Ceritasilat Novel Online

Elang Terbang Di Dataran Luas 3

Elang Terbang Di Dataran Luas Karya Tjan Id Bagian 3


endekati saat ajalnya.
Kecuali tabib yang bertanggung jawab menyembuhkan
mereka, siapa pun enggan memasuki tenda laknat itu.
Mungkinkah sang pembunuh telah melarikan diri masuk
ke dalam tenda itu"
Pancapanah tidak bertanya lagi, dia memang tak perlu
bertanya, bagaikan anak panah terlepas dari busurnya dia
telah meluncur ke depan.
Siau-hong segera menyusul dari belakang.
Mereka memasuki tenda itu hampir bersamaan waktu,
pada saat yang sama pula mereka jumpai dua orang.
Mimpi pun Siau-hong tak pernah menyangka kalau dia
bakal menyaksikan kedua orang itu di dalam tenda.
Bahkan nyaris dia tak mempercayai apa yang telah
dilihat sepasang matanya.
Ternyata orang pertama yang dia saksikan adalah Pova,
Pova yang seharusnya menunggu kedatangannya di dalam
tenda. Orang kedua yang dijumpainya tak lain adalah Po Eng!
Po Eng berdiri di sana dengan tenang, sikapnya masih
dingin, kaku dan sadis, pakaian yang dikenakan masih
berwarna putih salju.
Pova tertelungkup setengah melingkar di hadapannya,
sinar kaget, ngeri, takut dan horor yang luar biasa terpancar
dari balik matanya yang indah.
Kedua orang itu tidak seharusnya berada di dalam tenda,
namun kenyataan mereka berada di sana.
Sang pembunuh telah melarikan diri masuk ke dalam
tenda ini, sedang tenda itu tiada jalan mundur yang lain,
berarti salah satu di antara mereka berdua pastilah si
pembunuh itu. Lalu siapakah di antara mereka berdua yang telah
membunuh orang"
Dengan pandangan dingin Siau-hong menatap Po Eng
sekejap, kemudian setelah menghela napas panjang ujarnya,
"Aku pun tak menyangka akan dirimu, selama ini aku
selalu menganggap kau benar-benar tak pernah membunuh
orang." "Di dunia yang luas ini memang banyak terdapat
kejadian yang sama sekali tak terduga," jawab Po Eng tanpa
perubahan mimik wajah, "Lantakan emas murni memang
dapat membuat orang melakukan tindakan yang dia sendiri
pun tak pernah menyangka."
"Aku tahu, kau pun sedang mencari tumpukan emas itu,
tapi kau .." Ia tidak melanjutkan kata-katanya.
Saat itu Pova telah menubruk ke dalam pelukannya,
dengan air mata berderai dia berbisik, "Bawa aku pergi,
kumohon, bawalah aku pergi dari sini!"
"Aku pasti akan membawamu pergi, kau tidak
seharusnya datang ke tempat ini," sahut Siau-hong sambil
membelai rambutnya yang lembut.
Tapi sayang ia telah datang, datang ke tempat itu.
"Mengapa kau bisa muncul di sini?" mau tak mau Siauhong
harus bertanya.
"Aku tak tahu," dengan air mata belinang Pova
menggeleng, "Aku benar-benar tak tahu, aku hanya ingin
secepatnya pergi dari sini."
"Kau tak boleh pergi!" tiba-tiba Pancapanah buka suara,
kini suaranya tidak selembut tadi, "Siapa pun tak boleh
membawanya pergi."
"Kenapa?" tanya Siau-hong.
"Karena orang yang menginginkan orang lain
mengucurkan darah segar, dia sendiri pun harus bermandi
darah." "Siapa membunuh, dia harus mati, dengan darah
membayar darah!" Begitulah peraturan yang berlaku dalam
dunia persilatan, terlepas kau berada di daratan Tionggoan,
di wilayah Kang-lam atau pun berada di tengah gurun pasir,
peraturan tetap peraturan dan harus ditaati.
Siau-hong menggenggam tangan Pova erat-erat, serunya,
"Kau seharusnya dapat melihat, bukan dia pembunuhnya!"
"Kau dapat melihatnya?" Pancapanah balik bertanya,
"Apa yang telah kau lihat?"
Tiba-tiba dia mengalihkan pokok pembicaraan, katanya
lagi, "Semua orang, semua barang dagangan yang berada di
sini berasal dari satu perusahaan dagang."
"Perusahaan dagang mana?"
"Eng-ki!"
"Eng-ki?" sepasang tangan Siau-hong mulai terasa
dingin, "Eng dari kata hui-eng, Elang terbang?"
Eng dari hui-eng si elang terbang tak lain adalah Eng dari
nama Po Eng. Dengan pandangan terkesiap dia menatap wajah Po Eng,
tegurnya, "Jadi kau adalah Tongcu mereka?"
"Betul, dia adalah majikan yang menyewa kami!" sahut
Pancapanah, "Kami bersedia menampungmu pun tak lain
gara-gara dia. Kalau tidak, kemungkinan besar tadi kau
sudah mati di ujung anak panahku."
Sekujur badan Siau-hong terasa dingin membeku, untung
saja tak sampai menggigil.
Kembali Pancapanah berkata, "Sekalipun ingin
menelusuri jejak emas murni itu, tak nanti ia akan
menggeledah barang bawaan rombongan sendiri, sekalipun
barang bawaan sendiri mau digeledah, rasanya dia tak perlu
membunuh orang."
Kemudian setelah berhenti sejenak, tanyanya dengan
dingin, "Sekarang seharusnya kau sudah tahu bukan siapa
yang telah melakukan pembunuhan ini?"
Tangan Pova terasa jauh lebih dingin dari tangan Siauhong,
bahkan air matanya terasa jauh lebih dingin dari
tangannya. Dia peluk tubuh Siau-hong erat-erat, sekujur tubuhnya
gemetar keras. Padahal perempuan ini begitu lemah lembut, begitu
pasrah, mungkinkah gadis semacam dia adalah seorang
pembunuh berdarah dingin"
Siau-hong tidak percaya.
Biar sampai mati pun Siau-hong tak bakal mempercayai
akan kenyataan ini.
"Aku hanya tahu orang yang melakukan pembunuhan
itu pasti bukan dia!" kata Siau-hong sambil memeluk tubuh
gadis itu makin kencang, "Apalagi tak ada yang
menyaksikan sendiri dia melakukan pembunuhan itu."
"Jadi kau baru mau percaya bila sudah menyaksikan
dengan mata kepala sendiri?" tanya Pancapanah.
Tiba-tiba Po Eng menghela napas panjang, selanya,
"Kendatipun kau telah menyaksikan dengan mata kepala
sendiri pun tak bakal percaya."
Bila Siau-hong adalah seseorang yang memakai akal
sehat, bila dia seorang yang bisa memilah masalah dan
mengambil kesimpulan secara sehat, sekarang seharusnya
semua masalah sudah jelas.
Kenyataan dengan jelas, sudah terpampang di depan
mata. Wi Thian-bong sekalian sejak awal rupanya sudah tahu
kalau Po Eng adalah majikan rombongan saudagar ini, dia
selalu mencurigai Po Eng menggunakan rombongan
saudagar ini sebagai kamuflase untuk mengelabui niatnya
mengangkut emas lantakan sebesar tiga puluh laksa tahil
yang telah dirampok.
Namun mereka tak berani mengganggu rombongan besar
ini. Hampir semua orang persilatan tahu kalau ilmu silat
yang dimiliki Po Eng tiada taranya, bahkan selama ini
belum pernah ada orang yang mampu mengalahkannya.
Sedangkan Dewa panah lima bunga Pancapanah adalah
jago nomor wahid yang telah menggetarkan luar
perbatasan, ksatria sejati idola bangsa Tibet.
Wi Thian-bong bukan saja menaruh perasaan jeri dan
takut menghadapi kedua orang ini, bahkan dia pun harus
meningkatkan kewaspadaannya menghadapi setiap orang
dalam rombongan ini.
Sebab kemungkinan besar setiap orang yang berada
dalam rombongan ini adalah begal kucing, jika benar-benar
terjadi pertarungan sengit, sudah pasti mereka tak punya
keyakinan untuk meraih kemenangan.
Untuk menghindari hal-hal yang tidak diinginkan,
terpaksa mereka melakukan penyelidikan secara diamdiam,
mereka ingin mencari tahu apakah emas murni itu
berada di dalam bungkusan barang dagangan yang dibawa
rombongan ini. Sebetulnya mereka ingin memperalat Siau-hong untuk
melakukan tugas ini.
Siapa tahu Siau-hong justru merupakan seorang yang tak
sayang dengan nyawa sendiri, karenanya terpaksa mereka
harus mencari akal lain.
Untuk melacak apakah emas murni itu benar-benar
berada dalam bungkusan barang dagangan itu, mereka
harus mengirim seseorang untuk menyelinap dan membaur
ke dalam rombongan ini.
Orang itu harus seseorang yang tak gampang menarik
perhatian, seseorang yang tak gampang menimbulkan
kecurigaan orang lain.
Selain harus pandai berkamuflase hingga sukar terlacak
orang, dia harus memiliki gerakan tubuh selincah kuning,
seganas patukan ular berbisa, semantap seekor gajah
raksasa, selain harus memiliki kecantikan yang lebih manis
dari madu, memiliki kelembutan melebihi air dan sanggup
menaklukkan hati Siau-hong.
Karena Siau-hong satu-satunya jembatan penghubung
untuk bisa menyusup masuk ke dalam rombongan ini.
Ternyata mereka berhasil menemukan manusia semacam
ini. Pova! Bila Siau-hong masih memiliki sedikit kesadaran,
sekarang dia seharusnya sudah dapat melihat duduk perkara
yang sebenarnya.
Tapi sayangnya Siau-hong bukan jenis manusia
semacam itu. Dia bukannya tak memiliki otak dan kecerdasan, hanya
saja kecerdasan otaknya kerap kali terhanyut dan tenggelam
oleh perasaan emosi.
Dia bukannya tak bisa menduga sampai ke situ, hanya
saja pada hakikatnya dia menampik untuk berpikir begitu.
Pada dasarnya dia menampik untuk mengakui bahwa
Pova sang pembunuh.
Tentu saja Pancapanah pun dapat melihat akan hal ini.
"Tak ada orang melihat dia melakukan pembunuhan, tak
ada orang yang bisa jadi saksi untuk membuktikan dia telah
membunuh orang," kata Pancapanah perlahan, "Akan
tetapi kau pun sama saja tak bisa membuktikan kalau dia itu
tidak bersalah."
Siau-hong segera memahami maksud hatinya, "Apakah
kau ingin menggunakan cara tadi untuk membuktikan
benar salahnya dia?" ia bertanya.
"Benar," Pancapanah membenarkan, "Anak panah dari
dewa lima bunga tak bakal melukai orang yang tidak
bersalah."
Siau-hong segera tertawa dingin.
"Sayangnya kau sama sekali bukan Dewa panah lima
bunga yang sesungguhnya, kau tak lebih hanya manusia,
pikiran dan hatimulah yang memutuskan apakah dia
berdosa atau tidak."
"Untuk kejadian kali ini, apakah kau mempunyai cara
lain yang jauh lebih baik?" tanya Pancapanah.
Tentu saja Siau-hong tidak memiliki cara lain yang lebih
baik. Di dunia ini sudah tak ada orang lagi yang bisa
memikirkan cara apa pun untuk membuktikan kalau
perempuan itu tidak bersalah.
Tiba-tiba Pova meronta lepas dari pelukan Siau-hong,
katanya dengan air mata bercucuran, "Walaupun kau
pernah berkata, selama dirimu masih hidup maka tak akan
kau biarkan orang lain menganiayaku, namun sejak awal
pun aku tahu bahwa janjimu itu tak mungkin bisa kau
lakukan, setiap persoalan dapat berubah, setiap orang pun
dapat berubah."
Kemudian sambil menyeka air mata yang berlinang,
lanjutnya, "Oleh sebab itu mulai sekarang kau sudah dapat
melupakan semua janjimu itu, biarkan mereka
membunuhku, biarkan aku mati!"
Dia masih tetap begitu lembut dan lemah, begitu
penurut, dia masih menggantungkan keselamatannya pada
perlindungan Siau-hong.
Kini dia telah menyerahkan seluruh hidupnya, tubuhnya
kepada Siau-hong, ia rela mati karena tak ingin
menyusahkan Siau-hong.
Biarpun tak seorang pun yang menyaksikan dia telah
melakukan pembunuhan, namun setiap orang yang hadir
dengan jelas mengetahui akan apa yang telah terjadi.
Tiba-tiba terdengar Po Eng menghela napas panjang.
"Biarkan dia pergi!" katanya.
"Kau akan melepaskan dia begitu saja?" tanya
Pancapanah amat tercengang.
"Bukan hanya membebaskan dia begitu saja," terus Po
Eng dengan nada dingin, "Kau pun harus memberinya
sekantung air, sekantung rangsum, dan seekor kuda."
Kemudian dengan hambar tambahnya, "Berikan seekor
kuda tercepat untuknya, aku ingin dia pergi dari sini
secepatnya, makin cepat semakin baik."
Pancapanah tidak bicara apa-apa lagi.
Dia memang selalu tunduk kepada Po Eng, seperti orang
lain tunduk kepadanya.
Siau-hong pun tidak bicara lagi, setiap tindakan yang
dilakukan Po Eng selalu membuat dia tak mampu bicara
apa-apa lagi. Tanpa mengucapkan sepatah kata pun dia menarik
tangan Pova dan membalikkan badan.
Tiba-tiba Po Eng berkata lagi, "Biarkan dia pergi, kau
tetap tinggal di sini."


Elang Terbang Di Dataran Luas Karya Tjan Id di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Aku tetap tinggal di sini?" Siau-hong berpaling, "Kau
minta aku tetap tinggal di sini?"
"Bila kau ingin aku membebaskan dia, maka kau harus
tetap tinggal di sini!"
"Inikah syaratmu?"
"Benar!" jawaban Po Eng singkat tapi tegas, hal ini sudah
merupakan keputusannya yang paling akhir, tak seorang
pun dapat mengubah keputusannya itu.
Siau-hong sangat memahami keadaan itu, maka dia pun
melepas genggaman Pova.
"Asal aku tidak mati, suatu ketika pasti akan datang
mencarimu, aku pasti dapat menemukan dirimu."
Itulah perkataan terakhir yang dia sampaikan kepada
Pova, kecuali ucapan itu, apa lagi yang bisa dia katakan"
Pova tidak mengucapkan sepatah kata pun, dengan
mulut membungkam ia berlalu dari sana.
Dia tidak berkata apa-apa lagi, pergi dengan mulut
membisu. Siau-hong pun tidak bergerak, dia hanya mengawasi
perempuan itu keluar dari sana, mengawasi bayangan
punggungnya yang ramping dan lemah lembut dengan
pandangan tak berkedip.
Dia berharap perempuan itu berpaling lagi
memandangnya, tapi dia pun takut melihat perempuan itu
berpaling. Seandainya ia berpaling, kemungkinan besar dia akan
menerjang keluar, tanpa mempedulikan apa pun yang bakal
terjadi, dia ikut pergi dari situ bersamanya.
Sayang sekali ia tidak berpaling.
Pancapanah pun telah pergi dari situ, sesaat sebelum
meninggalkan tempat itu tiba-tiba dia menyampaikan
sepatah kata yang bermakna sangat mendalam kepada Siauhong,
"Bila aku jadi kau, aku pun akan melakukan hal yang
sama." Perkataannya sama sekali tidak mengandung nada
sindiran atau ejekan, "Perempuan semacam dia memang
tak banyak jumlahnya."
Ketika hampir keluar dari dalam tenda, kembali dia
berpaling sambil menambahkan, "Tapi bila aku adalah kau,
di kemudian hari aku tak bakal mau bertemu lagi
dengannya."
Sepasang tangan Siau-hong yang mengepal kencang
perlahan-lahan mengendor kembali, kemudian dengan
gerakan lamban dia membalikkan badan, berhadapan
dengan Po Eng. Dia ingin bertanya kepada orang itu, "Kalau memang
kau bersedia membebaskan dia, kenapa pula harus
menahan diriku?"
Namun pertanyaan itu tak sampai diutarakan.
Sepeninggal Pova dan Pancapanah, sikap Po Eng pun
tiba-tiba berubah sama sekali.
Tatkala Siau-hong berhadapan dengannya, ia telah roboh
terkapar di atas tanah, terkapar di atas kasur empuk yang
berlapiskan kulit. Belum pernah Siau-hong menyaksikan dia
begitu lelah dan lemah.
Parasnya pucat-pias tanpa rona darah, namun di atas
pakaiannya yang berwarna putih salju telah dibasahi darah
segar, noda darah mengotori seluruh dadanya, hanya selisih
beberapa inci dari hulu hatinya.
"Kau terluka?" teriak Siau-hong, "Mengapa kau bisa
terluka?" Po Eng tertawa getir, "Asal dia manusia, tentu saja dapat
terluka, jika ada sebilah pedang tajam menghujam dadamu,
siapa pun pasti akan menderita luka cukup parah."
Siau-hong semakin terkesiap.
"Orang persilatan mengatakan bahwa kau tak pernah
terkalahkan, aku pun tahu, kau memiliki beratus kali
pengalaman pertarungan sengit, namun belum pernah kalah
walau satu kali pun."
"Setiap masalah, setiap persoalan pasti ada kesatu."
"Siapa yang telah melukaimu?"
Sebelum Po Eng sempat menjawab, Siau-hong telah
teringat akan seseorang, bilamana ada orang yang sanggup
melukai Po Eng, sudah pasti manusia itulah orangnya.
Jago pedang tanpa nama, pedang tanpa perasaan.
"Jadi kau telah bertarung melawannya?" Siau-hong
segera bertanya.
Lama sekali Po Eng termenung, kemudian perlahanlahan
ia berkata, "Aku pernah bertemu dengan tujuh jago
pedang paling tersohor di kolong langit, meskipun belum
pernah bertarung dengan mereka, namun aku pernah
menyaksikan ilmu pedang yang mereka miliki."
Setelah menghela napas panjang, terusnya, "Di antara
mereka, ada yang sudah tua, ada yang hidup terlalu royal,
ada yang ilmu pedangnya sudah mundur, tujuh orang jago
pedang yang paling tersohor waktu itu, kini kehebatannya
telah memudar, sudah menjadi masa lampau, oleh sebab itu
aku tak pernah bertarung melawan mereka, karena aku
tahu, kemampuanku pasti dapat mengalahkan mereka."
Perkataannya itu bukan sebuah jawaban, maka Siauhong
kembali bertanya, "Bagaimana dengan dia?"
Tentu saja Po Eng juga tahu siapa yang dimaksud "dia"
oleh Siau-hong.
"Aku telah bertarung melawannya," akhirnya Po Eng
menjawab, "Aku berani jamin, di antara tujuh jago pedang
paling tersohor, tak satu pun sanggup menghadapi sebuah
tusukannya...."
Tak disangkal, tusukan itulah yang telah melukai Po
Eng... "Selama hidup belum pernah kujumpai ilmu pedang
semacam ini, bahkan membayangkan pun belum pernah,"
perlahan-lahan Po Eng melanjutkan, "Aku hanya bisa
melukiskan tusukan pedangnya itu dengan beberapa patah
kata...." "Perkataan apa?"
"Pasti membunuh! Pasti menang! Pasti mati!"
"Tetapi kau belum mati," Siau-hong berusaha
menghiburnya, seakan juga sedang menghibur diri sendiri,
"Aku dapat melihat, kau tak bakal mati!"
Po Eng tertawa, di balik suara tawanya penuh
mengandung nada ejekan dan sindiran, katanya, "Mungkin
saja aku menahanmu karena aku ingin kau menemaniku di
sini, melihat aku mati, karena aku pun pernah berada di
sampingmu, menunggu saat kematianmu."
Terkadang sindiran pun merupakan semacam kepedihan,
suatu kepedihan hanya bisa disampaikan dengan nada
sindiran. Siau-hong sangat memahami hal itu.
Kecuali terhadap perasaan sendiri, biasanya dia gampang
memahami persoalan lain.
Perlahan-lahan dia duduk, duduk di samping Po Eng.
"Aku akan menunggu," katanya, "Bukan menunggu saat
kematianmu tapi menunggu saat kau berdiri."
Matahari yang terik kembali muncul di tengah angkasa,
namun suasana dalam tenda justru gelap dan dingin.
Sudah cukup lama Po Eng berbaring sambil
memejamkan mata, entah dia sudah tertidur atau tidak,
sampai lama kemudian ia baru membuka kembali matanya,
menatap Siau-hong dan berkata, "Ada dua hal aku harus
memberitahukan kepadamu."
"Katakan!"
"Si jago pedang tanpa nama itu sesungguhnya bukan tak
bernama, dia bermarga Tokko bernama Tokko Ci, bukan Ci
tergila-gila karena cinta, tapi tergila-gila pada pedang," ujar
Po Eng sambil menghela napas, "Oleh karena itu kau tak
boleh bertarung melawannya, orang yang tergila-gila karena
cinta pasti akan mati di ujung pedang orang yang tergilagila
karena pedang. Dalam hal ini, kau tak bisa tidak harus
mempercayainya."
"Apa masalah yang kedua?" Siau-hong kembali bertanya.
Kembali Po Eng termenung sampai lama sekali sebelum
menjawab, "Kau adalah seorang gelandangan, ada
gelandangan yang punya banyak emas, ada gelandangan
yang banyak bercinta, ada gelandangan yang suka tertawa,
ada pula gelandangan yang suka menangis, walaupun
begitu, ada satu kemiripan yang dimiliki setiap
gelandangan."
"Kemiripan apa?"
"Perasaan hampa," sahut Po Eng, "Hidup menyendiri,
kesepian, dan kehampaan."
Setelah berhenti sejenak, perlahan-lahan lanjutnya lagi,
"Oleh karena itu, bila seorang gelandangan dapat
menemukan seseorang yang dianggap dapat membuat
dirinya tidak merasa kesepian lagi, maka keadaan itu ibarat
seseorang yang tenggelam dalam air tiba-tiba berhasil
memegang sebatang balok kayu, biar sampai mati pun
enggan lepas tangan. Sementara apakah balok kayu itu
dapat membawanya kembali ke tepian atau tidak, baginya
tak peduli, karena dalam hatinya sudah keburu muncul
suatu perasaan aman dan tenteram, bagi kaum
gelandangan, perasaan tenteram semacam ini sudah lebih
dari cukup."
Tentu saja Siau-hong memahami maksudnya.
Apa yang dia katakan tak lain adalah penderitaan Siauhong
yang selama ini selalu tersembunyi di dasar hatinya,
penderitaan yang tak pernah berani disentuh olehnya.
Seorang diri dengan sebilah pedang berkelana dalam
dunia persilatan, kebebasan hidup seorang gelandangan
tampak begitu menggairahkan, begitu mengundang decak
kagum banyak orang.
Karena selamanya orang lain tak bakal tahu kalau
perasaan mereka yang sesungguhnya adalah kehampaan
dan penderitaan.
Kembali terdengar Po Eng berkata, "Akan tetapi balok
kayu yang berhasil kau tangkap itu terkadang bukan saja tak
dapat membawamu menuju ke tepian, sebaliknya malah
bisa membuat kau tenggelam makin cepat, oleh sebab itu di
saat harus lepas tangan, kau harus segera melepasnya."
Sepasang kepalan Siau-hong yang semula menggenggam
kencang perlahan-lahan mengendor kembali.
"Mengapa kau harus menyampaikan kata-kata semacam
itu kepadaku?" tanyanya.
"Karena kau adalah sahabatku."
Sahabat" Ya, sahabat!
Mendengar perkataan semacam itu muncul dari mulut
Po Eng, Siau-hong betul-betul merasa terkesiap, bahkan
jauh lebih terkesiap dibandingkan ketika ia melihat noda
darah di pakaiannya yang berwarna putih bersih, seketika
itu juga ia merasakan darah panas menggelora dalam
dadanya, menyumbat tenggorokannya, membuat dia tak
sanggup berkata-kata.
Po Eng telah duduk, dari sebuah kantung kulit kambing
yang tergeletak di samping tubuhnya dia mengeluarkan
sebotol arak tawar yang kecut tapi terasa pedas.
"Inilah arak Ku-shia-sau dari jalan utara menuju gunung
Thian-san," katanya, "Arak semacam ini jauh lebih keras
dan memabukkan dibandingkan arak yang terbuat dari
sorgum." Diteguknya dulu satu tegukan, kemudian ia serahkan
kantung kulit kambing itu ke tangan Siau-hong.
"Apakah kau takut mabuk?" tantangnya.
"Hahaha, kalau mati pun tak takut, kenapa mesti takut
mabuk?" Secercah senyuman terlintas dari balik mata Po
Eng yang tajam, tiba-tiba saja ia mulai bersenandung:
"... lelaki harus ternama, Arak harus memabukkan.
Berbincang setelah mabuk, Isi hati pun semua terpampang."
Ooo)d*w(ooO BAB 8. JAGO BERILMU TINGGI
Itulah potongan bait syair Mira Lesepa seorang penyair
Tibet, walaupun amat sederhana, singkat, dan terdiri dari
beberapa huruf saja, namun terkandung perasaan campukaduk
yang sukar diurai dengan perkataan, macam golakan
darah panas dalam tubuh seorang lelaki.
Po Eng tidak mati, Siau-hong pun belum pergi.
Rombongan besar itu kembali melanjutkan perjalanan,
akhirnya tibalah mereka di gunung Toa-kit-leng, lebih
kurang dua ratus lima puluh li dari tanah suci Lhasa.
Langit sangat cerah, hanya setitik awan tipis yang
melayang di udara nan biru, di kejauhan sana terlihat
puncak bukit yang berlapiskan salju, perasaan Siau-hong
pun nampaknya jauh lebih cerah dan riang.
Akan tetapi dia sama sekali tak dapat melupakan Pova.
Agaknya Po Eng mengetahui akan hal ini.
"Masih ada satu hal lagi yang perlu kuberitahukan
kepadamu," suatu hari ia berkata kepada Siau-hong,
"Terserah mau percaya atau tidak, aku tetap harus
mengatakannya kepadamu."
"Masalah apa?"
"Pova berarti salju, salju yang telah membeku dan
mengeras bagai batu, warna salju adalah putih keperakperakan...."
Setelah berhenti sejenak, Po Eng baru kembali
melanjutkan, "Pova sebenarnya tak lain adalah Sui-gin, si
Air raksa yang sebenarnya!"
Siau-hong sama sekali tidak menunjukkan reaksi.
Ia sedang menerawang lapisan salju di puncak bukit di
kejauhan sana, pemuda itu seolah tidak mendengar apa
yang sedang dibicarakan Po Eng.
Kembali Po Eng berkata, "Sebelum tumpukan emas
murni yang hilang ditemukan kembali, tak nanti Wi Thianbong
akan melepaskan diriku. Putra yang telah mati
selamanya tak pernah bisa hidup kembali, Lu-sam pun pasti
tak akan melepaskan dirimu."
Setelah berhenti sejenak, perlahan lanjutnya, "Kini,
kelompok panah kita sudah kehilangan setengah
anggotanya, mereka tak nanti akan membiarkan kita tiba di
kota Lhasa dengan selamat."
Selama dua malam belakangan, setiap kali rombongan
mereka sedang berhenti untuk beristirahat, lamat-lamat
Siau-hong seakan mendengar ada suara derap kaki kuda
yang ramai di kejauhan sana.
Apakah Wi Thian-bong sedang mengumpulkan anak


Elang Terbang Di Dataran Luas Karya Tjan Id di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

buahnya, bersiap untuk melakukan pertempuran terakhir
melawan mereka"
"Di depan sana terdapat sebuah celah sempit, orang
Tibet menyebutnya sebagai sumbatan leher," kata Po Eng,
"Bila perhitunganku tak meleset, saat ini mereka pasti
sedang menanti kedatangan rombongan kita di sana!"
'Sumbatan leher'. Cukup mendengar namanya, Siauhong
sudah dapat membayangkan betapa berbahaya dan
ngerinya celah sempit itu.
Dengan empat penjuru tertutup dinding curam yang
menjulang ke angkasa, andaikata ada musuh bersembunyi
dan melakukan sergapan di sana, dapat dipastikan tak akan
banyak anggota rombongan mereka yang bisa lolos dalam
keadaan selamat. Apalagi musuh yang bersembunyi di sana
adalah jago-jago inti kelompok pimpinan Wi Thian-bong.
"Kau siap menerjang ke sana?" tanya Siau-hong dengan
perasaan kuatir.
Po Eng tertawa dingin.
"Mereka memang berharap aku menerjang melalui celah
itu, kenapa aku harus memenuhi harapan mereka?"
"Selain celah sempit itu, apakah masih ada jalan lain
yang bisa dilewati?" kembali Siau-hong bertanya.
"Tidak ada, hanya saja kita bukan harus melewati tempat
itu." "Lalu bagaimana caramu melewatinya?"
"Menunggu, mereka bisa menunggu kedatangan kita,
kita pun dapat menunggu kedatangan mereka, menunggu
sampai mereka datang sendiri."
"Mereka pasti akan datang sendiri?"
"Pasti, bahkan dalam waktu singkat akan datang, karena
kita bisa menunggu, sementara mereka tidak."
"Mengapa?"
"Anak buah yang mereka kumpulkan pasti sedang berada
dalam keadaan kenyang dan semangat tempur paling
puncak. Mereka telah memperhitungkan pertarungan ini
pasti dapat mereka menangkan, begitu berhasil dengan
pertarungan ini, mereka akan mulai pesta-pora
merayakannya, oleh sebab itu mereka pasti tidak membekal
rangsum dan air dalam jumlah banyak, sebab dalam
anggapan mereka, selesai pertarungan ini, rangsum dan air
yang kita bawa akan menjadi milik mereka."
Setelah mendengus, kembali Po Eng melanjutkan dengan
nada dingin, "Oleh sebab itu mereka tak bisa menunggu,
bila kita tidak lewat, merekalah yang pasti datang mencari
kita." "Kemudian?"
"Aku telah menurunkan perintah untuk mendirikan
perkemahan di tempat tiga puluh li dari celah sempit itu,"
sahut Po Eng, "Sewaktu mereka tidak melihat kedatangan
kita, semangat tempurnya pasti akan melemah, apalagi
harus menempuh perjalanan sejauh tiga puluh li untuk
mencari kita, sudah pasti kekuatannya akan makin lemah.
Nah, di sanalah kita sambut kehadiran orang-orang itu,
menunggu mereka datang mengantar kematian...."
Bukan saja ia bisa melihat secara tepat, bahkan
memperhitungkan segala sesuatunya dengan tepat, bukan
hanya bisa mencabut pedang melukai musuh dalam jarak
lima langkah, bahkan dapat membuat strategi perang yang
jauh lebih unggul daripada menempuh jarak ribuan li.
Mau tak mau Siau-hong harus mengakui bahwa dia
memang seorang tokoh silat berbakat aneh yang jarang
dijumpai dalam dunia persilatan.
Namun ada satu hal yang membuat Siau-hong tetap
kuatir. "Sekalipun mereka datang kemari, belum tentu
kedatangan mereka hanya untuk mengantar nyawa."
"O, ya?"
"Kalau memang Wi Thian-bong sudah bertekad akan
menangkan pertarungan ini, sudah pasti dia akan
mengerahkan segenap kekuatan inti yang dimilikinya,
ditambah Tokko Ci dan Siu-hun-jiu, ada berapa orang di
pihak kita yang sanggup mengungguli beberapa orang itu?"
Kembali terlihat darah segar meleleh membasahi baju
putih yang dikenakan Po Eng, selewat pertarungan nanti,
entah ada berapa banyak darah segar lagi yang akan
menodai baju putihnya.
Namun sikap dan penampilannya tetap tenang, tiba-tiba
ujarnya, "Aku tahu, terlepas seberapa besar kesempatan kita
dalam pertarungan ini, kau tak bakal pergi meninggalkan
aku. Kalau tidak, kau pun tak perlu menguatirkan
keselamatanku."
Lagi-lagi Siau-hong merasakan hawa panas menggelora
dalam dadanya. Pengertian dari seorang sahabat selalu membuatnya lebih
terharu dibanding persoalan apa pun.
Po Eng menatapnya, sinar mata yang dingin, sadis dan
tajam tiba-tiba berubah lebih lembut dan halus, katanya,
"Aku telah terluka, anak buah yang kita miliki pun tidak
banyak, tapi kita bukannya sama sekali tak punya
kesempatan, karena kita memiliki sebuah benda yang tak
mungkin dimiliki Wi Thian-bong sekalian."
Setelah berhenti sejenak, perlahan-lahan lanjutnya, "Kita
memiliki sahabat yang siap sehidup semati, sahabat yang
tak akan melarikan diri di saat bahaya maut datang
mengancam."
"Apa pun yang bakal terjadi, kali ini kau harus sisakan
Tokko Ci untuk diriku!" teriak Siau-hong tiba-tiba.
Kembali Po Eng menatapnya cukup lama, sekali lagi
secercah senyuman melintas dari balik sorot matanya.
"Kali ini mungkin Tokko Ci tak bakal datang."
"Kenapa?"
"Kau pasti suka juga mendengar perkataan yang paling
senang diucapkan Pancapanah."
Tentu saja Siau-hong tahu apakah perkataan itu.
Bila ingin orang lain mengucurkan darah, diri sendiri
pun harus mengucurkan darah.
"Kuakui Tokko Ci adalah jago pedang yang tiada duanya
di kolong langit," ujar Po Eng, "Tapi bila dia ingin aku
mengucurkan darah, dirinya pun harus membayar mahal
untuk itu."
"Jadi dia pun terluka?" Siau-hong segera bertanya.
Po Eng tidak menjawab pertanyaan itu, hanya ujarnya
hambar, "Peduli bagaimana pun, bila ia berani datang lagi,
aku pasti akan menahan dia di sini."
Sebelum senja menjelang tiba, rombongan itu sudah
menghentikan perjalanan.
Menurut laporan Garda, jarak tempat ini dengan
"sumbatan leher" hanya selisih dua puluh sembilan li.
Rombongan onta telah berkerumun jadi satu, tendatenda
pun telah didirikan, setiap orang sibuk melaksanakan
tugas harian yang harus mereka selesaikan, keadaan tak
jauh berbeda dengan situasi di hari-hari biasa, seakan
mereka sama sekali tak tahu akan kehadiran musuh
tangguh. Kembali seharian penuh Siau-hong tak berjumpa dengan
Pancapanah, dalam dua hari belakangan, dia pun tidak
mendapat tugas melakukan perondaan, selama ini dia
hanya menemani Po Eng, berada dalam tenda dengan
puncak tergantung bulu elang berwarna hitam pekat.
Orang yang bertugas mengurus rangsum dan air, Gan
Tin-kong dan Song-lohucu telah datang, Po Eng yang
mengundang kedatangan mereka, mengundang mereka
berdua untuk minum arak bersama.
Tampaknya kegembiraan Po Eng pada hari ini sangat
baik. Arak yang mereka teguk bukan arak Ku-shia-sau,
melainkan arak biji-bijian yang keras dan menusuk lidah.
Walaupun arak semacam ini tidak gampang
memabukkan, namun sekali mabuk, jangan harap bisa
mendusin dengan mudah.
Selewat magrib, dari luar tenda mulai berkumandang
suara nyanyian, bagi orang Tibet, nyanyian dan arak
memang tak dapat dipisahkan satu sama lainnya.
Cahaya api mulai menerangi segala penjuru, setiap orang
sedang menyanyi, sedang menenggak arak, seakan sengaja
membiarkan orang lain menyangka mereka sama sekali tak
waspada, sama sekali tak siap.
Namun sekalipun dilakukan persiapan, sekalipun setiap
orang waspada, lalu apa gunanya" Jumlah petarung dalam
kelompok ini hanya tersisa tak lebih belasan orang saja.
Menurut suara ringkikan kuda yang terdengar oleh Siauhong,
kawanan jago yang berhasil dihimpun Po Eng paling
tidak berjumlah sepuluh kali lipat dari jumlah mereka.
Pancapanah telah kembali.
Dia membuktikan kebenaran jalan pikiran Siau-hong, ia
telah mengunjungi "sumbaran leher".
"Rombongan pasukan yang saat ini telah berkumpul di
sana lebih kurang berjumlah tujuh puluh ekor kuda,"
jelasnya. Tujuh puluh ekor kuda berarti tujuh puluh orang jago
dengan tujuh puluh jenis senjata tajam, dapat dipastikan
setiap senjata yang mereka bawa adalah senjata tajam yang
sangat mematikan.
Kembali Pancapanah berkata, "Mereka hampir
semuanya merupakan jago-jago tangguh yang pandai
menunggang kuda, di antaranya ada sebagian yang
menggunakan senjata tombak panjang, ada sebagian
membawa busur dan anak panah, ada pula tujuh-delapan
orang di antaranya menggunakan senjata yang tak biasa
digunakan orang."
Orang yang bisa menggunakan senjata istimewa tentu
memiliki ilmu silat yang sangat tangguh.
Terdengar Pancapanah kembali berkata, "Sesungguhnya
orang yang benar-benar menakutkan bukanlah mereka."
"Lalu siapakah yang benar-benar menakutkan?" tanya
Siau-hong cepat.
"Kecuali tujuh puluh ekor penunggang kuda, ada pula
tiga buah tandu yang telah tiba di sini."
Berada di tengah gurun pasir ternyata ada orang naik
tandu, bahkan di saat bersiap menyergap musuh tangguh
pun masih ada orang yang berada dalam tandu.
"Adakah seseorang di dalam tandu itu?" tanya Siau-hong
semakin terkesiap.
"Tentu saja ada," Pancapanah mengangguk, "Dalam
setiap tandu terdapat seorang."
"Manusia macam apakah mereka?"
"Tentu saja hanya orang-orang luar biasa yang bisa
dijemput Wi Thian-bong dengan menggunakan tandu,"
setelah agak sangsi sejenak, kembali Pancapanah
melanjutkan, "Aku hanya kenal salah seorang di
antaranya."
"Siapakah orang itu?"
"Perempuan yang kau anggap tak mungkin membunuh
orang." Seketika itu juga Siau-hong terbungkam dalam seribu
bahasa. Benarkah Pova adalah seorang pembunuh berilmu tinggi
yang sengaja menyembunyikan kemampuannya" Benarkah
dia mampu membunuh orang dalam sekejap mata"
Dia tak dapat melihatnya, betul-betul tak dapat
melihatnya. Dia pun tak percaya, bukannya tak dapat percaya,
melainkan tak ingin percaya.
Kembali Pancapanah berkata, "Selain dia, orang kedua
adalah seorang cacat yang memiliki sebuah lengan dan
sebuah kaki, kaki kirinya dipasang kaki kayu sedang di
tangan kanannya menenteng sebuah buntalan kuning,
tampaknya buntalan itu cukup berat."
"Berapa usianya?" Siau-hong segera bertanya.
"Aku tak dapat menilai usianya," sahut Pancapanah,
"Tapi setiap lembar rambutnya telah memutih, putih
berkilat bagaikan serat perak, namun wajahnya justru masih
putih bersemu merah, pada hakikatnya dia adalah seorang
nona cilik."
"Nona cilik?" kembali Siau-hong bertanya, "Kau
maksudkan orang ini adalah seorang wanita?"
"Betul, dia adalah seorang wanita."
Paras Siau-hong kelihatan sedikit berubah.
"Lalu siapa pula orang yang ketiga?"
"Tampaknya orang itu adalah seorang buta, sewaktu
turun dari tandu harus dituntun orang, tapi justru dialah
satu-satunya orang yang mengetahui kalau aku
bersembunyi di seputar sana."
Sesudah tertawa getir kembali Pancapanah melanjutkan,
"Hampir saja aku tak bisa pulang kemari."
Siau-hong merasakan hatinya mulai tenggelam.
Dia telah menduga siapa gerangan kedua orang itu, di
antara kawanan jago paling tangguh yang terdapat di
kolong langit saat ini, nama besar kedua orang itu boleh
dibilang menempati deretan sepuluh besar.
Seharusnya Po Eng pun mengetahui identitas kedua
orang itu, namun dia sama sekali tidak memberikan reaksi,
hanya ujarnya hambar, "Kau sudah lelah, mari, minumlah
arak ini."
Arak yang tidak gampang memabukkan, sekali mabuk
akan susah mendusin kembali. Orang yang paling menawan
hati, terkadang justru merupakan orang yang paling
menakutkan. Memang banyak peristiwa dan kejadian seperti ini terjadi
di dunia. Langit sudah semakin gelap, manusia pun sudah
mendekati mabuk, cahaya api dalam tenda terasa makin
terang benderang, suara nyanyian pun bergema makin
nyaring dan lantang.
Sorot mata Po Eng tampak jauh lebih terang dan tajam.
Mengapa dia bisa bersikap begitu tenang" Apakah dia
sudah mempunyai cara untuk menghadapi serbuan orangorang
itu" Siau-hong tak habis mengerti, dia benar-benar tak tahu
apa yang akan dia lakukan.
Si manusia buta itu tak disangkal pastilah Siu-hun-jiu.


Elang Terbang Di Dataran Luas Karya Tjan Id di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Tangan beracun pencabut nyawa, tiada tempat aman
untuk nyawa". Bila dia pergi mencari seseorang, kalau
orang itu tidak segera melarikan diri, secepatnya persiapkan
urusan akhir bagi diri sendiri.
Hingga kini hanya beberapa orang saja yang berhasil
melarikan diri dari cengkeraman mautnya.
Perempuan berambut putih berwajah merah berlengan
tunggal berkaki tunggal itu jauh lebih menakutkan lagi,
sebab dia hanya terhitung separoh manusia.
Separohnya yang lain bukan dewa, juga bukan setan,
terlebih bukan manusia.
Sebab separoh yang lain sudah termasuk "iblis".
Perempuan ini seakan telah terbelah jadi dua oleh
semacam ilmu iblis yang sangat menakutkan, separohnya
adalah Giok-li, perempuan suci, sementara yang
separohnya lagi adalah Thian-mo, iblis langit.
Giok-li-thian-mo, perempuan suci iblis langit Liu Hunhun!
Tak seorang pun yang tahu seberapa tinggi ilmu silat
yang dimilikinya, tak ada pula yang tahu berapa usianya.
Tapi setiap orang tahu dengan pasti, setiap saat dia dapat
membelah tubuhmu menjadi dua bagian.
Gan Tin-kong selamanya tak pernah meneguk arak biar
setetes pun, sementara Song-lohucu sudah meneguk tak
sedikit arak keras.
Yang tidak meneguk arak selalu bersikap serius
sementara yang meneguk arak pun merupakan seorang
Kuncu, dalam keadaan apa pun, mereka berdua merupakan
orang-orang yang pantas dihormati.
Tapi setelah tiba saat mencabut golok bersiap adu
nyawa, mungkin nilai kedua orang ini sudah tak bisa
menandingi nilai Garda.
Sebagaimana diketahui Garda adalah seorang petarung,
seorang patriot, namun ketika harus berhadapan dengan
jago-jago tangguh macam Siu-hun-jiu serta Liu Hun-hun,
satu-satunya yang bisa dia lakukan hanyalah mati.
Sekalipun "kematian" merupakan akhir dari semuanya,
namun tak akan menyelesaikan persoalan mana pun.
Sekalipun benar-benar dapat menyelesaikan masalah,
bukan berarti ada orang bersedia menggunakan cara begini
menyelesaikan persoalannya.
Po Eng telah terluka parah, Pancapanah pun bukan
dewa, dengan cara apa mereka akan menghadapi serbuan
musuh yang begitu tangguh"
Sudah banyak yang dipikirkan Siau-hong, namun ada
satu hal yang tak pernah terpikir olehnya.
Mungkinkah Pova akan ikut datang" Seandainya datang,
sikap seperti apakah yang akan dia perlihatkan menghadapi
dirinya" Sikap seperti apa pula yang harus dia lakukan
menghadapinya"
Kekasih yang cintanya sehidup semati tiba-tiba berubah
jadi musuh bebuyutan yang harus bertarung mati-matian,
dengan cara apa dia harus menghadapi situasi semacam ini
dan menyelesaikannya" Siapa pula yang bisa memahami
penderitaan serta tekanan batin yang harus dirasakan"
Selama ini Po Eng mengawasi dirinya terus, dia seolah
dapat melihat penderitaan batin yang dirasakan saat ini,
tanpa mengucapkan sepatah kata pun ia mengangkat cawan
araknya. Pada saat itulah tiba-tiba terdengar suara derap kaki kuda
yang ramai bergema dari kejauhan.
Tujuh puluh ekor kuda berlari bersama, suara derap kaki
yang keras bagai suara guntur yang menggelegar di
angkasa, dalam waktu sekejap hawa pembunuhan
menyelimuti seluruh jagat.
Namun suara nyanyian yang berkumandang di luar
masih bergema tiada hentinya, Po Eng masih tetap duduk
tenang tanpa bergerak.
Dalam cawannya masih penuh dengan arak, cawan
dengan arak wangi yang tak menetes setitik pun, dia hanya
berkata kepada Siau-hong dengan nada hambar, "Aku tahu,
kau paling takut menunggu, ternyata mereka tidak
membiarkan kita menunggu terlalu lama."
Kemudian sesudah mengangkat cawan, terusnya, "Untuk
hal itu, kita seharusnya meneguk habis isi cawan arak ini!"
Suara derap kaki kuda bergerak semakin dekat,
tampaknya kelompok penyerang itu hanya berlari
mengelilingi tenda itu tanpa ada maksud menyerbu masuk.
Orang-orang yang berada di sekitar api unggun masih
menyanyi dengan lantang, mereka seakan tidak tahu akan
kehadiran kawanan musuh tangguh itu, seolah tidak sadar
kalau mati hidup mereka hanya dibatasi soal tarikan napas.
Apakah hal ini dikarenakan mereka menaruh keyakinan
dan kepercayaan penuh terhadap Po Eng, percaya dia tak
akan membawa mereka menuju jalan kematian, karena itu
mereka tetap tenang"
Atau justru karena ketenangan luar biasa yang
ditampilkan orang-orang itu, maka musuh tangguh tak
berani menyerang secara gegabah"
Mendadak terdengar suara suitan nyaring yang tajam
bergema menembus angkasa.
Kuda-kuda jempolan yang sedang berlarian mengelilingi
tenda seketika berhenti secara tiba-tiba, begitu suara derap
kaki kuda berhenti, suasana pun dicekam dalam keheningan
yang luar biasa.
Hawa pembunuhan terasa semakin pekat menyelimuti
angkasa. Tampaknya tujuh puluh ekor kuda jempolan dengan
tujuh puluh orang petarung tangguh telah memasang panah
di atas gendawa dan melolos golok siap melakukan
penyerangan. Po Eng masih tetap tak bergerak.
Selama pihak lawan tidak bergerak, dia pun tak akan
bergerak, dia jauh lebih pandai menunggu, lebih sabar
menunggu daripada orang-orang itu.
Siau-hong ingin sekali berjalan keluar melihat keadaan di
luar, tapi lagi-lagi Po Eng telah mengangkat cawan araknya.
"Kujamin mereka tak bakal berani menyerbu kemari,
sebelum keadaan diketahui secara jelas, mereka tak bakal
berani bertindak secara sembarangan."
Kembali dia meneguk isi cawannya hingga habis, lalu
terusnya, "Paling tidak kita masih punya cukup waktu
untuk meneguk tiga sampai lima cawan arak lagi."
Baru saja dia menghabiskan secawan arak, kembali
terdengar suara suitan yang amat nyaring bergema
membelah angkasa, lalu terlihat Garda secara tiba-tiba
menerjang masuk ke dalam tenda seraya berteriak, "Sudah
datang!" Kembali Po Eng memenuhi cawannya dengan arak,
kemudian tanyanya dingin, "Siapa yang telah datang?"
"Wi Thian-bong telah datang," suara Garda terdengar
makin tegang dan sedikit panik, "Selain itu terdapat enam
orang menggotong tiga buah tandu ikut datang bersamanya,
mereka telah memasuki daerah tenda sebelah barat."
"Berapa orang yang telah datang?"
"Pasukan berkuda lainnya telah mengepung kita rapatrapat,
sedang yang masuk ke dalam wilayah tenda hanya
beberapa orang itu," sahut Garda, "Mereka bilang hendak
bertemu denganmu."
Po Eng meneguk dulu araknya, kemudian baru berseru,
"Kalau memang kita kedatangan tamu agung, mengapa
tidak mempersilakan mereka masuk?"
Mendadak dari luar tenda terdengar seseorang tertawa
dingin. "Kalau sudah tahu ada tamu agung datang berkunjung,
mengapa tuan rumah belum keluar menyambut?"
Suara orang ini melengking tapi lembut, seperti ada
sebuah jarum tajam yang menusuk telinga.
"Po-toalopan, kau tidak merasa lagakmu berlebihan?"
kata orang itu lagi.
Po Eng mendengus dingin.
"Hm, sejak awal lagakku memang besar," sahutnya. Dia
mengulap tangan memberi tanda, Garda segera
menggulung pintu masuk tenda besar itu.
Tampak cahaya lentera menerangi seluruh tempat,
suasana di luar tenda terasa terang benderang bagaikan
siang hari, di kejauhan sana tampak cahaya pantulan golok
dan pedang, sementara suara nyanyian telah berhenti, yang
terdengar kini hanya suara ringkik kuda dan onta.
Angin malam berhembus kencang, udara terasa makin
dingin membeku, begitu dingin seakan ada golok yang
menghujam ke dalam tulang.
Seekor kuda tinggi besar ditambah tiga buah tandu kecil
berwarna hijau telah berhenti di luar tenda. Wi Thian-bong
duduk di atas kudanya dengan golok tersoreng di pinggang,
anak panah dalam kantung.
Biarpun golok masih berada dalam sarung, biar anak
panah masih belum terpasang, namun hawa pembunuhan
telah mencekam seluruh jagat.
Ternyata orang yang barusan berbicara bukan dia.
Suara itu muncul dari dalam tandu nomor satu dan kini
orang itu sudah turun dari tandunya.
Dia adalah seorang wanita berlengan tunggal berkaki
tunggal, rambutnya telah memutih bagai warna perak, tapi
wajahnya masih merah segar bagaikan seorang gadis.
Pada kaki kirinya terpasang kaki kayu yang jelek dan
kasar, sementara kaki kanannya mengenakan kain celana
warna hijau bunga dan memperlihatkan betisnya yang
putih, halus dan kenyal. Tujuh-delapan buah gelang
berwarna keemas-emasan menghiasi betisnya itu.
Lengan kirinya telah tertabas kutung, tapi tangan
kanannya tampak indah dan mulus, dalam genggamannya
terlihat menenteng sebuah buntalan kuning yang
tampaknya berat sekali.
Ketika kaki kayunya menginjak tanah, penampilan
perempuan itu nampak jelek dan bebal, tapi setelah kaki
kanannya menginjak tanah, seketika penampilannya
berubah indah dan cantik bagaikan bidadari.
Perempuan ini boleh dibilang tampil dengan dua macam
penampilan yang saling bertolak belakang, meski begitu,
justru dia dapat tampil begitu indah dan pas, membuat
siapa pun yang melihatnya bergidik dan ngeri.
Sejak awal Siau-hong memang sudah pernah mendengar
kabar berita manusia macam apakah Thian-mo-giok-li,
perempuan suci iblis langit Liu Hun-hun.
Namun setelah menyaksikan dengan mata kepala
sendiri, dia baru tahu apa yang dilukiskan orang selama ini
sesungguhnya belum dapat menggambarkan seluruh
kesesatan dan kemisteriusan perempuan itu.
Orang yang berada dalam tandu kedua telah muncul
pula, dia adalah seorang bertubuh kurus dan hitam, tinggi
bagai bambu dan mengenakan baju berwarna hitam pekat.
Sepasang matanya gelap tak bersinar, sepasang tangannya
selalu disembunyikan di balik pakaian, seakan dia tak ingin
memperlihatkan tangannya kepada orang lain.
Siau-hong tahu dia tak lain adalah si Tangan sakti
pencabut nyawa yang nama besarnya telah menggetarkan
sungai telaga. Namun ia tidak terlalu memperhatikan orang ini, karena
seluruh konsentrasi Siau-hong telah dialihkan ke arah tandu
nomor tiga. Apakah Pova segera akan tampil dari balik tandu itu"
Jantungnya berdebar keras, berdetak sangat keras, ia
merasakan rasa sakit yang luar biasa, rasa sakit yang
merasuk hingga ke tulang sumsum.
Sekuat tenaga ia berusaha mengendalikan diri, tidak
membiarkan rasa sakit itu tampil di atas wajahnya.
Siapa tahu tak seorang pun yang menampilkan diri dari
balik tandu ketiga itu.
Dalam pada itu Wi Thian-bong telah melompat turun
dari kudanya dan berjalan masuk ke dalam tenda mengikut
di belakang Siu-hun-jiu serta Liu Hun-hun.
Bulu elang berwarna hitam di puncak tenda masih
bergoyang terhembus angin, seakan-akan sedang
memproklamirkan kepada setiap orang akan arti ketidak
beruntungan yang bakal terjadi, penyakit, malapetaka,
kematian! Tapi semua itu sama sekali tak digubris Siau-hong, mau
penyakit, mau malapetaka, bahkan kematian sekalipun, dia
tak peduli. Sekarang hanya satu hal yang dia peduli.
Sebetulnya adakah orang di dalam tandu ketiga" Kalau
ada, mengapa tidak keluar" Kalau tak ada orang, mengapa
mereka harus menggotong datang sebuah tandu kosong"
Po Eng masih duduk tak bergerak, tiada perubahan
mimik muka pada wajahnya yang pucat-pasi.
"Po-toalopan, ternyata lagakmu memang luar biasa,"
jengek Wi Thian-bong sambil tertawa dingin.
"Kau keliru," tukas Liu Hun-hun ikut tertawa, "Sekarang
aku sudah tahu lagaknya memang tidak besar."
Tiba-tiba suaranya berubah, berubah lembut, merdu
bagai rayuan seorang gadis remaja.
"Dia tidak bangkit menyambut kedatangan kita karena
dia sudah terluka, mana boleh kita menyalahkan dirinya?"
ia menambahkan.
Ternyata Po Eng tidak menyangkal.
"Betul, bukan saja sudah terluka, bahkan lukaku sangat
parah," sahutnya.
"Padahal kau tak perlu kelewat sedih," suara Liu Hunhun
semakin halus dan lembut, "Selain kau, rasanya belum
pernah ada orang kedua yang berhasil menyelamatkan
jiwanya dari ujung pedang Tokko Ci."
"Aku sama sekali tak sedih," sahut Po Eng, "Karena aku
tahu keadaan Tokko Ci saat ini pun tidak lebih baik
daripada keadaanku."
Ternyata Liu Hun-hun sangat setuju dengan
pendapatnya itu.
"Oleh karena itu kau tak bisa dianggap kalah dalam
pertarungan kali itu, karenanya Po-toalopan masih tetap
merupakan jagoan yang selamanya tak pernah


Elang Terbang Di Dataran Luas Karya Tjan Id di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

terkalahkan!"
Setelah berhenti sejenak, terusnya lagi dengan lembut,
"Paling tidak hingga sekarang masih belum pernah
terkalahkan, kalah satu kali pun belum pernah."
"Bagaimana setelah ini?" sela Siu-hun-jiu dingin.
"Setelah ini pun dia tak pernah bakal kalah," sahut Liu
Hun-hun sambil tertawa terkekeh, "Sebab kali ini dia tidak
bersedia menyanggupi permintaan kita, pada hakikatnya tak
bakal ada lain kali lagi."
"Siapa yang kalian kehendaki?" tanya Po Eng kemudian.
"Uang emas sebesar tiga puluh laksa tahil ditambah
seseorang."
"Kalian telah mengirim orang untuk melakukan
penggeledahan, seharusnya sudah tahu bukan, di sini tak
ada emas murni."
"Kalau bukan di sini, lantas di mana?" kembali Wi
Thian-bong tertawa dingin, "kecuali kau, mungkin tidak ada
orang kedua yang mengetahuinya."
"O, ya?"
"Kami telah mengutus orang melakukan penggeledahan
di sekitar wilayah ini," ujar Wi Thian-bong lagi, "Kecuali
kalian, tiada ada orang lain lagi yang mampu merampok
tumpukan emas murni itu dari tangan Thiat Gi, oleh sebab
itu sekalipun emas lantakan tidak berada dalam barang
dagangan yang kalian angkut, dapat dipastikan barangbarang
itu telah kalian sembunyikan."
"Ai, buat apa kau galak begitu?" sela Liu Hun-hun sambil
menghela napas panjang, "Kalau bertanya secara kasar, dia
pasti tak akan mengakuinya."
"Jadi kau punya cara untuk membuatnya mengaku?"
"Biasanya hanya ada satu cara untuk menyelesaikan
persoalan semacam ini, biarpun cara ini agak berlebihan
namun justru merupakan cara paling kuno, yang paling
bermanfaat."
Tiba-tiba suaranya kembali berubah... berubah jadi tinggi
melengking dan sadis, "Siapa menang dia yang kuat, siapa
kalah dia bakal mendapat bencana. Bila mereka kalah di
tangan kita, sekalipun uang emas itu bukan mereka yang
rampok, mereka tetap harus mencari akal untuk
menyerahkan tiga puluh laksa tahil emas murni itu kepada
kita." "Hm, agaknya cara ini memang sangat bagus," seru Siuhunjiu sambil tertawa dingin, "Aku percaya tidak sulit bagi
Po-toalopan untuk menyerahkan emas sebesar tiga puluh
laksa tahil."
"Kujamin dia pasti dapat menyerahkan," sahut Liu Hunhun
cepat. "Tapi kami tak ingin menimbulkan banyak korban yang
tak berguna," sambung Wi Thian-bong, "Oleh sebab itu,
hanya kami bertiga saja yang datang."
"Mari kita bertaruh tiga babak," kata Siu-hun-jiu,
"Bertaruh emas murni sebanyak tiga puluh laksa tahil serta
nasib orang itu."
Cepat Wi Thian-bong menambahkan, "Asal kau mampu
mengalahkan kami bertiga, mulai saat ini kami tak akan
mencampuri urusan ini lagi."
"Peduli siapa yang akan kalian pilih sebagai lawan
tanding, Siau-hong tetap menjadi milikku," Siu-hun-jiu
menambahkan pula. Akhirnya Siau-hong membalikkan
tubuh. Selama ini sudah berapa kali dia berniat menerjang maju,
dia ingin memeriksa apakah dalam tandu terdapat
seseorang atau tidak, dia ingin membuktikan apakah Pova
berada di dalam tandu itu.
Namun berapa kali pula niat itu diurungkan.
Setelah melihatnya, apa yang dapat dilakukan" Dapat
membuktikan apa" Dapat merubah apa"
Sambil membalikkan badan menghadap Siu-hun-jiu,
ujarnya kemudian, "Akulah Siau-hong, orang yang sedang
kau cari. Apakah sekarang juga kau ingin turun tangan?"
Sebelum Siu-hun-jiu menjawab, Po Eng telah
mewakilinya, "Dia tak ingin. Pada hakikatnya dia bukan
benar-benar ingin mencari kau sebagai lawan, karena dia
sendiri pun tahu, dalam sepuluh gebrakan kau sanggup
menghabisi jiwanya di ujung pedangmu."
"Tapi dia secara terang-terangan sudah datang
mencariku?"
"Apa yang dia lakukan tak lebih hanya sekedar taktik
tempur mereka."
"Taktik tempur" Taktik tempur apa?" tanya Siau-hong
tak habis mengerti.
"Aku sudah terluka, sedang Pancapanah adalah orang
Tibet, mereka selalu menganggap di antara suku Tibet tak
pernah ada jago yang benar-benar tangguh," kata Po Eng
lagi, "Maka satu-satunya orang yang harus mereka
waspadai hanya dirimu seorang, itulah sebabnya mereka
ingin Siu-hun-jiu memilih kau sebagai musuh utamanya,
sebab ilmu silat yang dia miliki paling lemah, dengan
menggunakan orang paling lemah menghadapi orang paling
tangguh sama artinya mereka menyisakan dua babak
terakhir untuk orang yang paling tangguh, kemenangan pun
sudah dipastikan akan jatuh ke pihak mereka."
Inilah taktik perang yang paling populer zaman Cun-ciu
dulu, asal penggunaannya dilakukan tepat waktu, biasanya
akan memberikan hasil yang luar biasa.
Tiba-tiba Po Eng berkata lagi sambil tertawa dingin,
"Tapi sayang penggunaan taktik perang kali ini, mereka
telah melakukan kesalahan."
"Di mana letak kesalahannya?" tak tahan Wi Thian-bong
bertanya. "Kalian keliru karena pada hakikatnya sama sekali tak
bisa menduga siapa jago tangguh yang sesungguhnya."
"Di sini masih ada jago tangguh?"
"Masih ada satu orang," sahut Po Eng, "Asal dia mau,
setiap saat orang itu dapat merampas golok dalam
genggamanmu, mematahkan busur dan anak panahmu,
bahkan menempeleng tujuh-delapan kali di wajahmu dan
menendangmu hingga mencelat!"
Mendengar itu kontan saja Wi Thian-bong tertawa,
tertawa terbahak-bahak.
"Jadi kau tak percaya?" ejek Po Eng.
"Mana berani aku tidak mempercayai perkataan Potoalopan?"
sahut Wi Thian-bong cepat, "Hanya saja, bukan
cuma aku tak pernah menyaksikan manusia macam apa
yang dikatakan Po-toalopan, bahkan mendengar pun belum
pernah." "Sekarang kau telah mendengarnya, apakah ingin segera
bertemu dengannya?"
"Tentu saja, aku ingin sekali."
"Kalau begitu tak ada salahnya kau segera mencabut
golokmu, asal kau cabut golokmu, orang itu segera akan
kau jumpai." Wi Thian-bong tidak melolos goloknya.
Golok andalannya tergantung di pinggang, golok
pembelah setan yang nama besarnya telah menggetarkan
sungai telaga. Namun kini tangannya telah menggenggam gagang
goloknya kencang-kencang.
Cara dan sikapnya sewaktu mencabut golok boleh
dibilang begitu ketat pertahanannya tanpa setitik kelemahan
pun, gerakan mencabut senjata pun sama tepat dan
cepatnya, jarang ada orang persilatan yang sanggup
menandinginya. Setiap kali goloknya dicabut, darah segar pasti akan
berhamburan di mana-mana.
Walau begitu, kini dia sama sekali tidak mencabut
goloknya. Di dalam tenda itu, selain mereka bertiga dan Siau-hong,
Po Eng, serta Pancapanah, di sana masih hadir dua orang
Losianseng. Gan Tin-kong polos dan jujur, sama sekali tak memiliki
kelincahan dan hawa pembunuhan seorang jago persilatan.
Song-lohucu tampak sudah tua, rabun, dan berbadan
agak bongkok, dia lebih mirip seorang kakek terpelajar.
Dipandang dari sudut mana pun, kedua orang ini sama
sekali tak mirip seorang jago silat berilmu tinggi.
Lalu selain mereka berdua, apakah masih ada orang lain"
Wi Thian-bong tak menemukan orang yang dimaksud,
maka dia sama sekali tidak melolos goloknya. Selama hidup
dia belum pernah melakukan perbuatan yang sama sekali
tak meyakinkan.
Tiba-tiba Liu Hun-hun menghela napas panjang, ujarnya
dengan suara lembut, "Po-toalopan, kau seharusnya
memahami tabiat orang ini, bukan pekerjaan gampang
untuk memintanya mencabut golok. Beda sekali dengan
aku, gampang sekali bila kau ingin aku turun tangan."
Sekulum senyuman manis kembali tersungging di
wajahnya yang merah segar bagai gadis remaja.
"Bukankah kita sama saja akan melihatnya bila aku yang
turun tangan?"
"Sama," jawaban Po Eng tegas dan singkat.
"Kalau begitu bagus sekali," seru Liu Hun-hun sambil
tersenyum. Di dalam tenda terdapat dua buah meja pendek serta
tempat duduk yang berlapis kulit hewan, perlahan-lahan
Liu Hun-hun mengambil tempat duduk, dia letakkan
buntalan kain kuningnya di atas meja, lalu membukanya
memakai jari tangannya yang putih mulus.
Ia sudah bersiap turun tangan, tak disangkal isi buntalan
itu adalah senjata pamungkas andalannya, sejenis senjata
pembunuh yang tidak termasuk senjata pembunuh yang
bersifat "manusia".
Semacam senjata pembunuh yang hampir mendekati
sifat "iblis".
Ooo)d*w(ooO BAB 9. TANGAN YANG LAIN
Buntalan telah dibuka, isi bungkusan itu hanya tiga belas
senjata besi yang memantulkan cahaya kehitam-hitaman.
Setiap senjata memiliki bentuk yang aneh, ada yang tampak
seperti gelang, ada pula yang berbentuk seperti tulangbelulang.
Siapa pun tak akan pernah melihat bentuk senjata
semacam ini, karena pada hakikatnya tak ada jenis senjata
macam begini dalam dunia persilatan saat ini.
"Inilah tanganku yang lain!" Liu Hun-hun menjelaskan.
Ia menunjukkan tangannya yang indah, putih dan halus
itu, lalu ujarnya lebih jauh, "Tanganku ini tak jauh berbeda
dengan tangan milik orang lain, aku memakai baju, makan
nasi, cuci muka, gosok gigi, semuanya menggunakan
tangan ini, bahkan terkadang aku pun menggunakan tangan
ini untuk meraba tubuh lelaki yang kusukai."
"Apa gunanya tanganmu yang lain?" tanya Po Eng.
Liu Hun-hun tertawa, mendadak senyumannya berubah
jadi begitu sesat, licik, buas, dan penuh misteri.
"Kalian seharusnya dapat melihat, tangan ini sebetulnya
bukan tangan manusia."
Setelah berhenti sejenak, sepatah demi sepatah ia
melanjutkan, "Inilah tangan iblis, tangan iblis yang ditempa
dengan menggunakan api iblis yang diambil dari neraka
tingkat kedelapan belas."
Tiba-tiba ia menggulung ujung bajunya, dari dalam ruas
tulang lengan yang telah terpapas kutung itu ia cabut seutas
serat kawat berwarna hitam yang terbuat dari baja.
Kemudian dia mengeluarkan ketiga belas jenis benda
besi itu dan menyambungnya satu per satu di atas
lengannya yang terpapas kutung sehingga terwujud sebuah
lengan besi yang aneh dan menyeramkan bentuknya.
Dan paling akhir, dia memasang sebuah cakar yang
terbuat dari baja murni.
Kemudian dia pun menggandengkan cakar tadi ke atas
serat baja yang dicabut tadi dan menghubungkannya
dengan tombol rahasia untuk menggerakkan cakar tadi.
Begitu tali pengontrol terpasang, maka lengan baja
berwarna hitam pekat yang semula tak berdarah, tak
berdaging dan tak bernyawa itu pun merndadak berubah
jadi punya nyawa.
Dalam waktu singkat cakar itu mulai bergerak, mulai
menekuk dan mengarah setiap sudut tempat yang dituju.
Semuanya dilakukan dengan lincah, cepat dan cekatan.
Ternyata hubungan terakhir membuat gerakan lengan
besi itu jadi sempurna dan leluasa, kemudian cakar itu
berputar sambil menekuk dan tahu-tahu sudah
mencengkeram lengan besi itu.
Gerakan semacam ini tak mungkin bisa dilakukan oleh
siapa pun, namun dia dapat melakukannya.
Karena tangannya itu pada hakikatnya bukan tangan
manusia. Tiba-tiba ia berpaling ke arah Siau-hong dan berkata,
"Dapatkah kau ulurkan tanganmu biar kulihat?"
Siau-hong segera menjulurkan tangannya.
Dia memiliki telapak tangan yang besar dan lebar, kuat,
kering, jari tangannya panjang tapi penuh tenaga.
Sambil tersenyum kembali Liu Hun-hun berkata, "Kau
memiliki sepasang tangan yang indah bahkan sangat
berguna, ketika kau gunakan sepasang tanganmu untuk
memegang pedang, siapa pun akan sulit untuk menjatuhkan
pedang itu dari genggamanmu."
"Pedang yang berada dalam genggamanku memang tak
bisa dirontokkan siapa pun," sahut Siau-hong hambar.
"Bagaimana jika tanganmu tak memegang pedang?"
tanya Liu Hun-hun, "Dapatkah kau mendapat sebilah
pedang dari udara kosong?"
Siau-hong tak bisa, siapa pun tak bisa melakukannya.
"Aku bisa," kata Liu Hun-hun.
Lengan besinya sedikit ditekuk, lalu cakarnya menyentil
keluar, katanya kemudian, "Inilah sebilah pedang, aku telah
menggunakan pedang ini untuk menembusi tenggorokan
dua puluh tujuh orang."
"Dua puluh tujuh orang tak bisa dibilang kelewat
banyak," dengus Siau-hong dingin.
Kembali Liu Hun-hun tertawa terkekeh.
"Tentu saja orang yang kubunuh bukan hanya dua puluh


Elang Terbang Di Dataran Luas Karya Tjan Id di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

tujuh orang saja, sebab di dalam tanganku ini tersimpan
juga bubuk pemabuk, cairan beracun, serta tiga belas jenis
senjata rahasia lainnya, semua senjata itu dapat dilancarkan
setiap saat dan merenggut nyawa siapa pun! Tentu saja tak
seorang pun yang tahu kapan senjata pamungkas itu akan
dilancarkan, apalagi menyerang dari arah mana."
Siau-hong tak berbicara lagi, mulutnya seketika
terbungkam dalam seribu bahasa.
Siapa pun itu orangnya, mau tak mau mereka harus
mengakui bahwa tangannya ini benar-benar merupakan
sejenis senjata pamungkas yang sangat menakutkan.
Sekali lagi Liu Hun-hun menekuk lengan besinya dan
cakar baja itu pun untuk kesekian kalinya menyentil ke
depan, "Sreeet!", diiringi desingan angin tajam, papan meja
setebal tiga inci seketika tertembus hingga muncul sebuah
lubang besar, asap berwarna hijau menyebar keluar dari
sekeliling lubang itu.
"Sekarang tentunya kalian sudah melihat bukan,
pedangku ini sangat beracun, barang siapa terkena, bukan
saja seketika akan mati mengenaskan, bahkan racun ini tak
ada obat penawarnya."
Belum selesai dia berkata, sekeliling lubang di atas meja
kayu itu mulai terbakar hingga hangus dan retak.
"Kini aku sudah siap turun tangan!" kata Liu Hun-hun
lagi. Sinar matanya yang menakutkan bagai sengatan
kalajengking perlahan-lahan menyapu wajah Siau-hong, Po
Eng, dan Pancapanah, kemudian ia baru bertanya pelan,
"Aku harus menghadapi siapa?"
"Aku!" sahut seseorang hambar, "Sejak tadi aku sudah
menunggu kau turun tangan."
Ternyata yang berbicara bukan ketiga orang itu,
melainkan Song-lohucu yang kelihatannya mustahil
mengucapkan perkataan itu.
"Kau?" seru Liu Hun-hun dengan tercengang, "Kau yang
akan menghadapi diriku?"
Song-lohucu menghela napas panjang.
"Hai, padahal aku sendiri pun agak takut menghadapi
tanganmu itu, terlebih menggunakan tangan semacam itu
untuk menghadapi diriku, hanya sayangnya justru di tempat
ini hanya ada aku seorang yang dapat menghadapimu."
Liu Hun-hun mengawasi wajahnya, sampai lama
kemudian ia baru tertawa lagi.
"Hanya kau yang dapat menghadapku?" suara
tertawanya kembali berubah jadi sangat lembut, "Kau siap
menggunakan cara apa untuk menghadapiku?"
"Menggunakan tanganku yang lain," sahut Song-lohucu,
"Kau mempunyai sebuah tangan yang lain, aku pun
punya." "Kau pun punya?"
Liu Hun-hun mengawasi sekejap sepasang tangan
kurusnya yang tergeletak di atas meja, kemudian ejeknya,
"Kelihatannya sepasang tanganmu sudah berada di sini."
Song-lohucu tersenyum.
"Tanganmu yang lain adalah tangan kedua, sedang
tanganku yang lain adalah tangan ketiga," ia tertawa makin
riang, "Sepasang tanganku ini pun tak jauh berbeda dengan
tangan milik orang lain, kugunakan untuk berpakaian,
makan nasi, cuci muka, gosok gigi, semuanya kugunakan
sepasang tangan ini. Kebetulan aku pun bisa menggunakan
sepasang tangan ini untuk meraba tubuh perempuan
lain...." Tiba-tiba Pancapanah ikut tertawa.
"Biasanya hanya bagian tertentu dari tubuh perempuan
yang kau raba, tak perlu kujelaskan pun orang lain juga
tahu," kata Song-lohucu, "Tapi tanganku yang lain ini beda
sekali kegunaannya."
Mendadak senyuman di wajahnya berubah jadi amat
misterius, terusnya, "Apakah kau ingin melihat tanganku
itu?" "Ingin setengah mati," sahut Liu Hun-hun tertawa genit.
"Bagus, kalau begitu lihatlah."
Sepasang tangannya memang tergeletak di atas meja,
kini ke sepuluh jari tangannya telah direntangkan.
Dia sendiri pun sedang mengawasi sepasang tangan
milik sendiri. Tentu saja mau tak mau Liu Hun-hun harus
memandangnya, begitu juga dengan Wi Thian-bong serta
Siu-hun-jiu. Lampu lentera masih bergoyang terhembus angin,
cahaya lampu berkedip tiada hentinya.
Tiba-tiba sepasang tangannya yang kurus kering mulai
berubah, bukan saja warnanya berubah, bentuknya ikut
berubah. Tangan yang semula tiada cahaya darah, mendadak
berubah jadi kuat, muda, dan penuh tenaga, seakan-akan
sepasang kantung kulit kambing yang tiba-tiba dijejali
daging segar. Paras mereka yang menyaksikan kejadian itu pun ikut
berubah. Pada saat itulah mendadak ada sebuah tangan yang lain
menjulur keluar secepat sambaran kilat, "Krakkk!", lengan
besi Liu Hun-hun yang perkasa dan menyeramkan itu tahutahu
sudah tertangkap.
Dari mana munculnya tangan itu"
Tangan itu sejak awal memang sudah berada di situ,
berada di tubuh Gan Tin-kong, setiap orang dapat melihat
tangan itu, namun tak seorang pun yang menyangka kalau
tangan itu adalah "tangan lain" Song-lohucu.
Kini lengan baja milik Liu Hun-hun sudah berada dalam
cengkeraman Gan Tin-kong.
"Terhitung apa caramu itu?" teriak Liu Hun-hun dengan
paras berubah. "Terhitung kau sudah kalah," jawab Song-lohucu sambil
tertawa menyengir, "Dari tiga babak pertarungan, kalianlah
yang kalah dalam pertarungan babak pertama."
"Tidak bisa, kejadian ini tak bisa dihitung!"
"Kenapa tak bisa dihitung?" Song-lohucu balik bertanya,
"Tanganmu yang lain kau sembunyikan di dalam buntalan,
sementara tanganku yang lain berada di tubuh orang lain.
Tangan kita berdua sama-sama tidak berada di tubuh kita
sendiri." "Tapi kau menggunakan kekuatan dua orang untuk
menghadapi aku seorang...."
"Siapa bilang kami berdua turun tangan bersama" Dia
yang melancarkan serangan, sementara tanganku sama
sekali tak bergerak."
Tiba-tiba saja paras Liu Hun-hun yang merah segar
seperti wajah gadis muda berubah jadi begitu tua, seakanakan
dia telah menjadi tua dua-tiga puluh tahun dalam
waktu singkat. Tentu saja kejadian ini merupakan sebuah perangkap,
dan kini dia sudah tercebur ke dalamnya, apa lagi yang bisa
dia perbuat"
Paras Wi Thian-bong berubah hijau membesi, serunya
tiba-tiba, "Kagum, aku sungguh merasa kagum."
"Kau kagum kepadaku?" gelak tertawa Song-lohucu
kedengaran semakin gembira.
"Tentu saja aku merasa amat kagum dengan kekuatan
tenaga dalam dan tenaga pukulanku," ucap Wi Thian-bong
sambil berpaling ke arah Gan Tin-kong, "Tapi aku lebih
kagum dengan kecepatanmu turun tangan."
Tiba-tiba ia tertawa dingin lagi, tertawa dingin sambil
menengok ke arah Po Eng.
"Aku tetap merasa paling kagum kepada dirimu!"
"O, ya?"
"Seandainya kau tidak mengatakan lebih dulu, sehingga
kami beranggapan bahwa di sini terdapat seorang jago lihai
yang setiap saat dapat merebut golokku dan menendang
tubuhku, tak nanti Liu-hujin akan termakan oleh tipu
muslihatmu ini."
Po Eng balas tertawa dingin.
"Kau tetap tak percaya kalau di kolong langit benarbenar
terdapat jagoan semacam ini?"
"Di mana orang itu?"
"Dia berada di sini!"
"Siapa dia?"
"Sudah kukatakan, asal kau cabut golokmu, segera akan
kau ketahui siapakah orang itu," sahut Po Eng segera, "Dan
kujamin kau pasti tak akan kecewa."
Selama ini Wi Thian-bong selalu tenang dan bertindak
hati-hati, dia selalu pandai mengendalikan diri, tak pernah
turun tangan secara sembarangan, tak pernah melakukan
pekerjaan yang tidak dia yakini.
Tapi sekarang, mau tak mau dia harus melanggar
kebiasaan ini. Mau tak mau dia harus mencabut goloknya!
"Criiing!", diiringi suara dentingan nyaring, golok telah
dicabut dari sarungnya.
Cahaya golok putih bagai salju, bergetar bagai cahaya
halilintar, mata golok sepanjang tiga kaki sembilan inci
dengan membawa deru angin yang menusuk pendengaran
telah dibacokkan ke tubuh Po Eng.
Ia jarang sekali turun tangan secara sembarangan, asal
turun tangan, biasanya jarang sekali meleset dari sasaran.
Tak seorang pun dapat melukiskan kecepatan serta daya
kekuatan dari bacokannya itu, kecepatan, ketepatan serta
keganasannya tak terlukiskan dengan kata-kata.
Dalam bacokan ini, dia telah menggunakan seluruh
kekuatan yang dimilikinya, sama sekali tidak meninggalkan
jalan mundur bagi diri sendiri, dia pun tak ingin
membiarkan nyawa lawan tetap tertinggal.
Bila seorang jago tangguh melancarkan serangan,
biasanya dia akan mengerahkan seluruh kekuatan yang
dimilikinya, karena mereka harus mempersiapkan jalan
mundur lebih dulu bagi diri sendiri dan memposisikan diri
pada sudut yang tak terkalahkan.
Wi Thian-bong adalah seorang jago tangguh, dalam
bacokan kali ini dia sama sekali tidak mempersiapkan jalan
mundur, karena ia beranggapan dirinya tidak
membutuhkan jalan mundur.
Po Eng bukan saja sudah terluka, bahkan
menghadapinya dengan tangan kosong, apa yang akan dia
gunakan untuk menyambut datangnya bacokan golok
musuh" Sekalipun dia sanggup menghindarkan diri, belum tentu
memiliki kekuatan untuk melancarkan serangan balasan.
Jika pihak lawan tak memiliki kemampuan untuk
melancarkan serangan balasan, mengapa pula dirinya harus
mempersiapkan jalan mundur" Setiap kekuatan yang tersisa
sudah seharusnya digunakan semuanya di dalam bacokan
maut kali ini, karenanya dia menyerang dengan tak kenal
ampun. Dia berharap dalam sekali bacokan nyawa lawan dapat
dihabisi! Wi Thian-bong adalah seorang jago yang sangat
berpengalaman, ia sudah beratus kali menghadapi
pertempuran, selama ini pandangannya selalu tepat,
perhitungannya pun selalu tepat.
Sayang sekali, kali ini dia telah salah perhitungan.
Po Eng telah menyambut bacokan goloknya,
mempergunakan sepasang tangan kosong untuk
menyambut datangnya bacokan itu.
Begitu sepasang tangannya ditepuk, mata golok telah
dijepitnya kuat-kuat, menyusul tubuhnya melambung ke
udara, sepasang kakinya melancarkan serangkaian
tendangan berantai, tendangan pertama menghajar tangan
Wi Thian-bong yang menggenggam golok, tendangan
kedua mengancam jalan darah penting di sepasang kakinya.
Berada dalam keadaan begini, mau tak mau Wi Thianbong
harus berkelit mundur.
Sewaktu tendangan pertama menyambar tiba, goloknya
sudah lepas dari genggaman, ketika tendangan kedua
menyusul, terpaksa dia harus berjumpalitan di udara
sebelum berhasil meloloskan diri.
Ketika tubuhnya meluncur turun ke bawah, ia sudah
berada di luar tenda. Sementara golok andalannya telah
terjatuh ke tangan Po Eng.
Sambil membelai mata golok dengan lembut, jengek Po
Eng dingin, "Sabetan golokmu kurang cepat, golok ini pun
kurang bagus."
Sambil berkata, dengan jari tengah menyentil mata
golok, "Krak!", mata golok itu pun gumpil sebagian.
Kemudian dengan tangan kanan menggenggam gagang
golok, dua jari tangan kirinya menggencet ujung golok itu,
sekali lagi... "Krak!", golok panjang tadi telah dipatahkan
menjadi dua bagian.
Paras Wi Thian-bong berubah makin hebat, jauh lebih
mengenaskan daripada paras Liu Hun-hun tadi.
Dengan nada dingin kembali Po Eng berkata, "Biarpun
aku sudah terluka, tidak seharusnya kalian menilaiku
kelewat rendah, karena aku belum mati."
"Selama belum mati, tak akan ada orang yang mampu
mengalahkan dirimu?" tanya Wi Thian-bong sambil
mengepal tinjunya kuat-kuat.
Jawaban Po Eng masih sama jelasnya seperti jawaban
sebelumnya, "Hingga sekarang memang tak pernah ada."
Jangankan memandang wajah Wi Thian-bong, melirik
sekejap pun tidak, sepasang mata elangnya hanya
mengawasi diri Siu-hun-jiu tanpa berkedip.
"Kini tinggal kau seorang," ujar Po Eng lebih lanjut,
"Dari tiga babak pertarungan, kalian sudah kalah dua
babak, apakah dirimu masih ingin mencoba bertarung?"
"Orang ini milikku," sela Siau-hong tiba-tiba, suaranya
meski sangat tenang, namun perasaannya penuh gejolak.
Dua pertarungan yang barusan berlangsung sungguh
membuat pergolakan darah di dalam tubuh mendidih dan
mengalir kencang.
"Tentu saja orang itu milikmu, bahkan nyawanya juga
milikmu," kata Po Eng, "Asal dia berani turun tangan,


Elang Terbang Di Dataran Luas Karya Tjan Id di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

dalam tiga jurus pasti akan mampus di ujung pedangmu."
"Tadi kau mengatakan dalam sepuluh gebrakan."
"Sekarang keadaan sudah berbeda," ucap Po Eng dingin,
"Kini nyalinya sudah ciut, semangatnya sudah luntur,
untuk menghabisi nyawanya, kau sudah tak butuh sepuluh
gebrakan."
Tiba-tiba Siau-hong ikut tertawa dingin, jengeknya,
"Sayang dia sudah tak berani turun tangan."
"Tentu saja dia tak berani."
Siu-hun-jiu hanya berdiri mematung, sama sekali tak
bergerak, dia seakan sama sekali tak mendengar
pembicaraan yang dilakukan kedua orang itu.
Sekarang bukan saja dia jadi "buta", bahkan tuli pula
sepasang telinganya.
Liu Hun-hun yang sudah lama tak bersuara, tiba-tiba
menghela napas, katanya, "Baik bertarung ilmu maupun
beradu akal, ternyata kemampuan Po-toalopan memang
tiada duanya."
Po Eng tidak menjawab, namun dia seakan menerima
sanjungan itu dengan senang hati.
Kembali Liu Hun-hun berkata, "Tapi sepandaipandainya
tupai melompat, akhirnya pasti akan jatuh juga."
"O, ya?"
"Biarpun kami sudah kalah, namun belum mati!"
Liu Hun-hun bangkit, sambil memandang kilauan
cahaya senjata di kejauhan, terusnya, "Di luar area
perkemahan kalian, kami masih memiliki tujuh puluh orang
jago yang sudah terlatih sempurna dan berpengalaman
dalam menghadapi berbagai pertempuran."
"Betul," Wi Thian-bong segera menambahkan, "Asalkan
kuturunkan perintah, mereka segera akan menyerbu kemari.
Dalam waktu singkat bangkai pun akan bergelimpangan,
darah pun akan berceceran membasahi tempat ini."
Po Eng tidak menanggapi ancaman itu, tiba-tiba
tanyanya, "Di luar sana, kalian masih memiliki sebuah
tandu, tentunya tandu itu tidak berada dalam keadaan
kosong, bukan?"
"Tentu saja," sahut Liu Hun-hun, "Tentu saja kami tak
akan menggotong sebuah tandu kosong kemari."
Sekilas senyuman licik dan keji melintas dari balik sorot
matanya. "Kemungkinan besar orang yang berada dalam tandu itu
adalah seorang jago tangguh yang belum pernah
terkalahkan, mungkin juga tersimpan bahan peledak yang
bisa menghancur-leburkan manusia dan hewan dalam
radius lima li dari sini."
Kemudian sambil tertawa dia berpaling ke arah Siauhong,
terusnya, "Aku tahu, selama ini kau ingin sekali
mengetahui apa isi tandu itu, tapi sayang sebelum sampai
pada akhir waktu, tak nanti kami akan memperlihatkan isi
tandu itu."
Siau-hong terbungkam tanpa menjawab.
"Sekarang keadaan belum berakhir," kembali Liu Hunhun
melanjutkan, "Karena kami masih punya barang yang
dipertaruhkan, masih cukup mampu menantangmu
bertaruh lebih jauh."
Bicara sampai di situ ia berpaling ke arah Po Eng dan
meneruskan, "Hanya saja aku harus melihat dulu, apakah
Po-toalopan bersedia menggunakan nyawa anak buahnya
sebagai barang taruhan."
Po Eng tidak menjawab, dia pun terbungkam dalam
seribu bahasa. Jelas pertaruhan ini merupakan sebuah pertaruhan akbar,
yang menjadi barang taruhan kelewat besar, pihak yang
kalah sudah pasti akan menderita kerugian yang sangat
parah, sementara pihak pemenang pun tetap akan
mengalami kerugian besar.
Terlepas kemenangan yang mengenaskan atau kekalahan
yang mengenaskan, kedua belah pihak sudah pasti akan
sama-sama menderita.
"Aku tahu sulit bagimu untuk mengambil keputusan,"
kata Liu Hun-hun, "Kalau keadaan tidak memaksa, kami
pun tak ingin memaksamu bertaruh, asal kau bersedia
memenuhi dua permintaan kami yang kecil, seketika ini
juga kami akan pergi dari sini."
Po Eng tetap membungkam.
"Kami ingin memeriksa barang daganganmu," sambung
Wi Thian-bong cepat, "Memeriksanya bungkus demi
bungkus." Inilah permintaannya yang pertama.
"Kalau toh uang emas itu tidak berada di sini, apa
salahnya membiarkan kami memeriksanya sebentar. Aku
masih berniat membawa pergi orang ini," Liu Hun-hun
berseru. Kemudian sambil menuding ke arah Siau-hong,
lanjutnya, "Dia bukan sanak bukan keluargamu, buat apa
kau harus beradu nyawa dengan kami hanya dikarenakan
dia?" Akhirnya Po Eng buka suara, katanya, "Kedengarannya
permintaan kalian memang tidak kelewatan."
"Bukan saja tidak kelewatan, bahkan sangat masuk akal,"
sahut Liu Hun-hun sambil tertawa genit, "Aku tahu, kau
pasti akan mengabulkan permintaan kami ini."
"Aku bersedia pergi bersama kalian," tiba-tiba Siau-hong
ikut buka suara. Nada ucapannya tegas dan sama sekali tak
ada keraguan, "Setiap saat aku bersedia pergi dari sini."
Perlahan-lahan Po Eng mengangguk.
"Aku memahami maksudmu," katanya, "Selama ini kau
memang tak pernah mau menyusahkan orang lain, terlebih
tak ingin orang yang tak bersalah ikut berkorban demi
dirimu." "Aku memang tidak seharusnya tetap tinggal di sini."
"Tapi kau telah melupakan satu hal."
"Soal apa?"
"Kau tetap tinggal di sini karena akulah yang menahan
kepergianmu," ujar Po Eng, "Setelah aku menahanmu,
tentu saja tak akan kubiarkan siapa pun pergi
membawamu."
Perkataan itu disampaikan sangat lamban, setiap patah
kata seakan sebatang paku yang menancap di atas dinding.
Setiap perkataannya seakan sebatang paku yang
menghujam di atas batu cadas.
Paku telah dipantekkan, perkataan pun telah
disampaikan, seketika Siau-hong merasakan hawa darah
menggelora di dalam rongga dadanya.
Akhirnya Liu Hun-hun menghela napas panjang,
tegasnya, "Jadi kau serius akan mengajak kami bertaruh?"
"Benar," suara Po Eng sangat hambar, "Sekarang kalian
boleh segera menurunkan perintah, suruh ketujuh puluh
jagoanmu yang banyak pengalaman dan berani mati itu
untuk menyerbu masuk."
Paras Wi Thian-bong berubah kehijauan, peluh dingin
membasahi telapak tangannya.
"Kau tidak menyesal?"
Po Eng menolak untuk menjawab.
Menolak untuk menjawab sudah merupakan semacam
jawaban, jawaban yang tak akan menimbulkan kesalah
pahaman orang lain, juga tak akan menjadi jawaban yang
menimbulkan kesalah pahaman.
"Bagus," sambil menggigit bibir Wi Thian-bong berseru,
"Kalau memang kau tak takut mengucurkan darah,
mengapa kami harus takut?"
Tiba-tiba dia berpekik panjang, suaranya tinggi
melengking dan tajam, seperti jeritan setan liar di gunung
terpencil, seperti auman serigala di tengah padang salju.
Inilah tanda rahasia yang telah mereka tentukan, tanda
rahasia untuk mulai melakukan penyerangan.
Hawa malam berhembus, meninggalkan udara dingin
yang menyayat bagai bacokan golok.
Hawa pedang di tempat kejauhan terasa menyelimuti
seluruh angkasa, di bawah cahaya api yang bergoyang,
terpancar hawa dingin yang menggidikkan.
Batok kepala berada di atas tengkuk, darah panas
menggelora di dalam dada, anak panah sudah berada di
atas gendawa, golok pun telah dilolos dari sarungnya.
Kini perintah penyerangan telah diturunkan.
Suara pekikan lengking yang menusuk pendengaran
bergema menembus langit malam nan hening.
Ternyata Po Eng masih tetap duduk tak bergerak, kecuali
detak jantung dan denyut nadi, nyaris tubuhnya sama sekali
tak bergerak. Hutan golok di kejauhan pun sama sekali tak bergerak,
tiada kuda dan jagoan yang menyerbu masuk ke dalam
kompleks perkemahan.
Paras Wi Thian-bong mulai berubah, kelompok kekuatan
yang dibentuknya sangat ketat dan penuh disiplin, tanda
perintah pun amat jelas, peraturan juga sangat ketat.
Selama ini perintah komandonya tak pernah meleset, tak
pernah menunjukkan kegagalan.
Mendadak Song-lohucu berkata sambil tertawa, "Janganjangan
telinga kawanan jago yang kau bawa sedikit kurang
beres, mungkin mereka tidak mendengar suara
teriakanmu."
Wi Thian-bong tidak menanggapi ejekan itu, sekali lagi
dia berpekik panjang, kali ini suara pekikannya lebih tajam,
lebih melengking dan nyaring.
Buru-buru Song-lohucu menutupi telinga sendiri dengan
tangan, serunya lagi sambil menghela napas, "Seharusnya
kali ini biar orang tuli pun pasti akan mendengar suara
pekikanmu itu."
Namun pasukan berkuda yang berada di kejauahan
masih tetap tak bergerak.
Peluh dingin mulai bercucuran membasahi tubuh Wi
Thian-bong, menetes pula di ujung hidungnya.
Tiba-tiba Po Eng buka suara, nadanya dingin bagaikan
tusukan jarum, tajam bagaikan sayatan golok.
"Mereka sama sekali tidak tuli!"
"Kalau tidak tuli, mengapa mereka tidak mendengar?"
"Mereka mendengar dengan sangat jelas."
"Kalau mendengar dengan jelas mengapa tidak segera
menyerbu masuk ke mari?" gumam Song-lohucu sambil
mengernyitkan alisnya, "Kenapa mereka tidak
mengayunkan golok dan tombak untuk mencincang kami
semua?" "Karena aku belum meminta mereka untuk datang
kemari." "Harus kau yang memanggil baru mereka akan datang
kemari?" tanya Song-lohucu lagi.
"Betul, mereka baru akan bergerak jika aku yang
memanggil mereka," Po Eng membenarkan.
"Aku tak percaya."
"Kau segera akan percaya."
Tiba-tiba Po Eng mengulap tangan memberi tanda
sambil berseru, "Kemari!"
Suara perintahnya tidak melengking, tidak tajam, juga
tidak nyaring, namun anehnya begitu perintah diberikan,
kawanan manusia berkuda yang berada di kejauhan pun
mulai bergerak.
Mereka bergerak lambat sekali.
Tujuh puluh ekor kuda dengan mengangkut seratus
empat puluh orang perlahan-lahan berjalan memasuki
wilayah perkemahan yang terang benderang bermandikan
cahaya. Di atas setiap kuda itu duduk dua orang.
Orang yang duduk di bagian depan mengenakan pakaian
ringkas warna hitam dengan tangan memegang golok,
tombak dan panah, mereka tak lain adalah anak buah Wi
Thian-bong. Mereka memang merupakan pasukan yang sudah lama
terlatih secara ketat, namun sekarang orang-orang itu hanya
duduk tanpa bergerak di atas pelana, duduk kaku bagaikan
sebuah patung kayu, tubuh mereka kaku, wajah pun diliputi
perasaan ngeri dan takut yang luar biasa.
Karena di belakang mereka masih terdapat orang lain.
Di belakang setiap orang terdapat seorang lain yang
sedang menempelkan sebilah pisau tajam persis di pinggang
masing-masing. Dengan cepat Siau-hong menjumpai para pelancong,
pedagang, gelandangan yang semula masih bernyanyi keras
dalam perkemahan, kini jumlahnya telah berkurang sangat
banyak, kalau semula jumlahnya mencapai seratusan orang
lebih, maka sekarang tak sampai separohnya.
Karena separoh yang lain kini sudah naik ke atas kuda,
naik di atas kuda jempolan tunggangan para jago anak buah
Wi Thian-bong, bahkan bagaikan bayangan saja menempel
ketat di belakang tubuh kawanan jago itu dan menempelkan
sebilah golok yang tajam persis di pinggang orang-orang itu.
Ternyata merekalah petarung sesungguhnya, jagoan
sejati. Gerak-gerik mereka lincah bagai seekor kucing, gesit
bagai seekor ular berbisa dan tepat sasaran seperti anak
panah yang dilepas Dewa panah lima bunga.
Waktu itu seluruh anak buah Wi Thian-bong sedang
menanti datangnya komando penyerangan, mereka sedang
memusatkan seluruh perhatian dan konsentrasinya untuk
siap melancarkan serbuan, seluruh perhatian dan kekuatan
mereka tercurahkan ke arah tenda di mana selembar bulu
elang berwarna hitam sedang berkibar.
Pada saat itulah sekonyong-konyong mereka merasa ada
seorang telah menyelinap naik ke belakang tubuh mereka,
kemudian setiap jago pun merasakan ujung golok yang
dingin menusuk tulang telah menempel di pinggang
mereka, lalu terdengar ada seorang berbisik dari belakang,
"Jangan bergerak, berani bergerak berarti mati!"
Pertaruhan belum lagi dimulai, mereka sudah menderita
kekalahan total.
Kekalahan yang amat fatal!
Pernah ada orang melukiskan Wi Thian-bong sebagai
'Tenang bagaikan bukit, kokoh bagaikan batu karang'.
Tapi sekarang tubuhnya seolah sudah hancur


Elang Terbang Di Dataran Luas Karya Tjan Id di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

berantakan, hancur-lebur, dan berserakan di tanah.
Sejak lahir hingga kini, belum pernah dia merasakan
kekalahan sedemikian mengenaskan.
Senyuman manis yang semula masih menghiasi wajah
Liu Hun-hun, kini pun ikut berubah pucat-pasi dan layu,
selayu wajah seorang nenek yang baru saja menjanda.
Kini dia sudah bukan setengah manusia lagi, tapi
seorang yang utuh, bagian tubuhnya yang termasuk bagian
"iblis" kini sudah lenyap terkena gempuran kesedihan yang
tak berbelas kasihan, hancur-lebur tak berbekas.
Po Eng mengawasi mereka dengan pandangan dingin.
"Walaupun kalian kalah namun belum mati, ketujuh
puluh orang jagoan yang sudah lama terlatih dan pernah
mengalami berbagai pertarungan pun belum satu pun yang
mati," katanya perlahan.
Kemudian dengan sepatah demi sepatah tanyanya,
"Apakah kalian ingin mati" Apakah kalian ingin ketujuh
puluh orang pejuang andalan kalian itu ikut terkubur
menemani kematian kalian?"
Pada hakikatnya pertanyaan semacam ini tak perlu
dijawab, juga tak seorang pun ingin menjawab.
Tapi Siu-hun-jiu yang belum pernah buka suara selama
ini justru menjawab cepat, "Kami tak ingin mati!"
"Tangan beracun mencabut sukma, nyawa pun bakal
melayang."
Tapi sayang orang yang suka membunuh, kadangkala
justru lebih takut mati ketimbang orang yang dibunuhnya,
karena seorang pembunuh seringkali membunuh orang lain
karena dia takut mati.
Po Eng tertawa dingin.
"Kini kalian sudah tiba pada saat paling kritis, bukan?"
"Benar."
"Kini kalian masih memiliki sebuah tandu, kemungkinan
besar dalam tandu itu tersembunyi seorang jago silat yang
sangat tangguh, tapi mungkin juga isinya hanya bahan
peledak yang mampu menghancur-leburkan kami semua,"
kata Po Eng lagi, "Apakah kalian masih ingin bertaruh lebih
lanjut?" "Kami tak ingin," jawab Siu-hun-jiu cepat, "Di dalam
tandu pun tak ada jago lihai, tak ada pula bahan peledak,
hanya...."
Dia tak sempat menyelesaikan kata-katanya.
Tiba-tiba Pancapanah mengayun tinjunya, langsung
ditonjokkan ke wajahnya, membungkam mulutnya.
Siu-hun-jiu si tangan sakti pencabut nyawa yang tersohor
namanya dalam dunia persilatan ternyata tak sanggup
menghindari tonjokan itu, di kolong langit saat ini,
mungkin jarang ada yang mampu menghindarkan diri dari
tonjokan maut itu.
Oood)*w(ooO BAB 10. KEKALAHAN TRAGIS
Tonjokan itu dilontarkan tanpa kembangan jurus apa
pun, juga tidak disertai perubahan yang rumit, pukulan itu
hanya memiliki tingkat kecepatan yang luar biasa.
Kecepatan yang menakutkan, sedemikian cepat hingga
sukar ditangkap dengan nalar sehat, sedemikian cepat
hingga menggidikkan.
Ketika tubuh Siu-hun-jiu roboh terkapar di atas tanah,
besar kemungkinan dia sudah tak memiliki sebiji pun gigi
yang masih utuh, tulang hidungnya yang retak telah
bergeser posisi, darah kental bercucuran keluar dari bibirnya
yang robek dan merekah, dia tak jauh berbeda seperti seekor
babi yang siap dijagai.
Kecepatan merupakan kekuatan.
Paras setiap orang kembali berubah. Baru sekarang
semua orang dapat melihat kekuatan tubuh Pancapanah
yang sesungguhnya.
Dengan pandangan dingin, ditatapnya tubuh Siu-hun-jiu
yang roboh terjengkang ke atas tanah, kemudian ia baru
berkata, "Aku bukan murid perguruan kenamaan, aku pun
tak pernah mempelajari ilmu silat tingkat tinggi macam
kalian, aku tak lebih hanya seorang suku Tibet yang kasar
dan tak tahu diri. Dalam pandangan kalian, mungkin aku
tak jauh berbeda dengan seekor binatang."
Setelah berhenti sejenak, terusnya, "Tapi apa yang telah
kukatakan selalu akan kupegang teguh...."
Siapa pun tak ada yang tahu perkataan apa yang hendak
dia ucapkan, juga tak ada yang tahu mengapa dia mencegah
Siu-hun-jiu mengungkap rahasia di balik tandu.
Hanya Po Eng seorang yang tahu dengan jelas.
"Apa yang telah dia katakan merupakan apa yang
hendak kusampaikan," kata Po Eng kemudian, "Jadi,
semua perkataan yang dia sampaikan mempunyai kekuatan
yang seperti ucapanku sendiri."
Mereka saling bertukar pandang sekejap, sorot mata
kedua orang itu melukiskan betapa saling menghormat dan
saling percayanya mereka berdua.
Perkataan yang kemudian diucapkan Pancapanah segera
membuat orang terperangah, tercengang, dan keheranan.
"Kami tak ingin tahu apa isi tandu itu, tak mau
mendengar, apalagi melihatnya!"
Nada ucapannya dingin dan kaku, lebih dingin dari
bongkahan es. "Jika ada orang berani mengatakan apa isi dalam tandu
itu, bila ada orang membiarkan aku menyaksikan apa yang
berada dalam tandu itu, peduli siapa pun dia, aku pasti akan
membunuhnya dengan segera!"
Siau-hong memandangnya dengan perasaan tercengang,
dia ingin buka suara, namun akhirnya ditahan kembali.
Siapa pun merasa tak habis mengerti mengapa dia harus
berbuat begitu.
Dalam pada itu Pancapanah telah berpaling ke arah Wi
Thian-bong dan berkata, "Kini pertempuran di antara kita
berdua telah berakhir, kalian telah menderita kekalahan
tragis. Berarti kau harus menerima semua syarat yang kami
ajukan." Kini ketenangan dan kemantapan Wi Thian-bong sudah
tidak seteguh batu karang lagi.
Tangannya mulai gemetar, bibir pun ikut gemetar, lewat
lama kemudian ia baru bertanya, "Apa syarat kalian?"
Pancapanah segera menutup mulut tak bicara lagi, dia
mengundurkan diri ke belakang Po Eng.
Dia memiliki kekuatan, namun tak pernah diperlihatkan
secara sembarangan, dia memiliki kekuasaan, namun dia
pun tak pernah menggunakan secara semena-mena.
Di saat dia harus tutup mulut, belum pernah ia
memaksakan diri untuk buka suara.
Berada di tempat mana pun, dalam organisasi macam
apa pun, hanya satu orang yang berhak memberi komando.
Sekarang dia telah menyampaikan apa yang ingin dia
sampaikan, kini dia seperti orang lain, menanti Po Eng
menyampaikan perintahnya.
Sesaat kemudian Po Eng baru buka suara, ujarnya,
"Kalian boleh membawa pergi tandu itu, tapi kalian tak bisa
pergi begitu saja...."
Dia pun mengemukakan persyaratannya, "Kalian semua,
tak terkecuali, harus meninggalkan sedikit kenang-kenangan
sebelum pergi dari sini."
"Kenang-kenangan apa yang harus kami tinggalkan?"
sewaktu mengucapkan perkataan itu, suara Wi Thian-bong
terdengar parau.
"Tinggalkan semacam barang kenangan yang bisa
membuat kalian tak pernah melupakan selamanya,
kenangan atas pelajaran pahit yang diterima hari ini!"
Tiba-tiba Po Eng berpaling ke arah Liu Hun-hun,
tanyanya, "Menurut pendapatmu, benda kenangan apa
yang harus mereka tinggalkan?"
Dia adalah pemegang komando, setiap kata-katanya
yang disampaikan adalah perintah, tak seorang pun berani
membangkang apalagi melawannya.
Lantas mengapa dia harus bertanya pada Liu Hun-hun"
Mengapa tidak kepada orang lain" Hanya bertanya kepada
Liu Hun-hun seorang"
Liu Hun-hun sendiri pun tampak tercengang, namun
secercah cahaya terang segera memancar keluar dari balik
matanya. Tiba-tiba saja dia memahami maksud Po Eng.
Sewaktu dia memandang Po Eng, seperti seekor rase
sedang mengawasi seekor burung elang yang berburu rase,
walaupun merasa takut bercampur hormat, namun terselip
pula semacam perasaan yang tak akan bisa dipahami orang
lain kecuali oleh mereka berdua.
Ternyata mereka berdua sama-sama telah memahami
keadaan lawannya.
Agaknya Po Eng pun sudah tahu kalau perempuan itu
telah memahami maksud hatinya. Sambil mengalihkan
tatapan matanya ke arah lain, ujarnya hambar, "Asal kau
sebut, aku pasti akan mengabulkannya."
Liu Hun-hun kelihatan masih sedikit sangsi, tapi
kemudian sambil menampilkan senyuman licik dan keji,
ujarnya, "Kami datang bersama-sama, jadi apa yang akan
kutinggalkan, mereka pun harus sama-sama
meninggalkannya."
Perlahan-lahan dia melanjutkan, "Aku telah
meninggalkan sebelah tanganku!"
Siau-hong pun mempunyai tangan, tangannya dingin
dan kaku, sedingin bongkahan salju.
Kini dia pun sudah mengerti maksud Po Eng.
Tampaknya Po Eng telah menduga bahwa perempuan
itu bakal berkata begitu, itulah sebabnya dia sengaja
bertanya kepadanya.
Dia percaya, di saat ia harus melindungi diri sendiri,
perempuan ini pasti tak segan untuk mengkhianati orang
lain. Paras Po Eng sama sekali tak nampak perubahan apa
pun, dia tetap tampil kaku, tanpa perasaan.
"Kau sendiri yang berkata begitu," ucapnya dingin,
"Apakah kau anggap cara seperti ini sangat adil?"
"Ya, adil sekali," jawab Liu Hun-hun segera.
Po Eng tidak bicara lagi, dia pun tidak memandang lagi
ke arahnya. Sambil menjepit mata golok dengan kedua jari
tangannya, perlahan-lahan ia sodorkan senjata yang
berhasil direbutnya dari tangan Wi Thian-bong itu ke
hadapan orang itu.
Kini dia tak usah berbicara lagi.
Dalam keadaan begini, apa pula yang bisa diucapkan Wi
Thian-bong"
Dia sudah kalah total, menderita kekalahan secara tragis.
Bagi seseorang yang telah menderita kekalahan secara
tragis, selain cucuran air mata, hanya ceceran darah saja
yang tersisa. Darah yang tak akan habis bercucuran!
Mata golok terasa dingin dan kaku, begitu pula dengan
gagang golok. Tapi tangannya terasa lebih dingin.
Menggunakan tangannya yang dingin kaku, Wi Thianbong
menerima golok itu, lalu mengawasinya dengan sorot
mata murung. Golok itu adalah golok andalannya.
Dia pernah menggunakan golok itu untuk memenggal
batok kepala orang, menggorok leher orang, dia pun pernah
menggunakan golok itu untuk memotong tangan orang lain.
Tiba-tiba sikapnya berubah jadi tenang kembali, dia telah
siap menerima kenyataan ini, karena ia tahu, dirinya tak
mungkin lagi bisa menghindarkan diri dari kenyataan itu.
Kenyataan selalu memang keji dan tak berperasaan, tak
seorang pun dapat menghindarinya.
Tiba-tiba Wi Thian-bong bertanya, "Kau menginginkan
tanganku yang mana?"
Dia pun tahu, Po Eng pasti menampik menjawab
pertanyaan ini, maka dia menggunakan tangan kirinya
untuk menggenggam golok dan menjulurkan tangan
kanannya. "Inilah tangan yang kugunakan untuk menggenggam
golok dan membunuh orang, akan kuberikan tangan ini
kepadamu. Mulai saat ini, aku tak pernah akan
menggunakan golok lagi."
Tidak menggunakan golok lagi bukan berarti tak akan
membunuh orang lagi.
Sepatah demi sepatah kembali Wi Thian-bong
melanjutkan, "Tapi selama aku belum mati, aku bersumpah
pasti akan membunuhmu, peduli dengan cara apa pun aku
tetap akan membunuhmu. Sekalipun kau telah mengurungi
kedua belah tanganku, selama aku masih bisa bernapas, biar
harus memakai mulut pun aku tetap akan berusaha
menggigit putus lehermu dan mencicipi bagaimana rasanya
darahmu!" Suaranya begitu tenang, tapi setiap patah kata, setiap
kalimat justru terkandung hawa kutukan yang menakutkan,
seakan-akan kutukan keji yang datang dari neraka,
membuat orang merasa bergidik.
Tiada perubahan mimik muka di wajah Po Eng.
"Bagus sekali," sahutnya hambar, "Aku pasti akan
menghadiahkan obat luka terbaik untuk menyembuhkan
lukamu itu, agar kau bisa hidup lebih jauh."
Tangan Wi Thian-bong yang menggenggam golok mulai
gemetar keras, otot-otot hijau menonjol keluar, dia sudah
siap mengurungi lengan sendiri.
"Tunggu sebentar!" mendadak Po Eng menghardik.
"Apa lagi yang harus kutunggu?"
"Aku ingin kau menyaksikan sesuatu hal terlebih dulu,"
kata Po Eng, "Selesai melihat hal itu, kau baru akan tahu
kalau kedatanganmu kali ini sesungguhnya merupakan
suatu tindakan yang amat goblok!"
Po Eng segera mengulapkan tangan memberi perintah,
seluruh barang dagangan pun segera ditumpuk di depan
kemah, setiap buntalan, setiap bungkusan, hampir
semuanya telah dibongkar dan dibuka. Tak ada emas murni
di situ. "Sesungguhnya di sini tak ada emas murni," kata Po
Eng. "Jadi kau tidak seharusnya datang kemari. Perbuatan


Elang Terbang Di Dataran Luas Karya Tjan Id di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

ini bukan saja kau lakukan dengan sangat goblok, bahkan
sama sekali tak menguasai. Kau sendiri pun pasti akan
menyesal sepanjang masa!"
Wi Thian-bong hanya mendengarkan dengan tenang,
sama sekali tidak menunjukkan reaksi, menanti Po Eng
menyelesaikan perkataannya, ia baru bertanya dingin,
"Masih ada perkataan lain?"
"Tidak ada."
"Bagus sekali," tiba-tiba Wi Thian-bong tertawa dingin.
"Padahal kau tak perlu menyampaikan perkataan semacam
itu." Goloknya segera diayunkan ke bawah.
Di saat mata goloknya diayun ke bawah, tiba-tiba
ketujuh puluh orang petarung yang berada di atas kuda
menjerit kesakitan.
Tujuh puluh orang dengan tujuh puluh buah lengan telah
dibabat kutung oleh orang yang berada di belakang mereka.
Mereka mengurungi tangan tangan itu dengan cara yang
paling mustajab, sekali tebas langsung kutung.
Sesungguhnya mereka adalah jago-jago tangguh yang
sudah lama mendapat didikan ketat, bahkan berani mati
dan kaya akan pengalaman pertarungan, tapi kali ini
jangankan bertahan, kesempatan untuk melancarkan
balasan pun tak ada.
Ringkik kuda bergema memecah keheningan, diiringi
debu yang beterbangan rombongan jagoan itu telah kabur
meninggalkan tanah perkemahan, tandu-tandu pun telah
digotong pergi, tiga buah tandu telah digotong pergi
meninggalkan tempat itu.
Makin lama suara derap kuda makin jauh, makin sirap,
suara nyanyian tidak terdengar lagi, cahaya lentera yang
menyinari tanah perkemahan pun telah padam.
Hari mulai terang tanah.
Sesaat menjelang tibanya sang fajar biasanya merupakan
saat yang paling gelap, cahaya lentera masih memancar
dengan terangnya dari dalam tenda.
Song-lohucu telah "mabuk", Gan-losianseng pun telah
"lelah", mereka yang seharusnya pergi kini telah pergi
semua. Siau-hong belum pergi, dia masih tetap berada di sana.
Akan tetapi dia pun tidak duduk, selama ini anak muda
itu hanya berdiri tenang di sana, seakan-akan sama sekali
tidak memperhatikan kepergian orang lain, dia pun seakan
tidak memperhatikan kehadiran Po Eng dan Pancapanah di
tempat itu. Ada sementara orang, walaupun tubuhnya berada di
sana namun dia seakan-akan berada di tempat yang sangat
jauh, berada di sebuah tempat jauh yang begitu tenang,
damai, tiada dendam, tiada sakit hati, tiada cinta, tiada
perasaan. Perlahan-lahan Po Eng menatap wajah anak muda itu,
tiba-tiba tanyanya, "Apakah kau menganggap aku tidak
seharusnya bertindak sekeji ini?"
Tiada jawaban. "Aku tak peduli bagaimana kau berpikir, asalkan satu hal
harus kau pahami terlebih dulu," ujar Po Eng lebih jauh,
"Hubungan kita dengan musuh ibarat kau berhadapan
dengan mata golok, tiada perasaan tiada peluang.
Seandainya aku yang menderita kekalahan, mungkin
nasibku akan jauh lebih mengenaskan."
Kemudian setelah berhenti sejenak, perlahan-lahan
tambahnya, "Apalagi di dalam pertempuran kali ini, bukan
kita yang mencari mereka, adalah mereka yang datang
mencari kita. Dalam posisi seperti ini, mau tak mau kita
harus bangkit untuk menghadapinya, kalau memang harus
melawan maka kemenangan harus berada di pihak kita,
terhadap pihak musuh pun tak boleh bersikap lemah dan
penuh perasaan."
Teori semacam ini merupakan teori yang baku, teori
yang tak dapat berubah, teori yang tak dapat dibantah siapa
pun. "Aku yakin kau pasti memahami teori itu," Po Eng
menambahkan. "Aku tidak paham!" tiba-tiba Siau-hong berteriak.
Dia seperti orang yang baru mendusin dari impian
buruk. "Aku sama sekali tak paham dengan semua yang telah
kalian lakukan!"
"Kau merasa tak paham mengapa kami bersikeras minta
mereka menggotong pergi tandu ketiga?" tanya Pancapanah
tiba-tiba, sekulum senyuman menghiasi paras tampannya
yang pucat-pias dan lama tak tersentuh senyuman itu.
"Mengapa kalian harus berbuat begitu?" memang sudah
sedari tadi Siau-hong ingin menanyakan persoalan ini.
Pancapanah tidak langsung menjawab pertanyaan itu.
"Kau tidak akan mengerti karena ada banyak persoalan
yang tak pernah kau dengar, ada banyak persoalan yang tak
pernah kau lihat."
Dia tidak membiarkan Siau-hong buka suara, karena dia
harus mengemukakan lebih dahulu perkataan yang harus
dia sampaikan. "Kau tidak mengerti karena usiamu masih muda, masih
belum pernah mengalami pengalaman pahit, pengalaman
tragis seperti apa yang telah kami jalankan selama ini,"
sikap Pancapanah berubah amat serius dan bersungguhsungguh,
"Bila kau pun seperti kami, pernah hidup sepuluh
tahun di dataran yang luas ini, nyaris mati hampir dua
puluhan kali, maka kau pun akan mendengar berbagai
kejadian yang tak akan terdengar oleh orang lain, dapat
melihat berbagai peristiwa yang tak mungkin terlihat orang
lain." Sikap dan penampilannya yang serius membuat Siauhong
mau tak mau harus menenangkan sikapnya.
"Masalah apa yang tak pernah kudengar?" tanya Siauhong,
"Apa pula yang telah kalian dengar" Kalian lihat?"
"Tandu ketiga jauh lebih berat daripada dua tandu
sebelumnya," Pancapanah menerangkan, "Bahkan dari
dalam tandu itu terdengar suara napas dua orang."
Po Eng segera menambahkan, "Suara napas itu berasal
dari napas dua orang perempuan, salah satu di antaranya
bernapas dengan sangat lemah."
Siau-hong segera merasa, ternyata masih banyak ilmu
yang harus dia pelajari, jauh lebih banyak daripada apa
yang diduga dan dipikirkan sebelumnya.
"Dari mana kalian bisa tahu kalau dalam tandu itu berisi
dua orang perempuan" Memangnya napas wanita berbeda
dengan suara napas kaum lelaki?" desak Siau-hong kembali.
"Sama sekali tak ada bedanya," jawab Po Eng singkat.
Kemudian setelah berhenti sejenak, terusnya, "Kami
tahu dalam tandu itu berisi dua orang wanita karena tandu
itu sedikit lebih berat daripada bobot tandu yang diduduki
Siu-hun-jiu."
"Kami dapat melihatnya dari bekas pasir yang
ditinggalkan pemikul tandu itu," kali ini Pancapanah yang
melanjutkan penjelasan itu, "Walaupun bahan dan bobot
tandu-tandu itu sama."
Sesudah berhenti sebentar, kembali dia melanjutkan,
"Siu-hun-jiu adalah jagoan yang berlatih Gwakang, biarpun
tubuhnya kurus namun tulang badannya sangat berat,
apalagi dia jangkung, paling tidak bobot badannya
mencapai seratus dua puluhan kati."
Bobot kedua orang itu bila dijumlahkan, paling tidak
hanya lebih berat dua-tiga puluh kati bila dibandingkan dia
seorang. Maka kembali Pancapanah memberikan kesimpulan
yang sangat aneh, "Berat badan itu merupakan berat tubuh
kedua orang perempuan dijumlahkan jadi satu."
"Mereka adalah dua orang perempuan" Dua orang yang
mana" Kau tahu kalau mereka berdua?" Siau-hong segera
bertanya. "Aku tahu!"
"Pova," kata Pancapanah lagi, "Salah satu di antaranya
pasti Pova!"
Amarah Pedang Bunga Iblis 3 Pendekar Kembar Karya Gan K L Pendekar Sadis 7

Cari Blog Ini