikian kecilnya,
sedemikian kotor, dengan gelagapan ia menjawab,
"O, Toako ... aku ... aku yang ...."
Belum lanjut ucapannya, mendadak Giok-he
melompat maju dan berseru, "Di antara saudara
sendiri, jika terjadi salah paham, asal sudah jelas
persoalannya, apa pula yang perlu dikatakan lagi."
"Betul aku takkan banyak omong lagi," kata
Liong Hui sambil memegang pundak Ciok Tim, tapi
mendadak ia berteriak pula sambil memandang ke
belakang Ciok Tim dengan tercengang, "Hei, apa
Amanat Marga Karya Khu Lung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
ini?" Dengan kaget Ciok Tim berpaling, maka
terlihatlah pada batu karang di belakangnya itu
terukir gambar seorang perempuan berdandan
sebagai pendeta To, rambutnya disanggul tinggi di
atas kepala dan pakai tusuk kundai hitam, berdiri
tegak dengan tangan kiri lurus ke bawah dan jari
tengah dan telunjuk agak menjengkat ke atas.
Sedangkan tangan kanan memegang pedang
dengan ujung pedang agak serong ke bawah,
mukanya jelas serupa hidup, pakaiannya
dilukiskan berkibar serupa sedang menari.
Dipandang di tengah remang malam seperti
perempuan hidup berdiri di depanmu.
Di samping gambar terdapat pula beberapa baris
tulisan, waktu diamati, tulisan itu berbunyi: "Liong
Po-si, Kungfumu bertambah maju lagi. Akan tetapi
dapatkah kau patahkan juru seranganku ini"
Kalau dapat, maju lebih lanjut, jika tidak mampu,
segera kembali?"
Liong Hui mengawasi gambar itu sekian lama,
mendadak ia mendengus, "Huh, aku saja mampu
mematahkan jurus serangan ini, apalagi Suhu?"
"Nada tulisan ini sedemikian angkuh, tapi jurus
yang diperlihatkan ini tampaknya tiada sesuatu
yang luar biasa, jangan-jangan ada keajaiban di
balik tulisan ini," ujar Ciok Tim.
Tiba-tiba So-so menukas, "Jurus serangan yang
kelihatan biasa ini pasti mengandung keajaiban
yang tidak dipahami kita."
"Ya, setiap jurus serangan yang kelihatan biasa
saja sesungguhnya semakin lihai dan sukar
diduga," kata Giok-he, ia merandek sejenak lalu
menyambung dengan tersenyum, "Sudah sekian
lama kalian memandangnya, adakah kalian
melihat sesuatu keistimewaan pada gambar ini?"
Liong Hui memandang lagi beberapa kejap,
katanya, "Pedang terhunus dan siap menyerang,
seharusnya kaki pasang kuda-kuda yang tepat,
tapi kedua kaki Tokoh (pendeta perempuan agama
To) ini berdiri dengan ujung kaki menatap di
depan, sungguh janggal kuda-kudanya ini."
"Betul, inilah salah satu keistimewaannya," kata
Giok-he. Dada Liong Hui membusung terlebih tinggi,
wajah pun berseri-seri, sambungnya lagi, "Dia
berdandan sebagai Tokoh, tapi sepatu yang
dipakainya serupa sepatu orang lelaki, ini pun
sangat janggal."
"Dandanan tidak ada sangkut pautnya dengan
ilmu pedang, ini tidak masuk hitungan," ujar Giokhe
dengan tertawa.
"Mengapa tidak masuk hitungan, dandanan yang
tidak benar menandakan jiwanya tidak baik, ilmu
pedangnya juga pasti tidak mumi, ilmu pedang
yang tidak bersih mana dapat memperlihatkan
keampuhan dan mengalahkan musuh," kata Liong
Hui dengan serius.
"Baik, baik, boleh juga dihitung ...."
"Dengan sendirinya harus dihitung," kata Liong
Hui dengan mantap. So-so juga mengangguk, "Ya,
ilmu pedang yang tidak bersih, biarpun dapat
menjagoi dunia seketika juga tidak tercatat dalam
sejarah. Ucapan Toako memang beralasan."
"Memang betul," sambung Ciok Tim. "sejak dulu
hingga kini sudah banyak juga contohnya. Lihat
saja ilmu pedang perguruan Siau-lim dan Bu-tong
yang turun-temurun entah sudah berapa angkatan
dan sampai sekarang masih tetap dipuji.
Sebaliknya berbagai macam ilmu pedang yang
pemah menjagoi dunia persilatan karena kekejian
dan keganasannya, sampai sekarang hanya
namanya saja masih dikenal, namun bekasnya
sudah menghilang, ucapan Sumoay sungguh ...."
"Sudah cukup bicaramu?" mendadak Giok-he
memotong dengan kurang senang. Ciok Tim
melengak. Maka Giok-he menyambung lagi, "Sungguh aku
tidak mengerti dalam keadaan demikian dan di
tempat begini kalian bisa mengobrol iseng, kalau
mau mengobrol selanjutnya kan masih banyak
waktu, kenapa kalian mesti terburu-buru."
Muka So-so menjadi merah juga dan tanpa
terasa menunduk.
Dengan tersenyum lalu Giok-he berkata lagi,
"Kecuali kedua segi yang disebutkan Toako tadi ...."
"Tiga segi," sela Liong Hui.
"Baik, kecuali ketiga segi ini, apa lagi yang kalian
lihat?" tukas Giok-he dengan tertawa.
Ciok Tim mengangkat kepala, meski memandang
ke arah gambar, padahal pandangannya kabur
tidak melihat sesuatu.
Perlahan So-so bicara, "Kulihat titik yang paling
aneh terletak pada matanya, mata perempuan ini
terukir terpejam, padahal mana bisa jadi
memejamkan mata pada waktu bertempur dengan
orang?" Dia bicara tanpa mengangkat kepala, mungkin
karena hal ini sudah dilihatinya sejak tadi, hanya
sejauh ini belum dikemukakannya.
"Betapa pun memang Sumoay lebih cermat," ujar
Liong Hui dengan gegetun.
"Betul juga." kata Giok-he. "Semula aku pun
menganggap hal ini sangat aneh, tapi setelah
kupikirkan lagi, kurasa sebabnya dia memejamkan
mata sangat beralasan, bahkan merupakan titik
paling lihai daripada jurus serangannya ini."
"Mengapa begitu?" tanya Liong Hui dan Ciok Tim
berbareng. "Jurus serangannya ini mengutamakan
ketenangan, sebaliknya setiap orang persilatan
tahu Thian-liong-cap-jit-sik (tujuh belas gerakan
naga langit) perguruan kita mengutamakan
kedahsyatan serangan, terutama empat jurus
terakhir, banyak gerak perubahannya sehingga
lawan sukar menahannya. Tapi gambar orang
perempuan ini hanya meluruskan pedangnya ...."
"Karena pedangnya cuma bergerak lurus
sehingga lawan pun sukar mengetahui bagaimana
gerak lanjutannya," tukas So-so. "Sama halnya
orang menulis, jika pensilnya cuma menggores
satu garis, siapa pun tidak tahu apa yang akan
ditulisnya, tapi bila dia menggores melingkar atau
sesuatu awalan huruf, orang lantas tahu huruf apa
yang akan ditulisnya."
"Haha, meski sejak mula kutahu dalil ini, tapi
sukar untuk kujelaskan, setelah diuraikan
Sumoay, semuanya menjadi jelas, perumpamaan
Sumoay dengan menulis memang sangat tepat,"
kata Liong Hui dengan tertawa.
"Ya, Sumoay memang lebih pintar daripada
kalian," ujar Giok-he.
"Ah, Toaso ...." So-so menunduk malu.
"Tapi ingin kutanya padamu, adakah kau lihat
bagaimana gerak lanjutan dari pada pedangnya
ini?" tanya Giok-he.
So-so berpikir sejenak, jawabnya kemudian,
"Meski tidak banyak pengetahuanku, tapi menurut
hematku, gerak pedangnya ini dapat menimbulkan
tujuh gerak perubahan."
"Ketujuh gerak perubahan apa?" tanya Giok-he.
Ciok Tim dari Liong Hui juga sama pasang telinga.
"Jurus serangannya ini tak jelas berasal dari
ilmu pedang aliran mana," kata So-so, "Tapi jelas
dapat berubah menjadi jurus Gan-loh-peng-sah
(burung belibis hinggap di rawa) dari ilmu pedang
Bu-tong-pay."
"Betul, asal ujung pedangnya berputar ke kiri
akan jadilah jurus Gan-loh-pang-sah," tukas Giokhe.
Kening Liong Hui bekernyit rapat, dan
mengangguk. Lalu So-so menyambung lagi, "Dan bila ujung
pedangnya menyontek ke atas, akan jadi jurus Liujiging-hong (ranting pohon menyongsong angin)
dari Tiam-jong-pay. Kalau pergelangan tangannya
berputar ke bawah, jadilah jurus Kong-jiok-kaypeng
(burung merak membentang sayap) dari Gobipay." Bertutur sampai di sini, nadanya mulai
emosional. Giok-he tersenyum dan berkata, "Bicaralah
perlahan, tidak perlu tergesa."
So-so menarik napas, lalu menyambung,
"Kecuali itu, dapat juga berubah menjadi ...
menjadi jurus ...."
Di bawah cahaya bintang yang suram kelihatan
wajah Ong So-so berkerut-kerut, meringis
kesakitan. "He, Sumoay, ken ... kenapa?" tanya Ciok Tim
kaget. Dada So-so tampak berjumbul naik-turun,
setelah menarik napas, air mukanya mulai tenang
kembali, katanya, "O, tidak ... tidak apa-apa, cuma
... cuma dada agak sakit, sekarang sudah baik."
"Dan apa keempat gerak perubahan yang lain?"
tanya Giok-he dengan tersenyum.
"Jurus perubahan lain adalah Koay-hun-loanmoa
(memotong tali kusut dengan cepat) dari
Thian-san-pay, Giok-tiang-hun-po (pentung kemala
menembus ombak) dari Kun-lun-pay, Lip-coan-imyang
(memutar balik gelap menjadi terang) dari
Siau-lim-pay dan jurus Tho-li-ceng-jun (dua
saudara berebut rezeki) dari Sam-hoa-kiam-hoat
tinggalan pendekar pedang Sam-hoa-kiam-khek
dahulu." Air mukanya sudah tenang kembali, namun
sorot matanya masih menampilkan rasa sakit,
seperti enggan bertutur pula, tapi terpaksa
melanjutkan. Liong Hui menghela napas, katanya, "Sumoay,
sungguh tidak nyana pengetahuan ilmu silatmu
seluas ini, mungkin sebelum masuk perguruan kita
engkau sudah banyak belajar Kungfu perguruan
lain?" "Ah, mana ... tidak ...." sahut So-so dengan
gelagapan. "Mara tidak, aku tidak percaya," ujar Liong Hui.
Ia memandang sang istri dan berkata pula, "Aku
justru tidak melihat ada gerak perubahan-begitu,
apakah kau lihat?"
"Aku juga tidak," sahut Giok-he sambil
menggeleng, "aku cuma tahu kemungkinan akan
berubah menjadi jurus Gan-loh-peng-sah dari Butongpay dan Lip-coan-im-yang dari Siau-lim-pay,
selebihnya aku tidak dapat melihatnya.
Maklumlah, aku sendiri tidak pemah lihat Samhoakiam-hoat dan juga ilmu pedang dari Thiansanpay dan Tiam-jong-pay, dengan sendirinya
tidak tahu kemungkinan akan berubah pada jurus
serangan ilmu pedang tersebut."
Liong Hui menarik muka, dengan sorot mata
tajam ia tanya So-so, "Dari mana kau belajar ilmu
pedang sebanyak itu?"
"Ya, aku pun rada heran," sambung Giok-he.
Ciok Tim juga memandang So-so dengan penuh
tanda tanya. Wajah So-so kelihatan rada pucat
dengan sinar mata gemerdep seperti
menyembunyikan sesuatu rahasia.
Maka Giok-he berkata pula, "Pada waktu
Sumoay mengangkat guru aku sudah merasa
heran. Coba Toako, apakah ingat siapa yang
memasukkan Sumoay ke perguruan kita?"
"Ya, kutahu, yang memasukkan dia ialah Suma
Tiong-thian, pemimpin umum Ang-ki-piaukiok
(perusahaan mengawal panji merah) yang terkenal
dengan tombak besi dan panji merah menggetar
Tiongeiu (negeri tengah) itu," jawab Liong Hui.
"Betul," kata Giok-he. "Namun Sumacongpiauthau
juga tidak menjelaskan asal-usulnya,
Suhu hanya diberi tahu bahwa Sumoay adalah
putri seorang sahabatnya. Suhu adalah orang jujur
dan percaya penuh kepada sahabat sendiri, maka
tidak pemah bertanya tentang asal-usul Sumoay"
Meski senyuman tetap menghias wajahnya,
namun senyuman yang tidak bermaksud baik,
sorot matanya juga terkadang melirik Ciok Tim dan
lain saat melirik So-so.
Air muka So-so kelihatan pucat, jari tangan pun
rada gemetar. Dengan tersenyum Giok-he bicara pula, "Sekian
tahun kita berkumpul, hubungan kita laksana
saudara sekandung, akan tetapi terhadap keadaan
Sumoay sekarang mau tak mau aku ...."
"Meski aku tidak dapat menikah denganmu,
asalkan selanjutnya kita dapat bertemu setiap saat
kan sama saja," mendadak So-so menukasnya
seperti bergumam.
Serentak berubah air muka Giok-he dan Ciok
Tim, tanpa terasa Ciok Tim menyurut mundur
selangkah.
Amanat Marga Karya Khu Lung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Apa katamu, Sumoay?" tanya Liong Hui dengan
bingung, "Oo, tidak ... aku omong tanpa sengaja ...." jawab
So-so dengan tergagap.
"Dia tidak omong apa-apa," sambung Giok-he
dengan tertawa sambil melangkah maju. Segera
So-so menyurut mundur.
Tentu saja Liong Hui sangat heran, "Sebenarnya
ada apa?" Mendadak Giok-he berkata dengan tertawa, "Ai,
kita memang terlalu, pekerjaan penting tidak kita
urus, sebaliknya mengobrol iseng di sini. Tentang
asal-usul Sumoay, kalau Suhu tidak tanya dan
tidak khawatir, kenapa kita mesti merisaukannya.
Kan banyak murid Sin-liong-bun yang belajar
dengan membekal kepandaian, Kungfu apa yang
pemah dilatih Sumoay sebelum masuk perguruan
kan tidak menjadi soal?"
"Aku kan tidak bilang ada soal, cuma ...." Liong
Hui tambah bingung.
"Ai, untuk apa kau bicara lagi," omel Giok-he.
"Jika asal-usul Sumoay kurang beres, berdasarkan
kehormatan pribadi Suma-congpiauthau pun jauh
lebih dari cukup untuk dipercayai."
"Namun ...."
"Namun apalagi" Ayolah kita mencari Suhu!"
seru Giok-he sambil menarik tangan So-so dan
diajak menuju ke balik batu karang sana.
Diam-diam Ciok Tim kebat-kebit, tidak kepalang
kusut pikirannya. Sekarang diketahuinya bahwa
apa yang dibicarakannya dengan Kwe Giok-he tadi
tela Dewi Ular 2 Kekaisaran Rajawali Emas Pendekar 4 Alis I Karya Khu Lung Bentrok Rimba Persilatan 3
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama